Pendahuluan
Tulisan ini beranjak dari hasil penelitian Prof.
Mahfud MD dalam meraih gelar doktornya. Dalam
disertasinya ia menyimpulkan bahwa konfigurasi politik
yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang
responsif/populistik dan konfigurasi politik yang
otoriter akan melahirkan produk hukum dengan karakter
konservatif/ortodoks/elitis1. Teori yang ia cetuskan
bukan lahir dari penelitian yang sembarangan, ia meneliti
berbagai produk hukum dari mulai Indonesia merdeka sampai
masa orde baru. Fenomena ini sekan sudah berjalan secara
sistemik sehingga bisa dikatakan bahwa politik yang
demokratis niscaya akan menghasilkan produk hukum yang
responsif/populis dan jika politik yang berlaku adalah
politik yang otoriter maka bisa dipastikan produk
hukumnya ortodoks/elitis, semuanya sudah berjalan menjadi
sebuah sistem.
1 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet ke V, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 363
1
Tatkala Gelombang reformasi yang dipelopori para
pemuda berhasil menumbangkan orde baru beserta rezim
otoriternya, semua orang sepakat untuk menggunakan
demokrasi yang benar-benar demokratis. Hal ini pertama
kali diwujudkan dengan mengamandemen undang-undang dasar.
Lembaga-lembaga Negara yang pada masa sebelumnya tidak
ada juga segera dilahrikan, seperti KPK, MK, PPATK dan
lain-lain. Namun bagaimana dengan produk undang-undang
sekarang?. Kita banyak menemukan berbagai produk hukum
yang tidak mengandung keadilan dan merugikan rakyat
Indonesia seperti undang-undang tentang BP Migas, produk
hukum yang hanya menguntungkan bagi para elite-elite
politik seperti kasus tarik ulur persyaratan presiden dan
wakil presiden dalam undang-undang pemilu. Undang-undang
yang tidak begitu menguntungkan bagi para elite politik
juga tidak kunjung selesai prosesnya, sebagaimana yang
kasus yang terjadi pada KUHP, KUHPerdata dan lain-lain.
2
Dengan latar belakang yang seperti itu kemudian kita
layak menanyakan kembali, bukankah Indonesia sekarang
menganut demokrasi dan segala proses penyelenggaraan
pemerintahanya—termasuk proses pembuatan undang-undang—
berdasarkan asas-asas yang demokratis? lalu kenapa
konfigurasi politik yang demokratis pada kenyataanya
sekarang tidak menghasilkan produk hukum yang responsif
tetapi malahan elitis (karena hanya mengungtungkan elit-
elit tertentu)? Bukankah sebagaimana yang diteorikan oleh
Mahfud MD, bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan
menghasilkan produk hukum yang responsif?. Untuk itulah
kemudian penulis mengajukan rumusan masalah “kenapa
konfigurasi politik sekarang yang menganut system
demokrasi menghasilkan produk hukum yang elitis?”
3
Pembahasan
Definisi Sistem Politik dan Relevansi Isi Makalah
Sebelum lebih jauh membahas, penulis akan terlebih
dahulu memberikan argumen bahwa makalah ini layak
diajukan pada mata kuliah system politik. Dalam kamus
KBBI online, system diartikan sebagai susunan yang
teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya,
contohnya seperti system pemerintahan Negara2. Totok
sarsito mendefiniskan system sebagai sesuatu yang
berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu
kesatuan, dengan demikian, suatu system pasti mempunyai
struktur yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang
satu sama lain saling berjalinan dan tidak dapat
dipisahkan satu dari yang lain sehingga membentuk suatu
2 KBBI online, http://kbbi.web.id/, akses tanggal 18 agustus2013
4
kesatuan yang bulat3. Sedangkan politik adalah usaha
menggapai kehidupan yang baik. Pengertian yang lebih
kontekstual mendefinisikan politik sebagai usaha untuk
menentukan peraturan-peratruan yang dapat diterima baik
oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke
arah kehidupan bersama yang harmonis, bentuk dari usaha
ini menyangkut berbagai macam kegiatan yang antra lain
menyangkut proses penentuan tujuan dari system, serta
cara-cara melaksanakan tujuan itu4. Sehingga system
politik dalam definisnya Totok Sarsito adalah system
pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat5, dalam
menguraikan system politik ia menekankan bahwa masing-
masing bagian unit dan arena politik tidaklah berdiri
sendiri melainkan saling berkaitan antara satu dengan
yang lain, sehingga berfungsinya satu bagian tidak akan
dapat dipahami tanpa memperhatikan cara berfungsinya
3 Totok Sarsito, Sitem politik Indonesia I, dalam makalah diUniversitas Sebelas Maret, tanggal 11 maret 2011
4 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi cetke enam, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 13-15
5 Totok Sarsito, Sistem…op.cit., hlm. 3
5
keseluruhan bagian-bagian itu sendiri. Digunakanya sistem
adalah untuk memahami gejala politik dalam suatu
masyarakat dengan asumsi bahwa masyarakat merupakan
kesatuan yang inklusif dimana system yang ada bisa
dievaluasi. Pada dasarnya gejala masyarakat dapat
dipandang sebagai suatu system dan dalam kenyataanya
semua geajala kemasyarakatan saling berhubungan satu
dengan yang lain. Dari suatu masyarkat keseluruhan bisa
diperoleh abstraksi yang berupa elemen-elemen yang Nampak
ke permukaan dengan saling berdekatan dan elemen-elemen
inilah yang kemudian disebut sebagai system6.
Sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam
pendahuluan, bahwa makalah ini hendak mempermasalahkan
kenapa pengaruh konfigurasi politik yang sekarang
disebut-sebut sebagai demokratis pada kenyataanya
melahirkan berbagai produk hukum yang memihak pada elit-
elit politik saja atau dengan bahasanya Prof. Mahfud
6 Ibid., hlm. 4
6
bersifat elitis, bukankah seharusnya variable konfigurasi
politik yang demokratis akan menghasilkan variable berupa
produk hukum yang responsif?.
Menurut Mahfud MD, produk hukum yang
responsif/populistik adalah produk hukum yang
mencerminakan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Dalam proses pembuatanya memberikan
partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu
dalam masyarakat. Dan hasilnya bersifat responsif
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu
dalam masyarakat. Sedangkan produk hukum yang
ortodoks/konservatif/elitis adalah produk hukum yang
isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik,
lebih mencerminakn keinginan pemerintah, bersifat
positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan
ideology dan program Negara. Hukum yang ortodoks tertutup
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-
indovidu di dalam masyarakat yang dalam pembuatanya
7
peranan dan partitispasi masyarakat relatif kecil7.
Dilihat dari fungsinya, hukum yang berkarakter responsif
bersifat aspiratif. Artinya memuat materi-materi yang
secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak
masyarakat yang dilayaninya. Sehingga sebuah produk hukum
dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kehendak
masyarakat. Sedangkan produk hukum yang bersifat
ortodoks/elitis bersifat posistivis-instrumentalis,
memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan
politik pemegang kekuasaan atau memuat meteri yang lebih
merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan
program pemerintah8.
Syarat Minimal Pendidikan Capres dan Cawapres
Isu yang pertama akan saya bahas dalam makalah ini
adalah persyaratan minimal pendidikan calon presiden dan
7 Moh Mahfud, Politik Hukum…. op.cit., hlm. 31-328 Ibid., hlm. 32
8
wakil presiden. Sudah sejak lama isu ini menjadi tarik
ulur anggota parlemen. Dalam undang-undang pemilu
presiden dan wakil presiden yang baru yakni undang-undang
No 42 tahun 2008, pasal 5 hanya mensyaratkan pendidikan
minimal capres dan cawapres adalah SMA, MA, SMK, MAK atau
bentuk sekolah lain yang sederajat. Dari berbagai media
dapat kita ketahui bahwa issu ini sudah sejak lama
menjadi tarik ulur yang paling mendapatkan perhatian
selain persyaratan minimal electoral threshold. Dalam undang-
undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada
tahun 2004 yakni UU No 23 tahun 2003, syarat minimal S1
diusulkan oleh Golkar dan mendapatkan dukungan dari
fraksi Reformasi dan fraksi Bulan Bintang. Akan tetapi
fraksi PDIP menentang keras usulan ini, menurut PDIP
kualitas dan kemampuan seseorang tak hanya dilihat dari
tingkat pendidikian formalnya9. Fraksi PDIP menolak
minimal S1 karena kandidat calon presiden dari partai
9 Koirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, (Yogyakrta: PustakaPelajar,2004), hlm. 28
9
mereka, yakni Megawati bukan sarjana meskipun ia pernah
kuliah tapi tidak selesai10. Isu ini juga mencuat kembali
dalam pembahasan revisi UU No 42 tahun 2008, PKS bersuara
agar persyaratan pendidikan minimal setingkat S1
menurutnya banyak persoalan yang perlu dihadapi presiden
dan wakil presiden yang memerlukan kepiawaian yang
tinggi. Usul dari PKS mendapatkan dukungan dari
Demokrat11, Selain Demokrat, dukungan tentang minimal
sarjana bagi calon presiden dan wakil presiden juga
disuarakan oleh Hanura, sebagai partai pendatang baru
Nasdem juga menyatakan hal serupa. Sedangkan PDIP yang
dari dulu tegas menolak syarat ini sampai sekarang belum
memberikan kepastian tentang setuju atau tidaknya minimal
sarjana bagi capres dan cawapres, sekjen PDIP Tjahjo
Kumolo menegaskan kalau langkah koalisi PDIP dengan
10 http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/10/nas29.htm, “RUUPemilihan Presiden dan Barter Parpol Besar”, akses tanggal 19agustus 2013
11http://news.detik.com/read/2013/04/08/134921/2214278/10/demokrat-dan-pks-dorong-syarat-pendidikan-capres-minimal-s1,“Demokrat dan PKS Dorong Syarat Pendidikan Capres Minimal S1”,akses tanggal 19 agustus 2013
10
partai lain masih menunggu pemilihan legislative namun ia
menyampaikan kalau syarat pendidikan tifak bisa menjadi
tolak ukur, baginya seorang presiden yang terpenting
adalah didukung oleh parpol12. Sikap PDIP terhadap
persyaratan ini mungkin akan berubah jika pada nantinya
bukan Megawati yang diajukan menjadi presiden, belakangan
ini memang berita yang santer beredar adalah pencalonan
Jokowi. Jika pada nantinya mereka mencalonkan Jokowi
mungkin sikap mereka akan berubah dari pemilu sebelumnya,
karena Jokowi telah mengantongi sarjana dari UGM.
KUHP Yang Tak Kunjung Selesai
Sebagai bangsa yang merdeka tentunya kita ingin
mempunyai kodifikasi hukum pidana sendiri, yang
berasaskan kepribadian bangsa yang pastinya berbeda
dengan kepribadian Belanda. Mengenai perlunya pembaharuan
12http://dutaonline.com/11/07/2013/capres-harus-sarjana-diusulakn-di-ruu-pilpres/, “Capres Harus Sarjana di Usulkan diRUU Pilpres” akses tanggal 19 agustus 2013
11
ini, Sudarto menyampaikan 3 alasan: pertama politis,
alasan ini terkait kebangaan kita jika mempunyai hukum
pidana nasional sendiri sebagai negara yang merdeka dan
tentunya hukum tersebut berdasarkan pada pancasila. Kedua
sosiologis, alasan ini menitik beratkan pada nilai-nilai
budaya kita yang tidak sesuai dengan belanda. Ketiga
praktis, alasan ini terkait dengan kendala kebahasaan
yang mana penguasaan bahasa Belanda setiap orang berbeda-
beda ketika menerjemahkan WvS, sehingga akan menimbulkan
tafsiran yang berbeda-beda13.
Pembaharuan KUHP bukanlah hal yang mudah, sudah dari
tahun 1964 rancangan pertama dimulai, tapi sampai
sekarang belum juga digodok di DPR. Usaha ini dimulai
dengan adanya rekomendasi hasil seminar Hukum Nasional I
tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta. Usaha pembaharuan
ini merupakan amanat pendiri bangsa yang terkandung
secara implisit dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
13 Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bidang Akademik UINSunan Kalijaga, 2008), hlm. 187
12
pembahruan ini baru dimulai pada tahun 1964 karena sejak
merdeka kondisi Indonesia belum stabil14. Rancangan KUHP
tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan rancangan-
rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968,
Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin
(Konsep BAS) 1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP
1982/1983, Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP
1986/1987, Rancangan KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP
1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992 yang direvisi sampai
1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000.
Pada tahun 2009 tepatnya pada masa Menteri Hukum dan
HAM dijabat oleh Andi Matalatta, naskahnya sudah disusun
dan diserahkan ke Istana. Namun setelah kursi Menteri
dijabat Patrialis Akbar, naskah RUU tersebut dikembalikan
ke tim penyusun dengn alasan tim penyusun wajib membuat
naskah akademik terlebih dahulu. Sampai sekarang RUU KUHP
belum masuk dalam prolegnas 2013. Selain hal-hal yang
bersifat substansi dari isi undang-undang seperti undang-14 Ibid., hlm. 205
13
undang ini merupakan kitab kumpulan dan bisa dikatakan
sebagai undang-undang induk mengenai tindak pidana,
penyelarasan dengan undang-undang lain yang juga memuat
tindak pidana, dan lain-lain. Menurut penulis hal ini
karena tidak ada kemauan politik yang kuat dari
pemerintah, seberat apapun mestinya undang-undang ini
sudah lama disahkan jika melihat perubahanya dimulai
sejak tahun 1964. Jika dibandingkan dengan undang-undang
yang terkait dengan investasi, hal ini akan jauh berbeda.
Pemerintah dan anggota DPR akan segera membahasnya dan
memperdebatkan pasal-pasal yang kemungkinan akan
merugikan mereka, hal ini karena kebanyakan para politisi
adalah para pengusaha, meskipun mereka bukan seorang
pengusaha pastinya juga dibantu oleh pengusaha untuk
mendanai kegiatan politiknya. Dalam undang-undang yang
membahas tentang kegiatan usaha biasanya juga banyak
aliran dana yang masuk ke DPR. Walhasil, menurut penulis
tak kunjung selesainya RUU KUHP karena undang-undang
14
tersebut tidak menguntungkan bagi mereka. KUHP bukan
undang-undang yang berlahan basah.
Demokrasi atau Oligarki?
Dari berbagai kasus yang terkait perundang-undangan
khususnya kasus yang penulis uraikan di atas kemudian
menimbulkan pertanyaan “apakah konfigurasi politik kita
benar-benar demokratis?”. Jika merujuk pada berbagai
literatur, oligarki dimaknai sebagai Negara yang
pemerintahanya dipegang oleh beberapa orang tetapi
sifatnya buruk karena pemerintahanya hanya ditujukan
kepada atau untuk kepentingan yang memegang kuasa15. Jika
melihat fenomena perpolitikan di Indonesia kita tahu
bahwa sebenarnya para elit politik hanya orang-orang itu
saja atau mungkin kerabat dekat dari penguasa sebelumnya.
Dan perilaku mereka dalam membuat sebuah produk hukum
15 P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2012), hlm. 36
15
hanya untuk mengamankan kepentingan mereka semata.
Sehingga kita bisa mengatakan bahwa meskipun secara
prosedur kita menggunakan demokrasi namun tidak serta-
merta kelakuan para pejabat bersifat demokratis, hal ini
karena suara mereka tersandera oleh kehendak partai.
Robert Michels memberikan peringatan tentang tumbuhnya
oligarki dalam sebuah partai yang demokratis. Menurutnya
oligarki timbul dari adanya organisasi dalam kepartaian,
fenomena oligarkis bersifat psikis. Oligarki berasal dari
transformasi psikis yang dialami pemimpin-pemimpin partai
sepanjang hidup mereka, namun lebih khususnya oligarki
lahri karena dan tergantung pada “psikologi organisasi”
yakni pada kebutuhan-kebutuhan taktis dan teknis yang
berasal dari konsolidasi setiap kesatuan politik yang
disiplin 16, ketika seseorang masuk kedalam sebuah partai
mungkin ia bukanlah orang yang penting akan tetapi
seiring berjalanya waktu dan kemampuanya dalam organisasi16 Lihat Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, Dalam Teori-Teori Mutakhir
Partai Politik, Editor Ichlasul Amal, cet. ke 2, (Yogyakrta: TiaraWacana, 1996), hlm. 41
16
dan politik akan mengantarkanya pada pucuk pimpinan yang
tertinggi. Ketika seseorang sudah sampai pada taraf
tersebut maka ia akan dengan sangat mudah menyetir suara
anggota partainya. Hal ini adalah fenomena yang terjadi
dalam system kepartaian kita dan mungkin juga dalam semua
partai di dunia, contoh yang masih hangat adalah
keharusan satu suara mendukung kenaikan harga BBM bagi
anggota poartai Demokrat dan partai koalisi, ketika PKS
kemudian menolak kenaikan dan satu suara dengan oposisi
maka muncullah ancaman keluar dari setgab dan pencopotan
menterinya dari kabinet.
Dalam era demokrasi yang mementingkan suara terbanyak
kebulatan suara anggota partai dalam parlemen adalah
sebuah keharusan, setidaknya itu yang terjadi di
Indonesia. Tidak ada lagi pertarungan idealisme sesama
anggota partai. Mereka telah dikendalikan oleh orang yang
berkuasa di partai, sehingga demokrasi hanyalah sekedar
bungkus dan isi yang sebenarnya adalah oligarki.
17
Perjuangan mereka bukan untuk rakyat yang telah
memilihnya akan tetapi untuk kepentingan mereka sendiri
dan tentunya untuk partai politiknya.
Ada pengandaian menarik dari Robert Michels tentang
masuknya oligarki dalam system demokrasi, ia mengkisahkan
dalam suatu dongeng ada seorang petani yang akan
meninggal mengatakan kepada anak-anaknya ada harta karun
terpendam di ladang, setalah kematianya anak-anaknya pun
mencarinya namun tidak pernah menemukan harta karun yang
mereka cari. Namun pekerjaan mereka yang menggali tanah
tidak kenal lelah pada akhirnya membawa kemakmuran
pertanian bagi mereka. Harta karun dalam cerita tersebut
layaknya Demokrasi, Demokrasi adalah harta karun yang tak
seorangpun dapat menemukanya, namun dengan terus
mencarinya kita akan mampu menemukan sesuatu dalam
pengertian yang demokratis.
Dalam pengandaianya Robert Michels arus demokrasi
dalam sejarah menyerupai alunan gelombang yang selalu
18
pecah ketka pantai tapi selalu muncul kembali, demokrasi
pada nantinya pasti akan tersusupi oligarki, setelah
oligarki berhasil menguasai kemdian ada sejumlah orang
yang menentangnya mungkin dengan mendirikan sebuah partai
baru. Orang yang pada awalnya melawan oligarki itu pada
nantinya juga akan menjadi sang pelaku oligarki sendiri
ketika ia sudah mapan.
Penutup
19
Dari uraian di atas maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa konfigurasi politik sekarang yang menganut system
demokrasi akan tetapi menghasilkan produk hukum yang
elitis dikarenakan demokrasi kita hanyalah bungkus
kosong, yang sebenarnya terjadi dalam dunia politik
khususnya partai politik adalah oligarki. Hal ini dapat
dilihat dari dua kasus yang penulis paparkan. Dalam kasus
persyaratan pendidikan minimal calon presiden, anggota
parlemen mempertahankan bagaimanapun caranya agar tokoh
dari partainya bisa menjadi seorang presiden seraya
menyerang kelemahan dari calon partai lain. Argumentasi
mereka hanyalah argumen politis seperti kasus yang
terjadi pada PDIP dan partai yang berseberangan denganya.
Dalam kasus RUU KUHP yang tak kunjung selesai, fenomena
oligarki muncul pada tidak adanya kemauan politik
diantara elite. Hal ini karena KUHP tidak mendatangkan
keuntungan bagi mereka, baik keuntungan secara politik
maupun keuntungan secara materi.
20
Kedua contoh tersebut memang terlalu sedikit untuk
menggambarkan perilaku elit politik secara keseluruhan,
akan tetapi cukup menggambarkan bahwa produk hukum yang
dihasilkan pada kenyataanya bersifat elitis. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Mahfud, produk hukum yang ortodoks
memuat meteri yang merefleksikan visi sosial dan politik
pemegang kekuasaan. Sedangkan produk hukum yang responsif
memuat materi yang sesuai dengan aspirasi atau kehendak
masyarakat.
Daftar Pustaka
A. Buku dan Makalah
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, cet ke V,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012
Sarsito, Totok, Sitem politik Indonesia I, makalah di
Universitas Sebelas Maret, tanggal 11 maret 2011
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi
cet ke VI, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013
21
Koirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, Yogyakrta:
Pustaka Pelajar, 2004
Bahiej, Ahmad, Hukum Pidana, Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008
Sitepu, P. Anthonius, Studi Ilmu Politik,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012
Michels, Robert, Hukum Besi Oligarki, Dalam Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik, Editor Ichlasul Amal, cet. ke
2, Yogyakrta: Tiara Wacana, 1996
B. Peraturan Perundang-Undangan
UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden
UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden
C. Internet
http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/10/
nas29.htm, “RUU Pemilihan Presiden dan Barter
Parpol Besar”, akses tanggal 19 agustus 2013
http://news.detik.com/read/
2013/04/08/134921/2214278/10/demokrat-dan-pks-
dorong-syarat-pendidikan-capres-minimal-s1,
22
“Demokrat dan PKS Dorong Syarat Pendidikan Capres
Minimal S1”, akses tanggal 19 agustus 2013
http://dutaonline.com/11/07/2013/capres-harus-
sarjana-diusulakn-di-ruu-pilpres/, “Capres Harus
Sarjana di Usulkan di RUU Pilpres”, akses tanggal
19 agustus 2013
KBBI online, http://kbbi.web.id/, akses tanggal 18
agustus 2013
23