MAKALAH NARKOBA BERDASARKAN FILSAFAT HUKUM

23
FAKTOR- FAKTOR LAHIRNYA KEBIJAKAN UNTUK MEREVISI UND ANG- UNDANG NO.22 TAHUN 1997 DENGAN UNDANG- UNDANG N O. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOT I KA Pada awalnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi sesuatu yang berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain perlu upaya untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, sehingga diperlukan regulator sebagai alat pengaturan di bidang narkotika. Tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, serta dilakukan secara terorganisir (organized crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime). Jadi tidak hanya di Indonesia saja, namun pelaku merupakan sindikat internasional.

Transcript of MAKALAH NARKOBA BERDASARKAN FILSAFAT HUKUM

FAKTOR- FAKTOR LAHIRNYA KEBIJAKAN UNTUK MEREVISI UNDANG- UNDANG NO.22 TAHUN 1997 DENGAN UNDANG- UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKAPada awalnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi sesuatu yang berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain perlu upaya untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, sehingga diperlukan regulator sebagai alat pengaturan di bidang narkotika.

Tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, serta dilakukan secara terorganisir (organized crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime). Jadi tidak hanya di Indonesia saja, namun pelaku merupakan sindikat internasional.

A.    SEJARAH PERKEMBANGAN PERATURAN NARKOTIKA DI INDONESIA.

Narkotika dalam pengertian opium telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indonesia khususnya warga Tionghoa dan sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617. Selanjutnya diketahui bahwa mulai tahun 1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal 1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian besar penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkoba (polydrug user), dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika. Sifat dari narkotika sebagai kelompok derivate zat adiktif yang menyebabkan kecanduan, sekali terkena maka mereka akan terus ketagihan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997

1.  ORDONANSI OBAT BIUS (VERDOOVENDE MIDDELEN ORDONNANTIE, STAATSBLAD NOMOR 278 JO. 536 TAHUN 1927).

Sebelum Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen Ordonantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536). Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

2. UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG NARKOTIKA. Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk :

1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional.

2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan;  dan

3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas

Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.

4. UNDANG- UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA. Pertimbangan Pemerintah dalam menyusun UU no. 35 tahun 2009 adalah :

a.      bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;

b.  bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c.    bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;

d.      bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;

e.       bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika  sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang  berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;

f.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika.

3. UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA.

Dalam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolusi ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan :

(a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika;

(b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis,  psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.

5. UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian asas-asas dalam  UU no. 35 Tahun 2009 antara lain ;a.   keadilan;b.   pengayoman;c.   kemanusiaan;d.   ketertiban;e.   perlindungan;f.   keamanan;g.   nilai-nilai ilmiah; danh.   kepastian hukum.

Tujuan diberlakukannya UU No. 35 Tahun 2009 yaitu ;1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan Narkotika;3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

PERBEDAAN UNDANG- UNDANG NO. 22 TAHUN 1997 DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009.No. UU No. 22 Tahun 1997 UU No. 35 Tahun 2009

1. Penyidik :  Penyidik Polri

 dan PPNS Tertentu

Penyidik Polri , PPNS Tertentu dan tambahan yaitu

penyidik BNN

2. Kewenangan Penyidik :

Menangkap dan menahan

Menangkap dan menahan, kecuali PPNS hanya memiliki

kewenangan menangkap saja.

3. Lama waktu penagkapan : 1 x

24 jam, dapa diperpanjang 2 x

24 jam

2 x 24 jam, diperpanjang 3 x 24 jam

4. Lama waktu penyadapan : 30

hari

3 bulan dapat diperpanjang maksimal 3 bulan

5. Ancaman pidana : hanya

maksimum

Pidana maksimum dan minimum

6. Pemberatan pidana :  - Ada bagi yang membawa 5 gr atau lebih atau 5 tanaman/

lebih.

7. Alat bukti : sesuai KUHAP Sesuai KUHAP, ditambah bukti elektronik

8. Pemberlakuan pemidanaan :

kepada masyarakat yang

melanggar

Kepada masyarakat yang melanggar, juga kepada

penyidik, jaksa, dan petugas laboratorium selaku

aparat penegak hukum yang ikut melanggar

TERBENTUKNYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL ( BNN )

Undang Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 mengamanatkan perubahan paradigma dalam melihat penyalahgunaan narkoba. Para pengguna narkoba wajib di rehabilitasi.  Undang Undang sebelumnya menetapkan atau melihat korban penyalah guna narkoba sebagai seorang  kriminal dan harus di penjara. Inilah perubahan mendasar dalam upaya menyelamatkan anak bangsa dari jeratan narkoba yang sangat ganas karena menghancurkan masa depan generasi muda. Tentu saja perubahan paradigma baru tersebut itu ditetapkan berdasarkan pertimbangan pemisahan yang jelas antara status pengguna dan pengedar.

Badan Narkotika Nasional (disingkat BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  Dasar hukum BNN adalah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.

TUGAS DAN FUNGSI BNNTugas BNN :1.Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

2.Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

3.Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

4.Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

5.Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika Narkotika;

6.Melalui kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

7.Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;8.Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

9.Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.10.Selain tugas sebagaimana diatas, BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.

Fungsi BNN : Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN.

Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur P4GN.

Penyusunan perencanaan, program dan anggaran BNN.Penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang P4GN.

Pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakna teknis P4GN di bidang pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama.

Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN.

Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN.

Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN.Pelaksanaan fasilitasi dan pengkoordinasian wadah peran serta masyarakat.Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.

Pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat.

Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya.

Pelaksanaan penyusunan, pengkajian dan perumusan peraturan perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN.

Pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di bidang P4GN. Pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN.

Pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN.

Pelaksanaan penegakan disiplin, kode etik pegawai BNN dan kode etik profesi penyidik BNN.

Pelaksanaan pendataan dan informasi nasional penelitian dan pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN.

Pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.

Pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol.

Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN.

PENINGKATAN PEREDARAN NARKOBA DI INDONESIA Berdasarkan penelitian Universitas Indonesia dan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2008 di temukan bahwa angka kematian penyalah guna sebesar 40 orang perhari di seluruh Indonesia.  Kematian sia sia ini lebih banyak disebabkan karena para korban itu tidak mendapatkan akses pengobatan medis dan rehabiltasi sosial. Kondisi seperti itu menjadi lebih mengenaskan lagi sehubungan sebagian besar korban yang meninggal dunia tersebut adalah kelompok usia produktif, atau pemuda/i  berumur 20 sampai 30 tahun.

Pada saat ini, ancaman peredaran gelap maupun penyalahgunaan narkotika semakin meluas dan meningkat di Indonesia. Data dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil disita narkotika seperti ganja dan derivatnya sebanyak 127,7 ton dan 787.259 batang; heroin sebanyak 93,9 kg; morfin sebanyak 244,7 gram; serta kokain sebanyak 84,7 kg.

Berdasarkan laporan tahunan BNN 2010 Sampai Oktober 2010  Kepolisiaan Republik Indonesia mengungkap 23.820 kasus narkotika dengan 31.963 orang menjadi tersangka, dan 61 jaringan sindikat narkoba. http://www.bnn.go.id/

Pernyataan Kepala BNN dalam Simposium Pemulihan akibat penyelahgunaan Narkoba seasia ke V di Jakarta disebutkan berdasarkan data hanya 17.734 orang pecandu yang mengakses layanan terapi baik rawat jalan maupun rawat inap pada tahun 2009. Jumlah itu sama dengan 0,5% pecandu dari angka 3,6 juta pecandu di Indonesia. http://www.inilah.com/

VONIS MA ATAS PUTUSAN PERKARA NARKOTIKA

Penegak Hukum, khususnya Hakim di PN, PT, dan MA seharusnya mencontoh Hakim Artidjo Alkostar dan Hakim Suryajaya dengan memberikan vonis maksimal untuk Bandar Narkotika.

Berikut sejumlah Putusan kasus Narkotika yang dipimpin oleh Hakim Artidjo Alkostar :

1. KWEH EICHOON (Warga Negara Malaysia) Kasus : Memiliki ekstasi dan sabu dalam ratusan ribu gram. Putusan : Vonis mati (19/4/2013). Sebelumnya PT Banten memvonis 12 tahun dan di PN Tangerang 20 tahun.2. ANANTA LIANGGARA ALIAS ALUNG Kasus : Kurir peredaran Psikotropika Putusan : 20 tahun penjara (21/10/2013) Sebelumnya divonis 1 tahun oleh PN Surabaya dan PT Jawa Timur

Jaksa Penuntut umum juga harus menuntut maksimal para Bandar Narkotika dan mengajukan banding jika putusan Hakim terlalu rendah.

PENDEKATAN SOSIAL DAN KESEHATAN BAGI PENGGUNA NARKOTIKA

Banyak pihak mengagap UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika gagal menjalankan fungsinya memberikan aturan mengenai narkotika di Indonesia, sehingga diperbaharui dengan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Banyak pihak yang berharap UU No 35 Tahun 2009 tetang Narkotika (UU Narkotika) memberikan peran lebih di bidang pendekatan kesehatan dan sosial bagi pengguna narkotika dan menjadikan pemidanaan sebagai sarana terakhir bagi pengguna narkotika. Harapan tersebut belum semuanya terpenuhi, karena UU Narkotika masih sangat tarik menarik melihat pengguna narkotika.

Di satu sisi UU Narkotika memiliki tujuan untuk memberikan jaminan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, namun dalam ketentuan di dalamnya jaminan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika digantikan oleh korban penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika. Jaminan rehabilitasi medis dan kesehatan bagi penyalahguna sangat tergantung terhadap keputusan oleh hakim yang memeriksa perkara pengguna narkotika, namun dalam prakteknya hal tersebut terbatas bila pengguna didakwa sebagai penyalahguna. UU Narkotika juga masih  kental dengan penggunaan pendekatan pemidanaan dengan unsur-unsur didalamnya yang tidak jelas membedakan antara Pengguna, Distributor, Bandar dan Produsen Narkotika. 

Sebagai contoh Pengguna narkotika karena kecanduaan harus membeli narkotika secara melawan hukum dan tanpa hak, kemudiaan narkotika tersebut dimiliki atau dikuasai, baru setelah itu digunakan untuk dirinya sendiri. Berbagai rangkaiaan tindakan untuk menyalahgunakan narkotika tersebut dapat dikenakan tiga pasal sekaligus yakni Pasal 127 dengan ancaman hukuman maksimum 4 tahun, Pasal 112 dengan ancaman hukuman minimum 4 tahun dan maksimum 12 tahun dan Pasal 114 dengan ancaman hukuman minimum 5 dan maksimum 20 tahun. 

Tingginya ancaman hukuman bagi pengguna narkotika dengan kurangnya pengaturan akses pendekatan kesehatan dan sosial melalui rehabilitasi bagi pengguna, mengakibatkan banyak pengguna narkotika yang harus dihukum tanpa diberikan akses kesehatan dan rehabilitasi. Upaya pendekatan pemidanaan tanpa memperhitungkan akses rehabilitasi medis dan sosial di dalamnya, tidak menyelesaikan permasalahan peredaran gelap narkotika, karena siklus akan terulang setelah pengguna keluar dari penjara.

Lebih parah, upaya pendekatan pemidanaan menimbulkan permasalahan beralih ke tempat-tenpat penahanan di mana akhirnya peredaran gelap narkotika di dalam tahanan semakin berkembang . Ditambah dengan beredarnya juga penyakit menular serta secara tidak langsung tempat penahanan menjadi kelebihan dari kemampuan daya tampung. 

BALAI BESAR REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BABESREHAB BNN )

Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Indonesia adalah sebuah tempat yang dikhususkan untuk merehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di Indonesia.[1] Rehabilitasi adalah jalan yang baik bagi proses penyembuhan korban penyalahgunaan narkoba.[1] Pusat rehabilitasi narkoba BNN terletak di Desa Wates Jaya, kecamatan Cigombong, Lido, Kab. Bogor. Balai Besar Rehabilitasi BNN diawali dengan Wisma Parmadi Siwi pada 31 Oktober 1974, yang diresmikan oleh ibu Tien Soeharto. Pada mulanya Wisma Parmadi Siwi bertujuan untuk mendidik tahanan anak nakal dan Pekerja Seks Komersial (PSK), kemudian pada tahun 1985, wisma ini menjadi tempat rehabilitasi bagi anak nakal dan korban narkoba. Pada tahun 2002, namanya berubah menjadi Unit Terapi dan Rehabilitasi (UPT T&R) BNN Lido, tujuannya menjadi tempat rehabilitasi para korban narkoba. Hingga belakangan ini, namanya berubah menjadi Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, disingkat Babesrehab BNN.

Pelaksanaan pelayanan di Babesrehab BNN bagi pecandu dan penyalahguna narkoba menggunakan sistem one stop center (pelayanan satu atap) terdiri dari pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam satu atap. Babesrehab ini memiliki struktur organisasi dan dipimpin oleh Ka. Babesrehab BNN. Pada pelayanan rehabilitasi sosial menggunakan metode Therapeutic Community (TC) dengan kapasitas daya tampung berjumlah 500 orang yang berlangsung selama 6 bulan

DI BABESREHAB, ADA BEBERAPA "RUMAH" (TEMPAT REHABILITASI) YANG DIKELOMPOKKAN SEBAGAI BERIKUT, YAKNI:  

Detoks, adalah rumah bagi pecandu yang baru memulai penanganan. Rumah Detoks terbagi menjadi dua, yakni untuk pria dan wanita. Di sini pecandu akan ditangani selama rata-rata 2 minggu.

Entry Unit, adalah rumah yang disinggahi pecandu yang sudah "dibersihkan" sebelumnya di rumah Detoks. Pada Entry Unit, setiap pecandu akan diberi pemahaman mengenai program yang sedang dan akan dijalaninya selama 6 bulan ke depan.

Green House, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki yang berusia kurang dari 35 tahun. Di sini para pecandu akan dilatih sikap, tingkah laku, dan kepribadiannya agar dapat diterima masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.

House of Hope, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki yang berusia di atas 30 tahun, atau pecandu yang sudah pernah keluar dari panti rehabilitasi sebelumnya. Berbeda dengan Green House, di rumah Hope pecandu akan diubah pola pikirnya agar tidak terikat pada narkoba dan diterima masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.

HoC (House of Change), rumah ini memiliki program yang sama dengan rumah Hope, namun dikhususkan untuk para pegawai negeri sipil atau pejabat negara, dan militer atau polisi. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.

Re-Entry, rumah ini adalah rumah terakhir dari keseluruhan program rehabilitasi di Babesrehab BNN. Di sini pecandu akan dipantau, dan diberi pelatihan/peningkatan keahlian serta juga perbaikan pola pikir agar dapat siap kembali ke masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 1 bulan.

Jadi Total Program normal adalah 6 bulan.

PELAYANAN YANG DIBERIKAN DI BABESREHAB

Rehabilitasi medis.Detoksifikasi, intoksifikasi, rawat jalan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan penunjang, penanganan penyakit dampak buruk narkoba, psikoterapi, penanganan dual diagnosis, Voluntary Counseling and Testing (VCT), seminar, terapi aktivitas kelompok, dan lain-lain.

Rehabilitasi sosial berbasis Therapeutic Community. Kegiatan yang ada didalamnya antara lain: konseling individu, static group, seminar, terapi kelompok, dan lain-lain.

Kegiatan kerohanian berupa bimbingan mental dan spiritual (BinTal).

Peningkatan kemampuan. Komputer, bahasa asing, multimedia (audio, video, radio), percetakan dan sablon, bengkel otomotif, salon kecantikan, kesenian, musik, tata boga, kerajinan tangan.

Terapi Keluarga (Family Support Group, Family Counseling). Terapi Psikologi (hypnotheraphy, individual counseling, psychotheraphy, evaluasi psikologi, psycho education).

Rekreasi (Family Outing, Static Outing). PERAWATAN INI TIDAK DIPUNGUT BIAYA / GRATIS

KESIMPULAN Jika dikaitkan dengan rasa keadilan, maka pendekatan kesehatan dan sosial lebih diutamakan bagi para pengguna narkotika baik ketika pengguna narkotika sedang menjalani proses peradilan maupun sebelum menjalani proses peradilan merupakan bentuk tanggung jawab Negara terhadap pemenuhan hak asasi manusia khususnya mendapatkan akses kesehatan dan sebagai wujud perlindungan hak tersangka dan terdakwa. Pemberiaan akses rehabilitasi juga sangat berperan dalam memutus mata rantai peredaran gelap narkotika serta mencegah penggunaan narkotika illegal di  tempat-tempat penahanan. Sayangnya sampai saat ini Pemerintah belum siap dalam mewujudkan pendekatan kesehatan dan sosial bagi pengguna narkotika yang sedang dalam proses peradilan. 

Memandang permasalahan pengguna narkotika bukan sebagai tindakan yang dapat dihapuskan dengan pemberian efek jera semata melalui pemidanaan saja, tanpa memperhatikan pendekatan kesehatan dan sosial. 

Melalui jajaran Kementerian dan sektor-sektor terkait yang berada di bawah Pemerintahan RI, mengeluarkan kebijakan-kebijakan dengan pendekatan sosial dan kesehatan bagi para pengguna narkotika.

Faktor- faktor lahirnya kebijakan pemerintah untuk merevisi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang- Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah ; faktor perundang-undangan (substance), faktor aparat penegak hukum (structure), dan budaya hukum masyarakat (legal culture) sebagai tiga komponen pokok dalam sistem hukum (legal system) yang satu sama lain saling melengkapi dan mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam masyarakat dimana masing- masing disesuaikan dengan perkembangan tindak pidana narkotika.

KESIMPULAN Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor

Narkotika; Karena perkembangan dan perubahan unsur kimia menjadi cela hukum bagi pengedar Narkotika untuk merubah komposisinya.

Harus ada upaya serius dari Pemerintah untuk MEMISKINKAN para Bandar atau Pengedar narkoba, karena disinyalir dan terbukti pada beberapa kasus penjualan narkoba untuk kegiatan pencucian uang (money laundring) dan digunakan untuk pendanaan teroris (Narco Terrorism). Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf b dan c UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dibawah pengawasan Lembaga Independent Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Ketegasan penegakan hukum adalah untuk memberantas jaringan narkotika sampai ke akar akarnya dan  untuk menimbulkan aspek jera bagi kriminal dan bagi yang coba coba menjadi Bandar. Sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai peredaran narkotika di Indonesia.

TERIMA KASIH