Jejak kelahiran filsafat komunikasi

28
JEJAK KELAHIRAN FILSAFAT KOMUNIKASI 1. Zaman Yunani Kuno Filsafat Yunani dimulai sejak abad ke-6 SM. Namun demikian, jauh sebelum filsafat lahir, bangsa Yunani telah mengenal mitos-mitos yang berkembang subur di tengah-tengah mereka. Mitos-mitos tersebut berfungsi sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau misteri alam semesta dan kehidupan yang dialami langsung oleh bangsa Yunani pada saat itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain mengenai asal-usul alam semesta, penyebab bencana (gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain), sebab-sebab gerhana, dan lain sebagainya. Salah satu contoh mitos yang paling terkenal adalah mengenai sebab-sebab terjadinya gempa bumi. Menurut bangsa Yunani pada saat itu, kejadian gempa bumi disebabkan oleh kemarahan dewa Poseidon (dewa penjaga bumi dan laut) yang ingin memberi hukuman kepada penghuni bumi (manusia) dengan cara menggoyang-goyangkan bumi. Mitos-mitos seperti itu merupakan upaya bangsa Yunani untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang misteri alam semesta. Filsafat Yunani yang pertama tidak lahir di tanah airnya sendiri, tapi lahir di Ionia (pesisir Barat Asia Kecil), sebuah daerah yang pernah menjadi koloni bangsa Yunani. Di Ionia inilah orang-orang Yunani mencapai kemajuan besar, menjadi masyarakat yang makmur dalam bidang ekonomi dan maju secara budaya. Kemakmuran tersebut banyak memberi

Transcript of Jejak kelahiran filsafat komunikasi

JEJAK KELAHIRAN FILSAFAT KOMUNIKASI

1. Zaman Yunani Kuno

Filsafat Yunani dimulai sejak abad ke-6 SM. Namun demikian,

jauh sebelum filsafat lahir, bangsa Yunani telah mengenal

mitos-mitos yang berkembang subur di tengah-tengah mereka.

Mitos-mitos tersebut berfungsi sebagai jawaban terhadap

pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau misteri alam

semesta dan kehidupan yang dialami langsung oleh bangsa Yunani

pada saat itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain

mengenai asal-usul alam semesta, penyebab bencana (gempa bumi,

gunung meletus, dan lain-lain), sebab-sebab gerhana, dan lain

sebagainya. Salah satu contoh mitos yang paling terkenal

adalah mengenai sebab-sebab terjadinya gempa bumi.

Menurut bangsa Yunani pada saat itu, kejadian gempa bumi

disebabkan oleh kemarahan dewa Poseidon (dewa penjaga bumi dan

laut) yang ingin memberi hukuman kepada penghuni bumi

(manusia) dengan cara menggoyang-goyangkan bumi. Mitos-mitos

seperti itu merupakan upaya bangsa Yunani untuk menemukan

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang misteri alam

semesta. Filsafat Yunani yang pertama tidak lahir di tanah

airnya sendiri, tapi lahir di Ionia (pesisir Barat Asia

Kecil), sebuah daerah yang pernah menjadi koloni bangsa

Yunani. Di Ionia inilah orang-orang Yunani mencapai kemajuan

besar, menjadi masyarakat yang makmur dalam bidang ekonomi dan

maju secara budaya. Kemakmuran tersebut banyak memberi

kesempatan kepada bangsa Yunani untuk berpikir dan membahas

hal-hal lain selain dari kepentingan penghidupan. Sejarah

filsafat Yunani diawali dengan zaman filsafat pra-Socrates

dengan tokohtokohnya yang dikenal dengan nama filsuf pertama

atau filsuf alam. Mereka mencari unsur induk (arcbe) yang

dianggap sebagai asal mula segala sesuaru. Para filsuf yang

terkenal pada masa ini di antaranya adalah Thales,

Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras, Xenophanes, Herakleitos,

Parmenides, Zeno, Empedokles, Anaxagoras, dan Demokritos.

1. Thales (±625-545 SM)

Nama Thales muncul atas penuturan sejarawan Hcrodotus

pada abad ke-5 SM. Thales adalah salah satu dari tujuh

orang bijaksana (seven wise mm ofgvece). Salah satu

jasanya yang besar adalah meramal gerhana matahari pada

tahun 585 SM. Thales mengembangkan filsafat alam yang

mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur

komposisi alam semesta. Sebagai ilmuwan pada masa itu,

Thales mempelajari magnetisme danlis-u ik yang merupakan

pokok soal fisika. Thales merupakan ahli matematika yang

pertama dan juga sebagai the father of deductive reasoning (bapak

penalaran deduktif).

2. Anaximandros(±610-540SM)

Anaximandros adalah salah satu murid Thales. Ia adalah

orang pertama yang mengarang suatu traktat dalam

kesusateraan Yunani dan berjasa dalam bidang astronomi

dan geografi. Anaximandros adalah orang pertama yang

membuat peta bumi. Sama halnya dengan sang guru,

Anaximan-dros juga ingin mencari asal dari segalanya. Ia

tidak menerima begitu saja apa yang dipahami oleh

gurunya. Ia beranggapan jika yang asal itu satu, namun

yang satu itu bukan air atau sesuatu yang dapat diamati

oleh panca indera. Menurutnya, segala sesuatu itu berasal

dari toapeiron, yang bisa diartikan tidak terhingga,

tidak terbatas, atau tidak tersusun.

3. Anaximenes (+ 538 - 480 SM)

Anaximenes berpendapat bahwa udara merupakan asal usul

segala sesuatu. Udara melahirkan semua benda dalam alam

semesta karena suatu proses pemadatan dan pengenceran.

Jika udara semakin bertambah maka muncullah berturut-

turut angin, air, tanah dan akhirnya batu. Sebaliknya,

jika udara menjadi encer maka yang timbul adalah api.

4. Pythagoras (± 580 - + 500 SM)

Pythagoras dilahirkan di Pulau Samos, Ionia. Tanggal dan

tahunnya tidak diketahui secara pasti. Ia dikenal sebagai

filsuf dan ahli ukur Ia mengembalikan segala sesuatu

kepada bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan

bilangan (kuantitas). Karena itu, ia berpendapat bahwa

bilangan adalah unsur pertama dari alam dan sekaligus

menjadi ukuran. Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan

bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan

gabungan antara dua hal yang berlawanan.

5. Xenophanes (± 570 - + 480 SM)

Xenophanes adalah seorang filsuf yang hidup sezaman

dengan Anaxago-ras dan Pythagoras. Xenophanes mencoba

melihat kesatuan sebagai asas dari setiap kenyataan yang

ada. Ia dengan tegas menolak politeisme, menentang orang-

orang yang menyamakan "yang ilahi" dengan manusia yang

dilahirkan, yang berpakaian, dan lainlain. Bagi

Xenophanes, "yang ilahi" itu tiada awalnya; "yang ilahi"

itu bersifat kekal, esa, dan universal.

6. Herakleitos (±540 - 475 SM)

Herakleitos hidup antara tahun 540-480 SM. Ia dilahirkan

di Ephcsos dari kalangan aristokrat. Herakleitos memiliki

watak yang tidak kenal kompromi dan sangat ekstrem dalam

menentang demokrasi. Herakleitos terkenal sangat bebas

dalam mengemukakan pendapatnya. Herakleitos sangat

terpengaruh oleh kenyataan bahwa alam mengalami perubahan

yang terus menerus, sehingga terjadilah pluralitas dalam

alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun di

alam ini yang bersifat permanen. Apa yang terlihat tetap

sebenarnya tengah mengalami proses pembahan yang tanpa

henti. Ia juga berkeyakinan bahwa api adalah elemen utama

dari segala sesuatu yang timbul.

7. Parmenides (± 540 - + 475 SM)

Parmenides lahir tahun 540 SM. Ia adalah seorang ahli

pikir yang melebihi siapa saja pada masanya. Filsafatnya

adalah "yang realitas dalam alam ini hanya satu, tidak

bergerak dan tidak berubah". Dasar pernikirannya adalah

bahwa yang ada itu ada, mustahil tidak ada. Pembahan dari

ada menjadi tidak ada adalah hal yang mustahil, dan

begitu pun sebaliknya.

8. Zeno(±490SM)

Zeno adalah murid dari Parmenides, yang mencoba

membuktikan bahwa gerak adalah suatu khayalan, dan baliwa

tiada kejamakan dan tiada ruang kosong. Untuk membuktikan

tiada ruang kosong, Zeno mengemukakan bahwa seandainya

ada ruang kosong, ruang kosong im tentu mengambil tempat

dalam ruang yang lain, dan ruang yang lain itu mengambil

tempatnya lagi dalam ruang yang lainnya. Demikian

seterusnya, tiada henti-hentinya. Oleh karena hal yang

demikian itu tidak mungkin, maka harus disimpulkan bahwa

tidak ada ruang kosong.

9. Empedokles(492-432SM)

Empedokles setuju dengan pendapat Parmenides, bahwa di

dalam alam semesta tiada satu pun yang dilahirkan sebagai

hal yang baru dan dapat dibinisakan sehingga tiada lagi.

Ia juga setuju dengan Parmenides bahwa tiada ruang kosong

Namun demikian, ia menentang pendapat Parmenides yang

menyatakan bahwa kesaksian indera adalah palsu. Baginya,

segala yang ada terdiri dari empat anasir : air, udara,

api dan tanah. Keempat anasir tersebut mempunyai kualitas

yang sama, yaitu tidak berubah. Perbedaan-perbedaan yang

ada di antara benda-benda disebabkan campuran atau

penggabungan dari keempat anasir tersebut berbeda-beda.

10. Anaxagoras (499-420 SM)

Seperti halnya Empedokles, Anaxagoras juga menolak ajaran

Parmenides. Menurut Anaxagoras, kenyataan bukanlah satu,

sebab kenyataan terdiri dari banyak anasir, masing-masing

memiliki kualitas yang sama dengan kualitas "yang ada",

yaitu: tidak dijadikan, tidak berubah, dan berada di

ruang yang kosong Pokok terpenting dalam ajaran

Anaxagoras adalah teorinya tentang nous (roh, rasio),

yang membedakan antara roh (nous) dan benda. Baginya, roh

adalah yang terhalus dan tersempurna dari segala sesuatu.

11. Demokritos (+460-370 SM)

Demokritos lahir di Abdera, daerah pesisir di Yunani

Utara. Demokritos dipandang sebagai seorang ahli pikir

yang menguasai banyak bidang Dari karyakaryanya, ia telah

mewariskan sebanyak 70 karangan tentang beragam

persoalan, seperti kosmologi, matematika, astronomi,

logika, etika, teknik, musik, puisi dan lain sebagainya.

Menurut Demokritos, atom-atom itu selalu bergerak dan itu

berarti harus ada ruang kosong. Karena satu atom hanya

dapat bergerak dan menduduki satu tempat saja. Dengan

demikian, Demokritos berpendapat bahwa realitas itu ada

dua: atom itu sendiri (yang penuh) dan mang tempat atom

bergerak (yang kosong).

Demikianlah pokok pemikiran para filsuf alam yang berusaha

mencari unsur induk (arebe) yang dianggap sebagai asal muk dari

segala sesuatu. Periode filsafat Yunani yang selanjurnya adakh

masa keemasan dari filsafat Yunani yang dikenal sebagai Zaman

Yunani Klasik. Pada masa ini, kecenderungan pemikiran filsafat

yang berkembang lebih ditujukan kepada manusia (antroposentris).

Para filsuf yang mewarnai zaman keemasan filsafat Yunani ini

adalah : Socrates, yang mengembangkan teori moral; Plato, yang

mengembangkan teori tentang ide; dan Aristoteles, yang

mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda.

1. Socrates (470-400 SM)

Socrates mengarahkan kajian-kajian filsafat yang semula

sangat abstrak dan jauh dari praksis kehidupan seharis-hari

menjadi lebih praktis dan kongkrit. Oleh Socrates filsafat

diarahkan pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan

pengalaman hidup sehari-hari, baik dalam konteks individu

(psikologis), sosial, maupun politik. Menurut Socrates,

kebenaran bukanlah sesuatu yang bersifat subyektif dan

rektif. Seseorang dapat menangkap adanya kebenaran obyektif

yang tidak tergantung pada individu yang memikirkan atau

menggapainya. Dalam kehidupan sehari-hari, ada perilaku yang

baik dan tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas untuk

dilakukan. Penentuan baik dan buruk, pantas dan tidak

pantas, tidak terletak pada kekuatan argumentasi orang

perorang, melainkan pada sesuatu yang sifatnya universal.

Berbuat jahat di mana pun adalah buruk, sedangkan berbuat

baik pasti merupakan kebaikan. Kebaikan bukan saja akan

membawa kebahagiaan pada pelakunya, tetapi juga karena dalam

dirinya memang baik. Socrates menyampaikan ajaran-ajarannya

dengan metode dialektika, yaitu metode pencarian kebenaran

secara ilmiah melalui percakapan dan dialog. Socrates selalu

bertanya-tanya: Apakah itu salah atau tidak salah? Apakah

itu adil atau tidak adil? Apakah itu pemberani atau tidak

berani? Demikian seterusnya. Socrates berpendapat jawaban

pertama dari pertanyaan itu adalah hipotesis, dan dengan

pertanyaanpertanyaan berikutnya ia menarik segala

konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban itu.

Socrates juga meramalkan masa depan yang ideal dari negara

yang sempurna, yaitu republik yang diperintah oleh para

filsuf. Filsafat Socrates banyak membahas masalah etika.

Socrates beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan

bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan jiwa.

Prasyarat utama di dalam hidup manusia adalah kesehatan

jiwa. Jiwa manusia harus sehat terlebih dulu agar tujuan-

tujuan hidup yang lainnya (dan lebih utama) dapat diraih.

Tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagiaan

(eudaimonia). Namun, kebahagiaan dalam bahasa Yunani

memiliki pengertian yang berbeda dengan arti kebahagiaan

pada masa sekarang yaitu mencari kesenangan. Kebahagiaan

dalam bahasa Yunani berarti kesempurnaan. Dalam konteks

kebahagiaan di atas, Plato dan Aristoteles setuju dengan

pendapat Socrates bahwa eudaimonia merupakan tujuan utama

kehidupan. Jalan atau cara yang utama untuk mencapai

kebahagiaan adalah dengan melakukan kebajikan (arete).

Dengan demikian, orang yang bajik adalah orang yang mampu

hidup bahagia.

2. Plato (428-348 SM)

Plato adalah pengikut Socrates yang taat di antara para

pengikut Socrates yang lainnya. Selain dikenal sebagai ahli

pikir, Plato juga dikenal sebagai sastrawan. Ia lahir di

Athena, dengan nama asli Aristocles. Semenjak kanak-kanak

Plato telah mengenal Socrates yang kemudian menjadi gurunya

selamanya 8 tahun Filsafat Plato dikenal sebagai idealisme,

karena meyakini bahwa kenyataan itu tidak lain adalah

proyeksi atau bayang-bayang dari dunia "ide" yang abadi.

Oleh karena itu, bagi Plato, yang ada dan nyata adalah "ide"

itu sendiri. Bagi Plato, ide bukanlah gagasan yang hanya

terdapat di dalam pikiran saja, yang bersifat subyektif. Ide

ini bukan gagasan yang dibuat manusia atau yang ditemukan,

sebab ide ini bersifat obyektif, yang artinya berdiri

sendiri, lepas daripada subyek yang berpikir, tidak

tergantung kepada pemikiran manusia; justru sebaliknya,

idelah yangmemimpin pikiran manusia, Namun demikian, ide ini

tidak dapat diungkapkan secara sempurna pada tiap manusia.

Segala sesuatu yang diketahui melalui pengamatan yang

beraneka ragam dan serba berubah itu adalah pengungkapan

ide-idenya, yang adalah gambar aslinya, atau pola aslinya.

Dengan demikian, filsafat Plato adalah suatu usaha untuk

menjembatani pertentangan yang terdapat di antara para

filsuf terdahulu dengan mencoba keluar dari pemilihan yang

sulit yang dihadapi oleh Herakleitos dan Parmenides, yaitu

dengan memberi bentuk tersendiri kepada hal-hal yang berubah

dan tidak berubah, dan jembatan tersebut terdapat di dalam

ajarannya tentang ide. Dengan demikian, Plato menganjurkan

agar manusia menggunakan rasionya untuk menemukan kebenaran.

Keyakinannya pada keberadaan jiwa dan ide membawa Plato pada

penyusunan metode dalam mendapatkan pengetahuan

(epistemologi). Plato mengembangkan metode deduktif, yaitu

suatu cara berpikir yang dimulai dari premis-premis umum

atau mayor untuk kemudian diperoleh kesimpulan-kesimpulan

yang lebih khusus atau kesimpulan-kesimpulan yang tidak

melampaui premis-premis mayornya. Dalam karyanya yang paling

terkenal yaitu Republic, Plato mengemukakan pemikirannya

tentang negara ideal (utopis) yang dipimpin oleh para filsuf

sebagai raja. Pemimpin negara ideal ini bercirikan: cerdas,

rasional, mampu mengendalikan diri dalam berbagai situasi,

mampu membuat keputusan yang adil bagi semua warga negara,

dan tentu saja cinta pada kebijaksanaan. Karena sifat-

sifatnya tersebut, sang raja yang sekaligus filsuf ini

menempati kelas atas dalam pemerintahan. Kelas berikutnya

adalah kelas prajurit (mrriors). Mereka adalah kelas yang

sangat pemberani, kuat dan terorganisir. Kelas selanjutnya

adalah kelas pekerja (workers), di antaranya adalah para

petani, pedagang, peternak, dan lain sebagainya.

3. Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, pada tahun

384 SM. Pada usia 17 tahun, Aristoteles clikirim ke Athena

untuk belajar di Academia Plato. Di sana, ia belajar di

bawah bimbingan Plato selama kurang lebih 20 tahun lamanya

hingga Plato meninggal. Aristoteles juga sempat mengajar

logika dan retorika di Academia selama beberapa waktu.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles berpendapat bahwa "ide"

tidak terletak dalam dunia "abadi" sebagaimana yang

dikemukakan Plato, tetapi justru terletak pada

kenyataan/benda-benda itu sendiri. Aristoteles sendiri telah

menulis banyak bidang pengetahuan yang meliputi logika,

etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.

Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak

memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Hasil-

hasil pemikiran Aristoteles dapat dikelompokkan menjadi

delapan bagian yang mencakup: logika, filsafat alam,

psikologi, biologi, metafisika, etika, politik dan ekonomi,

retorika dan poctika. Selain mengembangkan cara berpikir

deduktif, Aristoteles juga me-ngembangkan cara berpikir atau

metode berpikir induktif. Berbeda dengan metode deduktif,

metode induktif dimulai dari pengamatan-pengamatan empiris

dan ditarik kesimpulan yang isinya melampaui obyek-obyek

yang diamati. Dengan demikian, dalam metode induktif ada

proses generalisasi, yaitu menarik kesimpulan yang lebih

umum daripada obyekobyek yang diamatinya. Melalui metode ini

Aristoteles mengembangkan sejumlah kajian yang menjadi

cikal-bakal sejumlah ilmu pengetahuan modern, misalnya

biologi, geologia, fisika, astronomi, dan lain sebagainya.

Dalam filsafat Aristoteles, etika mendapat tempat yang

khusus dan tersendiri. Hukum-hukumnya bukan diarahkan pada

suatu cita-cita yang kekal, mutlak dan tanpa syarat di dalam

dunia yang mengatasi penginderaan manusia, tetapi diarahkan

ke dunia. Hukum-hukum kesusilaan ditiirunkan dari pengamatan

perbuatan-perbuatan kesusilaan dan dari pengalaman angkatan

yang susul-menyusul. Tujuan tertinggi yang ingin dicapai

adalah "kebahagiaan" (eudamonia). Kebahagiaan ini bukan

kebahagiaan yang subyektif namun suatu keadaan yang

sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang termasuk

keadaan bahagia itu terdapat pada manusia.

2. Abad Pertengahan

Filsafat pada Abad Pertengahan memiliki corak pemikiran yang

berbeda dengan filsafat yang berkembang di Yunani. Filsafat

pada Abad Pertengahan didominasi oleh pemikiran keagamaan

(Kristiani). Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan

atas dogma agama, sehingga corak pemikiran filsafatnya

bersifat teosentris. Pada masa ini, dapat dikatakan bahwa

era filsafat yang berlandaskan pada akal-budi "diabdikan"

untuk dogma agama. Filsafat yang baru ini disebut Skolastik,

(dari bahasa Latin "scbo/asticus" yang berarti guru) karena

dalam periode ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah

biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum

yang baku dan bersifat internasional Adapun pokok ajaran

kaum skolastik adalah adanya keterkaitan (hubungan) antara

iman dengan akal budi, hakikat tuhan, etika, dan politik.

Masa skolastik mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-I 3.

Salah satu filsuf yang pemikirannya memberi corak tersendiri

pada masa ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274), yang

berpendapat bahwa pembuktian tentang adanya Tuhan hanya

dapat dilakukan secara aposteriori. Dalam hal ini, Thomas

Aquinas mengajukan lima argumen sebagai dasar pembuktian

keberadaan Tuhan:

a. Argumen Pertama : Gerak Tidak ada sesuatu pun yang mampu

bergerak dengan senelirinya. Sesuatu yang bergerak

dipastikan memiliki sesuatu yang menggerakkan. Sesuatu yang

menggerakkan pasti juga mempunyai penggerak, dan demikian

seterusnya. Namun, ada akhir dari penyebab yang menggerakkan

itu. Penyebab yang menggerakkan semua itu disebut Penggerak

Pertama. Penggerak Pertama itu harus berupa kekuatan yang

maha besar, jadi pasti bukan manusia atau mahluk serupa

manusia. Penggerak Pertama itu adalah Tuhan.

b. Argumen Kedua : Sebab-Akibat Tidak ada sesuatu pun yang

eksistensinya disebabkan oleh dirinya sendiri. Tidak mungkin

sesuatu menjadi sebab sekaligus akibat bagi eksistensinya

sendiri. Suatu kejadian adalah akibat dari suatu penyebab

dan penyebab itu pun merupakan akibat dari penyebab-penyebab

Lainnya. Demikian seterusnya sampai ditemukan penyebab awal.

Jika tidak ada penyebab awal, tidak akan terjadi rangkaian

akibat sesudahnya. Atau, rangkaian kejadian tersebut tidak

mungkin tanpa penyebab awal. Penyebab awal itu adalah Tuhan.

c. Argumen Ketiga : Ada dan Tiada Segala sesuatu yang

terdapat dalam alam semesta ini datang dan pergi, lahir dan

mati, ada dan tiada. Sesuatu yang bisa ada dan tiada berarti

ada di dalam waktu, terkena arus waktu, jadi tidak mungkin

selamanya ada. Dengan begitu, ada masa di mana alam semesta

ini belum ada. Keberadaan alam semesta dengan demikian

bersifat kontingen (contingent being). Sangat tidak masuk

akal jika ketika alam semesta ini belum ada, belum ada

sesuatu yang niscaya ada. Dipastikan bahwa ada sesuatu yang

niscaya ada sepanjang masa. Sesuatu yang niscaya ada itu

adalah Tuhan.

d. Argumen Keempat: Kelas Kualitas ada beragam kualitas yang

melekat pada suatu obyek, mulai dari kualitas yang lebih

baik sampai pada kualitas yang lebih buruk. Penilaian

kualitas tersebut membutuhkan acuan yang paling absolut dan

sempurna. Acuan paling absolut dan sempurna itu tidak lain

adalah Tuhan.

e. Argumen Kelima : Keteraturan Perencanaan Alam semesta

berjalan secara teratur dan keteraturan itu pasti bukan

sesuam yang kebetulan. Keteraturan itu geraknya mengikuti

suatu pola, berjalan seperti sebuah anak panah menuju tujuan

tertentu yang dikehendaki pemanahnya. Pemanahnya itu adalah

Tuhan.

Meskipun pada masa ini filsafat masih dikaitkan dengan

teologi, namun filsafat sudah menemukan tingkat kemandirian

dalam hal tertentu. Penyebabnya adalah dibukanya

universitas-universitas baru, berkembangnya ordo-ordo baru,

dan disebariuaskannya karyakarya filsafat yunani. Sementara

itu, di kalangan ahli pikir Islam, pada Abad Pertengahan ini

muncul pemikir-pemikir Islam kenamaan seperti Al-Kindi, Al-

Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn

Rusyd. Periode ini berlangsung pada tahun 850-1200 M, dimana

pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu

pengetahuan berkembang pesat sampai runtuhnya kerajaan Islam

di Granada (Spanyol) pada tahun 1492.

3. Zaman Renaissance (Masa Peralihan)

Renaissance dianggap sebagai masa peralihan dari Abad

Pertengahan ke Zaman Modem. Kebudayaan Renaissance pada

mulanya berkembang di Italia ak ibat kemaj uari dalam bidang

perdagangan dan pelayaran. Kota-kota bandar di Ttalia

seperti Genua dan Venesia, menjadi pusat monopoli dari

perdagangan antara Timur dan Barat. Hubungan antara Timur

dan Barat menambah luasnya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan

dan filsafat Islam di Eropa Barat.

Kekuasaan kota-kota jatuh ke tangan para bankir dan

pemilik uang; kedudukan para bankir dan pemilik uang ini

seringkali memberi manfaat bagi perkembangan kesenian.

Selain itu, berkembang pula kesadaran nasional dan arti

kewarganegaraan. Dari Italia, gerakan Renaissance ini

kemudian melebarkan sayapnya ke Perancis, Belanda, Inggris,

dan akhirnya Jerman.

Kata Renaissance sendiri berarti Kelahiran Kembali.

Secara historis, Renaissance adalah suatu gerakan yang

meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya telah

dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran

kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni

bagi pengetahuan dan keindahan. Dalam Zaman Renaissance ini

dunia diterima seperti apa adanya, sebab orang merasa

kerasan (athome) di dunia dan menghargai sekali kepada hal-

hal yang baik dari kehidupan ini. Hal ini diperkuat lagi

dengan banyaknya penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan

penemuan-penemuan benua baru, yang mengakibatkan timbulnya

pikiran-pikiran baru di segala bidang kehidupan.

Pada zaman ini, lahir suatu gerakan intelektual dan

kesusasteraan yang bermula di Italia dan kemudian menyebar

ke segenap penjuru Eropa. Gerakan yang dimaksud adalah

humanisme. Gerakan kaum humanis ini bertujuan untuk

melepaskan diri dari belenggu kekuasaan gereja dan

membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat.

Melalui pendidikan liberal, kaum humanis mengajarkan bahwa

manusia pada prinsipnya adalah mahluk bebas dan berkuasa

penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya.

Meskipun kebebasan merupakan tema terpenting dari

humanisme, tetapi kebebasan yang diperjuangkan bukan

kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagai antitesis

dari determinisme abad pertengahan. Kebebasan yang

diperjuangkan kaum humanis adalah kebebasan yang berkarakter

manusiawi, yaitu kebebasan manusia dalam batas-batas alam,

sejarah dan masyarakat. Istilah "humanisme" sendiri berasal

dari bahasa Latin humanitas (pendidikan manusia) yang di

dalam bahasa Yunani disebut paideia, yaitu pendidikan yang

didukung oleh manusiamanusia yang hendak menempatkan seni

liberal sebagai materi atau sarana utamanya.

Alasan utama seni liberal dijadikan sebagai sarana

terpenting dalam pendidikan pada waktu itu (disamping

retorika, sejarah, etika dan politik) adalah kenyataan bahwa

hanya dengan seni liberal manusia akan tergugah untuk

menjadi manusia, menjadi mahluk bebas yang tidak terkungkung

oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Mereka percaya bahwa

hanya dengan seni liberal manusia dapat dibangunkan dari

tidurnya yang sangat panjang pada Abad Pertengahan.

Model pendidikan ini adalah model pendidikan yang

didorong oleh semangat zaman antik (Yunani Kuno), yang

ditandai adanya kehidupan demokratis, yang pada Abad

Pertengahan dianggap sebagai semangat kaum kafir. Pada zaman

antik, ldaim atas otonomi manusia dijunjung tinggi, dan

dalam batas-batas tertentu manusia mempunyai kewenangan

sendiri dalam keterlibatannya dengan alam dan dalam

penentuan arah sejarah manusia. Sementara itu, dalam bidang

filsafat muncul kecenderungan untuk menggali akar-akar

pengetahuan (epistemologi).

Berkembangnya ilmu-ilmu alam (filsafat alam) mendorong

para filsuf untuk mempertanyakan tentang apakah sebetulnya

pengetahuan itu? Dari mana sebetulnya sumber pengetahuan?

Apakah pengetahuan berasal dari pengalaman atau dari rasio

manusia? pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam perkembangan

selanjurnya memunculkan aliran-aliran seperti rasionalisme

dan empirisme. Adapun para filsuf yang memberi sumbangan

berharga bagi perkembangan ilmu-ilmu alam pada Zaman Re-

naissance ini adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543),

Johanes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), dan

Francis Bacon (1561-1626).

Namun demikian, berkembangnya ilmu-ilmu alam pun

mendorong para filsuf untuk bertanya tentang hakikat

manusia. Apakah manusia itu berupa materi (alam fisik) atau

berupa jiwa? Apakah proses kimiawi dan gerak mekanis yang

terjadi pada alam juga terjadi dalam diri manusia? Atau

manusia adalah pengecualian, sehingga tidak bisa dikenai

proses kimiawi dan mekanis seperti itu? Pertanyaan-

pertanyaan tersebut menimbulkan beragam jawaban.

Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya

adalah materi, jadi tidak berbeda dari materi-materi lain

yang ada dalam alam semesta. Sebaliknya, idealisme

mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya bukan materi,

melainkan jiwa yang merupakan intisari manusia, sehingga

semua gerak-gerik badan manusia adalah bersumber dari

kekuatan yang bersifat rohani, yaitu Yang Ilahi dan jiwa

manusia.

4. Zaman Modern

Meskipun terdapat perubahan-perubahan yang begitu

asasi, Zaman Renaissance (abad ke-14 M sampai ke-I 6 M)

tidaklah secara langsung menjadi tanah subur bagi

pertumbuhan filsafat. Baru di abad ke-17 daya hidup yang

kuat, yang telah timbul pada Zaman Renaissance mendapatkan

pengungkapannya yang serasi dalam bidang filsafat Dengan

demikian, berbagai peristiwa yang terjadi pada abad ke-15

dan ke-I 6 merupakan tahap persiapan bagi pembentukan

filsafat modem pada abad ke-17 yang diawali Descartes (1597-

1650), yang ingin menunjukkan kepada manusia jalan menuju

suatu kepastian.

Obsesi Descartes adalah menjawab pertanyaan tentang

bagaimana ilmu-ilmu nonmatematik dapat memiliki kepastian

yang sama dengan hasil-hasil yang diraih oleh geometri

analitis. Jawaban Descartes adalah: dengan menerapkan cara

berpikir geometrispada seluruh bidangpengetahuan, tanpa

terkecuali. Cara seperti ini, menurut Descartes, bisa

diterapkan pada ilmu-ilmu lainnya diluar geometri, yang

dimulai dari data-data yang jelas, tegas dan tidak bisa

diragukan lagi. Bagi Descartes, jalan menuju kepastianitu

adalah dengan meragukan segala hal, dan kemudian mengambil

sebagai aksioma apa pun yang terbukti tidak dapat

(diragukan. Bagi Descartes, hanya ada satu hal yang tidak

dapat diragukan. Mengenai satu hal ini tidak ada seorang pun

yang dapat menipu, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan

segala sesuam). Aku ragu-ragu, atau aku berpikiran oleh

karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sutn). Inilah

pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang

pertama (primumphihsophicum).

Dalam membangun filsafatnya, Descartes membuat

pertanyaanpertanyaan sebagai patokan dalam menentukan

kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Descartes adalah:

a) Apakah mungkin memperoleh suatu pengetahuan yang benar?

b) Metode apa yang digunakan untuk mencapai pengetahuan

pertama?

c) Bagaimana memperoleh pengetahuan-pengetaliuan yang

selanjutnya?

d) Apa tolak ukur kebenaran pengetahuan?

Selanjutnya, untuk mendapat pengetahuan yang pasti dan

jelas, Descartes mengajukan empat prinsip berikut ini:

a. Jangan pernah menerima ide sebagai hal yang benar,

kecuali ide yang diyakini kebenarannya itu sudah tidak

dapat diragukan lagi.

b. Untuk mencapai kesimpulan yang pasti, pilah-pilahlah

suatu persoalan menjadi bagian-bagian kecil dan

sederhana, lalu ujilah tiap-tiap bagian tersebut secara

hati-hati dan menyeluruh.

c. Pengujian dilakukan dari bagian paling sederhana sampai

bagian paling kompleks secara bertahap; jangan pernah

melompati satu tahapan pun dalam pengerjaannya.

d. Catatlah secara detil dan menyeluruh setiap hasil

pengujian tersebut dan jangan sampai ada yang terlewat

atau tercecer sedikit pun.

Selain Descartes, dua filsuf lainnya yang turut memberi

sumbangan bagi perkembangan aliran rasionalisme adalah

Blaise Pascal (1623-1662) dan Baruch Spinoza (1632-1677).

Sementara itu, para pemikir di Inggris seperti Thomas

Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704), bergerak ke

arah berbeda dengan tema yang dirintis Descartes. Mereka

lebih memilih mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran

empirisme, yang memberi tekanan pada pengalaman sebagai

sumber pengetahuan. John Locke berkeyakinan bahwa semua

pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman dan alat-

alat indera (penglihatan, penciuman, peraba, dan lain

sebagainya) merupakan pinta masuk bagi pengalaman tersebut

Menurut Locke, semua pengetahuan manusia pada dasarnya

merupakan ide-ide yang disajikan pikiran manusia melalui

pengalaman yang pernah dialaminya. Ada dua tingkatan ide,

yaitu yang sederhana dan yang kompleks.

Ide-ide sederhana adalah berupa ide-ide yang langsung

diperoleh melalui indera, seperti warna merah, rasa manis,

bau harum, suara merdu, dan lain sebagainya. Sedangkan ide-

ide yang kompleks adalah ide-ide hasil penggabungan dari dua

atau lebih ide-ide yang sederhana yang diolah oleh pikiran.

Misalnya konsep kuda, kursi, binatang, manusia, lakilaki,

perempuan, dan lain sebagainya. Ide-ide kompleks pun tidak

selalu harus nyata. Contohnya adalah kuda terbang, yang

merupakan gabungan antara kuda dan hewan lain yang punya

sayap.

Memasuki abad ke-18, dimulailah suatu zaman baru yang

berakar pada Renaissance serta yang mewujudkan buah pahit

rasionalisme dan empirisme. Abad ke-I 8 disebut juga Zaman

Pencerahan (Aufklarung). Menurut Immanuel Kant, Zaman

Pencerahan adalah zaman dimana manusia keluar dari keadaan

tidak akil balik, yang disebabkan karena kesalahan manusia

sendiri. Kesalahan itu adalah akibat dari keengganan manusia

menggunakan akalnya. Dahulu, filsafat mewujudkan suatu

pemikiran yang hanya menjadi hak istimewa beberapa ahli

saja, tetapi sekarang orang berpendapat, bahwa seluruh umat

manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran

filsafat Gerakan Zaman Pencerahan sendiri berasal dari

Inggris. Hal ini disebabkan karena pada akhir abad ke-17 di

Inggris berkembang suatu tata negara yang liberal. Dari

Inggris, gerakan ini dibawa ke Perancis dan dari sana

tersebar ke seluruh Eropa.

Tokoh-tokoh yang terkenal sebagai ahli pikir di Zaman

Pencerahan ini di antaranya adalah: George Berkeley dan

David Hume (keduanya dari Inggris), Voltaire danjean Jacques

Rousseau (keduanya dari Perancis), dan Immanuel Kant

(Jerman). Tradisi empirisme yang telah dibangun oleh Thomas

Hobbes dan John Locke pada abad ke-17 kemudian dilanjutkan

oleh George Berkeley. Namun demikian, kesimpulan-kesimpulan

yang diajukan oleh Berkeley lebih tajam dan bahkan saling

bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan Locke.

Pemikiran Locke dan Berkeley kemudian dilanjutkan oleh

filsuf Zaman Pencerahan lainnya, yaitu David Ilume (1711 -

1776), yang corak pemikirannya cenderung analitis, kritis

dan skeptis. Pendapat yang diajukan oleh Ilume berpangkal

pada keyakinan bahwa hanya kesan-kesan yang dapat bersifat

pasti, jelas, dan tidak dapat diragukan. Hume sampai pada

kesimpulan bahwa dunia hanya terdiri dari kesan-kesan yang

terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara obyektif dan

sistematis, karena di antara kesan-kesan itu tidak ditemukan

hubungan sebab-akibat.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertentangan tajam

antara rasionalisme dan empirisme didamaikan oleh Immanuel

Kant Pertentangan tersebut mendorong Kant untuk memikirkan

unsur-unsur mana di dalam pemikiran manusia yang berasal

dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang telah terdapat di

dalam akal manusia. Kant bermaksud membedakan antara

pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tidak

mengandung kepastian. Kant ingin membersihkan pengenalan

dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat

sementara. Dengan demikian, filsafatnya dimaksudkan sebagai

sintetis apriori, (a) Pengetahuan yang analitis aposteriori,

dan (b) Pengetahuan yang sintetis aposteriori.

Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang tidak

tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum

pengalaman. Pengetahuan aposterioriterjadi sebagai akibat

adanya pengalaman. Pengetahuan analitis merupakan hasil

analisa, sementara pengetahuan sintetis merupakan hasil

keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah.

Memasuki abad ke-19, filsafat menjadi terpecah-pecah

menjadi filsafat Jerman, filsafat Perancis, filsafat

Inggris, filsafat Amerika dan filsafat Rus-sia. Selain itu,

pada masa ini ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang

pesat, terutama di bidang geologi, biologi dan kimia

organis. Selain itu, kehadiran mesin-mesin produksi

findustrialisasi) telah mengubah struktur masyarakat dan

memberikan kepada manusia suatu konsepsi baru mengenai kuasa

dalam hubungannya dengan alam semesta. Dalam ranah

pcrnikiran, jika di abad ke-I 7 dikuasai pemikiran Galileo

dan Newton, maka abad ke-19 dipengamhi secara signifikan

oleh Charies Darwin. Beberapa aliran filsafat yang turut

memberi warna pada abad ini di antaranya Idealisme (J.C.

Fiehte, F.WJ. Schelling, dan G.WF. Hegel), Positivisme

(Auguste Comte, John Stuart Mill, dan Herbert Spencer),

Materialisme (LudwigFeurbach dan Kari Marx), dan

Eksistensialisme (Soren Kierkegaard dan Friedrich

Nietzsche).

5. Zaman Kontemporer

Filsafat kontemporer, yang diawali pada awal abad ke-

20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat

beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan

Etika dan Filsafat Komunikasi 23 (antara lain,

postmodemisme), kritik sosial, metodologi (fenomenologi,

hermeneutika, strukturalisme), filsafat hidup

(eksistensialisme), filsafatilmu, sampai filsafat tentang

perempuan (feminisme).

Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf

dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa

manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan

struktur yang mengungkung hidup manusia, dan isu-isu aktual

yang berkaitan dengan budaya, sosial, politik, ekonomi,

teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.

Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh

profesionalisasi disiplin filsafat Maksudnya, para filsuf

bukan hanya profesional di bidangnya masing penyadaran atas

kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan

batas-batas kemampuannya. Kant membagi realitas ke dalam dua

bagian, yaitu dunia fenomenal (phertomnon, atau dunia

sebagaimana menampakkan diri pada pengamat) dan dunia

noumenal (noumenon, atau dunia yang sesungguhnya, yang

berada di dalam diri realitas itu sendiri). Meskipun dunia

noumenal itu ada, tetapi keberadaannya di luar pengetahuan

manusia dan tidak dapat dijangkau. Kant memberinya nama

Ding-an-sich (ada-dalam-dirinya-sendiri).

Pengetahuan manusia terbatas hanya pada dunia

fenomenal, dunia pengalaman. Manusia tak mengetahui apa pun

diluar dunia pengalaman. Dalam dunia fenomenal, pengetahuan

merupakan campuran dari apa yang diterima (dialami) dari

luar dengan proyeksi-proyeksi dan harapan-harapan: mang dan

waktu adalah "kondisi subyektif dari sensibilitas" atau

"bentuk dari intuisi". Di pihak lain, pemahaman

menyumbangkan prinsip-prinsip organisasi pada kualitas

murni, yaitu prinsipprinsip yang diberi nama "kategori-

kategori" atau "konsep-konsep murni" seperti kesatuan,

pluralitas, substansi, sebab-akibat, kemungkinan, atau

keniscayaan.

Bentuk-bentuk intuisi dan konsep-konsep murni tersebut

merupakan bahan-bahan formal pengalaman. Dengan filsafatnya,

Kant bermaksud memugar sifat obyektivisme dunia dan ilmu

pengetahuan. Agar tujuan tersebut tercapai, orang harus

menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat

sepihak empirisme Rasionalisme beranggapan telah menemukan

kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas

dari segala pengalaman, sementara empirisme beranggapan

bahwa pengenalan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman.

Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan

adalah :

(a) bersifat umum dan bersifat perlu mudak; dan

(b) memberi pengetahuan yang baru. Dalam konteks ini,

empirisme memberikan putusan-putusan yang sintetis, dan

karenanya tidak mungkin empirisme memberi pengetahuan yang

bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya, rasionalisme

memberikan putusan-putusan yang bersifat analitis, dan

karenanya tidak mungkin memberi pengetahuan yang baru.

Dengan demikian, baik empirisme maupun rasionalisme tidak

memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh ilmu pengetahuan.

Kant sendiri membedakan empat macam pengetahuan yang ia

golongkan sebagai berikut:

(1) Pengetahuan yang analitis apriori;

(2) Pengetahuan yang masing, tetapi juga telah

membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi

profesional di bidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat

dan keahlian masing-masing.

Oleh sebab itu, dewasa ini ada batasbatas yang jelas

untuk menentukan mana filsuf yang memiliki kualifikasi dan

mana yang tidak. Profesionalisasi di bidang filsafat pun

tampak dengan jelas dari munculnya jurnaljurnal terkemuka

dalam bidang filsafat seperti Philosophical Review, Journal

of Philosophy, Philosophy and Phenomenological Research,

Philosophical'Quarterly, dan lain sebagainya. Beberapa

aliran filsafat yang berkembang pada masa kontemporer ini di

antaranya adalah Pragmatisme (William James dan John Dewey),

Fenomenologi (Edmund Husseri, Max Scheler, dan Martin

Heidegger), Eksistensialisme (Jean Paul Sartre, Kari

Jaspers, Gabriel Marcel, Albert Camus, dan Simone de

Beauvoir), Strukturalisme (Ferdinand de Saussure, Claude

Levi-Strauss, Mchel Foucault, Jacques Lacan, Roland Barthes,

dan Jacques Derrida), Positivisme Logis (Rudolph Carnapp,

Alfred Ayer, CL Stevenson, Gilbert Ryle, Susan Stebbing,

John Wisdom, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgen-stein),

PostPositivisme (Kad R. Popper, Thomas Kuhn, Feyerabend, dan

Richard Rony), dan Pernikiran Kritis Mazhab Frankfurt (Max

Horkhedmer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen

Habermas, dan Erich Fromm).

BUKU ; KHAERUL AZMI, 2013, FILSAFAT ILMU KOMUNIKASI, EMPAT

PENA PUBLISHING, BANTEN