tugas filsafat

52
TUGAS MAKALAH ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI DALAM FILSAFAT ILMU Dosen Pengampu : Dr. Muchlas Suseno, M.Pd Oleh : Ijudin 78161306 Indra Purba Waskita 78161306 Tri Sujarwati 7816130671

Transcript of tugas filsafat

TUGAS MAKALAH

ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI

DALAM FILSAFAT ILMU

Dosen Pengampu : Dr. Muchlas Suseno, M.Pd

Oleh :

Ijudin 78161306

Indra Purba Waskita 78161306

Tri Sujarwati 7816130671

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2013

ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI

DALAM FILSAFAT ILMU

A. PENDAHULUAN

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu

Sebuah Pengantar Populer, memaparkan bahwa filsafat

ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin

menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu,

seperti objek apa yang ditelaah oleh ilmu? (ontologi),

bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya

pengetahuan yang berupa ilmu? (epistemology), dan

untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu

dipergunakan? (aksiologi).

Ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini begitu

banyak, sehingga untuk membedakan jenis pengetahuan

yang satu dengan pengetahuan yang lainnya, yaitu

dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan di

atas, maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai

1

jenis pengetahuan yang memperkaya kehidupan kita.Tanpa

mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka

bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaannya secara

maksimal namum terkadang kita salah dalam

menggunakannya.

Bidang telaah dari filsafat adalah segala persoalan

yang dipikirkan oleh manusia.Manusia mengkaji segala

hal yang ada disekitarnya.Persoalan keberadaan dan

eksistensi yang berkaitan dengan metafisika, persoalan

pengetahuan, dan persoalan nilai-nilai.

Para filosof berusaha memecahkan masalah-masalah yang

penting bagi manusia, baik langsung atau tidak

langsung.Melalui pengujian yang kritis, filosof

mencoba untuk mengevaluasi informasi-informasi dan

kepercayaan-kepercayaan yang kita miliki tentang alam

semesta serta kesibukan dunia manusia.Filosof mencoba

membuat generalisasi, sistematika, dan gambaran-

gambaran yang konsisten tentang semua hal yang kita

ketahui dan kita pikirkan. Tanpa melihat tujuan,

pekerjaan, dan latar belakang pendidikan sosialnya,

para filosof telah menyumbangkan keyakinan mengenai

pentingnya pengujian dan analisis yang kritis terhadap

pandangan-pandangan manusia, baik yang bersumber dari

pengalaman sehari-hari, berdasarkan penemuan-penemuan

2

yang ilmiah, maupun yang bersumber dari kepercayaan

agama. Para filosof ingin menelusuri lebih mendalam

apakah dapat dibuktikan kebenaran-kebenaran dari

pandangan-pandangan atau kepercayaan-kepercayaan

manusia itu.  Filosof ingin menemukan, apa ide dasar

atau konsep yang kita miliki, apa dasar pengetahuan

kita, dan standar (ukuran) apa yang dipakai untuk

membuat pertimbangan yang baik. Dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan semacam ini, filosof merasa

bahwa ia dapat mencapai pemahaman yang lebih bermakna

tentang alam semesta, dunia, dan manusia. 

Filsafat mencoba untuk memadukan hasil-hasil dari

berbagai ilmu yang berbeda ke dalam suatu pandangan

dunia yang konsisten.Filosof cenderung untuk tidak

menjadi spesialis seperti ilmuan menganalisis dengan

suatu pandangan yang menyeluruh tentang benda-benda

atau masalah-masalah.  Filsafat adalah berbifikir

secara radikal, sistematis, dan universal tentang

segala sesuatu.Jadi yang menjadi objek pemikiran

filsafat ialah segala sesuatu yang ada.Semua yang ada

menjadi bahan pemikiran filsafat.Namun karena filsafat

merupakan usaha berpikir manusia secara sistematis,

maka disini perlu mengsistematisasikan segala sesuatu yangada.

3

B. ONTOLOGI

B.1 Pengertian Ontologi

Secara bahasa “Ontologi” berasal dari bahasa

Yunani yaitu yang terdiri dari dua kata, yaitu “on”

yang merupakan bentuk netral dari “oon” dengan

bentuk genitifnya “ontos” yang bermakna “yang ada”

atau “pengada”, dan “logos” yang bermakna “ilmu”.

Maka dapat disimpulkan bahwa ontologi merupakan ilmu

yang mengkaji tentang yang ada.

Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu

berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut

Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan

ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal

dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic.

Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori

tentang keberadaan sebagai keberadaan).

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak

terikat oleh satu perwujudan tertentu.Membahas

tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan

pemikiran semesta universal.Berupaya mencari inti

yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan

yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua

bentuknya.

4

Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan

sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena

itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada

pengetahuan.Dalam agama, ontologi mempersoalkan

tentang Tuhan.Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat

Agama I mengatakan ontologi berasal dari kata yang

berwujud.Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud,

tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak

berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logikasemata-mata

Sedangkan pengertian “Ontologi” menurut

Suriasumantri yang mendefinisikan ontologi sebagai

ilmu yang membahas tentang apa yang ingin kita

ketahui, seberapa jauh yang kita ingin tahu, atau

dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai

teori tentang “ada”. Suriasumantri juga menyatakan

bahwa ontologi itu adalah penjelasan tentang

keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan

akar-akar atau hal yang paling mendasar tentang apa

yang disebut dengan ilmu. Sedangkan menurut Tim

Dosen Filsafat Ilmu UGM (2003), ontologi adalah ilmu

yang membahas tentang apa hakikat ilmu itu, dan apa

hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan

pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari

5

persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana yang

“ada” itu.             

Maka dari beberapa pengertian diatas, dapat

disimpulkan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas

tentang hakikat yang “ada” serta mengkaji hakikat

kebenaran dari yang “ada” itu dengan tidak

mengabaikan bukti yang empiris dan persepsi filsafat

tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.

Ontologi dalam filsafat merupakan bidang yang

mencoba untuk mencari hakikat tentang “sesuatu”, di

dalam proses pencariannya ini maka asumsi dibutuhkan

untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan

tersebut menjadi meluas. Asumsi menjadi suatu

landasan berfikir sebelum hakikat kebenaran dalam

pengetahuan tersebut tampak adanya.

B.2 Konsep Ontologi

Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi

dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:

a. Umum (universal) dan Tertentu (particular)

Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya

dimiliki oleh sesuatu, misalnya: karakteristik

dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau

disederhanakan melalui cara-cara tertentu.

Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-

6

masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini

berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau ”menjadi

hijau”. Contohnya, Socrates (guru dari Plato)

adalah tertentu (particular), Tertentu

(particular) adalah entitas nyata yang terdapat

pada ruang dan waktu.seseorang tidak dapat

membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa

menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya.

b. Substansi (substance) dan Ikutan (accident)

Substansi adalah petunjuk yang dapat

menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang

melekat secara tetap pada sebuah obyek.Jika tanpa

properti tersebut, maka obyek tidak ada

lagi.Ikutan (accident) dalam filsafat adalah

atribut yang mungkin atau tidak mungkin dimiliki

oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, ”ikutan”

adalah kualitas yang dapat digambarkan dari

sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran,

bentuk dsb.

c. Abstrak dan Kongkrit

Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang

dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu

yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis

(permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis

7

adalah kongkrit). Kongkrit adalah obyek yang

”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi

untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan

manusia.

d. Esensi dan eksistensi

Esensi adalah adalah atribut atau beberapa

atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah

obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari

obyek, jika atribut hilang maka obyek akan

kehilangan identitas. Eksistensi (existere:

tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan

akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh

indera.

e. Determinisme dan indeterminisme

Determinisme adalah pandangan bahwa setiap

kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan

keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-

kejadian sebelumnya.Indeterminisme merupakan

perlawanan terhadap determinisme.Para penganut

indeterinisme mengatakan bahwa tidak semua

kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa

lalu, tetapi ada faktor kesempatan (chance) dan

kegigihan (necessity). Kesempatan (chance)

8

merupakan faktor yang dapat mendorong terjadinya

perubahan, sedangkan kegigihan (necessity) dapat

membuat sesuatu itu akan berubah atau

dipertahankan sesuai asalnya.

B.3 Metode dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan

abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik,

abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.

Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas

sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk

mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua

sesuatu yang sejenis.Abstraksi metaphisik

mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari

semua realitas.Abstraksi yang dijangkau oleh

ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh

Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :

pembuktian a-priori dan pembuktian a-posteriori.

Pembuktian a-priori disusun dengan meletakkan term

tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada

kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran

kesimpulan.

Sedangkan pembuktian a-posteriori secara

ontologi, term tengah ada sesudah realitas

9

kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat

realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja

cara pembuktian a-posterioris disusun dengan tata

silogistik.

Bandingkan tata silogistik pembuktian a-priori

dengan a-posteriori.Yang apriori di berangkatkan

dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan

term tengahj menjadi sebab dari kebenaran

kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di

berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan

subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas

dalam kesimpulan.

Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa

didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

a. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah

kenyataan itu tunggal atau jamak?

b. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah

kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas

tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki

warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

B.4 Aliran-Aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa

pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran

dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan

10

menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai

ontologi.Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu?

(What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is

being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is

being?)”.

a. Apakah yang ada itu? (What is being?)

Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima

filsafat, yaitu sebagai berikut :

1. Aliran Monoisme

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya

satu, tidak mungkin dua.Haruslah satu hakikat

saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal

berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak

mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan

berdiri sendiri. Haruslah salah satunya

merupakan sumber yang pokok dan dominan

menentukan perkembangan yang lainnya. Plato

adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan

dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa

alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya.

Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut

dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi

ke dalam dua aliran :

a) Materialisme

11

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal

itu adalah materi, bukan ruhani.Aliran ini

sering juga disebut dengan

naturalisme.Menurutnya bahwa zat mati merupakan

kenyataan dan satu-satunya fakta.

Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak

filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia

berpendapat bahwa unsur asal adalah air,

karena pentingnya bagi kehidupan.

Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa

unsur asal itu adalah udara, dengan alasan

bahwa udara merupakan sumber dari segala

kehidupan. Demokritos (460-370 SM)

berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan

atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat

dihitung dan amat halus.Atom-atom itulah

yang merupakan asal kejadian alam.

b) Idealisme

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu

sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini

menganggap bahwa dibalik realitas fisik

pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi

aliran ini, sejatinya sesuatu justru

terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam

12

ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap

hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya

sementara, dan selalu menipu. Eksistensi

benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah

membawa orang pada kebenaran sejati.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui

dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori

idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di

dalam mesti ada idenya yaitu konsep

universal dari tiap sesuatu.Alam nyata yang

menempati ruangan ini hanyalah berupa

bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, ide-

lah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi

dasar wujud sesuatu.

2. Aliran Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari

dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu

hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan

roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu

masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-

sama azali dan abadi. Hubungan keduanya

menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M)

yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia

13

menamakan kedua hakikat itu dengan istilah

dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang

(kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours

de la Methode (1637) dan Meditations de Prima

Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia

menerangkan metodenya yang terkenal dengan

Cogito Descartes (metode keraguan

Descartes/Cartesian Doubt). Disamping

Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza

(1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von

Leibniz (1646-1716 M).[13]

3. Aliran Pluralisme

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam

bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak

dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap

macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme

dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan

sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan

alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari

satu atau dua entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah

Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan

bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan

terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air,

14

api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah

William James (1842-1910 M), yang mengemukakan

bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku

umum, yang bersifat tetap, yang berdiri

sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

4. Aliran Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang

berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin

yang tidak mengakui validitas alternatif yang

positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh

Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada

semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada

pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan

tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak

ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu

itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga,

sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia

tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang

lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich

Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya

dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas

manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada

15

suatu dunia di belakang atau di atas dunia di

mana ia hidup.

5. Aliran Agnostisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk

mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi

maupun hakikat ruhani.Kata agnostisisme berasal

dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown.A

artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran

ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal

dan mampu menerangkan secara konkret akan

adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat

kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat

eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren

Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan

julukan sebagai Bapak Filsafat

Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia

tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum,

tetapi sebagai aku individual yang sama sekali

unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam

sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat

Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan

bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia,

karena hanya manusialah yang dapat memahami

16

dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean

Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan

bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat

beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a

entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme

adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap

kemampuan manusia mengetahui hakikat benda,

baik materi maupun ruhani.

b. Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)

Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap,

abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno

(490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu

sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah

oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan

oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus

bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang

mengalir terus secara kreatif.

c. Di manakah yang ada itu? (Where is being?)

Aliran naturalismeberpendapat bahwa yang ada itu

berada dalam alam ide, adi kodrati, universal,

tetap abadi, dan abstrak.Sementara aliran

materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang

ada itu bersifat fisik, kodrati, individual,

berubah-ubah, dan riil.

17

B.5 Manfaat Mempelajari Ontologi

Ontologi yang merupakan salah satu kajian

filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di

antaranya sebagai berikut:

1. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi

berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.

2. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar

berbagai eksisten dan eksistensi.

3. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada

berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu

sains hingga etika.

C. METAFISIKA

C.1 Definisi Metafisika

Landasan ontologi menurut Jujun S.

Suriasumantri dalam buku Filsafat Ilmu Sebuah

Pengantar Populer membaginya dalam lima bagian,

yaitu metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi

dalam ilmu dan batas-batas penjelajahan ilmu.

Secara etimologi metafisika berasal dari bahasa

Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu meta

(setelah atau di balik) dan physika (hal-hal di

dalam), sehingga dapat disimpulkan bahwa metafisika

18

merupakan studi yang membahas “di balik yang ada”.

Penyelidikan metafisika mula-mula hanya mencakup

sesuatu yang ada di belakang atau di balik benda-

benda fisik, tetapi berkembang menjadi penyelidikan

terhadap segala sesuatu yang ada.Filsafat pertama

ini memuat uraian tentang segala sesuatu yang ada di

belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak,

berubah, hidup, dan mati.

Metafisika sudah banyak didefinisikan oleh para

filsuf sejak zaman Yunani. Berdasarkan artikel yang

berjudul Definisi Metafisika dalam Ranah Filsafat,

Siswanto memaparkan beberapa definisi filsof tentang

metafisika, diantaranya:

         Ariestoteles

Metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji

yang ada sebagai yang ada;

         Van Peursen

metafisika adalah bagian filsafat yang memusatkan

perhatiannya kepada pertanyaan mengenai akar

terdalam yang mendasari segala yang ada.

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya memaparkan

bahwa bidang telaah filsafat yang disebut metafisika

merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran

19

filsafati termasuk pemikiran ilmiah

(1982:63).Tafsiran yang paling pertama diberikan

oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat

wujud-wujud bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa

dibandingkan alam nyata.Animisme merupakan

kepercayaan yang berdasarkan pemikiran

supranaturalisme.Manusia percaya bahwa terdapat roh-

roh yang bersifat gaib terdapat dalam benda-benda

seperti batu, pohon, dan air terjun.

Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh

metafisika adalah imu yang memikirkan hakikat di

balik alam nyata.Metafisika membicarakan hakikat

dari segala sesuatu alam nyata tanpa dibatasi pada

sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra

(Susanto,2010:93).

C.2 Beberapa Tafsiran Metafisika

Mengapa ontologi terkait dengan metafisika?

Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika

menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini

sebenar-benarnya?Pada suatu pembahasan, metafisika

merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada

pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu

20

dimensi saja dari metafisika.Karena itu, metafisika

dan ontologi merupakan dua hal yang saling

terkait.Bidang metafisika merupakan tempat berpijak

dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran

ilmiah.Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang

apakah alam ini.Terdapat Beberapa penafsiran yang

diberikan manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).

1. Supernaturalisme

Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural)

dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih

berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.Dari

paham Supernatural ini lahirla tafsiran-tafsiran

cabang seperti Animisme, dimana manusia percaya

bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat

dalam benda-benda.

2. Naturalisme.

Paham ini amat bertentangan dengan paham

supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap

bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh

hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena

kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang

dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang

yang menganut paham naturalisme ini beranggapan

seperti itu karena standar kebenaran yang mereka

21

gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga

mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang

bersifat gaib itu.

Dari paham naturalisme ini juga muncul paham

materialisme yang menganggap bahwa alam semesta

dan manusia berasal dari materi.Salah satu

pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M).

Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari

mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang

masing saling bertentangan yakni paham mekanistik

dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat

gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya

merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan

bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang

unik yang berbeda secara substansif dengan hanya

sekedar gejala kimia-fisika semata.

Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal

dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang

juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham

monoistik dan dualistik.sudah merupakan aksioma

bahwa proses berpikir manusia menghasilkan

pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya.

Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat

yang tidak membedakan antara pikiran dan

22

zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda

dalam gejala disebabkan proses yang berlainan

namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini

ditolak oleh kaum yang menganut paham

dualistik.Dalam metafisika, penafsiran dualistik

membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran)

yang bagi mereka berbeda secara substansif.Aliran

ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran

adalah bersifat mental.Maka yang bersifat nyata

adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka

sesuatu itu lantas ada.

Pandangan baru pun muncul untuk menentang paham

naturalisme dan materialisme, yaitu paham mekanistik

dan vitalistik. Kedua pandangan ini mengaitkan

dengan keberadaan makhluk hidup termasuk manusia itu

sendiri. Kaum mekanistik melihat gejala alam ini

(termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala

kimia-fisika semata. Gejala alam dapat didekati dari

segi proses kimia-fisika.

Sedangkan kaum vitalistik berpandangan hidup

adalah sesuatu yang unik, yang berbeda secara

substansif dengan proses di atas. Orang-orang yang

mempercayai adanya kekuatan atau energi tertentu

23

dalam setiap tubuh makhluk hidup beranggapan bahwa

kehidupan dimulai atau diawali dari kombinasi zat

yang sangat kompleks.

Proses berpikir manusia menghasilkan

pengetahuan tentang zat (objek yang ditelaahnya).

Dalam hal ini terdapat dua pandangan yang berbeda,

yaitu paham monistik dan paham dualistik. Menurut

paham monistik tidak ada yang membedakan antara

pikiran dan zat. Kedua hal itu berbeda dalam gejala

yang disebabkan proses yang berlainan namun

mempunyai substansi yang sama.

Paham ini ditolak oleh paham dualistik yang

membedakan antara zat dan kesadaran yang menurut

mereka berbeda secara substansif. Aliran ini

berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah

bersifat mental, maka yang bersifat nyata adalah

pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu

lantas ada. Aliran dualistik memandang bahwa alam

terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya,

yaitu materi dan bentuk.Materi adalah kenyataan yang

belum berwujud yang belum ditentukan, tetapi yang

memiliki potensi untuk menjadi terwujud atau menjadi

ditentukan oleh bentuk, karena kekuatan yang

membentuknya.Sedangkan bentuk adalah pola segala

24

sesuatu yang tempatnya di luar dunia, yang berdiri

sendiri (Susanto, 2010: 96-97).

Salah satu penganut paham dualistik adalah

Descartes yang menyatakan bahwa manusia adalah

makhluk yang terdiri dari dua substansi, yaitu

materi dan ruh atau tubuh dan jiwa.Istilah yang

terkenal dari Descartes adalah “Cogito ergo sum”

yang artinya saya berpikir maka saya ada.

Susanto dalam bukunya Filsafat Ilmu, menyatakan

bahwa Christian Wolff membagi metafisika menjadi

dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.

Metafisika umum yang dimaksudkan sebagai istilah

lain dari ontologi (2010:91). Dengan demikian

metafisika umum adalah cabang ilmu filsafat yang

membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam

dari segala sesuatu. Metafisika khusus terbagi

menjadi kosmologi, psikologi, dan teotologi.

Kosmologi adalah cabang ilmu fiilsafat yang secara

khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi

adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus

membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah

cabang ilmu filsafat yang membicarakan Tuhan.

D. ASUMSI

D.1 Definisi Asumsi

25

Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi.Asumsi

diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu

permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek

telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan

asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan

merupakan latar belakang intelektal suatu jalur

pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai

merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa

penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain

yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk

menyuratkan segala hal yang tersirat.McMullin (2002)

menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam

ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan

asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan

suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah

contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD

1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..”

“…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan

perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-

asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak

bermakna.

Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya,

jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis

merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward)

26

maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami

hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah

payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke

sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan

jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya,

memakai payung akan menghindarkan pakaian dari

kebasahan karena hujan.

Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang

penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.

Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat

kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang

benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai

penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis.

Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk

melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit

atau bahkan hampa fakta atau data.

Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal,

antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum

tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah

membuktikan sendiri.Postulat.Pernyataan yang

dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau

suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana

adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu

entimen. Pertanyaan penting yang terkait dengan

27

asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara

tepat?

Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan

dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga

karakteristik (Junjung, 2005):

a. Deterministik.

Paham determinisme dikembangkan oleh William

Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes

(1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan

adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat

dan gerak universal.Aliran filsafat ini merupakan

lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa

segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah

ditetapkan lebih dahulu.

b. Pilihan Bebas

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan

pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang

tidak memberikan alternatif.Karakteristik ini

banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial.Sebagai

misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam

melambangkan arti kebahagiaan.Masyarakat

materialistik menunjukkan semakin banyak harta

semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain,

kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi

28

diartikan jika mampu melestarikan budaya

animismenya.Sebagai mana pula masyarakat brahmana

di India mengartikan bahagia jika mampu

membendung hasrat keduniawiannya.Tidak ada ukuran

yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung

ruang dan waktu.

c. Probabilistik

Pada sifat probabilstik, kecenderungan

keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa

peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik

dengan peluang tertentu. Probabilistik

menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk

memiliki sifat deterministik dengan menolerir

sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan

modern, karakteristik probabilitas ini lebih

banyak dipergunakan.Dalam ilmu ekonomi misalnya,

kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan

metode statistik dengan derajat kesalahan ukur

sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel

dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya

sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa

ditoleransi.Jika kebenaran statistiknya kurang

dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak

29

mencapai sifat-sifat deterministik menurut

kriteria ilmu ekonomi.

D.2 Asumsi dalam Ilmu

Ilmu yang paling maju yaitu fisika karena

mempunyai cakupan objek zat, gerak, ruang, dan

waktu.Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia

Mathematica (1686) berasumsi bahwa keempat komponen

ini bersifat absolut.Zat bersifat absolut dan dengan

demikian berbeda secara substantif dengan

energi.Sedangkan Einstein berbeda pendapat dengan

Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905)

berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat

relatif.Tidak mungkin kita mengukur gerak secara

absolut.

Asumsi dalam ilmu sosial lebih rumit.Masing-

masing ilmu sosial mempunya berbagai asumsi mengenai

manusia.Siapa sebenarnya manusia? Jawabnya

tergantung kepada situasinya : dalam kegiatan

ekonomis maka dia makhluk ekonomi, dalam politik

maka dia political animal, dalam pendidikan dia homo

educandum. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam

pengembangan asumsi:

a.      Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan

pengkajian disipin  keilmuan.

30

b.     Asumsi ini harus operasional dan merupakan

dasar bagi pengkajian teoretis.

c.      Asumsi harus positif  bukan normatif.

d.     Asumsi harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana

adanya bukan bagaimana keadaan yang seharusnya.

Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal

asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya,

sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka akan

berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan.

D.3 Asumsi Mengenai Objek Empiris

Dalam mendapatkan pengetahuan, seorang ilmuwan

melakukan berbagai macam asumsi mengenai objek-objek

empiris.Asumsi diperlukan sebagai landasan dan

penunjuk arah dalam kegiatan penelaahan mereka.

Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan

penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil

pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai

jembatan untuk melompat suatu bagian jalur penalaran

yang sedikit atau hampa fakta dan data

sekalipun[11].

Adapun beberapa ilmu yang mengemukakan beberapa

asumsi mengenai objek empiris, yaitu:

31

a.      Menganggap bahwa objek-objek tertentu

mempunyai kesamaan satu sama lain. Seperti dalam

hal bentuk, struktur, dan sifat. Berdasarkan ini,

maka dapat dikelompokkan beberapa objek yang

serupa ke dalam satu golongan.Klasifikasi

merupakan pendekatan keilmuan yang pertama

terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan

taksonomi merupakan cabang keilmuan pertama yang

menggunakan teori ini.Setelah taksonomi, mulai

berkembang konsep perbandingan atau

komparatif.Dengan klasifikasi ini, maka individu

dalam satu kelas tertentu mempunyai ciri-ciri

yang serupa.Contohnya seperti yang dilakukan oleh

Linnaeus (1707-1778), seorang biolog yang

mengklasifikasikan hewan dan tumbuhan sesuai

dengan kelas tertentu.

b.     Menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami

perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan

keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu

objek dalam keadaan tertentu.Kegiatan ini tidak

mungkin dilakukan apabila objek selalu berubah-

ubah tiap waktu.Walaupun tidak mungkin menuntut

adanya kelestarian yang relatif atau sifat-sifat

pokok suatu benda tidak berubah dalam jangka

32

waktu tertentu, misalnya ilmu yang mempelajari

tentang benda-benda ruang angkasa, planet-planet

memperlihatkan perubahannya dalam jangka waktu

yang relativ lama.

c.      Menganggap bahwa setiap gejala bukan suatu

kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala

mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap

dengan urutan-urutan yang sama dan gejala itu

akan mengikiti pola yang ada. Misalnya sate yang

dibakar akan mengeluarkan bau sedap yang

menggugah selera makan. Ini bukanlah suatu

kebetulan sebab memang sudah seperti itu

hakekatnya suatu pola, karena sate apabila

dibakar akan selalu menimbulkan bau yang

merangsang selera.

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif

filsafat, permasalahan utamanya adalah

mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti)

apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari

ilmu.Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut

hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia,

maka harus bertitik tolak pada paham deterministik.

Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang

33

bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan

digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub

deterministik dan pilihan bebas, penafsiran

probabilistik merupakan jalan tengahnya.

Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan

ilmu.Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi

membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis

sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti

agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap

hal-hal hakiki dalam kehidupan.Karena itu; Harus

disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak

pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan

yang bersifat mutlak.

Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk

mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus

didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang

bersifat relative.Jadi, berdasarkan teori-teori

keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti

mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah

kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat

peluang.

Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu

analisis keilmuan?Semakin banyak asumsi berarti

semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek

34

observasi.Dengan demikian, untuk mendapatkan

pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu

menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada,

maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit

menjadi diperlukan.

Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?

Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan

pengkajian disiplin ilmu.Asumsi ini harus

operasional dan merupakan dasar dari pengkajian

teoritis Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan

sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang

seharusnya”.Jadi asumsi harus bersifat das sein

bukan das sollen.Asumsi harus bercirikan positif,

bukan normatif.Lebih lanjut mengenai asumsi dan

ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena,

apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif

dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena

itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu.

Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:

Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi

individu tak lain adalah kumpulan konsep–kosep baku,

nama dan label yang akan mengkarakteristikkan

realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan

melalui konsep yang telah ada. Realisme: kehidupan

35

sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas

struktur yang tetap, tidak ada konsep yang

mengartikulasikan setiap realita tersebut dan

realita tidak tergantung pada persepsi individu.

Sebagai misal secara khusus dalam metodologi

ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda dalam

membicarakan tentang sifat masyarakat sosial.Asumsi

ini sangat penting dalam menentukan pendekatan

terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan

konflik, perubahan dan pemaksaan dalam

masyarakat.Asumsi ini lebih diterima secara umum

oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang

menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:

Relatif stabil.

Terintegrasi dengan baik.

Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi

masing–masing dan saling berkoordinasi.

Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus,

bukan pemaksaan (coercion )

Konflik

Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini,

masyarakat memiliki sifat :

Mengalami perubahan di banyak aspek

Mengalami konflik di banyak aspek.

36

E. PELUANG

Berdasarkan teori-teori keilmuan  saya tidak akan

pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu

kejadian, tanya seorang awam kepada seorang ilmuan.

Ilmuan itu menggelengkan kepala tidak, jawab seorang

ilmuan sambil tersenyum apologetik, hanya kesimpulan

yang probabilistik.berdasar meteorology dan geofisika

saya tidak pernah merasa pasti bahwa esok hari akan

hujan atau tidak akan hujan. Sambung orang awam, kian

penasaran. Seorang ilmuan hanya bisa mengatakan,

umpamanya, bahwa dengan probabilistik 0,8 esok tidak

akan turun hujan.

”Apa artinya peluang 0,8 ini?” tanya orang awam.

Peluang 0,8 secara sederhana dapat diartikan bahwa

probabilistik untuk turung hujan esok adalah 8 dari 10

(yang merupakan kepastian). Atau sekiranya saya merasa

pasti (100 persen) bahwa esok akan turun hujan maka

saya akan berikan peluang 1.0. atau dengan perkataan

lain yang lebih sederhana, peluang 0,8 mencirikan

bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan jatuh hujan, 8

kali memang hujan itu turun, dan dan dua kali ramalan

itu meleset.

37

Jadi, biarpun kita mempunyai 0,8 bahwa hari akan hujan

namaun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan

hujan?

”Benar demikian,” sahut ilmuan.

”Lalu apa keguanaan pengetahuan semacam itu?” kata

orang awam.

Pertama harus saudara  sadari bahwa ilmu tidak pernah

ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan

penggetahuan yang bersifat mutlak. (dalam soal

pretensi ini maka ilmu kalah dengan pengetahuan

perdukunan. Saudara pasti sembuh, ujar dukun, minum

saja air ini. Jelas dia tidak pernah mengatakan: minum

air ini dan dengan peluang 0,8 maka saudara akan

sembuh). Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar

bagi saudara untuk mengambil keputusan, di mana

keputusan saudara harus didasarkan kepada penafsiran

kesimpulan ilmiah yang bersifar relatif. Dengan

demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak

di  tangan saudara dan bukan pada teori-teori

keilmuan. (itulah mungkin sebabnya orang yang tidak

pernah mau mengambil keputusan sendiri lebih senang

pergi ke dukun. Berkonsultasi pada ahli psikologi atau

psikiater paling-paling diberi alternatif-alternatif

38

yang dapat diambil, sedangkan dukun dengan pasti akan

berkata: pilih jalan ini, saya jamin, pasti berhasil).

Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan

pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian,

hanya kesimpulan yang probabilistik.Ilmu memberikan

pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di

mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang

bersifat relatif.

Probabilitas merupakan salah satu konsep yang

sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di

dalam kehidupan sehari-hari.Bahkan, aplikasinya

tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian

tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang

lebih serius dan refleksif, yaitu sains. Dengan kata

lain, probabilitas acapkali digunakan sebagai

perangkat eksplanasi ilmiah. Hal ini seolah-olah

dijustifikasi oleh Carl Hempel, salah satu filsuf

sains utama pada abad 20, ketika dalam karya

monumentalnya, Philosophy of Natural Science, mengakui

adanya dua jenis wujud hukum yang berperan di dalam

eksplanasi ilmiah, yaitu hukum yang universal (laws of

universal form) dan hukum yang probabilistik (laws of

probabilistic form).

39

Mari kita perhatikan keterangan dari Hempel

berikut ini, “scientific hypotheses in the form of statistical

probability statements can be, and are, tested by examining the long-run

relative frequencies of the outcomes concerned, and the confirmation of

such hypotheses is then judged, broadly speaking, in terms of the

closeness of the agreement between hypothetical probabilities and

observed frequencies.”

Konsepsi probabilitas sebagai ekspresi kontingensi

tidaklah memberikan implikasi semacam itu. Tidaklah

bertentangan dengan klaim kontingensi jika objek yang

dianggap kontingen itu amat jarang muncul atau bahkan

tidak muncul sama sekali dalam aktualitas kehidupan.

Seorang theis bisa mengatakan, “mujikzat itu mungkin

akan dialami oleh saya,” dan meyakininya secara valid

walaupun hingga ajalnya ia tidak pernah menikmati

mujikzat tersebut. Dengan kata lain, benar-salahnya

suatu klaim kontingensi itu tidak ditentukan oleh

jumlah aktualisasi dari posibilitas yang ada. Konsepsi

ini tentang probabilitas bukannya tidak memiliki

kemampuan prediksi sama sekali, hanya saja yang ia

bisa berikan adalah prediksi negatif belaka (tentang

apa yang tidak akan terjadi), bukan prediksi positif

(tentang apa yang akan terjadi).

40

Probabilitas yang dipahami oleh Hempel di atas

merupakan pemahaman probabilitas yang umum dipakai di

dalam eksplanasi ilmiah.Akan tetapi, sebagaimana telah

diuraikan tadi, pada pemahaman semacam itu

probabilitas memiliki muatan ontologis yang berbeda

daripada yang dimiliki oleh konsep probabilitas yang

umum digunakan di dalam matematika, yaitu

kontingensi.Perbedaan itu sendiri tidak harus menjadi

masalah apabila muatan ontologis yang berbeda itu –

yang memungkinkan dilakukannya prediksi positif –

dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal sehat.

Apa kiranya isi muatan itu? Yang pasti ia berada

di luar struktur necessity-contingency. Konsep

probabilitas di sini tidak dapat dikatakan sebagai

ekspresi kontingensi belaka.Yang ditegaskan lebih

“kuat” daripada kontingensi, karena ada kriteria

actuality yang menjadi syarat. Akan tetapi, ia juga

bukanlah ekspresi necessity, mengingat deviasi secara

acak selalu dimungkinkan. Jadi, ketika dikatakan di

sini bahwa probabilitas a terhadap b adalah 7/10 atau

70 %, yang dimaksud bukanlah bahwa relasi kontingen

antara a dan b adalah 70 persen daripada totalitas

relasi kontingen yang dimiliki antara a dan b. Lalu

apa? Tampaknya yang paling masuk akal untuk dimaksud

41

oleh klaim itu adalah bahwa antara a dan b terdapat

tendensi untuk berelasi sebesar 70 persen.

Framework “tendensi” ini hanya dapat sungguh-

sungguh menjadi intelligible ketika setiap objek

dipandang sebagai person, yaitu entitas yang memiliki

karakter dan kapasitas reflektif (tak peduli seberapa

minimnya).Karakter menerangkan stabilitas dari pola-

pola relasi pada entitas itu; stabilitas yang

diekpresikan oleh term “tendensi,” dan refleksivitas

menjelaskan terjadinya sejumlah penyimpangan dari

pola-pola tersebut. Singkatnya, framework “tendensi”

merupakan turunan dari apa yang Wilfred Sellar namakan

the framework of persons. Kalau analisis ini memang

tepat, maka tidak bisa dipungkiri bahwa konsep

probabilitas yang ada di benak Hempel itu

mengimplikasikan komitmen ontologis terhadap ontologi

person tersebut.

Yang krusial untuk diperhatikan adalah bahwa

komitmen ontologis terhadap the framework ofpersons

itu tidak dapat disandingkan secara koheren dengan

komitmen terhadap struktur necessity-contingency.

Ironi dari proposal Hempel di awal tulisan ini akan

dua jenis hukum ilmiah (hukum universal dan hukum

probabilistik) ialah bahwa, sebagaimana kita bisa

42

lihat sekarang, yang sesungguhnya diajukan adalah

tuntutan terhadap kita untuk memilih satu di antara

dua skema ontologi yang masing-masing terbuka untuk

diambil. Ontologi persons juga punya nilai

survivalitas. Sellar bahkan melihat skema ontologis

inilah yang diakrabi pertama kali oleh manusia dalam

menghadapi dunia, sehingga ontologi itu ia namakan the

original image. Soal akuntabilitas klaim-klaim yang

diturunkannya, usaha limitasi empiris ala Hempel dan

Popper dapat dilihat sebagai wujud upaya refinery atas

ontologi itu.

Meskipun demikian, refinery empiris semacam itu

sesungguhnya tidaklah cukup, bahkan tidak relevan,

bagi setiap eksplanasi, termasuk eksplanasi

probabilistik, yang mengandalkan the framework of

persons itu. Yang menjadi tuntutan esensial dari

muatan ontologis yang terkandung pada eksplanasi

semacam itu adalah keterangan akan tujuan (purpose)

apa yang dilayani oleh si objek eksplanasi melalui

“aksi”-nya. Eksplanasi berdasarkan ontologi persons

dengan sendirinya adalah eksplanasi melalui struktur

belief-desire. Konsekuensi ini, ketika disadari, akan

menimbulkan problem yang amat besar bagi penggunaan

klaim-klaim probabilitas yang berbasis ontologi

43

persons itu, karena pembicaraan tentang “tujuan” yang

hendak dicapai oleh suatu objek seperti dadu melalui

gerak dan kondisi akhirnya merupakan objek spekulasi

yang hanya pantas untuk dilakukan oleh para occultist;

para penganut keyakinan akan hantu dan alam gaib. Tak

heran jika di antara anggota komunitas ilmiah,

pembicaraan itu sudah lama ditetapkan sebagai tidak

relevan, tidak pantas, bahkan memalukan, untuk

dilakukan. Tetapi, dengan menggunakan eksplanasi

probabilistik, yang memiliki muatan ontologis yang

berbeda dari posibilitas, komunitas ilmiah tanpa

disadari justru sedang menjerumuskan dirinya ke dalam

konversasi yang selevel dengan konversasi akan

“makhluk-makhluk gaib” itu. Untungnya, keterjerumusan

itu bukanlah suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh

ilmu pengetahuan.Ia hanya perlu meninggalkan konsep

probabilitas yang selama ini populer dipakai; yang

berbasiskan ontologi persons.

F. BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU

Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara

pada sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin

diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit

menjadi : apakah yang menjadi bidang telaah ilmu ?

44

Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang

lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada

kejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek

kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia.

Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan

yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-

batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek

empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan

, hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu

maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan

empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar

jangkauan manusia tidak termasuk di dalam bidang

penelaahan keilmuan tersebut. Untuk mendapatkan

pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai

objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap

benar selama kita bisa menerima asumsi yang

dikemukakannya.

Secara lebih terperinsi ilmu mempunyai tiga asumsi

yang dasar. Asumsi pertama, menganggap objek-objek

tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,

umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan

sebagainya. Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu

benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu

tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari

45

tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu.

Asumsi ketiga, ilmu menganggap bahwa tiap gejala bukan

merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap

gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu

yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama.

Dalam penegartian ini ilmu mempunyai sifat

deterministik. Namunpun demikian dalam determinisme

dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat

peluang (probabilistik).

F.1 Karakteristik Filsafat Ilmu

Ilmu sebagai salah satu bidang dalam filsafat,

di abad modern ini memang mendapat tempat dan porsi

terbesar. Perkembangan ilmu saat ini banyak

mendorong terjadinya perubahan-perubahan peradaban.

Abad modern memang sangat didorong oleh kemunculan

rasionalitas ilmu sebagai dasar dominan rasionalitas

modern.Ilmu sebagai sebuah konsep memang mengandung

pengertian yang cukup komplek.Ilmu dalam bahasa

inggris ‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’

(pengetahuan). Sinonim yang paling akurat dalam

bahasa Yunani adalah ‘ episteme’. Pada prinsipnya

‘ilmu’ merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai

ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu

tidak membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam ,

46

karena permasalahan-permasalahan teknis yang

bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi

menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu

sosial’.

Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah

bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah metode.

Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung

menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu

terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu

yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di

dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasa-bahasa ilmiah

yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain.

Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah

bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas

nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa

ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem

sendiri. Ada banyak model dan cara kerja ilmu yang

berkembang sesuai dengan perkembangan filsafat

manusia. Jika kita lihat di sana akan ditemukan

pengertian-pengertian Rasionalisme, Empirisme,

Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme.

Masing-masing mempunyai metodologi yang khas tetapi

masih dalam kesatuan ciri khas kerja sebuah ilmu.

Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan

47

menggali sebab-musabab pertama dari gejala ilmu

pengetahuan, di antaranya paham tentang kepastian,

kebenaran dan objektivitas. Cara kerja filsafat ilmu

pengetahuan pada prinsipnya adalah sebuah penelitian

tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut

terjadi dan berkembang.

F.2 Batas-batas Kerja Ilmu

Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu

atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan

bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman

manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia.

Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari

pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar

batas kerjanya seperti keyakinan surga dan

neraka.Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan

manusia sebagai alat pembantu untuk bisa membongkar

berbagai problem manusia dalam batas pengalamannya.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas

pengalaman manusia.Metode yang dipergunakan dalam

menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara

empiris. Dalam perkembangannya kemudian maka muncul

banyak cabang ilmu yang diakibatkan karena proses

kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah

berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep

48

“kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung

dari cara kerja berpikir keilmuan.

Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan

mendasar tentang keberadaan sesuatu dengan tujuan

untuk memperoleh jawaban yang paling ideal.

Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:

a. Atas dasar apakah ”sesuatu” itu dikatakan sebagai

”ada”?

b. Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”, bagaimana

cara mengelompokkannya?

Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong

dilakukannya upaya untuk membagi entitas-entitas

yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau

kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka

daftar kategori yang dibuat juga beragam.Untuk

mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan,

kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan

dalam bentuk skema.Aplikasi dari kategorisasi

entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan

IT.

G. PENUTUP

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan:

49

1. Ontologi merupakan cabang filsafat ilmu yang

membicarakan hakikat sesuatu yang ada Pembahasan

ontologi dibagi menjadi lima bagian, yaitu

metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam

ilmu, dan bata-batas penjelajahan ilmu.

2. Metafisika adalah salah satu pembahasan bagian dari

ontologi yang membahas hal-hal yang berada di

belakang gejala-gejala yang nyata tanpa dibatasi

pada sesuatu yang diserap oleh pancaindra.

Metafisika berawal dari paham supranaturalisme, yang

pada ahirnya melahirkan paham yang lain, yaitu

naturalisme, materialisme, mekanistik, vitalistik,

monistik, dan dualistik.

Pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari

metafisika, namun seberapa jauh kaitan itu semua

tergantung kepada kita.ilmu merupakan pengetahuan

yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana

adanya. Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai

filsafat individual yang berbeda-beda. Bisa menganut

paham mekanisti, paham dualistic ataupun paham yang

lain. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua ini

adalah sifat pragmatis dari ilmu itu sendiri.

3. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu

permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek

50

telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan

asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan

merupakan latar belakang intelektal suatu jalur

pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai

merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa

penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain

yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk

menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin

(2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada

dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah

menentukan asumsi pokok (the standard presumption)

keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.

4. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah

terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian,

hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan

pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di

mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah

yang bersifat relatif.

51