Filsafat Hukum

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jika kita berbicara filsafat kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat. Filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat di Indonesia. Hukum adalah dalam kompas ilmu untuk manusia, atau sosial ilmu karena merupakan bagian integral dan penting dalam komponen manusia masyarakat dan budaya. Tidak ada kejadian yang dikenal dari suatu keadaan dalam pengalaman manusia, di mana masyarakat yang heterogen ada dan budaya telah tanpa atau sudah bebas dari hukum. Dimanapun dan kapanpun masyarakat dan budaya yang ditemukan ada hukum juga ditemukan, 1

Transcript of Filsafat Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jika kita berbicara filsafat kita seakan berada

pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum

merupakan cabang dari filsafat. Filsafat hukum

mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan

masyarakat sadar hukum dan taat di Indonesia.

Hukum adalah dalam kompas ilmu untuk manusia, atau

sosial ilmu karena merupakan bagian integral dan

penting dalam komponen manusia masyarakat dan

budaya. Tidak ada kejadian yang dikenal dari suatu

keadaan dalam pengalaman manusia, di mana masyarakat

yang heterogen ada dan budaya telah tanpa atau sudah

bebas dari hukum. Dimanapun dan kapanpun masyarakat

dan budaya yang ditemukan ada hukum juga ditemukan,

1

menggenangi seluruh masyarakat sebagai bagian dari

budaya.

Seperti komponen lain dari masyarakat manusia dan

budaya, hukum adalah fenomena, rentan terhadap

ketakutan intelektual dengan bantuan dari indra

manusia, dan tunduk pada penyelidikan empiris dan

ilmiah deskripsi. Hukum merupakan salah satu bentuk

budaya untuk kendali dan regulasi perilaku manusia,

baik individual atau kolektif dalam penerapannya.

Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada

masyarakat modern serta dalam masyarakat primitif.

Pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat akan

hukum merupakan cita-cita dari adanya norma-norma

yang menginginkan masyarakat yang berkeadilan

sehingga sendi-sendi dari budaya masyarakat akan

berkembang menuju terciptanya suatu sistem

masyarakat yang menghargai satu sama lainnya,

membuat masyarakat sadar hukum dan taat hukum

2

bukanlah sesuatu yang mudah dengan membalik telapak

tangan, banyak yang harus diupayakan oleh pendiri

atau pemikir negeri ini untuk memikirkan hal

tersebut. Hukum bukanlah satu-satunya yang berfungsi

untuk menjadikan masyarakat sadar hukum dan taat

hukum, Indonesia yang notabene adalah negara yang

sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi

hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang

kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum

membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan

masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum

secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan

keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku,

ras, agama yang ada di Indonesia.

Peranan hukum didalam masyarakat sebagimana tujuan

hukum itu sendiri adalah menjamin kepastian dan

keadilan, dalam kehidupan masyarakat senantiasa

terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku atau

3

tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan

pola-pola perilaku yang dikehendaki oleh norma-norma

(kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga

pada waktu tertentu cenderung terjadi konflik dan

ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat

mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana

arah yang dikehendaki.

Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum

yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman

(standard) dalam bertindak bagi masyarakat tidak ada

kesadaran hukum sehingga cenderung tidak ada

ketaatan hukum.

Dewasa ini, banyak sekali dijumpai permasalahan

yang berkaitan dengan pelanggaran hukum terutama

yang berkaitan dengan lalu lintas, mulai dari yang

ringan hingga yang berat. (Wirjono Prodjodikoro,

2003 : 20). Pelanggaran ringan yang kerap terjadi

4

dalam permasalahan lalu lintas adalah seperti tidak

memakai helm, menerobos lampu merah, tidak memiliki

SIM atau STNK, tidak menghidupkan lampu pada siang

hari, dan bonceng tiga dianggap sudah membudaya di

kalangan masyarakat Indonesia. Pelanggaran lalu

lintas seperti itu dianggap sudah menjadi kebiasaan

bagi masyarakat pengguna jalan, sehingga tiap kali

dilakukan operasi tertib lalu lintas di jalan raya

oleh pihak yang berwenang, maka tidak sedikit yang

terjaring kasus pelanggaran lalu lintas dan tidak

jarang juga karena pelanggaran tersebut kerap

menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Mengendarai

kendaraan secara kurang hati – hati dan melebihi

kecepatan maksimal, tampaknya merupakan suatu

perilaku yang bersifat kurang matang. Walau

demikian, kebanyakan pengemudi menyadari akan bahaya

yang dihadapi apabila mengendarai kendaraan dengan

melebihi kecepatan maksimal tersebut. Akan tetapi di

5

dalam kenyataannya tidak sedikit pengemudi yang

melakukan hal itu, khususnya anak sekolah sehingga

dalam pelanggaran lalu lintas tersebut tidak

sedikit yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Peraturan perundang – undangan yang mengatur masalah

lalu lintas dan angkutan jalan raya tidaklah

sepenuhnya sinkron dan ada ketentuan – ketentuan

yang sudah tertinggal oleh perkembangan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah penulis kemukakan

diatas, penulis mengangkat permasalahan sebagai

berikut:

1. Apakah sebabnya orang harus mentaati hukum?

2. Apakah sebabnya dalam kenyataannya orang

mematuhi peraturan lalu lintas?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan

6

1. Memberikan suatu gambaran dan ulasan secara

rinci mengenai sebab orang harus mentaati hukum

2. Memberikan suatu gambaran dan ulasan secara

rinci mengenai sebab dalam kenyataan orang

mematuhi peraturan lalu lintas

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyebab Orang Mentaati Hukum

Pertanyaan tentang mengapa orang mentaati hukum

merupakan contoh pertanyaan yang bersifat mendasar

yang menjadi salah satu pokok bahasan filsafat

hukum, oleh karena jawaban terhadap pertanyaan ini

merupakan pertimbangan nilai-nilai dalam bentuk

kaidah hukum yang masuk dalam tataran dunia nilai,

tataran sollen. Seperti kita ketahui, bahwa filsafat

7

hukum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak

dapat dijawab oleh ilmu hukum. Ketika ilmu hukum

tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar

mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum

mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-

pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. Hal ini

juga tentu saja bisa kita gunakan untuk menjawab

pertanyaan mengapa orang mentaati peraturan lalu

lintas.

Menurut Herbert C. Kelman sebenarnya masalah

ketaatan terhadap hukum yang merupakan suatu derajat

secara kualitatif, dapat dibedakan dalam 3 proses

(Soerjono Soekanto, 1982 : 230-231):

1. Compliance: suatu ketaatan yang didasarkan pada

harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk

menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin

dijatuhkan

8

2. Identification: suatu ketaatan terhadap kaedah

hukum timbul bukan karena nilai intrinsiknya,

akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap

terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka

yang diberi wewenang untuk menerapkan kaedah-

kaedah hukum tersebut.

3. Internalization: seseorang mematuhi kaedah-

kaedah hukum oleh karena secara intrinsik

kepatuhan tadi mempunyai imbalan atau aturan

itu sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

Ada beberapa teori yang mengemukakan sebab orang

mentaati hukum:

a. Teori Kedaulatan Tuhan

b. Teori Kedaulatan Negara

c. Teori Kedaulatan Hukum

d. Teori Perjanjian Masyarakat

9

Berdasarkan teori-teori yang ada, penulis mencoba

menganalisa dari teori kedaulatan hukum. Teori

kedaulatan hukum didasari oleh pemikiran Imanuel

Kant, Hugo Krabe, dan Leon Duguit. Teori kedaulatan

hukum mendalilkan bahwa undang-undang tidak mengikat

karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena

ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat

serta hukum merupakan sumber kedaulatan.

Krabbe juga mengungkapkan bahwa baginya, kesadaran

hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-

nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang

hukum yang ada dan tentang hukum yang diharapkan

ada. (Achmad Ali, 2009 : 299)

Kesadaran hukum tersebut mencakup unsur-unsur

pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang isi

hukum, sikap hukum, dan pola-pola perilaku hukum.

Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang

adil dan mana yang tidak adil. Kesadaran hukum ini

10

tidak datang, apalagi dipaksakan dari luar,

melainkan dirasakan orang dalam dirinya sendiri.

Kesadaran hukum memaksa orang untuk menyesuaikan

segala tindakanya dan perbuatanya dengan rasa

keadilan itu, walaupun mungkin hal itu tidak sesuai

bahkan mungkin juga bertentangan dengan kehendaknya

sendiri

Sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan

antara kesadaran hukum dan ketaataan hukum maka

beberapa literatur yang di ungkap oleh beberapa

pakar mengenai ketaatan hukum bersumber pada

kesadaran hukum, hal tersebut tercermin dua macam

kesadaran, yaitu :

1. Legal consciouness as within the law, kesadaran hukum

sebagai ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai

dengan aturan hukum yang disadari atau dipahami;

2. Legal consciouness as against the law, kesadaran hukum

dalam wujud menentang hukum atau melanggar hukum.

11

Teori kedaulatan hukum dipakai oleh Indonesia

dengan mengubah Undang-Undang Dasarnya, dari konsep

kedaulatan rakyat yang diwakilkan menjadi kedaulatan

hukum. Rumusan mengenai Indonesia sebagai negara

yang menganut paham kedaulatan hukum dapat dilihat

pada Pasal 1 ayat (3), Undang-Undang Dasar Tahun

1945 (pasca amandemen) yang menyebutkan bahwa:

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Demikian pula

dengan rumusan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: “Kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar”.

Berdasarkan uraian tersebut, bila kondisi

Indonesia kita sinkronkan dengan konsepsi teori

kedaulatan hukum, maka negara Indonesia adalah

negara yang berkedaulatan hukum dimana pemegang

kekuasaan tertinggi dalam negara Indonesia bukanlah

pemerintahan, raja atau rakyat atau otoritas

12

penguasa tetapi konstitusi negara Indonesia yakni

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Artinya adalah bahwa

negara Indonesia bukan didasarkan pada kekuasaan

belaka. Kecuali daripada itu, pemerintah didasarkan

atas sistem konstitusi dan tidak bersifat absolut

atau kekuasaan yang tidak terbatas (Soerjono

Soekanto, Ibid, 149).

Dengan demikian, secara konstitusional, supremasi

hukum diakui di Indonesia, yang berarti pengakuan

terhadap penegakkan rule of law baik dalam arti formal

maupun material atau ideologis dengan tekanan pada

yang terakhir. Hal ini berarti, masalah kesadaran

hukum dan kepatuhan hukum adalah hal-hal yang saling

berkaitan. (W. Friedmann, 1959 : 489)

Mengenai alasan utama untuk mentaati hukum, maka

sejak zaman Plato, para pakar filsafat telah

berpikir mengenai hal mendasar yangh mewajibkan para

warga suatu negara untuk mentaati hukum negara

13

tersebut. Menurut Cristoper Berry Gray (The

Philosopy of Law An Encyclopedia, 1999), tiga

pandangan mengapa seorang mentaati hukum :

1. Pandangan pertama, adalah pandangan bahwa

merupakan “kewajiban moral” bagi setiap warga negara

untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa

mentaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang

menjadi tidak menjamin kepastian atau inkonsistensi,

kadang-kadang keadaan ini muncul dalam pemerintahan

rezim yang lalim.

2. Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah,

adalah kewajiban utama bagi setiap orang (Prima

facie) adalah kewajiban mentaati hukum.

3. Pandangan Ketiga dianggap pandangan ekstrem

kedua yang berlawanan dengan pandangan pertama,

adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral

untuk hukum, jika hukum itu benar, dan kita tidak

terikat untuk mentaati hukum.

14

Menurut Simmons, terdapat tiga kemungkinan jawaban

atas pertanyaan: “Apakah wajib mentaati hukum ?”

Masing-masing jawaban didasarkan pada tiga teori

yang oleh Simmons disebut: (1) teori kewajiban moral

asosiatif; (2) teori kewajiban moral transaksional;

dan (3) teori kewajiban moral natural. (Andre Ata

Ujan, 2009 : 213-214)

Teori asosiatif melihat kewajiban untuk patuh pada

hukum sebagai konsekuensi dari peran sosial. Peran

sosial menuntut kewajiban moral tertentu dari

pemangku peran. Karena itu, kewajiban asosiatif

berkaitan dengan pertanyaan: “Siapa saya?”;

pertanyaan yang mengacu pada kewajiban yang harus

dipikul oleh subjek karena peran yang dimainkannya.

Kewajiban yang ditimbulkan oleh peran bersifat

nonvolunter (wajib begitu saja). Kepatuhan kepada

hukum merupakan konsekuensi dari peran subjek

sebagai warga negara.

15

Sementara itu, teori transaksional mendasarkan

kewajiban mematuhi hukum pada interaksi dengan

sesama warga negara atau dengan negara yang secara

moral dipandang penting. Di sini kewajiban

tergantung pada “apa yang sudah saya lakukan

terhadap atau nikmati” dari negara. Kewajibannya

lalu bersifat volunter. Saya sudah mendapatkan

manfaat dari negara, karena itu saya bersedia

terikat dengan hukum yang diterapkan negara bagi

saya.

Sementara itu, dalam teori kewajiban moral

natural, kewajiban untuk patuh pada hukum tidak

didasarkan pada “siapa saya” (pertimbangan

asosiatif); juga tidak pada “apa yang sudah saya

dapatkan” dari negara (pertimbangan transaksional},

namun lebih didorong karena kesadaran akan apa yang

sudah dilaksankannya secara bebas, yakni bahwa

16

manusia secara bebas setuju mengikatkan diri dengan

hukum yang berlaku (persetujuan bebas subjek).

H. Krabbe mengajarkan dalam bukunya “Die Lehre der

Rechtssouvereintei” (1906) bahwa:

1. Bahwa rasa keadilanlah yang merupakan sumber

hukum

2. Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari

orang terbanyak

3. Hukum yang tidak sesuai dengan rasa keadilan

orang terbanyak tidak dapat mengikat. Peraturan

yang demikian ini bukan merupakan hukum, walaupun

masih ditaati orang atau dipakasakan.

4. Hukum itu ada, karena masyarakat mempunyai

perasaan bagaimana hukum itu seharusnya. Dan hanya

kaidah yang timbul dari perasaan hukum yang

mempunyai kewibawaan.

17

Dari berbagai hal yang telah dikemukakan di atas dan

dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, penulis

beranggapan sebab orang menaati hukum berawal dari

kesadaran hukum, berangkat dari hal itu maka orang

akan menaati hukum. Namun sumber hukum yang

sebenarnya adalah keadilan artinya orang menaati

hukum agar tercipta keadilan di dalam masyarakat.

B. Penyebab Dalam Kenyataan Orang Mematuhi Peraturan

Lalu Lintas

Pertanyaan tentang sebab dalam kenyataan orang

mematuhi hukum berakitan dengan dunia nyata (dunia

sein). Di dalam kenyataanya sebab seseorang mentaati

hukum pada dasarnya;

1. karena keharusan/kewajiban yang berkaitan dengan

keadilan.

bahwa dalam kenyataan orang mematuhi aturan lalu

lintas karena beranggapan hal itu merupakan sudah

suatu kewajiban supaya tercipta keadilan dalam

18

masyarakat. (contoh: orang berkendara dengan

hati-hati supaya orang lain yang berkendaraan

dengan hati-hati tidak dirugikan).

2. karena pengalaman (orang yang berkendara harus

mematuhi aturan lalu lintas).

Bahwa dalam kenyataan orang mematuhi aturan lalu

lintas karena beranggapan setiap orang yang

berkendara harus mematuhi itu. (contoh: orang

pakai helm, karena orang umumnya berkendara pakai

helm)

3. karena takut menerima sanksi.

Bahwa dalam kenyataan orang mematuhi aturan lalu

lintas karena takut menerima sanksi atau hukuman.

(contoh: orang pakai helm karena takut ditilang

oleh polisi)

4. karena mentaati hukum lebih menguntungkan

ketimbang tidak mentaati.

19

Bahwa dalam kenyataan orang mematuhi aturan lalu

lintas karena merasa untung kalau mentaati hukum.

(contoh: kalau berkendara dengan hati-hati

biasanya tidak menimbulkan kecelakaan yang akan

merugikan orang secara ekonomis).

BAB III

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

1. Ketaatan dibedakan dalam tigas proses, yaitu:

a. Compliance: suatu ketaatan yang didasarkan pada

harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk

menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin

dijatuhkan

20

b. Identification: suatu ketaatan terhadap kaedah

hukum timbul bukan karena nilai intrinsiknya, akan

tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga

serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi

wewenang untuk menerapkan kaedah-kaedah hukum

tersebut.

c. Internalization: seseorang mematuhi kaedah-

kaedah hukum oleh karena secara intrinsik

kepatuhan tadi mempunyai imbalan atau aturan itu

sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

2. Teori kedaulatan hukum didasari oleh pemikiran

Imanuel Kant, Hugo Krabe, dan Leon Duguit. Teori

kedaulatan hukum mendalilkan bahwa undang-undang

tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya,

melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran

hukum dari rakyat serta hukum merupakan sumber

kedaulatan.

21

3. Rumusan mengenai Indonesia sebagai negara yang

menganut paham kedaulatan hukum dapat dilihat pada

Pasal 1 ayat (3), Undang-Undang Dasar Tahun 1945

(pasca amandemen) yang menyebutkan bahwa: “Negara

Indonesia adalah negara hukum”. Demikian pula

dengan rumusan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

4. Tiga pandangan mengapa seorang mentaati hukum :

a. Pandangan pertama, adalah pandangan bahwa

merupakan “kewajiban moral” bagi setiap warga

negara untuk melakukan yang terbaik yaitu

senantiasa mentaati hukum, kecuali dalam hal hukum

memang menjadi tidak menjamin kepastian atau

inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul

dalam pemerintahan rezim yang lalim.

22

b. Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah,

adalah kewajiban utama bagi setiap orang (Prima

facie) adalah kewajiban mentaati hukum.

c. Pandangan Ketiga dianggap pandangan ekstrem

kedua yang berlawanan dengan pandangan pertama,

adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral

untuk hukum, jika hukum itu benar, dan kita tidak

terikat untuk mentaati hukum.

5. Penyebab orang mentaati hukum berawal dari

kesadaran hukum, berangkat dari hal itu maka orang

akan mentaati hukum. Namun sumber hukum yang

sebenarnya adalah keadilan artinya orang menaati

hukum agar tercipta keadilan di dalam masyarakat.

B. Saran

1. Pemerintah diharapkan melakukan perubahan dalam

UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, diharapkan

peraturan tersebut lebih memenuhi rasa keadilan

dalam masyarakat.

23

2. Setiap warga masyarakat harus mulai menanamkan

proses kesadaran hukum di dalam kehidupannya, hal

ini diharapkan dapat menciptakan ketaatan hukum

dalam berlalu lintas pada khususnya.

3. Pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan

benar-benar mensosialisasikan UU Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan serta membuat nyaman masyarakat

dalam proses penegakkan hukum.

4. Peran ahli ataupun akademisi di bidang hukum

untuk sama-sama menciptakan pemikiran-pemikiran

demi mengembangkan dan memperbaiki hukum itu

sendiri serta membantu proses penerapan dalam

masyarakat.

5. Bersama-sama untuk menciptakan keharmonisan dalam

proses bernegara dan berbangsa antara pemerintah,

aparat penegak hukum dan warga masyarakat agar

tercipta keadilan yang sebenarnya.

24