KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BUDAYA

55
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah klasik dalam kehidupan manusia. Pengertian kemiskinan sendiri adalah suatu konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak dari pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau manusiawi. Oleh karena itu dalam setiap pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan kemiskinan mendapatkan tempat yangcukup penting. Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam pembangunan, yang keberadaannya ditandai oleh adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Fenomena kemiskinan di Indonesia baru muncul setelah terbit buku Masri Singarimbun dan David H. Penny berjudul Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa pada tahun 1976. Setelah terbit buku tersebut barulah pembahasan berani dilakukan secara terbuka.Selanjutnya, berbagai riset oleh banyak pakar, serta ukuran-ukuran menyangkut garis kemiskinan menjadi topic yang menarik (Syafri Sairin,1997:65) Masalah kemiskinan di Indonesia sesungguhnya telah menjadi topik pembicaraan dan fokus kebijakan sejak pemerintahan kolonial Belanda,melalui kebijakan “politik Halaman 1 dari 55

Transcript of KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BUDAYA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan masalah klasik dalam

kehidupan manusia. Pengertian kemiskinan sendiri adalah

suatu konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak dari

pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perbaikan

yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem

sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih

baik atau manusiawi. Oleh karena itu dalam setiap

pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan

kemiskinan mendapatkan tempat yangcukup penting.

Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam

pembangunan, yang keberadaannya ditandai oleh adanya

pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat

menjadi ketimpangan.

Fenomena kemiskinan di Indonesia baru muncul setelah

terbit buku Masri Singarimbun dan David H. Penny berjudul

Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa pada tahun

1976. Setelah terbit buku tersebut barulah pembahasan

berani dilakukan secara terbuka.Selanjutnya, berbagai riset

oleh banyak pakar, serta ukuran-ukuran menyangkut garis

kemiskinan menjadi topic yang menarik (Syafri

Sairin,1997:65)

Masalah kemiskinan di Indonesia sesungguhnya telah

menjadi topik pembicaraan dan fokus kebijakan sejak

pemerintahan kolonial Belanda,melalui kebijakan “politik

Halaman 1 dari 55

etis” (Gunawan Sumodiningrat dkk, 1999:43).Masalah

kemiskinan dan ketimpangan tetap ada dan hidup

bersama bangsa ini. Walaupun perkembangan ekonomi

bangsa ini secara agregat dari tahun ketahun,

menunjukkan gambaran yang baik serta mendatangkan

sejumlah pujian dari banyak kalangan, namun di dalam

struktur ekonomi Indonesia sendiri segmen masyarakat

yang relatif tertinggal dan berkembang sangat stagnan,

kurang berdaya, dan secara relatif tidak memperoleh

manfaat maksimal dari hasil-hasil pembangunan. Mereka

ini adalah golongan miskin. Lapisan ini merupakan

bagian terbawah dari masyarakat dengan jumlah yang cukup

besar yakni 27 juta jiwa atau 11% dari total penduduk

Indonesia pada tahun 2014 (sumber : data BPS Maret 2014).

         Masyarakat primitif tidak bisa disebut

berkebudayaan miskin karena mereka tidak terstratifikasikan

dan mereka mempunyai kebudayaan yang relatif utuh.Demikian

juga masyarakat India, tidak bisa disebut berkebudayaan

miskin karena kebudayaan mereka terorganisasi dalam

panchayat dan mereka memiliki sistem kekerabatan

unilateral/klan. Begitu pula komunitas Yahudi, tidak bisa

disebut berkebudayaan miskin karena mereka memiliki tradisi

sastra yang tinggi.Masyarakat yang menganut sosialisme

tidak bisa disebut berkebudayaan miskin karena dalam diri

mereka tidak ditemukan perasaan putus asa, apatis dan

pasrah.

          Gagasan yang radikal dan revolusioner tentang

kemiskinan adalah konsep Oscar Lewis.Kemiskinan menurut

Halaman 2 dari 55

Oscar Lewis (1959), merupakan bagian dari kebudayaan

kapitalisme dimana sistem sosial dan ekonominya hanya

menyalurkan kekayaan ke tangan yang secara relatif

merupakan sekelompok kecil masyarakat sehingga jelas ada

tekanan-tekanan yang dilancarkan masyarakat yang lebih luas

terhadap warga masyarakat dan strukturnya sendiri. Hal yang

penting diingat dari tulisan Lewis adalah “Lebih mudah

menghapuskan kemiskinan daripada kebudayaan kemiskinan.”

Tentang profil kemiskinan Gunawan Sumodiningrat dkk

(1999:47-49) mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan

bukan saja masalah welfare, akan tetapi mengandung berbagai

alasan, sebagai berikut :Pertama, masalah kemiskinan

adalah masalah kerentanan (vulnerability). Misalnya jika

pembangunan struktur ekonomi dan pertanian dapat saja

meningkatkan pendapatan petani dalam besaran yang memadai,

akan tetapi jika terjadi kekeringan musim dua tahun

berturut-turut, maka akan dapat menurunkan tingkat hidupnya

sampai pada titik yang terendah.

Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada

berbagai peluang kerja, karena hubungan produksi di

dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka

untuk berpartisipasi dalam produksi, atau mereka

terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif,

yang menuntut kerja keras dalam jam kerja yang

panjang dengan imbalan yang rendah.

Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan,

perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit

desa dan para birokrat dalam menentukan keputusan

Halaman 3 dari 55

yang menyangkut dirinya tanpa memberikan

kesempatan untuk mengaktualisasikan ketidakberdayaan

menghadapi penyakit, kematian, kekumuhan, dan kekotoran.

Keempat, kemiskinan juga berarti menghabiskan semua

atau sebagian besar penghasilan golongan miskin untuk

konsumsi pangan dengan kuantitas dan kualitas yang

terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka amat rendah yang

mengakibatkan produktifitas dan etos kerja mereka rendah

pula. Di samping itu juga akan menghasilkan ketahanan fisik

yang juga rendah.

Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya

rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan

beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan

berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu

tingkat kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetisi merebut

peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-anak kaum miskin

akan berada pada pihak yang lemah.

Keenam, kemiskinan juga terefleksikan dalam

budaya kemiskinan, yang diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Penghapusan physical

poverty tidak secara otomatis akan menghapuskan culture of

poverty. Budaya kemiskinan yang secara turun temurun

antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk

melakukan mobilitas ke atas. Itu berarti menghambat

kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa depan.

Di Indonesia, orang yang pertama mengusulkan garis

kemiskinan adalah Profesor Sayogyo dari IPB. Garis

kemiskinan yang digunakan Biro Pusat Statistik (BPS)

Halaman 4 dari 55

merupakan modifikasi dari ukuran yang dianjurkan Prof.

Sayogyo. Bagi BPS, seseorang akan dikatakan miskin

apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan

minimum 2100 kalori per hari, ditambah dengan pemenuhan

kebutuhan pokok minimum lain seperti perumahan, bahan

bakar, sandang, pendidikan, kesehatan, dan transpor (BPS

1992). Hal yang perlu diingat dari ukuran ini adalah bahwa

garis kemiskinan ini sangat relatif dan dinamis,

tergantung pada perkembangan ekonomi, kondisi sosial, dan

pandangan kultural suatu masyarakat. Garis kemiskinan di

Indonesia berbeda bila dibandingkan dengan Malaysia, atau

USA. Demikian pula apabila kondisi ekonomi masyarakat

Indonesia makin maju, maka batas garis kemiskinan dapat

dinaikkan.

Garis kemiskinan BPS setara dengan nilai Rp 4.522 per

kapita per bulan untuk daerah perkotaan, dan Rp 2.849 per

kapita per bulan untuk daerah pedesaan, pada tahun 1976.

Dalam tahun 1990, nilai tersebut naik menjadi Rp 20.614

per kapita per bulan untuk daerah perkotaan, dan Rp

13.295 per kapita per bulan untuk daerah pedesaan.

Kenaikan nilai yang dibuat BPS di atas banyak dikritik

orang karena hanya dilakukan dengan cara penyesuaian

terhadap harga yang berlaku, tidak disesuaikan dengan

kenaikan rata-rata pendapatan per kapita rakyat

Indonesia dari $ 200 dalam tahun 1976 menjadi $ 600 per

tahun dalam tahun 1990.Angka ini terus naik seiring waktu

dan kesejahteraan warganya.

Halaman 5 dari 55

Susilo Bambang Yudhoyono (2004:26) dalam

disertasinya, menyebutkan bahwa jumlah pengangguran semakin

meningkat dari tahun 1998 sampai 2003, jumlahnya

diperkirakan 10,1 juta jiwa juga semakin menambah

kompleknya per- masalahan bangsa. Angka kemiskinan

pada tahun 1998 semakin membengkak menjadi 49,5

juta jiwa atau 24,20% dari total penduduk Indonesia,

walaupun selanjutnya menunjukkan penurunan sampai

pada tahun 2003.

Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam

sepuluh tahun pemerintahannya (2004 – 2014), telah

mencanangkan program pembangunan yang dikenal dengan triple

pack, yang terdiri dari : pro poor, pro growth dan pro employment.

Yaitu suatu program pembangunan yang mengarah pada

pengemtasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan di bidang

ekonomi serta perluasan lapangan kerja.

II. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat

disusun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa substansi kemiskinan..?

2. Bagaimana peran globalisasi membentuk kemiskinan dan

ketimpangan..?

3. Apa saja pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep

penenggulangan kemiskinan di Indonesia..?

4. Mengapa program-program anti kemiskinan di Indonesia

belum berhasil..?

Halaman 6 dari 55

BAB II

FILSAFAT KEBUDAYAAN, BUDAYA KEMISKINAN DAN

KONSEP KEMISKINAN

I. Filsafat Kebudayaan

Filsafat muncul dalam sejarah, mula mula sebagai

sanggahan terhadap ajaran tentang ketentuan hidup yang

dianut sebagai mitologi. Hal itu menunjukan bahwa kegiatan

filsafat selalu mempersoalkan dan menguji kembali

keadaan-keadaan yang sudah diyakini benar adanya. Istilah

“filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan

kata falsafah (arab), philosophy (Inggris), philosophia

(Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua

istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia.

Istilah Yunaniphilein berarti “mencintai” sedangkan philos

berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti

“bijaksana” sedangkan sophia berarti “kebijaksanaan”.

Pada dasarnya filsafat mempelajari arti-arti dan

menentukan hubungan-hubungan diantara konsep-konsep

dasar yang dipakai setiap ilmu, berbeda sudut

pandangan yang khusus sebagaimana dilakukan oleh seorang

ilmuwan. Para filsuf memakai pandangan yang menyeluruh

terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas (Tim Dosen

Filsafat ilmu UGM, 2001:20-21). Kaitannya dengan

kebudayaan, menurut Abdullah (2006: 9), harus dimulai

dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan

sebagai kebudayaan generik yang merupakan pedoman yang

Halaman 7 dari 55

diturun- kan, tetapi sebagai kebudayaan diferensial yang

dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial.  

Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara

turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara

kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat

situasional yang keberadaannya bergantung pada karakter

kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu

ke waktu. Konsep kebudayaan menduduki tempat utama

dalam kajian budaya. Bennet dalam Bakker (2005:9)

mendefinisikan sebagai bidang interdisipliner yang

secara selektif mengambil berbagai perspektif dari

disiplin ilmu lain untuk meneliti hubungan-hubungan

antara kebudayaan dan politik. Sifat dari kebudayaan itu

sendiri adalah dinamis, karena kebudayaan dialektis

dan terbuka terhadap apa yang dinamakan

perubahan.

Perubahan dalam kebudayaan diartikan sebagai

perkembangan dalam runtut- an waktu dan ruang,

kebudayaan berproses yang disesuaikan dengan

perkembangan dari masyarakat pemilik kebudayaan itu

sendiri. Kata budaya yang kemudian diberi awalan “ke” dan

akhiran “an” menjadi kebudayaan, memberikan konsep “budaya”

sebagai sebuah hasil. “Kebudayaan” sekarang mungkin memang

sudah semakin umum dipakai oleh cukup banyak orang.

  Kebudayaan adalah perwujudan proses pertumbuhan

dan perkembangan manusia dalam suatu masyarakat,sehingga

kebudayaan bukan kata benda melainkan sebagai kata kerja

(Sutrisno, 1983:25). Kebudayaan sebagai kata benda

Halaman 8 dari 55

merujuk bahwa kebudayaan adalah sebuah hasil produk

yang telah ditinggalkan. Kebudayaan sebagai kata kerja

merujuk bahwa kebudayaan adalah sebuah identitas, dan

identitas itu sedang berproses mencari jati diri.Manusia

menggeser teori ke praktik kebudayaan, tidak hanya

sekedar memberi konsep, namun lebih dari pada itu, manusia

mempraktek- kan teori ke dalam situasi konkret.

Akhirnya kebudayaan merujuk pada: Pertama, kebudayaan

merupakan cara seorang manusia mengekspresikan diri serta

cara manusia mencari relasi-relasi yang tepat untuk

menghadapi dunia sekitarnya. Kedua, kebudayaan pada

khususnya merupa- kan strategi untuk menyalurkan

relasirelasi itu secara optimal. Ketiga, kebudayaan nampak

sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang

dijalankan oleh umat manusia (Prasetyo, 2009:44-50).

Keempat, kebudayaan dimaknai sebagai tatanan ide atau

gagasan yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk

perilaku/tindakan; Kelima, kebudayaan suatu masyarakat

dalam bentuk benda hasil budaya yang bisa

dilihat/dirasa disebut sebagai artefak (Kusumohamidjojo,

2009 : 185).

Perkembangan kebudayaan tidak terlaksana di luar

manusia, melainkan manusia sendiri yang harus menemukan

suatu strategi kebudayaan. Kebudayaan pada akhirnya

tidak terhenti pada satu titik, namun berjalan

dinamis karena manusia sebagai pemilik kebudayaan menjadi

subjek yang sadar akan objeknya (Prasetyo,2009:78-79).

Proses selanjutnya,kebudayaan kemudian dibentuk melalui

Halaman 9 dari 55

proses pembelajaran, dengan begitu kebudayaan kemudian

disebarkan dari generasi ke generasi. Proses peralihan

kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya

didasarkan pada terjadinya penemuan dan hasil olahan dari

apa yang ditemukan baik di dalam masyarakat ataupun

di luar masyarakat pemilik kebudayaan asal

(Kusumohamidjojo,2009:188).

Menurut Bakker, sebagaimana dikutip Kusumohamidjojo

(2000:66) faktor yang menggerakkan manusia untuk

menghasilkan kebudayaan yakni; 1) Kondisi alam, yang

meliputi habitat (alam fisik) dan biome (alam lingkungan

organis manusia), 2) Evolusi dan degenerasi, 3)

Lingkungan social, 4) Dialektik perubahan. Harsojo dalam

Kusumohamidjojo (2000:67) mengemukakan factor perubahan

sebagai: 1) Kemampuan manusia untuk merespons

terhadapalam,2)Kemampuan manusia untuk mengembang- kan

intelegensinya yang kompleks, antara lain dengan berpikir

simbolis, berbahasa dan berbicara, 3)Kemampuan manusia

melakukan inovasi, menerapkannya dan menyebar- kannya ke

lingkungan masyarakat lain. Kebudayaan sebagai

ketegangan antara imanensi dan transendensi dapat

dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia

seluruhnya. Manusia menilai dan mengevaluasi alam

sekitarnya tetapi juga mengevaluasi alamnya sendiri.

Kebudayaan menunjukan suatu pengertian yang luas dan

kompleks. Di dalamnya tercakup segala sesuatu yang

terjadi dalam dan dialami oleh manusia secara personal

dan secara kolektif, maupun bentuk bentuk yang

Halaman 10 dari 55

dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang

dapat disaksikan di dalam sejarah kehidupannya. Baik hasil

hasil pencapaian yang ditemukan oleh umat manusia

dandiwariskan secara turun temurun, maupun proses

perubahan serta perkembangan yang sedang dilalui dari

masa ke masa (Poespowardojo dalam Sutrisno,1986:28).

Terpesona akan positivisme, Koentjaraningrat

(2000:203) membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur, yang

kemudian ditambahkan menjadi sembilan oleh Ahimsa-Putra

(2009: 2) yakni : 1) Sistem religi dan upacara

keagamaan, 2) Sistem dan organisasi keagamaan, 3)

Sistem pengetahuan, 4) Bahasa, 5) Kesenian, 6) Sistem mata

pencaharian hidup, 7) Sistem teknologi dan peralatan,8)

Sistem transportasi, dan 9) Sistem pelestarian.

Kebudayaan dan manusia adalah kesatuan. Manusia

merupakan agen pembuat sekaligus penikmat kebudayaan

itu sendiri. Kebudayaan adalah kodrat dari manusia,

karena kebudayaan dipahami sebagai milik bersama.

Kebudayaan kemudian menjadi intisegala aspek sisi

manusia.Keberadaan kebudayaan dalam kehidupan manusia

adalah fungsional dalam struktur–struktur kegiatan

untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai

manusia, yaitu sebagai acuan bagi manusia dalam

berhubungan dengan mengidentifikasi berbagai gejala

sebagai kategori-kategori atau golongan-golongan yang ada

di dalam lingkungannya. Kategori-kategori tersebut dapat

dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya

sebagai manusia (Suparlan,2004:5). Singkatnya kebudayaan

Halaman 11 dari 55

berperspektif filsafat adalah rangkaian proses hidup

yang terus-menerus bersesuaian dengan kegiatan jiwa dan

sekaligus terlihat pula sebagai kehidupan.

II. Budaya Kemiskinan

Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan

sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi,

ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi

sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam

kajian antropologi pembangun- an, ada sebuah ungkapan

terkenal: "poverty is a state of willingness rather than scarcity." Di luar

kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap

mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada

state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan,

kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.

Sedangkan definisi budaya kemiskinan adalah suatu

adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan

reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam

masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri

kapitalis. Kebudayaan tersebut mencerminkan satu upaya

mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan

perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa mustahil

dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan

nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas.

Menurut Oscar Lewis (1959) pemahaman tentang profil

kemiskinan (poverty profile) merupakan prasyarat bagi

ketepatan strategi pengentasan kemiskinan. Kemiskinan

bukanlah merupakan sesuatau yang tidak berbentuk

Halaman 12 dari 55

(amorphous), tetapi merupakan fenomena yang bersifat

kompleks dan multidimensional.  Culture of poverty adalah

adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal

mereka dimana kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan

dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut

mencerminkan upaya mengatasi keputusasaan dari angan sukses

di dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai dan tujuan

masyarakat yang lebih luas. Kebudayaan ini terdapat

padaMereka yang berasal dari strata sosial paling rendah,

sedang mengalami perubahan pesat dan yang telah terasing

dari masyarakat tersebut. Adapun ciri-ciri kebudayaan ini

adalah:

1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin

ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat. Mereka

berpenghasilan rendah namun mengakui nilai-nilai yang

ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka

sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status

namun tidak memiliki kesadaran kelas.

2. Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok,

penuh sesak, bergerombol dan rendahnya tingkat

organisasi di luar keluarga inti.

3. Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang

singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat

dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat, tingginya jumlah

perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal

dan otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi,

solidaritas semu.

Halaman 13 dari 55

4. Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan

tak berharga, tak berdaya, ketergantungan dan rendah

diri (fatalisme).

Berkaitan dengan kemiskinan, kebudayaan merupakan

adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan

reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka

didalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat

individualistik, dan berciri kapitalis. Teori kemiskinan

kebudayaan merupakan :

1. Penolakan terhadap kapitalisme; Budaya kemiskinan

sebagai bentuk ketidak- berdayaan menghadapi kekuatan

ekonomi kapitalisme yang telah mengeksploitasi kehidupan

sekelompok orang.

2. Sebagai proses adaptasi; Kemiskinan sebagai proses

adaptasi keluarga miskin karena perubahan sistem ekonomi

dari tradisional kepada kapitalisme dalam memenuhi

kebutuhannya.

3. Sebagai sub budaya sendiri; Kemiskinan yang diakibatkan

oleh faktor dari dalam diri individu sendiri dan

kelompok miskin, misalnya ; malas, fatalisme, rendah

diri, ketergantungan dan lainnya.

Dalam Buku, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of

Poverty, Oscar Lewis (1959) secara cemerlang menguraikan

betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang

miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis

utama Lewis adalah bahwa orang miskin memiliki

karakteristik dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan

orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur

Halaman 14 dari 55

tersendiri. Lewis menulis, "the culture of poverty indicates that poor

people share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from

the rest of society and these characteristics perpetuate their life of poverty”.

Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan

negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan

ketimpangan ekonomi atau regulasi pemerintah yang tak adil,

sehingga membuahkan marginalisasi sosial.

Menurut Lewis (1959) karakteristik kebudayaan

kemiskinan antara lain : 1) Rendahnya semangat dan dorongan

untuk meraih kemajuan, 2) Lemahnya daya juang (fighting spirit)

untuk mengubah kehidupan, 3) Rendahnya motivasi bekerja

keras, 4) Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing

pandum, 5) Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan

ekonomi, 6) Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan

yang lebih baik, 7) Cenderung mencari kepuasan sesaat

(immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-

time orientation), 8) Tidak berminat pada pendidikan formal

yang berdimensi masa depan.

Lebih lanjut, Oscar Lewis (1959) memaknai kemiskinan

sebagai ketidak sanggupan seseorang atau sekelompok orang

untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan

dasar materialnya. Dalam konteks pengertian Lewis,

kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang untuk bisa

memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan,

sandang, dan papan untuk kelangsungan hidup dan

meningkatkan posisi sosial-ekonominya.Sumber-sumber daya

material yang dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat

terbatas, sekadar mampu digunakan untuk mempertahankan

Halaman 15 dari 55

kehidupan fisiknya, tidak memungkinkan bisa dimanfaatkan

untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kemiskinan ini

selalu merupakan lingkaran setan, umpamanya karena

pendapatan kecil, maka akan mengalami kekurangan pangan,

tidak dapat berpakaian yang layak, dan kondisi papannya pun

jauh dari memenuhi syarat sebagai tempat "berteduh".

Keadaan itu mengakibatkan tingginya kepekaan atau beresiko

besar untuk terserang penyakit, tingkat produktivitas kerja

yang rendah, tingkat pendidikan yang juga rendah, dan

akibat lanjutannya adalah dengan sendirinya pendapatan yang

diterimanya pun akan sangat rendah pula. Berarti di sini

kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak.

Bagi Oscar Lewis (1959), kemiskinan yang bersangkut-

paut dengan keterbatasan pemilikan dan penguasaan sumber-

sumber dasar material itu selanjutnya akan merefleksi kan

suatu cara hidup tertentu atau budaya kemiskinan, yang

ciri-cirinya antara lain fatalistik, meminta-minta, selalu

mengharapkan bantuan, serta cenderung suka berjudi dan

mabuk-mabukan (terutama untuk masyarakat miskin kota).

Malah, jaringan-jaringan dan organisasi-organisasi sosial

yang terbentuk pada masyarakat miskin itu bukannya

mendorong pada peningkatan status ekonomi mereka, tetapi

menjerat mereka untuk tetap berada dalam lingkaran

kemiskinan. Dengan kata lain, budaya kemiskinan dan

institusi sosial yang muncul dari kemiskinan cenderung akan

memperkuat dan memapankan kemiskinan itu sendiri, bukannya

menemukan jalan dan atau ruang bagi para pendukungnya untuk

bisa naik status sosial-ekonominya.

Halaman 16 dari 55

Lewis (1959) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah suatu

sub-kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi.Ia

membawakan pandangan lain bahwa kemiskinan bukan hanya

masalah kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau kelangkaan

sumber daya. Kemiskinan dalam beberapa hal bersifat positif

karena memberikan jalan keluar bagi kaum miskin untuk

mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Culture of poverty,

lanjutnya, mewujud dalam masyarakat yang memiliki kondisi

seperti:

Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi

untuk keuntungan.

Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi.

Upah buruh rendah.

Tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah

meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya

secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.

Sistem keluarga bilateral lebih menonjol.

Kuatnya seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang

menekankan penumpukan harta dan adanya kemungkinan

mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada anggapan

bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil

ketidaksanggupan pribadi/memang pada dasarnya sudah

rendah kedudukannya.

Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak

belakang dengan ciri-ciri manusia modern sebagaimana

gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern

(1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju,

pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan. Dengan

Halaman 17 dari 55

demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni

mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada

problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau

masalah struktural.

III. Konsep Kemiskinan

Professor Martin Rein (1970), mengajukan 3 konsep umum

tentang kemiskinan, masing-masing dari sudut-pandang

“subsistence,” “inequality,” dan “externality”. Dengan penjelasan

sebagai berikut :

A. Kemiskinan Subsistence

Berkenaan dengan kecukupan akan kebutuhan makanan

minimum yang diperlu- kan seseorang untuk menjaga agar dia

tetap dapat hidup sehat dan bekerja. Pada masa kini,

konsep ini disebut dengan istilah “kemiskinan absolut,”

dan digunakan secara luas oleh banyak negara di dunia.

Pendekatan yang paling umum dalam mengukurnya adalah

dengan cara menetapkan “garis kemiskinan”. Setelah garis

itu ditetapkan maka dapatlah ditentukan siapa yang

penghasilan berada di bawah garis kemiskinan dan siapa

yang di atas garis kemiskinan. Untuk membuat garis

kemiskinan, sebuah negara memerlukan indikator. Indikator

ini dapat bersifat tunggal seperti nilai gizi (kalori)

dari bahan makanan pokok, tapi juga dapat bersifat ganda

dengan cara menambahkan indikator bahan makanan dengan

indikator non-makanan.

Halaman 18 dari 55

B. Kemiskinan Inequality

Konsep kemiskinan dari sudut-pandang “inequality,”

atau “kesenjangan”, adalah berkenan dengan posisi

kemakmuran seseorang individu (atau suatu kelompok) bila

dibandingkan dengan individu (kelompok) lain dalam

masyarakat yang sama. Pada masa kini konsep ini lebih

dikenal dengan istilah “kemiskinan relatif,” atau

“pemerataan pendapatan”.

Situasi kesenjangan dalam distribusi pendapatan

biasanya diukur dengan metode “kurva Lorenz” yang

menghasilkan angka “Koefisien Gini”. Dalam metode ini,

seluruh penduduk sebuah negara (daerah) dibagi kedalam

3 kelompok, yang masing-masing terdiri atas 20% penduduk

berpenghasilan tinggi, 40% berpenghasilan menengah, dan 40%

berpenghasilan rendah. Menurut Prof. Emil Salim, dalam

pidato pengukuhan beliau tahun 1976 mengatakan bahwa

apabila 40% kelompok berpenghasilan rendah memperoleh

17% atau lebih dari total pendapatan nasional, maka

tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam negeri itu

adalah rendah (baik). Tapi apabila yang diterima oleh

kelompok 40% berpenghasilan rendah itu adalah dibawah 12%,

maka tingkat ketimpangan ekonominya adalah tinggi (buruk).

Di Indonesia, ahli yang dianggap pertama dalam

meneliti dan mengukur kesenjangan ini adalah Prof.

Hendra Esmara dari Universitas Andalas dan Dr. Thee Kian

Wie dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut

Thee (1981), secara umum distribusi pendapatan nasional di

Halaman 19 dari 55

Indonesia cukup baik; tapi kalau perbandingan distribusi

itu dibuat antar propinsi, dan antara desa dan kota,

maka hasilnya lebih buruk (lebih senjang).

C. Kemiskinan Externality

Konsep ini lebih menyangkut soal-soal “konsekwensi

sosial dari kemiskinan terhadap kelompok yang tidak

miskin”. Bagaimanapun konsep “externality” ini perlu

dipertimbangkan dalam penelitian dan dalam upaya

pengentasan kemiskinan, khususnya dalam menjaga dampak

dari kecemburuan sosial orang miskin terhadap orang kaya.

Menurut Martin Rein, “Orang jangan dibiarkan menjadi

begitu miskin, sedemikian rupa, sehingga mereka membuat

gangguan terhadap masyarakat umum”. Bukanlah

kesengsaraan dan kemelaratan orang miskin, tapi keonaran

dan biaya yang ditimbulkan oleh perilaku mereka terhadap

masyarakatlah yang menjadi titik penting dalam konsep

kemiskinan ini”.

Di Indonesia, dampak ini dapat dilihat tandanya

dari berapa tinggi dan kuat pagar rumah orang kaya, berapa

banyak rumah yang menggunakan Satpam, berapa banyak mobil

yang digores tukang parkir liar karena percekcokan uang

parkir, berapa banyak nyawa yang melayang dalam

perkelahian dan perampokan yang memperebutkan sebuah

arloji butut, atau berebut uang lima ribu perak, dan

seterusnya. Kiranya tema “dampak sosial dari kemiskinan

terhadap ketenteraman sosial” ini sudah perlu mendapat

perhatian yang lebih serius dari peneliti ahli

Halaman 20 dari 55

Kriminologi, Kesejahteraan Sosial, Sosiologi, Hukum, dan

Psikologi sosial.

Halaman 21 dari 55

BAB III

KEMISKINAN GLOBAL

I. Fakta Keterkaitan Globalisasi Ekonomi dan Kemiskinan

Para pemimpin-pemimpin lembaga-lembaga Bretton Woods

(seperti Bank Dunia, IMF, WTO dan lain lain), menyatakan

bahwa tujuan utama mereka mendesakkan globalisasi ekonomi

adalah untuk membantu kaum miskin di dunia. Mereka

berpendirian bahwa gagasan terbaik menuju pertumbuhan

adalah dengan menghilangkan sejumlah hambatan terhadap

perdagangan perusahaan besar dan berbagai investasi

keuangan.Dengan pertumbuhan ekonomi adalah jalan terbaik

untuk keluar dari kemiskinan (Jerri Mander dkk, dalam A.

Widyamartaya, 2003:3).

Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan

mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat

penting dari lembaga-lembaga tersebut.Tahun 1990, Bank

Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty

mendeklarasikan suatu peperangan yang berhasil melawan

kemiskinansecara serentak pada tiga front :

1) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang

menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi

kelompok miskin.

2) Pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang

memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk

memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh

pertumbuhan ekonomi.

Halaman 22 dari 55

3) Membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang

diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mampu

untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan

ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik

dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi

secara fisik.

Namun fakta-fakta dari tahun 1970 hingga 2000 dimana

ini adalah masa pengaruh tercepat dari globalisasi ekonomi,

justru menunjukkan kondisi sebaliknya. UNDP dalam

laporannya tahun 1999, menemukan bukti bahwa ketimpangan

antara orang kaya dan orang miskin di dalam Negara maupun

antar Negara dengan sangat cepat justru meluas. Penyebab

utamanya, menurut laporan UNDP tersebut adalah system

perdagangan dan system keuangan global.

Globalisasi ekonomi membuat segala sesuatu menjadi

buruk bagi orang-orang miskin. Ideologi dan aturan

globalisasi seperti perdagangan bebas, deregulasi,

privatisasi dan penyesuaian struktural terbukti telah

menghancurkan penghidupan berjuta-juta orang. Mereka ini

tidak lagi memiliki akses lagi terhadap pelayanan publik

yang paling pokok seperti kesehatan dan perawatan medis,

pendidikan, sanitasi, air bersih, angkutan umum, pelatihan

kerja dan sebagainya.

IMF dan Bank Dunia sangat gencar berusaha mengubah

system secara total dari orientasi local ke dalam system

produksi berbasis ekspor, hal ini mengakibatkan negara-

negara client-nya seperti Indonesia untuk mengekspor

sebagian besar produksi pangan dan Sumber Daya Alam (SDA)

Halaman 23 dari 55

mereka keluar negeri. Padahal rakyat dalam negerinya

mengalami kelaparan dan membutuhkan SDA. Dibidang

pertanian, dampak paling traumatis adalah penciptaan

kemiskinan dengan penghancuran lingkungan hidup dalam wujud

perekonomian local yang sangat dipaksakan, yaitu perubahan

dari model pertanian yang terdiversifikasi dalam skala

kecil menuju model ekspor industrial. Perubahan itu

digerakkan oleh korporasi-korporasi global.

Sistem-sistem kemandirian lokal merupakan “barang

haram” bagi korporasi dan birokrasi yang melayaninya. Dalam

system perekonomian global, keuntungan-keuntungan korporasi

global sepeti Monsanto, Cargill dan Archer Daniels Midland

dan lain-lain berasal dari besarnya peningkatan aktivitas

pengolahan dan perdagangan global. Mereka rela mengeluarkan

berpuluh-puluh juta dolar untuk public relation dan proganda

iklan, untuk mengkampanyekan bahwa “petani-petani kecil

tidak cukup produktif untuk memberi makan pada dunia yang

dirundung kelaparan”. Sehingga korporasi-korporai global

tersebut masuk dengan system pertanian monokultur untuk

menggantikan system pertanian local yang memiliki

diversifikasi tanaman yang cukup tinggi untuk memenuhi

kebutuhannya sendiri. Model agrobisnis seperti ini tentu

saja tidak menekankan pengembangan tanaman pangan bagi

konsumsi penduduk local, tetapi lebih pada komoditas

internasional dengan tingkat harga dan keuntungan yang

sangat tinggi, seperti kopi, teh, kelapa sawit, kapas,

udang, sapi dan berbagai sayuran eksotik yang dikirim ke

Halaman 24 dari 55

negara-negara yang sudah memiliki kelimpahan persediaan

bahan pangan.

Korporasi-korporasi besar tersebut lebih mengutamakan

mesin, bioteknologi dan produksi berbasis pestisida.

Sehingga rakyat yang semula mampu mencukupi kebutuhan

pangannya sendiri kini lenyap. Pada akhirnya para petani

dan keluarga mereka membanjiri kota-kota dan tinggal di

pemukiman-pemukiman kumuh yang padat berjejal, tanpa

topangan akar budaya dan tapa pelayanan umum. Di kota

mereka harus berkompetisi mati-matian berebut peluang kerja

yang sangat terbatas di pabrik-pabrik yang juga dijalankan

oleh korporasi-korporasi gobal juga.

II. Structural Adjusment Program

Perdagangan bebas mensyaratkan semua negara

menggunakan model perekonomian yang sama. Sehingga

hilanglah segala variasi yang memperlambat laju gerak

operasi global dari perusahaan-perusahaan besar dalam

mencari sumber-sumber daya baru, pasar dan tenaga kerja

yang murah. Bagi perusahaan global tidaklah efisien apabila

setiap bangsa di dunia dibiarkan mengungkapkan sendiri-

sendiri apa yang paling baik bagi rakyatnya melalui undang-

undangnya sendiri yang demokratis. Undang-undang yang

disusun untuk melindungi sumber-sumber daya dan lingkungan

hidup, atau pelayanan-pelayanan social bagi kaum miskin,

hak-hak para pekerja setempat, membantu bisnis-bisnis kecil

untuk terus hidup, mensyaratkan para investor asing untuk

menyertakan rekan-rekan dalam negeri.Undang-undang semacam

Halaman 25 dari 55

ini diangap sebagai rintangan yang sangat mengganggu

kebebasan perusahaan besar, sehingga harus diubah dan bila

perlu dilenyapkan.

Structural Adjusment Programs (SAP) adalah instrument dari

IMF yang sangat kuasa dan berbahaya. Berbagai kebijakan

dirancang untuk membentuk kembali secara langsung seluruh

perekonomian nasional sehingga tepat, sesuai dengan semua

negara lainnya dan ideology pasar bebas. Penyesuaian-

penyesuaian ini ditentukan secara rutin, sebelum Bank Dunia

dan IMF menyetujui pinjaman bahkan kepada Negara-negara

teramat miskin sekalipun (Jerri Mander dkk, dalam A.

Widyamartaya, 2003:9-12). Contoh beberapa persyaratan SAP

adalah sebagai berikut :

1) Penghapusan tarif-tarif yang membantu industry-industri

kecil local agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan

dengan perusahaan-perusahaan besar global.

2) Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang mungkin

dapat menghambat atau terlalu banyak mengatur masuknya

investasi luar negeri. Sehingga mempermudah para modal

dan korporasi global untuk bebas masuk dan menguasai

bisnis-bisnis di tingkat local.

3) Penghapusan control harga, bahkan yang berkenaan dengan

kebutuhan pokok seperti pangan, listrik dan air. Tetapi

secara tidak adil mewajibkan pemberlakuan control atas

upah buruh.

4) Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan social dan

badan-badan yang menjalankannya. Berbagai layanan

tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya

Halaman 26 dari 55

gratis bagi rakyat, kini menjadi berbiaya yang ujung-

ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi-korporasi

global.

5) Pengahancuran secara agresif atas program-program rakyat

untuk mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok

seperti pangan, angkutan, industry dasar dan sumber-

sumber daya dasar.

6) Perubahan yang dipaksakan secara cepat atas perekonomian

dalam negeri untuk menekankan produksi berorientasi

ekspor.

Dibawah program penyesuaian structural (SAP) ini,

banyak negara berkembang mengekspor berbagai produk

pertanian dan tambang yang serupa, bahkan kerapkali sama

kenegara-negara industri. Kebijakan devaluasi mata uang

nasional, maka impor-impor (biasanya mesin dan suku cadang)

menjadi lebih mahal. Begitu pula dengan industri-industri

domestic yang tergantung pada bahan impor kian terhimpit,

efeknya banyak pekerja di PHK. Kebijakan menaikkan suku

bunga oleh IMF telah menghalangi usaha kecil dalam

mendapatkan modal, baik untuk mempertahankan maupun

mengembangkan usahanya. Dampak buruk kebijakan SAP ini juga

berdampak pada bidang kesehatan, pendidikan dan ketahanan

pangan karena resep IMF adalah sama, yaitu privatisasi.

Dibidang pangan, upaya pemberantasan kelaparan dan

mengangkat kedaulatan ekonomi para petani kecil melalui

liberalisasi pertanian justu menciptakan suatu sistem

pangan global yang terstruktur. Sistem ini melayani

Halaman 27 dari 55

berbagai kepentingan negara-negara kaya semata, namun

menindas petani-petani miskin di seluruh dunia.

III. Ketidaksambungan Program Bank Dunia dan Budaya Korupsi

Dalam buku Mortaging the Earth, Bruce rich (1994)

menyebutkan bahwa dalam semangatnya, Bank Dunia berusaha

mengurangi kemiskinan dalam satu paket dengan pelestarian

lingkungan yang berkelanjutan. Namun ketika memasuki usia

dasawarsa keenam, dalam usahanya memajukan pembangunan

ternyata kaum miskin di sebagian besar negara peminjam

justru lebih buruk. Pendapatan 70 dari 100 negara rata-rata

merosot, terutama di negara-negara bekas Uni Sovyet.

Audit internal Bank Dunia sendiri menyingkap kegagalan

sebesar 51%.Tingkat kegagalan lebih akut di sector-sektor

pembanguanan yang paling penting. Di Afrika, proyek-proyek

yang berlanjut hanya sekitar 30% tiap tahunnya. Demikian

juga untuk pinjaman hutang bagi bidang kependudukan,

kesehatan dan gizi peluang untuk proses berkelanjutannya

terus merosot.

Dibawah kepemimpinan Presiden James D. Wolfensohn,

prestasi Bank Dunia terus memburuk.Terutama di sektor-

sektor sosial dan lingkungan hidup.Secara khusus ini

berarti jika suatu proyek tidak menghasilkan sejumlah

manfaat lebih atau berkesinambungan.Maka peningkatan beban

hutang hasil pinjaman dari Bank Dunia itu tidak lebih dari

sekedar sebuah upaya penghisapan perekonomian terhadap

negara-negara miskin semata.Sehingga banyak

Halaman 28 dari 55

ketidaksambungan antara tujuan-tujuan yang dinyatakan

dengan catatan-catatan prestasinya.

Persoalan besar lain di Bank Dunia adalah menyangkut

mekanisme kerja, yang mendorong terjadinya penyelewengan

dana dan korupsi secara sistematis di sejumlah Negara

peminjam utama Bank Dunia. Di bawah kepemimpinan Wolfensohn

tidak berdaya memerangi dan mencari akar persoalan korupsi.

Padahal akar persoalannya adalah tekanan internal Bank

Dunia sendiri ntuk terus meminjamkan uang, kendati teramat

kecil kesesuaian dengan pemenuhannya.,

Contoh kasus di Indonesia, dalam konferensi pers di

Jakarta Juli 1997 Prof. Jefrey Winter mengatakan bahwa

bobroknya pengelolaan yang dilakukan Bank Dunia telah

memungkinkan para pejabat Indonesia yang korup melakukan

pencurian sebanyak 30% dari dana-dana pinjaman Bank Dunia

selama lebih dari 30 tahun. Namun anehnya Bank Dunia di

tahun fiscal 1998, tetap mengeluarkan lebih dari 1,3 milyar

dollar kepada Indonesia tanpa disertai langkah-langkah yang

efektif untuk mencegah terjadinya kebocoran lebih lanjut.

IV.Konsep Negera Berkesejahteraan (Welfare State)

Salah satu ilmuwan sosial dunia, Walter A Friedlander

memaparkan bahwa Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang

terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang

dirancang untuk membantu individu atau kelompok agar dapat

mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih baik.

Secara umum, kesejahteraan sosial bisa dikatakan sebagai

sebuah program kegiatan pelayanan sosial yang tersusun

Halaman 29 dari 55

secara sistematis dan terorganisir yang bertujuan untuk

membantu setiap individu maupun kelompok masyarakat

tertentu agar mampu berfungsi sosial kembali dalam

kehidupan bermasyarakat. Dalam artian, bahwa setiap orang

yang mengalami disfungsi sosial merupakan objek daripada

ilmu kesejahteraan sosial tersebut, atau berdasarkan studi

tersebut mereka yang mengalami disfungsi sosial disebut

dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Mereka yang termasuk dalam penyandang masalah

kesejahteraan sosial ini dikatakan tidak mampu dalam

memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia yang terdiri

dari:

1. Kebutuhan biologis dan fisiologis (Sandang, Pangan,

Papan)

2. Kebutuhan akan rasa aman.

3. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.

4. Kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri.

Konsep welfare state sendiri merupakan suatu bentuk

formulasi pembangunan yang lahir melalui ideologi marxis,

sosialis, dan sosialis demokratik (Spicker, 1995), namun

dalam perkembangannya, konsep ini justru banyak diterapkan

di negara-negara yang berideologi liberalis dan

kapitalis.Disisi lain, Konsepsi Welfare State ini malahan

dianggap sebagai “penawar dosa” yang dihasilkan dari sistem

kapitalis, dengan kata lain, konsepsi welfare state ini

sering disebut sebagai wujud dari “Kapitalis Baik Hati”. Di

Eropa, Berkembangnya Welfare state ini berawal dari suatu

sistem yang berawal di Inggris sebagai bentuk alternatif

Halaman 30 dari 55

perbaikan kondisi sosial masyarakat yang selama ini

berbentuk the poor law yang dianggap kurang efektif dalam

menyelesaikan permasalahan sosial, dimana the poor law ini

secara praksis menyediakan 3 aturan pokok yang harus

dilakukan negara terhadap rakyatnya, yaitu:

1. Bagi orang tua (Lansia) harus dirawat di panti dan

seluruh pelayanannya ditanggung oleh negara.

2. Bagi anak-anak harus dititipkan di panti anak atau

dijadikan anak asuh oleh keluarga tertentu untuk

diberikan pendidikan yang layak.

3. Bagi orang dewasa yang secara fisik masih sehat,

diwajibkan untuk bekerja (apapun itu) dan lapangan

pekerjaannya akan disediakan oleh negara, apabila

menolak maka warga tersebut akan di bina di lembaga

permasyarakatan.

Artinya, secara konsepsi, Para penganut konsepsi

welfare state ini beranggapan bahwa sudah saatnya Inggris

mengubah sistem pelayanan sosialnya dalam bentuk welfare

state ini. Bentuknya yaitu dengan cara menyelenggarakan

pembangunan ekonomi yang merata baik setiap rakyatnya.

Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar

negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy

Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah

memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness

(atau welfare) of the greatest number of their citizens.

Dalam konstitusi Negara Indonesia, tercantum dalam UUD

1945, konsep welfare state tertuang dalam pasal 34 ayat 2

“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh

Halaman 31 dari 55

rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak

mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” dan ayat 3

“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

layak”.

Halaman 32 dari 55

BAB IV

ANALISA KEMISKINAN DI INDONESIA

I. Kemiskinan Konteks Indonesia

DeTik edisi 12-18 Mei 1993, menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan kemiskinan di Indonesia adalah 4 macam

kondisi kehidupan. Pertama adalah kondisi kehidupan

seperti yang dialami “masyarakat pemburu-peramu-nomaden”

(foraging group), kedua adalah kondisi kehidupan seperti yang

dialami “masyarakat berpenghasilan rendah sekali,” ketiga

adalah kondisi “kesenjangan”, dan keempat adalah

“kemiskinan di tengah kemakmuran”.

Bagi Amri Marzali (1993) cara pendefinisikan dan

pengklasifikasian kemiskinan seperti di atas terasa agak

janggal menurut pendapat umum. Pertama, dalam contoh

“masyarakat pemburu-peramu-nomaden”, yang di Indonesia

digolongkan orang sebagai “suku terasing”, misalnya Orang

Kubu di Jambi dan Orang Tugutil di Maluku. Apakah kondisi

kehidupan mereka dapat disebut miskin? Orang-orang

antropologi malah mengira bahwa justru merekalah yang

sebenarnya “the most affluent society”, karena mereka mampu

memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara yang paling

mudah, yaitu sekedar memungut apa yang disediakan alam.

Tambahan lagi, mereka mempunyai waktu lowong (leisure time)

yang begitu banyak.

Kejanggalan kedua bagi Amri Marzali, bahwa apa yang

dimaksud dengan “kondisi kesenjangan” sebenarnya adalah

setali tiga uang dengan “kemiskinan di tengah

Halaman 33 dari 55

kemakmuran”, yang oleh para peneliti kemiskinan disebut

dengan istilah “kemiskinan relatif”, atau kesenjangan

dalam distribusi pendapatan.

Tujuan pembangunan nasional, sebesar-besar kemakmuran

rakyat mengharuskan pemerintah untuk melakukan

pemberantasan kemiskinan. Apabila dikelola dengan baik dan

benar, investasi bidang perkebunan mempunyai peran

signifikan dalam memberantas kemiskinan, karena investasi

bidang perkebunan memerlukan tanah luas dan tenaga kerja

yang banyak dapat digunakan sebagai strategi distribusi

pemerataan pemilikan hak atas tanah (landreform) yang

merupakan faktor produksi terpenting bagi rakyat, khususnya

petani/pekebun sebagai bagian dari upaya penegakan hak

asasi manusia di bidang ekonomi (pemberantasan kemiskinan),

yaitu meningkatkan pendapatan petani/pekebun.

Kemiskinan sebagai akibat negatif investasi yang tidak

dikelola dengan baik dan benar dapat saja muncul sebagai

dampak negatif globalisasi perdagangan dunia harus

diantisipasi dan dicari alternatif penyelesainnya. Mantan

Sekretaris Jendral PBB, Koffi Anand, menyatakan bahwa 10

(Sepuluh) tahun mendatang dunia akan mengalami bahaya

bersama berupa “Bahaya Kemiskinan” sebagai bagian dari

“Bahaya Peradaban”,berupa: 1)Kemiskinan (Freedom from Prosperity);

2) Ketakutan (Freedom from Fear); 3) Kejahatan Transnasional,

Terrorisme, Bahaya Nuklir dan Kimia (Mass Weapon Destructions)

dan; 4) Tantangan untuk menciptakan To Live in Dignity, dengan

mengembangkan 3 (tiga) pilar utama, yaitu pembangunan,

keamanan dan penegakan HAM.

Halaman 34 dari 55

Bahaya peradaban berbeda dengan bahaya pada umumnya,

karena memiliki karakteristik: 1) Dihadapi semua bangsa;

2) Akan dihadapi pada masa 10 (sepuluh) tahun yang akan

datang dan; 3) Tidak akan dapat dipecahkan oleh negara

secara perseorangan, karena terdapat faktor-faktor yang

bersifat interdependent dan linkage, oleh karena itu bahaya

kemiskinan hanya dapat ditanggulangi atas dasar prinsip

tanggung jawab bersama (Shared Responsibility).

Keharusan adanya tanggung jawab bersama untuk

memerangi bahaya kemiskinan timbul karenabahaya yang akan

dihadapi masing-masing negara berbeda dan kemampuan negara-

negara untuk beradaptasi menghadapi bahaya peradaban yang

menuntut adanya keunggulan komparatif dan keunggulan

kompetitif masing-masing negara juga tidak sama. Pada

situasi dan kondisi demikian, investasi yang dikelola

dengan baik dan benar oleh negara/pemerintah, termasuk

investasi bidang perkebunan berpengaruh signifikan dalam

pemberantasan kemiskinan.

Bagi negara miskin dan berkembang, pemberantasan

kemiskinan merupakan kewajiban utama negara/pemerintah

dalam penegakan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial

dan kultural serta koreksi politik terhadap negara maju

yang menerapkan : 1) Ketidakadilan, 2) Standart Ganda, 3)

Kebijaksanaan yang tidak adil terhadap negara miskin dan

berkembang.

Muladi (2004) menyatakan bahwa Berdasarkan subjek,

objek atau generasi yang melekat padanya, maka apabila hak-

hak sipil dan politik disebut Generasi I HAM dan sering

Halaman 35 dari 55

disebut juga dengan “true human rights” di mana individu

mengharapkan perlindungan dari negara (Negative Rights).Maka HAM

Ekonomi, Sosial dan Kultural disebut sebagai Generasi II

HAM, dimana negara harus mengambil langkah-langkah aktif

untuk merealisasikannya (Positive Rights).HAM ini banyak

diperjuangkan oleh negara-negara sedang berkembang

(Developing Countries) dan sering dinamakan “Utopian Aspiration, Non-

Legal And Non-Justiciable”. Kategori HAM Generasi III diberikan

kepada hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat

manusia berdasarkan rasa persaudaraan dan solidaritas yang

sangat dibutuhkan. HAM ini meliputi antara lain: “The right to

development; right to peace and right to healthy and balanced

environment(Muladi, 2004:9-10).

Berdasarkan pendapat Muladi, penegakan hak-hak rakyat

untuk membangun kesejahteraan hidupnya melalui penegakan

Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi merupakan bagian tak

dapat terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara keseluruhan

yang dijamin Hukum Internasional. Khusus untuk penegakan

HAM Generasi II yang meliputi HAM Ekonomi, Sosial dan

Kultural negara/pemerintah wajib untuk mengambil langkah

aktif merealisasikannya, karena HAM Ekonomi, Sosial dan

Kultural berkedudukan sebagai positive rights.

Bagi Indonesia, sebagai negara berkembang dengan

kondisi masyarakatnya yang umumnya lemah secara ekonomi,

rendah pendidikan, dan majemuk (plural), dan sangat

membutuhkan investasi untuk menggerakkan pembangunan

ekonominya, penegakkan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi,

sosial dan kultural berdasarkan asas, norma, prinsip hukum

Halaman 36 dari 55

dan standar internasional yang selanjutnya ditranformasikan

ke sistem hukum (peraturan) nasional mulai dari “soft law”

sampai menjadi “hard law” sering menjadi persoalan dilematis,

sensitif dan kompleks.

Kesulitan yang dialami pemerintah Indonesia dalam

membentuk peraturan HAM Ekonomi, Sosial dan melaksanakan

penegakannya, muncul karena masih adanya perbedaan

penafsiran antara rejim hukum internasional dan rejim hukum

nasional terhadap substansi dan standar HAM, kemajemukan

kultur masyarakat dan hukum di Indonesia yang menjadi

sumber nilai dan asas pembentukan peraturan di Indonesia.

Upaya negara/pemerintah memerangi dan memberantas

kemiskinan yang dilakukan melalui strategi pemberian

berbagai fasilitas dan kemudahan bagi investor dalam

menanamkan modalnya yang tertuang dalam berbagai peraturan

investasi sebagai bagian dari upaya mensejahterakan

masyarakat seringkali dinilai sebagai tindakan yang

bersifat diskriminatif oleh masyarakat, melanggar hak

asasi manusia dan merupakan ketidakadilan, sehingga

menimbulkan tuntutan penegakan HAM Ekonomi, Sosial dan

Budaya.

Apabila mengkaji profil dari masyarakat, maka

kemiskinan sebenarnya bukan masalah kesejahteraan,

melainkan mengandung berbagai isian. Pertama, masalah

kemiskinan adalah masalah kerentanan. Kedua, masalah

tertutupnya akses ke berbagai peluang sumber daya

produktif, termasuk modal, sumberdaya alam, bahkan

kesempatan kerja. Ketiga, kemiskinan adalah maslah

Halaman 37 dari 55

ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial

dalam mengahadapi kekuasaan dalam hal-hal yang menyangkut

pembuatan keputusan yang berhubungan dengan dirinya.

Keempat, kemiskinan juga berarti rendahnya ketahanan fisik

dan intelektual karena keterbatasan kandungan konsumsi

fisik dan non-fisik.Kelima, kemiskinan berbentuk

ketergantungan, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi

pada pihak lain. Keenam, kemiskinan berarti adanya sebuah

sistem nilai “kemiskinan” yang diwariskan dari suatu

generasi- kemudian disebut kemiskinan cultural (Gunawan

Sumodiningrat, 2005 : 78).

Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung

menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural

dengan kemiskinan kultural, terlebih jika dikaitkan dengan

kemiskinan yang terjadi di Indonesia, selain sebagai negara

sedang berkembang, Indonesia mengalami proses sejarah

penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun, dalam

tahap itu pemerintah kolonial belanda menanamkan

komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan

lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya

adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka

yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa.

Pasca kolonialisme pemerintah orde lama, lebih fokus

pada pembangunan aspek politik, yakni proses

pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini

kondisi perekonomian negara jauh dari stabil dan,

penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas.Dalam

Halaman 38 dari 55

kondisi ini masyarakat Indonesia tidak beranjak dari

situasi miskin karena secara struktural tidak

terprioritaskan. Kondisi ini secara alami memperburuk sikap

mental kemiskinan kultural sebagaimana faham jabariyah,

yaitu munculnya justifikasi jika miskin adalah takdir,

orang miskin masuk surga dan tumbuhnya fatalisme kronis

dalam masyarakat.

Pemerintahan orde baru, dimana kebijakan politk mulai

terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan

melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu

IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak

dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah

kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru,

dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud

eksploitasi pertambangan, penebangan hutan, pembangunan

pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada

akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin

akut.

Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan

diatas, dalam konteks keindonesiaan, Kemiskinan kultural

merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat

terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap

miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering

diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman

keliru mengenai nasib untuk selalu bersabar dan bersyukur.

III. UU dan Peraturan dibidang Kesejahteraan Sosial

Halaman 39 dari 55

Adapun Undang-Undang dan peraturan lainnya sebagai

payung hukum penanggulangan kemiskinan dan upaya-upaya

pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia adalah

sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar R.I. tahun 1945 Pasal 27, Pasal 28

dan pasal 34.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, khususnya Pasal 22 huruf b dan huruf h yang

mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan Jaminan

Sosial dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah.

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (Lembaran Negara Tahun 1974 nomor 53;

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039) khususnya Pasal 1,

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 52 Bab

Ketentuan Peralihan.

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun1997 tentang Penyandang

CACAT.

7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Lanjut Usia.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Kabupaten sebagai

Daerah Otonomi.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang

Pelayanan Sosial bagi Fakir Miskin.

Halaman 40 dari 55

10. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya

Peningkatan Kesejahteraan sosial Penyandang CACAT.

11. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.

12. Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 49/HUK/2001

tentang Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan

dan Tidak Mampu Melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial

dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.

13. Keputusan Menteri sosial R.I. Nomor 44/HUK/2004

tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial bagi Masyarakat

Tidak Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial

Permanen.

14. Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan

Sosial, Departemen Sosial R.I. Nomor 09B/BIS/2002

tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Program Bantuan dan

Jaminan Sosial.

15. Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial

Nomor 26/B/BJS/V/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Jaminan Kesejahteraan Sosial bagi Masyarakat Tidak

Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen

16. Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

17. Undang Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

18. Undang Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial.

19. Undang Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan

Fakir Miskin.

Halaman 41 dari 55

Menurut Gunawan Sumodiningrat(1999) bahwa secara

menyeluruh dan bertahap pemerintah berupaya untuk

meningkatkan kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan dan

keadilan sosial melalui pembangunan bidang kesejahteraan

sosial yang bertujuan untuk : 1). Menikmati Pelayanan

Pembangunan; 2). Mendayagunakan kesempatan hasil

pembangunan bagi peningkatan kualitas hidup dan taraf

kesejahteraan sosialnya; dan 3).  Meningkatkan peran

sertanya dalam proses pelaksanaan pembangunan. Gambaran di

atas mengandung makna bahwa, pembangunan bidang

kesejahteraan sosial dalam konteks pelaksanaan pembangunan

nasional yang berfungsi sebagai salah satu gerak dasar

pembangunan nasional, karena peranannya sebagai salah satu

upaya Bangsa dalam mempersiapkan manusia pembangunan.

III. Kesejahteraan Masyarakat

Ada tiga komponen yang dapat diukur dari

hakekat pembangunan. Ketiga komponen itu adalah

kecukupan (sustenance), jati diri (self-esteem) serta

kebebasan (freedom). Ketiga hal inilah yang merupakan

tujuan pokok yang harus dicapai oleh setiap orang

dan masyarakat dalam proses pembangunan. Ketiganya

berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan

manusia yang mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam

manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan

budaya sepanjang zaman Todaro (1998).

Badan Pusat Statistik (2000) menyatakan bahwa komponen

kesejahteraan yang dapat dipakai sebagai indikator

Halaman 42 dari 55

kesejahteraan masyarakat adalah kependudukan, tingkat

kesehatan dan gizi masyarakat, pendapatan masyarakat,

tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola

konsumsi masyarakat, keadaan perumahan dan

lingkungan, dan keadaan sosial budaya.

Komponen lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan

masyarakat misalnya luas kepemilikan lahan (Djohar, 1999).

Hal ini dimungkinkan karena dilihat dari segi ekonomi,

lahan/tanah merupakan earning asset yang dapat

digunakan untuk menghasilkan pendapatan, sedangkan

dilihat dari segi sosial, lahan/tanah dapat

menentukan status sosial seseorang terutama di daerah

pedesaan. Menyadari bahwa pembangunan selalu membawa

dampak, baik positif maupun negatif, maka diperlukan

indikator-indikator untuk mengukur kinerja pembangunan.

Selama ini tingkat pendapatan perkapita banyak

digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan, terutama

pembangunan perekonomian suatu negara, namun hal itu tidak

cukup memberikan gambaran yang nyata tentang tingkat

kesejahteraan masyarakat.

Adapun upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di

Indonesia, di jaman pemerintahan Suharto adalah :Pertama,

secara tidak langsung adalah Keluarga Berencana dan Inpres

Pendidikan. Kedua, bantuan langsung seperti IDT (Inpres Desa

Tertinggal) tahun 1993 oleh Departemen Dalam Negeri,

program KUBE (Kelompok Usaha Bersama) oleh Departemen

Sosial, dan TAKESRA dan KUKESRA (oleh BKKBN (Syafri Sairin,

1997:66). Sedangkan di era reformasi tercatat : RASKIN

Halaman 43 dari 55

(Beras untuk Keluarga Miskin), BOS (Bantuan Operasional

Sekolah), BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai kompensai

kenaikan harga BBM, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia

Cerdas dan Kartu Indonesia Sejahtera.

Halaman 44 dari 55

BAB V

KEMISKINANMASYARAKAT DESA

I.Kemiskinan Masyarakat Desa

Dalam konsepsi Clifford Geertz (1963), khususnya

tentang kemiskinan yang menimpa masyarakat Jawa, bahwa

"Mereka itu miskin, bukannnya karena malas.Tetapi mereka malas, karena

miskin!".Apa pun yang dimiliki dan dikuasai orang-orang

miskin, apakah itu harta benda, sumber daya ekonomi,

institusi sosial, dan cara-cara hidup tertentu selalu

berputar dalam mekanisme yang involutif. Artinya, apa pun

yang ada pada masyarakat miskin itu, bahkan bentuk-bentuk

pola kerja sama dan solidaritas yang tumbuh di antara

mereka, selalu berputar-putar di dalam dan menjebak mereka

sendiri untuk tetap hidup dalam batas-batas subsistensi

ekonomi, bukan suatu pergerakan yang evolutif, yang

berkembang.

Menurut Chambers (dalam Abdul Wahab, 2005:45) bahwa

karakter masyarakat miskin dalam hidupnya akan dipicu oleh

tuntutan dan desakan untuk dapat bertahan hidup, artinya

ada yang untuk dimakan dan tidak jatuh sakit atau tertimpa

kekecewaan. Kebanyakan masyarakat di desa, baik pria maupun

wanita harus melakukan pekerjaan apa saja untuk dapat

mempertahankan hidupnya. Pada dasarnya, kemiskinan selalu

dikaitkan dengan ekonomi, akan tetapi kemiskinan menyangkut

berbagai aspek, yakni material, sosial, kultural, dan

institusional.

Halaman 45 dari 55

Penyebab kemiskinan menurut masyarakat miskin

sendiri adalah kurangnya modal, pendidikan,

keterampilan, dan kesempatan kerja; dan rendahnya

pendapatan (Tim Studi KKP, 2004). Kuncoro (2004)

mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang

dari sisi ekonomi. Pertama, ketidaksamaan pola

kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi

pendapatan yang timpang. Kedua, perbedaan dalam

kualitas sumber daya manusia yang berkaitan dengan

produktivitas dan upah yang rendah. Ketiga, kemiskinan

muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Persoalan

kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks.

Banyak faktor yang berperan menjadi penyebab

kemiskinan. Ketidakberuntungan (disadvantages) yang

melekat pada keluarga miskin, keterbatasan kepemilikan

aset (poor), kelemahan kondisi fisik (physically weak),

keterisolasian (isolation), kerentaan (vulnerable), dan

ketidakberdayaan (powerless) adalah berbagai penyebab

mengapa keluarga miskin selalu kekurangan dalam

memenuhi dasar hidup, seperti pangan, sandang, papan,

kesehatan, dan pendidikan layak untuk anak-anaknya.

Kondisi serba kekurangan dari masyarakat miskin

tersebut menyebabkan mereka tidak dapat menjalankan

fungsi sosialnya. Selain itu, kultur kemiskinan yang masih

kental dalam masyarakat dengan budaya tolong-menolong,

pada satu sisi dapat bersifat positif, namun di sisi

yang lain juga dapat mengaburkan arti kemiskinan yang

sebenarnya. Orang yang sebenarnya sangat miskin,

Halaman 46 dari 55

merasa tidak terlalu miskin karena bantuan sosial di

sekelilingnya. Kondisi kemiskinan juga menjadi

diperparah karena kewajiban sosial yang ditanggung

keluarga miskin, seperti kewajiban menyumbang. Situasi

yang seperti ini menyebabkan berbagai program

penanggulangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan

menghadapi hambatan dalam pelaksanaannya

(Listyaningsih, 2004).

II.Kasus Transmigrasi

Dari tahun 1976 hingga 1986, Bank Dunia telah

meminjamkan sedikitnya 630 juta dollar untuk proyek

Transmigrasi pada pemerintahan Suharto (Victoria Taupi

Corpus, dalam A Widyamartaya, 2003:154). Transmigrasi

adalah program pemindahan jutaan penduduk miskin dari Jawa,

Bali, Madura dan Lombok ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi

dan Papua. Pemindahan ini mempunyai 2 (dua) tujuan,

yaitu :Pertama, mengurangi tekanan terhadap laju pertambahan

penduduk dan pengangguran yang semakin tinggi di pulau-

pulau yang padat penduduknya. Kedua, menggunakan tenaga

jutaan penduduk tersebut untuk mengembangkan berbagai

tanaman komoditas pertanian khususnya kelapa sawit, kopi

dan coklat.

Proyek Transmigrasi inilah yang dianggap sebagai akar

konflik di berbagai daerah di Indonesia. Sekarang ini,

pulau-pulau itu hanya memiliki 10% saja hutan tropis dan

itulah yang tersisa didunia. Proyek Transmigrasi pada

akhirnya mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan secara

Halaman 47 dari 55

besar-besaran dan membabi buta, dengan palaku utama para

transmigran dan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

Penggundulan hutan ini untuk pembukaan lahan baru bagi

tanaman komoditas tinggi. Juga masuknya proyek-proyek

pertambangan seperti Freeport McMorran, Caltex, PetroChina

dan lain-lain.

Tujuan Transmigrasi sesungguhnya adalah untuk

mengentaskan kemiskinan, namn prakteknya justru sebaliknya

yaitu memperparah persoalan kemiskinan yang ridak seimbang

dengan ongkos yang telah dikeluarkan. Ongkos ini berasal

dari hutang Bank Dunia, ODA (Overseas Development Assistance)

dari Jerman, Belanda dan Amerika Serikat. Tidak ketinggalan

pula dari ADB (Asian Development Bank), UNDP (United Nation

Development Program), dan WFP (Worl Food Program). Pihak-pihak

inilah yang semestinya ikut bertanggung jawab.

Dalam tinjauannya sendiri, Bank Dunia pada tahun 1986

memperlihatkan bahwa 50% keluarga-keluarga transmigran

hidup di bawah garis kemiskinan, dan 20% lainnya hidup di

bawaah tingkat sub-sistem (Bank Dunia, 1986:157). Masalah

lainnya adalah konflik social dan kerusakan lingkungan.

III. Tinjauan Kritis Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang

dilakukan selama ini menunjukkan keseriusan dalam

penanggulangan kemiskinan. Mulai dari program yang

ditujukan untuk petani, melalui berbagai skim kredit

dan subsidi, sampai pada berbagai program pemberdayaan

untuk keluarga miskin, seperti pemberian dana

Halaman 48 dari 55

bergulir, program ekonomi produktif, pemberdayaan

ekonomi masyarakat pesisir. Namun berbagai program

tersebut belum secara signifikan mampu menurunkan jumlah

penduduk miskin, sehingga memunculkan

pertanyaan mengapa banyak program penanggulangan

kemiskinan tidak efektif atau bagaimana bentuk

program penangulangan kemiskinan yang efektif.

Kelemahan berbagai program penanggulangan

kemiskinan, adalah sebagai berikut.

a. Program yang dilaksanakan berpedoman pada

perguliran dana bantuan. Karena konsepnya adalah

bergulir, logikanya yang mampu mengikuti program

tersebut adalah mereka yang memiliki usaha produktif,

dan kecil kemungkinan masyarakat yang benar-benar miskin

dapat mengikuti program dana bergulir.

b. Kecilnya peluang rumah tangga miskin ikut dalam

pola pergliran disebabkan karena keterbatasan

pengetahuan dan kemampuan, sehingga sangat

beresiko terhadap keberhasilan program.

c. Adanya gejala ketidaktepatan pendataan penduduk

miskin, yang terutama dilakukan petugas desa

(banjar) yang cenderung pilih kasih, sehingga

data penduduk miskin untuk penanggulangan kemiskinan

menjadi tidak tepat sasaran.

d. Kecenderungan adanya pemilihan daerah sasaran program

dengan harapan tingkat keberhasilannya dapat lebih

diukur. Hal ini berakibat pula pada salah sasaran.

Halaman 49 dari 55

e. Sikap mental penduduk miskin yang cenderung

pasrah, menerima apa adanya, merasa miskin adalah

nasib, takdir dan lainnya adalah sikap

mental yang menghambat program kemiskinan.

f. Program-program yang cenderung member ‘ikan’, bukan

kail dan atau cara memancing dapat menggeser perilaku

masyarakat yang justru ingin menjadi miskin agar

mendapat bantuan kemiskinan, bukan justru berupaya

bagaimana mereka dapat ke luar dari kemiskinan.

Halaman 50 dari 55

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada banyak tokoh yang berbicara tentangkemiskinan

secara individual atau secara berkelompok. Pembicaraan

tentang teori kemiskinan khususnya tentang kebudayaan

kemiskinan, Kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan

terbentuk dari suatu situasi, yang mengelompokkan

masyarakat dalam dua kategori, yaitu miskin dan tidak

miskin.

Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat sebuah

kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan juga dampak

yang ditimbulkannya pada kelompok miskin tersebut.

Kebudayaan kemiskinan merupakanadaptasi dan penyesuaian

oleh sekelompok orang pada kondisi marginal mereka, tetapi

bukan untuk eksistensinya karena sejumlah sifat dan

sikap mereka lebih banyak terbatas pada orientasi

kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis,dan sempitnya

pada perancanaan masa depan.

Globalisasi, terutama globalisasi ekonomi sangat

berpengaruh pada tingkat kemiskinan di Negara-negara

berkembang, termasuk di Indonesia. Lembaga-lembaga Bretton

Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lain-lain) menjadi agen

Negara-negara maju berkontribusi besar dalam masalah

kemiskinan dunia.

Kemiskinan juga menjadi masalah di Indonesia. Sejak

era colonial, Orde baru hingga reformasi sudah banyak

Halaman 51 dari 55

program penanggulangan kemiskinan.Namun prosentasi dan

angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi.Sehingga pentng

mendesak untuk mengubah paradigm penanggulangan kemiskinan.

B. Saran.

Masalah kemiskinan merupakan persoalan multidimensi

dan multi disipliner, sehingga pendekatannyapun juga harus

interdisipliner. Kebanyakan riset dan konsep-konsep sangat

teknis dan matematis, sehingga kurang memberi ruang pada

kajian etika dan konsep filosofis yang lain. Dari sinilah

ilmu Filsafat dapat memberikan kontribusinya.

Halaman 52 dari 55

Daftar Pustaka

Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan, 1980, KemiskinanStruktural, Suatu Bungarampai, Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu social.

Bakker, J.W.M., 2005, Filsafat Kebudayaan, cetakan ke-15,Yogyakarta :Kanisius.

Doyle, Paul Johnson, 1986,Teori Sosiologi, Klasik dan Modern(terjemahan : Robert MZ Lawang), Jakarta:Penerbit PT Gramedia.

Edi Suharto, 2008, Kebijakan Sosial sebagai kebijakan Publik,Bandung : Alfabeta

Fakih, Mansour, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.

Geertz, Clifford, 1963, Agricultural Involution, Berkeley:University of California Press.

Gunawan Sumodiningrat, Budi Santoso, Mohammad Maiwan,1999, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: IMPAC.

Gunawan Sumodiningrat- Riant Nugroho D., 2005, MembangunIndonesia Emas,Jakarta: Elax Media Komputindo,

Hauser, Phillip, 1985, Penduduk dan Masa Depan Perkotaan,Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Herlianto, 1997, Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota,Bandung : Penerbit Alumni Bandung.

Kartasamita, Ginandjar, 1995, Pemberdayaan Masyarakat: SebuahTinjauan Administrasi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besardalam Ilmu Administrasi, Malang: UniversitasBrawijaya.

Koentjaraningrat, 1990, Manusia dan Kebudayaan Indonesia,Jakarta :Jambatan.

Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun, 1986,Kemiskinan diIndonesia,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lewis, Oscar, 1988, Kisah Lima Keluarga, Jakarta : YayasanObor Indonesia.

Halaman 53 dari 55

Manning Chrisdan Tadjuddin Noer Effendi, 1983, Urbanisasi,Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yogyakarta :Penerbit PPSK-Univ Gajah Mada.

Marzali, Amri, 1993, Dimensi Pembangunan dan Konsep Kemiskinan",artikel opini dalam Media Indonesia 12 Juli 1993.

Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove, 1984,Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di DuaDesaPantai, Jakarta: Penerbit Rajawali.

Muladi, 2004, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar PengembanganIlmu Hukum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada SeminarNasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”,Semarang: IAIN Walisongo dan Ikatan Alumni PDIH UNDIP.

Poerwadarminta, WJS. 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakart : PN Balai Pustaka.

Poespowardojo, Soerjanto dalam Slamet Sutrisno ed, 1986,Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta :Liberty.

Ramli, Rusli, 1992, Sektor Informal PerkotaanPedagang kakiLima,Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co.

Rich, Bruce, 1991, Mortaging the Earth, Makalah pada SeminarPerkumpulan Wartawan Indonesia di Jakarta, dimuatdalam Warta Ekonomi edisi 2 Desember 1991.

Sairin, Syafri, 2002 Perubahan SosialMasyarakatIndonesia, Perspektif Antropologi, Yogyakarta :PenerbitPustaka Pelajar.

Sudarwati, Ninik, 2009, Kebijakan Pengentasan KemiskinanMengurangi Kegagalan Penanggulangan Kemiskinan, Malang:Intimedia.

Sunarto, Kamanto, 1993,Pengantar Sosiologi.Jakarta:LembagaPenerbit, FakultasEkonomi UniversitasIndonesia.Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Vol. I No. 01, Tahun 2010

Suparlan, Parsudi (penyunting), 1984, KemiskinanDi Perkotaan,Bacaan UntukAntropologi Perkotaan, Jakarta : PenerbitSinar Harapan dan YayasanObor Indonesia.

______________, 2008Dari Masyarakat MajemukMenuju MasyarakatMultikultural (buku kumpulan tulisan Prof.

Halaman 54 dari 55

ParsudiSuparlan, Ph.D. In Memorium,editor :Chrysnanda. DL dan Yulizar Syafri),Jakarta : Penerbit JPKIK.

Syarif Muhidin, 2008, Masalah-masalah Sosial, Bandung : Andika.Widyamataya, A., 2003, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan /

Laporan Khusus oleh International Forum on Globalization, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Yudhoyono, Susilo Bambang Yudhoyono, 2004,PembangunanPertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan danPengangguran, Disertasi pada Sekolah Pascasarjana,Bogor: IPB.

Halaman 55 dari 55