KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BUDAYA
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan masalah klasik dalam
kehidupan manusia. Pengertian kemiskinan sendiri adalah
suatu konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak dari
pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perbaikan
yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem
sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih
baik atau manusiawi. Oleh karena itu dalam setiap
pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan
kemiskinan mendapatkan tempat yangcukup penting.
Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam
pembangunan, yang keberadaannya ditandai oleh adanya
pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat
menjadi ketimpangan.
Fenomena kemiskinan di Indonesia baru muncul setelah
terbit buku Masri Singarimbun dan David H. Penny berjudul
Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa pada tahun
1976. Setelah terbit buku tersebut barulah pembahasan
berani dilakukan secara terbuka.Selanjutnya, berbagai riset
oleh banyak pakar, serta ukuran-ukuran menyangkut garis
kemiskinan menjadi topic yang menarik (Syafri
Sairin,1997:65)
Masalah kemiskinan di Indonesia sesungguhnya telah
menjadi topik pembicaraan dan fokus kebijakan sejak
pemerintahan kolonial Belanda,melalui kebijakan “politik
Halaman 1 dari 55
etis” (Gunawan Sumodiningrat dkk, 1999:43).Masalah
kemiskinan dan ketimpangan tetap ada dan hidup
bersama bangsa ini. Walaupun perkembangan ekonomi
bangsa ini secara agregat dari tahun ketahun,
menunjukkan gambaran yang baik serta mendatangkan
sejumlah pujian dari banyak kalangan, namun di dalam
struktur ekonomi Indonesia sendiri segmen masyarakat
yang relatif tertinggal dan berkembang sangat stagnan,
kurang berdaya, dan secara relatif tidak memperoleh
manfaat maksimal dari hasil-hasil pembangunan. Mereka
ini adalah golongan miskin. Lapisan ini merupakan
bagian terbawah dari masyarakat dengan jumlah yang cukup
besar yakni 27 juta jiwa atau 11% dari total penduduk
Indonesia pada tahun 2014 (sumber : data BPS Maret 2014).
Masyarakat primitif tidak bisa disebut
berkebudayaan miskin karena mereka tidak terstratifikasikan
dan mereka mempunyai kebudayaan yang relatif utuh.Demikian
juga masyarakat India, tidak bisa disebut berkebudayaan
miskin karena kebudayaan mereka terorganisasi dalam
panchayat dan mereka memiliki sistem kekerabatan
unilateral/klan. Begitu pula komunitas Yahudi, tidak bisa
disebut berkebudayaan miskin karena mereka memiliki tradisi
sastra yang tinggi.Masyarakat yang menganut sosialisme
tidak bisa disebut berkebudayaan miskin karena dalam diri
mereka tidak ditemukan perasaan putus asa, apatis dan
pasrah.
Gagasan yang radikal dan revolusioner tentang
kemiskinan adalah konsep Oscar Lewis.Kemiskinan menurut
Halaman 2 dari 55
Oscar Lewis (1959), merupakan bagian dari kebudayaan
kapitalisme dimana sistem sosial dan ekonominya hanya
menyalurkan kekayaan ke tangan yang secara relatif
merupakan sekelompok kecil masyarakat sehingga jelas ada
tekanan-tekanan yang dilancarkan masyarakat yang lebih luas
terhadap warga masyarakat dan strukturnya sendiri. Hal yang
penting diingat dari tulisan Lewis adalah “Lebih mudah
menghapuskan kemiskinan daripada kebudayaan kemiskinan.”
Tentang profil kemiskinan Gunawan Sumodiningrat dkk
(1999:47-49) mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan
bukan saja masalah welfare, akan tetapi mengandung berbagai
alasan, sebagai berikut :Pertama, masalah kemiskinan
adalah masalah kerentanan (vulnerability). Misalnya jika
pembangunan struktur ekonomi dan pertanian dapat saja
meningkatkan pendapatan petani dalam besaran yang memadai,
akan tetapi jika terjadi kekeringan musim dua tahun
berturut-turut, maka akan dapat menurunkan tingkat hidupnya
sampai pada titik yang terendah.
Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada
berbagai peluang kerja, karena hubungan produksi di
dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka
untuk berpartisipasi dalam produksi, atau mereka
terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif,
yang menuntut kerja keras dalam jam kerja yang
panjang dengan imbalan yang rendah.
Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan,
perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit
desa dan para birokrat dalam menentukan keputusan
Halaman 3 dari 55
yang menyangkut dirinya tanpa memberikan
kesempatan untuk mengaktualisasikan ketidakberdayaan
menghadapi penyakit, kematian, kekumuhan, dan kekotoran.
Keempat, kemiskinan juga berarti menghabiskan semua
atau sebagian besar penghasilan golongan miskin untuk
konsumsi pangan dengan kuantitas dan kualitas yang
terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka amat rendah yang
mengakibatkan produktifitas dan etos kerja mereka rendah
pula. Di samping itu juga akan menghasilkan ketahanan fisik
yang juga rendah.
Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya
rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan
beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan
berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu
tingkat kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetisi merebut
peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-anak kaum miskin
akan berada pada pihak yang lemah.
Keenam, kemiskinan juga terefleksikan dalam
budaya kemiskinan, yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Penghapusan physical
poverty tidak secara otomatis akan menghapuskan culture of
poverty. Budaya kemiskinan yang secara turun temurun
antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk
melakukan mobilitas ke atas. Itu berarti menghambat
kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa depan.
Di Indonesia, orang yang pertama mengusulkan garis
kemiskinan adalah Profesor Sayogyo dari IPB. Garis
kemiskinan yang digunakan Biro Pusat Statistik (BPS)
Halaman 4 dari 55
merupakan modifikasi dari ukuran yang dianjurkan Prof.
Sayogyo. Bagi BPS, seseorang akan dikatakan miskin
apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan
minimum 2100 kalori per hari, ditambah dengan pemenuhan
kebutuhan pokok minimum lain seperti perumahan, bahan
bakar, sandang, pendidikan, kesehatan, dan transpor (BPS
1992). Hal yang perlu diingat dari ukuran ini adalah bahwa
garis kemiskinan ini sangat relatif dan dinamis,
tergantung pada perkembangan ekonomi, kondisi sosial, dan
pandangan kultural suatu masyarakat. Garis kemiskinan di
Indonesia berbeda bila dibandingkan dengan Malaysia, atau
USA. Demikian pula apabila kondisi ekonomi masyarakat
Indonesia makin maju, maka batas garis kemiskinan dapat
dinaikkan.
Garis kemiskinan BPS setara dengan nilai Rp 4.522 per
kapita per bulan untuk daerah perkotaan, dan Rp 2.849 per
kapita per bulan untuk daerah pedesaan, pada tahun 1976.
Dalam tahun 1990, nilai tersebut naik menjadi Rp 20.614
per kapita per bulan untuk daerah perkotaan, dan Rp
13.295 per kapita per bulan untuk daerah pedesaan.
Kenaikan nilai yang dibuat BPS di atas banyak dikritik
orang karena hanya dilakukan dengan cara penyesuaian
terhadap harga yang berlaku, tidak disesuaikan dengan
kenaikan rata-rata pendapatan per kapita rakyat
Indonesia dari $ 200 dalam tahun 1976 menjadi $ 600 per
tahun dalam tahun 1990.Angka ini terus naik seiring waktu
dan kesejahteraan warganya.
Halaman 5 dari 55
Susilo Bambang Yudhoyono (2004:26) dalam
disertasinya, menyebutkan bahwa jumlah pengangguran semakin
meningkat dari tahun 1998 sampai 2003, jumlahnya
diperkirakan 10,1 juta jiwa juga semakin menambah
kompleknya per- masalahan bangsa. Angka kemiskinan
pada tahun 1998 semakin membengkak menjadi 49,5
juta jiwa atau 24,20% dari total penduduk Indonesia,
walaupun selanjutnya menunjukkan penurunan sampai
pada tahun 2003.
Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
sepuluh tahun pemerintahannya (2004 – 2014), telah
mencanangkan program pembangunan yang dikenal dengan triple
pack, yang terdiri dari : pro poor, pro growth dan pro employment.
Yaitu suatu program pembangunan yang mengarah pada
pengemtasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan di bidang
ekonomi serta perluasan lapangan kerja.
II. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat
disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa substansi kemiskinan..?
2. Bagaimana peran globalisasi membentuk kemiskinan dan
ketimpangan..?
3. Apa saja pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep
penenggulangan kemiskinan di Indonesia..?
4. Mengapa program-program anti kemiskinan di Indonesia
belum berhasil..?
Halaman 6 dari 55
BAB II
FILSAFAT KEBUDAYAAN, BUDAYA KEMISKINAN DAN
KONSEP KEMISKINAN
I. Filsafat Kebudayaan
Filsafat muncul dalam sejarah, mula mula sebagai
sanggahan terhadap ajaran tentang ketentuan hidup yang
dianut sebagai mitologi. Hal itu menunjukan bahwa kegiatan
filsafat selalu mempersoalkan dan menguji kembali
keadaan-keadaan yang sudah diyakini benar adanya. Istilah
“filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan
kata falsafah (arab), philosophy (Inggris), philosophia
(Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua
istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia.
Istilah Yunaniphilein berarti “mencintai” sedangkan philos
berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti
“bijaksana” sedangkan sophia berarti “kebijaksanaan”.
Pada dasarnya filsafat mempelajari arti-arti dan
menentukan hubungan-hubungan diantara konsep-konsep
dasar yang dipakai setiap ilmu, berbeda sudut
pandangan yang khusus sebagaimana dilakukan oleh seorang
ilmuwan. Para filsuf memakai pandangan yang menyeluruh
terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas (Tim Dosen
Filsafat ilmu UGM, 2001:20-21). Kaitannya dengan
kebudayaan, menurut Abdullah (2006: 9), harus dimulai
dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan
sebagai kebudayaan generik yang merupakan pedoman yang
Halaman 7 dari 55
diturun- kan, tetapi sebagai kebudayaan diferensial yang
dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial.
Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara
turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara
kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat
situasional yang keberadaannya bergantung pada karakter
kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu
ke waktu. Konsep kebudayaan menduduki tempat utama
dalam kajian budaya. Bennet dalam Bakker (2005:9)
mendefinisikan sebagai bidang interdisipliner yang
secara selektif mengambil berbagai perspektif dari
disiplin ilmu lain untuk meneliti hubungan-hubungan
antara kebudayaan dan politik. Sifat dari kebudayaan itu
sendiri adalah dinamis, karena kebudayaan dialektis
dan terbuka terhadap apa yang dinamakan
perubahan.
Perubahan dalam kebudayaan diartikan sebagai
perkembangan dalam runtut- an waktu dan ruang,
kebudayaan berproses yang disesuaikan dengan
perkembangan dari masyarakat pemilik kebudayaan itu
sendiri. Kata budaya yang kemudian diberi awalan “ke” dan
akhiran “an” menjadi kebudayaan, memberikan konsep “budaya”
sebagai sebuah hasil. “Kebudayaan” sekarang mungkin memang
sudah semakin umum dipakai oleh cukup banyak orang.
Kebudayaan adalah perwujudan proses pertumbuhan
dan perkembangan manusia dalam suatu masyarakat,sehingga
kebudayaan bukan kata benda melainkan sebagai kata kerja
(Sutrisno, 1983:25). Kebudayaan sebagai kata benda
Halaman 8 dari 55
merujuk bahwa kebudayaan adalah sebuah hasil produk
yang telah ditinggalkan. Kebudayaan sebagai kata kerja
merujuk bahwa kebudayaan adalah sebuah identitas, dan
identitas itu sedang berproses mencari jati diri.Manusia
menggeser teori ke praktik kebudayaan, tidak hanya
sekedar memberi konsep, namun lebih dari pada itu, manusia
mempraktek- kan teori ke dalam situasi konkret.
Akhirnya kebudayaan merujuk pada: Pertama, kebudayaan
merupakan cara seorang manusia mengekspresikan diri serta
cara manusia mencari relasi-relasi yang tepat untuk
menghadapi dunia sekitarnya. Kedua, kebudayaan pada
khususnya merupa- kan strategi untuk menyalurkan
relasirelasi itu secara optimal. Ketiga, kebudayaan nampak
sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang
dijalankan oleh umat manusia (Prasetyo, 2009:44-50).
Keempat, kebudayaan dimaknai sebagai tatanan ide atau
gagasan yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk
perilaku/tindakan; Kelima, kebudayaan suatu masyarakat
dalam bentuk benda hasil budaya yang bisa
dilihat/dirasa disebut sebagai artefak (Kusumohamidjojo,
2009 : 185).
Perkembangan kebudayaan tidak terlaksana di luar
manusia, melainkan manusia sendiri yang harus menemukan
suatu strategi kebudayaan. Kebudayaan pada akhirnya
tidak terhenti pada satu titik, namun berjalan
dinamis karena manusia sebagai pemilik kebudayaan menjadi
subjek yang sadar akan objeknya (Prasetyo,2009:78-79).
Proses selanjutnya,kebudayaan kemudian dibentuk melalui
Halaman 9 dari 55
proses pembelajaran, dengan begitu kebudayaan kemudian
disebarkan dari generasi ke generasi. Proses peralihan
kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya
didasarkan pada terjadinya penemuan dan hasil olahan dari
apa yang ditemukan baik di dalam masyarakat ataupun
di luar masyarakat pemilik kebudayaan asal
(Kusumohamidjojo,2009:188).
Menurut Bakker, sebagaimana dikutip Kusumohamidjojo
(2000:66) faktor yang menggerakkan manusia untuk
menghasilkan kebudayaan yakni; 1) Kondisi alam, yang
meliputi habitat (alam fisik) dan biome (alam lingkungan
organis manusia), 2) Evolusi dan degenerasi, 3)
Lingkungan social, 4) Dialektik perubahan. Harsojo dalam
Kusumohamidjojo (2000:67) mengemukakan factor perubahan
sebagai: 1) Kemampuan manusia untuk merespons
terhadapalam,2)Kemampuan manusia untuk mengembang- kan
intelegensinya yang kompleks, antara lain dengan berpikir
simbolis, berbahasa dan berbicara, 3)Kemampuan manusia
melakukan inovasi, menerapkannya dan menyebar- kannya ke
lingkungan masyarakat lain. Kebudayaan sebagai
ketegangan antara imanensi dan transendensi dapat
dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia
seluruhnya. Manusia menilai dan mengevaluasi alam
sekitarnya tetapi juga mengevaluasi alamnya sendiri.
Kebudayaan menunjukan suatu pengertian yang luas dan
kompleks. Di dalamnya tercakup segala sesuatu yang
terjadi dalam dan dialami oleh manusia secara personal
dan secara kolektif, maupun bentuk bentuk yang
Halaman 10 dari 55
dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang
dapat disaksikan di dalam sejarah kehidupannya. Baik hasil
hasil pencapaian yang ditemukan oleh umat manusia
dandiwariskan secara turun temurun, maupun proses
perubahan serta perkembangan yang sedang dilalui dari
masa ke masa (Poespowardojo dalam Sutrisno,1986:28).
Terpesona akan positivisme, Koentjaraningrat
(2000:203) membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur, yang
kemudian ditambahkan menjadi sembilan oleh Ahimsa-Putra
(2009: 2) yakni : 1) Sistem religi dan upacara
keagamaan, 2) Sistem dan organisasi keagamaan, 3)
Sistem pengetahuan, 4) Bahasa, 5) Kesenian, 6) Sistem mata
pencaharian hidup, 7) Sistem teknologi dan peralatan,8)
Sistem transportasi, dan 9) Sistem pelestarian.
Kebudayaan dan manusia adalah kesatuan. Manusia
merupakan agen pembuat sekaligus penikmat kebudayaan
itu sendiri. Kebudayaan adalah kodrat dari manusia,
karena kebudayaan dipahami sebagai milik bersama.
Kebudayaan kemudian menjadi intisegala aspek sisi
manusia.Keberadaan kebudayaan dalam kehidupan manusia
adalah fungsional dalam struktur–struktur kegiatan
untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai
manusia, yaitu sebagai acuan bagi manusia dalam
berhubungan dengan mengidentifikasi berbagai gejala
sebagai kategori-kategori atau golongan-golongan yang ada
di dalam lingkungannya. Kategori-kategori tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya
sebagai manusia (Suparlan,2004:5). Singkatnya kebudayaan
Halaman 11 dari 55
berperspektif filsafat adalah rangkaian proses hidup
yang terus-menerus bersesuaian dengan kegiatan jiwa dan
sekaligus terlihat pula sebagai kehidupan.
II. Budaya Kemiskinan
Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan
sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi,
ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi
sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam
kajian antropologi pembangun- an, ada sebuah ungkapan
terkenal: "poverty is a state of willingness rather than scarcity." Di luar
kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap
mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada
state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan,
kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.
Sedangkan definisi budaya kemiskinan adalah suatu
adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam
masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri
kapitalis. Kebudayaan tersebut mencerminkan satu upaya
mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan
perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa mustahil
dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan
nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas.
Menurut Oscar Lewis (1959) pemahaman tentang profil
kemiskinan (poverty profile) merupakan prasyarat bagi
ketepatan strategi pengentasan kemiskinan. Kemiskinan
bukanlah merupakan sesuatau yang tidak berbentuk
Halaman 12 dari 55
(amorphous), tetapi merupakan fenomena yang bersifat
kompleks dan multidimensional. Culture of poverty adalah
adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal
mereka dimana kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan
dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut
mencerminkan upaya mengatasi keputusasaan dari angan sukses
di dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai dan tujuan
masyarakat yang lebih luas. Kebudayaan ini terdapat
padaMereka yang berasal dari strata sosial paling rendah,
sedang mengalami perubahan pesat dan yang telah terasing
dari masyarakat tersebut. Adapun ciri-ciri kebudayaan ini
adalah:
1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin
ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat. Mereka
berpenghasilan rendah namun mengakui nilai-nilai yang
ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka
sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status
namun tidak memiliki kesadaran kelas.
2. Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok,
penuh sesak, bergerombol dan rendahnya tingkat
organisasi di luar keluarga inti.
3. Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang
singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat
dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat, tingginya jumlah
perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal
dan otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi,
solidaritas semu.
Halaman 13 dari 55
4. Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan
tak berharga, tak berdaya, ketergantungan dan rendah
diri (fatalisme).
Berkaitan dengan kemiskinan, kebudayaan merupakan
adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka
didalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
individualistik, dan berciri kapitalis. Teori kemiskinan
kebudayaan merupakan :
1. Penolakan terhadap kapitalisme; Budaya kemiskinan
sebagai bentuk ketidak- berdayaan menghadapi kekuatan
ekonomi kapitalisme yang telah mengeksploitasi kehidupan
sekelompok orang.
2. Sebagai proses adaptasi; Kemiskinan sebagai proses
adaptasi keluarga miskin karena perubahan sistem ekonomi
dari tradisional kepada kapitalisme dalam memenuhi
kebutuhannya.
3. Sebagai sub budaya sendiri; Kemiskinan yang diakibatkan
oleh faktor dari dalam diri individu sendiri dan
kelompok miskin, misalnya ; malas, fatalisme, rendah
diri, ketergantungan dan lainnya.
Dalam Buku, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of
Poverty, Oscar Lewis (1959) secara cemerlang menguraikan
betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang
miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis
utama Lewis adalah bahwa orang miskin memiliki
karakteristik dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan
orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur
Halaman 14 dari 55
tersendiri. Lewis menulis, "the culture of poverty indicates that poor
people share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from
the rest of society and these characteristics perpetuate their life of poverty”.
Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan
negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan
ketimpangan ekonomi atau regulasi pemerintah yang tak adil,
sehingga membuahkan marginalisasi sosial.
Menurut Lewis (1959) karakteristik kebudayaan
kemiskinan antara lain : 1) Rendahnya semangat dan dorongan
untuk meraih kemajuan, 2) Lemahnya daya juang (fighting spirit)
untuk mengubah kehidupan, 3) Rendahnya motivasi bekerja
keras, 4) Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing
pandum, 5) Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan
ekonomi, 6) Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan
yang lebih baik, 7) Cenderung mencari kepuasan sesaat
(immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-
time orientation), 8) Tidak berminat pada pendidikan formal
yang berdimensi masa depan.
Lebih lanjut, Oscar Lewis (1959) memaknai kemiskinan
sebagai ketidak sanggupan seseorang atau sekelompok orang
untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan
dasar materialnya. Dalam konteks pengertian Lewis,
kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang untuk bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan,
sandang, dan papan untuk kelangsungan hidup dan
meningkatkan posisi sosial-ekonominya.Sumber-sumber daya
material yang dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat
terbatas, sekadar mampu digunakan untuk mempertahankan
Halaman 15 dari 55
kehidupan fisiknya, tidak memungkinkan bisa dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kemiskinan ini
selalu merupakan lingkaran setan, umpamanya karena
pendapatan kecil, maka akan mengalami kekurangan pangan,
tidak dapat berpakaian yang layak, dan kondisi papannya pun
jauh dari memenuhi syarat sebagai tempat "berteduh".
Keadaan itu mengakibatkan tingginya kepekaan atau beresiko
besar untuk terserang penyakit, tingkat produktivitas kerja
yang rendah, tingkat pendidikan yang juga rendah, dan
akibat lanjutannya adalah dengan sendirinya pendapatan yang
diterimanya pun akan sangat rendah pula. Berarti di sini
kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak.
Bagi Oscar Lewis (1959), kemiskinan yang bersangkut-
paut dengan keterbatasan pemilikan dan penguasaan sumber-
sumber dasar material itu selanjutnya akan merefleksi kan
suatu cara hidup tertentu atau budaya kemiskinan, yang
ciri-cirinya antara lain fatalistik, meminta-minta, selalu
mengharapkan bantuan, serta cenderung suka berjudi dan
mabuk-mabukan (terutama untuk masyarakat miskin kota).
Malah, jaringan-jaringan dan organisasi-organisasi sosial
yang terbentuk pada masyarakat miskin itu bukannya
mendorong pada peningkatan status ekonomi mereka, tetapi
menjerat mereka untuk tetap berada dalam lingkaran
kemiskinan. Dengan kata lain, budaya kemiskinan dan
institusi sosial yang muncul dari kemiskinan cenderung akan
memperkuat dan memapankan kemiskinan itu sendiri, bukannya
menemukan jalan dan atau ruang bagi para pendukungnya untuk
bisa naik status sosial-ekonominya.
Halaman 16 dari 55
Lewis (1959) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah suatu
sub-kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi.Ia
membawakan pandangan lain bahwa kemiskinan bukan hanya
masalah kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau kelangkaan
sumber daya. Kemiskinan dalam beberapa hal bersifat positif
karena memberikan jalan keluar bagi kaum miskin untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Culture of poverty,
lanjutnya, mewujud dalam masyarakat yang memiliki kondisi
seperti:
Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi
untuk keuntungan.
Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi.
Upah buruh rendah.
Tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah
meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya
secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.
Sistem keluarga bilateral lebih menonjol.
Kuatnya seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang
menekankan penumpukan harta dan adanya kemungkinan
mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada anggapan
bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil
ketidaksanggupan pribadi/memang pada dasarnya sudah
rendah kedudukannya.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak
belakang dengan ciri-ciri manusia modern sebagaimana
gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern
(1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju,
pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan. Dengan
Halaman 17 dari 55
demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni
mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada
problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau
masalah struktural.
III. Konsep Kemiskinan
Professor Martin Rein (1970), mengajukan 3 konsep umum
tentang kemiskinan, masing-masing dari sudut-pandang
“subsistence,” “inequality,” dan “externality”. Dengan penjelasan
sebagai berikut :
A. Kemiskinan Subsistence
Berkenaan dengan kecukupan akan kebutuhan makanan
minimum yang diperlu- kan seseorang untuk menjaga agar dia
tetap dapat hidup sehat dan bekerja. Pada masa kini,
konsep ini disebut dengan istilah “kemiskinan absolut,”
dan digunakan secara luas oleh banyak negara di dunia.
Pendekatan yang paling umum dalam mengukurnya adalah
dengan cara menetapkan “garis kemiskinan”. Setelah garis
itu ditetapkan maka dapatlah ditentukan siapa yang
penghasilan berada di bawah garis kemiskinan dan siapa
yang di atas garis kemiskinan. Untuk membuat garis
kemiskinan, sebuah negara memerlukan indikator. Indikator
ini dapat bersifat tunggal seperti nilai gizi (kalori)
dari bahan makanan pokok, tapi juga dapat bersifat ganda
dengan cara menambahkan indikator bahan makanan dengan
indikator non-makanan.
Halaman 18 dari 55
B. Kemiskinan Inequality
Konsep kemiskinan dari sudut-pandang “inequality,”
atau “kesenjangan”, adalah berkenan dengan posisi
kemakmuran seseorang individu (atau suatu kelompok) bila
dibandingkan dengan individu (kelompok) lain dalam
masyarakat yang sama. Pada masa kini konsep ini lebih
dikenal dengan istilah “kemiskinan relatif,” atau
“pemerataan pendapatan”.
Situasi kesenjangan dalam distribusi pendapatan
biasanya diukur dengan metode “kurva Lorenz” yang
menghasilkan angka “Koefisien Gini”. Dalam metode ini,
seluruh penduduk sebuah negara (daerah) dibagi kedalam
3 kelompok, yang masing-masing terdiri atas 20% penduduk
berpenghasilan tinggi, 40% berpenghasilan menengah, dan 40%
berpenghasilan rendah. Menurut Prof. Emil Salim, dalam
pidato pengukuhan beliau tahun 1976 mengatakan bahwa
apabila 40% kelompok berpenghasilan rendah memperoleh
17% atau lebih dari total pendapatan nasional, maka
tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam negeri itu
adalah rendah (baik). Tapi apabila yang diterima oleh
kelompok 40% berpenghasilan rendah itu adalah dibawah 12%,
maka tingkat ketimpangan ekonominya adalah tinggi (buruk).
Di Indonesia, ahli yang dianggap pertama dalam
meneliti dan mengukur kesenjangan ini adalah Prof.
Hendra Esmara dari Universitas Andalas dan Dr. Thee Kian
Wie dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut
Thee (1981), secara umum distribusi pendapatan nasional di
Halaman 19 dari 55
Indonesia cukup baik; tapi kalau perbandingan distribusi
itu dibuat antar propinsi, dan antara desa dan kota,
maka hasilnya lebih buruk (lebih senjang).
C. Kemiskinan Externality
Konsep ini lebih menyangkut soal-soal “konsekwensi
sosial dari kemiskinan terhadap kelompok yang tidak
miskin”. Bagaimanapun konsep “externality” ini perlu
dipertimbangkan dalam penelitian dan dalam upaya
pengentasan kemiskinan, khususnya dalam menjaga dampak
dari kecemburuan sosial orang miskin terhadap orang kaya.
Menurut Martin Rein, “Orang jangan dibiarkan menjadi
begitu miskin, sedemikian rupa, sehingga mereka membuat
gangguan terhadap masyarakat umum”. Bukanlah
kesengsaraan dan kemelaratan orang miskin, tapi keonaran
dan biaya yang ditimbulkan oleh perilaku mereka terhadap
masyarakatlah yang menjadi titik penting dalam konsep
kemiskinan ini”.
Di Indonesia, dampak ini dapat dilihat tandanya
dari berapa tinggi dan kuat pagar rumah orang kaya, berapa
banyak rumah yang menggunakan Satpam, berapa banyak mobil
yang digores tukang parkir liar karena percekcokan uang
parkir, berapa banyak nyawa yang melayang dalam
perkelahian dan perampokan yang memperebutkan sebuah
arloji butut, atau berebut uang lima ribu perak, dan
seterusnya. Kiranya tema “dampak sosial dari kemiskinan
terhadap ketenteraman sosial” ini sudah perlu mendapat
perhatian yang lebih serius dari peneliti ahli
Halaman 20 dari 55
BAB III
KEMISKINAN GLOBAL
I. Fakta Keterkaitan Globalisasi Ekonomi dan Kemiskinan
Para pemimpin-pemimpin lembaga-lembaga Bretton Woods
(seperti Bank Dunia, IMF, WTO dan lain lain), menyatakan
bahwa tujuan utama mereka mendesakkan globalisasi ekonomi
adalah untuk membantu kaum miskin di dunia. Mereka
berpendirian bahwa gagasan terbaik menuju pertumbuhan
adalah dengan menghilangkan sejumlah hambatan terhadap
perdagangan perusahaan besar dan berbagai investasi
keuangan.Dengan pertumbuhan ekonomi adalah jalan terbaik
untuk keluar dari kemiskinan (Jerri Mander dkk, dalam A.
Widyamartaya, 2003:3).
Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan
mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat
penting dari lembaga-lembaga tersebut.Tahun 1990, Bank
Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty
mendeklarasikan suatu peperangan yang berhasil melawan
kemiskinansecara serentak pada tiga front :
1) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang
menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi
kelompok miskin.
2) Pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang
memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk
memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh
pertumbuhan ekonomi.
Halaman 22 dari 55
3) Membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang
diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mampu
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan
ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik
dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi
secara fisik.
Namun fakta-fakta dari tahun 1970 hingga 2000 dimana
ini adalah masa pengaruh tercepat dari globalisasi ekonomi,
justru menunjukkan kondisi sebaliknya. UNDP dalam
laporannya tahun 1999, menemukan bukti bahwa ketimpangan
antara orang kaya dan orang miskin di dalam Negara maupun
antar Negara dengan sangat cepat justru meluas. Penyebab
utamanya, menurut laporan UNDP tersebut adalah system
perdagangan dan system keuangan global.
Globalisasi ekonomi membuat segala sesuatu menjadi
buruk bagi orang-orang miskin. Ideologi dan aturan
globalisasi seperti perdagangan bebas, deregulasi,
privatisasi dan penyesuaian struktural terbukti telah
menghancurkan penghidupan berjuta-juta orang. Mereka ini
tidak lagi memiliki akses lagi terhadap pelayanan publik
yang paling pokok seperti kesehatan dan perawatan medis,
pendidikan, sanitasi, air bersih, angkutan umum, pelatihan
kerja dan sebagainya.
IMF dan Bank Dunia sangat gencar berusaha mengubah
system secara total dari orientasi local ke dalam system
produksi berbasis ekspor, hal ini mengakibatkan negara-
negara client-nya seperti Indonesia untuk mengekspor
sebagian besar produksi pangan dan Sumber Daya Alam (SDA)
Halaman 23 dari 55
mereka keluar negeri. Padahal rakyat dalam negerinya
mengalami kelaparan dan membutuhkan SDA. Dibidang
pertanian, dampak paling traumatis adalah penciptaan
kemiskinan dengan penghancuran lingkungan hidup dalam wujud
perekonomian local yang sangat dipaksakan, yaitu perubahan
dari model pertanian yang terdiversifikasi dalam skala
kecil menuju model ekspor industrial. Perubahan itu
digerakkan oleh korporasi-korporasi global.
Sistem-sistem kemandirian lokal merupakan “barang
haram” bagi korporasi dan birokrasi yang melayaninya. Dalam
system perekonomian global, keuntungan-keuntungan korporasi
global sepeti Monsanto, Cargill dan Archer Daniels Midland
dan lain-lain berasal dari besarnya peningkatan aktivitas
pengolahan dan perdagangan global. Mereka rela mengeluarkan
berpuluh-puluh juta dolar untuk public relation dan proganda
iklan, untuk mengkampanyekan bahwa “petani-petani kecil
tidak cukup produktif untuk memberi makan pada dunia yang
dirundung kelaparan”. Sehingga korporasi-korporai global
tersebut masuk dengan system pertanian monokultur untuk
menggantikan system pertanian local yang memiliki
diversifikasi tanaman yang cukup tinggi untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Model agrobisnis seperti ini tentu
saja tidak menekankan pengembangan tanaman pangan bagi
konsumsi penduduk local, tetapi lebih pada komoditas
internasional dengan tingkat harga dan keuntungan yang
sangat tinggi, seperti kopi, teh, kelapa sawit, kapas,
udang, sapi dan berbagai sayuran eksotik yang dikirim ke
Halaman 24 dari 55
negara-negara yang sudah memiliki kelimpahan persediaan
bahan pangan.
Korporasi-korporasi besar tersebut lebih mengutamakan
mesin, bioteknologi dan produksi berbasis pestisida.
Sehingga rakyat yang semula mampu mencukupi kebutuhan
pangannya sendiri kini lenyap. Pada akhirnya para petani
dan keluarga mereka membanjiri kota-kota dan tinggal di
pemukiman-pemukiman kumuh yang padat berjejal, tanpa
topangan akar budaya dan tapa pelayanan umum. Di kota
mereka harus berkompetisi mati-matian berebut peluang kerja
yang sangat terbatas di pabrik-pabrik yang juga dijalankan
oleh korporasi-korporasi gobal juga.
II. Structural Adjusment Program
Perdagangan bebas mensyaratkan semua negara
menggunakan model perekonomian yang sama. Sehingga
hilanglah segala variasi yang memperlambat laju gerak
operasi global dari perusahaan-perusahaan besar dalam
mencari sumber-sumber daya baru, pasar dan tenaga kerja
yang murah. Bagi perusahaan global tidaklah efisien apabila
setiap bangsa di dunia dibiarkan mengungkapkan sendiri-
sendiri apa yang paling baik bagi rakyatnya melalui undang-
undangnya sendiri yang demokratis. Undang-undang yang
disusun untuk melindungi sumber-sumber daya dan lingkungan
hidup, atau pelayanan-pelayanan social bagi kaum miskin,
hak-hak para pekerja setempat, membantu bisnis-bisnis kecil
untuk terus hidup, mensyaratkan para investor asing untuk
menyertakan rekan-rekan dalam negeri.Undang-undang semacam
Halaman 25 dari 55
ini diangap sebagai rintangan yang sangat mengganggu
kebebasan perusahaan besar, sehingga harus diubah dan bila
perlu dilenyapkan.
Structural Adjusment Programs (SAP) adalah instrument dari
IMF yang sangat kuasa dan berbahaya. Berbagai kebijakan
dirancang untuk membentuk kembali secara langsung seluruh
perekonomian nasional sehingga tepat, sesuai dengan semua
negara lainnya dan ideology pasar bebas. Penyesuaian-
penyesuaian ini ditentukan secara rutin, sebelum Bank Dunia
dan IMF menyetujui pinjaman bahkan kepada Negara-negara
teramat miskin sekalipun (Jerri Mander dkk, dalam A.
Widyamartaya, 2003:9-12). Contoh beberapa persyaratan SAP
adalah sebagai berikut :
1) Penghapusan tarif-tarif yang membantu industry-industri
kecil local agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan
dengan perusahaan-perusahaan besar global.
2) Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang mungkin
dapat menghambat atau terlalu banyak mengatur masuknya
investasi luar negeri. Sehingga mempermudah para modal
dan korporasi global untuk bebas masuk dan menguasai
bisnis-bisnis di tingkat local.
3) Penghapusan control harga, bahkan yang berkenaan dengan
kebutuhan pokok seperti pangan, listrik dan air. Tetapi
secara tidak adil mewajibkan pemberlakuan control atas
upah buruh.
4) Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan social dan
badan-badan yang menjalankannya. Berbagai layanan
tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya
Halaman 26 dari 55
gratis bagi rakyat, kini menjadi berbiaya yang ujung-
ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi-korporasi
global.
5) Pengahancuran secara agresif atas program-program rakyat
untuk mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok
seperti pangan, angkutan, industry dasar dan sumber-
sumber daya dasar.
6) Perubahan yang dipaksakan secara cepat atas perekonomian
dalam negeri untuk menekankan produksi berorientasi
ekspor.
Dibawah program penyesuaian structural (SAP) ini,
banyak negara berkembang mengekspor berbagai produk
pertanian dan tambang yang serupa, bahkan kerapkali sama
kenegara-negara industri. Kebijakan devaluasi mata uang
nasional, maka impor-impor (biasanya mesin dan suku cadang)
menjadi lebih mahal. Begitu pula dengan industri-industri
domestic yang tergantung pada bahan impor kian terhimpit,
efeknya banyak pekerja di PHK. Kebijakan menaikkan suku
bunga oleh IMF telah menghalangi usaha kecil dalam
mendapatkan modal, baik untuk mempertahankan maupun
mengembangkan usahanya. Dampak buruk kebijakan SAP ini juga
berdampak pada bidang kesehatan, pendidikan dan ketahanan
pangan karena resep IMF adalah sama, yaitu privatisasi.
Dibidang pangan, upaya pemberantasan kelaparan dan
mengangkat kedaulatan ekonomi para petani kecil melalui
liberalisasi pertanian justu menciptakan suatu sistem
pangan global yang terstruktur. Sistem ini melayani
Halaman 27 dari 55
berbagai kepentingan negara-negara kaya semata, namun
menindas petani-petani miskin di seluruh dunia.
III. Ketidaksambungan Program Bank Dunia dan Budaya Korupsi
Dalam buku Mortaging the Earth, Bruce rich (1994)
menyebutkan bahwa dalam semangatnya, Bank Dunia berusaha
mengurangi kemiskinan dalam satu paket dengan pelestarian
lingkungan yang berkelanjutan. Namun ketika memasuki usia
dasawarsa keenam, dalam usahanya memajukan pembangunan
ternyata kaum miskin di sebagian besar negara peminjam
justru lebih buruk. Pendapatan 70 dari 100 negara rata-rata
merosot, terutama di negara-negara bekas Uni Sovyet.
Audit internal Bank Dunia sendiri menyingkap kegagalan
sebesar 51%.Tingkat kegagalan lebih akut di sector-sektor
pembanguanan yang paling penting. Di Afrika, proyek-proyek
yang berlanjut hanya sekitar 30% tiap tahunnya. Demikian
juga untuk pinjaman hutang bagi bidang kependudukan,
kesehatan dan gizi peluang untuk proses berkelanjutannya
terus merosot.
Dibawah kepemimpinan Presiden James D. Wolfensohn,
prestasi Bank Dunia terus memburuk.Terutama di sektor-
sektor sosial dan lingkungan hidup.Secara khusus ini
berarti jika suatu proyek tidak menghasilkan sejumlah
manfaat lebih atau berkesinambungan.Maka peningkatan beban
hutang hasil pinjaman dari Bank Dunia itu tidak lebih dari
sekedar sebuah upaya penghisapan perekonomian terhadap
negara-negara miskin semata.Sehingga banyak
Halaman 28 dari 55
ketidaksambungan antara tujuan-tujuan yang dinyatakan
dengan catatan-catatan prestasinya.
Persoalan besar lain di Bank Dunia adalah menyangkut
mekanisme kerja, yang mendorong terjadinya penyelewengan
dana dan korupsi secara sistematis di sejumlah Negara
peminjam utama Bank Dunia. Di bawah kepemimpinan Wolfensohn
tidak berdaya memerangi dan mencari akar persoalan korupsi.
Padahal akar persoalannya adalah tekanan internal Bank
Dunia sendiri ntuk terus meminjamkan uang, kendati teramat
kecil kesesuaian dengan pemenuhannya.,
Contoh kasus di Indonesia, dalam konferensi pers di
Jakarta Juli 1997 Prof. Jefrey Winter mengatakan bahwa
bobroknya pengelolaan yang dilakukan Bank Dunia telah
memungkinkan para pejabat Indonesia yang korup melakukan
pencurian sebanyak 30% dari dana-dana pinjaman Bank Dunia
selama lebih dari 30 tahun. Namun anehnya Bank Dunia di
tahun fiscal 1998, tetap mengeluarkan lebih dari 1,3 milyar
dollar kepada Indonesia tanpa disertai langkah-langkah yang
efektif untuk mencegah terjadinya kebocoran lebih lanjut.
IV.Konsep Negera Berkesejahteraan (Welfare State)
Salah satu ilmuwan sosial dunia, Walter A Friedlander
memaparkan bahwa Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang
terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang
dirancang untuk membantu individu atau kelompok agar dapat
mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih baik.
Secara umum, kesejahteraan sosial bisa dikatakan sebagai
sebuah program kegiatan pelayanan sosial yang tersusun
Halaman 29 dari 55
secara sistematis dan terorganisir yang bertujuan untuk
membantu setiap individu maupun kelompok masyarakat
tertentu agar mampu berfungsi sosial kembali dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam artian, bahwa setiap orang
yang mengalami disfungsi sosial merupakan objek daripada
ilmu kesejahteraan sosial tersebut, atau berdasarkan studi
tersebut mereka yang mengalami disfungsi sosial disebut
dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Mereka yang termasuk dalam penyandang masalah
kesejahteraan sosial ini dikatakan tidak mampu dalam
memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia yang terdiri
dari:
1. Kebutuhan biologis dan fisiologis (Sandang, Pangan,
Papan)
2. Kebutuhan akan rasa aman.
3. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.
4. Kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri.
Konsep welfare state sendiri merupakan suatu bentuk
formulasi pembangunan yang lahir melalui ideologi marxis,
sosialis, dan sosialis demokratik (Spicker, 1995), namun
dalam perkembangannya, konsep ini justru banyak diterapkan
di negara-negara yang berideologi liberalis dan
kapitalis.Disisi lain, Konsepsi Welfare State ini malahan
dianggap sebagai “penawar dosa” yang dihasilkan dari sistem
kapitalis, dengan kata lain, konsepsi welfare state ini
sering disebut sebagai wujud dari “Kapitalis Baik Hati”. Di
Eropa, Berkembangnya Welfare state ini berawal dari suatu
sistem yang berawal di Inggris sebagai bentuk alternatif
Halaman 30 dari 55
perbaikan kondisi sosial masyarakat yang selama ini
berbentuk the poor law yang dianggap kurang efektif dalam
menyelesaikan permasalahan sosial, dimana the poor law ini
secara praksis menyediakan 3 aturan pokok yang harus
dilakukan negara terhadap rakyatnya, yaitu:
1. Bagi orang tua (Lansia) harus dirawat di panti dan
seluruh pelayanannya ditanggung oleh negara.
2. Bagi anak-anak harus dititipkan di panti anak atau
dijadikan anak asuh oleh keluarga tertentu untuk
diberikan pendidikan yang layak.
3. Bagi orang dewasa yang secara fisik masih sehat,
diwajibkan untuk bekerja (apapun itu) dan lapangan
pekerjaannya akan disediakan oleh negara, apabila
menolak maka warga tersebut akan di bina di lembaga
permasyarakatan.
Artinya, secara konsepsi, Para penganut konsepsi
welfare state ini beranggapan bahwa sudah saatnya Inggris
mengubah sistem pelayanan sosialnya dalam bentuk welfare
state ini. Bentuknya yaitu dengan cara menyelenggarakan
pembangunan ekonomi yang merata baik setiap rakyatnya.
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar
negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy
Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah
memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness
(atau welfare) of the greatest number of their citizens.
Dalam konstitusi Negara Indonesia, tercantum dalam UUD
1945, konsep welfare state tertuang dalam pasal 34 ayat 2
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
Halaman 31 dari 55
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” dan ayat 3
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”.
Halaman 32 dari 55
BAB IV
ANALISA KEMISKINAN DI INDONESIA
I. Kemiskinan Konteks Indonesia
DeTik edisi 12-18 Mei 1993, menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kemiskinan di Indonesia adalah 4 macam
kondisi kehidupan. Pertama adalah kondisi kehidupan
seperti yang dialami “masyarakat pemburu-peramu-nomaden”
(foraging group), kedua adalah kondisi kehidupan seperti yang
dialami “masyarakat berpenghasilan rendah sekali,” ketiga
adalah kondisi “kesenjangan”, dan keempat adalah
“kemiskinan di tengah kemakmuran”.
Bagi Amri Marzali (1993) cara pendefinisikan dan
pengklasifikasian kemiskinan seperti di atas terasa agak
janggal menurut pendapat umum. Pertama, dalam contoh
“masyarakat pemburu-peramu-nomaden”, yang di Indonesia
digolongkan orang sebagai “suku terasing”, misalnya Orang
Kubu di Jambi dan Orang Tugutil di Maluku. Apakah kondisi
kehidupan mereka dapat disebut miskin? Orang-orang
antropologi malah mengira bahwa justru merekalah yang
sebenarnya “the most affluent society”, karena mereka mampu
memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara yang paling
mudah, yaitu sekedar memungut apa yang disediakan alam.
Tambahan lagi, mereka mempunyai waktu lowong (leisure time)
yang begitu banyak.
Kejanggalan kedua bagi Amri Marzali, bahwa apa yang
dimaksud dengan “kondisi kesenjangan” sebenarnya adalah
setali tiga uang dengan “kemiskinan di tengah
Halaman 33 dari 55
kemakmuran”, yang oleh para peneliti kemiskinan disebut
dengan istilah “kemiskinan relatif”, atau kesenjangan
dalam distribusi pendapatan.
Tujuan pembangunan nasional, sebesar-besar kemakmuran
rakyat mengharuskan pemerintah untuk melakukan
pemberantasan kemiskinan. Apabila dikelola dengan baik dan
benar, investasi bidang perkebunan mempunyai peran
signifikan dalam memberantas kemiskinan, karena investasi
bidang perkebunan memerlukan tanah luas dan tenaga kerja
yang banyak dapat digunakan sebagai strategi distribusi
pemerataan pemilikan hak atas tanah (landreform) yang
merupakan faktor produksi terpenting bagi rakyat, khususnya
petani/pekebun sebagai bagian dari upaya penegakan hak
asasi manusia di bidang ekonomi (pemberantasan kemiskinan),
yaitu meningkatkan pendapatan petani/pekebun.
Kemiskinan sebagai akibat negatif investasi yang tidak
dikelola dengan baik dan benar dapat saja muncul sebagai
dampak negatif globalisasi perdagangan dunia harus
diantisipasi dan dicari alternatif penyelesainnya. Mantan
Sekretaris Jendral PBB, Koffi Anand, menyatakan bahwa 10
(Sepuluh) tahun mendatang dunia akan mengalami bahaya
bersama berupa “Bahaya Kemiskinan” sebagai bagian dari
“Bahaya Peradaban”,berupa: 1)Kemiskinan (Freedom from Prosperity);
2) Ketakutan (Freedom from Fear); 3) Kejahatan Transnasional,
Terrorisme, Bahaya Nuklir dan Kimia (Mass Weapon Destructions)
dan; 4) Tantangan untuk menciptakan To Live in Dignity, dengan
mengembangkan 3 (tiga) pilar utama, yaitu pembangunan,
keamanan dan penegakan HAM.
Halaman 34 dari 55
Bahaya peradaban berbeda dengan bahaya pada umumnya,
karena memiliki karakteristik: 1) Dihadapi semua bangsa;
2) Akan dihadapi pada masa 10 (sepuluh) tahun yang akan
datang dan; 3) Tidak akan dapat dipecahkan oleh negara
secara perseorangan, karena terdapat faktor-faktor yang
bersifat interdependent dan linkage, oleh karena itu bahaya
kemiskinan hanya dapat ditanggulangi atas dasar prinsip
tanggung jawab bersama (Shared Responsibility).
Keharusan adanya tanggung jawab bersama untuk
memerangi bahaya kemiskinan timbul karenabahaya yang akan
dihadapi masing-masing negara berbeda dan kemampuan negara-
negara untuk beradaptasi menghadapi bahaya peradaban yang
menuntut adanya keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif masing-masing negara juga tidak sama. Pada
situasi dan kondisi demikian, investasi yang dikelola
dengan baik dan benar oleh negara/pemerintah, termasuk
investasi bidang perkebunan berpengaruh signifikan dalam
pemberantasan kemiskinan.
Bagi negara miskin dan berkembang, pemberantasan
kemiskinan merupakan kewajiban utama negara/pemerintah
dalam penegakan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial
dan kultural serta koreksi politik terhadap negara maju
yang menerapkan : 1) Ketidakadilan, 2) Standart Ganda, 3)
Kebijaksanaan yang tidak adil terhadap negara miskin dan
berkembang.
Muladi (2004) menyatakan bahwa Berdasarkan subjek,
objek atau generasi yang melekat padanya, maka apabila hak-
hak sipil dan politik disebut Generasi I HAM dan sering
Halaman 35 dari 55
disebut juga dengan “true human rights” di mana individu
mengharapkan perlindungan dari negara (Negative Rights).Maka HAM
Ekonomi, Sosial dan Kultural disebut sebagai Generasi II
HAM, dimana negara harus mengambil langkah-langkah aktif
untuk merealisasikannya (Positive Rights).HAM ini banyak
diperjuangkan oleh negara-negara sedang berkembang
(Developing Countries) dan sering dinamakan “Utopian Aspiration, Non-
Legal And Non-Justiciable”. Kategori HAM Generasi III diberikan
kepada hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat
manusia berdasarkan rasa persaudaraan dan solidaritas yang
sangat dibutuhkan. HAM ini meliputi antara lain: “The right to
development; right to peace and right to healthy and balanced
environment(Muladi, 2004:9-10).
Berdasarkan pendapat Muladi, penegakan hak-hak rakyat
untuk membangun kesejahteraan hidupnya melalui penegakan
Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi merupakan bagian tak
dapat terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara keseluruhan
yang dijamin Hukum Internasional. Khusus untuk penegakan
HAM Generasi II yang meliputi HAM Ekonomi, Sosial dan
Kultural negara/pemerintah wajib untuk mengambil langkah
aktif merealisasikannya, karena HAM Ekonomi, Sosial dan
Kultural berkedudukan sebagai positive rights.
Bagi Indonesia, sebagai negara berkembang dengan
kondisi masyarakatnya yang umumnya lemah secara ekonomi,
rendah pendidikan, dan majemuk (plural), dan sangat
membutuhkan investasi untuk menggerakkan pembangunan
ekonominya, penegakkan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi,
sosial dan kultural berdasarkan asas, norma, prinsip hukum
Halaman 36 dari 55
dan standar internasional yang selanjutnya ditranformasikan
ke sistem hukum (peraturan) nasional mulai dari “soft law”
sampai menjadi “hard law” sering menjadi persoalan dilematis,
sensitif dan kompleks.
Kesulitan yang dialami pemerintah Indonesia dalam
membentuk peraturan HAM Ekonomi, Sosial dan melaksanakan
penegakannya, muncul karena masih adanya perbedaan
penafsiran antara rejim hukum internasional dan rejim hukum
nasional terhadap substansi dan standar HAM, kemajemukan
kultur masyarakat dan hukum di Indonesia yang menjadi
sumber nilai dan asas pembentukan peraturan di Indonesia.
Upaya negara/pemerintah memerangi dan memberantas
kemiskinan yang dilakukan melalui strategi pemberian
berbagai fasilitas dan kemudahan bagi investor dalam
menanamkan modalnya yang tertuang dalam berbagai peraturan
investasi sebagai bagian dari upaya mensejahterakan
masyarakat seringkali dinilai sebagai tindakan yang
bersifat diskriminatif oleh masyarakat, melanggar hak
asasi manusia dan merupakan ketidakadilan, sehingga
menimbulkan tuntutan penegakan HAM Ekonomi, Sosial dan
Budaya.
Apabila mengkaji profil dari masyarakat, maka
kemiskinan sebenarnya bukan masalah kesejahteraan,
melainkan mengandung berbagai isian. Pertama, masalah
kemiskinan adalah masalah kerentanan. Kedua, masalah
tertutupnya akses ke berbagai peluang sumber daya
produktif, termasuk modal, sumberdaya alam, bahkan
kesempatan kerja. Ketiga, kemiskinan adalah maslah
Halaman 37 dari 55
ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial
dalam mengahadapi kekuasaan dalam hal-hal yang menyangkut
pembuatan keputusan yang berhubungan dengan dirinya.
Keempat, kemiskinan juga berarti rendahnya ketahanan fisik
dan intelektual karena keterbatasan kandungan konsumsi
fisik dan non-fisik.Kelima, kemiskinan berbentuk
ketergantungan, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi
pada pihak lain. Keenam, kemiskinan berarti adanya sebuah
sistem nilai “kemiskinan” yang diwariskan dari suatu
generasi- kemudian disebut kemiskinan cultural (Gunawan
Sumodiningrat, 2005 : 78).
Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung
menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural
dengan kemiskinan kultural, terlebih jika dikaitkan dengan
kemiskinan yang terjadi di Indonesia, selain sebagai negara
sedang berkembang, Indonesia mengalami proses sejarah
penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun, dalam
tahap itu pemerintah kolonial belanda menanamkan
komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan
lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya
adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka
yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa.
Pasca kolonialisme pemerintah orde lama, lebih fokus
pada pembangunan aspek politik, yakni proses
pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini
kondisi perekonomian negara jauh dari stabil dan,
penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas.Dalam
Halaman 38 dari 55
kondisi ini masyarakat Indonesia tidak beranjak dari
situasi miskin karena secara struktural tidak
terprioritaskan. Kondisi ini secara alami memperburuk sikap
mental kemiskinan kultural sebagaimana faham jabariyah,
yaitu munculnya justifikasi jika miskin adalah takdir,
orang miskin masuk surga dan tumbuhnya fatalisme kronis
dalam masyarakat.
Pemerintahan orde baru, dimana kebijakan politk mulai
terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan
melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu
IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak
dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah
kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru,
dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud
eksploitasi pertambangan, penebangan hutan, pembangunan
pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada
akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin
akut.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan
diatas, dalam konteks keindonesiaan, Kemiskinan kultural
merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat
terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap
miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering
diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman
keliru mengenai nasib untuk selalu bersabar dan bersyukur.
III. UU dan Peraturan dibidang Kesejahteraan Sosial
Halaman 39 dari 55
Adapun Undang-Undang dan peraturan lainnya sebagai
payung hukum penanggulangan kemiskinan dan upaya-upaya
pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia adalah
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar R.I. tahun 1945 Pasal 27, Pasal 28
dan pasal 34.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya Pasal 22 huruf b dan huruf h yang
mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan Jaminan
Sosial dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Lembaran Negara Tahun 1974 nomor 53;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039) khususnya Pasal 1,
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 52 Bab
Ketentuan Peralihan.
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun1997 tentang Penyandang
CACAT.
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Lanjut Usia.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Kabupaten sebagai
Daerah Otonomi.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang
Pelayanan Sosial bagi Fakir Miskin.
Halaman 40 dari 55
10. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan sosial Penyandang CACAT.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.
12. Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 49/HUK/2001
tentang Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan
dan Tidak Mampu Melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial
dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.
13. Keputusan Menteri sosial R.I. Nomor 44/HUK/2004
tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial bagi Masyarakat
Tidak Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial
Permanen.
14. Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan
Sosial, Departemen Sosial R.I. Nomor 09B/BIS/2002
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Program Bantuan dan
Jaminan Sosial.
15. Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial
Nomor 26/B/BJS/V/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jaminan Kesejahteraan Sosial bagi Masyarakat Tidak
Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen
16. Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
17. Undang Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
18. Undang Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial.
19. Undang Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan
Fakir Miskin.
Halaman 41 dari 55
Menurut Gunawan Sumodiningrat(1999) bahwa secara
menyeluruh dan bertahap pemerintah berupaya untuk
meningkatkan kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan dan
keadilan sosial melalui pembangunan bidang kesejahteraan
sosial yang bertujuan untuk : 1). Menikmati Pelayanan
Pembangunan; 2). Mendayagunakan kesempatan hasil
pembangunan bagi peningkatan kualitas hidup dan taraf
kesejahteraan sosialnya; dan 3). Meningkatkan peran
sertanya dalam proses pelaksanaan pembangunan. Gambaran di
atas mengandung makna bahwa, pembangunan bidang
kesejahteraan sosial dalam konteks pelaksanaan pembangunan
nasional yang berfungsi sebagai salah satu gerak dasar
pembangunan nasional, karena peranannya sebagai salah satu
upaya Bangsa dalam mempersiapkan manusia pembangunan.
III. Kesejahteraan Masyarakat
Ada tiga komponen yang dapat diukur dari
hakekat pembangunan. Ketiga komponen itu adalah
kecukupan (sustenance), jati diri (self-esteem) serta
kebebasan (freedom). Ketiga hal inilah yang merupakan
tujuan pokok yang harus dicapai oleh setiap orang
dan masyarakat dalam proses pembangunan. Ketiganya
berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan
manusia yang mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam
manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan
budaya sepanjang zaman Todaro (1998).
Badan Pusat Statistik (2000) menyatakan bahwa komponen
kesejahteraan yang dapat dipakai sebagai indikator
Halaman 42 dari 55
kesejahteraan masyarakat adalah kependudukan, tingkat
kesehatan dan gizi masyarakat, pendapatan masyarakat,
tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola
konsumsi masyarakat, keadaan perumahan dan
lingkungan, dan keadaan sosial budaya.
Komponen lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
masyarakat misalnya luas kepemilikan lahan (Djohar, 1999).
Hal ini dimungkinkan karena dilihat dari segi ekonomi,
lahan/tanah merupakan earning asset yang dapat
digunakan untuk menghasilkan pendapatan, sedangkan
dilihat dari segi sosial, lahan/tanah dapat
menentukan status sosial seseorang terutama di daerah
pedesaan. Menyadari bahwa pembangunan selalu membawa
dampak, baik positif maupun negatif, maka diperlukan
indikator-indikator untuk mengukur kinerja pembangunan.
Selama ini tingkat pendapatan perkapita banyak
digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan, terutama
pembangunan perekonomian suatu negara, namun hal itu tidak
cukup memberikan gambaran yang nyata tentang tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Adapun upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia, di jaman pemerintahan Suharto adalah :Pertama,
secara tidak langsung adalah Keluarga Berencana dan Inpres
Pendidikan. Kedua, bantuan langsung seperti IDT (Inpres Desa
Tertinggal) tahun 1993 oleh Departemen Dalam Negeri,
program KUBE (Kelompok Usaha Bersama) oleh Departemen
Sosial, dan TAKESRA dan KUKESRA (oleh BKKBN (Syafri Sairin,
1997:66). Sedangkan di era reformasi tercatat : RASKIN
Halaman 43 dari 55
(Beras untuk Keluarga Miskin), BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai kompensai
kenaikan harga BBM, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia
Cerdas dan Kartu Indonesia Sejahtera.
Halaman 44 dari 55
BAB V
KEMISKINANMASYARAKAT DESA
I.Kemiskinan Masyarakat Desa
Dalam konsepsi Clifford Geertz (1963), khususnya
tentang kemiskinan yang menimpa masyarakat Jawa, bahwa
"Mereka itu miskin, bukannnya karena malas.Tetapi mereka malas, karena
miskin!".Apa pun yang dimiliki dan dikuasai orang-orang
miskin, apakah itu harta benda, sumber daya ekonomi,
institusi sosial, dan cara-cara hidup tertentu selalu
berputar dalam mekanisme yang involutif. Artinya, apa pun
yang ada pada masyarakat miskin itu, bahkan bentuk-bentuk
pola kerja sama dan solidaritas yang tumbuh di antara
mereka, selalu berputar-putar di dalam dan menjebak mereka
sendiri untuk tetap hidup dalam batas-batas subsistensi
ekonomi, bukan suatu pergerakan yang evolutif, yang
berkembang.
Menurut Chambers (dalam Abdul Wahab, 2005:45) bahwa
karakter masyarakat miskin dalam hidupnya akan dipicu oleh
tuntutan dan desakan untuk dapat bertahan hidup, artinya
ada yang untuk dimakan dan tidak jatuh sakit atau tertimpa
kekecewaan. Kebanyakan masyarakat di desa, baik pria maupun
wanita harus melakukan pekerjaan apa saja untuk dapat
mempertahankan hidupnya. Pada dasarnya, kemiskinan selalu
dikaitkan dengan ekonomi, akan tetapi kemiskinan menyangkut
berbagai aspek, yakni material, sosial, kultural, dan
institusional.
Halaman 45 dari 55
Penyebab kemiskinan menurut masyarakat miskin
sendiri adalah kurangnya modal, pendidikan,
keterampilan, dan kesempatan kerja; dan rendahnya
pendapatan (Tim Studi KKP, 2004). Kuncoro (2004)
mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang
dari sisi ekonomi. Pertama, ketidaksamaan pola
kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Kedua, perbedaan dalam
kualitas sumber daya manusia yang berkaitan dengan
produktivitas dan upah yang rendah. Ketiga, kemiskinan
muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Persoalan
kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks.
Banyak faktor yang berperan menjadi penyebab
kemiskinan. Ketidakberuntungan (disadvantages) yang
melekat pada keluarga miskin, keterbatasan kepemilikan
aset (poor), kelemahan kondisi fisik (physically weak),
keterisolasian (isolation), kerentaan (vulnerable), dan
ketidakberdayaan (powerless) adalah berbagai penyebab
mengapa keluarga miskin selalu kekurangan dalam
memenuhi dasar hidup, seperti pangan, sandang, papan,
kesehatan, dan pendidikan layak untuk anak-anaknya.
Kondisi serba kekurangan dari masyarakat miskin
tersebut menyebabkan mereka tidak dapat menjalankan
fungsi sosialnya. Selain itu, kultur kemiskinan yang masih
kental dalam masyarakat dengan budaya tolong-menolong,
pada satu sisi dapat bersifat positif, namun di sisi
yang lain juga dapat mengaburkan arti kemiskinan yang
sebenarnya. Orang yang sebenarnya sangat miskin,
Halaman 46 dari 55
merasa tidak terlalu miskin karena bantuan sosial di
sekelilingnya. Kondisi kemiskinan juga menjadi
diperparah karena kewajiban sosial yang ditanggung
keluarga miskin, seperti kewajiban menyumbang. Situasi
yang seperti ini menyebabkan berbagai program
penanggulangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan
menghadapi hambatan dalam pelaksanaannya
(Listyaningsih, 2004).
II.Kasus Transmigrasi
Dari tahun 1976 hingga 1986, Bank Dunia telah
meminjamkan sedikitnya 630 juta dollar untuk proyek
Transmigrasi pada pemerintahan Suharto (Victoria Taupi
Corpus, dalam A Widyamartaya, 2003:154). Transmigrasi
adalah program pemindahan jutaan penduduk miskin dari Jawa,
Bali, Madura dan Lombok ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua. Pemindahan ini mempunyai 2 (dua) tujuan,
yaitu :Pertama, mengurangi tekanan terhadap laju pertambahan
penduduk dan pengangguran yang semakin tinggi di pulau-
pulau yang padat penduduknya. Kedua, menggunakan tenaga
jutaan penduduk tersebut untuk mengembangkan berbagai
tanaman komoditas pertanian khususnya kelapa sawit, kopi
dan coklat.
Proyek Transmigrasi inilah yang dianggap sebagai akar
konflik di berbagai daerah di Indonesia. Sekarang ini,
pulau-pulau itu hanya memiliki 10% saja hutan tropis dan
itulah yang tersisa didunia. Proyek Transmigrasi pada
akhirnya mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan secara
Halaman 47 dari 55
besar-besaran dan membabi buta, dengan palaku utama para
transmigran dan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan).
Penggundulan hutan ini untuk pembukaan lahan baru bagi
tanaman komoditas tinggi. Juga masuknya proyek-proyek
pertambangan seperti Freeport McMorran, Caltex, PetroChina
dan lain-lain.
Tujuan Transmigrasi sesungguhnya adalah untuk
mengentaskan kemiskinan, namn prakteknya justru sebaliknya
yaitu memperparah persoalan kemiskinan yang ridak seimbang
dengan ongkos yang telah dikeluarkan. Ongkos ini berasal
dari hutang Bank Dunia, ODA (Overseas Development Assistance)
dari Jerman, Belanda dan Amerika Serikat. Tidak ketinggalan
pula dari ADB (Asian Development Bank), UNDP (United Nation
Development Program), dan WFP (Worl Food Program). Pihak-pihak
inilah yang semestinya ikut bertanggung jawab.
Dalam tinjauannya sendiri, Bank Dunia pada tahun 1986
memperlihatkan bahwa 50% keluarga-keluarga transmigran
hidup di bawah garis kemiskinan, dan 20% lainnya hidup di
bawaah tingkat sub-sistem (Bank Dunia, 1986:157). Masalah
lainnya adalah konflik social dan kerusakan lingkungan.
III. Tinjauan Kritis Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan selama ini menunjukkan keseriusan dalam
penanggulangan kemiskinan. Mulai dari program yang
ditujukan untuk petani, melalui berbagai skim kredit
dan subsidi, sampai pada berbagai program pemberdayaan
untuk keluarga miskin, seperti pemberian dana
Halaman 48 dari 55
bergulir, program ekonomi produktif, pemberdayaan
ekonomi masyarakat pesisir. Namun berbagai program
tersebut belum secara signifikan mampu menurunkan jumlah
penduduk miskin, sehingga memunculkan
pertanyaan mengapa banyak program penanggulangan
kemiskinan tidak efektif atau bagaimana bentuk
program penangulangan kemiskinan yang efektif.
Kelemahan berbagai program penanggulangan
kemiskinan, adalah sebagai berikut.
a. Program yang dilaksanakan berpedoman pada
perguliran dana bantuan. Karena konsepnya adalah
bergulir, logikanya yang mampu mengikuti program
tersebut adalah mereka yang memiliki usaha produktif,
dan kecil kemungkinan masyarakat yang benar-benar miskin
dapat mengikuti program dana bergulir.
b. Kecilnya peluang rumah tangga miskin ikut dalam
pola pergliran disebabkan karena keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan, sehingga sangat
beresiko terhadap keberhasilan program.
c. Adanya gejala ketidaktepatan pendataan penduduk
miskin, yang terutama dilakukan petugas desa
(banjar) yang cenderung pilih kasih, sehingga
data penduduk miskin untuk penanggulangan kemiskinan
menjadi tidak tepat sasaran.
d. Kecenderungan adanya pemilihan daerah sasaran program
dengan harapan tingkat keberhasilannya dapat lebih
diukur. Hal ini berakibat pula pada salah sasaran.
Halaman 49 dari 55
e. Sikap mental penduduk miskin yang cenderung
pasrah, menerima apa adanya, merasa miskin adalah
nasib, takdir dan lainnya adalah sikap
mental yang menghambat program kemiskinan.
f. Program-program yang cenderung member ‘ikan’, bukan
kail dan atau cara memancing dapat menggeser perilaku
masyarakat yang justru ingin menjadi miskin agar
mendapat bantuan kemiskinan, bukan justru berupaya
bagaimana mereka dapat ke luar dari kemiskinan.
Halaman 50 dari 55
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada banyak tokoh yang berbicara tentangkemiskinan
secara individual atau secara berkelompok. Pembicaraan
tentang teori kemiskinan khususnya tentang kebudayaan
kemiskinan, Kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan
terbentuk dari suatu situasi, yang mengelompokkan
masyarakat dalam dua kategori, yaitu miskin dan tidak
miskin.
Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat sebuah
kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan juga dampak
yang ditimbulkannya pada kelompok miskin tersebut.
Kebudayaan kemiskinan merupakanadaptasi dan penyesuaian
oleh sekelompok orang pada kondisi marginal mereka, tetapi
bukan untuk eksistensinya karena sejumlah sifat dan
sikap mereka lebih banyak terbatas pada orientasi
kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis,dan sempitnya
pada perancanaan masa depan.
Globalisasi, terutama globalisasi ekonomi sangat
berpengaruh pada tingkat kemiskinan di Negara-negara
berkembang, termasuk di Indonesia. Lembaga-lembaga Bretton
Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lain-lain) menjadi agen
Negara-negara maju berkontribusi besar dalam masalah
kemiskinan dunia.
Kemiskinan juga menjadi masalah di Indonesia. Sejak
era colonial, Orde baru hingga reformasi sudah banyak
Halaman 51 dari 55
program penanggulangan kemiskinan.Namun prosentasi dan
angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi.Sehingga pentng
mendesak untuk mengubah paradigm penanggulangan kemiskinan.
B. Saran.
Masalah kemiskinan merupakan persoalan multidimensi
dan multi disipliner, sehingga pendekatannyapun juga harus
interdisipliner. Kebanyakan riset dan konsep-konsep sangat
teknis dan matematis, sehingga kurang memberi ruang pada
kajian etika dan konsep filosofis yang lain. Dari sinilah
ilmu Filsafat dapat memberikan kontribusinya.
Halaman 52 dari 55
Daftar Pustaka
Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan, 1980, KemiskinanStruktural, Suatu Bungarampai, Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu social.
Bakker, J.W.M., 2005, Filsafat Kebudayaan, cetakan ke-15,Yogyakarta :Kanisius.
Doyle, Paul Johnson, 1986,Teori Sosiologi, Klasik dan Modern(terjemahan : Robert MZ Lawang), Jakarta:Penerbit PT Gramedia.
Edi Suharto, 2008, Kebijakan Sosial sebagai kebijakan Publik,Bandung : Alfabeta
Fakih, Mansour, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.
Geertz, Clifford, 1963, Agricultural Involution, Berkeley:University of California Press.
Gunawan Sumodiningrat, Budi Santoso, Mohammad Maiwan,1999, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: IMPAC.
Gunawan Sumodiningrat- Riant Nugroho D., 2005, MembangunIndonesia Emas,Jakarta: Elax Media Komputindo,
Hauser, Phillip, 1985, Penduduk dan Masa Depan Perkotaan,Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Herlianto, 1997, Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota,Bandung : Penerbit Alumni Bandung.
Kartasamita, Ginandjar, 1995, Pemberdayaan Masyarakat: SebuahTinjauan Administrasi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besardalam Ilmu Administrasi, Malang: UniversitasBrawijaya.
Koentjaraningrat, 1990, Manusia dan Kebudayaan Indonesia,Jakarta :Jambatan.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun, 1986,Kemiskinan diIndonesia,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lewis, Oscar, 1988, Kisah Lima Keluarga, Jakarta : YayasanObor Indonesia.
Halaman 53 dari 55
Manning Chrisdan Tadjuddin Noer Effendi, 1983, Urbanisasi,Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yogyakarta :Penerbit PPSK-Univ Gajah Mada.
Marzali, Amri, 1993, Dimensi Pembangunan dan Konsep Kemiskinan",artikel opini dalam Media Indonesia 12 Juli 1993.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove, 1984,Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di DuaDesaPantai, Jakarta: Penerbit Rajawali.
Muladi, 2004, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar PengembanganIlmu Hukum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada SeminarNasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”,Semarang: IAIN Walisongo dan Ikatan Alumni PDIH UNDIP.
Poerwadarminta, WJS. 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakart : PN Balai Pustaka.
Poespowardojo, Soerjanto dalam Slamet Sutrisno ed, 1986,Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta :Liberty.
Ramli, Rusli, 1992, Sektor Informal PerkotaanPedagang kakiLima,Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co.
Rich, Bruce, 1991, Mortaging the Earth, Makalah pada SeminarPerkumpulan Wartawan Indonesia di Jakarta, dimuatdalam Warta Ekonomi edisi 2 Desember 1991.
Sairin, Syafri, 2002 Perubahan SosialMasyarakatIndonesia, Perspektif Antropologi, Yogyakarta :PenerbitPustaka Pelajar.
Sudarwati, Ninik, 2009, Kebijakan Pengentasan KemiskinanMengurangi Kegagalan Penanggulangan Kemiskinan, Malang:Intimedia.
Sunarto, Kamanto, 1993,Pengantar Sosiologi.Jakarta:LembagaPenerbit, FakultasEkonomi UniversitasIndonesia.Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Vol. I No. 01, Tahun 2010
Suparlan, Parsudi (penyunting), 1984, KemiskinanDi Perkotaan,Bacaan UntukAntropologi Perkotaan, Jakarta : PenerbitSinar Harapan dan YayasanObor Indonesia.
______________, 2008Dari Masyarakat MajemukMenuju MasyarakatMultikultural (buku kumpulan tulisan Prof.
Halaman 54 dari 55
ParsudiSuparlan, Ph.D. In Memorium,editor :Chrysnanda. DL dan Yulizar Syafri),Jakarta : Penerbit JPKIK.
Syarif Muhidin, 2008, Masalah-masalah Sosial, Bandung : Andika.Widyamataya, A., 2003, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan /
Laporan Khusus oleh International Forum on Globalization, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Yudhoyono, Susilo Bambang Yudhoyono, 2004,PembangunanPertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan danPengangguran, Disertasi pada Sekolah Pascasarjana,Bogor: IPB.
Halaman 55 dari 55