Dampak Industrialisasi Pariwisata Terhadap Kemiskinan Masyarakat Pesisir

29
DAMPAK INDUSTRIALISASI PARIWISATA TERHADAP KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR Sokemd Arjunaroi Manullang Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember [email protected] ABSTRAK Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta jiwa. Sebagian besar jumlah penduduk miskin tersebut merupakan masyarakat pesisir. Kemiskinan masyarakat pesisir banyak dipengaruhi oleh aspek lingkungan, keragaman potensi sumber daya ekonomi lokal, peluang pasar, akses permodalan dan kualitas sumber daya masyarakat pesisir. Permasalahan ini menjadi masalah nasional, mengingat negara kita adalah negara maritim yang 70% wilayahnya terdiri dari lautan. Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam program-program pemerintah. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia telah melakukan program pemberdayaan masyarakat pesisir, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP), Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP), Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), dan Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). Serta pembentukan kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat pesisir seperti Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP), Kelompok Pembudidaya Ikan (PokDaKan), Kelompok Pengolah Pemasar (PokLahSar), Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR), dan Kelompok Masyarakat Pesisir (KMP). Semua program-program pemerintah ini menjadi usaha menyelesaikan permasalahan nasional, yaitu kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri juga memiliki program pemberdayaan masyarakat terhadap potensi daerah wisata. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat terutama masyarakat miskin melalui pengembangan desa wisata. Yang dimaksud desa wisata (Muliawan,

Transcript of Dampak Industrialisasi Pariwisata Terhadap Kemiskinan Masyarakat Pesisir

DAMPAK INDUSTRIALISASI PARIWISATATERHADAP KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR

Sokemd Arjunaroi ManullangProgram Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik,Universitas Jember

[email protected]

ABSTRAK

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahpenduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta jiwa.Sebagian besar jumlah penduduk miskin tersebut merupakanmasyarakat pesisir. Kemiskinan masyarakat pesisir banyakdipengaruhi oleh aspek lingkungan, keragaman potensi sumberdaya ekonomi lokal, peluang pasar, akses permodalan dankualitas sumber daya masyarakat pesisir. Permasalahan inimenjadi masalah nasional, mengingat negara kita adalah negaramaritim yang 70% wilayahnya terdiri dari lautan.

Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yangpenanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadiprioritas utama dalam program-program pemerintah. KementerianKelautan dan Perikanan Republik Indonesia telah melakukanprogram pemberdayaan masyarakat pesisir, seperti ProgramNasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan danPerikanan (PNPM Mandiri KP), Pengembangan Usaha Mina Pedesaan(PUMP), Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), danPengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). Serta pembentukankelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat pesisir sepertiKelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP), KelompokPembudidaya Ikan (PokDaKan), Kelompok Pengolah Pemasar(PokLahSar), Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR), dan KelompokMasyarakat Pesisir (KMP). Semua program-program pemerintah inimenjadi usaha menyelesaikan permasalahan nasional, yaitukemiskinan.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri jugamemiliki program pemberdayaan masyarakat terhadap potensidaerah wisata. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan dankesempatan kerja masyarakat terutama masyarakat miskin melaluipengembangan desa wisata. Yang dimaksud desa wisata (Muliawan,

2008) adalah desa yang memiliki potensi keunikan dan daya dayatarik wisata yang khas, desa yang dikelola dan dikemas secaramenarik dan alami dengan pengembangan fasilitas pendukungwisatanya, serta desa yang mampu mengerakkan aktifitas ekonomipariwisata yang dapat meningkatkan kesejahteraan danpemberdayaan masyarakat setempat. Dengan potensi wilayahkelautannya yang luas, Indonesia memiliki banyak obyek wisatalaut yang menarik dan unik. Beberapa obyek wisata yang bisadisebutkan, antara lain Danau Toba Sumatera Utara, PulauSeribu, Karimun Jawa, Wisata Bahari Lamongan, Pantai KutaBali, Pantai Derawan Kalimantan Timur, Taman Laut BunakenSulawesi Utara, Raja Ampat Papua, dan masih banyak lagi.Obyek-obyek wisata laut ini bukan saja dikenal di kalanganwisatawan domestik, tetapi sudah menjadi daya tarik wisatawanmancanegara untuk menikmati keindahan alam Indonesia.

Banyaknya obyek wisata laut di Indonesia diharapkanmenjadi salah satu indikator pendorong pemberdayaan masyarakatpesisir untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Makalah iniakan membahas dampak industrialisasi pariwisata terhadapkemiskinan masyarakat pesisir. Dengan cita-cita pengentasankemiskinan nasional, diharapkan makalah ini menemukan hubunganantara industrialisasi pariwisata dan kemiskinan masyarakatpesisir.Kata kunci: pariwisata, kemiskinan, masyarakat pesisir.

1

PENDAHULUAN

Secara geografis Indonesia merupakan negara yang menganut

prinsip-prinsip negara kepulauan dan negara kemaritiman.

Prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) Indonesia dicetuskan

pertama kali pada Deklarasi Djuanda1 yang menyatakan bahwa

Negara Indonesia adalah negara kesatuan dengan wilayah yang

terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh lautan dan

menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Negara Indonesia juga merupakan negara

kelautan (negara maritim) karena memiliki luas wilayah

perairan2 3.350.483 Km2 dan memiliki garis pantai terpanjang

kedua di dunia yang mencapai kurang lebih 81.000 Km. Kondisi

geografis Indonesia tersebut menjadi sumber daya alam yang

memiliki potensi ekonomi untuk dikelolah bagi kesejahteraan

masyarakat Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 33. Potensi ekonomi perairan Indonesia terdapat dalam

perikanan, produksi garam, pengolahan kekayaan laut seperti

terumbu karang dan rumput laut, serta kondisi alam sebagai

obyek pariwisata. Potensi-potensi ekonomi ini terdapat

diseluruh wilayah perairan Indonesia, dikelolah oleh

pemerintah maupun oleh pihak swasta serta dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar daerah perairan untuk memenuhi kebutuhan

hidup.

Sepanjang garis pantai Indonesia terdapat masyarakat yang

bergantung secara langsung pada sumber daya laut yang1 Dicetuskan tanggal 13 Desember 1957 dan tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai Hari Nusantara.2 Wilayah daratan berair dan wilayah lautan.

2

diperkirakan Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki potensi

ekonomi 1,2 triliun Dolas AS pertahun. Sedangkan, berdasarkan

data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada

Maret 2011 mencapai 30,02 juta jiwa, yang sebagian besar

jumlah penduduk miskin tersebut merupakan masyarakat pesisir.

Fakta tersebut menjadi fenomena sosial-ekonomi yang

menyedihkan, di tengah melimpahnya kekayaan sumber daya alam,

khususnya kekayaan alam di perairan, banyak penduduk Indonesia

yang masih miskin. Kemiskinan masyarakat pesisir ini banyak

dipengaruhi oleh aspek lingkungan, keragaman potensi sumber

daya ekonomi lokal, peluang pasar, akses permodalan dan

kualitas sumber daya masyarakat pesisir. Upaya pengentasan

kemiskinan masyarakat pesisir ini menjadi pokok permasalahan

yang harus segera diatasi dan menjadi pokok tujuan dari

berbagai program kinerja pemerintah. Kementerian Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia telah melakukan program

pemberdayaan masyarakat pesisir, seperti Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM

Mandiri KP), Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP),

Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), dan Pengembangan Desa

Pesisir Tangguh (PDPT). Serta pembentukan kelompok-kelompok

pemberdayaan masyarakat pesisir seperti Kelompok Usaha

Kelautan dan Perikanan (KUKP), Kelompok Pembudidaya Ikan

(PokDaKan), Kelompok Pengolah Pemasar (PokLahSar), Kelompok

Usaha Garam Rakyat (KUGAR), dan Kelompok Masyarakat Pesisir

(KMP). Semua program-program pemerintah ini bertujuan untuk

mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir.

3

Mayoritas mata pencaharian masyarakat pesisir adalah

nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan dipercayai memiliki nilai-

nilai luhur yang tinggi. Nelayan adalah pekerjaan yang

bergantung pada kondisi alam dan sumber daya ikan yang ada,

artinya nelayan mempercayai kehidupannya bergantung pada

berkah yang diberikan oleh Tuhan. Budaya ritual petik laut

atau sedekah laut atau larung saji yang dilakukan nelayan

merupakan bentuk ucapan syukur dan doa kepada Tuhan agar

memberkahi dengan kelimpahan kakayaan laut dan keselamatan

nelayan ketika menangkap ikan. Selain nelayan, masyarakat

pesisir bekerja di sektor nonperikanan seperti pemasaran ikan

laut, usaha produksi garam, produksi pengolahan rumput laut,

kerajinan tangan dari benda-benda laut, dan pekerjaan di

sektor-sektor lain. Variasi pekerjaan masyarakat pesisir ini

perlu dikembangkan agar tidak tergantung sepenuhnya terhadap

pekerjaan nelayan. Ketergantungan penghasilan dari pekerjaan

nelayan akan menimbulkan masalah ekonomi keluarga nelayan

ketika musim paceklik. Pada musim paceklik dan kemarau panjang

nelayan sulit menangkap ikan. Pada musim tersebut nelayan

beralih pekerjaan sesuai keahlian lain yang dimiliki.

Wilayah perairan tidak hanya memiliki potensi ekonomi pada

peluang usaha sektor perikanan dan usaha sektor nonperikanan,

tetapi juga pada pemanfaatan kondisi alam wilayah perairan

menjadi obyek wisata. Daerah pantai merupakan tujuan wisata

yang paling digemari wisatawan pada umumnya. Faktor pendorong

yang menjadikan daerah pantai sebagai obyek wisata antara lain

keindahan pemandangan alam, biaya yang terjangkau, suasana

yang aman dan nyaman untuk bersantai atau bermain air,

4

menikmati masakan dan minuman khas daerah wisata, dan daya

tarik kebudayaan masyarakat setempat. Beberapa obyek wisata

yang bisa disebutkan, antara lain Danau Toba di Sumatera

Utara, Pulau Seribu di Jakarta, Karimun Jawa di Jawa Tengah,

Wisata Bahari Lamongan di Jawa Timur, Pantai Kuta dan Pantai

Sanur di Bali, Pantai Derawan di Kalimantan Timur, Taman Laut

Bunaken di Sulawesi Utara, Raja Ampat di Papua, dan masih

banyak lagi. Obyek-obyek wisata laut ini bukan saja dikenal di

kalangan wisatawan domestik, tetapi sudah menjadi daya tarik

wisatawan mancanegara untuk menikmati keindahan alam

Indonesia.

Pariwisata adalah pembangunan ekonomi yang melibatkan

secara langsung masyarakat setempat. Pembangunan pariwisata di

daerah pesisir akan mendorong pembangunan-pembangunan sarana

perekonomian lainnya seperti akses jalan, pertokoan, fasilitas

rekreasi dan hiburan, dan usaha jasa yang dibutuhkan wisatawan

seperti jasa transportasi perjalanan, jasa pemandu wisata, dan

lain-lain. Banyaknya dampak peluang usaha dari pembangunan

pariwisata di daerah pesisir diharapkan dimanfaatkan

masyarakat sekitar sebagai peluang usaha selain pekerjaan

sektor perikanan. Peluang usaha yang bervariasi ini akan

meningkatkan kemampuan masyarakat pesisir dalam menghadapi

masalah kemiskinan. Makalah ini membahas dampak

industrialisasi pariwisata terhadap kemiskinan masyarakat

pesisir. Makalah ini dilatarbelakangi pertanyaan penulis,

yaitu bagaimana industrialisasi pariwisata menjadi solusi

dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir.

5

METODOLOGI

Penulis mengkaji dampak industrialisasi pariwisata

terhadap kemiskinan masyarakat pesisir dengan paradigma kajian

ilmu sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang memiliki paradigma

fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma

perilaku sosial.3 Paradigma fakta sosial merupakan paradigma

yang memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial, struktur

sosial, dan institusi sosial serta pengaruhnya terhadap

pikiran dan tindakan individu. Paradigma definisi sosial

merupakan paradigma yang memusatkan perhatian pada cara

individu/kelompok mendefinisikan situasi sosial mereka dan

mempelajari pengaruh definisi sosial ini terhadap tindakan dan

integrasi berikutnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial

merupakan paradigma yang memusatkan perhatian pada hadiah

(rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman

(punishments) yang mencegah perilaku yang tidak diinginkan.

Penulis menggunakan satu dari tiga paradigma tersebut,

yaitu paradigma definisi sosial. Paradigma definisi sosial

diawali dari teori Max Weber tentang tindakan sosial. Bagi

Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami

tindakan-tindakan sosial dengan menguraikannya dengan

menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut.4 Weber membedakan

empat tindakan sosial yaitu zweck rational, tindakan sosial

berdasarkan pertimbangan manusia yang rasional ketika

menanggapi lingkungan diluar dirinya dalam rangka usahanya

3 lihat Ritzer, G dan Goodman, D J. 2003. Hal A-13 – A-15.4 lihat Hotman M. Siahaan. 1986. Hal 200.

6

memenuhi kebutuhan hidup; wert rational, tindakan sosial yang

rasional yang berdasarkan nilai-nilai absolut seperti nilai

etis, estetis, keagamaan, atau nilai lain yang diyakini;

affectual, tindakan sosial yang timbul dari dorongan emosional;

traditional, tindakan sosial yang berorientasi pada hukum

normatif dari tradisi budaya masyarakat pada masa lampau.

Keempat tindakan sosial inilah yang menurut Weber akan

memperngaruhi pola-pola hubungan sosial serta struktur sosial

masyarakat.

Dengan paradigma definisi sosial, makalah ini membahas

bagaimana cara masyarakat pesisir mendefinisikan situasi

sosial yang dihadapi mereka dan pengaruh definisi sosial ini

terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Situasi sosial

yang dimaksud adalah situasi sosial yang diakibatkan adanya

industrialisasi pariwisata yang terdapat di daerah mereka.

Definisi sosial masyarakat terhadap situasi sosial tersebut

lalu mempengaruhi respon atau tindakan kehidupan sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Dengan paradigma

definisi sosial ini akan diketahui bagaimana hubungan antara

kedua varibel penelitian ini, yaitu hubungan antara

industrialisasi pariwisatan dan kemiskinan masyarakat pesisir.

Namun, kelemahan dari penelitian ini terletak pada metode

observasi yang hanya dilakukan sebatas observasi pada

literatur atau kajian pustaka. Faktor keterbatasan waktu dan

biaya menyebabkan penulis tidak melakukan observasi langsung

pada masyarakat pesisir disekitar obyek pariwisata. Meskipun

dengan data-data sekunder, penulis tetap mampu menemukan

benang merah permasalahan dalam hubungan antara variabel

7

penelitian. Dan dengan menggunakan teori-teori yang relevan,

penulis menganalisis permasalahan hingga menemukan jawaban

atas masalah dalam pembahasan makalah ini.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya

peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan

manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya.

Dalam melakukan kegiatan wisata, wisatawan dipengaruhi oleh

faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong

merupakan faktor internal yang bersifat psikologis, sedangkan

faktor penarik merupakan faktor yang berasal dari obyek wisata

yang berupa tawaran atau promosi. Faktor pendorong yang

bersifat psikologis antara lain kebutuhan hiburan atau

relaksasi dari kejenuhan rutinitas kerja, menjalin hubungan

kekerabatan dan keakraban dalam keluarga atau pertemanan,

menunjukkan gengsi atas kelas sosial dan gaya hidup

berdasarkan tujuan wisata, alasan pembelajaran atau

pengetahuan yang ingin didapatkan ketika berwisata, dan

dorongan nilai-nilai keagamaan. Sedangkan, faktor penarik yang

ditawarkan oleh obyek wisata antara lain keindahan alam,

wahana hiburan, fasilitas penunjang disekitar obyek wisata,

akses menuju obyek wisata, biaya yang harus dikeluarkan,

tingkat keamanan, dan karateristik kebudayaan. Faktor-faktor

penarik inilah yang harus diperhatikan dalam mengembangkan

industri pariwisata. Prinsip industri pariwisata untuk

menghadirkan ‘surga’ dan memanjakan wisatawan adalah modal

utama menjadi obyek wisata unggulan. Seperti industri wisata

di Bali dengan konsep Pulau Dewata (God’s Island) yang memanjakan

para wisatawan telah terbukti menjadi obyek wisata primadona

oleh wisatawan domestik dan mancanegara.

9

Industri pariwisata di daerah lain seperti Ancol Theme

Park yang berdiri tahun 1966. Ancol merupakan industri

pariwisata di Jakarta yang berlokasi dekat pantai (rekreasi

dan resor) dan kegiatan usaha penunjang: entertainment, konvensi

dan wisata belanja Area pariwisata terintegrasi seluas 552 Ha.

Di Jawa Tengah terdapat obyek pariwisata Karimunjawa yang pada

awalnya merupakan salah satu kawasan Cagar Alam Laut di

Jepara. Dengan berkembangnya waktu Kepulauan Karimunjawa

diputuskan menjadi Taman Nasional Karimunjawa dan sekarang ini

menjadi salah satu tujuan wisatawan lokal maupun manca negara

untuk berwisata. Pulau Karimunjawa adalah desa nelayan dengan

penduduk yang ramah, deretan pegunungan dengan jalur tracking

menantang, pantai dengan kekayaan laut yang masih alami dan

indah, serta pemandangan matahari terbenam yang mempesona. Di

Jawa Timur terdapat Wisata Bahari Lamongan (WBL) yang terletak

di pesisir utara pantai Jawa, tepatnya di kecamatan Paciran,

Kabupaten Lamongan. WBL berdiri sejak tahun 2004 sebagai hasil

pengembangan objek wisata Pantai Tanjung Kodok yang telah ada

sebelumnya. WBL menawarkan oase tersendiri bagi wisatawan

dengan memadukan konsep wisata bahari dan dunia wisata dalam

areal seluas 11 Ha. Di Kepulauan Raja Ampat, Papua, terdapat

kawasan pariwisata dengan produk unggulan wisata penyelaman.

Perairan Kepulauan Raja Ampat merupakan salah satu dari

sepuluh perairan terbaik untuk diving site di seluruh dunia dan

juga diakui sebagai nomor satu untuk kelengkapan flora dan

fauna bawah air. Kepulauan lain dengan potensi perairan

sebagai diving site ada di Taman Laut Bunaken, Sulawesi Utara.

Taman laut Bunaken meliputi area seluas 75.265 Ha dengan lima

10

pulau yang berada di sekitarnya. Taman laut Bunaken memiliki

20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi

hingga 1.344 meter dan terdapat underwater great walls, yang

disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa

yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Di Pulau

Kalimantan Timur juga terdapat Taman Laut, tepatnya di

Kepulauan Derawan Kabupaten Berau. Dengan potensi pasir putih

pantainya yang alami, pemandangan sunrise dan sunset, dan juga

kekayaan flora dan fauna bawah air. Di Pulau Sumatera terdapat

obyek pariwisata Danau Toba yang merupakan sebuah danau

vulkanik terbentuk akibat ledakan gunung berapi pada 69.000 -

77.000 tahun lalu. Setelah ledakan tersebut, terciptalah

kaledra (cekungan pada tanah sesudah letusan vulkanik) yang

kemudian terisi oleh air dan kita ketahui sebagai Danau Toba

sekarang. Danau terluas di dunia ini memiliki luas 3.000 Km2

juga terdapat pulau kecil di tengah danau yang bernama Pulau

Samosir.

Industrialisasi Pariwisata

Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di

dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa

di berbagai negara. Diawal terbentuknya negara Indonesia,

pemerintah langsung membentuk Honet (Hotel National and Tourism)

tahun 1946, sebuah lembaga negara yang diberi tugas

mengembangkan pariwisata Indonesia. Lalu tahun 1955 berdiri

Natour dan YTI (Yayasan Tourisme Indonesia). Istilah

‘pariwisata’ dicetuskan pada Kongres II YTI tanggal 12-14 Juni

1958 di Tretes, Jawa Timur. Istilah ‘pariwisata’ diartikan11

sebagai international tourism, sedangkan untuk domestic tourism

dipopulerkan istilah ‘dharma wisata’. Dengan besarnya potensi

pariwisata yang dimiliki bangsa Indonesia dalam keindahan alam

dan keunikan sosial budaya, pemerintah sangat menaruh harapan

pada industri pariwisata sebagai ‘komoditas ekspor’ sebagai

penghasil devisa terbesar dan mampu menggantikan peranan

industri sektor migas. Mayoritas wilayah Indonesia yang

memiliki potensi pariwisata terdapat di wilayah pesisir

pantai. Sebagai negara yang memiliki daerah garis pantai

terpanjang kedua didunia, harusnya pemerintah mampu

memanfaatkan potensi ini menjadi industri pariwisata dalam

rangka pembangunan nasional. Menteri Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif RI (Menparekraf RI) Mari Elka Pangestu menyatakan

bahwa dalam kurun waktu 5 tahun, sejak 2006 hingga 2010

menunjukkan peningkatan indeks prestasi pada peringkat keempat

penerimaan devisa negara. Pernyataan dipaparkan pada rilis

kementrian pada indeks 2006-2010 pada rilis resmi kementerian

pariwisata awal Agustus 2012. Laporan Kementerian menunjukkan,

pada tahun 2006 Kemenparekraf RI menempati peringkat keenam

penerimaan devisa sebesar 4.447,97 Dolar AS. Pada tahun 2007

total penerimaan devisa sebesar 5.345,98 Dolar AS, selanjutnya

tahun 2008 sebesar 7.377,00 Dolar AS, tahun 2009 sebesar

6.298,02 Dolar AS, dan ditutup pada akhir tahun 2010 menduduki

ranking keempat dengan total penerimaan devisa sebesar 7.603,45

Dolar AS.

Dari perspektif sosiologi, industri pariwisata terdapat

tiga dimensi interaksi yaitu dalam kultural, politik, dan

ekonomi. Dalam dimensi interaksi kultural terjadi akulturasi

12

budaya. Budaya yang dimiliki masyarakat lokal bertemu dengan

budaya yang dibawa para wisatawan. Dimensi interaksi politik

dalam industri pariwisata terdapat dua jenis hubungan

kerjasama antar daerah, antar etnis atau antar bangsa. Yang

pertama adalah hubungan kerjasama antar daerah, antar etnis,

atau antar bangsa dalam pengembangan industri pariwisata.

Seperti hubungan kerjasama pariwisata antar negara ASEAN dan

hubungan kerjasama pariwisata Indonesia dengan Australia. Yang

kedua adalah hubungan kerjasama yang mengakibatkan

ketergantungan salah satu pihak, melakukan eksploitasi potensi

pariwisata hingga bentuk neokolonialisme yang sebenarnya

merugikan salah satu pihak. Misalnya ketergantungan

peenerimaan devisa pariwisata dari wisatawan luar negeri,

ketergantungan terhadap wahana atau fasilitas yang diproduksi

dari luar negeri dan ketergantungan terhadap modal investasi

asing dalam pembangunan industri pasriwisata. Sedangkan

dimensi interaksi ekonomi terjadi dalam transaksi jual-beli

dan terbukanya berbagai kesempatan usaha ekonomi yang

mendukung kegiatan pariwisata.

Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang secara

langsung bersentuhan dan melibatkan masyarakat setempat. Pada

mulanya, industri pariwisata terbentuk dari sebuah daerah atau

kawasan yang memiliki potensi wisata yang belum dikembangkan.

Dalam pengembangan atau pembangunan kawasan potensi wisata

menjadi industri pariwisata, terjadi interaksi langsung antara

pemerintah, pengembang (developer), dan masyarakat setempat.

Sebuah kawasan potensi wisata yang meskipun terdapat di tempat

terpencil atau jauh dari pusat keramaian, ketika dikembangkan

13

menjadi industri pariwisata maka akan sangat mempengaruhi

masyarakat setempat dalam berbagai aspek kehidupan

bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat yang masih tradisional

mendadak harus ikut beradaptasi dengan pembangunan industri

pariwisata di daerah mereka. Dalam strategi pembangunan

industri pariwisata Indonesia, pemerintah mengeluarkan dana

untuk membangun, memperbaiki, dan mengembangkan infrastruktur

pendukung di kawasan pariwisata, membenahi perundang-undangan

yang berkaitan dengan paspor dan visa, membenahi peraturan-

peraturan tentang usaha ekonomi sektor kepariwisataan seperti

perhotelan, restoran, biro perjalanan, dan pramuwisata, serta

perundang-undangan tentang perlindungan lingkungan,

kelestarian flora fauna, dan peninggalan sejarah budaya.

Sebagai sebuah kegiatan ekonomi, industri pariwisata lebih

dipandang untuk mengejar produktivitas untuk menghasilkan laba

bagi pengusaha atau pengembang industri pariwisata. Konsep

pembangunan industri pariwisata yang hanya berorientasi pada

produktivitas ekonomi tanpa menjaga aspek sosial masyarakat

akan menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi. Manusia (tenaga

kerja) dipandang sebagai faktor produksi sama halnya dengan

faktor produksi tanah, alam dan manajemen. Karena hanya

dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang mekanis,

maka tenaga kerja manusia distandarisasikan berdasarkan

indikator keberhasilan. Pembangunan dengan sifat etnosentrisme

yang memaksakan penerapan teori-teori pembangunan modernisasi

dan sentralisasi pengambilan keputusan, menjadikan masyarakat

lokal tidak mempunyai peran dalam kegiatan pembangunan yang

mempengaruhi hidup dan masa depan mereka. Hingga konsep ini

14

mendapat kritik tajam dari faham humanisme tentang pembangunan

harus diusahakan untuk ‘memanusiakan manusia’. Dikalangan ahli

pembangunan muncul wacana bahwa pembangunan sesungguhnya

adalah untuk manusia, sebagai suatu proses belajar (social

learning process), dan dalam hal ini manusia merupakan pusat dan

penggerak sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan

sesuai konsep people centred development. Sehingga, manusia bukan

sekedar faktor produksi.

Dampak industri pariwisata merupakan wilayah kajian yang

paling banyak mendapat perhatian dalam literatur, terutama

dampak terhadap masyarakat lokal. Dampak pariwisatan terhadap

kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal: dampak terhadap

pendapatan masyarakat, dampak terhadap kesempatan kerja dan

peluang usaha, dampak terhadap pendapatan pemerintah dari

devisa dan pajak, dampak terhadap pembangunan ekonomi daerah.

Tetapi masalah pariwisata bukan hanya masalah ekonomi,

melainkan juga masalah sosial, budaya, politik dan sebagainya.

Pariwisata adalah suatu sistem yang multikompleks dengan

berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi

antar sesama. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata

telah menjadi sumber penggerak dinamika masyarakat dan sudah

hampir menyentuh semua masyarakat dunia, hingga kepada

masyarakat terpencil kini sudah dirambah pariwisata dengan

berbagai derajat pengaruh. Pariwisata telah terbukti menjadi

salah satu primemover dalam perubahan sosial budaya.

Masyarakat Pesisir

15

Mayoritas mata pencaharian masyarakat pesisir adalah

nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan dipercayai memiliki nilai-

nilai luhur yang tinggi. Nelayan adalah pekerjaan yang

bergantung pada kondisi alam dan sumber daya ikan yang ada,

artinya nelayan mempercayai kehidupannya bergantung pada

berkah yang diberikan oleh Tuhan. Budaya ritual petik laut

atau sedekah laut atau larung saji yang dilakukan nelayan

merupakan bentuk ucapan syukur dan doa kepada Tuhan agar

memberkahi dengan kelimpahan kakayaan laut dan keselamatan

nelayan ketika menangkap ikan.

Selain nelayan, masyarakat pesisir bekerja di sektor

nonperikanan seperti pemasaran ikan laut, usaha produksi

garam, produksi pengolahan rumput laut, kerajinan tangan dari

benda-benda laut, dan pekerjaan di sektor-sektor lain. Variasi

pekerjaan masyarakat pesisir ini perlu dikembangkan agar tidak

tergantung sepenuhnya terhadap pekerjaan nelayan. Dalam

kehidupan masyarakat pesisir terdapat faktor-faktor sosial-

budaya yang berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat pesisir

menghadapi kemiskinan. Faktor kondisi alam pada musim kemarau

mengakibatkan masa paceklik sehingga nelayan kesulitan

memperoleh ikan, faktor keterampilan nelayan dan faktor

teknologi alat penangkapan ikan yang berpengaruh terhadap

jumlah hasil tangkapan ikan, persaingan antara nelayan

tradisional dan nelayan moderen yang sering menimbulkan

konflik sosial, hubungan kerja antara pemilik perahu dan

nelayan buruh yang dianggap kurang menguntungkan nelayan

buruh, adanya persepsi budaya masyarakat pesisir yang boros

ketika musim ikan, dan ketergantungan terhadap pekerjaan

16

nelayan serta terbatasnya peluang kerja di sektor

nonperikanan. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat pesisir

dalam menghadapi kemiskinan, pemerintah melalui Kementrian

Kelautan dan Perikanan memprogramkan pemberdayaan masyarakat

pesisir. Tujuan program-program pemberdayaan masyarakat

tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

pesisir melalui pengembangan kesejahteraan ekonomi,

peningkatan kualitas pengembangan sumber daya manusia, dan

penguatan kelembagaan sosial ekonomi. Memberdayakan masyarakat

pesisir agar mampu diikutsertakan dalam pengelolahan kekayaan

perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan.

Masyarakat pesisir berbeda dari masyarakat lain seperti

masyarakat petani atau masyarakat perkotaan. Masyarakat

pesisir, terutama nelayan, memiliki ketergantungan terhadap

sumber daya alam berupa perikanan dan kelautan. Mereka

mempunyai strategi bertahan hidup yang melahirkan pola-pola

kebudayaan dan menjadi karateristik yang berbeda dari pola

kebudayaan masyarakat lain. Dari pola kebudayaan itu terbentuk

struktur sosial dan pranata sosial budaya. Dua pranata

strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan

sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan

dan pranata pemasaran ikan.5 Kedua pranata ini menjadi sumber

potensial timbulnya kemiskinan struktural pada masyarakat

nelayan. Kedua pranata sosial ekonomi tersebut membentuk

persepsi ketidakberdayaan terhadap sistem stratifikasi

pekerjaan nelayan antara pemilik perahu, pengepul atau

pedagang ikan, dan nelayan buruh. Struktur sosial budaya yang

5 lihat Kusnadi. 2003. Hal 4.17

tercemin dalam kedua pranata tersebut memiliki kontribusi

besar dalam membentuk corak pelapisan sosial ekonomi

masyarakat pesisir. Mereka yang menempati lapisan sosial

ekonomi atas adalah para pemilik perahu dan pengepul ikan yang

sukses, pada lapisan sosial ekonomi tengah ditempati juragan

atau pemimpin nelayan, sedangkan nelayan buruh terdapat pada

lapisan sosial ekonomi bawah. Dalam struktur sosial dan

pranata sosial demikian, masyarakat pesisir sulit terjadi

mobilitas sosial vertikal.

Untuk mengatasi kemiskinan struktural akibat struktur

sosial dan pranata sosial inilah dibutuhkan peran perempuan.

Dukungan istri nelayan dalam membantu tanggung jawab sosial

ekonomi keluarga terdapat dalam diversifikasi pekerjaan di

darat. Dengan diversifikasi pekerjaan di darat, nelayan tidak

lagi bergantung sepenuhnya dari sumber daya alam perikanan dan

kelautan. Dari sisi tanggung jawab sosial ekonomi keluarga

pada masyarakat nelayan, suami dan istri nelayan berposisi

sejajar dan saling melengkapi. Kaum perempuan dan pranata-

pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan

masyarakat pesisir yang bisa diberdayakan untuk mengatasi

kemiskinan. Dalam ketergantungan terhadap kegiatan penangkapan

ikan perlu disediakan kesempatan usaha/pekerjaan lain diluar

sektor perikanan agar meningkatkan kemampuan masyarakat dalam

menghadapi tekanan-tekanan ekonomi.

Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial - Ekonomi

18

Pembahasan mengenai kemiskinan sering dikatakan sebagai

akibat dari kesenjangan/ketimpangan. Seperti pengertian yang

menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah

klasik yang sering muncul akibat adanya ketimpangan yang cukup

tajam pada aspek distribusi penguasaan sumber-sumber ekonomi

keluarga.6 Kemiskinan akibat kesenjangan ini disebut kemiskinan

struktural. Pembahasan lain membedakan antara kemiskinan dan

kesenjangan. Kemiskinan adalah sebuah kondisi kehilangan

(deprevation) terhadap sumber-sumber pemenuh kebutuhan dasar

yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Sedangkan kesenjangan adalah sebuah kondisi dimana didalamnya

terjadi ketimpangan akses pada sumber-sumber ekonomi (economic

resources).7 Pada pembahasan kedua ini terdapat pemisahan arti

dari kemiskinan dengan kesenjangan. Maksudnya, kemiskinan

terjadi pada masyarakat, dimana secara umum kehidupan

masyarakat tersebut mengalami ketidakberdayaan dalam memenuhi

kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, dan

kesehatan. Lalu ketika terjadi persaingan dalam upaya

pemenuhan kebutuhan hidup atau ketika dibandingkan dengan

tingkat kesejahteraan masyarakat lain, maka terbentuklah

sebuah kelas pemisah yang disebut kesenjangan. Dalam

kesenjangan itu kelompok yang kuat mempunyai akses lebih kuat

pada sumber-sumber ekonomi daripada kelompok lain yang

tergolong lemah. Hingga struktur sosial juga menekan kelompok

lemah dan menyebabkan mereka tetap berada dalam posisi

kemiskinan, bahkan kemiskinan yang turun temurun. Kemiskinan

ini disebut kemiskinan struktural.

6 lihat Soetrisno R. 2001. Hal 2.7 lihat Sunyoto Usman. 1998. Hal 33.

19

Dalam masyarakat, dapat ditemukan dua macam keadaan: (1)

terdapat kemiskinan sekaligus kesenjangan, atau (2) tidak

terdapat kemiskinan tetapi boleh jadi masih ada kesenjangan.8

Dalam masyarakat pesisir yang terdapat pembangunan industri

pariwisata menimbulkan kemiskinan sekaligus kesenjangan. Di

sekitar daerah wisata di tepi pantai dibangun resort, vila dan

akomodasi pariwisata lainnya. Namun, masyarakat pesisir selama

ini cenderung hanya menjadi objek. Buktinya, di tengah

pembangunan pariwisata yang pesat, mereka masih terhimpit

dalam kemiskinan. Masyarakat pesisir belum maksimal merasakan

dampak ekonomis kehadiran pariwisata. Seperti industri

pariwisata di Bali, kawasan pesisir dengan lautnya juga

dimanfaatkan untuk aktivitas agama dan adat. Sementara bagi

kalangan pengembang (developer) dan pengusaha, pantai merupakan

tempat yang strategis untuk membangun hotel dengan potensi

suasana dan pemandangan yang indah. Yang menjadi permasalahan

adalah ketika kepentingan masyarakat pesisir kerap diabaikan.

Kegiatan pariwisata di wilayah pesisir lebih menyentuh para

pemilik modal besar saja, sedangkan masyarakat pesisir hanya

menjadi penonton. Banyak program pemberdayaan masyarakat namun

dalam praktiknya justru kebanyakan masyarakat diperdayai hanya

untuk kepentingan pihak tertentu. Bentuk kekuasaan yang

dimiliki pihak pengusaha bisa berdampak negatif pada usaha-

usaha ekonomi kecil yang ada disekitar industri pariwisata.

Seperti pedagang kecil disekitar Ancol Theme Park, Jakarta,

yang protes terhadap peraturan-peraturan yang harus dijalankan

oleh para pedagang misalnya saja pada saat hari raya besar

Capgomeh yang umumnya dirayakan pada malam hari. Saat hari8 Ibid

20

raya besar ini dinantikan oleh para pedagang sebagai

kesempatan memperoleh penghasilan yang besar, tetapi pihak

Ancol menetapkan untuk melaksanakan penutupan pintu gerbang

masuk utama menuju lokasi objek wisata yang akhirnya

mematahkan harapan para pedagang yang akan memperoleh

penghasilan lebih.

Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat (PPBM)

Faktor sosial budaya tersebut yang perlu diperhatikan

dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir.

Kebijakan pembangunan dan program pemberdayaan sosial ekonomi

masyarakat pesisir harus beradaptasi pada perilaku sosial

budaya masyarakat setempat serta mendorong masyarakat untuk

aktif sebagai subyek atau pelaku utama secara mandiri mampu

mengatasi persoalan kehidupan sosial ekonomi yang dihadapi.

Banyak desa-desa yang berada di wilayah pesisir dan wilayah

dataran tinggi mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi

desa wisata. Pengembangan desa wisata mampu mendukung upaya

penanggulanan kemiskinan di pedesaan dengan jalan

memberdayakan masyarakat lokal dalam membangunan

kepariwisataan di desanya. Salah satu upaya mengembangkan desa

wisata dilakukan melalui Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri bidang Pariwisata yang mulai

dilaksanakan sejak tahun 2007.

Pengertian Desa Wisata Desa Wisata (Muliawan, 2008) adalah

desa: (1) yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata

yang khas, baik berupa karakter fisik lingkungan alam pedesaan

21

maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan; (2) yang

dikelola dan dikemas secara menarik dan alami dengan

pengembangan fasilitas pendukung wisatanya, dalam suatu tata

lingkungan yang harmonis dan pengelolaan yang baik dan

terencana sehingga siap untuk menerima dan menggerakkan

kunjungan wisatawan ke desa tersebut; (3) serta mampu

menggerakkan aktifitas ekonomi pariwisata yang dapat

meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat

setempat. Kriteria Desa Wisata: (1) memiliki potensi keunikan

dan daya tarik wisata yang khas (sebagai atraksi wisata), baik

berupa karakter fisik lingkungan alam pedesaan maupun

kehidupan sosial budaya kemasyarakatan; (2) memiliki dukungan

dan kesiapan fasilitas pendukung kepariwisataan terkait dengan

kegiatan wisata pedesaan, yang antara lain dapat berupa :

akomodasi/penginapan, ruang interaksi masyarakat dengan

wisatawan/tamu, atau fasilitas pendukung lainnya; (3) memiliki

interaksi dengan pasar (wisatawan) yang tercermin dari

kunjungan wisatawan ke lokasi desa tersebut; (4) adanya

dukungan, inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat

terhadap pengembangan desa tersebut terkait dengan kegiatan

kepariwisataan (sebagai desa wisata).

Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat (PPBM) kini

merupakan kecenderungan baru yang banyak dibicarakan orang.

Dalam PPBM ini peran masyarakat menjadi kunci utama, di mana

masyarakat lokal diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam

melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya.

Selain itu, masyarakat sendiri juga menentukan berbagai

kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta membuat keputusan demi

22

kesejahteraan mereka. Dalam konteks ini pengelolaan pesisir

berbasis masyarakat mestinya menyertakan masyarakat setempat.

Oleh karena itu, dalam pemberdayaan masyarakat pesisir yang

memegang peranan utama adalah masyarakat pesisir itu sendiri,

sedangkan pendampingnya hanya mendampingi, memotivasi dan

mengarahkan serta memfasilitasi.

Contoh industri pariwisata di Bali. Pemberdayaan

masyarakat pesisir memiliki hubungan dimensi interaksi yang

erat dan penting dengan industri pariwisata setempat. Dapat

diasumsikan pemberdayaan masyarakat pesisir di suatu wilayah

berhasil dilakukan dengan kegiatan pariwisata yang berlangsung

di wilayah pesisir tersebut serta akan lebih terjamin

kuantitas, kualitas dan kontinuitasnya. Hal ini dapat terjadi

karena kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di

wilayah pesisir merupakan salah satu bagian, baik langsung

maupun tak langsung, terkait dengan kegiatan pariwisata yang

dilakukan di wilayah pesisir. Sebagai salah satu contoh

kegiatan yaitu memotivasi masyarakat pesisir untuk

membudidayakan terumbu karang, di mana pihak pendamping

pemberdayaan masyarakat ini bertugas memberikan teknologinya

dan memberikan percontohan uji cobanya dengan melibatkan

langsung masyarakat pesisir. Melalui pembudidayaan terumbu

karang maka kelak kalau berhasil akan dapat menambah

diversifikasi mata pencaharian masyarakat tersebut. Kegiatan

budi daya terumbu karang ini sebagai sarana rehabilitasi

lingkungan dan mengurangi abrasi pantai, juga memberi dampak

yang besar bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir.

23

Keberhasilan program-program pemberdayaan masyarakat

ditentukan tingkat kesungguhan masyarakat pesisir dalam

memanfaatkan dan mengembangkan dana program pemberdayaan

secara bertanggung jawab dan kerjasama antar instansi terkait

sebagai pelaksana atau sebagai pengawas program pemberdayaan,

serta metode pendekatan kemasyarakatan dalam melaksanakan

program pemberdayaan. Pendekatan kemasyarakatan yang tepat

akan menjadi kunci keberhasilan pemberdayaan masyarakat

pesisir.

24

KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang industrialisasi pariwisata,

masyarakat pesisir, dan kemiskinan masyarakat pesisir, penulis

menyimpulkan bahwa industrialisasi pariwisata memiliki dampak

terhadap kemiskinan masyarakat pesisir. Dampak tersebut

ditentukan oleh bagaimana cara masyarakat pesisir

mendefinisikan situasi sosial yang dihadapi. Situasi sosial

yang dimaksud adalah situasi sosial yang diakibatkan adanya

industrialisasi pariwisata yang terdapat di daerah mereka.

Definisi sosial masyarakat terhadap situasi sosial tersebut

lalu mempengaruhi respon atau tindakan kehidupan sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakat setempat

Dalam pola kebudayaan lokal, pranata sosial dan struktur

sosial ternyata menjerat masyarakat pesisir dalam kemiskinan.

Pemberdayaan masyarakat pesisir harus memberikan kesempatan

diversifikasi mata pencaharian masyarakat pesisir. Pembangunan

industri pariwisata di kawasan pesisir merupakan satu bentuk

kesempatan terhadap masyarakat setempat untuk mengelolah

sebuah usaha perekonomian yang bisa meningkatkan kemampuan

mereka dalam menghadapi kemiskinan. Keberhasilan program-

program pemberdayaan masyarakat ditentukan tingkat kesungguhan

masyarakat pesisir dalam memanfaatkan dan mengembangkan dana

program pemberdayaan secara bertanggung jawab dan kerjasama

antar instansi terkait sebagai pelaksana atau sebagai pengawas

program pemberdayaan, serta metode pendekatan kemasyarakatan

dalam melaksanakan program pemberdayaan. Pendekatan

25

kemasyarakatan yang tepat akan menjadi kunci keberhasilan

pemberdayaan masyarakat pesisir.

26

DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid I.

Jakarta. Gramedia.

Kusnadi, M.A, Drs. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta.

LKiS.

Kusnadi, M.A, Drs. 2006. Perempuan Pesisir. Yogyakarta. LkiS.

Pendit, Nyoman S. 1994. Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar Perdana.

Jakarta. Anem Kosong Anem

Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata.

Yogyakarta. ANDI.

Ritzer, G dan Goodman, Douglas J. 2003. Teori Sosiologi Modern.

Jakarta. Kencana.

Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah Dan Teori Sosiologi.

Jakarta. Erlangga.

Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Dan Upaya Pembebasan

Kemiskinan. Yogyakarta. Philoshophy Press.

Sunyoto Usman, Dr. 1998. Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Tulungen, J Johnnes, dkk. 2003. Panduan Pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. USAID – Indonesia Coastal

Resources Management Project.

http://www.kp3k.kkp.go.id/pnpmkp/tentang.php

http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia

27

http://suarajakarta.com/2012/08/25/kementerian-pariwisata-

raih-ranking-4-penerimaan-devisa-negara/

28