Filsafat Bahasa

26
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Filsafat sebagai buah pemikiran manusia, yang pada hakekatnya adalah makhluk yang berpikir, terus berkembang secara perlahan tapi pasti, yaitu untuk menemukan suatu kebenaran yang hakiki. Filsafat merupakan induk dari semua bidang ilmu khusus. Dan tentunya sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, filsafat sebagai buah pikiran itupun berkembang sesuai dengan fitrah manusia yang selalu berubah dan dinamis. Tentu saja diperlukan sarana yang menampung semua buah pemikiran tersebut agar dapat disosialisasikan atau sekedar diekspresikan. Sarana yang sangan fital ini adalah bahasa. Di bumi ini semua manusia mempunyai bahasa. Pemilikan bahasa konseptual membedakan manusia dari makhluk lainnya di alam semesta ini. Dalam kehidupan manusia, fungsi bahasa yang paling dasar adalah

Transcript of Filsafat Bahasa

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Filsafat sebagai buah pemikiran manusia, yang pada

hakekatnya adalah makhluk yang berpikir, terus

berkembang secara perlahan tapi pasti, yaitu untuk

menemukan suatu kebenaran yang hakiki.

Filsafat merupakan induk dari semua bidang ilmu

khusus. Dan tentunya sejalan dengan perkembangan

peradaban manusia, filsafat sebagai buah pikiran itupun

berkembang sesuai dengan fitrah manusia yang selalu

berubah dan dinamis. Tentu saja diperlukan sarana yang

menampung semua buah pemikiran tersebut agar dapat

disosialisasikan atau sekedar diekspresikan. Sarana

yang sangan fital ini adalah bahasa.

Di bumi ini semua manusia mempunyai bahasa.

Pemilikan bahasa konseptual membedakan manusia dari

makhluk lainnya di alam semesta ini. Dalam kehidupan

manusia, fungsi bahasa yang paling dasar adalah

menjelmakan pemikiran konseptual ke dalam dunia

kehidupan.

Pada abad ke 20 perhatian terhadap persoalan-

persoalan filsafat yang bertumpu pada bahasa semakin

berkembang. Penyelidikan tentang arti, prinsip-prinsip

serta aturan bahasa merupakan problem yang fundamental

dalam filsafat. Karena dengan bahasa, para filsuf dapat

mengungkapkan pemikiran filosofisnya.

Memberi nama adalah langkah pertama untuk

mendapatkan pengetahuan. Ketika kita mendapat pelajaran

baru tentang suatu benda misalnya, kita tidak akan tahu

benda apakah itu, kecuali jika kita dapat menamakannya,

mengklasifikasikannya serta menempatkannya dalam suatu

konteks yang berarti. Dengan kata lain, bahasa adalah

alat untuk mengungkapkan pikiran, ekspresi, serta

perasaan manusia.

Dalam buku Filsafat Analitika Bahasa, Dr. Kaelan,

MS., mengungkapkan bahwa mungkin saja diantara

problema-problema besar yang dihadapi manusia sekarang

ini berasal dari kekaburan yang terdapat dalam bentuk-

bentuk dan pemakaian-pemakaian linguistik kita, dan

bahwa penjelasan tentang bahasa akan memecahkan

problema-problema tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah penulis sampaikan di

atas, maka dalam makalah ini penulis mengambil rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apakah hubungan filsafat dengan bahasa ?

2. Apakah yang dimaksud dengan Filsafat Analitika

Bahasa ?

3. Apa saja aliran-aliran dalam filsafat analitik ?

4. Apakah pengaruh filsafat analitika bahasa terhadap

ilmu pengetahuan ?

C. TUJUAN

Penulisan laporan buku ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan apa peran bahasa dalam perkembangan

filsafat

2. Menjelaskan apa peran filsafat dalam bahasa

3. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan filsafat

analitika bahasa

4. Memaparkan aliran-aliran filsafat analitik

5. Mengkaji pengaruh filsafat analitika bahasa

terhadap ilmu pengetahuan

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Makalah ini disusun dengan organisasi penulisan

sebagai berikut :

Bab I memuat latar belakang penulisan, rumusan

masalah, tujuan, dan sistematika penulisan.

Bab II memuat pembahasan masalah

Bab III memuat kesimpulan

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

A. HUBUNGAN FILSAFAT DAN BAHASA

Sebagaimana telah disampaikan pada bab I latar

belakang penulisan, bahwa bahasa sangat berperan

penting dalam menerjemahkan buah pemikiran manusia

pada umumnya, dan para filsuf pada khususnya.

Alwasilah seperti yang dikemukakan oleh Sauri

(2006 : 33) mengemukakan bahwa bahasa memiliki ciri-

ciri umum sebagai berikut :

a. Sistematik, yaitu bahasa mempunyai aturan atau

pola antara lain sistem bunyi dan sistem makna

b. Arbitrer (manasuka), artinya bahasa itu dipilih

secara acak tanpa alasan atau manasuka, tidak ada

hubungan logis dengan kata-kata sebagai symbol

c. Ucapan / vokal, artinya bahasa itu ujaran, berarti

media bahasa yang terpenting adalah dengan bunyi-

bunyi

d. Simbol, bahwa bahasa itu simbol dari perasaan,

keinginan, dan harapan

e. Bahasa itu mengacu kepada dirinya, artinya bahasa

itu mampu digunakan untuk menganalisis bahasa itu

sendiri

f. Manusiawi, artinya bahasa itu adalah kekayaan yang

hanya dimiliki oleh manusia

g. Komunikasi, artinya bahasa itu alat komunikasi dan

interaksi antar manusia dan menjadi pelekat dalam

menyatupadukan keluarga, masyarakat, dan berbagai

kegiatan sosialisasi

Intinya adalah bahwa bahasa merupakan media wacana

segala ilmu dan sekaligus metabudaya.

Selanjutnya Devitt (1987 : 124) menyebutkan adanya

empat lingkaran makna dalam bahasa, yaitu :

1. Makna pembicara dijelaskan oleh isi muatan pikiran

2. Isi itu dijelaskan oleh makna kalimat pikiran

3. Makna itu dijelaskan oleh makna konvensional

4. Makna konvensional dijelaskan oleh makna pembicara

Untuk menemukan makna, filsafat memberikan

analisis sehingga makna tersebut dapat diterima

secara logis, objektif dan sistematis.

Sedangkan peran filsafat terhadap bahasa adalah

bahwa analisis filsafat merupakan salah satu metode

yang digunakan oleh para filosof dan ahli filsafat

dalam memecahkan problematika kebahasaan. Aliran-

aliran dalam filsafat dapat mewarnai pandangan para

ahli bahasa dalam mengembangkan teori-teorinya.

B. PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIS

Filsafat setidaknya mengalami 4 (empat) fase

perkembangan pemikiran filsafat, yaitu :

1. Kosmosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang

meletakan alam sebagai objek pemikiran dan wacana

filsafat, yang terjadi pada zaman kuno.

2. Teosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang

meletakan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat,

yang berkembang pada zaman abad pertengahan.

3. Antroposentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang

meletakan manusia sebagai objek wacana filsafat,

hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.

4. Logosentris, yaitu fase perkembangan pemikiran

filsafat yang meletakan bahasa sebagai pusat

perhatian pemikiran filsafat, yang berkembang

setelah abad modern sampai sekarang.

Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya

telah berlangsung sejak zaman pra Sokrates, yaitu

ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala

sesuatu termasuk alam semesta. Menurut Herakleitos,

dalam dunia manusiasi ini kemampuan bicara menduduki

tempat sentral. Dalam pengertian ini Herakleitos

mengungkapkan bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata

gejala antropologi.

Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi pusat

perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium

utama dalam dialog filosofis.

Pada abad pertengahan kekhusukan manusia dalam

mengagungkan sang Maha Kuasa pun diungkapkan melalui

bahasa. Bahkan Thomas Aquinas telah mengangkat

teologi ke tingkat ilmiah filosofis, sehingga mampu

menjembatani antara realitas Tuhan yang bersifat

adikodrati dengan realitas makhluk yang bersifat

terbatas.

Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang

kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa.

Aliran rasionalisme, empirisme, imaterialisme dan

kritisisme Immanuel Kant menjadi sangat penting

pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika

bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala

sesuatu melalui ungkapan bahasa.

Secara terminologi istilah analitika bahasa baru

dikenal dan popular pada abad XX, namun demikian

pengertian filsafat analitik adalah pemecahan dan

penjelasan problem-problem serta konsep-konsep

filsafat melalui analisis bahasa, maka sebenarnya

berdasarkan isi materi dan metodenya filsafat

analitik bahasa itu telah berkembang sejak zaman

Yunani. Secara diakronis, filsafat analitika bahasa

pada abad XX ini tidak terbatas pada timbulnya

aliran-aliran filsafat di Inggris saja, namun lebih

luas antara lain di Jerman selain mempengaruhi

tumbuh berkembangnya aliran positivism logis dan

lingkungan Wina, juga terhadap filsuf-filsuf

kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui

gejala-gejala untuk sampai pada suatu kebenaran yang

hakiki.

C. FILSAFAT SEBAGAI ANALISIS BAHASA

Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas

dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan

menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis.

Aliran filsafat analitika bahasa memandang bahwa

problema-problema filosofis akan dapat menjadi jelas

apabila menggunakan analisis terminologi gramatika,

bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari

banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali

tidak menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal

tersebutlah banyak kalangan filsuf, terutama tokoh

filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas

utama filsafat adalah analisis konsep-konsep.

D. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ANALITIK

Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika

bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu :

Atomisme logis (logical atomism)

Positivisme logis (logical positisme) atau

biasa disebut empirisme logis (logical

empirism)

Filsafat bahasa biasa (ordinary language

philosophy)

Atomisme logis (logical atomism)

Pusat dari gerakan pemikiran filsafat ini yaitu di

Cambridge, Inggris. Perintisnya adalah G.E. Moore

(1873-1958), dengan tokoh-tokoh utama yaitu Bertrand

Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgestein (1889-

1951).

Istilah atomisme logis sendiri dicetuskan oleh

Bertrand Russel dalam salah satu artikelnya yang

dimuat dalam “Contemporary British Philosophy’ yang

terbit tahun 1924, ia mengatakan sebagai berikut :

“I hold that logic is what is fundamental in philosophy and

that schools should be characterized rather by their logic than

by their metaphysics. My own logic is atomic and it is this

aspect upon which I shoud mish to lay stress. Therefore I

prefer to describe my philosophy as logicat atomism rather

than as realism. Whether with or without some prefixed

adjective”

“Saya menganggap bahwa logika itu adalah apa

yang fundamental di dalam filsafat, dan bahwa

mahzab-mahzab (aliran-aliran) itu seharusnya

diwarnai oleh logikanya daripada oleh

metafisikanya. Logika saya sendiri bersifat

atomis, dan aspek (segi) inilah yang ingin

saya tekankan. Oleh karena itu lebih suka

menyebut filsafat saya dengan nama atomisme

logis daripada realisme, baik dengan atau

tanpa awalan kata sifat.”

Ia menamakan pemikiran filsafatnya ‘atomisme

logis’ karena atom-atom yang ingin dicapai Russell

sebagai hasil analisis terakhir bukan merupakan

suatu atom fisik, melainkan atom logis.

Misalnya dalam kalimat :

1. Lions are yellow

2. Lions are real

Kedua kalimat itu memiliki struktur gramatikal

yang sama namun keduanya memiliki struktur logis

yang berbeda.

‘Lions’ pada kalimat 1 dan 2 bersama-sama

berfungsi sebagai subyek, adapun ‘yellow’ dan

‘real’ pada kedua kalimat tersebut sama-sama

merupakan predikat, jadi secara gramatikal

memiliki struktur yang sama, namun struktur

logisnya tidak sama.

Menurut Russell bahwa dua pengertian memiliki

suatu formulasi logis yang sama bilamana dua hal

itu mengandung kesesuaian. Misalnya X dan Y

memiliki formulasi logis yang sama jika unsur X

mengandung kesesuaian dengan unsur Y, sehingga

akibat atau lawan bagi Y dapat digantikan pada X.

Misalnya Sokrates dan Aristoteles memiliki

formulasi logis yang sama, karena keduanya adalah

seorang filsuf.

Melalui penentuan formulasi logis ini nampaknya

Russell berhasil memecahkan sejumlah paradoks yang

seakan-akan tampak mustahil untuk dikatakan

sebagai benar yang telah membingungkan para filsuf

Yunani.

Selain Russell, George Edward Moore, seorang

filsuf kelahiran Upper Nortwood London, juga

memiliki pengaruh yang besar terhadap aliran

filsafat atomisme logis.

Russell dan Moore sama-sama berpendapat bahwa

tugas filsafat adalah memberikan analisis konsep-

konsep dan oleh karena konsep-konsep itu

diungkapkan melalui bahasa, maka analisis bahasa

memegang peranan penting.

Positivisme logis (logical positisme)

Aliran positivisme logis berkembang pada tahun

1922 di Wina oleh perintisnya yaitu Moritz Schlik

(1882-1936). Pandangan ini menguraikan tentang

pendirian filosofis kelompok lingkungan Winga yang

sangat diwarnai oleh ilmu-ilmu pengetahuan positif.

Anggota-anggola lingkungan Wina ini antara lain :

- Kurt Goedel, Hans Hahn, Karl Menger, ahli

matematika

- Philip Frank, ahli fisika

- Rudolf Carnap, ahli matematika dan fisika

- Beberapa mahasiswa antara lain : Frederich

Wismann, Herbert Feigl

Aliran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi

empirisme yang melanjutkan garis tegas pada

leluhurnya yaitu David Hume, John Stuart Mill dan

Ernest Mach.

Positivisme logis menggunakan teknik analisis

untuk dua macam tujuan :

1. Untuk menghilangkan metafisika.

Karena ungkapan-ungkapan metafisis pada hakikatnya

tidak menyatakan apa-apa sehingga bersifat

‘nirarti’ atau tidak bermakna.

2. Menggunakan teknik analisis demi penjelasan ilmiah

dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan

fakta ilmiah.

Sebab dengan analisis filsafat kita tak dapat

menentukan apakah sesuatu itu nyata (real), tetapi

hanya apa artinya apabila kita menyatakan bahwa

sesuatu itu nyata.

Secara prinsip positivisme logis menerima konsep-

konsep atomisme logis terutama dalam hal analisis

logis melalui bahasa, walaupun menolak visi dasar

metafisisnya.

Aliran ini terutama memperhatikan dua masalah,

yaitu :

1. Analisis pengetahuan

2. Pendasaran matematika dan ilmu pengetahuan alam,

demikian juga terhadap psikologi dan sosiologi

Menurut aliran ini filsafat tidak memiliki suatu

wilayah ilmiah sendiri yang terletak di samping

suatu wilayah lain yang menjadi objek ilmu

pengetahuan. Tugas filsafat adalah analisis logis

terhadap pengetahuan ilmiah.

Atas dasar pemikiran tersebut maka kaum

positivisme logis menentukan sikap bahwa agar tidak

terjadi kekacauan maka analisis terhadap bahasa yang

digunakan dalam ilmu pengetahuan dalam filsafat

adalah langkah yang paling tepat. Hal itu didasarkan

pada suatu kenyataan bahwa hakikat bahasa adalah

menggambarkan realitas dunia.

Filsafat bahasa biasa (ordinary language

philosophy)

Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik

sebagai reaksi ketidakpuasan dunia pemikiran

filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi

idealism terutama kalangan teolog, yang sangat

mengagungkan pentingnya metafisika.

Para tokoh filsafat analitika bahasa menyadari

bahwa dalam kenyataannya banyak problem-problem

filsafat dapat diselesaikan melalui analisis bahsa.

Para tokoh ini memusatkan perhatian pada aspek

semantic bahasa, sehingga melalui kategori-kategori

logika mereka menentukan bahasa yang berkeyakinan

kuta menyatakan bahwa berdasarkan logika bahasa

ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan penganut

idealism terutama bidang teologi, etika, aksiologi,

estetika dan terutama ontology pada hakikatnya tidak

bermakna.

Philosophical Investigations, yang merupakan

konsep pemikiran filsafat Wittgenstein, adalah suatu

bentuk filsafat biasa yang paling kuat. Esensi dari

pandangannya adalah bahwa :

“makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam

bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah

penggunaannya di dalam hidup”

Ada dua hal yang dikemukakan oleh Wittgenstein

berkaitan dengan bahasa filsafat, yaitu :

1. Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan

istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang

tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.

2. Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang

bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala

yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.

Kelemahan yang seperti ini menurut Wittgenstein

disebut dengan istilah “Craving for Generality”

yaitu suatu kecenderungan untuk mencari sesuatu

yang umum pada semua satuan-satuan kongkrit

(entities) yang diletakkan di bawah istilah yang

bersifat umum.

Filsafat bahasa biasa yang mendasarkan pada suatu

konsep bahwa masalah-masalah filsafat dapat

diselesaikan dan dijelaskan melalui analisis bahasa.

Mereka lazimnya mendasarkan bahwa bahasa biasa,

yaitu bahasa sehari-hari pada hakikatnya telah cukup

untuk melakukan analisis filsafat.

Namun menurut Ryle perlu dibedakan antara

‘penggunaan dari bahasa biasa’ (the use of ordinary

language) dan ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the

ordinary linguistic usage), dan antara ‘penggunaan

yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the

expression).

Bilamana kita membahas penggunaan bahasa biasa,

maka perlu diperjelas pengertian ‘luar biasa’,

‘esoteris’, dan ‘teknis’, ‘puitis’, ‘notasional’

atau bahkan yang dimaksud dengan ‘bahasa kuno’.

Pengertian ‘biasa’ (ordinary) dapat berarti ‘umum’

(common) atau yang sedang berlangsung (current),

bahasa pergaulan sehari-hari (colloquial), atau

bahasa harian, bahasa yang sederhana (vernaculler),

bahasa alamiah (natural language) dan hal inilah

yang harus dijernihkan dalam penggunaan bahasa.

Filsafat bahasa biasa menurut Ryle pada hakikatnya

memperhatikan penggunaan yang biasa dari bahasa,

atau penggunaan bahasa yang baku, standar, dan

bukannya penggunaan bahasa yang dipakai dalam

komunikasi sehari-hari (colloquial language).

Oleh karena itu tugas filsafat adalah berkaitan

dengan analisis penggunaan yang biasa dari ungkapan-

ungkapan tertentu dan bukannya menganalisis bahasa

yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

E. PENGARUH FILSAFAT ANALITIK TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

Lingkungan Wina berpendapat bahwa filsafat tidak

dapat diharapkan untuk memecahkan masalah-masalah,

melainkan hanya menganalisis masalah-masalah dan

dengan itu menjelaskannya.

Schlick pernah mengatakan bahwa filsafat tidak

mempunyai tugas lain, kecuali menjelaskan kata-kata

serta ucapan-ucapan dan dengan demikian

menyingkirkan ucapan-ucapan yang tidak bermakna.

Ilmu pengetahuan memverifikasi ucapan-ucapan,

sedangkan filsafat meneropong makna ucapan-ucapan.

Tentunya hal ini sekaligus mempertegas kenyataan

bahwa filsafat analitika bahasa sangat diperlukan

untuk memaparkan makna-makna ucapan yang ada

sehingga tidak terjadi kekaburan dalam menerjemahkan

teori-teori ilmu pengetahuan yang dicetuskan oleh

para ilmuwan.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka

penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

Bahasa sangat berperan penting dalam menerjemahkan

buah pemikiran manusia pada umumnya, dan para filsuf

pada khususnya.

Bahasa merupakan media wacana segala ilmu dan

sekaligus metabudaya.

Dalam perkembangannya filsafat terbagi atas 4 (empat)

fase, yaitu :

1. Kosmosentris, yaitu fase pemikiran filsafat

yang meletakan alam sebagai objek pemikiran dan

wacana filsafat, yang terjadi pada zaman kuno.

2. Teosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang

meletakan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat,

yang berkembang pada zaman abad pertengahan.

3. Antroposentris, yaitu fase pemikiran filsafat

yang meletakan manusia sebagai objek wacana

filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman

modern.

4. Logosentris, yaitu fase perkembangan pemikiran

filsafat yang meletakan bahasa sebagai pusat

perhatian pemikiran filsafat, yang berkembang

setelah abad modern sampai sekarang.

Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam

filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji

kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis.

Aliran-aliran filsafat analitik terdiri atas 3 (tiga)

aliran, yaitu :

o Atomisme logis (logical atomism)

o Positivisme logis (logical positisme) atau biasa

disebut empirisme logis (logical empirism)

o Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy)

Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan bahasa pada

umumnya adalah bahwa Ilmu pengetahuan memverifikasi

ucapan-ucapan, sedangkan filsafat meneropong makna

ucapan-ucapan.

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. (2006). Filsafat Analitika Bahasa.

Yogyakarta : Paradigma

Sauri, S. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun.

Bandung :

PT Genesindo

Suriasumantri, J.S. (1999). Ilmu Dalam Perspektif.

Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia