makalah filsafat

36
DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara // 25 Februari 2012 // 1 D F T Armada Riyanto CM 1 DFT (dialog filsafat teologi) pertama-tama adalah pergumulan iman yang mencari pengertian (fides quaerens intellectum). Dan, pergulatan DFT menyusun sejarah tradisi yang panjang dalam Gereja Katolik. DFT pertama-tama bukan lahir dari spekulasi atau imaginasi, atau apalagi deskripsi perihal memadukan apa itu filsafat dan apa itu teologi. DFT berasal dari kegelisahan, kerinduan, juga kecemasan manusia yang menggali kedalaman relasi dengan Tuhannya. Halnya mungkin bisa diserupakan dengan kegelisahan Nabi Yeremia: “Apabila aku berpikir: ‘Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya,’ maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup” (Yer 20:19). Mula-mula kegelisahan itu berangkat dari ingatan (pengenalan) akan Tuhan dan tugas pewartaan iman. Kemudian, kegelisahan itu mengalir kepada tema-tema tentang relasi antara manusia dengan Tuhannya, antara diri manusia yang terbatas dan Tuhan yang absolut, antara ciptaan yang fana dan Sang Pencipta yang agung, antara ada-ada (being) partikular dan Ada (Being) universal. DFT sesungguhnya merupakan sebuah pengalaman manusia dalam keseluruhan budi dan batinnya atau bahkan peziarahan cintanya (Paulus, Agustinus, Anselmus, Thomas Aquinas). Dan, itu bukan sebuah pengalaman yang terjadi di kelas-kelas filsafat atau teologi. Bonaventura, misalnya, memberi judul bukunya Itinerarium Mentis in Deum, sebuah judul yang mengatakan bahwa DFT merupakan sebuah peziarahan budi kepada Allah. Maksudnya, DFT tidak mungkin terjadi sekaligus, di ruang kelas, selama satu semester atau bahkan satu periode studi sarjana S1 filsafat! DFT itu sebuah peziarahan sepanjang hidup. 1 Penulis adalah dosen filsafat dan ketua STFT Widya Sasana, Malang.

Transcript of makalah filsafat

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

1

D F T

Armada Riyanto CM1

DFT (dialog filsafat teologi) pertama-tama adalah pergumulan imanyang mencari pengertian (fides quaerens intellectum). Dan, pergulatan DFTmenyusun sejarah tradisi yang panjang dalam Gereja Katolik. DFTpertama-tama bukan lahir dari spekulasi atau imaginasi, atau apalagideskripsi perihal memadukan apa itu filsafat dan apa itu teologi. DFTberasal dari kegelisahan, kerinduan, juga kecemasan manusia yangmenggali kedalaman relasi dengan Tuhannya.

Halnya mungkin bisa diserupakan dengan kegelisahan Nabi Yeremia:“Apabila aku berpikir: ‘Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak maumengucapkan firman lagi demi nama-Nya,’ maka dalam hatiku ada sesuatuyang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku;aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup” (Yer20:19).

Mula-mula kegelisahan itu berangkat dari ingatan (pengenalan) akanTuhan dan tugas pewartaan iman. Kemudian, kegelisahan itu mengalir kepadatema-tema tentang relasi antara manusia dengan Tuhannya, antara dirimanusia yang terbatas dan Tuhan yang absolut, antara ciptaan yang fanadan Sang Pencipta yang agung, antara ada-ada (being) partikular dan Ada(Being) universal.

DFT sesungguhnya merupakan sebuah pengalaman manusia dalamkeseluruhan budi dan batinnya atau bahkan peziarahan cintanya (Paulus,Agustinus, Anselmus, Thomas Aquinas). Dan, itu bukan sebuah pengalamanyang terjadi di kelas-kelas filsafat atau teologi. Bonaventura,misalnya, memberi judul bukunya Itinerarium Mentis in Deum, sebuah judul yangmengatakan bahwa DFT merupakan sebuah peziarahan budi kepada Allah.Maksudnya, DFT tidak mungkin terjadi sekaligus, di ruang kelas, selamasatu semester atau bahkan satu periode studi sarjana S1 filsafat! DFTitu sebuah peziarahan sepanjang hidup.

1 Penulis adalah dosen filsafat dan ketua STFT Widya Sasana, Malang.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

2

Karena merupakan sebuah peziarahan, DFT tidak selesai dalamtesis-tesis atau statement ilmiah yang menyusun keterpaduan keduadisiplin. DFT tidak mungkin direduksi dalam diktat atau buku, atauapalagi paper ilmiah. Dalam DFT seolah ada sebuah pertaruhaneksistensial relasi antara manusia dan Tuhannya dan relasi dengansesamanya.

Makalah ini – dalam perspektif metodologis yang amat terbatas –mengajukan penelusuran DFT sebagai sebuah peziarahan pergulatanmanusia. Saya memilih beberapa tema: 1. Skema Yerusalem-Atena (pergumulanPaulus), 2. Agustinus (Confessiones), 3. Anselmus (Proslogion), 4. AquinasThomas (Summa Theologica), dan 5. Akhirnya dalam keterbatasan penulis jugaingin melukiskan panorama perkembangan pergulatan DFT dalam peziarahandi peradaban modern from within the Catholic Church.

Sebagai sebuah penelusuran peziarahan pergulatan, metodologimakalah ini ialah membaca teks-teks sumbernya. Dari pembacaan itu, sayamenarik satu dua kesimpulan benang merah untuk menyumbang beberapa haltentang pendalaman dialog filsafat teologi (DFT).

1. SKEMA YERUSALEM-ATENA KOTBAH2 ITU

Dalam Kisah Para Rasul 17, dikisahkan Paulus untuk pertamakalinya berhadapan dengan para filosof. Ia diundang untuk memberikuliah (kotbah) mengenai “pemikiran baru”-nya. Tentu saja, Paulusberkotbah tentang iman kepada Allah, kepada Putra-Nya yang telah matidan bangkit, sebuah iman yang menyelamatkan manusia. “Tetapi ketikamereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, maka ada yangmengejek, dan yang lain berkata: ‘Lain kali saja kami mendengar engkauberbicara tentang hal itu.’ Lalu Paulus pergi meninggalkan mereka”(ay.32-33).

Inilah contoh sebuah akhir kotbah yang sunyi. Paulus pergimeninggalkan mereka! Tetapi beberapa orang laki-laki menggabungkandiri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya Dionisius, anggota

2 Pada “tahun Paulus” (2008) sebuah tahun yang didedikasikan kepada RasulPaulus, STFT Widya Sasana, Malang menyelenggarakan Hari Studi tentang Paulus.Saya kebagian tema tentang Paulus yang berkotbah di Atena. Makalah ituditerbitkan oleh Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, No. 17, 2008. Tulisan itu masihsaya pandang sebagai elaborasi filosofis teologis kotbah emblematis bagi DFT(dialog filsafat teologi) dalam bentuknya yang awali.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

3

majelis Areopagus … (ay. 34). Apa yang ada dalam benak Dionisiussedemikian rupa sehingga dia mengambil posisi berbeda dari teman-temannya (para filosof yang menolak)? Kita tidak tahu apa-apa. Tetapi,saya mengimaginasikan, pastilah ada pergumulan dan kegelisahan yangmenggelayut dalam dirinya saat mendengarkan kotbah Paulus3.

Kotbah Paulus di Atena adalah contoh dialog filsafat teologidalam bentuknya yang awali. Sungguhpun demikian, kotbah itu emblematisdalam ranah relasi filsafat teologi. Di masa depan iman Gereja Katolikadalah iman yang dirumuskan dalam bahasa filosofis. Tetapi, jauh darisekedar perkara “perumusan verbal filosofis”, halnya merupakan suatupergumulan iman, bahkan pergumulan konfliktual dan pertengkaran fisikyang berdarah. Simak bagaimana para Bapa Gereja seperti Athanasius(dan yang lain) berseberangan dengan Arius mengenai kodrat (natura)Yesus Kristus, yang juga menyebabkan perpecahan hebat dalam Gereja.Dan, kita tahu bahwa Arius (yang oleh para pengikutnya bahkandipandang sebagai “suci” dan “rendah hati”) disebut “bidaah”, karenaia merumuskan kebenaran iman akan Yesus Kristus yang secara filosofis(dan secara teologis) salah.4 Perkara salah benar ketika itu bukanlahperkara logika rasional, melainkan perkara pemahaman misterikeselamatan!

DFT dalam kotbah di Atena itu merupakan sebuah pergumulan pertamadari seorang pewarta iman. Saya ingin menyebut, DFT itu berlangsungdalam skema Yerusalem Atena. “Pemikiran baru” yang dibawa Paulus adalah“iman Yerusalem” (teologi). Mengapa Atena mengejek teologi Yerusalem?Atena memiliki frame konteks rasionalitas, religiusitas, dankulturalitasnya tersendiri. Jika diringkas keduanya dapat diskemakandemikian:

3 Asal diketahui, dalam Kisah 18, dari Atena Paulus menuju ke Korintus. Dan,ternyata di suatu malam Paulus mengalami kegelisahan sampai mendapat“penglihatan” Tuhan yang berfirman, “Agar jangan takut! Teruslah memberitakanfirman dan jangan diam” (ay. 9). Barangkali “kegagalan” kotbah di Atenamembekas secara mendalam di dalam pergumulan batin Paulus. Sesuatu yang secaramanusiawi wajar. Gagal dalam kotbah, lantas gundah. 4 Arianisme adalah kesesatan yang memandang bahwa Yesus Kristus hanyalahmemiliki satu kodrat manusia. Kristus bukan Allah, kata Arius. Ia manusiatetapi “diangkat” oleh Allah Bapa menjadi “Putra Allah”. Konsep Arianisme iniamat populer, tetapi sesat. Sebab, jika Kristus bukan Allah, lenyaplah dogmatentang Inkarnasi, tidak ada lagi penebusan manusia, sebab hanya Allah yangdapat menebus manusia dari dosa. Manusia tidak bisa menebus dosa dari dirinyasendiri.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

4

Yerusalem merupakan kota Iman/teologi, dimana pengalamaniman/pengetahuan yang mengatasi rasionalitas berasal dari Atas, dariAllah. Pengalaman ini dicurahkan/dianugerahkan Allah. Pengetahuan initentang kebenaran-kebenaran yang menyelamatkan (ditampilkan dalamrincian credo). Siapakah Allah di Yerusalem? Dia adalah Allah yangrelasional-personal, mencintai dan menyejarah dalam hidup manusia. Diaadalah Sang Pencipta yang menciptakan segala yang ada dari ketiadaan.Dia adalah Pribadi, Allah yang punya nama. Dia adalah Allah yangmengutus Putra-Nya, Yesus Kristus, untuk menebus manusia lewat salib.

Atena, sementara itu, adalah kota Filsafat/Rasio, dimana pengetahuanrasional atau pengalaman kebijaksanaan manusia berasal dari Natura(kodrat). Hikmat kebijaksanaan ini dikejar/diusahakan/ dilatihkan.Hikmat ini adalah hikmat tentang segala apa yang ada, yang berhubungandengan hidup manusia. Karakter hikmat ini rasional-kontekstual. Bagaimanapunjuga Atena memiliki pengetahuan akan “Realitas absolut” yang adalahPrinsip dari segala yang ada. Prinsip ini disebut Arché. Filsafat Stoaakan menyebut Arché ini “Logos.” Dari Logos-lah segala apa yang adamengalir, hidup, ada, dan bergerak. Logos bukan nama, maka “Allah” Atenaadalah tanpa nama!

Ketika di Yerusalem, iman (maksudnya fides quae5 atau kebenaran yangdirevelasikan) demikian gamblang dan tanpa persoalan. Iman kepadaAllah terasa tanpa persoalan karena wahyu. Tetapi, ketika sampai diAtena (maksudnya iman bergumul dalam ruang lingkup, konteks, bingkaiperadaban filsafat), apa yang semula gamblang menjadi tidak serentaktanpa soal. Allah, sang Pencipta, yang menciptakan segala apa yang adadari ketiadaan (creatio ex nihilo) menjadi pewartaan yang mustahil dalamalam filsafat Yunani yang sudah terbiasa dengan frase kebenaranunivokal Parmenedian bahwa quod est, est; quod non est, non est (“segala apa yangada, ada; dan yang tidak ada, tidak ada”). Aristoteles pun, kendatitelah menggagas prinsip actus-potentia dari esse (dan dengan demikianmenghantam univositas cara pandang Parmenedian mengenai segala apayang ada) toh tidak mampu menjelaskan dari mana dunia dengan segalaisinya ini berasal. Berbeda sedikit dengan Plato, Aristoteles hanyabisa berkata bahwa dunia dengan segala isinya ini abadi (artinya telahsenantiasa ada dan akan senantiasa demikian).

Allah yang adalah Pribadi agung yang menyejarah dan terlibat dalampeziarahan kehidupan manusia (dalam skema Yerusalem), dalam skema5 Mengenai “iman” kita bisa membedakan antara fides quae dan fides qua. “Fides quae”memaksudkan iman dalam arti kebenara-kebenaran yang kita percayai (credo).“Fides qua” merupakan keseluruhan hidup yang dipondasikan pada iman.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

5

Atena menjadi Logos (yang tak memiliki keterlibatan dalam hidupmanusia). Tetapi, secara mengejutkan, awal Injil Yohanes mengatribusiterminologi “Logos” untuk Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelmamenjadi manusia.

Mengapa pernyataan tentang kebangkitan badan mengakibatkankebuntuan pewartaan Paulus? Dari filsafat Epikuros, kita tahu, akhirkehidupan dimengerti sebagai akhir dari penderitaan atau kesenanganyang dapat dirasakan badan. Realitas badani, dengan demikian, tidakmenemukan arti kepentingannya sesudah kematian. Demikian juga Stoa,aliran filsafat ini tidak mengajukan rincian pandangan pada pemuliaanbadan sebagai badan. Stoa dipengaruhi oleh Plato, yang memilikipandangan dualisme tentang manusia. Manusia adalah dua, i.e., badandan jiwa (yang saling bertentangan). Dalam dualisme Platonian, manusiaadalah jiwanya, bukan badannya. Kotbah Paulus yang mengajukan“pemikiran baru” berkaitan dengan pemuliaan badan (dalam kebangkitanorang mati yang menjadi mungkin karena kebangkitan Kristus) jelasmacet, buntu, aneh! Kebangkitan badan bagi orang Yunani adalahkenaifan, absurditas, dan kebodohan. Sementara bagi Paulus,kebangkitan badan adalah kemuliaan. Bahkan itulah inti sari imanKristiani. “Sia-sialah iman kita, jika Kristus tidak bangkit!” (SimakKor 15 seluruhnya).

Dari kotbah itu, ada sebuah pembelajaran yang perlu. Yaitu, bahwamewartakan iman bukanlah sekedar berkata-kata tentang isi kebenaraniman. Pewartaan iman tidak bisa hanya doktrinal, melainkan juga harusinkultural. Predikasi bukanlah informasi (tentang iman), melainkantransformasi (tentang kehidupan). Teologi tidak hanya berbicaratentang Allah, melainkan tentang Allah dalam konteks lapangankehidupan manusia. Dari kotbah itu, tampil suatu model berteologibaru: berteologi kontekstual-antropologis. Maksudnya, teologi tidaksekedar bertolak dari ajaran tentang Allah, melainkan berangkat darirealitas alam pikir dan mentalitas manusianya yang menerima ajarantentang Allah tersebut. Titik tolak itu bukan untuk merelativirkebenaran ajarannya, melainkan untuk memfasilitasi pendengar dalammenyambut kebenaran iman dan mengakarkan penghayatannya dalam hidupsehari-hari. DFT, sesudah Kotbah Atena itu, menjadi sebuah keniscayaandalam pergulatan pewartaan iman Kristiani.

2. AGUSTINUS

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

6

I have learnt to love you late (terlambat aku mencintai-Mu, ya Tuhan).Pengembaraan Agustinus mengejar kebenaran adalah peziarahan hidupnyauntuk menyintai Tuhannya. Agustinus adalah sosok yang bergulat denganpencarian akan kebenaran. “Kebenaran” yang dimaksudkan mula-mulaberkaitan dengan apa yang memenuhi kehausan akal budinya yangcemerlang (dan karena itu ia pernah bersinggungan dengan beberapaajaran kesesatan seperti Manicheisme, Donatisme dan Pelagianisme).Tetapi, “kebenaran” yang sesungguhnya adalah cinta Allah sendiri, yangdia sadari terlambat mempelajarinya. Ibunya, Monica, tiada hentiberdoa, sampai dalam tradisi Katolik disebut sebagai seorang ibu yangberdoa dengan air mata untuk pertobatan putranya. Jika dikesampingkankisah-kisah yang mengharukan, kita akan menyaksikan bahwa filsafatAgustinus mengukir pergumulan DFT yang mencengangkan. Agustinus adalahpribadi yang berfilsafat dan berteologi dalam peziarahan seluruhhidupnya.

Bukunya yang paling sering dibaca manusia di planet ini adalahConfessiones (pengakuan-pengakuan). Orang kerap terkecoh, mengira bahwadalam buku itu Agustinus akan menuliskan “dosa-dosa”-nya yang menarik.Sama sekali tidak ada “pengakuan dosa”. Confessiones adalah buku peziarahanrohani yang memiliki karakter filosofis teologis sekaligus terbilangcukup sulit. Sebab, Agustinus menuliskan banyak “puisi” yang sangatketat dalam terminologi bahasa Latin pada waktu itu. Dialog filsafatteologi nyata ada di dalam pergumulan pribadi Agustinus sendiri.

[Confessiones, Liber I CAPUT 1] Magnus es, domine, et laudabilis valde:magna virtus tua, et sapientiae tuae non est numerus. et laudare te vulthomo, aliqua portio creaturae tuae, et homo circumferens mortalitemsuam, circumferens testimonium peccati sui et testimonium, quia superbisresistis: et tamen laudare te vult homo, aliqua portio creaturae tuae.tuexcitas, ut laudare te delectet, quia fecisti nos ad te et inquietum estcor nostrum, donec requiescat in te. da mihi, domine, scire etintellegere, utrum sit prius invocare te an laudare te, et scire teprius sit an invocare te. sed quis te invocat nesciens te? aliud enimpro alio potest invocare nesciens. an potius invocaris, ut sciaris?quomodo autem invocabunt, in quem non crediderunt? aut quomodo credentsine praedicante? et laudabunt dominum qui requirunt eum. quaerentesenim inveniunt eum et invenientes laudabunt eum. quaeram te, domine,invocans te, et invocem te credens in te: praedicatus enim es nobis.invocat te, domine, fides mea, quam dedisti mihi, quam inspirasti mihi

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

7

per humanitatem filii tui, per ministerium praedicatoris tui.6 (cetaktebal tambahan penulis)

Filsafat Agustinus kerap disebut sebagai introduksi untukfilsafat Abad Pertengahan (Mediovale). Disebut demikian, karenaAgustinus mengemukakan tema-tema yang akan terus berkembang dalamMediovale: eksistensi Tuhan, yang universal dan partikular, manusiasebagai ciptaan, relasi keduanya, partisipasi, dan segala yangberkaitan dengan metafisika “kristiani”. Agustinus mendulang filsafatPlatonisme dalam banyak karyanya.

Dalam kutipan di atas, Agustinus menuliskan pengakuannya akankeagungan Tuhan dan kesadaran betapa “kecil”-nya manusia, ciptaan-Nya.Sebagai sebuah “puisi” rohani, ungkapan ini tidak boleh dimaknaisebagai sebuah deskripsi tentang Tuhan. Ungkapan ini menampilkankedalaman relasi antara Agustinus dan Tuhannya. Dari sendirinya jugamerupakan produk pergumulannya.

Kedalaman relasi itu ditampilkan pertama-tama dengan keinginanuntuk memuji Tuhan, sebuah keinginan yang sebenarnya berasal dariTuhan sendiri yang dianugerahkan kepada manusia. Sebab, Tuhanmenciptakan manusia untuk Dia. Tetapi, manusia adalah dia yang menjadisaksi atas kefanaannya (imortalitasnya) dan dosa-dosanya sendiri. Dosaapakah gerangan yang dimaksudkan Agustinus? Berspekulasi tentang dosaAgustinus mungkin kurang penting. Frase selanjutnya menampilkankebenaran bahwa Allah menolak orang sombong. “Orang sombong” adalah6 Agunglah Engkau, Tuhan, dan sungguh pantas dipuji. Agunglah keluhuran-Mu[keutamaan-Mu] dan tak terukur kebijaksanaan-Mu. Dan, manusia ingin memuji-Mu.Ya manusia, yang adalah setetes dari ciptaan-Mu; dan manusia yang menanggung[menjadi saksi atas] kefanaannya sendiri; manusia yang adalah saksi atas dosa-dosanya sendiri; sebuah kesaksian bahwa Engkau menolak yang sombong: Namundemikian manusia ingin memuji-Mu, meskipun ia hanya setetes saja dari ciptaan-Mu. Engkau telah membuat manusia agar gembira memuji-Mu, sebab Engkau telahmenciptakan kami kepada-Mu, dan gelisahlah hati kami sampai beristirahat didalam Engkau. Anugerahilah aku, Tuhan, mengenal dan mengerti apakah lebihdahulu memanggil-Mu [berdoa kepada-Mu] atau memuji-Mu, dan mengenal-Mu lebihdulu atau memanggil-Mu. Tetapi siapa memanggil-Mu [berdoa kepada-Mu] sementaratidak mengenal-Mu? Sebab, dia yang tidak mengenal-Mu mungkin memanggil-Musebagai lain dari diri-Mu seperti adanya. Atau, kami memanggil-Mu agar kamumengenal-Mu? Tetapi bagaimana mereka memanggil Dia yang tidak mereka percayai?Atau bagaimana mereka bisa percaya tanpa seorang pewarta? […] Text Latindiunduh dari: http://www9.georgetown.edu/faculty/jod/latinconf/latinconf.html(10 Februari 2012).

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

8

dia yang mengandalkan kekuataannya sendiri dan menyangkal relasiketergantungannya dengan Allah. Maka, indahlah frase ini: Fecisti nos ad teet inquietum est cor nostrum, donec requiescat in te (Engkau telah menciptakan kamiuntuk-Mu dan gelisah hati kami sampai beristirahat di dalam Engkau, yaTuhan!).

Dari parafrase Agustinian ini, kita tahu, manusia adalah“peziarah”, “pencari” kebenaran, dan tidak akan tenang sebelum bersatudengan Sang Kebenaran itu sendiri. Manusia bukan idle (menganggur).Manusia adalah dia yang berlari, mengejar, bergumul. Manusia juga bukandia yang tidak tahu harus pergi kemana dalam pergumulannya. Tetapi,pengetahuan manusia bahwa dirinya tercipta untuk Sang Penciptanyatidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari Allah. Platonian flavorof philosophy jelas langsung tercium dari ungkapan-ungkapan ini.

Da mihi, domine, scire et intellegere, utrum sit prius invocare te an laudare te, et scire teprius sit an invocare te. sed quis te invocat nesciens te? Kalimat ini sepenuhnya beradadalam konteks pemaknaan terminologi filosofis yang tidak mudahdijangkau sepintas. Anugerahilah aku, ya Tuhan, mengetahui (scire) dan mengerti(intellegere) apakah memanggil-Mu [berdoa kepada-Mu] lebih dulu atau memuji-Mu,dan mengenal-Mu lebih dulu atau memanggil-Mu. Tetapi, siapa memanggil-Mu [berdoakepada-Mu] tanpa mengenal-Mu?

Kesulitan terbesar untuk menikmati pergumulan Agustinus initerletak pada ketatnya distingsi pemaknaan terminologi yang digunakan,yang secara alamiah kita para pembaca Indonesia tidak memilikinya.Dalam filsafat Mediovale, nomen atau nama atau kata atau terminologibukanlah istilah. Nomen merupakan sebuah representasi makna realitas itusendiri. Aneka kata kerja seperti scire (dan nescire), intellegere, invocare, laudare,juga credere merupakan terminologi yang memiliki distingsi aktivitassedemikian rupa. Misalnya, scire dan intellegere (yang dalam bahasa Indonesiaberarti “mengetahui” dan “mengerti”) tidak sama dengan aktivitas akalbudi untuk memiliki informasi tentang sesuatu yang dikenal ataudimengerti. Scire yang darinya ditarik kata “science” dan intellegere yangdarinya mengalir term “intelek”, dalam konteks filsafat Agustinian,memaksudkan keterlibatan dan intensitas kedalaman.

Artinya, dari kompleksitas pemaknaan filosofis terminologiMediovalian semacam ini, kegelisahan Agustinus mengenai relasinyadengan Tuhannya berasal dari pergumulan yang mendalam dan keterlibatankeseluruhan hati dirinya. Bukan sebuah pergumulan yang diinformasikan.

DFT dalam Agustinus bermuara di dalam iman: iman yang sepenuhnyamerupakan anugerah Tuhan, iman yang diperolehnya dari Sang Pewarta

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

9

(Yesus Kristus) dan iman akan Sang Pewarta sendiri. Dan, dimana dialogfilsafat teologinya? Di dalam beriman yang mencari pengertian! Tetapi,sekali lagi, bukan “pengertian” dalam arti memiliki banyak informasiatau pengetahuan tentang Tuhan, melainkan dalam makna relasi kedalamancinta dengan Tuhannya.

Jadi, pengalaman DFT dalam Agustinus seolah-olah seperti diasedang “menangkap Tuhan yang mencarinya” dan “Tuhan memeluk Agustinusyang gelisah mengejar-Nya.” Mungkin agak menyerupai cetusan mistikFransiskus de Sales: “Aku tidak mau mencintai Tuhan, Jika Ia tidaklebih dulu mencintaiku” (Tuhanlah yang membuat de Sales mencintai-Nya!).

3. ANSELMUS

Anselmus salah satu tokoh penting Mediovale (filsafat AbadPertengahan) yang mengusung DFT secara meyakinkan. Sepertipendahulunya, Agustinus, Anselmus berada dalam konteks atmosfir fidesquaerens intellectum (iman yang mencari pengertian). Serupa dengan Agustinuspula, pencariannya merupakan pergumulan cinta dan “imannya yangmencari pengertian” dalam bahasa khas yang menyentuh. I long to understandin some degree thy truth, which my heart believes and loves. For I do not seek to understandthat I may believe, but I believe in order to understand.

Tuhan aku tidak berusaha untuk mengerti segalanya tentang keagungan-Mu,karena akal budiku tidak mencukupi untuk itu. Tetapi, aku rindu untukmengerti beberapa hal mengenai kebenaran-Mu yang hatiku percayai dancintai. Karena, aku tidak mencari pengertian agar percaya, tetapi akupercaya agar mengerti. [Seperti Santo Agustinus,] Aku yakin akan ini:jika aku tidak percaya, aku tidak mengerti.7

Karya Anselmus yang terkenal ialah Proslogion. Berbeda denganMonologion yang ditulisnya lebih dulu dan disebutnya sebagai soliloque

7 Proslogion, 1. Non tento, Domine, penetrare altitudinem tuam, quia nullatenuscomparo illi intellectum meum; sed desidero aliquatenus intelligere veritatemtuam, quam credit et amat cor meum. Neque enim quaero intelligere ut credam,sed credo ut intelligam. Nam et hoc credo: quia "nisi credidero, nonintelligam". Teks Latin diunduh darihttp://www.thelatinlibrary.com/anselmproslogion.html (5 Februari 2012)

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

10

(sebuah renungan personal tentang dogma Kristiani yang didalamnyatermasuk ajaran tentang Allah Tritunggal), Proslogion merupakan sebuahdiskursus filosofis-teologis tentang pembuktian eksistensi Tuhan.8

Anselmus masyhur karena apa yang disebut dengan “argumentasi simpel(tunggal),” argumentasi ontologis dalam pembuktian eksistensi Tuhan.

Apakah “argumentasi simpel”? Harus diakui, argumentasi ontologis bukanargumen yang gampang untuk dimengerti. Secara ringkas kita bisamenyebut, argumentasi jenis ini adalah argumentasi yang tidak memintabukti apa pun di luar dirinya, untuk membuktikan kebenaraneksistensinya. Di sini Anselmus memasukkan konsep-konsep logikametafisis ke dalam peziarahan imannya yang mencari pengertian. Darisendirinya kita perlu belajar apa itu metafisika terlebih dahulusebelum menikmati peziarahan budi Anselmus.

[…] Aku mulai bertanya dalam diriku apakah mungkin ditemukan sebuahargumen tunggal yang tidak meminta bukti lain daripada dirinya sendiri;dan bukti itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Allah sungguh-sungguh

8 [Proslogion, Titles of chapters:] 1.Arousal of the mind for contemplating God.2.God truly [i.e., really] exists. 3.[God] cannot be thought not to exist.4.How the Fool said in his heart that which cannot be thought. 5.God iswhatever it is better to be than not to be. Alone existing through Himself, Hemakes all other things from nothing. 6.How God is able to perceive even thoughHe is not somethingcorporeal. 7.How He is omnipotent even though He cannot domany things. 8.How He is merciful and impassible. 9.How He who is completelyand supremely just spares those who are evil. He is justly merciful to them.10.How He justly punishes and justly spares those who are evil. 11.How “allthe ways of the Lord are mercy and truth,” and yet,“the Lord is just in allHis ways.” 12.God is the life by which He lives,and similarly for similar[attributes]. 13.How He alone is unlimited and eternal, although other spir-its are [also] unlimited and eternal. 14.How and why God is both seen and notseen by those whoseek Him. 15.He is greater than can be thought. 16.This isthe inaccessible light in which He dwells. 17.Harmony, fragrance, succulence,softness, and beauty are present in God in their own ineffable manner.18.There are no parts in God or in the eternity which He is. 19.He is not inplace or in time; but all things are in Him. 20.He is before and beyond allthings even eternal things. 21.Whether this [eternity] is one aeon or morethan one. 22He alone is what He is and who He is. 23.The Father, the Son, andthe Holy Spirit are equally this[supreme] good. It is the one necessary[Being], which is everygood, complete good, and the only good. 24.A conjectureabout what kind of good this is and about how great it is. 25.The kinds andthe quantity of goods for those who enjoy this[Good]. 26.Whether this is thefull joy which the Lord promises.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

11

ada; dan bahwa ada suatu kebaikan tertinggi yang tidak meminta sesuatuyang lain sebagai bukti bagi keberadaannya; dan apa pun yang kitapercaya berkaitan dengan Sang Ada ilahi.9

Anselmus menyadari bahwa segala pengertian akal budi manusiatentang Allah hanya menjadi mungkin karena rahmat Allah sendiri.Ketergantungan manusia dengan Allah menjadi ciri khas aktivitaspeziarahan iman yang mencari pengertian.

Ekshortasi budi kepada kontemplasi Allah. Aktivitas ini meminta kitamenyisihkan kesibukan, menyingkirkan segala pikiran kecuali yang untukAllah dan yang mengantar untuk menemukan-Nya. Manusia diciptakan untukmemandang Allah. Tetapi, karena dosa manusia kehilangan rahmat yangdiperolehnya sejak penciptaannya; kebalikannya, ia menjumpai kesusahanyang tidak dimaksudkan oleh penciptaannya. Ia tidak memelihara kebaikanAllah saat ia bisa melakukannya secara mudah. Tanpa Allah kita sakit.Kerja dan usaha kita hanya sia-sia tanpa Allah. Manusia tak bisa mencariAllah kecuali Allah sendiri yang mengajarinya; ia juga tidak bisamenemukan-Nya, kecuali Allah sendiri merevelasikannya. Allah menciptakanmanusia dalam citra-Nya, agar manusia mengenal-Nya, berpikir tentang-Nya, dan mencintai-Nya. Orang beriman tidak pertama-tama mengerti lebihdulu kemudian percaya, tetapi ia percaya agar ia mengerti. Jika diatidak percaya, dia tidak akan mengerti.10

Proslogion dalam banyak hal lebih gamblang sebagai semacam buku doa.Yang saya maksudkan, dalam Proslogion Anselmus seperti sedang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri dan berdialog dengan Tuhannya.

Bangkitlah sekarang, hai manusia! Larilah, ambil jarak sejenak darisegala kesibukanmu. Masuklah ke keheningan sebentar, sembunyikan dirimudari aneka pikiran yang mengganggu. Singkirkan beban-bebanmu. Sediakanruang untuk beberapa waktu bagi Tuhan. Istirahatlah sebentar di dalamDia. Masuklah ke kamar batin akal budimu. Tutuplah pintunya dari segalapikiran yang lain untuk Allah, dan temukan Dia. Bicaralah sekarang hai

9 [Proslogion, Preface] … coepi mecum quaerere, si forte posset inveniri unumargumentum, quod nullo alio ad se probandum quam se solo indigeret, et solumad astruendum quia Deus vere est, et quia est summum bonum nullo alioindigens, et quo omnia indigent ut sint et ut bene sint, et quaecumque dedivina credimus substantia, sufficeret.10 Proslogion, 1: Excitatio mentis ad contemplandum Deum …

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

12

hatiku. Bicaralah kepada Allah. Temukan wajah-Nya. Wajah-Mu ya Tuhankucari. Oh Tuhanku ya Allahku, ajarilah hatiku tentang dimana danbagaimana dapat mencari-Mu dan menemukan-Mu.11

Dialog Anselmian menjadi sangat jelas dalam beberapa frase dibawah ini juga:

Tuhan, jika Engkau tidak di sini, kemana lagi aku akan mencari-Mu dalamketidak-hadiranMu? Tetapi, jika Engkau ada dimana-mana, mengapa akutidak melihat-Mu hadir? Engkau sungguh-sungguh tinggal di dalam cahayayang tak tersentuh. Tetapi, dimana cahaya itu, atau bagaimana akumendekatinya? Atau siapa akan membimbing aku kepada cahaya itu dan masukdi dalamnya agar aku bisa memandang-Mu? Lagi, dengan tanda apa dan dibawah wujud apa aku bisa mencari-Mu? Aku tak pernah melihat-Mu, oh Tuhanya Allahku. Aku tidak mengenal wujud-Mu. Oh Tuhan, apa yang harusdikerjakan oleh manusia yang tersingkir jauh dari-Mu? Apakah yang akanhamba-Mu kerjakan, gelisah dalam pencarian cinta-Mu selagi jauh dariwajah-Mu? Ia rindu melihat-Mu, tetapi wajah-Mu terlalu jauh. Ia tercekamuntuk datang kepada-Mu, namun tempat tinggal-Mu tak bisa dicapai. Iaingin sekali menemukan-Mu namun tidak tahu kemana. Ia berhasrat mencari-Mu dan tidak tahu wajah-Mu … Akhirnya, aku tercipta untuk memandang-Mu,namun Aku sampai sekarang belum mewujudkan apa yang dimaksudkan sejakpenciptaanku.12

11 [Proslogion, 1] Eia, nunc homuncio, fuge paululum occupationes tuas, abscondete modicum a tumultuosis cogitationibus tuis Abice nunc onerosas curas, etpostpone laboriosas distentiones tuas. Vaca aliquantulum Deo, et requiescealiquantulum in eo. "Intra in cubiculum" [Mt 6,6] mentis tuae, exclude omniapraeter Deum et quae te iuvent ad quaerendum eum, et "clauso ostio" [Mt 6,6]quaere eum. Dic nunc, totum "cor meum", dic nunc Deo: "Quaero vultum tuum,vultum tuum, Domine, requiro" [Ps 26,8].12[Proslogion, 1] Eia nunc ergo tu, Domine Deus meus, doce cor meum ubi et quomodoquaerat ubi et quomodo te inveniat. Domine, si hoc non es, ubi te quaeramabsentem? Si autem ubique es, Cur non video praesentem? Sed certe habitas"lucem inaccessibilem" [1 Tim 6,16]. Et ubi est lux inaccessibilis? Autquomodo accedam ad lucem inaccessibilem? Aut quis ducet et inducet in illam,ut videam te in illa? Deinde quibus signis, qua facie te quaeram? Numquam tevidi, Domine Deus meus, non novi faciem tuam. Quid faciet, altissime Domine,quid faciet iste tuus longinquus exsul? Quid faciet servus tuus, anxius amoretui et longe "proiectus a facie tua" [Ps 50,13]? Anhelat videre te et nimisabest illi facies tua. Accedere ad te desiderat et inaccessibilis esthabitatio tua. Invenire te cupit et nescit locum tuum. Quaerere te affectat etignorat vultum tuum. Domine, Deus meus es et Dominus meus es et numquam tevidi. Tu me fecisti et refecisti et omnia bona tu mihi contulisti et nondum

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

13

Apa itu argumentasi ontologis pembuktian eksistensi Tuhan? KetikaThomas Aquinas mengajar lima jalan pembuktian eksistensi Tuhan, diamenggunakan “sarana” analogia entis. Dari aktivitas melihat tata ciptaan,akal budi dapat menarik benang kebenaran (sebagian sama sebagianberbeda) mengenai eksistensi dari Sang Penciptanya. Dalam jalan yangpertama, misalnya, Aquinas mengajukan bukti motus (gerak metafisis),yang apabila akal budi kita menarik abstraksi adanya gerak, akanditemukan “Penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh yang lain”;dan Penggerak pertama itu-lah yang disebut Tuhan.

Berbeda dengan Aquinas, Anselmus melakukan pembuktian eksistensiTuhan dari keberadaan Dirinya sendiri, yang terdefinisikan oleh akalbudi manusia. Bagaimana mungkin ini disebut “bukti”? Di sinilah letaksumbangan terbesar dari filsafat Anselmus. Eksistensi Allah seolahtidak perlu dibuktikan! Eksistensi Allah sudah dari sendirinya benaradanya dalam kebenaran logika akal budi manusia. Allah adalah Dia yangtentang-Nya tiada sesuatu pun yang lebih besar daripada-Nya dapatdipikirkan. Inilah kodrat eksistensi Allah.

Maka, ya Tuhan, Engkau yang dapat menambahkan pengertian kepada imanku,biarkan aku demi kebaikanku mengerti bahwa Engkau ada, karena akupercaya Engkau ada dan bahwa Engkau adalah Dia yang aku imani ada. Akupercaya Engkau adalah itu [Dia] yang tentangnya tiada sesuatu pun yanglebih besar daripada-Nya dapat dipikirkan [aliquid quo nihil maius cogitari possit].Mungkinkah bahwa tiada sesuatu apa pun seperti itu ada [dapatdipikirkan]? Orang bodoh memang telah berkata di dalam hatinya, “tidakada Allah” (Mzm 14:1 dan 53:1). Tetapi, sekarang bila orang bodoh inimendengar argumen “Allah adalah Dia yang tentangnya tiada sesuatu punyang lebih besar daripada-Nya dapat dipikirkan”, ia harus mengerti apayang dia dengar; dan apa yang ia mengerti sudah ada dalam akal budinya,meskipun ia tidak berpikir bahwa ada [being] semacam itu eksis dalamkenyataaannya. Sebab memang ada perbedaan besar antara sesuatu yangeksis dalam akal budi [semacam idea] dan sesuatu ang eksis dalamrealitas. Ketika seorang pelukis membayangkan untuk pertama kalinya apayang ingin dia lukis, ia pasti memilikinya dalam benaknya. Tetapi,karena ia belum menorehkannya ke kanvas itu sendiri, he tidak berpikirlukisan itu sudah ada. Sekali ia melukis, bagaimanapun juga, ia idakhanya memiliki ide lukisan itu dalam benaknya tetapi juga ia tahu bahwa

novi te. Denique ad te videndum factus sum et nondum feci, propter quod factussum.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

14

lukisan itu telah benar-benar ada dalam realitasnya…13 (cetak tebaltambahan penulis)

Kalimat paling penting dalam Proslogion, “Aliquid quo nihil maiuscogitari possit,” didahului dengan “aku percaya.” Anselmus tidakmengklaim bahwa argumen tunggal tentang eksistensi Allah ini merupakanpenemuan akal budinya. Tetapi, selanjutnya, secara amat gemilang diamenegaskan bahwa “ketiadaan Allah” tidak mungkin semata karenaaktivitas akal budi tidak bisa memberi ruang untuk itu. Maka,

Allah tidak bisa dipikirkan tak mungkin ada. Allah adalah itu [Dia] yangtentangnya tiada apa pun yang lebih besar daripada-Nya dapat dipikirkan.Dia yang dapat dipikirkan tidak ada, pasti bukan Allah. Dan, Dia darisendirinya sungguh-sungguh ada, maka Allah tidak dapat dipikirkan tidakada. Sebab, mungkinlah memikirkan suatu ada [being] yang tidak dapatdipikirkan tidak ada. Dan Dia lebih besar daripada dia yang dapatdipikirkan tidak ada. Maka, jika Dia, yang tentangnya tiada apa pun yanglebih besar daripada-Nya dapat dipikirkan, dapat dipikirkan tidak eksis[ada], pastilah itu bukan Dia, yang tentangnya tiada apa pun yang lebihdaripada-Nya dapat dipikirkan. Tetapi, ini sebuah kontradisi yang takbisa dipahami akal budi. Maka, benar bahwa Allah [being] yang tentangnyatiada apa pun yang lebih besar daripada-Nya dapat dipikirkan, sungguh-

13 [Proslogion, 2:] Quod vere sit Deus. -- Ergo Domine, qui das fidei intellectum,da mihi, ut, quantum scis expedire, intelligam, quia es sicut credimus, et hoces quod credimus. Et quidem credimus te esse aliquid quo nihil maius cogitaripossit. An ergo non est aliqua talis natura, quia "dixit insipiens in cordesuo: non est Deus" [Ps 13,1; 52,1]? Sed certe ipse idem insipiens, cum audithoc ipsum quod dico: 'aliquid quo maius nihil cogitari potest', intelligitquod audit; et quod intelligit, in intellectu eius est, etiam si nonintelligat illud esse. Aliud enim est rem esse in intellectu, aliumintelligere rem esse. Nam cum pictor praecogitat quae facturus est, habetquidem in intellectu, sed nondum intelligit esse quod nondum fecit. Cum veroiam pinxit, et habet in intellectu et intelligit esse quod iam fecit.Convincitur ergo etiam insipiens esse vel in intellectu aliquid quo nihilmaius cogitari potest, quia hoc, cum audit, intelligit, et quidquidintelligitur, in intellectu est. Et certe id quo maius cogitari nequit, nonpotest esse in solo intellectu. Si enim vel in solo intellectu est, potestcogitari esse et in re; quod maius est. Si ergo id quo maius cogitari nonpotest, est in solo intellectu: id ipsum quo maius cogitari non potest, estquo maius cogitari potest. Sed certe hoc esse non potest. Existit ergo proculdubio aliquid quo maius cogitari non valet, et in intellectu et in re. (Cetaktebal adalah tambahan penulis)

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

15

sungguh eksis, bahwa Dia tidak dapat dipikirkan tidak eksis. Ada [Being]semacam ini, O Tuhan, ya Allahku, adalah Engkau sendiri. Maka, Engkausungguh-sungguh ada, O Tuhan, ya Allahku … Sebab, seandainya akal budidapat mengerti suatu ada [being] yang lebih baik dari-Mu, ciptaan akandapat mengatasi Sang Penciptanya; dan pengandaian ini amatlah absurd.Dan, memang, apa pun yang ada, kecuali Engkau sendiri, dapat dipikirkantidak eksis. Dari sebab itu, hanya kepada-Mu, milik segala apa yang ada,dan karenanya keberadaan-Mu jauh lebih tinggi daripada yang lain. Sebabapa pun yang ada dapat tidak eksis, maka yang ada semacam itu pastilahlebih rendah daripada yang eksis …14

Argumen ontologis Anselmus dalam sejarah rasionalitas mendapatbeberapa kritik – yang tidak hendak saya uraikan di sini karenaketerbatasan ruang – dari para filosof klasik di antaranya Descartes,Spinoza, Locke, Leibniz, Kant, Hegel, dan seterusnya.15 Anselmusmenunjukkan bahwa eksistensi Allah tidak perlu dibuktikan dari hal-hallain kecuali diri-Nya sendiri. Sungguhpun demikian, Anselmusmembutuhkan bahasa untuk “mendefinisikan” Allah agar “bukti” itu masuk14 [Proslogion, 3:] Quod non possit cogitari non esse -- Quod utique sic vere est,ut nec cogitari possit non esse. Nam potest cogitari esse aliquid, quod nonpossit cogitari non esse; quod maius est quam quod non esse cogitari potest.Quare si id quo maius nequit cogitari, potest cogitari non esse: id ipsum quomaius cogitari nequit, non est id quo maius cogitari nequit; quod convenirenon potest. Sic ergo vere est aliquid quo maius cogitari non potest, ut neccogitari possit non esse. Et hoc es tu, Domine Deus noster. Sic ergo vere es,Domine, Deus meus, ut nec cogitari possis non esse. Et merito. Si enim aliquamens posset cogitare aliquid melius te, ascenderet creatura super creatorem etiudicaret de creatore; quod valde est absurdum. Et quidem quidquid est aliudpraeter te solum, potest cogitari non esse. Solus igitur verissime omnium etideo maxime omnium habes esse, quia quidquid aliud est, non sic vere, etidcirco minus habet esse. Cur itaque "dixit insipiens in corde suo: non estDeus" [Ps 13,1; 52,1], cum tam in promptu sit rationali menti te maxime omniumesse? Cur, nisi quia stultus et insipiens? 15 Medieval Philosophers' Criticisms of Anselm's Ontological Argument for theBeing of God: René Descartes, from The Philosophy of Descartes in Extracts from His Writings.H. A. P. Torrey. New York, 1892. P. 161 et seq; Benedict Spinoza, from The ChiefWorks of Benedict de Spinoza. Translated by R.H.M.Elwes. London, 1848. VoI. II., P.51 at seq; John Locke, from An Essay Concerning Human Understanding. London: Ward,Lock, Co. P. 529 et seq; Gottfried W. Leibniz, from New Essays Concerning HumanUnderstanding. Translated by A.G. Langley. New York, 1896. P. 502 at seq;Immanuel Kant, from Critique of Pure Reason. Translated by F. Max Muller. New York,1896. P-483 et seq; Georg W.F. Hegel, from Lectures on the History of Philosophy.Translated by E. S. Haldane and F.H. Simson. London, 1896. Vol. III., p. 62 etseg. Source from: http://www.fordham.edu/halsall/basis/anselm-critics.asp (20February 2012).

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

16

dalam akal budi manusia. Tetapi, lebih dari sebuah diskursus rasional,Proslogion juga seolah sebuah buku doa yang melukiskan kedahagaannyasebagai seorang pencari kebenaran yang tiada lelah menyusuri lorong-lorong kesunyian untuk merasakan sentuhan cahaya ilahi. Dari Proslogion,kita lantas tahu bahwa dialog filsafat teologi juga berlangsung diruang-ruang doa, di dalam pergumulan batin, di saat-saat dahaga danhaus akan Air hidup, Kristus sendiri.

Yang juga harus disimak di sini ialah bahwa DFT Anselmian bukandalam rangka “melawan” kesesatan atau ajaran bidaah. DFT Anselmianlebih memaksudkan sebuah pergulatan seorang beriman yang merindukanpengenalan dan pengertian lebih mendalam akan Tuhannya, dan dengandemikian relasi cinta dirinya dengan Tuhannya.

4. THOMAS AQUINAS

Thomas Aquinas? Dialah yang dalam Tradisi Gereja Katolik – takdiragu-ragukan lagi – adalah persona dari DFT (dialog filsafat teologi)itu sendiri. Berlebih-lebihan menyebutnya demikian? Tidak. Aquinasmenuliskan apa saja yang menjadi bahan ajaran iman Gereja Katolik. Diajuga menelusuri segala tema yang menjadi milik peradaban Mediovale.Dia memiliki bahasa dan kalimat-kalimat jernih, detil, dan dalamlogika yang sangat ketat, ciri khas dari para filosof Mediovale.

Summa Theologiae adalah salah satu dari “Corpus” abadi. Bagi paramahasiswa yang bertekun mempelajari filsafat Thomas Aquinas, SummaTheologiae merupakan karya yang sistematis sekaligus dalam jalan pikiransederhana. Jika ada beberapa pengulangan, halnya dimungkinkan karenapembahasannya. Jika “masuk” di dalamnya, orang dijamin tidak akantersesat, karena keteraturan sistematikanya.

Summa Theologiae terdiri dari tiga bagian (bagian kedua terdiri daridua; dan bagian ketiga memiliki tambahan atau suplementum). Bagianpertama berbicara tentang ajaran-ajaran suci (dogma), seperti AllahEsa, Trinitas, penciptaan, malaikat, enam hari penciptaan, manusia,tata ciptaan. Sementara yang pertama dari bagian kedua (etika): tujuanakhir manusia, perbuatan manusiawi, semangat (nafsu), kebiasaan,keburukan dan dosa, hukum, rahmat. Kedua dari bagian kedua (keutamaanteologal): pengharapan, kasih, kebijaksanaan, keadilan, keberanian, ugahari, dan perbuatan yang menjadi milik manusia. Bagian ketiga berbicaratentang sakramen-sakramen, demikian juga suplementum bagian ini.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

17

Benarlah Thomas Aquinas ketika berkata bahwa Summa Theologiaemerupakan buku yang dimaksudkan untuk para “pemula” atau para “novis”(yang masih baru dalam beriman Kristiani). Inilah frase pengantarAquinas.

Karena pengajar kebenaran Katolik tidak boleh hanya mengajar para profes[mereka yang telah matang dalam iman], tetapi juga mengajar para pemula(seturut Rasul Paulus: ketika masih kanak-kanak dalam Kristus, Akumemberimu susu, bukan daging – 1 Kor 3:1-2), kami memaksudkan dalam bukuini [Summa Theologiae] apa saja yang menjadi bagian dari agama Kristiani,dalam cara sedemikian rupa sehingga memaksudkan pengajaran untuk parapemula. Kami memertimbangkan bahwa para murid dalam pengajaran ini tidakjarang dibingungkan oleh banyak hal yang telah mereka pelajari darianeka buku dari para pengarang lain. Kebingungan itu disebabkan sebagiankarena tumpang-tindihnya quesio [pertanyaan bahasan], artikel, danargumen yang tak berguna, sebagian lagi juga karena pembahasan-pembahasan tersebut yang memang membantu mereka untuk tahu, tidakdiajarkan menurut sistemasi pembahasannya melainkan menurut eksposisiisi buku yang memang menuntutnya atau juga karena untuk kepentinganargumentasi. Juga, sebagian yang lain lagi karena pengulangan-pengulangan yang sering membawa kekacauan dan kekurangjelasan padapikiran para pembacanya. Untuk mencegah hal-hal ini dan kesalahan-kesalahan lain yang semacamnya, kami akan mencoba, berkat bantuan Allah,untuk menyusunnya apa saja yang termasuk dalam ajaran suci ini seringkasdan sejelas mungkin sebagaimana mestinya.16

16 Quia Catholicae veritatis doctor non solum provectos debet instruere, sedad eum pertinet etiam incipientes erudire, secundum illud apostoli I adCorinth. III, tanquam parvulis in Christo, lac vobis potum dedi, non escam; propositumnostrae intentionis in hoc opere est, ea quae ad Christianam religionempertinent, eo modo tradere, secundum quod congruit ad eruditionemincipientium. Consideravimus namque huius doctrinae novitios, in his quae adiversis conscripta sunt, plurimum impediri, partim quidem proptermultiplicationem inutilium quaestionum, articulorum et argumentorum; partimetiam quia ea quae sunt necessaria talibus ad sciendum, non traduntur secundumordinem disciplinae, sed secundum quod requirebat librorum expositio, velsecundum quod se praebebat occasio disputandi; partim quidem quia eorundemfrequens repetitio et fastidium et confusionem generabat in animis auditorum.Haec igitur et alia huiusmodi evitare studentes, tentabimus, cum confidentiadivini auxilii, ea quae ad sacram doctrinam pertinent, breviter ac dilucideprosequi, secundum quod materia patietur. Teks Latin diunduh darihttp://www.corpusthomisticum.org/iopera.html (1 Januari 2012)

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

18

Pengantar Aquinas di Summa Theologiae ini memberi pelajaranberharga kepada kita: disiplin ilmu filsafat dan teologi mestidikembalikan kepada para murid “pemula” dalam iman. Artinya, anekadiskursus filosofis-teologis mesti mengabdi kepada peziarahan iman,makin mengokohkannya dan membawanya kepada kejelasan, kejernihan, dankepastian tentang ajaran iman.

Tanpa disadari, ilmu filsafat kerap kita diskusikan dalam ruang-ruang kelas dan seminar atau workshop dan kita kemas sedemikian rupahingga seolah-olah menjadi semacam “ilmu entah” yang membingungkandiri sendiri dan para pendengarnya. Aquinas dalam introduksi SummaTheologiae memberikan opini yang berbeda.

Ketika filsafat adalah ancilla theologiae, halnya menjadi demikiangamblang dalam Summa Theologiae. Sebab di dalamnya filsafat mengabdianeka uraian tentang depositum fidei Katolik. Filsafat Platonian danAristotelian menjadi semacam pembantu perempuan (ancilla) yang membantupembaca mampu melahirkan kejernihan baru tentang ajaran iman. Filsafattidak berdiri sendiri, melainkan menjadi semacam katarsis yangmemungkinkan sebuah reaksi perpaduan antara budi dan iman berlangsung.Dan, halnya berlangsung secara berkelanjutan, seolah sebuah peziarahantanpa batas.

Teologi, dalam Aquinas, bukanlah informasi doktrinal, melainkanreasoning yang tidak hanya sebuah pencerahan budi dan hati (seperti Visidari Sekolah Filsafat Driyarkara!) melainkan juga menjadi peziarahantransformatif. Dengan reasoning, Aquinas tidak memaksudkan bahwaberteologi itu pertama-tama perkara akal budi. Melainkan, berteologimeminta keterbukaan fakultas intelek terhadap kebenaran-kebenaran yangdiwahyukan.

Dalam Thomas Aquinas, ancilla theologiae tidak hendak mengatakanstratifikasi disiplin ilmu, seperti seolah-olah filsafat di bawah,sementara teologi ada di atas; atau filsafat itu seorang pembantu,sementara teologi itu tuan. Atau, apalagi halnya dimengerti secaranaif, ada dalam kotak profan (untuk filsafat), sementara teologi adadalam kotak suci. Distingsi profan-suci ini lebih berasal dariperspektif sosiologis. Jika Aquinas membaca Metafisika Aristoteles,halnya pasti tidak se-simplistis yang kita kira. Di hampir keseluruhanuraian Aquinas tentang sakramen, misalnya, bahasa metafisiAristotelian seolah berpadu secara mengagumkan di sana! Dan, apa yangkita duga mengenai tema-tema “participatio”, “communicatio”,“incommunicabilis”, “communio”? Di sana secara amat canggih Aquinasseolah mendulang “tambang filosofis” dari Plato.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

19

Memang benar, Aquinas tidak memandang bahwa filsafat merupakansebuah ilmu yang tuntas. Filsafat berada dalam kapasitas akal budi.Filsafat menjadi milik salah satu aspek esensial dari kehadiranmanusia, yang bernama rasio. Sungguhpun demikian, ketika Aquinasmelukiskan kebahagiaan surgawi, dia menggunakan ungkapan bahwa“sempurnanya pengenalan kita akan Allah”.

Teologi pada tempatnya memiliki konteks dan perspektif relasionaldengan kebenaran yang direvelasikan oleh Allah. Artinya, teologisangat mungkin memiliki bahan diskursus yang sama dengan filsafat,sebutlah “iustitia” (keadilan). Bedanya, jika filsafat membahaskeadilan dalam kodrat-nya (natura) dari konsep etis keadilan; sementarateologi mengurusnya senantiasa dari perspektif kebenaran revelasionalbahwa Allah menciptakan manusia untuk hidup baik dan dalam tatakeadilan (seperti dalam Kitab Suci).

Aquinas memiliki “intimitas” yang mengherankan dengan disiplinmetafisika. Metafisika mengurai tema-tema yang secara ekstrim amatpenting dan indispensable dalam teologi Aquinas, seperti: esse, actus-potentia,substantio-accidens, forma-materia, essentia-existentia, natura, quidditas, unum, bonum,verum, pulchrum, causalitas, dan seterusnya. Aquinas berterimakasih kepadametafisika Platonian yang membedakan realitas absolut (dunia idea) danrelasi parsialnya dengan realitas dunia ini. Dalam Plato kita tahubahwa yang disebut “realitas” yang sesungguhnya bukanlah yang kitalihat dan nikmati dengan indera kita di sini saat ini; “realitas” ituada di dunia sana (di dunia Idea), sementara yang ada semua ini fanadan akan segera lenyap. Aquinas memanfaatkan perspektif universalPlatonian ini untuk menguraikan eksistensi Allah dan relasinya denganciptaan-Nya.

Aquinas juga seorang murid yang genius dari filosof Aristoteles,ketika dia memanfaatkan konsep analogia entis dan membawanya kepadapembuktian akan eksistensi Tuhan. Secara singkat, prosesnya demikian.Allah adalah realitas yang tak mungkin bisa dijangkau oleh akal budimanusia. Tetapi, karena analogia entis, akal budi kita mampu “melihat”Allah dalam tata ciptaan-Nya. Analogia artinya sebagian sama sebagianberbeda; entis merupakan genetif dari ens (yang ada). Analogia entismemaksudkan pengalaman kita bukanlah sekedar positivistik yang tundukpada data-data inderawi, melainkan sebuah lukisan analogis untukrelasi kita dengan Allah. Dalam cetusan: Allah adalah batu karang-ku,misalnya, diajukan sebuah kebenaran bahwa ada sebagian sama dansebagian berbeda antara Allah dan batu karang (dari sendirinya bukanfifty-fifty!). Allah jelas bukan batu karang, tetapi Allah itu kokoh dan

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

20

kuat bagaikan batu karang. Analogia entis bukan sekedar sebuah permainanbahasa metaforik, melainkan menampilkan kecerdasan akal budi manusiadalam melukiskan siapa Allah bagi manusia.

Dalam peziarahan filosofis Aquinasian semacam inilah adagiumfilsafat sebagai praeambulum fidei mendapatkan maknanya. Filsafat disebutsebagai “introduksi iman” mungkin kurang simpatik di telingaHeidegger. Tetapi, dalam udara dan atmosfir Mediovale, halnya sebuahadagium revolusioner.

DFT dalam Thomas Aquinas, istimewanya dalam Summa Theologiae,mungkin dapat dikatakan mencapai kesempurnaannya. Hampir tidak mungkinlagi menambahkan sesuatu yang lain. Seolah-olah sejak Thomas Aquinas,filsafat sepertinya sudah selesai. Filsafat selanjutnya seolah sekedarsebuah pelajaran tentang filsafat Aquinas (barangkali juga teologi),lebih-lebih yang diajarkan di STFT-STFT. Traktat filsafat seolahhanyalah footnotes atau sekedar pengembangan dari tema-tema filsafatAquinas. Benarkah demikian?

Saya berpendapat dengan penuh keyakinan, tidak demikian! Aquinassendiri – menurut saya – tidak berambisi untuk “menghentikan”peziarahan filosofis-teologis para penerusnya. Andai filsafat-teologisThomas Aquinas adalah ketuntasan dari peziarahan budi dan iman, kitasemua keliru dalam menduga kecemerlangannya. Aquinas tidak bermaksudmendogmatisir filsafat-teologisnya. Hal yang semacam ini sering kurangdipahami, sayangnya!

Ambil saja statement Aquinas dalam introduksi Summa Theologiae.Menurut Aquinas sendiri, orang beriman kepada Kristus memiliki tahapanperkembangan: ada yang “novis” lantas menjadi “profes”. Secarasederhana kita bisa membayangkan bahwa tahapan perkembangan pastilahbukan sekedar mengatakan usia natural. Perkembangan juga berkaitandengan konteks peradaban, tantangan zaman, tanda-tanda perubahan tatakehidupan, gejala-gejala alam, pergulatan ekonomi, jatuh bangunnyakebudayaan, konteks religiusitas setempat, hiruk pikuknya socio-politis, dan seterusnya. Artinya, filsafat teologi Aquinas masihmembuka ruang seluas-luasnya bagi peziarahan baru dialog filsafatteologi (DFT) dalam cara-cara yang lebih kontekstual dantransformatif. Atau, dalam Questiones Disputatae Aquinas menampilkan sebuahaktivitas berdialog dengan persoalan-persoalan zamannya. Karya yangkerap menjadi rujukan bagaimana filsafat skolastik mendapatkancetusannya ini menjadi contoh bahwa berfilsafat berarti bergulatdengan perkara-perkara kontekstual. Peziarahan pergulatan DFT harus

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

21

terus baru seiring dengan perkembangan peradaban yang terus bergulirke tahapan kehidupan yang baru!

5. PEZIARAHAN MODERN

Dari Paulus, Agustinus, Anselmus, dan Aquinas sepintas di atas,dialog filsafat teologi (DFT) memiliki tradisi panjang. Mula-mula DFTberlangsung di wilayah “pastoral-kateketik” (Paulus), tetapi kemudianmasuk ke panorama metafisik ajaran iman Katolik. Pada gilirannya diperadaban modern, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan danperubahan societas, DFT juga akan bersitegang dengan peradaban ilmiah-empirik-antropologis.

Tradisi modern Katolik mengenal sejarah pergumulan DFT yang menarikuntuk disimak. Dengan “modern” saya maksudkan periode historis sesudahRevolusi Perancis (sementara dalam filsafat modernitas mulai denganDescartes). “Sesudah Revolusi Perancis” merupakan periode dimanasecara historis Gereja Katolik tidak lagi identik dengan kekuasaanmonarkhial. Gereja berhadapan muka secara nyata dengan perkembangansocietas dunia baru. Periode ini mengukir kehadiran diskusi filosofis-sosial yang amat kental, yang secara perlahan tetapi meyakinkanmenggulirkan prinsip-prinsip negara demokrasi modern.

Ciri khas peradaban modern ialah kebenaran tidak mungkin lagi“dipatenkan” oleh institusi mana pun (baik kekuasaan politis maupunagamis), bahkan tidak dalam struktur ketat logika rasio sepertiperiode Mediovale. Kebenaran tidak dimiliki oleh siapa pun. Atmosfirsemacam ini – dari sendirinya – menggusur kegelisahan Anselmianmengenai the fool yang tidak mengakui eksistensi Allah. Inilah yang sayamaksudkan, bahwa filsafat teologi Aquinasian yang begitu lengkap dansempurna sekali pun tidak menuntaskan peziarahan DFT.

Bagaimana DFT berlangsung dalam sejarah pergumulan baru?Perkembangan ilmu pengetahuan empirik baik di wilayah sosial maupunnatural merebut popularitas filsafat skolastik secara mengejutkan.Bermunculanlah ilmuwan-ilmuwan sosial yang secara dramatis menggeserpara profesor filsafat skolastik.

Sebenarnya sudah pada abad ke-17, Descartes tidak lega dengancara-cara mengajar dari Romo Yesuit, yang dikatakannya sebagai canggihdalam logika tetapi tidak ada yang baru sama sekali. “Tidak ada hal

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

22

baru” di sini maksudnya, bahwa jika orang belajar filsafat skolastik,dia akan diajak untuk mempelajari filsafat yang sudah ada dalamtraktat-traktat kuno semacam Aristoteles punya atau Thomas Aquinaspunya atau Anselmus punya atau Petrus Abelardus punya!

Saya masih ingat bagaimana Santo Vincentius (yang hidup padazaman Descartes) tidak suka terhadap seorang imam CM-nya yang mengajardi seminari, karena dosen itu menulis traktat filsafat. Alasan yangdikemukakan oleh Vincentius: “Sudah ada traktat filsafat yang tak bisadiragukan lagi, yaitu dari Santo Thomas Aquinas!” Pengalaman kecil inimengindikasikan sebuah sejarah pergumulan DFT yang secara nyata selesaidalam filsafat skolastik. Artinya lagi, dalam atmosfir filosofisketika itu, yang disebut belajar filsafat ialah belajar tentang apayang merupakan diktat-diktat kuno tersebut. Dengan demikian, jika kitabelajar filsafat skolastik memang kita hanya “mengulang-ulang”kebenaran lama. Tidak ada yang baru sama sekali.

Descartes-lah yang terlebih dulu merasa bosan dengan “caramengajar” para profesor Yesuit ahli filsafat skolastik. Dan,mengejutkan, dari Descartes kita lantas mengenal bahwa yang disebutfilsafat pertama-tama adalah filsafat tentang metodologi, filsafat yangmencari cara-cara baru untuk meraih kebenaran-kebenaran baru (dantentu saja, pertama-tama dikerjakan dengan metodologi menyangsikankebenaran-kebenaran lama!)

Sebenarnya, secara filosofis, inilah hebatnya para profesorYesuit pada waktu itu. Mereka mengondisikan “kebosanan Cartesian”, dandengan demikian filsafat skolastik dari para profesor Yesuit ikut pulamembentuk filsafat Cartesian, meskipun hal itu berada dalam wilayah“kebosanan”. Pengalaman Descartes ini membuat saya berpikir,sebenarnya mengajar filsafat yang baik itu seperti apa? Membuatmahasiswa puas atau bosan? Ah, daripada berpikir ini, lebih baikmelanjutkan panorama peziarahan modern.

***

Periode sesudah Revolusi Perancis “kebosanan” pada filsafatskolastik memuncak secara amat dramatis di kalangan para filosof. Parailmuwan sosial mendeklarasikan diri mereka sebagai pemegang patenkebenaran-kebenaran baru dalam cara-cara metodologis positivistik yangbelum pernah ada sebelumnya. “Belum pernah ada sebelumnya” memaksudkan

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

23

bahwa metodologi mereka tidak ada di ruang-ruang kelas filsafatskolastik. Auguste Comte hanyalah salah satu dari banyak nama yangmenggelorakan sebuah pendekatan baru yang mencengangkan, yang bernamasosiologi positivistik.

Bagaimana teologi bisa survive dalam dialog yang didominasi olehketerpukauan akan hadirnya ilmu baru ini? Seorang teolog di Sorbonne,di abad sebelumnya Antoine Arnould bahkan merasa berkepentingan untukmengadopsi filsafat baru (filsafat Cartesian) yang merebut popularitasperadaban ini dalam teologinya.

Di sinilah awal dari “periode kritis” dalam sejarah DFT. Di sinipula terjadi sebuah asimilasi dalam cara baru yang mencengangkanperihal apa yang disebut refleksi teologis. Berteologi tidak lagi dijalankandalam jalur-jalur Platonian atau Aristotelian, melainkan bersinggungandan bersitegang dengan ilmu baru. Puncaknya ketika Kantmendeklarasikan Kritik der reinen Vernunft. Ketika Kant “menafikan” pengalamaninderawi terhadap realitas segala yang ada, teologi metafisisKristiani mengalami krisis berat. Sebab, persis, teologi Kristianiberangkat dari metafisika Entis (bukan mentis). Artinya, teologiKristiani bergerak dalam lapangan real yang diangkat pada tataranmetafisi. Sementara Kant “mengekskludir” kebenaran dari pengalamanreal tersebut.

Thomas Aquinas (dalam Summa Theologiae) mengajar bahwa refleksitentang Tuhan dimulai dari keheranan metafisis akan motus (gerak).Artinya, dari kebenaran bahwa segala yang bergerak pastilah digerakkanoleh yang lain, ditarik abstraksi kebenaran: pastilah ada PenggerakPertama yang tidak digerakkan oleh apa pun; dan Penggerak Pertama itubernama motor immobilis; dan Motor Immobilis inilah yang disebut dengan Tuhan.

Sesudah revolusi Perancis para ilmuwan sosial mendobrak kebekuanskolastik yang tak pernah membuka cendela saat kuliah berlangsung.Para pembelajar filsafat seolah tak pernah melongok ke luar danmelihat realitas di luar kelas-kelas, yang dihuni oleh paragelandangan dan orang-orang miskin terlantar.

Maka, pertanyaan para ilmuwan sosial ketika itu bukan “bagaimanacaranya membuktkan adanya Tuhan?” tetapi “dimana Tuhan-mu?” Pertanyaankedua bukan pertanyaan spekulatif yang menggugat eksistensi Tuhan,melainkan sebuah pertanyaan yang menyoal efektivitas iman kepadaTuhan. “Efektivitas iman” memaksudkan hal apakah beriman kepada Tuhanitu memberikan transformasi diri dan societas. Di sini, perihalEksistensi Tuhan tidak penting (untuk dipersoalkan secara filosofis),

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

24

seolah demikian; yang terpenting adalah relevansi iman dengan perkarakemiskinan dan ketidakadilan.

Tersebutlah pada waktu itu seorang mahasiswa Katolik yang brilianbernama Frederic Ozanam yang rajin melakukan diskusi-diskusi sosialdengan teman-teman kampusnya. Ozanam ditantang oleh para mahasiswayang lagi keranjingan ilmu baru itu, “buktikan jika Tuhan-mu memangada! Bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan nyata!” Ozanam,seorang mahasiswa sastra dan filsafat di Sorbonne, malam itu tidakbisa tidur, dia bertanya-tanya, bagaimana membuktikan adanya Tuhandengan perbuatan. Esok harinya dia bangun, dan menghubungi seorangsuster Puteri Kasih, bernama Rosalie Rendu yang mengajaknyamengunjungi orang miskin. Ozanam lantas mengajak teman-temannya untukmelakukan yang sama. Dia mendirikan SSV (Serikat Sosial Vinsensius),yang menjadi emblem refleksi teologis-praktis dari seorang mahasiswaKatolik. Walaupun yang dikerjakan Ozanam tidak baru, gerakan sosialyang dipondasikan pada iman Katolik-nya ini mengubah cara-cara barurefleksi teologis. Iman tanpa perbuatan adalah mati!

Dimana-mana di seluruh Eropa (yang pada waktu itu identik dengandunia kekristenan) terjadi pergeseran yang mencengangkan. Refleksimetafisis skolastik masih tetap diberikan di kelas-kelas filsafat,tetapi terpepet menjadi sekedar sebuah studia requisita bagi para seminarisuntuk tahbisan imamat mereka. Dalam kenyataannya refleksi imanbergulat dengan realitas keterpurukan peradaban dalam banyakkemiskinan dan kemelaratan. Orang miskin mengetuk pintu-pintu gerejadan biara-biara. Dan, tak mungkin Gereja tidak membuka pintu untukmereka. Dalam atmosfir keterpurukan semacam ini tema metafisis tentanglima jalan pembuktian eksistensi Tuhan tergeser oleh aneka refleksi teologisgerakan-gerakan sosial yang mengibarkan bendera perubahan tatakeadilan dunia.

***

Paus Leo XIII, seorang filosof, menyadari keterpurukan zaman itu.Di tahun 1891 ia menuliskan sendiri ensiklik yang amat terkenal dankelak menjadi pondasi dari “keagungan” refleksi DFT hingga hari ini.Ensiklik tahun 1891 itu bernama Rerum Novarum (hal-hal baru).

Leo XIII tidak gegabah. Dia tidak mengadopsi perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat baru. Tetapi, dia

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

25

melahirkan sebuah “metodologi refleksi teologis baru” yang kelak akanmenjadi pondasi kokoh dari apa yang disebut Ajaran Sosial Gereja! Asaldiketahui, dengan berkata “ajaran sosial,” Gereja seolah tampilsebagai pengusung metodologi refleksi filosofis-teologis baru, untukmemosisikan diri sebagai yang tidak ketinggalan zaman (tidakketinggalan kereta peradaban yang diusung oleh ilmu-ilmu sosial ketikaitu).

Dari sudut pandang filsafat sosial, Rerum Novarum tidak baru.Tidak ada revolusi sosial yang didesain oleh Ensiklik ini. Tetapi,dari sudut pandang teologis, Rerum Novarum sungguh revolusioner. Disebutrevolusioner, sebab berteologi ala Rerum Novarum berarti beriman secaraefektif, dengan melibatkan diri pada perkara-perkara sosial yangaktual. Beriman kepada Tuhan berarti harus pula ambil bagian dalamtata dunia baru yang lebih adil, manusiawi, kristiani. Buruh harusmendapatkan hak gaji layak yang diperlukan untuk hidup baik. Tatakerja harus menampilkan perlakuan yang manusiawi. Kerakusan danketamakan yang menjadi logika kapitalisme harus dihentikan.

Leo XIII adalah penerus dari Pius IX yang menerbitkan daftar bukularangan untuk dibaca, namanya Syllabus Errorum (1864). Dan, aneka bukuilmu-ilmu filsafat sosial terbaru yang lagi mendapatkan popularitasnyapada waktu itu, tidak boleh meracuni akal budi orang-orang Kristiani.Bagaimana Leo XIII melanjutkan semangat Pius IX ini? Leo XIIImenerbitkan ensiklik yang sudah pasti dilupakan oleh para seminaris,namanya Aeterni Patris (1879).

Ensiklik Aeterni Patris inilah yang untuk pertama kalinya mewajibkanfilsafat skolastik diajarkan di seminari-seminari tinggi. KembaliThomas Aquinas menempati ruang-ruang hangat diskusi filsafat di dalamGereja Katolik. Namun, tidak bisa disangkal perubahan zaman telahdemikian cepat, terutama berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan duniapolitik serta pemahaman tentang societas dunia. Filsafat skolastik punmendapat warna baru, prinsip-prinsip kemanusiaan dan hidup bersamadigali agar Gereja bisa ambil bagian dalam tata dunia baru.

***

Adagum filsafat sebagai ancilla theologiae merupakan produk darifilsafat skolastik. Terminologi ancilla merupakan istilah yang dicetuskanoleh Sokrates, tatkala dia sebagai salah satu sophis yang amat populer

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

26

waktu itu mencecar para ahli dengan aneka pertanyaan rasional logissedemikian rupa sampai yang ditanya mampu “melahirkan” kebenaran baruyang genuine. Cara berfilsafat sokratian menurun kepada Plato danAristoteles. Berbeda dengan Sokrates, Plato dan Aristotelesmengembangkan tema-tema filsafat jauh melampaoi apa yang digagas olehgurunya. Logika, metafisika, fisika, retorika, etika, politika, bahkananimalia, dan seterusnya menjadi tema-tema yang dari disiplin ilmuyang disebut filsafat. Dari para filosof itulah filsafat menjelmamenjadi ilmu pengetahuan tentang segala apa yang ada atau yang ada itusendiri.

Mahasiswa filsafat di tahun pertama studinya akan diinformasikan,bahwa filsafat adalah ilmu yang mempelajari (segala) yang ada dari sudutpandang yang terdalam.

Yang tidak dikatakan (dengan cukup jelas) ialah tentangmetodologinya! Metodologi yang kerap dikatakan untuk filsafat “jenis”ini (filsafat yang mempelajari segala yang ada) ialah spekulatif,rasional, logis, koheren. Tentu saja bagi mahasiswa yang kritis, akantimbul pertanyaan, mungkinkah sebuah metodologi diaplikasikan untukmendekati segala apa yang ada? Adakah metodologi untuk segalanya?

Pertanyaan tentang metodologi semacam ini kurang relevan dalamfilsafat skolastik. Sebab filsafat skolastik merupakan aktivitasrasional yang tunduk pada logika dan pemaknaan terminologi. Artinya,filsafat skolastik adalah filsafat yang “sudah” memiliki kebenaran-kebenaran, tinggal bagaimana mengomunikasikannya, dan bagaimanamemahaminya secara rasional atau bagaimana memertanggung-jawabkannyasecara filosofis. Artinya lagi, dalam filsafat skolastik, tidakdiperlukan lagi metodologi pencapaian kebenaran-kebenaran barumengenai objek yang baru. Tidak ada objek baru dalam filsafatskolastik.

Dalam konteks rasional semacam inilah, filsafat skolastikdipegang teguh oleh Gereja Katolik. Dan, Aeterni Patris adalah ensiklikyang “mematenkan” kepentingan dan kebenaran bahwa iman haruslahkoinsiden dengan akal budi; bahwa iman bukanlah irasional; bahwa imanbukan superstisius (takhayul); bahwa iman kompatibel dengan akal budimanusiawi.

Konteks historis Aeterni Patris tidak bisa dipisahkan dari kenyataanbahwa modernisme telah menggempur kehidupan iman dari segala penjuru,baik rasional maupun sosial-politik. Tentu saja kepentingan Aeterni Patrisadalah kepentingan formasio intelektual. Rasionalitas dari para

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

27

putera-puteri Gereja jangan sampai diracuni oleh modernisme. Denganmodernisme dimaksudkan keseluruhan dari “realitas baru” yang dibawaoleh aneka ideologi ekonomis-politis, ilmu pengetahuan, kebudayaan,dan tentu saja filsafat.

***

Aeterni Patris diaplikasikan secara dramatis dalam apa yang disebut“Sumpah melawan Modernisme” (1910) oleh pengganti Leo XIII, yaitu PiusX. The Oath against Modernism berada di bagian kedua dari Motu ProprioSacrorum Antistitum (1910). Antipati Gereja Katolik terhadap modernismesudah ditampilkan dalam beberapa dokumen sebelumnya, seperti dekritLamentabili sane exitu (July 3, 1907) dan Ensiklik Pascendi dominici gregis(September 8, 1907) dari Pius X. Giuseppe Sarto, demikian nama dariPius X, adalah seorang putra Gereja yang sederhana, rendah hati, dansuci. Dia sosok pemimpin Gereja yang tipikal, lahir dari keluarga miskin,memiliki devosi yang mendalam akan Ekaristi. Tetapi, harus diakui,revolusi DFT yang dibawanya, jika dibaca dalam kacamata perspektifsaat ini, kelihatan emosional. Dialog filsafat teologi sudah barangtentu berhenti seiring dengan sumpah melawan modernisme yang harusdiucapkan oleh setiap dosen di seminari tinggi, setiap imam, Uskup,frater, diakon, pejabat Gereja, bahkan seorang lektor dalam Ekaristitak ketinggalan. Gereja terdesak oleh gempuran modernisme, dan iamenanggapinya dengan mengokohkan “gerakan devosional” dengan berkata“no” terhadap filsafat modern dengan segala imbasnya.

Sumpah ini masih dijalankan sampai periode Konsili Vatikan II,ketika Gereja “berdamai” dengan modernisme. Bukan berdamai dalam artiberpelukan, maksud saya, melainkan “berdialog”.

***

Tetapi, ketika kesadaran akan tantangan perkembangan ilmu-ilmumodern tidak bisa dielakkan, seraya memerkokoh plantatio ecclesiae (strategigerakan misioner untuk memanamkan Gereja di segala tempat di dunia),Benediktus XV, pengganti Pius X, menuliskan perkembangan baru yangmenarik.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

28

Benediktus XV menulis Ensiklik Maximum Illud (1919) yang mendorongagar di seminari-seminari diberikan juga ilmu-ilmu profan, disamping ilmusuci. Dan, hebatnya, yang disebut “seminari” di sini bukan hanya diEropa, melainkan juga di daerah-daerah misi. Maximum Illud adalah emblemrevolusioner di dalam sejarah Gereja, sebab calon-calon imam daridaerah misi “tidak perlu” lagi dibawa ke Eropa untuk menjalanipendidikan imamat, melainkan agar dididik di tempatnya masing-masing.

Ada dua hal yang patut dicatat sebagai semacam garis bawah yangindah dalam “revolusi” seminari ala Benediktus XV ini: Pertama, masuknyailmu-ilmu profan dalam kurikulum seminari; dan kedua, pendirianseminari-seminari di wilayah-wilayah misi yang mengukir strategi barudalam pendidikan calon imam dan dari sendirinya DFT memiliki panoramakontekstual yang “baru”.

Mengenai yang pertama (masuknya ilmu-ilmu profan dalam kurikulumseminari), dari sendirinya terjadi “peristiwa rasionalitas” yang baru.Ilmu profan yang dimaksudkan di sini adalah ilmu-ilmu tentang manusiadan kebudayaan, seperti antropologi dan sosiologi. Sungguh sebuahpergesaran yang mencengangkan untuk periode waktu itu.

Benediktus XV adalah Paus yang kerap disebut sebagai “Pemulihperadaban kekristenan Eropa” yang dilanda Perang Dunia I, sebuahperang yang tidak berlangsung di dunia melainkan di Eropa. Bagaimanamemulihkan peradaban kekristenan? Gereja mesti mempelajari ilmu-ilmubaru. Dalam terang semangat Benediktus XV, filsafat skolastikdiberikan berdampingan dengan ilmu-ilmu yang menganalisis kondisi-kondisi sosial dan kultural manusia-manusia.

Perihal poin kedua, makna pendirian seminari-seminari di tanahmisi, bagaimana memahaminya? Tentu saja, disini Gereja tidak sekedarmendorong agar ada banyak seminari didirikan, melainkan agar Gerejamisioner makin memikirkan cara-cara baru dalam berteologi yang“bersentuhan” dengan konteks kultural dunianya. Sungguhpun belumsistematis, Maximum Illud telah mengukir sebuah upaya kontekstualisasiberteologi (atau kontekstualisasi formasio). Jika sebuah seminarididirikan di Cina, misalnya, kurikulumnya pastilah tidak mungkinmenanggalkan bahasa Cina. Artinya, karakter kultural-antropologissetempat pastilah mewarnai formasio para seminarisnya. Sebab, paraseminaris pasti tidak bisa “dicerabut” dari akar budaya dan terutamadari bahasa-nya.

Inilah sebabnya, Maximum Illud tampil bagaikan “cetak biru” pertamatentang bagaimana kontekstualisasi berteologi, lebih daripada sebuah

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

29

strategi, adalah sebuah panggilan Gereja itu sendiri! Atau, mungkinlebih tepat, kontekstualisasi formasio.

DFT pada periode sesudah Maximum Illud tak mungkin lagi bisadireduksi pada wilayah konteks skolastik. Maksud saya, DFT tidak lagisekedar dijalankan di ruang-ruang kuliah dalam banyak seminar atauceramah, melainkan di ruang-ruang kehidupan sehari-hari. Artinya,katekese dan pastoral Gereja berada dalam pergumulan dengan karakterkultural setempat. Dalam konteks inilah van Lith SJ mengukir sebuahsejarah. Van Lith melakukan apa yang disebut “formasio kultural”bangsa Indonesia. Jan Woters CM mengaplikasikannya dalam cita-citainkulturatif bersama Ir. Maclaine Pont dalam pendirian GerejaPohsarang di Kediri, sebuah Gereja yang tak lagi berkiblat pada segalakultur devosional Eropa melainkan Jawa. Di Cina, Vincent Lebbe CMterpaksa merasa “diusir” oleh komunitasnya karena upaya-upayakontekstualisasi formasionya yang tak kunjung dipahami oleh sesamasekomunitas.

DFT bagai bola salju yang menggelinding dan terus makin besarranah perkaranya. Ensiklik Rerum Ecclesiae (1926) tentang karya misiGereja Katolik dari Pius XI meneguhkan kepentingan ilmu-ilmu yangmembantu Gereja memahami kebudayaan manusia. Pendirian gereja-gerejadi banyak wilayah misi menggelorakan semangat baru untuk berdialogdengan konteks setempat. Antropologi dan sosiologi mendapat tempatterhormat di kelas-kelas seminari tinggi.

Tetapi era tiga puluhan dan empat puluhan membuat Gereja sadar,tak mungkin “mengambil jarak” dari negosiasi politik. Gereja takmungkin mengambil posisi acuh tak acuh terhadap bencana baru, yangbernama perang ideologi. Perang ideologi bukanlah perang antarkonsep,melainkan perang antarmanusia. Belum pernah terjadi sebelumnya dalamsejarah, manusia berperang satu sama lain karena sebuah ideologi. Ilmupengetahuan pun diabdikan pada kepentingan ideologi. Konsep-konseptentang negara juga tunduk pada sebuah ideologi. Nyaris, ketika itu,tidak ada lagi filsafat, yang ada adalah ideologi. Dalam konteks ini,Sri Paus yang sama mengeluarkan Surat Mit brennender Sorge, yang melawanideologi represif dari NAZI Jerman.

Mit brennender Sorge (1937) dari Pius XI mengukir sebuah DFT baru,bahwa berteologi tidak mungkin dilucuti dari paradigma sosial politikmasyarakat. Mit brennender Sorge (dengan keprihatinan mendalam) merupakanEnsiklik yang menandai perlawanan Gereja terhadap ideologi politikrepresif dalam tata hidup manusia. Meskipun belum mendapatkan namaberteologi politik, kita tahu bahwa pesan amat kuat ditorehkan dalam sejarah

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

30

pergumulan DFT ketika itu. Seminari-seminari tidak hanya belajarfilsafat sebagai sebuah “olah pikir” melainkan juga perlu masukkedalam “alam pikir” zaman dan peradaban manusia. Dalam konteks iniGereja ambil bagian secara perduli kepada restorasi pemaknaan manusia.Manusia tidak boleh dan jangan sampai tereduksi pada ideologi.

Filsafat politik pun bukan hal tabu lagi untuk dipelajari dalamkurikulum seminari. Sungguhpun metodologi dan ranah ilmu ini belumterjelma secara gamblang, indikasi “keterbukaan” Gereja terhadap ilmuini tak bisa lagi dibendung. Ensiklik Pacem in Terris (1963) adalah salahsatu puncak DFT yang memiliki implikasi sangat luas, mondial. Bayangkan,Paus Yohanes XXIII sampai menawarkan tata dunia baru yangmempromosikan jembatan perdamaian antarbangsa. Secara mudah kita tahudengan baik bahwa konteks Ensiklik ini adalah pertikaian antarblok,Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Tetapi, Ensiklik iniberbeda dari sebelum-sebelumnya, menampilkan wajah DFT yang secarategas menggalang perdamaian dunia. DFT di dalam Gereja kini seolahmemasuki gerbang baru, gerbang mondial!

Untuk pertama kalinya DFT diusung tidak lagi dalam ruang-ruangkelas, pun tidak dalam maksud untuk katekese atau plantatio Ecclesiae,melainkan dalam percaturan tata dunia. Inilah wajah Gereja yangglobalized untuk pertama kalinya tampil. Gereja hidup di dunia, bersuarauntuk dunia, bukan untuk dirinya sendiri. Dalam Pacem in Terris, seorangpemimpin Gereja adalah pemimpin dunia! Gereja ada di dalam dunia, makaGereja mengabdi kepentingan dunia!

***

Konsili Vatikan II adalah konsili yang menampilkan wajah barusama sekali dari Gereja Katolik dari banyak aspek peziarahannya. Dan,dari sendirinya DFT tidak mungkin lagi direduksi dalam satu ruang kelasfilsafat teologi skolastik, seperti diusung oleh Aeterni Patris. Wajah baruGereja itu diukir dengan bagus sekali oleh Gaudium et Spes, saat deklarasitentang “identitas” siapa putra-putri Gereja. Di Konstitusi Gaudium etSpes, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan putera-puteri duniaadalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan putera-puteriGereja (artikel 1).

Identitas Gereja ditemukan dalam dunia. Pergumulan manusia-manusia penghuni dunia adalah pergumulan Gereja. Demikian refleksi

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

31

teologis-filosofis mendapatkan identitas baru pula. Metodologi DFTadalah metodologi yang harus menyentuh konteks dunia.

Gaudium et Spes merupakan dokumen yang menampilkan sebuah panoramadimana Gereja “berpelukan” dengan dunia modern. Seratus satu tahunsilam (1864), Paus Pius IX mengeluarkan Syllabus Errorum (pelarangan atasaneka produk dunia modern), kini tahun 1965 Paulus VI mengeluarkanKonstitusi yang mengatakan bahwa kegembiraan dunia (modern) adalahkegembiraan Gereja; kecemasan dunia adalah kecemasan Gereja.

Dari sendirinya DFT merangsek pada temuan-temuan metodologis yangmakin membuat Gereja memasuki dunia kecemasan, kemiskinan,keterpurukan dari manusia-manusia. Untuk kepentingan penguasaanmetodologi, kelas-kelas filsafat di seminari tinggi mulai membuka diriterhadap fenomenologi-eksistensialisme, teori kritis, analisissosialis-marxis, posstrukturalisme, posmodernisme, teologiantropologis, pendekatan-pendekatan sosiologis kuantitatif-kualitatif,dan analisis linguistik. Perkembangan disiplin metodologis ini tidaksekedar dipelajari untuk diaplikasikan dalam aneka penelitian danrefleksi, melainkan juga dikritisi secara seimbang.

Tidak berhenti di sini, Gereja mengulurkan tangan dan membukahati untuk berdialog dengan siapa pun yang berkehendak baik.Konsekuensinya, DFT adalah dialog yang tidak mematok kepentingan-kepentingan, seperti pengotakan dalam “bidaah-bidaah” atau“kesesatan”, dan seterusnya. Dialog bukan strategi, melainkan kehadiranhidup itu sendiri. Artinya, dalam dialog, bahasa memegang peran sangatsentral. Tidak dimungkinkan lagi bahasa sesat atau bidaah. Sebabseandainya kriteria sesat dan bidaah di-upload, tidak bisa dibayangkanterjadi suatu dialog. Dan, dalam konteks inilah DFT memasuki ranahbaru yang menantang tetapi perlu: dialog interreligius.

***

Jika KV II mendorong putra putri Gereja untuk menyimak tanda-tanda zaman, DFT pasti tidak sekedar ada di ruang-ruang kelas. DFTharus berlangsung dalam kancah pergulatan sosial, ekonomi, politik,pendidikan, perdagangan, ilmu pengetahuan dan teknologi, emigrasi,komunikasi, human trafficking dan seterusnya.

Pada wilayah pergulatan ini, teologi berjumpa denganketerbatasannya; demikian pula filsafat. Keduanya menjumpai

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

32

keterbatasannya, maksudnya: keduanya membutuhkan sumbangan produk-produk ilmu lain, seperti sosiologi (untuk memahami apa yang sedangberlangsung di dalam masyarakat), ekonomi (untuk mengerti skema-skemaketidakadilan dan perkara perdagangan), kedokteran (untuk memasukidialog pergumulan perkara etis soal hidup/mati manusia), psikologi(untuk menyelami mentalitas dan karakter masyarakat), politik (untukambil bagian dalam tata kelola kehidupan bersama), dan seterusnya.Inilah sebabnya di dalam kurikulum seminari tinggi, tidak bolehdinafikan kehadiran ilmu-ilmu pendukung, terutama yang langsungberkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.

KV II juga mengusung sebuah semangat dan sekaligus perspektifmetodologis, yaitu Aggiornamento. Istilah ini berasal dari bentukan duakata oggi (hari ini) dan giorno (hari). Sungguhpun memaksudkan semangatuntuk menghari-inikan ajaran dan khasanah iman Katolik, Aggiornamentomendorong pula tampilnya metodologi baru. Dari sendirinya tidak adametodologi tunggal, sebab perkembangan ilmu pengetahuan terus berubahsetiap hari.

Ambil contoh, pada zaman Quadragessimo Anno (1931) dipopulerkanskema yang menjadi paradigma berteologi Ajaran Sosial Gereja. Skema itukita kenal dengan istilah See, Judge, and Act. Secara singkat, paradigma inibisa dipahami demikian. Pertama-tama kita diajak untuk memilikipengalaman (menyimak realitas), kemudian masuk dalam refleksi danpemeriksaan atas pengalaman tersebut dalam terang iman, dan akhirnyakeseluruhan proses ini bermuara dalam tindakan. Berteologi dengan katalain bukan sebuah aktivitas akal budi saja, melainkan suatu keterlibatan diri seutuhnya.

Skema berteologi semacam ini tampaknya sederhana. Tidaklahdemikian seiring dengan perkembangan mentalitas dunia dan ilmupengetahuan. Dalam aktivitas berteologi to see, kita tidak boleh gegabahmemahaminya sebagai semacam aktivitas melihat dengan mata atau lewatpengalaman live in atau exposure semata. Pun tidak hanya berupa sebuahpenelitian dengan menyebarkan quesioner atau observasi material-positivistik (data materi peristiwanya). Berteologi to see mengandaikansedekat mungkin penelaahan realitas sebagaimana adanya, seperti yangmenjadi pergumulan subjek dari perspektif pandangan dunianya.

Demikian juga dengan to judge. Tahap berteologi ini memintakekompleksan dalam analisis. Disiplin ilmu seperti sosiologilinguistik atau sosiologi simbolik atau sosiologi interpritif menjadiruang-ruang penjalajahan rasionalitas baru yang tidak bisaditinggalkan. Tentu saja, to judge juga mengandaikan cara-cara pemahaman

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

33

yang lebih mendalam tentang Tradisi iman sebagaimana diwariskan olehpara Bapa Gereja dan ajaran para Paus dan filsafat skolastik.

Ketika berteologi tidak sempurna jika belum sampai kepada to act,halnya tentu tidak sekedar sebuah tindakan gampangan, seperti memberisedekah umpamanya (dalam konteks kemiskinan). Tahapan to act dewasa inimembutuhkan cara-cara baru yang memromosikan dialog dan kerjasama.Sehingga, isu-isu yang berkaitan dengan to act memroduksi pula skema-skema baru dalam tata hidup Gereja, seperti action yang membebaskan,memberdayakan, memerdekakan, merukunkan, mengubah tatanan strukturaldan seterusnya. Dialog interreligius menjadi seolah sebuah keharusan dalamDFT. Pendek kata Aggiornamento telah mendorong DFT memasuki ranah yangsudah tidak mungkin lagi dipatok dalam satu jurusan skema. DFT mematriaktivitas-aktivitas menyeluruh yang mengubah dari kedalamanpondasinya.

***

Dalam konteks Aggiornamento, garis bawah rekomendasi yang pentinglagi ialah bahwa DFT perlu dijalankan dalam dialognya dengan lokalitas.Lokalitas bukanlah tempat geografis dimana orang lahir dan tumbuh.Lokalitas juga mengukir kedalaman kulturalitas, religiusitas, dannilai-nilai etis yang khas. Ketika filsafat diintrodusir sebagaipraeambulum fidei, kearifan lokal menjadi salah satu komponen-nya. Dialogfilsafat teologi tidak mungkin menafikan local wisdom, semata karena“tanah” batin manusia bertumbuh dan berkembang di sana.

Dalam konteks tradisi kearifan Jawa, upaya menggali lokalitas initelah banyak dipioniri oleh Almarhum Romo Prof. Dr. P.J. Zoetmulder SJdalam karya-karyanya yang indah, seperti Kalangwan, Manunggaling KawulaGusti, dst. Khasanah local wisdom ini perlu dilanjutkan dengan dialog-dialogkebudayaan yang lebih aktual dalam rangka berteologi dan berfilsafat.

Orang Jawa, seperti juga manusia-manusia Indonesia dari lokalitasyang lain, memiliki keluasan dan kedalaman filsafat yang luar biasa,untuk mengatakan tak mungkin tuntas diekspresikan dalam tulisan.Konsep tentang alam semesta, keluhuran manusia, relasi alam danmanusia, relasi antara manusia dan sang pencipta, sudah sejak kuno,memiliki keterpautan dengan prinsip-prinsip filosofis religius.Kesatuan alam semesta dan manusia berada dalam ranah ciptaan, yangbagi orang Jawa memanifestasikan Sang Penciptanya.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

34

Religiusitas Jawa bukanlah apa yang “diwahyukan”, melainkan dalampermenungan kebersatuannya dengan Yang Mutlak dalam pengalaman hidupsehari-hari. Bagi orang Jawa yang suci tidak memiliki jarak dengan yangprofan. Atau, tidak ada ciptaan Tuhan yang bersifat profan,sebab segalanyamenyembunyikan wajah Tuhan.

DFT dalam konteks berdialog dengan lokalitas, pada zaman sekarang,menjadi tantangan tersendiri, sebab kehidupan urban telah pengap olehkebobrokan para pemimpin komunitas hidup bersama. Sementara lokalitasmenurunkan embun sejuk kebijaksanaan sehari-hari, tetapi segera embunitu tersapu oleh polusi kotor perilaku koruptif para pengambilkeputusan.

***

Peziarahan Berlanjut

KV II mengurai secara indah mentalitas keterjagaan putra putriGereja. Kita semua diajak dan didesak untuk terus mendengarkan tanda-tanda zaman. Apakah “tanda-tanda zaman” dan bagaimana mendengarkannya,adalah pertanyaan yang menjadi komponen bahan DFT. Kini, DFT lantasmemiliki konteks atmosfir baru, yakni atmosfir “keterjagaan”. DFTtidak dijalankan semata sebagai sebuah “olah pikir” atau aktivitaswaktu luang atau keluar dari perasaan devosional yang haus akancetusan suci semacam karakter Frollo (imam) sebelum bertemu Esmeraldadari drama musikal Notre Dame de Paris-nya Victor Hugo. DFT harusmenampilkan ketajaman mata dan hati untuk mengerti apa yang menjaditanda-tanda zaman, dan mencetuskan kesetiaan untuk menanggapinya dalamterang iman agar jangan jatuh ke dalam kenaifan.

Pada dekade tujuh puluhan, delapan puluhan, Almarhum Romo DickHartoko SJ memiliki ketekunan yang ekstra untuk menulis editorialmajalah Basis dengan menyebutnya tanda-tanda zaman. Saya termasuk salahsatu yang senang membaca tulisan Romo Dick Hartoko. Tulisan itu seolahmenjaga mata hati kita tetap “melek” tentang isu-isu penting yangterjadi di Indonesia, baik dalam bidang sosial, politik, kebudayaan,maupun sastra.

Saat ini mahasiswa filsafat teologi kerap jatuh dalam pemahamansimplistis bahwa tanda-tanda zaman adalah segala hal yang terjadi diSenayan. Tak bisa disangkal, sebab itulah headlines dari aneka surat

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

35

kabar ibu kota. Di sini mahasiswa teologi lantas memahami bahwa tanda-tanda zaman identik dengan headlines koran. Tentu saja tidak demikian.

Tanda zaman adalah keterjagaan batin, mata, dan hati itu sendiri.Artinya, keterjagaan paling langsung adalah apa yang menjadi kesadarankontekstual keseharian kita. Ketika kita mendengarkan pergumulankeseharian, kita berada dalam pencarian tanda-tanda zaman. Dan, pertama-tamakesadaran semacam ini bukan sebuah pengetahuan atau informasi peristiwaatau penangkapan berita. Kesadaran keterjagaan berarti sebuah transformasibatin, transformasi diri, transformasi kehidupan. Artinya, inilah caramendengarkan tanda-tanda zaman itu, yaitu apabila kita berada dalamkesiapsediaan untuk berubah, bertransformasi diri. Dengan demikian,mendengarkan tanda-tanda zaman bukanlah perkara mencari informasitentang berita-berita aktual, melainkan berjaga-jaga untuk siap dansigap melakukan perubahan.

Dalam konteks ini DFT akan jatuh dalam kubangan kenaifan, ketikakita pikirkan semata sebagai sebuah sintesis informasi-informasifilosofis teologis. DFT juga akan naif, apabila kita terjemahkansebagai sebuah aktivitas yang berhenti di tataran akal budi. DFT tidaknaif, ketika memiliki AKTIVITAS MANUSIAWI yang beriman integralmenyeluruh dengan karakter transformatif. DFT efektif, ketika beradadalam ranah KETERLIBATAN yang memanusiawikan, dan memromosikan nilai-nilai Kristiani universal.

Sesudah Vatikan II, DFT memiliki keluasan yang luar biasa.Berfilsafat harus berangkat dari pengalaman manusia dan mengabdi padakehidupan sehari-hari. Berteologi bukan lagi bercengkerama denganpemahaman spekulatif, melainkan bertolak dari pengalaman duka dankecemasan tetangga, sesama, siapa saja di sekitar kita.

DAFTAR BACAAN:

Charles, Rodger SJ – Maclaren, Drostan OP., The Social Teaching of Vatican II,San Francisco: Ignatius Press, 1992.

Dezza, Paolo, S.J., Filosofia, Roma: Editrice PontificiaUniversita’Gregoriana, 1993.

Elders, Leo J., La Metafisica dell’Essere di San Tommaso d’Aquino in Una ProspettivaStorica, Vol.1-2, Citta’ del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana,1995.

DFT – Dialog Filsafat Teologi // Dies Natalis STF Driyarkara//

25 Februari 2012 //

36

Fabro, Cornelio, Tomismo e Pensiero Moderno, Roma: Libreria Editrice dellaPontificia Universita’ Lateranense, 1969.

Husserl, Edmund, Ideas. General Introduction to Pure Phenomenology, London:Collier Macmillan Publishers, 1962.

Porro, Pasquale, Ente ed Essenza. Testo Latino, Roma: Rusconi Libri, 1995. Torrell, Jean-Pierre, Tommaso d’Aquino, Roma: Piemme Theologica, 1994. Zoetmulder, S.J., Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terj. Dick

Hartoko SJ., Jakarta: Djembatan, 1983.

-------Seminari Tinggi CM

Unit Ghebre MikhaelMalang