03. Filsafat ; Al Razi - Ahmad Dimas, Ahmad Ubaedillah, Amar Hanafi, Arif Syafiq
Filsafat Al Kindi Al Farabi
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Filsafat Al Kindi Al Farabi
MAKALAH
FILSAFAT ILMU
“ Memahami Pemikiran Filsuf Muslim Pasca
Ibnu Rusyd; Sahrawardi Al Maqtul”
Oleh :
Ahmad Syafiq
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al Kindi........................................ 2
1. Sejarah Hidup dan Karyanya.................... 2
2. Karya Tulisnya................................ 4
3. Perpaduan Filsafat dan Agama.................. 5
4. Filsafat Ketuhanan Al Kindi................... 8
5. Filsafat Jiwa Al Kindi........................ 9
B. Al Farabi....................................... 12
1. Biografi AL Farabi............................ 12
2. Karya-karya Al Farabi......................... 12
3. Pemikiran Al Farabi........................... 13
4. Penciptaan Alam (Emanasi)..................... 14
5. Negara Ideal.................................. 15
C. Perbandingan Filsafat Al Kindi dan Al Farabi.... 16
2
1. Filsafat Al Kindi............................. 16
2. Filsafat AL Farabi............................ 17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan...................................... 20DAFTAR PUSTAKA................................................ 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Filasafat Islam di bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi)
berbeda dengan filsafat Islam di Maghribi ( bagian Dunia
Barat). Di antara filosof Islam di kedua kawasan terdapat
sebuah perselisihan pendapat tentang berbagai pokok
pengertian. Di Timur ada filosof terkemuka, al-Kindi, al-
Farabi dan Ibnu Sina. Di Barat juga ada filosof
terkemuka, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd.
Wajar saja jika filososf filsafat Islam muncul
terlebih dahulu di bagian Timur sebelum di bagian Barat.
Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di Syam dan
Persia setelah sebelumnya berpusat di Athena dan
Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai
daerah Persia, Syam, dan Mesir. Kemudian pusat
kekhalifaan pindah dari Hijaz (Madinah) ke Damaskus
(Syam), sebuah kota yang yang dari politik menjadi pusat
kekuasaan Bani Ummayah. Pada masa itu muncul dua kota
besar memaminkan peranan penting dalam sejarah pemikiran
Islam, yaitu Bashrah dan Kufah.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran
sedang berkembang pesat, muncullah seorang filosof Arab
atau filosof Islam: Ya’qub bin Ishaq al- Kindi. Dia
seorang filosf peradaban Islam pada abad ke-3 Hijriyah.
Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam
memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk
4
ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat
Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam
adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang
lainnya.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-
Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan
berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi.
Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim
dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati
sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi
falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan
tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas
terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur
karena telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi pendapat
Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu
logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal
sebagai Abu Nashr atau Abunaser.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Kindi
1. Sejarah hidup dan karyanya
Al-Kindi adalah seorang filsuf besar pertama Arab
dan Islam.Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf
Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn
Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Nama al-
5
Kindi berasal dari nama salah satu suku Arab yang
besar sebelum Islam, yaitu suku kindah.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185
H/801 M. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat, kaya
dan terhormat. Ayahnya bernama Ibnu Al-Sabah. Sang
ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era
kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid
(786-809). Ayahnya meninggal ketika ia masih kanak-
kanak namun ia masih tetap memperoleh kesempatan untuk
menuntut ilmu dengan baik. Kakeknya Asy’ats bin Qais
dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad
SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan
keturunan Ya’rib bin Qathan yang berasal dari daerah
Arab bagian selatan dan dikenal sebagai raja di
wilayah Kindah. Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam
Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak
kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni,
Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim,
Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861).
Pendidikan al-Kindi pada waktu kecil tidak banyak
diketahui. Ada rieayat yang menerangkan bahwa al-Kindi
pernah belajar di Basrah sebuah pusat studi bahasa dan
teologi Islam. Kemudian ia menetap di Baghdad, ibu
kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung
kehidupan intelektual pada masa itu. Dia dikenal
berotak encer, tiga bahasa penting dikuasainya, yakni
6
Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang
jarang dimiliki orang pada era itu. Ia sangat tekun
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu,
ia dapat menguasai ilmu filsafat, logika, ilmu hitung,
musik, astronomi, geometri, medis, astrologi,
dialektika, psikologi, politik dan meteorology.
Penguasaanya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof
terkemuka. Karena itu pulala ia dinilai pantas
menyandang gelar Failsuf al-‘Arab (Filosof berkebangsaan
Arab).
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai
berbagai ilmu, menyebabkan dirinya diangkat menjadi
guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya
untuk berkiprah di Baitul Hikmah (House of Wisdom)
yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu
pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani.
Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan
puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin
diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia
secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah.
Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan
rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi
kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan
7
bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-
Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet
buah pikirannya dituangkan dalam risalah-risalah
pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang
dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang
yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang,
seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik,
astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika,
psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang
paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul.
Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22
judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12
judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh
terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad
pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap
digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal
dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama,
karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-
ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih
didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar
menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia
juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme.
8
Salah satu kontribusinya yang besar adalah
menyelaraskan filsafat dan agama.
Pada masa pemerintahan Al-Muatawakkil, khalifah
yang mengakhiri masa kejayaan aliran Muktazilah, al-
Kindi mengalami nasib yang tidak menguntungkan, ia
dipecat dari berbagai jabatan yang dipercayakan
kepadanya. Jabatannya sebagai guru besar di istana
diambil alih oleh putra-putra Musa yang juga tergolong
ilmuwan, walaupun tidak sepopuler al-Kindi. Suatu
ketika putra-putra Musa merampas perpustakaan al-
Kindiyah, milik pribadi al-Kindi, tetapi pada akhirnya
pustaka tersebut dikembalikan kepada al-Kindi.
Tentang kapan al-Kindi meninggal tidak ada suatu
keterangan pun yang pasti. Dalam buku Min Al-Kindi ila Ibn
Rusyd karangan Musa Al-Musawi seperti yang dikutip oleh
Sirajudin Zar mengatakan bahwa Musthafa Abd Al-Raziq
cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H,
sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu
pendapat yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan
Nellino. Sementara itu, Yaqub Al-Himawi mengatakan
bahwa Al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau
lebih.
2. Karya Tulisnya
Al-Kindi selain seorang yang aktif terlibat dalam
kegiatan penterjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus
ia melakukan koraksi serta perbaikan atas terjemahan
9
orang lain, juga termasuk seorang yang kreatif dan
produktif dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya
cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Akan
tetapi, kebanyakan karya tulisnya telah hilang
sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah karya
tulisnya. Namun sebagian dari risalah Al-Kindi yang
hilang tersebut ditemukan kembali. Dalam Ensiklopedi
Islam disebutkan bahwa karya-karya al-Kindi berjumlah
270 buah, kebanyakan di antaranya risalah-risalah
pendek dan banyak di antaranya yang sudah tidak
ditemukan lagi. Risalah-risalah itu, baik oleh ibnu
Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan kedalam 17
kelompok, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu
hitung, 4. Globular, 5. Music, 6. Astronomi, 7.
Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11.
Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14.
Meteorology, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, 17.
Spesies tertentu logam dan kimia. Untuk lebih jelasnya
di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis al-
Kindi.
1. Fi al-falsafat al-‘Ula
2. Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
3. Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
4. Risalah fi Ta’lil al-A’dad
5. Kitab al-falsafat al-Dakhilat wa al-Masail al-Manthiqiyyah wa al-
Mu’tashash wa ma fauqa al-Thabi’iyyat.
10
6. Kammiyat Kutub Aristoteles
7. Fi al-Nafs
Melalui karya-karyanya, al-Kindi dapat diketahui
sebagai seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan
dalam. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah
diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa
Latin, yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada
abad pertengahan.
3. Perpaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni
dalam dunia Islam. Al-Kindi memandang filsafat sebagai
ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan
mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan
merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia
melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan dari
segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat
kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan
Islam.
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-
Mu’tasim ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang
termulia serta terbaik dan yang tidak bisa
ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-
katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang
filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya
sebagai ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju
kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi
11
rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada
masa Ibn Rusyd.
Kemudian menurut al-Kindi, filsafat adalah
pengetahuan kepada yang benar (knowledge of truth). Al-
Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih
meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang dihasilkan filsafat. Agama di samping
menerangkan wahyu juga mempergunakan akal, dan
filsafat mempergunakan akal. Wahyu tidak bertentangan
dengan filsafat, hanya argumentasi yang dikemukakan
wahyu lebih meyakinkan daripada argumen filsafat.
Keduanya bertujuan untuk menerangkan apa yang benar
dan yang baik.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan
kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya.
Dengan demikian, menurut al-Kindi, orang yang menolak
filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia
mengibaratkan orang yang mengingkari kebenaran
tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya
tidak lagi beragama karena ia telah menjual agamanya.
Menurut al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu
mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi
mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang
lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan
12
tidak pernah meremahkan dan merendahkan orang yang
menerima-nya.
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya,
dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan
bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermamfaat dan
menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga
dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka
menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang
diridhai-Nya.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa
tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh
rasul. Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari
Yunani, maka kita menurut al-Kindi, wajib
mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib
mencarinya.
Dalam usaha memadukan antara filsafat dan agama
ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat al-Qur’an.
Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan
dengan ajaran al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya
untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam
semesta ini. Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai
berikut:
1. Surat Al-Nasyr [59]: 2
“.......Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, haiorang-orang yang mempunyai wawasan.”
13
2. Surat Al-A’raf [7]: 185
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumidan segala sesuatu yang diciptakan Allah...”
3. Surat Al-Ghasyiyah [88]: 17-20
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Diadiciptakan dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana iadihamparkan?”
4. Surat Al-Baqarah [2]: 164
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinyamalam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yangberguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langitberupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, danpengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit danbumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)bagi kaum yang memikirkan.”
Dengan demikian al-Kindi telah membuka pintu
bagi penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an,
sehingga menghasilkan antara wahyu dan akal dan
antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia
mengemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan
agama didasarkan pada tiga alasan berikut:
1. Ilmu agama bagian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan
kebenaran filsafat saling bersesuaian
3. Menuntut ilmu secara logika diperintahkan oleh
agama.
14
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada
orang-orang agama yang tidak senang dengan filsafar
dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa
filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan
argument dan menjelaskannya. Usaha pemberian
argument tersebut merupakan bagian dari pencarian
pengetahuan tentang hakikat, untuk sampai pada yang
dimaksud, secara logika mereka harus memiliki
pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat
harus dimiliki dan dipelajari.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan hahwa
al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha
pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara
akal dan wahyu. Dalam hal ini dapat dikatan bahwa
al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan
penting di pentas filsafat Islam, sehinga ia
melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang
datang kemudian.
4. Filsafat Ketuhanan al-Kindi
Menurut al-Kindi Allah adalah wujud yang
sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia
mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah
adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului oleh
wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang
lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang
tidak ada dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang
15
menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan
dan tidak dilahirkan.
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain
didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis.
Menurut al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat,
baik hakikat secara juziyyah atau aniyah (sebagian) maupun
hakikat secara kulliyah atau mahiyah (keseluruhan). Tuhan
bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula
termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak
tersusun dari materi (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat)
tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan adalah
Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-
Haqq al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid).
AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap
sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah
merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang
hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap
indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-
sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-
Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut
haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.
Al-Kindi juga menyatakan bahwa Allah itu hanya
bisa dilukiskan dengan kata-kata negative; Allah tidak
sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah
tidak berbilang, Allah tidak berbagi. Ia adalah Maha
Esa (wahdat) dan yang selainnya berbilang. Jadi Al-
16
Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak
samaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi dalam membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan
tiga argument yaitu:
1. Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi
mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah
mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya?
Dengan tegas al-Kindi menjawab; tidak mungkin,
karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap
yang mempunyai permulaan akan ada sesudahnya, justru
itu setiap benda atau alam pasti ada yang
mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang
menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah
Tuhan.
2. Keaneka ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi
dalam alam empiris ini tidak mungkin ada
keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau
sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman
ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang
menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai
penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau
penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi
rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara
sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi.
Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada di luar
alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
17
3. Kerapian alam. menurut al-Kindi bahwa alam
empiris ini tidak mungkin terkendali dan teratur
tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan pengatur
tentu berada di luar alam. Zat itu tidak terlihat
pada ala mini. Itulah adanya Tuhan.
5. Filsafat Jiwa (Al-Nafs) al-Kindi
Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak
menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan
Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui
hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan
manusia. Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas
jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan
oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan
ajaran Islam.
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan
al-Kindi, bahkan al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama
yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi
berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi
yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu
sama lainnya. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara
itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Al-Kindi juga
mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal,
tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa
mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi
(jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya
18
dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari.
Argument tentang beda jiwa dengan badan, menurut
al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan
kejahatan, maka jiwa yang menentangnya. Hal ini dapat
dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang
tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang
dilarang.
Dalam hal ini pendapat al-Kindi lebih dekat dengan
pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara
jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan
tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima
pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari
alam idea.
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya,
yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang
terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah)
yang terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-
natiqah) yang berpusat di kepala. Daya yang terpenting
adalah daya berfikir, karena daya itulah yang
mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih
tinggi.
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia
dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir
dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya
19
bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh
babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat
seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya
pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi
manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah,
seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan
kebenaran dan keindahan.
Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat
macam; satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga
lagi berada di dalamnya.
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi
bi al-fi’il Abadan). Akal pertama ini berada di luar jiwa
manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam
aktualitas.
2. Akal bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni
akal murni yang ada dalam dalam diri manusia yang
masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-
bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini
adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke
dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran
abstraksinya.
4. Akal yang berada dalam keadaan actual nyata,
ketika ia nyata, maka ia disebut akal “yang kedua”.
Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat
20
diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang
sunguh-sungguh melakukan penulisan.
Menurut al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut
pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci
saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak
percaya dengan kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi
meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di
lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang telah memasuk
wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu
senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan
sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu dengan
sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus dibersihkan
dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan
seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada
dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
21
B. Al-Farabi ( 258-339 H/870-950 M )
1. Biografinya :
Nama lengkapnya ialah Abu Nasr Muhammad bin
Muhammad bin Tharkhan, lahir di wasij, distrik
Farab, Turkestan dari seorang Ayah Persia dan Ibu
Turki. Karena itu, berbeda dengan Al-Kindi, Al-
Farabi bukan keturunan Arab, melainkan keturunan
Persia-Turki. Beliau di kenal juga dengan nama Abu
Nasher, atau Avempes dalam literatur Barat.
Seagi Anak pejabat Al-Farabi memperoleh
pendidikan berbagai disiplin ilmu, yaitu bahasa,
sastra, logika, filsafat kepada Guru-guru terkenal,
Seperti Abu Bakar Al-Saraj, bisyh Mattius bin Yunus,
Yuhana Ibn Hailam dll. Awal karirnya bermula ia
berkenalan dengan sultan dinasti Hamadan di Aleppo,
yaitu Syaifud Daulah al-Hamdani. Perkenalan ini
membawanya sebagai ulama Istana, Di sinilah ia
mengembangkan aktivitas filsafanya. Namun karena
pertentangan politik ia keluar dari istana samapi ai
wafat dalam usia 80 Tahun.
2. Karya-karyanya:Beliau adalah Filsuf besar muslim yang banyak
menyusun karya Filsafat, bahkan memadukan beberapa
kejanggalan-kejanggalan, terutama antara Plato dan
22
Aristoteles. Pemikiran ini di tulis dalam buku Al-
Jam’u Bayna R’yay al- ahakimayn; Aflaton wa Aristo. Ulasannya
yang mendalam terhadap karya Aristoteles menyebabkan
ia di gelar sebagai Aristoteles ke dua (Aristo Al-
tsaniy).
Selain karya di atas, karya penting lainnya ialah :
a. Ara’u Ahl Madinah al-fadhilah, kajian tentang
politik.
b. Maqalat fi Ma’ani al-Aql, berisi ulasan tentang Akal
c. Al-Ibanah’An Ghadhi Aristo fi Kitabi Ma Ba’da al-Thabi’ah.
Berisikan tentang ulasan mengenai Metafisika
Aristoteles.
d. Al-Masa’il al- Falsafiyah wa Ajiwibah’Anha, berisikan
tentang kajian Filsafat.
e. Dan Lain-lain.
3. Pemikirannya :Seperti di jelaskan di atas, pemikiran Al-
Farabi mencangkup beberapa aspek, namun di batasai
pada tiga masalah utama, sebagai berikut :
1. Kesatuan Filsafat
Menurut Al-Farabi, pemikiran para filsuf Yunani
(khususnya Plato dan Aristoteles) pada hakikatnya
23
merupakan suatu ksatuan yang sistematik, sehingga
tidak terdapat pertentangan di antara kedua tokoh
tersebut. Pemikiran ini di tuangkan kedalam
karyanya, Al-jam’u Bayna Ra’yay al-Hakimyn : Afalton wa Aristo.
2. Ketuhanan
Membicaarakan ketuhanan Al-Farabi mengtakan :
“Allah adalah wujud yang tidak mempunyai hole
(benda) dan tidak mempunyai form (bentuk) yang
sifatnya asli dan tanpa permulaan, serta selalu
ada tiada akhir. Untuk membuktikan kesempurnaan
wujud tuhan, Al-Farabi membagi wujud dalam dua
tingkatan yaitu :
Wujud yang ada atau mungkin ada karena/ di
sebabkan yang lainnya,(al-wujud bighairi)
Wujud yang mengada dengan sendirinya,( al-
wujud binafsihi).
4. Penciptaan Alam (Emanasi)
24
Permasalahan yang muncul di dalam kajian
penciptaan Alam ialah, Apakah alam muncul langsung
dari tuhan atau tidak, kemudian Apakah Alam di
ciptakan dari tiada atau dari suatu yang ada. Al-
Farabi menyatakan bahwa Alam berasal dari Tuhan,
namun melalui beberapa tahapan, karena alam berasal
dari tuhan, maka Alam di ciptakan bukan dari tiada
melainkan dari suatu potensi (esensi) yang sudah
ada, langsung dari tuhan.
Rumusan itu tertuang dalam teori Emanasi atau teori
Urutan-urutan wujud.
Tuhan (akal murni), memikirkan dirinya = Akal
Pertama
Akal ke 1, memikirkan Tuhan = Akal ke 2
(Wujud ke-1)
memikikan dirinya =Langit Pertama
Akal ke 2 memikirkan Akal ke 2 = Akal ke
3 (Wujud ke 2)
Memikirkan dirinya = Bintang-bntang
25
Akal ke 3 memikirkan Akal ke 2 = Akal ke
4 (Wujud ke 3)
Memikirkan dirinya = Saturnus
Akal ke 4 memikirkan Akal ke 3 = Akal ke
5 ( Wujud ke 4)
Memikirkan dirinya = Jupiter
Akal ke 5 memikirkan Akal ke 4 = Akal ke
6 ( Wujud ke 5)
Memikirkan dirinya = Mars
Akal ke 6 memikirkan Akal ke 5 = Akal ke
7 (Wujud ke 6)
Memikirkan dirinya = Matahari
Akal ke 7 memikirkan Akal ke 6 = Akal ke
8 (Wujud ke 7)
Memikirkan dirinya = Venus
Akal ke 8 memikirkan Akal ke 7 = Akal ke
9 (Wujud ke 8)
Memikirkan dirinya =Merkurius
Akal ke 9 memikirkan Akal ke 8 = Akal ke
10 (Wujud ke 9)
26
Memikirkan dirinya = Bulan
Akal ke 10 memikirkan Akal ke 9 = tidak memikirkan
akal lain
Memikirkan dirinya = Bumi, Api, air,
udara dan tanah.
Dari teori di atas terdapat sembilan akal dan
sepuluh wujud yang membatasi tuhan dengan alam
semesta, melalui teori ini ada dua hal yang ingin di
tampilkan Al-Farabi.
a. Al-Farabi menyatakan bahwa di antara tuhan
dengan manusia terdapat jarak yang sangat jauh.
dengan adanya jarak ini keesaan tuhan tetap utuh.
Al-Farabi tetap berpegang pada asa bahwa dari yang
satu pasti satu yang muncul.
b. Melalui teori ini pula, Al-Farabi berupaya
sejalan dengan ajaran islam tentang adanya
permulaan ciptaan.
5. Negara Ideal (al-Madinah al-Fadhilah)
27
Sebagai pemikir Universal, kajian mengenai
negara tidak luput dari pemikiran Al-Farabi,
menurutnya, negara sama saja dengan tubuh manusia
yang mempunyai kepala, badan, tangan, kaki, jantung,
dan lain-lain. Dari semua unsur yang paling penting
ialah kepala yang di ibaratkan Al-Farabi sebagai
kepala negara yang ideal ialah yang di perinatah
oleh kepala negara yang memiliki aneka kualifikasi
yaitu cerdas, memiliki ingatan yang baik, pikiran
yang tajam, mencintai pengetahuan, mencintai
kejujuran, murah hati, sederhana, mencintai
keadilan, pemberani, sehat jasmani, dan pandai
berbicara.
Semua karakter ini ada pada Nabi, namun karena
nabi sudah tida, posisinya di gantikan oleh filsuf.
Oleh karena itu, jabatan kepala negara ideal harus
di pegang oleh Filsuf. Menurut Al-Farabi, selain
negara ideal di atas terdapat empat bentuk negara
lainnya, yaitu :
28
a. Negara Jahil ( ة� اه�لة� ن .( ال�مد ي��
b. Negara Fasik ة� ) ا س�ق� ة� ال�ف ن .( ال�مد ي��
c. Negara Sesat ا لة� ) ة� ال�ض ن .( ال�مد ي��
d. Negara yang Berubah ( د لة� ب� ة� ال�مت� ن .( ال�مد ي��
C. Perbandingan Filsafat Al Kindi dan Al Farabi
1. Filsafat Al Kindi
Al Kindi berusaha memadukan anatara filsafat
dan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah
pengetahuan yang benar (knowledge of truth), al
Quran yang membawa argument-argumen yang lebih
meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena
itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak
dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari
filsafat, sedangkan Islam mewajibkan mempelajari
Teologi
Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran
deamn kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari
keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal29
dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar
pertama (the first Truth) bagi Al kindi ialah Tuhan.
Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan
pada tiga hal yaitu :
1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat,
saling berkesuaian
3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam
agama
a. Filsafat Metafisika
Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai
hakiakat dalam arti aniah atau mahaniah. Tidak
aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dealam
benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah
pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan
bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk
mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan
species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata
satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya
mengandung arti banyak
b. Filsafat Jiwa
30
Menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn,
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia.
Substansi roh berasal dari substansi Tuhan.
Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat
spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari
tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai
wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai
hawa nafsu dan sifat pemarah (passion). Roh
menentang keinginan hawa nafsu dan passion.
2. Filsafat Al-Farabi
Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran
filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala
falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama
pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga
antara agama dan filsafat.
a. Talfiq
Dalam ilmu logika dan fisika Ia dipengaruhi oleh
Aristoteles, dalam masal;ah akhlak dan politik ia
dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam persoalan
metafisika ia di pengaruhi oleh Plotinus. Al
farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat
itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para
filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya
tujuan adalah mencari kebenaran.31
b. Metafisika
Wajib al wujud a dalah tidak boleh tidak ada, ada
dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama
dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya
dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini
tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud
lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah
yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al
wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan
tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah
menjadi actual tanpa adanya wuijud yang
menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan
dirinya tetapi wajib al wujud.
c. Jiwa
Pendapat al Farabi tentang jiwa dip[engaruhi oleh
filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa
bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah
adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari
sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia
disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam
ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq,
berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
dicuiptakan tatkala jasad siap menerimanya.
d. Politik
Pemikiran al Farabi tentang politik yang amat
penting ialah tentang politik yang dia tuangkan
32
kedalam dua karyanya, al siyasah al madaniyyah
(pemerintahan politik) dan ara ala madinah al
fadhilah (pendapaf-pendapat tentang Negara utama).
Menurut al Farabi yang terpenting dalam Negara
adalah pimpanan atau penguasanya, bersama sama
bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ
tubuh yahng lebih rendah secara berturut-turut.
e. Moral
Al Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang
harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan
di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan
setiap warga Negara. Yakni :
1. keutamaan teoritis yaitu prinsip-prinsip
pengetahuna yang diperoleh sejak awal tanpa
diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh
dengan cara kontemplasi, penelitian,dan melalui
belajar dan mengajar.
2. keutamaan pemikiran yaitu yang memungkinkan
orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam
tujuan.
3. keutamaan akhlak , bertujuan mencari kebaikan
4. kautamaan amaliyah, diperoleh dengan dua cara,
yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan
merangsang.
f. Teori Kenabian
33
Teori kenabian yang di ajukan al Farabi di
motifisir pemikiran filosof pada masanya yang
mengingkari kesistensi kenabian oleh Ahmad ibn
Ishaq al Ruwandi yang berkebangsaan yahudidab Abu
baker Muhammad ibn Zakariya al Razi. Menurut
mereka para sufi berkemampuan untuk mengadakan
komunikasi dengan aql Faal.
34
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Makalah ini Penulis dapat menyimpulkan bahwa
Filsafat Al Kindi dan Alfarabi mempunyai perbedaan
diantaranya yaitu : memadukan anatara filsafat dan agama.
Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang
benar (knowledge of truth), al Quran yang membawa argument-
argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat.
Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak
dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari filsafat,
sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi menurut
pemikiran Al Kindi.
Sedangkan menurut pemikiran Al Farabi adalah Al Farabi
berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al
taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang
sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan
Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
35
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahpendidikan.blogdetik.com/pengertian-ilmu-
filsafat-pendidikan-islam/
Musthofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA.
Aceh, Aboebakar, sejarah Filsafat Islam, Solo: Ramadhani, 1968.
Drajat, Amroeni, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga,
2006.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1968.
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Umum,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
36