filsafat Epistimologi Abed Al-Jabiri

29
Epistemologi Kritik Akal Arab Muhammad Abed Al-Jabiri Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag. Disusun oleh : Kelompok 12 Kelas : III/Mua/PS/ B Imas Nurul Fuadiah ( 1133020096) Ina Kusmiati (1133020097) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG TAHUN AKADEMIK 2014 M / 1436 H

Transcript of filsafat Epistimologi Abed Al-Jabiri

Epistemologi Kritik Akal Arab

Muhammad Abed Al-Jabiri

Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag.

Disusun oleh :

Kelompok 12

Kelas : III/Mua/PS/ B

Imas Nurul Fuadiah ( 1133020096)

Ina Kusmiati (1133020097)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

TAHUN AKADEMIK 2014 M / 1436 H

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang

telah melimpahkan Rahmat dan Taufiq-Nya kepada kita,

sehingga kita bisa melaksanakan aktifitas kita dalam

keadaan sehat walafiyat. Shalawat serta salam semoga tetap

tercurahkan kepada junjungan kita yang telah merubah

tatanan sosial dari alam yang penuh dengan ketergersangan

ilmu menuju alam yang penuh cahaya ilmu yakni agama Islam.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah

Filsafat Ilmu yang membahas tentang Epistemologi Kritik

Akal Arab Muhammad Abed Al-Jabiri.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari

kesempurnaan serta banyak sekali kesalahan. Untuk itu

diperlukan kritik dan saran yang tertulis ataupun lisan

agar Kami bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya,

khususnya ilmu pengetahuan dibidang filsafat ilmu. Serta

dapat memberikan kita semua manfaat yang dapat membantu

hidup kita menjadi lebih baik dan lebih berwawasan.

Semoga makalah yang kami buat dapat menambah

pengetahuan, sekaligus bertambahnya pengetahuan.

i

Bandung, November

2014

                                                      

                                      Tim Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................i

DAFTAR ISI............................................ii

BAB I ................................................1

A. Latar Belakang...................................1

B. Identifikasi Masalah.............................1

BAB II Pembahasan..................................... 2

A. Biografi Abed Al-Jabiri..........................2

B. Kritik Arab : Catatan Pendahuluan................4

C. Trilogi Epistimmologi............................6

D. Epistimologi Bayani..............................7

E. Epistimologi ‘Irfani.............................8

F. Epistimologi Burhani.............................9

G. Makna dan Kata...................................12

BAB III Penutup...................................... 14

Kesimpulan............................................14

DAFTAR PUSTAKA........................................15

iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-jabiri berupaya mengkritik nalar arab yang telah

mendominasi penganutnya secara tidak sadar dengan cara

merekonstruksi. Bagi Al-Jabiri, perubahan struktur nalar

dengan menggantinya dengan nalar lain, tidak akan

tercapai tanpa adanya sebuah praksis, yaitu “ praksis

rasionalisme“ dalam persoalan pemikiran dan kehidupan,

terutama praksis rasionalisme kritis yang ditunjukan

terhadap tradisi yang mewarisi segenap otoritas berfikir

dalam bentuk bangunan yang tidak sadar, yaitu otoritas

teks , otoritas masa lalu, dan otoritas qiyas. Al-jabiri

terinspirasi oleh semangat kritisme Ibn hazm dan Asy-

syathibi serta rasionalisme Ibnu rosyid, yang merupakan

dasar untuk membangun tradisi rasionalisme. Dengan

semangat rasionalisme, Al-jabiri kemudian membangun

proyek kritiknya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana trilogi nalar menurut Al-Jabiri?2. Bagaimana epistimologi Bayani, Irfani dan Burhani

menurut Al-Jabiri?

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri

Al-Jabiri terkenal dengan sebagai tokoh filsuf

pengemban semangat, lahir di Figuig atau Fejij (Pekik)

bagian tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia

tempuh di kotanya sendiri, mulanya ia dikirim ke sekolah

agama, lalu ke sekolah swasta nasionalis (Madrasah hurrah

wathaniyah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Sejak

tahun 1951–1963 ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah

lanjutan negeri (setingkat SMA) di Casablanca. Setelah

Maroko merdeka, Al Jabiri mendapatkan gelar diploma dari

sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu

pengetahuan).1

Tahun 1958 Al Jabiri melanjutkan studinya dan berniat

untuk memperdalam filsafat di Universitas Damaskus di

Syiria. Akan tetapi ia tidak bertahan lama di Syiria,

satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Muhammad V

Rabath yang saat itu baru didirikan. Selama masa

pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti aktivitas

politiknya. Tahun 1964 al Jabiri mulai mengajar filsafat

ditingkat sarjana muda, selain itu juga ia tergabung dalam

beberapa forum. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan

Mustofa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book1 Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri, http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf hlm. 60

2

tentang pemikiran Islam dan filsafat yang diperuntukkan

bagi sarjana muda ditahun akhir sebelum mereka

menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode

beberapa aktifitas al Jabiri baik dalam ranah

intelektualitas maupun beberapa forum lain telah

membentuk dia menjadi intelektual yang sangat penting era

itu. Beberapa artikel dengan beragam isu yang dihembuskan

berhasil dipublikasikan di Maroko.

Ia kemudian melanjutkan studinya untuk memperoleh

gelar magister sampai tahun 1967, dengan judul tesis

Falsafah al Tarikh ‘inda Ibnu Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz

Lahbabi. Dan saat itu dia sudah mulai mengajar filsafat di

Universitas V Rabat Maroko. Tahun berikutnya sampai 1970

al Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Ph.D

dengan disertasi tentang pemikiran Ibn Kholdun, dibawah

bimbingan Najib Baladi. Nah, selama dekade 1970 an nama al

Jabiri terus berkibar lewat beberapa tulisannya yang

diterbitkan secara berkala baik khususnya yang berkenaan

dengan Pemikiran Islam, sehingga cepat mendapat respon

dari berbagai kalangan baik intelektual maupun akademisi

dunia Arab.2

1. Karya-karya Muhammad Abed al Jabiri

Muhammad Abed al Jabiri selama kurang lebih 20 tahun

membangun tradisi kritik dalam pemikiran Islam, sejak

tahun 1970-an ia menghabiskan waktunya untuk menghasilkan

beberapa karya yang cukup brilian. Diantara karyanya yang

2 Ibid.

3

terkenal adalah trilogi Naqd al ‘Aql al ‘Arabi (kritik Pemikiran

Arab). Buku ini berisi 1200 halaman lebih. Konsep

triloginya ini juga tersebar di tiga buku beliau, pertama,

Taqwin al ‘Aql al ‘Arabi (Formasi Nalar Arab, 1982), Bunyah al ‘Aql al

‘Arabi (Struktur Nalar Arab, 1986), al ‘Aql al Siyasi al ‘Arabi (Nalar

Politik Arab, 1990) semuanya diterbitkan oleh Markaz

Dirasah al Wihdah al Arabiyah, Beirut, Libanon.

Tahun 1976 ia kembali melanjutkan karyanya dengan

menulis tentang epistemologi pengetahuan, dengan judul

Madkhal ila Falsafah al-Ulum (pengantar Filsafat Ilmu). Buku ini

merupakan hasil pergulatannya dengan beberapa referensi

filsafat Prancis dan Barat. Tahun 1980 al Jabiri juga

menerbitkan karya berikutnya Nahnu wa-I Turats: Qira’ah Muasyiroh

fi Turatsina al Falsafi yang kemudian diterjemahkan menjadi Kita

dan Tradisi: Pembacaan kontemporer atas Tradisi Filsafat

Kita. Ia juga menulis al Khitab al Arabi al Muashir: Dirasah Tahliliyah

Naqdiyah dalam edisi Indonesia menjadi Wacana Arab

Kontemporer; Studi Kritik – Analitik). Tahun 1989 ia

menulis Isykaliyat al Fikr al Arabi (judul terjemahan Beberapa

Problematika Pemikiran Arab Kontemporer) dan secara

kontinyu ia meneliti tradisi Arab dan selalau menulisnya

dalam sebuah karya tahun berikutnya yakni 1990, ia menulis

Hiwal al Masyriq wa al Maghrib:Talihi Silsilah al Rudud wa al Munaqasat

(Meleburkan Timur Dan Barat Dalam Cakrawala Kritik Dan

Dialog), kemudian tahun 1991 ia kembali menerbitkan sebuah

karya al Turats wa al Hadasah:Dirasah wa Munaqasah yang kemudian

diterjemahkan menjadi Tradisi dan Modernitas: Studi Kajian

dan Perdebatan). Tahun 1992 buku berikutnya terbit dengan

4

Judul Wijhah Nazhr Nahw I’adah Bina Qadlaya al Fikr al Arabi al Muashir

(judul terjemahan Satu Sudut Pandang Menuju Rekonstruksi

Persoalan pemikiran Arab Kontemporer).

Dengan tidak mengenal lelah, al Jabiri terus menorehkan

buah karyanya lewat tulisan yang terus-menerus ia hasilkan

tahun 1994 ia menulis al Mas’alah al Tsaqafiyah (terjemahan ;

Problem kultural), di tahun yang sama ia juga menulis

Masalah al Hawiyah (Problem Identitas), tahun berikutnya 1995

buku yang lain terbit yakni al Mutsaqqafun al Arab fi –I Hadlarah al

Islamiyah. Tahun 1998 al Jabiri terlibat dalam penerbitan

buku karya filosuf besar Islam, Ibnu Rusyd. Buku itu

diberi judul al Dharuri fi al Siyasah: Mukhtasar kitab al Siyasah li

aflathun, dalam buku ini al Jabiri hanya sebagai editor dan

memeberikan pengantar tentang atas pemikiran Plato dan

Aristoteles yang ditulis oleh Ibnu Rusyd tersebut3.

B. Kritik Arab: Catatan Pendahuluan

Akal Arab adalah La raison constituee (‘aql muqawwam), yaitu

kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh kultur Arab

kepada para pengikutnya sebagai landasan untuk memperoleh

pengetahuan atau sebagai aturan epistemologis, yaitu

kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bahwa

sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Akal

Arab, dalam kapasitasnya sebagai instrumen pemikiran dan

pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristiknya

dibentuk oleh peradaban tertentu, yaitu peradaban Arab. 4

3 Ibid. Hlm. 61-624 Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm. 330

5

Menurut Al-jabiri, diskursus kebangkitan arab tidak

akan mencapai kemajuan dalam menciptakan proyek

kebangkitan peradaban, baik cara ideal maupun dalam

konteks science ilmiah. Al-jabiri merumuskan langkah-langkah

sistematis dengan cara berikut :

1. Kritik historis terhadap permasalahan yang ditinggalkan

masa lalu, kemudian menyitematisasikan rentetan fakta

sejarah. Al-jabiri menegaskan bahwa struktur akal arab

telah di bekukan dan di sistematisasikan pada era

kondifikasi (‘ashr at-tadwin) pertengahan abad ke 2 H.

Sebagai konsekuensinya, dunia berfikir yang dominan

pada mas itu mempunyai kontribusi besar dalam

menentukan orientasi pemikiran yang berkembang

kemudian, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap

khazanah pemikiran yang berkembang pada masa

sebelumnya.

2. Pada era kodifikasi baru (‘ashr at-tadwin al-jadid), pemikiran

arab dikendalikan oleh akal yang afektif (munfa’il) , bukan

akal aktif (fa’il). Akal afektif dipengaruhi oleh : (a)

kesadaran akan tantangan barat yang membangunkan dari

tidur panjang dan memosisikannya pada pinggiran

lingkaran dengan barat sebagai (axis) pusat rotasinya ;

(b) reaksi balik yang berusaha menggapai legitimasinya

dari masa lampau menjadikannya sebagai pusat rotasi dan

yang lain berapa di pinggiran lingkarannya.

Pengaruh kedua inilah yang mebguasai secara dominan

diskursus pemikiran arab kontemporer, yaitu kecenderungan

6

yang berlindung di balik legimitasi para pendahulu (salaf) ,

besenjatakan analogi di deduktif fiqh dan ideologis. 5

Al-jabiri mengemukakan tiga pendekatan untuk memahami

tradisi dan menumbuhkan tingkat objektiivitas, yaitu

sebagai berikut :

1. Pendekatan dengan metode strukturalis dalam mengkaji

sebuah tradisi, kita berangkat dari teks-teks

sebagaiman adanya. Ini berarti kita perlu meletakkan

berbagai jenis pemahaman tentang persoalan-persoalan

tradisi dalam tanda kurung, serta membatasi objek

kajian pada teks-teks tersebut, yaitu teks-teks dalam

posisinya sebagai sebuah korpus, satu kesatuan sebuah

sistem. Teks unsur-unsur baku yang ada di dalamnya

berperan mengarahkan perubahan-perubahan yang berlaku

pada dirinya pada satu lingkaran fokus tertentu.

2. Analisis sejarah ini berkaitan dengan upaya untuk

mempertautkan pemikiran si pemilik teks yang telah

dianalisis dalam pendekatan pertama dengan lingkup

sejarahnya, dengan segenap ruang lingkup budaya,

politik, dan sosiologisnya. Pertautan semacam ini

penting karena dua hal : (a) keharusan memahami

historisitas dan genealogi sebuah pemikiran yang sedang

dikaji dan (b) keharusan menguji seberapa jauh

validitas konklusi pendekatan strukturasi diatas.

Valiiditas bukanlah “kebenaran logis” karena ini sudah

merupakan tujuan utama strukturalisme melainkan

“kemungkinan historis” (al-‘imkan at-tarikhi), yaitu kemunginan

yang mendorong untuk mengetahui secara jeli apa saja5 Ibid,. Hlm. 331

7

yang mungkin dikatakan sebuah teks (said) dan apa yang

tidak dikatakan (not said), juga apasaja yang dikatakan ,

tetapi didiamkannya (never-said).

3. Kritik ideologi, yaitu mengungkap fungsi ideologis,

termasuk fungsi sosial-politik, yang dikandung sebuah

teks atau pemikiran tertentu, atau yang sengaja

dibebankan pada teks tersebut dakam suatu sistem

pemikiran (episteme) tertentu yang menajadi rujukannya.

Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik

merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan teks itu

kontekstual dengan dirinya. Ini dalam rangka

mendekatkan dirinya satu bentuk historisasi atau

sebagai bentuk sejarah.6

C. Trilogi Epistimologi

Setiap agama yang integral memiliki dimensi intelektual

yang terdiri atas teologi, gnosis, dan filsafat. Islam

merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan

keagamaan dengan secara akrab dengan ketiga aktivitas

intelektual yang dimiliki sebagai suatu tradisi milenial7.

Aktivitas intelektual islam ini diklasifikasikan oleh Al-

jabiri secara tegas pada tiga kelompok istilah tipikal,

yaitu epistemilogi bayani, ‘irfani, dan burhani.

Dalam buku pengantar kritik pemikiran Arab (Naqd Al-‘Aql

A-‘Arabi), yang kemudian dikaji dalam karyanya Bunyah Al-‘Aql

6 Ibid,. Hlm. 331-3327 Sayyed Hosein Nasr, intelektual Islam : Teologi, Filafat dan Gnosis (Theology, Philodhopy and Sprirituality), terj. Suharsono dan Jamaluddin M.Z, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, 1996y hlm. 3

8

Al-‘Arabi , Al-Jabiri membagi struktur pemikiran menjadi tiga

sistem pengetahuan, yaitu sistem pengetahuan eksplanatoris

(An-Nizam al-Ma’rifiyah Al-bayaniyyah), gnosis (An-Nizam Al-Ma’rifiyah Al-

Irfaniyah), dan demonstratif (An-Nizam Al-Ma’rifiyah Al-Burhaniyyah).

Menurut Al-jabiri, sistem pengetahuan eksplanatoris

ditopang oleh para ahli bahasa-struktur-balaghah Arab,

ushul fiqih, dan mutakalimun. Sementara sistem pengetahuan

gnosis ditopang oleh para pengikut tasawuf, filsafat

iluminatif, dan imu-ilmu kebatinan (‘ulum as-sirriyah). Adapun

sistem pengetahuan demonstratif ditopang oleh para ahli

logika dan filsafat. Ketiga sistem ini mempunyai ciri

sistem epistemologi yang berbeda, bahkan dapat

bertentangan antara satu dan lainnya.

Epistemologi di atas di bedakan berdasarkan segi

otoritas penentuan kebenaran. Dalam epistemologi Bayani,

otoritas kebenarannya ada pada nash. termasuk pada pola

pikir Bayani adalah rumpun keilmuan bahasa arab, ushul

fiqih,dan kalam. Titik temu antar berbagai rumpun keilmuan

tersebut terletak pada hubungan antar teks dan pemaknaan

teks secara esensial. Epistemologi ‘Irfani otoritas

kebenarannya ada pada intuisi (kasyf) , sedangkan Al-Burhan

sebagai epistemologi berbeda secara menonjol dari kedua

epistemologi tersebut, yaitu penentuan otoritasnya pada

akal an sich.8

8 Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm. 334

9

Selanjutnya, Al-Jabiri menjelaskan bahwa akal Arab

direkonstruksi pada tiga konstruksi , yaitu epistemologi

Bayani, epistemologi irfani , dan epistemologi burhani.

D. Epistimologi Bayani

Al-Jabiri menyimpulkan bahwa terma al-bayan mengandung

empat pengertian, yaitu pemisahan keterpisahan, jelas dan

penjelasan. Keempat pengertian tersebut dapat

diklasifikasikan menjadi dua kelompok , yaitu al-bayan

sebagai metedologi, yang berarti pemisah dan penjelasan;

dan al-bayan sebagai pandangan dunia9, yang berarti

keterpisahan dan jelas.

Al-Jabiri mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar yang

melandasi pandangan dunia bayani dengan menganalisis dua

isu utama yang diduga menjadi muara, sekaligus sumber

persoalan metedologis dari sistem epistimologi bayani,

yaitu (1) Pandangan bayani tentang hubungan subyek

antarrealitas; dan (2) pandangan bayani tentang hubungan

subyek yang mengetahui (akal) dan obyek yang diketahui

(realitas).

1. Perspektif Bayani tentang Realisasi Antarrealitas

Hubungan antar segala sesuatu membawa konsekuensi

pada problem kausalitas. Unsur pokok dari persoalan

kausalitas berkaitan dengan persoalan konsep ruang dan

waktu. Konsep ruang dalam pandangan bayani bersifat

konkret. Sedangkan konsep waktu, selalu dikaitkan

9 Muhamamad ‘Abid Al-Jabiri, Bunyah Al-‘aql Al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah Al-Wihdah, 1990

10

dengan kejadian tertentu. Konsep absolut waktu yang

tidak berawal dan berakhir mutlak tidak pernah ada

dalam pandangan dunia bayani. Konsep waktu selalu

berarti waktu tertentu: Musim Panas, musim buah, tahun

gajah, zaman Mu’wiyah dan seterusnya. Tegasnya waktu

bersifat diskontinuitas sesuai dengan diskontinuitas

kejadian.10 Pada akhirnya, dapat dipahami konsep ruang

dan waktu dalam pandangan dunia bayani bersifat

atomistik, atau dengan kata lain sepenuhnya pada

prinsip diskontinuitas.

Dalam pandangan dunia bayani, segala sesuatu bersifat

atomis dan saling terpisah. Teori Atomistik didorong

oleh keinginan untuk menegaskan pandangan tentang

penciptaan yang berkelanjutan. Para ahli bayani

menegaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa

perantara, dengan konsekuensi, penolakan terhadap

relasi kausalitas dan sebaliknya penegasan terhadap

prinsip diskontinuitas dalam segala sesuatu.

2. Konsep Akal

Akal dalam epistimologi bayani dianggap bukan

substansi, melainkan aksidensi. Menurut Al-Jabiri bahwa

definisi akal harus tunduk pada prinsip akasionalisme

agar tidak membawa implikasi dan gambaran tentang

konsep keniscahyaan akal. Pada akhirnya, berdasarkan

kajian terhadap jalur penalaran ahli bayani tentang

konsep keniscahyaan, Al-Jabiri berkesimpulan bahwa10 Ibid., 188-190

11

pandangan dunia bayani berpijak pada prinsip

okasionalisme, yang berkonsekuensi pada penolakan

prinsip identitas . satu-satunya prinsip penalaran yang

diakui adalah prinsip non-kontradiktoris. Adapun

prinsip ketiga, kadang-kadang diterima, kadang-kadang

ditolak. Ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan

partikular dan indriawi, prinsip tersebut diteriam

apabila berhadapan dengan persoalan universal dan

abstrak, sikap mereka cenderung tidak konsisten.

E. Epistimologi ‘Irfani

‘Irfan dalam bahasa Arab merupakan masdar ‘arafa

semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus bahasa Arab diartikan

pengetahuan. Dikalangan para Sufi ‘irfani ditunjukan untuk

menunjukan jenis pengetahuan yang tinggi, yang dihadirkan

dalam kalbu dengan cara kasyf atau ilham. Adapun ma’rifah

dikalangan sufi diartikan sebagai pengatahuan langsung

tentang Tuhan berdasarkan wahyu. Para sufi membedakan

antara pengatahuan yang didapat melalui indra, atau

melalui akal, atau kedua-duanya dengan pengetahuan yang

melalui pandangan langsung. Dzu An-Nun Al- Mashri (w. 245

H) mengklasifikasikan pengetahuan ada tiga, yaitu :

1. Pengetahuan orang awam yang mengatakan bahwa Tuhan

itu Esa dengan perantara ucapan syahadat.

2. Pengetahuan ulama, Tuhan Esa menurut logika dan akal;

3. Pengetahuan para sufi yang mengatakan bahwa Tuhan esa

dengan perantara hati dan sanubari.

12

Pengetahuan dalam tingkat pertama dan kedua belum

merupakan pengetahuan hakiki sebab keduanya baru disebut

ilmu. Pengetahuan dalam arti ketiga merupakan pengetahuan

hakiki tentang Tuhan yang kemudian disebut ma’rifah.11

Dalam bahasa Yunani ‘irfah berasal dari kata gnosis,

yang berarti ma’rifah, al’ilm, dan al-hikmah. Di eropa pengetahuan

‘irfani dipandang sebagai suatu gerakan agama (gnoticism)

yang heretik, menyimpang, dan muncul dalam agama Kristen,

serta fenomena umum yang dikenal dalam tiga agama Samawi,

yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Lebih dari itu Istilah

ini dikenal dalam agama paganistik.

Dengan demikian, istilah gnosis harus dibedakan dengan

gnoticism. Gnosis lebih tepat dipandang sebagai pengetahuan

tentang rahasia-rahasia ketuhanan yang dimiliki oleh

sekelompok orang tertentu, sedangkan gnoticism merupakan

aliran yang mengklaim dirinya sebagai gerakan keagamaan

yang dibangun atas dasar suatu pengetahuan yang lebih

tinggi dari pengetahuan rasional, pengetahuan yang

bersifat esoterik, yang tidak hanya berkaitan dengan

agama, tetapi juga dengan segala sesuatu yang bersifat

rahasia dan samar seperti sihir, astronomi , kimia dan

sebagainya.12

Pembuktian kebenaran pengetahuan dan metode ‘irfani

bersifat intersubyektif, artinya kebenaran dapat

dibuktikan melalui pemahaman dan ppengalaman rohani dari

11 Ali Ibn Ústman Al-Hujwiri, Kasyful mahjub, Terj. Suwardo Muthary dan Abdul HadiW.H. Bandung: Mizan, 1992, hlm. 24912 Al-Jabiri, Bunyah ..., hlm. 253-254

13

subyek-subyek yang lain megenai hal yang sama. Menurut

Al-Jabiri, kasyf tidak tidak berada diatas akal, sebaimana

diklaim para gnostikus, tetapi merupakan metode pemikiran

paling rendah dengan pemahaman yang terkendali. ‘irfani

bersifat irasional dan anti kritik penalaran. Metode yang

digunakan adalah logika paradoksal, segala-galanya bosa

diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang

mendahuluinya. Akibatnya pemikiran para sufi kehilangan

dimensi kritis yang bersifat magis sebagai sumber

kemunduran umat Islam.13

F. Epistimologi Burhani

Secara etimologis, Al-Burhan dalam bahasa arab artinya

argumentasi yang kuat dan jelas (al-hujjah al-fashilah al-bayyinah),

yang dalam bahasa Inggris disebut demontration, berasal dari

bahasa latin demonstratio yang berarti isyarat, sifat,

keterangan, dan menampakkan.14 Dalam bahasa Prancis

dibedakan antara demonter yang berarti memaparkan sesuatu

atau permasalahan secara jelas, logis, dan terstruktur,

dan montrer yaitu kata kerja yang berarti menunjukkan pada

sesuatu sehingga dapat diraba. Al-Burhan dapat juga

diartikan sebagai pembuktian yang tegas (desicive proof) dan

keterangan yang jelas.

Menurut istilah logika (al-mantiq), dengan makna sempit al-

burhan adalah aktivitas intelektual (dzihniyyah) yang

menentukan salah benarnya suatu masalah (qadhiyyah) dengan

cara konsklusi atau deduksi (istintaj). Adapun dalam pengertian13 Ahmad Hasan Ridwan, ..., hlm. 25014 Ibid

14

umum , burhan adalah semua aktivitas intelektual untuk

membuktikan kebenaran sebuah prooposisi. Dalam al-mausu’ah al-

falsafiyah, al-burhan adalah aktivitas istidhal yang ditujukan

untuk menegaskan atau mengetahui kebenaran suatu

pemikiran. Burhan yang tegak pada qadhiyyah yang benar

disebut burhan dan burhan yang tegak pada qadhiyyah yang

salah disebut burhan tafnid.

Dalam al-mu’jam al-fasafati dijelaskan bahwa burhan adalah

penjelas dalam suatu hujjah secara transparan, atau

meruoakan hujjah itu sendiri yang mengharuskan adanya

tashdiq (pembenaran) terhadap suatu persoalan karena

kebenaran argumentasinya. Menurut terma logika, burhan

adalah analogi yang disusun dari beberapa premis untuk

mendapatkan hasil yang meyakinkan.

Kata burhan dalam konteks bahasan ini bukan dalam

pengertian terminologis seperti itu. Istilah ini digunakan

dengan suatu pengertian khusus, merujuk pada metode

berfikir khusus berdasarkan pandangan dunia (weltanschauung)

tertentu yang tidak disandarkan pada sistem berfikir,

selain metode itu sendiri, yaitu sumbernya berasal dari

kekuatan intelektual manusia, yaitu indera, eksperimen,

dan aturan logika. Tradisi al-burhan masuk dalam tradisi

pikir arab pada pertengahan, di samping dua tradisi

berfikir lain yang telah ada.15

Epistemologi burhani merupakan sebagai bagian dari

klasifikasi epistemologi khazanah keilmuan islam, yaitu15 Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm. 351-352

15

epistemologi bayani, ‘irfani dan burhani. Epistemologi

burhani berada secara khas dari epistemologi bayani dan

‘irfani. Perbedaannya terletak pada otoritas menentukan

kebenaran. Dalam epistemologi bayani, otoritas ada pada

nash (Al-Quran dan As-Sunnah), ijma; dan ijtihad ; dalam

epistemologi ‘irfani, otoritas ada pada al-kasyf sementara

dalam epistemologi burhani, otoritas ada pada akal.

1. Spektrum Historis Al-Burhan

Secara historis, al-burhan sebagai sebuah

epistemologi, lahir pertama kali di Yunani 3 abad

sebelum masa aristoteles. Al-burhan kemudian di

kembangkan dan di perkenalkan aristoteles kedalam dunia

pemikiran arab islam.16

Usaha pengakaran epistemologi burhani pada

kebudayaan islam mendapatkan tantangan yang cukup berat

dari epistemologi yang secara inhern telah mengakar

kuat sehingga pemekaran dan pengakarannya memerlukan

proses panjang dalam sejarah sebagaimana yamg dilakukan

oleh al-kindi dan al-farabi.

Filsuf pertama yang berjasa membawa epistemologi

burhani kedalam tradisi fikir arab adalah al-kindi (w.

873 M). Akan tetapi, karena pada masa al-kindi

pembahasan tentang epistemologi burhan belum sempurna

diterjemahkan, hanya berapa bagian dari berapa ilmu

yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa arab, usaha

al-kindi membawa epistemologi burhani ke dalam dunia

16 Ibid.

16

arab islam bersifat parsial (juz’iyyah) dan tidak utuh.17

Ketidakutuhan usahanya disebabkan lemahnya pengusahaan

al-kindi terhadap logika. Kelemahannya inilah yang

menyebabkan ia dalam menjelaskan filsafat dan menjawab

serangan fukaha, tidak menempuh cara-cara burhani.

Misalnya, untuk mempertahankan al-falsafah al-ula dari

serangan fukaha, Al-kindi menempuh cara yang sama

dengan yang dilakukan penentangnya, yaitu terjebak

dengan al-sijjal dan al-jidal serta menggunakan pendekatan

birokratis kekuasaan.

Usaha al-kindi mendekati penguasa berhasil ketika

ia mempersembahkan setelah terlebih dahulu memberi kata

pengantar yang menjelaskan tentang filsafat, kedudukan

filsafat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain , dan

hubungan antara agama dan filsafat seraya tidak lupa

menunjukkan kelemahan para penentangnya dalam mencari

dan memahami kebenaran. Model dan cara pertahanan

seperti inilah dinilai oleh al-jabiri sebagai tindakan

yang tidak bersifat burhani, atau dapat kita sebut

semacam depense mechanism. Al-kindi terjebak pada as-sijjal wa

al-jidal (contest and polemic)

Rekonstruksi epistemologi burhani oleh al-kindi

tentu tidak cukup memadai. Karena filsafat secara umum,

atau filsafat Aristoteles secara khusus, adalah sebuah

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Filsafat terdiri

atas metode dan visi. Membangun sebagian atau

keseluruhan visi dan filsafat tidak dapat dilakukan17 Al-Jabiri, Bunyah ..., hlm. 416

17

tanpa membangun metode karena visi lahir dari metode.

Apalagi wilayah kajian para penentang filsafat meluas

memasuki bermacam-macam bidang, misalnya nahwu dan

bayan yang pada mulanya merupakan satu ilmu, bukan

hanya kaidah bahasa, melainkan metode berfikir dengan

logika bahasa secara langsung mendapatkan saingan dan

tantangan dari logika yang di bangun Aristoteles.

Perdebatan kemudian muncul pasca Al-Kindi, seperti

perdebatan yang terjadi antara Abu Sa’id As-Sirafi An-

Nahwi dengan Abd Basyar Mata Al-Mantiqi. Tubrukan

metodologis antara ahli bahasa dan ahli logika ini

merupakan representasi dari benturan antara logika

bayan dan logika burhan. Oleh karena itu ada gambaaran

yang utuh tentang hubungan antara bayan dan burhan,

baik dari segi metode maupun dari segi visi. Al-Farabi

berijtihad untuk menemukan penyusunan kaitan antara

nahwu dan logika pada satu pihak, dan antara agama dan

filsafat pada pihak lain.18

G. Makna dan Kata

Pada bagian ini menjelaskan kata, makna, dan qiyas

dalam epistemologi burhani secara metodologis. Penjelasan

Al-Jabiri difokuskan pada peran al-Kindi dan Al-Farabi

dalam membawa dan mengembangkan epistemologi burhani di

dunia pemikiran islam.

Pandangan al-farabi tentang makna dan kata tidak

terlepas dari aristoteles. Al-farabi menyatakan bahwa

18 Ibid., hlm. 418

18

makna lebih dulu lahir dari pada kata. Dia mendasarkan

pendapatnya pada teori kelahiran bahasa. Seseorang tidak

akan mengungkapkan sesuatu terlebih dahulu dalam bentuk

kata-kata, baru mencari maknanya, tetapi justru

sebaliknya. Dari proses interaksi dan observasinya dengan

alam melalui dengan indranya, seseorang terlebih dahulu

memiliki ide atau konsep tentang alam yang dia amati. Dari

sana lahirlah makna, ide, konsep, atau bisa disebut

seluruhnya dengan al-ma’qulat. Ketika mengomunikasikan makna

yang sudah ada dalam fikirannya, berturut-turut ia akan

menggunakan isyarat, suara, kata-kata, kemudian berkembang

,enjadi bahasa. Proposisi Al-Farabi sudah terjadi

diametral dengan cara epistemologi bayani yang menyatakan

kata lebih dahulu dari pada makna, atau paling tinggi,

keduanya muncul secara bersamaan.

Selanjutnya menurut Al-Farabi, makna didapatkan dengan

logika, dan dikomunikasikan dengan kata-kata. Kata-kata

memerlukan tata bahasa (al-nahw). Logika berkaitan denga

akal yang difikirkan, sedangkan tata bahasa berkaitan

dengan lisan dan kata-kata. Dengan demikian logika, lebih

dahulu dari tata bahasa. Tata bahasa bersifat khusus

karena menyangkut bahasa, sedangkan bahasa bermacam-macam.

Setiap bahasa memiliki tata bahasa sendiri. Sebaliknya,

logika bersifat umum karena menyangkut akal, sedangkan

akal itu satu dari seluruh manusia. Tata bahasa menetapkan

kaidah-kaidah yang berlaku secara spesifik untuk kata-kata

yang digunakan oleh umat, bangsa, atau masyarakat

tertentu, sedangkan logika menetapkan kaidah-kaidah yang

19

berlaku untuk semua katayang digunakan oleh seluruh umat

manusia. Logika bahasa yang bersifat universal hanya dapat

di fahami oleh orang yang mengusai beberapa bahasa

sekaligus. Bagi yang hanya menguasai satu bahasa, ia tidak

akan mengerti bahwa logika yang sama berlaku untuk semua

bahasa. Oleh sebab itu, untuk memahami logika universal

itu, menurut Al-Farabi, diperlukan bahasa logika. Bahasa

memerlukan kata-kata.

Dimaklumi bahwa pembhasan tentang kata-kata dalam

buku-buku logika arab lebih luas dibandingkan dengan yang

di tulis oleh Aristoteles, yaitu al-maqulat al-ibarat. Dalam

tradisi filsafat arab, pembahasan tentang kata-kata

dimulai oleh Al-Farabi dalam kitab Al-Alfaz Al-Musta’malah fi Al-

Matiq. Tema utama dalam pembahasan tentang kata-kata adalah

masalah universalitas. Hal ini dapat dimengerti karena

salah satu sebab utama kemunduran ilmu kalam adalah

hilangnya konsep universalitas dalam epistemologi bayani.

Untuk mengingatkan para epistemolog bayani tentang konsep

universalitas yang telah hilang. Al-Farabi terpaksa harus

menggunakan bahasa bayani di samping bahasa logika.

Selanjutnya, pembahasan mengenai huruf merupakan karya

orisinal al-Farabi. Dengan karyanya, al-farabi secara

jelas membedakan antara logika dan bahasa antara kata-

kata. Dalam logika, kata mengikuti makna, sementara dalam

tata bahasa, makna mengikuti kata.

Al-Farabi tidak hanya mengkritik para nahwiyyin , tetapi

juga mutakallimin yang kehilangan wawasan tentang

20

universalitas. Al-farabi menjelaskan makna universalitas

kata-kata dengan contoh yang jelas. Misalnya, kata “insan”

mencakup ‘Ali, ‘Umar dan Zaid. Begitu pula dengan kata

binatang, putih, dan lain-lain. Kata-kata yang bersifat

umum tersebut bisa menjadi khusus dengan menggunakan kata

penunjuk tertentu, seperti haza al-insan, haza al-bayad, haza al-hait

. kalau ada makna universal, tentu ada makna partikular.19

19 Ahmad Hasan Ridwan, ..., hlm. 253-255

21

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Bayani sebagai pandangan dunia, boleh dikatakan

merupakan bentuk sintesis (bukan dialog) dari konsep

tauhid yang meniscayakan keterpisahan Tuhan dengan segala

wujud dengan teori atomisme yang meniscayakan keterpisahan

segala sesuatu. Bentuk sintesis ini melahirkan prinsip

diskontuinitas (mabda’ al-infishal) dan oksonialisme (mabda’ at-

tajwiz) dalam memandang hubungan antarrealitas dalam tatanan

semesta. Menurut Al-Jabiri ada hubungan yang tidak

terpisahkan antara prinsip-prinsip yang melandasi

pandangan dunia bayani dan kerangka berfikir arab jahiliah

yang pada dasarnya dipengaruhi oleh unsur-unsur geografis,

sosiologis, dan kultural.

Epistemologi ‘irfani merupakan pengetahuan yang

bersumber dari qalb, melalui kasyf. Metode yang dipergunakan

para sufi adalah metode cita rasa khusus, yaitu pemahaman

instuitif langsung, yang berbeda dengan pemahaman sensual

langsung, pemahaman rasional, dan pemahaman indriawi.

Metode di atas lazim disebut metode pengetahuan iluminasi

(kasyf).

Epistemologi burhani adalah suatu sistem berfikir

yang sumbernya berasal dari kekuatan intelektual manusia,

yaitu indra, eksperimen, dan aturan logika. Tradisi Al-

22

burhan masuk dalam tradisi berfikir arab pada abad

pertengahan, disamping kedua tradisi berfikir lain yang

telah ada, yaitu al-bayan dan al-irfan.

Secara metodologis, epistemologi burhani berbeda

dengan epistemologi bayani, yang menurut proposisi Al-

Farabi, makna lebih dulu lahir dibanding kata. Makna

didapatkan oleh logika, dan dikominikasikan oleh kata-

kata. Logika berkaitan dengan akal. Dengan demikian,

logika (al-mantiq) lebih dahulu dari tata bahasa (al-nahwu)

karena tata bahasa bersifat khusus dan sebaliknya logika

bersifat umum karena menyangkut akal. Dalam hal qiyas

(silogisme) pada tataran makna, bukan lafadz ketika logika

dihadapkan pada problematika kata dan makna pada tradisi

pemikiran arab, yang di dominasi oleh tradisi bayani.

23

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhamamad ‘Abid. Bunyah Al-‘aql Al-‘Arabi, Beirut:

Markaz Dirasah Al-Wihdah, 1990.

Al-Hujwiri, Ali Ibn Ústman. Kasyful mahjub, Terj. Suwardo Muthary

dan Abdul Hadi W.H. Bandung: Mizan, 1992.

Ridwan, Ahmad Hasan. Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung;

Pustaka setia,2001.

Nasr, Sayyed Hosein. intelektual Islam : Teologi, Filafat dan Gnosis

(Theology, Philodhopy and Sprirituality), terj. Suharsono dan

Jamaluddin M.Z, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996

Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri,

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27

/jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf

24