laporan akhir kelompok kerja analisis dan evaluasi hukum ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of laporan akhir kelompok kerja analisis dan evaluasi hukum ...
LAPORAN AKHIR
KELOMPOK KERJA
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
TERKAIT KEPAILITAN
PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
TAHUN 2018
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | i
KATA SAMBUTAN
KEPALA PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
karunia serta keilmuan yang kita miliki sehingga kita dapat menyelesaikan seluruh
tahapan kegiatan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis Dan Evaluasi Hukum, yang dimulai
dengan rapat-rapat Pokja, diskusi publik, focus group discussion, rapat dengan
Narasumber, rapat dengan Kelompok Pakar, Lokakarya, hingga bermuara pada hasil
akhir berupa laporan analisis dan evaluasi hukum yang selesai tepat pada waktunya.
Pusat analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Permenkumham Nomor 29 Tahun 2015
tentang Struktur Organisasi Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM, melaksanakan
salah satu tugas dan fungsi yaitu melakukan Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional.
Analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dilakukan tidak hanya
untuk memperbaiki materi hukum yang ada (existing), tetapi juga untuk perbaikan
terhadap sistem hukum yang mencakup materi hukum, kelembagaan hukum,
penegakan hukum, dan pelayanan hukum serta kesadaran hukum masyarakat. Hasil
analisis evaluasi adalah berupa rekomendasi terhadap status peraturan perundang-
undangan yang dianalisis, apakah di ubah, di cabut atau dipertahankan. Mekanisme
evaluasi hukum ini dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk mendeteksi peraturan
perundang-undangan apakah tumpang tindih, disharmonis, kontradiktif, multitafsir,
tidak efektif, menimbulkan beban biaya tinggi, serta tidak selaras dengan nilai-nilai
Pancasila.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional membagi Pokja Analisis Dan Evaluasi
Hukum ke dalam 12 Pokja yang pada tahun 2018 mengambil tema terkait Ease of
Doing Business (EODB). Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya yang dilakukan
Pemerintah untuk memperbaiki peringkat EODB yang diharapkan akan meningkatkan
pula minat berusaha di Indonesia yang hal ini tentu akan berdampak pada akslerasi
pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih mapan. Hal ini sejalan dengan salah satu
prioritas nasional yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yaitu meningkatkan daya
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | ii
saing ekonomi melalui iklim investasi yang kondusif. Titik berat daya saing
perekonomian perlu diarahkan pada peningkatan iklim investasi dan kemudahan
berusaha di Indonesia, dan untuk mencapai agenda tersebut, pemerintah telah
melakukan berbagai upaya dimana salah satunya adalah mengeluarkan berbagai paket
deregulasi bidang ekonomi dan penyederhanaan proses birokrasi.
Laporan hasil analisis dan evaluasi hukum yang berisi berbagai temuan
permasalahan hukum yang timbul dari sebuah peraturan perundang-undangan
dengan dilengkapi berbagai rekomendasi diharapkan dapat dijadikan acuan bagi
Kementerian/Lembaga terkait di dalam mengambil kebijakan, sehingga upaya kita
untuk bersama-sama membangun sistem hukum nasional dapat terwujud.
Kami mengucapkan banyak terima kasih atas kerja keras para ketua dan anggota
Pokja dengan didampingi oleh para Pakar untuk menyelesaikan tugas dan tanggung
jawabnya di dalam menyusun buku laporan ini. Dan kami tetap membutuhkan
masukan dan kontribusi pemikiran dari para khalayak untuk terus melengkapi berbagai
temuan dan rekomendasi yang ada pada buku ini.
Jakarta, 12 November 2018
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional
Liestiarini Wulandari, S.H., M.H.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | iii
KATA PENGANTAR
KETUA KELOMPOK KERJA ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
TERKAIT KEPAILITAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas izin dan kuasa-Nya, Analisis dan Evaluasi
Hukum terkait Kepailitan tahun 2018 telah selesai dilaksanakan. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait
Kepailitan dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan, terhitung mulai bulan Februari 2018
sampai dengan Oktober 2018.
Laporan Akhir ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus sebagai
bahan masukan bagi pelaksanaan penataan regulasi dalam rangka mendukung
kemudahan berusaha (ease of doing business) dan juga sebagai bahan penyusunan
dokumen pembangunan hukum nasional.
Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Kepailitan melaksanakan tugas
berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia
Nomor PHN-19.HN.01.01 Tahun 2018 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Analisis
dan Evaluasi Hukum terkait Kepailitan, personalia Pokja terdiri dari:
Penanggung Jawab : Liestiarini Wulandari, S.H., M.H.
Ketua : Dr. Edmon Makarim, S.H.,LL.M
Sekretaris : Dwi Agustine Kurniasih
Anggota : 1. Muhammad Faiz Aziz, S.H,.M.H
2. Erni Herawati, S.H.,M.H
3. Sudarsono, S.H.,M.H
4. Dulyono, S.H.,M.H
5. Agustina Setiawati, S.H.,M.H
6. Imran Nating, S.H.,M.H
7. Suhendra Asido Hutabarat, S.H.,M.H
8. Dr. Teddy Anggoro, S.H.,M.H
9. Raymon, S.H,. M.Si
10. Hasanudin, S.H.,M.H
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | iv
11. Apri Listiyanto, S.H
12. Viona Wijaya, S.H.
13. Iis Trisnawati, S.H
14. Gunardi SA Lumbantoruan, S.H
Analisis dan evaluasi dilakukan untuk menilai 5 (lima) dimensi penting terhadap
peraturan perundang-undangan, yakni Pertama, Ketepatan Jenis Peraturan
perundang-undangan; Kedua, Potensi disharmoni pengaturan; Ketiga, Kejelasan
rumusan; Keempat, Kesesuaian norma dengan asas materi muatan; dan Kelima,
Efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Kepailitan.
Untuk mencapai maksud dan tujuan dibentuknya Pokja, dalam melakukan
kegiatan analisis dan evaluasi, Pokja melakukan serangkaian kegiatan, yakni
mengundang narasumber dan pakar yang berkompeten di bidang Kepailitan;
menyelenggarakan Focus Group Discussion dan Diskusi Publik di daerah serta terakhir
mengadakan Lokakarya untuk penajaman hasil sementara analisis dan evaluasi.
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi, Pokja merumuskan beberapa rekomendasi
terkait Kepailitan, baik berupa perubahan, pencabutan Pasal, serta tindakan lain dalam
rangka efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas masukan dan saran-
sarannya, baik tertulis maupun tidak tertulis, khususnya kepada para narasumber dan
pakar yang telah memberikan pemikirannya dalam berbagai forum Pokja ini. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dan belum banyak memberikan sumbangan
pemikiran untuk melakukan analisis dan evaluasi. Oleh karena itu, kritik, saran dan
masukan dari semua pihak sangat kami harapkan dalam rangka menyempurnakan
analisis dan evaluasi ini.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | v
Semoga Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum terkait kepailitan ini dapat
berguna bagi pembangunan hukum nasional kita.
Jakarta, Oktober 2018
Ketua Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum
Terkait Kepailitan,
Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | vi
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN ............................................................................................................I
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ III
DAFTAR ISI ................................................................................................................... VI
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................1
B. PERMASALAHAN ....................................................................................................5
C. TUJUAN KEGIATAN .................................................................................................5
D. RUANG LINGKUP ....................................................................................................5
E. METODE .................................................................................................................7
BAB II ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM ..................................................................... 11
A. INVENTARISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN .................................... 11
B. HASIL ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM ............................................................. 15
1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ................................................. 15
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan .......................... 87
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ................ 93
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian .............. 106
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan .......... 111
6. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana ................. 116
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan ................................................................................................. 117
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ....... 143
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat ............................................ 168
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ..... 176
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank .................................................... 195
12. Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan ........ 205
13. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Perhitungan
Jumlah Hak Suara Kreditor ........................................................................ 208
14. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan
Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum ............................................ 208
15. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2015 tentang
Pembubaran, Likuidasi dan Kepailitan Perusahaan Asuransi,
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | vii
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan
Reasuransi Syariah .................................................................................... 213
16. Peraturan OJK Nomor 26/POJK.04/2017 Tentang Keterbukaan
Infromasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik Yang dimohonkan Pailit .. 216
17. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga
Paksa Badan atau Gijzeling ........................................................................ 218
18. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang
Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan .................. 223
19. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah .......................................................................... 232
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 236
A. Simpulan ........................................................................................................... 236
B. Rekomendasi..................................................................................................... 237
LAMPIRAN ................................................................................................................ 239
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian secara global membawa pengaruh tidak hanya
terhadap dunia ekonomi dan investasi, namun juga berkorelasi terhadap
perkembangan hukum terutama hukum ekonomi. Salah satu bidang hukum ekonomi
yang turut mengalami perubahan sebagai upaya untuk mengakomodir perkembangan
praktek transaksi bisnis modern adalah hukum kepailitan. Pengaturan mengenai
hukum kepailitan di berbagai negara termasuk Indonesia cenderung mengalami
perubahan. Sebagai contoh di Eropa, beberapa dekade terakhir negara-negara Eropa
berpendapat bahwa kerangka hukum insolvensi yang ada belum mampu memberikan
skema ekonomi yang lebih baik dibandingkan skema likuidasi sehingga perubahan
substansi kepailitan terjadi di hampir semua negara uni eropa.1 Secara substansi dan
struktur walaupun kebijakan terkait kepailitan di masing-masing negara uni eropa
menunjukkan beberapa perbedaan namun sebagian besar kebijakan ini memiliki titik
berat pada prosedur penyelamatan perusahaan (“corporate rescue procedure”),
sebagai alternatif dari prosedur likuidasi. Prosedur dalam kepailitan yang dipakai oleh
sebagian besar negara-negara uni eropa ini mengacu pada Chapter 11 of the United
States Bankruptcy Code.2
Indonesia dalam menjawab tantangan perekonomian dunia juga melakukan
langkah perbaikan terkait dengan hukum kepailitan. Perbaikan peraturan perundang-
undangan terkait kepailitan diawali tahun 1998 dengan lahirnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Kepailitan. Peraturan ini lahir pada saat Indonesia dilanda krisis moneter pada
tahun 1998 yang mengakibatkan sejumlah perusahaan nasional maupun multinasional
1 http://leidenlawblog.nl/articles/the-logic-of-harmonisation-of-insolvency-law-in-the-eu, diakses
tanggal 20 Maret 2018. 2 Bab 11 dari Hukum Kepailitan Amerika Serikat secara umum mengatur mengenai reorganisasi
(reorganization), yang biasanya meliputi korporasi ataupun persekutuan perdata. Dalam bab ini seorang debitur biasanya mengajukan usulan reorganisasi untuk menjaga usahanya tetap hidup dan bisa membayar krediturnya.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 2
di Indonesia mengalami pailit. Kemudian pada tahun 2004 sebagai penyempurnaan
dari substansi pengaturan kepailitan sebelumnya serta untuk menjawab kebutuhan
dan perkembangan hukum masyarakat, ditetapkanlah UU Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang ini
dalam penjelasan umumnya disebutkan memiliki cakupan yang lebih luas baik dari segi
norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-piutang. Cakupan
yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum
memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara
adil, cepat, terbuka, dan efektif.3
Penyelesaian perkara kepailitan menjadi bagian penting yang mendukung
kemudahan berusaha di Indonesia. Hal ini menjadi acuan investor untuk memastikan
apakah utang dapat dibayarkan, sekaligus juga memastikan apakah perusahaan yang
memiliki kesulitan keuangan mempunyai mekanisme untuk direstruktur utangnya.
Selain itu penyelesaian perkara kepailitan dapat menggambarkan apakah mekanisme
penyelesaian likuidasi dapat diselesaikan secara transparan dengan hasil yang terbaik.4
Walaupun Bank Dunia dalam laporan terbarunya yang berjudul “Doing Business 2018:
Reforming to Create Jobs”menempatkan Indonesia dalam indikator penyelesaian
kepailitan (resolving insolvency) di posisi 38 pada EODB 2018 dimana posisi ini
menunjukkan adanya perbaikan peringkat yang cukup tajam dari sebelumnya di posisi
74 pada EODB 2016 (36 peringkat)5, namun fokus perbaikan terkait dengan
pelaksanaan hukum kepailitan tidak berhenti disitu saja. Terlebih lagi dengan tren
perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha yang terus berkembang melintasi
batas-batas negara, sehingga tuntutan hadirnya kebijakan yang up to date dan dapat
mengakomodir perkembangan jaman merupakan suatu hal yang mutlak.
3 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang 4 http://industri.bisnis.com/read/20170408/12/643747/minta-revisi-uu-kepailitan-simak-alasannya,
diakses tanggal 20 Maret 2018 5 https://www.ekon.go.id/berita/view/kerja-keras-bersama-hasilkan.3589.html, diakses tanggal 20
Maret 2018
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 3
Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025 mengamanatkan bahwa, sasaran pembangunan nasional dalam RPJMN III
(2015-2019) ditekankan pada peningkatan daya saing bangsa di berbagai bidang.
Dalam kaitannya dengan bidang hukum, terdapat korelasi signifikan antara
pembangunan hukum dengan daya saing. Beberapa aspek hukum seperti
perlindungan investor, independensi kehakiman, regulasi pemerintah, penyuapan,
dan kerangka hukum penyelesaian sengketa, termasuk dalam persyaratan dasar daya
saing bangsa sebagaimana dimuat dalam Global Competitiveness Index (GCI). Namun,
permasalahan di bidang hukum tidak hanya meliputi aspek-aspek yang termuat dalam
GCI saja, tetapi masih banyak komponen hukum lain yang secara langsung maupun
tidak langsung juga dapat mempengaruhi daya saing di Indonesia.6
Salah satu aspek hukum yang memiliki pengaruh langsung baik terhadap daya
saing, investasi, perdagangan dan lingkup perekenomian lainnya adalah regulasi atau
peraturan perundang-undangan. Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan regulasi, antara lain: 1) Terlalu
banyak regulasi (Hyper-regulation); 2) Saling bertentangan; 3) Tumpang tindih
(Overlapping); 4) Multitafsir; 5) Tidak taat asas (inconsistency); 6) Tidak efektif; 7)
Menciptakan beban yang tidak perlu; 8) Menciptakan Ekonomi Biaya Tinggi (High-Cost
Economy),7 sehingga Pemerintah pada Rapat Terbatas tanggal 17 Januari 2017
menetapkan tiga poin penting dalam Paket Kebijakan Reformasi Hukum Jilid II, yaitu;
pertama, penataan regulasi; kedua, Perluasan jangkauan bantuan hukum kepada
masyarakat, dan ketiga membangun rasa aman di lingkungan.8
Dalam menjawab tantangan reformasi hukum jilid II tersebut, salah satu agenda
yaitu penataan regulasi diperlukan penguatan pembentukan peraturan perundang-
undangan. Hal ini perlu dilakukan karena disinyalir masih terdapat penyelundupan isu-
isu primordial, sektarian, kepentingan asing dan ego sektoral dalam pembentukan
6 Lihat Buku II RPJMN 2015-2019 7 Keynote speech Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly, SH.,MSc.,Ph.D, yang disampaikan
dalam Rapat Koordinasi Penataan Regulasi yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional – Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta tanggal 7 Februari 2018
8 Diambil dari http://www.bphn.go.id/news/2017011901570090/Bantuan-Hukum-Menjadi-Agenda-Reformasi-Hukum-Jilid-II, akses tanggal 21 Maret 2018
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 4
peraturan perundang-undangan, Sehingga akan dapat menimbulkan ketidaksinkronan
perencanaan pembentukan peraturan dengan kebijakan pembangunan serta tidak
menjaga marwah amanat Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar dalam
peraturan perundang-undangan serta Pancasila yang merupakan sumber dari segala
sumber hukum negara.9
Penataan Regulasi harus dilakukan melalui evaluasi atas berbagai peraturan agar
sejalan dengan jiwa Pancasila, amanat konstitusi dan kepentingan nasional. Dengan
dilakukannya penilaian terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya akan
memperbaiki materi hukum yang ada (existing), namun juga memperbaiki sistem
hukum yang mencakup materi hukum; kelembagaan dan penegakan hukum;
pelayanan hukum; serta kesadaran hukum masyarakat.
Dari berbagai latar belakang yang disampaikan di atas pada tahun 2018, Badan
Pembinaan Hukum Nasional membentuk kelompok kerja yang akan melaksanakan
kegiatan analisis dan evaluasi hukum terkait kepailitan. Analisis dan evaluasi hukum
merupakan upaya melakukan penilaian terhadap hukum, dalam hal ini peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif, yang dikaitkan dengan struktur hukum
dan budaya hukum. Dalam kelompok kerja ini, analisis dan evaluasi hukum dilakukan
terhadap setiap peraturan perundang-undangan yang telah diinventarisasi dengan
menggunakan instrumen penilaian yang dikembangkan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, yakni 5 Dimensi. Instrumen penilaian 5 Dimensi ini meliputi:
Pertama, Penilaian kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; Kedua,
Penilaian Kejelasan Rumusan; Ketiga, Penilaian kesesuaian norma; Keempat, Penilaian
potensi disharmoni pengaturan; Kelima, Penilaian efektivitas implementasi peraturan.
Penilaian dilakukan secara komprehensif baik dari tataran normatif maupun praksis.
Hasil analisis dan evaluasi ini dapat menjadi masukan perbaikan yang objektif terhadap
peraturan perundang-undangan yang ada dan dengan demikian diharapkan dapat
menjadi bahan pembangunan hukum di indonesia.
9 Keynote speech, op.cit
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 5
B. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang hendak dijawab melalui kegiatan analisis dan
evaluasi hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan apa saja yang terkait
Kepailitan, yang perlu dilakukan analisis dan evaluasi?
2. Bagaimana analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dan
peraturan kebijakan terkait Kepailitan, jika ditinjau dari penilaian ketepatan jenis
peraturan perundang-undangannya; potensi tumpang tindih atau disharmoni;
pemenuhan asas kejelasan rumusan; kesesuaian norma dengan asas materi
muatan perundang-undangan; dan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan?
3. Rekomendasi apakah yang harus ditindaklanjuti terhadap peraturan perundang-
undangan yang dievaluasi tersebut?
C. Tujuan Kegiatan
Kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Kepailitan dilaksanakan dengan
tujuan, sebagai berikut:
1. Menginventarisasi peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan
terkait Kepailitan, yang teridentifikasi perlu untuk dianalisis dan dievaluasi.
2. Menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang
terinventarisasi, berdasarkan penilaian ketepatan jenis peraturan perundang-
undangannya; potensi tumpang tindih atau disharmoni; pemenuhan asas
kejelasan rumusan; kesesuaian norma dengan asas materi muatan perundang-
undangan; dan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
3. Memberikan rekomendasi terhadap peraturan perundang-undangan yang
terinventarisasi, berdasarkan hasil analisis dan evaluasi
D. Ruang Lingkup
Objek yang dilakukan Analisis dan Evaluasi Hukum adalah peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan masalah kepailitan, yang terdiri dari Undang-Undang,
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 6
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya menurut Pasal 8 Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
serta peraturan kebijakan yang terkait.
Berdasarkan hasil inventarisasi awal telah didapati 11 (sebelas) peraturan
perundang-undangan yang akan dilakukan analisis dan evaluasi sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha tidak Sehat
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
12. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
13. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghitungan Jumlah Hak
Suara Kreditor
14. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan
Pailit Untuk Kepentingan Umum
15. Peraturan OJK Nomor 26/POJK.04/2017 tahun 2017 tentang Keterbukaan
Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 7
16. Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran, Likuidasi, dan
Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah
17. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga
Paksa Badan atau Gijzeling
18. PERMA No 2 Tahun 2008 tentang kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
19. SEMA Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi
Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Pengadilan
E. Metode
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap
peraturan perundang-undangan adalah didasarkan pada 5 (lima) dimensi penilaian,
yaitu:
1. Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-undangan;
2. Dimensi Potensi Disharmoni;
3. Dimensi Kejelasan Rumusan;
4. Dimensi Kesesuaian Norma dengan Asas:
5. Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan perundang-undangan.
Masing-masing dimensi memiliki variabel dan indikator penilaiannya masing-
masing. Penjelasan mengenai kelima dimensi penilaian tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Penilaian Berdasarkan Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Penilaian terhadap dimensi ini dilakukan untuk memastikan bahwa
peraturan perundang-undangan dimaksud sudah sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan. Bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu hierarki
tata susunan, dalam pengertian bahwa suatu norma yang lebih rendah berlaku
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 8
berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut
yang berupa norma dasar (grundnorm). Peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferior). Dalam sistem hukum Indonesia
peraturan perundang-undangan juga disusun berjenjang sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Penilaian Berdasarkan Potensi Disharmoni
Penilaian ini dilakukan dengan pendekatan normatif, terutama untuk mengetahui
adanya disharmoni pengaturan mengenai: 1) kewenangan, 2) hak dan kewajiban,
3) perlindungan, dan 4) penegakan hukum.
3. Penilaian Kejelasan Rumusan
Setiap peraturan perundang-undangan harus disusun sesuai dengan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, dengan memperhatikan
sistematika, pilihan kata atau istilah, teknik penulisan, dnegan menggunakan
bahasa peraturan perundang-undangan yang lugas dan pasti, hemat kata, objektif
dan menekan rasa subjektif, membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang
digunakan secara konsisten, memberikan definisi atau batasan artian secara
cermat. Sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
4. Penilaian Kesesuaian Norma dengan Asas
Penilaian ini dilakukan untuk memastikan peraturan perundang-undangan
dimaksud sudah sesuai dengan asas materi muatan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Asas materi muatan meliputi:
1) Pengayoman
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan untuk ketentraman masyarakat.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 9
2) Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3) Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5) Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6) Bhinneka Tunggal Ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta
budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7) Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 10
9) Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
10) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
5. Penilaian Efektivitas Implementasi Peraturan Perundang-undangan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
kejelasan tujuan yang hendak dicapai serta berdayaguna dan berhasilguna. Hal ini
sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 (huruf a dan huruf e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Penilaian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan yang
diharapkan. Penilaian ini perlu didukung dengan data empiris yang terkait dengan
implementasi peraturan perundang-undangan.
Penilaian pada dimensi efektivitas, dapat dilakukan dengan menggunakan
metode analisis terhadap beban dan manfaat dari pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan. Yang pertama kali perlu dilakukan adalah mengumpulkan
data permasalahan efektivitas untuk menentukan isu yang akan dinilai rasio beban
dan manfaatnya. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data hukum (kebijakan
dan peraturan perundang-undangan), dan data yang berkaitan dengan
keekonomian. Analisis terhadap beban dan manfaat pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat
rekomendasi bagi suatu peraturan perundang-undangan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 11
BAB II
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
A. Inventarisasi Peraturan Perundang-Undangan
Kelompok Kerja telah menginventarisir peraturan perundang-undangan terkait
dengan Kepailitan, baik yang terkait langsung dengan Ease of Doing Business
(kemudahan berusaha) maupun tidak terkait langsung. Dari hasil inventarisir tersebut,
maka objek peraturan perundang-undangan yang dilakukan analisis dan evaluasi
adalah sebanyak 19 (sembilan belas) peraturan perundang-undangan, yang terdiri
dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang; 4 (empat) Peraturan Pemerintah, dan 5 (lima)
peraturan lainnya. Rincian peraturan perundang-undangan yang dijadikan obyek
analisis dan evaluasi hukum sebagai berikut :
No Nama PUU Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran
Utang
1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, dan
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1926:559 juncto
Staatsblad 1941:44);
3. Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan
Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
2. Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar 1945;
3. Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang
Perasuransian
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 12
No Nama PUU Dasar Hukum
4. Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal Undang-Undang
Dasar 1945.
5. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
dan Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
6. Undang-Undang Nomor 3
tahun 2011 tentang Transfer
Dana
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang– Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi Undang-Undang;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
7. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana
diubah dengan UU No. 10
Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
8. Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004;
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan;
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
9. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha tidak
Sehat
Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 13
No Nama PUU Dasar Hukum
10. Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
11. Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 1999
tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi
Bank
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
5. 5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas
12. Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
13. Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 2005
tentang Penghitungan
Jumlah Hak Suara Kreditor
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
14. Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2000
tentang Permohonan
Pernyataan Pailit Untuk
Kepentingan Umum
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia;
3. Undang-undang tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-
undang
15. Peraturan OJK Nomor
26/POJK.04/2017 tahun
2017 tentang Keterbukaan
Informasi bagi Emiten atau
Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan
Pailit
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal;
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan
16. Peraturan OJK Nomor
28/POJK.05/2015 tentang
Pembubaran, Likuidasi, dan
Kepailitan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi
Syariah
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 14
No Nama PUU Dasar Hukum
17. Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 1 Tahun
2000 tentang Lembaga
Paksa Badan atau Gijzeling
1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
5. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) dan Reglemen
Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg.).
18. PERMA No 2 Tahun 2008
tentang kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat
Berharga Syari'ah Negara;
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syari'ah
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004.
19. SEMA Nomor 2 Tahun 2016
Tentang Peningkatan
Efisiensi dan Transparansi
Penanganan Perkara
Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran
Utang di Pengadilan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 15
B. Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum
1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) merupakan fase perubahan
dari ketentuan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang ada di
Indonesia. Sebelumnya ketentuan kepailitan hanya diperuntukan dilingkungan
perdagangan berdasarkan Buku III (Ketiga) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(wetboek van koophandel) yang kemudian digantikan dengan Peraturan Kepailitan
Faillisementverordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 No. 348.
Selama hampir 100 (seratus) tahun keberadaan Faillisementverordening kemudian
dilakukan perubahan pada tahun 1998 seiring dengan krisis keuangan di Indonesia,
dimana Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan, yang
ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan
Menjadi Undang-Undang. Ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang diterapkan di
Indonesia selama hampir 14 (empat belas) tahun keberlakukannya, mengalami
beberapa permasalahan terkait dengan ketentuan norma yang ada dalamnya yang
dianggap rentan dengan penyalahgunaan yang dapat merugikan pihak debitor dan
kreditor sehubungan dengan penyelesaian kepailitan, sehingga kepailitan menjadi
momok dalam penyelesaian bisnis dikarenakan sangat mudahnya mekanisme
penjatuhan pailit hanya berdasarkan bukti sederhana dengan mekanisme yang tidak
relevan dengan prinsip hukum kebebasan hakim pada umumnya untuk menilai
perkara, akibatnya banyak perusahaan yang sehat dapat menjadi pailit dan justru
merugikan kreditor pada umunnya dan debitor yang melaksanakan perusahaannya
yang memiliki solvabilitas yang baik justru dirugikan akibat sistem kepailitan dalam UU
Kepailitan dan PKPU yang masih terdapat kelemahan pada sistem hukum dan
kelembagaan pelaksana kepailitan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 16
Penyelesaian utang dengan lembaga kepailitan berakibat harta benda debitor
dalam keadaan disita oleh pengadilan dan selanjutnya menjadi kewenangan kurator
untuk mengurus harta kekayaan tersebut hingga proses kepailitan berakhir, termasuk
pemberesan terhadap utang-utangnya. Oleh karena itu, dalam prakteknya seringkali
kepailitan dipersepsikan bukan sebagai jalan keluar namun lebih sering mengandung
konotasi negatif. Hal ini kemudian berimbas menurunkan kepercayaan publik
terhadap kemampuan seorang direksi atau komisaris perusahaan untuk mengelola
suatu perusahaan, sehingga dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas menjadi syarat bagi direksi dan dewan komisaris (Lihat Pasal 93
dan Pasal 110 UU PT). Seiring dengan perkembangan masyarakat terhadap
penyelesaian kepailitan, Bank Dunia menetapkan resolving insolvency sebagai salah
satu indikator kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) yang menyoroti
beberapa diantaranya terkait dengan costs dan recovery assets yang relatif rendah.
Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang ini, pokja mengambil
beberapa isu yang dianggap signifikan, antara lain:
1) Usulan perubahan syarat kepailitan. Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
merupakan syarat formal kepailitan. Keberadaan pasal ini dianggap sudah tidak
relevan dengan perkembangan hukum yang ada. Ketentuan ini sangatlah rentan
dengan penyalahgunaan dikarenakan apabila dikaitkan dengan ketentuan
pembuktian sederhana, maka kepailitan akan mudah didapatkan oleh pemohon
sepanjang ketentuan Pasal 2 ayat (1) terpenuhi. Selain itu, juga rentan
menimbulkan ketidakstabilan usaha di Indonesia dan perlu untuk dilakukan
penyempurnaan. Namun demikian, pokja dengan mendapat masukan dari
kelompok pakar hukum mempertimbangkan bahwa untuk saat ini perubahan
terhadap syarat kepailitan ini belum perlu dilakukan, dengan mempertimbangkan
best practices di beberapa negara yang juga menggunakan syarat kepailitan yang
sama dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut. Meski demikian harus
lebih konsisten dan berhati-hati dalam penerapan dan penegakannya karena
rawan disalahgunakan;
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 17
2) Penghapusan ketentuan mengenai ketentuan PKPU diajukan oleh Kreditor (Pasal
222 ayat (3) jo. Pasal 225 ayat (3)). Keberadaan Kreditor sebagai pemohon PKPU
adalah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada. Ketentuan ini tidak sesuai
dengan standar kepailitan secara internasional, dimana kreditor dapat
mengajukan suatu permohonan PKPU sedangkan debitorlah yang sangat
mengetahui kemampuan pembayaran utangnya, dan sistem PKPU saat ini kreditor
yang mengajukan permohonan namun debitor yang membuat rencana
perdamaian dan harus berdamai dengan seluruh kreditor dalam waktu yang
sangat terbatas dalam waktu PKPU pertama selama 45 (empat puluh lima) hari,
atau perusahaan jatuh pailit sebagai konsekuensinya;
3) Time Frame harus diterapkan secara mutlak (disiplin) dalam ketentuan UU
Kepailitan dan PKPU dimana sistem kepailitan yang ada dalam Undang-Undang
tersebut memungkinkan rentang waktu yang relatif lama dalam penyelesaian
suatu perkara kepailitan dan PKPU;
4) Perlu ada batasan terkait berakhirnya proses pemberesan kepailitan. Hal ini perlu
diperjelas mengenai pemberesan kepailitan terhadap orang perorangan
khususnya terkait dengan rehabilitasi dan kondisi kemampuan kembali untuk
menjalankan usahanya (financial freshstart), sedangkan untuk badan usaha
Perseroan Terbatas berlaku ketentuan likuidasi sebagaimana terdapat dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas;
5) Perlu sinkronisasi pengaturan dan implementasi terkait ketentuan sita pidana dan
sita umum terhadap harta benda dalam perkara kepailitan (Pasal 39 KUHAP);
6) Perlunya memperkuat sistem e-court dalam penyelesaian kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang. Diperlukan interoperabilitas antara
sistem informasi yang dikelola MA dengan Ditjen AHU, sehingga database
kepailitan dapat terkonsolidasi antara Pengadilan Niaga dengan sistem
administrasi badan hukum ditjen AHU KemenkumHAM. Pemanfaatan teknologi
informasi, media elektronik di satu sisi dan adanya kebutuhan untuk tetap
memperhatikan keragaman perkembangan teknologi di berbagai daerah di
Indonesia di sisi lainnya. Pada sisi publikasi kepailitan, pemanfaatan teknologi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 18
informasi dianggap masih perlu didampingi dengan penggunaan media publikasi
manual (dengan surat kabar). Dengan adanya media publikasi online dan manual
dapat makin menguatkan dan memudahkan akses informasi kepada masyarakat;
7) Mengefektifkan kembali lembaga paksa badan atau gizjeling dalam ketentuan
Pasal 93 UU Kepailitan dan PKPU;
8) Pengawasan terhadap kurator yang dapat diselenggarakan secara koordinatif
ataupun kolaboratif antara Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung dan
Lembaga asosiasi Kurator. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan profesionalitas
kurator dalam melaksanakan profesinya dan memberikan jaminan kepastian
hukum bagi debitor dan kreditor lainnya terhadap kurator yang melaksanakan
pengurusan dan pemberesam harta kepailitan debitor;
9) Perlunya mengadopsi konsep penyelesaian kepailitan lintas batas negara (cross
border insolvency), hal ini mengingat perkembangan perekonomian dan
perdagangan lintas batas negara serta perekonomian kawasan, memerlukan
adanya politik penerapan bagi penggunaan penyelesaian kepailitan lintas batas
negara.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 19
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. - D1 Mengatur lebih
lanjut
ketentuan UUD
NRI Tahun
1945 yang
tidak
diamanatkan
secara tegas
oleh UUD NRI
Tahun 1945.
Perintah UU
untuk datur
dengan UU.
Diamanatkan
untuk diatur
dengan atau
dalam UU, dan
disebutkan
secara tegas
materinya
Diperintahan
secara tegas
oleh UU lain
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”.
UU 37/2004 mengatur tentang kurator yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman, sehingga harus diatur dalam
undang-undang. Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 menghendaki agar
pengaturan perekonomian nasional diatur dalam undang-undang.
UU 37/2004 mengatur tentang perekonomian nasional, sehingga
harus diatur dalam undang-undang.
Pasal 28 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 diatur dalam undang-undang”. UU 37/2014
mengatur hukum acara, sehingga harus diatur dalam undang-
undang.
Tetap
2. Konsideran Menimbang
Huruf b.
D3
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Lampiran II UU No 12/2011 menyebutkan Konsiderans
Menimbang terdiri atas 3 unsur yang harus ditempatkan secara
berurutan: filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Bahwa Konsiderans Menimbang dalam UU 37/2004 terdiri atas
4 point, yang apabila dibaca terlihat bahwa point b dan point c
pada pokoknya adalah sama, yaitu unsur sosiologis. Untuk itu,
semestinya point b dan point c dijadikan satu saja.
Ubah
Konsideran menimbang poin b
dan c digabungkan.
Dasar menimbang ini harus
diganti dan sebaiknya
dirumuskan dengan
memperhatikan kemungkinan-
kemungkinan terjadinya pailit
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 20
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D4 Pengayoman Adanya
ketentuan yang
menjamin
keberlanjutan
generasi kini dan
generasi yang
akan datang,
atau tidak
ditemukannya
ketentuan yang
dapat
menyebabkan
tidak
terjaminnya
keberlanjutan
generasi kini dan
yang akan
datang
Dasar menimbang UU ini masih berparadigma bahwa kepailitan
itu terjadi akibat kesalahan orang dalam melakukan perbuatan
hukum ekonomi di masyarakat dan kepailitan dianggap sebagai
suatu “hukuman.” Padahal, kepailitan tidak selalu begitu dan
seseorang atau badan usaha menjadi pailit bisa saja terjadi
karena faktor peraturan perundang-undangan yang
menghambat perekonomian, pajak yang membebani, dan
penguasaan barang atau properti yang mahal (misalnya harga
naik terus tanpa terkendali).
Usulan redaksional:
Bahwa kegiatan ekonomi yang meningkat diikuti juga dengan
tantangan yang dapat menghambat pelaksanaan kegiatan
tersebut yang dapat mempengaruhi keuangan subjek hukum yang
melakukan kegiatan ekonomi tersebut.
akibat faktor yang lebih luas.
Tidak hanya kepada soal utang
piutang atas kesalahan orang
semata, namun juga karena
faktor lainnya. Mengingat
kegiatan ekonomi bersifat lintas
batas, maka paradgma
kepailitan terutama di negara-
negara ekonomi yang lebih maju
mestilah dipertimbangkan.
3. Menimbang huruf c . bahwa krisis
moneter yang terjadi di Indonesia
telah memberikan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap
perekonomian nasional Sehingga
menimbulkan kesulitan besar
terhadap dunia usaha dalam
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
UU Kepailitan ini terbit karena adanya krisis ekonomi pada 1998
lalu dan UU ini menyempurnakan Perpu No. 1/1998. Mengingat
bahwa saat ini perekonomian Indonesia sudah stabil kembali,
maka dasar menimbang ini sudah tidak relevan.
Ubah atau Cabut
Konsideran menimbang ini
yaitu: 1. Dimodifikasi atau
diubah bahwa UU Kepailitan
diperlukan untuk
mengantisipasi terjadinya krisis
ekonomi di masa mendatang.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 21
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
menyelesaikan utang piutang
untuk meneruskan kegiatannya;
Tentu saja Perlu pemikiran
mendalam bagaimana cara
antisipasi atas kejadian masa
depan; ATAU 2. Dihapuskan
sama sekali dasar menimbang
huruf c yang bicara soal krisis
ekonomi.
4. Menimbang huruf d D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Menyambung kepada Angka 1 dan 2 pada baris tabel ini, dasar
menimbang huruf d sebaiknya sudah harus mulai diubah dan
menyesuaikan dengan perkembangan zaman perekonomian
dunia dan nasional saat ini termasuk terkait dengan liberalisasi
kegiatan ekonomi dan sarana prasarana kegiatan pembayaran
yang menggunakan sarana daring dan lintas batas.
Ubah
5. Mengingat: 4. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Sudah ada perubahan kedua UU Mahkamah Agung pada tahun
2009 melalui UU No. 3/2009.
Usulan redaksional:
Bahwa pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU) harus menyesuaikan dengan
dan mampu mengakomodasi pesatnya kegiatan perekonomian
dan sistem pembayaran yang semakin berkembang yang
mempengaruhi penyelesaian utang-piutang sehingga perlunya
untuk mengganti Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Ubah
Usulan Redaksi:
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 22
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
6. Mengingat: 5. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana
telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 8 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Sudah ada perubahan kedua UU Mahkamah Agung pada tahun
2009 melalui UU No. 3/2009.
Usulan Redaksi:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Ubah
7. Mengingat: 6. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah diganti
dengan UU No. 48/2009.
Usulan Redaksi:
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Ubah
8. Perihal materi pokok yang diatur D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Ditulis dengan
sistematika
umum-khusus
Lampiran II UU 12/2011 pada angka 63 menyatakan bahwa
pengelompokan materi disesuaikan dengan kesamaan materi
yang bersangkutan.
Lampiran II UU 12/2011 pada angka 67 menyatakan bahwa
pengelompokan disusun dalam buku, bab, bagian dan paragraf.
Bahwa dalam UU 37/2004 ditemukan pengelompokan materi
yang tidak sesuai dengan kesamaan materi yang diatur, mulai dari
pemilahan yang tidak tegas antara hukum materiil dengan hukum
formil hingga pemilahan lembaga/pejabat yang berwenang.
Sebagai misal: Bab II Bagian Kesatu memuat ketentuan tentang
Permohonan, hukum acanya di Pengadilan, hingga tentang
Perbaikan sistematika bagian
sesuai dengan pengelompokan
materi yang diatur
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 23
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Kurator, yang kesemuanya dalam satu Bagian, tidak dipecah dalam
paragraf-paragraf dalam hal-hal yang memiliki kesamaan materi.
9. Pasal 1 angka 6:
Utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun
mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang
dan yang wajib dipenuhi oleh
Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor
untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitor.
D2
D3
Kewajiban
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Adanya
pengaturan
mengenai
kewajiban yang
sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
kewajiban yang
berbeda;
Jelas
Ketentuan Pasal 1 angka 6 ini tidak jelas, khususnya terkait
dengan “...dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”. Ketentuan ini
bertentangan dengan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,
baik karena undang-undang sehingga ada 2 (dua) kondisi yang
dimungkinkan timbulnya suatu perikatan berupa utang-piutang.
Ketentuan ini jelas menimbulkan adanya perbedaan antara satu
dengan lainnya. Selain itu, ketentuan pengertian utang ini juga
tidak jelas dan multi tafsir sehingga dapat dimaknai selain
persetujuan dan undang-undang, ada sumber perikatan lain
yang dimungkinkan. Adanya putusan suatu pengadilan
merupakan turunan akibat adanya perikatan yang disebabkan
oleh adanya peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan.
Istilah kontinjen disamakan dengan yang akan timbul di
kemudian hari. Istilah ini memang sama dengan
“kemungkinan”.Namun dalam KBBI, istilah ini tidak ada.
Alangkah lebih baik jika dihilangkan atau kalaupun mau tetap
diadakan dimasukan sebagai keterangan dalam kurung setelah
makna sesungguhnya.
Ubah
10. Pasal 1 angka 9 D5 - - Ketentuan mengenai hari kalender sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 9 UU KPKPU menimbulkan permasalahan
Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 24
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Hari adalah hari kalender dan
apabila hari terakhir dari suatu
tenggang waktu jatuh pada hari
Minggu atau hari libur, berlaku
hari berikutnya
dengan adanya kewajiban yang dapat dianggap menimbulkan
kendala dalam implementasinya.
Ketentuan mengenai hari berdasarkan kalender dianggap
menyulitkan baik bagi hakim maupun bagi para pihak yang
terkait dengan proses kepailitan dikarenakan hari kalender
sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut dihitung secara
hari normal, termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari
bertanggal merah. Pada hari-hari tersebut, pelayanan jasa
masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilakukan demikian juga
dalam proses perkara di pengadilan.
Pada FGD Pokja, ketentuan mengenai hari kalender ini menjadi
bahan pembahasan pakar yaitu Dr. Ricardo Simanjuntak yang
menyatakan hanya ada dua hari dalam hukum yaitu hari
kalender dan hari kerja. Penggunaan hari kalender dalam UU ini
sudah clear atau jelas, dimana kalau jatuh pada hari libur maka
sudah otomatis hitungannya akan jatuh pada hari berikutnya.
Jika direkomendasikan perubahan menjadi hari kerja,
kemungkinan jika diubah menjadi hari kerja akan main
memperlama proses penyelesaian kepailitan.
11. Pasal 1 angka 10:
Tenggang waktu adalah jangka
waktu yang harus dihitung dengan
tidak memasukkan hari mulai
berlakunya tenggang waktu
tersebut.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Efisien Definisi tenggang waktu ini sebaiknya dihilangkan, mengingat
istilah kata tenggang waktu sudah merupakan suatu hal yang
umum. Dalam KBBI tenggang waktu diartikan sebagai batas waktu.
Selain itu, tidak ditemukan definisi tenggang waktu dalam
peraturan perundang-undangan lain.
Cabut
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 25
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
12. Pasal 1 angka 11
Setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi
termasuk korporasi yang
berbentuk badan hukum maupun
yang bukan badan hukum dalam
likuidasi.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Konsisten Kata Setiap sebaiknya tidak usah ada karena di berbagai
peraturan perundang-undangan hanya menyebut kata “orang”.
Korporasi lebih melekat kepada badan hukum ketimbang badan
usaha non badan hukum. Hal ini terlihat dari kamus di KBBI dan
juga terjemahan asli corporation.
Definisi orang sebaiknya meliputi: Perorangan, Persekutuan
perdata, Firma, CV, PT, Yayasan, Koperasi, Badan hukum lain
milik negara, Perkumpulan berbadan hukum.
Pada FGD Pokja, ketentuan mengenai hal ini menjadi bahan
pembahasan pakar yaitu Dr. Ricardo Simanjuntak dimana tidak
ditemukan masalah terkait penggunaan kata “setiap” ini.
Ubah
Perlu perbaiki penggunaan kata
yang tepat apakah korporasi
atau perusahaan
13. Pasal 2 ayat (1):
Debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.
D4
D5
Keadilan,
Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Adanya
ketentuan yang
jelas terkait
dengan nilai-
nilai keadilan
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Terhadap ketentuan pasal ini muncul isu untuk mengubah syarat
kepailitan dengan menambahkan 2 Kreditor dengan masing-
masing minimum jumlah hutang.
Isu penambahan syarat kepailitan ini merupakan isu yang ada
dalam naskah akademik Perubahan UU Kepailitan dan PKPU,
dimana tim mempertimbangkan bahwa ketentuan ini jika
dikaitkan dengan ketentuan pembuktian sederhana yang diatur
dalam pasal 8 ayat (4) dianggap rentan dengan penyalahgunaan
karena dianggap mudah dan tidak mempertimbangkan
kemampuan Debitor untuk membayar hutang sehingga
dikhawatirkan ketentuan ini digunakan untuk persaingan bisnis
curang bagi pelaku usaha.
Dalam beberapa diskusi yang dilakukan Pokja dengan kelompok
pakar berpendapat bahwa perubahan terhadap syarat kepailitan
dalam Pasal 2 ayat (1) ini masih belum perlu dilakukan.
Tetap
Meski demikian harus lebih
konsisten dan berhati-hati
dalam penerapan dan
penegakannya karena rawan
disalahgunakan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 26
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pembacaan terhadap ketentuan dalam pasal ini tidak dapat
dipisahkan dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) UU
Kepailitan.
Oleh karena itu Rekomendasi terhadap ketentuan Pasal 2 ayat
(1) ini tetap namun dengan catatan adanya pertimbangan dari
tim penyusunan Naskah Akademik yang memasukkan
perubahan syarat kepailitan dalam Revisi UU Kepailitan dan
PKPU. Sehingga perlu dilakukan kajian/penelitian lebih lanjut
terutama dari sisi cost and benefit analysis terhadap ketentuan
untuk menambahkan syarat kepailitan ini.
14. Pasal 2 ayat (3):
Dalam hal Debitor adalah bank,
permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia.
D2
D3
Kewenangan
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Kewenangan
yang sama
diberikan pada 2
lembaga yang
berbeda
Kewenangannya sudah beralih kepada OJK dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). UU KPKPU perlu menyesuaikan dengan
perkembangan hukum yang ada, dengan melakukan perbaikan
terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Hal ini juga berlaku terhadap Pasal 7 ayat (2) UU KPKPU dimana
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal permohonan diajukan oleh kejaksaan, Bank Indonesia,
Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.
Dikarenakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) di atas dilakukan perubahan menyesuaikan dengan
keberadaan Otoritas Jasa Keuangan.
Oleh karena itu perlu perubahan sebagai berikut:
Ubah
Pasal 2 ayat (4):
Dalam hal Debitor adalah
Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal.
Pasal 2 ayat (5):
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 27
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Dalam hal Debitor adalah
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau
Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan.
Sebaiknya tiga ayat ini digabung menjadi satu saja karena berada
di bawah pengaturan OJK.
Perlu juga diperhatikan mengenai badan usaha milik negara
karena kewenangan pengajuan pailit tetap ada di Menteri
Keuangan, sehingga perlu rumusan terpisah yang memisahkan
lembaga mana yang kewenangan pailitnya ada di Menteri
Keuangan dan mana yang menjadi kewenangan OJK.
Perlu juga penambahan pengaturan mengenai BUMD dan
BUMDesa yang belum diatur dalam UU Kepailitan ini.
15. Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) D2
Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak
konsisten/saling
bertentangan
antar pasal
(dalam
peraturan yang
sama).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat
(2) menibulkan pertentangan antara satu dengan lainnya dalam
peraturan puu yang ada, dikarenakan beerdasarkan UU KPKPU
gugatan kepailitan dilaksanakan di Pengadilan Niaga sebagaimana
dimaksud dallam Pasal 1 angka 7 jo Pasal 6 UU KPKU. Namun,
ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) memberikan pengaturan
norma yang tidak jelas dengan menyatakan dinyatakan bahwa
“Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum Debitor”.
Ubah
16. Pasal 3 ayat (2):
Dalam hal Debitor telah
meninggalkan wilayah Negara
Republik Indonesia, Pengadilan
yang berwenang menjatuhkan
putusan atas permohonan
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
Pasal ini memang arahnya ke perorangan namun bisa juga
bermakna perusahaan.
Dalam FGD Pokja, pakar Dr Ricardo Simanjuntak menyampaikan
bahwa pasal ini adalah ruang yang dibuka untuk membantu
Pasal 300. Sehingga norma dalam pasal ini dianggap sudah clear
Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 28
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
pernyataan pailit adalah
Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum terakhir
Debitor.
atau jelas, terutama mengenai wilayah kewenangan pengadilan
niaga yang telah dibagi dalam 5 wilayah Indonesia
17. Pasal 4 ayat (1):
Dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh
Debitor yang masih terikat dalam
pernikahan yang sah,
permohonan hanya dapat
diajukan atas persetujuan suami
atau istrinya.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
Tidak jelas permohonan ini diajukan dalam situasi apa dan
terhadap siapa. Membaca pasal ini, arahnya memang self-
bankruptcy, namun rumusannya memang harus diperjelas.
Tetap
Kalau memang rumusannya ke
arah self-bankruptcy, maka
rumusannya harus mengatur
bahwa maksud dan tujuan
permohonan pernyataan pailit
adalah untuk tujuan sendiri.
18. Pasal 5:
Permohonan pernyataan pailit
terhadap suatu firma harus
memuat nama dan tempat tinggal
masing-masing pesero yang
secara tanggung renteng terikat
untuk seluruh utang firma.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
Apakah konteks firma sebagai persekutuan perdata bisa
mencakup CV juga atau tidak? Dalam pasal 5 dan sekitarnya
tidak diatur mengenai pernyataan pailit secara tegas terhadap
PT, koperasi, yayasan, CV, dan badan usaha lainnya.
Dalam FGD Pokja, Pakar Dr Ricardo Simanjuntak menyampaikan
bahwa Persekutuan perdata dalam konteks Firma itu adalah
persekutuan perdata yang dibangun atas dasar kekhususan
pada tingkat kebebasan profesi, hingga firma dibangun atas
kewenangan masing-masing firma. Sehingga tindakan dan
konsekuensi dari Firma itu adalah anggota firma bisa melakukan
langkah aktivitas hukum tanpa harus mendapat kewenangan
dari yang lain. Tapi tanggung jawab firma, itu tanggung jawab
Tetap
Perlu pengaturan yang lebih
rinci terhadap masing-masing
badannya
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 29
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
bersama. Sehingga ketika Firma digugat dimhonkan pailit, maka
termohon pailitnya itu adalah anggota firma. Ini sudah benar.
19. Pasal 6 ayat (2) :
Panitera mendaftarkan
permohonan pernyataan pailit
pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan, dan
kepada pemohon diberikan tanda
terima tertulis yang
ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang dengan tanggal yang
sama dengan tanggal pendaftaran.
D5 Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Aspek relevansi
dengan situasi
saat ini
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi
Pengaturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Diluncurkannya e-court oleh Mahkamah Agung membuat
ketentuan ini mesti mengadopsi perkembangan teknologi
dimana tidak perlu lagi tanda tangan basah dan bisa digantikan
dengan tanda tangan elektronik atas pejabat yang berwenang.
Perubahan redaksional yang mengadopsi perkembangan
teknologi e-court. Termasuk nantinya akan berpengaruh kepada
Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan yang bisa mendorong
permohonan pernyataan pailit diajukan ke ketua Pengadilan
melalui sistem e-court.
Ubah
20. Pasal 6 ayat (3):
Panitera wajib menolak
pendaftaran permohonan
pernyataan pailit bagi institusi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) jika dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan ayat-ayat
tersebut.
Penjelasan Pasal 6 ayat (3):
Panitera yang melanggar
ketentuan ini dikenakan sanksi
D1
D4
Tindak lanjut
Putusan
Mahkamah
Konstitusi (MK)
Kewenangan
Materi muatan
sesuai dengan
hasil putusan Uji
Materi MK
Adanya
pengaturan
mengenai hal
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
Pasal ini berdasarkan putusan MK tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menurut Putusan MK Perkara Nomor 071/PUU-
II/2004 Perkara Nomor: 001- 002/PUU-III/2005 yang pada salah
satu amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta
Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata
“ayat (3)” UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam putusannya, MK memberikan pertimbangan bahwa sejak
lama telah diakui asas hukum yang berbunyi, "Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya".
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 30
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
kewenangan
yang berbeda
Terakhir asas ini dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang
diajukan kepada pengadilan; Apabila Panitera diberikan
wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan
pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, maka hal tersebut
dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim
untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan
demikian menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan
penyelesaian sengketa hukum dalam suatu proses yang adil dan
terbuka untuk umum. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang
bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya (niet
ontvankelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak
terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) undang-undang a
quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD
1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang
berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
21. Pasal 6 ayat (4)
Panitera menyampaikan
permohonan pernyataan pailit
kepada Ketua Pengadilan paling
D5 Aspek
pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
standar
pelayanan
minimum (tata
kelola
Time Frame harus diterapkan secara mutlak (disiplin) dalam
ketentuan UU Kepailitan dan PKPU.
Dengan adanya sistem e-court semestinya tidak lagi menjadi 2
hari, namun panitera langsung menyampaikan kepada Ketua
Ubah
Usulan:
Panitera menyampaikan
permohonan pernyataan pailit
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 31
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lambat 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan.
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Pengadilan notifikasi tersebut. Jikapun mau diberi tenggat, maka
cukup 1 hari paling lambat.
kepada Ketua Pengadilan paling
lambat 1 (satu) hari setelah
tanggal permohonan
didaftarkan
22. Pasal 7:
(1) Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal
56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68,
Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207,
dan Pasal 212 harus diajukan oleh
seorang advokat.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal permohonan
diajukan oleh kejaksaan, Bank
Indonesia, Badan Pengawas Pasar
Modal, dan Menteri Keuangan
D2
D3
Kewenangan
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
yang berbeda,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda.
Teknik
Pengacuan
dalam UU
12/2011
D2/D5: Ketentuan Pasal 7 ayat 2 perlu dilakukan penyesuaian
dengan perkembangan hukum yang ada melalui dibentuknya
lembaga OJK dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
D3: Ketentuan ayat 1 diusulkan untuk diubah. Dalam rumusan
pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada ketentuan pasal
setelahnya yaitu Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan
Pasal 212. Dalam lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin
nomor 279 disebutkan: Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang
terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 32
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D5 Aspek
Koordinasi
kelembagaan/t
ata organisasi
Kelembagaan
yang
melaksanakan
pengaturan
dalam
peraturan
terumus dengan
jelas dan tidak
tumpang tindih
23. Pasal 8 ayat 2:
Pemanggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh juru sita dengan surat kilat
tercatat paling lambat 7 (tujuh)
hari sebelum sidang pemeriksaan
pertama diselenggarakan.
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Time Frame harus diterapkan secara mutlak (disiplin) dalam
ketentuan UU Kepailitan dan PKPU.
Dengan adanya sistem e-court semestinya tidak lagi surat kilat
tercatat melulu, namun juru sita bisa menyampaikan kepada
debitor dan kreditor melalui surat elektronik dan sarana
telekomunikasi lainnya.
Ubah
Usul redaksi:
Pemanggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh juru sita melalui
surat elektronik, surat kilat
tercatat, dan/atau sarana
komunikasi elektronik lainnya
paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum sidang pemeriksaan
pertama diselenggarakan.
24. Pasal 8 ayat (4):
Permohonan pernyataan pailit
harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana bahwa
D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Mudah dipahami,
tidak
menimbulkan
ambiguitas
/multitafsir.
Makna sederhana ini tidak dapat dilepaskan dari pembacaan
Pasal 2 ayat (1) terkait dengan syarat pailit karena pada
prinsipnya pasal ini juga merupakan syarat yang harus dipenuhi
dalam kepailitan, yaitu adanya fakta utang yang dapat
dibuktikan secara sederhana dan apabila fakta utang tersebut
Tetap
Meski demikian harus lebih
konsisten dan berhati-hati
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 33
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan “fakta
atau keadaan yang terbukti secara
sederhana” adalah adanya fakta
dua atau lebih Kreditor dan fakta
utang yang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar. Sedangkan
perbedaan besarnya jumlah utang
yang didalihkan oleh pemohon
pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya
putusan pernyataan pailit.
D5
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif
terpenuhi maka hakim harus mengabulkan permohonan
pernyataan pailit. Kondisi ini dalam praktik seringkali
menimbulkan permasalahan hukum dimana tidak adanya
batasan/pengertian/penjelasan bagaimana prinsip sederhana
ini diterapkan, akibatnya terjadi pertimbangan/penafsiran yang
berbeda dalam putusan kepailitan. Selain itu, adanya ketentuan
harus dalam norma Pasal tersebut telah membelenggu hakim
untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang menjadi
pertimbangan hakim serta keyakinan hakim.
Dalam FGD Pokja, pendapat pakar (Dr. Ricardo Simanjuntak)
menyampaikan mengenai penggunaan kata harus dalam pasal
ini sudah clear atau sudah jelas dalam hal harus dijelaskan
dengan terbukti.
dalam penerapan dan
penegakannya karena rawan
disalahgunakan
25. Pasal 8 ayat (7):
Putusan atas permohonan
pernyataan pailit sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) yang
memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang
mendasari putusan tersebut harus
diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum dan dapat
D4 Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Terindikasi bertentangan dengan asas kepastian hukum. Upaya
hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam: upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diajukan dalam
tenggang waktu tertentu setelah putusan pengadilan dan
bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara
hingga putusan tersebut berkekutan hukum tetap (berupa
verzet, banding, kasasi). Sebaliknya, upaya hukum luar biasa
diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
apabila ada hal-hal khusus yang memperbolehkan diajukannnya
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 34
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dilaksanakan terlebih dahulu,
meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan suatu upaya
hukum
upaya hukum luar biasa ini (berupa peninjauan kembali dan
derdenverzet).
Pasal 8 ayat (7) UU 37/2004 dan beberapa pasal terkait telah
mencampuradukkan upaya hukum biasa (kasasi) dengan
luarbiasa (PK), sehingga disamping tidak sesuai dengan konsep
upaya hukum, juga bertentangan dengan asas keadilan dan
kepastian hukum.
Jika yang dikehendaki adalah kecepatan penanganan perkara,
sebaiknya dibuat pengaturan secara khusus dan rinci tentang
jangka waktu penanganan kasasi perkara Kepailitan pada MA,
sebagaimana misalnya pengaturan atas penanganan kasasi
perkara Pemilihan Kepala Daerah, dll.
26. Pasal 9: D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Dengan adanya sistem e-court semestinya tidak lagi surat kilat
tercatat melulu, namun juru sita bisa menyampaikan kepada
debitor dan kreditor melalui surat elektronik dan sarana
telekomunikasi lainnya.
Ubah
27. Pasal 10 ayat (1):
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
Kewenangan BI, Bapepam, dan Menteri Keuangan Sudah beralih
kepada OJK dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 35
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lebih peraturan
yang berbeda,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda.
28. Pasal 11 ayat (2) D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Dengan adanya sistem e-court pengajuan kasasi seharusnya lewat
e-court juga.
Ubah
Menambahkan rumusan pasal
mengenai penggunaaan ecourt
untuk kasasi kepailitan.
29. Pasal 11 ayat (3) D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
Ketentuan ini memberikan ketidakpastian hukum, dikarenakan
masing-masing pihak yang berperkara telah dilakukan proses
pemberesan dalam proses komposisi utang. Seharusnya gugatan
kreditor dimaksud dinyatakan secara tegas bahwa yang
diperbolehkan adalah kreditor yang telah masuk dalam proses
verifikasi utang. Dengan demikian kedudukan kreditor pemohon
kasasi menjadi jelas dan tidak multi tafsir sehingga memudahkan
dalam pelaksanannya.
Ubah
Memasukkan dalam penjelasan
pasal bahwa yang
diperbolehkan adalah kreditor
yang telah masuk dalam proses
verifikasi utang
30. Pasal 11 ayat (4):
Panitera mendaftar permohonan
kasasi pada tanggal permohonan
yang bersangkutan diajukan dan
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Diluncurkannya e-court oleh Mahkamah Agung membuat
ketentuan ini mesti mengadopsi perkembangan teknologi dimana
tidak perlu lagi tanda tangan basah dan bisa digantikan dengan
tanda tangan elektronik atas pejabat yang berwenang.
Ubah
Perubahan rumusan pasal
dengan mengadopsi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 36
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
kepada pemohon diberikan tanda
terima tertulis yang
ditandatangani panitera dengan
tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan pendaftaran
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
perkembangan teknologi e-
court.
31. Pasal 12: D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Time Frame harus diterapkan secara mutlak (disiplin) dalam
ketentuan UU Kepailitan dan PKPU.
Perlu penyesuaian dengan kehadiran e-court. Pasal ini pada
prinsipnya masih relevan, namun hanya perlu penyesuaian
dengan hadirnya sistem baru.
Ubah
Perubahan redaksional yang
mengadopsi perkembangan e-
court dalam hal permohonan
kasasi.
32. Pasal 13 - - - - Tetap
33. Pasal 14:
(1) Terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dapat diajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dan
Pasal 13 berlaku mutatis mutandis
bagi peninjauan kembali
D2
Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
/saling
bertentangan
antar pasal
(dalam
peraturan yang
sama).
Pasal ini berpotensi bertentangan dengan Bab IV UU 37/2014
tentang Permohonan Peninjauan Kembali. (repetisi pengaturan
dimana dalam Bab IV UU ini telah mengatur secara khusus
tentang Permhonan Peninjauan Kembali, lebih khusus lagi
dalam Pasal 295 ayat (1) telah disebutkan bahwa Terhadap
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini)
Selain itu, dengan penempatannya dalam Pasal 14 sesudah pasal
tentang Kasasi dan tata cara permohonannya yang di-“mutatis-
Cabut
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 37
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D3
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Ditulis dengan
sistematika
umum-khusus
mutandis”-kan dengan Kasasi, menjadikan seolah-olah
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum biasa. Padahal
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang dapat
diajukan hanya apabila ada hal-hal khusus dan tertentu.
Mengenai Peninjauan Kembali, ketentuan dalam Bab IV UU
37/2004 sudah cukup.
Adanya proses Peninjauan Kembali dalam proses kepailitan
menyebabkan berlarut2nya penyelesaian kepailitan dan dapat
menghilangkan esensi kesederhanan proses kepailitan.
Keberadaan kasasi dalam kepailitan sebagai upaya luar biasa
dalam proses penyelesaian perkara kepailitan akan
menyebabkan kepailitan rentan disalahgunakan menjadi alat
untuk menghambat penyelesaian yang ada.
Kontra dengan ketentuan Pasal 296 UU KPKPU, khususnya
terkait dengan norma pengaturan jangka waktu proses
peninjauan kembali. Dimana pasal-saling tumpang tindih.
34. Pasal 15 D3
D5
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Aspek
Koordinasi
kelembagaan/t
ata organisasi
Tidak
menimbulkan
ambiguitas
/multitafsir
Pembagian
kewenangan
dan tugasnya
jelas.
Ketentuan ini menyulitkan pelaksanaan BHP sebagai entitas
pemerintah di dalam menyelesaikan kepailitan, dikarenakan
kondisional kewenangannya yaitu apabila tidak mengajukan usul
pengangkatannya. Kiranya untuk dapat menjamin pelindungan
terhdap debitor serta kreditor, dalam hal boedel pailit dengan
nilai tertentu yang kecil ataupun harta pailitnya patut diduga
tidak mencukupi untuk membayar biaya kepailitan, maka dapat
ditunjuk BHP.
Ubah
Dalam hal boedel pailit
dengan nilai tertentu yang
kecil ataupun harta pailitnya
patut diduga tidak mencukupi
untuk membayar biaya
kepailitan, maka dapat
ditunjuk BHP
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 38
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Ketentuan tidak sedang menangani perkara kepailitan lebih dari
3 perkara ini dianggap rumusan normanya multi tafsir, sehingga
dalam pelaksanaannya disimpangi
Dalam UU ini tidak diatur spesifik syarat kurator itu apa dan
mekanisme pengawasan seperti apa.
Perlu diatur bab tersendiri
mengenai kurator.
35. Pasal 15 ayat 4:
Dalam jangka waktu paling lambat
5 (lima) hari setelah tanggal
putusan pernyataan pailit diterima
oleh Kurator dan Hakim
Pengawas, Kurator
mengumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia dan
paling sedikit 2 (dua) surat kabar
harian yang ditetapkan oleh Hakim
Pengawas, mengenai ikhtisar
putusan pernyataan pailit yang
memuat hal-hal sebagai berikut:
..........
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 39
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
36. Pasal 16 ayat (2) D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 17. Dalam lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan: hindari
pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
37. Pasal 17 ayat (1):
(1) Kurator wajib mengumumkan
putusan kasasi atau
peninjauan kembali yang
membatalkan putusan pailit
dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan paling sedikit 2
(dua) surat kabar harian
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4).
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 40
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/Surat kabar yang berskala
nasional.
38. Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3):
(2) Majelis hakim yang
membatalkan putusan
pernyataan pailit juga
menetapkan biaya kepailitan
dan imbalan jasa Kurator.
(1) Biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibebankan
kepada pemohon pernyataan
pailit atau kepada pemohon
dan Debitor dalam
perbandingan yang
ditetapkan oleh majelis hakim
tersebut.
D3
D5
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Jelas, Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Ketentuan mengenai Pasal 17 UU KPKPU belum secara jelas
mengatur mengenai jenis biaya apa saja yang merupakan
lingkup biaya kepailitan serta parameter biaya kepailitan.
Ketentuan Biaya Kepalitan hingga saat ini tidak ada
parameternya dalam UU KPKPU ataupun peraturan
pelaksanaannya, sehingga menyulitkan untuk menentukan
besaran biaya serta runag lingkup apa saja yang masuk kepada
biaya kepailitan. Akibat tidak adanya ketentuan yang mengatur
menyebabkan besaran biaya kepailitan serta rinciannya tidak
ada parameter yang jelas. Akibatnya dalam prakteknya
seringkali biaya kepailitan diusulkan secara tidak rasional.
Dalam FGD Pokja, pakar hukum (Dr Ricardo Simanjuntak)
berpendapat dalam prakteknya, MA itu tidak bisa memutuskan
fee karena kewenangan memutus fee itu pada majelis pemutus.
Tidak di MA, jadi MA ketika menyatakan pailit, akan
Ubah
Kewenangan memutus fee
berada di Pengadilan Niaga
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 41
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dikembalikan ke pengadilan Niaga agar Majelis hakim pemutus
tadi menggunakan kewenangannya Pasal 91.
39. Pasal 18 ayat (5):
Biaya dan imbalan jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus didahulukan atas semua
utang yang tidak dijamin dengan
agunan.
D4 Keadilan Adanya
ketentuan yang
jelas terkait
dengan nilai-
nilai keadilan
Tidak jarang bahwa pendahuluan biaya dan imbalan jasa kurator
terhadap utang tanpa agunan merugikan kreditur. Meskipun
jumlahnya relatif kecil, kreditur ini tentu saja membutuhkan
proteksi dan pengembalian hartanya. Oleh karenanya perlu diatur
sedemikian rupa agar kepentingan kreditur terakomodasi tanpa
mengabaikan kepentingan imbalan jasa kurator.
Ubah
40. Pasal 19 ayat (1):
(1) Putusan yang
memerintahkan pencabutan
pernyataan pailit,
diumumkan oleh Panitera
Pengadilan dalam Berita
Negara Republik Indonesia
dan paling sedikit 2 (dua)
surat kabar harian
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4).
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 42
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/Surat kabar yang berskala
nasional.
Terkait dengan publikasi ini, pakar hukum (Dr. Ricardo
Simanjuntak) dalam FGD pokja menyampaikan: jika publikasi di
elektronik, harus dipastikan ada yang membaca. Karena setiap
kali orang tidak baca, maka dia berhak untuk mengatakan tidak
dipanggil. alasan harus 2 media nasional? Karena itu adalah efek
terluas dan teradil dari prinsip publikasi. Kalau misalnya
pengumuman dari kepailitan masu dimasukkan ke dalam
website kementerian hukum dan HAM, pastikan orang lain baca.
41. Pasal 20 ayat (1):
Panitera Pengadilan wajib
menyelenggarakan suatu daftar
umum untuk mencatat setiap
perkara kepailitan secara
tersendiri.
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Penyelengaraan daftar umum selain dalam bentuk buku besar
secara fisik namun sebaiknya juga dalam bentuk sistem atau
aplikasi elektronik.
Dalam pembahasan seminar kepailitan di Surabaya, dibahas
mengenai publikasi secara elektronik. Perlu adanya manajemen
publikasi melalui mekanisme portal publikasi khusus kepailitan.
Termasuk ketika putusan sudah ditetapkan, maka kemudian
salinan tersebut bisa di upload ke dalam portal publikasi khusus
kepailitan sehingga bisa segera diakses oleh para pihak. Ke
depannya, informasi terkait kepailitan bisa diakses di satu portal
publikasi. Yang perlu dipastikan adalah lembaga yang akan
Ubah
Membuka peluang pengaturan
ke depannya dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (portal kepailitan).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 43
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi
mengelola portal publikasi tersebut, dengan
mempertimbangkan kesiapan sarana dan prasarana demikian
SDMnya
42. Pasal 20 ayat (2):
Daftar umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
memuat secara berurutan:
a. ikhtisar putusan pailit atau
putusan pembatalan pernyataan
pailit; b. isi singkat perdamaian
dan putusan pengesahannya; c.
pembatalan perdamaian; d.
jumlah pembagian dalam
pemberesan; e. pencabutan
kepailitan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18; dan f. rehabilitasi;
dengan menyebutkan tanggal
masing-masing.
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Kemudahan
akses informasi.
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi.
Elemen register ini sebaiknya juga ditambah soal
penyelenggaraan rapat kreditur, notulensi rapat kreditur, record
nama hakim pengawas, nama kurator, biaya penyelesaian dan
imbalan jasa, laporan kurator, pelaksanaan lelang.
Dalam pembahasan seminar kepailitan di Surabaya, dibahas
mengenai publikasi secara elektronik. Perlu adanya manajemen
publikasi melalui mekanisme portal publikasi khusus kepailitan.
Termasuk ketika putusan sudah ditetapkan, maka kemudian
salinan tersebut bisa di upload ke dalam portal publikasi khusus
kepailitan sehingga bisa segera diakses oleh para pihak. Ke
depannya, informasi terkait kepailitan bisa diakses di satu portal
publikasi. Yang perlu dipastikan adalah lembaga yang akan
mengelola portal publikasi tersebut, dengan
mempertimbangkan kesiapan sarana dan prasarana demikian
SDMnya
Ubah
Membuka peluang
pengaturan ke depannya
dengan memanfaatkan
teknologi informasi (portal
kepailitan).
Menambah daftar rincian
43. Pasal 21 - - - - Tetap
44. Pasal 22 D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
Dalam pasal lain ditemukan mengenai harta bawaan dan warisan
yang bisa dikecualikan dalam kepailitan. Untuk lebih jelas dan
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 44
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
sistematis pengaturannya sebaiknya digabung. (Pasal 40, Pasal
62).
Memasukan pengaturan soal
harta warisan dan harta bawaan
ke dalam pasal 22.
45. Pasal 23 - - - - Tetap
46. Pasal 24 ayat (1):
Debitor demi hukum kehilangan
haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang
termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan.
D5 Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Permasalahan yang timbul dari ketentuan pasal ini adalah pada
prakteknya menjadi ruang bagi debitor melakukan upaya yang
bertentangan dengan hukum terhadap harta kekayaannya
sebelum pernyataan kepailitan diucapkan. Seringkali pada saat
kepailitan didaftarkan, debitor terlebih dahulu telah mengalihkan
harta kekayaannya. Walaupun terdapat actiopauliana namun
masih belum dianggap efektif, dikarenakan tidak secara otomatis
dilakukannya stay.
Ubah
Memasukkan konsep automatic
stay dimana harta pailit menjadi
freeze dari sejak permohonan
pailit.
47. Pasal 25
Semua perikatan Debitor yang
terbit sesudah putusan
pernyataan pailit tidak lagi dapat
dibayar dari harta pailit, kecuali
perikatan tersebut
menguntungkan harta pailit.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas Makna keuntungan ini perlu diperjelas apakah keuntungan dari sisi
finansial semata atau lebih luas lagi.
Ubah Penjelasan pasal
Makna keuntungan ini perlu
diperjelas dalam penjelasan
apakah keuntungan dari sisi
finansial semata atau lebih luas
lagi.
48. Pasal 26 - Pasal 27 - - - - Tetap
49. Pasal 28 ayat (1):
Suatu tuntutan hukum yang
diajukan oleh Debitor dan yang
sedang berjalan selama kepailitan
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas
Rumusan ketentuannya tidak bisa langsung jelas dan harus dibaca
berulang agar bisa memahami maksud dan maknanya. Oleh
karenanya, perlu ada perumusan ketentuan yang lebih reader
friendly tanpa mengabaikan bahasa hukum yang lazim
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 45
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
berlangsung, atas permohonan
tergugat, perkara harus
ditangguhkan untuk memberikan
kesempatan kepada tergugat
memanggil Kurator untuk
mengambil alih perkara dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh
hakim.
50. Pasal 29 – Pasal 30 - - - - Tetap
51. Pasal 31 ayat (1) dan (2):
(1) Putusan pernyataan pailit
berakibat bahwa segala
penetapan pelaksanaan
Pengadilan terhadap setiap
bagian dari kekayaan Debitor
yang telah dimulai sebelum
kepailitan, harus dihentikan
seketika dan sejak itu tidak ada
suatu putusan yang dapat
dilaksanakan termasuk atau
juga dengan menyandera
Debitor.
(2) Semua penyitaan yang telah
dilakukan menjadi hapus dan
jika diperlukan Hakim
Pengawas harus
D2
D5
Penegakan
Hukum
Aspek
Koordinasi
kelembagaan/t
ata organisasi
Adanya
pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan
setingkat, tetapi
memiliki hukum
acara yang
berbeda
Kelembagaan
yang
melaksanakan
pengaturan
Ketentuan ini dalam prakteknya mengalami hambatan ketika
dihadapkan dengan sita pidana dimana Pasal 39 ayat (2) KUHAP
menyatakan bahwa benda yang berada dalam sitaan karena
perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara
pidana.
Dalam FGD kepailitan dibahas mengenai kedudukan Sita pidana
dengan sita kepailitan itu berbeda. Sita kepailitan hubungannya
untuk likuidasi. Sita pidana urusannya untuk pembuktian. Jadi
sita kepailitan tidak bisa menghentikan proses pembuktian
pidana namun selayaknya tetap perlu mensinkronkan. Untuk
itulah fungsi hakim pengawas guna dapat mensinkronkan hal
tersebut. Tapi kalau kurator minta pasti dijawabnya emang
diperlukan ya? Karena disitu dikatakan jika diperlukan. Sita
umum kan untuk laporan eksekusi sementara sita pidana
gunanya untuk pembuktian. Nanti ketika putus, putusan itu akan
dikembalikan kepada kurator untuk dilakukan eksekusi.
Ubah
Jika dimungkinkan dalam
penjelasan pasal disebutkan
dalam hal kepailitan dilakukan
sebelum adanya sita pidana
maka pelaksanaan sita pidana
harus mendapatkan izin terlebih
dahulu kepada hakim pengawas
atau hakim yang memeriksa
perkara kepailitan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 46
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
memerintahkan
pencoretannya.
dalam peraturan
terumus dengan
jelas dan tidak
tumpang tindih;
Pembagian
kewenangan
dan tugasnya
jelas.
52. Pasal 31 ayat (3):
Dengan tidak mengurangi
berlakunya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93, Debitor yang sedang
dalam penahanan harus
dilepaskan seketika setelah
putusan pernyataan pailit
diucapkan.
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 93. Dalam lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan: hindari
pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
53. Pasal 32 – Pasal 38 - - - - Tetap
54. Pasal 39 ayat (1):
Pekerja yang bekerja pada Debitor
dapat memutuskan hubungan
kerja, dan sebaliknya Kurator
dapat memberhentikannya
dengan mengindahkan jangka
waktu menurut persetujuan atau
ketentuan perundang-undangan
D2
Perlindungan
Adanya
pengaturan
mengenai
pelindungan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat, tetapi
UU KPKPU belum memberikan perlindungan kepada upah
pekerja beserta haknya sehubungan dengan adanya kepailitan.
Kedudukan pekerja dalam kepailitan berdasarkan UU KPKPU
menempati kedudukan yang sangat rentan, khususnya terkait
dengan upahnya dikarenakan pekerja merupakan
berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Hal ini juga
diakibatkan kedudukan pekerja juga diatur dalam UU lain yaitu
dalam UU Ketenagakerjaan.
Ubah
Untuk dapat memasukkan
pertimbangan MK ke dalam
rumusan pasal terkait
kedudukan upah buruh
tersebut untuk mempertegas
norma yang ada sekarang.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 47
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
yang berlaku, dengan pengertian
bahwa hubungan kerja tersebut
dapat diputuskan dengan
pemberitahuan paling singkat 45
(empat lima) hari sebelumnya.
Penjelasan
Ayat (1)
Ketentuan mengenai pemutusan
hubungan kerja, Kurator tetap
berpedoman pada peraturan
perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.
Ayat 2:
Sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan, upah yang
terutang sebelum maupun
sesudah putusan pernyataan pailit
diucapkan merupakan utang harta
pailit.
Penjelasan
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “upah”
adalah hak pekerja yang diterima
D5
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
memberikan
pelindungan
yang berbeda
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Dengan adanya putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013
memperkuat norma mengenai kedudukan upah buruh sebagai
hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya daripada hak-
hak lainnya. berdasarkan putusan ini, MK membuat 2 norma
baru dalam hal perusahaan diputus pailit, yaitu: (a) Upah pekerja
didahulukan pembayarannya dari segala jenis tagihan dan
kreditor-kreditor lainnya, termasuk dari kreditor separatis dan
tagihan pajak negara; (b) hak-hak pekerja lainnya dibayar lebih
dahulu dari segala macam tagihan dan kreditor-kreditor lainnya,
kecuali jika debitor memiliki kreditor separatis.
Perlu harmonisasi dengan UU Ketenagakerjaan dimana dalam
Pasal 61 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa dalam hal terjadi
pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak
pekerja/buruh. Sedangkan menurut UU KPKPU, Debitor-
Pengurus atau Kurator (Kepailitan masih dalam proses
perdamaian) dapat segera melakukan PHK terhadap karyawan
(Lihat Pasal 39 jo Pasal 252 UU KPKPU)
Dengan demikian, ketika Debitor-Pengurus atau Kurator
melakukan PHK terhadap pekerja, maka perlu memperhatikan
ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dimana pihak yang
mengakhiri hubungan kerja wajib membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Kiranya pengaturan mengenai
upah dan hak pekerja diatur
dalam UU KPKPU
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 48
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari
pemberi kerja kepada pekerja atas
suatu pekerjaan atas jasa yang
telah atau akan dilakukan,
ditetapkan, dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan
perundangundangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja dan
keluarga.
Dr. Ricardo dalam FGD Kepailitan berpendapat bahwa Pasal 39
ayat 1 sudah clear. UU ini harus mengikuti putusan Mahkamah
Konstitusi. MK mengatakan gaji buruh telah jatuh tempo,
dibayar lebih dahulu dari pajak dan separatis. Tapi, pesangon
dibayar lebih dahulu dibawah separatis, itu intinya.
55. Pasal 40 ayat (1):
Warisan yang selama kepailitan
jatuh kepada Debitor Pailit, oleh
Kurator tidak boleh diterima,
kecuali apabila menguntungkan
harta pailit.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas Rumusannya tidak jelas dan cenderung bahwa kurator dapat
menerima warisan sebagai boedel pailit dengan anggapan
menguntungkan harta pailit (meskipun redaksinya ada
pengecualian).
Ubah
Digabungkan dengan ketentuan
Pasal 22
56. Pasal 41 ayat (3):
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah perbuatan hukum
Debitor yang wajib dilakukannya
berdasarkan perjanjian dan/atau
karena undang-undang.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas Semua perbuatan hukum biasanya adalah janji dan merupakan
perjanjian. Mungkin maksudnya diperjelas menjadi perjanjian
tertulis.
Ubah
Perlu diperjelas bahwa ini
adalah perjanjian tertulis.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 49
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
57. Penjelasan Pasal 42 huruf c angka
2
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tepat Anggota direksi bukan anggota badan pengawas, melainkan
komisaris.
Ubah
Perlu disesuaikan dengan
peraturan perundang-
undangan terkait badan usaha
misalnya UU No. 40/2007
58. Pasal 43: D2
D3
Kewajiban
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Ada Pengaturan
mengenai
kewajiban yang
tidak konsisten
/saling
bertentangan
antar pasal
(dalam
peraturan yang
sama).
Konsisten antar
ketentuan, Jelas
Ketentuan Pasal 43 UU KPKPU tidak sesuai dengan ketentuan
penormaan sebagaimana diatur dalam UU 12 Tahun 2011.
Penjelasan Pasal 43 ini bertentangan dengan norma Pasal 43.
Ketentuan norma mengharuskan adanya bukti yang diajukan
oleh kurator. Namun dalam penjelasan menyatakan kuartor
tidak perlu membuktikan. Hal ini saling bertentangan antara
ketentuan Pasal dengan penjelasannya serta menimbulkan
ketentuan UU menjadi tidak konsisten.
Ubah
59. Pasal 44 – Pasal 50 - - - - Tetap
60. Pasal 51 ayat (2):
Dalam hal diperlukan, piutang
terhadap Debitor Pailit dihitung
menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 dan
Pasal 137.
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 136 dan Pasal 137. Dalam
lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan:
hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal
atau ayat bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu
diubah.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 50
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
perundang-
undangan
61. Pasal 52 – Pasal 54 - - - - Tetap
62. Pasal 55:
(1) Dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal
58, setiap Kreditor pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya,
dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi
kepailitan.
(2) Dalam hal penagihan suatu
piutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 dan Pasal 137
maka mereka hanya dapat
berbuat demikian setelah
dicocokkan penagihannya dan
hanya untuk mengambil
pelunasan dari jumlah yang diakui
dari penagihan tersebut
D2
D3
Kesesuaian
dengan
sistematika dan
teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan;
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Konsisten antar
ketentuan
Beberapa kali dalam UU Kepailitan ada pegaturan yang
kemudian mengecualikan dan kemudian tidak dikecualikan.
Karakteristik pengaturan seperti ini mirip dengan KUH Perdata.
Agar lebih jelas rumusannya maka penggunaaan pengecualian
diperketat sehingga tidak membingungkan dan tidak berpotensi
disharmonisasi.
Untuk ayat 2nya: Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan
yang merujuk pada ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 56,
Pasal 57 dan Pasal 58. Dalam lampiran II UU Nomor 12 Tahun
2011 poin nomor 279 disebutkan: hindari pengacuan ke pasal
atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Dalam FGD, pakar hukum (Dr. Ricardo Simanjuntak)
berpendapat bahwa: Pasal 55 ayat 1 itu tidak dikecualikan. Jadi
itu adalah konsistensi dari Pasal 21 UU Hak Tanggungan (Apabila
pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak
Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya menurut ketentuan Undang-undang ini) dan
konsistensi pasal 27 ayat 1 UU Fidusia (Penerima Fidusia
memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya).
Ubah ayat 2
Pengaturan yang lebih jelas dan
sistematis
63. Pasal 56 ayat (1):
Hak eksekusi Kreditor
sebagaimana dimaksud dalam
D2 Hak Adanya
pengaturan
mengenai hak
Time Frame harus diterapkan secara mutlak (disiplin) dalam
ketentuan UU Kepailitan dan PKPU.
Tetap
Namun demikian dalam
pelaksanaan harus dipastikan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 51
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak
ketiga untuk menuntut hartanya
yang berada dalam penguasaan
Debitor Pailit atau Kurator,
ditangguhkan untuk jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh)
hari sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan.
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
hak tersebut
pada subyek
yang berbeda.
Penangguhan sebagaimana dimaksid dalam Pasal 56 tidak sesuai
dengan prinsip hak jaminan kebendaan dalam hukum perdata,
bahwa kreditor pemegang hak kebendaan dapat melaksanakan
haknya.
kesesuaian dengan prinsip
hukum jaminan kebendaaan.
64. Pasal 57 ayat (1):
Jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1)
berakhir demi hukum pada saat
kepailitan diakhiri lebih cepat atau
pada saat dimulainya keadaan
insolvensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
178 ayat (1).
D3
Kesesuaian
dengan
sistematika dan
teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan;
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tepat; Jelas Kepailitan dan insolvensi terkadang membingungkan maknanya.
Di luar menggunakan insolvency law dan bankruptcy law,
Konsep Indonesia mesti jelas konsep apa yang akan digunakan.
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk
pada ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 56, Pasal 178.
Dalam lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279
disebutkan bahwa menghindari pengacuan ke pasal atau ayat
yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga
rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
Istilah insolvensi sebaiknya
diganti dengan keadaan tidak
mampu bayar.
Perhatikan ketentuan
lampiran II UU 12/2011
65. Pasal 58 - - - - Tetap
66. Pasal 59 ayat (1):
Dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan
Pasal 58, Kreditor pemegang hak
sebagaimana dimaksud dalam
D2
Kewajiban
Adanya
pengaturan
mengenai
kewajiban yang
sama pada 2
Time Frame harus diterapkan secara mutlak (disiplin) dalam
ketentuan UU Kepailitan dan PKPU.
Ketentuan ini bertentangan dengan prinsip hak kebendaan
perdata sebagaimana diatur dalam UU Jaminan Fidusia, Hipotik,
Hak Tanggungan, serta Gadai, bahwa kreditor mempunyai hak
Ubah
Istilah insolvensi sebaiknya
diganti dengan keadaan tidak
mampu bayar.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 52
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pasal 55 ayat (1) harus
melaksanakan haknya tersebut
dalam jangka waktu paling lambat
2 (dua) bulan setelah dimulainya
keadaan insolvensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 ayat
(1).
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "harus
melaksanakan haknya" adalah
bahwa Kreditor sudah mulai
melaksanakan haknya.
D3
D5
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
(dua) atau lebih
peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
kewajiban yang
berbeda
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
untuk melaksanakan eksekutorial terhadap jaminan yang ada
dalam hal debitor lalai untuk melaksanakan kewajibannya.
Ketentuan yang ada dalam Pasal 59 ayat (1) UU KPKPU
memberikan waktu selama 2 (dua) bulan dianggap tidak
rasional, karena proses penjualan membutuhkan waktu
penawaran serta kesepakatan. Oleh karena itu, ketentuan ini
mempersulit kreditor pemegang hak jaminan serta
membelenggu hak terhadap jaminan kebendaan yang
diperolehnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam diskusi FGD Pokja dengan pakar hukum (Dr. Ricardo
Simanjuntak) berpendapat Jangka waktu 2 bulan hak kreditur
separatis untuk menjual barang sepertinya mustahi untuk
dilaksanakan. Mengingat dalam prakteknya seringkali jadwal
lelang bisa memakan waktu yang lama, 3 bulan baru dapat
jadwal lelang, jadi jika dipaksa 2 bulan harus sudah menjual akan
sulit bagi kreditor separatis untuk melaksanakan haknya
tersebut. Selain itu dalam praktek, jarang sekali kreditur
separatis mau menyerahkan harta bendanya yang menjadi
tanggungannya dan ini tidak bisa dipaksa. Oleh karena itu
mungkin perlu diatur setelah Pasal 59 mengenai upaya paksa
terhadap kreditor seperatis untuk menyerahkan bendanya.
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk
pada ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 178 ayat (1). Dalam
lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279
disebutkan bahwa menghindari pengacuan ke pasal atau ayat
Bisa dilakukan CBA terkait
penambahan jangka waktu 2
bulan (mempertimbangkan
waktu lelang, peraturan
lelang, masalah barang tidak
laku atau sulit dijual,
pengaruh pd makin lamanya
proses kepailitan)
Penambahan pasal atau ayat
terkait dengan adanya upaya
paksa terhadap kreditor
separatis untuk menyerahkan
benda jaminannya.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 53
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga
rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
67. Pasal 59 ayat (2):
Setelah lewat jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kurator harus menuntut
diserahkannya benda yang
menjadi agunan untuk selanjutnya
dijual sesuai dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 185, tanpa mengurangi hak
Kreditor pemegang hak tersebut
atas hasil penjualan agunan
tersebut.
D2
D3
D5
Hak
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
PUU;
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Adanya
pengaturan
mengenai hak
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih PUU
setingkat, tetapi
memberikan
hak tersebut
pada subyek
yang berbeda
Lihat Petunjuk
pada Lampiran II
Nomor 279;
Tidak jelas
Ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU KPKPU ini mempunyai rumusan
yang tidak jelas serta membebani kreditor pemilik hak jaminan
kebendaan dan bertentangan dengan hak eksekutorial jaminan
kebendaan yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak
kebendaan.
Ketentuan ini tidak jelas, dikarenakan tidak adanya batas waktu
sampai kapan penyelesaian yang akan dilaksanakan. Akibatnya
seringkali penyelesaian melalui penjualan butuh waktu
bertahun-tahun, sehingga merugikan harta pailit dikarenakan
mengalami devaluasi serta menimbulkan ketidakpastian
penyelesaian kepailitan dan hak-hak kreditor terhadap
penyelesaian harta pailit.
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk
pada ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 185. Dalam
lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279
disebutkan bahwa menghindari pengacuan ke pasal atau ayat
yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga
rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 54
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Aspek
operasional
atau tidaknya
PUU; Aspek
Pelayanan dan
batasan Waktu
Pengaturan
dalam PUU
masih belum
dilaksanakan
secara efektif;
Penentuan
standar
pelayanan
minimum
68. Pasal 60 - - - - Tetap
69. Pasal 61:
Kreditor yang mempunyai hak
untuk menahan benda milik
Debitor, tidak kehilangan hak
karena ada putusan pernyataan
pailit.
D2 Hak Ada pengaturan
mengenai hak
yang tidak
konsisten /saling
bertentangan
antar pasal
Ada ketidakonsistenan dengan Pasal 55 dan Pasal 56. Ubah
Perlu diatur ulang dan diperjelas
agar konsisten.
70. Pasal 62 – Pasal 66 - - - - Tetap
71. Pasal 67 ayat (1):
Hakim Pengawas berwenang
untuk mendengar keterangan
saksi atau memerintahkan
penyelidikan oleh para ahli untuk
memperoleh kejelasan tentang
segala hal mengenai kepailitan.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah
Tidak
menimbulkan
ambiguitas
/multitafsir
Istilah Penyelidikan umumnya lebih mengarah atau berkonotasi
kepada pidana.
Ubah
Penghapusan istilah
penyelidikan, mengganti
dengan kata/istilah lain seperti
pemeriksaan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 55
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
72. Pasal 68 ayat (2):
Permohonan banding tidak dapat
diajukan terhadap penetapan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf b, Pasal 33, Pasal 84
ayat (3), Pasal 104 ayat (2), Pasal
106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 127
ayat (1), Pasal 183 ayat (1), Pasal
184 ayat (3), Pasal 185 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 186,
Pasal 188, dan Pasal 189.
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
PUU
Lihat Petunjuk
pada Lampiran II
Nomor 279
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 84 ayat (3), Pasal 104 ayat
(2), Pasal 106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 183 ayat
(1), Pasal 184 ayat (3), Pasal 185 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 186, Pasal 188, dan Pasal 189. Dalam lampiran II UU Nomor
12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan bahwa menghindari
pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
73. Pasal 69:
(1) Tugas Kurator adalah
melakukan pengurusan
dan/atau pemberesan harta
pailit.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya,
Kurator:
a. tidak diharuskan memperoleh
persetujuan dari atau
menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu
kepada Debitor atau salah satu
organ Debitor, meskipun dalam
keadaan di luar kepailitan
persetujuan atau
D4 Keseimbangan,
Keserasian,
Dan
Keselarasa,
Keadilan.
Adanya
ketentuan yang
jelas terkait
dengan nilai-
nilai keadilan;
Adanya
ketentuan yang
memberikan
pembatasan
pada
kepemilikan
individu dan
korporasi.
Ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf a ini bertentangan dengan
prinsip hukum yang ada, serta hak atas informasi debitor terhadap
harta kekayaannya. Ketentuan norma tidak mencerminkan asas
materi muatan, terkait dengan asas keadilan serta prinsip
keserasian dan keseimbangan. Debitor walaupun sedang pailit dan
kewenangan pengurusan harta kekayaannya dilakukan kurator
untuk mengurus (berdasarkan penetapan pengadilan melalui
adanya permohonan penunjukan kurator oleh kreditor pemohon)
tetap mempunyai hak untuk memperoleh informasi pengurusan
harta kekayaannya. Permasalahan dalam Pasal 69 ayat (2) dimana
ketentuan ini melanggar ketentuan hak-hak debitor dan asas
keseimbangan dan asas keadilan sebagaimana dinyatakan dalam
UU Kepailitan dan PKPU. Sebagai pemilik kebendaan yang sah,
debitor seharusnya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
Tetap
Namun demikian, perlu
diperhatikan dalam
pelaksanaan/implementasi
pasal ini dengan membuka
ruang akses bagi Debitor untuk
mendapatkan informasi
mengenai proses pemberesan
hutang dan pengelolaan harta
kekayaannya.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 56
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
pemberitahuan demikian
dipersyaratkan;
b. dapat melakukan pinjaman dari
pihak ketiga, hanya dalam
rangka meningkatkan nilai
harta pailit.
(baik dalam bentuk salinan pemberitahuan, dsb) agar mengetahui
pemberesan utang dan pengelolaan harta kekayaannya.
74. Pasal 70 ayat (2):
Yang dapat menjadi Kurator
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, adalah: a. orang
perseorangan yang berdomisili di
Indonesia, yang memiliki keahlian
khusus yang dibutuhkan dalam
rangka mengurus dan/atau
membereskan harta pailit; dan
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas
/multitafsir
Keahlian khusus ini perlu didefinisikan dan diperjelas Ubah Penjelasan Pasal
Dengan menambahkan
penjelasan mengenai keahlian
khusus tersebut
75. Pasal 71 ayat (2) D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata;
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir, Jelas;
Lihat Petunjuk
pada Lampiran II
Nomor 279
Belum jelas soal mekanisme rapat kreditur unruk penggantian
kurator. Disini hanya mengatur kuorum kehadiran dan
keputusan.
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk
pada ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 90. Dalam lampiran
II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan bahwa
menghindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah
pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini
perlu diubah.
Ubah
Perlu diatur soal mekanisme
rapat kreditur yang mungkin
bisa dipimpin dan diinisiasi oleh
perwakilan kreditur yang sah
ditunjuk oleh para kreditur.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 57
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
76. Pasal 72 – Pasal 73 - - - - Tetap
77. Pasal 74
(1) Kurator harus menyampaikan
laporan kepada Hakim Pengawas
mengenai keadaan harta pailit dan
pelaksanaan tugasnya setiap 3
(tiga) bulan.
(2) Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat
terbuka untuk umum dan dapat
dilihat oleh setiap orang dengan
cuma-cuma.
(3) Hakim Pengawas dapat
memperpanjang jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
D5 Aspek
penegakan
hukum dan
Aspek
pengawasan
Ditinjau dari
aparat penegak
hukumnya;
Adanya
instrument
Monitoring dan
Evaluasi.
Ketentuan ini tidak ada sanksinya dalam hal apabila kurator tidak
melaksanakan tugasnya untuk menyampaikan laporan.
Akibatnya dalam praktek norma ini tidak efektif, seringkali
kurator tidak pernah menyampaikan laporannya kepada hakim.
Profesi kurator/pengurus merupakan profesi yang sangat
penting dalam penyelesaian kepailitan. Mengingat profesi
kurator sangat penting dalam kepailitan untuk mengurus harta
kekayaan debitor. Namun UU KPKPU belum mengatur mengenai
tata cara mengenai pengangkatannya. Selain itu, pentingnya
lembaga pengawasan terhadap profesi kurator dikarenakan,
pengawasan kurator selama ini hanya terhadap kinerja kurator
saat ia diangkat untuk mengurus dan membereskan harta pailit.
Namun, pada saat sedang tidak memegang kasus pailit tertentu
belum ada lembaga yang mengawasinya secara menyeluruh,
baik dalam kinerjanya saat menjalankan jabatan, maupun
pribadinya dalam menjunjung tinggi kode etik kurator agar tidak
ada lagi permasalahan hukum yang dilakukan oleh oknum
kurator yang merugikan pihak-pihak dalam kepailitan.
Format laporan kiranya perlu diatur agar laporan tidak berbeda
satu sama lain formatnya
Perlu diperjelas dimana ini bisa dilihat dan kalau perlu dipublikasi
juga via website pengadilan yang bersangkutan atau website
kurator yang bersangkutan serta disebarkan melalui media
sosial.
Ubah
Perlu ada tambahan ayat
mengenai format dan
minimum isi dari laporan.
Perlu untuk dilakukan CBA
terhadap temuan ini.
Perlu mempertimbangkan
adanya komite pengawas
bersama yang terdiri dari
perwakilan MA,
Kemenkumham dan lembaga
kurator
78. Pasal 75 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 58
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
79. Pasal 76:
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Pengaturan mengenai hal ini sudah terakomodir dalam peraturan
menteri di bidang hukum dan HAM. Sehingga perlu perbaikan
rumusan ketentuan bahwa mengenai imbalan jasa kurator ini
ditetapkan dalam bentuk peraturan (bukan keputusan) menteri.
Selain itu, perlu dipertimbangkan untuk memasukan elemen
standar dan parameter biaya tersebut dalam UU kepailitan dan
PKPU.
UBAH
80. Pasal 77 - - - - Tetap
81. Pasal 78 ayat (1):
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika dan
teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Lihat Petunjuk
pada Lampiran II
Nomor 279
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 83 dan Pasal 84. Dalam
lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan
bahwa menghindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak
setelah pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga rumusan dalam
pasal ini perlu diubah.
Ubah
82. Pasal 79 – Pasal 82 - - - - Tetap
83. Pasal 83 ayat (2):
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika dan
teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Lihat Petunjuk
pada Lampiran II
Nomor 279
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 106, Pasal 107, Pasal 184
dan Pasal 186. Dalam lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin
nomor 279 disebutkan bahwa menghindari pengacuan ke pasal
atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
84. Pasal 84 – Pasal 85 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 59
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
85. Pasal 86 ayat (3):
Dalam jangka waktu paling lambat
5 (lima) hari setelah putusan
pernyataan pailit diterima oleh
Kurator dan Hakim Pengawas,
Kurator wajib memberitahukan
penyelenggaraan rapat Kreditor
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada Kreditor yang dikenal
dengan surat tercatat atau melalui
kurir, dan dengan iklan paling
sedikit dalam 2 (dua) surat kabar
harian, dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4).
D5 Aspek akses
informasi
masyarakat;
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Kemudahan
akses informasi;
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
86. Pasal 87 – Pasal 89 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 60
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
87. Pasal 90:
(4) Kurator memanggil semua
Kreditor yang mempunyai hak
suara dengan surat tercatat atau
melalui kurir, dan dengan
iklan paling sedikit 2 (dua) surat
kabar harian sebagaimana
dimaksud Pasal 15 ayat (4).
(5) Panggilan dengan surat
tercatat atau melalui kurir, dan
dengan iklan dalam surat kabar
harian sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) memuat acara yang
akan dibicarakan dalam rapat.
D5 Aspek akses
informasi
masyarakat;
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Kemudahan
akses informasi;
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
88. Pasal 91 – Pasal 92 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 61
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
89. Pasal 93 ayat (1):
Pengadilan dengan putusan
pernyataan pailit atau setiap
waktu setelah itu, atas usul Hakim
Pengawas, permintaan Kurator,
atau atas permintaan seorang
Kreditor atau lebih dan setelah
mendengar Hakim Pengawas,
dapat memerintahkan supaya
Debitor Pailit ditahan, baik
ditempatkan di Rumah Tahanan
Negara maupun di rumahnya
sendiri, di bawah pengawasan
jaksa yang ditunjuk oleh Hakim
Pengawas.
D5 Aspek
penegakan
hukum; Aspek
operasional
atau tidaknya
PUU.
Kepatuhan
aparat penegak
hukum;
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Ketentuan dalam pasal ini berkorelasi dengan Pasal 97. Dalam
prakteknya ketentuan mengenai paksa badan ini mengalami
kesulitan sehingga sampai saat ini amat sangat jarang atau bahkan
tidak pernah seorang Debitor Pailit dikenakan penahanan.
Pengalaman BHP ketika kesulitan untuk meminta pencegahan
seorang Debitor Pailit untuk tidak pergi keluar negeri,
permohonan BHP tersebut ditolak oleh imigrasi.
Ubah
Mengubah kata “dapat”
menjadi kata “harus”. Dalam
pelaksanaan/implementasi
ketentuan mengenai paksa
badan atau gizjeling ini harus
diefektifkan kembali.
90. Pasal 93 ayat (4):
D3
D4
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Tegas; Jelas
Adanya
ketentuan yang
menjamin
prosedur yang
jelas dan efisien
Tidak adanya batasan waktu untuk masa penahanan bertentangan
dengan asas kepastian hukum. Karena dengan demikian jangka
waktu 30 hari masih bisa dilakukan berulang kali karena dalam
rumusan tidak disebutkan batasan berapa kali perpanjangan
tersebut dapat dilakukan.
Ubah
91. Pasal 94 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 62
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
92. Pasal 95:
Permintaan untuk menahan
Debitor Pailit harus dikabulkan,
apabila permintaan tersebut
didasarkan atas alasan bahwa
Debitor Pailit dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121
ayat (1) dan ayat (2).
D3
Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan;
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Lihat Petunjuk
Lampiran II
Nomor 279;
Salah merujuk
pasal
Berdasarkan Pasal tersebut syarat penahanan (gijzeling) dalam
Pasal 110 dan 121 UU KPKPU merupakan kewajiban untuk
menghadap dalam rangka memberikan keterangan. Sedangkan
Pasal 98 UU KPKPU bukanlah perintah yang ditujukan kepada
debitor melainkan kepada Kurator. Sehingga, terdapat
kekeliruan norma pengacuan terhadap syarat penahanan
sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 95 UU KPKPU. Oleh
karena itu, norma yang dimaksud dalam Pasal 95 UU KPKPU yang
merujuk pada ketentuan Pasal 98 UU KPKPU adalah tidak tepat.
Seharusnya ketentuan Pasal yang dirujuk dalam Pasal 95 UU
KPKPU selain Pasal 110 dan 121 UU KPKPU adalah ketentuan
Pasal 97 UU KPKPU yang menyatakan “selama kepailitan,
Debitor Pailit tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin
dari Hakim Pengawas”. Dengan demikian, ketentuan Pasal 98
UU KPKPU bukan merupakan bagian syarat penahanan
(Gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 UU KPKPU.
(Sehingga, seharusnya pasal yang dirujuk adalah Pasal 97, 110
atau 121 ayat 1 dan ayat 2)
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk
pada ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 98, Pasal 110 dan
Pasal 121. Dalam lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 poin
nomor 279 disebutkan bahwa menghindari pengacuan ke pasal
atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
93. Pasal 96 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 63
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
94. Pasal 97:
Selama kepailitan, Debitor Pailit
tidak boleh meninggalkan
domisilinya tanpa izin dari Hakim
Pengawas
D5 Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Ketentuan ini terkait dengan keharusan agar debitur pailit
memberikan keterangan di pengadilan
Dalam pelaksanaannya, pasal ini menemui hambatan ketika
terjadi pada Debitor yang hendak meninggalkan wilayah
Indonesia. Karena ketika akan dilakukan pencegahan terhadap
Debitor tersebut, Imigrasi tidak serta merta dapat melakukan
pencegahan tersebut. Karena dalam Pasal 91 ayat (2) UU Nomor
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, bahwa menteri hukum
melaksanakan pencegahan berdasarkan: a.hasil pengawasan
Keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif
Keimigrasian; b. Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dan ketentuan
peraturan perundang-undangan; c. permintaan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; d. perintah Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; e. permintaan Kepala Badan Narkotika
Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan/atau f. keputusan, perintah, atau permintaan
pimpinan kementerian/lembaga lain yang berdasarkan
undangundang memiliki kewenangan Pencegahan. Dalam pasal
selanjutnya disebutkan juga bahwa dalam keadaan mendesak
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 tersebut dalam
meminta secara langsung kepada pejabat imigrasi tertentu
untuk melakukan pencegahan. Terkait pencegahan keluar
Tetap
Namun demikian tetap harus
mengefektifkan paksa badan
atau gizjeling dalam ketentuan
Pasal 93.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 64
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
negeri debitor pailit, kurator mengalami kesulitan dalam
prakteknya.
Pasal 97 ini tidak dapat berjalan karena tidak ada konsekuensi
terhadap debitur yang nakal / melanggar. Seharusnya hal ini
dapat diselesaikan dengan gizeling.
95. Pasal 98:
Sejak mulai pengangkatannya,
Kurator harus melaksanakan
semua upaya untuk
mengamankan harta pailit dan
menyimpan semua surat,
dokumen, uang, perhiasan, efek,
dan surat berharga lainnya dengan
memberikan tanda terima.
D5 Aspek
Kekosongan
pengaturan
Belum ada
pengaturan
Perlu ada ketentuan yang mengkoneksikan kurator ke lembaga
jasa keuangan bank dan bukan bank termasuk pasar modal
sehingga kurator bisa mengakses harta pailit debitor seakan-akan
miliknya sendiri.
Ubah
Penambahan satu ayat
mengenai relasi kurator ke
otoritas jasa keuangan dan
lembaga jasa keuangan itu
sendiri.
96. Pasal 99 – Pasal 105 - - - - Tetap
97. Pasal 106:
Kurator berwenang menurut
keadaan memberikan suatu
jumlah uang yang ditetapkan oleh
Hakim Pengawas untuk biaya
hidup Debitor Pailit dan
keluarganya.
D2
Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak
konsisten/saling
bertentangan
antar pasal
(dalam
peraturan yang
sama).
Agak kurang konsisten dengan pasal 22 dimana ada harta yang
dikecualikan dari harta pailit.
Kata “menurut keadaan” dalam pasal ini tidak jelas maksud dan
maknanya, sehingga perlu dijelaskan dalam penjelasan pasal
Cabut
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 65
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tegas, jelas,
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
98. Pasal 107 ayat (2):
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 185 ayat (1) berlaku
terhadap ayat (1).
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan;
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Lihat Petunjuk
Lampiran II
Nomor 279;
Salah merujuk
pasal
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu 185. Dalam lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan bahwa
menghindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah
pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini
perlu diubah.
Ubah
99. Pasal 108 ayat (1):
Uang, perhiasan, efek, dan surat
berharga lainnya wajib disimpan
oleh Kurator sendiri kecuali
apabila oleh Hakim Pengawas
ditentukan lain.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai hal
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
kewenangan
yang berbeda
Efek pasar modal dan surat berharga pasar keuangan dan pasar
modal disimpan oleh lembaga kustodian sentral.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 66
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
100. Pasal 109 – Pasal 113 - - - - Tetap
101. Pasal 114:
Kurator paling lambat 5 (lima) hari
setelah penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 wajib
memberitahukan penetapan
tersebut kepada semua Kreditor
yang alamatnya diketahui dengan
surat dan mengumumkannya
paling sedikit dalam 2 (dua) surat
kabar harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).
D5 Aspek akses
informasi
masyarakat;
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Kemudahan
akses informasi;
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 67
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
102. Pasal 115 – Pasal 117 - - - - Tetap
103. Pasal 118 ayat (1): D4 Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Adanya
ketentuan yang
menjamin
prosedur yang
jelas dan efisien
Pasal 118 ayat (1) memberikan ruang gerak kepada kurator
untuk menentukan jenis krediturnya. Namun demikian, ada
kekurangan dari model ini yaitu soal kepastian hukum kreditur
mana yang seharusnya didahulukan.
Tetap
Namun demikian penting untuk
mempertimbangkan revisi pasal
ini.
104. Pasal 119:
Kurator wajib menyediakan di
Kepaniteraan Pengadilan salinan
dari masing-masing daftar
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 117, selama 7 (tujuh) hari
sebelum hari pencocokan piutang,
dan setiap orang dapat melihatnya
secara cuma-cuma.
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Sekarang sudah zaman teknologi informasi. sebaiknya tidak
hanya dimumkan di kepaniteraan saja namun diperjalas bahwa
ini diumukan secara fisik di kepaniteraan, website pengadilan
yang bersangkutan, dan website kurator serta media sosial.
Adanya perkembangan teknologi, harusnya jenis publikasi ini
bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu
adanya manajemen publikasi putusan pengadilan melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Ketika putusan
sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa di
upload ke dalam portal publikasi sehingga bisa segera diakses
oleh para pihak (lebih cepat dan efisien). Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Ubah
Memasukkan dalam ketentuan
kemungkinan informasi melalui
elektronik
105. Pasal 120:
Kurator wajib memberitahukan
dengan surat tentang adanya
daftar sebagaimana dimaksud
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
Sekarang sudah zaman teknologi informasi. sebaiknya tidak
hanya dimumkan di kepaniteraan saja namun diperjalas bahwa
ini diumukan secara fisik di kepaniteraan, website pengadilan
yang bersangkutan, dan website kurator serta media sosial.
Ubah
Memasukkan dalam ketentuan
kemungkinan informasi melalui
elektronik
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 68
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dalam Pasal 119 kepada Kreditor
yang dikenal, disertai panggilan
untuk menghadiri rapat
pencocokan piutang dengan
menyebutkan rencana
perdamaian jika telah diserahkan
oleh Debitor Pailit.
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik)
Adanya perkembangan teknologi, harusnya jenis publikasi ini
bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu
adanya manajemen publikasi putusan pengadilan melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Ketika putusan
sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa di
upload ke dalam portal publikasi sehingga bisa segera diakses
oleh para pihak (lebih cepat dan efisien). Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
106. Pasal 121 – Pasal 127 - - - - Tetap
107. Pasal 127 D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tegas Undang-undang tidak tegas mengatur mengenai proses renvoi,
dalam hal hakim pengawas tidak dapat menyelesaikan, hakim
pengawas memerintahkan perselisihan diselesaikan di
pengadilan.
Dalam penjelesan pasal 127 disebutkan bahwa yang dimaksud
disini adalah pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung, berarti diselesaikan seperti perkara perdata
biasa, tidak sederhana, akan tetapi Pasal 127 ayat (3)
menyebutkan diperiksa secara sederhana.
Dalam praktek perkara renvoi prosedur diselesaikan di
pengadilan niaga, tidak ada banding langsung kasasi. Pasal 68
ayat (2) menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 127 tidak terbuka
upaya banding.
Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 69
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Tidak ada sinkronisasi antara pasal ini dalam hal mengatur
tentang proses pemeriksaan renvoi prosedur. Dalam praktek
Renvoi ada upaya hukum lihat Yurisprudensi
108. Pasal 128 – Pasal 133 - - - - Tetap
109. Pasal 134 ayat (2) D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas Tidak ada penjelasan mengenai pro memori. Ubah Penjelasan Pasal
110. Pasal 135 – Pasal 144 - - - - Tetap
111. Pasal 145 ayat (1):
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan;
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Lihat Petunjuk
Lampiran II
Nomor 279
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 147. Dalam lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan bahwa
menghindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah
pasal atau ayat bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini
perlu diubah.
Ubah
112. Pasal 146 - Pasal 153 - - - - Tetap
113. Pasal 154:
(3) Setiap orang yang
berkepentingan dapat melihat
dengan cuma-cuma berita acara
rapat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang disediakan
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu;
Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
Sekarang sudah zaman teknologi informasi. sebaiknya tidak
hanya dimumkan di kepaniteraan saja namun diperjalas bahwa
ini diumukan secara fisik di kepaniteraan, website pengadilan
yang bersangkutan, dan website kurator serta media sosial.
Adanya perkembangan teknologi, harusnya jenis publikasi ini
bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu
Ubah
Memasukkan dalam ketentuan
kemungkinan informasi melalui
elektronik
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 70
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
tanggal berakhirnya rapat di
Kepaniteraan Pengadilan.
(4) Untuk memperoleh salinan
berita acara rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dikenakan
biaya.
yang berbasis
elektronik);
Kemudahan
Akses Informasi
adanya manajemen publikasi putusan pengadilan melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Ketika putusan
sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa di
upload ke dalam portal publikasi sehingga bisa segera diakses
oleh para pihak (lebih cepat dan efisien). Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
114. Pasal 155 - Pasal 159 - - - - Tetap
115. Pasal 160 ayat (1):
Dalam hal pengesahan
perdamaian ditolak, baik Kreditor
yang menyetujui rencana
perdamaian maupun Debitor
Pailit, dalam waktu 8 (delapan)
hari setelah tanggal putusan
Pengadilan diucapkan, dapat
mengajukan kasasi.
D3 Hak Ada Pengaturan
mengenai Hak
yang tidak
konsisten/saling
bertentangan
antar pasal
(dalam
peraturan yang
sama).
Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 285 ayat (4) yang
menyatakan:
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
dan Pasal 13 berlaku mutatis mutandis terhadap pengesahan
perdamaian, namun tidak berlaku terhadap penolakan
perdamaian.
Ubah
116. Pasal 161 – Pasal 177 - - - - Tetap
117. Pasal 178 ayat (1):
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Menimbulkan
mutlitafsir; jelas
Kepailitan dan insolvensi terkadang membingungkan maknanya.
Di luar menggunakan insolvency law dan bankruptcy law, Konsep
Indonesia mesti jelas konsep apa yang akan digunakan.
Ubah
Istilah insolvensi sebaiknya
diganti dengan keadaan tidak
mampu bayar.
118. Pasal 179 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 71
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
119. Pasal 180 ayat (4):
Setiap orang yang berkepentingan
dapat melihat dengan cuma-cuma
berita acara rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang
disediakan paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah tanggal berakhirnya
rapat di Kepaniteraan Pengadilan.
D5 Aspek
Pelayanan dan
batasan waktu;
Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Penentuan
Standar
Pelayanan
Minumum (Tata
kelola
pemerintahan
yang berbasis
elektronik);
Kemudahan
Akses Informasi
Sekarang sudah zaman teknologi informasi. sebaiknya tidak
hanya dimumkan di kepaniteraan saja namun diperjalas bahwa
ini diumukan secara fisik di kepaniteraan, website pengadilan
yang bersangkutan, dan website kurator serta media sosial.
Adanya perkembangan teknologi, harusnya jenis publikasi ini
bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu
adanya manajemen publikasi putusan pengadilan melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Ketika putusan
sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa di
upload ke dalam portal publikasi sehingga bisa segera diakses
oleh para pihak (lebih cepat dan efisien). Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Ubah
Memasukkan dalam ketentuan
kemungkinan informasi melalui
elektronik
120. Pasal 181 ayat (3):
Kurator harus mengiklankan
panggilan yang sama paling sedikit
dalam 2 (dua) surat kabar
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4).
D3 Penggunaan
bahasa, istilah
kata
Efisien, Tegas Permasalahan pada pasal 181 ayat (3)
Dikarenakan para kreditor telah diundang melalui 181 ayat (2) dan
Pasal 119 UU KPKPU. Jadi tidak perlu lagi mengenai ketentuan
Pasal 181 ayat (3).
Cabut
Usul Pasal 181 ayat (3)
dihapuskan
121. Pasal 182 – Pasal 184 - - - - Tetap
122. Pasal 185:
(1) Semua benda harus dijual di
muka umum sesuai dengan tata
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Kemudahan
Akses Informasi
Permasalahan yang muncul di lapangan adalah tidak adanya
pemberitahuan penjualan yang dilakukan oleh kurator kepada
debitor. Hal tersebut mengakibatkan, debitor tidak memiliki
informasi mengenai status serta keberadaan harta kekayaan
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 72
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal penjualan di muka
umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai maka
penjualan di bawah tangan dapat
dilakukan dengan izin Hakim
Pengawas.
(3) Semua benda yang tidak segera
atau sama sekali tidak dapat
dibereskan maka Kurator yang
memutuskan tindakan yang harus
dilakukan terhadap benda
tersebut dengan izin Hakim
Pengawas.
(4) Kurator berkewajiban
membayar piutang Kreditor yang
mempunyai hak untuk menahan
suatu benda, sehingga benda itu
masuk kembali dan
menguntungkan harta pailit.
yang lakukan penjualan oleh kurator. Akibatnya, kondisi
tersebut dapat mengakibatkan kerugian dari sisi materiil bagi
debitor apabila penjualan dilakukan secara tidak adil.
Terhadap permasalahan norma UU KPKPU dimaksud, upaya
yang dilakukan adalah dengan menambahkan syarat adanya
transparansi baik yang dilakukan pada saat penjualan lelang,
penjualan bawah tangan, atau tindakan lainnya kiranya harus
dilaksanakan secara terbuka dan diberikan akses informasi/
keterbukaan informasi mengenai penjualan harta kekayaan
debitor. Selain itu, rencana adanya satu portal yang akan
memberikan informasi terkait kepailitan dapat juga menjadi
jawaban atas permasalahan tersebut. Yang perlu dipastikan
adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi tersebut,
dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan prasarana
demikian SDMnya
Revisi dengan menambahkan
ketentuan terkait dengan
pemberitahuan kepada debitor
123. Pasal 186 - - - - Tetap
124. Pasal 187 ayat (3):
(3) Kurator wajib mengumumkan
panggilan yang sama dalam surat
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Kemudahan
akses informasi.
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 73
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
kabar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4).
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
125. Pasal 188 – Pasal 195 - - - - Tetap
126. Pasal 196 ayat (3):
Untuk kepentingan pemeriksaan
atas permohonan kasasi,
Mahkamah Agung dapat
D5 Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
Dikarenakan tidak mungkin Mahkamah Agung memanggil dan
memeriksa kurator atau kreditor, kecuali dengan putusan sela
Mahkamah Agung memerintahkan pengadilan niaga untuk
memanggil dan memeriksa kurator atau kreditor.
Cabut
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 74
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
memanggil Kurator atau Kreditor
untuk didengar.
dilaksanakan
secara efektif.
127. Pasal 197 – Pasal 201 - - - - Tetap
128. Pasal 202 ayat (1):
Segera setelah kepada Kreditor
yang telah dicocokkan, dibayarkan
jumlah penuh piutang mereka,
atau segera setelah daftar
pembagian penutup menjadi
mengikat maka berakhirlah
kepailitan, dengan tidak
mengurangi berlakunya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 203.
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
D3: Lihat
Petunjuk
Lampiran II
Nomor 279
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 203. Dalam lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan: hindari
pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
129. Pasal 202 ayat (2):
Kurator melakukan pengumuman
mengenai berakhirnya kepailitan
dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan surat kabar
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4).
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Kemudahan
akses informasi.
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
UBAH
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 75
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
130. Pasal 202 ayat (4):
Semua buku dan dokumen
mengenai harta pailit yang ada
pada Kurator wajib diserahkan
kepada Debitor dengan tanda
bukti penerimaan yang sah.
D4
D5
Keseimbangan,
Keserasian,
Dan
Keselarasan
Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Adanya
ketentuan yang
mengedepanka
n prinsip kehati-
hatian
Kemudahan
akses informasi.
Tidak adanya ketentuan mengenai sanksi norma kewajiban
sehingga dalam prakteknya sering tidak dilakukan penyerahan
kepada debitor. Akibatnya debitor tidak mengetahui data-data
pemberesan harta kekayaan debitor pailit, serta laporan-laporan
pengurusan harta kekayaannya selama debitor menjalani proses
kepailitan. Ketentuan ini tidak jelas, dan sangat merugikan debitor
dalam prakteknya. Oleh karena itu, ketentuan ini tidaklah
mencerminkan bagaimana asas keadilan, Keserasian dan
keseimbangan patut dilaksanakan.
TETAP
Dengan tetap memperhatikan
aspek akses informasi dan
transparansi
131. Pasal 203 – Pasal 206 - - - - Tetap
132. Pasal 207
Harta kekayaan orang yang
meninggal harus dinyatakan dalam
D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
Menimbulkan
Ketentuan Pasal ini menimbulkan permasalahan, yaitu tidak
sesuai dengan asas keadilan sebagaimana terdapat dalam asas-
asas materi muatan peraturan PUU. Dikarenakan ketentuan
Ubah Penjelasan pasal
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 76
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
keadaan pailit, apabila dua atau
lebih Kreditor mengajukan
permohonan untuk itu dan secara
singkat dapat membuktikan
bahwa:
a. utang orang yang meninggal,
semasa hidupnya tidak dibayar
lunas; atau
b. pada saat meninggalnya orang
tersebut, harta peninggalannya
tidak cukup untuk membayar
utangnya.
Ambiguitas
/Multitafsir
norma harus ini mengakibatkan dilakukannya sita umum
terhadap harta kekayaan orang yang telah meninggal,
sedangkan syarat kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
207 terdapat conditional dimana adanya ketentuan tidak
dibayar lunas. Ketetentuan tidak dibayar lunas ini sesungguhnya
menimbulkan permasalahan dikarenakan masih multi tafsir
apakah tidak dibayar lunas dikarenakan tidak mau membayar
ataukah disebabkan tidak lagi mampu membayar. Kemudian,
apakah tidak dibayar lunasnya utang dikarenakan adanya
prestasi yang belum dilaksaakan satu sama lain ataukah ada
sebab lainnya. Ketentuan harus dinyatkan pailit berpotensi
menyebabkan ketidakadilan.
Selain itu ketentuan norma secara singkat masih tidak jelas/
multi tafsir apakah dimaksud pemeriksaan secara sederhana
atau pemeriksaan secara khusus.
133. Pasal 208 – Pasal 211 - - - - Tetap
134. Pasal 212:
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
Menimbulkan
Ambiguitas
/Multitafsir
Persoalan mengenai tata redaksi kalimat yang tidak rapi dan
kurang efisien. Selain itu, ketiadaan penjelasan pasal yang
bersangkutan (misalnya contoh) membuat pasal ini semakin
membingungkan dan bisa berpotensi multitafsir.
Terhadap Pasal 213 dan 214 juga mempunyai analisis yang
sama.
Ubah
135. Pasal 213: D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
Menimbulkan
Ambiguitas
/Multitafsir
Persoalan mengenai tata redaksi kalimat yang tidak rapi dan
kurang efisien. Selain itu, ketiadaan penjelasan pasal yang
bersangkutan (misalnya contoh) membuat pasal ini semakin
membingungkan dan bisa berpotensi multitafsir.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 77
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Terhadap Pasal 213 dan 214 juga mempunyai analisis yang
sama.
136. Pasal 214 ayat (1):
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Efisien, Tidak
Menimbulkan
Ambiguitas
/Multitafsir
Persoalan mengenai tata redaksi kalimat yang tidak rapi dan
kurang efisien. Selain itu, ketiadaan penjelasan pasal yang
bersangkutan (misalnya contoh) membuat pasal ini semakin
membingungkan dan bisa berpotensi multitafsir.
Terhadap Pasal 213 dan 214 juga mempunyai analisis yang
sama.
Ubah
137. Pasal 215 - - - - Tetap
138. Pasal 216
Permohonan rehabilitasi baik
Debitor maupun ahli warisnya
tidak akan dikabulkan, kecuali
apabila pada surat permohonan
tersebut dilampirkan bukti yang
menyatakan bahwa semua
Kreditor yang diakui sudah
memperoleh pembayaran secara
memuaskan.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
Menimbulkan
Ambiguitas
/Multitafsir
Ketentuan Pasal 216 khususnya mengenai ketentuan norma
pembayaran memuaskan dianggap multi tafsir atau tidak jelas,
sehingga rentan untuk disalahgunakan. Penjelasan pasal
menyatakan “pembayaran secara memuaskan” adalah bahwa
Kreditor yang diakui tidak akan mengajukan tagihan lagi
terhadap Debitor, sekalipun mereka mungkin tidak menerima
pembayaran atas seluruh tagihannya. Namun, ketentuan
penjelasan masih tidak jelas apakah yang dimaksud dengan
memuaskan dan apakah bentuk pernyataan tidak akan
mengajukan tagihan lagi terhadap debitor.
UBAH Penjelasan Pasal
139. Pasal 217:
Permohonan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 216 harus diumumkan paling
sedikit dalam 2 (dua) surat kabar
harian yang ditunjuk oleh
Pengadilan.
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Kemudahan
akses informasi.
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
UBAH
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 78
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
140. Pasal 218 – Pasal 221 - - - - Tetap
141. Pasal 222 ayat (3)
Kreditor yang memperkirakan
bahwa Debitor tidak dapat
melanjutkan membayar utangnya
yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dapat memohon agar
kepada Debitor diberi penundaan
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Ketentuan Pasal 222 ayat (3) ini bertentangan dengan Prinsip
Kepailitan dan PKPU yang diakui secara internasional. PKPU
bertujuan memberikan kesempatan kepada debitor untuk
menawarkan rencana perdamaian dalam rangka pembayaran
utangnya (restrukturisasi utang), seharusnya kewenangan
mengajukan permohonan PKPU hanya ada pada debitor karena
yang mengetahui kemampuan keuangan adalah debitor.
Cabut
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 79
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
kewajiban pembayaran utang,
untuk memungkinkan Debitor
mengajukan rencana perdamaian
yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada Kreditornya.
Seharusnya kreditor tidak boleh diberikan kewenangan untuk
mengajukan permohonan PKPU, karena bagi mereka telah
tersedia kepailitan. Kewenangan mengajukan PKPU oleh kreditor
seringkali dimanfaatkan oleh kreditor justru untuk mempailitkan
debitor, karena setelah PKPU tidak ada upaya hukum lain bagi
debitor selain Pailit.
142. Pasal 223:
D2 Kewenangan Kewenangan
yang sama
diberikan pada 2
lembaga yang
berbeda
Kewenangannya sudah beralih kepada OJK dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). UU KPKPU perlu menyesuaikan dengan
perkembangan hukum yang ada.
Ubah
143. Pasal 224
(3) Dalam hal pemohon adalah
Kreditor, Pengadilan wajib
memanggil Debitor melalui juru
sita dengan surat kilat tercatat
paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum sidang.
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Kemudahan
akses informasi
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi.
Sekarang sudah zaman teknologi informasi. sebaiknya tidak
hanya dimumkan di kepaniteraan saja namun diperjalas bahwa
ini diumukan secara fisik di kepaniteraan, website pengadilan
yang bersangkutan, dan website kurator serta media sosial.
Adanya perkembangan teknologi, harusnya jenis publikasi ini
bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu
adanya manajemen publikasi putusan pengadilan melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Ketika putusan
sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa di
upload ke dalam portal publikasi sehingga bisa segera diakses
oleh para pihak (lebih cepat dan efisien). Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
Ubah
Memasukkan dalam ketentuan
kemungkinan informasi melalui
elektronik
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 80
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
prasarana demikian SDMnya. Hal yang sama juga berlaku untuk
Pasal 225-226
144. Pasal 224 ayat (6):
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat 1, ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku
mutatis mutandis sebagai tata
cara pengajuan permohonan
penundaan kewajiban
pembayaran utang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
D1 UU Tindak Lanjut
Putusan MK
Pasal ini berdasarkan putusan MK tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menurut Putusan MK Perkara Nomor 071/PUU-
II/2004 Perkara Nomor: 001- 002/PUU-III/2005 yang pada salah
satu amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta
Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata
“ayat (3)” UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menimbang bahwa dengan rumusan Pasal 224 ayat (6)
tersebut berarti bahwa apabila permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang bukan dilakukan oleh pihak
sebagaimana yang ditunjuk oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-undang a
quo berarti Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan
dimaksud sesuai dengan Ketentuan Pasal 6 ayat (3). Sementara itu,
Mahkamah telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) Undang-
undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
sehingga pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 6 ayat (3)
sebagaimana telah diuraikan di atas mutatis mutandis berlaku juga
bagi Pasal 224 ayat (6) undang-undang a quo. Oleh karena itu,
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 224 ayat (6) sepanjang
menyangkut kata "ayat (3)" undang-undang a quo terbukti
bertentangan dengan UUD
1945 dan karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Ubah
Usulan rumusan Pasal 224 ayat
(6) berbunyi "Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (4)
dan ayat (5), berlaku mutatis
mutandis sebagai tata cara
pengajuan permohonan
penundaan kewajiban
pembayaran utang
sebagaimana dimaksud ayat (1)"
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 81
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
145. Pasal 225:
D3
D5
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir
Pengaturan
dalam peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Kata “harus mengabulkan”, seolah-oleh setiap permohonan harus
dikabulkan, padahal tidak semua permohonan PKPU itu harus
dikabulkan. Sebaiknya diganti dengan “harus memutus”.
Jangka waktu pemeriksan dan putusan terhadap permohonan
PKPU yang diajukan oleh Debitor diusulkan untuk ditinjau kembali
karena terlalu pendek, karena pihak sering mengajukan PKPU pada
hari Jumat, ini akan menyulitkan Majelis Hakim dalam melakukan
pemeriksaan perkara
Ubah
146. Pasal 226 ayat (1):
Pengurus wajib segera
mengumumkan putusan
penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara
dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan paling sedikit dalam
2 (dua) surat kabar harian yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas
dan pengumuman tersebut juga
harus memuat undangan untuk
hadir pada persidangan yang
merupakan rapat
permusyawaratan hakim berikut
tanggal, tempat, dan waktu sidang
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Kemudahan
akses informasi.
Bahwa penggunaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan
agar tidak selalu bersifat fisik saja dokumen hukumnya. Dengan
perkembangan teknologi informasi, sebaiknya mulai dibuka
sarana lain dalam pengumuman/publikasi. Dalam pembahasan
seminar kepailitan di Surabaya, dibahas mengenai publikasi
secara elektronik. Perlu adanya manajemen publikasi melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Termasuk ketika
putusan sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa
di upload ke dalam portal publikasi khusus kepailitan sehingga
bisa segera diakses oleh para pihak. Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
prasarana demikian SDMnya.
Ubah
Sehingga direkomendasikan
ketentuan mengenai publikasi
dipecah menjadi 2 ayat, yang
pertama mewajibkan melalui
surat kabar harian (manual).
Ayat berikutnya, mengatur juga
dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi
informasi (online).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 82
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
tersebut, nama Hakim Pengawas
dan nama serta alamat pengurus.
Pemanfaatan teknologi informasi yang dianggap lebih cepat,
efisien dan lebih murah dibandingkan melalui surat kabar harian
harus terklarifikasi. Apakah biaya terbanyak dalam proses
penyelesaian kepailitan berasal dari biaya publikasi?
Secara praktik internasional publikasi kepailitan yang dilakukan
melalui sarana surat kabar harian merupakan hal yang lazim
dilakukan. Karena publikasi melalui surat kabar harian dapat
menjangkau seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemanfaatan
teknologi informasi ini tetap harus didampingi dengan publikasi
manual dengan menggunakan koran/media massa yang
berskala nasional.
147. Pasal 227 - - - - Tetap
148. Pasal 228 ayat (3):
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Lihat Petunjuk
Nomor 279
dalam Lampiran
II
Dalam rumusan pasal ini ditemukan ketentuan yang merujuk pada
ketentuan pasal setelahnya yaitu Pasal 267. Dalam lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 poin nomor 279 disebutkan: hindari
pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan. Sehingga rumusan dalam pasal ini perlu diubah.
Ubah
149. Pasal 229 – Pasal 231 - - - - Tetap
150. Pasal 232:
(1) Panitera Pengadilan wajib
mengadakan daftar umum
perkara penundaan kewajiban
pembayaran utang dengan
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat
Kemudahan
akses informasi.
Penyelenggaraan daftar umum selain dalam bentuk buku besar
secara fisik namun sebaiknya juga dalam bentuk sistem atau
aplikasi elektronik.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 83
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
mencantumkan untuk setiap
penundaan kewajiban
pembayaran utang: ...........
Elemen register ini sebaiknya juga ditambah soal penyelenggaraan
rapat kreditur, notulensi rapat kreditur, record nama hakim
pengawas, nama kurator, biaya penyelesaian dan imbalan jasa,
laporan kurator, dan pelaksanaan lelang
151. Pasal 233 - - - - Tetap
152. Pasal 234:
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Syarat menjadi pengurus sebaiknya juga dijelaskan disini meskipun
detailnya bisa jadi dijelaskan di peraturan mahkamah agung atau
permenkumham.
Ubah
Mengatur lebih jelas syarat-
syarat pengurus
153. Pasal 235 – Pasal 268 - - - - Tetap
154. Pasal 269:
(2) Pengurus juga wajib
memberitahukan hal-hal
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dengan surat tercatat atau
melalui kurir kepada semua
Kreditor yang dikenal, dan
pemberitahuan ini harus
menyebutkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 270 ayat (2).
(4) Pengurus dapat mensyaratkan
agar Debitor memberikan kepada
mereka uang muka dalam jumlah
D5 Aspek Akses
Informasi
Masyarakat;
Aspek
Teknologi
Penunjang
Pelayanan
Kemudahan
akses informasi;
Ketersediaan
data yang
lengkap dan
terdigitalisasi.
Sekarang sudah zaman teknologi informasi. sebaiknya tidak
hanya dimumkan di kepaniteraan saja namun diperjalas bahwa
ini diumukan secara fisik di kepaniteraan, website pengadilan
yang bersangkutan, dan website kurator serta media sosial.
Adanya perkembangan teknologi, harusnya jenis publikasi ini
bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu
adanya manajemen publikasi putusan pengadilan melalui
mekanisme portal publikasi khusus kepailitan. Ketika putusan
sudah ditetapkan, maka kemudian salinan tersebut bisa di
upload ke dalam portal publikasi sehingga bisa segera diakses
oleh para pihak (lebih cepat dan efisien). Ke depannya, informasi
terkait kepailitan bisa diakses di satu portal publikasi. Yang perlu
dipastikan adalah lembaga yang akan mengelola portal publikasi
tersebut, dengan mempertimbangkan kesiapan sarana dan
Ubah
Memasukkan dalam ketentuan
kemungkinan informasi melalui
elektronik
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 84
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
yang ditetapkan oleh pengurus
guna menutup biaya untuk
pengumuman dan pemberitahuan
tersebut.
prasarana demikian SDMnya. Hal yang sama juga berlaku untuk
Pasal 225-226
155. Pasal 270 – Pasal 299 - - - - Tetap
156. Pasal 300 ayat (1):
D1 - - Pengadilan niaga berada di bawah pengadilan negeri. Soal
kewenangan tersebut biarkan saja diatur dalam UU Peradilan
Umum
Cabut
157. Pasal 300 ayat (2):
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Pembentukan pengadilan dengan Peraturan Presiden sekarang
bukan lagi Keputusan Presiden
Ubah
Pasal ini sebaiknya diubah dan
disesuaikan dengan UU No.
12/2011.
158. Pasal 301 ayat (2):
Dalam hal menyangkut perkara
lain di bidang perniagaan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 300 ayat (1), Ketua
Mahkamah Agung dapat
menetapkan jenis dan nilai
perkara yang pada tingkat
pertama diperiksa dan diputus
oleh hakim tunggal
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai hal
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat
Penentuan pemeriksaan oleh Hakim Tunggal adalah termasuk
dalam hukum acara. Hukum Acara hanya boleh diatur dalam
undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 28 UU Kekuasaan
Kehakiman, yang dapat ditindaklanjuti oleh Peraturan Mahkamah
Agung sebagaimana mestinya.
Adapun ketetapan (keputusan) Ketua Mahkamah Agung adalah
naskah dinas yang memuat kebijakan yang bersifat menetapkan,
tidak bersifat mengatur, dan merupakan pelaksanaan kegiatan,
yang digunakan untuk:
1) Menetapkan/mengubah status
kepegawaian/personal/keangotaan/material/peristiwa;
Ubah
Pasal ini sebaiknya diubah
rumusannya.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 85
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
2) Menetapkan/mengubah/membubarkan suatu
kepanitiaan/tim; dan/atau
3) Menetapkan pelimpahan wewenang, sebagaimana Lampiran
Keputusan Ketua MA Nomor 57/KMA/SK/IV/2016 tentang
Pedoman Penyusunan Kebijakan MA.
Dengan demikian, pendelegasian kepada penetapan Ketua
Mahkamah Agung atas “jenis dan nilai perkara yang pada tingkat
pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal” adalah tidak
tepat. Penentuan tentang hakim tunggal harus diatur dalam UU,
yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti dalam Peraturan
Mahkamah Agung.
159. Pasal 301 – Pasal 308 - - - - Tetap
160. Bagian Kesepuluh
Ketentuan-ketentuan Hukum
Internasional
Pasal 212, 213, 214
D5 Aspek relevansi
dengan hukum
yang berlaku
secara
internasional
Pengaturan
yang terkait
dengan
ratifikasi,
konvensi,
perjanjian,
traktat,
kebiasaan
internasional.
Tidak adanya pengaturan mengenai Cross Border Insolvency dalam
kepailitan di Indonesia sekarang ini mengakibatkan putusan
kepailitan yang diputuskan di Indonesia tidak berlaku mengikat
terhadap harta kepailitan yang berada di luar negeri maupun
sebaliknya. Sehingga kurator sulit untuk dapat melakukan
pemberesan terhadap aset debitor.
*Kebutuhan hukum
Kebutuhan Pengaturan:
Perlu pengaturan mengenai
cross border insolvency untuk
mengakomodir perkembangan
hukum kepailitan dalam praktek
nasional dan internasional.
161. Keseluruhan ketentuan D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
Dalam UU 37/2004 sama sekali tidak ditemukan kata “teknologi”,
“informasi”, atau “elektronik”, yang menunjukkan bahwa UU ini
disusun masih dalam ‘era-lama’ yang belum memanfaatan
teknologi informasi. Padahal, semua proses kepailitan tersebut
Kebutuhan Pengaturan:
Perlunya rumusan-rumusan
pasal yang membuka ruang
pemanfaatan teknologi
informasi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 86
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
diberlakukan
secara efisien.
akan lebih mudah, pasti dan terjamin dengan pemanfaatan
teknologi informasi.
Mahkamah Agung pun telah menerbitkan PERMA 3/2018 tentang
Administrasi Perkara Secara Elektronik Di Pengadilan. UU ini belum
memenuhi variabel Aspek Teknologi Penunjang Pelayanan,
indikator: Belum adanya pemanfaatan teknologi informasi dalam
upaya mempermudah penyelesaian kepailitan dan PKPU.
*Kebutuhan hukum
162. Kekosongan pengaturan D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Dengan berkembangnya teknologi saat ini, maka perlu dicermati
pengaturan terhadap perusahaan-perusahaan yang menyimpan
data pribadi konsumen/masyarakat (big data company). Pada saat
perusahaan tersebut dipailitkan maka ia tidak berhak lagi
memegang data pribadi yang diperoleh perusahaan tersebut atas
dasar consent dari si pemilik data pribadi. Perlu adanya
pengaturan yang mengatur mengenai hal tersebut.
Kebutuhan Pengaturan:
Perlu pengaturan terkait
dengan perlindungan data
pribadi dalam hal terjadinya
kepailitan. Pengaturan atas hal
ini bisa dimasukkan dalam
perubahan UU kepailitan atau
dalam penyusunan RUU
Perlindungan data pribadi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 87
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan merupakan undang-
undang yang pertama kali diundangkan terkait dengan pendirian badan hukum
Yayasan. Meskipun demikian, aktivitas pendirian yayasan oleh masyarakat telah
dilakukan sebelum Undang-Undang Yayasan tersebut diundangkan. Dalam Bab
Menimbang jo. Penjelasan Umum Undang-Undang Yayasan disebutkan bahwa
pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan hukum kebiasaan
dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung
tanggal 27 Juni 1973 No. 124/Sip/1973), karena belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang yayasan. Ketentuan terkait yayasan tersebar dalam
Pasal 365, Pasal 900, dan Pasal 1680 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Yayasan ini kemudian mengalami perubahan dan diatur dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 2004. Perubahan yang dilakukan adalah terkait
ketentuan tentang kekayaan yayasan, prosedur pendirian yayasan, tanggung jawab
pengurus sebelum berdirinya yayasan, dan organ yayasan.
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 merupakan peraturan pelaksana dari
UU Yayasan. Peraturan ini kemudian mengalami perubahan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013. Dalam PP No. 63 Tahun 2008, ketentuan
pailit berkaitan dengan ketentuan mengenai bubarnya yayasan. Pasal 3 ayat (3) PP No.
63 Tahun 2008 menentukan bahwa “Nama Yayasan dari Yayasan yang telah berakhir
status badan hukumnya harus diberitahukan kepada Menteri untuk dihapus dari
Daftar Yayasan oleh likuidator, kurator, atau Pengurus Yayasan”. Penjelasan pasal
tersebut mengatur bahwa “Yayasan yang dinyatakan pailit dan telah selesai
likuidasinya, diberitahukan kepada Menteri oleh kurator”.
Temuan-temuan yang signifikan atau highlight Issue yang diambil dari hasil
evaluasi adalah terkait dengan dalam hal terjadinya kepailitan yayasan. Badan hukum
yayasan merupakan badan hukum yang dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pada prakteknya, banyak yayasan yang
didirikan untuk memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat. Jasa ini tidak
diberikan secara cuma-cuma, sehingga masyarakat tetap harus membayar untuk
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 88
mendapatkan jasa pelayanan dari yayasan, contohnya: Rumah Sakit dan Sekolah.
Demikian juga bila badan hukum lain seperti Perseroan Terbatas dan Koperasi, dimana
bidang usahanya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (konsumen).
Contohnya pailit pada PT. Metro Batavia (Batavia Air) dan PT Telkomsel. Jika terjadi
pailit terhadap yayasan, maka bagaimanakah penyelesaian yang harus dilakukan
terhadap pemakai jasa yayasan tersebut? Hal ini juga perlu dipikirkan pada bentuk
badan hukum Perseroan Terbatas yang bidang usahanya memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Apakah pemakai jasa ini masuk dalam kategori kreditur preferen
atau konkuren? Serta bagaimanakah perlindungan terhadap masyarakat yang
dirugikan akibat pailit badan hukum tersebut?.
Secara umum, dari hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan terhadap undang-
undang ini maka perlu ditindaklanjuti dengan:
- Mengubah rumusan Pasal 23 (penjelasan), Pasal 62, dan Pasal 63 (penjelasan);
- Menambahkan ketentuan terkait perlindungan terhadap pengguna konsumen dari
yayasan atau bentuk usaha, baik badan hukum maupun bukan badan hukum, yang
bidang usahanya memberikan pelayanan kepada masyarakat banyak, jika mereka
dinyatakan pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 200 tentang KPKPU,
untuk ditindaklanjuti oleh Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-Undangan;
- Mengingat proses kepailitan memerlukan penanganan yang cepat, maka beberapa
ketentuan yang menentukan bahwa pengurus dan pengawas yang karena
kesalahannya menyebabkan yayasan menjadi pailit, harus bertanggung jawab
secara pribadi. Prosedur pembuktian kesalahan pengurus dan pengawas tersebut
perlu diatur agar kerugian yayasan yang menyebabkan kepailitan dan ditanggung
oleh pengurus dan pengawas dapat segera diperhitungkan;
- Batasan tentang likuidasi dan pembubaran harus diberikan pengertian yang jelas,
karena kedua frase tersebut muncul dalam UU Yayasan.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 89
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (dan perubahannya)
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 1 – Pasal 22 - - - - Tetap
2. Pasal 23
Perubahan Anggaran Dasar tidak
dapat dilakukan pada saat Yayasan
dinyatakan dalam keadaan pailit,
kecuali atas persetujuan kurator.
Penjelasan
Pasal 23: Cukup jelas
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas UU KPKPU Pasal 1 angka 11
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk
korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan
badan hukum dalam likuidasi
Tidak ada pengertian tentang “pailit” ataupun “keadaan pailit”,
yang sering muncul dalam ketentuan undang-undang terkait pailit
suatu badan usaha ataupun badan hukum
Ubah
Tersedianya rumusan yang jelas
tentang “pailit”, “keadaan pailit”
dan “kepailitan” bagaimana
perbedaan pengertian masing-
masing.
3. Pasal 24 – Pasal 38 - - - - Tetap
4. Pasal 39 ayat (1) dan (2)
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Dalam Penjelasan Umum UUKPKPU disebutkan bahwa :“Untuk
kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-
piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan
perangkat hukum yang mendukungnya”
Terkait dengan pengurusan kepailitan, bagaimana mekanisme
pembuktian kesalahan pengurus dan tanggung jawab kerugian
secara tanggung renteng tersebut agar dapat dilaksanakan secara
cepat ?
Ubah
Prosedur pembuktian kesalahan
pengurus perlu diatur agar
kerugian yayasan yang
menyebabkan kepailitan dan
ditanggung oleh pengurus dapat
segera diperhitungkan
5. Pasal 39 – Pasal 46 - - - - Tetap
6. Pasal 47 ayat (1) dan (2) D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
Dalam Penjelasan Umum UUKPKPU disebutkan bahwa
“Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah
utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat
diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya”
Terkait dengan pengurusan kepailitan, bagaimana mekanisme
pembuktian kesalahan Pengawas dan tanggung jawab kerugian
Ubah
Prosedur pembuktian kesalahan
Pengawas perlu diatur agar
kerugian yayasan yang
menyebabkan kepailitan dan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 90
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
diberlakukan
secara efisien.
secara tanggung renteng tersebut agar dapat dilaksanakan secara
cepat ?
ditanggung oleh Pengawas
dapat segera diperhitungkan
7. Pasal 48 – Pasal 50 - - - - Tetap
8. Pasal 51
Dalam hal dokumen laporan
tahunan ternyata tidak benar dan
menyesatkan, maka Pengurus dan
Pengawas secara tanggung
renteng bertanggungjawab
terhadap pihak yang dirugikan
Penjelasan Pasal 51
Yang dimaksud dengan "pihak
yang dirugikan" adalah Yayasan
yang bersangkutan, masyarakat,
dan/atau Negara
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Dalam Penjelasan Umum UUKPKPU disebutkan bahwa
“Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah
utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat
diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya”
Terkait dengan pengurusan kepailitan, bagaimana mekanisme
pembuktian kesalahan Pengurus dan Pengawas dan tanggung
jawab kerugian secara tanggung renteng tersebut agar dapat
dilaksanakan secara cepat ?
Ubah
Prosedur pembuktian kesalahan
Pengurus dan Pengawas perlu
diatur agar kerugian yayasan
yang menyebabkan kepailitan
dan ditanggung oleh Pengurus
dan Pengawas dapat segera
diperhitungkan
9. Pasal 52 – Pasal 60 - - - - Tetap
10. Pasal 62
Disebutkan bahwa Yayasan dapat
bubar karena putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap berdasarkan alasan:
(2) karena tidak mampu
membayar utangnya setelah
dinyatakan pailit; dan (3) harta
kekayaan Yayasan tidak cukup
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas Pasal-Pasal tersebut dalam UU Yayasan memperlihatkan bahwa
pembubaran dan kepailitan dapat saling terkait. Namun dalam hal
ketentuan tentang pembubaran Yayasan, dalam UU Yayasan
sangat banyak digunakan frase “likuidasi’ sedangkan dalam UU
Yayasan sendiri tidak ada penjelasan yang memadai tentang
definisi likuidasi. Apakah likuidasi mempunyai pengertian yang
sama dengan pembubaran? Sedangkan dalam UU Yayasan juga
disebutkan ketentuan tentang “pembubaran” dan “likuidasi”
Dapat dilihat pada UU Yayasan:
Pasal 14: likuidasi terkait Anggaran Dasar
Ubah
Perlunya definisi yang pasti
tentang maksud dari likuidasi
dan pembubaran dalam UU
Yayasan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 91
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
untuk melunasi utangnya setelah
pernyataan pailit dicabut
Pasal 64 ayat (2)
Dalam hal pembubaran Yayasan
karena pailit, berlaku peraturan
perundang-undangan di bidang
Kepailitan.
Penjelasan Pasal 64 ayat (2)
Ayat (2)
Dalam hal pembubaran Yayasan
berdasarkan putusan Pengadilan,
penunjukan likuidator ditetapkan
oleh Pengadilan, sedangkan
penunjukan kurator hanya apabila
Yayasan dinyatakan pailit
Pasal 63 ayat (3) dan (4)
Pasal 65, 66, 67, 68
Dalam UU KPKPU, juga tidak tersedia definisi yang pasti tentang
likuidasi. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
likuidasi adalah pembubaran perusahaan. Jika pembubaran dan
likuidasi adalah dua hal yang berbeda, maka sebaiknya ada
rumusan yang membedakan keduanya.
Dalam rumusan Pasal 1 angka 11 UU KPKPU, kata likuidasi muncul
dalam rumusan: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum
maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi”, artinya
kepailitan akan selalu berkaitan dengan orang yang dalam proses
likuidasi.
Dalam Penjelasan Pasal 63 UU Yayasan kata likuidasi muncul
dengan arti dalam pemberesan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(https://kbbi.web.id/likuidasi.html) disebutkan definisi likuidasi
adalah: pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang
meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan
pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham
(persero).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan, Pasal 2 ayat (3)
ditentukan mengenai penghapusan nama “Yayasan” pada yayasan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 92
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
yang telah berakhir status badan hukumnya (bisa terjadi karena
selesainya likuidasi, dinyatakan pailit dan telah selesai likuidasinya,
dan pembubaran dari yayasan yang menggabungkan diri).
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2008:
Yayasan yang telah selesai likuidasinya, diberitahukan kepada
Menteri oleh likuidator.
Yayasan yang dinyatakan pailit dan telah selesai likuidasinya,
diberitahukan kepada Menteri oleh kurator
Yayasan yang menggabungkan diri, pembubarannya
diberitahukan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan yang
menerima Penggabungan
11. Pasal 65 – Pasal 73 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 93
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur usaha perasuransian,
kegiatan usaha asuransi di Indonesia menggunakan dasar aturan yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Per). KUHD mengatur tentang pengertian asuransi dimana merupakan
suatu perjanjian yang melibatkan penanggung dan tertanggung, sedangkan mengenai
syarat dan berlakunya perjanjian asuransi secara umum mengacu pada ketentuan
yang diatur dalam KUH Per tentang perjanjian pada umumnya. Perkembangan setelah
Indonesia merdeka, ketentuan mengenai usaha asuransi diatur dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, namun di sini khusus
usaha asuransi berbentuk koperasi yaitu Koperasi Asuransi.
Pada tahun 1992, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian. Undang-undang ini mengatur hal-hal tentang bentuk
dan jenis usaha asuransi beserta syarat-syarat formal pendirian usaha asuransi. Dalam
undang-undang ini, selain Koperasi dan Persero, diatur tentang bentuk lain dari usaha
asuransi yaitu usaha bersama asuransi, yang dalam prakteknya keberadaan jenis usaha
bersama asuransi ini telah lama ada. Undang-undang ini juga mengatur masalah
kepailitan yang terjadi pada usaha asuransi. Jika terjadi kepailitan terhadap usaha
asuransi maka Menteri Keuangan berdasarkan kepentingan umum dapat meminta
pengadilan agar perusahaan asuransi dinyatakan pailit. Undang-undang ini juga sudah
menentukan bahwa hak pemegang polis atas harta kekayaan perusahaan asuransi
merupakan hak utama jika terjadi kepailitan.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian merupakan pengganti
dari Undang-Undang No. 2 Tahun 1992. Terdapat hal baru yang cukup penting
perubahannya, yaitu dalam undang-undang ini diatur mekanisme pengawasan yang
cukup ketat terhadap kondisi perusahaan asuransi. Terbukti dengan adanya ketentuan
mengenai Pengendali dan Penguasa Statuter yang sebelumnya tidak diatur.
Selanjutnya, dalam beberapa peraturan pelaksana Undang-Undang Perasuransian
tidak lagi diatur masalah berkaitan dengan kepailitan dan pembubaran dari usaha
perasuransian.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 94
Temuan-temuan yang signifikan yang ditemukan dalam undang-undang ini, yaitu:
a) Terkait dengan keberadaan badan hukum usaha bersama. Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian mengatur bahwa Usaha
perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: 1)
Perusahaan Perseroan (Persero); 2) Koperasi; dan Usaha Bersama (Mutual).
Keberadaan bentuk usaha bersama dalam usaha perasuransian ini kemudian
dikukuhkan kembali dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian. Namun, usaha bersama yang diakui dalam Undang-Undang tentang
Perasuransian (sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian) adalah yang telah ada sebelum Undang-Undang No. 40
Tahun 2014. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU
Perasuransian. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (3) diatur bahwa ketentuan lebih
lanjut mengenai badan hukum usaha bersama diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini cukup sulit untuk diwujudkan, mengingat bahwa bentuk badan
hukum yang diatur menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah
tertentu. Diantaranya adalah perseroan terbatas, koperasi, yayasan, perkumpulan,
dan badan usaha milik desa. Atas dasar gugatan uji materil dari para pemegang
polis Asuransi Bumi Putera, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan No.
32/PUU-XI/2013 tanggal 14 Maret 2013 yang mewajibkan Pemerintah dan DPR
untuk membuat undang-undang yang mengatur tentang usaha bersama ini.
Namun undang-undang yang mengatur usaha bersama ini sampai sekarang belum
terealisasi. Otoritas Jasa Keuangan kemudian mengeluarakan ketentuan terkait
dengan bekerjanya usaha perasuransian dengan bentuk usaha bersama ini melalui
Peraturan OJK No. 1/POJK.05/2018 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan
Asuransi Berbentuk Badan Hukum Usaha Bersama. Namun ketentuan ini tidak
mengakomodasi kebutuhan akan bentuk badan hukum yang dimaksud oleh
Undang-Undang Perasuransian, karena tidak secara tegas mengatur tentang
pembentukan, pendirian, pengesahan, serta organ dan kinerja dari sebuah badan
hukum. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat bahwa keberadaan badan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 95
hukum yang terkait dengan usaha bersama yang telah ada, dengan proses
kepailitan badan hukum itu sendiri.
b) Terkait dengan kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta asuransi
dalam hal terjadinya pailit dalam perasuransian. Kedudukan kreditur dalam
Undang-Undang Perasuransian, sejak UU No. 2 Tahun 1992 dan penggantinya
yaitu UU No. 40 Tahun 2014, mengatur bahwa Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta tetap menjadi kreditor yang lebih tinggi kedudukannya terhadap harta
kekayaan perusahaan asuransi dibanding kreditor lainnya jika terjadi pailit atau
likuidasi pada perusahaan asuransi. Ketentuan mengenai kedudukan kreditor
diatur dalam KUH Perdata. Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara spesifik
kreditur istimewa dari usaha perasuransian, sehingga ketentuan mengenai
kedudukan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta asuransi sebagai yang lebih
tinggi kedudukannya perlu disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan
yang lain khususnya perpajakan. Ketentuan bahwa kedudukan Pemegang polis,
Tertanggung dan Peserta asuransi sebagai pemegang kedudukan kreditor yang
lebih diutamakan dari kreditor yang lain ini tidak saja terhadap harta usaha
perasuransian, namun juga terhadap Dana Jaminan asuransi.
c) Berbeda dengan jenis usaha lain yang bergerak dalam bidang jasa keuangan
seperti perbankan, dalam UU Perasuransian diatur mengenai Pengendali dan
Pengelola Statuter yang dapat memiliki wewenang melebih organ yang terdapat
dalam badan hukum. Sedangkan dalam usaha perbankan (UU Perbankan) tidak
diatur demikian. Diketahui bahwa dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keungan disebutkan bahwa selain asuransi yang masuk
dalam kategori lembaga jasa keuangan, tetapi juga termasuk Perbankan, Pasar
Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Bahkan dalam UU OJK, terdapat definisi tentang “Perasuransian” yang mana justru
belum diatur dalam UU Perasuransian. Dalam UU OJK disebutkan definisi
Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi,
yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui
pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 96
masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu
peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang,
usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan
jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. Selanjutnya
mengenai Pengendali diatur dalam Peraturan OJK NOMOR 67 /POJK.05/2016
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Rasuransi Syariah, dari
Pasal 30 sampai dengan 33, dimana Pengendali dapat berasal dari pemegang
saham atau bukan pemegang saham, namun dalam ketentuan ini hanya mengatur
tentang prosedur penetapan Pengendali.
d) Dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangang, maka
pada Pasal 62 sampai dengan 67 UU Perasuransian diatur tentang Pengelola
Statuter. Ditentukan bahwa OJK dapat menonaktifkan Direksi atau Dewan
Komisaris dan yang setara, dan menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil
alih kepengurusan perusahaan. Ketentuan dalam UU perasuransian sepertinya
mengupayakan agar tidak terjadinya keadaan yang mirip dengan upaya
penanganan pailit, dimana semua hal berkaitan dengan perusahaan di bawah
kendali dari OJK. OJK bahkan menjadi satu-satunya yang memiliki kekuatan dalam
menentukan kemampuan keuangan usaha perasuransian. OJK dapat
menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris dan Pengelola statuter memiliki kewenangan untuk melakukan
pengambilalihan kepengurusan. Dalam hal ini sama saja seperti badan hukum yang
tidak lagi berwenang atas harta kekayaannya sendiri. Kondisi ini mirip dengan
penanganan pailit, dimanakah perbedaannya? Kewenangan yang diberikan
kepada Pengelola Statuter mirip dengan kurator.
Secara umum Undang-Undang Perasuransian dapat dipertahankan, namun
demikian perlu diberikan perhatian serius pada ketentuan terkait kepailitan, antara
lain:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 97
- Definisi “Perasuransian” yang belum diatur dalam UU Perasuransian
- Bentuk badan hukum usaha bersama perasuransian yang sampai saat ini belum
ada ketentuan hukum yang mengatur.
- Kedudukan Pemegang Polis, Tertanggung dan Peserta asuransi sebagai kreditor
yang lebih tinggi kedudukannya dibanding yang lain, apakah termasuk lebih tinggi
dibanding pajak yang terutang. Bagaimana dengan badan hukum dengan usaha
lain? apakah dapat diperlakukan secara sama?
- Kedudukan Pengendali dan Pengelola Statuter apabila usaha asuransi terjadi pailit.
Secara konsepsi, siapa dan bagaimanakah kedudukan Pengendali dan Pengelola
Statuter ini? Apabila terjadi proses kepailitan, maka siapakah pihak yang paling
bertanggung jawab? Direksi dan Komisaris atau yang setara dengan itu,
Pengendali, ataukan Pengelola Statuter?
Dari hasil analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan terhadap undang-undang ini
maka perlu tindaklanjut:
- Mengubah ketentuan Pasal 1 (definisi tentang Perasuransian) dan Pasal 6 ayat (3)
(tentang badan hukum usaha asuransi)
- Tindakan lainnya dalam rangka efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan:
1) Melakukan studi terkait ketentuan tentang Pengendali (Pasal 1 angka 19, Pasal
8 ayat (2) huruf f, Pasal 12-Pasal 16, Pasal 60, Pasal 61 UU Perasuransian);
2) Melakukan studi terkait ketentuan tentang Pengelola Statuter (Pasal 1 angka
33, Pasal 60, Pasal 62 – Pasal 67 UU Perasuransian);
3) Melakukan studi terkait ketentuan tentang Kedudukan Kreditur (Pasal 1 angka
18, Pasal 52 UU Perasuransian jo. Pasal 21 UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan).
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 98
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 1 angka 19
Pasal 13 ayat (1)
Pasal 15
Pasal 57 ayat (1)
Pasal 60 ayat (2)
D2
D3
D5
Kewajiban
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Adanya
pengaturan
mengenai
kewajiban yang
sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
kewajiban yang
berbeda
Tidak
menimbulkan
ambiguitas
/multitafsir.
Pengaturan
dalam
peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Dalam pasal 2 UU KPKPU ayat (5) :
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Apakah yang dimaksud dengan “bertanggung jawab terhadap
kerugian Perusahaan Asuransi” adalah termasuk juga dalam hal
terjadinya kepailitan? Jika memang demikian, maka sejauh mana
tanggung jawab yang dimaksud tersebut ? mengingat baik PT
maupun Koperasi sebagai badan hukum memiliki tanggung jawab
sebatas pada harta kekayaan yang dimiliki.
Dalam Pasal 6 UU Perasuransian, ditentukan mengenai badan
hukum yang dapat menyelenggarakan usaha perasuransian, yaitu:
PT, Koperasi, dan Usaha Berasama telah ada saat UU
Perasuransian diundangkan. Usaha Bersama ini harus diubah
menjadi badan hukum menurut undang-undang.
Dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Perkoperasian, disebutkan
bahwa “Hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain
tata kelola, persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan
hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan
tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama”
1. Perlu mensinkronkan kembali
apakah kedudukan
Pengendali sejalan dengan UU
Perseroan Terbatas dan UU
Perkoperasian. Jika memang
Pengendali diperlukan ada,
maka perlu diketahui
bagaimana kedudukan
pengendali dalam organ
badan hukum
2. Perlunya suatu rumusan yang
dapat menjelaskan maksud
ditetapkannya pengendali
pada badan usaha
perasuransian
3. Jika memang Pengendali
ditetapkan untuk berjalannya
fungsi pengawasan oleh OJK,
signifikansi dari ditetapkannya
Pengendali harus dapat
dibedakan dari fungsi organ
yang lain dari badan hukum
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 99
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Dalam setiap badan hukum terdapat organ yang berfungsi untuk
menjalankan aktivitas badan hukum. Baik bentuk PT maupun
Koperasi, undang-undang masing-masing menentukan organnya.
Jika dalam UU Perasuransian kemudian ditetapkan suatu lembaga
yang lebih tinggi dibanding organ badan hukum, maka konsepsi
Pengendali harus dapat menjelaskan secara baik. Apakah ia adalah
RUPS atau Rapat Anggota, atau sesuatu yang lebih tinggi
kekuasaannya dibanding RUPS atau Rapat Anggota?
Dalam Pasal 16 ayat (2) ditentukan:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
apabila pemegang saham pengendali adalah Negara Republik
Indonesia.
Dari ketentuan Pasal 16 tersebut, apakah yang dimaksud dengan
pengendali adalah pemegang saham pengendali?
2. Pasal 2 – Pasal 5 - - - - Tetap
3. Pasal 6
(1) Bentuk badan hukum
penyelenggara Usaha
Perasuransian adalah:
a. perseroan terbatas;
b. koperasi; atau
c. usaha bersama yang telah ada
pada saat Undang-Undang ini
diundangkan.
D5 Aspek
Kekosongan
pengaturan
Dari segi
peraturan
pelaksananya
Ketentuan ini telah diatur dalam undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian, yaitu pada Pasal 7. Namun sampai saat ini belum
ada ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum yang berupa
usaha bersama perasuransian ini. Mahkamah Konstritusi telah
memutuskan agar bentuk usaha ini segera dibuatkan ketentuan
mengenai status badan hukumnya, dengan batas maksimal dua
tahun dari dikeluarkannya putusan MK tersebut. Namun sampai
dengan saat ini belum tersedia ketentuan yang mengatur bentuk
badan hukum yang dimaksud. Sedangkan dalam proses kepailitan
Sebaiknya ditetapkan secara
tegas mengenai bentuk badan
hukum usaha bersama usaha
asuransi tersebut. Apakah
perusahaan tersebut harus
dikonversi berdasarkan badan
hukum privat yang sudah ada
dan telah diatur, ataukah
disediakan badan hukum baru.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 100
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
(2) Usaha bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c
dinyatakan sebagai badan hukum
berdasarkan Undang-Undang
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai badan hukum usaha
bersama sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c:
Pihak yang bermaksud
menyelenggarakan Usaha
Asuransi Umum, Usaha Asuransi
Jiwa, Usaha Asuransi Umum
Syariah, atau Usaha Asuransi Jiwa
Syariah dengan bentuk badan
hukum usaha bersama setelah
Undang-Undang ini diundangkan,
didorong untuk menjadi
berbentuk koperasi dengan
pertimbangan kejelasan tata
kelola dan prinsip usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
antara subyek hukum manusia dan badan hukum tentunya
memiliki konsepsi dan prosedur yang berbeda. Secara umum,
badan hukum PT tanggung jawab terbatas pada harta PT, Kerugian
yang dialami oleh koperasi merupakan tanggung jawab anggota
koperasi yang juga merupakan peserta asuransi.
Meskipun dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c tersebut sudah
dijelaskan bahwa bentuk badan hukum tersebut diarahkan untuk
berbentuk koperasi, namun tidak secara tegas dinyatakan sebagai
suatu keharusan. Selain itu, usaha bersama yang sudah ada selama
ini, yaitu Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera (sebagai satu-
satunya asuransi dengan bentuk mutual insurance)
(http://finansial.bisnis.com/read/20180215/215/739274/ojk-
bakal-realisasikan-landasan-hukum-asuransi-usaha-bersama)
telah berkembang tidak dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam
ketentuan mengenai perkoperasian.
Jika belum diatur, maka hal terkait kerugian yang dialami oleh
usaha bersama perasuransian ini akan menjadi tanggungan subyek
hukum perorangan, yang bertanggung jawab secara tanggung
renteng
Hal ini mengingat, setiap pasal
dalam UU Perasuransian, yang
mengatur norma yang terkait
bentuk usaha perasuransian,
jenis usaha bersama selalu
menjadi satu rangkaian yang
disebutkan selain PT dan
Koperasi.
4. Pasal 1 angka 18
Dana Jaminan adalah kekayaan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Konsistensi Istilah “likuidasi” dipergunakan dalam UUPKPKPU dan UU
Perasuransian, tetapi tidak ada definisi tentang apakah yang
Perlu konsistensi dan
perumusan istilah dan definisi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 101
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah yang
merupakan jaminan terakhir
dalam rangka melindungi
kepentingan pemegang polis,
tertanggung, atau peserta, dalam
hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah
dilikuidasi.
Ketentuan menganai likuidasi
selanjutnya diatur dalam Pasal 44
sampai dengan Pasal 49 UU
Perasuransian
dimaksud dengan likuidasi ? apakah likuidasi ini nantinya juga akan
berkaitan dengan kepailitan?
Dalam penjelasan Pasal 44 UU Perasuransian
Ayat (1)
Likuidasi perusahaan yang telah dicabut izin usahanya perlu segera
dilakukan untuk melindungi kepentingan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
Dalam UU KPKPU, juga tidak tersedia definisi yang pasti tentang
likuidasi. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
likuidasi adalah pembubaran perusahaan. Jika pembubaran dan
likuidasi adalah dua hal yang berbeda, maka sebaiknya ada
rumusan yang membedakan keduanya.
Dalam rumusan Pasal 1 angka 11 UU KPKPU, kata likuidasi muncul
dalam rumusan: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum
maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi”, artinya
kepailitan akan selalu berkaitan dengan orang yang dalam proses
likuidasi.
Dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU Perasuransian, kata likuidasi
muncul berkaitan dengan pembubaran badan hukum usaha
perasuransian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(https://kbbi.web.id/likuidasi.html) disebutkan definisi likuidasi
adalah: pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang
meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan
pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham
(persero).
yang lebih jelas dan tidak multi
tafsir.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 102
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
5. Pasal 7 – Pasal 19 - - - - Tetap
6. Pasal 20
(1) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah
wajib membentuk Dana Jaminan
dalam bentuk dan jumlah yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib
disesuaikan jumlahnya dengan
perkembangan usaha, dengan
ketentuan tidak kurang dari yang
dipersyaratkan pada awal
pendirian.
(3) Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang
diagunkan atau dibebani dengan
hak apa pun.
(4) Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dipindahkan atau dicairkan
setelah mendapat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
D2 Perlindungan
Adanya
pengaturan
mengenai
pelindungan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
pelindungan
yang berbeda
Pasal 2 UU KPKPU
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik
kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa
kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
Ketentuan mengenai Dana Jaminan dimaksudkan untuk untuk
memberikan jaminan atas penggantian sebagian atau seluruh hak
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Dana Jaminan tidak
boleh diagunkan ataupun dibebani dengan hak apapun. Namun
dalam Pasal 52 UU Perasuransian, Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta tetap menjadi kreditor yang lebih tinggi
kedudukannya terhadap harta kekayaan perusahaan asuransi
dibanding kreditor lainnya jika terjadi pailit atau likuidasi pada
perusahaan asuransi. Apakah Dana Jaminan ini akan masuk
menjadi harta kekayaan perusahaan asuransi atau terpisah?
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta telah dijamin melalui
dana jaminan, dan tetap menjadi kreditor yang lebih tinggi
dibanding yang lain.
Dalam Peraturan OJK NOMOR 67 /POJK.05/2016 Pasal 1 angka 22,
terdapat definisi tentang Dana Jaminan yaitu
“Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan
Perlu harmonisasi ketentuan
terkait dengan kedudukan
kreditor dalam kepailitan.
Apakah pajak tetap menjadi
utang hak yang paling
didahulukan dibanding lainnya?
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 103
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1): Dana Jaminan dibentuk
untuk memberikan jaminan atas
penggantian sebagian atau
seluruh hak Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta dalam
hal perusahaan harus dilikuidasi.
Dengan demikian, Dana Jaminan
merupakan bagian dari upaya
melindungi Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
Ayat (2): Pada umumnya,
perkembangan usaha
mengakibatkan bertambahnya
kewajiban perusahaan kepada
Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta. Hal ini juga berarti
bertambah pula besar hak
Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta yang perlu dijamin
pengembaliannya jika perusahaan
dilikuidasi.
Ayat (3): Ketentuan ini
dimaksudkan agar penggunaan
Dana Jaminan untuk
mengembalikan sebagian atau
Reasuransi Syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam
rangka melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung,
atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan
Reasuransi Syariah dilikuidasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian”
Pasal 21 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU
No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Pasal 21
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas
barang-barang milik Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa
bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman
untuk melelang suatu barangbergerak dan/atau barang tidak
bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 104
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
seluruh hak Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta pada
saat perusahaan dilikuidasi dapat
dipastikan.
Ayat (4): Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah
penyalahgunaan Dana Jaminan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi
maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi
untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib
Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang
saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut
untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Selain
daripada ketentuan mengenai kedudukan kreditor yang
didahulukan terkait dengan Dana Jaminan, dalam hal Dana
Asuransi-pun, Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang
berhak atas manfaat asuransi mendapatkan hak untuk
didahulukan.
7. Pasal 21 – Pasal 61 - - - - Tetap
8. Pasal 62 ayat (1)
Pasal 62 ayat (2)
Pasal 62 ayat (3)
Pasal 63 ayat (5)
Pasal 64
Pasal 66
Pasal 71 ayat (3)
D4 - - Kewenangan OJK dalam menetapkan Pengelola Statuter dan
ketentuan mengenai tugas Pengelola Statuter dalam Undang-
Undang Perasuransian, mengindikasikan bahwa pada saat usaha
perasuransian mengalami keadaan masalah (salah satunya)
kewajiban perusahaan asuransi yang jatuh tempo.
Beberapa ketentuan dalam UU perasuransian mengupayakan
tidak terjadinya keadaan yang mirip dengan upaya penanganan
pailit, dimana semua hal berkaitan dengan perusahaan di bawah
kendali dari OJK. OJK bahkan menjadi satu-satunya yang memiliki
kekuatan dalam menentukan kemampuan keuangan usaha
perasuransian. OJK dapat menonaktifkan direksi, dewan komisaris,
atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris dan
Pengelola statuter memiliki kewenangan untuk melakukan
pengambilalihan kepengurusan. Dalam hal ini sama saja seperti
Perlu dianalisis kembali
mengenai hal-hal terkait upaya
pencegahan pailit dalam usaha
perasuransian. Ketentuan
dalam undang-undang ini
tentang upaya penyelamatan
usaha perasuransian dari
kondisi yang buruk, terlihat
mirip dengan proses kepalitan,
hanya saja dilakukan secara
internal.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 105
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
badan hukum yang tidak lagi berwenang atas harta kekayaannya
sendiri. Kondisi ini mirip dengan penanganan pailit, dimanakah
perbedaannya? Kewenangan yang diberikan kepada Pengelola
Statuter mirip dengan kurator. Lebih lanjut dalam hal pailit, sejauh
manakah kondisi perusahaan dalam hal OJK perlu melakukan
permohonan pailit? Apakah hal ini dapat dikatakan terjadi
tumpang tindih kewenangan dari dua lembaga yang berbeda?
9. Pasal 72 – Pasal 92 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 106
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Diterbitkannya undang-undang yang mengatur tentang koperasi merupakan
amanat dari Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 “Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Bentuk usaha koperasi ini dianggap
sebagai bentuk yang paling tepat untuk membangun ekonomi Indonesia dengan
melibatkan rakyat banyak sebagai pelaku utama. Barulah pada tahun 1958 diterbitkan
UU No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi. Berdasarkan arah politik
pemerintahan Indonesia pada waktu itu yang menggunakan UUDS 1950 sebagai
konstitusi, maka penyusunan undang-undang UU Perkoperasian yang dibentuk saat
itu berpedoman pada UUDS 1950. Undang-Undang ini telah cukup lengkap mengatur
tentang koperasi dan pendirian koperasi sebagai badan hukum, namun secara spesifik
belum diatur tentang masalah kepailitan, hanya diatur masalah pembubaran saja.
Terhadap undang-undang ini, telah ada peraturan pelaksana, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerak Koperasi, namun PP ini
secara umum hanya mengatur tentang jenis-jenis koperasi.
UU No 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian. Undang-undang ini diterbitkan
setelah masa dekrit presiden tahun 1959. Dalam kondisi politik demokrasi terpimpin
saat itu, maka tujuan dibentuknya koperasi dalam undang-undang ini juga diwarnai
oleh tujuan-tujuan politik demokrasi terpimpin. Dalam undang-undang ini, tersirat
bahwa semangat pembentukan koperasi adalah untuk sosialisme Indonesia dengan
tujuan Revolusi Indonesia. Undang-undang ini belum mengatur tentang kepailitan,
namun sudah diatur masalah pembubaran koperasi, dimana hal-hal terkait dengan
pembubaran koperasi akan diselesaikan oleh Penyelesai.
UU No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Undang-undang ini
lahir tepat pada masa Orde Baru dimulai, sehingga undang-undang ini dengan jelas
menggambarkan arah politik Orde Baru yang mengkoreksi ketentuan perkoperasian
Orde Lama. Undang-Undang ini juga masih belum mengatur tentang masalah
kepailitan, namun mengatur tentang pembubaran. Salah satu alasan dapat dilakukan
pembubaran yaitu “Koperasi yang bersangkutan dalam keadaan sedemikian rupa
sehingga tidak dapat diharapkan lagi kelangsungan hidupnya”. Pada tahun 1992
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 107
diundangkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, sebagai
pengganti dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Undang-Undang ini juga tidak
secara spesifik mengatur tentang keadaan koperasi yang bisa berakibat pada
kepailitan, namun sudah menyebut tentang pailit sebagai salah satu alasan
pembubaran koperasi oleh Pemerintah (Pasal 47 jo. Penjelasan).
Pada tahun 2012, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
diundangkan untuk menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992. Dalam
undang-undang ini sebetulnya telah diatur hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya
pailit dalam koperasi, namun pada tahun 2014, Mahkamah Konstitusi membatalkan
undang-undang ini karena dianggap berjiwa korporasi. Filosofi yang terkandung dalam
undang-undang yang baru ini tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian
sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD
1945, sehingga menghilangkan asas kekeluargaan dan ciri khas gotong royong dari
koperasi. Mahkamah konstitusi membatalkan seluruh materi Undang-Undang No. 17
Tahun 2012 dan memberlakukan kembali Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 sampai
dengan adanya undang-undang yang baru.
Beberapa temuan yang signifikan yang didapatkan dari hasil evaluasi terhadap
undang-undang ini antara lain:
a) Memberikan ketentuan yang memadai tentang pendirian Koperasi sebagai badan
hukum.
b) Memberikan ketentuan yang memadai tentang tanggung jawab pengawas apablia
terjadi kerugian dalam koperasi yang disebabkan oleh kesalahan pengawas.
c) Memberikan ketentuan yang memadai tentang Rapat Anggota Koperasi,
khususnya tentang prosedur dan kuorum dalam penyelenggaraan rapat.
d) Memberikan ketentuan yang memadai tentang bagaimana bekas anggota koperasi
masih harus ikut bertanggung jawab atas kerugian koperasi.
e) Tidak tersedia ketentuan mengenai bidang-bidang usaha apa saja yang bisa
dijalankan oleh Koperasi.
f) Memberikan ketentuan yang memadai tentang koperasi yang bergerak dalam
bidang jasa keuangan, seperti simpan pinjam. Hal ini perlu ada ketentuan yang
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 108
spesifik dalam undang-undang maupun ketentuan lain yang lebih operasional,
dikarenakan bentuk usaha yang terkait dengan jasa keuangan akan masuk dalam
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Secara umum UU Perkoperasian perlu perubahan, utamanya dikarenakan status
Koperasi sebagai badan badan hukum memerlukan pengaturan yang lebih detil. Hal
ini mengingat banyaknya kasus terkait Koperasi yang kemudian merugikan
anggotanya, terutama Koperasi yang bersifat mengumpulkan dana dari anggotanya
(Koperasi simpan pinjam). Pernyataan Koperasi sebagai Badan Hukum perlu
ditentukan lebih tegas dalam definisi, karena status badan hukum inilah yang akan
berpengaruh pada bagaimana pertanggung-jawaban Koperasi saat terjadi pailit. Organ
Koperasi khususnya Pengurus dan Pengawas perlu diberikan pengaturan yang lebih
rinci dan jelas tanggung jawabnya apabila terjadi masalah dalam Koperasi.
Dari hasil analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan terhadap undang-undang ini
maka perlu tindaklanjut:
- Mengubah:
Pasal 1 terkait definisi;
Pasal 43 dan Pasal 44 terkait bidang usaha Koperasi;
Pasal 29 – Pasal 37 terkait Pengurus;
Pasal 38 dan Pasal 39 terkait Pengawas;
Pasal 38 dan Pasal 39 terkait Pengawas,;
Pasal 22 – 28 terkait Rapat Anggota.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 109
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1 Pasal 1 – Pasal 24 - - - - Tetap
2 Pasal 25
Pasal 39
D3
D4
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir, Jelas,
Tegas, Mudah
Dipahami
Adanya
ketentuan yang
jelas mengenai
penyelesaian
konflik
Dalam undang-undang yang mengatur tentang badan hukum, baik
perseroan terbatas maupun yayasan, diatur tentang tanggung
jawab organ yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap
pengelolaan badan hukum. Dalam UU PT Dewan Komisaris
bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian PT apabila
terbukti hal tersebut terjadi atas kesalahan komisaris. Demikian
pula dengan yayasan, Pengawas harus bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian yayasan apabila kerugian tersebut terjadi
karena kesalahan pengawas. Dalam UU Perkoperasian ini, tidak
tersedia ketentuan apabila kerugian koperasi diakibatkan oleh
kelalaian pengawas.
Diberikan ketentuan tentang
tanggung jawab pengawas jika
terbukti bahwa kerugian
koperasi terjadi akibat
kesalahan pengawas
3 Pasal 26 – Pasal 38 - - - - Tetap
4 Pasal 40 – Pasal 46 - - - - Tetap
5 Pasal 48 – Pasal 53 - - - - Tetap
6 Pasal 47
Pasal 54 huruf c
Pasal 55
D2
Kewenangan
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
Menurut Pasal 47 ayat (1) huruf c, jo. Penjelasan, dapat
ditafsirkan bahwa dalam kondisi koperasi yang hidupnya sudah
tidak lagi diharapkan maka pailit menjadi salah satu sebab
dilakukan pembubaran terhadap koperasi.
Dengan demikian, bisa terjadi dua proses berkaitan dengan tidak
dapatnya koperasi untuk melanjutkan hidupnya, yaitu pertama
karena dinyatakan pailit, dan selanjutnya akibat pailit tersebut
Sebaiknya dalam UU Koperasi
diatur hal-hal terkait tanggung
jawab pengurus, anggota dan
juga bekas anggota apabila
terjadi pembubaran. Mengingat
bentuk badah hukum koperasi
ini memiliki karakteristik
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 110
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir, Jelas,
Tegas, Mudah
Dipahami
maka dilakukan pembubaran. Jika terjadi proses demikian ini,
apakah berlaku dua prosedur? 1) kepailitan, penyelesaian
dilakukan oleh kurator, 2) pembubaran, penyelesaian dilakukan
oleh penyelesai (likuidator?)
Apakah istilah penyelesai sama dengan likuidator? Seperti
halnya yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas:
“Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1):
a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator
atau kurator”
Dalam Pasal 1 tidak ada pengertian siapa yang dimaksud dengan
“Pemerintah”
pertanggung-jawaban yang
berbeda dengan badan hukum
lainnya seperti PT dan yayasan.
7 Pasal 56 – Pasal 67 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 111
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Lahirnya undang-undang ini merupakan titik awal perubahan drastic terhadap
konsep pengaturan dan perlindungan terhadap tenaga kerja. Karena UU ini mencabut
sekitar 15 aturan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan yang sudah ada
sebelumnya. Undang-Undang ketenagakerjaan ini juga menjadi dasar lahirnya aturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia seperti
UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta
UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
Tujuan dari lahirnya UU ketenagakerjaan ini dapat ditemukan dalam ketentuan
Pasal 4 UU tersebut, yaitu: Untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan teaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembngunan nasional dan
daerah, membeikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Isu yang signifikan dari undang-undang ini antara lain:
a) Mengenai hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha akan langsung
berakhir ketika perusahaan dinyatakan pailit;
b) Potensi disharmoni antara UU KPKPU dan UU Ketenagakerjaan terkait dengan PHK
Pekerja; dan
c) Penghitungan pesangon dalam hal perusahaan pailit.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan terhadap undang-undang ini maka
direkomendasikan perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan pasal
dalam undang-undang ini, terutama yang terkait dengan kepailitan, dengan
memasukkan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 112
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 1 – Pasal 60 - - - - Tetap
2. Pasal 61 ayat (1) D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas, Tidak
menimbulkan
multitafsir
Pasal 61 UU Ketenagakerjaan tidak menuliskan tentang
berakhirnya perjanjian kerja jika perusahaan pailit atau PKPU.
Sehingga timbul pertanyaan apakah hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha akan langsung berakhir ketika
perusahaan dinyatakan pailit?
-
3. Pasal 61 ayat (3)
Pasal 62
D2
D5
Kewenangan
Aspek
Koordinasi
kelembagaan/t
ata organisasi
Adanya
pengaturan
mengenai hal
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan
setingkat, tetapi
memberikan
kewenangan
yang berbeda
Kelembagaan
yang
melaksanakan
pengaturan
dalam peraturan
terumus dengan
Dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan dalam hal terjadi
pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak
pekerja/buruh. Dalam prakteknya sering kali dalam PKPU
maupun perdamaian dalam Kepailitan maka Perusahaan diambil
alih oleh investor sehingga perusahaan tetap berjalan sehingga
tidak selaras dengan ketentuan dalam UU Kepailitan bahwa
Debitor-Pengurus atau Kurator (Kepailitan masih dalam proses
perdamaian) dapat segera melakukan PHK terhadap karyawan.
(Lihat Pasal 39 jo Pasal 252 UU KPKPU).
Dengan demikian, ketika Debitor-Pengurus atau Kurator
melakukan PHK terhadap pekerja, maka harus memperhatikan
ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dimana pihak yang
mengakhiri hubungan kerja wajib membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 113
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
jelas dan tidak
tumpang tindih.
4. Pasal 63 – Pasal 94 - - - - Tetap
5. Pasal 95 ayat (4):
Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka upah dan hak-
hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang
didahulukan pembayarannya.
D4 Pengayoman Adanya
ketentuan yang
menjamin
pelindungan
masyarakat
UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa upah dan hak-hak lain
dari Pekerja merupakan hutang yang didahulukan namun tidak
menjelaskan posisi peringkat tagihannya sehingga harus
diperjelas dalam revisi UU Kepailitan.
UU Ketenagakerjaan juga tidak membedakan peringkat antara
upah pekerja dan hak – hak pekerja lainnya seperti halnya PP
Pengupahan.
Terhadap ketentuan ini, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor Nomor 67/PUU-XI/2013 telah membawa kepastian
hukum bagi kedudukan utang upah pekerja dalam kepailitan
suatu perusahaan. Melalui putusannya tersebut, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan penafsiran yang jelas sekaligus
merevisi ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang
Ketenagakerjaan sehingga ketentuan dalam pasal tersebut
dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang
didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan
kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan
umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran
hakhak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan
termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum
yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur
separatis”. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja,
Ubah
Dengan memasukkan
penafsiran MK terhadap
ketentuan pasal ini
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 114
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dimana pembayaran upah atau gaji pekerja harus didahulukan
pembayarannya terhadap seluruh kreditur termasuk atas
tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang,
dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut telah memperjelas bahwa
pekerja memiliki kedudukan sebagai kreditur preferen dengan
hak istimewa. Adanya hak istimewa tersebut memberikan
kepastian kepada pekerja untuk didahulukan pembayaran gaji
atau upahnya atas semua jenis kreditur, termasuk kreditur
separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum
yang dibentuk oleh Pemerintah. Sedangkan pembayaran hak
lainnya dari pekerja didahulukan pembayarannya terhadap hak
negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk
Pemerintah, kecuali terhadap hak kreditur separatis. Menurut
pendapat Mahkamah Konstitusi, pekerja harus ditempatkan
dalam urutan pertama yang harus diprioritaskan dari kreditur
lainnya. Hal ini dikarenakan hak pekerja untuk memperoleh gaji
atau upah atas kerja kerasnya semata-mata diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar bagi dirinya sendiri serta kehidupan
keluarga dari pekerja yang bersangkutan. Berdasarkan berbagai
pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi telah secara tegas
memberikan perlindungan terhadap hak pekerja dengan
memberikan kepastian hukum untuk memprioritaskan hak
pekerja agar dapat memperoleh haknya sendiri dalam hal
perusahaan yang bersangkutan mengalami kepailitan. Melalui
putusan tersebut semakin menguatkan hak pekerja untuk
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 115
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
memperoleh hak sebagai kreditur preferen dengan hak
istimewa yang didahulukan dari semua jenis kreditur yang ada.
6. Pasal 95 – Pasal 162 - - - - Tetap
7. Pasal 163 ayat (2)
Pasal 164
Pasal 165
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
/saling
Bertentangan
antar pasal
(dalam
peraturan yang
sama).
Apabila Pekerja di PHK dalam hal terjadinya PKPU/ Kepailitan
(kemudian tercapai perdamaian) besaran pesangon yang
ditetapkan mengacu ke UU Ketenagakerjaan misalnya apakah
berdasarkan perhitungan Pasal 164 ayat (1) perusahaan tutup
karena merugi 2 (dua) tahun terus menerus (dalam hal
perusahaan belum tutup namun PKPU?) atau Pasal 164 ayat (3)
oleh karena efisiensi, dan apabila tercapai perdamaian terjadi
perubahan status maka berlaku.
-
8. Pasal 166 – Pasal 193 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 116
6. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana
Meningkatnya kegiatan perekonomian nasional merupakan salah satu faktor
utama dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap iklim
usaha di Indonesia. Meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut antara lain
tercermin dari arus transaksi perpindahan dana yang terus menunjukkan
peningkatan tidak saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal
transaksinya. Terlebih lagi perkembangan perekonomian internasional yang semakin
terintegrasi dengan pasar keuangan global mengakibatkan pergerakan dana telah
melintasi batas-batas negara (cross border). Hal ini menuntut pemerintah dan otoritas
yang berwenang dapat memanfaatkan secara optimal kondisi tersebut. Sehingga
kemudian dibentuk undang-undang tentang transfer dana ini. Lahirnya undang-
undang memiliki peran penting, antara lain: Pertama, memberikan landasan dan
perlindungan hukum yang setara bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
transfer dana. Kedua, mewujudkan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien dan
andal untuk mendukung pengembangan perekonomian dan pembangunan nasional.
Ketiga, memberikan kepastian hukum kepada pihak luar negeri sehingga dapat
mendorong kegiatan investasi di Indonesia. Keempat, undang-undang ini sangat
relevan dan mendukung upaya perlindungan TKI dan kegiatan usaha pengiriman
uang.10 Selain itu undang-undang ini diharapkan dapat secara efektif mencegah
terjadinya kejahatan kerah putih (white collar crime), penipuan (fraud), pencucian
uang hasil kejahatan (money laundring), kejahatan transnasional, dan transfer dana-
dana ilegal lainnya termasuk dana yang terkait terorisme.11
Dari hasil evaluasi terhadap undang-undang ini belum ditemukan isu atau
permasalahan terutama jika dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU
yang menyatakan bahwa “Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan
telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan.”
10 diambil dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dbe91ebadc09/uu-transfer-dana-
perkuat-aturan-bi akses tanggal 29 Oktober 2018 11 diambl dari http://id.beritasatu.com/home/menyambut-positif-uu-transfer-dana/11063, akses
tanggal 29 Oktober 2018
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 117
Hanya perlu dipastikan ketentuan terkait dengan lembaga selain bank dalam UU
KPKPU ini sejalan dengan pengaturan mengenai penyelenggara transfer dana
sebagaimana diatur dalam UU transfer dana ini. Dimana penyelenggara transfer dana
adalah bank atau badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang
menyelenggarakan kegiatan transfer dana. Badan usaha ini harus memperoleh izin
dari Bank Indonesia. Oleh karena itu, undang-undang ini masih dapat dipertahankan
namun perlu pengawasan yang komprehensif dalam implementasinya.
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
Dunia sektor jasa keuangan yang selalu berkembang dan dinamis tentu saja
membutuhkan payung hukum induk yang bisa mengakomodasi perubahan-perubahan
yang sudah terjadi dan mengantisipasi perkembangan di masa depan. Sektor
perbankan menjadi salah satu bagian sektor jasa keuangan yang selalu bergeak
dinamis dan bahkan sudah jauh berjalan melewati peraturan perundang-undangan
yang ada.
Sebagai sektor yang dinamis, improvisasi ketentuan UU Perbankan tentu saja
harus dilakukan untuk menjawab perkembangan sektor jasa keuangan yang satu ini.
Bahkan, antisipasi terhadap kemungkinan perkembangan sektor perbankan di masa
depan juga harus diatur sedemikian rupa. Dengan demikian, UU Perbankan mesti
direformasi. Indonesia mempunyai UU Perbankan yang sudah berumur lebih dari 25
tahun meskipun pernah sekali diamandemen ketika krisis ekonomi menghantam.
Lebih jauh, UU No. 7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10/1998 tentang
Perbankan ini mempunyai sejumlah ketentuan yang sudah tidak relevan karena
adanya dinamika perubahan di Indonesia.
Sejumlah perkembangan yang mempunyai pengaruh untuk mengubah UU
Perbankan yang sekarang ada diantaranya yaitu:
1. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas perbankan terkait
misalnya dengan kegiatan usaha dan perizinan sektor perbankan. OJK hadir
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 118
berdasarkan UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang kemudian
memperoleh bagian peran terkait dengan aspek mikro sektor jasa keuangan.
2. Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai lembaga yang menjamin
simpanan nasabah berdasarkan UU No. 24/2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana diubah dengan UU No. 7/2009.
3. Kehadiran UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas sehubungan dengan
bentuk badan hukum bank termasuk juga secara teknis perubahan-perubahan
istilah yang mempengaruhi UU Perbankan, misalnya penggabungan,
pengambilalihan, dan peleburan serta pemisahan perseroan.
4. Hadirnya UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur khusus
mengenai lembaga perbankan yang menjalan prinsip syariah. Hadirnya UU ini
tentu saja menimbulkan pertanyaan bagi UU Perbankan di masa depan apakah
akan menganut prinsip pengaturan tunggal dalam satu UU atau terbagi sesuai
dengan kekhususannya.
Adanya perkembangan dan dinamika tersebut tentu saja mendorong adanya
Analisa dan Evaluasi atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang diubah dengan UU
No. 10/1998 ini. Analisa dan Evaluasi UU ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pengambilan keputusan dalam pembuatan naskah akademik perubahan atau
penggantian UU Perbankan yang bisa mengakomodasi perkembangan sektor
perbankan di masa depan.
Dari hasil analisa dan evaluasi atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana
diubah dengan UU No. 10/1998, terdapat temuan signfikan yang mengarah perlunya
kehadiran UU baru terkait perbankan. Temua signfikan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Dasar menimbang yang sudah tidak relevan dimana pembangunan nasional
Indonesia saat ini tidak lagi bertumpu kepada trilogi pembangunan namun
pembangunan nasional jangka menengah dan panjang;
2. UU Perbankan yang ada saat ini masih menggunakan Bank Indonesia sebagai
otoritas perbankan. Padahal, otoritas perbankan saat ini adalah OJK. Lembaga ini
diamanatkan menjalankan fungsi regulator sektor jasa keuangan termasuk
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 119
perbankan. Meskipun sejumlah ketentuan dalam UU Perbankan otomatis batal
karena kehadiran OJK, perubahan atas UU Perbankan lama tentu saja tetap
diperlukan;
3. Ruang lingkup pembiayaan syariah yang semakin berkembang dan sekiranya perlu
untuk memperluas cakupan pembiayaan syariah dalam undang-undang
perbankan yang baru yang kemudian diatur lebih lanjut melalui UU Perbankan
Syariah.
4. Bentuk hukum badan usaha yang bisa menjadi bank umum dan bank perkreditan
rakyat diperluas. Hadirnya UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan
PP 54/2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah yang membagi badan usaha plat
merah kepada perusahaan berbentuk PT dan perusahaan non PT semestinya
menjadi rujukan juga. Untuk keperluan tersebut dan dengan memperhatikan
karakteristik usaha badan dan kepentingan perbankan, bentuk hukum perusahaan
persero dan perusahaan perseroan daerah mestilah dimasukan sebagai bentuk
badan usaha yang bisa menjalankan usaha perbankan.
5. Harmonisasi istilah merger, akuisisi, dan konsolidasi menjadi penggabungan,
pengambilalihan, dan peleburan sebagaimana diatur dalam undang-undang lain
misalnya Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
6. Sudah tidak relevannya ketentuan mengenai Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), dimana ketentuan ini dibuat untuk mengakomodasi penanganan
krisis ekonomi 1998. Saat ini sudah ada peraturan perundang-undangan terkait
penanganan krisis perbankan misalnya mengenai lembaga penjamin simpanan.
7. Pengecualian prinsip rahasia bank yang sebaiknya meluas kepada segenap
lembaga penegak hukum tidak hanya untuk kepentingan peradilan, namun juga
untuk kepentingan penegakan hukum secara umum. Hadirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan lembaga penegak hukum lainnya
semestinya bisa tercakup juga sebagai pihak yang mempunyai hak akses kepada
data rahasia lembaga perbankan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 120
8. Pengecualian prinsip rahasia bank untuk kepentingan penanganan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dimana kurator dan/atau
pengurus sebaiknya diberikan hak akses terhadap rekening pihak terpailit yang ada
di sektor perbankan.
Sehubungan dengan latar belakang dan temuan siginifikan di atas melalui analisa
dan evaluasi UU Perbankan ini, maka rekomendasi yang bisa diberikan secara umum
adalah penggantian UU Perbankan lama dengan UU baru yang dapat mengadopsi dan
mengkomodasi perkembangan sektor jasa keuangan yang ada dan mengantisipasi
perkembangan di masa mendatang. Secara khusus dan spesifik, rekomendasi yang
bisa diberikan adalah sebagai berikut:
1. Mengubah dasar menimbang huruf a yang sudah tidak relevan lagi melalui trilogi
pembangunannya dengan menyesuaikan diri dengan rencana pembangunan
nasional jangka menengah dan panjang;
2. Mengubah sejumlah pasal dalam UU Perbankan yang ada masih menggunakan
kata “Bank Indonesia” sebagai otoritas perbankan dengan OJK sehubungan
dengan kewenangan OJK terkait lembaga keuangan perbankan;
3. Mengubah definisi surat berharga dan memperluas cakupa surat berharga dengan
memasukan produk surat berharga dengan prinsip syariah dan surat berharga
komersial;
4. Mengubah definisi prinsip syariah dalam UU Perbankan dengan menghilangkan
cakupan kegiatan dengan prinsip syariah. Hal ini karena akad-akad spesifik syariah
sudah diatur dalam UU Perbankan Syariah dan peraturan tingkat OJK.
5. Memperluas cakupan definisi yang berhubungan dengan kantor cabang dengan
menambahkan kantor cabang pembantu, kantor kas, kantor fungsional, dan
sejenisnya dalam pasal 1 UU Perbankan yang baru;
6. Mengubah ketentuan terkait dengan bentuk hukum badan usaha yang bisa
menjadi bank umum dan bank perkreditan rakyat diperluas. Perusahaan pelat
merah dengan bentuk perusahaaan perseroan dan perusahaan perseroan daerah
mesti masuk ke dalam UU yang baru.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 121
7. Mengubah istilah merger, akuisisi, dan konsolidasi menjadi penggabungan,
pengambilalihan, dan peleburan serta mengubah definisi ketiganya dengan
mengharmonisasikan dengan undang-undang lain misalnya Undang-Undang No.
40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
8. Menghapus ketentuan mengenai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
karena sudah tidak relevan lagi dan badan yang bersangkutan sudah dibubarkan;
9. Mengubah ketentuan terkait pengecualian prinsip rahasia bank, dimana perlu ada
penambahan ketentuan yang meluas kepada segenap lembaga penegak hukum
tidak hanya untuk kepentingan peradilan, namun juga untuk kepentingan
penegakan hukum secara umum termasuk diantaranya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), dan lembaga penegak hukum lainnya yang mempunyai
kewenangan penegakan hukum;
10. Menambahkan ketentuan baru terkait pengecualian prinsip rahasia bank untuk
kepentingan penanganan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) bagi kurator dan/atau pengurus.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 122
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Dasar Menimbang huruf a
Dasar Menimbang huruf d
D5
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Trilogi pembangunan saat ini tidak lagi digunakan dalam basis
dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Pemerintah saat ini
sudah mempunyai perencanaaan jangka menengah nasional yang
menjadi panduan penyelenggaraan ekonomi di Indonesia.
Ubah
2. Dasar Mengingat No. 1:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 23, dan Pasal 33 Undang-
undang Dasar 1945;
D1 - - Pasal 23 UUD 1945 lebih relevan dengan keuangan negara atau
APBN ketimbang dengan sektor jasa keuangan seperti perbankan.
Ubah
3. Pasal 1 angka 10 D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Pengertian surat berharga saat ini sudah jauh lebih luas dan
termasuk juga diantaranya Sukuk, dan Surat Berharga Komersial.
Ubah
4. Pasal 1 angka 13:
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Cakupan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sudah tidak up
to date. Jenis transaksi lain sudah bemunculan dan bahkan sudah
memperoleh fatwa MUI. Agar sejalan dengan berbagai situasi dan
regulasi yang ada, maka definisi ini meti dipertimbangkan untuk
diubah.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 123
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
5. Pasal 1 angka 5:
Merger adalah penggabungan dari
dua bank atau lebih, dengan cara
tetap mempertahankan berdirinya
salah satu bank dan
membubarkan bank-bank lainnya
dengan atau tanpa melikuidasi;
D3 Definisi
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Rumusannya
jelas sehingga
tidak
menimbulkan
ambiguitas/multi
tafsir
Istilah dan definisi terhadap merger sebaiknya disesuaikan dengan
istilah dan definisi pada penggabungan dalam UUPT. Kalau mau
diatur dalam UU Perbankan baru, maka gunakan definisi dalam
UUPT dalam konteks banknya.
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan
pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.
(Pasal 1 angka 9 UU No. 40/2007).
Usulan definisi:
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan bank lain yang
telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari bank yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada bank yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum
bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Ubah
Disamakan atau mirip dengan
definisi dalam UU No. 21/2008
tentang Perbankan Syariah.
6. Pasa 1 angka 19:
Kantor Cabang adalah kantor bank
yang secara langsung bertanggung
jawab
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
Dalam perkembangannya, jumlah penduduk yang meningkat di
perkotaan menuntut pelayanan prima dari lembaga perbankan
termasuk akses yang mudah bagi ke lembaga tersebut. Hingga
kemudian, bank dapat membuka kantor wilayah dan kantor
layanan di bawah kantor cabang yang biasa diberi nama kantor
Ubah
Hanya saja ditambah dengan
definisi kantor wilayah, cabang
pembantu, kantor kas, kantor
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 124
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
kepada kantor pusat bank yang
bersangkutan, dengan alamat
tempat usaha yang jelas
dimana kantor cabang tersebut
melakukan usahanya.
diberlakukan
secara efisien.
cabang pembantu, kantos kas, atau sejenisnya. UU Perbankan
lama belum mengaturnya. Pengaturan akan hal ini baru ada pada
tingkat otoritas. Alangkah lebih baik apabila UU perbankan ke
depan sudah mengatur dan mencakup soal kantor bank di bawah
kantor cabang termasuk juga tentunya definisinya agar terdapat
kepastian hukum.
pelayanan kas, kantor
fungsional, dan lainya yang
dibutuhkan. Pendefinisian
kantor-kantor ini dapat
mengadopsi yang sudah diatur
oleh Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia
sebelumnya.
7. Pasal 1 angka 20:
Bank Indonesia adalah Bank
Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang berlaku.
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Hadirnya OJK sebagai otoritas sektor jasa keuangan terhadap
sektor perbankan membuat perlu juga bahwa definisi OJK di
masukkan ke dalam UU Perbankan yang baru.
Tetap
Dengan menambahkan definisi
OJK ke dalam Pasal 1 UU
Perbankan yang hendak direvisi
sesuai dengan UU OJK.
8. Pasal 1 angka 26:
Konsolidasi adalah penggabungan
dari dua bank atau lebih, dengan
cara mendirikan bank baru dan
membubarkan bank-bank
tersebut dengan atau tanpa
melikuidasi;
D3
Definisi
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Rumusannya
jelas sehingga
tidak
menimbulkan
ambiguitas/multi
tafsir
Istilah dan definisi terhadap konsolidasi sebaiknya disesuaikan
dengan istilah dan definisi pada peleburan dalam UUPT. Kalau mau
diatur dalam UU Perbankan baru, maka gunakan definisi dalam
UUPT dalam konteks banknya.
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara
mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh
aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status
badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena
hukum. (Pasal 1 angka 10 UU No. 40/2007).
Ubah
Disamakan atau mirip dengan
definisi dalam UU No. 21/2008
tentang Perbankan Syariah.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 125
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Usulan definisi:
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua bank
atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu
Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari
Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
9. Pasal 1 angka 27:
Akuisisi adalah pengambilalihan
kepemilikan suatu bank
D3
Definisi
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Rumusannya
jelas sehingga
tidak
menimbulkan
ambiguitas/multi
tafsir
Istilah dan definisi terhadap akuisisi sebaiknya disesuaikan dengan
istilah dan definisi pada pengambialihan dalam UUPT. Kalau mau
diatur dalam UU Perbankan baru, maka gunakan definisi dalam
UUPT dalam konteks banknya. Pengambilalihan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
(Pasal 1 angka 11 UU No. 40/2007)
Selain meger, akuisisi,dan konsolidasi, terdapat satu aksi korporasi
lagi yaitu spin off atau pemisahan, dimana hal ini mesti diatur juga
dalam UU Perbankan baru. UUPT sudah mengatur soal ini
terhadap PT secara keseluruhan. Pemisahan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha
yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih
karena hukum kepada dua Perseroan atau lebih atau sebagian
aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada satu
Perseroan atau lebih.
(Pasal 1 angka 12 UU No. 40/2007)
Ubah
Disamakan atau mirip dengan
definisi dalam UU No. 21/2008
tentang Perbankan Syariah.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 126
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Usulan definisi:
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
saham bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
bank tersebut.
Usulan definisi untuk spin off bank:
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh bank
untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan
pasiva bank beralih karena hukum kepada dua atau lebih bank
atau Perseroan atau sebagian aktiva dan pasiva bank beralih
karena hukum kepada satu atau lebih bank atau Perseroan.
10. Pasal 2 – Pasal 10 - - - - Tetap
11. Pasal 11 ayat (1) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
12. Pasal 11 ayat (2): D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 127
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Batas maksimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh melebihi 30%
(tiga puluh perseratus) dari modal
bank yang sesuai dengan
ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
13. Pasal 11 ayat (3): D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
14. Pasal 12 – Pasal 15 - - - - Tetap
15. Pasal 16 ayat (1):
Setiap pihak yang melakukan
kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk
simpanan wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai
Bank Umum atau Bank
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 128
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Perkreditan Rakyat dari Pimpinan
Bank Indonesia, kecuali apabila
kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dimaksud diatur
dengan undang-undang
tersendiri.
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
16. Pasal 16 ayat (3):
Persyaratan dan tata cara
perizinan bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan oleh Bank Indonesia
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
17. Pasal 17 - - - - Tetap
18. Pasal 18 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 129
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lembaga yang
berbeda
19. Pasal 19
(1) Pembukaan kantor cabang
Bank Perkreditan Rakyat hanya
dapat dilakukan dengan izin
Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Persyaratan dan tata cara
pembukaan kantor Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
20. Pasal 20
(1) Pembukaan kantor cabang,
kantor cabang pembantu, dan
kantor perwakilan dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri,
hanya dapat dilakukan dengan izin
Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor di bawah
kantor cabang pembantu dari
bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 130
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
21. Pasal 21
(1) Bentuk hukum suatu Bank
Umum dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
(2) Bentuk hukum suatu Bank
Perkreditan Rakyat dapat berupa
salah satu dari:
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Bentuk lain yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
D2 Definisi Perusahaan daerah sebaiknya diganti dengan perusahaaan
perseroan daerah (BUMD berbentuk PT). Kemudian, ditambahkan
pula perusahaan perseroan (BUMN berbentuk PT). Untuk bank
umum, bentuk badan hukum sebaiknya hanya dibatasi kepada PT
saja (untuk BUMN dan BUMD) mengingat tanggung jawab dan
peran yang hendak diemban oleh perusahaan yang bersangkutan.
Usulan:
(1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Perusahaan Persero;
c. Perusahaan Perseroan Daerah; atay
d. Koperasi.
(2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa
salah satu dari:
a. Perseroan Terbatas;
b. Perusahaan Persero;
c. Perusahaan Perseroan Daerah;
d. Koperasi; atau
e. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ubah
22. Pasal 22 ayat (2):
Ketentuan mengenai persyaratan
pendirian yang wajib dipenuhi
pihak-pihak sebagaimana
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 131
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
23. Pasal 23 – Pasal 26 - - - - Tetap
24. Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank
wajib:
a. memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal
23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal
26; dan
b. dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
25. Pasal 28 ayat (1):
Merger, konsolidasi, dan akuisisi
wajib terlebih dahulu mendapat
izin Pimpinan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 132
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lembaga yang
berbeda
26. Pasal 29:
(1) Pembinaan dan pengawasan
bank dilakukan oleh Bank
Indonesia
5) Ketentuan yang wajib dipenuhi
oleh bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
27. Pasal 30 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
28. Pasal 31:
Bank Indonesia melakukan
pemeriksaan terhadap Bank, baik
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 133
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
secara berkala maupun setiap
waktu apabila diperlukan.
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
29. Pasal 31A:
Bank Indonesia dapat menugaskan
Akuntan Publik untuk dan atas
nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan
terhadap bank sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 31.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
30. Pasal 32 - - - - Tetap
31. Pasal 33 ayat (2):
Persyaratan dan tata cara
pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 31A ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 134
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lembaga yang
berbeda
32. Pasal 34 ayat (1):
Bank wajib menyampaikan kepada
Bank Indonesia neraca dan
perhitungan laba/rugi tahunan
serta penjelasannya, serta laporan
berkala lainnya, dalam waktu dan
bentuk yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
33. Pasal 35:
Bank wajib mengumumkan neraca
dan perhitungan laba/rugi dalam
waktu dan bentuk yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
34. Pasal 36:
Bank Indonesia dapat menetapkan
pengecualian dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 135
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pasal 34 ayat (2) bagi Bank
Perkreditan Rakyat.
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
35. Pasal 37 ayat (1) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
36. Pasal 37 ayat (2): D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 136
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
37. Pasal 37 ayat (3):
Dalam hal Direksi bank tidak
menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2),
Pimpinan Bank Indonesia meminta
kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang
berisi pembubaran
badan hukum bank, penunjukan
tim likuidasi, dan perintah
pelaksanaan
likuidasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
38. Pasal 37A D2
D2:
Kewenangan
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia.
Badan khusus ini adalah berupa Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Sekarang BPPN sudah dibubarkan. Untuk
menghindari krisis seperti 1998 pemerintah sudah mempunyai
Lembaga Penjamin Simpanan. Selain itu, RUU Jaring Pengaman
Sistem Keuangan.
Cabut
Hapus seluruh Pasal 37 A
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 137
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D5
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
39. Pasal 38 ayat (2):
Perubahan keanggotaan dewan
komisaris dan direksi bank
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia .
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
40. Pasal 39 - - - - Tetap
41. Pasal 40 ayat (1) D1 Pelaksanaan
Putusan MK
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012
yang menyatakan bahwa: Pasal 40 ayat (1) bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk kepentingan
peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.
Ubah Penjelasan Pasal
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 138
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
42. Pasal 41: D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
43. Pasal 41A ayat (1) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
44. Pasal 42 ayat (1) D2
Kewenangan
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
a. Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia
b. Sebaiknya diubah untuk kepentingan penegakan hukum
termasuk terkait dengan tindak pidana pencucian uang,
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 139
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
D5
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
perdagangan orang, terorisme, tindak pidana korupsi, dan
lainnya.
c. Penambahan lembaga yang bisa membuka rahasia bank
misalnya PPATK, OJK, KPK, dan lembaga lainnya yang berkenaan
dengan penegakan hukum, namun mereka wajib
merahasiakannya dengan konsekuensi yang berat jika
melanggar.
d. Hal lainnya adalah menambahkan ketentuan mengenai
kepentingan pengurusan kepailitan dan PKPU yang dapat
memberikan wewenang bagi kurator dan pengurus untuk
mengakses keuangan nasabah pailit.
45. Pasal 43 - - - - Tetap
46. Pasal 44 ayat (2):
Ketentuan mengenai tukar
menukar informasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 140
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
47. Pasal 45 - - - - Tetap
48. Pasal 46: D2
D5
Kewenangan
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
lembaga yang
berbeda
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia
Perlu penyesuaian lagi soal konteks penghukuman dan sanksi
yang bisa diterapkan.
Ubah
49. Pasal 47
(1) Barang siapa tanpa membawa
perintah tertulis atau izin dari
Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42,
dengan sengaja memaksa bank
atau Pihak Terafiliasi untuk
D2
Kewenangan
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada 2
(dua) atau lebih
peraturan, tetapi
dilaksanakan oleh
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia
Perlu penyesuaian lagi soal konteks penghukuman dan sanksi
yang bisa diterapkan.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 141
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah).
D5
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
lembaga yang
berbeda
Pengaturan
dalam peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
50. Pasal 49 ayat (2) huruf b:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi,
atau pegawai bank yang dengan
sengaja: b. tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan ketentuan
peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank,
diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun
serta denda sekurang-kurangnya
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
D1 Pelaksanaan
Putusan MK
Adanya Putusan MK Nomor 109/PUU-XII/2014 yang menyatakan
bahwa Frasa "bagi Bank" Pasal 49 ayat 2 huruf d bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, dengan pertimbangan antara lain: bahwa suatu putusan
tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan dan merupakan
pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam negara republik Indonesia yang
merupakan negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dan pihak lain
yang terkait langsung maupun tidak langsung harus menghormati
putusan pengadilan, serta pengabaian pengurus bank terhadap
putusan pengadilan karena berlindung di bawah ketentuan frasa
“bagi bank”.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 142
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
51. Pasal 50 – Pasal 61 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 143
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Sama halnya dengan sektor jasa keuangan perbankan yang dijalankan secara
konvensional, perbankan dengan prinsip syariah pun mengalami perkembangan dan
dinamika. Kehadiran UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah sejauh ini memang
telah mengakomodasi kebutuhan kelembagaan perbankan syariah di Indonesia.
Namun, dalam perjalanannya, sektor perbankan syariah juga tidak luput dari
perubahan situasi yang ada terutamanya terkait dengan peraturan perundang-
undangan yang saling bersinggungan atau mempunyai relasi yang berdampak
langsung. Tentu saja, UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah terpengaruh atas
hak demikian. Meskipun begitu, pengaruh tersebut tidak kentara seperti yang terjadi
terhadap UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No.
10/1998. Walau demikian, dari hasil analisa dan evaluasi hukum atas UU Perbankan
Syariah, perubahan juga perlu dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang ada.
Sejumlah perkembangan yang mempunyai pengaruh untuk mengubah UU
Perbankan Syariah diantaranya yaitu:
1. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas perbankan terkait
misalnya dengan kegiatan usaha dan perizinan sektor perbankan. OJK hadir
berdasarkan UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang kemudian
memperoleh bagian peran terkait dengan aspek mikro sektor jasa keuangan; dan
2. Munculnya Tim Ahli Syariah di pasar modal yang berperan membantu Dewan
Pengawas dalam menentukan syariah atau tidak produk yang hendak diterbitkan.
Hal ini tentu saja bisa diadopsi dalam ranah perbankan syariah.
3. Penambahan pengecualian prinsip rahasia bank untuk kepentingan penegakan
hukum dan pengurusn harta pailit.
Analisa dan Evaluasi UU ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pengambilan
keputusan dalam pembuatan naskah akademik perubahan UU Perbankan Syariah yang
bisa mengakomodasi perkembangan sektor yang bersangkutan di masa depan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 144
Dari hasil analisa dan evaluasi atas UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah,
terdapat temuan signfikan yang mengarah perlunya perubahan UU inii. Temua
signfikan tersebut adalah sebagai berikut:
1. UU Perbankan Syariah yang ada saat ini masih menggunakan Bank Indonesia
sebagai otoritas perbankan. Padahal, otoritas perbankan saat ini adalah OJK.
Lembaga ini diamanatkan menjalankan fungsi regulator sektor jasa keuangan
termasuk perbankan syariah. Meskipun sejumlah ketentuan dalam UU Perbankan
Syariah otomatis batal karena kehadiran OJK, perubahan atas UU lama tentu saja
tetap diperlukan;
2. Ruang lingkup pembiayaan syariah yang semakin berkembang dan sekiranya perlu
untuk memperluas cakupan pembiayaan syariah dengan cara tidak mengatur
ruang lingkup yang sangat spesifik dalam definisi pembiayaan syariah.
3. Pengecualian prinsip rahasia bank yang sebaiknya meluas kepada segenap
lembaga penegak hukum tidak hanya untuk kepentingan peradilan, namun juga
untuk kepentingan penegakan hukum secara umum. Hadirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan lembaga penegak hukum lainnya
semestinya bisa tercakup juga sebagai pihak yang mempunyai hak akses kepada
data rahasia lembaga perbankan.
4. Pengecualian prinsip rahasia bank untuk kepentingan penanganan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dimana kurator dan/atau
pengurus sebaiknya diberikan hak akses terhadap rekening pihak terpailit yang ada
di sektor perbankan.
Sehubungan dengan latar belakang dan temuan siginifikan di atas melalui analisa
dan evaluasi UU Perbankan Syariah ini, maka rekomendasi yang bisa diberikan secara
umum adalah perubahan UU Perbankan Syariah. Tidak perlu ada penggantian dengan
UU baru karena sejauh ini UU Perbankan Syariah yang ada sudah dapat memenuhi
kebutuhan pengaturan atas sektor keuangan yang satu ini. Secara khusus dan spesifik,
rekomendasi yang bisa diberikan adalah sebagai berikut:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 145
1. Mengubah sejumlah pasal dalam UU Perbankan Syariah yang ada masih
menggunakan kata “Bank Indonesia” sebagai otoritas perbankan dengan OJK
sehubungan dengan kewenangan OJK terkait lembaga keuangan perbankan;
2. Mengubah definisi pembiayaan syariah menjadi lebih umum yang dapat
memberikan ruang yang fleksibel bagi tumbuh kembangnya jenis-jenis
pembiayaan syariah di masa mendatang;
3. Memperluas cakupan definisi yang berhubungan dengan kantor cabang dengan
menambahkan kantor cabang pembantu, kantor kas, kantor fungsional, dan
sejenisnya dalam pasal 1 UU Perbankan Syariah perubahan;
4. Menghapus ketentuan mengenai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
karena sudah tidak relevan lagi dan badan yang bersangkutan sudah dibubarkan;
5. Mengubah ketentuan terkait pengecualian prinsip rahasia bank, dimana perlu ada
penambahan ketentuan yang meluas kepada segenap lembaga penegak hukum
tidak hanya untuk kepentingan peradilan, namun juga untuk kepentingan
penegakan hukum secara umum termasuk diantaranya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), dan lembaga penegak hukum lainnya yang mempunyai
kewenangan penegakan hukum;
6. Menambahkan ketentuan baru terkait pengecualian prinsip rahasia bank untuk
kepentingan penanganan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) bagi kurator dan/atau pengurus.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 146
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Dasar mengingat Nomor 3: D1 - - UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia telah diubah hingga
terakhir melalui UU No. 6/2009. Perlu menambahkan juga UU No.
21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Ubah
2. Dasar mengingat Nomor 4 D1 - - UU No. 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan telah
mengalami perubahan melalui UU No. 7/2009 tentang Penetapan
PERPU No. 3/2008 menjadi UU.
Ubah
3. Pasal 1 angka 3
Bank Indonesia adalah Bank
Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Hadirnya OJK sebagai otoritas sektor jasa keuangan terhadap
sektor perbankan membuat perlu juga bahwa definisi OJK di
masukkan ke dalam UU Perbankan yang baru.
Tetap dengan menambahkan
definisi OJK ke dalam Pasal 1 UU
Perbankan yang hendak direvisi
sesuai dengan UU OJK.
4. Pasal 1 angka 11
Kantor Cabang adalah kantor
cabang Bank Syariah yang
bertanggung jawab kepada kantor
pusat Bank yang bersangkutan
dengan alamat tempat usaha yang
jelas sesuai dengan lokasi kantor
cabang tersebut melakukan
usahanya.
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Dalam perkembangannya, jumlah penduduk yang meningkat di
perkotaan menuntut pelayanan prima dari lembaga perbankan
termasuk akses yang mudah bagi ke lembaga tersebut. Hingga
kemudian, bank dapat membuka kantor wilayah dan kantor
layanan di bawah kantor cabang yang biasa diberi nama kantor
cabang pembantu, kantos kas, atau sejenisnya. UU Perbankan
lama belum mengaturnya. Pengaturan akan hal ini baru ada pada
tingkat otoritas. Alangkah lebih baik apabila UU perbankan ke
depan sudah mengatur dan mencakup soal kantor bank di bawah
Ubah
Hanya saja ditambah dengan
definisi kantor wilayah, cabang
pembantu, kantor kas, kantor
pelayanan kas, kantor
fungsional, dan lainya yang
dibutuhkan. Pendefinisian
kantor-kantor ini dapat
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 147
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
kantor cabang termasuk juga tentunya definisinya agar terdapat
kepastian hukum.
mengadopsi yang sudah diatur
oleh Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia
sebelumnya.
5. Pasal 1 angka 25
D3
D5
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir;
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Definisi pembiayaan dalam Pasal 1 angka 25 sebetulnya dapat
membatasi jenis pembiayaan syaria yang bisa berkembang seiring
waktu. Dengan pembatasan kepada lima jenis akad dalam pasal 1
angka 25, dikhawatirkan tidak dapat mengakomodasi jenis
pembiayaan syariah yang akan muncul di masa depan. Definisi
memang menjelaskan hal supaya spesifik dan jelas, namun
demikian penjelasan definisi yang sangat spesifik malah dapat
membatasi ruang lingkup dan gerak dari hal yang hendak diatur,
seperti pembiayaan syariah ini.
Ubah
6. Pasal 2 – Pasal 4 - - - - Tetap
7. Pasal 5 ayat (1):
Setiap pihak yang akan melakukan
kegiatan usaha Bank Syariah atau
UUS wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai
Bank Syariah atau UUS dari Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 148
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
oleh lembaga
yang berbeda
8. Pasal 5 ayat (3):
Persyaratan untuk memperoleh
izin usaha UUS diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
9. Pasal 5 ayat (9):
Bank Umum Konvensional yang
akan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah wajib
membuka UUS di kantor pusat
Bank dengan izin Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 149
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
10. Pasal 6 ayat (1):
Pembukaan Kantor Cabang Bank
Syariah dan UUS hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
11. Pasal 6 ayat (2):
Pembukaan Kantor Cabang,
kantor perwakilan, dan jenisjenis
kantor lainnya di luar negeri oleh
Bank Umum Syariah dan Bank
Umum Konvensional yang
memiliki UUS hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
12. Pasal 6 ayat (3):
Pembukaan kantor di bawah
Kantor Cabang, wajib dilaporkan
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 150
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dan hanya dapat dilakukan setelah
mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
13. Pasal 7 - - - - Tetap
14. Pasal 8 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
15. Pasal 9 ayat (1):
Bank Umum Syariah hanya dapat
didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia;
D4 Pengayoman Adanya
ketentuan yang
menjamin
ketertiban
umum
Perlu menambahkan “pemerintah pusat” dalam pengaturan soal
siapa yang bisa mendirikan dan memiliki bank umum syariah.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 151
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
b. warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia
dengan warga negara asing
dan/atau badan hukum asing
secara kemitraan; atau
c. pemerintah daerah.
16. Pasal 9 ayat (2)
D4 Pengayoman Adanya
ketentuan yang
menjamin
ketertiban
umum
Perlu menambahkan “pemerintah pusat” dalam pengaturan soal
siapa yang bisa mendirikan dan memiliki bank perkreditan rakyat
syariah.
Ubah
17. Pasal 9 ayat (3):
Maksimum kepemilikan Bank
Umum Syariah oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing
diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
18. Pasal 10:
Ketentuan lebih lanjut mengenai
perizinan, bentuk badan hukum,
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 152
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
anggaran dasar, serta pendirian
dan kepemilikan Bank Syariah
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 sampai dengan Pasal 9
diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
19. Pasal 11:
Besarnya modal disetor minimum
untuk mendirikan Bank Syariah
ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
20. Pasal 12 – Pasal 15 - - - - Tetap
21. Pasal 16:
(1) UUS dapat menjadi Bank
Umum Syariah tersendiri setelah
mendapat izin dari Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 153
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
(2) Izin perubahan UUS menjadi
Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
22. Pasal 17
(1) Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Bank Syariah
wajib terlebih dahulu mendapat
izin dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal terjadi
Penggabungan atau Peleburan
Bank Syariah dengan Bank lainnya,
Bank hasil Penggabungan atau
Peleburan tersebut wajib menjadi
Bank Syariah.
(3) Ketentuan mengenai
Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Bank Syariah
dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
D2
D3
Kewenangan
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir;
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia soal
pengaturannya.
Ayat (3) menyebutkan Ketentuan mengenai Penggabungan,
Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun di
bagian penjelasan Pasal malah hanya “cukup jelas”. Untuk
kejelasan, sebaiknya disebutkan juga diantaranya adalah
persaingan usaha, penggabungan/peleburan/akuisisi bank, dan
pasar modal.
Ubah
23. Pasal 18 – Pasal 19 - - - - Tetap
24. Pasal 20 ayat (3)
Kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
memenuhi ketentuan yang
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 154
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
25. Pasal 21 - - - - Tetap
26. Pasal 22:
Setiap pihak dilarang melakukan
kegiatan penghimpunan dana
dalam bentuk Simpanan atau
Investasi berdasarkan Prinsip
Syariah tanpa izin terlebih dahulu
dari Bank Indonesia, kecuali diatur
dalam undang-undang lain.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
27. Pasal 23 – Pasal 25 - - - - Tetap
28. Pasal 26: D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 155
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
29. Pasal 27 ayat (1):
Calon pemegang saham
pengendali Bank Syariah wajib
lulus uji kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
30. Pasal 27 ayat (4):
Ketentuan lebih lanjut mengenai
uji kemampuan dan kepatutan
diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 156
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
oleh lembaga
yang berbeda
31. Pasal 29 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
32. Pasal 30 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 157
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
33. Pasal 31 ayat (2):
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengangkatan pejabat eksekutif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
34. Pasal 32 ayat (1) sampai dengan
(3)
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Selain Dewan Pengawas, perlu juga Bank Syariah melibatkan Tim
Ahli Syariah untuk melihat kesesuaian syariah atas produk yang
sudah atau hendak diterbitkan oleh bank syariah. Hadirnya tim ini
mengadopsi yang sudah dilakukan oleh sektor pasar modal. Oleh
karenanya, perlu ada pasal baru yang menyebutkan mengenai tim
ahli syariah dalam UU Perbankan Syariah perubahan.
Ubah dengan Menambahkan
ketentuan baru mengenai tim
ahli syariah.
35. Pasal 32 ayat (4):
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 158
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
36. Pasal 33 - - - - Tetap
37. Pasal 34 ayat (3):
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata kelola yang baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
38. Pasal 35
(4) Bank Indonesia dapat
menetapkan pengecualian
terhadap kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
(5) Bank Syariah wajib
mengumumkan neraca dan
laporan laba rugi kepada publik
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 159
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dalam waktu dan bentuk yang
ditentukan oleh Bank Indonesia.
39. Pasal 36 - - - - Tetap
40. Pasal 37 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
41. Pasal 38 ayat (2):
Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
42. Pasal 39 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 160
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
43. Pasal 40 ayat (4):
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembelian Agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
44. Pasal 41 - - - - Tetap
45. Pasal 42 ayat (1):
Untuk kepentingan penyidikan
pidana perpajakan, pimpinan Bank
Indonesia atas permintaan
Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan perintah tertulis
kepada Bank agar memberikan
keterangan dan memperlihatkan
bukti tertulis serta surat mengenai
keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor
tertentu kepada pejabat pajak.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 161
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
46. Pasal 43 ayat (1):
Untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana, pimpinan
Bank Indonesia dapat memberikan
izin kepada polisi, jaksa, hakim,
atau penyidik lain yang diberi
wewenang berdasarkan undang-
undang untuk memperoleh
keterangan dari Bank mengenai
Simpanan atau Investasi tersangka
atau terdakwa pada Bank.
D2
D5
Kewenangan
Aspek Relevansi
dengan situasi
saat ini
Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia
Sebaiknya diubah untuk kepentingan penegakan hukum
termasuk terkait dengan tindak pidana pencucian uang,
perdagangan orang, terorisme, tindak pidana korupsi, dan
lainnya.
Penambahan lembaga yang bisa membuka rahasia bank
misalnya PPATK, OJK, KPK, dan lembaga lainnya yang berkenaan
dengan penegakan hukum, namun mereka wajib
merahasiakannya dengan konsekuensi yang berat jika
melanggar.
Hal lainnya adalah menambahkan ketentuan mengenai
kepentingan pengurusan kepailitan dan PKPU yang dapat
memberikan wewenang bagi kurator dan pengurus untuk
mengakses keuangan nasabah pailit.
Ubah
47. Pasal 44 – Pasal 49 - - - - Tetap
48. Pasal 50:
Pembinaan dan pengawasan Bank
Syariah dan UUS dilakukan oleh
Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 162
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
49. Pasal 51 ayat (2):
Kriteria tingkat kesehatan dan
ketentuan yang wajib dipenuhi
oleh Bank Syariah dan UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
50. Pasal 52 ayat (1):
Bank Syariah dan UUS wajib
menyampaikan segala keterangan
dan penjelasan mengenai
usahanya kepada Bank Indonesia
menurut tata cara yang ditetapkan
dengan Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 163
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
oleh lembaga
yang berbeda
51. Pasal 52 ayat (3) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
52. Pasal 53:
(1) Bank Indonesia dapat
menugasi kantor akuntan publik
atau pihak lainnya untuk dan atas
nama Bank Indonesia,
melaksanakan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2).
(2) Persyaratan dan tata cara
pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 164
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
53. Pasal 54
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
54. Pasal 55 ayat (2):
Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad.
Penjelasan pasal:
Yang dimaksud dengan
“penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad” adalah
upaya sebagai berikut: a.
musyawarah; b. mediasi
perbankan; c. melalui Badan
D2
D4
Pelaksanaan
Putusan MK
- Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dengan pertimbangan, antara lain bahwa pilihan forum
hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU
Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka
ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah
menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada
akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang
dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi
juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian
sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam
perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal
Cabut Penjelasan pasal
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 165
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau d. melalui
pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
55 ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya
tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua
peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah sedangkan dalam Undang-Undang
yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa
peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi
syariah. Menurut Mahkamah, adalah hak nasabah dan juga unit
usaha syariah untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah
menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a
quo tidak memberi kepastian hukum. (Walaupun dalam putusan
tersebut, terdapat 2 concurring opinion dan 1 dissenting opinion).
55. Pasal 56 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 166
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
56. Pasal 57 ayat (1) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
57. Pasal 58 - - - - Tetap
58. Pasal 59 ayat (1) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
59. Pasal 60 ayat (1) D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 167
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
60. Pasal 61 – Pasal 70 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 168
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha tidak Sehat
UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (UU Persaingan Usaha) merupakan salah hasil produk reformasi politik dan
ekonomi dimana Indonesia mencoba keluar dari krisis ekonomi 1998. Hadirnya UU ini
merupakan pelepas dahaga yang waktu itu iklim persaingan usaha banyak diwarnai
dominasi dan monopoli keluarga Soeharto dan kroninya. Kehadiran UU ini diikuti
dengan pembentukan komisi baru yang independen yaitu Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini lepas dari intervensi pemerintah dan lembaga lain
serta mempunyai peran sebagai lembaga quasi judicial yang bisa memeriksa dan
memutus perkara persaingan usaha tidak sehat yang terjadi.
Dalam perjalanannya, tentu saja banyak perkembangan dan dinamika yang terjadi
sehubungan dengan implementasi UU Persaingan Usaha ini. Perkembangan utama
yang menghiasi pengaruh terhadap UU Persaingan Usaha diantaranya mengenai
ketentuan notifikasi bagi pelaksanaan merger, akuisisi, dan konsolidasi antara
pemberlakuan notifikasi di awal dan di akhir; ketiadaan konsep dan mekanisme
tuntutan pihak yang dirugikan secara materiil akibat perilaku dan perjanjian
persaingan usaha yang tidak sehat; dan eksekusi putusan persaingan usaha yang tidak
jarang tidak bersifat executable misalnya karena pihak yang dihukum di luar negeri
atau pihak yang dihukum menolak dan memberikan perlawanan atas eksekusi putusan
yang berkekuatan hukum tetap.
Adanya dinamika dan permasalahan tadi tentu saja mesti dijawab berupa
perubahan UU Persaingan Usaha. Analisa dan Evaluasi ini dibuat dalam rangka
mengidentifikasi ketentuan-ketentuan yang sebaiknya diubah atau diganti dan
kemudian mengusulkan perubahan atas UU yang dianalisa dan evaluasi. UU
Persaingan Usaha menjadi salah satunya.
Dari hasil analisa dan evaluasi atas UU Persaingan Usaha, isu signifikan yang
sekiranya perlu memperoleh perhatian adalah sebagai berikut:
1. Notifikasi bagi pelaksanaan merger, akuisisi, dan konsolidasi. UU Persaingan Usaha
secara normatif mengatur soal notifikasi yang dilakukan pasca aksi korporasi
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 169
dilakukan. Ini yang menjadi pedoman atau patokan pelaku usaha. Namun, KPPU
berpendapat bahwa notifikasi seharusnya dilakukan sebelum merger, akuisisi, atau
konsolidasi dilakukan. Tentu saja, demi kepastian hukum, ketentuan mengenai
notifikasi ini perlu disepakati dalam UU Persaingan Usaha perubahan.
2. Konsep dan mekanisme tuntutan perdata bagi pihak yang dirugikan akibat
persaingan usaha tidak sehat tidak dikenal dalam UU ini. Konsep yang bernama
follow on damages ini sebetulnya penting karena bagaimanapun perilaku atau
perjanjian persaingan usaha yang tidak sehat berakibat kepada kerugian
konsumen akhir juga. Ketiadaan konsep dan mekanisme ini tentu saja juga
menuntut adanya perubahan dalam UU Persaingan Usaha agar bisa
mengakomodasi tuntutan konsumen; dan
3. Implementasi eksekusi putusan persaingan usaha yang tidak jarang macet karena
pihak yang dihukum berada di luar yurisdiksi atau pihak yang dihukum melakukan
perlawanan atau penolakan eksekusi.
Dari hasil analisa dan evaluasi atas UU Persaingan Usaha ini, rekomendasi umum
yang dapat disampaikan adalah berupa usulan perubahan parsial atas UU Persaingan
Usaha. Sementara itu, rekomendasi spesifik atas perubahan UU Persaingan Usaha ini
adalah sebagai berikut:
1. Perubahan dasar mengingat dalam UU Persaingan Usaha dengan menyesuaikan
dengan UUD 1945 hasil amandemen;
2. Perubahan ketentuan notifikasi bagi pelaksanaan merger, akuisisi, dan konsolidasi.
Demi kepastian hukum dan perlindungan persaingan usaha yang sehat, UU
Persaingan Usaha sebaiknya mengatur mengenai ketentuan pre merger. Namun
demikian, harus jelas mengenai jangka waktu pemeriksaan atas notifikasi tersebut
agar tidak ada hambatan atas kepastian berusaha.
3. Pengaturan konsep dan mekanisme tuntutan perdata bagi pihak yang dirugikan
akibat persaingan usaha tidak sehat dalam UU ini (follow on damages); dan
4. Penambahan ketentuan terkait eksekusi putusan persaingan usaha yang bisa
membuat pelaku usaha yang dihukum jera atau sukarela melaksanakan putusan,
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 170
misalnya berupa pemblokiran rekening keuangan, paksa badan, pengenaan status
pelanggaran contempt of court, dan sebagainya.
Lebih lengkap hasil analisa dan evaluasi atas UU Persaingan Usaha, silahkan lihat
tabel di bawah ini.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 171
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945
D1 - - Pasal 21 ayat (1) UUD 1945 sudah menjadi Pasal 21 saja.
Ubah
2. Pasal 1 - - - - Tetap
3. Pasal 2
Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan
umum.
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir, Jelas,
Tegas
Demokrasi ekonomi tidak dijelaskan maknanya dan definisinya.
Minimal harus dijelaskan di bagian Penjelasan Pasal.
Ubah
4. Pasal 3 D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
- - Sebagaimana disebutkan pada Petunjuk No. 98 huruf c
Lampiran II UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahawa pasal yang mencerminkan asas,
maksud dan tujuan tidak perlu dituangkan dalam bab tersendiri.
- Kata ‘mencerminakan’ dalam petunjuk No. 98 tidak
dimaksudkan untuk membetuk pasal atau bab teresndiri yang
menyebutkan asas dan maksud/tujuan dibentuknya UU. Karena
maksud dan tujuan dibentuknya UU seharusnya sudah
tercermin dalam Konsiderans Menimbang dan diuraikan secara
sistematis dalam Penjelasan Umum.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 172
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
- Oleh karenanya, Pasal ini sebaiknya dicabut karena sudah
tercermin dalam Konsiderans Menimbang dan Penjelasan
Umum.
5. Pasal 4 – Pasal 28 - - - - Tetap
6. Pasal 29
(1) Penggabungan atau peleburan
badan usaha, atau
pengambilalihan saham
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 yang berakibat nilai aset
dan atau nilai penjualannya
melebihi jumlah tertentu, wajib
diberitahukan kepada Komisi,
selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal
penggabungannya, peleburan
atau pengambilalihan tersebut.
(2) Ketentuan tentang penetapan
nilai aset dan atau nilai penjualan
serta tata cara pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
D2
D5
Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
- Pemberlakuan model post merger dalam pasal ini sebaiknya
diubah menjadi model Pre Merger dimana penggabungan,
pengambilalihan, dan peleburan hanya bisa dilakukan dengan
melakukan notifikasi dulu kepada KPPU.
- Notifikasi yang dilakukan setelah penggabungan,
pengambilalihan, dan peleburan dan setelahnya diketahui
adanya potensi persaingan usaha yang tidak sehat, maka
cukup sulit untuk mengembalikannya kepada keadaan semula
karena hal ini berdampak kepada aspek hukum dan keuangan
yang bisa mempengaruhi publik juga.
- Dengan perubahan model dari post merger ke pre merger, hal
ini bisa memberikan kepastian hukum mengenai apakah suatu
aksi korporasi di atas bisa dilakukan atau tidak sehubungan
dengan tujuan pencapaian persaingan usaha yang sehat.
Ubah
7. Pasal 30 – Pasal 45 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 173
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
8. Pasal 46 :
(1) Apabila tidak terdapat
keberatan, putusan Komisi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
(2) Putusan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dimintakan penetapan eksekusi
kepada Pengadilan Negeri.
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
- Perlu ada pengaturan mengenai soal “contempt of court” jika
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa
dijalankan
- Perlu ada model sanksi lain bagi yang tidak bisa menjalankan
putusannya, misalnya pembekuan dan pemblokiran rekening
keuangan, pemblokiran/pencabutan izin usaha, dan
sebagainya yang bisa memberikan efek jera.
- UU ini belum mengatur soal konsep dan mekanisme “follow
on damages” dimana para pihak yang dirugikan secara
materiel oleh persaingan usaha tidak sehat dapat mengajukan
tuntutan pengembalian kerugian akibat perbuatan tersebut.
Ubah
9. Pasal 47 D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Perumusan
sanksi
administrasi dan
sanksi
keperdataan
sesuai dengan
petunjuk.
Sanksi administratif hendaknya diatur secara integral dengan
ketentuan pasal yang megatur (petunjuk No. 64-65 Lampiran II UU
No. 12 Tahun 2011).
Ubah
10. Pasal 48 D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
Perumusan
sanksi
administrasi dan
sanksi
keperdataan
sesuai dengan
petunjuk.
Dari perumusan di atas jelas terlihat, ancaman pidana kurungan
pengganti dicantumkan secara tegas sebagai pidana pokok
dalam perumusan delik.
Perumusan demikian sebenarnya berlebihan dan tidak lumrah
dilakukan dalam praktik legislatif selama ini. Tanpa dirumuskan
sebenarnya tetap berlaku aturan umum dalam KUHP mengenai
pidana kurungan pengganti denda ini. Terlebih dalam UU ini,
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 174
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
perundang-
undangan
lamanya kurungan pengganti juga tidak menyimpang dari aturan
umum KUHP (yaitu maksimal 6 bulan). Sekiranya UU ini
bermaksud menyimpang dari aturan umum KUHP, barulah UU
ini dapat membuat aturan tersendiri.
Namun tetap tidak perlu dicantumkan sebagai ancaman pidana
pokok dalam perumusan delik, karena pidana kurungan
pengganti bukan jenis pidana pokok, tetapi hanya merupakan
jenis pidana pengganti dari pidana denda. Jadi harus dibedakan
antara “jenis pidana” dengan “pelaksanaan pidana”. Yang
dimasukkan/ diformulasikan dalam perumusan delik, hanya
“jenis pidana”-nya. Aturan tentang “pelaksanaan pidana” diatur
tersendiri di luar perumusan delik. (disadur dari Pendapat Barda
Nawawi Arief, dalam Laporan Karya Ilmiah: Perumusan
Ketentuan Pidana dalam Penyusunan/Pembuatan PUU, BPHN:
2009).
11. Pasal 49 - - - - Tetap
12. Pasal 50 D4 Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Adanya
ketentuan yang
menjamin
prosedur yang
jelas dan efisien
9 (sembilan) jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan
berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena
berpotensi munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara
pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya
melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha
tersebut tanpa melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Bisa jadi suatu
perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam
kategori pasal 50 UU No. 5 Tahun1999 oleh pelaku usaha, tetapi
justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU.
Perlu menambahkan penjelasan
pasal dan pengaturan lebih
lanjut
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 175
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil
mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan
usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan
kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Pasal
ini memerlukan penjelasan dan pengaturan lebih lanjut.
13. Pasal 51 – Pasal 53 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 176
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UU PT)
merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan
hukum terkait dengan perseroan terbatas (PT) menggantikan keberadaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Peseroan Terbatas (UU No 1 Tahun 1995). Salah
satu perubahan yang mendasar dalam perubahan UU No 1 Tahun 1995 menjadi UU
PT adalah mengenai keberadaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam pengaturan
baru di UU PT, dimana perusahaan didorong untuk dapat bertanggung jawab serta
berkontribusi bagi perkembangan masyarakat dalam bidang sosial.
Keberadaan UU PT dalam sistem hukum di Indonesia telah berjalan hampir 10
(sepuluh) tahun memberikan perlindungan hukum mengenai PT mengalami
perkembangan kebutuhan masyarakat seiring dengan iklim kompetitif perekonomian
secara global untuk menyediakan kemudahan berusaha (ease of doing business) untuk
memberikan stimulus terhadap perekonomian secara nasional. Berbagai
permasalahan terkait dengan PT sebagai badan hukum adalah terkait dengan dasar
pendirian PT, struktur permodalan PT, dan keberadaan dewan komisaris. Selain itu,
dari sisi perkembangan masyarakat mengenai perlindungan pemegang saham, UU PT
Indonesia mendapat respon negatif seiring dengan keberadaan minimnya
perlindungan pemegang saham minoritas, hal ini ditunjukan dengan menempatkan
Indonesia dalam peringkat 70 (tujuh puluh) dalam indeks yang diukur dalam ease of
doing business. Selain itu, keberadaan UU PT yang ada saat ini perlu menyesuaikan
perkembangan yang ada sebagaimana ditunjukan dalam penilaian ease of doing
business serta perkembangan kebutuhan lainnya di masyarakat, selain itu terdapat
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian materil UUPT
terhadap UUD NRI Tahun 1945.
2 (dua) isu yang diangkat sebagai isu signifikan dalam undang-undang ini adalah:
a. Terkait kepemilikan perseroan. Salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian
khusus dalam mendorong pembangunan hukum di bidang perseroan terbatas di
Indonesia kedepannya adalah mengenai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU PT yang
menyatakan mengenai pendirian suatu PT yang pendiriannya didirikan oleh 2 (dua)
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 177
atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Hal ini
dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (5) UU PT menimbulkan
permasalahan, dikarenakan ketentuan kewajiban minimal 2 (dua) orang pendiri
dan pemegang saham PT ini menyulitkan para pihak yang berada dalam perseroan
itu sendiri. Ketentuan ini menyebabkan kesulitan bagi pelaku usaha kecil dan
menengah di dalam menjalankan operasional perseroannya. Selain itu, ketentuan
Pasal 7 ayat (5) UU PT ini sangat tidak adil dan dapat menimbulkan kerugian bagi
perseroan itu sendiri, dikarenakan waktu 6 (enam) bulan menjadi permasalahan
bagi perseroan dalam hal tidak mencukupi waktu maka sebagaimana dinyatakan
di dalam Pasal 7 ayat (6) suatu perseroan tersebut setiap perikatan dan kerugian
Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham dan peseroan
dapat dibubarkan. Ketentuan Pasal 7 ayat (6) ini juga menjadi multi tafsir. Apakah
ketentuan telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang,
pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan
kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan
negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut. Dimaknai bahwa apabila tidak
dilaksanakannya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5)
peseroan dapat dibubarkan, ataukah suatu perseroan dapat dibubarkan dalam hal
peseroan mengalami kepailitan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam UU
Kepailitan dan PKPU.
b. Mengenai tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan. Menurut Pasal 66
ayat (2) huruf c UU PT, direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS
setelah ditelaah oleh dewan komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku PT berakhir. Laporan tersebut harus memuat sekurang-
kurangnya, antara lain: laporan keuangan yang memuat neraca dan laporan laba
rugi dari tahun buku yang bersangkutan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan. Terhadap laporan keuangan sebagaimana dimaksud di atas, maka
bagi PT yang wajib diaudit harus menyampaikan laporan keuangan tersebut
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 66 ayat 4 UUPT). Ketentuan
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 178
tersebut seolah-olah menjadi kewajiban bagi semua jenis PT di luar dari
kegiatannya di bidang dan/atau berkaitan sumber daya alam.
Sementara itu, menurut Pasal 74 UUPT, tanggung jawab sosial dan lingkungan
diwajibkan terbatas kepada PT yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Saat ini, hampir seluruh PT yang
melakukan kegiatan usaha sudah menerapkan dan menjalankan tanggung jawab sosial
dan lingkungan secara langsung dan nyata. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan
bagi PT yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam karena tidak dapat menerapkan dan mempergunakan
penganggaran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai bagian dari
biaya PT. Ketentuan Pasal 66 ayat 2 huruf c yang multitafsir dan tidak jelas ini
menyebabkan kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan berlaku
kepada seluruh PT. Rumusan norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut
dapat mengakibatkan kendala dalam implementasi penerapannya berupa penolakan
masyarakat, dikarenakan perseroan bukan merupakan perseroan yang bergerak
dalam bidang lingkungan dan sosial, serta perseroan merupakan perusahaan dalam
skala UMKM. Akibatnya ketentuan ini merugikan masyarakat.
Ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 74 yang mengenakan sanksi dalam hal suatu
perusahaan tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan untuk melakukan
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Ketentuan ini dianggap oleh hakim
Konstitusi dalam dissenting opinion hakim yang mempunyai alasan berbeda yaitu
Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad Sanusi, yang pada pokoknya
menyatakan: rumusan yang tidak pasti (masih umum) dan tidak menunjuk pada
peraturan perundang-undangan yang dimaksud, sehingga pengenaan sanksi
tersebut dapat dilaksanakan secara membabi-buta. Lebih detail mengenai usulan
atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada tabel di bawah ini.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 179
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 1 Angka 13 UU PT
Surat Tercatat adalah surat yang
dialamatkan kepada penerima dan
dapat dibuktikan dengan tanda
terima dari penerima yang
ditandatangani dengan
menyebutkan tanggal
penerimaan.
D3 Kejelasan
Rumusan
Definisi Surat Tercatat
Menurut Pasal 1 angka 13 UUPT, surat tercatat didefinisikan
sebagai surat yang di alamatkan kepada penerima dan dapat
dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang
ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan. Dalam
definisi ini muncul penilaian yang beragam, bahwa pengertiannya
mengenai surat tercatat akan tetapi perlu dibuktikan dengan
tanda terima dari si penerima.
Ubah
2. Pasal 1 Angka 14 UU PT
Surat Kabar adalah surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang
beredar secara nasional.
D3 Kejelasan
Rumusan
Menurut Pasal 1 angka 14 UUPT, Surat kabar didefinisikan sebagai
surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara
nasional. Dalam praktik, surat kabar yang digunakan adalah surat
kabar skala nasional maupun skala lokal (kota). Pengertian
“beredar secara nasional” dalam pasal tersebut tidak begitu jelas
karena banyak surat kabar yang dianggap beredar secara nasional
sebetulnya hanya beredar di kota-kota besar di Indonesia tapi
tidak meliputi kota-kota lainnya atau hanya beredar di Sumatera
tapi tidak di Jawa begitupun sebaliknya. Hal ini menimbulkan
kerancuan dalam pengertian “surat kabar”.
Ubah
3. Pasal 2 – Pasal 6 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 180
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
4. Pasal 7 ayat 5 dan ayat 6
Ayat 5
Setelah Perseroan memperoleh
status badan hukum dan
pemegang saham menjadi kurang
dari 2 (dua) orang, dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan
terhitung sejak keadaan tersebut
pemegang saham yang
bersangkutan wajib mengalihkan
sebagian sahamnya kepada orang
lain atau Perseroan mengeluarkan
saham baru kepada orang lain.
Ayat 6
Dalam hal jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) telah dilampaui, pemegang
saham tetap kurang dari 2 (dua)
orang, pemegang saham
bertanggung jawab secara pribadi
atas segala perikatan dan
kerugian Perseroan, dan atas
permohonan pihak yang
berkepentingan, pengadilan
D2
D3
D4
Potensi
disharmoni
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
asas
pengayoman
dan asas
keadilan.
Ketentuan ini
memberikan
beban yang
berada diluar
kemampuan si
pengurus
perseroan.
Ketentuan tidak
jelas atau multi
tafsir
Pasal 7 ayat 5 UU PT
Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (5) UU PT menimbulkan
permasalahan, dikarenakan ketentuan kewajiban minimal 2 (dua)
orang pendiri dan pemegang saham PT ini menyulitkan para pihak
yang berada dalam perseroan itu sendiri. Ketentuan ini
menyebabkan kesulitan bagi pelaku usaha kecil dan menengah di
dalam menjalankan operasional perseroannya. Selain itu,
ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU PT ini sangat tidak adil dan dapat
menimbulkan kerugian bagi perseroan itu sendiri, dikarenakan
waktu 6 (enam) bulan menjadi permasalahan bagi perseroan
dalam hal tidak mencukupi waktu maka sebagaimana dinyatakan
di dalam Pasal 7 ayat (6) suatu perseroan tersebut setiap perikatan
dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi
pemegang saham dan peseroan dapat dibubarkan.
Ketentuan Pasal 7 ayat (6) ini juga menjadi multi tafsir. Apakah
ketentuan telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2
(dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi
atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas
permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat
membubarkan Perseroan tersebut. Dimaknai bahwa apabila tidak
dilaksanakannya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (5) peseroan dapat dibubarkan, ataukah suatu perseroan
dapat dibubarkan dalam hal peseroan mengalami kepailitan
terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam UU Kepailitan dan
PKPU.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 181
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
negeri dapat membubarkan
Perseroan tersebut.
Penjelasan
....yang dimaksud dengan “pihak
yang berkepentingan” adalah
kejaksaan untuk kepentingan
umum, pemegang saham, Direksi,
Dewan Komisaris, karyawan
Perseroan, kreditor, dan/atau
pemangku kepentingan (stake
holder) lainnya.
Maka, ketentuan ini perlu adanya kejelasan.
Selain itu, di sisi lain ternyata dalam praktik penerapan UU PT,
suatu PT dapat didirikan oleh bukan orang. Sebagai contoh Dana
Investasi Real Estat (DIRE) dapat mendirikan PT berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 19/POJK.04/2016
tentang Pedoman Bagi Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang
Melakukan Pengelolaan Dana Investasi Real Estat Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif. DIRE adalah wadah untuk menghimpun
dana dari masyarakat pemodal yang berbentuk kontrak investasi
kolektif. DIRE yang berbentuk kontrak investasi kolektif dapat
memiliki saham paling sedikit 99,9% dari modal disetor di Special
Purpose Company yang adalah, PT. Dengan kemungkinan memiliki
saham di atas 99,9% maka bisa jadi PT didirikan secara tunggal oleh
DIRE. Hal ini menunjukkan bahwa PT dapat didirikan tanpa
didahului oleh persetujuan 2 (dua) pihak.
5. Pasal 7 ayat (4):
Perseroan memperoleh status
badan hukum pada tanggal
diterbitkannya Keputusan Menteri
mengenai pengesahan badan
hukum Perseroan
D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Ketentuan
disusun tidak
konsisten
Dengan dimungkinkannya pemegang saham kurang dari 2 (dua)
orang selama 6 (enam) bulan (Pasal 7 ayat (5) dan (6) UUPT)
maka pengaturan kewajiban minimal 2 (dua) orang pendiri dan
pemegang saham PT tersebut (Pasal 7 ayat (1) UUPT), menjadi
tidak konsisten. Demikian juga dengan pengecualian pendirian
PT oleh 1 (satu) orang. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UUPT
disebutkan bahwa UUPT menganut prinsip perjanjian dalam
pendirian PT. Namun kewajiban ini setelah PT berdiri adalah
tidak logis. Secara eksternal, kewajiban ini juga inkonsisten
sebab yayasan sebagai badan hukum dapat didirikan oleh 1
(satu) orang.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 182
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Permasalahan lain yang muncul terkait dengan Pasal 7 UUPT
adalah mengenai kepemilikan saham pendiri atau pemegang
saham PT merupakan kepemilikan harta pribadi dalam
perkawinan yang terjadi dengan pencampuran harta menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Undang-Undang Perkawinan). Hal ini menjadi persoalan klasik
yang diperdebatkan oleh para praktisi hukum, akademisi, dan
notaris terhadap kemungkinan dilakukannya pendirian PT oleh
suami-isteri yang menikah dalam percampuran harta (gana-
gini). Apakah ketentuan ini merupakan ketentuan yang hanya
terkait dengan subjek hukum dalam pendirian PT dan
kepemilikan saham, ataukah ada keterkaitan dengan
perkawinan dan harta perkawinan? UUPT tidak secara tegas
mengatur atau menjawab hal ini. Sementara Mahkamah
Konstitusi telah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1),
ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Perkawinan yang
mengatur tentang perjanjian perkawinan dan harta perkawinan
yang dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan,
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
6. Pasal 8 – Pasal 9 - - - - Tetap
7. Pasal 11 – Pasal 20 - - - - Tetap
8. Pasal 10 UU PT
Pasal 21
D2
Potensi
Disharmoni
Tumpang
tindih dalam
Terkait dengan ketentuan “pembatasan waktu” untuk dapat
mengajukan permohonan status badan hukum dan
permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar, maka PT
yang didirikan berdasarkan perjanjian seharusnya tidak dapat
diakhiri begitu saja dengan daluwarsanya pengajuan
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 183
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
ketetuan UU
PT
permohonan status badan hukum sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 10 UUPT. Demikian pula keputusan RUPS yang
memutuskan mengubah anggaran dasar PT yang seharusnya
tidak dapat dibatalkan dengan adanya pembatasan waktu
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 24 UUPT.
Ketentuan batas waktu dalam pasal-pasal ini menunjukkan
bahwa UUPT tidak konsisten dengan prinsip dan asas pendirian
PT berdasarkan perjanjian.
Seharusnya, perlu pengaturan sanksi tegas jika pengesahan
status badan hukum dan perubahan anggaran dasar tidak
diajukan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Di sejumlah
negara pemberian status badan hukum PT, terjadi “karena
undang-undang”. Ketentuan Pasal 7 ayat (4) UUPT dikaitkan
dengan Pasal 1 angka 1 UUPT dapat menimbulkan ambiguitas
tentang kapan PT menjadi badan hukum. Ketentuan Pasal 1
angka 1 menyatakan PT sebagai badan hukum yang dilahirkan
berdasarkan adanya perjanjian untuk melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata sebagai
syarat sahnya perjanjian. Ketentuan sebagaimana dimaskud
dalam Pasal 10 UU PT menegasikan aspek esensial yang dimiliki
oleh PT sebagai badan hukum. Kedudukan PT sebagai badan
hukum bukan dikarenakan adanya pengesahan terhadap badan
hukum tersebut, melainkan disebabkan adanya perjanjian
sebagai unsur esensial dan memenuhi ketentuan syarat objektif
perjanjian.
9. Pasal 22 – Pasal 47 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 184
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
10. Pasal 48
(1) Saham Perseroan dikeluarkan
atas nama pemiliknya.
(2) Persyaratan kepemilikan
saham dapat ditetapkan dalam
anggaran dasar dengan
memperhatikan persyaratan yang
ditetapkan oleh instansi yang
berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Penjelasan
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi
yang berwenang” adalah instansi
yang berdasarkan undang-undang
berwenang mengawasi Perseroan
yang melakukan kegiatan
usahanya di bidang tertentu,
misalnya Bank Indonesia
berwenang mengawasi Perseroan
di bidang perbankan, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral
berwenang mengawasi Perseroan
D3 Kesesuaian
dengan
sistematika
dan teknik
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan
Rumusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) UU PT
tidak disusun dengan berpedoman kepada UU 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan PUU, dimana ketentuan di
dalam Pasal tersebut khususnya di dalam ayat (2) memuat
ketentuan instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini mengakibatkan
adanya referensi secara Blangko kepada peraturan perundang-
undangan yang ada, sehingga menjadi tidak jelas apakah yang
dimaksud dengan instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, ketentuan Penjelasan ayat (2) bukanlah materi
muatan penjelasan sebagaimana layaknya dalam ketentuan
Penjelasan pasal yang sifatnya menerangkan materi yang ada
dan tidak menciptakan/ membuat ketentuan norma baru.
Keterangan penjelasan pasal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menyatakan mengenai instansi yang berwenang” adalah
instansi yang berdasarkan undang-undang berwenang
mengawasi Perseroan yang melakukan kegiatan usahanya
merupakan ketentuan norma dan selayaknya tidak berada
dalam penjelasan pasal, namun seharusnya dinyatakan dalam
rumusan norma pasal secara jelas dan tegas.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 185
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
di bidang energi dan
pertambangan.
11. Pasal 49 – Pasal 55 - - - - Tetap
12. Pasal 56 D3
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mult
itafsir; Jelas
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU PT
menyatakan bahwa pemindahan hak atas saham dilakukan dengan
Akta Pemindahan Hak, apakah akta tersebut dibuat baik berupa
akta notaris ataupun akta dibawah tangan. Kemudian dalam
norma pasal dinyatakan akta pemindahan hak atas saham atau
salinannya disampaikan secara tertulis kepada PT (Pasal 56 ayat (2)
UUPT). Namun UUPT tidak menjelaskan siapa yang wajib
menyampaikannya kepada PT. Dikarenakan menurut KUH Perdata
setiap pemindahan hak atas saham dapat terjadi dengan
melakukan perbuatan hukum atau dengan terjadinya suatu
peristiwa hukum.
Pasal 584 KUHPerdata
Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan
pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat
waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun
menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan
berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik,
yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap
barang itu.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 186
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Oleh karena itu, ketentuan sebagaimana di dalam Pasal 56 ayat (2)
yang tidak secara tegas dinyatakan dan mengakibatkan rumusan
norma menjadi tidak jelas atau multi tafsir, yang akan menyulitkan
pelaksanaannya.
13. Pasal 57 – Pasal 65 - - - - Tetap
14. Pasal 66 ayat 2 huruf c :
Laporan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
memuat sekurang-kurangnya: c.
laporan pelaksanaan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan;
D2
D3
D4
D5
Perlindungan
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Ketertiban Dan
Kepastian
Hukum
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Ketentuan yang
membebankan
kepada
masyarakat
Rumusan norma
tidak jelas atau
multi tafsir
Adanya
ketentuan yang
menjamin
prosedur yang
jelas dan efisien
Pengaturan
dalam
peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Pasal 66 ayat (2) huruf c UUPT, direksi menyampaikan
laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh dewan
komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun buku PT berakhir. Laporan tersebut harus memuat
sekurang-kurangnya, antara lain: laporan keuangan yang memuat
neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan
dan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Terhadap laporan keuangan sebagaimana dimaksud di atas, maka
bagi PT yang wajib diaudit harus menyampaikan laporan keuangan
tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 66
ayat 4 UUPT). Ketentuan tersebut seolah-olah menjadi kewajiban
bagi semua jenis PT di luar dari kegiatannya di bidang dan/atau
berkaitan sumber daya alam.
Sementara itu, menurut Pasal 74 UUPT, tanggung jawab sosial dan
lingkungan diwajibkan terbatas kepada PT yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 187
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
daya alam.
Saat ini, hampir seluruh PT yang melakukan kegiatan usaha sudah
menerapkan dan menjalankan tanggung jawab sosial dan
lingkungan secara langsung dan nyata.
Kondisi ini menimbulkan kecemburuan bagi PT yang tidak
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam karena tidak dapat menerapkan dan
mempergunakan penganggaran pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan sebagai bagian dari biaya PT.
Ketentuan Pasal 66 ayat 2 huruf c yang multitafsir dan tidak jelas
ini menyebabkan kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan berlaku kepada seluruh PT. Rumusan norma
sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut dapat
mengakibatkan kendala dalam implementasi penerapannya
berupa penolakan masyarakat, dikarenakan perseroan bukan
merupakan perseroan yang bergerak dalam bidang lingkungan
dan sosial, serta perseroan merupakan perusahaan dalam skala
UMKM. Akibatnya ketentuan ini merugikan masyarakat.
15. Pasal 67 – Pasal 73 - - - - Tetap
16. Pasal 74
Ayat (1) Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan masih
relevan untuk
diberlakukan
secara efisien.
Ketentuan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan
permasalahan dengan adanya pembebanan kewajiban kepada
masyarakat, serta ketentuan ini akan berdampak kepada
efektivitas penerapan ketentuan UU PT ini.
Perkara Nomor 53/PUU-VI/2008 atas Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Walaupun gugatan ditolak namun terdapat disenting pendapat
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 188
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pasal 74 Ayat (2) Tanggung jawab
sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya
perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
Pasal 74 Ayat (3) Perseroan yang
tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
diantara para hakim terhadap ketentuan UU PT.
Terhadap putusan tersebut, terdapat tiga hakim yang mempunyai
alasan berbeda (dissenting opinions) yaitu Maria Farida Indrati,
Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad Sanusi, yang pada pokoknya
menyatakan:
a. Bahwa pengaturan CSR menjadi suatu kewajiban akan
berdampak pada tidak maksimalnya penerapan CSR di
masyarakat. Penerapan CSR tidak dapat dibakukan dalam suatu
Undang-Undang, karena permasalahan dan kebutuhan tiap
daerah berbeda-beda. Dalam kenyataannya CSR di Indonesia
telah berlangsung lama dan bersifat sukarela, karena
merupakan tradisi dimana taggung jawab sosial merupakan
tanggung jawab semua unsur masyarakat, sektor swasta dan
Pemerintah. CSR merupakan kegiatan komplementer dan bukan
menggantikan kewajiban Pemerintah.
b. Bahwa ketentuan dalam Pasal 74 ayat (3) yang menyatakan
”dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”, adalah rumusan yang tidak pasti (masih umum) dan
tidak menunjuk pada peraturan perundang-undangan yang
dimaksud, sehingga pengenaan sanksi tersebut dapat
dilaksanakan secara membabi-buta. Ketentuan dalam ayat (3)
ini juga dapat menjadi tidak terbatas, karena dalam Penjelasan
ayatnya dirumuskan bahwa ”yang dimaksud dengan dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang terkait”.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 189
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
17. Pasal 75 – Pasal 76 - - - - Tetap
18. Pasal 77
(1) Selain penyelenggaraan RUPS
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, RUPS dapat juga
dilakukan melalui media
telekonferensi, video konferensi,
atau sarana media elektronik
lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling
melihat dan mendengar secara
langsung serta berpartisipasi
dalam rapat.
(2) Persyaratan kuorum dan
persyaratan pengambilan
keputusan adalah persyaratan
sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini dan/atau
sebagaimana diatur dalam
anggaran dasar Perseroan.
(3) Persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan keikutsertaan
peserta RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
D3
D4
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Keseimbangan,
Keserasian dan
Keselarasan
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir, Tegas,
Jelas
Adanya
ketentuan yang
mengedepanka
n fungsi
kepentingan
umum
Pasal 77 UUPT telah mengatur mengenai penyelenggaraan RUPS
yang juga dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video
konferensi atau sarana media elektronik lainnya yang
memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Setiap penyelenggaraan RUPS dengan cara tersebut harus
dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh
semua peserta RUPS. Yang dimaksud dengan “disetujui dan
ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik
atau elektronik (Penjelasan pasal 77 ayat (4) UUPT). Tanda
tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait
dengan informasi elektonik lainnya yang digunakan sebagai alat
verifikasi dan autentikasiSelanjutnya, Pasal 77 ayat (3) UUPT
menetapkan persyaratan kuorum dan pengambilan keputusan
di mana semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar
serta berpartisipasi dalam rapat. Dalam praktik, pelaksanaan
ketentuan ini menjadi perdebatan di kalangan notaris yang
masih menggunakan sistem penghadap menghadap secara fisik
dan membubuhkan tanda tangan dan parafnya dengan tinta
basah serta kewajiban membubuhkan sidik jari pada minuta akta
notaris.
Pasal 77 UU PT secara rumusan norma tidak jelas dan dapat
menyebabkan multi tafsir dikarenakan tidak secara tegas
dinyatakan dalam norma sebagaimana dimaksi dalam Pasal 77
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 190
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dibuatkan risalah rapat
yang disetujui dan ditandatangani
oleh semua peserta RUPS.
Penjelasan
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “disetujui
dan ditandatangani” adalah
disetujui dan ditandatangani
secara fisik atau secara elektronik.
ayat (4) mengenai persetujuan dan penandatanganan secara
elektronik. Tidak adanya rumusan norma yang tegas
menyatakan, ketentuan ini menimbulkan multi tafsir apakah
diwajibkan atau tidak, hal ini mengingat secara ilmu perundang-
undangan menyatakan bahwa Penjelasan tidak boleh memuat
norma. Akibatnya ketentuan Pasal 77 ini menimbulkan
permasalahan dalam prakteknya.
Oleh karena itu, untuk efektivitas pelaksanaan ketentuan Pasal
77 perlu secara tegas merujuk kepada Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Eelektronik. Hal ini sudah menjadi
kebutuhan dunia usaha di zaman globalisasi sesuai dengan
perkembangan teknologi. Ketegasan pengaturan yang demikian
dapat memberi kepastian hukum bahwa akta notaris yang
memuat berita acara RUPS adalah alat bukti otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, tanpa
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 yang mengatur tentang Jabatan Notaris
(Undang-Undang Jabatan Notaris).
19. Pasal 78 – Pasal 87 - - - - Tetap
20. Pasal 86
(1) RUPS dapat dilangsungkan jika
dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu
perdua) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara
hadir atau diwakili, kecuali
D1 Pelaksanaan
Putusan MK
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (9) UU PT
ini mengandung potensi disharmoni, dikarenakan adanya
ketentuan yang dinilai dari aspek ketentuan yang ada
menyebabkan permasalahan terkait dengan kewajiban yang tidak
mungkin dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk
melaksanakan RUPS kedua dan ketiga yang dilangsungkan dalam
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 191
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Undang-Undang dan/atau
anggaran dasar menentukan
jumlah kuorum yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak tercapai, dapat diadakan
pemanggilan RUPS kedua.
(3) Dalam pemanggilan RUPS
kedua harus disebutkan bahwa
RUPS pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai
kuorum.
(4) RUPS kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sah dan
berhak mengambil keputusan jika
dalam RUPS paling sedikit 1/3
(satu pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara
hadir atau diwakili, kecuali
anggaran dasar menentukan
jumlah kuorum yang lebih besar.
(5) Dalam hal kuorum RUPS kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak tercapai, Perseroan dapat
memohon kepada ketua
pengadilan negeri yang daerah
waktu 10 (sepuluh) hari setelah RUPS yang mendahuluinya.
Dalam perkara yang teregister nomor 84/PUU-XI/2013,
Mahkamah berpendapat bahwa jangka waktu paling cepat 10 hari
dan paling lambat 21 hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan adalah tidak mungkin dilakukan dalam hal
penentuan kuorum RUPS dilakukan berdasarkan penetapan
pengadilan negeri karena proses sidang pengadilan yang pasti
membutuhkan waktu. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian
hukum yang adil, Mahkamah perlu menentukan jangka waktu
yang wajar dan patut dalam hal pelaksanaan RUPS dilakukan
berdasarkan penetapan pengadilan. (Sumber
:http://www.mahkamahkonstitusi.go.id)
Selengkapnya amar putusan Mahkamah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 86 ayat (9) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756) yang menyatakan, “RUPS kedua dan
ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10
(sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah
RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan
dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 192
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
hukumnya meliputi tempat
kedudukan Perseroan atas
permohonan Perseroan agar
ditetapkan kuorum untuk RUPS
ketiga.
(6) Pemanggilan RUPS ketiga
harus menyebutkan bahwa RUPS
kedua telah dilangsungkan dan
tidak mencapai kuorum dan RUPS
ketiga akan dilangsungkan dengan
kuorum yang telah ditetapkan
oleh ketua pengadilan negeri.
(7) Penetapan ketua pengadilan
negeri mengenai kuorum RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(8) Pemanggilan RUPS kedua dan
ketiga dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum RUPS kedua atau ketiga
dilangsungkan.
(9) RUPS kedua dan ketiga
dilangsungkan dalam jangka
waktu paling cepat 10 (sepuluh)
hari dan paling lambat 21 (dua
lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan atau dalam hal RUPS dilaksanakan berdasarkan
penetapan pengadilan negeri jangka waktu tersebut adalah paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah diperolehnya penetapan
pengadilan negeri”;
1.2. Pasal 86 ayat (9) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756) yang menyatakan, “RUPS kedua dan
ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10
(sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah
RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan” tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “RUPS kedua
dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10
(sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah
RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan atau dalam hal RUPS
dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri jangka
waktu tersebut adalah paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
setelah diperolehnya penetapan pengadilan negeri”;
1.3. Terhadap hasil RUPS yang dilakukan berdasarkan
penetapan pengadilan negeri dan telah melewati jangka waktu
yang ditentukan Pasal 86 ayat (9) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756) sebelum adanya putusan
Mahkamah ini dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 193
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
puluh satu) hari setelah RUPS yang
mendahuluinya dilangsungkan.
Asasi Manusia paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah
putusan Mahkamah ini;
Berdasarkan permasalahan praktikal yang ada, seharusnya
rumusan norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 UUPT ini
dirumuskan secara rasional guna memberikan jaminan
perlindungan hukum dan memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat. Hal ini sesuai dengan asas materi muatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf J UU 12 Tahun 2011 yang
menyatakan setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan negara. Serta asas kepastian hukum, bahwa materi
muatan peraturan harus mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, serta bermuatan
keadilan secara proporsional sebagaimana dinyatakan dalam asas
keadilan.
Hal ini dapat berdampak jika ketentuan ini dilaksanakan akibatnya
akan berdampak menyulitkan para pihak dalam perseroan untuk
mengimplementasikan ketentuan ini.
21. Pasal 87 – Pasal 141 - - - - Tetap
22. Pasal 143 – Pasal 145 - - - - Tetap
23. Pasal 142 Ayat 2:
Pasal 146
D5 Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Pengaturan
dalam
peraturan
masih belum
Pasal 142 ayat (3) berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Pasalnya, ketika direksi bertindak selaku likuidator, dapat
dipastikan apa yang dilakukan direksi adalah menyelamatkan harta
kekayaan perseroan agar tidak merugi.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 194
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dilaksanakan
secara efektif.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (3) dan
Pasal 146 ayat (2) ini menunjukan bahwa kedudukan direksi selaku
likuidator dalam proses likuidasi perusahaan yang pada saat
bersamaan sedang mengalami pailit dapat menimbulkan adanya
pertentangan di dalam melaksanakan pemberesan serta
melakukan pembagian harta perseroan kepada para kreditor yang
ada, hal ini berdampak kepada pemberesan yang ada.
24. Pasal 147 – Pasal 161 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 195
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank
Peraturan Pemerintah No. 25/1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran,
dan Likuidasi Bank merupakan PP yang dibuat dalam rangka mengakomodasi
pengaturan pembubaran dan likuidasi bank ketika proses pemulihan krisis 1998. PP ini
merupakan turunan dari UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan UU No. 10/1998. Dalam perjalanannya, sehubungan dengan pencabutan izin
dan likuidasi bank, terdapat peran Bank Indonesia (yang kemudian diambil alih OJK),
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (yang kemudian dibubarkan), dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Hadirnya UU No. 1/2011 tentang OJK dan UU No. 24/2004
tentang LPS sebagaimana diubah dengan UU No. 7/2009 menjadikan soal pencabutan
izin berada pada tangan OJK dan likuidasi bank berada pada tangan LPS.
Dinamika perubahan regulasi ini tentu saja berpengaruh terhadap kehadiran PP
No. 25/1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank dimana
terdapat pasal yang sudah tidak relevan lagi dalam kaitan dengan kewenangan
pencabutan izin usaha dan model likuidasinya. Hanya saja, hasil perbandingan antara
PP ini dan UU LPS menunjukkan satu irisan bahwa terbuka peluang bagi pemegang
saham bank untuk mencabut izin usaha atas permintaan sendiri dan melakukan
likuidasi.
Pengaturan dalam PP ini sebetulnya dapat diganti untuk menuju arah tersebut
tanpa bertentangan dengan UU LPS dan peraturan pelaksananya terkait dengan
likuidasi bank.
Atas dasar dinamika dan perubahan inilah, analisa dan evaluasi atas PP 25/1999
dilakukan dalam rangka mengusulkan penggantian atau pencabutan PP ini dengan
peraturan yang baru dan akomodatif.
Temuan yang signfikan terkait dengan analisa dan evaluasi PP No. 25/1999 ini
adalah sebagai berikut:
1. Sudah ada UU OJK dan LPS yang mengatur soal kewenangan pencabutan izin usaha
bank dan pengambilalihan bank oleh LPS secara sepihak dalam rangka
penyelamatan bank gagal terutama yang berdampak sistemik. Adanya kehadiran
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 196
dua UU ini sangat berpengaruh kepada PP ini. Bahkan dari sisi judul, PP ini
sebaiknya dicabut oleh UU dan kemudian diserahkan kepada OJK dan LPS serta
judulnya menyesuaikan diri khususnya terkait pencabutan izin dan likuidasi bank
atas permintaan sendiri.
2. Atas dasar temuan nomor 1 di atas, ketentuan likuidasi dalam PP ini yang
berdimensi dua sisi yaitu sisi likuidasi atas permintaan sendiri dan penanganan
oleh Bank Indonesia sebaiknya dirombak dan agar lebih memberikan kepastian
hukum, dua dimensi ini mulai dipisahkan dan hanya berdimensi yang satu yaitu
pelaksanaan likuidasi atas permintaan sendiri.
Sehubungan dengan hasil analisa dan evaluasi terhadap PP ini, maka rekomendasi
yang bisa diberikan adalah berupa pencabutan PP ini dengan UU Perbankan yang baru.
UU Perbankan baru memberikan kewenangan pengaturan kepada OJK dan/atau LPS.
Secara spesifik, rekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan judul baru dengan mengarah kepada pencabutan izin usaha atas
permintaan sendiri dan likuidasi atas permintaan sendiri;
2. OJK membuat pengaturan pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri secara
lebih spesifikl; dan
3. LPS memuat pengaturan likuidasi bank atas permintaan pemegang saham sendiri
secara lebih detail;
4. Pembuatan UU Perbankan yang baru yang kemudian mencabut PP ini di ketentuan
penutupnya.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 197
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
Tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran Dan Likuidasi Bank
D1
D2
- - UU No. 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
sebagaimana diubah dengan UU No. 7/2009 sudah mengatur
mengenai ketentuan likuidasi bank yang dilakukan oleh LPS. PP ini
sebaiknya hanya mengatur soal pencabutan izin dan likuidasi oleh
pemegang saham sendiri, dimana dalam UU LPS diberikan ruang
untuk itu. Oleh karena demikian, judul dari PP ini sebaiknya
diubah.
Mencabut PP in dan
mengalihkan pengaturan
kepada OJK.
Mengubah judul dan
menyesuaikan dengan
pengaturan pencabutan izin
bank oleh OJK dan likuidasi
oleh LPS.
2. Dasar Mengingat angka 2:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1968 tentang Bank Sentral
(Lembaran Negara Tahun 1968
Nomor 63, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2865)
D2 - - UU No. 13 Tahun 1968 sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah
terakhir dengan UU No. 6/2009
Ubah
3. Dasar Menimbang angka 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas
D2
D5
- - UU No. 1 Tahun 1995 sudah tidak berlaku lagi dan diganti
dengan UU No. 40/2007.
Perlu menambahkan UU No. 24/2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan UU No.
7/2009.
Perlu menambahkan juga UU No. 21/2008 tentang Perbankan
Syariah sebagai salah satu dar mengingat.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 198
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
4. Pasal 1 angka 3
Kreditur adalah setiap pihak yang
memiliki piutang atau tagihan
kepada bank, termasuk nasabah
penyimpan dana;
D3
Definisi
Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Jelas
Perlu menambahkan Nasabah Penyimpan dan Nasabah
Investor sesuai dengan UU Perbankan Syariah, mengingat
bahwa kreditur lebih melekat istilahnya kepada orang
berpiutang yang dikembalikan utangnya disertai dengan
bunga. Hal mana tentu saja tidak cocok dengan perbankan
dengan prinsip syariah.
Definisi nasabah penyimpan dan nasabah investor dapat
mengadopsi dari UU Perbankan Syariah.
Ubah
5. Pasal 2 D1 - - Konten pengaturannya tidak cocok diatur dalam PP ini soal kehati-
hatian dalam pemberian kredit dan kewajiban pemeliharaan
kesehatan bank.
Cabut
6. Pasal 3 D2
D5
Kewenangan
Aspek
operasional
atau tidaknya
peraturan
Adanya
pengaturan
yang sama
dengan
lembaga yang
berbeda
Pengaturan
dalam
peraturan
masih belum
dilaksanakan
secara efektif.
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia
Istilah merger dan konsolidasi sebaiknya diganti dengan
penggabungan dan peleburan agar konsisten dengan UU No.
40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pasal 3 sebaiknya hanya mengatur pencabutan izin usaha atas
permintaan pemegang saham bank saja.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 199
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
7. Pasal 4 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
8. Pasal 5 ayat (2)
Calon anggota Tim Likuidasi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Ubah
9. Pasal 6 D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
Sebaiknya ada juga intervensi OJK untuk menentukan
persyaratan tim likuidasi sehingga tidak ada main mata antara
Bank dan calon tim likuidasi.
Perlu pengaturan kondisi dan
syarat tim likuidasi.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 200
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Ke depannya, jika PP ini hendak diubah, maka harus
mengharmonisasikan diri dengan Peraturan LPS yang berkaitan
dengan likuidasi bank sehingga bisa kelihatan jelas batas antara
likuidasi atas permintaan sendiri atau yang diambil alih oleh
LPS.
10. Pasal 7 D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Konsisten antar
ketentuan
Di satu sisi direksi komisaris dan pemegang saham tidak boleh,
namun disisi lain dibolehkan. Sebaiknya tidak boleh sama sekali
saja agar independen. Mereka cukup menjadi informan untuk
likuidasi.
Perubahan pasal yang
menghilangkan unsur direksi,
komisaris dan pemegang
saham sebagai tim likuidasi.
11. Pasal 8 D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Dengan berkembangnya teknologi dan dinamika perubahan
regulasi, ketentuan pembubaran badan hukum menyesuaikan
dengan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan regulasi
terkait sistem administrasi badan hukum.
UBAH.
12. Pasal 9
Pengawasan atas pelaksanaan
pembubaran badan hukum dan
likuidasi bank dilakukan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Perubahan pasal soal
kewenangan yang beralih ke
OJK.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 201
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
oleh lembaga
yang berbeda
13. Pasal 10 - - - - Tetap
14. Pasal 11
(2) Sebelum likuidasi selesai,
anggota direksi dan anggota
dewan komisaris bank yang
bersangkutan tidak
diperkenankan untuk
mengundurkan diri, kecuali
dengan persetujuan Bank
Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Perubahan pasal soal
kewenangan yang beralih ke
OJK.
15. Pasal 12 – Pasal 14 - - - - Tetap
16. Pasal 15
Dalam anggota Tim Likuidasi yang
dibentuk berdasarkan Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 6 karena sesuatu hal
tidak dapat menjalankan tugas
dengan baik dan atau terbukti
melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, Bank Indonesia
memberhentikan yang
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Perubahan pasal soal
kewenangan yang beralih ke
OJK.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 202
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
bersangkutan dan menunjuk
penggantinya.
17. Pasal 16 - - - - Tetap
18. Pasal 17 ayat (1) D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Ada perbedaan perlakuan likuidasi (bank) dan kepailitan
perusahaan, dimana internal didahulukan seperti gaji karyawan.
Ini konsisten sebetulnya dengan hasil putusan MK soal upah
tenaga kerja di perusahaan pailit, meskipun keterkaitannya tidak
langsung.
Tetap
19. Pasal 18
(2) Honor Tim Likuidasi yang
termasuk salah satu komponen
dalam biaya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan berpedoman
pada ketentuan yang ditetapkan
Bank Indonesia.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Sekarang sudah OJK bukan lagi Bank Indonesia Perubahan pasal soal
kewenangan yang beralih ke
OJK.
20. Pasal 19
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
Bank Indonesia diganti dengan OJK sehubungan dengan
beralihnya kewenangan.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 203
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Kemudian untuk pencoretan dari Daftar Perusahaan, pengaturan
ini mesti menyesuaikan diri dengan perkembangan kementerian
mana yang mempunyai kewenangan terkait daftar perusahaan.
21. Pasal 20 D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
Bank Indonesia diganti dengan OJK sehubungan dengan
beralihnya kewenangan.
Ubah
22. Pasal 21 - - - - Tetap
23. Pasal 22
(4) Dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) Bank Indonesia
membentuk Tim Penyelesai yang
memiliki hak, kewajiban dan
kewenangan sepert halnya Tim
Likuidasi.
D2 Kewenangan Adanya
pengaturan
mengenai
kewenangan
yang sama pada
2 (dua) atau
lebih peraturan,
tetapi
Bank Indonesia diganti dengan OJK sehubungan dengan
beralihnya kewenangan.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 204
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
dilaksanakan
oleh lembaga
yang berbeda
24. Pasal 23 – Pasal 30 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 205
12. Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
Dengan ditandatanganinya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
untuk melaksanakan salah satu ketentuan pasalnya yaitu Pasal 97 maka dikeluarkanlah
PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa
kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencpaian penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. Penghasilan yang layak sebagaimana
dimaksud merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja atau buruh dari
hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya secara
wajar.12
Temuan yang signfikan terkait dengan analisa dan evaluasi PP ini adalah perlunya
harmonisasi antara ketentua dalam Pasal 38 PP Pengupahan dengan Pasal 21 jo Pasal
22 huruf b UU KPKPU.
Sehubungan dengan hasil analisa dan evaluasi terhadap PP ini, maka rekomendasi
yang bisa diberikan adalah tetap mempertahankan PP ini dengan memperhatikan
ketentuan UU Kepailitan dan PKPU dalam hal adanya kepailitan baik terhadap pemberi
kerja maupun pekerja/buruh itu sendiri.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
12 http://setkab.go.id/inilah-peraturan-pemerintah-nomor-78-tahun-2015-tentang-pengupahan/ akses
tanggal 29 Oktober 2018
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 206
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 1 - - - - Tetap
2. Pasal 2:
Hak Pekerja/Buruh atas Upah
timbul pada saat terjadi Hubungan
Kerja antara Pekerja/Buruh
dengan Pengusaha dan berakhir
pada saat putusnya Hubungan
Kerja.
D2 Hak Pengaturan
mengenai hak
yang berpotensi
disharmoni
dengan
ketentuan UU
Kepailitan dan
PKPU
1. PP ini menyatakan bahwa upah dan hak-hak lain dari Pekerja
merupakan hutang yang didahulukan, sementara UU Kepailitan
tidak menjelaskan peringkat Upah Pekerja berada diatas
Kreditor separatis atau Pajak. Untuk itu sebaiknya dalam ubah
UU Kepailitan dapat diperjelas peringkat tagihan upah buruh.
2. PP ini tidak mengatur tentang bagaimana posisi karyawan dalam
PKPU sementara dalam UU Kepailitan dinyatakan Debitor
berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
karyawannya segera setelah diucapkannya putusan penundaan
kewajiban pembayaran utang sementara.
Tetap
3. Pasal 3 – Pasal 36 - - - - Tetap
4. Pasal 37 D3 Penggunaan
bahasa, istilah,
kata
Tidak
menimbulkan
ambiguitas/mul
titafsir, Jelas
Ketentuan pasal ini menegaskan mengenai kedudukan upah
pekerja sebagai yang didahulukan pembayarannya. Namun
ketentuan “hak-hak lainnya” perlu diperjelas apa yang dimaksud
dengan hak-hak lainnya ini. Dalam penjelasan pasal hanya
disebutkan cukup jelas. Selain itu, dalam ayat 3 disebutkan
pembayaran terhadap hak-hak lain ini setelah pembayaran
kreditur separatis, apakah demikian kedudukannya sebagai
tagihan konkuren?
Ubah Penjelasan Pasal
5. Pasal 38 D2 Hak Pengaturan
mengenai hak
yang berpotensi
Pasal ini menyebutkan jika Pekerja pailit maka Upah dan segala
pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk
dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan
Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 207
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
disharmoni
dengan
ketentuan UU
Kepailitan dan
PKPU
ketentuan tidak melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari Upah
dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja yang
harus dibayarkan. Ketentuan ini berpotensi tumpang tindih
dengan Pasal 21 jo Pasal 22 huruf b UU KPKPU, dimana kepailitan
meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan kecuali terhadap segala sesuatu yang diperoleh Debitor
dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan
atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang
tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas.
Sehingga ketentuan Pasal 38 harus diselaraskan dengan ketentuan
Pasal 22 huruf b UU KPKPU terkait dengan ketentuan tidak
melebihi 25% dari upah/pembayaran lainnya.
6. Pasal 39 – Pasal 66 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 208
13. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Perhitungan Jumlah Hak
Suara Kreditor
PP ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 87 ayat (3) UU Kepailitan dan
PKPU, dimana penghitungan suara kreditor berpedoman pada jumlah piutang
kreditor. Berdasarkan analisa dan evaluasi, tidak ada permasalahan terhadap
implementasi PP ini baik dari sisi rumusan maupun sisi tumpang tindih dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Sehingga peraturan ini masih dapat tetap
dipertahankan keberlakuannya
14. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan
Pailit untuk Kepentingan Umum
PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU tentang Kepailitan.
PP ini pada dasarnya mengatur mengenai kewenangan kejaksaan mengajukan
kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap
seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada
pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan
permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum.
Pada umumnya, tidak ada peraturan yang standar dan baku mengenai kepentingan
umum yang menjadi wewenang kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan.
Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan batasan singkat
mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya debitor
melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan, debitor mempunyai
utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun
dana dari masyarakat, debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana
dari masyarakat luas, debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo dan dalam hal lainnya
menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 209
Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi terhadap ketentuan dalam PP ini, dapat
direkomendasikan untuk mencabut PP ini karena secara garis besar dengan melihat
struktur dan substansi yang diatur dalam PP ini dimana hanya terdiri dari 3 pasal dan
substansi ketiga pasal tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU Kepailitan Tahun
2004. Tidak ada substansi yang berbeda antara yang diatur dalam PP ini dengan UU
KPKPU Tahun 2004. Selain itu, lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU
Kepailitan Tahun 2004 telah dijelaskan untuk tata cara pengajuan permohonan pailit
adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh Debitor atau Kreditor,
dengan ketentuan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa
menggunakan jasa advokat.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 210
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1 - D1 - - PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4
Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998
tentang perubahan atas UU tentang Kepailitan.
Terhadap dasar menimbang ini, telah ada perubahan atas UU
kepailitan yang berlaku saat ini adalah UU No.37 Tahun 2004. Di
dalam UU Kepailitan Tahun 2004, ketentuan mengenai
permohonan pailit yang diajukan oleh kejaksaan diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) yang menybutkan bahwa Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh
kejaksaan untuk kepentingan umum.
Penjelasan pasal menyebutkan:
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan
untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada
pihak yang mengajukan permohonan pailit. Yang dimaksud
dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan
negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: a.
Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari
harta kekayaan; c. Debitor mempunyai utang kepada Badan
Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun
dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai utang yang
berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e.
Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu;
Secara struktur dan substansi PP
ini lebih tepat jika diatur dalam
bentuk peraturan yang lebih
rendah seperti Peraturan Jaksa
Agung
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 211
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
atau f. dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum. Adapun tata cara pengajuan permohonan
pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan
oleh Debitor atau Kreditor, dengan ketentuan bahwa
permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa
menggunakan jasa advokat.
2 Pasal 1:
Wewenang Kejaksaan untuk
mengajukan permohonan
pernyataan pailit adalah untuk dan
atas nama kepentingan umum
D2 Tumpang
Tindih
Pengaturan
Dalam UU Kepailitan yang terakhir yaitu UU No. 37 Tahun 2004
dalam Pasal ayat (2) disebutkan bahwa Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk
kepentingan umum.
Ketentuan dalam pasal ini telah sejalan dengan ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (2) UU kepailitan Tahun 2004.
Secara garis besar dengan
melihat struktur dan substansi
yang diatur dalam PP tersebut
dimana secara struktur yang
hanya terdiri dari 3 pasal dan
substansi ketiga pasal tersebut
telah diatur dalam UU Kepailitan
Tahun 2004, maka PP ini
diusulkan untuk dicabut.
Dimana dalam Penjelasan Pasal
2 ayat (2) UU Kepailitan Tahun
2004 telah dijelaskan untuk tata
cara pengajuan permohonan
pailit adalah sama dengan
permohonan pailit yang
diajukan oleh Debitor atau
Kreditor, dengan ketentuan
bahwa permohonan pailit dapat
diajukan oleh kejaksaan tanpa
menggunakan jasa advokat.
3
Pasal 2:
1) Permohonan pernyataan pailit
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 diajukan oleh Kejaksaan
kepada Pengadilan Niaga di
daerah tempat kedudukan
hukum debitor.
2) Kejaksaan dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit
dengan alasan kepentingan
umum, apabila:
a. debitor mempunyai 2 (dua)
atau lebih kreditor dan tidak
membayar sedikitnya 1 (satu)
D2 Tumpang
Tindih
Pengaturan
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan Tahun 2004
disebutkan bahwa: Kejaksaan dapat mengajukan permohonan
pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit.
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan
bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas,
misalnya: a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan
bagian dari harta kekayaan; c. Debitor mempunyai utang kepada
Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai
utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat
luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu;
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 212
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih; dan
b. tidak ada pihak yang
mengajukan permohonan
pernyataan pailit.
atau f. dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum. Adapun tata cara pengajuan permohonan
pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh
Debitor atau Kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan
pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa menggunakan jasa
advokat.
4 Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku pada tanggal
diundangkan.
- - - -
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 213
15. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran,
Likuidasi dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah
Dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat, OJK
berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian terhadap konsumen dan
masyarakat. Salah satu hal yang menjadi perhatian OJK berkaitan dengan perlindungan
konsumen adalah pada saat lembaga jasa keuangan dicabut izin usahanya dan harus
dibubarkan. Pembubaran lembaga jasa keuangan yang telah dicabut izin usahanya
tersebut termasuk Perusahaan yang akan berpotensi menimbulkan masalah dan pada
akhirnya akan merugikan konsumen. Oleh karena itu perlu diciptakan mekanisme
mengenai pembubaran, liukuidasi dan kepailitan terhadap perusahaan-perusahaan
tersebut. Maka dibentuklah Peraturan OJK ini yang juga sebagai bentuk untuk
menjalankan amanat ketentuan Pasal 42 ayat (4), Pasal Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat
3), dan Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
Berdasarkan analisa dan evaluasi yang dilakukan terhadap POJK ini, pada pinsipnya
materi yang diatur dalam POJK ini telah sejalan dengan ketentuan UU KPKPU.
Termasuk mempertegas prosedur yang harus ditempuh kreditor jika hendak
mempailitkan perusahaan yang berada dibawah pengawasan OJK sebagaimana
ketentuan Pasal 52 POJK. Sehingga terhadap POJK ini direkomendasikan untuk tetap
dipertahankan. Namun perlu perubahan terhadap ketentuan Pasal 55 POJK dimana
OJK seharusnya menyiapkan forum sanggah/banding bagi kreditor atas penolakan
OJK. Hal ini sangat penting, mengingat hanya OJK yang dapat mengajukan upaya pailit
terhadap perusahaan tersebut, karenanya jika OJK menolak permintaan kreditor
karena subjektifitas penilaian/hak prerogatif OJK, maka ingin akan merugikan hak
kreditor untuk mengambil langkah pailit terhadap perusahaan.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 214
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran, Likuidasi dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1 Pasal 1 – Pasal 51 - - - - Tetap
2 Pasal 52 ayat (2):
Perusahaan tidak dapat
mengajukan permohonan
pernyataan pailit bagi dirinya
sendiri
D1 - - POJK ini adalah peraturan teknis terkait ketentuan Pasal 2 UUK
dan PKPU.
Hanya perlu penegasan saja, diketahui bahwa OJK adalah
perubahan wujud dari Bapepam (Meskipun kemudian menjadi
luas karena juga mengambil alih beberapa kewenangan Bank
Indonesia), namun terkait POJK ini, rupanya hanya mengambil alih
kewenangan Menteri Keuangan di Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU
(perusahaan asuransi), dan justru tidak mengatur dan mengambil
alih kewenangan Bapepam di Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU
(Perusahaan Efek dll).
Selebihnya materi yang diatur dalam POJK ini sejalan dengan
ketentuan UUK dan PKPU. Termasuk mempertegas prosedur yang
harus ditempuh kreditor jika hendak mempailitkan perusahaan
yang berada dibawah pengawasan OJK sebagaimana ketentuan
Pasal 52 POJK.
Peraturan ini sebaiknya:
1. Diubah dengan juga
mengambil alih juga
kewenangan BAPEPAM dalam
Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU
2. Diubah dengan menyiapkan
forum sanggah/banding atas
penolakan OJK terhadap
permohona kreditor.
3 Pasal 53 – Pasal 54 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 215
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
4 Pasal 55 ayat (3):
Dalam hal OJK menolak
permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), OJK
dapat:
a.menyarankan kepada Kreditor
untuk menyelesaikan sengketa
dengan Perusahaan melalui
lembaga alternatif penyelesaian
sengketa atau peradilan perdata;
b. memfasilitasi penyelesaian
sengketa di luar pengadilan secara
damai; atau
c. melakukan tindakan lainnya
yang dapat membantu
penyelesaian sengketa
D5 Aspek
Relevansi
dengan situasi
saat ini
Pengaturan
dalam
peraturan
masih relevan
untuk
diberlakukan
secara efisien.
Kelemahan POJK ini adalah tidak memberi ruang bagi kreditor
untuk menyanggah keputusan penolakan OJK untuk mempailitkan
perusahaan yang dimintakan oleh kreditor ke OJK (Pasal 55 ayat
(3) POJK).
Idealnya OJK menyiapkan forum sanggah/banding bagi kreditor
atas penolakan OJK. Hal ini sangat penting, mengingat hanya OJK
yang dapat mengajukan upaya pailit terhadap perusahaan
tersebut, karenanya jika OJK menolak permintaan kreditor karena
subjektifitas penilaian/hak prerogatif OJK, maka ingin akan
merugikan hak kreditor untuk mengambil langkah pailit terhadap
perusahaan.
Keputusan forum sanggah/banding diambil setelah mendengar
dan memeriksa langsung alasan dan dalil hukum kreditor.
Putusan forum sanggah/banding final and binding sehingga
menjadi cepat dan sederhana.
Ubah dengan menambahkan
ketentuan terkait memberi
ruang bagi kreditor untuk
menyanggah keputusan
penolakan OJK
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 216
16. Peraturan OJK Nomor 26/POJK.04/2017 Tentang Keterbukaan Infromasi bagi Emiten
atau Perusahaan Publik Yang dimohonkan Pailit
POJK ini lhir dalam rangka untuk memebrikan kejelasan dan kepastian terkait
dengan keterbukaan informasi bagi perusahaan publik yang dimohonkan pailit,
khususnya yang terkait sektor pasar modal. Selain itu perlu dilakukan konversi
peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar
modal menjadi Peraturan OJK karena adanya perubahan wujud Bapepam menjadi OJK.
Sehingga konversi ini diharpkan agar Peraturan OJK terkait pasar modal dapat berjalan
selaras dengan peraturan OJK sektor lainnya.
Berdasarkan analisa dan evaluasi terhadap pelaksanaan POJK ini pada prinsipnya
pengaturan dalm POJK ini telah selaras dengan asas keterbukaan informasi, dimana
pada salah satu ketentuannya mengatur agar setiap pelaku Pasar Modal yang
dimohonkan atau memohonkan pailit terhadap pelaku pasar modal harus
menyampaikan laporan kepada OJK sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan
dana publik. Oleh karena itu, terhadap POJK ini direkomendasikan tetap
dipertahankan.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 217
Peraturan OJK Nomor 26/POJK.04/2017 Tentang Keterbukaan Infromasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik Yang dimohonkan Pailit
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1 - D4 Kekeluargaan Adanya
ketentuan yang
menjamin akses
informasi publik
dalam proses
pengambilan
keputusan
Ketentuan di dalam POJK ini sejalan dengan asas keterbukaan
informasi yang dijalankan dengan baik di industri Pasar Modal.
Dimana diatur setiap pelaku Pasar Modal yang dimohonkan atau
memohonkan pailit terhadap pelaku pasar modal harus
menyampaikan laporan kepada OJK (Pasal 3 dan Pasal 4 POJK).
Hal ini dapat dipahami karena indutsri ini mengelola dana publik
sehingga keterbukaan informasi harus dijalankan dengan baik
Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 218
17. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan
atau Gijzeling
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 1964 dan No.2 Tahun 1975
telah memerintahkan kepada Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak
mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai "gijzeling". Gijzeling yang diatur
dalam Pasal 209-224 Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB/HIR) dan Pasal 242-258
RBg (luar Jawa dan Madura) dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan.
Pelaksanaan SEMA ini menjadikan MA pada saat itu dinilai menghambat pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana diamanatkan Pasal 24 dan 25 UUD
1945 serta Pasal 27 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970.13
Kemudian lahir PERMA No.1 Tahun 2000 yang mencabut kedua SEMA di atas
sehingga dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar pertimbangannya, pembekuan lembaga
gijzeling dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam
rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa.
Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi terhadap Perma, ditemukan beberapa
kelemahan atau kekurangan Perma tersebut yang mengakibatkan Perma belum dapat
dilaksanakan dengan efektif. Sehingga terhadap Perma ini direkomendasikan untuk
dilakukan beberapa perubahan terhadap ketentuan pasalnya.
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
13 https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2415/proporsionalitas-lembaga-paksa-badan, akses
tanggal 9 Oktober 2018
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 219
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan atau Gijzeling
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. - D1 - - Pasal 79 UU Mahkamah Agung:
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang
ini”.
Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011:
“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung.......”.
Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor:
57/KMA/SK/IV/2016:
“Peraturan Mahkamah Agung adalah peraturan yang berisi
ketentuan bersifat hukum acara”.
Sudikno Mertokusumo:
“Hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil dengan
perantaraan hakim, yang kongkritnya mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutuskannya dan pelaksanaan dari putusan tersebut.” Perma
1/2000 adalah pengaturan lebih lanjut atas HIR dan RBG (vide
Konsiderans Menimbang dan Mengingat Perma 1/2000).
Tetap
2. Pasal 1 – Pasal 2 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 220
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
3. Pasal 3 Ayat (1):
Paksa Badan tidak dapat
dikenakan terhadap debitur yang
beritikad tidak baik yang telah
berusia 75 tahun.
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
Pasal ini membatasi pengenaan paksa badan hanya atas debitur
yang berusia di bawah 75 tahun.
UU 37/2004 tidak membatasi usia debitur untuk dilakukan paksa
badan. Oleh karena itu, Perma 1/2000 telah melakukan
penyempitan norma paksa badan berkaitan dengan usia debitur.
Ini adalah salah satu bentuk konflik norma.
Ubah
4. Pasal 3 ayat (2):
Paksa Badan dapat dikenakan
terhadap ahli waris yang telah
menerima warisan dari debitur
yang beritikad tidak baik.
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
Pasal ini menyatakan bahwa paksa badan dapat dikenakan
terhadap ahli waris yang telah menerima warisan debitur.
UU 37/2004 tidak mengatur bahwa paksa badan dapat dijatuhkan
kepada ahli waris. Oleh karena itu, Perma 1/2000 telah melakukan
perluasan norma paksa badan yang meliputi juga ahli waris. Ini
adalah bentuk konflik norma.
Ubah
5. Pasal 4:
Paksa Badan hanya dapat
dikenakan pada debitur yang
beritikad tidak baik yang
mempunyai hutang sekurang-
kurangnya Rp. 1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah)
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
Pasal ini membatasi jumlah hutang yang dapat dilaksanakan paksa
badan adalah minimal satu miliar rupiah.
UU 37/2004 tidak membatasi jumlah hutang untuk dilakukan
paksa badan. Oleh karena itu, Perma 1/2000 telah melakukan
penyempitan norma paksa badan berkaitan dengan jumlah hutang
minimal satu miliar rupiah. Ini adalah bentuk konflik norma.
Ubah
6. Pasal 5:
Paksa Badan ditetapkan untuk 6
(enam) bulan lamanya, dan dapat
diperpanjang setiap 6 (enam)
bulan dengan keseluruhan
maksimum selama 3 (tiga) tahun.
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
Pasal ini mengatur bahwa paksa badan ditetapkan untuk 6 (enam)
bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan
dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun.
Sedangkan Pasal 93 ayat (3) dan (4) UU 37/2004 menyatakan:
(3) Masa penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan
dilaksanakan.
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 221
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
(4) Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), atas usul Hakim Pengawas atau atas permintaan Kurator atau
seorang Kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim
Pengawas, Pengadilan dapat memperpanjang masa penahanan
setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Dengan demikian, jelas terdapat konflik norma dalam pengaturan
tentang masa paksa badan antara UU 37/2004 dengan Perma
1/2000.
7. Pasal 6 – Pasal 7 - - - - Tetap
8. Pasal 8:
Pelaksanaan Paksa Badan
dilakukan oleh Panitera/Jurusita
atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri, bilamana perlu dengan
bantuan Alat Negara.
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
Pasal ini mengatur bahwa “pelaksanaan paksa badan dilakukan
oleh Panitera/Jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri,
bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara”.
Sedangkan Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU 37/2004 menyatakan:
(1) Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu
setelah itu, atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator, atau
atas permintaan seorang Kreditor atau lebih dan setelah
mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya
Debitor Pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara
maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
(2) Perintah penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
Dengan demikian, jelas terdapat konflik norma antara UU 37/2004
dengan Perma 1/2000, dimana dalam UU 37/2004 pelaksana
paksa badan adalah Jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas,
Ubah
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 222
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
sedangkan dalam Perma 1/2000 pelaksananya adalah
Panitera/Jurusita yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan.
7. Pasal 9 ayat (1):
Biaya selama debitur yang
beritikad tidak baik menjalani
Paksa Badan, dibebankan kepada
pemohon Paksa Badan.
D2 Penegakan
Hukum
Ada Pengaturan
mengenai aspek
penegakan
hukum yang
tidak konsisten
Pasal ini menyatakan bahwa “biaya selama debitur yang beritikad
tidak baik menjalani Paksa Badan, dibebankan kepada pemohon
Paksa Badan”.
Sedangkan Pasal 93 ayat (5) UU 37/2004 menyatakan:
“Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang
harta pailit”.
Dengan demikian, jelas terdapat konflik norma antara UU 37/2004
dengan Perma 1/2000 dalam hal biaya paksa badan.
Ubah
7. Pasal 10 – Pasal 11 - - - - Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 223
18. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi
dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang di Pengadilan
SEMA ini lahir sebagai pedoman atau standar alur kerja baku dalam perkara
kepailitan dan PKPU di lingkungan Pengadilan Niaga. Dalam SEMA ini ditegaskan
bahwa Hakim Pengawas berwenang atas permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan, untuk memanggil dan meminta penjelasan kurator, memberikan
teguran tertulis kepada kurator dengan tembusan kepada organisasi kuartor dan
Menteri Hukum dan HAM serta mengusulkan penggantian kurator kepada Majelis
Hakim Niaga.
Dari hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan terhadap SEMA ini maka
direkomendasikan untuk tetap dipertahankan dengan memperhatikan beberapa
pertimbangan berikut:
a. Mengenai keharmonisan pengaturan tentang penyampaian jadwal rapat kerja dan
transparansi informasi pemberesan budel pailit dalam SEMA 2/2016 dengan
pengaturan tentang kewajiban kurator kepada hakim pengawas dalam UU KPKPU
b. Mencabut ketentuan II.2 untuk dimasukkan ke dalam revisi UU Kepailitan dan
diatur lebih lanjut dalam PERMA
Secara umum, dari hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan terhadap undang-
undang ini maka perlu ditindaklanjuti dengan:
- Harmonisasi pengaturan tentang penyampaian jadwal rapat kerja dan transparansi
informasi pemberesan budel pailit dalam SEMA 2/2016 dengan pengaturan
tentang kewajiban kurator kepada hakim pengawas dalam UU KPKPU
- Mencabut ketentuan II.2 untuk dimasukkan ke dalam revisi UU Kepailitan dan
diatur lebih lanjut dalam PERMA
Lebih detail mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada
tabel di bawah ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 224
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1 Ketepatan Jenis PUU D1 - - Merupakan kebijakan Mahkamah Agung guna menyelesaikan
permasalahan saat peraturan perundang-undangan tidak
mengatur atau tidak jelas. Biasa disebut juga dengan diskresi atau
ermessen. Apabila diwujudkan dalam instrumen hukum tertulis,
diskresi ini disebut sebagai Peraturan Kebijakan (beleidsregels,
pseudowetgeving, policy rules). Salah satu bentuk Peraturan
Kebijakan tersebut adalah circulaires (Surat Edaran). Meski bukan
peraturan perundang-undangan, lazimnya SEMA diikuti oleh
aparatur peradilan, karena disamping secara ideal SEMA
diterbitkan setelah melalui pembahasan mendalam oleh
Mahkamah Agung guna menyelesaikan permasalahan yang
terjadi, secara pragmatis semua sengketa pada akhirnya akan
berujung juga di Mahkamah Agung. Pasal 32 UU Mahkamah
Agung: “Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk,
teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan
peradilan yang berada di bawahnya.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016,
Surat Edaran Mahkamah Agung adalah “bentuk edaran pimpinan
Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi
bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat
Tepat untuk diatur dalam UU
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 225
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
administrasi dan juga memuat pemberitahuan tentang hal
tertentu yang dianggap penting dan mendesak”.
Angka I.1 SEMA Nomor 2 Tahun 2016 berisi penjabaran alur proses
dan jangka waktu penanganan perkara, yang merujuk UU
Kepailitan. Penjabaran alur proses dan jangka waktu penanganan
perkara tersebut sangat baik, sehingga akan tercapai tenggat
waktu penyelesaian perkara sebagaimana dikehendaki oleh UU
Kepailitan.
2 - D2 - - Ketentuan Angka I.2 dan Angka I.3 SEMA 2/2016 pada pokoknya
menyatakan bahwa Hakim Pengawas berwenang memerintahkan
Kurator untuk menyampaikan jadwal kerja pada rapat kreditur,
dan apabila pemberesan budel pailit berlarut-larut dan tidak
sesuai dengan jadwal kerja yang disampaikan pada rapat kreditur
tersebut, maka Hakim Pengawas berwenang untuk memangggil
dan meminta penjelasan Kurator, memberikan teguran tertulis
kepada Kurator, hingga mengusulkan penggantian kurator kepada
Majelis Hakim Niaga.
Ketentuan senada dijumpai dalam angka II.3 SEMA 2/2016 yang
pada pokoknya menyatakan bahwa dalam rangka menjamin
transparansi pemberesan budel pailit, Hakim Pengawas
berwenang meminta informasi mengenai status dan
perkembangan pemberesan tersebut kepada kurator, dan apabila
informasi tersebut tidak disediakan maka Hakim Pengawas
berwenang untuk memangggil dan meminta penjelasan Kurator,
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 226
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
memberikan teguran tertulis kepada Kurator, hingga mengusulkan
penggantian kurator kepada Majelis Hakim Niaga.
Kedua ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada
Hakim Pengawas untuk memangggil, meminta penjelasan,
meminta informasi kepada Kurator, hingga mengusulkan
penggantian kurator berkaitan dengan tidak dipenuhinya jadwal
rapat kerja dan transparansi pemberesan budel pailit. Kedua
ketentuan dalam SEMA 2/2016 ini sangat baik, karena akan
mewujudkan penanganan dan penyelesaian perkara kepailitan
secara optimal. Meski demikian, kewenangan Hakim Pengawas
berkaitan dengan penyampaian jadwal rapat kerja dan
transparansi informasi pemberesan budel pailit tidak disebut
dalam UU Kepailitan. UU Kepailitan hanya menyebutkan
kewajiban Kurator kepada Hakim Pengawas yang berkaitan
dengan laporan/informasi hanyalah menyampaikan laporan
mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan:
“Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas
mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3
(tiga) bulan”.
Sampai pada titik ini, yang menjadi permasalahan adalah: “apakah
pengaturan tentang penyampaian jadwal rapat kerja dan
transparansi informasi pemberesan budel pailit dalam SEMA
2/2016 sudah tepat?”
Untuk menjawab permasalahan tersebut, setidaknya ada dua
pandangan:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 227
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Pertama, yang menganggap pengaturan tersebut tidak tepat,
dengan alasan:
a. Tentang Produk Hukum Pengaturannya
Pengaturan yang harus dituangkan dalam bentuk SEMA adalah
administrasi perkara, sebagaimana dinyatakan dalam
Keputusan KMA Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016: “bentuk edaran
pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang
berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih
bersifat administrasi dan juga memuat pemberitahuan tentang
hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak”. Adapun
yang berkaitan dengan hukum acara harus diatur dalam
PERMA.
Jika penyampaian jadwal rapat kerja dan transparansi informasi
pemberesan budel pailit yang sampai memberikan
kewenangan kepada Hakim Pengawas untuk menjatuhkan
sanksi teguran tertulis dan usulan penggantian Kurator
termasuk dalam hukum acara, maka pengaturannya harus
dalam PERMA.
b. Tentang Kewenangan Pengaturannya
Secara teori, kaidah kewenangan publik terbagi atas kaidah
kewenangan pembentukan undang-undang, kewenangan
kehakiman, dan kewenangan pemerintahan. Sebagai
perlindungan hukum bagi masyarakat, berkaitan dengan
kaidah kewenangan ini asasnya adalah apa yang tidak
ditentukan maka bermakna tidak boleh.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 228
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Selain itu, meski SEMA bukanlah peraturan perundang-
undangan dan hanya pseudowetgeving, ketentuan tentang
pendelegasian kewenangan penyusunan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU 12/2011
patut untuk diperhatikan. Angka 200 Lampiran II UU 12/2011
menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur
harus menyebut dengan tegas perihal ruang lingkup materi
muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-
undangannya. Sebagai pseudowetgeving, tentu tidak ada
pendelegasian kewenangan mengatur dalam SEMA 2/2016
bagi Hakim Pengawas. Mengingat SEMA ini juga langsung
berkaitan dengan kurator dan kreditur, sudah selayaknya
pengaturannya dilakukan dalam UU yang dapat ditindaklanjuti
oleh Perma.
Kedua, yang menganggap pengaturan tersebut telah tepat,
dengan alasan:
a. Secara normatif, ketentuan tentang penyampaian jadwal rapat
kerja dan transparansi informasi pemberesan budel pailit
dalam SEMA 2/2016 tersebut adalah termasuk administrasi
perkara yang merupakan pelaksanaan kewenangan pemberian
petunjuk oleh Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud Pasal
32 UU Mahkamah Agung juncto Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016.
b. Secara empiris, pengaturan tentang penyampaian jadwal rapat
kerja dan transparansi informasi pemberesan budel pailit
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 229
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
sebagaimana SEMA 2/2016 tersebut memang diperlukan agar
terwujud penanganan perkara yang baik dan adil. Dengan
terwujudnya penanganan perkara kepailitan yang baik dan adil,
akan terwujud kepastian hukum, yang amat dinantikan oleh
para pelaku dunia bisnis.
3 - D2 - - Angka II.2 SEMA 2/2016 pada pokoknya menyatakan bahwa
apabila permohonan kepailitan atau PKPU diajukan oleh debitur,
permohonan tersebut wajib dilengkapi dengan surat persetujuan
dari kreditur mengenai pengusulan nama pengurus/kurator. Surat
persetujuan tersebut adalah syarat formil untuk dapat
diterimanya permohonan.
Maksud ketentuan ini sangat baik sebagai perlindungan bagi
kreditur dari ‘permainan’ debitur. Meski demikian, syarat
formalitas permohonan pada dasarnya termasuk dalam lingkup
Hukum Acara. Hukum Acara hanya boleh diatur dalam undang-
undang sebagaimana dimaksud Pasal 28 UU Kekuasaan
Kehakiman: “Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam undang-
undang”, dan dapat ditindaklanjuti oleh Peraturan Mahkamah
Agung sebagaimana mestinya. Definisi Peraturan Mahkamah
Agung berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor:
57/KMA/SK/IV/2016 adalah “peraturan yang berisi ketentuan
bersifat hukum acara”. Definisi ini senafas dengan Pasal 79 UU
Mahkamah Agung: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 230
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-Undang ini.”
Kaidah kewenangan publik terbagi atas kaidah kewenangan
pembentukan undang-undang, kewenangan kehakiman, dan
kewenangan pemerintahan. Sebagai perlindungan hukum bagi
masyarakat, berkaitan dengan kaidah kewenangan ini berlakulah
asas apa yang tidak ditentukan maka bermakna tidak boleh.
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan telah mengatur tentang syarat
permohonan pailit tersebut, sebagai berikut: “Debitor yang
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”. Ketentuan ini menyatakan syarat diterimanya
permohonan adalah apabila debitur mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. UU Kepailitan tidak mengatur
syarat “surat persetujuan dari kreditur mengenai pengusulan
nama pengurus/kurator”. Dengan demikian, dalam hal
penambahan syarat formalitas permohonan kepailitan, SEMA
2/2016 telah melakukan perubahan norma dalam UU Kepailitan.
Meski penambahan norma dalam SEMA 2/2016 ini maksudnya
sangat baik sebagai perlindungan hukum dan keadilan, namun
secara normatif berpotensi menimbulkan disharmoni pengaturan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 231
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Untuk itu, akan lebih baik jika penambahan norma ini diatur dalam
revisi UU Kepailitan dan diatur lebih lanjut dalam PERMA.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 232
19. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah
Dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama memberikan
kewenangan baru kepada Peradilan agama untuk menyelesaiakan sengketa ekonomi
syariah. Sengketa di bidang ekonomi syariah selalu dipandang berbeda dengan
ekonomi konvensional, namun keduanya selalu berkaitan dengan kontrak (perjanjian).
Para pihak yang terlibat berkemungkinan mencederai apa yang sudah mereka
sepakati. salah satu jalan keluar sebelum lahirnya undang-undang lengkap yang
berhubungan dengan hukum ekonomi syariah adalah positivisasi fatwa DSN-MUI
menjadi peraturan perundang-undangan. Tujuh bulan setelah UU No. 3 Tahun 2006
disahkan, Ketua MA Bagir Manan mengeluarkan SK No: KMA/097/SK/X/2006. SK
tertanggal 20 Oktober 2006 itu merupakan tindak lanjut dari rapat kelompok kerja
perdata agama MA pada 4 Agustus 2006. Dengan SK itu Bagir membentuk Tim
Penyusunan KHES yang diketuai hakim agung Prof Abdul Manan. Tim ini punya masa
tugas hingga 31 Desember 2007.
PERMA ini merupakan pedoman bagi hakim serta para pihak terkait mengenai
hukum ekonomi menurut prinsip syariah. Dengan adanya PERMA ini, ketentuan
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana dimaksud UU
3/2006, UU 19/2008 dan UU 21/2008 akan dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga
akan mengayomi para pihak terkait. Kompetensi Peradilan Agama dalam mengadili
dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah baru dimulai sejak diundangkannya UU
3/2006. Untuk itu, agar ketentuan pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah sebagaimana dimaksud UU 3/2006, UU 19/2008 dan UU 21/2008 dapat
dilaksanakan dengan baik dan tertib, perlu diterbitkan PERMA ini. Dengan adanya
ketertiban dalam pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, maka
akan terwujud kepastian hukum.
Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi terhadap Perma ini maka
direkomendasikan bahwa Perma ini masih tetap perlu dipertahankan. Lebih detail
mengenai usulan atau rekomendasi di atas, silahkan melihat kepada tabel di bawah
ini:
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 233
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
1. - D1 - - Pasal 79 UU Mahkamah Agung:
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang
ini”.
Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011:
“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung.......”.
Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor:
57/KMA/SK/IV/2016:
“Peraturan Mahkamah Agung adalah peraturan yang berisi
ketentuan bersifat hukum acara”.
Sudikno Mertokusumo:
“Hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil dengan
perantaraan hakim, yang kongkritnya mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutuskannya dan pelaksanaan dari putusan tersebut.”
Tetap
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 234
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
Perma 2/2008 adalah pengaturan lebih lanjut atas UU 3/2006, UU
19/2008 dan UU 21/2008 (vide Konsiderans Menimbang dan
Mengingat Perma 2/2008).
2. Pasal 1 - - - Hanya terdapat tujuh kata pailit/kepailitan dalam Perma 2/2008
ini. Tiga kata berkaitan dengan kecakapan bertindak, tiga kata
berkaitan dengan jual-beli, dan satu kata berkaitan dengan
gadai. Dari kesemuanya, belum ditemukan potensi disharmoni
dengan UU Kepailitan.
Telah sesuai, berdasarkan Lampiran Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016.
PERMA ini merupakan pedoman bagi hakim serta para pihak
terkait mengenai hukum ekonomi menurut prinsip syariah.
Dengan adanya PERMA ini, ketentuan pemeriksaan dan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana dimaksud
UU 3/2006, UU 19/2008 dan UU 21/2008 akan dapat
dilaksanakan dengan baik, sehingga akan mengayomi para pihak
terkait (Sesuai dengan variabel pengayoman).
Kompetensi Peradilan Agama dalam mengadili dan
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah baru dimulai sejak
diundangkannya UU 3/2006. Untuk itu, agar ketentuan
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah
sebagaimana dimaksud UU 3/2006, UU 19/2008 dan UU
21/2008 dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib, perlu
diterbitkan PERMA ini. Dengan adanya ketertiban dalam
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, maka
Tetap
3. Pasal 2 - - -
4. Pasal 3
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 235
No Pasal Dimensi Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 2 3 4 5 6 7
akan terwujud kepastian hukum (sesuai dengan variabel
ketertiban dan kepastian hukum).
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 236
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan terhadap 38 (tigapuluh
delapan) peraturan perundang-undangan yang menjadi objek analisis dan evaluasi,
maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebanyak 3 (tiga) Undang-Undang direkomendasikan untuk dipertahankan, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
c. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana.
2. Sebanyak 6 (enam) Undang-Undang yang beberapa ketentuan pasalnya perlu
diubah dan/atau dicabut, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang;
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha tidak Sehat;
f. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
3. Sebanyak 1 (satu) Undang-Undang direkomendasikan untuk dicabut dan dibuat
Undang-Undang baru, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
4. Sebanyak 2 (dua) Peraturan Pemerintah direkomendasikan dipertahankan, yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghitungan Jumlah
Hak Suara Kreditor.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 237
5. Sebanyak 2 (dua) Peraturan Pemerintah direkomendasikan untuk dicabut, yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan
Pailit Untuk Kepentingan Umum.
6. Sebanyak 1 (satu) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan direkomendasikan
dipertahankan, yaitu: Peraturan OJK Nomor 26/POJK.04/2017 tahun 2017 tentang
Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan
Pernyataan Pailit.
7. Sebanyak 1 (satu) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan direkomendasikan untuk
diubah, yaitu: Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran,
Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
8. Sebanyak 1 (satu) Peraturan Mahkamah Agung dan 1 (satu) Surat Edaran
Mahkamah Agung direkomendasikan dipertahankan, yaitu:
a. PERMA No 2 Tahun 2008 tentang kompilasi Hukum Ekonomi Syariah;
b. SEMA Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi
Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Pengadilan.
9. Sebanyak 1 (satu) Peraturan Mahkamah Agung direkomendasikan untuk diubah,
yaitu: Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan atau Gijzeling.
B. Rekomendasi
1. Perubahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ditindaklanjuti oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
2. Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
ditindaklanjuti oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 238
3. Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI.
4. Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
ditindaklanjuti oleh Otoritas Jasa Keuangan c.q. Bank Indonesia c.q. Kementerian
Hukum dan HAM RI.
5. Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, ditindaklanjuti oleh Kementerian
Perdagangan c.q. Komisi Pengawas Persaingan Usaha c.q. Kementerian Hukum
dan HAM RI.
6. Perubahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
ditindaklanjuti oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
7. Perubahan Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran,
Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, ditindaklanjuti oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
8. Perubahan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan atau Gijzeling, ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung RI.
9. Pencabutan dan Pembuatan Undang-Undang baru tentang Perbankan
menggantikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ditindaklanjuti oleh
Otoritas Jasa Keuangan c.q. Bank Indonesia c.q. Kementerian Hukum dan HAM RI.
10. Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, ditindaklanjuti
oleh Otoritas Jasa Keuangan c.q. Bank Indonesia c.q. Kementerian Hukum dan
HAM RI.
11. Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan
Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum, ditindaklanjuti oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM (Tahun 2018) | 239
LAMPIRAN
Data Statistik
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
UU
PP
PERATURAN LAIN
Hasil Analisis dan Evaluasi
TETAP UBAH CABUT