Isi Kesenjangan Istana 1

249
Mengungkap Kesenjangan Istana 1 1 1 1 Negeri dengan 230 Juta Pelatih D unga benar-benar sial. Pemain yang sangat lama menjadi kapten timnas Brazil ini justru mendapat kemalangan karena ia berkostum tim Samba. Meski dunia mengakui talentanya, namun tidak publik Brazil sendiri. Dia dipersalahkan saat Brazil gagal memenangkan Piala Dunia 1990. Bukan hanya gagal, saat itu Brazil ada di titik nadir. Bayangkan, datang ke ke Italia dengan status 3 kali juara Piala Dunia, Brazil justru gagal di babak awal. Sukses menjadi juara grup C secara meyakinkan tanpa sekali pun kalah, Brazil justru takluk di tangan musuh bebuyutannya, Argentina, di babak gugur 16 besar. Padahal, saat itu Argentina terseok-seok di bawah Kamerun dan Rumania. Begitu pula sang legenda Maradona, yang tengah didera kesulitan mengembalikan performanya. Tim Tango hanya berada di peringkat ketiga grup B dan lolos ke babak 16 besar sebagai salah satu dari tim peringkat ketiga terbaik. Kalah oleh tim yang tercabik-cabik selama penyisihan grup tak bisa diterima publik Brazil. Dunga yang saat itu menjadi kapten tim Samba, tak luput dari hujatan.

Transcript of Isi Kesenjangan Istana 1

Mengungkap Kesenjangan Istana 1

11111Negeri dengan 230 Juta

Pelatih

Dunga benar-benar sial. Pemain yang sangat lama menjadi

kapten timnas Brazil ini justru mendapat kemalangan karena

ia berkostum tim Samba. Meski dunia mengakui talentanya, namun

tidak publik Brazil sendiri. Dia dipersalahkan saat Brazil gagal

memenangkan Piala Dunia 1990. Bukan hanya gagal, saat itu Brazil

ada di titik nadir.

Bayangkan, datang ke ke Italia dengan status 3 kali juara Piala

Dunia, Brazil justru gagal di babak awal. Sukses menjadi juara grup

C secara meyakinkan tanpa sekali pun kalah, Brazil justru takluk di

tangan musuh bebuyutannya, Argentina, di babak gugur 16 besar.

Padahal, saat itu Argentina terseok-seok di bawah Kamerun dan

Rumania. Begitu pula sang legenda Maradona, yang tengah didera

kesulitan mengembalikan performanya. Tim Tango hanya berada

di peringkat ketiga grup B dan lolos ke babak 16 besar sebagai salah

satu dari tim peringkat ketiga terbaik.

Kalah oleh tim yang tercabik-cabik selama penyisihan grup tak

bisa diterima publik Brazil. Dunga yang saat itu menjadi kapten tim

Samba, tak luput dari hujatan.

2 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

Saat itu adalah era kelam. Memang, saat itu dikenal sebagai

“era Dunga,” namun bukan dalam pengertian positif. Era Dunga

diwarnai cercaan terus menerus media massa dan publik Brazil

terhadap pemain bernama asli Carlos Caetano Bledorn Verri itu.

Dia dianggap bermain lambat dan terlalu defensif. Dunga pun

dihujat melebihi anggota tim lainnya.

Namun, empat tahun kemudian, adalah Dunga pula, masih

dengan ban kapten di lengannya, yang membawa tim Samba me-

meluk Piala Dunia. Perjalanan tim ini pun mulus. Babak grup dise-

lesaikan Brazil dengan nilai 7 hasil 2 kali menang dan sekali seri,

menempatkan mereka lolos langsung sebagai juara grup. Di babak

16 besar, mereka menggilas tuan rumah Amerika Serikat 0-1, lalu

makin garang di babak perempat final dengan menekuk Belanda 3-

2.

Keperkasaan Dunga dkk makin tampak saat menghentikan

Swedia di babak semifinal 1-0 dan memenangkan final dengan

mendepak favorit juara, Italia, lewat adu tendangan penalti.

Empat tahun kemudian, 1998, di Prancis, prestasi Brazil tidak

buruk. Menjadi finalis—dikalahkan tuan rumah—dan mengantar

Ronaldo sebagai pemain terbaik di ajang itu, jelas bukan capaian

buruk bagi tim samba. Saat itu Dunga pula kaptennya.

Sayang, kalau sudah bicara tentang sepakbola, publik Brazil

tergolong mudah melupakan sejarah. Mereka melupakan prestasi

Dunga yang sudah bermain 91 kali dalam balutan seragam timnas

Brazil.

Kini dia kembali dicerca publik Brazil karena tidak memasukkan

Ronaldinho dalam skuad saat melakukan uji coba dengan Republik

Irlandia. Hingga Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, besar kemung-

kinan Ronaldinho tetap tak masuk skuad inti.

Keputusan Dunga dipertanyakan nyaris seluruh warga Brazil.

Mereka bertanya-tanya, mengapa Ronaldinho, striker yang kenyang

pengalaman di klub-klub besar seperti Paris Saint Germain,

Barcelona, dan AC Milan justru tidak dipanggil? Apalagi,

Mengungkap Kesenjangan Istana 3

Ronaldinho memborong 9 gol dan memberi 10 assist di musim

pertamanya bersama AC Milan. Ini donasi assist terbanyak di Serie

A saat itu.

Keheranan lalu berubah menjadi hujatan. Namun, Dunga tidak

gentar. Dunga sendiri terus bersikap independen. Sejak awal ia sadar

menjadi pelatih Brazil harus kuat menghadapi tekanan.

“Setiap daerah dan surat kabar memaksakan pemain mereka

sendiri, tapi saya akan maju dengan cara saya sendiri,” tegas Dunga.

Pertanyaannya, mengapa Dunga sampai mengalami kesialan

seperti itu? Jawabannya terdapat dalam kalimat sarkas Luiz Inacio

da Silva.

“Semua orang di Brasil adalah pelatih. Brasil punya 190 juta

pelatih. Semua merasa yakin mereka tahu segalanya soal sepakbola,”

kata Presiden Brazil itu.

Ya, presiden yang akrab dipanggil Lula itu sadar betul kebiasaan

rakyatnya yang tak pernah puas terhadap penampilan timnas

sepakbolanya, malah cenderung mencacinya. Padahal di mata Lula,

Dunga telah melakukan yang terbaik bagi Brazil. Empat tahun

setelah gagal dalam Piala Dunia 1990, adalah Dunga pula yang

memimpin rekan-rekannya meraih Piala Dunia 1994. Kalau

kemudian Dunga tidak memasukkan nama Ronaldinho, Lula bisa

memahaminya.

“Kalau ada satu hal yang saya suka dari Dunga, itu adalah dia

hanya memanggil pemain-pemain yang dalam kondisi terbaik. Dia

juga begitu percaya diri. Pemain bagus tidaklah cukup, tapi Anda

harus tahu bahwa seorang pemain akan mengikuti taktik yang

manajer inginkan,” lanjutnya.

Rakyat Indonesia rasanya harus bersikap seperti Lula. Ketika

pelatih sudah ditunjuk, berikanlah kepercayaan untuk bekerja dan

memutuskan. Bila dalam menyikapi hasil Pilpres dan Pemilu

Legislatif rakyat Indonesia berlaku seperti rakyat Brazil saat

menyikapi penampilan timnas sepakbolanya, yang terjadi pasti

kekacauan. Bayangkan, apa jadinya bila lebih 200 juta jiwa merasa

4 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

sebagai hakim Mahkamah Konstitusi?

Inilah pentingnya pemahaman tentang kepastian hukum.

Kepastian hukum bukan hanya melibatkan struktur penegak hukum

yang jujur dan kapabel serta prosedur baku yang fair dan jelas.

Kepastian hukum juga memerlukan satu elemen yang selama ini

tidak diakui sebagai bagian inherennya: penerimaan masyarakat.

Siapa pun tahu, opini masyarakat adalah kekuatan (force, power)

yang sangat besar. Selain dilandasi niat sendiri, RS Omni

Internasional, misalnya, juga diyakini akhirnya mencabut tuntutan

perdata terhadap Prita Mulyasari, 14 Desember 2009 lalu karena

desakan suara masyarakat yang sangat massif dan intensif.

Sebelumnya, Prita dilaporkan mencemarkan nama baik RS

Omni Internasional menyusul e-mail-nya berisi keluhan ketidak-

jelasan penanganan saat Prita sakit dan dirawat di RS itu, 7 Agustus

2008 lalu. RS Omni Internasional sebelumnya menganggap e-mail

Prita sebagai bentuk pencemaran nama baik. Namun masyarakat,

seperti tercermin dalam gerakan pembelaan terhadap Prita di

Facebook, menganggap tindakan Prita ini sebagai ekspresi belaka

atas pengalaman yang ia alami, karena itu tidak layak diadili dengan

tuduhan mencemarkan nama baik.

Demikian berkuasanya suara masyarakat hingga ada adagium

vox populi vox dei. Suara rakyat banyak adalah suara Tuhan. Dalam

masyarakat religius, Tuhan adalah kekuatan tertinggi. Bila suara

rakyat disamakan suara Tuhan, ini adalah pengakuan bahwa suara

rakyat adalah suara tertinggi pula.

Dengan kekuatan sebesar itu, suara masyarakat tak bisa

diabaikan dan memang tak boleh diabaikan. Yang perlu diimbaukan

kepada masyarakat hanya satu, yaitu penghormatan terhadap

mekanisme hukum. Termasuk dalam menyikapi proses dan hasil

Pemilu Legislatif dan Pilpres.

***

Mengungkap Kesenjangan Istana 5

Apa itu Indonesia?

Berkunjunglah ke Aceh. Kita akan mendapati orang-orang

dengan kulit sawo matang, rambut lurus, dan begitu rajin datang

ke surau atau masjid. Datang ke Papua, mayoritas yang kita temui

adalah orang-orang dengan kulit lebih legam dan rambutnya pun

keriting. Di kedua tempat itu, dalam banyak kesempatan, masyarakat

berbicara dalam bahasa berbeda. Yang mana yang disebut Indonesia?

Perbedaan tak hanya ditunjukkan oleh Aceh dan Papua. Di

deretan 17.508 pulau-pulau yang menghubungkan Samudera Hindia

dan Samudera Pasifik itu, masyarakat tak hanya beda dalam rupa.

Mereka juga bicara dalam 742 bahasa dan dialek. Lantas, yang mana

yang bisa disebut Indonesia?

Benedict Anderson bisa membantu menjawabnya. Indonesia

ada dalam pemahaman, bertengger dalam keyakinan. Indonesia,

sebagaimana negara bangsa yang lain, tak lain adalah sebuah

komunitas yang terbayangkan (imagined community). Warga Aceh

yang berkulit sawo matang hingga warga Papua yang rambutnya

keritng, warga Bali yang mayoritas beribadah di Pura hingga warga

Dayak yang tinggal di rumah-rumah panjang, semua merasa sebagai

orang Indonesia karena perasaan mereka mengatakan demikian.

Karena benak mereka meyakini demikian. Tak heran bila orang-orang

yang lahir dalam rupa berbeda dan budaya berlainan itu sama-sama

sedih ketika Tim Piala Uber Indonesia gagal merebut piala itu dari

Cina. Mereka pun sama-sama merasa terancam kala Ambalat diklaim

pihak lain.

Seperti disebut Benedict Anderson dalam Imagined Communities,

warga Indonesia yang satu bisa jadi tak pernah berjumpa dengan

warga Indonesia di tempat lain, masing-masing tidak mengetahui

keseharian saudaranya. Namun, di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan

mereka Bayangan kesatuan identitas itu terus dipelihara, makin

dikuatkan sistem pendidikan dan media massa. Hasilnya, sekali pun

tak pernah berjumpa dan berinteraksi, namun bayangan sebagai

6 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

komunitas yang satu membuat mereka tak saling mengganggu,

apalagi saling bunuh.

“…Akhirnya, sebuah bangsa adalah sebuah komunitas terbayang

karena tak peduli adanya ketidaksetaraan dan penghisapan yang

mungkin ada, bangsa selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang

mendalam dan melebar-mendatar. Akhirnya, selama 2 abad terakhir,

rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang,

jutaan jumlahnya, bersedia bukan saja melenyapkan nyawa orang

lain, namun juga merenggut nyawanya sendiri demi pembayangan

yang terbatas itu,” tulis Benedict Anderson.

Tentu, komunitas yang terbayangkan ini bukan sesuatu yang

tak bisa berubah. Pemahaman dan keyakinan sebagai “satu

komunitas yang sama” ini bisa makin kuat, namun juga bisa kian

pudar. Salah satu penyebab memudarnya perasaan sebagai satu

komunitas yang sama adalah munculnya komunitas terbayangkan

lain yang lebih sempit, spesifik, dan lebih menyerupai kondisi riilnya.

Dengan kata lain, komunitas terbayangkan “tandingan” ini biasanya

berbentuk menguatnya perasaan kesukuan.

Penyebab pecahnya konstruksi imagined community bisa sangat

beragam. Namun, biasanya hal itu didasari oleh terlalu lebarnya

disparitas antara satu elemen dengan elemen lainnya. Disparitas itu

bisa muncul dalam bentuk perbedaan kesejahteraan, perbedaan

tingkat keterwakilan dalam pemerintahan, perbedaan persepsi

kepemilikan power, dan perbedaan perlakuan. Secara riil, disparitas

itu bisa muncul dalam beragam bentuk, mulai eksploitasi hasil alam

di suatu wilayah suku tertentu dengan imbal hasil yang dianggap

tidak sepadan hingga kecurangan pemilu. Pemilu bisa menjadi

pengeras sentimen kesukuan—atau kategori fragmentasi lainnya—

bila kandidat yang bersaing terlalu kuat mengidentifikasi diri pada

kelompok tertentu dan sebaliknya.

Apa yang terjadi di Kenya membuktikannya. Pada tanggal 1

Januari 2008 bukanlah tahun baru yang menyenangkan bagi warga

negara itu. Kerusuhan bergolak di mana-mana, lebih dari 300-an

Mengungkap Kesenjangan Istana 7

orang tewas. Pemilihan Presiden (Pilpres), inilah pemicunya.

Pilpres digelar 27 Desember 2007. Tak menunggu lama, Komisi

Pemilihan Umum (KPU) Kenya mengumumkan bahwa presiden

incumbent, Mwai Kibaki memenangkan pilpres itu dengan selisih

suara tipis. Lawan Kibaki, Raila Odinga langsung tunjuk hidung.

Menurutnya, Kibaki dan KPU bersekongkol melakukan kecurangan.

“Kibaki adalah pencuri. Dia mencuri Pilpres dan harus turun,”

teriak Odinga.

Beberapa waktu kemudian, Ketua KPU mengaku pihaknya

ditekan untuk membuat pengumuman cepat meski KPU belum

yakin siapa yang menang.

Meyakini sang presiden dan KPU ada main, kerusuhan pun

pecah. Konsekuensi dugaan kecurangan pilpres ini menjadi

demikian dalam karena Kibaki dipersepsi sebagai representasi Suku

Kikuyu, sementara Odinga dipandang sebagai wakil Suku Luo.

Keduanya adalah suku terbesar dari sekitar 40 suku di Kenya.

Maka, dugaan kecurangan Pilpres dipersepsi bukan dilakukan

Kibaki dan timnya terhadap Odinga beserta timnya, namun

dipersepsi sebagai kesewenang-wenangan Kikuyu terhadap Luo.

Garis primordial yang sebelumnya dikaburkan oleh garis yang lebih

luas—imagined community bernama Kenya—tiba-tiba membatas jelas

dan saling berhadapan.

Hasilnya, warga Etnis Luo membunuhi warga Kikuyu di Kenya

bagian timur, sementara warga Kikuyu membunuhi Etnis Luo di

Kenya bagian tengah. Insiden yang mengakibatkan lebih dari 300

jiwa meninggal itu mengancam status Kenya yang selama ini dipuji

sebagai salah satu entitas demokrasi paling menjanjikan di Afrika.

Apakah Indonesia harus mengalami hal menyedihkan seperti

itu dalam menyikapi sebuah proses demokrasi bernama pemilu dan

pilpres?

****

8 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

Tahun 2000 hampir berakhir.

Seluruh mata dunia tertuju ke Florida. Bukan, negara bagian

ini tidak sedang dilanda Badai Katrina. Tidak pula diserang heat wave

yang meminta korban jiwa. Negara bagian menjadi sorotan karena

ia menjadi penentu siapa yang bakal melenggang ke Gedung Putih,

menjadi presiden baru AS saat itu.

Dalam balutan musim dingin, skor sementara seperti ikut

membeku. Kedudukan 266 electoral votes untuk Albert Arnold (Al)

Gore dan 246 electoral votes untuk George Walker Bush bertahan

lebih lama. Skor menjadi stagnan karena 25 electoral votes yang

dimiliki Negara Bagian Florida belum ketahuan untuk siapa. Padahal,

siapa pun yang dinyatakan menang di negara bagian ini akan

menjadi pemenang pula dalam pilpres AS.

Sebagaimana diketahui, AS mengenal electoral votes, yaitu

jumlah suara yang dimiliki masing-masing negara bagian dalam

Electoral College, lembaga yang secara formal memutuskan siapa

pemenang Pilpres. Jumlah electoral votes masing-masing negara

bagian tidak sama, bergantung jumlah penduduk mereka. Calon

yang memenangkan suara di negara bagian bersangkutan, betapa

pun tipis selisihnya, mendapatkan seluruh electoral votes yang

dimiliki negara bagian tersebut. Inilah sistem yang disebut winner

takes all. Dari 50 negara bagian dan 1 daerah khusus ibukota

(Washington D.C.), hanya Negara Bagian Maine dan Nebraska yang

tidak menggunakan sistem winner takes all. Dua negara bagian ini

membagi electoral votes-nya sesuai capaian suara masing-masing

kandidat.

Nah, dalam Pilpres AS 2000, seluruh negara bagian sudah

menyelesaikan perhitungannya kecuali Florida. Sehari setelah

pemilu, hasil tidak resmi di Florida muncul dengan keunggulan tipis

Bush, yaitu 327 dari 6 juta suara yang masuk. Tentu jarak (margin)

yang tipis segera saja memunculkan kecurigaan: jangan-jangan salah

hitung, jangan-jangan ada kecurangan.

Tak menunggu lama, Partai Demokrat pun meminta

Mengungkap Kesenjangan Istana 9

penghitungan ulang di Palm Beach County, Miami-Dade County,

Volusia County, dan Nassau County. Suara Bush pun terus

berkurang seiring berlangsungnya perhitungan ulang ini.

Mahkamah Agung Florida membenarkan langkah Gore ini

(penghitungan ulang). Sayang, tidak semua county itu berhasil

menyelesaikan penghitungan ulang sesuai deadline. Penghitungan

ulang belum selesai juga bahkan setelah Mahkamah Agung Florida

memperpanjang tenggatnya.

Karena tak juga selesai, Secretary of State Florida menyatakan,

Bush memenangkan Pilpres di negara bagian dekat Kuba itu. Gore

kembali menentang hasil ini. Alasannya, akurasi lebih penting

ketimbang penyelesaian, Mahkamah Agung Florida memerintahkan

penghitungan ulang di seluruh wilayah Florida.

Melihat perkembangan ini, Bush meminta Mahkamah Agung

AS membatalkan perintah Mahkamah Agung Florida ini yang

menurut Bush dan timnya melampaui kewenangan mereka.

Mahkamah Agung AS ternyata sependapat dengan Bush. Tepat

pada 12 Desember 2000, hari terakhir penentuan anggota Electoral

College, Mahkamah Agung AS memutuskan menghentikan

penghitungan manual itu dan dengan demikian menyatakan Bush

sebagai pemenang. Keputusan itu diambil dengan selisih tipis, 5

suara mendukung dan 4 suara menentang.

Alasan Mahkamah Agung AS: “Standar dalam menerima atau

menolak hasil pemungutan suara yang dipertanyakan sangat

bervariasi bukan saja dari county ke county, namun bahkan dalam

satu county yang sama. Karena itu, yang lebih penting adalah adanya

kepastian…. tentang perlakuan setara dan fairness mendasar.”

Dengan demikian, adalah mustahil bagi siapa pun pelaku

penghitungan suara ulang untuk memenuhi tenggat 12 Desember.

Karena itu, hasil pilpres di Florida sudah final dan George W. Bush

menjadi presiden ke-43 AS.”

Hebatnya, publik AS menerima keputusan ini dan Bush pun

menjadi Presiden AS. Tak ada darah tertumpah, tak ada nyawa

10 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

melayang, tak ada gedung-gedung yang menjadi sasaran. Kondisi

aman ini tercipta karena satu hal sederhana: wasit memutuskan dan

publik menerima (termasuk mereka yang bersaing dalam Pilpres).

Kondisi berbeda terjadi di Aljazair tahun 1992 lalu. Saat itu

Front Penyelamatan Islam (FIS) memenangkan pemilu dengan

perolehan suara sangat besar. Namun, militer membatalkan hasil

pemilu. Tak hanya itu, mereka secara memalukan melucuti FIS dan

menahan ratusan anggotanya. Akibatnya, rakyat marah karena

merasa hak-hak politik dan demokratik mereka dirampas.

Kekacauan sipil pun pecah dan meminta korban hingga puluhan

ribu jiwa.

Militer berdalih pembatalan hasil pemilu itu untuk menjaga

demokrasi. FIS mereka anggap sebagai kelompok radikal yang akan

mengganggu, bahkan merusak demokrasi di Aljazair. Ini tentu klaim

yang memalukan. FIS dituduh—tepatnya distigma—sebagai tidak

demokratis, nyatanya mereka memenangkan pemilu yang digelar

demokratis. Sebaliknya, militer yang berdalih “menyelamatkan

demokrasi”, justru jelas-jelas melakukan tindakan tidak demokratis

dengan membatalkan pemilu secara sepihak.

Koran prestisius The New York Times pun berkali-kali

menurunkan tajuk rencana tentang diberangusnya kemenangan FIS

itu. Judul tajuk-tajuk rencana mereka di antaranya “Algeria:

Democracy Betrayed” (Aljazair: Demokrasi Dikhianati) dan

“Democracy Denied in Algeria” (Demokrasi Disangkal di Aljazair).

Tak ada alasan membenarkan tindakan militer Aljazair itu meski

AS dan negara-negara Eropa mendukungnya dengan cara

membiarkan, satu kebijakan yang mendapat kecaman keras dari

media-media massa Barat sendiri.

FIS didirikan tahun 1989 bersamaan dengan didirikannya sekitar

20 parpol yang lain. Seperti Partai Demokrat di Indonesia, FIS pun

langsung menorehkan prestasi besar: mereka memenangkan 55

persen suara di beragam pemilu lokal.

Pada 1991, pemerintah mengumumkan digelarnya Pemilu

Mengungkap Kesenjangan Istana 11

Legislatif pada Juni tahun itu disertai sejumlah perubahan aturan

pemilu, termasuk dilarangnya kampanye di masjid. Ternyata, aturan

baru ini tak mengurangi kehebatan FIS dalam mendulang suara.

Dalam putaran pertama saja mereka berhasil mengumpulkan 188

kursi di parlemen dan hampir pasti akan memenangkan mayoritas

besar kursi di putaran kedua.

Di saat itulah MPR Aljazair dibubarkan dekrit presiden pada

11 Januari 1992 Presiden Chadli Ben Djedid mengundurkan diri.

Kedudukannya digantikan Dewan Tinggi Negara beranggotakan 5

orang yang dipimpin Mohamed Boudiaf. Pergolakan pecah di jalan-

jalan, pemerintahan sementara pun menetapkan keadaan darurat.

Lalu, FIS pun dibubarkan dan 411 pemerintahan provinsi dan kota

yang dimenangkan FIS, dibubarkan pula.

Partai yang muncul sebagai pemenang Pemilu yang demokratis

bukan saja diganggu, namun bahkan dirampas kemenangannya dan

dibubarkan.

Lantas, jejak manakah yang akan kita ikuti, penyelesaian

sengketa Pemilu oleh badan yudikatif yang diberi kewenangan

memutuskannya seperti di AS, atau membatalkan sepihak hasil

Pemilu seperti dilakukan militer Aljazair?

Tentu, tak ada satu pun yang berharap sengketa pemilu dan

pilpres di Indonesia akan berakhir seperti di Kenya atau Aljazair.

Adalah kewajiban kita semua untuk memastikan bahwa Pemilu

digelar sesuai aturan. Saat hasil diumumkan, saat itulah janji untuk

“siap menang dan siap kalah” harus ditepati.

Tidak mudah, memang. Apalagi, ada kebiasaan buruk dalam

praktik politik kita, yaitu membuka kartu truf ketika permainan

selesai. Menggugat proses pertandingan ketika kompetisi usai karena

tidak menjadi pemenang. Tetapi sebaliknya. membiarkan proses

berjalan kalau berada di pihak yang menang, meski pun ada sejumlah

kekurangan sistem yang disadari sejak awal.

Di sinilah pentingnya peran MK. Mereka dipilih untuk

memutuskan perkara-perkara terkait konstitusi, termasuk memberi

12 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

putusan akhir atas hasil pemilu dan pilpres. MK adalah Dunga yang

telah diberi kepercayaan memutuskan siapa saja yang akan ia panggil

mengisi Timnas Brazil. MK adalah wasit yang diberi mandat untuk

memimpin pertandingan dan memutuskan hasil akhirnya.

Bayangkan bila seluruh penghuni stadion ingin menjadi wasit pula?

MK sendiri memutuskan menolak gugatan hasil Pilpres yang

diajukan pasangan Megawati -Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK menilai tidak ada bukti

kuat tentang adanya upaya sistematis dan terstruktur yang mem-

pengaruhi hasil pilpres dan berujung diuntungkannya salah satu

pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

MK sendiri mengakui adanya kejanggalan, termasuk terkait

daftar pemilih tetap (DPT). Namun, kekurangan itu dipastikan MK

bukan bagian dari upaya terstruktur untuk memenangkan pasangan

SBY-Boediono (MK Tolak Gugatan Hasil Pilpres, Fokus, Indosiar,

http://www.indosiar.com/fokus/81699/mk-tolak-gugatan-hasil-

pilpres, diunduh pada 12 Maret 2010).

Mestinya, keputusan MK ini adalah keputusan akhir yang harus

diterima seluruh warga Indonesia, termasuk mereka yang

berkompetisi dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres. Keputusan MK

adalah keputusan Dunga yang harus ditaati seluruh fans sepakbola

Brazil.

***

Banyak aspek yang dijadikan sasaran tembak dalam

penyelenggaraan Pemilu 2009, di antaranya keterlambatan distribusi

logistik pemilu, rendahnya kualitas surat suara, tertukarnya kertas

suara antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lain

menjadi contoh yang banyak terungkap dengan kurang rapinya

daftar pemilih tetap (DPT) dianggap sebagai kelemahan terbesar.

Seluruh masyarakat, termasuk Partai Demokrat dan SBY, mengakui

adanya sejumlah kejanggalan ini. Ada banyak nama warga yang

sudah meninggal masih tertera di DPT. Ada juga nama-nama ganda

Mengungkap Kesenjangan Istana 13

dan bentuk kejanggalan lain.

Hal ini terjadi kemungkinan karena proses pemutakhiran data

oleh KPU yang tidak tuntas. Penyebab lainnya adalah belum

tertatanya sistem administrasi kependudukan akibat penyesuaian

dengan UU kependudukan baru yaitu UU no 23 tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan. UU ini mengatur Sistem Informasi

Administrasi Kependudukan (SIAK) yang berlaku secara nasional.

SIAK ini diantaranya dengan membuat Nomor Induk Kepen-

dudukan (NIK) yang tunggal (Single Indentity Number) untuk setiap

penduduk Indonesia. UU ini dapat diterapkan secara efektif paling

lambat 5 tahun sejak ditetapkan berarti baru tahun 2011.

Sayangnya, dalam kondisi demikian, sejumlah pihak menuduh

Partai Demokrat dan SBY mengambil keuntungan dari kekacauan

DPT ini. Salah satu tuduhannya adalah penggelembungan suara

melalui penggelembungan DPT. Kelebihan nama pemilih ini

disebutkan sebagai suara yang digelembungkan untuk Partai

Demokrat atau Pasangan Capres/Cawapres SBY-Boediono. Caranya

sejumlah suara golput tersebut diakumulasikan ke dalam jumlah

pemilih Partai Demokrat atau pasangan Capres/Cawapres SBY-

Boediono. Pertanyaannya, lantas di mana keberadaan saksi partai,

panwas dan pemantau? Apakah mungkin semuanya bisa dibeli?

Logika lain yang mematahkan asumsi pengelembungan suara

adalah pola kekacauan DPT yang terjadi. Kalau di sebagian tempat

terjadi kelebihan pemilih dalam DPT, yang dianggap sebagai potensi

penggelembungan suara, di sebagian tempat yang lain justru terjadi

kekurangan nama. Untuk kekacauan DPT yang satu ini, tuduhan

yang dilemparkan adalah bahwa tempat tersebut bukan kantong

basis pendukung Partai Demokrat atau pasangan SBY-Boediono.

Asumsi ini mudah dipatahkan karena karakter pemilih Partai

Demokrat atau Pasangan Capres/Cawapres SBY- Boediono bukan

tipe pemilih yang berkarakter ikatan ideologis, kesukuan, agama,

kedaerahan atau golongan tertentu yang terikat patronase politik

dan mudah diidentifikasi (termasuk persebaranya). Pemilih SBY

14 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

lebih mendasarkan pilihannya karena pertimbangan rasional. Pemilih

SBY bukan berkarakter fanatik yang merasa apapun yang diperbuat

SBY, salah atau benar, baik atau buruk, tetap memilih SBY. Bukan,

bukan seperti itu.

Dengan pemilih yang menyebar, apakah Partai Demokrat

merisikokan suaranya sendiri dengan melakukan penghapusan

nama sejumlah pemilih di daerah tertentu? Padahal, bahkan wilayah

yang disebut “basis” kelompok rival pun tetap berpotensi

menyumbang suara bagi Partai Demokrat atau pasangan SY-

Boediono. Tuduhan ini juga menghina kemampuan Partai Demokrat

dan tim SBY-Boediono menggaet dukungan.

Padahal, Partai Demokrat maupun Tim SBY-Boediono sudah

jauh-jauh hari menyiapkan diri dan melakukan langkah-langkah

pematangan pemilih. Tidak perlu terlalu kasat mata, apalagi sampai

membawa massa memenuhi stadion sepakbola segala. Yang jelas,

sosialisasi partai, program, dan calon yang akan diusung dilakukan

secara massif dan intensif. Inilah yang diyakini SBY memberi andil

bagi kemenangan Partai Demokrat dan dirinya. Lagipula, bukankah

SBY dianugerahi penghargaan internasional di Hong Kong sebagai

komunikator politik terbaik? Apakah tidak mungkin besarnya

dukungan terhadap dia dikarenakan kemampuan komunikasinya

yang bagus itu?

Selain itu, kita mestinya juga sadar bahwa Pemilu Legislatif dan

Pilpres di Indonesia mendapat pantauan ketat dari dalam dan luar

negeri. Pesta demokrasi ini dihadiri banyak pemantau. Sebut saja,

misalnya, Uni Eropa dan the Carter Center.

Carter Center bahkan memuji pelaksanaan Pilpres Juli 2009.

Menurut mereka, Pilpres berjalan dalam suasana damai sebagaimana

Pemilu Legislatif yang digelar 3 bulan sebelumnya. Secara umum,

kata Carter Center, para pemantau mereka mendapati bahwa TPS-

TPS yang mereka kunjungi sangat teratur dan berfungsi secara efektif.

Padahal, dengan 155 juta pemilih terdaftar di Indonesia dan 575

ribu TPS menjadikan pemilu ini sebagai pemilu satu hari terbesar di

Mengungkap Kesenjangan Istana 15

dunia.

Carter Center tentu menemukan sejumlah kelemahan

pelaksanaan pemilu. Salah satu yang paling mendesak dan mungkin

diperbaiki adalah pemahaman pemilih terhadap tata cara

pencontrengan atau pencoblosan. Carter Center mencatat tingginya

persentase surat suara yang dianggap tidak sah di seluruh Indonesia

karena para pemilih tidak sepenuhnya membuka lipatan sebelum

mereka melakukan pencoblosan.

Menurut Carter Center, masalah surat suara ini seharusnya

dapat dihindari dengan perencanaan yang lebih baik dan latihan

yang diselenggarakan pada waktu yang lebih tepat bagi petugas

TPS dan pemilih. Namun, mereka sama sekali tidak menemukan

upaya-upaya sistematis untuk mengarahkan pilihan terhadap

kandidat tertentu.

Selain sumirnya bukti tuduhan kecurangan sistematis, ada satu

hal lain yang harus direnungkan: mengapa pengungkapan beragam

kekurangan Pemilu dan Pilpres—dalam pemahaman tingkat

keparahan yang berbeda—dilakukan justru setelah pemilihan itu

usai?

Kalau tujuannya untuk memberikan pilihan terbaik bagi rakyat,

segala kekurangan sistem seharusnya dibuka sejak awal. Tujuannya

jelas, memberikan pilihan terbaik bagi rakyat agar tidak salah pilih.

Kompetisi politik yang baik adalah dengan saling menunjukkan

kelebihan masing-masing. Bukan dengan menjatuhkan lawan

dengan kekurangannya, padahal dia sendiri tidak memiliki nilai

lebih. Apalagi dengan menggugat sistem yang sudah berjalan.

Tujuannya hanya satu, menjatuhkan, tanpa melihat beban proses

yang sudah dilalui yang demikian mahal di atas pengorbanan semua

pihak.

Ya, sepertinya kita harus kembali menengok filosofi per-

tandingan sepakbola. Dalam olahraga ini, semua bentuk pelanggaran

akan diganjar hukuman. Pelanggaran ringan akan dihukum

tendangan bebas. Pelanggaran sedang berakibat dikeluarkannya

16 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

kartu kuning. Jika mendapat akumulasi kartu kuning dalam satu

pertandingan, pemain akan diusir ke luar lapangan. Untuk pelang-

garan berat, wasit akan mengeluarkan kartu merah. Pemain yang

terkena kartu merah harus keluar dan tidak diizinkan ikut pertan-

dingan berikutnya satu kali. Mereka yang mencetak gol dalam posisi

offside atau dengan tangan, gol-nya pasti dianulir.

Semua itu dengan catatan: asalkan pelanggaran itu diketahui

saat pertandingan masih berlangsung. Bila pelanggaran diketahui

atau dilaporkan setelah pertandingan berakhir, tak akan bisa

diproses. Hasil akhir tetaplah hasil akhir ketika peluit panjang babak

kedua ditiup wasit.

Dan terlepas dari itu, segala yang terjadi hanya akan menjadi

bahan perbaikan ke depan, namun tak mengubah skor akhir

pertandingan.

***

Seorang Ketua KPU Korea Selatan mengumumkan pemenang

pemilu.

Dia berseru, “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… 3… Partai

Konservatif….”

Melintasi Samudera Pasifik, pengumuman serupa sedang

disampaikan.

Bunyinya, “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… Partai

Demokrat….”

Di Indonesia, juru bicara KPU berdiri kaku. Dengan berat dia

mengumumkan, “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… mmm…

bentar ya… 1… 2… belum nih… 1… 2… maaf, suara yg terkumpul

baru 1-2 persen….”

Ya, anekdot itu menyindir betapa lamanya kita untuk

mengumumkan pemenang pemilu. Baik Pemilu Legislatif maupun

Pilpres, semuanya tak bisa diumumkan secara cepat. Bukan hanya

karena penghitungan suara yang biasanya lama, namun juga lebih

dikarenakan banyaknya ketidakpuasan yang berujung gugatan.

Mengungkap Kesenjangan Istana 17

Gugatan inilah yang biasanya membutuhkan waktu penyelesaian

yang lama.

Kondisi ini bukan sekadar berimbas pada lamanya waktu yang

terbuang, namun juga makin terkikisnya modal sosial di masyarakat.

Modal sosial adalah atribut yang melekat pada masyarakat yang

menentukan tingkat kerja sama di antara mereka dan turut

menentukan kinerja pencapaian prestasi mereka. Aspek modal sosial

di antaranya kepercayaan, kohesivitas, altruisme, gotong royong,

jaringan, dan kolaborasi sosial.

Menurut Francis Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan

yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas.

Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja

secara gotong royong, merasa aman untuk berbicara, dan mampu

mengatasi perbedaan-perbedaan. Sementara, masyarakat dengan

modal sosial rendah diwarnai kecurigaan satu dengan yang lain,

merebaknya dikotomi “kita” dan “mereka”, tiadanya kepastian

hukum dan keteraturan sosial, serta mudahnya muncul kambing

hitam.

Ada pada kelompok manakah kita?

Bila hasil Pemilu Legislatif dan Pilpres selalu ditanggapi dengan

rasa curiga, bahkan mempertanyakan perangkat dan struktur

hukum yang diciptakan untuk mengaturnya, maka modal sosial kita

takkan pernah beranjak lebih tinggi. Padahal, siapa pun tahu bahwa

modal sosial lebih menentukan kemajuan suatu bangsa, lebih dari

peran modal sumber daya manusia dan modal finansial.

Selain itu, kondisi itu akan selalu membuat anggota KPU kita

ragu. Tiap kali mengumumkan hasil pemilihan, mereka harus seperti

orang gagu: “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… mmm… bentar ya…

1… 2… belum nih… 1… 2… maaf, suara yg terkumpul baru 1-2

persen…sudah digugat lagi.....”

Apa kita mau seterusnya begitu? *

18 Negeri dengan 230 Juta Pelatih

Mengungkap Kesenjangan Istana 19

22222Panglima itu

Bernama Media

Hari masih pagi. Warga New York baru saja bangun tidur dan

menyiapkan sarapan. Tapi pada pagi hari di tahun 1898 itu,

mereka mendapat bonus kejutan.

“SPANISH ARMADA OFF THE COAST OF NEW JERSEY.”

Judul berita dengan huruf-huruf mencolok mata yang

terpampang di koran Inquirer itu mengusik kenyamanan warga

menikmati damainya pagi. Armada Spanyol sudah berbaris di pantai

New Jersey? Benarkah itu? Jadi, perang sudah menjelang?

Entah benar atau tidak, yang jelas itulah yang disuguhkan koran

bertiras raksasa di New York itu kepada pembacanya. Koran itu

milik Charles Foster Kane, seorang ambisius yang membangun karier

sebagai penerbit koran. Dia membeli Inquirer yang tengah kembang-

kempis, dan menyulapnya menjadi media yang sensasional ala

tabloid. Kane sukses membengkakkan oplah Inquirer, plus men-

jadikannya kekuatan politik yang kuat.

20 Panglima itu Bernama Media

Tapi benarkah memang armada Angkatan Laut Spanyol sudah

tiba di New Jersey? Bagi Kane, itu soal kedua. Jangankan pembaca,

para redaktur Inquirer sendiri kebingungan membaca berita itu.

Mereka merasa, Inquirer telah menjelma menjadi koran sensasional,

menjadi media yang dengan gagah-berani mengibarkan bendera

yellow journalism. Berita-beritanya tak hanya dipermak menjadi

hiperbola, tapi bahkan seringkali bohong.

Menghadapi keluhan para redakturnya, Kane dengan enteng

berkata, “Jika headline dibuat cukup besar, itu menciptakan berita

cukup besar pula.” Kebenaran, agaknya bukan hal penting buat

Kane. Makin lama, pemberitaan Inquirer makin jauh dari kebenaran

dan kejujuran, disesaki manipulasi dan opini. Yang dianggap “sakral”

oleh Kane adalah ambisi politiknya yang menyala-nyala. Saat itu,

dia berencana maju sebagai gubernur New York dan Presiden AS.

Dia ingin mencitrakan diri sebagai reformis, sahabat kaum marginal,

dan pemimpin baru yang mampu menyapu korupsi di pemerin-

tahan. Dia bersedia melakukan apapun –termasuk memanfaatkan

jaringan medianya— untuk mewujudkan impian politiknya.

Dan, Perang AS-Spanyol merupakan bagian dari rencana

politiknya. Perang AS-Spanyol dianggap bakal membuat jalannya

menuju kekuasaan melebar bak jalan tol. Itu sebabnya Kane sengaja

membuat berita bohong tentang datangnya pasukan Spanyol di

pantai New Jersey, satu hal yang turut memicu perang AS-Spanyol.

Dia menampilkan berita itu sebagai headline dengan huruf-huruf

mencolok mata.

Melalui mis-informasi yang sengaja dirancang, berita-berita

rekaan dan sentimen-sentimen nasionalisme kosong, Kane berupaya

menceburkan AS ke dalam perang melawan Spanyol. Medianya

pun sibuk mengisahkan kekejaman Spanyol, padahal itu tak terjadi.

Medianya juga melaporkan serunya baku tembak, padahal itu juga

nihil. Kane juga memerintahkan jaringan medianya membesar-

besarkan situasi, sehingga presiden AS tidak bisa jernih lagi

menghitung peluang dan memutuskan kebijakan.

Mengungkap Kesenjangan Istana 21

Kane menciptakan semua kebohongan itu secara halus. Dia

cerdas, penuh energi dan piawai menghibur. Dia benar-benar

menikmati posisi sebagai pembentuk opini dan kebijakan. Berkat

medianya, dia menjadi tokoh berpengaruh dan salah satu pilar

masyarakat. Suatu saat di korannya, Kane menurunkan apa yang

disebutnya Declaration of Principles. Dia berjanji kepada pembacanya

untuk selalu menyuguhkan berita-berita yang jujur, cepat, sederhana

dan menghibur. Tak janji jurnalistik yang disuguhkannya, tapi juga

janji politik. Kane berjanji memberi masyarakat hak-hak sebagai

warga negara dan manusia dengan tanpa kenal lelah dan tanpa kenal

henti. Sebuah janji yang luar biasa. Tapi para kritikusnya menanggapi

janji itu dengan skeptis, dan hanya menganggapnya sebagai

“suvenir” ala Kane.

Agar lebih meyakinkan, Kane mengirim wartawannya ke Kuba

(saat itu menjadi salah satu markas tentara Spanyol) untuk “meliput

perang. “Tapi di lapangan sang reporter tidak menemukan apa-apa.

Tak ada baku tembak, tak ada kekejaman. “Tak ada apa-apa, di sini

saya hanya bisa menulis puisi,” kata si wartawan.

Lalu apa jawaban Kane? “Terus saja mengirim puisi, aku yang

akan memberimu perang.”

Sejarah mencatat, Perang AS-Spanyol memang meletus antara

25 April sampai 12 Agustus 1898. Perang terjadi karena AS

melakukan campur tangan atas isu politik luar negeri di Koloni

Spanyol, terutama Kuba dan Filipina, Puerto Riko dan Guam.

Spanyol tidak bersedia menyerahkan kemerdekaan pada koloni-

koloni itu, dan AS tidak menyukainya. Saat itu, AS masih berada

dalam masa ekspansionisme (ingin mengontrol lebih banyak negara

lain). Perang ini dimenangkan AS. AS pun menduduki koloni-koloni

itu, mengambil kendali atas tanahnya dan dijadikan milik

pemerintah. Ribuan prajurit dan penduduk sipil tewas dari kedua

belah pihak.

Tokoh Kane dan koran Inquirer itu memang hanya muncul di

dalam film. Keduanya muncul dalam film Citizen Kane, sebuah film

22 Panglima itu Bernama Media

Hollywood yang dirilis pada 1941. Film ini disutradarai Orson Welles,

dan dibintangi Everett Sloane, George Coulouris, Ray Collins, dan

Agnes Moorehead. Banyak orang menyebut-nyebut Citizen Kane

sebagai film terbaik sepanjang masa. Film ini, misalnya, nangkring

di puncak peringkat 100 Years, 100 Movies, 10th Anniversary Edition

yang dihelat American Film Institute. Citizen Kane menyisihkan film-

film besar lain dalam sejarah Hollywood seperti The Godfather,

Casablanca, Raging Bull, Singin in the Rain, Gone With The Wind,

Lawrence of Arabia, Schindlers List, Vertigo, The Wizard of Oz, dan

Vertigo.

Toh, siapa bilang karakter dan kisah-kisah Kane tidak nyata?

Gambaran tentang tokoh Kane ini amat mirip tokoh terkemuka

persuratkabaran Amerika Serikat yang lahir di San Francisco,

California, 29 April 1863. William Randolph Hearst. Kalau tidak

nyata, mengapa sang sutradara Citizen Kane, Orson Welles, dibekap

masalah serius akibat reaksi Hearst?

Sebagaimana Kane, Hearst juga raja media. Ia mendirikan

kerajaan surat kabar Hearst Corporation. Ia juga tersohor atas cerita-

cerita sensasional di medianya. Cerita-cerita itu sering salah, atau

tak sepadan dengan kenyataan. Hearst memasuki bisnis media pada

1887 setelah mengambil alih kontrol atas The San Francisco Examiner

dari ayahnya. Saat boyongan ke New York, dia mengakuisisi The

New York Journal, dan dengan segera terlibat perang sirkulasi dengan

New York World milik Joseph Pulitzer. Perang ini memunculkan

apa yang kemudian disebut yellow journalism (jurnalisme kuning)

yang mengabdi pada kisah-kisah sensasional yang diragukan

kebenarannya. Namun, justru berita-berita “pepesan kosong” itulah

yang membuat Hearst berjaya. Koran demi koran diakuisisi, sampai

akhirnya dia memiliki 30 koran besar di kota-kota terkemuka di AS.

Belakangan, dia melebarkan sayapnya ke majalah, yang membuatnya

menjadi media mogul terdahsyat saat itu.

Seperti juga Kane, Hearst menyimpan pula hasrat politik

menyala-nyala. Dia dua kali terpilih menjadi anggota DPR dari Partai

Mengungkap Kesenjangan Istana 23

Demokrat. Tapi dua kali pula dia gagal merebut kursi Walikota New

York pada 1905 dan 1909. Ambisinya menjadi Gubenur New York

pada 1906 juga kandas. Begitu pula saat dia berhasrat menyabet

jabatan Lieutenant Governor of New York pada 1910. Salah satu

kunci kekuatan politik dan popularitasnya, tentu saja, adalah barisan

koran dan majalah yang dimilikinya. Sejarah mencatat (mirip yang

digambatkan dalam film Citizen Kane), media Hearst pernah

menggalang opini publik agar AS berperang dengan Spanyol pada

1898.

Mirip bukan dengan Citizen Kane? Hearst sendiri merasa

begitu, dan tentu saja dia kesal melihat kisah Kane begitu mirip

dengan dirinya. Dia menggunakan segenap pengaruhnya untuk

menghadang rilis film itu. Namun Welles dan studionya, RKO, ber-

hasil menepisnya. Namun dengan mengerahkan koneksi

Hollywoodnya, Hearst berhasil mempersempit gerak Citizen Kane

di gedung-gedung bioskop. Akibatnya, Citizen Kane gagal menang-

guk sukses komersial yang sebanding dengan sukses sinematografis-

nya.

Kisah Kane dan Hearst selalu berulang dan berulang lagi di

bermacam tempat dan berbagai waktu dengan tokoh yang berbeda.

Tak percaya? Lihat PM Italia Silvio Berlusconi. Dialah media moghul

yang dianggap mirip Hearst atau Kane, yang memadukan kekuasaan

politik, ekonomi dan media. Dia adalah pemilik perusahaan media

raksasa di Italia. Dia juga pemimpin Partai Forza Italia yang dibentuk

pada 1994 untuk keikutsertaannya dalam politik. Ia menjadi perdana

menteri selama tujuh bulan (10 Mei 1994-17 Januari 1995), namun

pada 2001 kembali diangkat menduduki jabatan itu. Perusahaan

Berlusconi saat ini, Mediaset, terdiri dari tiga stasiun televisi nasional

yang ditonton 45% penonton TV Italia. Mediaset Group bersama

perusahaan RAI menguasai 90 persen dari keseluruhan pasar di

Italia, juga menguasai 96,8 persen dari seluruh pemasukan iklan

televisi (dengan jumlah 2,5 miliar Euro pada 2001). Berlusconi juga

punya Il Giornale, surat kabar besar dan majalah berita Panorama.

24 Panglima itu Bernama Media

Yang menjadi kontroversi terletak pada alasan sejati Berlusconi

terjun ke politik. Demi negara atau diri sendiri? Banyak yang melihat,

Berlusconi masuk ke arena politik demi kepentingannya sendiri,

untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaannya yang di berada

bibir jurang kebangkrutan dan dirinya sendiri dari tuntutan hukum.

Sebaliknya, para pendukungnya menyambut sebagai “orang baru”

yang bakal menyulap birokrasi pemerintahan menjadi lebih efisien

dan memperbarui negara dari tingkat paling atas hingga paling

bawah. Mereka merasa, pemilik klub AC Milan ini sudah begitu

kaya-raya sehingga tidak akan berminat menggunakan politik untuk

menjadi semakin kaya.

Berlusconi mendirikan Forza Italia (Majulah Italia) hanya dua

bulan sebelum pemilu 1994. Dia juga melakukan kampanye besar-

besaran lewat iklan di ketiga jaringan TV-nya. Ia menggerakkan para

manajer di perusahaannya turun ke lapangan melakukan kampanye

politik. Para manajernya juga dicalonkan menjadi anggota parlemen,

meskipun mereka sama sekali belum pernah terjun ke panggung

politik. Maka, muncullah para politisi dadakan. Lahirlah bentuk baru

politik, genre baru politik yang menyimpang dari perpolitikan Italia.

Berlusconi memenangkan pemilu dan Forza Italia menjadi

partai yang menduduki peringkat pertama dengan 21% suara

popular.

Kisah Kane, Hearst dan Berlusconi menunjukkan, sejak awal

sejarah jurnalisme memang tidak bisa dilepaskan dari politik atau

kekuasaan. Bahkan seringkali media digunakan sebagai alat

menggapai kekuasaan. Di satu sisi, jurnalisme di antaranya memang

lahir untuk mengontrol kekuasaan, melayani kepentingan publik,

menjadi the fourth estate atau watchdog (atau apapun sebutannya).

Tapi di sisi lain, media adalah bisnis yang melibatkan modal dan

pemilik modal. Pada titik ini, tak terhindarkan media seringkali

digunakan sebagai corong kepentingan pemiliknya. Dan ketika ini

terjadi, prinsip jurnalistik seperti objektivitas yang mengedepankan

faktualitas (benar, akurat) dan imparsialitas (keseimbangan,

Mengungkap Kesenjangan Istana 25

kenetralan) dalam mengungkap peristiwa terkadang dilupakan.

Kisah Kane dan Hearst juga mengisyaratkan, isi media tidaklah

selalu sebangun dengan peristiwa yang dilaporkannya. Banyak

teori-teori media yang menjelaskan bagaimana isi media bukanlah

datang dari ruang hampa. Isi media (berita) pada dasarnya merupa-

kan produk dari ketegangan banyak kepentingan, mulai wartawan-

nya sendiri, politik redaksional/ideologi media yang bersangkutan,

pemasang iklan, kelompok kepentingan, pemerintah, sampai

pemiliknya sendiri.

Kisah ketiganya mendemonstrasikan pula betapa perkasanya

media melakukan melakukan apa yang dalam studi komunikasi

massa sering disebut sebagai agenda setting dan pembingkaian

(framing). Dalam konteks agenda setting, media dianggap tak sekadar

membawa kabar atau informasi. Lebih dari itu, medialah yang

menentukan apa saja yang patut dipikirkan khalayak dan apa saja

yang tidak. Media sejak awal melakukan seleksi informasi atau opini,

dan khalayak dibuat percaya bahwa informasi atau opini itu jauh

lebih penting dipikirkan ketimbang informasi atau opini lain.

Asumsinya, menu berita yang disajikan media massa juga akan

menjadi menu pikiran khalayak.

Isu-isu yang dianggap penting oleh media (media salience of

issues) cenderung menjadi isu-isu yang dianggap penting khalayak

(public salience of issues).

“…The mass media may not be successful in telling us what to think,

but they are stunningly successful in telling us what to think about,”

begitu kata Bernard Cohen, pakar media AS, pada tahun 1963.

Tak cuma menentukan apa yang patut dipikirkan khalayak,

media pada dasarnya juga melakukan proses pembingkaian (framing)

terhadap isu-isu yang disajikannya dalam bentuk berita. Pada

dasarnya, selalu ada motif di balik proses seleksi (pemilihan) berita

berikut cara penulisannya. Selalu ada bingkai-bingkai tertentu yang

dikembangkan wartawan (media) dalam melakukan pemilihan dan

penulisan berita. Ada aktor yang ditonjolkan, ada aktor yang

26 Panglima itu Bernama Media

disamarkan bahkan dihilangkan. Ada isu yang ditonjolkan, ada pula

isu yang disamarkan.

Pada titik ini, persepsi publik terhadap isu atau tokoh yang

disajikan media diasumsikan terbentuk oleh serangkaian proses ini.

Siapa pahlawan siapa pecundang atau bajingan, apa yang penting

apa yang tidak penting, siapa salah siapa benar, atau apa yang salah,

apa yang benar, semua bisa terbingkai secara rapi dan tersembunyi

di balik teks-teks media. Seperti Kane, yang membangun reputasi

dan citranya melalui kekuatan medianya melakukan agenda setting.

Kane yang direka dari tokoh dunia nyata “Hearst” melakukan

semuanya. Kane menunjukkan bagaimana kepemilikannya bisa

membuat haluan jurnalisme Inquirer berbelok esktrem menjadi

“kuning.” Pantai New Jersey yang sepi-sepi saja diberitakan sudah

dipenuhi armada kapal perang Spanyol. Publik dibuat percaya

bahwa isu Perang AS-Spanyol amat penting bagi sejarah bangsa

AS. Khalayak juga digiring ke dalam cara berpikir bahwa perang

melawan Spanyol harus dilakukan. Melalui Inquirer pula Kane

ditampilkan secara konstan dan massif sebagai sosok pembaharu,

sahabat rakyat marginal, anti-korupsi dan nasionalis. Semua demi

impian jabatan gubernur dan presiden.

Dalam sebuah tesisnya yang dilansir dalam The Second Law of

Journalism (1996), Altschull (1996), jelas-jelas memang menunjukkan

adanya hubungan antara isi media dengan pihak-pihak yang

mendanai (funding sources). Isi media, menurut Altschull,

merefleksikan kepentingan lembaga periklanan dan pihak-pihak

yang memiliki media serta ideologi dari kelompok yang mendanai.

Bahkan orang secara individual pun berusaha memengaruhi isi

media dengan mempromoskan pandangan-pandangannya.

Inilah pula ujian bagi pers Indonesia. Belakangan, sejumlah

tokoh atau pemilik media tampak begitu bersemangat memasuki

arena politik. Ada yang berniat menjadi anggota DPR, DPD, kepala

daerah, ketua partai, atau bahkan presiden. Sebagian sukses, sebagian

kandas. Yang pasti, tentu tidak baik bagi bangsa ini jika yang muncul

Mengungkap Kesenjangan Istana 27

kemudian adalah Kane-Kane versi Indonesia. Apalagi ketika para

pemilik media raksasa termasuk yang terbetot semangatnya

mengarungi arena politik dan menggunakan medianya.

Apakah mereka akan menjaga medianya sedapat mungkin

menjadi “mirror” bagi realitas tanpa keinginan mengubahnya

menjadi cermin bengkok seperti Kane? Apa jadinya dengan

pembaca dan masyarakat jika mereka segan mengibarkan elemen

yang ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements

of Journalism (buku mereka yang termashur dan menjadi acuan etik

wartawan seluruh dunia) sebagai kebenaran dan non-partisan?

****

Alkisah, di sebuah kota hidup seorang janda beranak satu.

Suaminya meninggal saat si anak masih berusia dua tahun. Namun

si anak belum paham tentang apa itu kematian. Seringkali, si anak

bertanya kepada ibunya: “Di mana ayah, kok lama tak kembali?”

Ibunya selalu menjawab ayahnya sudah pergi ke surga,

dipanggil Tuhan. “Jadi ayah tidak mengingat kita lagi dan tak mau

kembali lagi?” tanya si anak dengan wajah sedih.

“Bukan! Ayah sangat sayang kepada kita dan selalu ingat kepada

kita. Di sana ayah sedang membangun rumah untuk kita. Nanti

kita juga akan dipanggil ke surga, bertemu lagi dengan ayah,” ibunya

buru-buru menjawab.

Suatu ketika, saat si anak duduk di kelas satu SD, beberapa

teman sepermainannya memiliki sepeda. Si anak sangat sedih karena

belum punya sepeda. Dia meminta ibunya supaya dibelikan sepeda.

Tetapi ibunya tidak bisa segera memenuhi permintaan si anak karena

tak punya uang.

Si anak teringat ayahnya. Kata teman-temannya, mereka juga

dibelikan sepeda oleh ayah masing-masing. Harganya satu juta

rupiah. Lalu, si anak menulis surat kepada ayahnya. Bunyi begini:

Ayah di surga.

Teman-temanku sudah punya sepeda, dibelikan ayah mereka. Tinggal

28 Panglima itu Bernama Media

aku yang belum. Kalau ayah tidak sempat pulang, tolong kirimkan

uang satu juta rupiah untuk membeli sepeda.

Si anak memasukkan surat itu ke dalam amplop dan mengirim-

kannya lewat kotak pos di kantor pos dekat kelurahan. Di sampul

amplop dia tulis: Kepada Ayah di Sorga. Di kolom pengirim, si anak

menuliskan nama dan alamat rumahnya dengan lengkap, meniru

alamat yang selalu dibuat ibunya setiap mengirim surat kepada

kerabat.

Esok harinya, Pak Pos menyortir dan mengantar surat itu. Mem-

baca tujuan surat si anak, Pak Pos pun merasa iba. Dia tidak tega

mengembalikan suratnya. Tapi, mau dikemanakan surat itu?

Akhirnya Pak Pos menyerahkannya ke kantor polisi terdekat.

Pikirnya, siapa tahu surat itu berisi sesuatu yang bisa diselesaikan

Pak Polisi.

Tapi tindakan Pak Pos itu hanya memindah kebingungan dan

rasa iba kepada polisi. Ketika menerima surat itu, polisi yang

kebetulan sedang jaga membuka dan membacanya. Seketika, dia

jatuh iba. Dia langsung mengerti bahwa si anak ini sudah tidak

punya ayah.

Lalu petugas polisi ini melaporkan perihal surat itu kepada

komandannya. Sama seperti anak buahnya, si komandan juga

terenyuh. Spontan, dia meminta semua anak buahnya berkumpul

di ruang rapat. Kepada anak buahnya, komandan menjelaskan isi

surat si anak. Komandan pun mengajak semua anak buahnya

dengan sukarela, tulus, patungan memenuhi permintaan si anak.

Untuk memotivasi, komandan langsung merogoh koceknya.

“Ini dari saya dua ratus lima puluh ribu,” katanya. Semua anak

buahnya pun ikut membuka dompet, hingga terkumpullah uang

Rp 900 ribu. “Iya, sudah, segitu juga sudah cukup. Kan ada juga

sepeda yang harganya Rp 900 ribu,” kata komandan

Komandan pun menugaskan dua anak buahnya mengantar

uang itu ke alamat si anak. Kebetulan, si anak ada di rumah sendirian.

Dengan sedikit kaget, si anak membukakan pintu. “Kamu yang

Mengungkap Kesenjangan Istana 29

bernama Si Anu dan mengirim surat kepada ayahmu di surga?”

tanya polisi, yang diiyakan si anak. “Oh, ini uang yang kamu minta,”

kata polisi seraya menyerahkan uang itu seraya mengelus-elus kepala

si anak.

Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan si anak dan ibunya,

kedua polisi itu pun pergi. Setelah polisi itu pergi, dengan sangat

gembira si anak membuka amplop berisi uang itu. Jumlahnya Rp

900 ribu. Dia tercenung beberapa saat. Lalu, si anak segera menulis

surat lagi kepada ayahnya di surga dan mengirimkannya lewat

kantor pos.

Oleh Pak Pos, surat itu diantar lagi ke kantor polisi. Petugas

piket langsung menyerahkan surat itu ke komandan, karena dia

yakin surat itu berisi ucapan terimakasih si anak. Komandan pun

membuka dan membaca surat itu.

Ayah di Surga.

Terima kasih telah mengirimkan uang untuk membeli sepeda. Tapi,

ayah, lain kali kalau mau kirim uang jangan lewat polisi. Kalau

lewat polisi langsung dipotong sepuluh persen, yang mereka serahkan

hanya Rp 900 ribu. (Berita Indonesia, 12 November 2009)

Kalau Anda menjadi polisi, apa yang akan Anda rasakan? Sudah

bersusah-payah merogoh kocek dalam-dalam dan mengantar uang

hasil patungan dengan bensin sendiri, tapi kok masih dicurigai.

Betapa nelangsanya. Tapi itulah “kodrat” yang harus diterima Polri,

sebuah persepsi yang sudah telanjur berkembang-biak di benak

sebagian warga. Citra polisi telanjur diasosiasikan dengan uang,

pelayanan yang menyedihkan, manipulasi atau kekerasan dalam

proses penyidikan. Apapun yang dilakukan polisi, setulus apapun,

selalu diendus dengan rasa curiga. Hal baik apa pun yang dilakukan

polisi selalu dipandang sebelah mata. Sebuah citra buruk yang musti

diterima sebagai konsekuensi perilaku di masa lalu.

Namun beberapa tahun belakangan Polri menemukan mo-

mentum luar biasa untuk mempermak citra melalui pemberantas-

an terorisme. Polri bahkan menorehkan sukses gemilang

30 Panglima itu Bernama Media

membongkar dan menangkal aksi-aksi terorisme, terutama sejak

kasus Bom Bali. Aksi-aksi Polri mengejar dan membekuk Imam

Samudera, Mukhlas, Amrozi, Azahari, dan Noordin M. Top telah

menumbuhkan optimisme bangsa dan dunia dalam melawan

terorisme. Pujian pun berhamburan. Tak hanya dari dalam, apresiasi

juga datang dari dunia internasional. Berkat Polri, aksi terorisme di

Indonesia tidak berlangsung berlarut-larut seperti misalnya di

Pakistan.

Namun inilah nasib nahas polisi kita pada 2009. Baru saja

menorehkan capaian gemilang dengan mengungkapkan kasus Bom

Marriott dan menewaskan Noordin M. Top berikut jaringannya,

kasus Bibit-Chandra menyeruak. Politisasi berbaur racikan teori

konspirasi terkait kasus ini tak hanya menyudutkan Polri, tapi juga

menisbikan segenap prestasi mengkilap Polri dalam pemberantasan

terorisme. Apalagi, tudingan rekayasa juga dilayangkan dalam kasus

pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin

Zulkarnaen, yang menyeret mantan Ketua KPK, Antasari Azhar.

Sekali lagi, citra Polri dibikin terpelanting dan remuk. Persepsi

sebagian masyarakat terhadap polisi kembali mirip persepsi si anak

terhadap polisi yang memberikannya uang untuk membeli sepeda.

Sejak awal media tampak begitu bersemangat mem-blow up

kasus ini. Tampak sekali kesan media “memimpin” masyarakat untuk

memilih dan mengonsumsi isu-isu yang dianggap penting. Bahkan

stasiun-stasiun televisi pemberitaan melakukan peliputan demikian

massif, seolah ingin mengatakan bahwa kasus Bibit-Chandra

merupakan satu-satunya agenda maha penting, dan karena itu terus-

menerus disajikan sepanjang waktu.

Media juga mengembangkan bingkai-bingkai tertentu dalam

kasus ini, yang sejak awal menempatkan Polri sebagai “bad guy,”

tidak adil, korup, membela koruptor, dan sebagainya. Puncaknya

adalah mencuatnya label “buaya” untuk polisi, dan “cicak” untuk

Bibit-Chandra (KPK). Penggunaan cap ini secara terus-menerus

memunculkan citra Polri sebagai “binatang buas, kuat, jahat, dan

Mengungkap Kesenjangan Istana 31

siap memangsa siapapun yang lemah.” Sebaliknya, citra KPK yang

terus-menerus dilambangkan sebagai “cicak” menyiratkan makna

sebagai pihak yang “lemah, teraniaya, dan perlu ditolong.” Sebagian

media pun mengembangkan tema-tema seperti “kriminalisasi KPK”

atau “pelemahan KPK” yang kemudian memicu kesan pemerintah

membela koruptor. Sebuah kesan yang sama sekali jauh dari

kebenaran. Bukankah KPK sendiri baru bisa lahir di era

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Tapi rasanya masyarakat

sudah cukup cerdas untuk membedakan mana kenyataan dan mana

kesan.

Tentu apa yang dilakukan media tetap harus diapresiasi sebagai

bagian dari fungsi kontrol media, sebagai kewajiban media dalam

fungsinya sebagai the fourth estate. Negara juga tidak semestinya

melakukan sesuatu yang bisa mencederai kekebasan pers. Namun

pers sendiri sepertinya harus disarankan menggunakan

kebebasannya secara bijak. Sejak rezim Orde Baru tutup buku, pers

memang bisa menikmati kebebasan. Tak ada lagi self sensorship,

budaya telepon, ancaman, atau pembreidelan. Tapi di sisi lain, tanpa

kontrol yang memadai, pers yang dulu dirayakan sebagai sarana

melawan absolutisme juga bisa menjadi monster terhadap demokrasi

itu sendiri. Di banyak negara, banyak terbukti media seringkali tidak

sepenuhnya menjadi corong publik, tetapi menjadi corong

kepentingan politik tertentu.

Ilmuwan politik Larry Sabato (1991) pernah menyindir tentang

betapa hiruk-pikuknya apa yang dia sebut sebagai attack journalism

di AS. Setelah kegemilangan Bob Woodward dan Carl Bernstein

membongkar skandal Watergate, metafora pers sebagai watchdog

mulai berubah menjadi mad dog. Bak anjing gila, pers dikritik karena

tanpa perasaan terus-menerus menyerang pengemban otoritas

terutama pemerintah, lebih fokus terhadap hal-hal berbau skandal,

selebriti, dan infotainment, ketimbang menyajikan berita-berita yang

benar-benar menyangkut kepentingan publik. Tak ayal, media pun

menciptakan “kegaduhan” karena terus-menerus menyerang.

32 Panglima itu Bernama Media

Sepertinya, kritik Sabato juga menemukan konteksnya di

Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya saat ini

memang menjadi “sansak favorit” media. Agenda setting dan bingkai

berita yang dikembangkan media nyaris selalu dibuat bertabrakan

dengan presiden. Ketika presiden menjelaskan tentang pentingnya

etika atau tatakrama berdemonstrasi, yang dilansir media secara

besar-besaran justru “isu kerbau.” Ketika presiden menjelaskan

maksud dan tujuan program 100 hari, lagi-lagi media tetap berkutat

pada “isu kerbau.” Nyaris tak ada ruang di media untuk penjelasan

maksud dan tujuan program 100 hari secara utuh dari presiden.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan

mempersilakan Pansus Century mengungkap kasus bail out Bank

Century sampai tuntas, media mengembangkan isu presiden lepas

tanggung jawab. Saat presiden mengingatkan akan sesuatu, media

menyebut gemar curhat. Ketika presiden membuat klarifikasi, media

menyebutnya cengeng. Saat presiden mengambil sikap hati-hati dan

memperhitungkan berbagai segi, media menyebutnya peragu.

Repotnya, saat melakukan sesuatu, media menyebutnya intervensi.

Saat memberikan penghargaan kepada 42 bupati dan walikota

di Istana Negara, 11 Februari 2010, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono meminta media tidak menyembunyikan berita baik,

karena menurut presiden kebanyakan media lebih memperhatikan

bad news is good news. “Ada yang bilang good news is no news, saya

kurang setuju. Bad news is bad news, good news is good news, makanya

kalau ada kealpaan, kekurangan silakan diangkat agar jadi

pelajaran,” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tulus

menginginkan, media juga bisa berperan baik dalam mewartakan

berita-berita yang ada, seperti agenda pemberian penghargaan ini

agar pemerintah daerah lain mendapat motivasi membangun daerah

masing-masing. Lebih lanjut, presiden juga mengharapkan berita-

berita yang ada sekarang ini bisa lebih mengenalkan Indonesia kepada

negara-negara tetangga (ASEAN) tidak hanya dari sisi jeleknya saja,

Mengungkap Kesenjangan Istana 33

melainkan juga sisi positif yang ada pada bangsa ini, sehingga bisa

mendatangan manfaat ke depan.

“Jadi saya berharap berita baik ini sampai ke masyarakat, masuk

ke media massa lokal. Kalau ada good news jangan disembunyikan,

jangan malu-malu untuk diwartakan,” ujarnya.

Merujuk Sabato, media saat ini cenderung terus-menerus me-

nyerang pemerintah tanpa perasaan, dan lebih fokus pada hal-hal

berbau skandal atau yang dikemas sebagai skandal. Media masih

belum mampu keluar dari negative journalism yang memuja prinsip

bad news is good news. Berhembusnya tren positive journalism atau

contributive journalism agaknya belum sepenuhnya menyentuh

seluruh media di Indonesia. Dunia tidaklah semuanya gelap dan

penuh pesimisme, tapi juga menyimpan optimisme dan pencapaian-

pencapaian.

Nah, adalah tugas media juga untuk membangkitkan harapan

serta semangat mengarungi tantangan. Bagaimana mungkin tugas

mulia itu bisa dituntaskan media jika masih saja berkubang di dalam

prinsip bad news is good news? Atau memang gejala “yellow

journalism” ala Kane sudah mulai berjangkit di sini? Atau ada

kepentingan-kepentingan tertentu yang bersembunyi di balik media

dan memanfaatkan media sehingga good news dibiarkan terus

terpendam di bawah tilam? Media terlihat cenderung

mengembangkan agenda setting isu-isu atau peristiwa-peristiwa

bernuansa skandal dan menyerang pemerintah, dan kurang

memberi ruang pada isu-isu atau peristiwa yang membangkitkan

optimisme serta harapan. Apa jadinya jika media –yang berkuasa

menentukan apa yang patut dipikirkan dan bagaimana cara berpikir

masyarakat melalui berita-beritanya— terus-menerus memberi

gambaran tentang politik Indonesia yang gaduh, penuh konflik dan

saling curiga, bak perairan yang hanya dihuni hiu-hiu kejam?

Apa yang terjadi di AS mungkin bisa menjadi pelajaran. Politik

bagi sebagian warga negeri Paman Sam itu, menurut pakar media

AS, D. Nimmo dan J.E. Combs, menjadi semacam second hand reality

34 Panglima itu Bernama Media

karena mereka tidak terlibat dengan politik secara langsung

(memperoleh informasi tentang politik dari tangan pertama).

Mereka secara pasif mengetahui informasi politik dari media.

Mayoritas warga AS saat ini merasa nyaman-nyaman saja menerima

informasi tentang politik sebagai second hand reality dari media

(khususnya televisi) yang celakanya, menurut Nimmo dan Combs,

sudah terdistorsi dan dimanipulasi. Mereka sudah telanjur merasa

nyaman menjadi publik yang pasif, dikendalikan para elite yang

merekayasa gambaran tentang politik di media. Nimmo dan Combs

menemukan hal yang sama di Australia, Kanada,dan sebagian negara

Eropa.

Jangan-jangan, ini pula yang tengah melanda di Indonesia.

Jika opini publik yang “media driven” seperti ini terus berlangsung,

yang dirugikan adalah bangsa ini secara keseluruhan. Masyarakat

akan menganggap apa yang digambarkan di media adalah kebenaran

dan fakta. Padahal, seperti dikatakan Nimmo dan Combs, gambaran

tentang politik yang muncul di media seringkali sudah didistorsi

dan dimanipulasi para elite. Apalagi, jika para elite itu memiliki

tautan kepemilikan atau kepentingan dengan media yang

bersangkutan.

Masyarakat tetap tak akan beranjak dari gambaran-gambaran

tentang politik yang serba berisi kekuasaan, skandal, penuh

kegelapan, dan nyaris tanpa masa depan. Politisi, partai politik, atau

lembaga perwakilan tetap dianggap pecundang, sosok-sosok licik

dan kanibal yang doyan memangsa sesamanya. Para hakim, polisi,

atau jaksa tak akan pernah bisa lepas dari tudingan sebagai pedagang

keadilan. Dan pemerintah akan selalu dibayangkan sebagai barisan

orang-orang gagal, penikmat kekuasaan atau kewenangan. Susah

dibayangkan, apa jadinya bangsa ini jika warganya melihat para

pemimpinnya secara sangat pesimistis seperti itu.

Manipulasi dan distorsi produk media bakal menciptakan

“demokrasi tanpa warga negara (democracy without citizen).”

Demokrasi mengandaikan adanya partisipasi otonom warga negara.

Mengungkap Kesenjangan Istana 35

Apakah warga negara bisa disebut otonom jika apa yang dipikirkan,

cara berpikir dan tindak-tanduknya “dikendalikan” para “operator

media”? Dalam masa transisi demokrasi yang sangat kritis, memang

kerap terjadi demokrasi yang awalnya sangat berbasis pada negara

(state-centered democracy) bergeser menjadi demokrasi yang basisnya

dibangun dan disandarkan pada kekuatan pers atau media (mass

media-centered democracy). Bila ini yang menjadi mode politik umum,

betapapun transisional sifat dan karakternya, mass-media centered

democracy dapat menjadi ancaman serius bagi tumbuhnya demokrasi

yang sejati, yaitu people-centered democracy.

Sinyalemen ini penting untuk dinyatakan agar kita tidak terseret

ke dalam perkembangan baru demokrasi yang justru menjauhkan

kita dari tujuan reformasi yang digelorakan satu dekade yang lalu.

Sejak awal, tujuan reformasi adalah mengembalikan kedaulatan ke

tangan rakyat. Dengan maksud apapun, kedaulatan tidak boleh

dipindahkan kepada siapapun selain rakyat. Sepertinya, agar pers

Indonesia perlu melakukan refleksi kritis atas perjalanan sejarahnya

selama satu dekade terakhir ini.

Sangat jelas, posisi strategis media massa sesungguhnya terletak

pada kekuasaan yang dimilikinya untuk mengonstruksi realitas.

Media massa memiliki kuasa dan pengetahuan (power/knowledge)

sekaligus yang saling berimplikasi. Di bawah tradisi kebebasan pers

(the freedom of the press), media massa dapat mendefiniskan “apa

yang penting dan tidak,” “apa yang perlu dan tidak,” “apa yang

relevan dan tidak.” Dengan kuasa itu, media massa bahkan dapat

menentukan “apa yang baik dan buruk,” “apa yang benar dan

salah,” “apa yang betul dan keliru,” “apa yang patut dan dan buruk,”

serta “apa yang pantas dan tercela.” Sungguh kekuasaan yang

sangat besar dan sekaligus luas yang dimiliki lembaga demokrasi

dalam sistem demokrasi yang esensinya justru ada pada semangat

“membatasi kekuasaan” dan “mencegah dominasi.”

Lalu apa yang bakal terjadi dengan publik jika tiap hari disuguhi

isi media massa yang kebenarannya sudah didiskon dan

36 Panglima itu Bernama Media

gambarannya tidak selalu jernih? Apa yang terjadi jika orang terus-

menerus secara konstan—dan akhirnya merasa itu sebagai hal

wajar—menerima informasi politik sebagai second hand reality melalui

media dengan segenap kompleksitasnya?

***

Sekelompok tahanan disekap di sebuah gua di bawah tanah,

diikat erat-erat sehingga sampai-sampai mereka tidak bisa

menolehkan kepala. Begitu dalamnya gua, sehingga tak secuil sinar

matahari pun mampu menembusnya. Mereka tidak bisa melihat apa

yang terjadi di sekitarnya. Mereka hanya bisa melihat bayangan

benda-benda di dinding gua yang dipantulkan api unggun.

Gelapnya gua dan ketatnya ikatan membuat mereka tak bisa melihat

tawanan lain. Dari hari ke hari, mereka saling berbicara hanya

dengan memandang bayangan tubuh lawan bicaranya di dinding

gua. Mereka juga saling memberi nama pada bayangan itu, bukan

kepada objeknya secara langsung. Mereka berinteraksi, saling

melihat dan bicara melalui bayangan di dinding. Lama-lama mereka

berpikir pun bayangan itu memang sesuatu yang nyata.

Suatu ketika, ikatan seorang tahanan dilepas. Seketika, dia bisa

melihat tubuh objek (rekannya) yang selama ini hanya bisa dilihat

bayangannya. Dia dicekam kebingungan. Dia merasa bayangan yang

selama ini dilihatnya dari hari ke hari lebih nyata ketimbang objek

aslinya. Si tahanan pun melemparkan muka, tiap kali bicara dia

merasa lebih nyaman menatap bayangan temannya di dinding gua.

Baginya, bayangan itu lebih nyata ketimbang objek aslinya.

Sang penjaga lalu menyeret si tahanan keluar gua. Di bawah

terang sinar matahari, dia sebetulnya bisa melihat semua benda dan

manusia. Tapi kebingungannya justru memuncak. Dia merasa

semuanya tidak nyata. Dia pun kembali menerobos masuk ke dalam

kegelapan gua. Di dalam, dia merasa efek terpaan sinar matahari

membuat penglihatannya tidak setajam sebelumnya. Bayangan di

dinding itu masih tetap lebih nyata baginya. Si tahanan pun

Mengungkap Kesenjangan Istana 37

memutuskan tak akan pernah lagi mau melihat sinar matahari. Lebih

jauh, dia bahkan bersumpah membunuh siapapun yang

memaksanya melihat matahari. (Plato, Republic, 380 SM).

Seperti tahanan itukah kita sekarang? Adakah kita sudah

sampai pada fase merasa nyaman mengonsumsi berita (politik)

sebagai second hand reality melalui media massa? Adakah kita sudah

cukup cerdas menangkal bias-bias media? Apakah kita sudah

merasa realitas media lebih nyata ketimbang realitas itu sendiri? Atau

jangan-jangan kita sudah mulai terbiasa melihat dalam kegelapan

atau bayangan, dan siap melakukan apa pun agar tetap bertahan di

kegelapan? *

38 Panglima itu Bernama Media

Mengungkap Kesenjangan Istana 39

33333Dua Giok Patah

untuk SBY

Sebuah pesan datang untuk Kong Qiu (nama aseli Kong Fu-tze).

Pesan itu dibungkus secarik kain hitam, dan diserahkan melalui

anaknya, Kong Liu.

“Benar ini dari raja?” tanya Kong Qiu memastikan.

“Gong Baoliau (salah satu murid Kong Fu-tze, Red.)

mengantarkan itu dan mengatakan itu dari raja. Dia langsung pergi,

dan tak kembali,” jawab Kong Liu.

Pelan-pelan Kong Fu-tze membuka kain hitam itu. Isinya giok

bundar berwarna putih, dan sudah dipatahkan menjadi dua. Kong

Liu terheran-heran melihat pesan itu. Apa artinya giok patah itu?

Tapi memang hanya Kong Fu-tze yang tahu artinya. Raja Muda

Kerajaan Lu sudah tak menginginkannya lagi. Raja ingin Kong Fu-

tze segara menanggalkan jabatan Menteri Hukum yang sebelumnya

diamanahkan kepadanya. Giok patah itu adalah pertanda

dipatahkannya persahabatan, dan Kong Fu-tze harus segera

meninggalkan Kerajaan Lu. Melalui giok patah itu, Kong Fu-tze telah

mendapat keputusan: dia diasingkan.

40 Dua Giok Patah untuk SBY

Sungguh sebuah pukulan berat bagi Kong Fu-tze. Dia harus

meninggalkan tanah kelahiran yang dicintainya? Sesuatu yang tak

terbayangkan oleh Kong Fu-tze. Gurunya, sang bijak Lao Tze,

mengajarkan kepadanya untuk menjunjung tinggi tanah kelahiran.

Tapi kini dia harus meninggalkannya.

Parasnya memucat, napasnya sesak. Tapi Kong Fu-tze mampu

menahan perasaannya. Kong Fu-tze kecewa lantaran merasa

diabaikan dan disingkirkan, tapi dia tidak marah. Tidak seperti

pejabat lain yang marah atau bahkan memberontak saat jabatannya

dilepas, Kong Fu-tze justru rela melepaskannya meski hatinya pahit.

Dalam prinsipnya, jabatan sudah tak penting lagi ketika dirinya tak

lagi dikehendaki.

Demi memenuhi pesan raja dan mematuhi prinsip hidup serta

ajarannya sendiri, Kong Fu-tze pergi hari itu juga. Dia tak bicara

banyak, begitu pula istri dan anak-anaknya. Kong Fu-tze hanya

memeluk istrinya yang tengah menenun sembari menangis dari

belakang. Bahkan hujan deras tak menghalanginya untuk pergi saat

itu juga.

“Ayah, setidaknya tunggu hujan berhenti...!” teriak anaknya.

Tapi tidak, Kong Fu-tze tidak hendak berhenti. Setelah

memandang raut wajah anak-anaknya dengan penuh cinta, dia

berbalik dan menuntun kuda pedatinya. Susah dibayangkan,

seorang dengan jabatan begitu tinggi bersedia pergi melepaskan

semuanya begitu saja. Kong Fu-tze tak ingin dirinya menjadi ganjalan

yang menyulitkan bagi sang raja, yang terpaksa melepasnya karena

tekanan politik. Sungguh sebuah keteguhan hati yang tak terkira.

Dia pergi tanpa perlawanan, tanpa pembalasan, apalagi kata-kata

umpatan.

Seperti digambarkan dalam film Confucius (2010) yang

dibintangi Chou Yun Fat, Kong Fu-tze lalu mengembara mencari

orang-orang yang mau mendengar ajarannya. Dia memang harus

pergi, itulah harga yang harus dibayarnya demi integritas politik

yang dipertahankannya. Padahal kepada Raja Muda Kerajaan Lu,

Mengungkap Kesenjangan Istana 41

Kong Fu-tze telah mengajarkan integritas, kesantunan berpolitik,

sekaligus keberanian meninggalkan tradisi lama yang merugikan

rakyat.

Dalam hal ini, Kong Fu-tze berpisah jalan dengan sang maha-

guru Lao Tze.

“Untuk menyucikan diri, kita harus tak terpaut dengan

kehidupan duniawi,” begitu kata Lao Tze saat mewejang Kong Fu-

tze.

“Inilah jalan saya,” jawab Kong Fu-tze.

Untuk menciptakan tatanan harmoni, Kong Fu-tze memilih

terlibat langsung dalam tindakan menciptaan situasi damai dengan

menegakkan etika. Itulah “titik perpisahan” Kong Fu-tze dengan

Lao Tze.

Tapi ironisnya, integritas dan etika politik itulah yang justru

menjadi “titik lemah” Kong Fu-tze. Untuk mempertahankan inte-

gritas, Kong Fu-tze rela menanggalkan jabatan, bahkan kemudian

mengasingkan diri. Tapi dengan sadar dan penuh keagungan, dia

melakukan semuanya.

Saat memberi nasehat kepada Nan Zi, selir penguasa Kerajaan

Wu, Kong Fu-tze berkata: “Seorang pemimpin yang tidak

mengedepankan kesantunan akan membawa kerajaannya pada

kekacauan.”

Sampai suatu hari saat usianya sudah uzur, sebuah pesan

datang lagi. Sama-sama dibungkus secarik kain hitam, isinya juga

mirip: giok bundar berwarna putih. Tapi kali ini utuh, tidak patah

menjadi dua. Inilah pertanda Kerajaan Lu menyesali keputusannya

membuang Kong Fu-tze, dan mengundangnya pulang ke tanah

kelahiran.

Pada 484 SM, Kong Fu-tze pun pulang. Di depan gerbang

kerajaan, dengan kedua kakinya yang tua Kong Fu-tze turun dari

kereta. Tak langsung masuk ke dalam kerajaan, Kong Fu-tze ber-

sujud di hadapan gerbang sebagai wujud penghormatan kepada

tanah airnya. Inilah tradisi lama yang dipertahankan Kong Fu-tze,

42 Dua Giok Patah untuk SBY

meski banyak orang mengejeknya. “Akhirnya, aku pulang,” katanya

dengan air mata bercucuran.

Kepulangan Kong Fu-tze adalah tidak hanya bermakna

sentimental. Kepulangannya menjadi simbol kemenangan nilai-nilai

ajarannya yang berpusat di sekitar kesempurnaan manusia, kebaikan

hati, yang kualitas utamanya adalah sopan-santun, toleransi,

keyakinan, kerajinan, kebaikan, keberanian, kesetiaan, dan berbakti

pada orang tua. Dia dianggap “guru agung” yang tidak hanya piawai

mengajar dengan kata-katanya yang bijaksana, tetapi juga

menghayati serta menjalani hidup sesuai apa yang diajarkannya

sendiri.

***

“Giok patah.” Itu juga yang pernah datang untuk Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY).

Pagi itu, Jumat 1 Juni 2001, matahari bersinar terang. Udara

juga berhembus segar. SBY—saat itu menjabat Menteri Koordinator

Politik, Sosial, dan Keamanan di kabinet yang dipimpin Presiden

Abdurrahman Wahid— tengah asyik mengayun raket di lapangan

tenis Mabes TNI Cilangkap.

Tengah asyik bermain, dari pinggir lapangan Sekretaris Pribadi

Menko Polsoskam, Kol. Azis Ahmadi, menghampiri. “Maaf, Pak.

Ajudan Presiden berkenan bicara,” katanya.

SBY langsung mengambil ponsel yang disodorkan kepadanya.

Dengan segera, dia terlibat dalam pembicaraan singkat dengan sang

ajudan.

“Baik, saya akan segera menghadap,” kata SBY, seperti tertulis

dalam biografi SBY, Sang Demokrat (2004) yang ditulis Usyamah

Hisyam, dkk..

Presiden ternyata memintanya menghadap pukul 10.00 di Istana

Negara. SBY pun menyudahi olahraganya, dan bergegas meluncur

ke Istana. Setiba di sana, dia langsung diantar menghadap

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah menantinya seorang

Mengungkap Kesenjangan Istana 43

diri. Tanpa basa-basi, Gus Dur langsung menyodorkan ‘giok patah’

untuk SBY.

Presiden meminta SBY mundur dari jabatannya. Alasannya

dua. Pertama, menurut Gus Dur, rakyat meminta SBY segera

diganti. Jabatan Menko Polsoskam akan diserahkan kepada Agum

Gumelar (saat itu Menteri Perhubungan). Dengan jabatan barunya,

Agum diharapkan bisa memerbaiki hubungan Presiden dengan

Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang saat itu kian

memburuk.

Kedua, presiden menawarkan jabatan baru kepada SBY. SBY

dipersilakan memilih: menjadi Menteri Dalam Negeri

(menggantikan Surjadi Soedirdja) atau Menteri Perhubungan

(menggantikan Agum Gumelar).

“Apakah ini sudah menjadi keputusan, Gus?” tanya

purnawirawan jenderal berbintang empat ini.

“Ya, sudah,” tegas presiden.

Sekalipun kaget, SBY sama sekali tak membantah keputusan

itu. Dia sadar, pengangkatan menteri adalah hak prerogatif Presiden.

Tapi, yang sulit dimengerti adalah alasan pemecatan itu. Sekalipun

demikian, SBY berupaya menahan emosinya, dan tetap

menghormati keputusan Kepala Negara.

Begitu pertemuan usai, SBY kembali ke kediaman di Puri

Cikeas. Kepada segenap anggota keluarga, dia menceritakan

pertemuannya dengan Presiden. Dan di rumah itulah, SBY

ditenangkan seorang istri yang hebat, Kristiani Herrawati.

“Pa, Tuhan menyelamatkan Papa,” bisik sang istri ke telinga

SBY.

SBY lalu berjalan ke meja kerjanya di ruang perpustakaan, dan

menulis surat. Surat ini yang kemudian dikenang sebagai salah satu

cermin kesantunan berpolitik SBY. Meski isinya penolakan terhadap

tawaran Presiden, deretan kata-kata salam surat itu amat santun.

Misalnya, SBY menyatakan permohonan meminta maaf jika apa yang

dilakukannya sebagai Menko Polsoskam masih jauh dari sempurna,

44 Dua Giok Patah untuk SBY

dan jika ada sikap, pemikiran, dan rekomendasi yang tidak berkenan

di hati Presiden. Di bagian akhir, SBY bahkan menawarkan uluran

tangan hangat persahabatan kepada Gus Dur.

“…Secara pribadi saya amat terkesan dan senang dalam hubungan

yang bersifat kekeluargaan. Kehangatan dan “sense of humor” Gus

Dur tidak pernah saya lupakan. Semoga silaturahmi seperti ini tetap

kekal dan tidak putus walaupun kita berbeda tempat dalam

pengabdian…”

Itulah ending surat yang ditulis SBY. Demikian sejuk, rendah

hati, dan santun, sekalipun sesunggguhya argumentasi pencopotan

SBY terkesan mengada-ada. Tapi itulah SBY, kesantunan terhadap

siapapun dan dalam kondisi apapun memang melekat kepada dirinya

sejak masa kanak-kanak.

Kesantunan dan kesejukan itu juga tampak saat SBY melakukan

konferens pers usai surat itu dikirim kepada Presiden dan Wakil

Presiden. Di depan wartawan yang sangat bersemangat mengajukan

pertanyaan tajam, SBY tetap tenang dan menggunakan bahasa yang

sejuk serta santun.

Seperti tertuang dalam biografi SBY, Sang Demokrat, SBY

mengucapkan sesuatu yang membuatnya layak mendapat sebutan

man of ethical, man of principle, atau man of integrity: “Saya tidak akan

pernah mengganggu pemerintah. Tidak ada satu kata pun saya

menyerang pemerintah, apalagi mengganggunya. Karena saya sadar,

pemerintah mempunyai tugas sulit. Saya ikhlas. Saya tidak akan

berbuat apa-apa yang tidak penting. Saya akan tetap berbuat sesuatu

untuk pemerintah.”

Sejarah mencatat, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan

melalui Sidang Istimewa MPR dan digantikan Megawati

Soekarnoputi. Publik juga menjadi saksi, hubungan kedua tokoh

besar itu terus berlanjut. Dalam wawancara dengan Ramadhan

Pohan dari Jurnal Nasional pada 10 Februari 2009, mengatakan,”

Sesungguhnya saya menghormati para pendahulu saya, dan

meletakkan beliau-beliau dalam posisi terhormat. Saya kira Anda

Mengungkap Kesenjangan Istana 45

tidak pernah mendengar saya berkata jelek tentang beliau-beliau di

depan publik. Justru saya kerap memuji, berterima kasih dan

menyampaikan penghargaan atas apa yang diperbuat pendahulu

saya kepada negara.”

SBY mengakui, beberapa kali dia mendengar Gus Dur berbicara

kritis tentang dirinya di media massa.

“Ya. Saya mendengar itu. Tapi saya tidak pernah membalas kan?”

katanya lagi.

Banyak orang memang sempat terheran-heran melihat

keharmonisan SBY dengan Gus Dur. Bahkan pada upacara pe-

makaman Gus Dur, SBY (yang saat itu menjadi Presiden) memberi-

nya gelar Bapak Pluralisme. Kehilangan jabatan tidak menjerumus-

kan SBY ke dalam kubangan kemarahan, caci-maki, atau bahkan

persekongkolan. Tetap terjaganya persahabatan dan silaturahmi

antara SBY dan Gus Dur ini memberi pelajaran besar tentang

bagaimana seharusnya etika politik di negeri ini dijalankan.

Tiga tahun kemudian, SBY menerima ‘giok patah’ yang kedua.

Kali ini terkait dengan Presiden Megawati Soekarnoputri pada saat

menjelang Pemilu 2004. SBY yang ketika itu menjabat Menko

Polkam akhirnya mengundurkan diri, setelah sebelumnya mendapat

‘olok-olok’ tajam seperti ‘jenderal cengeng’ atau ‘anak kecil.’ Tapi

sebagaimana di era Gus Dur, SBY tetap bersikap sama: sejuk, santun,

dan penuh respek.

Seperti Kong Fu-tze, SBY tidak membalas semua olok-olok,

serangan politik, atau pemberhentian dirinya. Dia menerima “giok

patah” dengan cara persis Kong-Fu-tze menerima barang yang sama

dari Raja Muda Kerajaan Lu: penuh keanggunan, integritas, kesan-

tunan, etika, dan kontrol diri yang mengagumkan.

Mirip nasehat Kong Fu-Tze kepada Nan Zi, SBY pernah menga-

takan,” Amat berbahaya jika seorang pemimpin tidak dapat me-

ngendalikan emosinya, dan akhirnya tidak dapat berpikir rasional.

Bayangkan, jika seorang presiden yang sering harus mengambil

keputusan yang strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang

46 Dua Giok Patah untuk SBY

banyak tidak mampu berpikir tenang, jernih dan rasional. Coba

pelajari sejarah peperangan di dunia ini, mulai dari abad klasik

sampai abad modern. Banyak perang besar terjadi karena

permusuhan antar pemimpin, antar elite, dan bukan antar rakyat

atau bangsa. Perang pecah, negara menyerang negara lain, karena

keputusan sang pemimpin yang amat emosional, grusa-grusu, dan

penuh amarah.”

Pemilu 2004 dan masa-masa setelahnya merupakan ujian maha

berat buat karakter SBY. Memang bukan “giok patah” yang datang,

tapi kampanye hitam, pembunuhan karakter, sampai fitnah tanpa

henti berhamburan. Saat kampanye Pilpres 2004 berlangsung,

beredar isu sang istri, Kristiani Herrawati, beragama Kristen. Isu ini

terutama beredar di pesantren-pesnatren, diiringi pesan agak tak

memilih SBY.

Kali lain lain, saat sedang berkumpul di Cikeas untuk mengatur

siasat kampanye, tiba-tiba SBY menerima telepon dari seorang pen-

dukung yang sedang berada di Cipanas. Dilaporkan, di sana sedang

dibagi-bagikan selebaran, termasuk kepada para penumpang bus

dan angkot, yang berisi seruan jangan memilih SBY karena SBY

dan Partai Demokrat menerima bantuan dari Amerika Serikat senilai

50 juta dollar AS. Saat minggu tenang, diembuskan isu lain. Beredar

buletin yang menyebut, sebelum menjadi TNI SBY telah menikah

dan punya dua orang anak.

Setelah menjadi Presiden pada 2004, embusan angin fitnah itu

tak juga berhenti. Isu menikah saat masih menjadi taruna Akabri

kembali digemakan Zainal Ma’arif, politisi PBR. Yang terakhir fitnah

dari buku Membongkar Gurita Cikeas dan aktivis Bendera (Benteng

Demokrasi Rakyat).

“…Sungguh luar biasa, fitnah dan pembunuhan karakter itu,” kata

SBY dalam wawancara dengan Harian Jurnal Nasional (21 Feruari

2009)

Mengungkap Kesenjangan Istana 47

Tapi fitnah tidak dibalas dengan fitnah, kampanye hitam juga

tak pernah dibalas kampanye hitam. Sebagaimana contoh perilaku

yang ditunjukkan Kong Fu-tze, SBY juga membuktikan apa yang

dikatakannya ada pula di laku politiknya.

***

Malam itu adalah malam termuram dalam hidup Nathaniel

Hawthorne. Dalam perjalanan pulang dari kantor, pikirannya terus

berkecamuk. Apa yang akan dikatakannya kepada istrinya?

Bagaimana cara menjelaskan bahwa dia telah kehilangan pekerjaan

yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga?

Pekerjaan sebagai surveyor di Dinas Bea Cukai di Boston itu

telah menjadi jalan keluar sementara dari kegagalannya sebagai

penulis novel. Berbekal gaji dan pekerjaan itu pula Hawthorne berani

menikahi kekasih hatinya, Sophia Peabody. Dan sekarang, pekerjaan

itu dicopot dari tangannya begitu Presiden James Polk (presiden

ke-11 AS yang berkuasa tahun 1845-1849, orang yang memberi

Hawthorne pekerjaan itu) lengser, dan diganti Zachary Taylor.

Bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan ternyata juga

berdampak pada pergantian jabatan kantor Hawthorne. Dia dising-

kirkan. Malam itu, Hawthorne pulang dengan adonan rasa gundah

dan kecewa. Tapi Susan memang istri yang hebat. Dia tak berucap

apa-apa ketika suaminya menyampaikan kabar pemecatan itu.

Susan cuma mengambil sebatang pena dan sebotol tinta, lalu

meletakkannya di atas meja di depan Hawthorne. Dinyalakannya

api penerang dan merangkul Hawthorne mesra. “Kamu sekarang

punya waktu untuk menulis buku,” ujar Susan, lembut.

Hawthorne pun serasa mendapat semangat baru. Dia menulis

dan terus menulis dengan determinasi yang tak pernah dilakukan-

nya sebelumnya. Hasilnya? Sebuah novel yang termasyhur di

seluruh dunia, The Scarlet Letter. Pada 3 February 1850, Hawthorne

membacakan halaman terakhir The Scarlet Letter kepada Susan.

“Novel itu mematahkan hatinya, dan membuatnya tidur dengan

air mata. Saat itu, saya melihat sukses ada di depan mata,” kata

48 Dua Giok Patah untuk SBY

Hawthorne.

Selain mencetak best seller di zaman itu, The Scarlett Letter

mengantar Nathaniel Hawthorne (4 Juli 1804 – 19 Mei 1864) sebagai

salah novelis dan penulis cerita pendek paling berpengaruh di

Amerika Serikat pada abad ke-19. Ia dianggap figur penting dalam

perkembangan sastra Amerika. Sampai sekarang, The Scarlett Letter

pun masih menjadi bacaan wajib bagi siswa kelas 8 sampai 12 di

AS.

Novel-novel Hawthorne berikutnya, seperti The House of the

Seven Gables (1851), The Blithedale Romance (1852), dan The Marble

Faun (1860) ikut memperkukuh pengaruhnya di dunia kesusasteraan

AS.

Bahkan penyair Edgar Allan Poe yang menjadi kritikus pedas

karya-karyanya mengatakan: “Tak terbantahkan lagi, dia adalah satu

dari sedikit orang genius yang pernah dilahirkan negeri ini.”

Sementara Ralph Waldo Emerson menulis: “Reputasi Nathaniel

Hawthorne sebagai penulis membanggakan, karya-karyanya

merupakan hadiah untuk kemanusiaan.” Penyair John Greenleaf

Whittier juga memuji karya Hawthorne sebagai “aneh tapi indah.”

The Scarlet Letter sendiri menjadi salah satu novel yang paling

banyak menantang sutradara untuk mengangkatnya ke dalam film.

Pada 1995, novel yang bercerita tentang puritanisme dan hipokrisi

di sebuah daerah bernama Salem ini pernah diangkat sutradara

Rolland Joffe dengan membawa bintang-bintang besar seperti Demi

Moore, Gary Oldman, dan Robert Duvall. Sebelumnya, pada 1973

sutradara Wil Wenders memfilmkan The Scarlet Letter dengan bintang

Senta Berger, Lou Castle, dan Hans-Christtian Blechl. 40 tahun

sebelumnya (1934), novel ini juga difilmkan dengan sutradara Robert

G. Vignola dengan bintang Colleen Moore, Hardie Albright, dan

Henry B. Walthall. Sedangkan yang pertama mengangkat kisah ini

adalah sutradara Victor Seastrom dengan bintang Lillian Gish, Lars

Hanson, dan Henry B. Walthall pada 1926.

Sejarah mencatat, kunci sukses dan rasa hormat orang kepada

Mengungkap Kesenjangan Istana 49

Hawthorne terletak pada reaksi Hawthorne saat diberhentikan dari

pekerjaan karena perubahan politik di levek kepresidenan. Kasus

pemecatan Hawthorne memang menjadi salah satu topik terhangat

pada masa itu. Tapi Hawthorne bukanlah seorang reaksioner. Dia

tidak melancarkan aksi protes keras atau membangkang dengan

menggalang aksi politik. Dengan dukungan sang istri, dia tetap cool

dan mengalihkan energinya ke dunia sastra.

Pelajaran dari Hawthorne: apa yang dianggap bencana, jika

disikapi dengan bijaksana dan penuh etika bisa berbuah asa.

Begitu pula SBY. ‘Giok patah’ yang datang dua kali tak mem-

buatnya patah dan dibakar amarah.

Kehilangan jabatan justru membuat Hawthorne bekerja keras

menulis, dan menjelma menjadi novelis besar yang dikenang sampai

sekarang. Sementara SBY mereaksi kiriman “giok patah” dengan

tetap bekerja keras dalam pengabdian di medan yang lain. Integritas,

kesantunan, dan etika politik itulah yang diantaranya kemudian

mengantar SBY mencetak sejarah menjadi presiden pertama di

Indonesia yang dipilih secara langsung dalam Pemilu 2004. Sejarah

itu diteruskannya lagi pada Pemilu 2009 dengan perolehan suara

lebih mutlak.

Lalu inilah ironinya. Di tengah derasnya kampanye negatif di

dalam negeri—bahkan menjurus pembunuhan karakter— yang

dilancarkan lawan-lawan politiknya saat ini, kinerja SBY sebagai

presiden justru menuai apresiasi di berbagai belahan dunia. Ketika

di dalam negeri Presiden Yudhoyono diberi aneka stempel negatif

dan rapor merah terbakar, di luar negeri justru Presiden menggaet

respek dan rapor biru terang. Semua seolah serba berkebalikan.

Publik internasional menghujani Presiden Yudhoyono dengan aneka

kehormatan, tetapi sebagian orang di negeri sendiri melemparinya

dengan kotoran.

Yang paling mutakhir, 9 Maret 2010, Presden Yudhoyono dianu-

gerahi medali Honorary Companion of the Order of Australia dari

Gubernur Jenderal Australia Quentin Bryce, di Government House,

50 Dua Giok Patah untuk SBY

Canberra. Penghargaan ini diberikan atas jasa SBY memperkuat

hubungan Australia-Indonesia serta meningkatkan demokrasi dan

pembangunan di Indonesia.

Presiden SBY dinilai berhasil memperdalam dan memperluas

hubungan dengan Australia di berbagai bidang, seperti ekonomi,

budaya, pendidikan antiterorisme dan hubungan antarumat. SBY

juga telah bekerja sama baik dengan Australia dalam menjaga

stabilitas kawasan serta sukses meningkatkan peran aktif Indonesia

dalam isu-isu global melalui forum G-20.

SBY juga dianggap sebagai pemimpin yang bertindak cepat

dalam mengatasi terorisme dan bencana alam. Presiden juga telah

memimpin hubungan kedua negara dalam memperkuat demokrasi

di Indonesia dan menjaga reformasi ekonomi yang telah mendorong

keuntungan bagi bangsa Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Gubernur Jenderal Australia menilai Presiden SBY sebagai pemimpin

yang mampu bertindak cepat, tetapi mengapa sebagian orang di

dalam negeri justru mengolok-oloknya lamban, peragu, bahkan

dibandingkan dengan seekor kerbau?

Australia mengungkapkan respeknya terhadap Presiden SBY

tak cuma dengan medali. Parlemen Australia juga memberinya

kesempatan berpidato, 10 Maret 2010. Tidak banyak pemimpin dunia

yang diberi kesempatan berpidato di depan Parlemen Australia.

Presiden Yudhoyono adalah orang ketiga setelah Lee Kwan Yew

(mentor Menteri Singapura) dan Hu Jintao (Presiden Tiongkok).

Yang keempat adalah Presiden AS Barack Hussein Obama yang

berkunjung ke Australia bulan April.

Dalam lawatannya tersebut, Presiden Yudhoyono juga men-

dapat penganugerahan medali penghargaan Honorary Companion

in the General Division of the Order of Australia yang dikalungkan

Gubernur Jenderal Ny Quentin Bryce dalam suatu upacara khidmat.

Penghargaan itu diberikan karena Presiden SBY dinilai berjasa

mempererat dan memperluas hubungan kerja sama dengan

Australia dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, hubungan

Mengungkap Kesenjangan Istana 51

kebudayaan dan pendidikan, upaya melawan terorisme, serta

mendorong dialog antar-iman. (Kompas, 10 Maret 2010, hlm. 1).

Tak sampai sebulan sebelumnya (24 Februari 2010). Presiden

Yudhoyono juga menerima penghargaan internasional di bidang

lingkungan. Atas kontribusinya terhadap lingkungan, dalam acara

11th Special Session of the Governing Council di Nusa Dua, Bali,

Presiden menerima UNEP Award Leadership in Marine and Ocean

Management. Plakat anugerah diserahkan UNEP Executive Director,

Achim Steiner, kepada Presiden sesaat sebelum membuka acara

tersebut.

“…Penghargaan ini dapat mendorong saya beserta seluruh rakyat

Indonesia terus mengelola dan memberdayakan laut yang terbentang

luas di penjuru Nusantara dengan lebih baik lagi di masa depan,”

kata Presiden saat member sambutan.

Masih di bulan yang sama, 4 Februari 2010, Presiden Yudhoyono

menerima The Gold Standard Awards 2009 untuk kategori The Gold

Standard in Political Communications. Penghargaan ini diberikan

lembaga internasional berbasis di Hongkong, yaitu Public Affairs

Asia (PAA). PAA merupakan lembaga independen yang menekuni

analisa-analisa mendalam tentang berbagai isu yang dihadapi pejabat

publik maupun kalangan profesi yang tertarik maupun

berkecimpung di wilayah Asia. Sedangkan The Gold Standard Awards

(TGSA) 2009 merupakan penghargaan pertama yang diberikan

lembaga itu sebagai pengakuan atas prestasi perusahaan,

pemerintah, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam

bidang kemasyarakatan, hubungan pemerintahan, komunikasi, dan

transparansi.

TGSA diberikan untuk beberapa kategori, yaitu The Gold

Standard in Government Relations, in Public Affairs (Consultancy), in

Public Affairs (House), in Social Media Innovation, in Shareholder

Management, in Crisis Communications, in Country or Trade Promotion,

dan in Sustainability. Kemudian The Gold Standard in Government

Transparency, in Leadership and Development, dan nominasi khusus

52 Dua Giok Patah untuk SBY

yang bersifat terbuka yaitu The Gold Standard in Political

Communications yang diberikan kepada Presiden SBY.

Dewan Juri terdiri atas 40 kalangan profesi yang memiliki

reputasi tinggi dari berbagai sektor, pemerintahan, konsultan,

pengusaha, LSM dan misi dagang. Kandidat lain yang dinominasikan

untuk kategori The Gold Standard for Political Communication adalah

Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dan pengumpul dana

amal untuk Afghanistan, Ryan Gawn.

Direktur Eksekutif PAA, Craig Hoy menyerahkan penghargaan

tersebut dalam resepsi di Foreign Correspondents Club, Hongkong.

Putra Presiden Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono, didampingi

Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Dr Dino Patti

Djalal menerima penghargaan tersebut mewakili Presiden. Meski

tidak sempat dating dan menerima langsung penghargaan tersebut,

Presiden menyampaikan ucapan terimakasih atas nama rakyat

Indonesia melalui tayangan video. Dengan kerendahan hati,

Presiden menerima penghargaan tersebut atas nama bangsa

Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kembali memimpin

Indonesia.

November 2007, Presiden juga menerima penghargaan

internasional Democracy Award dari International Associations of

Political Consultants (IAPC) atas kontribusi besarnya terhadap

bekerjanya sistem politik demokratis. Bahkan, setahun lebih setelah

dilantik sebagai Presiden ke-5 RI, Presiden Yudhoyono sempat

dinominasikan sebagai kandidat Nobel Perdamaian.

Sebelumnya lagi, 25 Oktober 2007, Presiden Yudhoyono

menerima US ASEAN Leadership Award dari US ASEAN Business

Council dalam sebuah Gala Dinner dengan pengusaha Amerika

Serikat di Hotel Shangri-La, Jakarta. Menurut Presiden US ASEAN

Business Council, Matthew Daley, Presiden Yudhoyono patut

mendapat award karena keberhasilannya membangun Indonesia

meski Indonesia dilanda berbagai krisis, serta usahanya melakukan

kerjasama antar-negara di segala bidang.

Mengungkap Kesenjangan Istana 53

Yang juga spektakuler adalah momen Mei 2009, saat majalah

Time memilih Presiden Yudhoyono sebagai salah seorang dari 100

Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia tahun 2009. Oleh Time, Presiden

dimasukkan ke dalam kategori Pemimpin dan Tokoh Revolusioner.

Penghargaan ini merupakan tanda pengakuan kepada Presiden

setelah tahun lalu menerima penghargaan 100 Most Influential Person

in The World juga dari majalah Time. Dalam daftar Pemimpin dan

Tokoh Revolusioner versi Time itu, Presiden disejajarkan dengan

para pemimpin berkelas dunia lain seperti Edward Kennedy, Gordon

Brown, Hillary Clinton, Christine Lagarde, dan lainnya.

Dan, yang menarik, latar belakang masing-masing diulas tidak

oleh wartawan Time, tetapi oleh orang-orang yang dianggap

mengetahui dan memahami latar belakang dari tokoh tersebut. Latar

belakang Presiden Yudhoyono ditulis Anwar Ibrahim, mantan Wakil

PM Malaysia yang kini menjadi tokoh oposisi. Dalam ulasannya,

Anwar Ibrahim di antaranya menulis:

“…Since winning the presidency in 2004, Susilo Bambang Yudhoyono

has managed to keep the nation afloat, even during the current global

recession…”

Di luar award yang bersifat resmi itu, masih ada beberapa

penghargaan informal tetapi tak kalah prestisiusnya. Yang pertama

datang dari Universitas Harvard. Universitas paling terkemuka di

dunia itu tidak memberi Presiden Yudhoyono award berupa plakat

atau medali, melainkan kesempatan member kuliah umum di. John

F. Kennedy School of Government, Harvard University, 30

September 2009 WIB.

Ini tentu sebuah bentuk apresiasi luar biasa, mengingat status

Universitas Harvard sebagai universitas terbaik di dunia. Dua

lembaga pemberi ranking universitas di dunia, yakni Times Higher

Education Supplement dan Academic Ranking of World Universities

dari Shang-hai Jiao Tung University setiap tahun selalu menempat-

kan Universitas Harvard di posisi puncak daftar world class university.

Apalagi, kuliah umum Presiden Yudhoyono yang bertema

54 Dua Giok Patah untuk SBY

hubungan dunia Islam dan Barat itu diwarnai beberapa kali tepukan

tangan panjang. Dalam kuliah umum ini, Presiden mengritik tesis

“benturan peradaban” Samuel Huntington sebagai sesuatu yang

yang kontraproduktif. Semakin semakin banyak orang mendengar-

nya, menurut dia, mereka akan semakin menganggap hal tersebut

sebagai realita. Presiden SBY menyatakan, keragaman masyarakat

dan kebebasan beragama berdampak positif pada komunitas global.

“…Adalah naif berharap dunia bebas dari konflik dan kebencian. Tapi

saya percaya kita bisa mengubahnya secara fundamental dan

mengembangkannya sejalan dengan bagaimana peradaban, agama,

dan budaya berinteraksi. Ini bukan utopia. Ini visi pragmatis. Saya

melihatnya berhasil dilakukan di Indonesia dan juga di banyak

negara. Pertanyaannya, apakah kita bisa merealisasikannya pada

tingkat dunia?” kata Presiden seraya mengutip ucapan Robert F.

Kennedy seperti diucapkan pemenang Nobel George Bernard Shaw,

“Saya bermimpi tentang sesuatu yang tidak pernah ada, dan bertanya,

kenapa tidak?...”

Presiden juga memaparkan Sembilan (9) hal penting yang harus

ada dalam mencapai harmoni peradaban. “Pertama, abad 21 harus

menjadi abad soft power. Pengalaman mengajarkan saya bahwa soft

power merupakan senjata efektif mengatasi konflik. Tanyakan pada

rakyat Aceh di Indonesia”, ujar Presiden.

Presiden lalu menjelaskan faktor lainnya, yaitu mengintensifkan

proses dialog dan menjangkau apa yang tengah berkembang di

masyarakat, pentingnya mencari solusi memusnahkan konflik sosial

yang membawa kebencian terutama antara Barat dan Islam, mem-

perkuat moderasi dalam masyarakat, multikulturalisme dan

toleransi, menjadikan globalisasi berguna bagi semua, mereformasi

pemerintahan global, pendidikan, dan adanya nurani dunia.

Pada poin terakhir, Presiden menunjuk contoh tsunami di Aceh

dan Nias tahun 2004 yang menelan ratusan ribu jiwa dalam hitungan

menit. “Dunia bersatu dan memberikan uluran tangan tanpa melihat

perbedaan,” katanya.

Mengungkap Kesenjangan Istana 55

Di akhir pidato selama 30 menit ini, Presiden diganjar standing

ovation oleh sekitar 800 civitas akademika di Harvard.

Sebelumnya, applause yang sama diperoleh Presiden dari

London School of Economic and Political Science, salah satu uni-

versitas paling prestisius di dunia dan Eropa, 31 Maret 2009. Inilah

institusi yang oleh The Fulbright Commission disebut sebagai

institusi ilmu sosial paling terkemuka di dunia. Dan di sini puola

Presiden Yudhoyono mendapatkan tepukan panjang dan standing

ovation.

Di ruang Syeik Zayed, New Academic Building, Kampus

London School of Economic and Political Science (LSE), London,

itu Presiden menjadi bintang. Dia menyampaikan ceramah berjudul

“Indonesia: Regional Role, Global Reach.” Saat itu, semua tempat duduk

berwarna merah di dalam ruang itu benar-benar tak tersisa.

Mahasiswa, wartawan, dosen, dan kalangan lain dari berbagai

negara berkumpul di tempat itu.

Dalam ceramahnya, Presiden SBY memaparkan kondisi

Indonesia dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial, dan politik. SBY

menyinggung adanya 4 presiden dalam kurun waktu 1998-2004.

Penulis buku best seller The Lexus and the Olive Tree, The World is Flat

dan Hot, Flat, and Crowded, Thomas Friedman bahkan sampai

mengatakan: “Negara yang berantakan, terlalu besar untuk berhasil,

terlalu kacau untuk bekerja”.

Menurut Presiden, Indonesia kini tumbuh menjadi negara

demokasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat.

“Kami adalah negara demokrasi terbesar dan terkuat di Asia

Tenggara,” kata SBY.

Indonesia juga menjadi contoh nyata bahwa antara demokrasi,

Islam, dan modernitas bisa bergandengan tangan secara harmonis.

“Reputasi kami dalam soal toleransi dan harmoni bukan sesuatu

yang baru, melainkan kerja keras kami dalam waktu yang panjang.

Melalui proses yang terus dikembangkan dan berasal dari tradisi

untuk selalu mencari konsesus, yakni melalui musyawarah untuk

56 Dua Giok Patah untuk SBY

mufakat,” Presiden menjelaskan.

Karena sejarah panjang itulah, tiga kultur besar dunia, yakni

orientalisme, Islam, perdaban Barat, seolah menemukan rumahnya

di Indonesia. “Kami telah menerima menerima peran baru. Kami

menjadi jebatan yang alamiah antara dunia Barat di satu sisi dan

Islam serta oriantalisme di sisi lain,” ujarnya.

Itulah mengapa Indonesia mengorganisasikan dan mendukung

dialog-dialog antar keyakinan, antar kebudayaan, dan inter-media.

“Bukan hanya untuk alasan komunitas nasional kami, melainkan

juga untuk negara-negara di kawasan Asia Pasifik,” kata Presiden.

Saat ceramah berakhir, tepuk tangan pun pecah. Saat Presiden

meninggalkan lokasi, peserta berdiri dan memberikan tepukan lagi.

Nah, jika apresiasi dunia kepada Presiden begitu mengharu-

biru, mengapa sebagian orang orang di negeri sendiri justru terus

mencercanya secara membabi-buta? Rasanya memang aneh, seorang

presiden Indonesia menerima award dan apresiasi dunia atas hal-

hal yang di negeri sendiri justru dijadikan amunisi caci-maki.

Ada sebenarnya yang tengah terjadi?

***

“Politics and the fate of mankind are shaped by men without ideals

and without greatness. Men who have greatness within them don’t

in for politics.”

Politik itu kotor, kata Albert Camus, pengarang Prancis

pemenang Hadiah Nobel Sastra 1957. Politik dan nasib umat

manusia, katanya, dibentuk orang-orang tanpa idealisme dan tanpa

kearifan. Orang-orang hebat tidak mau terjun ke politik.

Filsuf Immanuel Kant juga pernah melansir sindiran.

“Ada dua watak binatang yang terselip di setiap insan politik: yaitu

merpati dan ular,” katanya.

Di satu sisi, politisi memiliki watak merpati yang lembut dan

penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi di sudut

Mengungkap Kesenjangan Istana 57

lain, politisi juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu

berupaya memangsa merpati. Nah celakanya, yang sering menonjol

adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya.

Itulah moralitas politik. Dialah yang akan menjadi juri: mana

tindak-tanduk politik yang baik dan mana yang tidak. Parameternya?

Sederhana saja: kepentingan umum. Jika tindak-tanduk politik

diarahkan untuk memajukan kepentingan umum, itulah yang baik.

Sebaliknya, jika diabdikan untuk kepentingan pribadi atau

golongan, itulah moralitas politik yang buruk. Merujuk metafora

Kant, merpati adalah cermin moralitas politik yang baik, sementara

ular adalah moralitas politik yang buruk.

Melengkapi moralitas politik, itulah yang disebut etika politik,

tatakrama politik, atau sering disebut a code of political behavior, yang

merupakan ukuran sikap dan tingkah laku dalam kehidupan politik

yang santun dan bermoral.

Kong Fu-Tze mendemonstrasikan moralitas serta etika politik

yang penuh keagungan saat dikirimi pesan “giok patah.” Sementara

Presiden Yudhoyono memeragakannya tatkala kehilangan jabatan

menteri dan dihajar aneka fitnah.

Orang-orang seperti itu pastilah bukan orang yang hanya

melihat politik sebagai kekuasaan saja. Politik, bagi keduanya, pastilah

tak dipahami sebagai serangkaian cara-cara mencari dan

mempertahankan sumber-sumber kekuasaan. Politik bukanlah apa

yang pernah disebut Otto von Bismarck sebagai “seni mencapai

tujuan” (yang bisa menihilkan segala macam moralitas atau etika),

tetapi apa yang pernah disebut John Dewey sebagai “the art of

principles (seni mempertahankan prinsip).”

Kong Fu-Tze memutuskan pergi dari tanah kelahirannya

dengan damai meski hatinya sakit, demi apa yang dijunjungnya

sebagai moralitas dan etika politik. SBY juga mundur dengan damai,

memberi jalan bahkan tetap memberi support kepada pemegang

otoritas pemerintahan yang mengabaikannya. Tak ada kemarahan,

tak ada umpatan, tak ada fitnahan, apalagi perlawanan. Itulah

58 Dua Giok Patah untuk SBY

karakter dari orang-orang yang pantas disebut man of ethics atau

man of principles.

Bahwa kemudian ethics atau principles erat itu dimanfaatkan

orang lain untuk memangsa penjunjungnya, itu soal lain. Tapi paling

tidak, ada “keagungan” yang diperjuangkan tatkala mengejar

kekuasaan. Melelahkan memang, tapi itulah perjuangan.

Persis apa yang ditulis almarhum W.S. Rendra, dalam salah satu

sajaknya, Hutan Bogor:

“…yang penting bukanlah kekalahan ataupun kemenangan tapi

bahwa tangan-tangan telah dikepalkan biarpun kecapaian…”

Mengungkap Kesenjangan Istana 59

44444SBY, Fiksi Politik,

dan Spin Doctors

Ada sebuah keluarga unik di Surabaya. Suami, istri, anak, adik,

sampai ipar punya pekerjaan sama: pengerah massa

demonstrasi. Sebuah “profesi” yang relatif langka dan tak pernah

terbayangkan saat Orde Baru masih berkuasa. Lantaran pada masa

pemerintahan Presiden Soeharto, demonstrasi dianggap barang

haram. Hal itu membuat pesanan tak kunjung datang. Selain itu,

siapa yang berani mengibarkan bisnis yang saat itu bisa

mendatangkan risiko dicap pengganggu stabilitas, ekstrim kanan

(eka), ekstrim kiri (eki), bahkan makar, dan yang lebih menakutkan

dicap anti-Pancasila? Ketakukan lainnya, dapat disebut sebagai

komunis.

Tidaklah demikian di masa reformasi, pasca-jatuhnya Soeharto.

Nah semua anggota keluarga yang disebut di atas, bisa berkolaborasi

dengan apik melayani pesanan demonstran, berapapun jumlah yang

diinginkan. Yang menjadi komandan bisnis ini adalah sang istri,

Maimunah (32), yang oleh kolega-koleganya akrab dipanggil Mama

Mai. Dengan dibantu suami, anak, adik, serta iparnya, Mama Mai

60 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

melayani pesanan massa dari berbagai kalangan, mulai perusahaan

yang butuh demo tandingan, ormas, politisi, partai politik, sampai

kandidat pilkada. Kerabat dan para tetangganya di kawasan padat

di Jl. Gresik PPI, Surabaya, menjadi “basis” utama bisnis Mama Mai.

Kalau kebetulan lagi kekurangan orang, sementara pesanan lagi

membanjir, atau ada pesanan besar dengan jumlah ribuan orang,

Mama Mai punya “simpul-simpul” di kawasan lain yang siap me-

masok orang untuk dimobilisasi. Atau tinggal angkat telepon

mengontak rekannya sesama pengerah massa lain. Mau berapa orang

pun jadi.

“…Mau pesan berapa? Ribuan? Kami sanggup,” begitu kata Bagus

Sanjaya, suami Mama Mai…”

Mama Mai juga melayani pesanan massa demonstran dalam

bentuk dan jenis apapun. Mau massa perempuan? Oke-oke saja.

Mau demontran yang masih remaja? Selalu tersedia stoknya. Atau

pesanan mendadak, pesanan malam ini untuk demo besok pagi.

Juga bukan soal besar bagi Mama Mai. Dalam sekejap, Mama Mia

bisa menyiapkan para demonstran dengan berbagai “jabatan” mulai

massa, koordinator lapangan (korlap), koordinator korlap, sampai

orator.

Dengan pengalamannya, Mama Mai mampu membesut

struktur organisasi demonstrasinya. Dia menempatkan seorang

korlap untuk tiap 40 orang yang berstatus massa. Di atas para korlap,

dia menempatkan seorang koordinator korlap. Sementara untuk

demonstrasi berskala besar dengan sekitar 2.500 orang, dia

menyiapkan beberapa koordinator korlap. Servis Mama Mai

termasuk menyediakan perangkat demonstrasi seperti poster,

megaphone, sound system, kendaraan pengangkut massa, hingga

aksesoris-aksesoris lain yang dibutuhkan.

Bagi Mama Mai, bisnis ini amat menjanjikan dan menjadi salah

satu alternatif agar tidak menganggur, yang penting dapur tetap

mengepul. Dia juga tak malu dengan profesinya, dan menjalaninya

secara terang-terangan. Suatu hal yang muskil dilakukan pada saat

Mengungkap Kesenjangan Istana 61

Orde Baru dulu. Dia bahkan dengan senang hati apabila ada

wartawan yang mewawancarainya, muncul dengan foto diri dan

semua anggota keluarga sekaligus kru bisnisnya. Kisah Mama Mai

ini muncul di Harian Jawa Pos, 22 April 2008 di halaman berwarna

dengan judul mencolok: “Mama Mai, Mamanya Demonstran

Surabaya.”

“…Yang jelas, sepanjang tidak merugikan orang lain dan membantu

para penganggur yang ada di lingkungan kami, saya baik-baik saja.

Saya tak terlalu memusingkan apapun pendapat orang,” kata Mama

Mai kepada Jawa Pos…”

Jaringan dan “basis massanya” cukup memadai untuk meladeni

pesanan massa model apapun dan semendadak apapun. Isu

demontrasi yang akan diangkat juga bukan soal serius bagi Mama

Mai. Asal ada uang, apapun bisa. Uang adalah segalanya bagi bisnis

model ini. Uang itu untuk membiayai massa yang akan

dikerahkannya. Orang yang ikut demo, menjadi massa penggembira

dibayar antara Rp. 30 ribu sampai Rp. 50 ribu rupiah, tergantung

tingkat risiko demonstrasi. Korlap mendapat Rp 250 ribu sampai

Rp 300 ribu. Bayaran agak berbeda untuk koordinator lapangan

(korlap). Ia dijatah Rp. 300 ribu sampai Rp. 500 ribu rupiah. Dengan

cepat, Mama Mai dapat dengan segera mengalkulasi berapa ongkos

sebuah demonstrasi. Demonstrasi dengan jumlah massa 2.500 orang,

misalnya, membutuhkan dana sekitar Rp 175 juta. Suatu angka yang

fantastis jumlahnya, dan tentu bisnis yang menjanjikan.

Mama Mai bukan satu-satunya yang mengeluti bisnis

demonstrasi di Surabaya. Masih ada banyak nama lain, termasuk

seorang mantan aktivis/demonstran “Angkatan 1998” dan tokoh

sebuah ormas di Surabaya. Semua punya modus kerja dan tarif yang

relatif hampir sama. “Pasar” memang terbuka lebar bagi Mama Mai

dan kawan-kawan atau orang-orang yang berprofesi sama.

Mereka tergolong kreatif, mampu memanfaatkan situasi dan

kondisi. Keterbukaan politik (liberalisasi politik) dan demokratisasi,

memberi peluang bagaikan tiupan angin yang menjadi faktor

62 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

mendorong (driven factor) bagi kebebasan berekspresi baik di jalan-

jalan, di gedung-gedung pemerintahan, maupun di mana saja.

Namanya juga bayaran, isu yang diangkat tak terlalu penting.

Uang adalah segalanya. Massa bergerak dan digerakkan tidak

berdasar isu, tapi berdasar cocok tidaknya harga. Bagaimana dengan

ideologi? Itu dianggap sama usangnya dengan dinosaurus. Ideologi

tidak bisa mengenyangkan. Ideologi ibarat hewan punah yang tentu

saja tidak dibutuhkan bagi kelompok-kelompok ini. Yang harus

mengerti isu demonstrasi cuma orator, karena dialah yang harus

“cuap-cuap” di depan megaphone. Sementara massa hanya bertugas

menenteng poster dan meneriakkan yel-yel sesuai pesanan.

Melihat banyaknya jumlah “pengepul massa,” demonstrasi

pesanan seperti ini agaknya sudah sering terjadi si Surabaya. Saking

seringnya sampai terkadang membuat mereka bergesekan di

lapangan. Tapi lantaran ini “demo profesional,” semua bisa diatur

dan diselesaikan “secara adat.” Tak ada ketegangan fisik, apalagi

“ketegangan ideologis.” Seorang pengepul massa lain pernah

mengalami ini. Dua tahun lalu dia mendapat order demo tandingan

dari sebuah perusahaan roti di Surabaya.

“…Setelah saya lihat, ternyata massa yang berdemo melawan klien

saya berasal dari kelompok A. Saya pun mengambil massa dan korlap

dari kelompok B yang sebetulnya telah berteman baik dengan A.

Akhirnya demo berlangsung damai tanpa benturan apa-apa. Prinsip

saya, kalau semua bisa diselesaikan dengan win-win solution, itu

yang akan saya kejar…,” katanya.

Saking sudah umumnya praktik demonstrasi bayaran ini,

seorang aktivis buruh di Surabaya mengatakan, “Saya yakin, demo

yang murni tanpa bayaran di kota ini hanya tinggal 10 persen. Yang

paling banyak adalah demo adol tinuku (jual beli), selalu ada

kepentingan yang menunggangi. Yang murni paling-paling cuma

demo mahasiswa yang memprotes kebijakan kampus atau demo

dengan isu-isu normatif. Nyaris tak ada massa politik yang suka

rela berdemo mendukung parpol atau calon kepala daerah, tanpa

Mengungkap Kesenjangan Istana 63

adanya imbalan.”

Euforia politik memang membuat demonstrasi tak lagi “sakral”

seperti pada masa Orde Baru. Demonstrasi tak lagi segaris dengan

demokrasi, bahkan seringkali demonstrasi menjadi berlawanan

dengan demokrasi lantaran mengusung isu yang anti-demokrasi dan

dihelat dengan motif serta tujuan anti-demokrasi. Demonstrasi—

yang yang pada masa pemerintahan Soeharto menjadi salah satu

metoda perjuangan bagi demokratisasi—dengan segera menjadi

komoditi. Fenomena penggunaan demonstrasi sebagai sarana

menggapai aneka tujuan politik membutuhkan jasa orang-orang

seperti Mama Mai. Hampir bisa dipastikan, orang-orang seperti

Mama Mai banyak terdapat di kota-kota lain. Demonstrasi, dengan

kata lain, telah menjadi “industri,” yang mengikuti mekanisme pasar.

Ibarat sebuah produksi, Mama Mai adalah produsen, semntara orang

yang menggunakan jasanya adalah mereka-mereka yang

membutuhkan jasa Mama Mai. Ada permintaan dan penawaran,

yang didalamnya berlaku prinsip dan mekanisme pasar.

Kisah orang-orang seperti Mama Mai ini punya kaitan sangat

erat dengan fenomena yang diungkapkan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono tentang fitnah dan fiksi politik. Demo-demo pesanan

yang menjadi lahan bisnis “pedagang demonstrasi” sering menjadi

ajang melontarkan fitnah atau fiksi politik, termasuk yang

dialamatkan kepada Presiden Yudhoyono.

“…Saya prihatin tiba-tiba muncul suasana politik yang aneh dan

tidak sehat. Muncul politik intrik, pecah belah, adu domba, fitnah,

dan fiksi,” Kata Presiden Yudhoyono saat memberi sambutan pada

pembukaan Rakernas Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh

Indonesia (Apkasi) ke-6 di Madiun, 19 Januari 2010 lalu.

Fitnah dan fiksi politik ini belakangan memang tampak meruyak

di arena politik Indonesia. Dan Presiden Yudhoyono adalah salah

satu target empuk atau favorit yang paling sering dihinggapi fitnah

atau fiksi politik itu. Fitnah dan fiksi politik itu—pada akhirnya

menjurus ke arah pembunuhan karakter (character assassination)—

64 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

ini tak hanya beredar di arena demonstrasi, layar televisi atau koran-

koran/majalah, atau SMS, tapi akhir-akhir ini juga bergentayangan

di internet seperti situs jejaring sosial facebook (facebooker), twitter,

atau forum-forum lain di internet, seperti millis dan lain sebagainya.

Fitnah dan fiksi politik ini menjadi pilihan karena beberapa

sebab. Pertama, ini cara paling efektif melakukan character

assassination, dan lebih gampang dibanding debat kebijakan (policy

debate). Apalagi jika yang menjadi lawan debat adalah Presiden

Yudhoyono, yang selain dikenal sebagai man of integrity juga dilihat

sebagai man of quality. Kedua, biayanya relatif murah dan mudah.

Ketiga, media cenderung menganggap fitnah atau fiksi politik

sebagai bahan untuk mendongkrak rating atau sirkulasi. Bagi media

yang masih saja bersikukuh menganggap bad news is good news, fitnah

atau fiksi politik merupakan bahan berita bernilai tinggi untuk

digunakan mengikat perhatian khalayaknya selama berminggu-

minggu bahkan berbulan-bulan.

Adanya “industri demonstrasi” juga mengisyaratkan, semua

fitnah dan fiksi politik itu beredar atau diedarkan bukan secara

alamiah (natural), tanpa tujuan, melainkan direkayasa dengan meng-

gunakan metoda dan cara-cara canggih yang kadang “gelap,” ter-

masuk dalam memanfaatkan media. Selain mampu mengerahkan

massa, para pelakunya juga piawai memanfaatkan jurnalis dan

media, memutar fakta, memainkan isu, mengalihkan isu, mengubur

isu, sampai menyuguhkan fakta kepada publik dengan sudut

pandang yang mereka inginkan.

Dalam konteks political public relation di benua seberang (AS

dan Eropa), para pelakunya lazim disebut spin doctors dan

industrinya kerap disebut spin industry. Dan ternyata, spin doctors

juga mulai berkembang-biak di Indonesia meski tak kasat mata serta

secanggih di AS dan Eropa. Target dari spin industry ini jelas, melawan

pihak penguasa, khususnya Presiden Yudhoyono yang seringkali

menjadi target favoritnya. Jelas tujuannya untuk melemahkan

integrasi dan popularitas sang presiden.

Mengungkap Kesenjangan Istana 65

Dor! Dor!

Tubuh pria yang duduk di atas mobil bak terbuka Ford

Convertible itu tersentak. Peluru dengan tanpa ampun menghajar

kepalanya. Jacqueline Bouvier Kennedy, sang istri yang duduk di

sampingnya langsung memeluk tubuhnya. Tapi nyawa sang pria,

John. F. Kennedy, Presiden ke-35 Amerika Serikat itu, sudah tak

tertolong. Peristiwa yang mengejutkan dunia itu terjadi di Dallas,

22 November 1963 silam, di suatu siang bolong. Saat itu, iring-iringan

kendaraan JFK—sebutan sang presiden—melintas di depan Texas

Scholl Book Depository. Lee Harvey Oswald diumumkan sebagai

pembunuhnya, meski banyak rakyat AS tak memercayainya.

Amerika Serikat seketika menangis, termasuk seorang bocah

berusia 8 tahun yang tinggal di New York. David Axelrod, yang

menonton adegan penembakan itu di televisi. Baginya, JFK adalah

the real hero. Saat usianya 5 tahun, dia pernah diajak kakak perem-

puannya membaur dengan ribuan orang lainnya menyimak

kampanye JFK. Meski masih bocah, Axelrod langsung terkesima

pada JFK yang kharismatik, energik, dan orator sejati.

Bagi rakyat AS saat itu, JFK memang idola. Dia adalah presiden

termuda kedua setelah Theodore Roosevelt. JFK adalah anggota klan

Kennedy berdarah Irlandia-Amerika, keluarga terkemuka di dunia

politik negaranya. Ia dianggap lambang liberalisme Amerika. Pada

Perang Dunia II, ia dikagumi karena keberanian dan heroismenya

saat menyelamatkan seorang rekan pelautnya di Samudra Pasifik

Selatan.

JFK pun kemudian terpilih sebagai presiden pada 1960 dengan

kemenangan tipis dalam salah satu pemilu paling ketat dalam sejarah

Amerika. Dia merupakan pemeluk Katolik kedua yang pernah

terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat setelah Franklin Roosevelt.

Memori pembunuhan JFK bangkit lagi di benak Axelrod sekitar

40 tahun kemudian, saat melihat sosok Barrack Obama yang tengah

merintis karier politiknya di Illinois. Sejak awal, Axelrod sudah

melihat Obama sebagai sosok luar biasa yang mengingatkannya pada

66 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

JFK. Dia merasa JFK seolah dilahirkan kembali ke dalam sosok

Obama. Saat itu, Axelrod sudah berkarier sebagai wartawan politik

di koran terkemuka Chicago Tribune, dan kemudian melebarkan sayap

profesinya dengan menjadi konsultan politik. Kepada rekan-

rekannya, dia pernah berkata, “Saya tidak ingin bekerja untuk kan-

didat presiden. Tapi kalau Obama maju, saya akan membuat

pengecualian.”

Obama memang sering dibandingkan dengan JFK. Keduanya

punya kharisma dan cita-cita tinggi. Pidato Obama yang memukau,

ketinggian intelektualnya, umur yang relatif muda dan kurangnya

pengalaman politik dilihat banyak orang sebagai pencerminan JFK.

Ketika Obama benar-benar mengibarkan bendera pencalonan,

Axelrod pun merapat. Dia menjadi penasehat media Obama.

Dengan Axelrod di sampingnya, Obama menyabet kemenangan

gemilang melawan kandidat presiden dari Partai Republik, John

McCain. Sebelumnya, dalam konvensi Partai Demokrat, Obama juga

sukses menaklukkan Hillary Clinton.

Axelrod inilah orang di belakang munculnya tagline terkenal

Obama, Yes We Can. Tema perubahan yang diusung Obama merupa-

kan ide briliannya. Axelrod juga mendesain kampanye pertama

Obama yang berupa video lima menit yang dirilis melalui internet

pada 16 Januari 2007. Gaya video biografi “jalanan” itu terus ia usung

guna menciptakan keintiman dan keaslian iklan politik untuk

Obama.

Axelrod pula yang sukses men-spin isu terkait kulit hitam

Obama dan nama tengah “Husein.” Sejak awal, inilah problem

krusial Obama. Dia berhadapan dengan dinding tebal hukum besi

di AS, bahwa hanya warga berciri WASP (White Anglo-Saxon

Protestant) yang bisa menjadi presiden. Dia punya problem yang

sama dengan JFK, tidak memenuhi hukum besi WASP. Jika Obama

berkulit hitam, JFK beragama Katolik Roma. Berkat Axelrod, para

pemilih digiring lebih memerhatikan citra yang diciptakan untuk

Obama: yaitu hope, change, dan new perspective, ketimbang warna

Mengungkap Kesenjangan Istana 67

kulit dan nama tengah Obama. Obama pun menjadi orang kedua

yang berhasil membongkar hukum besi WASP, setelah JFK.

Kemenangan Obama membuat Axelrod diakui sebagai spin

doctors hebat masa kini. By the way, apa itu spin doctors? Terminologi

ini pertama kali digunakan dalam editorial New York Times, 21

Oktober 1984, untuk menunjuk tim media Presiden AS saat itu,

Ronald Reagan. Spin merujuk pada efek mirip pelintiran bola tenis.

Dengan memelintir fakta atau informasi (bak petenis memelintir

bola), sang “dokter” bisa mengarahkan pendapat publik sesuai

keinginannya.

Spin doctors merupakan semacam konsultan komunikasi dan

pemasaran politik atas nama tokoh politik, dan sering digunakan

dalam kampanye pemilihan umum. Istilah ini memiliki konotasi agak

negatif, karena spin doctors tidak selalu bertindak benar secara moral.

Spin doctors juga biasa menggunakan metode mendiskreditkan

pesaing, disinformasi, merakit kasus buatan untuk mempertahankan

suatu tujuan atau untuk menghancurkan yang lain.

Eric Louw dalam The Media and Political Process (2005), mende-

finisikan spin doctors sebagai “manajer kesan” profesional yang

posisinya berada di antara politisi dan wartawan. Wartawan di AS

memersepsi spin doctors sebagai praktisi “seni yang sedikit gelap dan

menghasut.” Spin doctors merupakan orang-orang yang lihai

membesar-besarkan sesuatu dan mengatur pemunculan peristiwa

politik di media, khususnya di televisi. Merekalah yang mengatur

pemunculan politisi di media (televisi), mulai apa yang harus

dibicarakan hingga penampilan sang politisi. Pendeknya, spin doctors

adalah orang-orang yang pintar memanfaatkan media demi

kepentingan kliennya.

Spin doctors punya beberapa modus kerja khas. Pertama, mem-

buat wartawan melihat fakta dari sudut yang sesuai agenda klien.

Dalam konteks ini, spin doctors aktif dan selektif menyajikan fakta

atau kutipan yang mendukung posisi politik klien, atau memojok-

kan lawan politik klien.

68 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

Kedua, membuat wartawan menjauhi isu yang ingin “dikubur”

klien. Salah satu jurusnya: baru mengumumkan fakta yang merugi-

kan klien saat perhatian media terfokus pada isu besar tertentu,

dengan harapan media akan tetap berfokus pada isunya sendiri.

Dengan begitu, fakta buruk tadi bisa tersembunyi di dalam

bayangan isu lain. Ketiga, menyebarkan cerita palsu atau seolah-

olah membocorkan isu tertentu untuk “dimakan” wartawan.

Biasanya, ini digunakan untuk menyamarkan atau mempromosikan

agenda tertentu.

Saat ini, nyaris tak ada tokoh politik di AS dan Eropa yang tak

dibantu spin doctors, mulai tokoh partai, anggota parlemen, sampai

presiden atau perdana menteri. Spin doctors telah menjadi industri

tersendiri, yang biasa disebut spin industry, yang melibatkan banyak

pihak seperti konsultan public relation, konsultan periklanan, lembaga

polling, ahli make up, sampai penulis pidato.

Momen spin doctoring yang paling dikenang dunia hingga saat

ini adalah bagaimana para spin doctors men-spin isu agama Katolik

Roma yang dianut JFK pada tahun 1960. Inilah momen yang

membuktikan dahsyatnya kekuatan spin doctors merakayasa opini,

dan persepsi khalayak terhadap isu atau tokoh tertentu bisa

dimanipulasi melalui kepiawaian spin doctors dan media.

Saat itu, JFK tengah berhadapan dengan Richard Nixon

memerebutkan tongkat komando di Gedung Putih. Masalah utama

JFK adalah agama Katolik Roma yang dipeluknya. Tapi spin doctors

di belakang JFK punya jurus penangkal jitu: mereka men-spin isu

agama menjadi isu toleransi. Mereka akan menebarkan opini bahwa

memilih JFK merupakan cermin toleransi, sebaliknya tidak memilih

JFK adalah intoleransi. Dengan segera, spin doctors JFK membalik

isu agama menjadi menguntungkan kliennya. Agama JFK di-spin

menjadi semacam uji toleransi publik AS. Publik AS ditantang

membuktikan toleransinya dengan memilih JFK.

Apa yang mereka lakukan kemudian selalu dikenang dunia dan

menjadi rujukan generasi spin doctors berikutnya, di antaranya David

Mengungkap Kesenjangan Istana 69

Axelrod. Mereka membuat tayangan advertorial pendek di televisi

dengan format tanya-jawab tentang isu agama dan toleransi. Tim

JFK melansir pula tayangan televisi 30 menit yang membandingkan

JFK dan Roosevelt terkait Katolikisme. Lalu disusul penampilan JFK

di sebuah gathering di Houston yang dihadiri para pendeta Protestan.

Di sana, dengan gemilang JFK menjawab serangkaian pertanyaan

dan keraguan para pendeta Protestan terhadap dirinya.

Acara ini disebut-sebut sebagai salah satu operasi spin terbaik

di masa itu: seolah-olah membiarkan orang lain menyerang JFK,

tetapi sesungguhnya mereka justru menguntungkan JFK. Acara

yang dirancang rapi ini lalu direkam dan ditayangkan melalui televisi

ke 39 negara bagian. Di negara bagian yang dianggap krusial,

rekaman itu bahkan ditayangkan dua kali. Pada saat yang sama,

spin doctors JFK membuat tayanngan dokumenter tentang heroisme

JFK di Perang Dunia II. Mereka juga memproduksi materi yang

sama untuk media cetak. Salah satunya dicetak di majalah terkemuka

Reader’s Digest. Spin doctors JFK lalu mereproduksi artikel di Reader’s

Digest itu sampai jumlah ribuan, dan menyebarkannya ke kantong-

kantong suara yang dituju.

Puncaknya adalah debat terbuka JFK vsNixon yang ditayang-

kan di televisi. Yang bertarung bukan hanya JFK melawan Nixon,

tetapi juga spin doctors di masing-masing pihak. Nixon kalah telak

dalam momen krusial ini lantaran meremehkan penampilan fisiknya

di depan kamera. Nixon emoh menggunakan make up, bajunya

terlihat agak kedodoran, jasnya salah warna. Sebaliknya, JFK tampil

necis. Jutaan penonton televisi disuguhi sosok Nixon yang gugup,

berkeringat, dan kelihatan tidak nyaman, melawan JFK yang rileks,

terlihat kuat, dan percaya diri. Pada titik itu, apapun yang diucapkan

keduanya tak berarti lagi.

Ketika politik sudah berkelit-kelindan dengan media dan spin

doctors seperti itu, yang ditangkap oleh khalayak adalah realitas politik

sebagaimana disuguhkan media. Dan realitas politik yang disajikan

media adalah realitas yang dikonstruksi awak media dan spin doctors

70 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

dengan beragam agenda serta kepentingannya. Yang tertangkap

khalayak melalui media adalah kesan atau citra, yang seringkali tidak

sama atau bahkan berkebalikan dengan realitas sesungguhnya. Jika

realitas berbasis pada fakta, maka realitas yang disuguhkan spin

doctors terkadang berbasis fiksi.

Di Indonesia, praktik-praktik spin doctoring juga sudah mulai

terasa sebagai produk demokratisasi dan liberalisasi politik pasca-

1998, meski terminologi spin doctors masih jarang diucapkan orang.

Kompetisi politik yang terbuka dan bebas—baik di tingkat nasional

maupun lokal—memungkinkan praktik dan profesi ini muncul dan

berkembang, meski belum secanggih yang terjadi di AS atau Eropa.

Daerah pemilihan (dapil) dalam pemilu legislatif, pemilihan presiden

secara langsung dan pemilihan kepala daerah secara langsung kian

mendorong bertumbuhnya praktik dan profesi ini.

Coba lihat apa yang terjadi di daerah menjelang pemilihan

kepala daerah (pilkada). Jalan-jalan tiba-tiba dipenuhi baliho, papan

reklame, spanduk, atau poster para calon. Layar televisi lokal disesaki

wajah-wajah para kandidat dengan aneka slogan dan janji. Koran-

koran setempat juga kejatuhan rezeki iklan yang memajang foto

dan slogan kandidat atau kerja sama pemberitaan. Itu pula yang

terjadi dengan radio, media online, forum-forum di internet,

Facebook, atau Twitter. Pendeknya, nyaris tak ada secuil pun ruang

publik yang dilewatkan oleh para kandidat.

Lembaga survei tiba-tiba laris, dan praktisi public relation,

periklanan, atau jurnalis ramai-ramai menjadi konsultan politik.

Semua kandidat politik membutuhkan citra tertentu, menghembus-

kan isu tertentu, atau menyamarkan/menghilangkan isu tertentu

melalui praktik spin doctoring. Atau pada aras yang lain, mereka me-

merlukan pula praktik spin doctoring untuk mengembangkan citra

atau label tertentu kepada kompetitornya, atau bahkan untuk

membunuh karakter mereka. Hal yang sama terjadi pada kompetisi

politik di tingkat partai, ormas, apalagi presiden.

Salah satu kisah spin doctoring paling menarik terjadi di Porong,

Mengungkap Kesenjangan Istana 71

Sidoarjo. Meluapnya lumpur dari dalam tanah di lokasi pengeboran

minyak oleh PT Lapindo Brantas meluberi ribuan hektar sawah serta

pemukiman di sekitarnya. Di tengah gejolak sosial dan politik akibat

luapan lumpur, terlihat ada upaya men-spin isu lumpur. Terlihat

ada upaya sistematis meyakinkan publik bahwa lumpur panas itu

meluber akibat bencana alam (dampak gempa bumi di Jogjakarta),

bukan produk human error (kesalahan pengeboran). Itu dilakukan,

misalnya, dengan rilis ke media, menerbitkan buku, membuat film

dokumenter, pameran foto, pemasangan advertorial di media, mem-

buat event dan menayangkannya di media (televisi), sampai penye-

butan Lumpur Sidoarjo sebagai pengganti sebutan Lumpur

Lapindo.

***

Semakin tinggi, pohon memang kian kencang ditiup angin. Tapi

angin yang meniup Presiden Yudhoyono kali ini rasanya memang

agak kelewatan. Presiden menyebut angin itu sebagai fitnah dan

fiksi politik. Sudah berulang kali presiden melansir fenomena ini.

Pesan paling jelas disampaikan saat membuka dan memberi

pengarahan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-6 Asosiasi

Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Pendapa

Muda Graha Kabupaten Madiun, 19 Januari 2010. Saat itu, Presiden

mengungkapkan rasa kagetnya atas merebaknya isu rencana

pencopotan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bukan hanya itu, isu

itu juga disusul rumor mengganti Sri Mulyani dengan seseorang

berinisial AA.

“...Tiba-tiba di negeri kita ini muncul suasana politik yang menurut

saya rada aneh dan cenderung tidak sehat. Politik intrik, pecah belah,

adu domba, fitnah, fiksi, sesuatu yang tidak ada menjadi ada, atau

sesuatu yang keluar dari konstitusi. Isu rencana pencopotan Menkeu

tersebut tak saja berembus di Jakarta, tapi juga di luar negeri. Apa

yang terjadi? Kemungkinan spekulan bekerja mengganggu stabilitas

pasar. Berita yang mengejutkan. Ini politik keji, politik adu domba.

72 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

Mungkin mengadu domba menteri keuangan dengan presiden. Itu

kreatif yang buruk, yang tidak amanah. Ada yang meminta saya

mewaspadai situasi ini. Saya tidak tahu siapa AA itu. Sumbernya

katanya dari Golkar, ini bisa saja mengadu domba antara saya

dengan Pak Ical (Ketua Umum Partai Golkar),” kata Presiden ketika

itu.

Presiden juga menyatakan prihatin atas isu yang disebutnya

sebagai politik adu domba tersebut. “Kenapa di negeri ini tiba-tiba

muncul peristiwa politik seperti ini. Dulu pernah terjadi seperti itu,

seharusnya sekarang dengan berkembangnya proses berdemokrasi

tidak ada lagi hal seperti itu. Akibatnya rakyat menjadi takut

bayangan peristiwa seperti dulu yang menakutkan,” katanya.

Tak ada rencana mengganti Menteri Keuangan, tak ada pula

menyiapkan seseorang berinisial AA sebagai penggantinya. Tapi

mengapa isu merebak, dan menjadi menu utama talkshow dan berita-

berita di media massa? Sebuah isu telah diseleksi dan didorong

memasuki arena politik, dan “dimakan” media. Artinya, ada yang

menyeleksi, ada yang mendorong isu memasuki ranah politik, ada

media yang digunakan, dan ada target yang dipasang.

Kasus yang sama terus berulang, dengan isu dan waktu yang

berbeda. Setelah kasus Menkeu, muncul kasus pajak. Pada akhir

Januari dan awal Februari 2010, Presiden beberapa kali

mengingatkan para pengemplang pajak. “Sekarang semua kerja

untuk rakyat, nanti kita akan memberesi yang bandel-bandel dalam

membayar pajak. Termasuk yang tidak mau membayar utang di

bank-bank. Ini masih banyak. Saya akan cek langsung semuanya,

supaya ekonomi kita sehat. Kita lanjutkan terus reformasi di jajaran

pemerintah. Mereka yang tidak membayarkan kewajibannya akan

kita tindak secara hukum,” tegas Presiden, pada 29 Januari 2010.

Sementara saat membuka Rapim Polri, 8 Februari 2010, Presiden

mengatakan, “Yang namanya korupsi, kejahatan pajak, mengem-

plang utang yang ditanggung rakyat, harus dituntaskan, karena itu

menyangkut rasa keadilan rakyat kita.”

Mengungkap Kesenjangan Istana 73

Terakhir, saat berpidato pada acara pemberian penghargaan

Citra Bhakti Abdi Negara, 11 Februari 2010 di Istana Negara,

presiden menyatakan akan bersikap tegas kepada pengemplang

pajak. “Ada perusahaan harusnya membayar pajak, tapi karena ada

kongkalikong bisa tidak membayar. Tindakan itulah menyebabkan

negara dan rakyat dirugikan.”

Itu serangkaian pernyataan yang semestinya dianggap normal-

normal saja, apalagi di banyak negara penggelapan pajak memang

dianggap kejahatan serius. Namun lagi-lagi, pernyataan yang wajar

disampaikan seorang presiden itu lagi-lagi di-spin sebagai “genderang

perang” atau “pembalasan” presiden terhadap Ketua Umum Partai

Golkar Aburizal Bakrie, yang salah satu perusahaannya dikabarkan

masuk dalam daftar pengemplang pajak. Lalu muncullah fiksi politik

seolah-seolah pernyataan presiden itu terkait dengan posisi Partai

Golkar dalam Pansus Hak Angket Bank Century.

Sebuah media di ibukota bahkan menulis berita dengan lead

“menyeramkan:” “Perseteruan Aburizal Bakrie dengan SBY mulai

terkuak. Keduanya kini bagai perang terbuka.” Lagi-lagi, isu pajak

yang sebetulnya normatif telah di-spin menjadi isu kompetisi politik.

Fiksi politik yang paling “meriah” dan menjadi “menu andalan”

media massa—sebelum “dikubur” meninggalnya KH Abdurrahman

Wahid—adalah buku Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis George

Aditjondro. Buku tersebut jelas-jelas menciptakan fitnah dan fiksi

politik, lantaran logikanya memang terkesan sim salabim, lebih

banyak berdasar prasangka dan spekulasi.

Kelemahan utama buku ini adalah metodologi. Metodologinya

lemah, karena sebagian besar atas dasar dugaan atau asumsi.

Penulisnya hanya merajut data dari kliping media dan tidak diveri-

fikasi. Penulisnya juga sering menarik kesimpulan berdasar data

sekunder tanpa konfirmasi. Misalnya tentang apa yang disebut

Aditjondro sebagai jaringan bisnis Presiden Yudhoyono dan

keluarganya atau pemanfaatan jaringan untuk pemenangan Pemilu.

Aditjondro juga kerap membuat narasi spekulatif. Soal apa yang

74 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

dia sebut sebagai kaitan Ani Yudhoyono dengan promosi batik

Allure, misalnya, Aditjondro menulis: “Ada potensi konflik kepen-

tingan Ani Yudhoyono sebagai pembina yayasan dan perusahaan

batik baru yang telah mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon.”

Pernyataan itu jelas spekulatif karena tanpa sumber referensi yang

akurat.

Pada halaman 29, Aditjondro juga menuding Rully Iswahyudi

sebagai pengelola Bravo Media Center, pusat penerangan Tim

Kampanye SBY-Boediono dalam Pemilihan Presiden lalu. “Rully Ch.

Iswahyudi, selain menjadi Direktur Komersial & IT Perum LKBN

Antara, ia juga ikut mengelola Bravo Media Centre,” tulis George.

Seharusnya pada bagian ini, Aditjondro melakukan cek silang

kepada yang bersangkutan, apakah benar Rully pernah menjadi

anggota apalagi pengelola BMC. Aditjondro juga menulis, ada

yayasan-yayasan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi SBY

atau keluarganya. Namun, Aditjondro tak cuma gagal menunjukkan

fakta otentik soal abuse of power dalam pendirian yayasan, tetapi

juga gagal memberi bukti bahwa Presiden Yudhoyono

memanfaatkan dana bail out Century dan dana BUMN untuk

pemenangannya. Hasil akhir Pansus Century semakin jelas, gambang

dan terang, bahwa tidak ada aliran dana kepada presiden dan

keluarganya, serta kepada Partai Demokrat. Hasil pansus tentang

aliran bail out Century menjadi bukti bahwa buku George hanya

didasarkan pada ilusi.

George hanya mengutip sebuah berita bahwa ada aliran dana

dari seorang konglomerat kepada sebuah yayasan yang dipimpin

orang dekat Presiden SBY. Namun berita itu hanya data sekunder,

tanpa ada verifikasi kepada pengurus dan pengelola yayasan

tersebut.

Efek praktik spin doctoring terhadap Presiden SBY memang amat

terasa. Ada label-label tertentu yang secara sistematis dilekatkan

kepada sosok Presiden sehingga susah untuk tidak disebut sebagai

character assassination. Karakter santun, berhati-hati, dan penuh

Mengungkap Kesenjangan Istana 75

pertimbangan telah di-spin sedemikian rupa menjadi karakter

cengeng (suka curhat), peragu, dan lamban. Sebuah media, misal-

nya, menggunakan istilah “rintihan fitnah SBY” saat mengulas per-

nyataan presiden soal fenomena fitnah dan fiksi politik. Dalam

narasinya, berita itu berulang kali menggunakan diksi “rintihan”

untuk merujuk pernyataan presiden yang sebenarnya berisi ajakan

memperhatikan etika politik.

Praktik spin doctoring memang terkait dengan apa yang

disebut Presiden SBY sebagai fiksi politik, bahkan pada titik tertentu

bisa menjadi fitnah politik. Efek paling jelas dari praktik spin doctoring

ini adalah khalayak akan mempersepsi kenyataan politik sebagai

second hand reality, sebuah kenyataan yang sudah dikonstruksi sesuai

agenda spin doctors melalui media. Khalayak akan memahami isu

politik atau tokoh politik tertentu sebagaimana apa yang ditayangkan

di media, tak peduli realitas yang disuguhkan media berbeda dengan

realitas empirisnya atau tidak.

Berkembangnya apa yang disebut oleh L.J. Sabato sebagai attack

journalism juga mendorong merebaknya praktik spin doctoring

sehingga menghasilkan fiksi politik. Genre jurnalisme ini berkem-

bang pada pertengahan 1970-an di Negeri Paman Sam. Inilah genre

jurnalisme yang menghasilkan reportase politik yang seringkali kasar,

kejam, agresif, seringkali berbasis gosip, dan menimbulkan

kegaduhan. Bak anjing gila (mad dog), genre jurnalisme ini gemar

menyerang otoritas (terutama pemerintah). Sabato juga menyebut

junkyard journalism yang selalu memotret politik sebagai pertunjukan

panggung hiburan atau bak kompetisi olahraga.

Indonesia memang punya konteks historis, politis, atau kultural

berbeda dengan Amerika Serikat, namun dalam titik tertentu apa

yang disebut Sabato sebagai attack journalism dan junkyard journalism

sepertinya juga tampak dalam praktik jurnalistik di Indonesia. Yang

pasti, praktik jurnalistik seperti itu memberi ruang cukup lebar bagi

berkembangnya praktik spin doctoring. Ini pula yang membuat media

di Indonesia tampak begitu bersemangat “melahap” isu-isu politik

76 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors

yang keras cenderung menyerang pemangku otoritas, meski bahan

bakunya berbasis pada fiksi bukan fakta. Media kemudian cenderung

memosisikan para politisi atau bahkan pemangku otoritas bak atlet-

atlet olahraga, yang tiap saat saling dipertandingkan sesuai agenda

yang—kadang-kadang—disiapkan spin doctors.

Memang tragis. Tapi jangan-jangan inilah wajah politik kita.

Ini semua bukan soal kebenaran, tapi soal permainan.

Mengungkap Kesenjangan Istana 77

55555Korban FitnahTak Berujung

Sekelompok mahasiswa Universitas Harvard berdiri di luar

gedung kampus mereka di Boston, Amerika Serikat (AS), Selasa, 29

September 2009 waktu setempat. Mereka menunggu kehadiran

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memberi kuliah

tamu di kampus mereka.

Tidak seperti demo-demo pada umumnya, wajah para

demonstran itu ceria. Dengan santai mereka menjadi tiang hidup

tempat sejumlah spanduk dan poster dibentangkan. Dan, tulisan

di spanduk-spanduk itulah jawaban keceriaan wajah mereka:

“Thank You Indonesia”

“Harvard Says, Indonesia’s Our Climate Change HERO”

“President Yudhoyono Climate Change World Leader”, juga

“The Earth Our Future, Thank You Yudhoyono”.

Ya, mereka memang berdemo, tapi demo mengucap terima

kasih atas kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

(SBY) dan Indonesia dalam memperjuangkan penanganan perubah-

an iklim. Saat itu, Presiden SBY memberi kuliah tamu bertema

78 Korban Fitnah Tak Berujung

“Harmonisasi Peradaban.” Ruangan berkapasitas 800 tempat duduk

itu penuh, padahal panitia tidak menggratiskan acara tersebut.

Michelle Kissenkoetter, Dominic Maxwell, Michael Blomfield

dan Joel Kenrick—sebagian demonstran itu—berteriak-teriak sambil

membentangkan poster-poster yang mereka bawa ketika iring-

iringan kendaraan yang membawa Presiden SBY dan rombongan

melintas memasuki gerbang kampus.

“…Kami adalah mahasiswa Harvard dari berbagai bangsa. Kami

ingin masyarakat Indonesia tahu apa yang telah dilakukan pemimpin

negara mereka sangat kami hargai, dihargai AS, dan dunia,” kata

Kissenkoetter kepada wartawan.

Michelle dan demonstran lainnya adalah mahasiswa program

master kebijakan publik di John F. Kennedy School of Government,

Universitas Harvard. Menurut Maxwell, Indonesia memberi kontri-

busi besar melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim

di Bali, tahun 2007 lalu. KTT tersebut ia yakini membuka kesadaran

dunia dan mendorong mereka melakukan sejumlah langkah lanjutan

mencegah pemanasan global.

“…Apa yang telah dilakukan Indonesia sangat berarti karena setelah

itu (KTT Bali) negara-negara lain mau melakukan perundingan, dan

sekarang perundingan mengarah ke pertemuan di Kopenhagen,

Denmark,” kata Maxwell.

Bila mahasiswa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang

tulus, maka kelompok yang tulus itu tanpa diminta telah memuji

Presiden SBY. Bukan hanya mahasiswa asing yang memuji peran

SBY dalam kepemimpinan lingkungan, media terkemuka sekaliber

Majalah Time pun memasukkan Presiden SBY dalam daftar 100

Tokoh Berpengaruh 2009 di kategori “Pemimpin dan Tokoh

Revolusioner.”

Laporan Time ini dilengkapi pujian tokoh regional, Anwar

Ibrahim. Pemimpin oposisi di Malaysia itu mengakui sejak menang

Pilpres 2004, Presiden SBY berhasil membawa Indonesia tetap

bertahan di setiap tantangan, bahkan selama resesi global yang terjadi

Mengungkap Kesenjangan Istana 79

belakangan ini (‘Sby dipuji Anwar Ibrahim’ http://

dunia.vivanews.com/news/ diunduh pada 18 Februari 2010).

Menurut Anwar Ibrahim, Presiden SBY memenuhi sebagian

besar program yang dia janjikan.

“…Sejarah perjalanan demokrasi Indonesia mungkin tidak begitu

lama, namun bangsa ini telah menunjukkan rakyatnya tidak akan

memilih lagi presiden yang tidak memenuhi janji-janjinya,” kata

Anwar yang kini memimpin Partai Keadilan Nasional di Malaysia.

Tak hanya itu, Anwar juga yakin Presiden SBY bisa menjadi

pemimpin negara-negara Muslim dalam membina hubungan yang

lebih baik dan bermartabat dengan AS. “Dalam menanggapi pen-

dekatan hangat Presiden Barack Obama kepada negara-negara

Muslim untuk menjalin hubungan baru dengan AS, Yudhoyono

bisa menjadi pelopor dan memegang kendali bagi arah kawasan

(Asia),” pujinya.

Pengakuan atas kapabilitas dan peran Presiden SBY makin

mantap dengan datangnya pujian dari Presiden AS, Barack Obama.

SBY dinilai aktif menjalin kerja sama dengan AS dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi (iptek).

“…Saya sampaikan pujian saya pada Indonesia, khususnya pada

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pendekatan aktifnya

terhadap kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Obama

(Aktif Jalin Kerja Sama IPTEK, SBY Dipuji Obama, http://

www.detiknews.com diunduh pada 18 Februari 2010)

Sambutan Obama itu disampaikan Dubes AS untuk RI Cameron

R. Hume dalam acara Silaturahim Presiden RI dengan Akademi Ilmu

Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Masyarakat Ilmiah di Puspiptek,

Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 20 Januari 2010 lalu.

Tak Korup, Tak Jahat, Tak Kejam: Tetapi Lembut

Tentu deretan pujian itu menunjukkan kualitas Presiden SBY.

Meski pun, sebenarnya, pujian-puijian itu tak terlalu mengejutkan.

Jauh sebelumnya, pengamat politik Wimar Witoelar sudah yakin

80 Korban Fitnah Tak Berujung

menyebut Presiden SBY adalah tokoh terbaik yang bisa dipilih rakyat

Indonesia sebagai pemimpinnya.

“… He’s not shaping up, because he knows at the end of the day

people don’t see anyone better or as good on the horizon. All the people

who could be his rivals are even worse than him…” (Wimar: President

SBY Not Shaping Up, Metro TV, 05 April 2007).

Ya, kalimat itu milik Wimar Witoelar. “He” yang dia maksud

tak lain adalah Presiden SBY. Kalau Anda sempat berkernyit dahi,

wajar. Siapa pun tahu, Wimar adalah intelektual kritis. Lebih

menarik lagi, pria yang pernah menjadi juru bicara mantan Presiden

KH Abdurrahman Wahid ini sama sekali bukan orang lingkaran

dalam SBY. Dia bukan anggota kabinet, bukan pula fungsionaris

Partai Demokrat di mana SBY menjadi ketua tim pembinanya.

Tapi, coba perhatikan kalimat itu. Kalimat yang disampaikan

dalam sebuah wawancara di Metro TV tahun 2007 itu jelas berupa

pujian. Wimar, yang sepenuhnya “orang luar,” menyebut tak ada

calon pemimpin lain yang lebih baik dari SBY. Dan, Wimar yakin

pada kecerdasan serta kepekaan rakyat Indonesia yang bisa melihat

hal itu secara jelas.

Mengapa Wimar memberi pujian seperti itu? Lanjutan wawan-

cara itu menjadi jawabannya:

“..At least he’s not causing any damage except through inaction. His

weakness is mainly being indecisive, not being able to take a stand,

not fulfilling his commitment. But he’s not corrupt, he’s not evil, he’s

not cruel, while many of his rivals would have things on their track

record…”

SBY diyakini secara luas sebagai sosok yang tidak punya “utang

kesalahan” di masa lalu. Dia adalah pemimpin yang tak membuat

kerusakan apa pun. Hingga saat ini, tak ada satu pun pemimpin di

Indonesia yang lebih baik darinya. Karena itu, bahkan sejak 2007,

Wimar Witoelar berani memastikan bahwa pada Pilpres 2009 SBY

pasti terpilih kembali.

Mengungkap Kesenjangan Istana 81

Seperti terungkap dalam opini Wimar tersebut, satu-satunya

kelemahan yang dipersepsi dimiliki SBY adalah sifat peragu atau

indecisive. SBY dianggap mengalami kesulitan menentukan tindakan

dan juga dipersepsi tidak memenuhi komitmennya. Karena itu,

Wimar yang selalu kritis saat menjadi presenter talk show maupun

narasumber, membuat analisis serupa kesaksian. Menurutnya, SBY

tidak korup, tidak jahat, dan tidak kejam. Sementara para rival SBY,

kata Wimar, memiliki “sesuatu” pada masa lalu mereka.

Bukan hanya bersih dari “utang kesalahan” di masa lalu, SBY

juga mengedepankan politik yang santun. Politik yang santun inilah

yang ikut berkontribusi terhadap kemenangan pasangan SBY-

Boediono pada Pilpres 2009. Anggota Tim Kampanye Nasional SBY-

Boediono, Bisa dikatakan, kemenangan SBY-Boediono merupakan

kemenangan politik santun. Rakyat sudah semakin cerdas dan

kurang nyaman lagi terhadap politik konfrontatif dan agresif.

Ada beberapa kunci kemenangan SBY-Boediono. Rakyat makin

cerdas dalam memilih pemimpin. Rakyat mengamanahkan SBY

untuk melanjutkan program pro-rakyat seperti Bantuan Langsung

Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Beras untuk Rakyat Miskin

(Raskin), Program Keluarga Harapan, Bantuan Operasional Sekolah

(BOS), maupun PNPM Mandiri.

SBY sendiri memilih politik santun—meski dia juga punya

cukup alasan dan kekuatan menerapkan politik yang lebih

konfrontatif—untuk mendorong perkembangan politik di masya-

rakat. Alasannya, seperti pernah dikatakan Dinno Patti Djalal, refor-

masi tidak otomatis mendorong perkembangan politik. “Karena itu

kita harus memasukkan nilai politik yang santun, cerdas, berkualitas,

berintegritas, dan etis,” katanya.

Bukan hanya berkontribusi terhadap kemenangan kedua bagi

SBY, politik santun yang diterapkan SBY juga berkontribusi terhadap

membaiknya kondisi politik dalam negeri. Dulu orang berbicara

tentang reformasi, tetapi kita kini harus lebih dari sekadar reformasi,

yakni transformasi. Selama lima tahun terakhir ini fundamental

82 Korban Fitnah Tak Berujung

berpolitik kalangan elite di dalam negeri sudah semakin baik.

Untuk menjaganya, figur sentral seperti SBY memang diharus-

kan bisa menempatkan diri secara tepat di antara tarik-menarik

kelompok ultranasionalis-nasionalis terbuka, antara pelaku politik

uang dan politik integritas, serta sejumlah komponen bangsa yang

lain.

Politik yang santun ini bukan sebuah kebetulan. SBY secara

sadar memilihnya karena yakin hanya dengan politik yang santun

rakyat bisa dididik dan perbaikan bisa diharapkan.

Sejak sebelum masa kampanye Pilpres 2009 SBY sudah mene-

gaskan tiga garis atau cara politik yang harus dijalankan dalam

kerangka kompetisi Pilpres, yaitu politik yang bersih, cerdas, dan

santun. Ditekankan pula cara yang konstruktif dan edukatif. Nilai-

nilai tak boleh berakhir setelah Pilpres usai.

Politik yang bersih, menyangkut bersih lahir dan batin. Politik

memang sarat strategi dan siasat, tetapi selalu ada ruang etika dalam

kompetisi. Lalu, politik yang cerdas, dimaksudkan untuk selalu

cerdas dalam berkampanye, dalam mendapatkan dukungan rakyat,

dan segala kegiatan yang akan dijalankan. Terakhir, berpolitik secara

santun, yaitu ada kepatutan dalam berbicara dalam berkampanye.

Gema tiga garis politik yang dikumandangkan SBY tidak lepas

dari keinginan dirinya ikut membangun budaya politik yang baik,

sesuai tatanan di negeri ini. Tidak mengherankan bila anggota tim

sukses dan pendukungnya diajak memahami secara betul makna

pilpres sendiri. Yaitu, yang penting, pilpres (dan keseluruhan proses

dan aktivitas politik) pada hakikatnya adalah kompetisi yang sehat,

ksatria, dan beretika. Ia bukanlah perang yang sampai menghan-

curkan, apalagi dengan menghalalkan segala cara.

Politik yang santun nan sukses ini tak luput dari amatan inter-

nasional. Terbukti, Presiden SBY dianugerahi Gold Standard Awards

kategori Komunikator Politik Terbaik dari PublicAffairsAsia.

Penghargaan yang menjadikan Presiden SBY sebagai komunikator

terbaik 2009 itu diberikan di Gedung Press Foreign Correspondence

Mengungkap Kesenjangan Istana 83

Club, Hong Kong, Kamis, 4 Februari 2010 lalu.

Gold Standard Awards adalah penghargaan tahunan yang

diselenggarakan PublicPolicyAffairs, lembaga penerbitan global,

yang menerbitkan berbagai media, analisis dan intelegensi pasar yang

berpusat di Hong Kong. Selain kategori komunikasi politik, terdapat

kategori Transparansi Lembaga yang dianugerahkan kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) Thailand. KPK Indonesia masuk

menjadi salah satu nominator. Dan siapapun tahu, KPK merupakan

lembaga yang dilahirkan pada masa pemerintahan peremerintahan

SBY.

Menurut Mark O.Brien, Vice-President PublicAffairsAsia Asia

Pasifik, SBY dipilih panel yang beranggotakan sembilan juri. Ia

menyisihkan finalis lain seperti Perdana Menteri Thailand, Abhisit

Vejjajiva; dan aktivis Save The Children UK, Ryan Gawan. Menurut

Brien, SBY yang dinominasikan Hans Vriens of Vriens & Partners

mampu menyisihkan nominator lain, karena dinilai berhasil meng-

komunikasikan berbagai kebijakan dalam dan luar negeri secara

efektif sehingga terpilih kembali sebagai Presiden RI dan kini melan-

jutkannya pada periode kedua.

Catatan panel juga menyebutkan SBY dinilai berhasil menjaga

independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mendorong

pemberantasan korupsi pada pemerintahan yang pada saat yang

sama menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari

4 persen, memperkuat spirit ASEAN, dan mendorong lingkungan

iklim ekonomi dan politik yang kondusif di dalam negeri.

Mereka Ingin Pemakzulan

Sayangnya, politik santun yang disuarakan SBY tak selalu

mendapat sambutan sama santunnya. Gelapnya ambisi politik

membuat politik santun SBY justru berbuah petaka. Sebagian malah

menganggapnya sebagai kelemahan yang bisa dimanfaatkan. Salah

satunya terlihat secara mencolok dalam proses-proses politik

menyikapi bailout Bank Century

84 Korban Fitnah Tak Berujung

Sejumlah pihak mendesakkan pemakzulan terhadap Presiden

SBY. Menurut mereka, SBY ikut bertanggung jawab atas bailout Bank

Century yang mereka yakini merugikan negara triliunan rupiah dan

sebagian besar dana mengalir ke kampanye Partai Demokrat dan

kampanye SBY-Boediono sendiri.

Desakan ini adalah perilaku politik yang tak berdasar, bahkan

absurd. Bukan saja jalinan kasus ini belum dibuktikan di pengadilan,

namun desakan ini juga merisikokan nasib bangsa Indonesia secara

keseluruhan. Memakzulkan presiden berarti harus siap dengan be-

ragam perangkat pendukung yang memastikan pemerintahan segera

berjalan kembali dan tidak terjebak pada situasi chaos.

Berapa triliun rupiah dana yang harus dikeluarkan untuk

menggelar pilpres ulang? Kerusakan dan kekacauan seperti apa yang

harus dilewati bangsa ini bila pemakzulan benar-benar dilakukan ?

Apakah mereka berpikir bahwa para pendukung Partai Demokrat

dan pasangan SBY-Boediono akan diam melihat presiden yang

mereka menangkan secara demokratis ditumbangkan beberapa

gelintir orang menggunakan celah-celah politik di parlemen?

Sungguh tidak elok melakukan “kudeta legal” seperti itu. Apalagi,

SBY adalah satu-satunya Presiden RI yang terpilih secara langsung.

Dia juga satu-satunya Presiden RI yang terpilih kembali secara

langsung dengan mandat yang lebih besar dari sebelumnya.

Seperti diketahui, dalam Pilpres 2004, Capres SBY yang

berpasangan dengan Cawapres Muhammad Jusuf Kalla menjadi

pemenang. Pada putaran pertama, pasangan ini ada pada posisi

tertinggi dengan 39.838.184 suara atau 33,57%. Pasangan nomor urut

4 yang diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia ini mengungguli pasangan Hj.

Megawati Soekarnoputri-KH. Hasyim Muzadi yang dicalonkan PDIP

dengan raihan suara 31.569.104 (26,61%). Tiga pasangan lain gagal

maju ke putaran kedua, yakni H. Wiranto, SH-Ir. H. Salahuddin

Wahid (Partai Golkar) yang meraih 26.286.788 suara atau 22,15%,

pasangan Prof. Dr. HM. Amien Rais-Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo

Mengungkap Kesenjangan Istana 85

(PAN) yang meraih 17.392.931 suara atau 14,66%, dan pasangan Dr.

H. Hamzah Haz- H. Agum Gumelar, M.Sc (PPP) yang meraih

3.569.861 suara atau 3,01%. Pada putaran kedua Pilpress—karena

tak satu pun pasangan yang memeroleh suara lebih dari 50%—

kembali pasangan SBY-Jusuf Kalla unggul dengan raihan 69.266.350

suara atau 60,62%.

Raihan suara SBY makin tinggi dalam Pilpres 2009. Bila pada

Pilpres 2004 SBY harus melalui putaran kedua, dalam Pilpres 2009

SBY-Boediono menang langsung dalam 1 putaran.

SBY-Boediono yang diusung Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP,

PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai

RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI,

PIS, PIB, dan PPDI menang dengan 73.874.562 suara atau 60,80%.

Pasangan ini unggul jauh dibanding Megawati-Prabowo yang

meraih 32.548.105 suara (26,79%) maupun Jusuf Kalla-Wiranto yang

ada di urutan terakhir dengan 15.081.814 suara (12,41%).

Apakah pasangan presiden dan wakil presiden dengan mandat

dan kepercayaan masyarakat yang begitu besar akan dihentikan di

tengah jalan melalui satu kasus yang belum terbuka secara terang

benderang? Padahal, SBY sendiri yang memerintahkan agar kasus

Bank Century dibuka seterang-terangnya. Saat bertemu pimpinan

media massa di Istana Negara, Minggu, 22 November 2009, SBY

dengan tegas memerintahkan kasus Bank Century dibuka seterang-

terangnya.

Bahkan SBY menilai, bahwa menerima, meminta, atau berharap

memperoleh dana dari sumber-sumber yang tidak semestinya

merupakan perbuatan tercela.

“…Saya ingin semuanya dibikin terang, seterang-terangnya. Makin

terang makin diketahui duduk persoalannya,” katanya menyangkut

pengungkapan kasus Century. Lebih lanjut ia menyebut, “Apakah

ada yang tidak benar pada bank itu? Saya ingin tahu kemana larinya

aliran dana talangan ke bank tersebut. Buka semuanya dan apa

adanya, apakah proper atau tidak…”

86 Korban Fitnah Tak Berujung

SBY yang banyak disebut man of integrity adalah pihak pertama

yang membuka pintu bagi keberadaan Pansus Hak Angket Bank

Century di DPR.

“…Saya tidak ingin tidak ada halangan psikologis antara rakyat

dengan kepala negaranya. Buka semuanya, seterang-terangnya. Bila

DPR menggunakan hak angket dan menganggapnya sebagai jalan

yang terbaik, maka itu perlu digunakan,” tegas SBY.

Bila ikut bermain dalam kasus ini atau menerima aliran dananya,

bagaimana mungkin SBY memerintahkan kasus ini dibuka secara

gamblang dan perintah itu diketahui seluruh khalayak, bahkan

publik internasional karena beritanya muncul di seluruh media

(termasuk online)?

Pandangan akhir fraksi di Pansus yang disampaikan Rabu, 17

Februari 2010 menunjukkan tak ada aliran dana ke presiden maupun

tim suksesnya. Lima fraksi, yakni Fraksi PDIP, Gerindra, Partai

Golkar, PKS, dan PPP memang menyebut Bank Indonesia, Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS), manajemen Bank Century, serta

manajemen baru Bank Mutiara dinilai ikut bertanggung jawab atas

kasus ini. Namun, tak satu pun fraksi yang menyebut aliran dana

itu sampai ke SBY atau tim suksesnya dulu saat Pilpres.

Militer Demokrat dan Reformis

Dorongan SBY agar DPR tak ragu-ragu menggunakan haknya

sebagai parlemen—termasuk hak angket—menunjukkan jiwa

demokrat SBY. Penghormatannya terhadap sistem demokrasi

sebelumnya banyak diragukan sejumlah elemen masyarakat. Latar

belakang kemiliterannya membuat purnawirawan jenderal bintang

empat ini selalu dicurigai anti demokrasi dan punya tendensi

memerintah dengan tangan besi.

Sebagian elemen masyarakat yang lain memang tidak menuduh

SBY bertangan besi. Namun, mereka punya tuduhan yang tak kalah

menggelikan. Menurut kelompok ini, SBY tak lebih dari sekadar

“jenderal di belakang meja”. Ini hinaan yang dihembuskan untuk

Mengungkap Kesenjangan Istana 87

menciptakan kesan SBY petinggi militer yang tidak pernah

menyabung nyawa di medan laga dan karena itu tak terbiasa meng-

ambil kebijakan cepat dan tepat. Padahal, kemampuan mengambil

keputusan secara cepat dan tepat adalah salah satu kualitas yang

diakui dimiliki kebanyakan personel militer.

Bagaimana mungkin satu orang memiliki dua sifat yang saling

bertentangan? Kedua tuduhan itu juga akan langsung pupus kalau

saja kita membaca biografi SBY secara menyeluruh.

Mereka yang menuduh SBY sekadar “jenderal di belakang meja”

sangat mungkin tidak mengetahui ayah dua putra ini kenyang de-

ngan pendidikan tempur dan penugasan di gugus tempur.

Setelah menjadi lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima

penghargaan lencana Adhi Makayasa, SBY melanjutkan pendidikan

kemiliterannya di Airborne and Ranger Course di Fort Benning,

Georgia, AS (1976) lalu ke Infantry Officer Advanced Course di

tempat yang sama (1982-1983). Setelah itu, lelaki kelahiran Pacitan,

Jatim ini mengikuti Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti

Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), serta Kursus

Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-

1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth,

Kansas, AS (1990-1991).

Bila diperhatikan teliti, SBY mendapatkan pendidikan dari

ranah pertahanan udara, perang di hutan belantara, hingga anti

tank. Tak hanya kemampuan teknis, kelihaian strateginya pun diasah

mulai sekolah komando Angkatan Darat di dalam negeri hingga

pendidikan khusus pejabat tinggi dan komando militer di AS (lihat

boks).

SBY sendiri juga pernah memimpin Peleton II Kompi A Batalyon

Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-

1977, termasuk dalam misi di Timor Timur.

Bila catatan ini dianggap belum cukup menunjukkan SBY

sebagai “jenderal lapangan,” agaknya para penuduh itu harus

kembali membaca sejarah. Adakah pertempuran selain di Timor

88 Korban Fitnah Tak Berujung

Timur yang melibatkan tentara Indonesia secara langsung selepas

Agresi Militer Belanda II?

Selain itu, adalah SBY pula yang memimpin yang dipercaya

bertugas sebagai pemimpin pasukan keamanan PBB di Bosnia

Herzegovina (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer

PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang

bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia

berdasarkan kesepakatan Dayton, AS, antara Serbia, Kroasia dan

Bosnia Herzegovina.

Mereka yang mengidentikkan SBY dengan pemerintahan

tangan besi hanya karena ia militer, juga patut menyimak perjalanan

hidup SBY. SBY adalah satu dari sangat sedikit jenderal yang

menaruh perhatian besar terhadap bidang ilmu di luar kemiliteran.

Gelar master di bidang manajemen didapatnya dari Webster

University, AS, sementara gelar doktor manajemen pertanian

diraihnya dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Keduanya adalah

perguruan tinggi dengan reputasi sangat baik, bukan universitas

papan nama atau dengan status “samar-samar terdengar” yang

biasanya disinggahi banyak birokrat haus gelar namun tak memen-

tingkan ilmu.

Dengan latar belakang keilmuan non militer yang demikian

baik, tentu memperkecil peluang SBY untuk sepenuhnya

dipengaruhi oleh naluri kemiliterannya. Lagipula, siapa yang

memastikan bahwa setiap personel militer pasti akan bertangan besi?

Bukankah tidak ada jaminan bahwa orang sipil—yang tidak memiliki

latar belakang militer—akan selalu demokratis.

Tuduhan SBY sebagai “jenderal di belakang meja” atau

sebaliknya, cenderung militeristik seharusnya sudah sejak lama

dikoreksi. SBY adalah satu-satunya menteri yang secara gentle

memilih pensiun dini dari kemiliteran agar bisa sepenuhnya

berkonsentrasi terhadap tugas yang dipercayakan padanya. Tugas-

nya saat itu adalah sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada

pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama

Mengungkap Kesenjangan Istana 89

kemudian, SBY dipercaya menjadi Menko Polsoskam.

Lalu pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri

memercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet

Gotong-Royong. Namun pada 11 Maret 2004, lelaki kelahiran 9

September 1949 ini memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko

Polkam karena merasa tidak dilibatkan dalam sejumlah keputusan

pemerintah yang sebenarnya ada pada ranah tugas dan tanggung

jawabnya. Tak ingin sekadar menjadi pajangan, SBY pun

mengundurkan diri dan lebih leluasa menjalankan hak politiknya,

termasuk membidani lahirnya Partai Demokrat, partai dengan raihan

suara terbanyak saat ini.

Dengan paduan kemampuan militer, manajemen, dan akademis

seperti itu, tak heran bila SBY disebut sebagai salah satu pemimpin

terbaik dunia. PM Australia John Howard bahkan menilainya

sebagai the best president ever in the history of Indonesia.

Profil SBY yang tenang, sangat penting dalam mengangkat

peran Indonesia di dunia internasional. Bagaimana pun, pemimpin

yang tenang, santun, tidak meledak-ledak dan lebih mengutamakan

stabilitas daripada prestasi gemebyar jangka pendek, lebih disukai

investor internasional.

Profil SBY yang tenang itu sangat membantu positioning

Indonesia di dunia internasional yang makin tinggi dan kuat. Salah

satunya ditandai dengan masuknya Indonesia ke dalam Kelompok

20 atau kita lebih mengenalnya dengan istilah G20. Ini adalah

kelompok negara-negara industri maju dan sejumlah negara yang

dipersepsi sebagai middle power.

Middle power memang konsep yang belum final, namun

biasanya merujuk pada negara-negara dengan perilaku politik luar

negeri tertentu. Misalnya, lebih suka bertindak dalam kerangka

proses dan institusi multilateral, memiliki komitmen mempromosi-

kan norma-norma legal internasional dan penggunaan tindakan

diplomatik, militer, dan ekonomi secara proaktif untuk mencapai

hasil politik yang diinginkan.

90 Korban Fitnah Tak Berujung

Konsep middle power bukan hanya merujuk pada semacam

pemeringkatan atas kapabilitas (ekonomi, militer, diplomatik) suatu

negara, namun juga pada kemauannya terlibat pada isu-isu krusial

dunia dan kemampuannya bermain di dalamnya. Kemauan terlibat

dalam isu-isu krusial dunia ini adalah titik kesamaan antara negara-

negara yang dipersepsi sebagai negara maju atau negara kuat

dengan negara-negara middle power.

Karena itu G20, meski memiliki fokus pada kerja sama inter-

nasional di sektor ekonomi, namun juga punya peran signifikan

dalam menentukan agenda-agenda kerja sama pada sektor lain, mulai

penjagaan keamanan, HAM, hingga lingkungan. Dengan peran

semacam ini, G20 selalu menjadi referensi pelaku ekonomi di seluruh

dunia.

Anggota G20 yang merupakan gabungan negara industri maju

dan kaya dengan negara middle power yang secara ekonomi masih

dalam tahap pembangunan, dinilai stake holder dunia lebih repre-

sentatif dan lebih mewakili aspirasi hingga peluang riil dunia.

Dibanding, misalnya, organisasi yang keanggotaannya lebih

homogeny atau eksklusif seperti OECD.

G20 sendiri terdiri dari G7 (Amerika Serikat, Jepang, Inggris,

Prancis, Jerman, Italia, dan Kanada) ditambah kelompok negara yang

disebut Pricewaterhouse Coopers beberapa tahun lalu sebagai

Emerging 7 (E-7), yakni Brasil, India, China, Indonesia, Meksiko,

Turki dan Rusia. Anggota tambahannya diambilkan dari negara-

negara yang dianggap paling maju dan stabil di kawasan, yakni

Australia (Oseania), Korea Selatan (Asia), Arab Saudi (Timur

Tengah), Afrika Selatan (Afrika), dan Argentina (Amerika Latin),

dan Uni Eropa. Yang disebut terakhir adalah satu-satunya anggota

G20 non-negara, melainkan sebuah organisasi multilateral regional.

SBY sendiri terbukti memainkan peran penting dalam KTT G20.

Dia, misalnya, mengusulkan agar G20 menjadi organisasi permanen

dan menjadi rujukan utama menggantikan kelompok yang lebih

eksklusif (G8). Hasilnya, meski belum menjadi organisasi permanen,

Mengungkap Kesenjangan Istana 91

namun KTT dua hari G20 di Pittsburgh, AS, tahun lalu menyetujui

bahwa G20 menggantikan G8. G20 sendiri merangkum 90 persen

perekonomian global.

Pembatasan kompensasi bagi eksekutif lembaga keuangan

termasuk yang disuarakan SBY. Ternyata, usulan ini juga diterima.

Secara resmi G20 menyetujui bahwa kompensasi “berlebihan” bagi

para eksekutif di sektor perbankan harus diakhiri karena mendorong

risiko. G20 menentang jaminan bonus multitahun, mendesak

transparansi yang lebih besar dan menyerukan Dewan Stabilitas

Keuangan G20 untuk mengusulkan langkah-langkah baru pada

Maret 2010.

Penampilan SBY dalam KTT ini juga dipuji, misalnya, oleh

Zulkifliemansyah, Ph.D, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat. “Saya

bertemu para akademisi dan kolega yang memantau lawatan SBY

ke AS,” ujar Zulkifliemansyah. “Persiapan yang serius dan matang,

membuat Presiden SBY tampil lebih kapabel dan kredibel di hadapan

para pemimpin dunia. Media dan publik AS menyambut baik

kehadiran SBY dan gagasannya dalam pertemuan G-20,” lanjutnya.

(http://www.demokrat.or.id)

Meski terus memantapkan posisi di ranah diplomatik global,

Presiden SBY tidak pernah melupakan lingkungan terdekatnya:

ASEAN. Presiden SBY sadar benar bahwa lingkungan para tetangga

ini adalah ring 1 dalam diplomasi Indonesia. ASEAN adalah sumber

peluang terbesar sekaligus ancaman paling dekat bagi Indonesia,

karena itu harus disikapi dengan cerdas.

Selalu ada gagasan brilian yang ia tawarkan. Sebut saja

seruannya agar ASEAN menjadi lumbung pangan global.

“Marilah kita bersama-sama para pimpinan membikin ASEAN

menjadi lumbung pangan internasional, utamanya lumbung beras

dunia,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Peringatan

Hari Ulang Tahun ke-42 Perum Bulog di Jakarta, 8 Mei 2009.

Presiden SBY juga menjadi inisiator langkah-langkah bantuan

bagi krisis kemanusiaan seperti yang menimpa manusia perahu etnis

92 Korban Fitnah Tak Berujung

rophingya, Myanmar. Presiden SBY menegaskan Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Aceh tetap akan mengupayakan penyelesaian kasus

terdamparnya manusia perahu di Sabang dan Kuala Idi. Langkah-

langkah penanganan yang dimaksud adalah upaya investigasi untuk

mengetahui identitas dan asal mereka.

Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva juga mengaku siap

mendiskusikan dan menerima usulan Indonesia untuk menyelesai-

kan masalah ini melalui mekanisme Bali Process. “Thailand berusaha

menanganinya dengan berbagai level, kita butuh dukungan karena

banyak negara yang terlibat,” kata Abhisit.

Korban PenzalimanDengan profil yang menjanjikan seperti itu, seharusnya tak

tersedia celah menghujat SBY. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

SBY terus menerus menjadi bulan-bulanan fitnah dan hujatan. Salah

satunya bahkan menukik pada isu yang sangat pribadi, jauh dari

perdebatan isu-isu nasional atau kepentingan masyarakat.

Adalah Zaenal Maarif yang menyebut SBY sudah menikah dan

punya anak sejak sebelum masuk Akabri. Padahal, sebagaimana

diketahui, Akabri mensyaratkan para taruna belum menikah saat

pertama kali masuk pendidikan. Meski menganggap berita yang

disiarkan Zaenal adalah fitnah yang sangat mengganggu diri dan

keluarganya, akhirnya SBY tetap memaafkan Zaenal.

Dengan pemberian maaf itu, vonis terhadap mantan politisi

Partai Bintang Reformasi itu menjadi ringan. Zaenal yang juga

mantan Wakil Ketua DPR RI itu dijatuhi hukuman delapan bulan

penjara dengan masa percobaan satu tahun dan diharuskan

membayar biaya perkara Rp 5.000,00. Zaenal sendiri tetap divonis

karena penerimaan maaf Zaenal Maarif oleh SBY tidak dapat

menghapuskan kesalahannya, apalagi SBY tidak pernah mencabut

pengaduannya dan mengharapkan proses hukum terus berjalan.

Di sini SBY memberi dua pelajaran sekaligus kepada masyarakat

Indonesia. Pertama, dia tidak mencabut pengaduannya. Hal ini

bukan semata-mata supaya pengadilan secara resmi membersihkan

Mengungkap Kesenjangan Istana 93

nama dia dan keluarganya, namun untuk menunjukkan kepada

khalayak agar bersikap hati-hati. Segala perkataan dan perbuatan

mengandung konsekuensi. Diharapkan masyarakat tidak secara

serampangan memunculkan rumor atau fitnah karena bisa dituntut

di meja hijau.

Kedua, SBY menunjukkan kebesaran hatinya dengan meneri-

ma permohonan maaf Zaenal. Penerimaan ini diyakini berkontribusi

terhadap vonis Zaenal yang tergolong ringan. Vonis terhadap Zaenal

diyakini lebih berat andai SBY tidak secara terbuka menerima

permohonan maafnya. Vonis itu merupakan penegasan bahwa

fitnah adalah fitnah dan yang menyebarkannya bisa dihukum. Itu

juga merupakan pesan jangan sampai ada lagi fitnah dalam politik

Indonesia.

Zaenal sendiri diduga menyebarkan berita bohong itu karena

sakit hati, karena SBY menandatangani permintaan PBR untuk me-

recall Zaenal. Zaenal menyebut penggusuran dirinya dari

keanggotaan DPR dan dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR seba-

gai pemaksaan. Alasannya, konflik internal PBR yang bermula dari

Muktamar PBR di Bali masih dalam sengketa hukum di tingkat kasasi

Mahkamah Agung (MA).

Karena itu, pihaknya mengharapkan Presiden tidak menanda-

tangani Keppres pergantian dirinya walaupun Ketua DPR Agung

Laksono telah melayangkan surat recall itu ke KPU dan KPU pun

telah meneruskannya ke Presiden.

Setelah Zaenal Maarif, SBY dan keluarganya kembali menjadi

korban tuduhan. Kali ini oleh LSM yang menamakan diri Benteng

Demokrasi Rakyat (Bendera). Bendera melalui dua aktivisnya,

Mustar Bonaventura dan Ferdi Semaun menyebut bahwa dana

bailout Bank Century mengalir ke mana-mana. Selain kepada putra

Presiden SBY, Edhie Baskoro, dana itu juga diklaim Bendera mengalir

ke sejumlah politisi yang juga tim sukses SBY-Boediono seperti

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa, Menko

Polhukam Djoko Suyanto, Menteri Negara (Meneg) Pora Andi

94 Korban Fitnah Tak Berujung

Mallarangeng, tim public relations SBY-Boediono, Choel

Mallarangeng dan Rizal Mallarangeng, serta pengusaha yang juga

fungsionaris Partai Demokrat, Hartati Moerdaya.

Senin, 30 November 2009 lalu LSM Bendera merilis aliran dana

Bank Century yang masuk ke kalangan istana maupun lembaga lain.

Data yang dirilis Bendera terkait aliran dana itu meliputi; KPU

menerima dana Rp 200 miliar, LSI Rp 50 miliar, Fox Rp 200 miliar,

Partai Demokrat Rp 700 miliar, Edi Baskoro Yudhoyono Rp 500

miliar, Hatta Radjasa Rp 10 miliar, Mantan Panglima TNI, Djoko

Suyanto Rp 10 miliar. Lalu, kepada mantan Jubir Presiden Andi

Malarangeng Rp 10 miliar, Rizal Malarangeng Rp 10 miliar, Choel

Malarangeng Rp 10 miliar, serta aliran dana kepada pengusaha

Hartati Murdaya Rp 100 miliar.

Bendera sendiri tak hanya muncul di tengah ramai-ramainya

pengusutan skandal Bank Century. Lembaga ini sempat muncul saat

Pemilu Presiden lalu dengan mengklaim sebagai pendukung

Megawati-Prabowo. Kantornya pun menempati kantor lama DPP

PDIP, lokasi tragedi Kudatuli. Bendera makin kelihatan tidak fokus

karena juga menyoroti aksi klaim kebudayaan Indonesia oleh

Malaysia. Saat itu Bendera bahkan mengusulkan dilakukannya invasi.

Sebenarnya, tidak sulit mengukur siapa Presiden SBY dan

bagaimana kualitas para pengritik atau bahkan pengganggunya.

Sayangnya, kita masih terjebak pada stereotip sifat masyarakat

Indonesia: jelek dicaci, bagus tak dipuji.

Kita memiliki banyak wisdom, namun jarang menerapkannya

secara sungguh sungguh. Sebut saja pepatah “tak ada gading yang

tak retak.” Sejak SD kita paham pepatah yang berarti bahwa tak

ada seseorang dan satu hal pun di dunia ini yang sempurna. Pepatah

itu sebenarnya mengajarkan kita sikap menghargai, berempati, dan

kemampuan mengerem tuntutan atas kesempurnaan. Namun ketika

berbicara tentang pemerintahan dan pemimpin, kita selalu bersikap

nyaris tak mau tahu. Kita cenderung meminta pemerintah dan

pemimpin menjadi orang dan lembaga super yang bekerja tanpa

Mengungkap Kesenjangan Istana 95

cela tanpa memperhitungkan faktor-faktor lain yang turut mem-

pengaruhi performa mereka. Kita sering menjadi sangat penuntut

dan menganggap salah siapa pun yang tak sependapat dengan kita.

Kita mengakui Universitas Harvard sebagai universitas terbaik

di dunia. Namun ketika mahasiswa universitas itu memuji Presiden

SBY, kita tiba-tiba saja seperti meragukan reputasi mereka.

Kita bangga bila berlangganan—atau bahkan sekadar

membaca—Majalah Time karena menganggap majalah itu objektif,

cerdas, dan berkelas. Namun saat majalah itu menganggap Presiden

SBY sebagai salah satu tokoh berpengaruh, kita tiba-tiba saja seperti

meragukan kredibilitas majalah itu.

Kita juga demikian sering memuji Barack Obama sebagai tokoh

muda yang sukses mendobrak tabu terbesar politik Amerika Serikat,

tokoh kulit hitam pertama yang memimpin Gedung Putih. Namun

ketika Obama memuji SBY, kita masih berteriak setengah tak percaya:

benarkah?

Selama kita belum berubah dari sifat ini, maka Presiden SBY,

atau siapa pun di era setelahnya, takkan mencicipi sedikit saja apre-

siasi dari anak negeri ini.

96 Korban Fitnah Tak Berujung

Mengungkap Kesenjangan Istana 97

66666Setelah Tenda Bulan

Madu DitutupThank you for calling me. Thanks for congratulating me.

Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru pulang

dari Bandung usai menyaksikan serah terima 40 panser buatan

PT Pindad kepada pemerintah.

Ucapan selamat atas kemenangan SBY pada Pilpres 8 Juli 2009

itu berasal dari kolega sesama presiden di manca negara. Dia, seperti

ditulis Majalah Tempo (13-19 Juli 2009) adalah Presiden Palestina

Mahmud Abbas. Tak terlalu istimewa barangkali. Sesama kolega lama

Abbas merasa perlu memberi ucapan selamat itu. Indonesia, salah

satu negeri tempat Palestina mendapatkan dukungan internasional

yang tanpa kenal lelah buat berjuang melawan pendudukan Israel.

Sumringah (senyun nan cerah), lumrah, bagi siapa pun yang

berhasil (menang) dalam ketatnya kompetisi politik. Tak terkecuali,

barangkali, bagi seorang SBY. Negeri dengan 200 juta jiwa lebih,

telah jadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India

dan Amerika Serikat. Maka, kemenangan dalam pilpres langsung

bukan hal yang perlu dicemburui, tetapi perlu disyukuri. Ucapan

terima kasih selain bernuasa rendah hati juga ungkapan silaturrahim.

98 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

Bagian dari rahmat yang perlu diapresiasi dengan ketulusan dan

rasa syukur.

Pun normal alias wajar pula jika senyum nan cerah itu tak bisa

ditahan tim pemenangan SBY. Ketika angka-angka perolehan suara

terus meningkat dari hitungan lembaga survei—angka-angka itu

menjadi informasi yang hampir memastikan kemenangan SBY—

meskipun belum ada hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan

Umum (KPU) mereka patut bersuka cita. Tim pemenangan

pasangan SBY-Boediono banyak menerima jabat tangan dan ucapan

selamat atas kemenangan dari hasil “keringat panas-dinginnya.”

Kolega yang lain yang memberi ucapan selamat kepada SBY

adalah pemimpin negara sahabat. Tetangga dekat yang

seperjuangan. Ucapan-ucapan selamat dikirim oleh Perdana Menteri

(PM) Australia Kevin Rudd dan Presiden Korea Selatan Lee Myung-

Back. Sesama anggota ASEAN, juga memberi salam kemenangan

serupa. Mereka, PM Malaysia (saat itu) Najib Tun Abdul Razak, PM

Singapura Lee Hsin Loong, Presiden Filipina Ny Gloria Arroyo

Maccapagal.

Selamat juga datang dari Obama. Ia pernah tinggal empat tahun

di Menteng, Jakarta, pada saat-saat akhir 1960-an, mungkin pula

punya kenangan khusus bagi Presiden AS Barack Obama. Obama

memberi ucapan selamat yang terasa cukup istimewa. Secara khusus

dari kantornya di Gedung Putih, Washington DC, Obama memuji

pelaksanaan pilpres Indonesia. Obama secara pribadi juga memuji

kemenangan SBY seperti yang diucapkannya pada hari Selasa (14/

7) atau Rabu (15/7) waktu Indonesia:

“...Rakyat Indonesia telah mengadakan pemilu bebas dan adil pada 8

Juli 2009, dan Presiden Yudhoyono dengan mengesankan memenangi

pemilu. Saya menyampaikan selamat secara pribadi kepada Presiden

Yudhoyono dan memastikan keinginan Amerika bekerja sama

dengannya dan rakyat Indonesia di tahun-tahun mendatang untuk

membangun hubungan lebih kuat di antara keduanya negara.

Tingginya pemilih yang menggunakan hak suaranya, kampanye

yang bersemangat oleh semua kandidat, dan tingginya minat media

Mengungkap Kesenjangan Istana 99

Indonesia serta organisasi sipil menunjukkan demokrasi di Indonesia

begitu kuat...” (Berita Pemilu Indonesia, 15 Juli 2009).

Respek pun muncul dalam sejumlah tayangan jaringan televisi

internasional dan pers mancanegara. Jaringan televisi CNN

(Amerika) dan BBC (London) menayangkan liputannya bahwa

demokrasi di Indonesia patut jadi teladan bagi dunia internasional.

Tayangan tentang penyelenggaraan Pemilu 2009 di Indonesia yang

dipuji amat demokratis dan damai itu dikemas dalam tema

Remarkable Indonesia. Media internasional lain, The Magazine, menulis

“Indonesia is a political success story.”

Senyum Para Kolega

Sultan Brunei Hassanal Bolkiah turun dari Mercy hitam

mengkilap. Ia sedikit membungkukkan badan ketika protokol

menyambutnya di pelataran Istana. Dengan tetap menyungging

senyum khasnya, dengan ekspresi wajah serius, Bolkiah masuk ke

ruangan Istana menunggu giliran menjabat tangan SBY-Boedino.

Untuk memberi ucapan selamat pada pasangan presiden-wapres

yang beberap saat sebelumnya, pada tanggal 20 Oktober 2009, baru

dilantik MPR.

Ada pula Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, Perdana

Menteri (PM) Australia Kevin Rudd, PM Singapura Lee Hsien

Loong, dan PM Malaysia Najib Razak. Mereka turut mengumbar

senyum, sambil menjabat tangan SBY di ruangan Istana yang ditata

mirip suasana pesta kemenangan.

Filipina dan Thailand tak diwakili orang nomor satu di

pemerintahannya. Tapi, mengutus menteri luar negeri masing-

masing. Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru,Amerika Serikat (AS),

dan Republik Ceko diwakili oleh utusan khusus di acara pemberian

ucapan selamat dari para kolega manca negara itu.

Presiden AS Barack Obama yang tidak bisa datang sendiri

mengirimkan delegasinya untuk menghadiri pelatikan SBY-Boediono

ke gedung MPR. Yang diutus Obama ialah Administrator Badan

100 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

Perlindungan Lingkungan Lisa P Jackson. Jackson bertindak sebagai

ketua delegasi utusan khusus dari Presiden Obama untuk

menghadiri pelantikan SBY-Boediono. (Harian Seputar Indonesia, 21

Oktober 2009).

Di dalam negeri, kemenangan SBY-Boediono ibarat bulan madu

pasangan yang baru nikah. Gairah pujian juga dilontarkan para

pendukung SBY. Suka cita tentu saja diperlihatkan parpol anggota

koalisi pendukung SBY-Boediono. Mereka patut bersuka cita karena

telah turut bekerja gigih untuk memenangkan pasangan asal Pacitan-

Blitar ini.

Tidak ada arak-arakan khusus memang. Tidak ada pesta ke-

menangan seperti klub sepakbola yang meraih juara. Tak ada

kembang api meletup-letupkan bunga warni-warni, serpihan bola-

bola api di langit malam.

Namun, wajarlah rasanya ketika KPU mengetokkan palu pada

tanggal 18 Agustus 2009 yang menetapkan SBY-Boediono sebagai

presiden dan wakil presiden RI 2009-2014 terpilih—melalui SK No.

373/Kpts/KPU/2009—suasa suka cita terpencar. Dari semua elemen

pendukung dan rakyat yang bersimpati pada SBY-Boediono.

Toh, agaknya ada yang patut diberi acungan jempol. Boleh

jadi ini cermin kearifan bangsa Indonesia yang melampaui retorika

sebagian elite politik. Bahwa suka cita itu kemenangan itu dengan

sportif diperlihatkan para pemilih yang saat penconterengan menga-

ku memilih pasangan lain di luar capres-cawapres. Tak memilih SBY-

Boediono

Itu diperlihatkan konstituen PDI Perjuangan yang pada hari H

pilpres tanggal 8 Juli 2009 sangat mungkin memberikan suaranya

kepada pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.

Menurut hasil survei Reform Institute sebanyak 88,61 responden-

nya menerima sepenuh hati kemenangan Susilo Bambang

Yudhoyono-Boediono dalam Pemilihan Presiden 2009. Bahkan yang

menarik dari hasil survei ini ialah mayoritas pemilih PDI Perjuangan

juga dapat menerima kemenangan SBY-Boediono.

Mengungkap Kesenjangan Istana 101

Hanya 9,84 persen dari 2.520 responden yang menyatakan

menerima dengan terpaksa dan 0,91 persen mengaku menolaknya.

Survei Reform Institute dilakukan tangga 7-15 September 2009

terhadap responden yang tersebar di 68 desa dan 58 kelurahan di 33

provinsi.

Berdasarkan pilihan partai, pendukung Partai Demokrat adalah

yang terbesar menerima kemenangan SBY-Boediono. Sebanyak 97,49

Persen pemilih Demokrat menerima dengan sepenuh hati

kemenangan SBY, 1,76 persen menerima dengan terpaksa dan 0,25

persen menolak.

Penolakan terbanyak muncul dari pemilih PDIP dan Partai Hati

Nurani Rakyat, meski angkanya kecil. Hanya 2,22 persen pemilih

PDIP dan 2,13 persen pemilih Hanura menolak kemenangan SBY-

Boediono. Sementara 70,25 persen pendukung PDIP menerima

dengan sepenuh hati dan 26,9 persen menerima dengan terpaksa.

Sementara 78,72 persen pendukung Hanura menerima dengan

sepenuh hati dan 19,15 persen menerima dengan terpaksa.

Penjelasan ringkas dari hasil survei Reform Institute ini ialah

sebagian besar responden menerima dengan sepenuh hati

kemenangan SBY-Boediono. (Viva news, Jum’at, 16 Oktober 2009)

***

Ketika perolehan suaranya tak sesuai perkiraan dalam

pemilihan umum (pemilu) legislatif tanggal 9 April 2009, Golkar

melakukan langkah-langkah politik lebih lanjut terkait dengan

pancalonan capres-cawapres. Indikasinya sebagian pimpinan Golkar

ingin mempertahankan duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) –

M. Jusuf Kalla (JK). Hanya saja, keinginan itu tak kesampaian. Duet

SBY-JK yang sempat dianggap sebagai duet paling serasi dalam

sejarah presiden-wakil presiden RI itu ternyata memilih berpisah

secara baik-baik.

Maka timbul intermezo. Jika pada pilpres 2004 pasangan SBY-

JK membuat tema kebersamaan dalam kampanye menjadi bersama

102 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

kita bisa ketika pada pilpres 2009 pasangan ini memilih jalan sendiri-

sendiri. Ada yang melontar sindiran pada perpisahan itu dengan

kalimat berpisah kita bisa.

Setelah berpisah dengan JK, SBY sebagai calon presiden (capres)

yang diusung Partai Demokrat—partai peraih suara terbanyak pada

pemilu legislatif 2009—didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS),

Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) dalam jalinan koalisi besar—justru memilih Gubernur Bank

Indonesia (BI) saat itu, Boediono, sebagai calon presiden (cawapres).

Selain parpol yang memperoleh kursi di DPR, koalisi yang

mendukung SBY-Boediono adalah parpol non-parlemen. Yakni,

parpol yang gagal memperoleh kursi atau gagal meloloskan kadernya

di DPR-MPR melalui Pemilu 2009. Parpol-parpol non-parlemen itu,

antara lain, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai

RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI,

PIS, Partai PIB, dan Partai PDI. Total perolehan suara seluruh parpol

koalisi pendukung SWBY-Boediono adalah 59,70% dari suara sah

hasil pemilu 2009.

Sebelum pemilu, Golkar sebagai “juara bertahan” Pemilu 2004

amat confidence (percaya diri) bakal dapat mempertahankan

kemenangannya. Golkar menghembuskan optimismenya bahwa

bakal kembali memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 2009.

“Golkar partai besar, tidak mungkin hanya jadi cawapres. Harus

mengajukan capres sendiri,’’ tegas banyak pimpinan Golkar pada

sejumlah media pekabaran kala itu.

SBY-JK memang benar-benar berpisah. Toh Golkar tetap

percaya diri. Yakin,—ini juga wajar karena Golkar partai besar yang

amat berpengalaman di pentas pemilu Indonesia—bahwa pasangan

capres-cawapres yang dijagokan, JK-Wiranto, bakal bisa memenang-

kan pemilihan pilpres. Menurut tim kampanye capres Golkar—yang

yang membuat mereka optimistis menang—, Boediono tidak me-

miliki parpol dan basis politik. Boediono juga tidak memiliki basis

pendukung yang kuat di tingkat massa. “Karena SBY berpindah duet

Mengungkap Kesenjangan Istana 103

ke Boediono, peluang JK memenangkan pilres menjadi terbuka lebar,”

tegas pimpinan Gokar saat itu.

Ternyata duet baru SBY-Boediono menang telak. Dalam pilpres

tanggal 8 Juli 2009, duet SBY-Boediono meraih perolehan suara

terbanyak yakni 73.874.562 (60,80%) dari 121.504.481 suara pemilih

pilpres yang sah. Perolehan suara JK-Wiranto. Capres-cawapres

yang diusung Gokar sebesar 15.081.814 suara (12,41%). Sedangkan

pasangan capres-cawapres PDIP Perjuangan-Gerindra, Megawati

Soekarnoputri-Prabowo Subianto, meraih 32.548.105 suara (26,79%).

Boediono memang tidak punya basis dukungan politik

tradisional yang kuat. Sebab, guru besar Fakultas Ekonomi

Universitas Gadjah Muda (UGM) Jogjakarta itu seorang ilmuwan.

Dia bukan politikus. Pekerjaan dia bukan untuk menggalang atau

memobilisasi dukungan politik sebagaimana biasa dilakukan elite

atau kader parpol.

Namun, Boediono adalah seorang pekerja profesional yang low

profile, rendah diri, jujur, dan santun dengan pembawaan yang

kalem. Sebagai teknokrat ia lebih banyak bekerja daripada berpidato

untuk menggalang massa.

Duet SBY-Boediono lebih pas dan lebih serasi dibanding duet

SBY-JK karena pembawaan keduanya relatif mirip. Sama-sama sabar,

santun, hati-hati, cermat, tidak gegabah, dan pekerja keras. Dengan

begitu duet keduanya akan lebih serasi dan harmonis dibanding

dengan duet SBY-JK.

Dengan demikian, duet baru presiden-wapres ini lima tahun

ke depan (2009-2014) diharapkan dapat menjalankan program-

program pemerintah secara lebih efektif, lebih fokus, lebih

konsentrasi pada tugas dan pekerjaan besar yang diamanahkan

bangsa Indonesia. Lebih cepat memenuhi janji-janji kampanyenya.

Lebih responsif terhadap tuntutan rakyat yang sebagai bangsa besar

ingin mempercepat kemajuan dalam segala hal. Ingin lebih adil.

Ingin lebih sejahtera, dan sebagai bangsa pula ingin semakin beradab.

Duet SBY-Boediono lima tahun ke depan diharapkan tidak

104 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

banyak disibukkan oleh langkah atau manuver-manuver politik

praktis yang tidak perlu, hanya karena kepentingan politik sesaat

untuk memenuhi hasrat dan nafsu berkuasa demi memuaskan

konstituen yang bersifat ekslusif yang belum tentu sejalan atau

seirama dengan keinginan, aspirasi, dan harapan sebagian besar

rakyat Indonesia yang bersifat inklusif.

Hasil pilpres 2009 ternyata juga dengan kasat memperlihatkan

bahwa rakyat Indonesia menginginkan kepemimpinan presiden-

wakil presiden yang selain menjadi dwitunggal (duet) juga

menghendaki presiden-wakil presiden yang berpembawaan kalem,

rendah diri, penyabar, hati-hati, santun, pekerja keras tanpa kenal

lelah, mengabdi total kepada kepentingan negara dan bangsa

Indonesia.

Aspirasi dan kehendak rakyat Indonesia terhadap tipe

kepemimpinan presiden-wakil presiden yang seperti itu bermuara

pada keputusan mereka untuk memberikan suara paling banyak

sekaligus memberi amanah paling besar kepada pasangan SBY-

Boediono melalui pilpres tanggal 8 Juli 2009.

Meski demikian, SBY dalam pidato penerimaan penetapan KPU

sebagai presiden RI 2009-2014 terpilih, SBY tetap mengapresiasinya

dengan santun. Menang dengan keunggulan 60% lebih dari

Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto, SBY tetap hormat dan sportif

memuji Megawati Soekarnoputri-Prabowo dan JK-Wiranto.

’’…Ibu Megawati, Pak Jusuf Kalla, Pak Wiranto, dan Pak Prabowo,

adalah putra-putri terbaik bangsa yang telah memberikan yang

terbaik kepada demokrasi di Indonesia. Saya mengharapkan

pengabdian mereka tidak akan mengenal batas akhir dan akan terus

berlanjut,’’ kata SBY dalam pidato penerimaan penetapan KPU

sebagai presiden terpilih.

Kemenangan bersejarah. Untuk dua kali berturut-turut seorang

presiden Indonesia terpilih melalui pilpres langsung. Tanpa gejolak

yang berarti lagi. Ini kemenangan yang melebihi kemenangan Barack

Obama yang juga bersejarah bagi rakyat Amerika karena untuk kali

Mengungkap Kesenjangan Istana 105

pertama memilih presiden berkulit hitam

Legitimasi yang besar melalui kemenangan dalam pemilu yang

demokratis dan jurdil bagi SBY adalah modal politik yang amat

penting untuk secara konklusif memajukan agenda-agenda besar

bangsa Indonesia yang perlu penanganan cepat dan segera.

Tentu kita ingat dan sepaham bahwa pemerintahan SBY-

Boediono lima tahun ke depan perlu dukungan tanpa pamrih dati

semua lapisan masyarakat, elit politik, dan segenap elemen pimpinan

bangsa untuk terus segera meningkatkan mutu pendidikan nasional,

mempermudah akses pendidikan murah dan berkualitas bagi warga

yang tidak mampu, pemberantasan pengangguran sekaligus

perluasan kesempatan kerja, dan penurunan kemiskinan.

SBY-Boediono juga dituntut untuk bekerja lebih keras untuk

memperluas jaringan infrastruktur vital seperti jalan bebas hambatan,

pembangunan bandara baru, baik domestik maupun internasional,

pelabuhan laut untuk ekspor impor, tenaga listrik, dan industri

strategis yang dapat mempercepat peningkatan daya bangsa

Indonesia dalam percaturan internasional.

Kemenangan SBY yang mencapai 60 persen lebih melalui pemilu

demokratis, jujur-adil (jurdil), dan damai di negara majemuk seperti

Indonesia yang dalam perjalanan sejarahnya sering diterpa krisis

politik dan konflik-konflik sosial yang rumit, dinilai banyak pemim-

pin dunia sebagai fenomena besar dalam elan perkembangan

demokrasi global.

Karena keberhasilannya menanamkan etika berdemokrasi yang

bagus sambil terus mematangkan tahapan-tahapan kompetisi politik

di dalam negeri yang damai, seperti pemilu kepala daerah, Presiden

Sby dinilai telah turut memberi kontribusi besar terhadap perkem-

bangan peradaban demokrasi, etika politik, dan perdamaian dunia.

Barangkali itu sebabnya, dalam berbagai forum internasional

lintas Asia dan dunia seperti sidang umum PBB atau KTT (Kon-

ferensi Tingkat Tinggi) pemimpin 20 negara industri maju dan

berkembang (G-20), kehadiran Presiden SBY bukan hanya pelengkap

106 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

untuk menjadi makmum di barisan belakang saja. SBY hadir atau

diundang untuk memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan

konsepnya.

Oposisi atau Sakit Hati?

Jurnas: “Pak SBY, dalam pilpres maupun pilkada, nampaknya amat

sulit calon yang kalah mengakui kekalahannya. Amat sulit untuk

mengucapkan selamat kepada kompetitornya yang menang. Coba Pak

SBY lihat, kan indah itu Hillary Clinton mengaku kalah dan mengajak

pendukungnya memenangkan Obama. Kemudian McCain, setelah kalah

dari Obama mengucapkan selamat selamat kepada Obama.

Kapan negeri kita seperti itu Pak ya?

SBY: ’’Jangan kecil hati. Suatu saat demokrasi kita akan semakin

baik. Kearifan dan jiwa besar itu milik semua bangsa. Milik semua manusia

mana pun. Kita sedang membangun nilai dan budaya demokrasi ke arah

itu.”

Jurnas: “Ngomong-ngomong, ketika Pak SBY terpilih sebagai

presiden pada pilpres 2004 lalu, adakah capres pesaing bapak yang

mengucapkan selamat?”

SBY: (Tidak menjawab. Hanya tersenyum, sambil menggeleng)

Ini adalah kutipan wawancara harian Jurnas dengan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanggal 20 Februari 2009.

Ironi. Tidak sportif. Atau kata orang Jawa ora legowo. Entahlah.

Kemenangan SBY banyak mendapatkan respek dan pujian dari

masyarakat internasional. Di negerinya sendiri? Presiden SBY malah

ditertawakan. Banyak kata-kata negatif yang muncul dari sejumlah

kalangan. Nadanya berupa hinaan. Tudingan buruk. Prasangka dan

fitnah yang di luar nalar dan akal sehat. Keberhasilannya memimpin

Indonesia sering tidak diakui dengan sportif. Sering disikapi apriori.

Bahkan untuk menyindir melalui kritik keras pun elemen-

elemen yang tak suka pada SBY harus mengibaratkannya dengan

seekor Kerbau yang harus susah payah diajak demo. Orang yang

berpikiran sehat dan punya nalar yang genah akan menilai menya-

Mengungkap Kesenjangan Istana 107

makan seorang Presiden—sebagai simbol kehormatan negara—

dengan seekor Kerbau merupakan perbuatan yang biadab. Sama

sekali jauh dari norma, etika, dan tatakrama. Melampaui klaim-klaim

kebanyakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa beradab yang

agamis dan bermartabat.

Adalah normal, atau malah merupakan keharusan, dalam

negara demokrasi harus ada elemen sosial politik yang menjalankan

fungsi pengawasan. Muara atau titik temunya ialah agregasi kekuatan

oposisionis.

Dalam konteks hubungan kepartaian dengan kontestasi politik

untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan mestilah dipahami

bahwa rakyat memberikan suara untuk mendukung parpol tertentu

dalam pemilu agar parpol tersebut merebut kekuasaan guna

mewujudkan perjuangan politiknya. Agar mengartikulasikan

aspirasi pemilih melalui perjuangan politiknya. Kesempatan

berkuasa itu bisa terwujud bila calon presiden yang diajukan parpol

menang dalam pemilu.

Bagaimana kalau calon presiden yang diusung parpol gagal

menang? Pada dasarnya amanah pemilih tidak berubah. Dalam hal

ini, partai tetap diharapkan memperjuangkan aspirasi pemilih.

Berikutnya partai itu perlu menjadi pengontrol penguasa yang

sportif dan fair. Partai yang kalah dalam pemilu mesti terus menye-

rap suara konstituennya dengan cara mewujudkan program

tandingan yang bisa diadu dengan program pemerintah yang

berkuasa.

Dengan begitu akan berlangsung kompetisi politik yang sehat.

Rakyat pun akan terus menilai persaingan itu. Selanjutnya, rakyat

memilih pemenang versi mereka setiap lima tahun sekali –dalam

pemilu (Tempo, 6 September 2009: 23). Dari sinilah mekanisme check

and balances akan berjalan sehat.

Persoalannya konstruksi berpolitik yang demokratis seperti ini

masih belum berjalan sepenuhnya. Yang masih terus terjadi ialah

pemerintahan yang berkuasa, presiden-wakil presiden yang

108 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

mendapatkan mandat untuk berkuasa melalui pemilu senantiasa

menjadi sasaran tembak murahan. Secara apriori presiden yang

berkuasa terus diserang dari segala penjuru. Harus segera jatuh dan

diganti. Tidak perlu menunggu periode lima tahunan. Dijatuhkan

saja di tengah jalan.

Ironisnya, pihak-pihak yang bersikap apriori dan tidak punya

etika politik itu tetap saja mengibarkan bendera panji-panji demokrasi

yang dibawa ke mana-mana. Dibenar-benarkan menurut versi

sendiri untuk kepentingan mereka sendiri.

Simak saja, banyak pernyataan elit politik atau pimpinan parpol

yang dengan mudah dapat dipahami sebagai sikap yang jauh dari

santun. Disengaja atau tidak, apriori itu telah turut merusak tatanan

etika berdemokrasi yang beradab. Tidak mendidik perilaku politik

masyarakat agar punya etika dalam menyikapi suatu persoalan yang

belum tentu benar.

’’...Penyelenggaraan Pemilu 2009 paling jelek sepanjang sejarah

republik. Memalukan ini! Saya sebagai warga negara malu.

Pemenang, boleh dipaksakan menang. Tapi kalau tidak diakui secara

legitimasi, untuk apa?

Secara pribadi, saya melihat kekacauan DPT merupakan upaya yang

dilakukan secara sistematis. Bagaimana orang mati ada dalam DPT,

anak 3 tahun masuk di DPT. Ini penzaliman yang seharusnya tidak

boleh terjadi di suatu negara dalam abad 21. Upaya ini dilakukan

segelintir manusia, untuk meneruskan sistem oligarkhinya,’’

(ww.kompas.com, 13 April 2009)

Itu pernyataan pimpinan salah satu parpol peserta Pemilu 2009.

Pernyataan itu terkait dengan kekacauan daftar pemilih tetap (DPT).

Ia—pimpinan parpol itu—mungkin tidak sepenuhnya keliru.

Hanya menjadi kurang etis, bernada su’udzon, karena temuan

tentang adanya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih, atau

masuk di daftar pemilih sementara (DPS) lantas hilang dalam daftar

pemilih tetap (DPT), atau warga yang sudah meninggal wafat masih

terdaftar sebagai pemilih, dapat dipahami sebagai menyederhanakan

persoalan.

Mengungkap Kesenjangan Istana 109

Kemenangan pasangan SBY-Boediono dituduh akibat rekayasa

politik sistemaik pada daftar pemilih tetap (DPT). Tudingan ini

nyaris terus dikemukakan, bahkan sejak satu bulan menjelang

pemberian suara pada Pilpres 2009. Sebagai incumbent, Presiden SBY

mudah sekali diapriorikan sebagai pihak yang memiliki “kekuatan”

untuk mengubah DPT, agar menguntungkan dirinya. Apalagi,

setelah terjadi kekisruhan DPT pada Pemilu Anggota DPR, DPD

dan DPRD pada 9 April 2009.

Tentu saja hal ini sulit dipahami secara akal sehat. Bagaimana

mungkin, Presiden SBY atau orang-orang dekatnya merekayasa DPT,

baik pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2009. Bukankah DPT itu

telah diumumkan kepada publik yang berawal dari Daftar Pemilih

Sementara (DPS) yang setiap partai politik juga diberikan

salinannya. Bahkan DPS itu ditempel di kantor-kantor desa,

kelurahan, kecamatan, dan beberapa tempat, termasuk diberikan

salinannya kepada partai politik. Tujuannya, agar ada partisipasi

masyarakat dan partai untuk ikut serta mengoreksi DPS sebelum

menjadi DPT. Dengan tahapan-tahapan yang telah disusun oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti itu, muncul pertanyaan

balik, bagaimana mungkin presiden SBY, kader-kader Partai

Demokrat, dan tim kampanye presiden melakukan rekayasa

tersebut. Apakah itu sesuatu yang muskil dilakukan, karena semua

pihak diberi kesempatan untuk mengoreksi DPS sebelum menjadi

DPT.

Seolah kekacauan DPT itu kesengajaan yang dilakukan KPU.

Dikesankan seakan-akan dilakukan dengan terencana dan

sistematik. Bahkan dituding sebagai bentuk pemihakan KPU untuk

memenangkan parpol tertentu.

Pernyataan itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap

moderat. Umpamanya, kemungkinan ada kesalahan adminstratif

sejak dari RT/RW sampai Dinas Kependudukan setempat. Bukan

karena kesalahan bermotif politik.

110 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

Bukankah administrasi kependudukan sampai sekarang

memang belum tertata dengan baik, meskipun lembaga terkait terus

berusaha menyempurnakannya?

Muncul kesan kuat, cenderung apriori terhadap kemenangan

parpol dalam pemilu atau terhadap kemenangan pasangan capres-

cawapres tertentu, elemen parpol, aktivis politik, dan pimpinan

parpol, tidak mengembanglan diri menjadi barisan kekuatan oposisi.

Sebaliknya, mereka justru terkesan menjadi barisan sakit hati. Sebab,

yang diperlihatkan dalam berpolitik bukan akal sehat dan nalar yang

jernih, tetapi dendam dan emosi yang destruktif.

Amat mudah, misalnya. Begitu kalah dalam kompetisi politik

mereka menuduh lawan yang menang bermain curang. Menuding

lembaga penyelenggara dan mengawas pemilu tidak netral. Tidak

independen. Atau jumlah perolehan suara dicuri aparat pemerintah

untuk memenangkan parpol atau kontestan tertentu, Tidak

independen. Lantas dengan gegabah pula menuntut pemilu diulang.

Minta penghitung diulang. Atau menggugat ke pengadilan.

Entah lupa atau sengaja melupakan bahwa di negara mana pun

di dunia ini tidak ada penyelenggaraan pemilu yang sempurna.

Tanpa cacat. Sejauh ini, selalu saja ada votes yang tidak bisa diper-

tanggung jawabkan (irregularities). Malah menurut sejumlah analisis,

votes yang tidak bisa dipertanggungjawabkan di Indonesia masih

di bawah votes yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam

pemilu-pemilu di demokrasi terbesar yakni Amerika Serikat dan

India.

Ketidakpuasan atau kecewaan karena kalah dalam persaingan

politik dalam pemilu memang menyakitkan. Bisa terjadi di mana

pun. Dapat menimpa kontestan mana pun.

Dalam pemilihan Presiden Amerika tahun 2000 juga terjadi

gejolak politik akibat perbedaan hasil penghitungan perolehan suara

antara Capres Partai Repubik, George W Bush, dan Capres Partai

Demokrat Al Gore yang saat itu adalah incumbent wapres AS. Gore

adalah wakil presiden dari Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.

Mengungkap Kesenjangan Istana 111

Akibat perseteruan antara keras antara Bush dan Gore,

penyelesaiannya harus melalui pengadilan. Hanya saja yang perlu

dicatat ialah perbedaan penghitungan suara antara Bush dan Gore

memang amat tipis. Jadi wajar jika dugaan Gore bahwa dirinya

dirugikan oleh sistem penyelenggaraan pemilihan presiden harus

diselesaikan melalui pengadilan.

Dan, ini bedanya dengan pengalaman dalam pemilu di

Indonesia. Sudah tahu perbedaan suaranya amat jauh, tetap saja

pihak yang kalah enggan menyerah. Ngotot memperkarakannya

melalui pengadilan. Padahal kalau pun pengadilan memerintahkan

penghitungan ulang belum tentu pihak yang kalah itu menjelma

menjadi menang. Itu karena perbedaan perolehan suara antara yang

menang dan yang kalah terlalu beda jauh.

Jadi kalau pun dihitung ulang, misalnya, ada perubahan

perolehan suara pada pihak yang kalah tetap saja tidak cukup

menambah jumlah perolehan suara untuk mengatrolnya berubah

menjadi pihak yang menang. Mustahil pula perolehan suara yang

besar dari pihak yang menang semuanya karena hasil dari

kecurangan. Musykil semua perolehan suara pihak yang menang

karena “mencuri” suara di kotak-kota suara. Atau juga karena

mengubah angka perolehan suara.

Ironisnya, ketika putusan pengadilan sudah diketuk pun belum

menyerah. Masih berlanjut mencari celah baru untuk terus

memperkarakan lagi ke pengadilan berikutnya. Perilaku semacam

ini tidak keliru jika disebut tidak taat pada hukum.

Barangkali pengalaman diskusi salah seorang wartawan

Indonesia yang sedang mengikuti program kunjungan internasional

atas undangan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS (US

Departemen of State) tahun 2001 bisa menjadi anekdot yang lucu.

Saat itu, si wartawan Indonesia sedang diskusi tentang pemilu

dengan beberapa pejabat Departemen Luar Negeri Amerika di desk

Asia Tenggara. Kajian tentang Indonesia di Deplu AS masuk dalam

Desk Asia Tenggara.

112 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup

“Kenapa sengketa penghitungan suara antara Bush dan Gore

ke pengadilan?,’’ tanya si wartawan.

“Oh gak masalah. Semua orang bisa ke pengadilan kalau merasa

dirugikan,’’ jawab staf di desk Asia Tenggara itu.

’’Bagaimana kalau vonis pengadilan tak adil,’’ kejar si wartawan.

’’Ya tidak apa-apa. Kalau divonis kalah, yang kalah akan

menunggu bersaing lagi lima tahun lagi.’’

’’Beda kan... dengan Indonesia,’’ si staf tadi melanjutkan.

’’Menurut Anda kalau di Indonesia bagaimana,’’ wartawan itu

terus bertanya.

’’Saya lihat di TV di negeri Anda pendukung yang kalah

merobohkan pohon dipinggir jalan ke jalan raya,’’ jawab staf

itu sambil tertawa.

Saat itu, awal 2001, sedang gonjang-gonjang politik di Indonesia.

Presiden Abdurrahman Wahid tengah mendapatkan tekanan politik

dan terancam dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR). Merasa kecewa, pendukung Gus Dur di kawasan tapal kuda

Jawa Timur, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi,

emosi.

Mereka berdemo masal di sepanganjang jala raya di kawasan

tapal Kuda. Mereka menebang pohon-pohon besar di pinggir jalan

raya. Dan, pohon-pohon dirobohkan ke tengah jalan untuk meng-

hadang arus lalu lintas dari Banyuwangi ke arat Barat. Juga sebalik-

nya.

Ini potret ungkapan kekecewaan yang salah jalan. Menggelikan.

Atau mungkin memalukan. Bagaimana pendapat Anda?

Mengungkap Kesenjangan Istana 113

77777Panggung Politik:Melihat Wajah Kita

’’ ... Politik itu puisi. Ekspresi dari upaya yang menggetarkan

untuk membangkitkan gelora hati. Dengan politik mungkin

pernyataan-pernyataan tak cocok 100 persen dengan kenyataan.

Tapi seperti halnya puisi harus bisa mempesona... ‘’ kata Richard

Nixon (Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Tempo, 19

November 1988).

Nixon terlalu puitif. Mungkin pula utopis. Kalau bagian dari

politik adalah tindakan (action) yang mencakup pula

serangkaian upaya merebut—juga mempertahankan—kekuasaan

rasanya sulit harus menuangkannya dengan bobot yang sarat

pesona. Mengungkapkan kegairahan yang menggelora hati,

sekaligus menjadi pesona bagi orang lain.

Masalahnya ialah kalau memang tak mesti memesona, apakah

harus diametral (berhadap-hadapan)–membiarkan dan mengguna-

kan segala cara hanya untuk memuaskan nasfu berkuasa?

Ini bukan diskursus baru. Hal semacam ini sudah purba. Hanya

saja tak pernah terkubur dari wacana, nilai, moral, dan praktik politik

sampai peradaban manusia modern sekarang. Satu sisi, kita

114 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

menuntut perlunya etika dan moral politik yang dapat mengge-

lorakan semangat hidup bermartabat—sesuatu yang memberi

tempat politik jadi memesona. Menggugah gairah orang banyak.

Sisi lain selalu saja dalam tindakan politik kita sering tak dapat

menceraikan tujuan-tujuan pragmatis yang intans.

Andaikan peluang menang terbuka. Sarana dan instrumen yang

menjanjikan melalui jalan dan acara yang berselingkuh dengan

praktik buruk––kekerasan, misalnya––toh banyak pelaku politik

membuka diri. Asal kekuasaan bisa dirasakan atau dimiliki. Kadang-

kadang tercetus ketidaklaziman, pokoknya harus menang. Lawan

jadi musuh, jika perlu dimakzulkan.

Ketika jalan yang tak dapat menceraikan tujuan pragmatis ini

yang dipilih, rona langgam politik sering berwajah tindakan

membiarkan—tak perlu menyebut “menghalalkan”—segala cara. Di

jalan ini, politik kurang gaul dengan moralitas. Etika politik hidup

dalam ruang gelap, yang terkadang membuatnya sedikit kehilangan

kecerdasan dan kesopanannya.

Politik—bagi yang memilih di lintasan ini––bukan serangkaian

ikhtiar berkuasa melalui daya dorong keberadaban. Tetapi ini bukan

masalah benar atau salah. Hanya soal pilihan yang muncul dari

ikhtiar untuk berkuasa. Jika ikhtiar berkuasa untuk menjadikan

hidup bersama dalam bernegara menjadi bermartabat pilihanya

adalah memilih keadaban politik. Bahkan, itu dimulai sejak calon-

calon penguasa masih terlibat dalam kontestasi politik yang sarat

persaingan ketat.

Memang tidak semua yang beretika itu baik. Pun pula tidak

semua yang dinilai tidak beretika itu buruk. Bergantung pada

kemuliaan dan kerendahan hati; tujuan mulia seseorang, serta

manfaat ideal yang hendak dicapai ketika berkuasa. Toh, dalam

medan kontestasi politik, seragam perjuangan para kontestan bisa-

bisa nyaris serupa. Mengenakan atribut dan simbol-simbol yang

mirip-mirip. Terkadang merias wajah dengan lipstik, bedak, dan

parfum dengan warna serta roma, tujuannya bisa beragam dan

Mengungkap Kesenjangan Istana 115

berbeda jalan, ingin memesona rakyat dan mungkin pula mewakili

wajah rakyat.

Dalam ranah ini kita terbawa untuk mengingat kepedihan

Niccollo Machialli. Termakzulkan dari tahta kekuasaan di usia yang

masih amat belia, menjadikan batinnya galau. Lewat kumpulan

surat-suratnya yang terhimpun dalam The Prince (1512) Machiavelli

justru memberi jalan bagi realitas pergulatan kekuasaan politik di

zamannya. ’’Kekuasaan itu tak ada urusan dengan moral,’’ katanya

mengungkapkan isi hatinya. Dalam The Prince yang terkenal itu ia

bilang, ’’ penguasa bukanlah personifikasi dari kekuatan moral.’’

Tindakan macam apa pun yang diperlukan ketika harus meraih

atau mempertahankan kekuasaan tidak perlu bertolak dari kehendak

rakyat. Tak ada ukuran baik atau buruk. (M. Sastrapatedja dkk, 1987).

Tak heran bila ada pemimpin politik dengan pikiran jernih,

memimpin dengan akal sehat, man of integrity, menyelenggarakan

negara dengan cerdas, bersih, dan kredibel, melalui jalan yang

beretika justru dikucilkan. Mahatma Ghandi, misalnya. Atau

Salvadore Allende. Dipilih rakyat Chili melalui Pemilu yang demo-

kratis, Allende justru dikudeta oleh junta militer pimpinan Augusto

Pinochet (1974) (Budiman, 1987).

Wajah berbeda adalah Adolf Hitler. Dia dipuji. Pada masanya

dengan suara gemuruh pemimpin Nazi Jerman itu dielu-elukan.

Bukan karena tebar pesona perdamaian, melainkan menggelorakan

permusuhan ke seluruh dunia mendapatkan dukungan.

Berdemokrasi Tanpa Anarki

Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat,

meninggal “tidak wajar.” Ia meninggal di tengah-tengah demonstrasi

yang anarkis. Bukan ikut demo. Azis adalah korban demo. Sebagian

rakyatnya ­–yang dicintainya– dalam jumlah besar melakukan aksi

massa brutal. Azis terkena tonjokan, konon di sekitar ulu hati dan

mukanya. Jatuh pingsan. Dilarikan ke rumah sakit, Azis meninggal

dalam perjalanan.

116 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

Demo, lebih-lebih yang mendatangi DPR atau DPRD,

menyuarakan aspirasi. Atas nama hak dan kebebasan berpendapat

yang jadi ajaran demokrasi. Anarki massa yang merusak kantor

DPRD Sumut—dan jiwa ketua DPRD-nya jadi korbannya—sama

saja. Atas nama demokrasi, menuntut pemekaran. Mereka mendesak

persetujuan wakil rakyat agar sejumlah daerah Sumut memisahkan

diri menjadi Provinsi Tapanuli Barat.

Kebebasan memang inti demokrasi. Yang sering dialpakan ialah

dalam demokrasi ada aturan main—norma hukum dan etika. Ada

rambu harus dipatuhi agar kebebasan tak menjelma menjadi agresi

yang merusak. Mencegah agregasi kebebasan menyuarakan hak

berpendapat tidak berbuah anarki dan kekerasa.

Ini yang senantiasa disampaikan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dalam banyak kesempatan di hadapan publik. Jangan

anarki. Patuhlah pada hukum. Taatilah rule of the games. Tunduklah

pada rule of law agar berdemokrasi tidak jadi beringas yang menakut-

kan orang lain.

Ketika Azis jadi korban demo anarkis, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengaku sangat prihatin. Itu kejadian memalukan.

“...Sikap saya jelas. Saya hormati demokrasi, tetapi saya menentang

anarki,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyikapi demo

rusuh di DPRD Sumatera Utara. Presiden menegaskan sikapnya

ketika melakukan kunjung kerja ke PT Sinar Sosro, Bekasi. (Antara

News, 5 Februari 2009)

Kita pilih yang mana? Politik yang memesona mendorong gairah

berbangsa, santun, dan beretika, atau yang anarki atau, misalnya,

menghalalkan segala cara? Ini pertanyaan tak perlu dijawab. Kita

nyatakan lagi pertanyaan ini barangkali agar mendorong refleksi

bersama. Dapat menilai diri sendiri. Terutama, meluruskan kembali

makna demokrasi yang sudah kita pilih sebagai ajaran berbangsa

serta jalan hidup bernegara yang beradab serta beretika.

Jalan panjang yang kita jalani ketika kita memilih demokrasi

sebagai sistem politik dan penyelenggaraan negara sejak merdeka

Mengungkap Kesenjangan Istana 117

65 tahun silam, sebenarnya telah cukup memberi pengalaman yang

matang bagi bangsa ini. Pilihan berdemokrasi sebagai jalan berpolitik,

berbangsa, dan bernegara sudah final. Kita memilih demokrasi

karena dianggap lebih beradab. Moral menjadi jalan hidup bersama

bermasyarakat. Etika menjadi roh pengikat pergaulan dan tata cara

menjalankan kehidupan berbangsa. Lebih cocok dengan tradisi

budaya bangsa yang sarat dengan nilai-nilai bijak yang luhur.

Itu sebabnya, berbagai kejadian dan pengalaman buruk dalam

perjalanan kita sebagai bangsa terus kita gelorakan, agar tidak

terulang dan mengulang dengan lebih buruk lagi di masa men-

datang. Pengalaman buruk semasa Orde Lama (1959 dimulai dari

dekrit presiden sampai 1966) dan Orde Baru 1966-1998 menjadi

pendidik paling bijak. Kecurigaan terhadap aktor politik, elite, dan

penyelenggara negara, terhadap kepala negara-pemerintahan, pada

presiden-wakil presiden perlu jadi motivasi untuk mengontrol semua

aktor, elemen, dan produk-produk kebijakan yang dibuatnya.

Yang perlu kita pahami bersama adalah ajaran demokrasi

mensyaratkan keutamaan akal sehat dan cerdas. Kekuatan penalaran

hendaknya menjadi landasan. Ini agar curiga yang bermuara pada

pengawasan tidak berbuah dendam. Agar check and balances senan-

tiasa menggunakan pikiran positif. Tidak senantiasa su’udhon

(berprasangka buruk).

Demokrasi mensyaratkan pula persamaan. Intinya perlu mem-

beri tempat terhormat bagi persamaan, menempatkan orang lain

untuk diberi pandangan yang objektif. Serta jujur pula. Sportif,

dalam bahasa olahraga. Muaranya dalam perilaku demokratis ialah

sikap untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Tradisi demokrasi

mengajarkan toleransi. Mendorong emansipasi sosial politik yang

luas, dan berderajat yang sama.

Bagi Milton Friedman ajaran demokrasi yang paling inti ialah

kebebasan. Sebagai orang Amerika ia menikmati betul kebebasan

yang dirasakannya. Friedman, peraih nobel ekonomi asal AS itu,

sampai perlu menjadikan kebebasan sebagai indikator kemajuan

118 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

sebuah bangsa. ’’Keunggulan Amerika karena sang Paman Sam

memberi ruang yang lega bagi kebebasan,’’ ujarnya (Friedman, 1990).

Namun, khilaf besar jika ilham demokrasi hanya bermuara pada

kebebasan dan persamaan yang egaliter. Di sana juga ada nilai moral

yang mengajarkan komitmen untuk taat pada aturan main. Kebebas-

an memang roh dan jiwa demokrasi. Namun jangan alpa, di sana

ada pula norma, aturan hukum yang dijilid dalam Undang-Undang

(UU) atau konstitusi yang mengikat orang banyak yang hidup

bersama. Semua harus dipatuhi bersama.

Tanpa kepatuhan pada aturan main untuk hidup tertib bersama

dalam negara bangsa, berdemokrasi tak sekadar sah dicap ke-

bablasan. Lebih buruk dari itu, justru dari sana bisa muncul sikap

dan padangan yang memperbudak ajaran kebebasan—yang amat

menjunjung hak-hak asasi manusia itu. Semisal, kebebasan dimodifi-

kasi menjadi energi yang membakar militansi anarki dan agresi. Itu

semua dapat berwujud tindakan merusak fasilitas publik, menghina

lawan di hadapan umum tanpa rasa bersalah, membunuh karakter

lawan politik melalui tudingan fitnah. Juga mencemarkan nama baik,

melakukan kerusuhan, atau mengolok-olok simbol negara.

Andi A Mallarangeng, mantan juru bisa kepresidenan yang kini

menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) meng-

ungkapkan kegetirannya. ’’Bayangkan jika fitnah merebak di tengah

masyarakat, di mana setiap orang memfitnah orang lain tanpa rasa

salah dan tak bisa dihukum. Yang terjadi adalah kekacauan, chaos.’’

(Mallarangeng, 2007).

Celakanya, kalau bisa disebut demikian, tindakan diskriminasi

pada kelompok minoritas bisa menjelma atas nama demokrasi.

Minoritas harus taat pada mayoritas. Maka wajah tindakan yang

muncul bisa berupa menjarah hak milik minoritas tanpa rasa

bersalah. Atas nama minoritas harus hormat pada mayoritas.

Menertawai Diri Sendiri

“...Ini kemerdekaan bagi kita,’’ ujar Imusha, sopir taksi asal Aceh di

Mengungkap Kesenjangan Istana 119

Jakarta ketika melihat mahasiswa melambai-lambaikan bendera

merah putih di Gedung MPR yang mereka duduki Mei 1998.

‘’Pertama, kemerdekaan dari Belanda, kemudian kemerdekaan dari

Soeharto.’’ (Soeharto Lengser, 1998).

Seperti para aktivis mahasiswa 1998 yang melengserkan Pak

Harto pada 21 Mei 1998. Imusha merasa jiwanya bebas dari tekanan

yang memblenggu selama 32 tahun Orde Baru. Perasaannya adalah

contoh representasi masyarakat yang ingin bebas dari rasa takut.

Keluar dari tekanan berat yang lama membebani bangsa Indonesia.

Kemerdekaan yang dirasakan Imusha menjadi tonggak sejarah

baru kehidupan politik Indonesia. Ke depan setelah reformasi

diharapkan segera lebih adil dan demokratis. Dicita-citakan agar

konsolidasi politik oleh pemerintahan baru dan aktor-aktor politik

generasi muda yang lebih segar dapat segera menata percaturan

politik yang lebih berkualitas.

Reformasi 1998—dengan simbol Pak Harto lengser—memang

telah mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi

terbesar di dunia. Babak berikutnya, kita menjalani transisi dari

langgam otoritarian ke langgam demokratis. Dengan hati berbunga-

bunga dalam waktu tidak lama transisi diharapkan segera terlewati.

Lalu menyongsong demokrasi yang mapan dan tertata. Transisi

jangan stagnan yang menjerumuskan Indonesia menjadi negara

lemah atau bahkan gagal.

Sejumlah kunci pembuka pintu demokrasi, terutama mekanisme

dan prosedur-prosedur kelembagaan politik yang demokrastis,

dikembangkan pemerintah baru. Tradisi sirkulasi kepemimpinan

nasional lima tahunan dilembagakan, melalui pemilu yang demo-

kratis. DPR dan lembaga-lembaga negara lain yang berfungsi sebagai

media check and balances dioptimalkan. Pemilu yang adil, jujur, dan

terbuka terus disempurnakan, baik dari segi lembaga penyelenggara

maupun sistem pemilunya. Ini dilakukan agar bangsa ini tidak

melalukan self destruction terhadap sistem politik dan ketatanegaraan

disebabkan kelengkapan formal ketatanegaraan yang demokratis

120 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

dijalankan dengan sistem aturan main politik yang lemah dan

lembek.

Pada kenyataannya, pada tahap perjalanan babak berikutnya

dari reformasi 1998 –sampai 12 tahun kemudian (2010 sekarang ini)—

upaya melembagakan sistem demokrasi masih teramat berliku.

Tanjakannya kadang terjal dan menyulitkan. Kalau turun sering

melalui jalanan tajam berkelok-kelok. Kalau naik di depan, terkadang

ada jurang dalam. Terkadang-kadang di tengah belantara hutan pula.

Langgam bernegara, berpolitik, serta berbangsa dalam label dan

bingkai negara demokrasi sering harus berjalan dalam suasana trial

and error. Konflik, pertikaian politik, huru-hara, anarki, serta

ancaman chaos sering muncul tanpa alasan yang kuat. Munculnya

sering sulit diperkirakan. Pada saat bersamaan melahirkan

ketidakpastian politik.

Kebebasan—yang semasa 32 tahun Orde Baru ibarat cacing

diinjak, gerak terus diawasi, mulut ditutup– telah kita raih dalam

kadar yang agaknya belum pernah terjadi sebelumnya. Namun,

kebebasan yang bebas luas itu belum seindah yang dicontohkan

Friedman. Juga tak seindah pesona puisi yang dibayangkan Nixon.

Masih tergolong prematur untuk jadi indikator kemajuan bangsa

yang sesungguhnya.

Dalam sejumlah hal, kebebasan berpendapat dan kebebasan

menyampaikan ekspresi di muka umum, mengindikasikan

demokrasi yang kita bangun kian terasa kebablasan. Tanpa aturan

main yang dapat mengikat kuat semua orang agar menjalankan hak-

hak politik dan hak sipilnya pada koridor yang benar.

Di awal reformasi, antara 1998-2004 diwarnai ketidakstabilan

politik. Di banyak daerah banyak terjadi konflik-konflik lokal dengan

skala kerumitan lintas nasional. Konflik Ambon dan Aceh yang

meminta banyak korban jiwa merupakan pengalaman traumatik

yang tidak perlu terulang lagi di kemudian hari. Sampai 2004 tiga

presiden naik turun silih berganti. Meski gejala ini merupakan

warna-warni periode transisi politik dari langgam yang otoritarian

Mengungkap Kesenjangan Istana 121

ke demokrasi—karena belum menemukan format politik yang pas—

jangan lupa bahwa hal itu merupakan wujud ketidakpastian politik.

Presiden Soeharto dipaksa turun karena krisis ekonomi-politik,

kepemimpinan, dan menjalankan roda pemerintahan-kenegaraan

yang buruk. Modal sosial dan politiknya rapuh. Menyulut amarah

berkepanjangan yang memicu dendam politik amat masif. Presiden

B.J. Habibie pertanggungjawabannya juga ditolak MPR yang

memaksa dia secara moral tidak bisa maju lagi. Presiden

Abdurrahman Wahid mengalami nasib serupa. Dimakzulkan melaui

sidang istimewa MPR pada Juli 2001, tanpa proses hukum untuk

membuktikan kesalahan-kesalahannya.

Apresiasi dan respek perlu diberikan kepada Presiden ke-5,

Megawati Soekarnoputri. Putri Bung Karno yang meneruskan

kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid—dan berikhtiar

meneruskan jabatan presiden periode kedua pada Pemilu 2004, tetapi

tidak mendapatkan dukungan pemilih yang cukup ketika maju

sebagai calon presiden—dapat dipandang sebagai peletak dasar

democracy based people.

Melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) independen di era

pemeritahannya untuk kali pertama rakyat memilih langsung

Presiden RI melalui pemilihan umum. Megawati Soekarnoputri-

Hasyim Muzadi memang kalah dari pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono-Jusuf Kalla, tetapi sirkulasi kepemimpinan nasional

rutin lima tahunan melalui pemilu sejak 2004 sampai 2009 semakin

mapan dengan jaminan konstitusi (UUD 1945) yang sudah

diamandemen.

Megawati patut diapresiasi sebagai “ibu kandung” pemilu yang

jujur dan adil. Sebab, dia kalah melalui pemilu demokratis yang

diselenggarakan pemerintahannya.

Seringnya terjadi ketidakstabilan politik memang bukan hanya

milik Indonesia. Tetangga pun mengalami hal serupa. Filipina sejak

Ferdinand Marcos jatuh pada Februari 1986 penggantinya, sering

diganjal ancaman kudeta. Corry Aquino, Fidel Ramos, sampai

122 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

Arroyo Macapagal sekarang beberapa kali mengalami goncangan

politik. Sering mendapatkan ancaman kudeta dari lawan-lawan

politiknya meski tak sampai jatuh.

Sekalipun begitu, agaknya kurang pas pula memahami potensi-

potensi ketidakstabilan politik itu hanya dari perspektif transisi yang

belum selesai. Lagi pula tidak semua negara mengalami periode

tradisisi dengan situasi yang sama. Ada yang lama atau pula yang

singkat.

Juga tidak ada jalan tunggal bagi proses transisi menuju

demokrasi. Sangat rumit. Penuh jebakan, setiap saat bisa terbalik.

Transisi gagal. Lalu, kembali ke otoritarian (O’Donnell, 1993).

Sebab itu, bagi kita amat perlu memahami diri sendiri. Melihat

wajah sendiri. Pada saat yang sama ketika wajah kita—seolah sedang

bercermin—ternyata tak seindah yang dibayangkan, bolehlah untuk

menertawai diri sendiri.

Kelemahan kita sebagai bangsa selama ini barangkali memang

jarang menertawai diri sendiri. Lebih tertarik untuk menertawai

orang lain. Padahal diri kita belum tentu lebih gagah dari orang

lain.

Apa yang masih kurang pada kita? Pada kultur, sikap mental,

dan tradisi berbangsa dalam kehidupan bernegara? Mungkin

penilaian ini tidak sepenuhnya benar. Toh barangkali perlu jujur

diakui kelemahan itu terasa pada cara menyikapi isu-isu besar,

terutama yang berskala besar. Kita, sering gegabah, kurang dingin,

mudah emosional ketika pada saat tertentu perlu menyikapi isu-isu

besar yang masih “abu-abu.” Di kala perisiswa yang menyita per-

hatian luas belum hitam putih. Masih membutuhkan penelusuran,

penggalian, dan konstruksi yang harus hati-hati, cerdas, cermat,

serta teliti.

Sering kita tidak dapat menahan diri, gampang emosional. Dan,

manakala yang dapat menyikapi isu-isu besar yang masih “abu-abu”

itu adalah pimpinan politik, maka begitu cepat merambat menjadi

keresahan massa berskala luas. Entah sengaja dipolitisasi atau tidak,

Mengungkap Kesenjangan Istana 123

demi kepentingan kelompok, parpol, atau orang-orang tertentu

implikasi dari ketidak hati-hatian itu ialah dendam masal yang

“berjemaah.”

Dari situasi seperti ini mudah diduga implikasi berikutnya. Itu

berkisar, antara lain, saling tuding. Fitnah sini fitnah situ. Ancam

sana ancam sini. Sikat sini sikat situ. Gugat sana gugat sini. Semua

pihak yang dituding—meskipun belum tentu benar—menjadi objek

protes. Jadi tujuan kecaman. Amuk massa sering menjadi tidak

terhindarkan. Kalau sudah seperti ini seolah tidak terpikirkan pula—

atau memang sengaja cuek alias tak mau tahu—bahwa yang

dirugikan ialah masyarakat yang sama sekali tidak mengerti banyak

peristwa yang jadi isu-isu amat besar itu.

Dan, ketika situasi chaos menjadi tak terkendali, maka hanya

ada satu sasaran empuk untuk menumpahkan kesalahan yakni

kepada pemerintah. Oleh sebab itu, isu-isu pun berubah menjadi

aksi-aksi politik massa yang biasanya akan berupa: “urunkan,”

“Pecat,” “Makzulkan,” “Percepat pemilu,” dan “Impeachment.” Isu-

isu semacam ini dengan sendirinya menjadi amat potensial untuk

memicu anarki.

Secara sederahana sering dapat dikatakan, hanya karena isu-

isu besar yang belum tentu benar rezim pemerintahan harus

bertanggung jawab. Presiden dituduh tidak mampu mengelola

penyelenggaraan negara. Lebih tragis, sering pula justru presiden

difitnah—diduga-duga ada di belakang isu-isu besar yang menyulut

emosi dan amarah massa.

Kita barangkali tidak perlu menyamaratakan begitu saja. Hanya

dulu di masa Orde Baru, Soeharto pernah melontarkan istilah colong

pelayu. Arahnya saat itu ialah kelompok-kelompok yang dianggap

menampar pipi orang lain dengan menggunakan tangan orang lain

lagi.

Benar atau tidak saat itu, tidak perlu diperdebatkan. Hanya,

sangat mungkin pula terjadi sekarang. Bahwa—entah disengaja atau

tidak, atau mungkin khilaf dan perlu dimaafkan—memang ada

124 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

orang-orang, kelompok, elemen, kekuatan sosial politik tertentu

yang cenderung memiliki tabiat colong pelayu. Kurang dapat

bertanggung jawab. Tidak menjadi teladan moral dan etika politik

yang luhur bagi bangsa.

Karena kita sering kurang memberi teladan itu, kata wartawan

senior Goenawan Mohamad, orang terbawa untuk melihat kawan

dan lawan dari segi yang paling menukik. Tentang kegemaran

seksualnya, tentang masa lalu di sekolahnya ketika ia menyontek.

Juga caranya mengernyit dalam debat atau bersendawa sehabis

makan.

’’Orang tak bicara tentang pengetahuannya mengenai angka

kemiskinan, atau persenjataan, atau yang lain-lain.’’ (Tempo, 19

November 1988)

Wajah buruk perpolitikan ini—yang masih sering menyulut

anarki, menumpahkan kesalahan pada pihak yang tidak objektif—

toh tak bisa pula digeneralisasi bawa semuanya memang buruk.

Masih ada yang bagian dari rakyat objektif. Seorang mengaku dari

forum pembaca Harian Kompas mengatakan:

‘’…Saya sendiri, berterima kasih kok sama pemerintahan sekarang,

pemerintahan ini bagi penilaian pribadi saya merupakan yang terbaik

dari 2 periode sebelumnya, nah berharap nih, untuk para politikus

yang akan berkompetisi untuk 2014-2019, kalau bisa nih, teruskan

perjuangan SBY sekarang ini. Gak usah terlalu banyak menjelek-

jelekkan keputusan pemerintah. Ingat INDONESIA ini tidak dapat

dipulihkan seperti membalikkan tangan saja. Dan kalau Politisiku

ini terpilih, apakah bisa menyelesaikan masalah INDONESIA ini,

jangan-jangan lebih parah lagi. Enakan tuh gak usahlah berebut

kekuasaan, mending sama-sama deh bekerja sama. (www.yahoo.com,

1 Januari 2010).

Ungkapan pembaca Kompas ini dikemukakan untuk merespons

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya dalam suatu

kesempatan SBY sempat mengemukakan pernyataan yang isinya

mengeluh. ’’Banyak kalangan di masyarakat Indonesia sulit

berterima kasih kepada pemerintah.’’

Mengungkap Kesenjangan Istana 125

Paradoks Demokrasi

‘’… Tidak perlu ada dendam dan amarah yang disimpan dandipelihara. Seolah-olah kompetisi harus berjalan sepanjang lima tahun.Apalagi jika para elite dan tokoh politik mengajak pendukung dankonstituennya untuk memelihara permusuhan. Terus menerusmengadakan perlawanan. Ini praktik demokrasi yang buruk.

Dalam gejolak hati yang penuh emosi, kekecewaan dan mungkinamarah, kita mesti bisa mengontrol dan mengendalikannya.... Amatberbahaya jika seorang pemimpin tidak dapat mengendalianemosinya, dan akhirnya tidak dapat berpikir rasional.

Bayangkan, jika seorang presiden yang sering harus mengambilkeputusan yang strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orangbanyak tidak mampu berpikir tenang, jernih, dan rasional..” (PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dalam wawancara dengan HarianJurnas 10 Februari 2010).

Dalam kadar yang relatif, Indonesia sekarang telah diakui

oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara demokrasi

terbesar di dunia. Tentu pula, penilaian yang perlu diapresiasi positif

itu disebabkan masyarakat internasional memandang Indonesia telah

memiliki sejumlah prasyarat utama negara yang memilih sistem

politik demokratis.

Pertama, partisipasi politik yang luas dan otonom. Dalam hal

ini, misalnya, partisipasi pemilih sejak 1999 sampai 2009 rata-rata

mencapai angka di atas 60 persen. Ini di atas partisipasi pemilih di

Amerika yang kurang dari 60 persen.

Kedua, telah terselenggara kompetisi politik yang sehat, adil,

dan demokratis. Dari 1999 sampai 2009 berlangsung dalam situasi

politik yang aman dan damai. Ketiga, telah ada suksesi dan sirkulasi

kekuasaan berkala. Terkelola dan terjaga dengan bersih. Telah

memenuhi standar transparansi, khususnya dalam penyelenggaraan

pemilu.

126 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

Berikutnya, ada monitoring, kontrol, dan pengawasan terhadap

kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan memiliter dari

kekuatan masyarakat sipil. (Dahl, 1999). Ini menunjukkan check and

balances telah relatif berjalan meskipun belum sepnuhnya sempurna.

Indonesianis senior William Liddle angkat topi. Bill Liddle,

begitu guru besar asal Ohio State University Amerika itu biasa disapa

teman-temannya di Indonesia, mengakui dinamika demokrasi di

negeri berkembang semakin sehat. Dalam wawancara khusus

dengan Jaringan Islam Liberal usai Pemilu 2004, Liddle memuji

perkembangan demokrasi di sini yang dinilainya sangat berhasil:

“ ...saya mengapresiasi tinggi-tinggi masyarakat Indonesia yang telah

berhasil melaksanakan pemilu yang sangat demokratis untuk kedua

kalinya. Orang-orang di Jakarta, sekarang lupa akan hal itu karena

mereka banyak ditimpa masalah. Jadi sepertinya Pemilu 2004 ini

bagi mereka gagal. Padahal menurut saya sangat berhasil. Demokrasi

Indonesia sangat berhasil….” (Islamib.com, 19 April 2004)

Kekurangan atau kelemahan yang masih tersisa mengganjal

dalam sistem politik yang sudah demokratis ini ialah, prasyarat

pokok kelima belum cukup terpenuhi. Apa gerangan? Kebebasan

dan persamaan yang luas kurang terlembaga melalui kepatuhan yang

kuat terhadap tatakrama dan norma-norma yang disepakati bersama

dalam masyarakat.

Kita seolah alpa, atau barangkali sengaja mengalpakan diri

bahwa berdemokrasi memerlukan sejumlah prinsip dasar. Etika,

moralitas, dan hukum harus ditegakkan. Diperlihara sebagai

komitmen bersama.

Institusionalisasi penegakkan etika, moral, dan aturan hukum

memang tak serta merta datang dari langit nan biru. Tak pula cukup

disosialisasi melalui pendidikan formal pada saat pak guru bercerita

pada murid-muridnya tentang apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan. Belum cukup seperti bu guru memberi contoh si Budi

terkena sanksi berdiri di depan kelas karena mencontek si Panut

saat ulangan sekolah.

Mengungkap Kesenjangan Istana 127

Sosialisasi itu justru menjadi sangat terhormat jika berupa

teladan kepemimpinan politik yang bersih, santun, dan beretika.

Niatnya hanya mengabdi kepada kepentingan bangsa. Demi

kemajuan masyarakat. Dan, untuk kemaslahatan bersama dalam

negara bangsa Indonesia.

Demi masa depan yang lebih baik ini tidaklah memadai jika

seleksi kemimpinan nasional melalui pemilu hanya berorientasi pada

pergantian kekuasaan yang aman dan damai. Orientasi demikian

hanyalah memenuhi prasyarat-prasyarat formal dan prosedural.

Sedangkan tujuan substansial dari suksesi kepemimpinan nasional

tidak sepenuhnya bisa diraih. Pemilu yang sudah adil dan jujur gagal

menghasilkan pemimpin nasional yang bersih. Tidak melahirkan

pemimpin politik yang cerdas. Juga gagal menelorkan pemimpin

bangsa yang inovatif. Berkemampuan merumuskan terobosan besar

melalui new deal-new deal, konsensus-konsensus baru yang kreatif.

Tidak mungkin masa depan bangsa hanya diserahkan kepada

pemimpin-pemimpin yang hanya berorientasi kekuasaan.

Pemimpin yang putih harus terus dilahirkan sambil terus memberi

kesempatan pada yang “kotor” membersihkan diri. Agar kelak

menjadi teladan yang dapat dibanggakan masyarakat Indonesia.

Mungkin ia, si pemimpin baru yang dilahirkan pemilu, memang

benar-benar orang baru. Toh, menjadi kurang pas jika tidak dapat

membuat terobosan-terobosan baru yang memberi manfaat bagi

kemajuan bernegara dan memberi nilai tambah yang konstruktif

bagi peradaban demokrasi.

Kita harus terus berubah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Kita sebagai bangsa harus bergerak dinamis. Jangan biarkan

anggapan klise awam yang sinis bahwa politik itu kotor menjadi

kenyataan. Politik kita harus putih, memesona, dan menggairahkan

untuk mendorong motivasi berprestasi lebih baik.

Seperti tarian Siva, kata Fritjof Capra, pemikiran kita harus terus

bergerak dan berubah menyempurnakan diri. Agar dapat meme-

nuhi kebutuhan baru atau harapan lama yang belum terakomodasi

128 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

(Denny JA, 1999).

Paradoks-paradoks demokrasi yang tersisa ke depan harus

semakin berkurang. Kita membayangkan pluralisme sosial politik

dalam kebhinekaan bangsa dapat membangun konstruksi politik

dan format demokrasi yang—oleh SBY sering dikemukakan dalam

banyak kesempatan—adil dan sejahtera.

Pengakuan internasional sebagai salah satu negara demokrasi

terbesar di dunia saat ini adalah legitimasi moral yang menjadi

kekuatan bangsa Indonesia untuk mewujudkan mimpinya menjadi

kenyataan.

Kita harus terus melangkah. Bekerja keras. Tanpa henti. Yang

kita ingin capai kelak ialah Indonesia yang maju dan unggul. Negara

bangsa yang mandiri, adil, dan makmur. Dalam undang-undang

yang kita miliki ada delapan langkah yang meski kita lakukan sejak

sekarang. Mewujudkan masyarakat yang bermoral, berbudaya, dan

beradab. Civilized menjadi sasaran pertama berdasarkan falsafah

Pancasila.

Berikutnya merindukan masyarakat yang taat pada hukum

harus diwujudkan. Kebebasan (freedom), rule of law, and toleransi

harus duduk bersama. Demokrasi yang ingin kita mekarkan ialah

demokrasi yang sarat harmoni.

Ini saja belumlah cukup rasanya. Indonesia ke depan juga mesti

jadi negara bangsa yang aman, damai, dan bersatu. Bikutnya lagi,

pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Ini koreksi atas banyak

hal yang terjadi di di masa lalu. Pengalaman masa lalu—juga di

negara-negara lain—kalau growth hanya for the side of growth tidak

disertai dengan pemerataan akan berbuah kesenjangan, konflik, dan

bentuk-bentuk konflik yang tersulut oleh perlakuan yang tidak adil

dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi.

Indonesia masa depan—yang lestari—adalah negara bangsa

yang dapat memelihara kesinambungan, berkelanjutan, sustainability

dari pembangunan.

Kini tugas-tugas besar pun bertambam-tambah. Mestilah

Mengungkap Kesenjangan Istana 129

dielaborasi segera komitmen bersama di tingkat internasional. Di

era sekarang isu-isu global utuk mengatasi global warming, climate

change, menjadi agenda internasional yang menuntut keikutsertaan

Indonesia secara amat serius. Kita harus jadi bagian amat penting

dari masyarakat internasional untuk merespons isu-isu dan agenda

kerja gelobal. Ini menuntut keharusan kita berperan penting dalam

pergaulan dunia.

Kita membayangkan kelak bangsa Indonesia menjadi primadona

dalam hal, demokrasi, kemajuan peradaban, kehidupan politik yang

adil. Masyarakat yang sejahtera dan mandiri.

“ ...Hanya pohon berbuah matang yang diincar orang. Dan, buah

yang manis itu jadi sasaran untuk dipetik. Manis rasanya...’’

130 Panggung Politik Melihat Wajah Kita

Mengungkap Kesenjangan Istana 131

88888Pilih Mirip Thailand

atau Singapura?

“…Prioritas kami hanya satu: mendapatkan penerbangan pertama

keluar dari sini (Thailand) dan tidak pernah kembali…”

Kalimat itu meluncur dari bibir Robert Grieve. Pengantin baru

yang memilih Thailand sebagai tempatnya berbulan madu itu

tak pernah menyangka ia dan istrinya akan terperangkap dalam

Bandara Suvarnabhumi tanpa tahu pasti kapan bisa keluar.

Sepertinya, kenikmatan bulan madu yang baru saja mereka

reguk, menguap dalam ketidakpastian. Di mana-mana di seluruh

bangunan bandara mewah itu, para turis berserak seperti rongsokan.

Mereka tidur sekenanya: di atas koper besar mereka, di troli, di atas

ban berjalan (tentu saja saat itu mati), di depan konter check in yang

kosong, di mana saja. Mereka kuyu, bau, dan kelaparan.

Wajah para turis yang terdampar itu jelas menyiratkan kema-

rahan. Apalagi, banyak di antara mereka datang dengan anak-anak

dan orang berkebutuhan khusus. Sayangnya, yang mereka lihat

bukanlah petugas yang memberi tahu apa yang harus mereka

lakukan. Sebaliknya, yang mereka jumpai justru puluhan ribu massa

berkaos kuning dengan wajah yang tak bisa disebut ramah.

132 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

“Ada banyak orang memegang tongkat baseball. Mereka

kelihatannya siap berkelahi,” kata Ben Creemers. Warga Belgia itu

adalah satu dari sekitar ribuan wisatawan asing yang terdampar di

Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok, 26 November 2008

silam.

Orang-orang yang disebut Creemers “memegang tongkat

baseball” itu tak lain para pendukung Aliansi Rakyat untuk Demo-

krasi (PAD) yang mengamuk di dalam dan sekitar bandara megah

bernilai 4 miliar dollar AS itu.

Para wisatawan asing yang sebagian besar tidak paham kondisi

politik Thailand, seperti anak ayam kehilangan induknya. Mereka

kebingungan dan telantar. Para pejabat bandara dan perusahaan

penerbangan hanya menyelinap pergi, meninggalkan para wisata-

wan yang akhirnya telantar berhari-hari.

Pendudukan bandara internasional ini sengaja dilakukan PAD

untuk menambah bobot tekanan mereka kepada pemerintah.

Dengan secara tidak langsung “menyandera” ribuan warga negara

asing, para demonstran berharap pemerintah Thailand mendapat

tekanan negara-negara lain dan akhirnya meluluskan permintaan

mereka. Para demonstran sendiri menolak bernegosiasi, kecuali

langsung dengan Perdana Menteri Somchai Wongsawat.

Frustrasi juga menimpa Fred Thierry. Eksekutif Perancis yang

bekerja di Shanghai, China ini kehilangan peluang mendapat

kontrak besar.

“…Saya semestinya menghadiri sejumlah rapat di Shanghai, hari

ini. Saya punya jadwal pertemuan besar dengan kastemer besar.

Dan kenyataannya, saya masih terperangkap di sini,” katanya, kesal.

Tentu saja banyak yang kapok datang ke Thailand. Robert Grieve

bukan satu-satunya yang bersumpah takkan pernah datang lagi ke

negeri seribu pagoda itu. Patricia Peel pun punya “sumpah” yang

sama.

“…Ini betul-betul menjijikkan. Saya berbicara dengan banyak orang,

dan mereka bersumpah takkan pernah datang lagi ke Thailand,”

Mengungkap Kesenjangan Istana 133

katanya.

Perempuan itu jengkel sekali, tak tahu harus berbuat apa. Gerak

geriknya makin tak leluasa karena rekannya, John Vineal mengguna-

kan kursi roda.

Takkan ada yang gembira dengan situasi seperti itu. Pariwisata,

salah satu sektor andalan di Thailand, sangat menderita. Padahal,

sektor ini harus terus menerus dipelihara karena menyumbang 5%

GDP dari kedatangan sekitar 14 juta wisatawan asing setiap tahun

dan mempekerjakan dua juta penduduk atau lebih dari 7% total

tenaga kerja Thailand.

Tersanderanya ribuan wisatawan dalam bandara, dan memaksa

ribuan lainnya luntang-lantung dalam kota tak bisa pulang, jelas

sebuah kampanye negatif bagi sektor pariwisata. Siapa pun tahu

sektor ini sangat peka, terutama dalam hal keamanan.

Sebuah travel warning saja dapat berpengaruh pada tingkat

kedatangan wisatawan. Bila travel warning datang berkali-kali, bukan

hanya sektor pariwisata saja yang terpengaruh. Situasi tidak aman

dan stabilitas sangat berpengaruh terhadap investasi. Apalagi,

Bandara Suvarnabhumi lebih dari sekadar pintu gerbang.

Bettina Wassener dalam artikelnya yang berjudul “Political Crisis

Ripples Across Thai Economy” di The New York Times menyebut,

bandara ini melayani 100 maskapai penerbangan yang terbang ke

dan dari 68 negara. Bandara ini juga melayani 1,25 juta penerbangan

komersial per tahun, melayani 100 ribu penumpang per hari, dan

menjadi titik distribusi bagi 1.209.720 ton barang atau sekitar 3 persen

dari total barang yang diangkut maskapai penerbangan seluruh

dunia. Jasa pengiriman barang lewat udara ini menyumbang 3 miliar

baht per hari.

Ratusan penerbangan dibatalkan. Thai Airways yang biasanya

menguasai 25 persen dari dan ke Suvarnabhumi rugi 500 juta baht

(sekitar 14 juta dollar AS) per hari. AirAsia, maskapai murah yang

menyumbang 12% lalu lintas penerbangan di bandara itu terpaksa

membatalkan sekitar 106 penerbangan sehari, berpengaruh terhadap

134 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

10.000 penumpang per hari. Belum lagi akumulasi penerbangan

oleh maskapai lain.

Karena itu, penutupan Bandara Suvarnabhumi diikuti penutup-

an Bandara Don Muang yang membuat sekitar 300 ribu wisatawan

telantar tak hanya berakibat bagi sektor pariwisata. Lembaga rating

Standard & Poor’s saat itu menurunkan tingkat perkiraan ekonomi

Thailand akibat rangkaian instabilitas di Thailand itu.

“…Instabilitas itu mengganggu secara serius perekonomian Thailand

dan meningkatkan kemungkinan meluasnya kekerasan di sana. Hal

ini menambah tekanan negatif terhadap perekonomian Thailand yang

sudah menderita karena melemahnya perekonomian global,” kata

Kim Eng Tan, analis kredit di Standard & Poor’s.

Setelah demo hingga menutup Bandara Internasional

Suvarnabhumi dan “menyandera” ribuan turis asing oleh kelompok

kontra mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, keamanan di

Thailand tidak mudah pulih. Pada April 2009 atau sekitar 3 bulan

sejak demo raksasa itu, gelombang demo yang tak kalah massif digelar

kelompok pro Thaksin. Bila massa kontra Thaksin menggunakan

kaos kuning, massa pro Thaksin ini menggunakan kaos merah.

Eskalasi demo mereka sama-sama besar. Massa kaos merah

sukses menunda pelaksanaan KTT ASEAN. Para demonstran

memasuki Hotel Royal Cliff Beach di Pattaya, tempat KTT ASEAN

diadakan. Mereka serta merta memasuki hotel, menaiki tangga, dan

memecahkan beberapa pintu kaca. Media center KTT ASEAN yang

terletak di resort Pantai Pattaya pun tidak luput dijamah demonstran.

Padahal beberapa pemimpin negara Asia dari China, Jepang, dan

Korea Selatan sudah ada di hotel itu. Mereka pun terpaksa dievakuasi

dengan helikopter, termasuk Menteri Perdagangan Indonesia, Mari

Elka Pangestu dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Presiden

SBY yang sempat ditawari menuju hotel dengan heli pun menolak

karena tak yakin dengan keamanan hotel. Akhirnya, PM Abhisit

mengatakan KTT ASEAN dibatalkan.

Tak hanya itu, massa juga menembus Kantor Kementerian

Mengungkap Kesenjangan Istana 135

Dalam Negeri dan memukuli mobil Perdana Menteri Abhisit

Vejjajiva dengan tongkat dan pentungan. Abhisit memang sukses

melarikan diri, namun dunia melihat bagaimana massa yang marah

merendahkan martabat pemimpin nasional mereka.

Thailand membuktikan pada dunia bahwa kerajaan itu adalah

entitas demokratis. Rakyat memiliki kemerdekaan untuk menyam-

paikan pendapatnya, sedemikian bebas hingga mereka bisa ber-

hadapan vis a vis dengan pemerintah, bahkan menggulingkannya.

Dalam masa antar demo yang berlangsung awal 2008 hingga awal

2009, Thailand diperintah 3 perdana menteri, yakni Samak

Sundaravej, Somchai Wongsawat, dan akhirnya Abhisit Vejjajiva.

Tiga kali pula kabinet negara itu berganti dengan hiruk pikuk mosi

tidak percaya di parlemen, perang di pengadilan, dan juga demo

jalanan dalam skala sangat massif.

Thailand memang demokratis, namun warga negara gajah putih

itu mengakui mereka mulai tidak percaya pada efektivitas demokrasi

karena selama ini, atas nama demokrasi itu pulalah kelompok merah

dan kuning bertikai tanpa ujung hingga membahayakan stabilitas

nasional.

Bagaimana dengan Indonesia?

***

“Apa yang kalian lakukan? Kalian tak boleh mengambil gambar.

Ini milik polisi,” kata laki-laki itu.

Teman-temannya minggir, menjauh dari area rekam kamera.

“Siapa bilang? Fasilitas itu milik para pembayar pajak, dan saya

adalah pembayar pajak,” teriak salah satu reporter Partai Demokrat

Singapura (SDP).

Tak menunggu lama, aktivis partai non pemerintah itu pun

bertanya balik. “Kalian sendiri sedang apa?”

Melihat orang yang mereka larang mengambil gambar tak bisa

diintimidasi, para pekerja proyek itu pun ganti takluk. Mereka

mengaku sebagai rekanan Kepolisian Singapura yang sedang

136 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

membangun fasilitas closed circuit television (CCTV). Sebagian

menyiapkan tiangnya, yang lain sibuk melakukan pemrograman di

laptopnya.

Tahukah Anda di mana 3 kamera CCTV itu dipasang? Kamera

pemantau itu dipasang di Speaker’s Corner. Dan asal tahu saja,

bagian kosong di Taman Hong Lim itulah satu-satunya fasilitas yang

disediakan Pemerintah Singapura untuk warganya yang ingin

menyampaikan aspirasinya.

Tempat berunjuk rasa namun jelas-jelas dipasangi CCTV?

Inilah ironi terbesar Singapura. Semua surga dunia sepertinya

ada di negara pulau itu. Pendapatan per kapita penduduknya sangat

tinggi, 50.300 dollar AS (bandingkan dengan pendapatan per kapita

penduduk Indonesia yang hanya 4.000 dollar AS). Namun Singapura,

negara yang sejahtera itu, jauh dari “kelengkapan” sebuah masya-

rakat demokratis.

Bahkan untuk berunjuk rasa di tempat yang ditentukan pun,

di Speakers’ Corner, warga Singapura harus lebih dulu mendaftar

ke kepolisian dan isi orasinya tidak boleh menyangkut masalah

agama, hubungan antarras, dan politik kenegaraan. Dan, unjuk rasa

di Speaker’s Corner pada dasarnya tidak beda dengan unjuk rasa

di tempat lain yang dilarang: para pelakunya tetap tidak kebal dari

undang-undang Singapura tentang pencemaran nama baik yang

sangat ketat.

Bukan hanya itu, Singapura juga tidak memiliki satu pun

kelompok penekan (pressure group). Data ini tentu membuat kita

berkernyit dahi. Bagaimana pun, kehadiran kelompok penekan

adalah suatu hal yang wajar dalam demokrasi. Tiadanya kelompok

penekan berarti pemerintah cenderung menetapkan dan

mengeksekusi kebijakan nyaris tanpa pembanding, apalagi kontrol.

Sekadar perbandingan, Indonesia memiliki banyak kelompok

penekan. Sebut saja Komite untuk Orang Hilang dan Korban

Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), Wahana

Lingkungan Hidup (Walhi), Front Pembelasa Islam (FPI), Benteng

Mengungkap Kesenjangan Istana 137

Demokrasi Rakyat (Bendera), Lumbung Informasi Rakyat (Lira), dan

banyak lagi lainnya.

Kelompok penekan adalah bagian fundamental dari demokrasi.

Dalam pendekatan pluralis, kelompok-kelompok penekan

memainkan peran esensial dalam proses demokrasi. Alasannya,

partai-partai politik tidak bisa mewakili kepentingan dan opini di

masyarakat yang spektrumnya begitu luas. Parpol lebih banyak

bergerak pada isu mendasar yang seringkali dianggap kurang bisa

mewakili kepentingan kelompok tertentu secara spesifik. Di sinilah

peran kelompok penekan menjadi vital. Keberadaan mereka

membuat isu-isu spesifik tertentu menjadi terdengar dan mendapat

porsi perhatian oleh masyarakat dan pemerintah.

Kelompok-kelompok penekan adalah produk dari kebebasan

berserikat yang menjadi salah satu prinsip demokrasi liberal.

Keberadaan kelompok penekan penting bagi berfungsinya

demokrasi dalam 3 hal: mereka menjadi institusi penghubung vital

antara pemerintah dan masyarakat, mereka membantu “membagi”

power ke lebih banyak aktor, dan mereka memberi imbangan atas

terjadinya konsentrasi kekuasaan. Salah satu ciri berlangsungnya

sebuah demokrasi adalah adanya rule of law; pembatasan kekuasaan

absolute pemerintah, adanya kebebasan berbicara, kebebasan

menjalankan agama atau kepercayaan; adanya kesetaraan di depan

hukum; penghargaan kepada wanita, toleransi agama dan etnis, serta

penghargaan kepada hak kepemilikan pribadi.

Tak hanya itu, Singapura juga terbelakang dalam sejumlah para-

meter demokrasi lainnya. Sebut saja tentang kebebasan pers dan

keberadaan partai oposisi. Demikian buram kebebasan pers di

Singapura hingga lebih banyak wartawan di sana yang memilih

melakukan sensor terhadap diri mereka sendiri daripada mengambil

risiko berhadapan dengan pemerintah, seperti ditulis dalam artikel

berjudul “No Freedom in Singapore, Freedom House Ranks the PAP

State 154th (www.singaporeelection.blogspot.com/2007/05/no-freedom-in-

singapore-freedom-house.html, diunduh pada 22 Februari 2010):

138 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

“…Singapura sangat ketat (membatasi kebebasan) hingga mayoritas

wartawan mempraktikkan penyensoran sendiri (self-censorship)

daripada dikenai tuduhan pencemaran nama baik atau dianggap

melanggar undang-undang pidana tentang pernyataan yang

diperbolehkan…”

Masih dalam berita yang sama, disebut juga bahwa konstitusi

Singapura menjamin hak kebebasan berbicara dan kebebasan

berekspresi. Namun, Singapura juga membatasi hak-hak ini.

Kebebasan pers di Singapura, misalnya, dibatasi oleh Newspapers

and Printing Presses Act, the Defamation Act, dan the Internal

Security Act yang kesemuanya membolehkan pemerintah melarang

peredaran berita yang dianggap memicu kekerasan, memancing

ketegangan rasial dan agama, ikut campur dalam politik domestik,

atau berita-berita yang dinilai pemerintah mengancam tatanan

masyarakat maupun keamanan dan kepentingan nasional.

Dalam peta tingkat kebebasan yang dirilis Freedom House tahun

2010, Singapura ada pada level kuning (partly free). Parameter

kebebasan mereka jauh di bawah Indonesia yang dalam kategori

itu masuk kelompok hijau (free).

***

Melihat Thailand yang begitu bebas hingga tidak stabil, atau

Singapura yang demikian membatasi kebebasan dalam menjaga

stabilitas dan kesejahteraannya, Indonesia muncul sebagai model

yang mengejutkan.

Negara ini memiliki ratusan suku, banyak agama dan keper-

cayaan, serta disparitas pendidikan dan sosial yang demikian

terentang. Siapa pun setuju, Indonesia jauh lebih kompleks dibanding

Thailand, apalagi Singapura. Namun, sejarah mencatat prestasi

demokrasi Indonesia yang membuat dunia terperanjat.

Saat Indonesia memulai masa transisinya menuju demokrasi

yang diusung melalui gerakan reformasi tahun 1998, banyak yang

memperkirakan nasib Indonesia akan seperti Yugoslavia atau Uni

Soviet, hancur berkeping–keping menjadi negara-negara kecil

Mengungkap Kesenjangan Istana 139

dengan ego kesukuannya masing-masing dan hingga kini relatif

tidak sejahtera.

Prediksi suram ini tentu bukan tanpa alasan. Sejak lama

Indonesia memiliki “bisul bernanah,” kekuatan-kekuatan yang dapat

membelah Indonesia sewaktu-waktu. Kekuatan-kekuatan secamam

ini pernah ada, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kini

telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Di bagian lain Indonesia,

gerakan separatis juga muncul dalam bentuk Organisasi Papua

Merdeka hingga kelompok-kelompok yang lebih kecil dan samar

seperti gerakan kemerdekaan Riau, Kaltim, hingga sisa-sisa Republik

Maluku Selatan.

Apalagi, sejak gerakan reformasi tahun 1998, Indonesia

mengalami masa transisi cukup panjang. Bila stabilitas diukur dengan

keberlangsungan rezim pemerintahan secara normal dalam waktu

yang telah diatur Undang-Undang Dasar, di awal masa reformasi

Indonesia tergolong kurang stabil. Dalam kurun 1998 hingga 2004,

misalnya, kita punya 4 presiden. Soeharto mengundurkan diri

setelah didesak gelombang massa yang menentangnya. Burhanudin

Jusuf Habibie yang kala itu wapres, akhirnya naik menjadi presiden.

Dia pun berhenti karena pidato pertanggungjawabannya ditolak

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Lalu, KH Abdurrahman Wahid tercatat sebagai presiden

pertama pasca Orde Baru. Adalah KH Abdurrahman Wahid pula

yang diturunkan oleh MPR di tengah masa pemerintahannya

melalui mekanisme pemakzulan. Megawati Soekarnoputri melanjut-

kan sisa masa jabatannya hingga 2004.

Dalam masa transisi itu, banyak hal—lebih tepatnya disebut

pergolakan—terjadi. Pada periode itulah kita melihat masyarakat

kelas bawah berbondong-bondong mendukung KH Abdurrahman

Wahid yang akan dilengserkan, menciptakan situasi mencekam

karena potensi konflik horizontal maupun konflik rakyat-aparat

keamanan yang demikian tinggi.

Risiko-risiko itu kita tanggung karena yakin gerakan reformasi

140 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

pada akhirnya menjadi pintu bagi re-demokratisasi kehidupan

bernegara kita. Karena kita yakin demokrasi yang sebenarnya

menjadi jawaban untuk hidup yang makin sejahtera dan kian

bermartabat. Hasilnya tidak mengecewakan.

Dunia pun mengakuinya. Indonesia disebut sebagai negara

demokratis nomor 3 terbesar di dunia, setelah India dan Amerika

Serikat (AS). Bahkan dibanding kedua negara itu, Indonesia berhasil

mengatasi tantangan pluralisme yang jauh lebih kompleks.

Rezim pemerintahan Indonesia mulai stabil sejak pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masa 6 tahun terakhir

diwarnai dengan dibangunnya struktur yang adaptif terhadap

perkembangan demokrasi. Kita sudah memiliki sistem yang

memungkinkan warga negara, pemerintah, dan siapa pun

pemangku kepentingan lain untuk menyuarakan aspirasi mereka,

menuntut hak, maupun memberi masukan bagi perbaikan.

Dunia internasional pun memuji demokrasi dan stabilitas

Indonesia, khususnya di masa kepemimpinan Presiden SBY. Media

Australia yang selalu kritis tentang Indonesia, salah satunya memuji

Indonesia sebagai demokrasi yang paling berfungsi baik di Asia

Tenggara.

“…Memang benar ada serangan teroris di Jakarta, bulan lalu, namun

itu serangan sejenis yang pertama dalam 4 tahun. Indonesia baru

saja menggelar Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yang bebas

yang akhirnya memberi mandat tegas kepada pemimpin modern

moderat Susilo Bambang Yushoyono untuk masa jabatan lima tahun

yang kedua. Angkatan bersenjata tak lagi berkuasa. Perekonomian

tak lagi hancur. Indonesia yang begitu lama ada di bawah tumit

(kekuasaan) diktator, kini berubah menjadi apa yang disebut para

analis sebagai “demokrasi yang berjalan paling baik di Asia

Tenggara…” (“Indonesia’s Quiet Revolution Bodes Well for Us)

(‘indonesia-quite-revolution’, Sydney Morning Herald –

www.smh.com.au, diakses tgl 21 Februari 2010)

Lebih lanjut tulisan itu juga memuji tingkat kebebasan yang

luar biasa di Indonesia. Kebebasan berpendapat, kebebasan

Mengungkap Kesenjangan Istana 141

berserikat, kebebasan pers, pengadilan yang kian ditingkatkan

independensinya, dan pemilu langsung yang relatif jujur dan adil

melesatkan Indonesia ke peringkat atas kategori negara demokratis.

“…Di saat China, Singapura, dan Malaysia masih tetap dalam

genggaman elite berkuasa yang enggan melepaskan kekuasaannya,

Indonesia menjadi negara di mana penduduknya bisa berbicara bebas

tanpa harus lebih dulu memeriksa siapa yang mendengarkan

pembicaraan mereka…”

Bukan hanya itu, transisi kepemimpinan di Indonesia juga

dinilai menjadi teladan proses demokratisasi di dunia. Pemilu dan

Pilpres yang aman dan sukses di Indonesia juga membuat banyak

kalangan optimismtis terhadap masa depan pemerintahan partisipa-

toris yang penduduknya mayoritas muslim, selama ini dianggap

didominasi pemerintahan tertutup, bahkan tidak demokratis. Artikel

Dr N. Janardhan, “Indonesia, A Model Muslim Democracy” yang

dimuat di ARAB NEWS, 22 Oktober 2009 (http://www.alarabiya.net/

views diakses 2 Maret 2010) menunjukkan jelas hal itu. Di sana ia

menulis:

“…Cara dia (Susilo Bambang Yudhoyono) naik ke tampuk kekuasaan

yang relatif lancar dan tenang bukan saja memperkuat eksperimen

demokrasi Indonesia, namun juga memberi optimisme terhadap masa

depan pemerintahan partisipatoris di dunia Islam…”

Kedewasaan demokrasi di Indonesia pasca reformasi, yang

ditandai dengan aman dan suksesnya Pemilu 1999, 2004, dan 2009,

tak hanya dipuji karena menyumbang terhadap modernisasi sistem

politik kita. Ia juga diyakini menyelamatkan Indonesia dari

keruntuhan secara ekonomi dan sosial. Pemilu-pemilu yang sukses,

berlangsung hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam memilih

anggota DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, pemilihan

gubernur, pemilihan walikota, dan pemilihan bupati secara

langsung, tak hanya menjadikan Indonesia sebagai “ibukota pemilu

dunia”. Bank Dunia, seperti ditulis Dr N. Janardhan, yakin hal itu

membuat negara Indonesia makin kuat, warganya kian bersatu, dan

142 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

pada akhirnya menciptakan spin-off ekonomi yang menguntungkan.

Dia menulis:

“…Indonesia juga memastikan bahwa demokrasi mereka terus

mengalami perbaikan secara kualitatif karena “pemilu saja tak cukup

untuk membangun demokrasi yang sesungguhnya…”

Pujian terhadap Indonesia juga mencakup banyak aspek lain

yang dibutuhkan bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat. Sebut saja

meningkatnya partisipasi politik masyarakat, kebebasan pers,

reformasi ekonomi, perlindungan HAM, juga reformasi di tubuh

militer dan lembaga peradilan. Padahal, siapa pun tahu reformasi

di 3 sektor yang disebut terakhir itu sangatlah sulit dan tidak semua

pemerintahan mau mengupayakannya. Lebih lanjut Dr N.

Janardhan memuji:

“…Sementara sejumlah pemilu meningkatkan partisipasi politik

masyarakat, kebebasan pers, masyarakat madani yang kuat, sistem

checks and balances, reformasi ekonomi, terlindungan terhadap HAM,

serta reformasi militer dan badan peradilan telah mebuat entitas

demokratis muda ini (Indonesia) dalam keadaan sehat…”

***

Demokratisasi memang layaknya pendulum. Ia tak pernah diam

dan selalu bergerak antara dua kutub ekstrem, antara stabilitas yang

memberangus kebebasan dan kebebasan yang cenderung chaotic bila

kebablasan. Dua-duanya bukan pilihan.

Kebebasan yang kebablasan hingga membuat negara guncang,

pada akhirnya justru membuat orang mempertanyakan efektivitas

demokrasi itu sendiri. Hal ini sudah terjadi pada masyarakat

Thailand.

Pada seperempat akhir tahun 2009 lalu, masyarakat Thailand

menunjukkan dengan jelas sikap mereka. Jajak pendapat gelaran

Dusit Poll menunjukkan warga negara gajah putih itu sudah muak

dengan konflik massa kaos merah (pendukung mantan PM Thaksin

Shinawatra) dan massa kaos kuning (kontra Thaksin) yang tak

Mengungkap Kesenjangan Istana 143

kunjung berhenti. Hasil ini tidak mengejutkan karena pertikaian

antara kedua kelompok massa itu “menyandera” Thailand nyaris

sepanjang tahun 2008 hingga awal tahun 2009.

Yang membuat banyak pihak khawatir adalah, rasa muak itu

berlanjut pada sikap mempertanyakan efektivitas demokrasi. Makin

besar saja persentase masyarakat yang mulai mengendur kepercaya-

annya terhadap demokrasi. Masyarakat mulai percaya bahwa apa

pun hasil akhir amandemen konstitusi, apa pun bentuk pemerin-

tahan yang muncul dan aturan-aturan yang menyertainya, warga

sudah apatis. Mereka yakin semua geliat itu hanyalah kumpulan

taktik selfish demi kepentingan memenangkan Pemilu mendatang.

Pranata-pranata demokrasi hanya dijadikan dalih untuk mengejar

kepentingan sendiri dan kelompok. Suthichai Yoon dalam “From

Delusion to Loss of Faith in ‘Democracy’” yang dimuat The Nation, 17

September 2009 menulis:

“…Janji demokrasi berubah menjadi persaingan bebas di antara

kelompok-kelompok penuh kepentingan dan bukannya proses di mana

beragam perbedaan diselesaikan dalam kerangka rule of law dan

nilai-nilai moral. Bukannya meningkatkan kesadaran publik, kita

justru menyaksikan kemenangan politik uang, terus tergerusnya

etika politik, tirani mayoritas, dan berkuasanya para preman…”

Suthichai Yoon juga jeli dan kritis saat menyebut bahwa

penegakan rule of law dan nilai-nilai moral menjadi syarat utama

penyelesaian konflik. Rule of law lebih banyak mengatur tentang

materi dan bentuk hubungan, sedang nilai-nilai moral memandu

bagaimana materi atau bentuk hubungan itu diejawantahkan atau

dieksekusi.

Rule of law adalah konsep bahwa baik pemerintah maupun

rakyat tunduk dan taat kepada hukum. Konsep ini muncul sebagai

pengganti konsep sebelumnya, yaitu rule of man yang lebih merujuk

pada bentuk kekuasaan kerajaan di mana titah raja adalah hukum

itu sendiri. Tidak ada ruang diskusi, tak ada adu argumentasi, tak

ada koalisi dan oposisi karena semua berpusat pada apa yang

144 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

diputuskan raja belaka. Manifestasi paling terkenal dari konsep rule

of man adalah kalimat Raja Prancis, Louis XIV, “l’etat c’est moi”

(negara adalah saya).

Presiden SBY sadar betul akan hal ini. Dia paham, presiden

dan keseluruhan pemerintahan tidak berada di atas hukum. Karena

itu, tak pernah terbersit sedikit pun memberangus kebebasan masya-

rakat. Meski stabilitas selalu menjadi unsur penting pembangunan,

namun pemerintah takkan melakukan pembungkaman seperti sering

terjadi di negara lain. Di Thailand, misalnya, pemimpin kudeta

Jenderal Sonthi Boonyaratglin sempat memanggil semua bos media

di negara gajah putih itu. Dia meminta media massa berhenti

menayangkan reaksi publik atas perebutan kekuasaan oleh militer.

Jenderal Sonthi meminta semua televisi menghentikan

penyiaran pesan tertulis dari masyarakat dalam bentuk running text

dan tayangan lainnya yang memperlihatkan reaksi publik atas

kudeta militer. Beberapa jam setelah kudeta, militer juga menge-

luarkan perintah mengawasi secara ketat media massa lokal maupun

asing. Saluran berita asing seperti BBC dan CNN hilang dari jaringan

televisi kabel Thailand. Bahkan, tentara sudah menyita seluruh

fasilitas transmisi mereka.

Presiden SBY tidak pernah memikirkan kemungkinan semacam

itu. Sejauh ini, menghadapi serangan dan cercaan terhadapnya, yang

banyak dilakukan Presiden hanya memperbaiki komunikasi dan

menggugah keterlibatan masyarakat secara lebih positif. Pemerintah

juga membiarkan siaran langsung sidang paripurna DPR yang

membahas rekomendasi Pansus Century. Padahal, sejak mula,

Pansus itu memang menunjukkan gelagat kurang bersahabat ter-

hadap pemerintah dan menjadikan kebijakan pemerintah sebagai

bahan pertanyaan, bahkan diselidiki kemungkinannya melanggar

peraturan.

Daripada menggugat pelaku demo yang menyamakan dia

dengan kerbau yang lamban dan bodoh, misalnya, Presiden lebih

memilih menyatakan terus terang bahwa demo seperti itu tidak

Mengungkap Kesenjangan Istana 145

patut. Menurut dia, demonstrasi sebagai bentuk pengungkapan

pendapat tak hanya perlu ditilik dari substansinya, namun juga

bentuk atau formatnya. Unjuk rasa dengan cara yang tidak patut,

menurut presiden, menunjukkan dengan jelas perkembangan

budaya bangsa.

“…Karena itu, silakan dibahas dengan pikiran yang jernih,

menyelamatkan demokrasi kita, menyelamatkan budaya kita,

menyelamatkan peradaban bangsa,” lanjut Presiden.

Kedewasaan yang sama dimiliki Wapres Boediono dan Menkeu

Sri Mulyani Indrawati yang tidak mengambil tindakan apa-apa

meski mereka diteriaki sebagai maling menyusul pemberian bailout

terhadap Bank Century. Selain membuka ruang kepada masyarakat

untuk menimbang dan belajar bersikap, pilihan SBY, Boediono, dan

Sri Mulyani untuk diam juga dilandasi kesadaran bahwa tiap

langkah pembelaan mereka cukup sering disalahtafsirkan.

Dengan begitu berkuasanya media massa, siapa pun memang

harus berhati-hati dan jeli saat melakukan komunikasi. Meski secara

formal media massa dibuat memiliki “objektivitas formal” dengan

keharusan balance atau cover both sides, namun sejak tahap paling

asali mereka tak pernah bisa objektif sebagai konsekuensi dari

kewajiban mengambil pilihan.

Ketika dihadapkan pada keterbatasan space (media cetak) dan

durasi (media massa elektronik), maka sejak mula media massa harus

melakukan pilihan: berita apa saja yang akan mereka angkat? Mana

yang akan ditaruh di halaman pertama? Mana yang akan dijadikan

headline? Mana yang dilengkapi foto besar?

Ketika membuat ulasan, siapa nara sumber yang mereka

wawancarai? Berapa banyak mereka mengutip nara sumber A dan

berapa pula porsi yang mereka sediakan untuk nara sumber B? Itu

semua sudah sesuai dengan objektivitas formal yang diminta oleh

jurnalisme. Namun sekaligus, hal itu juga memunculkan pilihan-

pilihan sejak awal berikut konsekuensi keberpihakannya (langsung

maupun tak langsung). Maka, media massa pun bukan sekadar alat

146 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

untuk menggambarkan realitas, namun juga menciptakan gambar-

an-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada

publik (pembaca).

Presiden sendiri cukup sering disalahtafsirkan media dan

masyarakat. Ketika membahas “demo kerbau” yang tidak patut,

mayoritas media massa memotretnya sebagai apa yang disebut

“politik melankolis.” Presiden dianggap terlalu sering “curhat” atau

mengadu kepada rakyat. Padahal, menurut kelompok ini, kehidupan

masyarakat sudah cukup sulit hingga beban mereka tak perlu

ditambah dengan keluhan seorang presiden.

Yang luput dipahami adalah, pernyataan-pertanyaan Presiden

merupakan bentuk komunikasi, ajakan kepada seluruh elemen

bangsa untuk tetap memperhatikan rule of law saat mengekspresikan

kebebasan yang mereka miliki, sebuah kebebasan yang takkan pernah

dipungkiri eksistensinya oleh Presiden. Presiden lebih memilih

mengomunikasikan hal-hal yang menyakitkan baginya–yang ke-

mudian disebut curhat itu—daripada, misalnya, serta merta

mengajukan pelaku “unjuk rasa kerbau” sebagai pelaku tindakan

penghinaan.

Satu pemahaman dasar yang sering dilewatkan adalah arti rule

of law itu sendiri. Kekhawatiran yang banyak disuarakan biasanya

dipicu anggapan bahwa rule of law adalah penegakan seperangkat

aturan yang bersifat top down, dari pemerintah kepada rakyat. Di

dalamnya terkandung kekuatan—dan tendensi—paksa dari peme-

rintah. Secara ringkas, ketakutan itu dipicu pemahaman bahwa

pemerintah ada di atas hukum. Padahal, siapa pun mestinya sadar

di Indonesia yang merupakan negara hukum, tak ada satu pun pihak

yang ada di atas hukum karena hukum itulah yang tertinggi.

Pelaksanaan rule of law tidak hanya berarti pengadilan berhak

mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi di masyarakat,

tetapi juga berwenang mengawasi cara pemerintah menjalankan

tugasnya. Artinya, pengadilan diposisikan sebagai satu-satunya

instansi sekaligus instansi tertinggi (enigste en hoogste instantie) yang

Mengungkap Kesenjangan Istana 147

berwenang menentukan apakah tindakan-tindakan pemerintah itu

benar dan berdasarkan hukum yang berlaku

Ya, semua kebijakan pemerintah adalah objek pula dari

penegakan rule of law itu sendiri. Bila pemerintah bersalah, ia bisa

disanksi pula. Kebijakan yang dianggap tidak pas dengan undang-

undang dasar, bisa diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung.

Pejabat yang sengaja menyelewengkan aturan untuk kepentingan

pribadi, bisa dipidanakan. Lembaga peradilan menjadi penentu yang

mestinya ditaati bersama.

Bila kebebasan diterapkan dengan menabrak rule of law, kondisi

chaos seperti yang terjadi di Thailand akan muncul pula di Indonesia.

Bila itu terjadi, harga yang harus dibayar teramat mahal.

Dampak unjuk rasa anti pemerintah di Thailand yang di dalam-

nya termasuk penutupan Bandara Internasional Suvarnabhumi,

misalnya, lebih mahal daripada biaya untuk merehabilitasi kerusakan

akibat bencana tsunami di akhir 2004 dan biaya akibat wabah SARS

(2003). Rangkaian aksi itu menyebabkan negara rugi 290 miliar baht

(Rp 89,9 triliun). Kerugian itu antara lain 120 miliar baht (Rp 37,2

triliun) pada industri jasa, 90 miliar baht (Rp 27,9 triliun) untuk

logistik, dan 60 triliun baht (Rp 18,6 triliun) pada industri

pariwisatanya sendiri.

Kerugian akibat huru hara politik ini memang tak hanya me-

landa industri pariwisata, namun juga merembet pada industri

lainnya. Jumlah kerugian itu setara dengan 3% nominal GDP.

Tak pelak, Indonesia tak punya pilihan lain kecuali menjaga

situasi tetap smooth. Untuk mencapainya tak ada pilihan lain kecuali

memastikan bahwa demokrasi tumbuh bersama ketaatan terhadap

aturan.

“..Karena itu demokrasi yang hendak kita bangun adalah demokrasi

yang nilai dasar kebebasan mesti berjalan bersama dengan aturan.

Yang kita perlukan adalah demokrasi yang sehat, ada keseimbangan

hak dan kewajiban, mari kita terus dorong demokrasi tumbuh dan

bermartabat,” katanya.

148 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?

Bila hal yang sama terjadi di Indonesia, tentu menjadi kerugian

besar. Apalagi, prestasi demokratisasi sejauh ini tak hanya

memunculkan pujian, namun juga peluang. Kini Indonesia kembali

masuk radar investasi. Tak hanya itu, Indonesia juga diyakini sudah

masuk dalam BRIC, grup negara dengan potensi pembangunan dan

ekonomi luar biasa hingga selalu menjadi incaran tempat

penananman modal para pemain kelas internasional.

Eric Ellis, dalam “Indonesian Reform the Path to Investment”

di Sydney Morning Herald (21 Oktober 2009) menulis:

“…Share market (Indonesia) termasuk yang terbaik di dunia tahun

ini. Malah, banyak komentator menyebut bahwa Indonesia adalah

anggota baru BRIC—Brazil, Rusia, India dan China—, yaitu

kelompok negara yang tak boleh diabaikan perusahaan global.

Indonesia bukannya akan menggantikan India, namun menambah

satu “I” lagi dalam daftar tersebut menjadi BRIIC yang membuat

kumpulan pasar terbesar di dunia ini menjadi makin besar saja…”

Karena itu, apa yang diimbaukan Presiden sekadar penyeim-

bangan antara kebebasan dan rule of law.

“…Kebebasan dan rule of law atau pranata, keduanya diperlukan.

Kalau negara surplus rule of law nanti jadi negara aturan. Kalau

kebebasan demokrasi tanpa rule of law nanti jadi anarkis,” begitu

pesan Presiden saat bersilaturahmi dengan gubernur se-Indonesia

di Kantor Gubernur Kalimantah Tengah, Palangkaraya, Rabu, 2

November 2009 lalu.

Anda setuju?

Mengungkap Kesenjangan Istana 149

99999Koalisi Campursari

Layu SebelumBerbuah

“…Tak perlu belajar ke Eropa atau Amerika. Kalau mau belajar

semangat demokrasi serta kehidupan politik yang bersih dan

bersahaja, bukalah lembaran sejarah demokrasi

Indonesia pada 1950-an…” (Daniel S Lev).

Mohammad Natsir seolah datang dari negeri nan jauh di sana.

Negeri rumah para politikus yang berjuang sungguh-

sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Di negeri itu para politikus

memegang teguh ideologi parpol masing-masing. Amat teguh

pendiriannya. Beradu argumen dengan amat keras, bahkan

tergolong panas. Sangat jelas perbedaannya.

Dan, ini yang membedakannya dengan sekarang. Dalam

pendirian, sikap, pandangan politik, dan ideologi, yang berseberang-

an amat tajam para “bapak-bapak kita” di masa mereka berkuasa

pada periode 1950-an tak menisbikan saling menghormati. Tutur

kata yang sopan sebagai sahabat seperjuangan untuk memerdekakan

Indonesia dari kolonialisme Belanda, mereka junjung tinggi. Tradisi

150 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

budaya bangsa yang ramah begitu kukuh mereka jaga. Sesudah panas

dan keras beradu argumen di ruang parlemen yang sederhana,

mereka rehat meneguk bersama secangkir kopi.

Natsir, yang saat itu adalah tokoh utama Partai Masyumi,

dikenal amat keras memegang pendirian politiknya. Dia politikus

yang amat puritan. Tetapi pendirian politik itu tak merenggangkan

gandeng tangan yang sejati dengan sahabat-sahabatnya yang

kebetulan haluan politiknya berbeda.

Dengan Bung Karno, Natsir sempat berpolemik. Bung Karno

dikritik keras. Dan ini yang patut diteladani politikus masa kini.

Ketika Bung Karno diadili pemerintah kolonial Belanda sebelum

dibuang ke Ende, Natsir maju gagah berani membela proklamator

RI itu. Kebersamaan dan kesetikawaan teramat kental. Mereka

menghidupkan politik. Bukan mencari hidup dari politik.

Tentu di masa itu ada politikus yang berperilaku miring. Hanya

jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Entah mengapa perilaku politik

santun sarat kolegial itu sulit berbenih lagi di masa kini. (Tempo, 14-

20 Juli 2008).

Bung Karno dan Bung Hatta dikenal luas berbeda amat tajam

pandangan politiknya. Tipe kepemimpinannya pun berbeda amat

kontras. Indonesianis Herbert Feith (almarhum) menyebut Bung

Karno seorang pengemban solidaritas (solidarity maker). Bung Hatta

disebutnya seorang administratur (administrator maker). (Feith, 1962).

Tetapi sejarah juga mencatat, “koalisi” atas nama hati nurani

kenegarawanan yang menduetkan dua bapak bangsa ini—meski

pada perjalanannya tak kekal karena Bung Hatta mengundurkan

diri tanggal 5 Februari 1957 (Noer, 1990—di kursi presiden-wakil

presiden pertama RI menjadi amat populer dengan sebutan: dwi-

tunggal.

Rasa kekolegialan berdarah daging saling menghormati ini

seakan tergerus di alam demokrasi multipartai saat ini. Etika politik

dengan tradisi budaya kesetiakawanan amat mulia yang diajarkan

para pendiri republik ini seolah membekas. Tidak jadi pelajaran bagi

Mengungkap Kesenjangan Istana 151

para politikus masa kini yang sarat dengan berbagai gelar akademik.

Tak tersisa dalam mentalitas dan naluri politik mereka.

Terlalu ekstrim mungkin. Karena bisa jadi tidak semua politikus

generasi sekarang seburuk yang kita temui. Mungkin banyak pula

politisi negarawanan sekelas Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, atau

yang lain. Hanya mereka masih di jalan gelap untuk menunjukkan

jati dirinya yang sejati. Tergelapkan karib mereka yang belum

terentas dari lembah nista moral politik yang buruk.

Ke depan, optimisme tetap terbuka. Toh, kadang optimisme

ini tergerus oleh kenyataan akrobat-akrobat buruk politikus kita yang

tidak mengambarkan sikap kenegarawanan. Oleh sebab itu, semoga

reportase sekilas silang argumen dalam rapat-rapat Pansus Hak

Angkat DPR tentang Bank Century hanyalah contoh soal sumir

yang tak mencerminkan perilaku, etika, dan moral semua politikus

kita saat ini.

Dengan pikiran waras kita rindu perbedaan politik apa pun—

sejuah apa pun perbedaan itu—toleransi tetap terpelihara. Tak

enteng sikap untuk terburu-buru menyalahkan lawan politik. Benar,

politik itu adalah siapa memperoleh apa. Koalisi di mana pun isinya

kurang lebih sama. Sharing kekuasaan. Namun, yang waras pasti

ingat ada batasan etis dalam moral berkuasa. Singkatnya, kekuasaan

itu jangan dianggap segala-galanya.

Bung Hatta berkoalisi dengan Bung Karno. Dwi tunggal ini

kawan sekaligus berteru paham dan pandangan politik. Hatta, sering

“bertengkar” dengan Bung Karno. Di saat yang sama wakil presiden

pertama RI ini tetap menjaga hubungan persaudaraan yang santun

dengan Bung Karno. Misalnya suatu ketika dia tak sejalan tentang

sistem pemerintahan yang efisien:

’’…Ada baiknya diberi fair chance dalam waktu yang layak kepada

Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu

akan menjadi suatu sukses, atau suatu kegagalan...’’ (Noer, 1990)

Di zaman yang berbeda kita menyaksikan dengan mata sendiri.

Ada sepak terjang politikus generasi sekarang yang rasanya tak

152 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

cukup elok untuk dipandang.

Dengan intonasi suara melengking, Ruhut Poltak Sitompul dari

Fraksi Partai Demokrat (FPD) mengintrupsi pimpinan rapat, Gayus

Lumbun. Rapat malam itu (5 Januari 2010) tiba-tiba panas karena

ulah Ruhut. Ia menuding Gayus tak tegas memimpin rapat. Gayus,

politisi asal PDI Perjuangan itu emosi. Tersinggung ucapan Ruhut,

Gayus balik menuding Ruhut karena dianggap tidak sopan.

’’Pemimpin, yang tegas dong. Masih ada fraksi lain yang belum

dapat giliran,’’ kata Ruhut.

’’ Tolong diatur yang benar. Jangan nanti pimpinan keluar lagi,’’

kembali Ruhut melanjutkan intrupsinya.

’’Memang Anda pernah lihat saya keluar,’’ balas Gayus dengan

nada sengit.

Ruhut menilai Gayus terlalu otoriter memimpin rapat. Ia juga

menyebut-nyebut Gayus profesor. Selain anggota DPR, Gayus

memang guru besar di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

’’Anda jangan kurang ajar menyebut-nyebut profesor,’’ tegas

Gayus.

’’ Kalau nggak senang lempar palu ke aku,’’ Ruhut tak terima

disebut kurang ajar.

Gayus menuding Ruhut selalu mengganggu jalannya rapat

dengan pernyatan-pernyataan yang meminta partainya Gayus,

PDI Perjuangan, menarik dia dari keanggotaan pansus.

‘’Nggak ada hubungannya. Saya Demokrat, Anda PDIP,’’ balas

Ruhut sengit.

’’Diam kau bangsat, ’’kembali Ruhut menggertak Gayus. (Berita

Fenomenal, Wordpress.com, 6 Januari 2010).

Sampai episode-episode berikutnya gertak menggertak antar

anggota pansus terus meramaikan panggung rapat di DPR. Sekali

Mengungkap Kesenjangan Istana 153

waktu, Ruhut mengatakan bahwa PKS sebagai anggota koalisi

pendukung pemerintahan SBY dianggap sudah out. ’’PKS sudah

kita buang ke laut,’’ katanya. Esoknya, anggota pansus asal FPKS,

Fahri Hamzah, membalas. ’’Ruhut itu radio rusak,’’ katanya.

Entah episode-episode apalagi yang bakal kita saksikan di

waktu-waktu selanjutnya. Lebih buruk. Atau, siapa sangka, justru

mereka bangkit dan belajar atas situasi hari ini agar lebih baik

berikutnya. Bahwa mereka sadar untuk berubah menjadi lebih baik.

Mereka wakil rakyat. Atas nama rakyat. Menjadi tidak elok kalau

rakyat diberi tontonan atraktif tentang perilaku yang kurang

mempesona. Rakyat perlu tuntunan etis tentang moral berperilaku

politik yang indah dan satun.

Ironi Kebhinekaan

Dwi-tunggal dalam ranah kebhinekaan Indonesia lebih dari

sekadar pengertian dua jadi satu atau dua orang bergabung jadi

satu. Ibarat pinang dibelah dua. Tidak juga hanya diartikan

kebersamaan dua orang yang intim. Dwi-tunggal adalah wacana

filosofis tentang moral dan etika; tentang kebersamaan,

persaudaraan, dan perjuangan yang sejati secara bersama-sama. Di

dalamnya memiliki nilai-nilai peradaban mulia yang agung.

Dalam konteks koalisi politik dapatlah pula dipahami bahwa

dwi-tunggal adalah koalisi yang tak hanya mensyaratkan kesamaan

dan persamaan platform dan ideologi partai politik. Di sana ada

perasaan setia kawan yang karib, kekeluargaan, dan kebersamaan

dalam perbedaan. Visi dari semua ini ialah ikhtiar dan aksi nyata

untuk mewujudkan tanggung jawab sosial politik yang didasari

semangat kebhinekaan—pluralisme—untuk berjuang bersama-sama

memajukan bangsa. Prinsip yang dianut adalah masalahmu adalah

masalahku. Bukan, masalahmu adalah bahan bagiku untuk

menyerangmu.

Dengan dasar moral dan filosofis dwi-tunggal tersebut, dapat

menjadi inspirasi dan referensi politik yang dapat menjadi roh dan

154 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

semangat yang mempererat tali koalisi.

Ikhtiar itu terasa kuat tersirat dalam suatu langkah politik

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat maju lagi jadi calon

presiden (capres)—berduet dengan Boediono sebagai calon wakil

presiden (cawapres)—SBY bukan hanya menatap ke depan sebatas

memayoritaskan suara dan kursi di DPR agar pemerintahannya tidak

gampang digoyang dari gedung DPR-MPR. Koalisi antarparpol—

yang kemudian disepakati melalui kontrak politik itu—dilandasi niat

baik (good will) untuk membangun tali kebersamaan dalam

kebhinekaan di pemerintahan.

Dengan begitu kebhinekaan dalam koalisi besar itu diharapkan

dapat membulatkan tekad dan aksi untuk mempercepat kemajuan

bangsa. Diajaklah PKS, PAN, PPP, dan PKB untuk “berkolega”

dalam barisan koalisi yang dikomandani Partai Demokrat sebagai

pemenang Pemilu 2009.

Bahwa koalisi besar yang dibangun Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) tak cuma diniati hendak memayoritaskan

dukungan di DPR bisa dilihat dari perluasan kesempatan bagi parpol

lain untuk ikut dalam koalisi besar. Diajak pulalah parpol yang gagal

memperoleh kursi atau gagal meloloskan kadernya di DPR-MPR

pada Pemilu 2009. Mereka, antara lain, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN,

PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB,

PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, dan Partai PDI.

Kalau tujuannya hanya untuk memayoritaskan dukungan

politik di parlemen, barangkali tidaklah banyak gunanya mengajak

parpol-parpol nonparlemen ke dalam koalisi parpol pendukung SBY-

Boediono. Hanya meribetkan. Menambah-nambah masalah saja.

Dengan kata lain, koalisi besar yang dibangun Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono untuk memperkuat roh kebhinekaan bangsa.

Dengan begitu tanggung jawab untuk memberikan dukungan pada

pemerintahan Presiden SBY tidak hanya dibebankan pada Partai

Demokrat sebagai pemenang pemilu. Parpol lain pun ikut serta

untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Mereka diajak

Mengungkap Kesenjangan Istana 155

bergotong royong membangun kebersamaan yang etis buat

memenuhi amanah rakyat yang dimandatkan melalui Pemilu 2009.

Haruslah dipahami bahwa mandat rakyat untuk memperjuang-

kan kepentingannya tidak hanya dibebankan kepada parpol peraih

suara terbanyak dalam pemilu—Partai Demokrat. Parpol yang tak

meraih suara siknifikan, malah pula yang tak punya kursi di

parlemen juga mendapatkan mandat kurang lebih serupa.

Jadi, kalau pun gagal dalam pemilu tak dengan sendirinya

berhenti mengartikulasikan mandat rakyat. Parpol-parpol itu tetap

dituntut memperjuangkan aspirasi rakyat dengan cara lain. Dalam

hal ini turut masuk ke dalam barisan parpol koalisi pendukung

pemerintahan hasil pemilu.

Tentu, good will itu tak terbayangkan bertepuk sebelah tangan.

Apalagi sampai ada dusta di antara mereka—parpol anggota koalisi.

Etika politik kebersamaan itu, dicita-citakan pula datang dari hati

yang dalam para pimpinan dan semua kader parpol anggota koalisi.

Jadi ada atau tidak ada kontrak politik antarparpol koalisi pen-

dukung, SBY tetap berkomitmen untuk “satu suara” di parlemen

seharusnya diikuti pula oleh para kader-kadernya. Satu barisan. Tak

ada yang saling cemooh. ’’SBY ingin koalisi itu jujur sepenuh hati,’’

kata Rocky Gerung dari FISIP UI (Kompas, 17/01/2010).

Dorongan membentuk koalisi ini bersifat universal. Negara

mana pun yang memilih sistem multiparpol yang dikombinasikan

dengan sistem presidensial, jika hasil pemilu tak menghasilkan

parpol pemenang mayoritas mutlak, parpol pemenang itu pasti

mengajak parpol lain untuk membangun koalisi. Terutama di

parlemen. Niatnya, kurang lebih serupa. Agar keputusan-keputusan

pemerintah tidak dihadang di gedung parlemen.

Tak jauh-jauh amat dari sini. Di Jepang, hasil Pemilu 2009 tak

menghasilkan parpol pemenang mutlak. Partai Demokrat Jepang

(DPJ) yang menang pemilu tak mayoritas mutlak itu perlu mengajak

kerja sama dua parpol gurem untuk membentuk pemerintahan

koalisi. Dua parpol gurem itu, Partai Sosial Demokrat (SDP) dan

156 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

partai konservatif—Partai Rakyat Baru (PNP).

Partai Demokrat Jepang (DPJ) yang berhaluan tengah-kiri,

meraih kemenangan. Partai ini meraih suara mayoritas di Mejelis

Rendah. Namun, di Majelis Tinggi Partai Demokrat Jepang tidak

berkuasa mutlak. Untuk mencegak penghadangan rencana pem-

buatan undang-undang baru maka DPJ mengajak SDP dan PNP

membentuk pemerintahan koalisi. (Radio Nederland Wereldomroep,

9/09/2009)

Di Eropa, sejak Perang Dunia II 1945 koalisi dijalin lebih banyak

berdasarkan persamaan program. Koalisi karena persamaan ideologis

semakin jarang terwujud. Di sana, parpol kanan dan kiri—yang

dari nama itu saja sudah tercermin perbedaan ideologi—bisa

bergabung dalam jalinan koalisi. Di Belanda, Partai Kristen Demokrat

bisa intim berkoalisi dengan Partai Hijau Kiri. Di Jerman kurang

lebih sama. Partai Kristen Demokrat, Partai Liberal Demokrat, dan

Partai Sosial Demokrat bisa “bertegur sapa” dalam koalisi yang

kukuh. Tidak mudah memang. Jalan untuk membangun koalisi

terkadang amat rumit, bahkan melelahkan.

Di Belanda, ada formatur koalisi yang dipimpin parpol

pemenang pemilu—direstui ratu. Dialah, si formatur ini, yang

melakukan negosiasi platform dengan parpol-parpol yang diajak

koalisi. Dan, begitu kesepakatan koalisi tercapai, mereka seolah

memegang sumpah. Tidak saling menjatuhkan. Tak ada caci maki.

Mustahilkah keterikatan koalisi seperti di Eropa untuk menjadi

pelajaran di sini?

Agaknya bukan sekolah formal saja yang perlu ke Eropa.

Sekolah etika demokrasi pun perlu pula ke sana, meskipun bagi

Daniel S Lev berguru demokrasi ke Eropa adalah hal ironi. Kata

Lev, kalau mau sekolah etika demokrasi, cukuplah “memutar ulang”

dokumen sikap-sikap santun sarat pertemanan dalam kebhinekaan

yang diperlihatkan Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, dan para pendiri

republik ini.

Saat mereka di puncak kekuasaan politiknya pada 1950-an,

Mengungkap Kesenjangan Istana 157

ketika saling berhadapan sebagai sesama politikus, di antara para

sesepuh negawaran itu tak memosisikannya sebagai musuh besar.

Sesama mereka hanya kawan, kolega yang berseberangan pendapat

tentang perjuangan meraih masa depan bangsa yang lebih baik. Tak

ada caci maki. Tanpa fitnah negatif yang membunuh karakter pribadi

masing-masing.

Koalisi Campur Sari

“ Tahun pertama berseri-seri

Tahun kedua menyesuaikan diri

Tahun ketiga saling iri

Tahun keempat saling caci maki

Tahun kelima jalan sendiri-sendiri.”

Ini puisi yang pernah ditulis para aktivis pemuda di Surabaya.

Mereka menyindir pasangan koalisi walikota-wakil walikota—

mungkin benar mungkin pula salah—hasil Pilkada (pemilukada)

2005 yang menurut para aktivis itu hanya kompak beberapa tahun

saja setelah pemilukada. Setelah itu, kongsi politik (koalisi) pecah.

Walikota dan wakil walikota saling menjauh. Jalan sendiri-sendiri

untuk kepentingan mereka sendiri. Tak peduli masyarakat yang jadi

korban persaingan politiknya.

Gejala ini meskipun naif, terasa merusak etika demokrasi,

lumrah terjadi hampir di semua daerah di tanah air ini. Bukan hanya

di level pemilukada kabupaten-kota. Di pemilukada provinsi sama

dan nyaris serupa, setali tiga uang. Gubernur dan wakil gubernur,

walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati maju

sendiri-sendiri menjadi calon orang nomor satu di pemilu

berikutnya.

Kompetisi politik yang demokratis memang memberikan

kesempatan yang setara terhadap semua orang untuk dipilih dan

memilih secara bebas dan otonom. Yang sering diabaikan, memin-

jam itermezo prokem masa kini “emang gue pikirin,” dalam

persamaan untuk memilih dan dipilih terdapat modal sosial yang

158 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

disebut kompetensi. Ada norma-norma yang patut dan tidak patut.

Memanfaatkan kesempatan yang sama dan kebebasan dalam

sistem politik demokratis memang tak melanggar UU No. 10/2008

tentang Pemilu dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang sempat direvisi secara terbatas pada tahun 2008, yakni UU No

12/2008. Sah-sah saja. Namun, norma kepantasan, patut dan tidak

patut berlaku universal. Ini kembali ke nurani masing-masing. Sebab,

patut dan tidak patut dalam banyak hal bersinggungan dengan rasa

malu atau tidaknya seseorang kepada orang banyak.

Di banyak daerah, duet kepala daerah—gubernur dan wakil

gubernur, walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil

bupati—sudah berantakan ketika rakyatnya belum menikmati buah

prestasi pemimpin politiknya yang dijanjikan di panggung kam-

panye. Ketika duet itu tak sampai lima tahun, kepemimpinan sudah

harus buyar karena ego masing-masing. Duet itu tidak bisa menahan

diri untuk terus mengabdi kepada rakyatnya hanya karena dorongan

untuk bersaing jadi orang nomor satu di daerah. Bagi kebanyakan

kepala daerah yang wakilnya berbeda partai bahkan kadang-kadang

tidak akur, berkompetisi dalam memerintah.

Dengan kata lain, pemerintahan daerah hasil koalisi yang

seharusnya bekerja keras untuk menyejahterakan dan memakmur-

kan daerahnya menjadi tidak fokus bekerja. Mereka terseret

kepentingan pragmatisnya. Ingin segera menjadi orang nomor satu.

Celakanya, keduanya—kepala daerah dan wakil kepala daerah—

mengklaim mengklaim paling pantas untuk memimpin daerah.

Dorongan berkuasa yang mengaburkan rambu-rambu ketidak-

patutan menjelang pemilukada 2010, bukanlah pepesan kosong.

Datanglah ke Surabaya. Atau, mungkin pula potret serupa ditemui

di kota-kota besar lain di tanah air ini, yang juga akan melakukan

hal yang sama.

Di Surabaya, Walikota incumbent saat ini segera menyelesaikan

dua periode pemerintahannya. Tapi, dia enggan purna tugas. Karena

konstitusi hanya membolehkan kepala daerah menjabat dua kali

Mengungkap Kesenjangan Istana 159

periode saja, dibuatlah siasat. Demi bertahan di puncak kekuasaan

di Surabaya, si kepala daerah ingin tetap maju lagi pada pemilukada

tanggal 2 Juni 2010. Tidak sebagai calon orang nomor satu. Dia

“ikhlas” turun posisi. Hanya maju menjadi calon wakil walikota.

Tak ada aturan yang dilanggar memang. Hanya nurani kita

berdegub-degub. Patutkah hal itu? Pantaskah hal itu dilakukan?

Kita hanya dapat bertanya soal kepantasan dan kepatutan, karena

memang Undang-undangnya tidak melarang.

Di Kabupaten Kediri preseden ketidakpatutan lebih buruk lagi.

Bupati incumbent punya dua istri. Dia poligami. Karena bupati

incumbent ini sudah dua periode menjadi bupati Kediri—tidak bisa

maju lagi—giliran istri tua dan istri mudanya bersaing untuk maju

menjadi calon bupati Kediri. Dua istri yang dipoligami itu bersaing

untuk menggantikan sang suami.

Kini, baliho-baliho bergambar dua istri bupati berjejer-jejer

menyesaki pohon, tiang listrik, dan gedung-gedung di kota tahu

itu. Istri pertama, ngotot untuk mendapatkan tiket dari sejumlah

partai. Istri kedua, tak mau kalah. Dia juga terus menggalang

kekuatan untuk menjadi calon bupati dengan tiket dari parpol

berbeda. (Jawa Pos, 27 Ferbuari 2010). Suatu anomali politik yang

mungkin tidak ditemukan di negara lain.

Reportase sekilas pemilukada, sepintas mungkin benar adanya.

Mungkin juga salah. Apa pun hasilnya—jadi maju atau tidak dalam

contoh dua istri Bupati Kediri—tetap saja akan menjadi preseden

buruk bagi demokrasi kita, dan norma kepatutan. Memang tidak

ada aturan yang dilanggar. Tidak pula ada pasal dalam UU No 32/

2004 yang ditabrak. Sedemikian itu, tetaplah menggelikan.

NamunGgambaran di atas mengilustrasikan sedang tumbuhnya

klien-klien dan dinasti politik, suatu model baru dinasti politik di

beberapa daerah yang belum pernah kita temukan sebelumnya.

Demokrasi yang memberi ruang lega bagi persamaan dan

kebebasan secara otonom justru dimanfaatkan dengan murahan.

Tidak elegan. Menjauhi keadaban politik. Hanya ditunggangi

160 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

kepentingan unjuk ego politik. Pamer nafsu berkuasa yang tidak

patut.

Pada saat pemilihan presiden 2009 yang lalu, gambaran koalisi

parpol yang tercemin hingga kini barangkali dapat diibaratkan

sebagai koalisi campursari. Disebut campursari karena koalisi

antarparpol bukan hanya warna-warni politiknya, ibarat pelangi.

Juga disebabkan oleh rentan dan renggangnya koalisi, alias mudah

goyah. Koalisi demikian ibarat lagu, jika tak ada “lagu baru,” barisan

koalisi terkesan solid. Begitu muncul “lagu gubahan, “ dengan

aransemen yang baru, tiba-tiba berubah. Irama pun turut berubah.

Bisa keras seperti lagu-lagu cadas (rock). Bisa berubah jadi pop, jazz,

atau dangdut. Bergantung pesanan dan permintaan penggemarnya.

Mirip irama campursari yang gado-gado.

Dalam bahasa lain dapat dipahamai bahwa pengalaman dua

kali pilpres telah memberikan kesan kuat bahwa motif koalisi tidak

sepenuhnya didasari komitmen untuk menciptakan pemerintahan

yang efektif. Kesan yang dapat dipahami lebih terasa akan adanya

motif sharing mendapatkan kekuasaan, terutama parpol non-

pemenang pemilu.

Langgam yang bisa dirasakan ialah komitmen koalisi yang

disepakati pimpinan parpol jarang merembes menjadi semangat

serupa di level kader atau fraksi di DPR hingga DPRD. Ketika sesama

kader parpol anggota koalisi ada yang dapat jatah kekuasaan, jumlah

mereka banyak sementara tempat yang tersedia terbatas, tidak

kebagian, seolah sudah jadi mafhum segera munculkan agregasi-

agregasi faksi di internal parpol.

Lalu, ketika faksi-faksi makin mengental, sikap atau pandangan

yang keluar menjadi tidak satu suara. Celakanya, kadang suara yang

keluar lebih keras dari suara parpol yang sedari awal memilih di

luar koalisi.

Dalam rapat-rapat Pansus Hak Angket Bank Century, friksi-

friksi semacam itu amat mencolok. Kecuali Partai Demokrat dan

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), parpol anggota lain koalisi

Mengungkap Kesenjangan Istana 161

pemerintahan SBY-Boediono, sikapnya malah oposan. Fraksi Partai

Golkar (FPG) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), amat

dan teramat keras menentang kebijakan bailout (penalangan) Bank

Century yang merupakan produk pemerintahan koalisi yang

didukungnya. FPG dan FPKS tak ada bedanya, dengan Fraksi PDI

Perjuangan dan Fraksi Partai Hanura yang memilih oposisi.

Sebagian lagi, Partai Amanat Nasional (PAN) memilih bermain

aman. Abu-abulah. Hari ini terkesan keras menentang, esok hari

berputar-putar dulu. Berulah setelah itu kita harus memberikan

kesimpulan bahwa PAN memberi isyarat mendukung kebijakan bail

out.

Dari amatan terhadap pengamanan dua kali pilpres, 2004 dan

2009, ada dua hal yang tampaknya memicu koalisi menjadi rentan.

Di tengah jalan, anggota koalisi sering jalan sendiri-sendiri sesuai

kepentingan politik sesaat. Pertama, belum banyak parpol memiliki

“orang kuat” di kursi orang nomor satu. Sering terjadi, suara orang

nomor satu—dan orang-orang sekitarnya yang sejalan—tak dengan

sendirinya diikuti suara serupa oleh orang-orang partai di level-level

berikutnya. Tidak satu suara.

Gambaran berikutnya sederhana saja. Pilihan-pilihan politik

yang diambil—termasuk pilihan untuk atau tidak berkoalisi—tak

otomatis diikuti kader-kader lain. Terlalu beragam kepentingan

politiknya.

Dalam sejumlah kesempatan, Taufik Kiemas, mengatakan

bahwa partainya, PDI Perjuangan, membuka kesempatan untuk

koalisi. Semua tahu, ternyata suara Kiemas bukan representasi

partainya. PDI Perjuangan tetap kukuh memilih jalur di luar

pemerintahan.

Menanggapi Pansus Hak Angket DPR tentang Bank Century,

Kiemas dengan enteng mengatakan tidak ingin menyebut nama

pihak-pihak tertentu yang dianggap bertanggungjawab dalam

penyaluran dana bail out (penalangan) ke Bank Century.

Seperti sikap Kiemaskah suara anggota pansus dari Fraksi PDI

162 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

Perjuangan? Ternyata tidak. Semua tahu, dalam pandangannya,

anggota Pansus dari Fraksi PDIP menyebut terang benderang nama-

nama yang dimaksud.

Di Partai Amanat Nasional (PAN) sama saja. Ketua Umum

Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN M. Amien Rais berulang-

ulang mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani harus

diberhentikan. Amien juga menerima Tim 9 Pansus Bank Century.

Amien minta agar DPR menyebut seterang-terangnya pihak yang

dianggap bertanggung jawab terkait bailout.

Nyatanya suara Amien tak dimakmumi anak buahnya. Anggota

Pansus dari PAN berusaha agar koalisi tetap solid. Salah satu Ketua

DPP PAN Patrialis Akbar malah mengatakan bahwa tidak ada yang

salah dalam penyaluran dana bailout Bank Centry (Jawa Pos, 28

Februari 2010).

Kedua, pimpinan parpol sering tak dapat menahan diri ketika

harus memilih untuk maju dalam kompetisi politik seperti pilpres

atau pemilukada.

Dengan kata lain ketika koalisi menjadi gembos tak serta merta

karena masalah eksternal. Sering karena penggembosan dari internal

parpol karena kepentingan yang majemuk serta faksi-faksi yang tidak

bisa dikelola menjadi kekuatan yang solid.

Ada pula karena motif masuk koalisi amat fragmatis. Dengan

cara apa pun yang penting bisa mendapatkan bagian dari kue ke-

kuasaan. Ketika motif berkoalisi condong demikian, tak jika mereka

masuk koalisi hanya dengan satu kaki. Satu kaki ada di koalisi yang

diharapkan menang dalam kompetisi politik seperti pilpres. Satu

kaki lainnya menunggu di luar. Kaki yang di luar ini bisa bergerak

ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Jaga-jaga. Jika koalisi

gagal menang, dalam sekejap kaki yang nunggu di luar, meminjam

lagu Mulan Jameela, sudah hijrah ke “lain hati.” Koalisi seperti

inilah yang patut disebut koalisi campur sari. ’’Koalisi setengah hati,’’

kata Rully Chairul Azwar.

Mengungkap Kesenjangan Istana 163

“ ... Koalisi yang ada sekarang ... hanyalah koalisi semu. Pola

dukungan bisa berubah-ubah berdasarkan isu dan kepentingan

pencitraan masing-masing partai. Alasan yang dikemukakan karena

partai anggota koalisi tak ingin mati-matian membela pemerintah.

Juga karena partai koalisi harus menyalurkan aspirasi rakyat.

Karena itu koalisi itu sangat cair dan lemah..” (Azwar, 2009).

Rully mencoba memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai

hal itu. Menurut kader Golkar ini, koalisi sering menjadi setengah

hati karena ada sebab-sebab lain. Mengutip C Rudd, kata Rully,

koalisi parpol dalam negara yang menganut sistem multi partai

dengan pemilu proporsional sering parpol yang bersangkutan merasa

dirugikan. Parpol anggota koalisi dalam sejumlah hal harus manahan

diri untuk membuat program partai yang sebenarnya menarik

perhatian pemilih. Mengapa? Karena parpol tersebut harus

menyesuaikan diri dengan arah program dan kebijakan koalisi.

Dalam wilayah berbeda ego seperti itu, posisi pimpinan partai

perlu dijadikan pertimbangan dalam melihat efektivitas koalisi.

Pepatah Jawa ini: rumongso, neng ora rumongso mengambarkan ego

seseorang yang merasa besar dan mampu. Jika yang rumongso neng

ora rumongso, ditarik ke wilayah koalisi mungkin saja mengganggu

soliditas koalisi.

Rumungso neng ora rumongso dapat menyimpulkan sikap sering

tidak mau mengalah. Tidak bisa menahan diri. Merasa paling bisa.

Aku bisa. Kamu tidak. Tidak mau mengalah. Oleh sebab itu, kadar

toleransi menjadi amat rendah. Dalam tataran praktis politik,

wujudnya, antara lain, saling menyalahkan. Mudah menuding

kelemahan sesama anggota koalisi.

Di mana pun komitmen koalisi bermula dari kompromi. Tidak

saling menonjolkan perbedaan. Yang diutamakan simpul-simpul

persamaan. Kalau pun tidak tercapai kompromi maka tenggang rasa

perlu diperlihatkan. Ketika Natsir gagal mencapai kompromi dengan

Bung Karno yang mengakibatkan Partai Masyumi dibubarkan, dia

tetap dapat mengendalikan emosinya. Dengan tetap santun bin etis,

164 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

Natsir hanya berujar, ’’kami sepakat untuk tidak sepakat.’’ Tak

menyakiti lawan politiknya. Tanpa fitnah yang menyulut aksi-aksi

anarki.

Dalam contoh lain, sepakat untuk tidak sepakat ini secara relatif

pernah diperlihatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY

hendak mengajak PDI Perjuangan melalui Ketua Dewan

Pertimbangan Pusat (Deparpu), Taufiq Kiemas, masuk koalisi. Meski

PDI Perjuangan akhirnya memilih tetap di luar pemerintahan, SBY

tetap mesra dengan Kiemas. Bahkan terpilihnya Kiemas menjadi

ketua MPR mendapat dukungan Partai Demokrat melalui SBY.

(Tempo, 31 Agustus-6 September 2009).

Kepentingan subjektif dan egoistik tiap-tiap parpol memang

momok yang jadi hambatan serius koalisi. (Giovanie, 2004). Koalisi

pun menjadi rentan retak sebelum perjalanan pemerintahan yang

didukungnya menyelesaikan tugas periodiknya.

Memang pada simsul inilah persoalannya ketika koalisi

merupakan keniscayaan lantaran dalam pemilu tidak ada partai

meraih suara mayoritas mutlak. Tawar menawar menguras energi

besar. Padahal menyertai tawar menawar itu beragam kepentingan

politik muncul. Celakanya, jika pun koalisi berhasil dibentuk tak

ada jaminan bisa langgeng.

Beragamnya kepentingan politik. Egoisme elite parpol yang

kuat. Buruknya etika politik. Dan, pilihan-pilihan politik yang ber-

ubah-ubah, kian mengukuhkan koalisi parpol di negeri ini ibarat

irama campursari. Koalisi gampang goyah oleh tuntutan dan

desakan situasional yang instan.

Koalisi pendukung pemerintahan SBY kian terasa lemah di

parlemen. Fraksi Partai Demokrat (FPD) sebagai pemimpin koalisi

belum dapat menjadi “induk” yang nyaman. Yang terasa di luar

parlemen, Fraksi Partai Demokrat kurang lincah. Tidak cekatan.

Lemah membangun komunikasi lintas partai koalisi agar dapat saling

memahami untuk berjalan di rel yang sama untuk mendukung

pemerintah.

Mengungkap Kesenjangan Istana 165

Ini, terutama, terasa ketika FPD berhadapan dengan fraksi

partai besar, baik fraksi sesama koalisi maupun fraksi dari parpol

yang memilih di luar pemerintahan (oposisi). Dengan Fraksi Partai

Golkar (FPG) dan Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP), misalnya. Dari

luar gedung DPR terasa, Fraksi Partai Demokrat—semoga ini tidak

benar—justru sering ditinggalkan FPG. Sedangkan FPDIP sering

begitu mudah “menyerang” FPD. Dalam situasi demikian, FPD

sering berada pada posisi yang defensif.

Kalau sudah demikian, lantas, siapa yang bisa bilang kalau

koalisi gado-gado ini bisa efektif sebagai koalisi pendukung

pemerintah? Sekalipun orang tahu pemerintahan pimpinan duet

Presiden SBY-Wakil Presiden Boediono hasil pemilu yang jurdil dan

demokratis.

Apa pun, kita terus berharap—tentu dengan optimistik—

perubahan dan perbaikan format politik, sistem demokrasi, dan

etika politik yang unggul-mulia, dapat segera menjelang. Semoga

tak jadi cermin ucapan Schiller, pujangga Jerman:

’’ Suatu abad besar telah lahir

Namun ia menemukan generasi kerdil.’’

166 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah

Mengungkap Kesenjangan Istana 167

1010101010Tak Sabar Menunggu

Siklus 5 Tahunan

17 Agustus 1998

Bill Clinton duduk tegang di depan grand jury. Seperangkat

alat perekam seperti mengancamnya. Setelah beberapa jenak

dikuasai kesunyian yang menekan, suara Clinton akhirnya keluar

dalam getar: “Ya, saya pernah memiliki hubungan fisik yang tidak

patut dengan Lewinsky.”

Sore harinya, Clinton membuat publik dunia tercengang. Wajah

kuyunya tampil dalam siaran televisi nasional. Dia akui punya

hubungan dengan Lewinsky, dan hubungan itu bukanlah hubungan

yang pantas dan bisa dimengerti.

Ya, saat itu presiden ke-42 AS itu tak bisa lagi bersembunyi.

Pengakuan panjang Monica Lewinsky –hasil pertukaran dengan

kekebalan dari tuntutan hukum—memojokkan mantan Gubernur

Negara Bagian Arkansas itu. Gaun biru Lewinsky yang ternoda

cairan semen sang presiden meneriakkan satu kata dengan lantang:

skakmat!

Tak menunggu lama, detil affair Clinton dan Lewinsky itu

langsung tersebar. Termasuk, bahwa Clinton melakukan oral seks

saat melakukan tugas negara yang penting: berdiskusi via telepon

168 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

dengan salah satu anggota Kongres dari Partai Republik tentang

pengiriman pasukan penjaga perdamaian AS ke Bosnis Herzegovina.

Mungkin rakyat Bosnia akan marah mengetahui nasib bangsanya

didiskusikan dalam situasi yang tidak pantas seperti itu. Media massa

yang sudah memiliki versi lengkap atas affair itu, langsung mengudar

cerita perselingkuhan dari istana itu dalam beragam format. Penga-

kuan Clinton layaknya bendera start bagi dimulainya satu lomba

yang dimulai sejak 17 Januari 1998 di situs Drudge Report. Berita

itu melaporkan bahwa para redaktur majalah berita Newsweek

enggan memuat tulisan wartawan investigatif mereka, Michael

Isikoff tentang skandal Clinton dan Lewinsky. Keengganan redaktur

Newsweek saat itu tentu memancing keingintahuan media-media

lain.

Sejak itu, Clinton dan orang-orangnya sibuk melakukan pem-

belaan. Tak terhitung penyangkalan yang mereka buat. Namun,

suara dari dalam Gedung Putih sendiri, dari para staf yang tadinya

tak berani bicara, lebih lantang menyatakan kebenaran skandal itu.

Delapan bulan sejak itu, setelah pengakuannya menjadi breaking

news di mana-mana, memicu para produser membuat aneka talk

show paling menarik dan memaksa koran mengambil headline yang

sama, Clinton terpojok sendiri. Andai kata waktu bisa diputar ke

belakang, ia ingin mengganti semua kesaksiannya sebelumnya yang

dipenuhi penyangkalan.

Salah satu yang paling diingatnya tentu penyangkalannya pada

26 Januari 1998. Saat itu, didampingi istrinya Hillary Rodham,

Clinton berkata tegas:

“…Sekarang saya harus kembali mengerjakan pidato State of the

Union. Saya mengerjakannya hingga larut malam. Namun, ada satu

hal yang ingin saya katakan pada warga AS. Saya ingin Anda semua

mendengarkan saya. Saya akan mengatakannya sekali lagi: saya

tidak punya hubungan seksual apa pun dengan wanita itu, Nona

Lewinsky. Saya juga tak pernah meminta orang lain berbohong, tidak

sekali pun, tidak pernah. Semua tuduhan itu salah. Kini saya harus

Mengungkap Kesenjangan Istana 169

kembali bekerja untuk seluruh warga AS, terima kasih…”

Sungguh sebuah penyangkalan yang demikian tegas. Penyang-

kalan yang, bersama sejumlah kebohongan Clinton yang lain dalam

persidangan, menjadi senjata ampuh bagi para pengacara untuk

balik memukulnya.

Hillary ikut pusing tujuh keliling. Selama berbulan-bulan

Clinton diperiksa, wanita yang kini menjadi Menlu AS itu setia

membela suaminya. Dalam acara Today di NBC, 27 Januari 1998,

dia dengan yakin menuduh bahwa skandal ini hanyalah rekayasa

dari mereka yang tak ingin Clinton memerintah.

“…Cerita besar bagi siapa pun yang ingin mencari tahu, menulis,

atau menjelaskan adalah, ada konspirasi sayap kanan yang sangat

luas yang sudah berkonspirasi melawan suami saya sejak pertama

dia dinyatakan sebagai presiden,” kata Hillary.

Namun demikian, Clinton sudah mengaku. Semua “meriam”

mengarah padanya. Yang pertama berasal dari Hakim Susan D.

Webber Wright menetapkan Clinton telah melakukan contempt of

the court karena berbohong di bawah sumpah tentang affair-nya

dengan Lewinsky. Izin praktik hukum Clinton dicabut di Arkansas,

lalu di seluruh AS oleh Mahkamah Agung AS. Clinton juga didenda

90.000 dollar AS karena memberi kesaksian palsu.

Meriam lain yang lebih besar segera ditembakkan. Mayoritas

anggota Kongres dari Partai Republik yang saat itu menjadi mayo-

ritas di DPR maupun Senat mulai bergerak untuk melengserkan

Clinton . Kesaksian palsunya dan dugaan ia mempengaruhi

Lewinsky untuk berbohong, dianggap sebagai kejahatan obstruction

of justice and perjury (menghalangi peradilan dan kebohongan) yang

layak diganjar pemakzulan (impeachment).

DPR AS meloloskan usulan impeachment ini hingga masuk ke

Senat. Beruntung bagi Clinton , persidangan di Senat selama 21 hari

memutuskan Clinton tak melakukan kesalahan terhadap negara dan

dia tetap sebagai presiden.

170 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

Namun hal semacama itu mungkin akan mudah bila terjadi di

Indonesia. Tak perlu menunggu sebuah pelanggaran asusila berat

seperti kasus Clinton untuk memunculkan tuntutan impeachment.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru memulai jilid II

pemerintahannya, juga mendapat serangan ke arah impeachment

dirinya. Wacana pemakzulan sudah berkembang, sementara

pembuktian secara politis dan hukum belum dilakukan.

***

CERITA berujung impeachment memang tidak dimulai oleh Clinton.

Richard Nixon, Presiden ke-37 AS lebih dulu mengalami impeachment

karena kasus kriminal serius yang diotakinya.

Semua bermula pada malam 17 Juni 1972. Lima orang pencuri

memasuki kantor Komite Nasional Demokrat dalam Kompleks

Perkantoran Watergate di Washington. Terpergok oleh penjaga

malam, Frank Wills, kelima pencuri itu pun sukses dibekuk polisi

sekitar pukul 02:30 dinihari.

Mimpi buruk Richard Nixon dimulai

Makin siang, polisi yang memeriksa 5 orang itu mendapat

banyak titik terang. Bahwa 5 orang itu bekerja untuk Komite Bagi

Pemilihan Kembali Presiden Nixon.

Ketika temuan itu pertama kali muncul, Gedung Putih langsung

meenyangkal. Menurut mereka, kejadian itu tak lain hanyalah

“upaya pencurian kelas tiga.” Dengan kata lain: sangat remeh, jauh

dari keterkaitan dengan pusat kekuasaan Gedung Putih.

Namun, keping demi keeping bukti berhasil dikumpulkan polisi.

Sekitar 2 bulan kemudian, tepatnya Agustus 1972, Presiden Nixon

yang mulai terpojok, tampil di depan wartawan. Dia menegaskan,

“Tidak ada satu pun di pemerintahan, tak satu pun pegawai Gedung

Putih, yang terlibat dalam insiden aneh ini.”

Namun, penegasan mereka tak bisa menghentikan penyelidikan

polisi. Partai Demokrat pun, juga banyak elemen masyarakat lainnya,

Mengungkap Kesenjangan Istana 171

terus mendesak agar polisi memunculkan gambar utuh kasus ini.

Dua wartawan muda Koran The Washington Post, Bob

Woodward dan Carl Bernstein, banyak membantu dengan

ketekunan mereka mengikuti petunjuk demi petunjuk. Salah satu

bukti yang mereka dapat adalah bawa salah seorang pencuri itu

adalah pensiunan pegawai CIA, James W. McCord yang juga

Koordinator Keamanan Komite Bagi Pemilihan Kembali Richard

Nixon. Temuan lainnya, dana 25.000 dollar AS dikirimkan ke

rekening salah satu pencuri itu. Yang lebih mengejutkan, Jaksa

Agung John Mitchell mengontrol sebuah dana rahasia yang

membiayai aktivitas mata-mata politik dan trik-trik kotor terhadap

para kandidat presiden dari Partai Demokrat.

Salah satu trik kotor itu adalah dimuatnya surat di sebuah Koran

New Hampshire yang menuduh salah satu kandidat presiden dari

Partai Demokrat, Senator Edmund Muskie dari Maine mengejek

warga AS keturunan Kanada-Prancis sebagai “Canucks”. Canucks

adalah bahasa prokem untuk menyebut “orang Kanada.”

Hasilnya, di hari yang bersalju di New Hampshire , di luar

kantor surat kabar itu, Musky dengan penuh airmata menyangkal

tuduhan itu. Tindakan emosionalnya, yang terekam jelas di televisi,

membuat popularitasnya turun drastis di New Hampshire tak lama

sebelum presidential primary. George McGovern yang dianggap

kandidat yang lebih lemah oleh para ahli strategi Nixon, akhirnya

benar-benar memenangkan nominasi sebagai Presiden dari Partai

Demokrat. Rencana Nixon berjalan lancar. Menghadapi McGovern

yang sejak awal dianggap lawan yang mudah, Nixon pun meraih

kemenangan besar dan terpilih untuk masa jabatan kedua.

Namun, bau busuk konspirasi tetap tak bisa ditutupi. Pada

Februari 1973, Senat AS membentuk Komite Penyelidik Aktivitas

Kampanye Kepresidenan yang diketuai Senator Sam Ervin. Komite

ini bertanggung jawab menyelidiki semua peristiwa seputar

Watergate dan tuduhan-tuduhan lain terkait sabotase dan mata-mata

politik atas nama terpilihnya kembali Nixon.

172 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

Maret-April 1973 menjadi periode penting terbukanya trik-trik

kotor tim Nixon. Pada 23 Maret, James W. McCord mengaku kepada

Hakim distrik AS, John J. Sirica bahwa dia ditekan orang-orang

Nixon untuk tutup mulut. Pada 20 April, Pejabat Direktur CIA, L.

Patrick Gray mengundurkan diri. Alasannya, dia telah

menghancurkan bukti-bukti terkait kasus Watergate atas tekanan

para pembantu Nixon. Sepuluh hari kemudian, 4 pejabat utama

Nixon mengundurkan diri, yaitu Kepala Staf H.R. Haldeman;

Asisten Urusan Dalam Negeri John Ehrlichman; Jaksa Agung

Richard Kleindienst; dan Penasihat Presiden John Dean.

Sejak 17 Mei, Komite Penyelidik Aktivitas Kampanye

Kepresidenan mulai melakukan hearing yang disiarkan langsung

televise—seperti Pansus Hak Angket Bank Century. Sebulan

kemudian, mantan Penasihat Presiden John Dean bersaksi bahwa

memang ada cover up (upaya menutup-nutupi) bahwa Nixon terlibat

langsung secara personal dengan membayar kelima pencuri yang

masuk kantor Komite Nasional Demokrat tersebut dan 2 orang lain

yang merencanakan penyusupan itu. Tiga pekan kemudian,

pembantu lain Nixon bersaksi bahwa Nixon pribadi memerintahkan

pemasangan mikrofon tersembunyi di Ruang Oval Gedung Putih

pada musim semi 1971 dan merekam semua percakapan di sana.

Rekaman hasil penyadapan itulah yang menjadi fokus pertikaian

hukum setahun penuh antara 3 badan Pemerintah AS. Pada Oktober

1973, Jaksa Distrik Khusus Watergate Archibald Cox yang dipilih

oleh Pemerintahan Nixon berjanji kepada publik untuk

mendapatkan rekaman-rekaman itu sekalipun Nixon sangat

menentangnya.

Menghadapi kemungkinan terbukanya skandal, Nixon pun

gelap mata. Dalam apa yang disebut “Saturday Night Massacre,” 20

Oktober 1973, Nixon mencoba memecat Cox. Langkah Nixon gagal

karena Jaksa Agung Elliot Richardson dan wakilnya, William

Ruckelshaus menolak tekanan Nixon ini dan memilih mengundur-

kan diri. Hanya Solicitor General Robert Bork yang kemudian setuju

Mengungkap Kesenjangan Istana 173

menjalankan perintah Nixon dan memecat Cox. Solicitor general

adalah orang yang diposisikan untuk mewakili Pemerintah AS di

depan Mahkamah Agung AS.

Menit demi menit peristiwa ini dilaporkan secara langsung oleh

televisi, mengejutkan publik seluruh AS yang lalu mengirim desakan

impeachment terhadap Nixon.

“…Inilah saat kita menentukan apakah kita diperintah oleh hukum

atau diperintah oleh sekumpulan orang. Adalah Kongres, dan

akhirnya rakyat AS, yang harus segera mengambil keputusan,” kata

Cox usai pemecatannya.

Sepuluh hari kemudian, desakan impeachment itu benar-benar

dijalankan. DPR melalui Komite Yudisiari yang dipimpin memulai

investigasi awalnya. Hingga November tahun itu, Nixon masih

menyangkal keterlibatannya. Di depan 400 redaktur pelaksana

Associated Press di Florida, Nixon memberi kesaksian, “... Selama

tahun-tahun saya bekerja untuk rakyat, saya tidak pernah melanggar

hukum… Masyarakat harus tahu apakah presiden mereka seorang

bromocorah atau bukan. Dan yang pasti, saya bukan begal.”

Namun, bukti-bukti mengalir lebih deras dibanding sanggahan

yang bisa diberikan Nixon. Akhirnya, pemungutan suara di Komite

Yudisiari DPR AS memutuskan bahwa Nixon bersalah atas seluruh

dari 3 tuduhan yang ditimpakan padanya, yakni: pelanggaran

hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelecehan Kongres.

***

Puluhan juta pasang mata menatap televisi. Sebagian sedih,

yang lain gembira. Namun yang pasti, mereka tercengang. Di layar,

tampak sesosok pendek tambun berkacamata. Ia hanya mengenakan

baju dan celana pendek. Keseluruhan sosok itu kontras dengan

tempat dia berada saat itu: tangga Istana Merdeka.

Ya, sosok itu tak lain KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI

saat itu yang harus meninggalkan kursi kepresidenannya karena

impeachment MPR. “Banyak yang percaya, karena saya mengenakan

174 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

celana pendek saat itu, itu adalah tanda banjir,” kata Gus Dur dalam

sebuah wawancara dengan Jennifer Byrne yang disiarkan ABC, 17

April 2002.

Kalimat Gus Dur jelas sebuah guyonan khas pribadi humoris.

Namun, peristiwa yang membuat ia tak bisa menyelesaikan

keseluruhan masa jabatannya, jelas bukan guyonan.

KH Abdurrahman Wahid, presiden pertama Indonesia pasca

Orde Baru adalah juga korban pertama impeachment di masa

reformasi. Dianggap tidak kapabel dalam menjalankan pemerin-

tahan, parlemen pun mengusulkan impeachment dan akhirnya benar-

benar melakukannya. Gus Dur di-impeach karena diduga melakukan

korupsi, yaitu Rp 35 miliar dana Bulog dan 2 juta dollar AS pem-

berian Sultan Brunei Darussalam, Hasanal Bolkiah, tanpa suatu

proses pembuktian hukum.

Kasus yang pertama dan kemudian dikenal sebagai Buloggate,

dipicu oleh perbuatan Suwondo, tukang pijat Gus Dur dan pernah

menjadi rekan bisnisnya. Suwondo dituduh menggunakan nama

Gus Dur untuk menipu Bulog hingga mendapatkan dana Rp 35

miliar itu. Kasus ini lantas dikaitkan dengan Gus Dur karena sejumlah

pejabat Bulog mengatakan bahwa beberapa bulan sebelumnya Gus

Dur pernah bertanya apakah dana Bulog bisa disalurkan untuk

proyek-proyek bantuan di Aceh yang didera pertempuran antara

TNI dan kelompok separatis GAM. Gus Dur sendiri mengaku

pernah berniat melakukan hal itu, namun kemudian tidak jadi.

Tentang tuduhan kedua yang dikenal dengan istilah Bruneigate,

sebenarnya sudah diverifikasi oleh Gus Dur sejak pertama ia

diberikan. Seperti dikutip dalam “Gus Dur, The Authorized Biography

of Abdurrahman Wahid” yang ditulis Greg Barton(2003), bantuan itu

diberikan Sultan Brunei Darussalam kepada Gus Dur pribadi, bukan

Pemerintah Indonesia.

Selain dugaan korupsi yang menjadi alasan resmi impeachment,

banyak pihak yakin impeachment itu dilakukan terhadap Gus Dur

karena kinerja yang dinilai buruk dan sikapnya yang jauh dari kesan

Mengungkap Kesenjangan Istana 175

“asal parpol/parlemen senang.” Kegagalannya mengatasi tekanan

ekonomi (ditandai terus melorotnya nilai tukar rupiah) dan tin-

dakannya memecat dua menteri, yakni Menteri Industri dan

Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN, Laksamana

Sukardi (PDIP) menjadi pemicu impeachment terhadapnya karena

banyak partai yang kemudian sakit hati terhadapnya

Sikap Gus Dur yang keras, tanpa tedeng aling-aling, termasuk

perlawanan sengitnya yang berencana membubarkan parlemen,

membuatnya diperlakukan sebagai musuh bersama. Akibatnya,

MPR pun sepakat meng-impeach dia dengan 591 suara mendukung

dan tak ada satu pun suara menentang. Lebih dari 100 anggota

parlemen pro Gus Dur memboikot sidang istimewa MPR dengan

agenda impeachment terhadap Gus Dur tersebut.

“…MPR dengan ini menyatakan Abdurrahman Wahid diberhentikan

sebagai presiden sebelum masa jabatannya berakhir karena ia dinilai

benar-benar melanggar haluan negara,” kata Ketua MPR saat itu,

Amien Rais.

Gus Dur tidak pernah benar-benar menjalani persidangan di

pengadilan seputar tuduhan terhadapnya. Hal ini terjadi karena

Indonesia belum memiliki mekanisme legal yang baku tentang

impeachment. Karena itu, perdebatan tentang hal itu terus berlang-

sung sejak impeachment dilakukan. Saat Gus Dur di-impeach,

misalnya, perdebatan tentang keabsahan legalnya terus mengemuka.

Karena aturan baku impeachment belum tersedia, kebijakan tentang

masalah ini terkesan disisipkan pada aturan lain yang dinilai punya

kedekatan materi.

Karena itu, tidak heran bila para ahli hukum tata negara pun

menganggap impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid

(Gus Dur) tidak memiliki dasar yang kuat. Pasalnya, Gus Dur tidak

pernah diadili (baik di pengadilan biasa maupun di parlemen) atas

tuduhan korupsi yang menjadi pemicu usulan impeachment tersebut.

Dengan demikian, tidak ada dasar faktual yang bisa dijadikan

legitimasi pelengserannya selain kentalnya balutan politis.

176 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

Kentaranya muatan politis ini karena para pengaju impeachment

tidak mampu menjabarkan secara gamblang pelanggaran terhadap

haluan negara atau alasan konstitusional lain yang kuat dan telah

dilakukan Gus Dur.

Bukti bahwa mekanisme impeachment belum ada, berasal dari

DPR sendiri. Sejumlah fraksi di DPR meminta klausul impeachment

(pemakzulan) dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Fraksi yang

meminta tersebut adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan,

Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi

Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Fraksi Partai

Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Bintang Reformasi.

Sedangkan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Bintang Pelopor

Demokrasi dalam rapat kerja Pansus RUU Susduk, Senin, 20 Oktober

2008 bersama pemerintah tidak memberikan komentar terkait

dengan impeachment. “Ini pelajaran dari pengalaman sejarah ketika

dulu Gus Dur dijatuhkan. Sejarah bangsa ini tidak boleh barbar

secara politik, jadi pemakzulan merupakan persoalan bersama,” kata

Masduki Baidlowi, anggota DPR dari FKB.

***

Kondisi pada massa Abdurrahman Wahid tersebut berbeda

pada saat wacana pemakzulan mendominasi ruang publik saat akan

dilakukan pembentukan Panitia Khusus Hak Century. Walaupun

pada saat pansus ini dibentuk, wacana pemakzulan mengemuka,

namun hampir sama, masih belum ada mekanisme yang baku

mengenai impeachment. Mekanisme ini baru kemudian ditata oleh

Mahkamah Konstitusi dan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

melalui Keputusan Tata Tertib MPR yang baru.

Adalah kebijakan bailout terhadap Bank Century yang

kemudian diarahkan untuk menyebut bahwa Menkeu Sri Mulyani

Indrawati dan Wapres Boediono bertanggung jawab dan harus

mundur. Sri Mulyani adalah Ketua Komite Stabilitas Sektor

Mengungkap Kesenjangan Istana 177

Keuangan (KSSK) saat bailout terhadap Bank Century dikucurkan,

sementara Boediono adalah Gubernur Bank Indonesia pada saat bail

out terhadap Bank Century dilakukan. Mereka dianggap bertang-

gung jawab karena mem-bailout Bank Century yang sudah ditetap-

kan sebagai bank gagal. Berbeda dengan Boediono dan Sri Mulyani,

para penentang bailout mengatakan tidak ada dampak sistemik apa

pun bila bank ini dibiarkan kolaps.

Penyelidikan oleh Panitia Khusus Hak Angket Bank Century

di DPR RI diwarnai upaya-upaya untuk mengaitkan pengambilan

kebijakan itu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pertanyaan yang diajukan sejumlah anggota pansus diarahkan untuk

mencari tahu keterkaitan antara pengambilan kebijakan itu dengan

Presiden SBY. Pertanyaan seperti: “apakah Presiden SBY

mengetahuinya?” dan “apakah Anda sudah melaporkannya pada

Presiden SBY? Apa tindakannya?” sering terlontar. Harapannya,

bila kebijakan KSSK dianggap salah dan menyeret nama Sri Mulyani

dan Boediono, maka presiden pun akan bisa diseret sebagai pihak

yang bersalah pula dan membuka peluang impeachment.

Padahal, media massa mencatat sejak awal, Presiden SBY

meminta DPR untuk membuka kasus ini seterang-terangnya. Tidak

ada niat presiden untuk menutup-nutupi apapun. Tak ayal, upaya

yang dicari-cari untuk menyeret presiden ke arah kebijakan yang ia

tidak terlibat secara langsung, jelas merupakan gangguan luar biasa

bagi 100 hari pertama pemerintahan jilid II Presiden SBY dan

percobaan kesekian bagi impeachment presiden yang belum memiliki

panduan legal bakunya.

Seratus hari pertama sebuah pemerintahan sebenarnya tidaklah

istimewa karena ia adalah bagian dari keseluruhan masa pemerin-

tahan. Presiden SBY pun berpendapat demikian. Menurutnya,

program 100 hari merupakan satu kesatuan yang berkesinambungan

dengan program-program pemerintah yang tercantum dalam APBN

2010 dan juga tahun-tahun setelahnya.

Nilai penting masa 100 hari pertama sebuah pemerintahan

178 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

hanyalah fungsinya sebagai “etalase.” Etalase untuk menunjukkan

rancangan kebijakan apa saja yang telah dibuat dan apakah serang-

kaian usulan peraturan dan perundangan itu cukup strategis untuk

memandu dan membentuk postur pemerintahan yang efektif ke

depan.

Bahkan presiden sehebat Franklin Delano Roosevelt pun

melakukannya. Perhatian khusus terhadap 100 hari pertama sebuah

pemerintahan memang muncul pertama kali sejak masa peme-

rintahan presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) itu.

Presiden yang sering disebut dengan singkatan “FDR” itu

memimpin AS saat Perang Dunia (PD) II berkecamuk dan dunia

dilanda depresi besar (the great depression). Saat itu perekonomian

dunia nyaris tak bergerak. Jumlah pengangguran meningkat 25

persen, daya beli masyarakat turun drastis, jumlah penduduk miskin

bertambah, ratusan ribu orang mendadak menjadi gelandangan,

sistem perbankan kolaps, lebih dari 5.000 bank gulung tikar, semen-

tara industri, proyek konstruksi, dan pertanian, semua lumpuh.

Dihadang dengan kondisi tidak menguntungkan semacam itu,

nyatanya FDR berhasil mengatasinya. Kuncinya terletak pada

kebijakannya yang terkenal, menutup sementara seluruh bank dan

membuka kembali bank yang dianggap sehat. Secara esensial,

kebijakan ini membuat keyakinan publik meningkat, karena peme-

rintah dianggap paham persoalan dan mau berbuat untuk

mengatasinya.

Tampilan, kebijakan itu juga muncul dalam wajah yang ramah

karena FDR lihai memilih istilah. Dia menyebut penutupan

sementara bank-bank itu sebagai bank holiday, bukan sejumlah istilah

lain yang bernada mengancam. Hasilnya, ketika 12 Maret FDR

menyebut bahwa bank paling sehat akan dibuka kembali, sehari

berikutnya jumlah setoran masyarakat ke bank mengalir deras,

melebihi jumlah penarikan. Rush yang dikhawatirkan, justru

berganti kepercayaan publik.

FDR sukses membalik tantangan menjadi prestasi dengan

Mengungkap Kesenjangan Istana 179

program 3R: relief, reform, dan recovery. Melalui program relief, dia

menyelamatkan agar pengangguran sedikit demi sedikit bisa

dikurangi, terutama sektor industri dan pertanian. Reformasi praktik

bisnis dan keuangan ia jalankan agar sektor itu menjadi kuat, dan

secara keseluruhan ia upayakan recovery ekonomi nasional.

Prestasi lainnya, di rentang waktu 9 Maret hingga 16 Juni 1933,

FDR membanjiri Kongres dengan rancangan UU dalam jumlah luar

biasa besar dan semuanya digodok dengan mudah. RUU yang

dengan mulus menjadi UU itu termasuk berisi pembentukan Badan

Penanggulangan Darurat Federal, Korps Konservasi Sipil, Badan

Pembiayaan Rekonstruksi, pemberian kewenangan tambahan bagi

Komisi Dagang Federal, dan lainnya (Tiga Bulan Penuh Jeram,

Surabaya Post, 28 Januari 2010, halaman 1).

Berkaca pada keberhasilan FDR mengatasi masalah pelik di

negaranya yang bertumpu pada kelihaian mengusulkan serangkaian

RUU, dunia pun berhasil diyakinkan bahwa 100 hari pertama sebuah

pemerintahan sangatlah penting.

Bukan hanya secara empiris 100 hari pertama harus diisi dengan

pembahasan—bahkan penetapan—UU penting, namun juga 100

hari pertama signifikan dalam membentuk kepercayaan publik. Bila

dipersepsi positif oleh masyarakat, biasanya tingkat dukungan publik

akan terus membesar hingga masa pemerintahan rezim itu berakhir.

Bila 100 hari pertama lebih didominasi ketidakpercayaan dan

kecurigaan, biasanya sepanjang masa pemerintahan akan selalu

menikmati gangguan.

Dalam konteksnya masing-masing, sebenarnya prestasi

Presiden SBY tidak lebih buruk dari FDR. Kinerja ekonomi 2009—

yang merupakan perpaduan antara masa pemerintahan SBY jilid I

dan masa 100 hari pertama pemerintahan Presiden SBY jilid II—

tergolong berhasil. Tingkat inflasi hanya 2,78 persen (terendah selama

10 tahun terakhir), nilai tukar rupiah pada akhir 2009 ditutup pada

tingkat Rp. 9.400-an, dan cadangan devisa terakumulasi di atas 65

miliar dolar AS (tingkat tertinggi yang pernah dicapai), serta defisit

180 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

anggaran yang jauh dari target, yaitu hanya 1,6 persen dari Produk

Domestik Bruto (PDB) atau Rp 87 triliun.

“…Pencapaian ini juga jauh lebih baik dari pada kinerja di banyak

negara dunia yang mengalami dampak krisis. Di banyak negara

telah terjadi pembengkakan defisit anggaran mencapai 5 hingga 10

persen dari PDB dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif,”

kata Presiden Yudhoyono.

Sayangnya, sebagaimana diketahui publik, masa 100 hari

pertama pemerintahan jilid II Presiden SBY justru lebih banyak

diwarnai gangguan. Gangguan terbesar adalah penyelidikan bail out

Bank Century yang dipaksakan dikaitkan dengan upaya-upaya ke

arah impeachment wapres dan presiden.

Upaya-upaya mengkaitkan penyelidikan bail out Bank Century

dengan impeachment presiden bisa disebut gangguan yang disengaja

terhadap pemerintah, karena pemerintahan Presiden SBY tidak

melakukan pelanggaran susila berat (seperti Presiden AS Bill Clinton)

dan tidak pula melakukan tindak kriminalitas luar biasa (seperti kasus

Watergate Presiden AS Richard Nixon).

Padahal, konsep impeachment yang memang diimpor dari AS,

memiliki syarat yang rumit bagi pelaksanaannya. Impeachment adalah

kekuatan konstitusional fundamental yang dimiliki Kongres.

Kekuatan ini diberikan kepada Kongres untuk memastikan upaya-

upaya pemberantasan korupsi (termasuk penyalahgunaan

wewenang, aksi kriminalitas, dan tindakan asusila) terhadap pejabat

negara, mulai dari yang terendah hingga Presiden dan Ketua

Mahkamah Agung.

Dalam konstitusi AS, prosedur pelaksanaan impeachment telah

diatur pula. Impeachment dilaksanakan melalui dua tahap, yakni

penyelidikan di DPR (House of Representatives) dan bila disetujui

oleh mayoritas anggotanya, diusulkan untuk disidangkan di Senat.

Dalam sejarahnya, impeachment di tingkat federal maupun negara

bagian sangat jarang. Hingga pertengahan tahun 1990-an, hanya 50

usulan impeachment diajukan dan hanya sepertiganya saja yang

Mengungkap Kesenjangan Istana 181

akhirnya disidangkan di Senat.

Keengganan anggota Kongres untuk menggunakan haknya

meng-impeach pejabat menjadi bukti sangat penting dan signifikan-

nya proses ini. Impeachment biasanya dilakukan hanya untuk aksi

kriminalitas dan penyalahgunaan kekuasaan berat. (baca misalnya

di: http://legal dictionary.thefreedictionary.com/impeachment.)

Bila upaya-upaya impeachment tetap digulirkan tanpa adanya

pelanggaran susila berat, tindak kriminalitas luar biasa, dan penya-

lahgunaan kekuasaan berlebihan, maka proses ini dapat disebut

sebagai kudeta pula. Ia adalah cermin dilanggarnya etika berpolitik

dan berdemokrasi.

Impeachment adalah sejenis kudeta, yaitu mengganti rezim yang

sedang berkuasa dengan rezim baru secara paksa. Kudeta sendiri,

berdasar pengertian Ensiklopedia Britannica, adalah penggantian

pemerintahan secara tiba-tiba dan dengan cara kasar, bahkan sering

meminta korban jiwa. Syarat utama sebuah kudeta adalah penguasa-

an atas seluruh atau sebagian angkatan bersenjata, polisi, dan

elemen-elemen militer lainnya. Tidak seperti revolusi yang biasanya

melibatkan kelompok besar masyarakat yang bekerja mengubah

tatanan politik, sosial, ekonomi, sebuah kudeta lebih merupakan

perubahan kekuasaan dari atas dan hanya berakibat pada perubahan

pucuk pimpinan. Sebuah kudeta jarang mengubah fundamental

kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosialnya, juga tidak mengubah

secara signifikan distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok

yang bersaing di masyarakat.

Samuel P. Huntington membagi kudeta menjadi tiga tipe: kudeta

terobosan yang melibatkan tentara revolusioner untuk mendongkel

pemerintah dan menciptakan elite birokrasi baru (seperti yang

terjadi di China pada 1911 dan Mesir pada 1956); kudeta terarah

yang bertujuan mendesak perbaikan fasilitas umum, melakukan

efisiensi, dan memerangi korupsi (contohnya di Pakistan, Turki, dan

Thailand); dan kudeta veto, yang terjadi jika militer memveto

mobilisasi sosial yang berakibat konfrontasi dengan kekuatan massa

182 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

dan dapat memicu pertumpahan darah (seperti yang terjadi di Chile

pada 1973 dan Argentina pada 1975).

Karena inti dari kudeta adalah pengambilalihan pemerintahan

pada pucuk tertinggi, maka pelaku dan bentuknya bisa bervariasi.

Bila selama ini kita lebih mengenal kudeta yang dilakukan elemen

dalam negeri, sejak berkecamuknya persaingan antara Blok Barat

dan Blok Timur beberapa dekade lalu, banyak kudeta yang dilakukan,

dirancang, diinisiasi, atau didukung penuh oleh elemen-elemen luar

negeri.

Campur tangan dalam Pemilu suatu negara dengan dalih mem-

bantu pemberdayaan masyarakat sipil, seperti dikatakan Jonathan

Steele, adalah bentuk kudeta pula. Kudeta jenis ini menjadi gaya

kudeta post-modern. Gejolak-gejolak di negara-negara dunia ketiga

yang dibenih atau dibantu oleh CIA adalah yang paling banyak ter-

jadi. Instrumen-instrumen demokrasi digunakan secara selektif

untuk menggeser pemimpin yang tidak populer di mata aktor inter-

nasional yang merancang kudeta tersebut. Biasanya, penggantian

kekuasaan ini dilakukan setelah pemimpin alternatif yang dibina

kekuatan luar negeri itu dinilai cukup kuat untuk tampil ke per-

mukaan.

Cara yang ditempuh untuk melakukan kudeta tidak harus

diawali dengan mengambil alih kekuasaan secara fisik, seperti

menguasai istana presiden, gedung DPR, sarana komunikasi vital

(stasiun televisi dan radio) dan barak-barak militer. Kudeta juga bisa

dilakukan oleh anggota dewan. Seperti dikatakan Edward Luttwak

dalam bukunya, “Coup d’Etat: A Practical Handbook” (1980), kudeta

terjadi karena adanya infiltrasi dari kelompok kecil tapi berpengaruh

dan kritis dalam tubuh pemerintah untuk mengganti pemerintah

dan mengambil alih kekuasaan.

Siapa pun pasti sepakat bahwa anggota parlemen termasuk

dalam kelompok kecil yang kritis dan berpengaruh. Penggunaan

hak atau power impeachment secara serampangan bisa dikategorikan

sebagai upaya kudeta pula. Merujuk pada kategorisasi kudeta

Mengungkap Kesenjangan Istana 183

Huntington, kudeta melalui impeachment yang tidak didasari alasan

objektif yang mencukupi dekat pada pengertian kudeta terarah

(Guardian coup d’état). Kudeta jenis ini sebenarnya dilandasi niat

luhur, yakni memperbaiki tatanan publik, meningkatkan efisiensi,

dan mengakhiri praktik korupsi. Tiga elemen ini pula yang sering

dijadikan alasan sebagian anggota pansus untuk mendesakkan

wacana impeachment.

Persoalannya adalah, apakah dalam pemerintahan SBY ini

memang terjadi kekacauan tatanan publik, inefisiensi, dan korupsi?

Mengacu kepada sejarah AS, negara pemilik struktur

impeachment yang paling disorot di dunia, impeachment dilakukan

bila terjadi dua pelanggaran utama yang relatif terukur: kriminalitas

dan tindakan asusila. Hanya dalam kasus impeachment terhadap

Presiden Andrew Johnson kedua alasan itu tidak mengemuka.

Presiden Andrew Johnson di-impeach karena kebijakan-kebijakannya

sering berseberangan dengan Kongres.

***

Penggantian pemerintahan sebelum masa jabatannya habis—

baik kita menyepakatinya sebagai sebuah kudeta atau bukan—

memiliki konsekuensi yang terbilang mengerikan. Termasuk, wacana

impeachment. yang beberapa waktu lalu sempat mengemuka.

Maklum, wacana itu bukan hanya menarget presiden yang bisa

digantikan oleh wapres, namun menyasar pasangan presiden dan

wapres. Artinya, kalau saja impeachment itu benar-benar diloloskan,

Indonesia harus segera menggelar Pilpres baru. Mengacu kepada

biaya Pilpres yang sekitar Rp 4 triliun (satu putaran), maka dana

sebesar itu pulalah yang harus kita alokasikan kembali demi sebuah

Pilpres.

Tentu, dana bukan perhatian utama kita. Terpilih pasangan

presiden dan wapres baru tentu akan diikuti dengan “100 hari per-

tama pemerintahan” lagi. Dapatkah kita yakin bahwa 100 hari per-

tama pemerintahan itu akan berjalan tanpa gangguan? Dapatkah

184 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan

kita yakin bahwa etika berpolitik akan dijunjung tinggi hingga

impeachment menjadi proses yang sangat penting dan bermutu tinggi

hingga tak diobral sembarangan?

Dengan gambaran seperti itu, mari kita jawab pertanyaan

sederhana ini: Apakah kinerja Presiden SBY memang layak di-

impeach? Apakah akibat yang menyertainya tidak akan lebih buruk

dari yang kita alami kini?

Mengungkap Kesenjangan Istana 185

1111111111Mengompres Bank

Sekarat, MenghindariTumbang Massal

Barbara Harvey naik ke dalam mobil SUV-nya dari pintu belakang.

Semua kursi dilipatnya, menciptakan sedikit ruang dalam mobil

sempit itu. Lalu, segera punggungnya ia luruskan, mencoba

mengundang kantuk meski harus berdesakan dengan 2 anjing golden

retriever-nya. Bagi perempuan 69 tahun itu, tidur adalah pilihan

terbaik karena ia tak punya tempat lain lagi untuk pergi setelah

rumahnya lenyap disita bank.

“Saya tak pernah menyangka akan menghabiskan hidup saya

menggelandang dalam mobil seperti ini,” katanya.

Harvey terpaksa menjadi tuna wisma setelah ia dipecat dari

pekerjaannya sebagai loan processor awal tahun 2008 lalu saat krisis

perbankan mendera Amerika Serikat (AS). Ketika masih memiliki

pekerjaan, 75 persen pendapatannya digunakan untuk membayar

sewa tempat tinggalnya, sebuah rumah menengah dengan

pemandangan ke arah laut. Saat tak lagi bekerja, uang sewa pun tak

bisa ia bayar. Tabungannya yang sedikit segera habis di dua bulan

186 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

pertama masa sulit itu.

Kini ibu 3 anak itu memang memiliki pekerjaan lagi, namun

itu hanyalah pekerjaan paro waktu dengan upah 8 dollar AS per

jam. Dia pun terpaksa masuk ke dalam daftar warga yang mendapat

bantuan sosial.

Sejak kehilangan rumahnya, Harvey terpaksa hidup dalam

mobil. Tiap malam ia masuk ke area parkir yang dikelola New

Beginnings Counseling Center, sebuah LSM yang membantu

gelandangan agar tidak telantar dan—kalau bisa—mendapatkan

tempat tinggal yang sesuai dengan tebal tipisnya kantong mereka.

Maklum, di Santa Barbara, tempat Harvey tinggal, jarang sekali

ada tempat tinggal dengan sewa murah. Padahal, Negara Bagian

California melarang warga tidur dalam mobil di jalanan. Tak ada

pilihan bagi Harvey dan orang-orang yang senasib dengannya

kecuali menyesaki zona-zona parkir yang ada yang biasanya buka

pukul 7 malam dan tutup pukul 7 pagi. Tiap pagi, Harvey dan para

tunawisma bermobil lainnya harus membawa mobil mereka ke

tempat atau berkeliling kota, asal tidak berdiam di zona parkir itu.

Ya, ketika jutaan warga AS tiba-tiba harus merelakan rumahnya

disita bank karena tak kuat membayar cicilan, New Beginnings pun

berhadapan dengan komunitas gelandangan jenis baru. Mereka

adalah warga kelas menengah yang dipecat dari pekerjaannya

hingga tak bisa membayar sewa rumah, bahkan sekadar flat

sederhana pun. Banyak di antara mereka adalah lansia.

“…Lihatlah di sekeliling Anda sekarang. Begitu banyak mereka yang

tak lagi memiliki rumah. Saya melihat para ibu tidur di bangku-

bangku taman. Sungguh mengenaskan,” kata Nancy Kapp,

Koordinator New Beginnings. “Ini sama sekali bukan situasi ideal

bagi ibu-ibu lanjut usia tersebut,” lanjutnya.

***

Beralih ke pantai timur AS, tepatnya di New York, Paul

Nawrocki (kini 61 tahun) sukses menarik perhatian ribuan pasang

Mengungkap Kesenjangan Istana 187

mata yang membanjiri jalanan kota tersibuk di dunia itu. Di

pertengahan Desember 2008 itu, dia menggelar demo tunggal. Dalam

balutan jas dan dasi, pakaian kerja sehari-harinya, dia berdiri di

tengah trotoar. Dia seperti warga lain yang bergegas menuju kantor

andai saja di dada dan punggungnya tidak tergantung papan dengan

tulisan besar mencolok.

Papan di dada bertuliskan, “Hampir gelandangan, mencari pekerja-

an, sangat berpengalaman sebagai manajer administrasi dan operasional”.

Sementara papan pada bagian punggung mengabarkan kondisi

keluarganya, “Sangat membutuhkan pekerjaan tetap dengan asuransi,

untuk pribadi dan keluarga, istri penyandang cacat dengan 15 pengobatan”.

Nawrocki tidak sedang menjadikan dirinya media seni instalasi.

Dia sedang terdesak. Sangat terdesak. Sembilan bulan sudah dia

menjadi pengangguran. Tabungan yang dikumpulkannya selama

23 tahun bekerja sebagai manajer impor di sebuah perusahaan

mainan nyaris habis. Tunjangan pengangguran yang dimilikinya

segera habis kurang dari sebulan. Selain istrinya yang butuh

pengobatan intensif, anak perempuannya juga terpaksa DO dari

universitas karena ketiadaan biaya.

“Saya mulai panik dan tak tahu apa yang akan saya kerjakan,”

kata Nawrocki.

Dia, seperti juga jutaan warga AS lainnya, memang pantas

khawatir karena gelombang PHK terjadi di mana-mana sejak krisis

subprime mortgage menjadi seperti gempa yang meruntuhkan

beragam bangunan perekonomian.

***

Apa yang menimpa Harvey dan Nawrocki dialami pula jutaan

warga AS lain. Mereka korban meletusnya apa yang dinamakan

“ekonomi gelembung” (bubble economy) yang ketika pecah

menyebabkan dampak sistemik berupa runtuhnya perekonomian

secara beruntun hingga memunculkan PHK di mana-mana.

Kolapsnya Bank Century, bila tidak segera ditangani pemerintah

188 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

dengan menyuntikkan bailout, dikhawatirkan menimbulkan

dampak serupa.

Ekonomi gelembung adalah suatu keadaan perekonomian yang

tidak sehat akibat timbulnya spekulasi yang menaikkan harga-harga

diikuti spekulasi lanjutan. Akhirnya, harga-harga yang tidak realistis

itu akan mencapai puncaknya dan jatuh kembali ke nilai realistisnya

(pecah atau burst) secara bersamaan sehingga perekonomian

mengalami krisis.

Biasanya bubble ini disebabkan pola investasi di mana para

investor percaya terhadap teori greater fool (orang yang lebih bodoh).

Di sektor real estate, misalnya, para investor melakukan investasi di

sebuah properti pada nilai yang sudah over-valued. Biasanya mereka

tahu bahwa nilainya sudah di-mark up, namun mereka tetap ambil

karena yakin properti itu tetap dapat dijual dengan nilai lebih tinggi

lagi kepada orang lain.

Dalam ekonomi gelembung, transaksi tampak bergairah dengan

volume dan nilai nominal yang besar, namun sebenarnya memiliki

nilai aktual yang lebih kecil (seringkali jauh lebih kecil) dari yang

sebenarnya karena yang diperdagangkan bukan aset tangible dan

asli, namun hanya surat-surat kepemilikan (atau bahkan surat

jaminan) atas aset tersebut.

Di AS, ekonomi gelembung terutama dipicu sektor properti.

Selama ini, real estate dianggap sektor bisnis yang menggaruk

untung. Baik pengusaha maupun pembeli memiliki pendapat yang

sama. Pembeli merasa yakin properti (utamanya rumah) yang

mereka beli pasti akan selalu naik harganya di masa mendatang.

Sementara di kalangan bank dan lembaga keuangan ada anggapan,

memberi kredit bagi pemilikan rumah akan selalu menguntungkan.

Pertimbangannya, kalau pun debitur mereka tidak bisa melan-

jutkan kreditnya dan rumah yang menjadi jaminan itu terpaksa

disita, bank atau lembaga pembiayaan lainnya dengan mudah bisa

menjual rumah itu dan harganya pasti baik (lebih tinggi daripada

jumlah kredit yang mereka salurkan). Karena itu, mereka tidak hanya

Mengungkap Kesenjangan Istana 189

menyalurkan kredit kepemilikan rumah kepada warga yang secara

finansial meyakinkan dan rating kreditnya memenuhi persyaratan.

Mereka yang ada di kelompok “di bawah standar kelayakan”

(subprime) pun diberi kredit pula. Kredit kepemilikan rumah untuk

kelompok inilah yang kita kenal dengan istilah subprime mortgage.

Memang, memberi kredit kepada mereka yang memiliki rating

kredit dan kemampuan finansial meragukan adalah tindakan

berisiko tinggi. Namun, kebijakan itu tetap diambil banyak bank

dan lembaga pembiayaan lain dengan satu keyakinan: kalau pun

mereka gagal membayar cicilannya, rumahnya tetap bisa disita dan

dijual dengan mudah dan harga yang menguntungkan.

Pemahaman bahwa rumah merupakan aset sekaligus produk

yang bisa dijual dengan mudah, dimiliki oleh seluruh pelaku bisnis.

Karena itu, bank-bank investasi mau memberi kredit bagi bank atau

lembaga pembiayaan lain yang lebih kecil dengan jaminan sertifikat

kredit perumahan itu (mortgage certificate). Pertimbangan para bank

investasi itu jelas: kalau pun bank-bank yang mereka pinjami dana

tak bisa mengembalikan, maka sertifikat mortgage itu akan laku

dengan mudah dan harganya pasti baik (lebih tinggi dari kredit yang

mereka salurkan).

Keyakinan itu memicu kelalaian. Pada periode awal 2000 hingga

sekitar 2007, penggunaan “persetujuan kredit secara otomatis”

(automated loan approval) meningkat tajam. Automated loan approval

adalah kredit yang diberikan tanpa pengkajian kelayakan yang

memadai. Selama 2007 saja 40% dari total pinjaman subprime

diberikan melalui mekanisme ini.

Ketika kondisi memburuk, Kepala Mortgage Bankers Asso-

ciation mengklaim, para mortgage brokers hanya mengambil untung

dari booming-nya kredit perumahan namun tidak melakukan tindak-

an yang cukup untuk mengkaji apakah para pengaju kredit itu me-

miliki kemampuan membayar kembali yang memadai. Malah, pada

2004, FBI mengingatkan adanya “epidemi” dalam penipuan mortgage

(mortgage fraud). Peringatan ini menunjukkan bahwa pemberian

190 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

kredit secara serampangan sudah menjadi kejadian umum di mana-

mana.

Lalu, datanglah bencana itu. Jumlah pemilik subprime mortgage

yang tidak bisa melunasi kredit mereka ternyata sangat banyak.

Mereka gagal bayar di saat yang bersamaan. Akibatnya, jumlah

rumah yang jatuh ke dalam sitaan bank pun sangat melimpah.

Dengan surplus jumlah rumah yang luar biasa tersebut, bank

kesulitan melego hasil sitaan mereka. Harga rumah-rumah itu pun

jatuh secara signifikan, jauh di bawah jumlah kredit yang disalurkan.

Akibatnya, bank-bank penyalur mortgage kesulitan likuiditas.

Akibat rentetannya, mereka tidak bisa membayar cicilan atau utang

kepada bank investasi atau lembaga pembiayaan lain yang lebih besar.

Akibat yang lebih jauh lagi, saat bank-bank investasi itu mau menjual

jaminan yang diberikan oleh bank-bank yang lebih kecil tadi, tak

ada yang membeli. Sementara di saat yang sama, mereka tetap

memiliki kewajiban untuk membayar deposan atau pemilik

tabungan. Maka, satu per satu lembaga keuangan besar mengalami

kesulitan dan bahkan tumbang. Inilah yang menimpa Lehman

Brothers, bank investasi terbesar keempat di AS.

Lehman bangkrut setelah mengalami kerugian besar pasca

mengakuisisi Archstone-Smith yang bergerak di bidang portofolio

apartemen nasional. Namun, deal dengan Tishman Speyer ini bukan

satu-satunya deal komersial berisiko tinggi yang dilakukan Lehman

berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan setelah lembaga-

lembaga rating mengingatkan bahwa industri real estate tidak lagi

aman karena standar pemberian kreditnya makin rendah sementara

prospek bisnisnya dibuat melebihi yang senyatanya.

Pada Juli 2007, saat pengetatan kredit dimulai, Lehman mengikat

deal dengan Prologis, sebuah perusahaan logistik dan membeli

portofolio pergudangan nasional senilai 1,85 miliar dollar AS dari

Dermody Properties dan California State Teachers Retirement

System. Agar deal itu cepat dilaksanakan, Lehman bukan saja me-

lunasi biaya kreditnya, namun juga menyediakan 80 persen ekuitas.

Mengungkap Kesenjangan Istana 191

Namun, tak menunggu lama bagi Lehman untuk menyadari

dirinya tak bisa menarik seluruh mortgage atas pergudangan itu dan

pinjaman lain. Lebih sulit lagi menjualnya kepada investor. Di saat

yang sama, industri pergudangan yang sangat bergantung pada

sehatnya industri ritel, mulai sakit-sakitan akibat melesunya eko-

nomi. Lehman pun dalam dilema. Mereka tak bisa memanfaatkan

pergudangan itu karena permintaan jasa pergudangan lesu,

menjualnya pun tak ada yang membeli.

Tak hanya itu, Lehman juga terlibat pembelian pertokoan besar

di Arlington, Virginia (Mei 2007) dan di Austin, Texas (Juni 2007).

Lehman sendiri memiliki reputasi sebagai pemberi pinjaman paling

agresif untuk sektor properti. Sebagian pihak bahkan menyebut

Lehman sebagai “ATM-nya real estate”.

Perilaku agresif seperti ini bukan hanya dominasi Lehman.

Bank-bank dan lembaga keuangan lain memiliki sikap dan perilaku

yang sama. Meski hanya Lehman Brothers yang kemudian dibiarkan

mati oleh otoritas AS, namun lembaga keuangan lainnya pun

mengalami pendarahan yang sama hingga krisis finansial meng-

hantam AS.

Selama 2004-2007, 5 bank investasi terbesar AS meningkatkan

financial leverage mereka hingga membuat mereka lebih rentan

terhadap financial shock. Kelima bank investasi ini mencatat utang

lebih dari 4,1 triliun dollar AS dalam tahun fiskal 2007 atau sekitar

30% dari nominal GDP AS untuk tahun yang bersangkutan. Akibat-

nya, Lehman Brothers dilikuidasi, Bear Stearns dan Merrill Lynch

dijual dengan sistem BU (butuh uang), sedang Goldman Sachs dan

Morgan Stanley berubah menjadi bank komersial dan harus taat

kepada serangkaian peraturan yang lebih ketat daripada aturan

untuk bank investasi. Di luar Lehman, keempat bank itu akhirnya

mendapat bantuan pemerintah.

Kacaunya pasar mortgage juga bisa dilihat dari apa yang

menimpa Fannie Mae dan Freddie Mac, dua perusahaan sokongan

Pemerintah AS yang memiliki atau menjamin obligasi mortgage

192 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

senilai 5 triliun saat mereka dimasukkan dalam skema pengawasan

khusus (conservatorship) oleh Pemerintah AS pada September 2008.

Secara bersama-sama ketujuh lembaga keuangan ini menanggung

kewajiban obligasi atau utang 9 triliun dollar AS, sebuah risiko akibat

keteledoran yang sangat tinggi.

Dampak runtuhnya sektor keuangan tak hanya terbatas pada

sektor itu sendiri. Ketidakmampuan sektor keuangan menyehatkan

dirinya sendiri membuat mereka mengerem secara ketat pemberian

kredit. Akibatnya, sektor lain pun kelimpungan. Salah satu yang

paling kuat terkena dampaknya adalah sektor otomotif yang akhir-

nya harus di-bailout pula. Ketidakmampuan sektor ini memper-

tahankan kinerja finansialnya berdampak pada PHK jutaan pekerja.

Pengurangan remunerasi, pemotongan gaji, hingga PHK massal

menjadi konsekuensi pahit yang harus ditanggung para pekerja

seperti Harvey dan Nawrocki.

Bukan hanya di AS, dampak kredit juga berlangsung di seluruh

dunia. Hal ini dipicu oleh luasnya keterkaitan pasar AS dengan pasar

dunia, baik dampak transaksi langsung maupun psikologis.

Keterkaitan langsung, misalnya, karena banyak para pemain

asing yang menanamkan modalnya di sektor properti AS. Banyak

juga yang membeli surat jaminan KPR dari bank-bank investasi AS.

Saat bank-bank investasi AS mengalami kesulitan pembayaran,

rekan bisnis asing itu pun terkena dampaknya pula.

Dampak tidak langsungnya, lesunya—bahkan krisis—ekonomi

AS memberi guncangan psikologis kepada pasar seluruh dunia.

Bursa-bursa efek di seluruh dunia berjatuhan, indeks harga saham

gabungan rontok. Lingkaran setan krisis pun makin tebal.

***

Memang, para pengelola lembaga keuangan yang kemudian

dikategorikan “gagal” harus bertanggung jawab karena ketidakmam-

puan atau keteledoran mereka. di AS pun, saat krisis finansial meng-

himpit negara itu sekitar tahun 2008 lalu, para CEO lembaga-lembaga

Mengungkap Kesenjangan Istana 193

keuangan yang terlalu asyik mengejar keuntungan besar di sektor

real estate dan mengabaikan prinsip kehati-hatian, menjadi pihak

pertama yang dituding bertanggung jawab terhadap krisis.

Presiden Barack Obama pun mengritik pola remunerasi kepada

para CEO dan eksekutif perusahaan-perusahaan besar yang

dinilainya kelewatan. Gaji dan beragam tunjangan yang diberikan

kepada mereka dinilai Obama mengusik rasa kepatutan dan tidak

sesuai kinerja (yang malah memunculkan krisis). Pemerintah AS

pun menjadikan pemotongan remunerasi para CEO dan eksekutif

itu sebagai salah satu syarat pemberian bail out.

Namun, bukan hanya para pengelola lembaga keuangan saja

yang dituding sebagai penangung jawab. Pemerintah melalui badan-

badan yang membidangi sektor itu, juga mendapat tudingan yang

sama. Saat krisis finansial yang melanda AS itu, Bank Sentral AS

(The Federal Reserve) juga disebut sebagai pihak yang bersalah secara

serius karena tidak mengantisipasi krisis ini. Gubernur Bank sentral

AS Alan Greenspan dan penggantinya, Ben Bernanke, dinilai gagal

memahami bahaya yang disebabkan oleh menggelembungnya

pemberian kredit subprime mortgage oleh lembaga-lembaga keuangan

raksasa, padahal dari sifat asalnya saja subprime mortgage sebenarnya

sudah terkategori “tidak layak menerima kucuran kredit”. Selain

itu, Bank sentral AS juga dianggap bertanggung jawab karena gagal

memberikan peringatan, bahkan mengambil tindakan, untuk

mencegah terjadinya pemberian kredit yang mengabaikan aspek

kehati-hatian ini.

Namun, AS tak berhenti pada mencari kesalahan dan meng-

hukum. Mereka bergerak cepat menanggulangi krisis tersebut.

Program bail out yang dirangkum dalam Troubled Asset Relief

Programme (TARP) segera dieksekusi yang menghabiskan sekitar

1% dari GDP AS. Padahal, langkah penyelamatan dalam krisis

perbankan sebelumnya menghabiskan sekitar 13% dari GDP,

demikian estimasi IMF. Ben Bernanke bahkan menyebutnya: “This

is a pretty good return on investment (Ini adalah hasil investasi yang

194 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

sangat baik).”

Sementara Inggris membutuhkan biaya lebih kecil lagi. Dalam

laporan pra anggarannya Desember 2009 lalu, Pemerintah Inggris

menyebut skema penyelamatan mereka membutuhkan dana sekitar

8 miliar pounsterling atau sekitar 13 miliar dollar AS. Angka ini

setara 0,5% dari GDP Inggris.

Melalui TARP ini Pemerintah AS membelanjakan 700 miliar

dollar AS untuk menyelamatkan sistem finansial mereka. Angka

ini diperkirakan masih bisa turun seiring dengan berjalannya

program perbaikan. Sebagian besar dana bailout itu diberikan kepada

sektor otomotif, lembaga keuangan AIG, dan untuk membantu

warga AS membayar cicilan mortgage mereka, atau setidaknya

menskema ulang cicilan itu.

Tentu angka 700 miliar dollar AS ini bukan angka yang sedikit.

Dengan kurs Rp 9.500/dollar AS, angka itu setara dengan Rp 6.650

triliun atau hampir 1.000 kali dana bailout yang dikucurkan

Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Bank Century senilai

Rp 6,67 triliun. Dan, Pemerintah AS sadar betul bahwa mereka

sedang membantu badan-badan usaha kaya yang telah melakukan

bisnis mereka secara serampangan dan menunjukkan sifat serakah

sebagian pengelolanya. Namun, bail out dalam jumlah besar tetap

diberikan juga.

Mengapa? Karena bila lembaga-lembaga keuangan itu semuanya

dibiarkan mati, dampak ikutannya sangat besar. Inilah yang ingin

dicegah oleh Pemerintah AS. Berkaca pada yang dilakukan otoritas

AS, jelas sekali bail out bukan sebuah praktik yang haram. Dalam

formula dan kerangka kebijakan yang tepat, bail out adalah obat

yang bisa mencegah penyakit menjadi lebih serius dan bahkan

menyembuhkannya.

Bank sentral AS, yang dikritik karena gagal mengantisipasi

adanya krisis besar, di lain pihak juga dipuji karena dianggap sukses

dalam menanggapi kepanikan pasar dan masyarakat. Kebijakannya

menurunkan suku bunga The Fed dan mengalokasikan banyak

Mengungkap Kesenjangan Istana 195

bantuan ke sistem perbannkan (bailout) dinilai banyak pihak

membantu mengatasi krisis. Kebijakan inilah yang dinilai mencegah

AS masuk ke situasi seperti depresi besar tahun 1930-an.

Pada akhirnya, pemerintah—melalui bank sentral dan badan

terkait— menjadi tulang punggung pemulihan krisis sekaligus

pemain utama yang bisa mencegahnya. Jeremy J. Siegel, Profesor

Keuangan Russell E. Palmer, The Wharton School, University of

Pennsylvania menyebut adalah sangat penting Bank Central diberi

keleluasaan maksimum untuk bergerak di masa krisis di saat peralihan

dari “pasar yang teratur” menjadi “pasar yang beku karena panik”

bisa terjadi dalam hitungan menit saja.

“Bayangkan apa yang mungkin terjadi terhadap sistem

keuangan global andai saja Bank Sentral AS harus menghabiskan

beberapa hari atau bahkan beberapa minggu menunggu persetujuan

(Kongres) bagi langkah-langkah penyelamatannya,” demikian

analisis Siegel.

Pendapatnya sama dengan peraih Nobel Ekonomi tahun 1976,

Milton Friedman. Menurut Friedman, kurangnya tindakan Bank

Sentral AS adalah alasan utama terjadinya Depresi Besar tahun 1930-

an. Ben Bernanke memiliki pendapar yang sama dan karenanya ia

bergerak cepat memaksimalkan peran Bank Sentral yang ia pimpin

supaya Depresi Besar itu tak terulang. Dan dia berhasil.

***

Indonesia pun tentu harus melakukan langkah serupa untuk

melindungi perekonomiannya. Apalagi, dalam dunia yang sudah

saling terkoneksi –terutama secara ekonomi— maka apa yang terjadi

di belahan dunia yang lain akan berdampak pula terhadap kita

sebagai dampak contagion effect. Financial contagion adalah

peningkatan secara signifikan keterkaitan lintas pasar (crossmarket

linkages) setelah terjadinya shock terhadap suatu negara atau

sekelompok negara.

Dari definisi ini jelas bahwa guncangan moneter dan ekonomi

196 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

yang terjadi di AS pasti akan memunculkan “gempa susulan” di

banyak negara lainnya. Indonesia tak terkecuali. Kondisi ini menjadi

alasan otoritas moneter untuk melakukan intervensi dalam bentuk

pemberian bailout atas sektor-sektor atau institusi-institusi yang

rapuh, atau bahkan sakit, akibat krisis.

Makroekonomi suatu negara tidak harus terhubung secara

langsung dengan perekonomian negara yang terkena krisis untuk

ikut merasakan dampak krisis tersebut. Suatu negara tidak perlu

memiliki keterkaitan langsung dalam hal fundamental makroekono-

minya untuk menyalurkan guncangan ke negara lain atau menerima

guncangan dari negara lainnya. Satu-satunya syarat yang diperlukan

bagi mengalirnya guncangan ekonomi itu dari satu negara ke negara

lain adalah adanya variabel-variabel makro ekonomi yang sama di

sejumlah negara.

Krisis global sangat berpengaruh terhadap Indonesia juga

terutama karena krisis itu pertama menghantam AS, negara yang

memiliki pengaruh ekonomi ke seluruh dunia dan menjadi patokan

dalam banyak hal bagi Indonesia. Ketika AS mengalami krisis,

perputaran uangnya menjadi seret. Utang-utang dalam dollar AS

yang jatuh tempo pada periode itu tidak bisa berharap mendapatkan

penjadwalan ulang. Utang-utang itu tetap harus dibayar meski kurs

terhadap rupiah luar biasa tingginya.

Banyak indikasi telah terjadi krisis di Indonesia. Pada 8 Oktober

2008, Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia (IHSG

BEI) terkoreksi hingga 10,38% atau menyentuh 1.451,7 yang

membuat otoritas bursa menutup sementara (suspend) perdagangan

efek dan derivatif selama 2 hari hingga 10 Oktober 2008. Penutupan

sementara bursa untuk melindungi para investor agar tidak rugi

lebih banyak lagi .

Selain bursa, indikator krisis lainnya datang dari cadangan devisa

yang pada Desember 2008 tinggal 51,6 miliar dollar AS, padahal pada

Juli 2008 masih 60,6 miliar dollar AS. Artinya, dalam kurun waktu

sekitar 5 bulan saja, cadangan devisa Indonesia lenyap sekitar 9

Mengungkap Kesenjangan Istana 197

miliar dollar AS atau usut 15% .

Bukti lain diberikan oleh rupiah. Sebelum pengumuman

penutupan Lehman Brothers, nilai tukar rupiah masih di kisaran

9.000 per dollar AS. Sejak adanya pengumuman kebangkrutan bank

investasi terbesar keempat di AS (saat itu) tersebut, rupiah mulai

sempoyongan. Puncaknya, rupiah terdepresiasi hingga Rp 12.650

per dollar AS pada 24 November 2008 .

DPR pun sepakat Indonesia tengah dilanda krisis di akhir 2008

itu. Sesuai harapan anggota dewan ketika itu, pemerintah

mengambil langkah-langkah cepat dan strategis seperti menerbitkan

tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang (Perpu)

untuk menghadapi krisis.

“Alhamdulillah, DPR pun sependapat dengan pemerintah. Ini

tercermin dengan sikap DPR untuk menyetujui Perpu perbaikan

peraturan di bidang keuangan dan perbankan. Itu maknanya DPR

pun mengakui adanya krisis, adanya kegentingan yang tentunya

memerlukan pengambilan keputusan di masa krisis bukan

pengambilan keputusan di masa normal-normal saja,” kata Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya, Kamis malam, 4

Maret 2010, menanggapi hasil paripurna DPR tentang bailout Bank

Century.

Situasi memang genting. Perusahaan manapun yang memiliki

utang dalam dollar AS (atau deposito dalam konteks bank) yang

jatuh tempo dengan kurs Rp 12.650 per dollar AS seperti saat itu,

pasti sempoyongan pula. Padahal pada Nobember 2008, ada surat-

surat berharga Bank Century yang jatuh tempo senilai 45 juta dollar

AS dan pada Desember senilai 40,36 juta dollar AS. Sudah pasti

Bank Century langsung “kejang-kejang”.

Sakitnya Bank Century tentu terpantau oleh bank-bank lain,

juga para kreditur maupun debitur besarnya. Hasilnya seperti

disinggung sebelumnya, pasar uang antar bank (PUAB) seret karena

bank tidak percaya meminjamkan uangnya terhadap bank lain meski

dengan margin yang sangat tinggi.

198 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

Apakah Bank Century akan dibiarkan mati dalam situasi seperti

itu?

Bila kebijakan itu yang diambil, para deposan di bank-bank lain

akan berpikir ulang tentang keselamatan dana mereka. Mereka pasti

akan melakukan penarikan besar-besaran (rush) dan menbuat banyak

bank mati kehabisan darah.

Maka, ketika Bank Century gagal kliring pada 13 November

2008 dan sehari kemudian mengajukan Fasilitas Pinjaman Jangka

Pendek (FPJP), Bank Indonesia pun mengabulkannya sebesar Rp

502 miliar. Pada tanggal 17 Nobember 2008, Bank Century mengaju-

kan FPJP kedua dan kembali disetujui Rp 187 miliar hingga total

FPJP yang diterima bank ini Rp 689 miliar.

Sayangnya, kucuran dana tersebut tak mampu menyehatkan

Bank Century. Mismatch yang dialaminya sudah terlalu dalam.

Mismatch adalah kondisi di mana aliran dana masuk (melalui

tabungan, deposito, dan lainnya) lebih kecil dibanding aliran dana

keluar (kewajiban yang harus dibayar). Maka, pada 20 November

2008 Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang berpotensi

sistemik. Keputusan BI ini disampaikan ke Komite Stabilitas Sektor

Keuangan (KSSK) yang diketuai Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

KSSK berpendapat serupa dan meminta Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) melakukan langkah selanjutnya.

Setelah melalui serangkaian perhitungan, penyelamatan Bank

Century ditetapkan senilai Rp 6,76 miliar. Angka ini terdiri dari:

1. Menambah modal bank (capital adequate ratio atau CAR)

menjadi 8% sebanyak Rp 1,7 triliun.

2. Memenuhi likuiditas selama 3 bulan ke depan sebesar Rp 4,792

triliun.

Dana ini dikeluarkan oleh LPS dan diperhitungkan sebagai

penyertaan modal sementara (PMS) LPS ke Bank Century yang

kemudian berubah nama menjadi Bank Mutiara. Dalam kurun 2

hingga 3 bulan setelah PMS itu, LPS akan menjual saham Bank

Mutiara yang dimilikinya ke investor lain. Jadi, PMS sama sekali

Mengungkap Kesenjangan Istana 199

bukan uang hilang.

Malah, mekanisme penjaminan dan penyelamatan oleh LPS ini

adalah koreksi atas kebijakan tahun 1998. Saat itu, dana penanganan

krisis perbankan sebesar Rp 656 triliun nyata-nyata berasal dari

keuangan negara dan yang berhasil kembali hanya 27 persen saja.

“Dengan angka yang saya sebutkan tadi dapat dilihat bahwa

biaya krisis 1998 membebani Anggaran Negara hingga Rp 656

triliun—sebuah angka raksasa jika dibandingkan dengan penyertaan

modal sementara Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century

yang senilai Rp 6,7 triliun,” kata Presiden Yudhoyono.

Melihat latar belakang situasinya dan perbandingan apa yang

dilakukan otoritas moneter dan ekonomi AS, tentu tidak bisa bail

out terhadap Bank Century serta merta disebut sebagai sebuah

kesalahan, apalagi kejahatan. Kebijakan bailout ini mestinya dipan-

dang sebagai upaya kehati-hatian pemerintah (baca: Bank Indonesia,

Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), Departemen Keuangan,

dan Lembaga Penjamin Simpanan) untuk mencegah terjadinya

krisis.

Dilihat dari aset dan jumlah dana yang dikelola, Bank Century

sungguh bank kecil. Kantor cabangnya pun hanya 30 buah dengan

nasabah cuma 65 ribu. Namun kebijakan yang tidak tepat bisa

membuat bank dengan kemampuan kecil seperti itu memicu

dampak yang jauh lebih besar. Uni Eropa sendiri sudah mengeluar-

kan panduan bahwa dalam melihat krisis perbankan, ukuran-ukuran

kuantitatif bukan satu-satunya bahan pertimbangan karena ukuran

kualitatif justru perlu dikedepankan.

Mereka yang tidak sepakat bahwa penutupan Bank Century

memiliki dampak sistemik sangat mungkin mengabaikan

perhitungan secara kualitatif ini dan terlalu mengandalkan data-

data kuantitatif. Padahal, dimasukkannya perhitungan kualitatif ini

bukan hanya dominasi Indonesia, namun sudah menjadi semacam

konvensi di dunia internasional seperti terlihat dari sikap Uni Eropa

tersebut.

200 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

Uni Eropa sendiri menetapkan 4 indikator untuk menilai bank

gagal berdampak sistemik:

1. Institusi keuangan

2. Pasar keuangan

3. Sistem pembayaran, dan

4. Sektor riil.

Bank Indonesia menambah satu indikator lagi, yaitu faktor

psikologis pasar. Penambahan factor psikologis pasar ini tak lepas

dari pengalaman krisis moneter yang lebih dulu menerjang

Indonesia tahun 1997 lalu. Saat itu pemerintah menutup 16 bank

bermasalah. Bank-bank itu sungguh kecil karena akumulasi dana

yang mereka kelola hanya 3% dari total aset perbankan nasional.

Namun, penutupan bank-bank itu mengirim sinyal negatif yang

segera direspon masyarakat dengan rush. Hasilnya, pemerintah harus

mengalokasikan Rp 600 triliun untuk merekapitalisasi perbankan

nasional agar terhindar dari kebangkrutan.

Bank Century diyakini memiliki dampak sistemik seperti ini.

Bila tak diselamatkan, masyarakat dikhawatirkan tak percaya pada

sistem perbankan nasional dan menciptakan rush.

Salah satu titik utama perdebatan yang kemudian membesar

hingga menjelma menjadi Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang

Pelanggaran Bailout Bank Century memang terletak pada perbedaan

dalam menilai apakah Bank Century memiliki dampak sistemik atau

tidak. Bila Bank Century dianggap memiliki dampak sistemik, maka

bailout bisa dibenarkan karena ia adalah upaya pencegahan terjadinya

krisis yang lebih besar. Namun bila Bank Century dianggap tidak

memiliki dampak sistemik, pemberian bailout itu dinilai sebagai

sebuah kesalahan, semacam memberi permen kepada anak nakal.

Padahal, bahkan Pemerintah AS pun memberi berkantong-kantong

permen kepada anak-anaknya yang jauh lebih nakal.

Kenyataannya, Bank Century memang memiliki dampak

sistemik karena kegagalannya terjadi pada periode Oktober-

Desember 2008, saat dunia (termasuk Indonesia) berada dalam situasi

Mengungkap Kesenjangan Istana 201

krisis. Bila pemerintah melakukan penutupan bank gagal dalam latar

belakang situasi krisis, diyakini akan terjadi rush dan menciptakan

ketidakpercayaan di masyarakat. Bila ini terjadi, maka yang tumbang

bukan hanya satu bank, namun bank-bank lain pun akan berjatuhan

dan menyeret Indonesia ke krisis moneter parah. Bila sektor

perbankan tumbang, sektor-sektor lainnya pun (manufaktur,

pertanian, pertambangan, perdagangan, ekspor-impor, dan lainnya)

akan macet juga karena tak memiliki sumber dana untuk

menjalankan usaha atau melakukan ekspansi.

A Tony Prasetyantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan

Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada pernah menyebut, ongkos

bila Bank Century tak diselamatkan adalah Rp 6 triliun (total jumlah

dana pihak ketiga di bawah Rp 2 miliar yang dijamin LPS). Ini adalah

biaya langsung. Di luar komponen ini, masih ada biaya tidak

langsung yang jumlahnya jauh lebih besar (Kompas, 4 Desember

2009).

Biaya tidak langsung yang dimaksud Tony adalah biaya

kepanikan para deposan di 23 bank setara Bank Century yang

memiliki dana di atas Rp 2 miliar yang tidak dijamin LPS. Kepanikan

nasabah bisa membesar dengan cepat sebagai dampak contagion effect

(dalam ranah psikologis) yang ditimbulkannya.

Sesuai teori ini, bila sebagian deposan itu melakukan rush karena

yakin dananya tak diperjuangkan oleh pemerintah, maka para

deposan di bank-bank lain pun akan melakukan hal yang sama.

Akibatnya, sangat mungkin 23 bank lain setara Bank Century akan

kolaps pula. Bila bank-bank itu ambruk, LPS harus menanggung

banyak sekali dana nasabah di bawah Rp 2 miliar. Total dana

pengganti ini, diyakini Tony jauh lebih besar dari Rp 6,76 triliun

yang dialokasikan untuk bailout Bank Century (Krisis Global dan

Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2010,

halaman 65).

“Menyelamatkan Bank Century dengan harga Rp 6,76 triliun

masih lebih murah dibanding skim lainnya,” lanjut A. Tony

202 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

Prasetyantono.

Penyelamatan Bank Century, dalam konteks ini, bukanlah

untuk menyelamatkan bank itu an sich, namun lebih pada upaya

mencegah terjadinya efek domino atau spiralisasi ketidakpercayaan

publik yang bisa melumpuhkan sistem perbankan.

Kalangan perbankan pun terlihat menyambut baik kebijakan

bailout ini. Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Perbankan

Nasional (Perbanas) menyatakan tidak ada seorang bankir pun yang

menyatakan keputusan itu keliru. Sebab, ketika itu bank sudah

terjangkit penyakit ketidakpercayaan.

“Bank-bank tidak mau lagi meminjamkan uangnya ke bank lain

karena khawatir tidak dapat dikembalikan,” katanya.

Meski yakin tindakannya adalah kebijakan yang tepat untuk

melokalisasi krisis dan tidak memicu krisis yang lebih besar, namun

pemerintah menyambut baik inisiatif sebagian anggota DPR mem-

bentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk menyelidiki kemungkinan

kesalahan dalam proses bailout Bank Century.

Sejak awal Presiden Yudhoyono mempersilakan semua pihak

membuka hal ini seterang-terangnya. Namun Rabu (3/3) malam,

temuan pansus dibawa ke sidang paripurna DPR. Melalui voting,

mayoritas anggota DPR memilih opsi C, yaitu pernyataan bahwa

dalam pemberian bailout terkandung kesalahan. Mereka pun mere-

komendasikan agar kesalahan-kesalahan itu diselidiki dan dibawa

ke ranah hukum.

Mengungkap Kesenjangan Istana 203

Peta Sikap Fraksi di DPR Terhadap Bailout Bank Century

* Mereka yang tidak hadir adalah akumulasi dari tidak hadir di rapatparipurna (biasanya beralasan sakit) dan mereka yang tidak hadirsaat pemungutan suara.

Opsi A (menganggap bailout tidak mengandung kesalahan)

Opsi C (menganggap bailout menyimpang)

Presiden Yudhoyono sepenuhnya sepakat, pengadilan akan

menjadi wasit penentu ada tidaknya kesalahan. Pemerintah sendiri

malah sudah bertindak lebih maju. Pemilik Bank Century yang

terbukti menipu dan mengambil dana nasabah untuk kepentingan

sendiri, telah ditahan, diadili, dan dipenjarakan.

Dibanding proses penegakan hukum BLBI yang masih

menyisakan banyak masalah, termasuk perdebatan tak berkesudah-

an kebijakan release and discharge, langkah pemerintah di tahun 2008

jelas merupakan kebijakan yang lebih tepat dan menjunjung tinggi

kepastian hukum.

“Semua langkah kebijakan terkait dengan Bank Century

dilakukan dengan mempertimbangkan semua opsi yang tersedia,

diputuskan dengan cepat dan tepat, tanpa sedikitpun mengabaikan

prinsip kehati-hatian,” tegas Presiden Yudhoyono.

Nah apakah kebijakan yang terbukti menghindarkan Indonesia

dari seretan krisis global dan bahkan membuahkan pertumbuhan

ekonomi positif 4,5% selama 2009 (tertinggi ketiga di antara negara

Fraksi Opsi A Opsi C Abstain Tidak hadir* Demokrat 148 0 0 0 Golkar 0 104 0 2 PDI Perjuangan 0 90 0 4 PKS 0 56 0 1 PAN 39 0 0 7 PPP 0 32 0 6 PKB 25 1 0 2

Gerinda 0 25 0 1

Hanura 0 17 0 0

Total 212 325 0 23

204 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal

G-20, di bawah China dan India) masih juga dianggap salah? Apakah

jangan-jangan kita memang enggan peduli jika nasib Barbara Harvey

dan Paul Nawrocki menular ke Saudara-saudara sendiri di sini? *

Mengungkap Kesenjangan Istana 205

1212121212Cyberdemocrazy:Itukah yang Kita

Inginkan?

“Enyahlah dari Romawi. Semua orang takut danmembencimu. Matamu penuh airmata buaya, tanganmu

penuh darah, tubuhmu dibalut keserakahan…!”

Dengan gaya khasnya sebagai orator ulung, Cicero melanjutkan

kobaran pidatonya di hadapan Senat Romawi: “Sampai

kapan, oh Catiline, kamu melecehkan kesabaran kami? Sampai kapan

kegilaanmu menghina kami? Kapan keberanianmu yang lepas

kendali itu kamu akhiri?”

Itulah sebagian pidato Marcus Tullius Cicero yang dikenang

sampai 2.000 tahun kemudian. Cicero memang dikenal sebagai filsuf,

politisi, dan orator ulung. Tapi dengan kelihaiannya berorasi, pria

yang hidup pada 206 SM - 43 SM itu juga dikenang pernah menusuk

lawan politiknya dengan kampanye hitam yang kejam.

Abad pertama masehi di Imperium Romawi bukan cuma

ditandai perang saudara yang disesaki kekerasan fisik, tapi juga

kekerasan verbal. Cicero adalah salah satu aktornya. Ia menuduh

206 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

Cataline, lawan politiknya, melakukan konspirasi menjatuhkan

pemerintah. Cicero juga menuding Cataline membunuh isterinya

untuk kawin lagi.

Parahnya kerusakan akibat kata-kata Cicero memang tak

terbantahkan. Saat pidato itu diucapkan, Catiline baru datang.

Senator-senator lain spontan beringsut menjauh saat Catiline hendak

mengambil tempat duduk. Catiline pun terpencil sendirian. Dia

berupaya membalas cercaan Cicero dengan pidato, tapi para senator

lain terus menginterupsinya.

“Pengkhianat, pengkhianat…!”

Seruan para senator lain itu serasa menghunjam jantung

Catiline. Catiline tak lagi bisa menahan perasaannya. Dia lari keluar

dari gedung senat setelah melontarkan ancaman. Catiline lalu pergi

ke Manlius, sebuah camp yang dikuasai pasukan pemberontak.

Esok paginya, Cicero mengumpulkan massa dan kembali

berpidato. “Catiline meninggalkan kota, bukan diasingkan. Dia telah

bergabung dengan tentara liar,” kata Cicero.

Cicero melengkapi serangannya dengan menyebut gerakan

Catiline sebagai konspirasi para orang kaya yang tengah dililit utang,

orang-orang kaya yang haus kekayaan dan kekuasaan. Sebagai

politisi ulung, dia juga bisa meyakinkan warga Roma tak perlu

khawatir dengan pemberontakan Catiline.

“Karena saya dan dewa-dewa akan melindungi negara,”

katanya.

Sejarah mencatat, Catiline akhirnya tewas dibunuh tentara

Romawi dalam sebuah pertempuran pada tahun 62 SM.

Sejarah mencatat pula, prasangka, fitnah atau fiksi politik

memang menjadi semacam “ramuan ajaib” para politisi untuk

mempertahankan maupun menjatuhkan kekuasaan. Cicero sendiri,

yang amat bangga dengan kedahsyatannya mengolah retorika di

depan massa, pernah mengatakan, “Tidak ada satu hal pun yang

tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-

kata”

Mengungkap Kesenjangan Istana 207

Sejarah memang tak cuma berisi kegemilangan dan heroisme

para pemimpin, tapi juga panah-panah kata beracun yang dialamat-

kan kepada mereka. Sosok sefenomenal Barack Obama, misalnya,

pernah dihajar isu yang mengaitkan masa lalunya di Indionesia dan

Kenya. Masa kecilnya di Indonesia di-frame sebagai potensi bahaya

bagi Amerika Serikat lantaran status Indonesia sebagai negara

berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Nama tengah “Husein” juga

dikampanyekan lawan-lawan politiknya sebagai bahaya besar bagi

keamanan nasional Amerika Serikat.

Hal yang sama juga menimpa Sarah Palin, kandidat wapres

dari Partai Republik yang pernah menjadi competitor Obama. Ia

disorot atas kehamilan di luar nikah putrinya. Amerika Serikat

memang relatif bebas dalam pergaulan seks, tetapi warganya

menginginkan pemimpin yang bersih, termasuk dalam urusan

keluarga. Kehamilan di luar nikah pun menjadi senjata kampanye

hitam sehingga Sarah Palin menjadi bulan-bulanan media.

Di Indonesia? Sama saja. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

berulang kali menjadi sasaran empuk kampanye hitam, mulai

digembar-gemborkan pernah menikah saat masih menjadi taruna

Akabri hingga menjadi “antek” Amerika Serikat. Bersama Sri

Mulyani (sekarang Menteri Keuangan) dan Boediono (sekarang

Wakil Presiden), Presiden Yudhoyono juga dikapmanyekan sebagai

“antek” neoliberalisme.

Karakter politik Presiden SBY yang santun, hati-hati, dan penuh

pertimbangan agar tak melukai pihak lain juga dipelintir menjadi

bahan kampanye hitam secara terus-menerus. Melalui beragam

medium, mulai layar televisi, berita di koran, SMS, internet, atau

selebaran-selebaran gelap, Presiden SBY kemudian disebut sebagai

sosok peragu, penakut, lamban, dan cengeng.

Wapres Boediono juga tak lepas dari serangan yang sama. Saat

kampanye Pemilihan Presiden 2009 berlangsung, istri guru besar

yang juga dikenal santun itu dituding beragama Katolik. Bukan

hanya berbau fitnah, isu ini juga bisa merusak pluralisme dan

208 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

semangat Bhinneka Tunggal Ika. Jika pun informasi itu benar, inilah

pertanyaannya: apakah seseorang yang beristri bukan muslimah,

atau seseorang yang suaminya bukan muslim dilarang dan dibatasi

haknya untuk dipilih menjadi pemimpin? Sungguh, itu adalah cara

berpikir yang bertentangan dengan semangat kemajemukan kita.

Nah kini, tak perlu harus sepiawai Cicero untuk mengirim

“pesan-pesan kebencian” kepada lawan politik. Tak perlu pula ber-

susah-susah memikat media atau menjadi “media darling” agar bisa

punya akses ke ruang media dan menebar pernyataan yang menye-

rang lawan. Sekarang kita punya medium yang memungkinkan

semua orang punya akses yang sama. Hebatnya lagi, semua orang

bisa bersembunyi di balik anonimitas.

Selamat datang ke dalam era baru dalam dunia komunikasi dan

informasi, era yang oleh Mark Poster disebut sebagai second media

age. Inilah era yang ditandai bangkit dan berkembang luasnya

electronic media seperti internet dan realitas virtual. Second media age

sering disebut sebagai “revolusi” terhadap era yang kemudian

dijuluki first media age, sebuah era di mana old media atau traditional

media seperti koran, majalah, radio, atau televisi mendominasi dunia

komunikasi dan informasi.

Para ahli komunikasi juga sering menyebutnya sebagai new

media, yang dikotradiksikan dengan apa yang kemudian disebut old

media. New media merujuk pada kemunculan jaringan teknologi

informasi dan komunikasi berbasis teknologi digital dan computer

pada akhir abad ke-20. Teknologi yang digambarkan sebagai new

media ini bersifat digital, seringkali bisa dimanipulasi, bersifat

jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Secara

sederhana, new media merupakan media yang terbentuk dari

interaksi antara manusia melalui komputer dan internet, termasuk

di dalamnya web, blog, online social network, online forum, dan

sebagainya. Sementara old media merujuk pada media-media

“tradisional” seperti koran, majalah, radio, televisi, film, buku, atau

produk media cetakan lainnya.

Mengungkap Kesenjangan Istana 209

Di tengah gelombang new media, orang kemudian menyebut-

nyebut terminologi cyberdemocracy. New media, yang secara

operasional sering disebut sebagai computer-mediated communication

(CMC) ini dianggap menjadi monumen kelahiran kembali

demokrasi. New media telah membuka kembali apa yang pernah

disebut Habermas sebagai public sphere, yang sebelumnya dianggap

gagal direpresentasikan oleh old media lantaran adanya komersialisasi

media massa, bias kepentingan media, tidak adanya akses yang equal

bagi semua orang dan kecenderungan sensor.

Komersialisasi media massa dan perluasan intervensi negara

menimbulkan apa yang disebut Habermas sebagai “refeodalisasi”

ruang publik. Ruang publik runtuh menjadi sekedar dunia khayalan,

tempat citra dan opini dikelola dan mengalami komodifikasi untuk

tujuan-tujuan komersial belaka. Media tak lagi dinilai merefleksikan

realitas secara objektif, jernih dan apa adanya. Isi media dianggap

dipengaruhi beragam faktor yang menghasilkan bermacam-macam

realitas. Isi media tidak lagi bisa dipahami dalam konteks bebas nilai,

tetapi disesaki aneka kepentingan.

Maka new media pun—yang berupa situs jejaring sosial seperti

Friendster, Facebook atau Twitter, blog, milis, atau forum di internet—

menjadi ruang baru bagi publik untuk mengekspresiken perasaan

atau kepentingannya secara terbuka, bebas, dan tanpa hambatan

akses. Banyak yang menganggap, itulah bentuk kontemporer dari

public sphere yang dimaksud Habermas. Komunitas virtual itu

menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang

dapat menyediakan situasi komunikasi tanpa dominasi.

Tapi, bagaimana kita secara etik menjelaskan hal berikut ini?

“SBY Anjing”

Cobalah search kata kunci SBY di situs jejaring sosial Facebook.

Niscaya, di antara sederet akun akan muncul nama akun itu: “SBY

Anjing”. Di bawah nama akun terpampang foto profil berupa seekor

kepala anjing yang dihiasi topi.

210 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

Lalu coba lihat status atau komentar-komentar yang ada di

dinding (wall) akun itu. Pemilik akun itu di antaranya menulis begini:

Antek antek kebo lagi mangkal disini....ayo kawan kita serbu!!!http://

www.facebook.com/sbyudhoyono?ref=ts

Yang dimaksud adalah sebuah akun di Facebook yang dide-

dikasikan untuk Presiden Yudhoyono. Pemilik akun “SBY Anjing”

itu rupanya kesal melihat banyaknya akun di Facebook yang memberi

apresiasi terhadap Presiden Yudhoyono.

Pada hari lain, si pemilik akun “Sby Anjing” bahkan tega

membandingkan Presiden Yudhoyono dengan si penjahat

kemanusiaan, Adolf Hitler:: “Mending hitler lah hampir menang lawan

sekutu ketimbang Sby lawan malingsia pun takut.”

Binatang-binatang yang berkonotasi negatif belakangan ini juga

rajin direkatkan sebagai label ke sosok Presiden Yudhoyono. Caranya

pun cenderung dilakukan dengan mengabaikan etika atau sopan-

santun politik. Di jagat maya, hal itu dilakukan dengan memilih

kata-kata sekeras dan sekotor mungkin.

Sementara di “dunia nyata”, dilakukan dengan menggelar

semacam “aksi teatrikal” yang cenderung melampaui batas kepatut-

an. Pada hari-hari yang nyaris bersamaan dengan munculnya status-

status di akun “Sby Anjing” itu, di Jakarta sebuah kelompok

demonstran tega-teganya membawa babi dan anjing. Dua binatang

yang tidak mengerti duduk perkara itu dipaksa menduduki poster

bergambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan

Sri Mulyani, dan Wakil Presiden Indonesia Boediono.

Sebuah media membuat laporan dengan judul: “Wah! Anjing

dan Babi Duduki Poster Bergambar SBY.” Teras beritanya berbunyi:

“Kerbau boleh saja batal mengikuti aksi bertajuk tangkap dan adili maling

skandal Bank Century. Namun, hewan anjing dan babi ternyata tak me-

nemui hambatan berarti dalam mengikuti aksi tentang skandal Bank

Century.”

Tak hanya melaporkan, media itu juga kembali mengingatkan

pembacanya kepada kerbau yang sebelumnya juga dibawa

Mengungkap Kesenjangan Istana 211

demonstran. Pantat kerbau itu diberi tulisan SBY, disuguhkan sebagai

representasi sosok Presiden. Ketika Presiden Yudhoyono meng-

gunakannya sebagai contoh perlunya etika politik, para demonstran

balik menuding Presiden sebagai “cengeng” atau “suka curhat.”

Bagi demonstran, boleh jadi babi, anjing, dan kerbau itu hanya

lelucon. Arthur Koestler dalam The Act of Creation, memang

menyebut lelucon sebagai kebutuhan manusia. Tapi bagaimanapun,

lelucon adalah representasi dari sebuah petanda. Boleh jadi beragam

hewan yang diadaptasi ke dalam ranah politik itu –termasuk politik

di jagat maya— dimaksudkan sebagai lelucon. Tapi pertanyaannya,

apakah lelucon itu kemudian bermakna lucu? Tidakkah itu ber-

makna sebaliknya, menjadi menjadi sesuatu yang sangat kejam

hingga menista karakter seseorang? Lalu di mana letaknya etika?

Agak susah dibayangkan, adakah si pemilik akun “Sby Anjing”

akan mengatakan atau menulis dengan kekerasan verbal sekaligus

simbolik seperti itu jika mediumnya tidak bersifat anonim? Mengapa

anonimitas dan apa yang disebut ahli komunikasi sebagai “rebirth of

democratic life “ justru dimanfaatkan untuk menabur kata-kata kotor

dan kasar seperti “anjing, kebo, serbu”, atau “malingsia”?

Di jagat new media, ada bergerobak-gerobak akun, content milis

atau blog yang sejenis dengan akun “Sby Anjing.” Masih di Facebook,

ada pula akun yang diberi nama “GERAKAN ANTI SBY, Bangsat

Sby-Boediono Gila,” dan “Sby Bangsat.” Tentu saja, tidak jelas

identitas pembuatnya.

Status atau komentar yang terpampang di wall-nya juga tak

kelas seram. Di dinding akun “GERAKAN ANTI SBY” misalnya,

ada komentar seperti ini:

SBY=Seperti Babi Yah

Boediono=Bodoh,Edan,Ilmu ne ora ono

Sri Mulyani=Setan republik indonesia Muka licik yang amat

nista

Komentar itu disusul komentar lain: S B Y,,,,Sangat Bebal Y....

Akun “Bangsat Sby-Boediono Gila” juga memajang status atau

212 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

komentar yang tak kalah vulgarnya. Salah satunya berbunyi: “SBY

PREMAN ABAL-ABAL !!!”

Caci-maki dan kata-kata kotor juga beredar di milis-milis.

Sejumlah posting di sebuah milis mencerca Presiden Yudhoyono

seperti ini: “Tapi dasar DIA SOSOK BANGSAT ..... “. Satu lagi

berbunyi: “SBY BISA NONGKRONG di ISTANA karena DIBESAR-

KAN RAKYAT. Tapi dasar DIA SOSOK BANGSAT, RAKYAT justru

DIA SIKSA.”

Jika seperti ini yang terjadi dengan di alam new media, lalu apa

makna sebenarnya dari apa yang disebut cyberdemocracy? Adakah

kebebasan di jagat new media boleh-boleh saja menghasilkan ekspresi-

ekspresi yang penuh caci-maki? New media adalah jawaban terhadap

old media (traditional media) yang sudah dianggap terlalu elitis dan

dijajah komersialisasi, tapi apa jadinya kalau kemudian new media

dijadikan bagian dari pertarungan-pertarungan politik di tingkat

elite dan disesaki ungkapan-ungkapan dengan bahasa yang kurang

patut?

Dalam blog pribadinya, seorang admin/moderator di internet,

pernah mengungkapkan kegelisahannya terhadap fenomena “lomba

mencerca” ini. Suatu saat, dia memblokir akun seorang anggota

forum diskusi yang dikelolanya lantaran si anggota rupanya

kejangkitan hobi mencerca. Sang admin mengirim pesan begini:

“Kamu boleh berpendapat apa saja. Silahkan. Kamu bebas sebebas-

bebasnya. Tapi lakukanlah dengan cara yang sopan, intelek dan

beradab.”

Tahu jawabannya? Si pemilik akun yang gemar mengumbar

cercaan itu malah balik menyerang. Dia mengatakan, “Ini internet,

Bung! Di sini semuanya bebas. Anda ini seperti Orde Baru saja.

Suka mengekang kebebasan orang lain!”

Sungguh, sebuah jawaban tragis dari sosok yang juga tragis.

Hanya orang tragis yang melihat kebebasan sebagai sebuah kondisi

tanpa batas, yang sama sekali tak sadar bahwa kebebasan seseorang

selalu dibatasi kebebasan orang lain. Hanya orang tragis yang

Mengungkap Kesenjangan Istana 213

membabi-buta menggunakan apa saja yang ada dalam jangkauannya

untuk menistakan karakter orang lain.

Dulu, rezim Orde Baru menggunakan politik bahasa dan simbol

untuk memperoleh “penaklukan suka rela” (hegemoni) dari

warganya. Pancasila, stabilitas, dan pembangunan, (dan masih

banyak yang lain) adalah diksi-diksi kunci yang menjadi bagian dari

politik bahasa Orde Baru untuk menindas rakyatnya secara simbolik.

Tetapi kini, mengapa “Orde Baru” tiba-tiba menjadi diksi kunci yang

digunakan sebagian kaum “reformis” untuk “menindas” reformis

lainnya? Tidakkah ini tragedi?

Pertanyaan lainnya, apakah kampanye hitam, saling serang dan

saling menelanjangi baik bagi perkembangan demokrasi? Victor

Kamber, penulis buku Poison Politics, tegas menjawab: “Kampanye

negatif, apalagi kampanye hitam, merusak demokrasi. Kampanye

hitam seperti racun politik yang tidak sehat bagi rakyat,” tulisnya.

Kini, pertarungan-pertarungan politik tak cuma dihelat di

gedung parlemen, partai politik, atau di jalan-jalan, tapi juga di jagat

maya new media. Apa-apa yang sebelumnya hanya bisa diedarkan

lewat selebaran gelap atau tayangan (old) media, tiba-tiba ditarik

masuk ke dalam jagat maya. Atas nama demokrasi, semua orang

bisa bebas –lantaran bisa bersembunyi di balik anonimitas—menulis,

mengatakan, atau melakukan apa saja. Apalagi, sejarah mencatat,

banyak peristiwa politik dramatis di berbagai penjuru dunia –

termasuk Indonesia— terjadi melalui new media.

Tapi, menggunakannya secara kalap bertabur kata-kata kotor

juga jelas bukan pilihan bijak.

Awal Mei 2005

Seorang pemuda 16 tahun asal Korea Selatan, Lee Chun-Kil,

menekan tombol send di ponselnya. Dia mengirim pesan teks kepada

temanya saat berada di dalam kelas. Dia memang sangat andal

memainkan keypad ponselnya. Dia bahkan tak perlu melihat tombol

keypad saat mengetik pesan ini: “Gwanghwamun station. 6:00.”

214 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

Pesan teks itu pun segera tersebar, mengabarkan berita aksi

spontanitas siswa SMA di negeri ginseng tersebut. Pada hari

berikutnya di tengah kota Seoul, tiba-tiba sekitar 400 siswa berkum-

pul menggelar protes terkait tekanan ujian masuk perguruan tinggi

negeri yang amat sangat kompetitif.

“Aksi ini tak akan besar jika kita tidak memiliki ponsel. Tanpa

SMS, kita tak akan mampu menyebarkan informasi dengan cepat,”

ujar Im Soon-jae, salah satu koordinator aksi.

Sekitar dua dekade silam, kita melihat bagaimana tayangan

televisi ikut merobohkan Tembok Berlin, dan mesin faks membantu

pengorganisiran demonstran selama protes di Lapangan Tiananmen.

Lima tahun lalu, pesan teks via ponsel yang dikenal sebagai SMS

(short message services) menyusul menjadi perkakas politik baru bagi

aktivis atau siapapun.

Di negeri yang melek teknologi seperti Korea Selatan, SMS

menyuntikkan pengaruh dan merangasang apa yang disebut sebagai

mobile democracy. Gerakan SMS ini tak terawasi dan berongkos

murah. Maka, mobile democracy pun menyediakan kanal bawah

tanah untuk pernyataan singkat yang tak tersensor.

Demonstran menggunakannya untuk memobilisasi protes,

menjungkalkan otoritas, dan melesakkan berbagai spam (penyalah-

gunaan sistem pesan elektronik) untuk mengirim pesan massal yang

secara politik tidak tanpa pandang bulu. Mobile democracy juga

memungkinkan mereka merekayasa aksi kolektif dengan kecepatan

tak terduga.

Filipina juga memberi contoh bagaimana politik “menguji” tek-

nologi informasi dan komunikasi. Pada 2002, gerakan anti Presiden

Joseph Estrada juga menggunakan SMS untuk mengorganisir

demonstrasi. Para pemrotes diminta berpakaian hitam, dan

dipanggil secara serentak oleh pesan SMS dari ponsel ke ponsel:

“Go 2 EDSA (akronim untuk sebuah jalan di Manila). Wear Black.”

Sejarah mencatat, Joseph Estrada Estrada dipaksa turun dari

kursi kepresidenannya dengan gerakan people power yang

Mengungkap Kesenjangan Istana 215

dikoordinasi lewat SMS. Seorang presiden yang dulunya terpilih

dengan dukungan publik begitu besar akhirnya harus jatuh karena

publik berhasil menyatukan diri melalui medium SMS. Seperti

diketahui, Estrada kemudian diganti Gloria Macapagal Arroyo.

Sejak itu, penggunaan SMS sebagai perkakas politik (political

tool) semakin menyebar. Banyak peristiwa besar terjadi karenanya.

Banyak negara dari bagian yang bebeda di seluruh dunia yang

pemilihan umumnya dipengaruhi orang-orang yang secara spontan

bergerak bersama,” tulis Howard Rheingold dalam “Smart Mobs:

The Next Social Revolution.”

Ketika fenomena new media datang, SMS bukannya ditinggal-

kan. Keduanya bahkan kemudian terkoneksi sehingga menjadi

perkakas politik yang kian dahsyat. Facebook dan Twitter, semisal,

kini bisa diakses dari ponsel. Maka, pesan-pesan melalui Facebook,

Twitter, dan SMS kembali menjadi medium perubahan politik di

mana-mana.

Di Korea Selatan, misalnya, Presiden Roh Moo Hyun dianggap

tak akan terpilih tanpa bantuan internet dan SMS. Pendukung utama

Roh adalah generasi muda yang melek teknologi informasi. Mereka

membantu kampanye Roh dengan melancarkan kampanye massif

pada menit terakhir dengan menebar surat elektronik dan pesan

teks ke 80 ribu pemilih pada pagi hari pemilihan. Pesannya: datanglah

ke bilik-bilik pemilihandan pilihlah Roh.

Dengan dukungan para citizen journalist di situs OhMyNews

dan pesan SMS, Roh memenangkan pemilu presiden dengan margin

tipis: hanya 2%. Berkat pesan elektronik itu, orang-orang Korsel

yang tengah asyik berlibur main ski sampai-sampai mau kembali ke

kota hanya untuk memilih Roh.

Di negeri seperti China, di mana internet disensor, ponsel

memainkan peran lebih penting. Internet merupakan cara membuat

pernyataan tanpa terawasi. Selama tiga pekan pada musim semi

2005, warga China menggelar protes massal anti-Jepang. Para

pemuda China mengirim surat elektronik dan SMS secara berantai

216 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

yang mendesak warga memboikot produk Jepang dan menggelar

aksi jalanan, memberi informasi logistik atas rute aksi massa dan

bahkan slogan apa yang harus diteriakkan. Meski tanpa beridentitas

jelas, pesan-pesan itu mampu memobilisasi sekitar 20 ribu orang

untuk berdemo pada 16 April 2005.

Internet dan SMS juga berpengaruh secara luas di Timur

Tengah. Maret 2005, warga Lebanon menggunakan e-mail dan SMS

untuk mengorganisasi aksi besar di Beirut. Mereka menggalang

sejuta demonstran yang meminta penarikan pasukan Suriah dan

pengunduran diri pemerintah. Akhir April, karena beragam tekanan

dari PBB dan aksi massa anti Suriah yang massif, 14 ribu pasukan

ditarik, dan mengakhiri kehadiran Suriah selama 29 tahun di

Lebanon.

Di Kuwait, wanita dimobilisasi melalui internet dan SMS untuk

berdemo mendapatkan hak suara dalam pemilu. Usaha mereka

terbayar. Kuwait memberlakukan amandemen hukum dan memberi

hak suara untuk perempuan serta menempati posisi parelemen dan

dewan lokal.

9 April 2009, ratusan ribu anak muda Moldova anti-rezim

komunis yang berkuasa turun ke jalan setelah menggalang komu-

nikasi melalui Twitter. Sebelumnya, tweets masuk dari seseorang di

Moldova di tengah hari yang diwarnai berbagai bentrokan antara

petugas keamanan melawan demonstran. “TV di Moldova Utara

mati. Untunglah kita punya INTERNET YANG MAHAKUASA!

Mari memaksimalkannya untuk berkomunikasi secara damai untuk

mencapai kebebasan,” begitu bunyi tweets itu.

Beberapa detik kemudian, puluhan tweets bergantian masuk.

Ada yang mengeluhkan bos di kantor yang melarang turun

berdemonstrasi, ada pula yang menyampaikan pesan damai dan

tuntutan perubahan rezim yang dianggap telah bertindak curang

dalam pemilu. Darfi tweets demi tweets itulah dunia tahu apa yang

sebenarnya terjadi di negeri termiskin di Eropa itu saat media asing

kesulitan menembus lapangan. Dari spirit yang digelorakan secara

Mengungkap Kesenjangan Istana 217

online lewat Twitter atau Facebook itu juga ribuan demonstran tak

pernah kehabisan bensin menentang penguasa Moldova.

“Hanya enam yang mengorganisasikan semuanya lewat

internet. Hasilnya, 15 ribu orang sekaligus turun ke jalan,” kata

Natalia Morar, jurnalis dan pentolan kelompok pemuda yang meng-

gerakkan demonstrasi di Moldova, kepada harian Inggris The

Independent.

Sebulan kemudian, Iran yang diguncang demonstrasi serupa.

Ratusan ribu pendukung kandidat presiden yang kalah, Mir Hossein

Mousavi, juga menggugat hasil pemilu. Pemerintahan Mahmoud

Ahmadinejad merespon aksi itu dengan keras. Misili paramiliter

Basij diterjunkan, korban jiwa pun berjatuhan.

Karena media asing diblokir, kelompok anti-pemerintah pun

memanfaatkan Facebook, Twitter, dan berbagai blog. Tak hanya

untuk menggalang dukungan, mereka juga mewartakan. Saat

“media tradisional” (old media) sekelas CNN dan BBC tak berdaya,

new media seperti Facebook dan Twitter yang mengambil oper

peranan. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai “Revolusi

Facebook” atau “Revolusi Twitter.”

Tak hanya ampuh untuk menantang atau merobohkan

penguasa, Facebook dan Twitter mampu mengantar orang ke puncak

kekuasaan. Contoh paling kondang adalah Barack Obama.

Kemenangannya atas John McCain di pemilihan presiden Amerika

Serikat (AS) November 2008 lalu merupakan hasil memaksimalkan

Facebook dan Twitter. Financial Times bahkan pernah menulis, kalau

ada medali emas kategori pemanfaatan teknologi baru untuk tujuan

politik, maka semua medali itu sangat pantas dianugerahkan untuk

Obama.

Betapa tidak. Tim kampanye Obama memanfaatkan semua situs

jejaring sosial seperti MySpace, Facebook, YouTube, Twitter, dan banyak

lagi. Situs resmi Obama, BarackObama.com, juga dilengkapi semua

fasilitas situs-situs tersebut. Tim kampanye Obama menggunakan

internet sebagai alat mencapai tiga sasaran, yakni membantu

218 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

mengorganisasi pendukung, mengumpulkan dana, dan menyam-

paikan pesan (telling the campaign’s story).

Hasilnya dahsyat. Hanya berbekal biaya jasa konsultasi dan

pelayanan lainnya sebesar 1,1 juta dollar AS, Obama sanggup

menggalang dana hingga 200 juta dollar AS secara online, 2 juta

dukungan telepon, dan 850 ribu pengunjung tiap hari. Situsnya

menyajikan informasi up-to-date dalam bentuk video, foto, ringtone,

widgets, hingga info kampanye. Pendukung Obama bisa membuat

blog masing-masing sesuai isu yang diusungnya, mengusulkan reko-

mendasi kampanye, membuat situs mini untuk menggali dana kam-

panye, mengelola kegiatan, bahkan menggunakan phone-bank widget.

Rekaman video kegiatan yang digelar juga bisa diakses melalui

YouTube, MySpace, dan Facebook. Pendukung juga dapat menikmati

berbagai pesan kampanye melalui iPod. Kanal Obama di YouTube

punya hampir 1.300 video yang dibuat staf kampanyenya, dan setiap

hari bertambah. Video Obama ditonton 50 juta orang, bandingkan

dengan kanal YouTube John McCain yang hanya punya 200 video

dan ditonton 4 juta orang.

Sebelum era internet dan SMS, publik yang terdiri dari jutaan,

ratusan juta dan bahkan miliaran orang merupakan entitas besar

yang sulit dijangkau dengan old media apapun dalam sekejap.

Kehadiran internet dan SMS mengubah segalanya. Publik yang sede-

mikian luas menjadi tiada artinya. Publik yang sedemikian banyak

dan sulit “disatukan” tiba-tiba serasa berada di genggaman tangan,

menjadi bak sekeping elemen kecil yang mudah dijangkau dalam

hitungan detik.

New media menjadi ibu yang melahirkan apa yang kemudian

disebut flashmob. Ini terminologi yang merujuk pada kerumunan

massa yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba, baik untuk tujuan-

tujuan politik maupun lainnya. Anggota kerumunan massa itu

berkumpul berdasar pesan singkat tentang lokasi dan waktu, dan

segera bubar begitu urusan kelar. Flashmob inilah yang dalam lima

tahun belakangan ini meruyak di mana-mana, di sekujur dunia

Mengungkap Kesenjangan Istana 219

termasuk di Indonesia.

Dalam konteks politik, new media menjadi bentuk komunikasi

massa yang hampir tidak bisa dikontrol pemerintah. Orang bisa

berbicara kepada publik tentang gagasan-gagasannya (serevolusioner

apapun itu) melalui blog, website, atau situs jejaring sosial. Sesuatu

yang nyaris mustahil bisa dilakukan melalui old media yang berada

dalam jangkauan kontrol kekuasaan politik.

29 Desember 2009

Prita Mulyasari (32) divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan

Negeri (PN) Tangerang, Selasa (29/12). Inilah bukti the Facebook power

juga menjalar ke Indonesia. Kuasa politik new media sudah sampai

ke bumi Nusantara.

Sebagian orang gembira menyambut vonis ini. Mereka

menganggap vonis itu mewakili rasa keadilan. Namun sebagian lain

diam-diam tepekur miris, khawatir proses peradilan kini bisa

dikendalikan sentimen massa yang digalang melalui new media.

Dalam kasus Prita Mulyasari, Facebook seolah telah menjelma

menjadi ruang pengadilan tersendiri. Boleh saja hakim memutus

sebuah kasus di ruang sidang pengadilan, tapi para Facebooker punya

versi putusan sendiri. Situs jejaring sosial semacam Facebook dan

Twitter menjelma menjadi kekuatan yang diakui atau tidak mampu

mempengaruhi proses formal seperti putusan pengadilan.

Sebelumnya, kuasa new media melalui Facebook juga telah

membebaskan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah. Kasus ini bahkan

menggambarkan secara gamblang perubahan konstelasi hubungan

negara dan warga negara.

Facebook menjadi sebagai alat baru untuk mengontrol peme-

rintah. Tak perlu lagi capek-capek berdemonstrasi atau meneriaki

dewan untuk mengontrol pemerintah. Cukup tulis ketidakpuasan

ke dalam status di Facebook, sontak dukungan akan datang. Saat

dukungan menjadi massif, sikap pemerintah diasumsikan akan

220 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

goyah.

Inilah yang diyakini terjadi hingga Bibit dan Chandra dibebas-

kan 1 Desember 2009 lalu. Mereka menerima surat ketetapan peng-

hentian penuntutan (SKPP) kasus yang membelit mereka: sangkaan

pemerasan dan penyalahgunaan wewenang menyusul keputusan

mencekal Anggoro.

Ada hubungan atau tidak, yang pasti pembebasannya bersama-

an waktunya dengan saat dukungan bagi akun “Gerakan 1.000.000

Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” di

Facebook mencapai ratusan ribu. Di Facebook, akun yang

didedikasikan kepada Bibit-Chandra cukup banyak, misalnya akun

“Pahlawan Anti Korupsi: Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto”,

“Dukung Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah”, “Gerakan

Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto”,

hingga “PONOROGO DUKUNG BIBIT SAMAD RIYANTO DAN

CANDRA HAMZAH”.

Hasil lebih spektakuler tecermin dari kasus Prita. Derasnya

dukungan publik juga memaksa RS Omni International, Tangerang,

Banten, resmi mencabut gugatan perdata, 14 Desember 2009. Ini

adalah bagian dari upaya damai yang ditawarkan RS Omni, RS yang

awalnya menjerat Prita dengan gugatan perdata dan pidana. Seperti

diketahui, Prita dilaporkan mencemarkan nama baik RS Omni

menyusul e-mail-nya yang berisi keluhan ketidakjelasan penanganan

saat sakit dan dirawat di RS itu, 7 Agustus 2008 silam. Vonis bebas

atas Prita untuk dakwaan pidana diyakini terpengaruh pula oleh

tekanan massa yang diinisasi para Facebooker.

Dalam kasus ini, Facebook tak hanya melahirkan flashmob atau

mengarahkan opini publik, tapi juga tindakan publik yang serentak.

Dalam kasus Bibit-Chandra, sejumlah demonstrasi diorganisir

melalui Facebook. Massa berkumpul berdasar informasi tentang

lokasi dan waktu demonstrasi yang muncul di akun-akun Facebook.

Yang lebih dahsyat adalah simpatisan Prita. Melalui Facebook pula –

dan kemudian ikut disebarluaskan oleh old media— mereka sukses

Mengungkap Kesenjangan Istana 221

menghelat gerakan mengumpulkan koin bertajuk Koin untuk Prita.

Fenomena ini memang bisa dilihat sebagai bentuk baru

demokrasi, yaitu cyberdemocracy. Itulah saat lembaga perwakilan

rakyat dianggap tak lagi kompeten menyalurkan suara rakyat, maka

Facebook pun menjadi ruang bebas rakyat untuk mengontrol negara.

Cyberdemocracy memang merupakan respon terhadap proses evolusi

jaringan komputer, yang ingin membangun sistem interaksi langsung

antarkomunitas virtual maupun nonvirtual melalui media diskusi

dan perdebatan-perdebatan kebijakan/politik.

Namun diskusi dan perdebatan publik yang demokratis mem-

butuhkan beberapa kata kunci yang sepertinya sering diabaikan:

kewarasan, kesantunan, dan respek. Karena itu, beragam kata-kata

kotor, penuh prasangka, dan simbolisasi hewan tentu tidak patut

ikut diedarkan di dalam ruang bebas di dunia maya, apalagi dengan

bersembunyi di balik anonimitas.

Saat menanggapi hasil Pansus Bank Century, misalnya, di

sebuah milis yang lain muncul sebuah posting dari sebuah akun

email yang tidak jelas identitas pemiliknya. (mungkin hanya Tuhan

yang tahu tahu identitas sebenarnya sang pemilik). Seperti posting

lain, isinya barisan cercaan dan kata-kata kotor untuk Presiden

Yudhoyono. Saat menganalisis kasus Bank Century, si pengirim

posting menggunakan judul-judul seperti “SBY pikun, SBY bodoh,

SBY rasis, SBY arogan, SBY pengecut, SBY plin-plan,” dan “SBY

telmi.”

Isinya analisisnya? Tentu tak jauh-jauh dari itu. Misalnya, saat

mengomentari Presiden Yudhoyono dia menulis kata-kata “ada

syaraf yang korslet, tolol, nggobloki, SBY face off, kepalanya ndengak,

kerdil,” atau “hilang ingatan.”

Tentu kita tidak ingin secara bersama-sama gigih menjadi

pengamal ajaran Machiavelli: “Politik itu boleh kotor. Jadi, amalkan

dan jangan ragu-ragu. Walaupun jalannya berdarah-darah, tempuh

saja.”

Menggunakan ruang publik di new media adalah keniscayaan

222 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan

jalan yang sudah ditunjukkan sejarah. New media dan juga ber-

kembangnya cyberdemocracy bakal menjadi pelajaran besar bagi

negara agar lebih hirau terhadap keadilan. Tetapi tentu saja, semua

itu tidak harus dijalani dengan “berdarah-darah”, meski dalam

pengertian lebih simbolik.

Demokrasi, seperti pernah ditulis Prof Karl Popper, sering

diibaratkan bak permadani. “Indah di permukaan, tapi seringkali

digunakan untuk menyembunyikan sampah di baliknya.”

Mahathir Mohamad dalam Achieving True Globalisation (2004),

juga mengatakan: “Democracy, at least at present, is the best form of

governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the

freedom. When democracy is misunderstood, however, and freedom is

misinterpreted, the result is anarchy.”

Anarki. Meski tidak dalam pengertian secara fisik, apakah itu

yang kita inginkan: cyberdemocrazy? *

Mengungkap Kesenjangan Istana 223

1313131313Kearifan Rakyat danMasa Depan Politik

Indonesia

Sore itu Paijo pulang kampanye. Ia, meski kata tetangganya tak

punya potongan jadi politikus, nekad maju ingin ke Senayan.

Ingin menikmati berkuasa jadi wakil wakyat di DPR. Ditemani

Genuk, sang istri, Paijo merasa kelelahan setelah seharian penuh

berteriak-teriak sampai serak dari panggung kampanye ke panggung

kampanye. Agar tetap terlihat merakyat Paijo dan Genuk istiharat

di warung tegal sambil minta kopi panas.

’’…Hari ini saya benar-benar menguras tenaga. Lelah sekali,’’

bisik Paijo ke Genuk sambil sedikit memejamkan mata.

’’ Demi aspirasi rakyat sudah beberapa hari ini saya kurang

tidur,’’ Paijo terus berbisik ke Genuk

’’Saya juga kok mas,’’ balas Genuk ke Paijo. ’’Saya sampai

setengah lupa kalau lelah,’’ lanjut Genuk.

’’ Lha wong kamu gak jadi jurkam,’’ balas Paijo kali ini setengah

224 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

tak percaya.

“Yaiyalah mas,’’ istrinya tidak mau kalah.

“Kok bisa,’’ kali ini Paijo lebih serius.

’’Karena saya harus bertepuk tangan terus menerus samapai

kehabisan tenaga pada semua jurkam yang isinya semua sama,’’

Genuk sambil nyengir.

Ini hanya obrolan rakyat. Mungkin lucu. Cerdas. Juga menggeli-

kan. Atau pula refleksi keluguan. Mungkin pula ketidakpercayaan

pada retorika politik yang begitu mudah diobral para politikus di

panggung-panggung formal yang begitu mudah atas nama rakyat.

Sementara rakyat sendiri semakin tak mudah percaya pada klaim-

klaim manis. Janji-janji angin surga.

Begitu banyak janji-janji angin surga tak nyambung dengan

harapan rakyat. Toh, rakyat punya cara sendiri untuk tidak percaya.

Lewat obrolan-obrolan ringan di warung kapi. Lewat arisan ibu-

ibu RT. Lewat penguyuban-peguyuban. Tidak mesti dengan caci

maki. Tanpa harus anarki. Mereka juga punya model sendiri untuk

menyikapi. Mereka juga punya cara sendiri untuk menunjukkan

ketidakpercayaan. Salah satunya, misalnya, membludaknya massa

di area kampanye tidak dengan sendirinya mencerminkan tingginya

popularitas dan elektabilitas juru kampanye (jurkam) yang sudah

mengebu-ngebu menjanjikan angin surga.

Rakyat punya kearifan sendiri. Mata sendiri. Punya hati sendiri.

Dan, dari semua kearifannya mereka bisa mendeligitimasi calon

wakil rakyat tanpa diduga. Setelah rakyat diberi kesempatan memilih

langsung sang calon dalam Pemilu 2009, banyak caleg top kelas

nasional yang gagal. Perolehan suaranya kalah dari calon “kelas

kampung” yang mungkin tak punya banyak modal politik. Mereka

tak berkutik di hadapan “pengadilan rakyat.”

Inilah putusan rakyat yang paling arif, sejak Pemilu 2009

menghapus nomor urut untuk menentukan terpilih atau tidaknya

calon wakil rakyat (caleg). Dan, caleg top berkelas nasional itu harus

Mengungkap Kesenjangan Istana 225

gigit jati. Hanya bisa mengumpat. Sebagian menuding sana sini

menuduh lawan politiknya curang. Ada yang menuduh orang lain

membeli suara.

Rakyat tak peduli. Makanya kalau mereka mau menurut untuk

melakukan sesuatu janganlah serta merta diartikan seragam seperti

yang tampak di permukaan.

Mereka mungkin saja antusias datang ke Tempat Pemungutan

Suara (TPS). Mereka memberikan suaranya—tidak golput. Dalam

hati, siapa tahu, kalau mereka punya rasa bijak sendiri. Atau sekadar

rasa kasihan pada caleg. Memberikan suara bukan untuk memberi

amanah agar yang dicoblos atau dicontreng mengartikulasikan

aspirasinya. Sama sekali tidak.

“…Paidi keluar dari TPS disambut wartawan yang ingin

meminta komentarnya.

’’Wah... Pak Paidi telah ikut pesta demokrasi ya. Apa komentar

bapak tentang pesta demokrasi sekarang?,’’ tanya wartawan.

’’Pesta demokrasi apaan?, Paidi balik bertanya ke wartawan

yang mengerubunginya.

’’Loh... tadi Pak Paidi memberikan suara itu kan pesta

demokrasi,’’ kejar si wartawan.

’’Ah... bukan pesta. Saya hanya membantu tetangga yang ingin

dapat pekerjaan. Jadi anggota DPR,’’ Paidi ngeloyor

meninggalkan kerumunan wartawan. (Dono, 1987)

Pemilu pertama setelah reformasi pada tanggal 6 Juni 1999

dengan sistem multi partai. Banyak yang was-was, rakyat tak siap.

Fanatisme terhadap partai dikhawatirkan dapat memicu timbulnya

pertikaian fisik, akibat perbedaan ideologi. Maklum, selama 32 tahun

Orde Baru rakyat dikendalikan sedemikan rupa. Mereka pun hanya

“dipaksa” memilih tiga partai saja: PPP, Golkar, dan PDI. Tak heran

tata kala harus memilih 48 partai pada Pemilu 1999, diestimasikan

banyak pengamat berpotensi menimbulkan konflik. Lagi pula

226 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

konsolidasi politik saat itu belumlah sepenuhnya tertata dengan baik.

Nyatanya kita kecele. Masyarakat sungguh amat dewasa ketika

diberi kesempatan yang sangat bebas untuk memberikan suaranya.

Melihat pelaksanaan Pemilu 1999 kita benar-benar bangga.

Masyarakat kita sudah sangat siap berdemokrasi secara damai.

Yang tidak siap justru partai politik. Wakil-wakil partai yang

duduk di Komisi Pemilihan Umum, tidak bersedia menetapkan hasil

Pemilu 1999. Penetapan hasil pemilu akhirnya diambil alih oleh

Presiden B.J. Habibie. Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah

Indonesia, karena Komisi Pemilihan Umum yang dipimpin oleh

Rudini, justru bersiegang soal hasil pemilu.

Masyarakat termasuk yang paling siap menerima apa pun hasil

Pemilu 1999. Hilangnya rasa curiga, kelihatannya menjadi salah satu

penentu untuk membuat orang siap menerima apa pun hasil pemilu

untuk diri dan partainya.

’’…Saya juga melihat terjadinya saling olok di antara saksi—yang

yang merupakan wakil-wakil partai—ketika penghitungan suara

dilakukan. Namun, olok-olokan itu hanya sebatas canda. Dengan

olok-olokan itu suasana menjadi cair. Segar. Tidak menegangkan…’’

(Iskan, 2000).

Kedewasaan dan kearifan masyarakat itu, tetap berlangsung

hingga sekarang. Amatlah jarang gonjang-gonjang politik langsung

berasal dari rakyat. Justru yang sering terjadi sebaliknya, situasi

panas muncul dari gesekan-gesekan elit. Rakyat hanya kena imbas-

nya, terprovokasi atau dimobilisasi. Entah itu disengaja atau tidak.

Gonjang-ganjing politik selalu berasal dari elit. Lihat saja pada pra

Pemilu 2009, sempat kisruh dan muncul tuduhan berbagai rekayasa

Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Sementara (DPS).

Arah tuduhan memberi sinyal bahwa yang “bermain” itu pemerin-

tah. Tujuannya, tentu saja menurut nalar para penuduh itu, adalah

dengan rekayasa itu hendak memenangkan parpol peserta pemilu

tertentu.

Nyata pemilih bergeming. Yang ribut sebagian besar bukan

Mengungkap Kesenjangan Istana 227

pemilih yang tidak terdaftar, atau pemilih kebanyakan. Namun,

mereka adalah sebagian politikus. Dengan segala kelemahannya,

pemilu tetap berjalan sesuai jadwal. Dan, dengan segala kekurangan-

nya—yang tentu harus segera diperbaiki—Pemilu 2009 telah meng-

hasilkan anggota DPR, anggota DPD, dan presiden-wakil presiden

2009-2014.

Saat terjadi keributan dalam Sidang Paripurna DPR tentang

pembacaan hasil Pansus Hak Angket Bank Century, Selasa (2 Maret

2010) denyut Pasar Palmerah, Jakarta, berjalan normal. Justru kuli

angkut di pasar itu menertawakan ulah para wakil rakyat yang

protes ke Ketua DPR karena dianggap kurang adil dalam memimpin

sidang. ’’Malu-maluin saja. Harusnya ga usah ribut gitu. Itu kan wakil

rakyat, pimpinan kita. Harusnya ngomong baek-baek, dengerin dulu,

baru diputuskan,’’ kata Supriyadi, kuli angkut.

Rekan Supriyadi, sesama kuli panggul, menambahkan, anggota

DPR saja kayak gitu, bagaimana rakyatnya. ’’Kalau kita orang pasar

ga ada pendidikan, wajar beramtem. Mereka ga ada etika sama sekali,’’

Slamet Widodo (Kompas, 3 Maret 2010).

Bergeming dengan Gonjang-Gonjang

Sejak Pemilu 2009 usai –isu-isu tentang pemilu yang

sebelumnya dianggap periode politik yang amat krusial, sarat

dengan gonjang-ganjing politik, mulai ditinggalkan. Usai pemilu,

gonjang-ganjing politik mulai berubah. Para kuli tinta mulai mengejar

berita tentang penangkapan pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Tak hanya disitu, kasus Bibit-

Chandra menyeruak bak magnet menyedot perhatian media massa

dan publik. Hampir dua bulan, pemberitaan tentang Bibit-Chandra

terus diolah oleh media. Tat kala isu itu usai, babak berikutnya, media

masuk ke “panasnya” isu-isu seputar bail out Bank Century.

Toh, berbagai kondisi politik yang “panas” itu, rakyat tetap saja

bergeming. Mereka memang banyak mengikuti berbagai kisruh

politik melalui tayangan langsung televisi nasional. Namun,

228 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

kehidupan sehari-hari mereka tetap normal.

Kehidupan ekonomi, misalnya, sama sekali tidak terpengaruh.

Di pasar uang, nilai tukar rupiah tetap stabil. Tidak ada gejolak

lonjakan kurs yang cukup berarti. Pasar modal juga berjalan normal.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hampir tidak pernah

mengalami goncangan besar.

Kecuali, ketika terjadi krisis finansial global Oktober 2008. Saat

itu otoritas bursa sempat menghentikan transaksi karena indeks

terjun bebas 10,23 persen. Terendah sejak September 2006 (Tempo,

19 Oktober 2008).

Setelah itu, pelan-pelan perekonomian berjalan normal. Bahkan

Indonesia dianggap negara yang cukup kukuh fondasi ekonominya.

Ketika negara lain banyak yang tergoncang krisis ekonomi yang

berawal dari Amerika itu, Indonesia nyaris tak mendapatkan

“gangguan” yang berarti. Relatif dapat bertahan dengan cukup

baik.Tentu itu hasil kerja keras pemerintah yang membuat sejumlah

kebijakan terobosan untuk mencegah dampak krisis keuangan global

agar tidak menerpa perekonomian Indonesia.

Hampir lima tahun terakhir ini perekonomian kita memang

tidak lagi rentan terhadap gonjang-gonjang politik. Mulai dari

pemilu sampai isu-isu politik terbaru tak banyak berpengaruh

terhadap aktivitas perekonomian nasional. Ini menandakan bahwa

ekonomi makin terpisah dari isu-isu politik. Ekonomi jalan sendiri.

Politik jalan sendiri. Punya ranah sendiri-sendiri. Ekonomi punya

nalar dan akal sehat sendiri. Karena itu, tidak selalu terimbas isu-isu

politik aktual. Meskipun tentu memang tidak selamanya akan begitu.

Itu semua menandakan bahwa masyarakat kita semakin

dewasa. Telah dapat memilah-milah mana yang perlu direspons

serius dengan sikap tertentu. Dan, mana pula yang hanya merupa-

kan isu-isu terkait dengan kepentingan politik tertentu yang ber-

sumber pada persaingan antar kekuatan politik.

Kecenderungan rakyat yang kian matang (dewasa) dalam

berpolitik dan menyikapi sejumlah persoalan itu mengundang

Mengungkap Kesenjangan Istana 229

kagum Wakil Presiden Boediono. Dalam Peringatan ke-81 Sumpah

Pemuda tanggal 28 Oktober 2009 di Banteng, Boediono memuji

kearifan rakyat Indonesia.

“…Beruntung bangsa Indonesia telah menemukan kearifan yakni

kearifan rakyat Indonesia, sehingga kita tempuh demokrasi dengan

mantap dan tak terjadi gesekan berarti,’’ katanya

Celakanya, kalau boleh disebut demikian, institusi politik seperti

parpol belum banyak berubah wataknya. Orientasi kekuasaan yang

dibangun sering tidak merupakan desakan yang muncul dari

dinamika sosial, eknomi, dan politik di arus bawah rakyat. Tetap

saja, misalnya, hingar-bingar politik di parlemen tidak selalu

nyambung dengan denyut harapan aspirasi masyarakat.

Agaknya menjadi ironis kalau untuk menentukan calon

kepala daerah, dewan pimpinan pusat (DPP) parpol mesti ikut

menentukan calon, suatu posisi yang sarat intervensi campur terlalu

jauh. Ada parpol yang DPP-nya begitu gampang ambil posisi.

Daerah diminta menyodorkan lebih dari satu orang calon kepala

daerah. Berikutnya, DPP tinggal memilih satu di antara sekian calon

yang disodorkan daerah. Bagaimana kalau calon ditunjuk—bahasa

kerennya direkomendasi—DPP bukanlah calon terbaik, katakan,

yang ditujuk DPP hanya calon yang menurut daerah hanya ranking

ketiga? Ini bukan lagi demokrasi, tetapi mentalitas sok tahu dari

pihak yang punya kuasa. Top down bukan buttom up yang eman-

sipatoris.

Masyarakat di daerah, rakyat di lapisan bawah, tentu kecewa

dengan pola-pola kekuasaan parpol yang masih menyisakan sentral-

istik. Bisa dipahami jika mereka kecewa. Hanya kekecewaan itu

jarang dilampiaskan dengan anarki berlebihan yang destruktif.

Kekecewaan itu tetaplah rasional. Menurut common sens dan logika

rakyat.

Mereka, umpamanya, menunggu kinerja tokoh yang terpilih

jadi kepala daerah. Jika kinerja lima tahun pertama seorang kepala

daerah tidak bagus, pada pemilukada berikutnya siap-siap didepak.

230 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

Di Jawa Timur, ada gejala politik lokal yang menarik. Sejumlah kepala

daerah (bupati) incumbent gagal bertahan melalui pemilukada

berikutnya karena kinerjanya lebih buruk dibanding kinerja kepala

daerah tetangganya.

Semula, gejala ini seolah kebetulan. Ternyata, tahun-tahun

berikutnya memperlihatkan kecenderungan serupa. Misalnya, di

pemilukada Jember, Pacitan (2005), Ngajuk (2006), dan Bojonegoro

(2008).

Ini berbeda dengan kabupaten lain yang kinerjanya dirasakan

memuaskan rakyatnya. Pada pemilukada berikutnya, kepala daerah

kabupaten-kota incumbent itu relatif sulit ditandingi para pesaingnya.

Para incumbent itu lebih mudah menang, seperti di Lamongan,

Surabaya, dan kota Blitar.

Majalah Tempo pun perlu memberi apresiasi berupa liputan

khusus terhadap bupati-bupati nan jauh dari Jakarta yang dinilai

berprestasi menonjol melalui inovasi-inovasi best practices yang

dilakukannya untuk memajukan daerah yang dipimpinnya (Tempo,

23 Agustus 2009). Sebagian di antara bupati itu berasal dari Jawa

Timur, seperti Bupati Jombang dan Walikota Blitar. Ada pula

Walikota Jogjakarta, Bbupati Sragen, dan Walikota Tarakan,

Kalimantan Timur, mereka itu memang dikenal luas sebagai bupati-

bupati yang dicintai rakyatnya karena dianggap dapat mempercepat

kemajuan daerahnya.

Belum cukup banyak informasi tentang kecenderungan hasil

pemilukada serupa di daerah-daerah lain. Boleh jadi, jika dilakukan

riset akan memperlihatkan kecenderungan kurang lebih sama

dengan di Jawa Timur. Bukankah, masyarakat semakin dewasa

dalam berpolitik. Mereka juga semakin cerdas. Pandai mengambil

keputusan politik yang tepat. Sesuai dengan nuraninya.

Kini dunia kian sempit. Batas-batas antarnegara kian kabur.

Ekspansi informasi menjadi keniscayaan. Juga sekaligus menjadi tali

pengikat persaudaraan sebangsa dan kesetiakawanan antarbangsa

dengan media massa menjadi perantara yang amat efektif.

Mengungkap Kesenjangan Istana 231

Kata Ritzer, ketika ekspansi informasi menyerbu ke ruang-ruang

publik melalui televisi, internet, dan media-media online serupa

bukan hanya dunia ada dalam genggaman. Namun, juga telah terjadi

pengglobalan kehendak paling pribadi (private) sekaligus

penyeragaman akses kehidupan tanpa bisa dikendalikan.

Kecenderungan yang tampak, antara lain, akselerasi penguasaan

informasi melalui penyeragaman nilai-nilai sosial budaya telah

mempercepat keberdayaan masyarakat untuk membuat keputusan-

keputusan otonom yang bersifat inidividual.

Seseorang dengan orang lain tak lagi berinteraksi eksklusif, dan

tanpa memperlihatkan diri, justru dapat melakukan sesuatu yang

kurang lebih sama rupa. Misalnya, dari gaya bertutur, model fashion,

cara mengonsumsi, cara berbelanja, sampai selera makan pun seolah

cenderung menjadi mudah diseragamkan (Ritzer, 2006).

Dengan tanpa dirasakan dalam kecenderungan globalisasi

demikian, orang di mana pun dapat bersama-sama—melalui

penyeragaman penafsiran terhadap objek-objek sosial, ekonomi, dan

politik—membuat keputusan-keputusan terbaik yang dikehendaki.

Inilah yang disebut kearifan politik tanpa agresi. Rakyat, di era

kesetiakawanan global sekarang terus membangun kesetiaan global

menuju peradaban baru yang unggul.

Sedangkan parpol? Jika tak segera bercermin dan berbenah

bakal kian mengalami krisis kepercayaan. Sebab, isu-isu aktual

kepolitikannya kian tak sambung dengan kehendak massanya. Kalau

tidak ada keinginan yang kuat dari partai untuk mereformasi dirinya

sendiri, maka pembusukan akan terjadi. Masyarakat pun akan

meninggalkan partai. (Iskan, 2007)

Masa Depan Politik Indonesia

Indonesia, siapa pun mungkin setuju, memiliki modal sangat

besar untuk menjadi negara yang secara politik amat kuat dan

menjadi negara demokrasi besar. Saat ini pun, sebagai negara

demokrasi, Indonesia telah diakui masyarakat internasional sebagai

232 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika dan India.

Potensi besar yang menuai banyak pujian ini tidak cukup hanya

dibanggakan. Lebih dari itu perlu dikembangkan. Diimpele-

mentasikan menjadi negara yang benar memenuhi prasyarat-

prasyarat ideal, normatif, dan kelembagaan, sebagai salah satu negara

demokrasi besar. Jangan hanya menjadi negara demokrasi besar

sebatas pujian dan wacana. Tapi, secara substansial perlu diwujud-

kan dalam kehidupan politik dan perilaku demokrasi sehari-hari.

Secara ideal, kita memang telah memenuhi syarat sebagai negara

demokrasi karena telah terikhtiarkan dalam konstitusi Negara

Republik Indonesia—dalam UUD 1945. Secara kelembagaan pun

juga telah memenuhi persyaratan. Terdapat pemilu yang bebas,

terbuka, jujur, dan adil. Terdapat lembaga perwakilan rakyat yang

mandiri serta wakil rakyat yang berasal dari parpol peserta pemilu

yang otonom. Terdapat rotasi kemimpinan nasional yang telah diatur

dengan mekanisme lima tahunan.

Telah terdapat pula pemisahan kekuasaan yang seimbang antara

eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini untuk menciptakan check and

balances yang tertata dengan tertib serta diatur melalui undang-

undang.

Dan, ini yang membanggakan—bahkan yang dibanggakan ini

dinilai sebagai salah satu yang terbaik di Asia. Ia adalah kebebasan

individu untuk berpendapat dan berbicara secara bebas yang dijamin

oleh sejumlah undang-undang. Ini pula yang banyak dipuji banyak

negara demokrasi lainnya. Indonesia menjamin kebebasan pers.

Bahkan kebebasan pers di Indonesia jauh lebih baik dibanding

dengan negara-negara Asia.

Toh, modal dasar ini belumlah cukup. Yang terasa masih kurang

ialah pelembagaan norma-norma demokrasi. Loyalitas atau ketaatan

terhadap aturan main atau rambu-rambu berdemokrasi masih belum

cukup melembaga menjadi kesadaran berpolitik.

Satu sisi pada sebagian besar rakyat telah tertanam kearifan

berpolitik yang makin lama terasa semakin dewasa. Di sisi lain

Mengungkap Kesenjangan Istana 233

kearifan politik yang telah dimiliki sebagian besar rakyat sering

bertolak belakang dengan praktik-praktik politik sebagian rakyat

lainnya yang tidak dapat menahan diri ketika menjalankan hak-hak

politiknya yang otonom. Bahkan terkadang kebablasan.

Dalam hal kebebasan berpendapat dan berbicara, misalnya,

sering terseret arus emosi. Dalam banyak hal, ini memicu

ketidaksabaran yang berbuah pada kecenderungan perliku yang

dengan mudah menabrak aturan main tentang kebebasan.

Ini membawa implikasi lebih lanjut. Kebebasan yang dimiliki

ketika tertuang dalam perilaku atau praktik politik justru menjadi

kebebasan yang berbaju agresi dan anarki. Kebebasan berpolitik

sering tak memberi peluang bagi hak-hak orang lain untuk turut

menggunakan kebebasan berpolitik serupa. Buahnya bisa berupa

caci maki, tudingan, atau fitnah. Jika lebih matang lagi buah itu bisa

berupa pertikaian, konflik, dan kerusuhan politik, yang ongkos

sosial, ekonomi, dan politik yang ditanggungnya amat besar.

Secara lebih kongret, masa depan politik Indonesia diwarwai

oleh sejumlah hal agar menjadi lebih matang sebagai negara

demokrasi besar. Pertama, komitmen untuk taat pada aturan hukum

dalam semua tataran dan dimensinya. Ini membutuhkan kerja keras

dan dukungan segenap lapisan masyarakat, segenap pimpinan

bangsa, dan segenap pimpinan politik.

Kedua, perlunya reformasi kelembagaan internal kekuatan-

kekuatan politik dan demokrasi. Dalam hal ini, parpol dan infra-

stukturnya selain harus semakin responstif terhadap tuntutan-

tuntutan masyarakat, juga harus lebih dekat dengan massa

konstituennya. Dengan begitu program perjuangan politik tetap

dapat sambung dengan aspirasi rakyat.

Ketiga, perlunya keteladanan moral serta etika politik dari

pimpinan partai. Tugas pemimpin partai bukan sekadar bermanuver

untuk mendapatkan kekuasaan, melainkan turut mendidik bangsa

bahwa kekuasaan yang didapat haruslah diraih dengan cara-cara

terhormat, dan tentu prosesnya harus beretika luhur. Bangsa

234 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

Indonesia sarat dengan keteladanan para pendiri republik. Dengan

keleladanan tersebut perlu diputar ulang menjadi tuntunan yang

bermoral tinggi bagi kita. Bagi generasi muda berikutnya.

Keempat, Indonesia ke depan membutuhkan banyak pemimpin

politik dan pemimpin bangsa yang memiliki integritas moral tinggi.

Bersih. Memiliki akuntabilitas. Berawawasan kenegaraan yang luas

untuk membawa Indonesia menjadi negara demokrasi besar dalam

pergaulan internasional guna bersama-sama masyarakat dunia yang

lain membangun peradaban baru yang unggul dan mulia.

Jangan biarkan kita sebagai bangsa mengalami kemerosotan

moral dan etika politik. Kita toh, selama ini telah berkomitmen bahwa

bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya unggul. Berbudi

luhur dan mulia. Dan, bangsa yang sanga agamis.

Jangan biarkan pula negeri ini mengalamai kemerosotan sikap

moral yang diwujudkan, antara lain, menghakimi sendiri maling

atau copet yang tertangkap dengan cara membakar mereka. Jangan

biarkan muncul kelompok-kelompok yang membuka ruang terbuka

bagi aksi-aksi amuk massa dalam menyelesaikan persoalan. Atau

melakukan teror terhadap warga masyarakat lain, kelompok,

terhadap simbol-simbol negara hanya karena merasa dikecewakan.

Komitmen untuk menjaga saling sinergi dan saling kolega

antarsemua elemen bangsa harus dijunjung tinggi. Saling percaya

harus dijaga. Kepercayaan, seharusnya diingat, dalam dirinya

sendirinya bukan hanya berupa kebajikan moral, melainkan lebih

merupakan by-product dari kebajikan. Ini muncul ketika masyarakat

berbagi norma kejujuran. Kesediaan saling menolong dan berbagi.

Dan, itu semua harus mampu dituangkan dalam kerja sama satu

dengan yang lain secara kolegial.

Memang sulit untuk mengukur tingkat sikap mementingkan

diri sendiri secara langsung. Toh—ada isyarat—dan kepercayaan

bahwa masyarakat telah menjadi lebih mementingkan diri sendiri,

kini sudah pasti meningkat di antara orang-orang Indonesia.

Kiranya tak banyak jalan lain. Salah satu, di antaranya, yang

Mengungkap Kesenjangan Istana 235

kini dibutuhkan ialah saling percaya di antara kita. Jangan mudah

menyalip di tikungan. Apalagi, sampai ada dusta di antara kita.

Sekurang-kurangnya dusta berupa merasa paling benar sendiri.

Paling bersih sendiri. Seolah tidak pernah salah. Atau seolah tidak

pernah punya dosa politik.

Nasehat filsuf politik, Hannah Arendt (1958), barangkali perlu

direnungkan. Ada dua sifat utama dari tindakan manusia:

unpredictable dan irreversible. Tiap tindakan manusia yang dilakukan

di ruang publik tidak bisa diramalkan dan tak bisa diulang. Untuk

menanggulangi yang unpredictable manusia perlu janji. Namun, janji

itu bukan janji yang diucapkan juru kampanye untuk memperoleh

suara pemilih sebanyak-banyaknya. Janji tersebut ialah keluar dari

hati nurani kemanusiaan kita untuk sungguh-sungguh menepatinya.

Untuk menanggulangi yang irreversible adalah dengan

pengampunan. Kita tahu tidak ada seorang pun yang bersih dari

kesalahan. No body’s perfect. Ini meminta kita untuk membuka

wawasan berupa pemberian kesempatan kepada mereka yang

pernah melakukan kesalahan untuk memperbaiki diri. Bukan

dengan menghina. Bukan juga dengan menghujatnya sampai,

misalnya, membunuh karakter yang bersangkutan (Fukuyama, 2002).

Bagi kita, upaya untuk mengampuni itu tidak boleh melupakan

prinsip keadilan. Artinya, kesalahan tetap diberi sanksi atau

punishment. Setelah itu diberi kesempatan untuk koreksi dan

memperbaiki diri.

Dengan begitu, kita akan bisa melangkah lebih optimistik untuk

membangun masyarakat yang saling percaya. Saling toleran. Di atas

semua ini tentu disertai kejujuran, kearifan, dan kesediaan saling

bekerja sama.

Dan, sesungguhnya kita memiliki modal dan peluang besar

untuk optimistis. Bahwa Indonesia ke depan akan menjadi lebih

bermartabat dan berkeadilan. Pidato Presiden SBY di London School

of Economics and Political Science, tanggal 31 Maret 2009, misalnya,

kian menebalkan optimisme itu.

236 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

“...Beberapa tahun lalu, Indonesia menjadi berita utama di

seluruh dunia, termasuk di sini, di BBC, Daily Telegraph, dan

The Guardian, tentang semua masalah yang menimpa kita.

Mulai dari krisis ekonomi, krisis Timor Timur, Aceh, konflik

etnis, terorisme, sampai krisis politik. Saat itu tampaknya tak

ada yang optimistis tentang Indonesia.

Beberapa kalangan memprediksikan bahwa setelah Timor Timur

memisahkan diri dari kami, Indonesia akan jatuh ke dalam

“Balkanisasi.” Akan hancur ke dalam potongan-potongan kecil.

Yang lain berpikir bahwa Indonesia akan hancur di bawah

beban transisi demokrasi yang kacau.

Mengapa tidak? Antara 1998 dan 2004 kita punya empat

presiden, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan

Megawati Soekarnoputri. Rata-rata satu presiden hanya

bertahan 1,5 tahun. Thomas Friedman menyebut Indonesia

sebuah ‘negara berantakan.’ Terlalu besar untuk gagal. Namun,

mantan Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell cukup cerdik

untuk menyebut Indonesia sebagai ‘negara yang paling salah

dimengerti di dunia.’ Dan, saya pikir Powell benar.

Tetapi itu dulu. Kini gambaran kekacauan dan ketidakpastian

tidak lagi mewakili kita. Setelah semua cobaan dan kesengsaraan

kita lalui, Indonesia hari ini telah menjadi negara yang sangat

tangguh.

Dalam dunia yang masih bernanah dengan konflik etnis,

Indonesia telah lebih bersatu dengan memecahkan konflik

Aceh, serta mempromosikan reformasi politik dan sosial di

Papua.

Saat ini Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar

setelah India dan Amerika Serikat. Kami adalah terbesar di Asia

tenggara dan terkuat di bidang demokrasi.

Mengungkap Kesenjangan Istana 237

Mungkin itu sebabnya The Economist menyatakan bahwa

Indonesia akan menjadi contoh dalam pembangunan

demokrasi..”

Pertanyaannya, sudahkah kita terus melakukan konsolidasi

tanpa kenal lelah untuk bersatu. Lantas, terus menerus memintal

sinergi kebersamaan guna membangun Indonesia ke depan yang

lebih demokratis, adil, dan sejahtera? Mari kita jawab bersama

dengan pikiran jernih. Dengan hati yang dingin.

238 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia

Mengungkap Kesenjangan Istana 239

EpilogKaya Filosofi, Miskin

Keteladanan

Apa yang masih kurang dari bangsa Indonesia? Semua potensi

nilai budaya sebagai bangsa besar nyaris lengkap sempurna.

Simak dan alami sehari-hari. Di sekolah, di kegiatan rukun tetangga

dan rukun warga (RT-RW), arisan ibu-ibu, dan acara-acara sosial

lainnya, kalimat-kalimat seperti: “harus unggah-ungguh,” “harus

bertutur kata sopan,” “harus minta permisi jika sedang lewat di

hadapan orang yang sepuh,” dan bahasa-bahasa sejenis yang sarat

keadaban tidak pernah dilupakan.

Kita sering ngerasani orang-orang yang tidak sopan santun

dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, “eh eh .. si A tak punya

tatakrama.” Atau, si B tak punya unggah-ungguh.”

Lihat dan alami sendiri di banyak pengajian. Kita selalu

mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamis.

Meski bukan negara berdasarkan agama, tetapi berperilaku yang

agamis selalu diajarkan sejak kita kecil, ketika di play groups, taman

kanak-kanak, sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi (PT). Di

PT yang para pelajarnya sudah “mahapelajar” itu belum dianggap

240 Epilog: Kaya Filosofi, Miskin Keteladanan

cukup memiliki pengetahuan agama. Maka, di kurikulum perguruan

tinggi pun masih diberikan pendidikan agama, lengkap dengan

kegiatan-kegiatan kerohanian agama.

Di negeri ini kalender hari libur nasional karena peringatan

hari keagamaan paling banyak. Mungkin yang terbanyak di dunia.

Di negara berdasarkan agama seperti Arab Saudi, hari idul fitri tidak

menjadi hari libur, di Indonesia hari Idul Fitri dinyatakan sebagai

hari libu nasional. Bahkan liburnya sampai dua hari berturut-turut.

Bahkan pula sepanjang tujuh hari menjelang dan sesudah Idul Fitri

praktis menjadi “hari libur” karena semua aktivitas perkantoran tidak

bekerja normal karena kita sibuk mudik dan merayakan Indul Fitri

sampai tujuh hari.

Tapi lihatlah bagaimana ritual-ritual moral dan spiritual serta

norma-normal etika keadaban itu dalam kehidupan berpolitik?

Melekatkah nilai-nilai moral dan spiritual? Ternyata sebagian besar

tidak. Dalam berpolitik atau berdemokrasi, nafas, jiwa, dan spirit

berbudi luhur tidak banyak tampak. Saling fitnah, saling tuding,

dan berperilaku anarki masih sering diperlihatkan. Seolah-olah

bangsa ini tidak mengenal etika dan sopan santun.

Lantas di mana salah satu duduk perkaranya? Kita tidak banyak

memiliki keteladanan dari para pemimpin politik dan pemimpin

bangsa tentang cara-cara berpolitik dan bernegara yang bermoral.

Kita mengalami krisis keteladanan kepimpinan moral.

Para elite politik dan elite bangsa justru sangat jarang mem-

berikan pendidikan politik yang sarat suri tauladan. Karena memim-

pinnya jarang memberikan contoh teladan maka rakyat pun mudah

ikut arus. Sama-sama keluar dari rel etika dan moral dalam

berpolitik. Bahkan kadang justru terkesan barbar.

Kita patut prihatin.

Mengungkap Kesenjangan Istana 241

Daftar Bacaan

Anderson, Benedict. Imagined Communities/Komunitas-komunitas

Terbayang. Yogyakarta: Insist Press-Pustaka Pelajar, 2001

Azwar, Rully Chairul. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era.

Jakarta: Grasindo, 2009.

Tsagarousianou, Roza et.al. Cyberdemocracy: Technology, Cities, and

Civic Network. New York: Routledge , 1998.

Louw, Eric. The Media and Political Process. Australia: SAGE

Publications, 2005.

Howard Philip N. New Media Campaigns and the Managed Citizen.

New York: Cambridge University Press, 2006.

Hackett Robert A. and William K. Caroll. Remaking Media: The

Struggle to Democratic Public Communication. New York:

Routledge, 2006.

Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, Bank

Indonesia, 2010.

Barton, Greg. Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman

Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Budiman, Arief. Jalan Demokratis ke Sosialisme, Pengalaman Chili di

Bawah Allende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Luttwak, Edward. Coup d’Etat: A Practical Handbook. New York:

Harvard University Press, 1969.

242 Dafatar Bacaan

Aflian (editor). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta:

Gramedia, 1978.

Fukuyama, Francis. The Great Distruption, Hakikat Manusia dan

Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogjakarta: Qalam, 2002.

Friedman, Rose and Milton. Free to Choose, A Personel Statement.

New York: Harcourt Brace Javanovich, 1990.

Giovanie, Jeffrie. Tantangan Demokratisasi dalam Masyarakat Transisi.

Jakarta: Teraju, 2004.

Hisyam, Usamah. SBY, sang Demokrat. Jakarta: Dharmapena, 2004.

Iskan, Dahlan. Taman Kanak-Kanan Presiden. Surabaya: Lembaga

Biografi Tokoh Jawa Timur, 2000

J.A. , Denny. Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998.

Jakarta: JUP, 1999.

Mallarangeng, Andi A. Dari Kilometer 0,0. Jakarta: Indonesian RDI,

2007.

Mohamad, Goenawan, ‘Politik,’ Tempo, tanggal 19 November 1988

Ungerer, Carl, “The “Middle Power” Concept in Australian Foreign

Policy,” dalam The Australian Journal of Politics and History,

December 2007

Noer, Deliar. Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1990.

Ritzer, George. The Globalization of Nothing. Yogjakarta: Universitas

Atma Jaya, 2006.

Forbes, K. and Rigobon, R. (2000): “Contagion in Latin America:

definitions, measurement, and policy Implications,” dalam

Economia, Volume 1, Number 2, 2001.

Warkop, Dono. Balada Paijo. Jakarta: Aya Media, 1987.

Ukraine’s postmodern coup d’etatYushchenko got the US nod, and money

flooded in to his supporters

Algeria: Democracy Betrayed, New York Times, January 14, 1992

Democracy Denied in Algeria, New Yoek Times, July 24, 1992

Bettina Wassener. Political Crisis Ripples Across Thai Economy.

(www.nytimes.com/2008/12/01/world/asia/), diunduh 5

Maret 2010

Mengungkap Kesenjangan Istana 243

KTT ASEAN di Thailand Batal, Pemerintah Umumkan Keadaan Darurat

di Bangkok, (www. hariansib.com), diunduh 22 Februari 2010

Singapore police put up CCTV cameras at Hong Lim Park aka Speakers’

Corner, (www.jacob69.wordpress.com/2009/07/24/singapore-

police-put-up-cctv cameras-at-hong-lim-park-aka-speakers-

corner), diunduh 9 Maret 2010.

Speakers Shy Away From Singapore’s “Free Speech” Corner, AFP,

(dikutip dari www.singapore-window.org/sw03/

030615af.htm), diunduh 9 Maret 2010.

No freedom in Singapore, Freedom House ranks the PAP state 154th,

(www.singaporeelection.blogspot.com/2007/05/no-freedom-

in-singapore-freedom-house.html), diunduh 22 Februari 2010.

PAP adalah People’s Action Party, partai berkuasa di Singapura.

Indonesia’s quiet revolution bodes well for us, Sydney Morning Herald

(www.smh.com.au/opinion/politics/indonesias-quiet-revolution-

bodes-well-for-us, 4 September 2009), diunduh 21 Februari 2010

N. Janardhan DR, Indonesia, A Model Muslim Democracy,

published in ARAB NEWS, October 22, 2009,

(www.alarabiya.net, 22 Oktober 2009) diunduh 2 Maret 2010

Suthichai Yoon, From Delusion to Loss of Faith in ‘Democracy, The

Nation, dimuat 17 September 2009, (www.nationmultimedia.com,

17 September 2009) diunduh tanggal 9 Maret 2010.

Pemimpin Kudeta Thailand Kumpulkan Bos Media,

(www.tempointeraktif.com/luarnegeri, 21 Juni 2006) diunduh 21

Februari 2010

SBY Curhat Soal Kerbau, (www.mediaindonesia.com, 2 Februari 2010),

diunduh 22 Februari 2010.

Demo Thailand Lebih Mahal dari Tsunami, (www.inilah.com/berita/

politik, 7 Januari 2009) diunduh 22 Februari 2010

Eric Ellis, Indonesian reform the path to investment, Sydney Morning

Herald, tanggal 20 Oktober 2009.

SBY: Akan ada Reformasi Gelombang Kedua dengan 3 Agenda,

(www. hariansib.com), diunduh 22 Februari 2010

244 Dafatar Bacaan

SBY Dipuji di Harvard, (www.forumkami.com/forum/berita), diunduh

tanggal 18 Februari 2010.

Di Time 100, SBY Dipuji Anwar Ibrahim, (www. vivanews.com),

diunduh 18 Februari 2010.

Aktif Jalin Kerja Sama IPTEK, SBY Dipuji Obama,

(www.detiknews.com) diunduh 18 Februari 2010

Wimar: President SBY Not Shaping Up, Metro TV, 05 April 2007

Politik Santun Kunci Kemenangan SBY, (www.pemilu.okezone.com,

10 Juli 2009) diunduh tanggal 18 Februari 2010

Dino: Perlu Politik Santun, (www. matanews.com, 15 Agustus 2009),

diunduh s tanggal 18 Februari 2010

Bangun Budaya Santun, (www.pikiran-rakyat.com, Juni 2009),

diunduh 17 Februari 2010

Presiden SBY Dianugerahi Komunikator Politik Terbaik, LKBN

Antara, Kamis, 4 Februari 2010

SBY: Buka Kasus Century, www.suaramerdeka.com, 23 November

2009), diunduh 17 Februari 2010.

BI, LPS, dan Century Bertanggung Jawab, (www.surabayapost.co.id)

diunduh tanggal 17 Februari 2010.

Perjanjian Utama KTT G20, (www.antara.co.id/berita), diunduh

tanggal 17 Februari 2010.

Negara Maju Puji Usulan SBY di KTT G20, (www.demokrat.or.id),

diunduh tanggal 15 Februari 2010

SBY: ASEAN Harus Jadi Lumbung Pangan Dunia,

(www.bisnis.vivanews.com) diunduh tanggal 18 Februari 2010

SBY Siap Bantu Manusia Perahu, Isu Rohingya Digiring ke ASEAN

Summit 2009, (www.harian-aceh.com) diunduh tanggal 18

Februari 2010.

Apa Kata Ahli Bahasa Terkait Kasus Zaenal Ma’arif?, (www.

detiknews.com), Selasa, tanggal 29 Januari 2008

Fadjroel: Data Bendera Menarik Meski Masih Diragukan, Kompas, 1

Desember 2009

Satgas Yakin Ada Peran Mafia Pajak, Surabaya Post edisi Kamis, 18

Mengungkap Kesenjangan Istana 245

Februari 2010, halaman 1.

MK Tolak Gugatan Hasil Pilpres, Fokus, Indosiar, (www.

indosiar.com)

Americas Bailout Bill, Cheap As Chips?, (www.economist.com/

business-finance)

Forbes, K., & Rigobon, R, “No contagion, only interdependence:

Measuring stock market comovements,” dalam The Journal of

Finance, 5, 2002: 2223-2261.

Atish Kumar Dash, Hrushikesh Mallick, Contagion Effect of Global

Financial Crisis on Stock Market in India, www.devstud.org.uk.

Pidato Presiden SBY, Kamis malam, 4 Maret 2010, menanggapi hasil

paripurna DPR tentang bailout Bank Century.

Hall, Eleanor, Wahid faces impeachment over corruption allegations,

www.abc.net.au, diunduh tanggal 23 Februari 2010

Tiga Bulan Penuh Jeram, Surabaya Post, 28 Januari 2010.

Andrew Johnson: 17th U.S. President, dalam www.historyplace.com.

Akhmad Kusaeni, Kampanye Hitam dan Racun Politik, LKBN Antara,

9 Juni 2009.

Sastrapratedja, M, Dr (dkk). Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa.

Jakarta: Gramedia, 1987

Antara News, tanggal 5 Februari 2009

Anderson, Ben, Lev, Daniel S (dkk). Soeharto Lengser Perspektif Luar

Negeri. Yogjakarta: LkiS, 1998.

O’Donnell, Guillermo (dkk). Trandisi Menuju Demokrasi. Jakarta:

LP3ES, 1993.

Forum Pembaca Kompas, www.yahoo.com, 1 Januari 2010.

Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Harian

Jurnas, 10 Februari 2009

Wawancara R William Liddle dengan Jaringan Islam Liberal,

www.islamib.com, 19 April 2004

www. beritapemiluindonesia.com, 15 Juli 2009.

Obama Kirim Utusan Khusus pada Pelantikan SBY-Boediono, Harian

Seputar Indonesia, 21 Oktober 2009

246 Dafatar Bacaan

Mayoritas Pemilih PDI Perjungan Dapat Menerima Kemenangan

SBY-Boediono, www.viva news.com, Jum’at, 16 Oktober 2009.

Penyelenggaraan Pemilu 2009 Paling Jelek Sepanjang Sejarah

Republik, www.kompas.com, 13 April 2009.

Wakil Rakyat Malu-Maulin, Kompas, 3 Maret 2010

Bertahan atau Karam, Tempo, 13-19 Oktober 2008.

10 Tokoh 2008, Mereka Bekerja dengan Hati Menggerakkan Daerah,

Tempo, 22-28 Desember 2008.

Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Tempo, 14-20 Juli 2008

Berita Fenomenal, www.worldpress.com, 6 Januari 2010.

SBY Ingin Koalisi Jujur, Kompas, 17 Januari 2010

DPJ Ajak Koaliai Dua Parpol Gurem, Radio Nederland Wereldomroep,

9 September 2009.

Dua Istri Bupati Kediri Maju Pemilukada, Jawa Pos, 27 Februari 2010.

Elite Parpol Tak Satu Suara Soal Kasus Century, Jawa Pos, 28 Februari

2010.

Bagi-Bagi Kuasa, Bagaimana Gerilya Partai Demokrat Rangkul PDIP,

Tempo, 31 Agustus – 6 September 2009.

Haris, Syamsuddin, Demokrasi Ala Partai Demokrat, Kompas, 5

Maret 2010.

Koalisi Berantakan, Kompas, 5 Maret 2010.

Setelah Pesta Kemenangan, Tempo, 13-19 Juli 2009.

Purba, Daniel P (editor). Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia. Jakarta:

Erlangga, 2008.

Mengungkap Kesenjangan Istana 247

Tentang Penulis

MOCH. NURHASIM, lahir di Lamongan 14 Juli 1972 dari tujuh orang

bersudara. Ia lahir disebuh desa yang relatif terpencil di Kabupaten

Lamongan, tepatnya di Desa Gelap, Kecamatan Laren. Nur, begitu

panggilan masa kecilnya menghabiskan waktunya untuk sekolah

pada saat kesadaran masyarakat di desanya tentang pendidikan

masih sangat rendah.

Gelar Sarjana Ilmu Politik diperolehnya pada 1991 di Program

Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga Surabaya. Semasa kuliah, ia aktif dalam

berbagai organisasi kemahasiswaan. Jabatan Ketua Senat Mahasiswa

FISIP Unair diembannya pada periode 1995-1996 dan aktif pula di

Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Universitas Airlangga. Selain

itu, ia juga merupakan aktivis dari Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI) Komisariat FISIP Airlangga. Semasa menjadi mahasiswa hobi

menulisnya disalurkan melalui artikel-artikel di Jawa Pos.

Sempat menjadi wartawan tidak tetap untuk wilayah Jawa

Timur Tabloid PARON setelah lulus kuliah pada 1996. Sejak Maret

1997 diterima sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik dan

Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI)

248 Tentang Penulis

yang kini berubah menjadi Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).

Gelar master of science (M.Si) diperolehnya di Program Pasca

Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia pada 2007 yang lalu.

Mengungkap Kesenjangan Istana 249