Mengungkap Kesenjangan Istana 1
11111Negeri dengan 230 Juta
Pelatih
Dunga benar-benar sial. Pemain yang sangat lama menjadi
kapten timnas Brazil ini justru mendapat kemalangan karena
ia berkostum tim Samba. Meski dunia mengakui talentanya, namun
tidak publik Brazil sendiri. Dia dipersalahkan saat Brazil gagal
memenangkan Piala Dunia 1990. Bukan hanya gagal, saat itu Brazil
ada di titik nadir.
Bayangkan, datang ke ke Italia dengan status 3 kali juara Piala
Dunia, Brazil justru gagal di babak awal. Sukses menjadi juara grup
C secara meyakinkan tanpa sekali pun kalah, Brazil justru takluk di
tangan musuh bebuyutannya, Argentina, di babak gugur 16 besar.
Padahal, saat itu Argentina terseok-seok di bawah Kamerun dan
Rumania. Begitu pula sang legenda Maradona, yang tengah didera
kesulitan mengembalikan performanya. Tim Tango hanya berada
di peringkat ketiga grup B dan lolos ke babak 16 besar sebagai salah
satu dari tim peringkat ketiga terbaik.
Kalah oleh tim yang tercabik-cabik selama penyisihan grup tak
bisa diterima publik Brazil. Dunga yang saat itu menjadi kapten tim
Samba, tak luput dari hujatan.
2 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
Saat itu adalah era kelam. Memang, saat itu dikenal sebagai
“era Dunga,” namun bukan dalam pengertian positif. Era Dunga
diwarnai cercaan terus menerus media massa dan publik Brazil
terhadap pemain bernama asli Carlos Caetano Bledorn Verri itu.
Dia dianggap bermain lambat dan terlalu defensif. Dunga pun
dihujat melebihi anggota tim lainnya.
Namun, empat tahun kemudian, adalah Dunga pula, masih
dengan ban kapten di lengannya, yang membawa tim Samba me-
meluk Piala Dunia. Perjalanan tim ini pun mulus. Babak grup dise-
lesaikan Brazil dengan nilai 7 hasil 2 kali menang dan sekali seri,
menempatkan mereka lolos langsung sebagai juara grup. Di babak
16 besar, mereka menggilas tuan rumah Amerika Serikat 0-1, lalu
makin garang di babak perempat final dengan menekuk Belanda 3-
2.
Keperkasaan Dunga dkk makin tampak saat menghentikan
Swedia di babak semifinal 1-0 dan memenangkan final dengan
mendepak favorit juara, Italia, lewat adu tendangan penalti.
Empat tahun kemudian, 1998, di Prancis, prestasi Brazil tidak
buruk. Menjadi finalis—dikalahkan tuan rumah—dan mengantar
Ronaldo sebagai pemain terbaik di ajang itu, jelas bukan capaian
buruk bagi tim samba. Saat itu Dunga pula kaptennya.
Sayang, kalau sudah bicara tentang sepakbola, publik Brazil
tergolong mudah melupakan sejarah. Mereka melupakan prestasi
Dunga yang sudah bermain 91 kali dalam balutan seragam timnas
Brazil.
Kini dia kembali dicerca publik Brazil karena tidak memasukkan
Ronaldinho dalam skuad saat melakukan uji coba dengan Republik
Irlandia. Hingga Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, besar kemung-
kinan Ronaldinho tetap tak masuk skuad inti.
Keputusan Dunga dipertanyakan nyaris seluruh warga Brazil.
Mereka bertanya-tanya, mengapa Ronaldinho, striker yang kenyang
pengalaman di klub-klub besar seperti Paris Saint Germain,
Barcelona, dan AC Milan justru tidak dipanggil? Apalagi,
Mengungkap Kesenjangan Istana 3
Ronaldinho memborong 9 gol dan memberi 10 assist di musim
pertamanya bersama AC Milan. Ini donasi assist terbanyak di Serie
A saat itu.
Keheranan lalu berubah menjadi hujatan. Namun, Dunga tidak
gentar. Dunga sendiri terus bersikap independen. Sejak awal ia sadar
menjadi pelatih Brazil harus kuat menghadapi tekanan.
“Setiap daerah dan surat kabar memaksakan pemain mereka
sendiri, tapi saya akan maju dengan cara saya sendiri,” tegas Dunga.
Pertanyaannya, mengapa Dunga sampai mengalami kesialan
seperti itu? Jawabannya terdapat dalam kalimat sarkas Luiz Inacio
da Silva.
“Semua orang di Brasil adalah pelatih. Brasil punya 190 juta
pelatih. Semua merasa yakin mereka tahu segalanya soal sepakbola,”
kata Presiden Brazil itu.
Ya, presiden yang akrab dipanggil Lula itu sadar betul kebiasaan
rakyatnya yang tak pernah puas terhadap penampilan timnas
sepakbolanya, malah cenderung mencacinya. Padahal di mata Lula,
Dunga telah melakukan yang terbaik bagi Brazil. Empat tahun
setelah gagal dalam Piala Dunia 1990, adalah Dunga pula yang
memimpin rekan-rekannya meraih Piala Dunia 1994. Kalau
kemudian Dunga tidak memasukkan nama Ronaldinho, Lula bisa
memahaminya.
“Kalau ada satu hal yang saya suka dari Dunga, itu adalah dia
hanya memanggil pemain-pemain yang dalam kondisi terbaik. Dia
juga begitu percaya diri. Pemain bagus tidaklah cukup, tapi Anda
harus tahu bahwa seorang pemain akan mengikuti taktik yang
manajer inginkan,” lanjutnya.
Rakyat Indonesia rasanya harus bersikap seperti Lula. Ketika
pelatih sudah ditunjuk, berikanlah kepercayaan untuk bekerja dan
memutuskan. Bila dalam menyikapi hasil Pilpres dan Pemilu
Legislatif rakyat Indonesia berlaku seperti rakyat Brazil saat
menyikapi penampilan timnas sepakbolanya, yang terjadi pasti
kekacauan. Bayangkan, apa jadinya bila lebih 200 juta jiwa merasa
4 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
sebagai hakim Mahkamah Konstitusi?
Inilah pentingnya pemahaman tentang kepastian hukum.
Kepastian hukum bukan hanya melibatkan struktur penegak hukum
yang jujur dan kapabel serta prosedur baku yang fair dan jelas.
Kepastian hukum juga memerlukan satu elemen yang selama ini
tidak diakui sebagai bagian inherennya: penerimaan masyarakat.
Siapa pun tahu, opini masyarakat adalah kekuatan (force, power)
yang sangat besar. Selain dilandasi niat sendiri, RS Omni
Internasional, misalnya, juga diyakini akhirnya mencabut tuntutan
perdata terhadap Prita Mulyasari, 14 Desember 2009 lalu karena
desakan suara masyarakat yang sangat massif dan intensif.
Sebelumnya, Prita dilaporkan mencemarkan nama baik RS
Omni Internasional menyusul e-mail-nya berisi keluhan ketidak-
jelasan penanganan saat Prita sakit dan dirawat di RS itu, 7 Agustus
2008 lalu. RS Omni Internasional sebelumnya menganggap e-mail
Prita sebagai bentuk pencemaran nama baik. Namun masyarakat,
seperti tercermin dalam gerakan pembelaan terhadap Prita di
Facebook, menganggap tindakan Prita ini sebagai ekspresi belaka
atas pengalaman yang ia alami, karena itu tidak layak diadili dengan
tuduhan mencemarkan nama baik.
Demikian berkuasanya suara masyarakat hingga ada adagium
vox populi vox dei. Suara rakyat banyak adalah suara Tuhan. Dalam
masyarakat religius, Tuhan adalah kekuatan tertinggi. Bila suara
rakyat disamakan suara Tuhan, ini adalah pengakuan bahwa suara
rakyat adalah suara tertinggi pula.
Dengan kekuatan sebesar itu, suara masyarakat tak bisa
diabaikan dan memang tak boleh diabaikan. Yang perlu diimbaukan
kepada masyarakat hanya satu, yaitu penghormatan terhadap
mekanisme hukum. Termasuk dalam menyikapi proses dan hasil
Pemilu Legislatif dan Pilpres.
***
Mengungkap Kesenjangan Istana 5
Apa itu Indonesia?
Berkunjunglah ke Aceh. Kita akan mendapati orang-orang
dengan kulit sawo matang, rambut lurus, dan begitu rajin datang
ke surau atau masjid. Datang ke Papua, mayoritas yang kita temui
adalah orang-orang dengan kulit lebih legam dan rambutnya pun
keriting. Di kedua tempat itu, dalam banyak kesempatan, masyarakat
berbicara dalam bahasa berbeda. Yang mana yang disebut Indonesia?
Perbedaan tak hanya ditunjukkan oleh Aceh dan Papua. Di
deretan 17.508 pulau-pulau yang menghubungkan Samudera Hindia
dan Samudera Pasifik itu, masyarakat tak hanya beda dalam rupa.
Mereka juga bicara dalam 742 bahasa dan dialek. Lantas, yang mana
yang bisa disebut Indonesia?
Benedict Anderson bisa membantu menjawabnya. Indonesia
ada dalam pemahaman, bertengger dalam keyakinan. Indonesia,
sebagaimana negara bangsa yang lain, tak lain adalah sebuah
komunitas yang terbayangkan (imagined community). Warga Aceh
yang berkulit sawo matang hingga warga Papua yang rambutnya
keritng, warga Bali yang mayoritas beribadah di Pura hingga warga
Dayak yang tinggal di rumah-rumah panjang, semua merasa sebagai
orang Indonesia karena perasaan mereka mengatakan demikian.
Karena benak mereka meyakini demikian. Tak heran bila orang-orang
yang lahir dalam rupa berbeda dan budaya berlainan itu sama-sama
sedih ketika Tim Piala Uber Indonesia gagal merebut piala itu dari
Cina. Mereka pun sama-sama merasa terancam kala Ambalat diklaim
pihak lain.
Seperti disebut Benedict Anderson dalam Imagined Communities,
warga Indonesia yang satu bisa jadi tak pernah berjumpa dengan
warga Indonesia di tempat lain, masing-masing tidak mengetahui
keseharian saudaranya. Namun, di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan
mereka Bayangan kesatuan identitas itu terus dipelihara, makin
dikuatkan sistem pendidikan dan media massa. Hasilnya, sekali pun
tak pernah berjumpa dan berinteraksi, namun bayangan sebagai
6 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
komunitas yang satu membuat mereka tak saling mengganggu,
apalagi saling bunuh.
“…Akhirnya, sebuah bangsa adalah sebuah komunitas terbayang
karena tak peduli adanya ketidaksetaraan dan penghisapan yang
mungkin ada, bangsa selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang
mendalam dan melebar-mendatar. Akhirnya, selama 2 abad terakhir,
rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang,
jutaan jumlahnya, bersedia bukan saja melenyapkan nyawa orang
lain, namun juga merenggut nyawanya sendiri demi pembayangan
yang terbatas itu,” tulis Benedict Anderson.
Tentu, komunitas yang terbayangkan ini bukan sesuatu yang
tak bisa berubah. Pemahaman dan keyakinan sebagai “satu
komunitas yang sama” ini bisa makin kuat, namun juga bisa kian
pudar. Salah satu penyebab memudarnya perasaan sebagai satu
komunitas yang sama adalah munculnya komunitas terbayangkan
lain yang lebih sempit, spesifik, dan lebih menyerupai kondisi riilnya.
Dengan kata lain, komunitas terbayangkan “tandingan” ini biasanya
berbentuk menguatnya perasaan kesukuan.
Penyebab pecahnya konstruksi imagined community bisa sangat
beragam. Namun, biasanya hal itu didasari oleh terlalu lebarnya
disparitas antara satu elemen dengan elemen lainnya. Disparitas itu
bisa muncul dalam bentuk perbedaan kesejahteraan, perbedaan
tingkat keterwakilan dalam pemerintahan, perbedaan persepsi
kepemilikan power, dan perbedaan perlakuan. Secara riil, disparitas
itu bisa muncul dalam beragam bentuk, mulai eksploitasi hasil alam
di suatu wilayah suku tertentu dengan imbal hasil yang dianggap
tidak sepadan hingga kecurangan pemilu. Pemilu bisa menjadi
pengeras sentimen kesukuan—atau kategori fragmentasi lainnya—
bila kandidat yang bersaing terlalu kuat mengidentifikasi diri pada
kelompok tertentu dan sebaliknya.
Apa yang terjadi di Kenya membuktikannya. Pada tanggal 1
Januari 2008 bukanlah tahun baru yang menyenangkan bagi warga
negara itu. Kerusuhan bergolak di mana-mana, lebih dari 300-an
Mengungkap Kesenjangan Istana 7
orang tewas. Pemilihan Presiden (Pilpres), inilah pemicunya.
Pilpres digelar 27 Desember 2007. Tak menunggu lama, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kenya mengumumkan bahwa presiden
incumbent, Mwai Kibaki memenangkan pilpres itu dengan selisih
suara tipis. Lawan Kibaki, Raila Odinga langsung tunjuk hidung.
Menurutnya, Kibaki dan KPU bersekongkol melakukan kecurangan.
“Kibaki adalah pencuri. Dia mencuri Pilpres dan harus turun,”
teriak Odinga.
Beberapa waktu kemudian, Ketua KPU mengaku pihaknya
ditekan untuk membuat pengumuman cepat meski KPU belum
yakin siapa yang menang.
Meyakini sang presiden dan KPU ada main, kerusuhan pun
pecah. Konsekuensi dugaan kecurangan pilpres ini menjadi
demikian dalam karena Kibaki dipersepsi sebagai representasi Suku
Kikuyu, sementara Odinga dipandang sebagai wakil Suku Luo.
Keduanya adalah suku terbesar dari sekitar 40 suku di Kenya.
Maka, dugaan kecurangan Pilpres dipersepsi bukan dilakukan
Kibaki dan timnya terhadap Odinga beserta timnya, namun
dipersepsi sebagai kesewenang-wenangan Kikuyu terhadap Luo.
Garis primordial yang sebelumnya dikaburkan oleh garis yang lebih
luas—imagined community bernama Kenya—tiba-tiba membatas jelas
dan saling berhadapan.
Hasilnya, warga Etnis Luo membunuhi warga Kikuyu di Kenya
bagian timur, sementara warga Kikuyu membunuhi Etnis Luo di
Kenya bagian tengah. Insiden yang mengakibatkan lebih dari 300
jiwa meninggal itu mengancam status Kenya yang selama ini dipuji
sebagai salah satu entitas demokrasi paling menjanjikan di Afrika.
Apakah Indonesia harus mengalami hal menyedihkan seperti
itu dalam menyikapi sebuah proses demokrasi bernama pemilu dan
pilpres?
****
8 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
Tahun 2000 hampir berakhir.
Seluruh mata dunia tertuju ke Florida. Bukan, negara bagian
ini tidak sedang dilanda Badai Katrina. Tidak pula diserang heat wave
yang meminta korban jiwa. Negara bagian menjadi sorotan karena
ia menjadi penentu siapa yang bakal melenggang ke Gedung Putih,
menjadi presiden baru AS saat itu.
Dalam balutan musim dingin, skor sementara seperti ikut
membeku. Kedudukan 266 electoral votes untuk Albert Arnold (Al)
Gore dan 246 electoral votes untuk George Walker Bush bertahan
lebih lama. Skor menjadi stagnan karena 25 electoral votes yang
dimiliki Negara Bagian Florida belum ketahuan untuk siapa. Padahal,
siapa pun yang dinyatakan menang di negara bagian ini akan
menjadi pemenang pula dalam pilpres AS.
Sebagaimana diketahui, AS mengenal electoral votes, yaitu
jumlah suara yang dimiliki masing-masing negara bagian dalam
Electoral College, lembaga yang secara formal memutuskan siapa
pemenang Pilpres. Jumlah electoral votes masing-masing negara
bagian tidak sama, bergantung jumlah penduduk mereka. Calon
yang memenangkan suara di negara bagian bersangkutan, betapa
pun tipis selisihnya, mendapatkan seluruh electoral votes yang
dimiliki negara bagian tersebut. Inilah sistem yang disebut winner
takes all. Dari 50 negara bagian dan 1 daerah khusus ibukota
(Washington D.C.), hanya Negara Bagian Maine dan Nebraska yang
tidak menggunakan sistem winner takes all. Dua negara bagian ini
membagi electoral votes-nya sesuai capaian suara masing-masing
kandidat.
Nah, dalam Pilpres AS 2000, seluruh negara bagian sudah
menyelesaikan perhitungannya kecuali Florida. Sehari setelah
pemilu, hasil tidak resmi di Florida muncul dengan keunggulan tipis
Bush, yaitu 327 dari 6 juta suara yang masuk. Tentu jarak (margin)
yang tipis segera saja memunculkan kecurigaan: jangan-jangan salah
hitung, jangan-jangan ada kecurangan.
Tak menunggu lama, Partai Demokrat pun meminta
Mengungkap Kesenjangan Istana 9
penghitungan ulang di Palm Beach County, Miami-Dade County,
Volusia County, dan Nassau County. Suara Bush pun terus
berkurang seiring berlangsungnya perhitungan ulang ini.
Mahkamah Agung Florida membenarkan langkah Gore ini
(penghitungan ulang). Sayang, tidak semua county itu berhasil
menyelesaikan penghitungan ulang sesuai deadline. Penghitungan
ulang belum selesai juga bahkan setelah Mahkamah Agung Florida
memperpanjang tenggatnya.
Karena tak juga selesai, Secretary of State Florida menyatakan,
Bush memenangkan Pilpres di negara bagian dekat Kuba itu. Gore
kembali menentang hasil ini. Alasannya, akurasi lebih penting
ketimbang penyelesaian, Mahkamah Agung Florida memerintahkan
penghitungan ulang di seluruh wilayah Florida.
Melihat perkembangan ini, Bush meminta Mahkamah Agung
AS membatalkan perintah Mahkamah Agung Florida ini yang
menurut Bush dan timnya melampaui kewenangan mereka.
Mahkamah Agung AS ternyata sependapat dengan Bush. Tepat
pada 12 Desember 2000, hari terakhir penentuan anggota Electoral
College, Mahkamah Agung AS memutuskan menghentikan
penghitungan manual itu dan dengan demikian menyatakan Bush
sebagai pemenang. Keputusan itu diambil dengan selisih tipis, 5
suara mendukung dan 4 suara menentang.
Alasan Mahkamah Agung AS: “Standar dalam menerima atau
menolak hasil pemungutan suara yang dipertanyakan sangat
bervariasi bukan saja dari county ke county, namun bahkan dalam
satu county yang sama. Karena itu, yang lebih penting adalah adanya
kepastian…. tentang perlakuan setara dan fairness mendasar.”
Dengan demikian, adalah mustahil bagi siapa pun pelaku
penghitungan suara ulang untuk memenuhi tenggat 12 Desember.
Karena itu, hasil pilpres di Florida sudah final dan George W. Bush
menjadi presiden ke-43 AS.”
Hebatnya, publik AS menerima keputusan ini dan Bush pun
menjadi Presiden AS. Tak ada darah tertumpah, tak ada nyawa
10 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
melayang, tak ada gedung-gedung yang menjadi sasaran. Kondisi
aman ini tercipta karena satu hal sederhana: wasit memutuskan dan
publik menerima (termasuk mereka yang bersaing dalam Pilpres).
Kondisi berbeda terjadi di Aljazair tahun 1992 lalu. Saat itu
Front Penyelamatan Islam (FIS) memenangkan pemilu dengan
perolehan suara sangat besar. Namun, militer membatalkan hasil
pemilu. Tak hanya itu, mereka secara memalukan melucuti FIS dan
menahan ratusan anggotanya. Akibatnya, rakyat marah karena
merasa hak-hak politik dan demokratik mereka dirampas.
Kekacauan sipil pun pecah dan meminta korban hingga puluhan
ribu jiwa.
Militer berdalih pembatalan hasil pemilu itu untuk menjaga
demokrasi. FIS mereka anggap sebagai kelompok radikal yang akan
mengganggu, bahkan merusak demokrasi di Aljazair. Ini tentu klaim
yang memalukan. FIS dituduh—tepatnya distigma—sebagai tidak
demokratis, nyatanya mereka memenangkan pemilu yang digelar
demokratis. Sebaliknya, militer yang berdalih “menyelamatkan
demokrasi”, justru jelas-jelas melakukan tindakan tidak demokratis
dengan membatalkan pemilu secara sepihak.
Koran prestisius The New York Times pun berkali-kali
menurunkan tajuk rencana tentang diberangusnya kemenangan FIS
itu. Judul tajuk-tajuk rencana mereka di antaranya “Algeria:
Democracy Betrayed” (Aljazair: Demokrasi Dikhianati) dan
“Democracy Denied in Algeria” (Demokrasi Disangkal di Aljazair).
Tak ada alasan membenarkan tindakan militer Aljazair itu meski
AS dan negara-negara Eropa mendukungnya dengan cara
membiarkan, satu kebijakan yang mendapat kecaman keras dari
media-media massa Barat sendiri.
FIS didirikan tahun 1989 bersamaan dengan didirikannya sekitar
20 parpol yang lain. Seperti Partai Demokrat di Indonesia, FIS pun
langsung menorehkan prestasi besar: mereka memenangkan 55
persen suara di beragam pemilu lokal.
Pada 1991, pemerintah mengumumkan digelarnya Pemilu
Mengungkap Kesenjangan Istana 11
Legislatif pada Juni tahun itu disertai sejumlah perubahan aturan
pemilu, termasuk dilarangnya kampanye di masjid. Ternyata, aturan
baru ini tak mengurangi kehebatan FIS dalam mendulang suara.
Dalam putaran pertama saja mereka berhasil mengumpulkan 188
kursi di parlemen dan hampir pasti akan memenangkan mayoritas
besar kursi di putaran kedua.
Di saat itulah MPR Aljazair dibubarkan dekrit presiden pada
11 Januari 1992 Presiden Chadli Ben Djedid mengundurkan diri.
Kedudukannya digantikan Dewan Tinggi Negara beranggotakan 5
orang yang dipimpin Mohamed Boudiaf. Pergolakan pecah di jalan-
jalan, pemerintahan sementara pun menetapkan keadaan darurat.
Lalu, FIS pun dibubarkan dan 411 pemerintahan provinsi dan kota
yang dimenangkan FIS, dibubarkan pula.
Partai yang muncul sebagai pemenang Pemilu yang demokratis
bukan saja diganggu, namun bahkan dirampas kemenangannya dan
dibubarkan.
Lantas, jejak manakah yang akan kita ikuti, penyelesaian
sengketa Pemilu oleh badan yudikatif yang diberi kewenangan
memutuskannya seperti di AS, atau membatalkan sepihak hasil
Pemilu seperti dilakukan militer Aljazair?
Tentu, tak ada satu pun yang berharap sengketa pemilu dan
pilpres di Indonesia akan berakhir seperti di Kenya atau Aljazair.
Adalah kewajiban kita semua untuk memastikan bahwa Pemilu
digelar sesuai aturan. Saat hasil diumumkan, saat itulah janji untuk
“siap menang dan siap kalah” harus ditepati.
Tidak mudah, memang. Apalagi, ada kebiasaan buruk dalam
praktik politik kita, yaitu membuka kartu truf ketika permainan
selesai. Menggugat proses pertandingan ketika kompetisi usai karena
tidak menjadi pemenang. Tetapi sebaliknya. membiarkan proses
berjalan kalau berada di pihak yang menang, meski pun ada sejumlah
kekurangan sistem yang disadari sejak awal.
Di sinilah pentingnya peran MK. Mereka dipilih untuk
memutuskan perkara-perkara terkait konstitusi, termasuk memberi
12 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
putusan akhir atas hasil pemilu dan pilpres. MK adalah Dunga yang
telah diberi kepercayaan memutuskan siapa saja yang akan ia panggil
mengisi Timnas Brazil. MK adalah wasit yang diberi mandat untuk
memimpin pertandingan dan memutuskan hasil akhirnya.
Bayangkan bila seluruh penghuni stadion ingin menjadi wasit pula?
MK sendiri memutuskan menolak gugatan hasil Pilpres yang
diajukan pasangan Megawati -Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK menilai tidak ada bukti
kuat tentang adanya upaya sistematis dan terstruktur yang mem-
pengaruhi hasil pilpres dan berujung diuntungkannya salah satu
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
MK sendiri mengakui adanya kejanggalan, termasuk terkait
daftar pemilih tetap (DPT). Namun, kekurangan itu dipastikan MK
bukan bagian dari upaya terstruktur untuk memenangkan pasangan
SBY-Boediono (MK Tolak Gugatan Hasil Pilpres, Fokus, Indosiar,
http://www.indosiar.com/fokus/81699/mk-tolak-gugatan-hasil-
pilpres, diunduh pada 12 Maret 2010).
Mestinya, keputusan MK ini adalah keputusan akhir yang harus
diterima seluruh warga Indonesia, termasuk mereka yang
berkompetisi dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres. Keputusan MK
adalah keputusan Dunga yang harus ditaati seluruh fans sepakbola
Brazil.
***
Banyak aspek yang dijadikan sasaran tembak dalam
penyelenggaraan Pemilu 2009, di antaranya keterlambatan distribusi
logistik pemilu, rendahnya kualitas surat suara, tertukarnya kertas
suara antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lain
menjadi contoh yang banyak terungkap dengan kurang rapinya
daftar pemilih tetap (DPT) dianggap sebagai kelemahan terbesar.
Seluruh masyarakat, termasuk Partai Demokrat dan SBY, mengakui
adanya sejumlah kejanggalan ini. Ada banyak nama warga yang
sudah meninggal masih tertera di DPT. Ada juga nama-nama ganda
Mengungkap Kesenjangan Istana 13
dan bentuk kejanggalan lain.
Hal ini terjadi kemungkinan karena proses pemutakhiran data
oleh KPU yang tidak tuntas. Penyebab lainnya adalah belum
tertatanya sistem administrasi kependudukan akibat penyesuaian
dengan UU kependudukan baru yaitu UU no 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. UU ini mengatur Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK) yang berlaku secara nasional.
SIAK ini diantaranya dengan membuat Nomor Induk Kepen-
dudukan (NIK) yang tunggal (Single Indentity Number) untuk setiap
penduduk Indonesia. UU ini dapat diterapkan secara efektif paling
lambat 5 tahun sejak ditetapkan berarti baru tahun 2011.
Sayangnya, dalam kondisi demikian, sejumlah pihak menuduh
Partai Demokrat dan SBY mengambil keuntungan dari kekacauan
DPT ini. Salah satu tuduhannya adalah penggelembungan suara
melalui penggelembungan DPT. Kelebihan nama pemilih ini
disebutkan sebagai suara yang digelembungkan untuk Partai
Demokrat atau Pasangan Capres/Cawapres SBY-Boediono. Caranya
sejumlah suara golput tersebut diakumulasikan ke dalam jumlah
pemilih Partai Demokrat atau pasangan Capres/Cawapres SBY-
Boediono. Pertanyaannya, lantas di mana keberadaan saksi partai,
panwas dan pemantau? Apakah mungkin semuanya bisa dibeli?
Logika lain yang mematahkan asumsi pengelembungan suara
adalah pola kekacauan DPT yang terjadi. Kalau di sebagian tempat
terjadi kelebihan pemilih dalam DPT, yang dianggap sebagai potensi
penggelembungan suara, di sebagian tempat yang lain justru terjadi
kekurangan nama. Untuk kekacauan DPT yang satu ini, tuduhan
yang dilemparkan adalah bahwa tempat tersebut bukan kantong
basis pendukung Partai Demokrat atau pasangan SBY-Boediono.
Asumsi ini mudah dipatahkan karena karakter pemilih Partai
Demokrat atau Pasangan Capres/Cawapres SBY- Boediono bukan
tipe pemilih yang berkarakter ikatan ideologis, kesukuan, agama,
kedaerahan atau golongan tertentu yang terikat patronase politik
dan mudah diidentifikasi (termasuk persebaranya). Pemilih SBY
14 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
lebih mendasarkan pilihannya karena pertimbangan rasional. Pemilih
SBY bukan berkarakter fanatik yang merasa apapun yang diperbuat
SBY, salah atau benar, baik atau buruk, tetap memilih SBY. Bukan,
bukan seperti itu.
Dengan pemilih yang menyebar, apakah Partai Demokrat
merisikokan suaranya sendiri dengan melakukan penghapusan
nama sejumlah pemilih di daerah tertentu? Padahal, bahkan wilayah
yang disebut “basis” kelompok rival pun tetap berpotensi
menyumbang suara bagi Partai Demokrat atau pasangan SY-
Boediono. Tuduhan ini juga menghina kemampuan Partai Demokrat
dan tim SBY-Boediono menggaet dukungan.
Padahal, Partai Demokrat maupun Tim SBY-Boediono sudah
jauh-jauh hari menyiapkan diri dan melakukan langkah-langkah
pematangan pemilih. Tidak perlu terlalu kasat mata, apalagi sampai
membawa massa memenuhi stadion sepakbola segala. Yang jelas,
sosialisasi partai, program, dan calon yang akan diusung dilakukan
secara massif dan intensif. Inilah yang diyakini SBY memberi andil
bagi kemenangan Partai Demokrat dan dirinya. Lagipula, bukankah
SBY dianugerahi penghargaan internasional di Hong Kong sebagai
komunikator politik terbaik? Apakah tidak mungkin besarnya
dukungan terhadap dia dikarenakan kemampuan komunikasinya
yang bagus itu?
Selain itu, kita mestinya juga sadar bahwa Pemilu Legislatif dan
Pilpres di Indonesia mendapat pantauan ketat dari dalam dan luar
negeri. Pesta demokrasi ini dihadiri banyak pemantau. Sebut saja,
misalnya, Uni Eropa dan the Carter Center.
Carter Center bahkan memuji pelaksanaan Pilpres Juli 2009.
Menurut mereka, Pilpres berjalan dalam suasana damai sebagaimana
Pemilu Legislatif yang digelar 3 bulan sebelumnya. Secara umum,
kata Carter Center, para pemantau mereka mendapati bahwa TPS-
TPS yang mereka kunjungi sangat teratur dan berfungsi secara efektif.
Padahal, dengan 155 juta pemilih terdaftar di Indonesia dan 575
ribu TPS menjadikan pemilu ini sebagai pemilu satu hari terbesar di
Mengungkap Kesenjangan Istana 15
dunia.
Carter Center tentu menemukan sejumlah kelemahan
pelaksanaan pemilu. Salah satu yang paling mendesak dan mungkin
diperbaiki adalah pemahaman pemilih terhadap tata cara
pencontrengan atau pencoblosan. Carter Center mencatat tingginya
persentase surat suara yang dianggap tidak sah di seluruh Indonesia
karena para pemilih tidak sepenuhnya membuka lipatan sebelum
mereka melakukan pencoblosan.
Menurut Carter Center, masalah surat suara ini seharusnya
dapat dihindari dengan perencanaan yang lebih baik dan latihan
yang diselenggarakan pada waktu yang lebih tepat bagi petugas
TPS dan pemilih. Namun, mereka sama sekali tidak menemukan
upaya-upaya sistematis untuk mengarahkan pilihan terhadap
kandidat tertentu.
Selain sumirnya bukti tuduhan kecurangan sistematis, ada satu
hal lain yang harus direnungkan: mengapa pengungkapan beragam
kekurangan Pemilu dan Pilpres—dalam pemahaman tingkat
keparahan yang berbeda—dilakukan justru setelah pemilihan itu
usai?
Kalau tujuannya untuk memberikan pilihan terbaik bagi rakyat,
segala kekurangan sistem seharusnya dibuka sejak awal. Tujuannya
jelas, memberikan pilihan terbaik bagi rakyat agar tidak salah pilih.
Kompetisi politik yang baik adalah dengan saling menunjukkan
kelebihan masing-masing. Bukan dengan menjatuhkan lawan
dengan kekurangannya, padahal dia sendiri tidak memiliki nilai
lebih. Apalagi dengan menggugat sistem yang sudah berjalan.
Tujuannya hanya satu, menjatuhkan, tanpa melihat beban proses
yang sudah dilalui yang demikian mahal di atas pengorbanan semua
pihak.
Ya, sepertinya kita harus kembali menengok filosofi per-
tandingan sepakbola. Dalam olahraga ini, semua bentuk pelanggaran
akan diganjar hukuman. Pelanggaran ringan akan dihukum
tendangan bebas. Pelanggaran sedang berakibat dikeluarkannya
16 Negeri dengan 230 Juta Pelatih
kartu kuning. Jika mendapat akumulasi kartu kuning dalam satu
pertandingan, pemain akan diusir ke luar lapangan. Untuk pelang-
garan berat, wasit akan mengeluarkan kartu merah. Pemain yang
terkena kartu merah harus keluar dan tidak diizinkan ikut pertan-
dingan berikutnya satu kali. Mereka yang mencetak gol dalam posisi
offside atau dengan tangan, gol-nya pasti dianulir.
Semua itu dengan catatan: asalkan pelanggaran itu diketahui
saat pertandingan masih berlangsung. Bila pelanggaran diketahui
atau dilaporkan setelah pertandingan berakhir, tak akan bisa
diproses. Hasil akhir tetaplah hasil akhir ketika peluit panjang babak
kedua ditiup wasit.
Dan terlepas dari itu, segala yang terjadi hanya akan menjadi
bahan perbaikan ke depan, namun tak mengubah skor akhir
pertandingan.
***
Seorang Ketua KPU Korea Selatan mengumumkan pemenang
pemilu.
Dia berseru, “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… 3… Partai
Konservatif….”
Melintasi Samudera Pasifik, pengumuman serupa sedang
disampaikan.
Bunyinya, “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… Partai
Demokrat….”
Di Indonesia, juru bicara KPU berdiri kaku. Dengan berat dia
mengumumkan, “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… mmm…
bentar ya… 1… 2… belum nih… 1… 2… maaf, suara yg terkumpul
baru 1-2 persen….”
Ya, anekdot itu menyindir betapa lamanya kita untuk
mengumumkan pemenang pemilu. Baik Pemilu Legislatif maupun
Pilpres, semuanya tak bisa diumumkan secara cepat. Bukan hanya
karena penghitungan suara yang biasanya lama, namun juga lebih
dikarenakan banyaknya ketidakpuasan yang berujung gugatan.
Mengungkap Kesenjangan Istana 17
Gugatan inilah yang biasanya membutuhkan waktu penyelesaian
yang lama.
Kondisi ini bukan sekadar berimbas pada lamanya waktu yang
terbuang, namun juga makin terkikisnya modal sosial di masyarakat.
Modal sosial adalah atribut yang melekat pada masyarakat yang
menentukan tingkat kerja sama di antara mereka dan turut
menentukan kinerja pencapaian prestasi mereka. Aspek modal sosial
di antaranya kepercayaan, kohesivitas, altruisme, gotong royong,
jaringan, dan kolaborasi sosial.
Menurut Francis Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan
yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas.
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja
secara gotong royong, merasa aman untuk berbicara, dan mampu
mengatasi perbedaan-perbedaan. Sementara, masyarakat dengan
modal sosial rendah diwarnai kecurigaan satu dengan yang lain,
merebaknya dikotomi “kita” dan “mereka”, tiadanya kepastian
hukum dan keteraturan sosial, serta mudahnya muncul kambing
hitam.
Ada pada kelompok manakah kita?
Bila hasil Pemilu Legislatif dan Pilpres selalu ditanggapi dengan
rasa curiga, bahkan mempertanyakan perangkat dan struktur
hukum yang diciptakan untuk mengaturnya, maka modal sosial kita
takkan pernah beranjak lebih tinggi. Padahal, siapa pun tahu bahwa
modal sosial lebih menentukan kemajuan suatu bangsa, lebih dari
peran modal sumber daya manusia dan modal finansial.
Selain itu, kondisi itu akan selalu membuat anggota KPU kita
ragu. Tiap kali mengumumkan hasil pemilihan, mereka harus seperti
orang gagu: “Dan pemenangnya adalah… 1… 2… mmm… bentar ya…
1… 2… belum nih… 1… 2… maaf, suara yg terkumpul baru 1-2
persen…sudah digugat lagi.....”
Apa kita mau seterusnya begitu? *
Mengungkap Kesenjangan Istana 19
22222Panglima itu
Bernama Media
Hari masih pagi. Warga New York baru saja bangun tidur dan
menyiapkan sarapan. Tapi pada pagi hari di tahun 1898 itu,
mereka mendapat bonus kejutan.
“SPANISH ARMADA OFF THE COAST OF NEW JERSEY.”
Judul berita dengan huruf-huruf mencolok mata yang
terpampang di koran Inquirer itu mengusik kenyamanan warga
menikmati damainya pagi. Armada Spanyol sudah berbaris di pantai
New Jersey? Benarkah itu? Jadi, perang sudah menjelang?
Entah benar atau tidak, yang jelas itulah yang disuguhkan koran
bertiras raksasa di New York itu kepada pembacanya. Koran itu
milik Charles Foster Kane, seorang ambisius yang membangun karier
sebagai penerbit koran. Dia membeli Inquirer yang tengah kembang-
kempis, dan menyulapnya menjadi media yang sensasional ala
tabloid. Kane sukses membengkakkan oplah Inquirer, plus men-
jadikannya kekuatan politik yang kuat.
20 Panglima itu Bernama Media
Tapi benarkah memang armada Angkatan Laut Spanyol sudah
tiba di New Jersey? Bagi Kane, itu soal kedua. Jangankan pembaca,
para redaktur Inquirer sendiri kebingungan membaca berita itu.
Mereka merasa, Inquirer telah menjelma menjadi koran sensasional,
menjadi media yang dengan gagah-berani mengibarkan bendera
yellow journalism. Berita-beritanya tak hanya dipermak menjadi
hiperbola, tapi bahkan seringkali bohong.
Menghadapi keluhan para redakturnya, Kane dengan enteng
berkata, “Jika headline dibuat cukup besar, itu menciptakan berita
cukup besar pula.” Kebenaran, agaknya bukan hal penting buat
Kane. Makin lama, pemberitaan Inquirer makin jauh dari kebenaran
dan kejujuran, disesaki manipulasi dan opini. Yang dianggap “sakral”
oleh Kane adalah ambisi politiknya yang menyala-nyala. Saat itu,
dia berencana maju sebagai gubernur New York dan Presiden AS.
Dia ingin mencitrakan diri sebagai reformis, sahabat kaum marginal,
dan pemimpin baru yang mampu menyapu korupsi di pemerin-
tahan. Dia bersedia melakukan apapun –termasuk memanfaatkan
jaringan medianya— untuk mewujudkan impian politiknya.
Dan, Perang AS-Spanyol merupakan bagian dari rencana
politiknya. Perang AS-Spanyol dianggap bakal membuat jalannya
menuju kekuasaan melebar bak jalan tol. Itu sebabnya Kane sengaja
membuat berita bohong tentang datangnya pasukan Spanyol di
pantai New Jersey, satu hal yang turut memicu perang AS-Spanyol.
Dia menampilkan berita itu sebagai headline dengan huruf-huruf
mencolok mata.
Melalui mis-informasi yang sengaja dirancang, berita-berita
rekaan dan sentimen-sentimen nasionalisme kosong, Kane berupaya
menceburkan AS ke dalam perang melawan Spanyol. Medianya
pun sibuk mengisahkan kekejaman Spanyol, padahal itu tak terjadi.
Medianya juga melaporkan serunya baku tembak, padahal itu juga
nihil. Kane juga memerintahkan jaringan medianya membesar-
besarkan situasi, sehingga presiden AS tidak bisa jernih lagi
menghitung peluang dan memutuskan kebijakan.
Mengungkap Kesenjangan Istana 21
Kane menciptakan semua kebohongan itu secara halus. Dia
cerdas, penuh energi dan piawai menghibur. Dia benar-benar
menikmati posisi sebagai pembentuk opini dan kebijakan. Berkat
medianya, dia menjadi tokoh berpengaruh dan salah satu pilar
masyarakat. Suatu saat di korannya, Kane menurunkan apa yang
disebutnya Declaration of Principles. Dia berjanji kepada pembacanya
untuk selalu menyuguhkan berita-berita yang jujur, cepat, sederhana
dan menghibur. Tak janji jurnalistik yang disuguhkannya, tapi juga
janji politik. Kane berjanji memberi masyarakat hak-hak sebagai
warga negara dan manusia dengan tanpa kenal lelah dan tanpa kenal
henti. Sebuah janji yang luar biasa. Tapi para kritikusnya menanggapi
janji itu dengan skeptis, dan hanya menganggapnya sebagai
“suvenir” ala Kane.
Agar lebih meyakinkan, Kane mengirim wartawannya ke Kuba
(saat itu menjadi salah satu markas tentara Spanyol) untuk “meliput
perang. “Tapi di lapangan sang reporter tidak menemukan apa-apa.
Tak ada baku tembak, tak ada kekejaman. “Tak ada apa-apa, di sini
saya hanya bisa menulis puisi,” kata si wartawan.
Lalu apa jawaban Kane? “Terus saja mengirim puisi, aku yang
akan memberimu perang.”
Sejarah mencatat, Perang AS-Spanyol memang meletus antara
25 April sampai 12 Agustus 1898. Perang terjadi karena AS
melakukan campur tangan atas isu politik luar negeri di Koloni
Spanyol, terutama Kuba dan Filipina, Puerto Riko dan Guam.
Spanyol tidak bersedia menyerahkan kemerdekaan pada koloni-
koloni itu, dan AS tidak menyukainya. Saat itu, AS masih berada
dalam masa ekspansionisme (ingin mengontrol lebih banyak negara
lain). Perang ini dimenangkan AS. AS pun menduduki koloni-koloni
itu, mengambil kendali atas tanahnya dan dijadikan milik
pemerintah. Ribuan prajurit dan penduduk sipil tewas dari kedua
belah pihak.
Tokoh Kane dan koran Inquirer itu memang hanya muncul di
dalam film. Keduanya muncul dalam film Citizen Kane, sebuah film
22 Panglima itu Bernama Media
Hollywood yang dirilis pada 1941. Film ini disutradarai Orson Welles,
dan dibintangi Everett Sloane, George Coulouris, Ray Collins, dan
Agnes Moorehead. Banyak orang menyebut-nyebut Citizen Kane
sebagai film terbaik sepanjang masa. Film ini, misalnya, nangkring
di puncak peringkat 100 Years, 100 Movies, 10th Anniversary Edition
yang dihelat American Film Institute. Citizen Kane menyisihkan film-
film besar lain dalam sejarah Hollywood seperti The Godfather,
Casablanca, Raging Bull, Singin in the Rain, Gone With The Wind,
Lawrence of Arabia, Schindlers List, Vertigo, The Wizard of Oz, dan
Vertigo.
Toh, siapa bilang karakter dan kisah-kisah Kane tidak nyata?
Gambaran tentang tokoh Kane ini amat mirip tokoh terkemuka
persuratkabaran Amerika Serikat yang lahir di San Francisco,
California, 29 April 1863. William Randolph Hearst. Kalau tidak
nyata, mengapa sang sutradara Citizen Kane, Orson Welles, dibekap
masalah serius akibat reaksi Hearst?
Sebagaimana Kane, Hearst juga raja media. Ia mendirikan
kerajaan surat kabar Hearst Corporation. Ia juga tersohor atas cerita-
cerita sensasional di medianya. Cerita-cerita itu sering salah, atau
tak sepadan dengan kenyataan. Hearst memasuki bisnis media pada
1887 setelah mengambil alih kontrol atas The San Francisco Examiner
dari ayahnya. Saat boyongan ke New York, dia mengakuisisi The
New York Journal, dan dengan segera terlibat perang sirkulasi dengan
New York World milik Joseph Pulitzer. Perang ini memunculkan
apa yang kemudian disebut yellow journalism (jurnalisme kuning)
yang mengabdi pada kisah-kisah sensasional yang diragukan
kebenarannya. Namun, justru berita-berita “pepesan kosong” itulah
yang membuat Hearst berjaya. Koran demi koran diakuisisi, sampai
akhirnya dia memiliki 30 koran besar di kota-kota terkemuka di AS.
Belakangan, dia melebarkan sayapnya ke majalah, yang membuatnya
menjadi media mogul terdahsyat saat itu.
Seperti juga Kane, Hearst menyimpan pula hasrat politik
menyala-nyala. Dia dua kali terpilih menjadi anggota DPR dari Partai
Mengungkap Kesenjangan Istana 23
Demokrat. Tapi dua kali pula dia gagal merebut kursi Walikota New
York pada 1905 dan 1909. Ambisinya menjadi Gubenur New York
pada 1906 juga kandas. Begitu pula saat dia berhasrat menyabet
jabatan Lieutenant Governor of New York pada 1910. Salah satu
kunci kekuatan politik dan popularitasnya, tentu saja, adalah barisan
koran dan majalah yang dimilikinya. Sejarah mencatat (mirip yang
digambatkan dalam film Citizen Kane), media Hearst pernah
menggalang opini publik agar AS berperang dengan Spanyol pada
1898.
Mirip bukan dengan Citizen Kane? Hearst sendiri merasa
begitu, dan tentu saja dia kesal melihat kisah Kane begitu mirip
dengan dirinya. Dia menggunakan segenap pengaruhnya untuk
menghadang rilis film itu. Namun Welles dan studionya, RKO, ber-
hasil menepisnya. Namun dengan mengerahkan koneksi
Hollywoodnya, Hearst berhasil mempersempit gerak Citizen Kane
di gedung-gedung bioskop. Akibatnya, Citizen Kane gagal menang-
guk sukses komersial yang sebanding dengan sukses sinematografis-
nya.
Kisah Kane dan Hearst selalu berulang dan berulang lagi di
bermacam tempat dan berbagai waktu dengan tokoh yang berbeda.
Tak percaya? Lihat PM Italia Silvio Berlusconi. Dialah media moghul
yang dianggap mirip Hearst atau Kane, yang memadukan kekuasaan
politik, ekonomi dan media. Dia adalah pemilik perusahaan media
raksasa di Italia. Dia juga pemimpin Partai Forza Italia yang dibentuk
pada 1994 untuk keikutsertaannya dalam politik. Ia menjadi perdana
menteri selama tujuh bulan (10 Mei 1994-17 Januari 1995), namun
pada 2001 kembali diangkat menduduki jabatan itu. Perusahaan
Berlusconi saat ini, Mediaset, terdiri dari tiga stasiun televisi nasional
yang ditonton 45% penonton TV Italia. Mediaset Group bersama
perusahaan RAI menguasai 90 persen dari keseluruhan pasar di
Italia, juga menguasai 96,8 persen dari seluruh pemasukan iklan
televisi (dengan jumlah 2,5 miliar Euro pada 2001). Berlusconi juga
punya Il Giornale, surat kabar besar dan majalah berita Panorama.
24 Panglima itu Bernama Media
Yang menjadi kontroversi terletak pada alasan sejati Berlusconi
terjun ke politik. Demi negara atau diri sendiri? Banyak yang melihat,
Berlusconi masuk ke arena politik demi kepentingannya sendiri,
untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaannya yang di berada
bibir jurang kebangkrutan dan dirinya sendiri dari tuntutan hukum.
Sebaliknya, para pendukungnya menyambut sebagai “orang baru”
yang bakal menyulap birokrasi pemerintahan menjadi lebih efisien
dan memperbarui negara dari tingkat paling atas hingga paling
bawah. Mereka merasa, pemilik klub AC Milan ini sudah begitu
kaya-raya sehingga tidak akan berminat menggunakan politik untuk
menjadi semakin kaya.
Berlusconi mendirikan Forza Italia (Majulah Italia) hanya dua
bulan sebelum pemilu 1994. Dia juga melakukan kampanye besar-
besaran lewat iklan di ketiga jaringan TV-nya. Ia menggerakkan para
manajer di perusahaannya turun ke lapangan melakukan kampanye
politik. Para manajernya juga dicalonkan menjadi anggota parlemen,
meskipun mereka sama sekali belum pernah terjun ke panggung
politik. Maka, muncullah para politisi dadakan. Lahirlah bentuk baru
politik, genre baru politik yang menyimpang dari perpolitikan Italia.
Berlusconi memenangkan pemilu dan Forza Italia menjadi
partai yang menduduki peringkat pertama dengan 21% suara
popular.
Kisah Kane, Hearst dan Berlusconi menunjukkan, sejak awal
sejarah jurnalisme memang tidak bisa dilepaskan dari politik atau
kekuasaan. Bahkan seringkali media digunakan sebagai alat
menggapai kekuasaan. Di satu sisi, jurnalisme di antaranya memang
lahir untuk mengontrol kekuasaan, melayani kepentingan publik,
menjadi the fourth estate atau watchdog (atau apapun sebutannya).
Tapi di sisi lain, media adalah bisnis yang melibatkan modal dan
pemilik modal. Pada titik ini, tak terhindarkan media seringkali
digunakan sebagai corong kepentingan pemiliknya. Dan ketika ini
terjadi, prinsip jurnalistik seperti objektivitas yang mengedepankan
faktualitas (benar, akurat) dan imparsialitas (keseimbangan,
Mengungkap Kesenjangan Istana 25
kenetralan) dalam mengungkap peristiwa terkadang dilupakan.
Kisah Kane dan Hearst juga mengisyaratkan, isi media tidaklah
selalu sebangun dengan peristiwa yang dilaporkannya. Banyak
teori-teori media yang menjelaskan bagaimana isi media bukanlah
datang dari ruang hampa. Isi media (berita) pada dasarnya merupa-
kan produk dari ketegangan banyak kepentingan, mulai wartawan-
nya sendiri, politik redaksional/ideologi media yang bersangkutan,
pemasang iklan, kelompok kepentingan, pemerintah, sampai
pemiliknya sendiri.
Kisah ketiganya mendemonstrasikan pula betapa perkasanya
media melakukan melakukan apa yang dalam studi komunikasi
massa sering disebut sebagai agenda setting dan pembingkaian
(framing). Dalam konteks agenda setting, media dianggap tak sekadar
membawa kabar atau informasi. Lebih dari itu, medialah yang
menentukan apa saja yang patut dipikirkan khalayak dan apa saja
yang tidak. Media sejak awal melakukan seleksi informasi atau opini,
dan khalayak dibuat percaya bahwa informasi atau opini itu jauh
lebih penting dipikirkan ketimbang informasi atau opini lain.
Asumsinya, menu berita yang disajikan media massa juga akan
menjadi menu pikiran khalayak.
Isu-isu yang dianggap penting oleh media (media salience of
issues) cenderung menjadi isu-isu yang dianggap penting khalayak
(public salience of issues).
“…The mass media may not be successful in telling us what to think,
but they are stunningly successful in telling us what to think about,”
begitu kata Bernard Cohen, pakar media AS, pada tahun 1963.
Tak cuma menentukan apa yang patut dipikirkan khalayak,
media pada dasarnya juga melakukan proses pembingkaian (framing)
terhadap isu-isu yang disajikannya dalam bentuk berita. Pada
dasarnya, selalu ada motif di balik proses seleksi (pemilihan) berita
berikut cara penulisannya. Selalu ada bingkai-bingkai tertentu yang
dikembangkan wartawan (media) dalam melakukan pemilihan dan
penulisan berita. Ada aktor yang ditonjolkan, ada aktor yang
26 Panglima itu Bernama Media
disamarkan bahkan dihilangkan. Ada isu yang ditonjolkan, ada pula
isu yang disamarkan.
Pada titik ini, persepsi publik terhadap isu atau tokoh yang
disajikan media diasumsikan terbentuk oleh serangkaian proses ini.
Siapa pahlawan siapa pecundang atau bajingan, apa yang penting
apa yang tidak penting, siapa salah siapa benar, atau apa yang salah,
apa yang benar, semua bisa terbingkai secara rapi dan tersembunyi
di balik teks-teks media. Seperti Kane, yang membangun reputasi
dan citranya melalui kekuatan medianya melakukan agenda setting.
Kane yang direka dari tokoh dunia nyata “Hearst” melakukan
semuanya. Kane menunjukkan bagaimana kepemilikannya bisa
membuat haluan jurnalisme Inquirer berbelok esktrem menjadi
“kuning.” Pantai New Jersey yang sepi-sepi saja diberitakan sudah
dipenuhi armada kapal perang Spanyol. Publik dibuat percaya
bahwa isu Perang AS-Spanyol amat penting bagi sejarah bangsa
AS. Khalayak juga digiring ke dalam cara berpikir bahwa perang
melawan Spanyol harus dilakukan. Melalui Inquirer pula Kane
ditampilkan secara konstan dan massif sebagai sosok pembaharu,
sahabat rakyat marginal, anti-korupsi dan nasionalis. Semua demi
impian jabatan gubernur dan presiden.
Dalam sebuah tesisnya yang dilansir dalam The Second Law of
Journalism (1996), Altschull (1996), jelas-jelas memang menunjukkan
adanya hubungan antara isi media dengan pihak-pihak yang
mendanai (funding sources). Isi media, menurut Altschull,
merefleksikan kepentingan lembaga periklanan dan pihak-pihak
yang memiliki media serta ideologi dari kelompok yang mendanai.
Bahkan orang secara individual pun berusaha memengaruhi isi
media dengan mempromoskan pandangan-pandangannya.
Inilah pula ujian bagi pers Indonesia. Belakangan, sejumlah
tokoh atau pemilik media tampak begitu bersemangat memasuki
arena politik. Ada yang berniat menjadi anggota DPR, DPD, kepala
daerah, ketua partai, atau bahkan presiden. Sebagian sukses, sebagian
kandas. Yang pasti, tentu tidak baik bagi bangsa ini jika yang muncul
Mengungkap Kesenjangan Istana 27
kemudian adalah Kane-Kane versi Indonesia. Apalagi ketika para
pemilik media raksasa termasuk yang terbetot semangatnya
mengarungi arena politik dan menggunakan medianya.
Apakah mereka akan menjaga medianya sedapat mungkin
menjadi “mirror” bagi realitas tanpa keinginan mengubahnya
menjadi cermin bengkok seperti Kane? Apa jadinya dengan
pembaca dan masyarakat jika mereka segan mengibarkan elemen
yang ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements
of Journalism (buku mereka yang termashur dan menjadi acuan etik
wartawan seluruh dunia) sebagai kebenaran dan non-partisan?
****
Alkisah, di sebuah kota hidup seorang janda beranak satu.
Suaminya meninggal saat si anak masih berusia dua tahun. Namun
si anak belum paham tentang apa itu kematian. Seringkali, si anak
bertanya kepada ibunya: “Di mana ayah, kok lama tak kembali?”
Ibunya selalu menjawab ayahnya sudah pergi ke surga,
dipanggil Tuhan. “Jadi ayah tidak mengingat kita lagi dan tak mau
kembali lagi?” tanya si anak dengan wajah sedih.
“Bukan! Ayah sangat sayang kepada kita dan selalu ingat kepada
kita. Di sana ayah sedang membangun rumah untuk kita. Nanti
kita juga akan dipanggil ke surga, bertemu lagi dengan ayah,” ibunya
buru-buru menjawab.
Suatu ketika, saat si anak duduk di kelas satu SD, beberapa
teman sepermainannya memiliki sepeda. Si anak sangat sedih karena
belum punya sepeda. Dia meminta ibunya supaya dibelikan sepeda.
Tetapi ibunya tidak bisa segera memenuhi permintaan si anak karena
tak punya uang.
Si anak teringat ayahnya. Kata teman-temannya, mereka juga
dibelikan sepeda oleh ayah masing-masing. Harganya satu juta
rupiah. Lalu, si anak menulis surat kepada ayahnya. Bunyi begini:
Ayah di surga.
Teman-temanku sudah punya sepeda, dibelikan ayah mereka. Tinggal
28 Panglima itu Bernama Media
aku yang belum. Kalau ayah tidak sempat pulang, tolong kirimkan
uang satu juta rupiah untuk membeli sepeda.
Si anak memasukkan surat itu ke dalam amplop dan mengirim-
kannya lewat kotak pos di kantor pos dekat kelurahan. Di sampul
amplop dia tulis: Kepada Ayah di Sorga. Di kolom pengirim, si anak
menuliskan nama dan alamat rumahnya dengan lengkap, meniru
alamat yang selalu dibuat ibunya setiap mengirim surat kepada
kerabat.
Esok harinya, Pak Pos menyortir dan mengantar surat itu. Mem-
baca tujuan surat si anak, Pak Pos pun merasa iba. Dia tidak tega
mengembalikan suratnya. Tapi, mau dikemanakan surat itu?
Akhirnya Pak Pos menyerahkannya ke kantor polisi terdekat.
Pikirnya, siapa tahu surat itu berisi sesuatu yang bisa diselesaikan
Pak Polisi.
Tapi tindakan Pak Pos itu hanya memindah kebingungan dan
rasa iba kepada polisi. Ketika menerima surat itu, polisi yang
kebetulan sedang jaga membuka dan membacanya. Seketika, dia
jatuh iba. Dia langsung mengerti bahwa si anak ini sudah tidak
punya ayah.
Lalu petugas polisi ini melaporkan perihal surat itu kepada
komandannya. Sama seperti anak buahnya, si komandan juga
terenyuh. Spontan, dia meminta semua anak buahnya berkumpul
di ruang rapat. Kepada anak buahnya, komandan menjelaskan isi
surat si anak. Komandan pun mengajak semua anak buahnya
dengan sukarela, tulus, patungan memenuhi permintaan si anak.
Untuk memotivasi, komandan langsung merogoh koceknya.
“Ini dari saya dua ratus lima puluh ribu,” katanya. Semua anak
buahnya pun ikut membuka dompet, hingga terkumpullah uang
Rp 900 ribu. “Iya, sudah, segitu juga sudah cukup. Kan ada juga
sepeda yang harganya Rp 900 ribu,” kata komandan
Komandan pun menugaskan dua anak buahnya mengantar
uang itu ke alamat si anak. Kebetulan, si anak ada di rumah sendirian.
Dengan sedikit kaget, si anak membukakan pintu. “Kamu yang
Mengungkap Kesenjangan Istana 29
bernama Si Anu dan mengirim surat kepada ayahmu di surga?”
tanya polisi, yang diiyakan si anak. “Oh, ini uang yang kamu minta,”
kata polisi seraya menyerahkan uang itu seraya mengelus-elus kepala
si anak.
Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan si anak dan ibunya,
kedua polisi itu pun pergi. Setelah polisi itu pergi, dengan sangat
gembira si anak membuka amplop berisi uang itu. Jumlahnya Rp
900 ribu. Dia tercenung beberapa saat. Lalu, si anak segera menulis
surat lagi kepada ayahnya di surga dan mengirimkannya lewat
kantor pos.
Oleh Pak Pos, surat itu diantar lagi ke kantor polisi. Petugas
piket langsung menyerahkan surat itu ke komandan, karena dia
yakin surat itu berisi ucapan terimakasih si anak. Komandan pun
membuka dan membaca surat itu.
Ayah di Surga.
Terima kasih telah mengirimkan uang untuk membeli sepeda. Tapi,
ayah, lain kali kalau mau kirim uang jangan lewat polisi. Kalau
lewat polisi langsung dipotong sepuluh persen, yang mereka serahkan
hanya Rp 900 ribu. (Berita Indonesia, 12 November 2009)
Kalau Anda menjadi polisi, apa yang akan Anda rasakan? Sudah
bersusah-payah merogoh kocek dalam-dalam dan mengantar uang
hasil patungan dengan bensin sendiri, tapi kok masih dicurigai.
Betapa nelangsanya. Tapi itulah “kodrat” yang harus diterima Polri,
sebuah persepsi yang sudah telanjur berkembang-biak di benak
sebagian warga. Citra polisi telanjur diasosiasikan dengan uang,
pelayanan yang menyedihkan, manipulasi atau kekerasan dalam
proses penyidikan. Apapun yang dilakukan polisi, setulus apapun,
selalu diendus dengan rasa curiga. Hal baik apa pun yang dilakukan
polisi selalu dipandang sebelah mata. Sebuah citra buruk yang musti
diterima sebagai konsekuensi perilaku di masa lalu.
Namun beberapa tahun belakangan Polri menemukan mo-
mentum luar biasa untuk mempermak citra melalui pemberantas-
an terorisme. Polri bahkan menorehkan sukses gemilang
30 Panglima itu Bernama Media
membongkar dan menangkal aksi-aksi terorisme, terutama sejak
kasus Bom Bali. Aksi-aksi Polri mengejar dan membekuk Imam
Samudera, Mukhlas, Amrozi, Azahari, dan Noordin M. Top telah
menumbuhkan optimisme bangsa dan dunia dalam melawan
terorisme. Pujian pun berhamburan. Tak hanya dari dalam, apresiasi
juga datang dari dunia internasional. Berkat Polri, aksi terorisme di
Indonesia tidak berlangsung berlarut-larut seperti misalnya di
Pakistan.
Namun inilah nasib nahas polisi kita pada 2009. Baru saja
menorehkan capaian gemilang dengan mengungkapkan kasus Bom
Marriott dan menewaskan Noordin M. Top berikut jaringannya,
kasus Bibit-Chandra menyeruak. Politisasi berbaur racikan teori
konspirasi terkait kasus ini tak hanya menyudutkan Polri, tapi juga
menisbikan segenap prestasi mengkilap Polri dalam pemberantasan
terorisme. Apalagi, tudingan rekayasa juga dilayangkan dalam kasus
pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin
Zulkarnaen, yang menyeret mantan Ketua KPK, Antasari Azhar.
Sekali lagi, citra Polri dibikin terpelanting dan remuk. Persepsi
sebagian masyarakat terhadap polisi kembali mirip persepsi si anak
terhadap polisi yang memberikannya uang untuk membeli sepeda.
Sejak awal media tampak begitu bersemangat mem-blow up
kasus ini. Tampak sekali kesan media “memimpin” masyarakat untuk
memilih dan mengonsumsi isu-isu yang dianggap penting. Bahkan
stasiun-stasiun televisi pemberitaan melakukan peliputan demikian
massif, seolah ingin mengatakan bahwa kasus Bibit-Chandra
merupakan satu-satunya agenda maha penting, dan karena itu terus-
menerus disajikan sepanjang waktu.
Media juga mengembangkan bingkai-bingkai tertentu dalam
kasus ini, yang sejak awal menempatkan Polri sebagai “bad guy,”
tidak adil, korup, membela koruptor, dan sebagainya. Puncaknya
adalah mencuatnya label “buaya” untuk polisi, dan “cicak” untuk
Bibit-Chandra (KPK). Penggunaan cap ini secara terus-menerus
memunculkan citra Polri sebagai “binatang buas, kuat, jahat, dan
Mengungkap Kesenjangan Istana 31
siap memangsa siapapun yang lemah.” Sebaliknya, citra KPK yang
terus-menerus dilambangkan sebagai “cicak” menyiratkan makna
sebagai pihak yang “lemah, teraniaya, dan perlu ditolong.” Sebagian
media pun mengembangkan tema-tema seperti “kriminalisasi KPK”
atau “pelemahan KPK” yang kemudian memicu kesan pemerintah
membela koruptor. Sebuah kesan yang sama sekali jauh dari
kebenaran. Bukankah KPK sendiri baru bisa lahir di era
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Tapi rasanya masyarakat
sudah cukup cerdas untuk membedakan mana kenyataan dan mana
kesan.
Tentu apa yang dilakukan media tetap harus diapresiasi sebagai
bagian dari fungsi kontrol media, sebagai kewajiban media dalam
fungsinya sebagai the fourth estate. Negara juga tidak semestinya
melakukan sesuatu yang bisa mencederai kekebasan pers. Namun
pers sendiri sepertinya harus disarankan menggunakan
kebebasannya secara bijak. Sejak rezim Orde Baru tutup buku, pers
memang bisa menikmati kebebasan. Tak ada lagi self sensorship,
budaya telepon, ancaman, atau pembreidelan. Tapi di sisi lain, tanpa
kontrol yang memadai, pers yang dulu dirayakan sebagai sarana
melawan absolutisme juga bisa menjadi monster terhadap demokrasi
itu sendiri. Di banyak negara, banyak terbukti media seringkali tidak
sepenuhnya menjadi corong publik, tetapi menjadi corong
kepentingan politik tertentu.
Ilmuwan politik Larry Sabato (1991) pernah menyindir tentang
betapa hiruk-pikuknya apa yang dia sebut sebagai attack journalism
di AS. Setelah kegemilangan Bob Woodward dan Carl Bernstein
membongkar skandal Watergate, metafora pers sebagai watchdog
mulai berubah menjadi mad dog. Bak anjing gila, pers dikritik karena
tanpa perasaan terus-menerus menyerang pengemban otoritas
terutama pemerintah, lebih fokus terhadap hal-hal berbau skandal,
selebriti, dan infotainment, ketimbang menyajikan berita-berita yang
benar-benar menyangkut kepentingan publik. Tak ayal, media pun
menciptakan “kegaduhan” karena terus-menerus menyerang.
32 Panglima itu Bernama Media
Sepertinya, kritik Sabato juga menemukan konteksnya di
Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya saat ini
memang menjadi “sansak favorit” media. Agenda setting dan bingkai
berita yang dikembangkan media nyaris selalu dibuat bertabrakan
dengan presiden. Ketika presiden menjelaskan tentang pentingnya
etika atau tatakrama berdemonstrasi, yang dilansir media secara
besar-besaran justru “isu kerbau.” Ketika presiden menjelaskan
maksud dan tujuan program 100 hari, lagi-lagi media tetap berkutat
pada “isu kerbau.” Nyaris tak ada ruang di media untuk penjelasan
maksud dan tujuan program 100 hari secara utuh dari presiden.
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan
mempersilakan Pansus Century mengungkap kasus bail out Bank
Century sampai tuntas, media mengembangkan isu presiden lepas
tanggung jawab. Saat presiden mengingatkan akan sesuatu, media
menyebut gemar curhat. Ketika presiden membuat klarifikasi, media
menyebutnya cengeng. Saat presiden mengambil sikap hati-hati dan
memperhitungkan berbagai segi, media menyebutnya peragu.
Repotnya, saat melakukan sesuatu, media menyebutnya intervensi.
Saat memberikan penghargaan kepada 42 bupati dan walikota
di Istana Negara, 11 Februari 2010, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meminta media tidak menyembunyikan berita baik,
karena menurut presiden kebanyakan media lebih memperhatikan
bad news is good news. “Ada yang bilang good news is no news, saya
kurang setuju. Bad news is bad news, good news is good news, makanya
kalau ada kealpaan, kekurangan silakan diangkat agar jadi
pelajaran,” katanya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tulus
menginginkan, media juga bisa berperan baik dalam mewartakan
berita-berita yang ada, seperti agenda pemberian penghargaan ini
agar pemerintah daerah lain mendapat motivasi membangun daerah
masing-masing. Lebih lanjut, presiden juga mengharapkan berita-
berita yang ada sekarang ini bisa lebih mengenalkan Indonesia kepada
negara-negara tetangga (ASEAN) tidak hanya dari sisi jeleknya saja,
Mengungkap Kesenjangan Istana 33
melainkan juga sisi positif yang ada pada bangsa ini, sehingga bisa
mendatangan manfaat ke depan.
“Jadi saya berharap berita baik ini sampai ke masyarakat, masuk
ke media massa lokal. Kalau ada good news jangan disembunyikan,
jangan malu-malu untuk diwartakan,” ujarnya.
Merujuk Sabato, media saat ini cenderung terus-menerus me-
nyerang pemerintah tanpa perasaan, dan lebih fokus pada hal-hal
berbau skandal atau yang dikemas sebagai skandal. Media masih
belum mampu keluar dari negative journalism yang memuja prinsip
bad news is good news. Berhembusnya tren positive journalism atau
contributive journalism agaknya belum sepenuhnya menyentuh
seluruh media di Indonesia. Dunia tidaklah semuanya gelap dan
penuh pesimisme, tapi juga menyimpan optimisme dan pencapaian-
pencapaian.
Nah, adalah tugas media juga untuk membangkitkan harapan
serta semangat mengarungi tantangan. Bagaimana mungkin tugas
mulia itu bisa dituntaskan media jika masih saja berkubang di dalam
prinsip bad news is good news? Atau memang gejala “yellow
journalism” ala Kane sudah mulai berjangkit di sini? Atau ada
kepentingan-kepentingan tertentu yang bersembunyi di balik media
dan memanfaatkan media sehingga good news dibiarkan terus
terpendam di bawah tilam? Media terlihat cenderung
mengembangkan agenda setting isu-isu atau peristiwa-peristiwa
bernuansa skandal dan menyerang pemerintah, dan kurang
memberi ruang pada isu-isu atau peristiwa yang membangkitkan
optimisme serta harapan. Apa jadinya jika media –yang berkuasa
menentukan apa yang patut dipikirkan dan bagaimana cara berpikir
masyarakat melalui berita-beritanya— terus-menerus memberi
gambaran tentang politik Indonesia yang gaduh, penuh konflik dan
saling curiga, bak perairan yang hanya dihuni hiu-hiu kejam?
Apa yang terjadi di AS mungkin bisa menjadi pelajaran. Politik
bagi sebagian warga negeri Paman Sam itu, menurut pakar media
AS, D. Nimmo dan J.E. Combs, menjadi semacam second hand reality
34 Panglima itu Bernama Media
karena mereka tidak terlibat dengan politik secara langsung
(memperoleh informasi tentang politik dari tangan pertama).
Mereka secara pasif mengetahui informasi politik dari media.
Mayoritas warga AS saat ini merasa nyaman-nyaman saja menerima
informasi tentang politik sebagai second hand reality dari media
(khususnya televisi) yang celakanya, menurut Nimmo dan Combs,
sudah terdistorsi dan dimanipulasi. Mereka sudah telanjur merasa
nyaman menjadi publik yang pasif, dikendalikan para elite yang
merekayasa gambaran tentang politik di media. Nimmo dan Combs
menemukan hal yang sama di Australia, Kanada,dan sebagian negara
Eropa.
Jangan-jangan, ini pula yang tengah melanda di Indonesia.
Jika opini publik yang “media driven” seperti ini terus berlangsung,
yang dirugikan adalah bangsa ini secara keseluruhan. Masyarakat
akan menganggap apa yang digambarkan di media adalah kebenaran
dan fakta. Padahal, seperti dikatakan Nimmo dan Combs, gambaran
tentang politik yang muncul di media seringkali sudah didistorsi
dan dimanipulasi para elite. Apalagi, jika para elite itu memiliki
tautan kepemilikan atau kepentingan dengan media yang
bersangkutan.
Masyarakat tetap tak akan beranjak dari gambaran-gambaran
tentang politik yang serba berisi kekuasaan, skandal, penuh
kegelapan, dan nyaris tanpa masa depan. Politisi, partai politik, atau
lembaga perwakilan tetap dianggap pecundang, sosok-sosok licik
dan kanibal yang doyan memangsa sesamanya. Para hakim, polisi,
atau jaksa tak akan pernah bisa lepas dari tudingan sebagai pedagang
keadilan. Dan pemerintah akan selalu dibayangkan sebagai barisan
orang-orang gagal, penikmat kekuasaan atau kewenangan. Susah
dibayangkan, apa jadinya bangsa ini jika warganya melihat para
pemimpinnya secara sangat pesimistis seperti itu.
Manipulasi dan distorsi produk media bakal menciptakan
“demokrasi tanpa warga negara (democracy without citizen).”
Demokrasi mengandaikan adanya partisipasi otonom warga negara.
Mengungkap Kesenjangan Istana 35
Apakah warga negara bisa disebut otonom jika apa yang dipikirkan,
cara berpikir dan tindak-tanduknya “dikendalikan” para “operator
media”? Dalam masa transisi demokrasi yang sangat kritis, memang
kerap terjadi demokrasi yang awalnya sangat berbasis pada negara
(state-centered democracy) bergeser menjadi demokrasi yang basisnya
dibangun dan disandarkan pada kekuatan pers atau media (mass
media-centered democracy). Bila ini yang menjadi mode politik umum,
betapapun transisional sifat dan karakternya, mass-media centered
democracy dapat menjadi ancaman serius bagi tumbuhnya demokrasi
yang sejati, yaitu people-centered democracy.
Sinyalemen ini penting untuk dinyatakan agar kita tidak terseret
ke dalam perkembangan baru demokrasi yang justru menjauhkan
kita dari tujuan reformasi yang digelorakan satu dekade yang lalu.
Sejak awal, tujuan reformasi adalah mengembalikan kedaulatan ke
tangan rakyat. Dengan maksud apapun, kedaulatan tidak boleh
dipindahkan kepada siapapun selain rakyat. Sepertinya, agar pers
Indonesia perlu melakukan refleksi kritis atas perjalanan sejarahnya
selama satu dekade terakhir ini.
Sangat jelas, posisi strategis media massa sesungguhnya terletak
pada kekuasaan yang dimilikinya untuk mengonstruksi realitas.
Media massa memiliki kuasa dan pengetahuan (power/knowledge)
sekaligus yang saling berimplikasi. Di bawah tradisi kebebasan pers
(the freedom of the press), media massa dapat mendefiniskan “apa
yang penting dan tidak,” “apa yang perlu dan tidak,” “apa yang
relevan dan tidak.” Dengan kuasa itu, media massa bahkan dapat
menentukan “apa yang baik dan buruk,” “apa yang benar dan
salah,” “apa yang betul dan keliru,” “apa yang patut dan dan buruk,”
serta “apa yang pantas dan tercela.” Sungguh kekuasaan yang
sangat besar dan sekaligus luas yang dimiliki lembaga demokrasi
dalam sistem demokrasi yang esensinya justru ada pada semangat
“membatasi kekuasaan” dan “mencegah dominasi.”
Lalu apa yang bakal terjadi dengan publik jika tiap hari disuguhi
isi media massa yang kebenarannya sudah didiskon dan
36 Panglima itu Bernama Media
gambarannya tidak selalu jernih? Apa yang terjadi jika orang terus-
menerus secara konstan—dan akhirnya merasa itu sebagai hal
wajar—menerima informasi politik sebagai second hand reality melalui
media dengan segenap kompleksitasnya?
***
Sekelompok tahanan disekap di sebuah gua di bawah tanah,
diikat erat-erat sehingga sampai-sampai mereka tidak bisa
menolehkan kepala. Begitu dalamnya gua, sehingga tak secuil sinar
matahari pun mampu menembusnya. Mereka tidak bisa melihat apa
yang terjadi di sekitarnya. Mereka hanya bisa melihat bayangan
benda-benda di dinding gua yang dipantulkan api unggun.
Gelapnya gua dan ketatnya ikatan membuat mereka tak bisa melihat
tawanan lain. Dari hari ke hari, mereka saling berbicara hanya
dengan memandang bayangan tubuh lawan bicaranya di dinding
gua. Mereka juga saling memberi nama pada bayangan itu, bukan
kepada objeknya secara langsung. Mereka berinteraksi, saling
melihat dan bicara melalui bayangan di dinding. Lama-lama mereka
berpikir pun bayangan itu memang sesuatu yang nyata.
Suatu ketika, ikatan seorang tahanan dilepas. Seketika, dia bisa
melihat tubuh objek (rekannya) yang selama ini hanya bisa dilihat
bayangannya. Dia dicekam kebingungan. Dia merasa bayangan yang
selama ini dilihatnya dari hari ke hari lebih nyata ketimbang objek
aslinya. Si tahanan pun melemparkan muka, tiap kali bicara dia
merasa lebih nyaman menatap bayangan temannya di dinding gua.
Baginya, bayangan itu lebih nyata ketimbang objek aslinya.
Sang penjaga lalu menyeret si tahanan keluar gua. Di bawah
terang sinar matahari, dia sebetulnya bisa melihat semua benda dan
manusia. Tapi kebingungannya justru memuncak. Dia merasa
semuanya tidak nyata. Dia pun kembali menerobos masuk ke dalam
kegelapan gua. Di dalam, dia merasa efek terpaan sinar matahari
membuat penglihatannya tidak setajam sebelumnya. Bayangan di
dinding itu masih tetap lebih nyata baginya. Si tahanan pun
Mengungkap Kesenjangan Istana 37
memutuskan tak akan pernah lagi mau melihat sinar matahari. Lebih
jauh, dia bahkan bersumpah membunuh siapapun yang
memaksanya melihat matahari. (Plato, Republic, 380 SM).
Seperti tahanan itukah kita sekarang? Adakah kita sudah
sampai pada fase merasa nyaman mengonsumsi berita (politik)
sebagai second hand reality melalui media massa? Adakah kita sudah
cukup cerdas menangkal bias-bias media? Apakah kita sudah
merasa realitas media lebih nyata ketimbang realitas itu sendiri? Atau
jangan-jangan kita sudah mulai terbiasa melihat dalam kegelapan
atau bayangan, dan siap melakukan apa pun agar tetap bertahan di
kegelapan? *
Mengungkap Kesenjangan Istana 39
33333Dua Giok Patah
untuk SBY
Sebuah pesan datang untuk Kong Qiu (nama aseli Kong Fu-tze).
Pesan itu dibungkus secarik kain hitam, dan diserahkan melalui
anaknya, Kong Liu.
“Benar ini dari raja?” tanya Kong Qiu memastikan.
“Gong Baoliau (salah satu murid Kong Fu-tze, Red.)
mengantarkan itu dan mengatakan itu dari raja. Dia langsung pergi,
dan tak kembali,” jawab Kong Liu.
Pelan-pelan Kong Fu-tze membuka kain hitam itu. Isinya giok
bundar berwarna putih, dan sudah dipatahkan menjadi dua. Kong
Liu terheran-heran melihat pesan itu. Apa artinya giok patah itu?
Tapi memang hanya Kong Fu-tze yang tahu artinya. Raja Muda
Kerajaan Lu sudah tak menginginkannya lagi. Raja ingin Kong Fu-
tze segara menanggalkan jabatan Menteri Hukum yang sebelumnya
diamanahkan kepadanya. Giok patah itu adalah pertanda
dipatahkannya persahabatan, dan Kong Fu-tze harus segera
meninggalkan Kerajaan Lu. Melalui giok patah itu, Kong Fu-tze telah
mendapat keputusan: dia diasingkan.
40 Dua Giok Patah untuk SBY
Sungguh sebuah pukulan berat bagi Kong Fu-tze. Dia harus
meninggalkan tanah kelahiran yang dicintainya? Sesuatu yang tak
terbayangkan oleh Kong Fu-tze. Gurunya, sang bijak Lao Tze,
mengajarkan kepadanya untuk menjunjung tinggi tanah kelahiran.
Tapi kini dia harus meninggalkannya.
Parasnya memucat, napasnya sesak. Tapi Kong Fu-tze mampu
menahan perasaannya. Kong Fu-tze kecewa lantaran merasa
diabaikan dan disingkirkan, tapi dia tidak marah. Tidak seperti
pejabat lain yang marah atau bahkan memberontak saat jabatannya
dilepas, Kong Fu-tze justru rela melepaskannya meski hatinya pahit.
Dalam prinsipnya, jabatan sudah tak penting lagi ketika dirinya tak
lagi dikehendaki.
Demi memenuhi pesan raja dan mematuhi prinsip hidup serta
ajarannya sendiri, Kong Fu-tze pergi hari itu juga. Dia tak bicara
banyak, begitu pula istri dan anak-anaknya. Kong Fu-tze hanya
memeluk istrinya yang tengah menenun sembari menangis dari
belakang. Bahkan hujan deras tak menghalanginya untuk pergi saat
itu juga.
“Ayah, setidaknya tunggu hujan berhenti...!” teriak anaknya.
Tapi tidak, Kong Fu-tze tidak hendak berhenti. Setelah
memandang raut wajah anak-anaknya dengan penuh cinta, dia
berbalik dan menuntun kuda pedatinya. Susah dibayangkan,
seorang dengan jabatan begitu tinggi bersedia pergi melepaskan
semuanya begitu saja. Kong Fu-tze tak ingin dirinya menjadi ganjalan
yang menyulitkan bagi sang raja, yang terpaksa melepasnya karena
tekanan politik. Sungguh sebuah keteguhan hati yang tak terkira.
Dia pergi tanpa perlawanan, tanpa pembalasan, apalagi kata-kata
umpatan.
Seperti digambarkan dalam film Confucius (2010) yang
dibintangi Chou Yun Fat, Kong Fu-tze lalu mengembara mencari
orang-orang yang mau mendengar ajarannya. Dia memang harus
pergi, itulah harga yang harus dibayarnya demi integritas politik
yang dipertahankannya. Padahal kepada Raja Muda Kerajaan Lu,
Mengungkap Kesenjangan Istana 41
Kong Fu-tze telah mengajarkan integritas, kesantunan berpolitik,
sekaligus keberanian meninggalkan tradisi lama yang merugikan
rakyat.
Dalam hal ini, Kong Fu-tze berpisah jalan dengan sang maha-
guru Lao Tze.
“Untuk menyucikan diri, kita harus tak terpaut dengan
kehidupan duniawi,” begitu kata Lao Tze saat mewejang Kong Fu-
tze.
“Inilah jalan saya,” jawab Kong Fu-tze.
Untuk menciptakan tatanan harmoni, Kong Fu-tze memilih
terlibat langsung dalam tindakan menciptaan situasi damai dengan
menegakkan etika. Itulah “titik perpisahan” Kong Fu-tze dengan
Lao Tze.
Tapi ironisnya, integritas dan etika politik itulah yang justru
menjadi “titik lemah” Kong Fu-tze. Untuk mempertahankan inte-
gritas, Kong Fu-tze rela menanggalkan jabatan, bahkan kemudian
mengasingkan diri. Tapi dengan sadar dan penuh keagungan, dia
melakukan semuanya.
Saat memberi nasehat kepada Nan Zi, selir penguasa Kerajaan
Wu, Kong Fu-tze berkata: “Seorang pemimpin yang tidak
mengedepankan kesantunan akan membawa kerajaannya pada
kekacauan.”
Sampai suatu hari saat usianya sudah uzur, sebuah pesan
datang lagi. Sama-sama dibungkus secarik kain hitam, isinya juga
mirip: giok bundar berwarna putih. Tapi kali ini utuh, tidak patah
menjadi dua. Inilah pertanda Kerajaan Lu menyesali keputusannya
membuang Kong Fu-tze, dan mengundangnya pulang ke tanah
kelahiran.
Pada 484 SM, Kong Fu-tze pun pulang. Di depan gerbang
kerajaan, dengan kedua kakinya yang tua Kong Fu-tze turun dari
kereta. Tak langsung masuk ke dalam kerajaan, Kong Fu-tze ber-
sujud di hadapan gerbang sebagai wujud penghormatan kepada
tanah airnya. Inilah tradisi lama yang dipertahankan Kong Fu-tze,
42 Dua Giok Patah untuk SBY
meski banyak orang mengejeknya. “Akhirnya, aku pulang,” katanya
dengan air mata bercucuran.
Kepulangan Kong Fu-tze adalah tidak hanya bermakna
sentimental. Kepulangannya menjadi simbol kemenangan nilai-nilai
ajarannya yang berpusat di sekitar kesempurnaan manusia, kebaikan
hati, yang kualitas utamanya adalah sopan-santun, toleransi,
keyakinan, kerajinan, kebaikan, keberanian, kesetiaan, dan berbakti
pada orang tua. Dia dianggap “guru agung” yang tidak hanya piawai
mengajar dengan kata-katanya yang bijaksana, tetapi juga
menghayati serta menjalani hidup sesuai apa yang diajarkannya
sendiri.
***
“Giok patah.” Itu juga yang pernah datang untuk Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
Pagi itu, Jumat 1 Juni 2001, matahari bersinar terang. Udara
juga berhembus segar. SBY—saat itu menjabat Menteri Koordinator
Politik, Sosial, dan Keamanan di kabinet yang dipimpin Presiden
Abdurrahman Wahid— tengah asyik mengayun raket di lapangan
tenis Mabes TNI Cilangkap.
Tengah asyik bermain, dari pinggir lapangan Sekretaris Pribadi
Menko Polsoskam, Kol. Azis Ahmadi, menghampiri. “Maaf, Pak.
Ajudan Presiden berkenan bicara,” katanya.
SBY langsung mengambil ponsel yang disodorkan kepadanya.
Dengan segera, dia terlibat dalam pembicaraan singkat dengan sang
ajudan.
“Baik, saya akan segera menghadap,” kata SBY, seperti tertulis
dalam biografi SBY, Sang Demokrat (2004) yang ditulis Usyamah
Hisyam, dkk..
Presiden ternyata memintanya menghadap pukul 10.00 di Istana
Negara. SBY pun menyudahi olahraganya, dan bergegas meluncur
ke Istana. Setiba di sana, dia langsung diantar menghadap
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah menantinya seorang
Mengungkap Kesenjangan Istana 43
diri. Tanpa basa-basi, Gus Dur langsung menyodorkan ‘giok patah’
untuk SBY.
Presiden meminta SBY mundur dari jabatannya. Alasannya
dua. Pertama, menurut Gus Dur, rakyat meminta SBY segera
diganti. Jabatan Menko Polsoskam akan diserahkan kepada Agum
Gumelar (saat itu Menteri Perhubungan). Dengan jabatan barunya,
Agum diharapkan bisa memerbaiki hubungan Presiden dengan
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang saat itu kian
memburuk.
Kedua, presiden menawarkan jabatan baru kepada SBY. SBY
dipersilakan memilih: menjadi Menteri Dalam Negeri
(menggantikan Surjadi Soedirdja) atau Menteri Perhubungan
(menggantikan Agum Gumelar).
“Apakah ini sudah menjadi keputusan, Gus?” tanya
purnawirawan jenderal berbintang empat ini.
“Ya, sudah,” tegas presiden.
Sekalipun kaget, SBY sama sekali tak membantah keputusan
itu. Dia sadar, pengangkatan menteri adalah hak prerogatif Presiden.
Tapi, yang sulit dimengerti adalah alasan pemecatan itu. Sekalipun
demikian, SBY berupaya menahan emosinya, dan tetap
menghormati keputusan Kepala Negara.
Begitu pertemuan usai, SBY kembali ke kediaman di Puri
Cikeas. Kepada segenap anggota keluarga, dia menceritakan
pertemuannya dengan Presiden. Dan di rumah itulah, SBY
ditenangkan seorang istri yang hebat, Kristiani Herrawati.
“Pa, Tuhan menyelamatkan Papa,” bisik sang istri ke telinga
SBY.
SBY lalu berjalan ke meja kerjanya di ruang perpustakaan, dan
menulis surat. Surat ini yang kemudian dikenang sebagai salah satu
cermin kesantunan berpolitik SBY. Meski isinya penolakan terhadap
tawaran Presiden, deretan kata-kata salam surat itu amat santun.
Misalnya, SBY menyatakan permohonan meminta maaf jika apa yang
dilakukannya sebagai Menko Polsoskam masih jauh dari sempurna,
44 Dua Giok Patah untuk SBY
dan jika ada sikap, pemikiran, dan rekomendasi yang tidak berkenan
di hati Presiden. Di bagian akhir, SBY bahkan menawarkan uluran
tangan hangat persahabatan kepada Gus Dur.
“…Secara pribadi saya amat terkesan dan senang dalam hubungan
yang bersifat kekeluargaan. Kehangatan dan “sense of humor” Gus
Dur tidak pernah saya lupakan. Semoga silaturahmi seperti ini tetap
kekal dan tidak putus walaupun kita berbeda tempat dalam
pengabdian…”
Itulah ending surat yang ditulis SBY. Demikian sejuk, rendah
hati, dan santun, sekalipun sesunggguhya argumentasi pencopotan
SBY terkesan mengada-ada. Tapi itulah SBY, kesantunan terhadap
siapapun dan dalam kondisi apapun memang melekat kepada dirinya
sejak masa kanak-kanak.
Kesantunan dan kesejukan itu juga tampak saat SBY melakukan
konferens pers usai surat itu dikirim kepada Presiden dan Wakil
Presiden. Di depan wartawan yang sangat bersemangat mengajukan
pertanyaan tajam, SBY tetap tenang dan menggunakan bahasa yang
sejuk serta santun.
Seperti tertuang dalam biografi SBY, Sang Demokrat, SBY
mengucapkan sesuatu yang membuatnya layak mendapat sebutan
man of ethical, man of principle, atau man of integrity: “Saya tidak akan
pernah mengganggu pemerintah. Tidak ada satu kata pun saya
menyerang pemerintah, apalagi mengganggunya. Karena saya sadar,
pemerintah mempunyai tugas sulit. Saya ikhlas. Saya tidak akan
berbuat apa-apa yang tidak penting. Saya akan tetap berbuat sesuatu
untuk pemerintah.”
Sejarah mencatat, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan
melalui Sidang Istimewa MPR dan digantikan Megawati
Soekarnoputi. Publik juga menjadi saksi, hubungan kedua tokoh
besar itu terus berlanjut. Dalam wawancara dengan Ramadhan
Pohan dari Jurnal Nasional pada 10 Februari 2009, mengatakan,”
Sesungguhnya saya menghormati para pendahulu saya, dan
meletakkan beliau-beliau dalam posisi terhormat. Saya kira Anda
Mengungkap Kesenjangan Istana 45
tidak pernah mendengar saya berkata jelek tentang beliau-beliau di
depan publik. Justru saya kerap memuji, berterima kasih dan
menyampaikan penghargaan atas apa yang diperbuat pendahulu
saya kepada negara.”
SBY mengakui, beberapa kali dia mendengar Gus Dur berbicara
kritis tentang dirinya di media massa.
“Ya. Saya mendengar itu. Tapi saya tidak pernah membalas kan?”
katanya lagi.
Banyak orang memang sempat terheran-heran melihat
keharmonisan SBY dengan Gus Dur. Bahkan pada upacara pe-
makaman Gus Dur, SBY (yang saat itu menjadi Presiden) memberi-
nya gelar Bapak Pluralisme. Kehilangan jabatan tidak menjerumus-
kan SBY ke dalam kubangan kemarahan, caci-maki, atau bahkan
persekongkolan. Tetap terjaganya persahabatan dan silaturahmi
antara SBY dan Gus Dur ini memberi pelajaran besar tentang
bagaimana seharusnya etika politik di negeri ini dijalankan.
Tiga tahun kemudian, SBY menerima ‘giok patah’ yang kedua.
Kali ini terkait dengan Presiden Megawati Soekarnoputri pada saat
menjelang Pemilu 2004. SBY yang ketika itu menjabat Menko
Polkam akhirnya mengundurkan diri, setelah sebelumnya mendapat
‘olok-olok’ tajam seperti ‘jenderal cengeng’ atau ‘anak kecil.’ Tapi
sebagaimana di era Gus Dur, SBY tetap bersikap sama: sejuk, santun,
dan penuh respek.
Seperti Kong Fu-tze, SBY tidak membalas semua olok-olok,
serangan politik, atau pemberhentian dirinya. Dia menerima “giok
patah” dengan cara persis Kong-Fu-tze menerima barang yang sama
dari Raja Muda Kerajaan Lu: penuh keanggunan, integritas, kesan-
tunan, etika, dan kontrol diri yang mengagumkan.
Mirip nasehat Kong Fu-Tze kepada Nan Zi, SBY pernah menga-
takan,” Amat berbahaya jika seorang pemimpin tidak dapat me-
ngendalikan emosinya, dan akhirnya tidak dapat berpikir rasional.
Bayangkan, jika seorang presiden yang sering harus mengambil
keputusan yang strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang
46 Dua Giok Patah untuk SBY
banyak tidak mampu berpikir tenang, jernih dan rasional. Coba
pelajari sejarah peperangan di dunia ini, mulai dari abad klasik
sampai abad modern. Banyak perang besar terjadi karena
permusuhan antar pemimpin, antar elite, dan bukan antar rakyat
atau bangsa. Perang pecah, negara menyerang negara lain, karena
keputusan sang pemimpin yang amat emosional, grusa-grusu, dan
penuh amarah.”
Pemilu 2004 dan masa-masa setelahnya merupakan ujian maha
berat buat karakter SBY. Memang bukan “giok patah” yang datang,
tapi kampanye hitam, pembunuhan karakter, sampai fitnah tanpa
henti berhamburan. Saat kampanye Pilpres 2004 berlangsung,
beredar isu sang istri, Kristiani Herrawati, beragama Kristen. Isu ini
terutama beredar di pesantren-pesnatren, diiringi pesan agak tak
memilih SBY.
Kali lain lain, saat sedang berkumpul di Cikeas untuk mengatur
siasat kampanye, tiba-tiba SBY menerima telepon dari seorang pen-
dukung yang sedang berada di Cipanas. Dilaporkan, di sana sedang
dibagi-bagikan selebaran, termasuk kepada para penumpang bus
dan angkot, yang berisi seruan jangan memilih SBY karena SBY
dan Partai Demokrat menerima bantuan dari Amerika Serikat senilai
50 juta dollar AS. Saat minggu tenang, diembuskan isu lain. Beredar
buletin yang menyebut, sebelum menjadi TNI SBY telah menikah
dan punya dua orang anak.
Setelah menjadi Presiden pada 2004, embusan angin fitnah itu
tak juga berhenti. Isu menikah saat masih menjadi taruna Akabri
kembali digemakan Zainal Ma’arif, politisi PBR. Yang terakhir fitnah
dari buku Membongkar Gurita Cikeas dan aktivis Bendera (Benteng
Demokrasi Rakyat).
“…Sungguh luar biasa, fitnah dan pembunuhan karakter itu,” kata
SBY dalam wawancara dengan Harian Jurnal Nasional (21 Feruari
2009)
Mengungkap Kesenjangan Istana 47
Tapi fitnah tidak dibalas dengan fitnah, kampanye hitam juga
tak pernah dibalas kampanye hitam. Sebagaimana contoh perilaku
yang ditunjukkan Kong Fu-tze, SBY juga membuktikan apa yang
dikatakannya ada pula di laku politiknya.
***
Malam itu adalah malam termuram dalam hidup Nathaniel
Hawthorne. Dalam perjalanan pulang dari kantor, pikirannya terus
berkecamuk. Apa yang akan dikatakannya kepada istrinya?
Bagaimana cara menjelaskan bahwa dia telah kehilangan pekerjaan
yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga?
Pekerjaan sebagai surveyor di Dinas Bea Cukai di Boston itu
telah menjadi jalan keluar sementara dari kegagalannya sebagai
penulis novel. Berbekal gaji dan pekerjaan itu pula Hawthorne berani
menikahi kekasih hatinya, Sophia Peabody. Dan sekarang, pekerjaan
itu dicopot dari tangannya begitu Presiden James Polk (presiden
ke-11 AS yang berkuasa tahun 1845-1849, orang yang memberi
Hawthorne pekerjaan itu) lengser, dan diganti Zachary Taylor.
Bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan ternyata juga
berdampak pada pergantian jabatan kantor Hawthorne. Dia dising-
kirkan. Malam itu, Hawthorne pulang dengan adonan rasa gundah
dan kecewa. Tapi Susan memang istri yang hebat. Dia tak berucap
apa-apa ketika suaminya menyampaikan kabar pemecatan itu.
Susan cuma mengambil sebatang pena dan sebotol tinta, lalu
meletakkannya di atas meja di depan Hawthorne. Dinyalakannya
api penerang dan merangkul Hawthorne mesra. “Kamu sekarang
punya waktu untuk menulis buku,” ujar Susan, lembut.
Hawthorne pun serasa mendapat semangat baru. Dia menulis
dan terus menulis dengan determinasi yang tak pernah dilakukan-
nya sebelumnya. Hasilnya? Sebuah novel yang termasyhur di
seluruh dunia, The Scarlet Letter. Pada 3 February 1850, Hawthorne
membacakan halaman terakhir The Scarlet Letter kepada Susan.
“Novel itu mematahkan hatinya, dan membuatnya tidur dengan
air mata. Saat itu, saya melihat sukses ada di depan mata,” kata
48 Dua Giok Patah untuk SBY
Hawthorne.
Selain mencetak best seller di zaman itu, The Scarlett Letter
mengantar Nathaniel Hawthorne (4 Juli 1804 – 19 Mei 1864) sebagai
salah novelis dan penulis cerita pendek paling berpengaruh di
Amerika Serikat pada abad ke-19. Ia dianggap figur penting dalam
perkembangan sastra Amerika. Sampai sekarang, The Scarlett Letter
pun masih menjadi bacaan wajib bagi siswa kelas 8 sampai 12 di
AS.
Novel-novel Hawthorne berikutnya, seperti The House of the
Seven Gables (1851), The Blithedale Romance (1852), dan The Marble
Faun (1860) ikut memperkukuh pengaruhnya di dunia kesusasteraan
AS.
Bahkan penyair Edgar Allan Poe yang menjadi kritikus pedas
karya-karyanya mengatakan: “Tak terbantahkan lagi, dia adalah satu
dari sedikit orang genius yang pernah dilahirkan negeri ini.”
Sementara Ralph Waldo Emerson menulis: “Reputasi Nathaniel
Hawthorne sebagai penulis membanggakan, karya-karyanya
merupakan hadiah untuk kemanusiaan.” Penyair John Greenleaf
Whittier juga memuji karya Hawthorne sebagai “aneh tapi indah.”
The Scarlet Letter sendiri menjadi salah satu novel yang paling
banyak menantang sutradara untuk mengangkatnya ke dalam film.
Pada 1995, novel yang bercerita tentang puritanisme dan hipokrisi
di sebuah daerah bernama Salem ini pernah diangkat sutradara
Rolland Joffe dengan membawa bintang-bintang besar seperti Demi
Moore, Gary Oldman, dan Robert Duvall. Sebelumnya, pada 1973
sutradara Wil Wenders memfilmkan The Scarlet Letter dengan bintang
Senta Berger, Lou Castle, dan Hans-Christtian Blechl. 40 tahun
sebelumnya (1934), novel ini juga difilmkan dengan sutradara Robert
G. Vignola dengan bintang Colleen Moore, Hardie Albright, dan
Henry B. Walthall. Sedangkan yang pertama mengangkat kisah ini
adalah sutradara Victor Seastrom dengan bintang Lillian Gish, Lars
Hanson, dan Henry B. Walthall pada 1926.
Sejarah mencatat, kunci sukses dan rasa hormat orang kepada
Mengungkap Kesenjangan Istana 49
Hawthorne terletak pada reaksi Hawthorne saat diberhentikan dari
pekerjaan karena perubahan politik di levek kepresidenan. Kasus
pemecatan Hawthorne memang menjadi salah satu topik terhangat
pada masa itu. Tapi Hawthorne bukanlah seorang reaksioner. Dia
tidak melancarkan aksi protes keras atau membangkang dengan
menggalang aksi politik. Dengan dukungan sang istri, dia tetap cool
dan mengalihkan energinya ke dunia sastra.
Pelajaran dari Hawthorne: apa yang dianggap bencana, jika
disikapi dengan bijaksana dan penuh etika bisa berbuah asa.
Begitu pula SBY. ‘Giok patah’ yang datang dua kali tak mem-
buatnya patah dan dibakar amarah.
Kehilangan jabatan justru membuat Hawthorne bekerja keras
menulis, dan menjelma menjadi novelis besar yang dikenang sampai
sekarang. Sementara SBY mereaksi kiriman “giok patah” dengan
tetap bekerja keras dalam pengabdian di medan yang lain. Integritas,
kesantunan, dan etika politik itulah yang diantaranya kemudian
mengantar SBY mencetak sejarah menjadi presiden pertama di
Indonesia yang dipilih secara langsung dalam Pemilu 2004. Sejarah
itu diteruskannya lagi pada Pemilu 2009 dengan perolehan suara
lebih mutlak.
Lalu inilah ironinya. Di tengah derasnya kampanye negatif di
dalam negeri—bahkan menjurus pembunuhan karakter— yang
dilancarkan lawan-lawan politiknya saat ini, kinerja SBY sebagai
presiden justru menuai apresiasi di berbagai belahan dunia. Ketika
di dalam negeri Presiden Yudhoyono diberi aneka stempel negatif
dan rapor merah terbakar, di luar negeri justru Presiden menggaet
respek dan rapor biru terang. Semua seolah serba berkebalikan.
Publik internasional menghujani Presiden Yudhoyono dengan aneka
kehormatan, tetapi sebagian orang di negeri sendiri melemparinya
dengan kotoran.
Yang paling mutakhir, 9 Maret 2010, Presden Yudhoyono dianu-
gerahi medali Honorary Companion of the Order of Australia dari
Gubernur Jenderal Australia Quentin Bryce, di Government House,
50 Dua Giok Patah untuk SBY
Canberra. Penghargaan ini diberikan atas jasa SBY memperkuat
hubungan Australia-Indonesia serta meningkatkan demokrasi dan
pembangunan di Indonesia.
Presiden SBY dinilai berhasil memperdalam dan memperluas
hubungan dengan Australia di berbagai bidang, seperti ekonomi,
budaya, pendidikan antiterorisme dan hubungan antarumat. SBY
juga telah bekerja sama baik dengan Australia dalam menjaga
stabilitas kawasan serta sukses meningkatkan peran aktif Indonesia
dalam isu-isu global melalui forum G-20.
SBY juga dianggap sebagai pemimpin yang bertindak cepat
dalam mengatasi terorisme dan bencana alam. Presiden juga telah
memimpin hubungan kedua negara dalam memperkuat demokrasi
di Indonesia dan menjaga reformasi ekonomi yang telah mendorong
keuntungan bagi bangsa Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Gubernur Jenderal Australia menilai Presiden SBY sebagai pemimpin
yang mampu bertindak cepat, tetapi mengapa sebagian orang di
dalam negeri justru mengolok-oloknya lamban, peragu, bahkan
dibandingkan dengan seekor kerbau?
Australia mengungkapkan respeknya terhadap Presiden SBY
tak cuma dengan medali. Parlemen Australia juga memberinya
kesempatan berpidato, 10 Maret 2010. Tidak banyak pemimpin dunia
yang diberi kesempatan berpidato di depan Parlemen Australia.
Presiden Yudhoyono adalah orang ketiga setelah Lee Kwan Yew
(mentor Menteri Singapura) dan Hu Jintao (Presiden Tiongkok).
Yang keempat adalah Presiden AS Barack Hussein Obama yang
berkunjung ke Australia bulan April.
Dalam lawatannya tersebut, Presiden Yudhoyono juga men-
dapat penganugerahan medali penghargaan Honorary Companion
in the General Division of the Order of Australia yang dikalungkan
Gubernur Jenderal Ny Quentin Bryce dalam suatu upacara khidmat.
Penghargaan itu diberikan karena Presiden SBY dinilai berjasa
mempererat dan memperluas hubungan kerja sama dengan
Australia dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, hubungan
Mengungkap Kesenjangan Istana 51
kebudayaan dan pendidikan, upaya melawan terorisme, serta
mendorong dialog antar-iman. (Kompas, 10 Maret 2010, hlm. 1).
Tak sampai sebulan sebelumnya (24 Februari 2010). Presiden
Yudhoyono juga menerima penghargaan internasional di bidang
lingkungan. Atas kontribusinya terhadap lingkungan, dalam acara
11th Special Session of the Governing Council di Nusa Dua, Bali,
Presiden menerima UNEP Award Leadership in Marine and Ocean
Management. Plakat anugerah diserahkan UNEP Executive Director,
Achim Steiner, kepada Presiden sesaat sebelum membuka acara
tersebut.
“…Penghargaan ini dapat mendorong saya beserta seluruh rakyat
Indonesia terus mengelola dan memberdayakan laut yang terbentang
luas di penjuru Nusantara dengan lebih baik lagi di masa depan,”
kata Presiden saat member sambutan.
Masih di bulan yang sama, 4 Februari 2010, Presiden Yudhoyono
menerima The Gold Standard Awards 2009 untuk kategori The Gold
Standard in Political Communications. Penghargaan ini diberikan
lembaga internasional berbasis di Hongkong, yaitu Public Affairs
Asia (PAA). PAA merupakan lembaga independen yang menekuni
analisa-analisa mendalam tentang berbagai isu yang dihadapi pejabat
publik maupun kalangan profesi yang tertarik maupun
berkecimpung di wilayah Asia. Sedangkan The Gold Standard Awards
(TGSA) 2009 merupakan penghargaan pertama yang diberikan
lembaga itu sebagai pengakuan atas prestasi perusahaan,
pemerintah, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam
bidang kemasyarakatan, hubungan pemerintahan, komunikasi, dan
transparansi.
TGSA diberikan untuk beberapa kategori, yaitu The Gold
Standard in Government Relations, in Public Affairs (Consultancy), in
Public Affairs (House), in Social Media Innovation, in Shareholder
Management, in Crisis Communications, in Country or Trade Promotion,
dan in Sustainability. Kemudian The Gold Standard in Government
Transparency, in Leadership and Development, dan nominasi khusus
52 Dua Giok Patah untuk SBY
yang bersifat terbuka yaitu The Gold Standard in Political
Communications yang diberikan kepada Presiden SBY.
Dewan Juri terdiri atas 40 kalangan profesi yang memiliki
reputasi tinggi dari berbagai sektor, pemerintahan, konsultan,
pengusaha, LSM dan misi dagang. Kandidat lain yang dinominasikan
untuk kategori The Gold Standard for Political Communication adalah
Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dan pengumpul dana
amal untuk Afghanistan, Ryan Gawn.
Direktur Eksekutif PAA, Craig Hoy menyerahkan penghargaan
tersebut dalam resepsi di Foreign Correspondents Club, Hongkong.
Putra Presiden Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono, didampingi
Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Dr Dino Patti
Djalal menerima penghargaan tersebut mewakili Presiden. Meski
tidak sempat dating dan menerima langsung penghargaan tersebut,
Presiden menyampaikan ucapan terimakasih atas nama rakyat
Indonesia melalui tayangan video. Dengan kerendahan hati,
Presiden menerima penghargaan tersebut atas nama bangsa
Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kembali memimpin
Indonesia.
November 2007, Presiden juga menerima penghargaan
internasional Democracy Award dari International Associations of
Political Consultants (IAPC) atas kontribusi besarnya terhadap
bekerjanya sistem politik demokratis. Bahkan, setahun lebih setelah
dilantik sebagai Presiden ke-5 RI, Presiden Yudhoyono sempat
dinominasikan sebagai kandidat Nobel Perdamaian.
Sebelumnya lagi, 25 Oktober 2007, Presiden Yudhoyono
menerima US ASEAN Leadership Award dari US ASEAN Business
Council dalam sebuah Gala Dinner dengan pengusaha Amerika
Serikat di Hotel Shangri-La, Jakarta. Menurut Presiden US ASEAN
Business Council, Matthew Daley, Presiden Yudhoyono patut
mendapat award karena keberhasilannya membangun Indonesia
meski Indonesia dilanda berbagai krisis, serta usahanya melakukan
kerjasama antar-negara di segala bidang.
Mengungkap Kesenjangan Istana 53
Yang juga spektakuler adalah momen Mei 2009, saat majalah
Time memilih Presiden Yudhoyono sebagai salah seorang dari 100
Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia tahun 2009. Oleh Time, Presiden
dimasukkan ke dalam kategori Pemimpin dan Tokoh Revolusioner.
Penghargaan ini merupakan tanda pengakuan kepada Presiden
setelah tahun lalu menerima penghargaan 100 Most Influential Person
in The World juga dari majalah Time. Dalam daftar Pemimpin dan
Tokoh Revolusioner versi Time itu, Presiden disejajarkan dengan
para pemimpin berkelas dunia lain seperti Edward Kennedy, Gordon
Brown, Hillary Clinton, Christine Lagarde, dan lainnya.
Dan, yang menarik, latar belakang masing-masing diulas tidak
oleh wartawan Time, tetapi oleh orang-orang yang dianggap
mengetahui dan memahami latar belakang dari tokoh tersebut. Latar
belakang Presiden Yudhoyono ditulis Anwar Ibrahim, mantan Wakil
PM Malaysia yang kini menjadi tokoh oposisi. Dalam ulasannya,
Anwar Ibrahim di antaranya menulis:
“…Since winning the presidency in 2004, Susilo Bambang Yudhoyono
has managed to keep the nation afloat, even during the current global
recession…”
Di luar award yang bersifat resmi itu, masih ada beberapa
penghargaan informal tetapi tak kalah prestisiusnya. Yang pertama
datang dari Universitas Harvard. Universitas paling terkemuka di
dunia itu tidak memberi Presiden Yudhoyono award berupa plakat
atau medali, melainkan kesempatan member kuliah umum di. John
F. Kennedy School of Government, Harvard University, 30
September 2009 WIB.
Ini tentu sebuah bentuk apresiasi luar biasa, mengingat status
Universitas Harvard sebagai universitas terbaik di dunia. Dua
lembaga pemberi ranking universitas di dunia, yakni Times Higher
Education Supplement dan Academic Ranking of World Universities
dari Shang-hai Jiao Tung University setiap tahun selalu menempat-
kan Universitas Harvard di posisi puncak daftar world class university.
Apalagi, kuliah umum Presiden Yudhoyono yang bertema
54 Dua Giok Patah untuk SBY
hubungan dunia Islam dan Barat itu diwarnai beberapa kali tepukan
tangan panjang. Dalam kuliah umum ini, Presiden mengritik tesis
“benturan peradaban” Samuel Huntington sebagai sesuatu yang
yang kontraproduktif. Semakin semakin banyak orang mendengar-
nya, menurut dia, mereka akan semakin menganggap hal tersebut
sebagai realita. Presiden SBY menyatakan, keragaman masyarakat
dan kebebasan beragama berdampak positif pada komunitas global.
“…Adalah naif berharap dunia bebas dari konflik dan kebencian. Tapi
saya percaya kita bisa mengubahnya secara fundamental dan
mengembangkannya sejalan dengan bagaimana peradaban, agama,
dan budaya berinteraksi. Ini bukan utopia. Ini visi pragmatis. Saya
melihatnya berhasil dilakukan di Indonesia dan juga di banyak
negara. Pertanyaannya, apakah kita bisa merealisasikannya pada
tingkat dunia?” kata Presiden seraya mengutip ucapan Robert F.
Kennedy seperti diucapkan pemenang Nobel George Bernard Shaw,
“Saya bermimpi tentang sesuatu yang tidak pernah ada, dan bertanya,
kenapa tidak?...”
Presiden juga memaparkan Sembilan (9) hal penting yang harus
ada dalam mencapai harmoni peradaban. “Pertama, abad 21 harus
menjadi abad soft power. Pengalaman mengajarkan saya bahwa soft
power merupakan senjata efektif mengatasi konflik. Tanyakan pada
rakyat Aceh di Indonesia”, ujar Presiden.
Presiden lalu menjelaskan faktor lainnya, yaitu mengintensifkan
proses dialog dan menjangkau apa yang tengah berkembang di
masyarakat, pentingnya mencari solusi memusnahkan konflik sosial
yang membawa kebencian terutama antara Barat dan Islam, mem-
perkuat moderasi dalam masyarakat, multikulturalisme dan
toleransi, menjadikan globalisasi berguna bagi semua, mereformasi
pemerintahan global, pendidikan, dan adanya nurani dunia.
Pada poin terakhir, Presiden menunjuk contoh tsunami di Aceh
dan Nias tahun 2004 yang menelan ratusan ribu jiwa dalam hitungan
menit. “Dunia bersatu dan memberikan uluran tangan tanpa melihat
perbedaan,” katanya.
Mengungkap Kesenjangan Istana 55
Di akhir pidato selama 30 menit ini, Presiden diganjar standing
ovation oleh sekitar 800 civitas akademika di Harvard.
Sebelumnya, applause yang sama diperoleh Presiden dari
London School of Economic and Political Science, salah satu uni-
versitas paling prestisius di dunia dan Eropa, 31 Maret 2009. Inilah
institusi yang oleh The Fulbright Commission disebut sebagai
institusi ilmu sosial paling terkemuka di dunia. Dan di sini puola
Presiden Yudhoyono mendapatkan tepukan panjang dan standing
ovation.
Di ruang Syeik Zayed, New Academic Building, Kampus
London School of Economic and Political Science (LSE), London,
itu Presiden menjadi bintang. Dia menyampaikan ceramah berjudul
“Indonesia: Regional Role, Global Reach.” Saat itu, semua tempat duduk
berwarna merah di dalam ruang itu benar-benar tak tersisa.
Mahasiswa, wartawan, dosen, dan kalangan lain dari berbagai
negara berkumpul di tempat itu.
Dalam ceramahnya, Presiden SBY memaparkan kondisi
Indonesia dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial, dan politik. SBY
menyinggung adanya 4 presiden dalam kurun waktu 1998-2004.
Penulis buku best seller The Lexus and the Olive Tree, The World is Flat
dan Hot, Flat, and Crowded, Thomas Friedman bahkan sampai
mengatakan: “Negara yang berantakan, terlalu besar untuk berhasil,
terlalu kacau untuk bekerja”.
Menurut Presiden, Indonesia kini tumbuh menjadi negara
demokasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat.
“Kami adalah negara demokrasi terbesar dan terkuat di Asia
Tenggara,” kata SBY.
Indonesia juga menjadi contoh nyata bahwa antara demokrasi,
Islam, dan modernitas bisa bergandengan tangan secara harmonis.
“Reputasi kami dalam soal toleransi dan harmoni bukan sesuatu
yang baru, melainkan kerja keras kami dalam waktu yang panjang.
Melalui proses yang terus dikembangkan dan berasal dari tradisi
untuk selalu mencari konsesus, yakni melalui musyawarah untuk
56 Dua Giok Patah untuk SBY
mufakat,” Presiden menjelaskan.
Karena sejarah panjang itulah, tiga kultur besar dunia, yakni
orientalisme, Islam, perdaban Barat, seolah menemukan rumahnya
di Indonesia. “Kami telah menerima menerima peran baru. Kami
menjadi jebatan yang alamiah antara dunia Barat di satu sisi dan
Islam serta oriantalisme di sisi lain,” ujarnya.
Itulah mengapa Indonesia mengorganisasikan dan mendukung
dialog-dialog antar keyakinan, antar kebudayaan, dan inter-media.
“Bukan hanya untuk alasan komunitas nasional kami, melainkan
juga untuk negara-negara di kawasan Asia Pasifik,” kata Presiden.
Saat ceramah berakhir, tepuk tangan pun pecah. Saat Presiden
meninggalkan lokasi, peserta berdiri dan memberikan tepukan lagi.
Nah, jika apresiasi dunia kepada Presiden begitu mengharu-
biru, mengapa sebagian orang orang di negeri sendiri justru terus
mencercanya secara membabi-buta? Rasanya memang aneh, seorang
presiden Indonesia menerima award dan apresiasi dunia atas hal-
hal yang di negeri sendiri justru dijadikan amunisi caci-maki.
Ada sebenarnya yang tengah terjadi?
***
“Politics and the fate of mankind are shaped by men without ideals
and without greatness. Men who have greatness within them don’t
in for politics.”
Politik itu kotor, kata Albert Camus, pengarang Prancis
pemenang Hadiah Nobel Sastra 1957. Politik dan nasib umat
manusia, katanya, dibentuk orang-orang tanpa idealisme dan tanpa
kearifan. Orang-orang hebat tidak mau terjun ke politik.
Filsuf Immanuel Kant juga pernah melansir sindiran.
“Ada dua watak binatang yang terselip di setiap insan politik: yaitu
merpati dan ular,” katanya.
Di satu sisi, politisi memiliki watak merpati yang lembut dan
penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi di sudut
Mengungkap Kesenjangan Istana 57
lain, politisi juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu
berupaya memangsa merpati. Nah celakanya, yang sering menonjol
adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya.
Itulah moralitas politik. Dialah yang akan menjadi juri: mana
tindak-tanduk politik yang baik dan mana yang tidak. Parameternya?
Sederhana saja: kepentingan umum. Jika tindak-tanduk politik
diarahkan untuk memajukan kepentingan umum, itulah yang baik.
Sebaliknya, jika diabdikan untuk kepentingan pribadi atau
golongan, itulah moralitas politik yang buruk. Merujuk metafora
Kant, merpati adalah cermin moralitas politik yang baik, sementara
ular adalah moralitas politik yang buruk.
Melengkapi moralitas politik, itulah yang disebut etika politik,
tatakrama politik, atau sering disebut a code of political behavior, yang
merupakan ukuran sikap dan tingkah laku dalam kehidupan politik
yang santun dan bermoral.
Kong Fu-Tze mendemonstrasikan moralitas serta etika politik
yang penuh keagungan saat dikirimi pesan “giok patah.” Sementara
Presiden Yudhoyono memeragakannya tatkala kehilangan jabatan
menteri dan dihajar aneka fitnah.
Orang-orang seperti itu pastilah bukan orang yang hanya
melihat politik sebagai kekuasaan saja. Politik, bagi keduanya, pastilah
tak dipahami sebagai serangkaian cara-cara mencari dan
mempertahankan sumber-sumber kekuasaan. Politik bukanlah apa
yang pernah disebut Otto von Bismarck sebagai “seni mencapai
tujuan” (yang bisa menihilkan segala macam moralitas atau etika),
tetapi apa yang pernah disebut John Dewey sebagai “the art of
principles (seni mempertahankan prinsip).”
Kong Fu-Tze memutuskan pergi dari tanah kelahirannya
dengan damai meski hatinya sakit, demi apa yang dijunjungnya
sebagai moralitas dan etika politik. SBY juga mundur dengan damai,
memberi jalan bahkan tetap memberi support kepada pemegang
otoritas pemerintahan yang mengabaikannya. Tak ada kemarahan,
tak ada umpatan, tak ada fitnahan, apalagi perlawanan. Itulah
58 Dua Giok Patah untuk SBY
karakter dari orang-orang yang pantas disebut man of ethics atau
man of principles.
Bahwa kemudian ethics atau principles erat itu dimanfaatkan
orang lain untuk memangsa penjunjungnya, itu soal lain. Tapi paling
tidak, ada “keagungan” yang diperjuangkan tatkala mengejar
kekuasaan. Melelahkan memang, tapi itulah perjuangan.
Persis apa yang ditulis almarhum W.S. Rendra, dalam salah satu
sajaknya, Hutan Bogor:
“…yang penting bukanlah kekalahan ataupun kemenangan tapi
bahwa tangan-tangan telah dikepalkan biarpun kecapaian…”
Mengungkap Kesenjangan Istana 59
44444SBY, Fiksi Politik,
dan Spin Doctors
Ada sebuah keluarga unik di Surabaya. Suami, istri, anak, adik,
sampai ipar punya pekerjaan sama: pengerah massa
demonstrasi. Sebuah “profesi” yang relatif langka dan tak pernah
terbayangkan saat Orde Baru masih berkuasa. Lantaran pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto, demonstrasi dianggap barang
haram. Hal itu membuat pesanan tak kunjung datang. Selain itu,
siapa yang berani mengibarkan bisnis yang saat itu bisa
mendatangkan risiko dicap pengganggu stabilitas, ekstrim kanan
(eka), ekstrim kiri (eki), bahkan makar, dan yang lebih menakutkan
dicap anti-Pancasila? Ketakukan lainnya, dapat disebut sebagai
komunis.
Tidaklah demikian di masa reformasi, pasca-jatuhnya Soeharto.
Nah semua anggota keluarga yang disebut di atas, bisa berkolaborasi
dengan apik melayani pesanan demonstran, berapapun jumlah yang
diinginkan. Yang menjadi komandan bisnis ini adalah sang istri,
Maimunah (32), yang oleh kolega-koleganya akrab dipanggil Mama
Mai. Dengan dibantu suami, anak, adik, serta iparnya, Mama Mai
60 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
melayani pesanan massa dari berbagai kalangan, mulai perusahaan
yang butuh demo tandingan, ormas, politisi, partai politik, sampai
kandidat pilkada. Kerabat dan para tetangganya di kawasan padat
di Jl. Gresik PPI, Surabaya, menjadi “basis” utama bisnis Mama Mai.
Kalau kebetulan lagi kekurangan orang, sementara pesanan lagi
membanjir, atau ada pesanan besar dengan jumlah ribuan orang,
Mama Mai punya “simpul-simpul” di kawasan lain yang siap me-
masok orang untuk dimobilisasi. Atau tinggal angkat telepon
mengontak rekannya sesama pengerah massa lain. Mau berapa orang
pun jadi.
“…Mau pesan berapa? Ribuan? Kami sanggup,” begitu kata Bagus
Sanjaya, suami Mama Mai…”
Mama Mai juga melayani pesanan massa demonstran dalam
bentuk dan jenis apapun. Mau massa perempuan? Oke-oke saja.
Mau demontran yang masih remaja? Selalu tersedia stoknya. Atau
pesanan mendadak, pesanan malam ini untuk demo besok pagi.
Juga bukan soal besar bagi Mama Mai. Dalam sekejap, Mama Mia
bisa menyiapkan para demonstran dengan berbagai “jabatan” mulai
massa, koordinator lapangan (korlap), koordinator korlap, sampai
orator.
Dengan pengalamannya, Mama Mai mampu membesut
struktur organisasi demonstrasinya. Dia menempatkan seorang
korlap untuk tiap 40 orang yang berstatus massa. Di atas para korlap,
dia menempatkan seorang koordinator korlap. Sementara untuk
demonstrasi berskala besar dengan sekitar 2.500 orang, dia
menyiapkan beberapa koordinator korlap. Servis Mama Mai
termasuk menyediakan perangkat demonstrasi seperti poster,
megaphone, sound system, kendaraan pengangkut massa, hingga
aksesoris-aksesoris lain yang dibutuhkan.
Bagi Mama Mai, bisnis ini amat menjanjikan dan menjadi salah
satu alternatif agar tidak menganggur, yang penting dapur tetap
mengepul. Dia juga tak malu dengan profesinya, dan menjalaninya
secara terang-terangan. Suatu hal yang muskil dilakukan pada saat
Mengungkap Kesenjangan Istana 61
Orde Baru dulu. Dia bahkan dengan senang hati apabila ada
wartawan yang mewawancarainya, muncul dengan foto diri dan
semua anggota keluarga sekaligus kru bisnisnya. Kisah Mama Mai
ini muncul di Harian Jawa Pos, 22 April 2008 di halaman berwarna
dengan judul mencolok: “Mama Mai, Mamanya Demonstran
Surabaya.”
“…Yang jelas, sepanjang tidak merugikan orang lain dan membantu
para penganggur yang ada di lingkungan kami, saya baik-baik saja.
Saya tak terlalu memusingkan apapun pendapat orang,” kata Mama
Mai kepada Jawa Pos…”
Jaringan dan “basis massanya” cukup memadai untuk meladeni
pesanan massa model apapun dan semendadak apapun. Isu
demontrasi yang akan diangkat juga bukan soal serius bagi Mama
Mai. Asal ada uang, apapun bisa. Uang adalah segalanya bagi bisnis
model ini. Uang itu untuk membiayai massa yang akan
dikerahkannya. Orang yang ikut demo, menjadi massa penggembira
dibayar antara Rp. 30 ribu sampai Rp. 50 ribu rupiah, tergantung
tingkat risiko demonstrasi. Korlap mendapat Rp 250 ribu sampai
Rp 300 ribu. Bayaran agak berbeda untuk koordinator lapangan
(korlap). Ia dijatah Rp. 300 ribu sampai Rp. 500 ribu rupiah. Dengan
cepat, Mama Mai dapat dengan segera mengalkulasi berapa ongkos
sebuah demonstrasi. Demonstrasi dengan jumlah massa 2.500 orang,
misalnya, membutuhkan dana sekitar Rp 175 juta. Suatu angka yang
fantastis jumlahnya, dan tentu bisnis yang menjanjikan.
Mama Mai bukan satu-satunya yang mengeluti bisnis
demonstrasi di Surabaya. Masih ada banyak nama lain, termasuk
seorang mantan aktivis/demonstran “Angkatan 1998” dan tokoh
sebuah ormas di Surabaya. Semua punya modus kerja dan tarif yang
relatif hampir sama. “Pasar” memang terbuka lebar bagi Mama Mai
dan kawan-kawan atau orang-orang yang berprofesi sama.
Mereka tergolong kreatif, mampu memanfaatkan situasi dan
kondisi. Keterbukaan politik (liberalisasi politik) dan demokratisasi,
memberi peluang bagaikan tiupan angin yang menjadi faktor
62 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
mendorong (driven factor) bagi kebebasan berekspresi baik di jalan-
jalan, di gedung-gedung pemerintahan, maupun di mana saja.
Namanya juga bayaran, isu yang diangkat tak terlalu penting.
Uang adalah segalanya. Massa bergerak dan digerakkan tidak
berdasar isu, tapi berdasar cocok tidaknya harga. Bagaimana dengan
ideologi? Itu dianggap sama usangnya dengan dinosaurus. Ideologi
tidak bisa mengenyangkan. Ideologi ibarat hewan punah yang tentu
saja tidak dibutuhkan bagi kelompok-kelompok ini. Yang harus
mengerti isu demonstrasi cuma orator, karena dialah yang harus
“cuap-cuap” di depan megaphone. Sementara massa hanya bertugas
menenteng poster dan meneriakkan yel-yel sesuai pesanan.
Melihat banyaknya jumlah “pengepul massa,” demonstrasi
pesanan seperti ini agaknya sudah sering terjadi si Surabaya. Saking
seringnya sampai terkadang membuat mereka bergesekan di
lapangan. Tapi lantaran ini “demo profesional,” semua bisa diatur
dan diselesaikan “secara adat.” Tak ada ketegangan fisik, apalagi
“ketegangan ideologis.” Seorang pengepul massa lain pernah
mengalami ini. Dua tahun lalu dia mendapat order demo tandingan
dari sebuah perusahaan roti di Surabaya.
“…Setelah saya lihat, ternyata massa yang berdemo melawan klien
saya berasal dari kelompok A. Saya pun mengambil massa dan korlap
dari kelompok B yang sebetulnya telah berteman baik dengan A.
Akhirnya demo berlangsung damai tanpa benturan apa-apa. Prinsip
saya, kalau semua bisa diselesaikan dengan win-win solution, itu
yang akan saya kejar…,” katanya.
Saking sudah umumnya praktik demonstrasi bayaran ini,
seorang aktivis buruh di Surabaya mengatakan, “Saya yakin, demo
yang murni tanpa bayaran di kota ini hanya tinggal 10 persen. Yang
paling banyak adalah demo adol tinuku (jual beli), selalu ada
kepentingan yang menunggangi. Yang murni paling-paling cuma
demo mahasiswa yang memprotes kebijakan kampus atau demo
dengan isu-isu normatif. Nyaris tak ada massa politik yang suka
rela berdemo mendukung parpol atau calon kepala daerah, tanpa
Mengungkap Kesenjangan Istana 63
adanya imbalan.”
Euforia politik memang membuat demonstrasi tak lagi “sakral”
seperti pada masa Orde Baru. Demonstrasi tak lagi segaris dengan
demokrasi, bahkan seringkali demonstrasi menjadi berlawanan
dengan demokrasi lantaran mengusung isu yang anti-demokrasi dan
dihelat dengan motif serta tujuan anti-demokrasi. Demonstrasi—
yang yang pada masa pemerintahan Soeharto menjadi salah satu
metoda perjuangan bagi demokratisasi—dengan segera menjadi
komoditi. Fenomena penggunaan demonstrasi sebagai sarana
menggapai aneka tujuan politik membutuhkan jasa orang-orang
seperti Mama Mai. Hampir bisa dipastikan, orang-orang seperti
Mama Mai banyak terdapat di kota-kota lain. Demonstrasi, dengan
kata lain, telah menjadi “industri,” yang mengikuti mekanisme pasar.
Ibarat sebuah produksi, Mama Mai adalah produsen, semntara orang
yang menggunakan jasanya adalah mereka-mereka yang
membutuhkan jasa Mama Mai. Ada permintaan dan penawaran,
yang didalamnya berlaku prinsip dan mekanisme pasar.
Kisah orang-orang seperti Mama Mai ini punya kaitan sangat
erat dengan fenomena yang diungkapkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tentang fitnah dan fiksi politik. Demo-demo pesanan
yang menjadi lahan bisnis “pedagang demonstrasi” sering menjadi
ajang melontarkan fitnah atau fiksi politik, termasuk yang
dialamatkan kepada Presiden Yudhoyono.
“…Saya prihatin tiba-tiba muncul suasana politik yang aneh dan
tidak sehat. Muncul politik intrik, pecah belah, adu domba, fitnah,
dan fiksi,” Kata Presiden Yudhoyono saat memberi sambutan pada
pembukaan Rakernas Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (Apkasi) ke-6 di Madiun, 19 Januari 2010 lalu.
Fitnah dan fiksi politik ini belakangan memang tampak meruyak
di arena politik Indonesia. Dan Presiden Yudhoyono adalah salah
satu target empuk atau favorit yang paling sering dihinggapi fitnah
atau fiksi politik itu. Fitnah dan fiksi politik itu—pada akhirnya
menjurus ke arah pembunuhan karakter (character assassination)—
64 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
ini tak hanya beredar di arena demonstrasi, layar televisi atau koran-
koran/majalah, atau SMS, tapi akhir-akhir ini juga bergentayangan
di internet seperti situs jejaring sosial facebook (facebooker), twitter,
atau forum-forum lain di internet, seperti millis dan lain sebagainya.
Fitnah dan fiksi politik ini menjadi pilihan karena beberapa
sebab. Pertama, ini cara paling efektif melakukan character
assassination, dan lebih gampang dibanding debat kebijakan (policy
debate). Apalagi jika yang menjadi lawan debat adalah Presiden
Yudhoyono, yang selain dikenal sebagai man of integrity juga dilihat
sebagai man of quality. Kedua, biayanya relatif murah dan mudah.
Ketiga, media cenderung menganggap fitnah atau fiksi politik
sebagai bahan untuk mendongkrak rating atau sirkulasi. Bagi media
yang masih saja bersikukuh menganggap bad news is good news, fitnah
atau fiksi politik merupakan bahan berita bernilai tinggi untuk
digunakan mengikat perhatian khalayaknya selama berminggu-
minggu bahkan berbulan-bulan.
Adanya “industri demonstrasi” juga mengisyaratkan, semua
fitnah dan fiksi politik itu beredar atau diedarkan bukan secara
alamiah (natural), tanpa tujuan, melainkan direkayasa dengan meng-
gunakan metoda dan cara-cara canggih yang kadang “gelap,” ter-
masuk dalam memanfaatkan media. Selain mampu mengerahkan
massa, para pelakunya juga piawai memanfaatkan jurnalis dan
media, memutar fakta, memainkan isu, mengalihkan isu, mengubur
isu, sampai menyuguhkan fakta kepada publik dengan sudut
pandang yang mereka inginkan.
Dalam konteks political public relation di benua seberang (AS
dan Eropa), para pelakunya lazim disebut spin doctors dan
industrinya kerap disebut spin industry. Dan ternyata, spin doctors
juga mulai berkembang-biak di Indonesia meski tak kasat mata serta
secanggih di AS dan Eropa. Target dari spin industry ini jelas, melawan
pihak penguasa, khususnya Presiden Yudhoyono yang seringkali
menjadi target favoritnya. Jelas tujuannya untuk melemahkan
integrasi dan popularitas sang presiden.
Mengungkap Kesenjangan Istana 65
Dor! Dor!
Tubuh pria yang duduk di atas mobil bak terbuka Ford
Convertible itu tersentak. Peluru dengan tanpa ampun menghajar
kepalanya. Jacqueline Bouvier Kennedy, sang istri yang duduk di
sampingnya langsung memeluk tubuhnya. Tapi nyawa sang pria,
John. F. Kennedy, Presiden ke-35 Amerika Serikat itu, sudah tak
tertolong. Peristiwa yang mengejutkan dunia itu terjadi di Dallas,
22 November 1963 silam, di suatu siang bolong. Saat itu, iring-iringan
kendaraan JFK—sebutan sang presiden—melintas di depan Texas
Scholl Book Depository. Lee Harvey Oswald diumumkan sebagai
pembunuhnya, meski banyak rakyat AS tak memercayainya.
Amerika Serikat seketika menangis, termasuk seorang bocah
berusia 8 tahun yang tinggal di New York. David Axelrod, yang
menonton adegan penembakan itu di televisi. Baginya, JFK adalah
the real hero. Saat usianya 5 tahun, dia pernah diajak kakak perem-
puannya membaur dengan ribuan orang lainnya menyimak
kampanye JFK. Meski masih bocah, Axelrod langsung terkesima
pada JFK yang kharismatik, energik, dan orator sejati.
Bagi rakyat AS saat itu, JFK memang idola. Dia adalah presiden
termuda kedua setelah Theodore Roosevelt. JFK adalah anggota klan
Kennedy berdarah Irlandia-Amerika, keluarga terkemuka di dunia
politik negaranya. Ia dianggap lambang liberalisme Amerika. Pada
Perang Dunia II, ia dikagumi karena keberanian dan heroismenya
saat menyelamatkan seorang rekan pelautnya di Samudra Pasifik
Selatan.
JFK pun kemudian terpilih sebagai presiden pada 1960 dengan
kemenangan tipis dalam salah satu pemilu paling ketat dalam sejarah
Amerika. Dia merupakan pemeluk Katolik kedua yang pernah
terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat setelah Franklin Roosevelt.
Memori pembunuhan JFK bangkit lagi di benak Axelrod sekitar
40 tahun kemudian, saat melihat sosok Barrack Obama yang tengah
merintis karier politiknya di Illinois. Sejak awal, Axelrod sudah
melihat Obama sebagai sosok luar biasa yang mengingatkannya pada
66 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
JFK. Dia merasa JFK seolah dilahirkan kembali ke dalam sosok
Obama. Saat itu, Axelrod sudah berkarier sebagai wartawan politik
di koran terkemuka Chicago Tribune, dan kemudian melebarkan sayap
profesinya dengan menjadi konsultan politik. Kepada rekan-
rekannya, dia pernah berkata, “Saya tidak ingin bekerja untuk kan-
didat presiden. Tapi kalau Obama maju, saya akan membuat
pengecualian.”
Obama memang sering dibandingkan dengan JFK. Keduanya
punya kharisma dan cita-cita tinggi. Pidato Obama yang memukau,
ketinggian intelektualnya, umur yang relatif muda dan kurangnya
pengalaman politik dilihat banyak orang sebagai pencerminan JFK.
Ketika Obama benar-benar mengibarkan bendera pencalonan,
Axelrod pun merapat. Dia menjadi penasehat media Obama.
Dengan Axelrod di sampingnya, Obama menyabet kemenangan
gemilang melawan kandidat presiden dari Partai Republik, John
McCain. Sebelumnya, dalam konvensi Partai Demokrat, Obama juga
sukses menaklukkan Hillary Clinton.
Axelrod inilah orang di belakang munculnya tagline terkenal
Obama, Yes We Can. Tema perubahan yang diusung Obama merupa-
kan ide briliannya. Axelrod juga mendesain kampanye pertama
Obama yang berupa video lima menit yang dirilis melalui internet
pada 16 Januari 2007. Gaya video biografi “jalanan” itu terus ia usung
guna menciptakan keintiman dan keaslian iklan politik untuk
Obama.
Axelrod pula yang sukses men-spin isu terkait kulit hitam
Obama dan nama tengah “Husein.” Sejak awal, inilah problem
krusial Obama. Dia berhadapan dengan dinding tebal hukum besi
di AS, bahwa hanya warga berciri WASP (White Anglo-Saxon
Protestant) yang bisa menjadi presiden. Dia punya problem yang
sama dengan JFK, tidak memenuhi hukum besi WASP. Jika Obama
berkulit hitam, JFK beragama Katolik Roma. Berkat Axelrod, para
pemilih digiring lebih memerhatikan citra yang diciptakan untuk
Obama: yaitu hope, change, dan new perspective, ketimbang warna
Mengungkap Kesenjangan Istana 67
kulit dan nama tengah Obama. Obama pun menjadi orang kedua
yang berhasil membongkar hukum besi WASP, setelah JFK.
Kemenangan Obama membuat Axelrod diakui sebagai spin
doctors hebat masa kini. By the way, apa itu spin doctors? Terminologi
ini pertama kali digunakan dalam editorial New York Times, 21
Oktober 1984, untuk menunjuk tim media Presiden AS saat itu,
Ronald Reagan. Spin merujuk pada efek mirip pelintiran bola tenis.
Dengan memelintir fakta atau informasi (bak petenis memelintir
bola), sang “dokter” bisa mengarahkan pendapat publik sesuai
keinginannya.
Spin doctors merupakan semacam konsultan komunikasi dan
pemasaran politik atas nama tokoh politik, dan sering digunakan
dalam kampanye pemilihan umum. Istilah ini memiliki konotasi agak
negatif, karena spin doctors tidak selalu bertindak benar secara moral.
Spin doctors juga biasa menggunakan metode mendiskreditkan
pesaing, disinformasi, merakit kasus buatan untuk mempertahankan
suatu tujuan atau untuk menghancurkan yang lain.
Eric Louw dalam The Media and Political Process (2005), mende-
finisikan spin doctors sebagai “manajer kesan” profesional yang
posisinya berada di antara politisi dan wartawan. Wartawan di AS
memersepsi spin doctors sebagai praktisi “seni yang sedikit gelap dan
menghasut.” Spin doctors merupakan orang-orang yang lihai
membesar-besarkan sesuatu dan mengatur pemunculan peristiwa
politik di media, khususnya di televisi. Merekalah yang mengatur
pemunculan politisi di media (televisi), mulai apa yang harus
dibicarakan hingga penampilan sang politisi. Pendeknya, spin doctors
adalah orang-orang yang pintar memanfaatkan media demi
kepentingan kliennya.
Spin doctors punya beberapa modus kerja khas. Pertama, mem-
buat wartawan melihat fakta dari sudut yang sesuai agenda klien.
Dalam konteks ini, spin doctors aktif dan selektif menyajikan fakta
atau kutipan yang mendukung posisi politik klien, atau memojok-
kan lawan politik klien.
68 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
Kedua, membuat wartawan menjauhi isu yang ingin “dikubur”
klien. Salah satu jurusnya: baru mengumumkan fakta yang merugi-
kan klien saat perhatian media terfokus pada isu besar tertentu,
dengan harapan media akan tetap berfokus pada isunya sendiri.
Dengan begitu, fakta buruk tadi bisa tersembunyi di dalam
bayangan isu lain. Ketiga, menyebarkan cerita palsu atau seolah-
olah membocorkan isu tertentu untuk “dimakan” wartawan.
Biasanya, ini digunakan untuk menyamarkan atau mempromosikan
agenda tertentu.
Saat ini, nyaris tak ada tokoh politik di AS dan Eropa yang tak
dibantu spin doctors, mulai tokoh partai, anggota parlemen, sampai
presiden atau perdana menteri. Spin doctors telah menjadi industri
tersendiri, yang biasa disebut spin industry, yang melibatkan banyak
pihak seperti konsultan public relation, konsultan periklanan, lembaga
polling, ahli make up, sampai penulis pidato.
Momen spin doctoring yang paling dikenang dunia hingga saat
ini adalah bagaimana para spin doctors men-spin isu agama Katolik
Roma yang dianut JFK pada tahun 1960. Inilah momen yang
membuktikan dahsyatnya kekuatan spin doctors merakayasa opini,
dan persepsi khalayak terhadap isu atau tokoh tertentu bisa
dimanipulasi melalui kepiawaian spin doctors dan media.
Saat itu, JFK tengah berhadapan dengan Richard Nixon
memerebutkan tongkat komando di Gedung Putih. Masalah utama
JFK adalah agama Katolik Roma yang dipeluknya. Tapi spin doctors
di belakang JFK punya jurus penangkal jitu: mereka men-spin isu
agama menjadi isu toleransi. Mereka akan menebarkan opini bahwa
memilih JFK merupakan cermin toleransi, sebaliknya tidak memilih
JFK adalah intoleransi. Dengan segera, spin doctors JFK membalik
isu agama menjadi menguntungkan kliennya. Agama JFK di-spin
menjadi semacam uji toleransi publik AS. Publik AS ditantang
membuktikan toleransinya dengan memilih JFK.
Apa yang mereka lakukan kemudian selalu dikenang dunia dan
menjadi rujukan generasi spin doctors berikutnya, di antaranya David
Mengungkap Kesenjangan Istana 69
Axelrod. Mereka membuat tayangan advertorial pendek di televisi
dengan format tanya-jawab tentang isu agama dan toleransi. Tim
JFK melansir pula tayangan televisi 30 menit yang membandingkan
JFK dan Roosevelt terkait Katolikisme. Lalu disusul penampilan JFK
di sebuah gathering di Houston yang dihadiri para pendeta Protestan.
Di sana, dengan gemilang JFK menjawab serangkaian pertanyaan
dan keraguan para pendeta Protestan terhadap dirinya.
Acara ini disebut-sebut sebagai salah satu operasi spin terbaik
di masa itu: seolah-olah membiarkan orang lain menyerang JFK,
tetapi sesungguhnya mereka justru menguntungkan JFK. Acara
yang dirancang rapi ini lalu direkam dan ditayangkan melalui televisi
ke 39 negara bagian. Di negara bagian yang dianggap krusial,
rekaman itu bahkan ditayangkan dua kali. Pada saat yang sama,
spin doctors JFK membuat tayanngan dokumenter tentang heroisme
JFK di Perang Dunia II. Mereka juga memproduksi materi yang
sama untuk media cetak. Salah satunya dicetak di majalah terkemuka
Reader’s Digest. Spin doctors JFK lalu mereproduksi artikel di Reader’s
Digest itu sampai jumlah ribuan, dan menyebarkannya ke kantong-
kantong suara yang dituju.
Puncaknya adalah debat terbuka JFK vsNixon yang ditayang-
kan di televisi. Yang bertarung bukan hanya JFK melawan Nixon,
tetapi juga spin doctors di masing-masing pihak. Nixon kalah telak
dalam momen krusial ini lantaran meremehkan penampilan fisiknya
di depan kamera. Nixon emoh menggunakan make up, bajunya
terlihat agak kedodoran, jasnya salah warna. Sebaliknya, JFK tampil
necis. Jutaan penonton televisi disuguhi sosok Nixon yang gugup,
berkeringat, dan kelihatan tidak nyaman, melawan JFK yang rileks,
terlihat kuat, dan percaya diri. Pada titik itu, apapun yang diucapkan
keduanya tak berarti lagi.
Ketika politik sudah berkelit-kelindan dengan media dan spin
doctors seperti itu, yang ditangkap oleh khalayak adalah realitas politik
sebagaimana disuguhkan media. Dan realitas politik yang disajikan
media adalah realitas yang dikonstruksi awak media dan spin doctors
70 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
dengan beragam agenda serta kepentingannya. Yang tertangkap
khalayak melalui media adalah kesan atau citra, yang seringkali tidak
sama atau bahkan berkebalikan dengan realitas sesungguhnya. Jika
realitas berbasis pada fakta, maka realitas yang disuguhkan spin
doctors terkadang berbasis fiksi.
Di Indonesia, praktik-praktik spin doctoring juga sudah mulai
terasa sebagai produk demokratisasi dan liberalisasi politik pasca-
1998, meski terminologi spin doctors masih jarang diucapkan orang.
Kompetisi politik yang terbuka dan bebas—baik di tingkat nasional
maupun lokal—memungkinkan praktik dan profesi ini muncul dan
berkembang, meski belum secanggih yang terjadi di AS atau Eropa.
Daerah pemilihan (dapil) dalam pemilu legislatif, pemilihan presiden
secara langsung dan pemilihan kepala daerah secara langsung kian
mendorong bertumbuhnya praktik dan profesi ini.
Coba lihat apa yang terjadi di daerah menjelang pemilihan
kepala daerah (pilkada). Jalan-jalan tiba-tiba dipenuhi baliho, papan
reklame, spanduk, atau poster para calon. Layar televisi lokal disesaki
wajah-wajah para kandidat dengan aneka slogan dan janji. Koran-
koran setempat juga kejatuhan rezeki iklan yang memajang foto
dan slogan kandidat atau kerja sama pemberitaan. Itu pula yang
terjadi dengan radio, media online, forum-forum di internet,
Facebook, atau Twitter. Pendeknya, nyaris tak ada secuil pun ruang
publik yang dilewatkan oleh para kandidat.
Lembaga survei tiba-tiba laris, dan praktisi public relation,
periklanan, atau jurnalis ramai-ramai menjadi konsultan politik.
Semua kandidat politik membutuhkan citra tertentu, menghembus-
kan isu tertentu, atau menyamarkan/menghilangkan isu tertentu
melalui praktik spin doctoring. Atau pada aras yang lain, mereka me-
merlukan pula praktik spin doctoring untuk mengembangkan citra
atau label tertentu kepada kompetitornya, atau bahkan untuk
membunuh karakter mereka. Hal yang sama terjadi pada kompetisi
politik di tingkat partai, ormas, apalagi presiden.
Salah satu kisah spin doctoring paling menarik terjadi di Porong,
Mengungkap Kesenjangan Istana 71
Sidoarjo. Meluapnya lumpur dari dalam tanah di lokasi pengeboran
minyak oleh PT Lapindo Brantas meluberi ribuan hektar sawah serta
pemukiman di sekitarnya. Di tengah gejolak sosial dan politik akibat
luapan lumpur, terlihat ada upaya men-spin isu lumpur. Terlihat
ada upaya sistematis meyakinkan publik bahwa lumpur panas itu
meluber akibat bencana alam (dampak gempa bumi di Jogjakarta),
bukan produk human error (kesalahan pengeboran). Itu dilakukan,
misalnya, dengan rilis ke media, menerbitkan buku, membuat film
dokumenter, pameran foto, pemasangan advertorial di media, mem-
buat event dan menayangkannya di media (televisi), sampai penye-
butan Lumpur Sidoarjo sebagai pengganti sebutan Lumpur
Lapindo.
***
Semakin tinggi, pohon memang kian kencang ditiup angin. Tapi
angin yang meniup Presiden Yudhoyono kali ini rasanya memang
agak kelewatan. Presiden menyebut angin itu sebagai fitnah dan
fiksi politik. Sudah berulang kali presiden melansir fenomena ini.
Pesan paling jelas disampaikan saat membuka dan memberi
pengarahan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-6 Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Pendapa
Muda Graha Kabupaten Madiun, 19 Januari 2010. Saat itu, Presiden
mengungkapkan rasa kagetnya atas merebaknya isu rencana
pencopotan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bukan hanya itu, isu
itu juga disusul rumor mengganti Sri Mulyani dengan seseorang
berinisial AA.
“...Tiba-tiba di negeri kita ini muncul suasana politik yang menurut
saya rada aneh dan cenderung tidak sehat. Politik intrik, pecah belah,
adu domba, fitnah, fiksi, sesuatu yang tidak ada menjadi ada, atau
sesuatu yang keluar dari konstitusi. Isu rencana pencopotan Menkeu
tersebut tak saja berembus di Jakarta, tapi juga di luar negeri. Apa
yang terjadi? Kemungkinan spekulan bekerja mengganggu stabilitas
pasar. Berita yang mengejutkan. Ini politik keji, politik adu domba.
72 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
Mungkin mengadu domba menteri keuangan dengan presiden. Itu
kreatif yang buruk, yang tidak amanah. Ada yang meminta saya
mewaspadai situasi ini. Saya tidak tahu siapa AA itu. Sumbernya
katanya dari Golkar, ini bisa saja mengadu domba antara saya
dengan Pak Ical (Ketua Umum Partai Golkar),” kata Presiden ketika
itu.
Presiden juga menyatakan prihatin atas isu yang disebutnya
sebagai politik adu domba tersebut. “Kenapa di negeri ini tiba-tiba
muncul peristiwa politik seperti ini. Dulu pernah terjadi seperti itu,
seharusnya sekarang dengan berkembangnya proses berdemokrasi
tidak ada lagi hal seperti itu. Akibatnya rakyat menjadi takut
bayangan peristiwa seperti dulu yang menakutkan,” katanya.
Tak ada rencana mengganti Menteri Keuangan, tak ada pula
menyiapkan seseorang berinisial AA sebagai penggantinya. Tapi
mengapa isu merebak, dan menjadi menu utama talkshow dan berita-
berita di media massa? Sebuah isu telah diseleksi dan didorong
memasuki arena politik, dan “dimakan” media. Artinya, ada yang
menyeleksi, ada yang mendorong isu memasuki ranah politik, ada
media yang digunakan, dan ada target yang dipasang.
Kasus yang sama terus berulang, dengan isu dan waktu yang
berbeda. Setelah kasus Menkeu, muncul kasus pajak. Pada akhir
Januari dan awal Februari 2010, Presiden beberapa kali
mengingatkan para pengemplang pajak. “Sekarang semua kerja
untuk rakyat, nanti kita akan memberesi yang bandel-bandel dalam
membayar pajak. Termasuk yang tidak mau membayar utang di
bank-bank. Ini masih banyak. Saya akan cek langsung semuanya,
supaya ekonomi kita sehat. Kita lanjutkan terus reformasi di jajaran
pemerintah. Mereka yang tidak membayarkan kewajibannya akan
kita tindak secara hukum,” tegas Presiden, pada 29 Januari 2010.
Sementara saat membuka Rapim Polri, 8 Februari 2010, Presiden
mengatakan, “Yang namanya korupsi, kejahatan pajak, mengem-
plang utang yang ditanggung rakyat, harus dituntaskan, karena itu
menyangkut rasa keadilan rakyat kita.”
Mengungkap Kesenjangan Istana 73
Terakhir, saat berpidato pada acara pemberian penghargaan
Citra Bhakti Abdi Negara, 11 Februari 2010 di Istana Negara,
presiden menyatakan akan bersikap tegas kepada pengemplang
pajak. “Ada perusahaan harusnya membayar pajak, tapi karena ada
kongkalikong bisa tidak membayar. Tindakan itulah menyebabkan
negara dan rakyat dirugikan.”
Itu serangkaian pernyataan yang semestinya dianggap normal-
normal saja, apalagi di banyak negara penggelapan pajak memang
dianggap kejahatan serius. Namun lagi-lagi, pernyataan yang wajar
disampaikan seorang presiden itu lagi-lagi di-spin sebagai “genderang
perang” atau “pembalasan” presiden terhadap Ketua Umum Partai
Golkar Aburizal Bakrie, yang salah satu perusahaannya dikabarkan
masuk dalam daftar pengemplang pajak. Lalu muncullah fiksi politik
seolah-seolah pernyataan presiden itu terkait dengan posisi Partai
Golkar dalam Pansus Hak Angket Bank Century.
Sebuah media di ibukota bahkan menulis berita dengan lead
“menyeramkan:” “Perseteruan Aburizal Bakrie dengan SBY mulai
terkuak. Keduanya kini bagai perang terbuka.” Lagi-lagi, isu pajak
yang sebetulnya normatif telah di-spin menjadi isu kompetisi politik.
Fiksi politik yang paling “meriah” dan menjadi “menu andalan”
media massa—sebelum “dikubur” meninggalnya KH Abdurrahman
Wahid—adalah buku Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis George
Aditjondro. Buku tersebut jelas-jelas menciptakan fitnah dan fiksi
politik, lantaran logikanya memang terkesan sim salabim, lebih
banyak berdasar prasangka dan spekulasi.
Kelemahan utama buku ini adalah metodologi. Metodologinya
lemah, karena sebagian besar atas dasar dugaan atau asumsi.
Penulisnya hanya merajut data dari kliping media dan tidak diveri-
fikasi. Penulisnya juga sering menarik kesimpulan berdasar data
sekunder tanpa konfirmasi. Misalnya tentang apa yang disebut
Aditjondro sebagai jaringan bisnis Presiden Yudhoyono dan
keluarganya atau pemanfaatan jaringan untuk pemenangan Pemilu.
Aditjondro juga kerap membuat narasi spekulatif. Soal apa yang
74 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
dia sebut sebagai kaitan Ani Yudhoyono dengan promosi batik
Allure, misalnya, Aditjondro menulis: “Ada potensi konflik kepen-
tingan Ani Yudhoyono sebagai pembina yayasan dan perusahaan
batik baru yang telah mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon.”
Pernyataan itu jelas spekulatif karena tanpa sumber referensi yang
akurat.
Pada halaman 29, Aditjondro juga menuding Rully Iswahyudi
sebagai pengelola Bravo Media Center, pusat penerangan Tim
Kampanye SBY-Boediono dalam Pemilihan Presiden lalu. “Rully Ch.
Iswahyudi, selain menjadi Direktur Komersial & IT Perum LKBN
Antara, ia juga ikut mengelola Bravo Media Centre,” tulis George.
Seharusnya pada bagian ini, Aditjondro melakukan cek silang
kepada yang bersangkutan, apakah benar Rully pernah menjadi
anggota apalagi pengelola BMC. Aditjondro juga menulis, ada
yayasan-yayasan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi SBY
atau keluarganya. Namun, Aditjondro tak cuma gagal menunjukkan
fakta otentik soal abuse of power dalam pendirian yayasan, tetapi
juga gagal memberi bukti bahwa Presiden Yudhoyono
memanfaatkan dana bail out Century dan dana BUMN untuk
pemenangannya. Hasil akhir Pansus Century semakin jelas, gambang
dan terang, bahwa tidak ada aliran dana kepada presiden dan
keluarganya, serta kepada Partai Demokrat. Hasil pansus tentang
aliran bail out Century menjadi bukti bahwa buku George hanya
didasarkan pada ilusi.
George hanya mengutip sebuah berita bahwa ada aliran dana
dari seorang konglomerat kepada sebuah yayasan yang dipimpin
orang dekat Presiden SBY. Namun berita itu hanya data sekunder,
tanpa ada verifikasi kepada pengurus dan pengelola yayasan
tersebut.
Efek praktik spin doctoring terhadap Presiden SBY memang amat
terasa. Ada label-label tertentu yang secara sistematis dilekatkan
kepada sosok Presiden sehingga susah untuk tidak disebut sebagai
character assassination. Karakter santun, berhati-hati, dan penuh
Mengungkap Kesenjangan Istana 75
pertimbangan telah di-spin sedemikian rupa menjadi karakter
cengeng (suka curhat), peragu, dan lamban. Sebuah media, misal-
nya, menggunakan istilah “rintihan fitnah SBY” saat mengulas per-
nyataan presiden soal fenomena fitnah dan fiksi politik. Dalam
narasinya, berita itu berulang kali menggunakan diksi “rintihan”
untuk merujuk pernyataan presiden yang sebenarnya berisi ajakan
memperhatikan etika politik.
Praktik spin doctoring memang terkait dengan apa yang
disebut Presiden SBY sebagai fiksi politik, bahkan pada titik tertentu
bisa menjadi fitnah politik. Efek paling jelas dari praktik spin doctoring
ini adalah khalayak akan mempersepsi kenyataan politik sebagai
second hand reality, sebuah kenyataan yang sudah dikonstruksi sesuai
agenda spin doctors melalui media. Khalayak akan memahami isu
politik atau tokoh politik tertentu sebagaimana apa yang ditayangkan
di media, tak peduli realitas yang disuguhkan media berbeda dengan
realitas empirisnya atau tidak.
Berkembangnya apa yang disebut oleh L.J. Sabato sebagai attack
journalism juga mendorong merebaknya praktik spin doctoring
sehingga menghasilkan fiksi politik. Genre jurnalisme ini berkem-
bang pada pertengahan 1970-an di Negeri Paman Sam. Inilah genre
jurnalisme yang menghasilkan reportase politik yang seringkali kasar,
kejam, agresif, seringkali berbasis gosip, dan menimbulkan
kegaduhan. Bak anjing gila (mad dog), genre jurnalisme ini gemar
menyerang otoritas (terutama pemerintah). Sabato juga menyebut
junkyard journalism yang selalu memotret politik sebagai pertunjukan
panggung hiburan atau bak kompetisi olahraga.
Indonesia memang punya konteks historis, politis, atau kultural
berbeda dengan Amerika Serikat, namun dalam titik tertentu apa
yang disebut Sabato sebagai attack journalism dan junkyard journalism
sepertinya juga tampak dalam praktik jurnalistik di Indonesia. Yang
pasti, praktik jurnalistik seperti itu memberi ruang cukup lebar bagi
berkembangnya praktik spin doctoring. Ini pula yang membuat media
di Indonesia tampak begitu bersemangat “melahap” isu-isu politik
76 SBY, Fiksi Politik dan Spin Doctors
yang keras cenderung menyerang pemangku otoritas, meski bahan
bakunya berbasis pada fiksi bukan fakta. Media kemudian cenderung
memosisikan para politisi atau bahkan pemangku otoritas bak atlet-
atlet olahraga, yang tiap saat saling dipertandingkan sesuai agenda
yang—kadang-kadang—disiapkan spin doctors.
Memang tragis. Tapi jangan-jangan inilah wajah politik kita.
Ini semua bukan soal kebenaran, tapi soal permainan.
Mengungkap Kesenjangan Istana 77
55555Korban FitnahTak Berujung
Sekelompok mahasiswa Universitas Harvard berdiri di luar
gedung kampus mereka di Boston, Amerika Serikat (AS), Selasa, 29
September 2009 waktu setempat. Mereka menunggu kehadiran
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memberi kuliah
tamu di kampus mereka.
Tidak seperti demo-demo pada umumnya, wajah para
demonstran itu ceria. Dengan santai mereka menjadi tiang hidup
tempat sejumlah spanduk dan poster dibentangkan. Dan, tulisan
di spanduk-spanduk itulah jawaban keceriaan wajah mereka:
“Thank You Indonesia”
“Harvard Says, Indonesia’s Our Climate Change HERO”
“President Yudhoyono Climate Change World Leader”, juga
“The Earth Our Future, Thank You Yudhoyono”.
Ya, mereka memang berdemo, tapi demo mengucap terima
kasih atas kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan Indonesia dalam memperjuangkan penanganan perubah-
an iklim. Saat itu, Presiden SBY memberi kuliah tamu bertema
78 Korban Fitnah Tak Berujung
“Harmonisasi Peradaban.” Ruangan berkapasitas 800 tempat duduk
itu penuh, padahal panitia tidak menggratiskan acara tersebut.
Michelle Kissenkoetter, Dominic Maxwell, Michael Blomfield
dan Joel Kenrick—sebagian demonstran itu—berteriak-teriak sambil
membentangkan poster-poster yang mereka bawa ketika iring-
iringan kendaraan yang membawa Presiden SBY dan rombongan
melintas memasuki gerbang kampus.
“…Kami adalah mahasiswa Harvard dari berbagai bangsa. Kami
ingin masyarakat Indonesia tahu apa yang telah dilakukan pemimpin
negara mereka sangat kami hargai, dihargai AS, dan dunia,” kata
Kissenkoetter kepada wartawan.
Michelle dan demonstran lainnya adalah mahasiswa program
master kebijakan publik di John F. Kennedy School of Government,
Universitas Harvard. Menurut Maxwell, Indonesia memberi kontri-
busi besar melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim
di Bali, tahun 2007 lalu. KTT tersebut ia yakini membuka kesadaran
dunia dan mendorong mereka melakukan sejumlah langkah lanjutan
mencegah pemanasan global.
“…Apa yang telah dilakukan Indonesia sangat berarti karena setelah
itu (KTT Bali) negara-negara lain mau melakukan perundingan, dan
sekarang perundingan mengarah ke pertemuan di Kopenhagen,
Denmark,” kata Maxwell.
Bila mahasiswa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang
tulus, maka kelompok yang tulus itu tanpa diminta telah memuji
Presiden SBY. Bukan hanya mahasiswa asing yang memuji peran
SBY dalam kepemimpinan lingkungan, media terkemuka sekaliber
Majalah Time pun memasukkan Presiden SBY dalam daftar 100
Tokoh Berpengaruh 2009 di kategori “Pemimpin dan Tokoh
Revolusioner.”
Laporan Time ini dilengkapi pujian tokoh regional, Anwar
Ibrahim. Pemimpin oposisi di Malaysia itu mengakui sejak menang
Pilpres 2004, Presiden SBY berhasil membawa Indonesia tetap
bertahan di setiap tantangan, bahkan selama resesi global yang terjadi
Mengungkap Kesenjangan Istana 79
belakangan ini (‘Sby dipuji Anwar Ibrahim’ http://
dunia.vivanews.com/news/ diunduh pada 18 Februari 2010).
Menurut Anwar Ibrahim, Presiden SBY memenuhi sebagian
besar program yang dia janjikan.
“…Sejarah perjalanan demokrasi Indonesia mungkin tidak begitu
lama, namun bangsa ini telah menunjukkan rakyatnya tidak akan
memilih lagi presiden yang tidak memenuhi janji-janjinya,” kata
Anwar yang kini memimpin Partai Keadilan Nasional di Malaysia.
Tak hanya itu, Anwar juga yakin Presiden SBY bisa menjadi
pemimpin negara-negara Muslim dalam membina hubungan yang
lebih baik dan bermartabat dengan AS. “Dalam menanggapi pen-
dekatan hangat Presiden Barack Obama kepada negara-negara
Muslim untuk menjalin hubungan baru dengan AS, Yudhoyono
bisa menjadi pelopor dan memegang kendali bagi arah kawasan
(Asia),” pujinya.
Pengakuan atas kapabilitas dan peran Presiden SBY makin
mantap dengan datangnya pujian dari Presiden AS, Barack Obama.
SBY dinilai aktif menjalin kerja sama dengan AS dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek).
“…Saya sampaikan pujian saya pada Indonesia, khususnya pada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pendekatan aktifnya
terhadap kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Obama
(Aktif Jalin Kerja Sama IPTEK, SBY Dipuji Obama, http://
www.detiknews.com diunduh pada 18 Februari 2010)
Sambutan Obama itu disampaikan Dubes AS untuk RI Cameron
R. Hume dalam acara Silaturahim Presiden RI dengan Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Masyarakat Ilmiah di Puspiptek,
Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 20 Januari 2010 lalu.
Tak Korup, Tak Jahat, Tak Kejam: Tetapi Lembut
Tentu deretan pujian itu menunjukkan kualitas Presiden SBY.
Meski pun, sebenarnya, pujian-puijian itu tak terlalu mengejutkan.
Jauh sebelumnya, pengamat politik Wimar Witoelar sudah yakin
80 Korban Fitnah Tak Berujung
menyebut Presiden SBY adalah tokoh terbaik yang bisa dipilih rakyat
Indonesia sebagai pemimpinnya.
“… He’s not shaping up, because he knows at the end of the day
people don’t see anyone better or as good on the horizon. All the people
who could be his rivals are even worse than him…” (Wimar: President
SBY Not Shaping Up, Metro TV, 05 April 2007).
Ya, kalimat itu milik Wimar Witoelar. “He” yang dia maksud
tak lain adalah Presiden SBY. Kalau Anda sempat berkernyit dahi,
wajar. Siapa pun tahu, Wimar adalah intelektual kritis. Lebih
menarik lagi, pria yang pernah menjadi juru bicara mantan Presiden
KH Abdurrahman Wahid ini sama sekali bukan orang lingkaran
dalam SBY. Dia bukan anggota kabinet, bukan pula fungsionaris
Partai Demokrat di mana SBY menjadi ketua tim pembinanya.
Tapi, coba perhatikan kalimat itu. Kalimat yang disampaikan
dalam sebuah wawancara di Metro TV tahun 2007 itu jelas berupa
pujian. Wimar, yang sepenuhnya “orang luar,” menyebut tak ada
calon pemimpin lain yang lebih baik dari SBY. Dan, Wimar yakin
pada kecerdasan serta kepekaan rakyat Indonesia yang bisa melihat
hal itu secara jelas.
Mengapa Wimar memberi pujian seperti itu? Lanjutan wawan-
cara itu menjadi jawabannya:
“..At least he’s not causing any damage except through inaction. His
weakness is mainly being indecisive, not being able to take a stand,
not fulfilling his commitment. But he’s not corrupt, he’s not evil, he’s
not cruel, while many of his rivals would have things on their track
record…”
SBY diyakini secara luas sebagai sosok yang tidak punya “utang
kesalahan” di masa lalu. Dia adalah pemimpin yang tak membuat
kerusakan apa pun. Hingga saat ini, tak ada satu pun pemimpin di
Indonesia yang lebih baik darinya. Karena itu, bahkan sejak 2007,
Wimar Witoelar berani memastikan bahwa pada Pilpres 2009 SBY
pasti terpilih kembali.
Mengungkap Kesenjangan Istana 81
Seperti terungkap dalam opini Wimar tersebut, satu-satunya
kelemahan yang dipersepsi dimiliki SBY adalah sifat peragu atau
indecisive. SBY dianggap mengalami kesulitan menentukan tindakan
dan juga dipersepsi tidak memenuhi komitmennya. Karena itu,
Wimar yang selalu kritis saat menjadi presenter talk show maupun
narasumber, membuat analisis serupa kesaksian. Menurutnya, SBY
tidak korup, tidak jahat, dan tidak kejam. Sementara para rival SBY,
kata Wimar, memiliki “sesuatu” pada masa lalu mereka.
Bukan hanya bersih dari “utang kesalahan” di masa lalu, SBY
juga mengedepankan politik yang santun. Politik yang santun inilah
yang ikut berkontribusi terhadap kemenangan pasangan SBY-
Boediono pada Pilpres 2009. Anggota Tim Kampanye Nasional SBY-
Boediono, Bisa dikatakan, kemenangan SBY-Boediono merupakan
kemenangan politik santun. Rakyat sudah semakin cerdas dan
kurang nyaman lagi terhadap politik konfrontatif dan agresif.
Ada beberapa kunci kemenangan SBY-Boediono. Rakyat makin
cerdas dalam memilih pemimpin. Rakyat mengamanahkan SBY
untuk melanjutkan program pro-rakyat seperti Bantuan Langsung
Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Beras untuk Rakyat Miskin
(Raskin), Program Keluarga Harapan, Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), maupun PNPM Mandiri.
SBY sendiri memilih politik santun—meski dia juga punya
cukup alasan dan kekuatan menerapkan politik yang lebih
konfrontatif—untuk mendorong perkembangan politik di masya-
rakat. Alasannya, seperti pernah dikatakan Dinno Patti Djalal, refor-
masi tidak otomatis mendorong perkembangan politik. “Karena itu
kita harus memasukkan nilai politik yang santun, cerdas, berkualitas,
berintegritas, dan etis,” katanya.
Bukan hanya berkontribusi terhadap kemenangan kedua bagi
SBY, politik santun yang diterapkan SBY juga berkontribusi terhadap
membaiknya kondisi politik dalam negeri. Dulu orang berbicara
tentang reformasi, tetapi kita kini harus lebih dari sekadar reformasi,
yakni transformasi. Selama lima tahun terakhir ini fundamental
82 Korban Fitnah Tak Berujung
berpolitik kalangan elite di dalam negeri sudah semakin baik.
Untuk menjaganya, figur sentral seperti SBY memang diharus-
kan bisa menempatkan diri secara tepat di antara tarik-menarik
kelompok ultranasionalis-nasionalis terbuka, antara pelaku politik
uang dan politik integritas, serta sejumlah komponen bangsa yang
lain.
Politik yang santun ini bukan sebuah kebetulan. SBY secara
sadar memilihnya karena yakin hanya dengan politik yang santun
rakyat bisa dididik dan perbaikan bisa diharapkan.
Sejak sebelum masa kampanye Pilpres 2009 SBY sudah mene-
gaskan tiga garis atau cara politik yang harus dijalankan dalam
kerangka kompetisi Pilpres, yaitu politik yang bersih, cerdas, dan
santun. Ditekankan pula cara yang konstruktif dan edukatif. Nilai-
nilai tak boleh berakhir setelah Pilpres usai.
Politik yang bersih, menyangkut bersih lahir dan batin. Politik
memang sarat strategi dan siasat, tetapi selalu ada ruang etika dalam
kompetisi. Lalu, politik yang cerdas, dimaksudkan untuk selalu
cerdas dalam berkampanye, dalam mendapatkan dukungan rakyat,
dan segala kegiatan yang akan dijalankan. Terakhir, berpolitik secara
santun, yaitu ada kepatutan dalam berbicara dalam berkampanye.
Gema tiga garis politik yang dikumandangkan SBY tidak lepas
dari keinginan dirinya ikut membangun budaya politik yang baik,
sesuai tatanan di negeri ini. Tidak mengherankan bila anggota tim
sukses dan pendukungnya diajak memahami secara betul makna
pilpres sendiri. Yaitu, yang penting, pilpres (dan keseluruhan proses
dan aktivitas politik) pada hakikatnya adalah kompetisi yang sehat,
ksatria, dan beretika. Ia bukanlah perang yang sampai menghan-
curkan, apalagi dengan menghalalkan segala cara.
Politik yang santun nan sukses ini tak luput dari amatan inter-
nasional. Terbukti, Presiden SBY dianugerahi Gold Standard Awards
kategori Komunikator Politik Terbaik dari PublicAffairsAsia.
Penghargaan yang menjadikan Presiden SBY sebagai komunikator
terbaik 2009 itu diberikan di Gedung Press Foreign Correspondence
Mengungkap Kesenjangan Istana 83
Club, Hong Kong, Kamis, 4 Februari 2010 lalu.
Gold Standard Awards adalah penghargaan tahunan yang
diselenggarakan PublicPolicyAffairs, lembaga penerbitan global,
yang menerbitkan berbagai media, analisis dan intelegensi pasar yang
berpusat di Hong Kong. Selain kategori komunikasi politik, terdapat
kategori Transparansi Lembaga yang dianugerahkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Thailand. KPK Indonesia masuk
menjadi salah satu nominator. Dan siapapun tahu, KPK merupakan
lembaga yang dilahirkan pada masa pemerintahan peremerintahan
SBY.
Menurut Mark O.Brien, Vice-President PublicAffairsAsia Asia
Pasifik, SBY dipilih panel yang beranggotakan sembilan juri. Ia
menyisihkan finalis lain seperti Perdana Menteri Thailand, Abhisit
Vejjajiva; dan aktivis Save The Children UK, Ryan Gawan. Menurut
Brien, SBY yang dinominasikan Hans Vriens of Vriens & Partners
mampu menyisihkan nominator lain, karena dinilai berhasil meng-
komunikasikan berbagai kebijakan dalam dan luar negeri secara
efektif sehingga terpilih kembali sebagai Presiden RI dan kini melan-
jutkannya pada periode kedua.
Catatan panel juga menyebutkan SBY dinilai berhasil menjaga
independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mendorong
pemberantasan korupsi pada pemerintahan yang pada saat yang
sama menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari
4 persen, memperkuat spirit ASEAN, dan mendorong lingkungan
iklim ekonomi dan politik yang kondusif di dalam negeri.
Mereka Ingin Pemakzulan
Sayangnya, politik santun yang disuarakan SBY tak selalu
mendapat sambutan sama santunnya. Gelapnya ambisi politik
membuat politik santun SBY justru berbuah petaka. Sebagian malah
menganggapnya sebagai kelemahan yang bisa dimanfaatkan. Salah
satunya terlihat secara mencolok dalam proses-proses politik
menyikapi bailout Bank Century
84 Korban Fitnah Tak Berujung
Sejumlah pihak mendesakkan pemakzulan terhadap Presiden
SBY. Menurut mereka, SBY ikut bertanggung jawab atas bailout Bank
Century yang mereka yakini merugikan negara triliunan rupiah dan
sebagian besar dana mengalir ke kampanye Partai Demokrat dan
kampanye SBY-Boediono sendiri.
Desakan ini adalah perilaku politik yang tak berdasar, bahkan
absurd. Bukan saja jalinan kasus ini belum dibuktikan di pengadilan,
namun desakan ini juga merisikokan nasib bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Memakzulkan presiden berarti harus siap dengan be-
ragam perangkat pendukung yang memastikan pemerintahan segera
berjalan kembali dan tidak terjebak pada situasi chaos.
Berapa triliun rupiah dana yang harus dikeluarkan untuk
menggelar pilpres ulang? Kerusakan dan kekacauan seperti apa yang
harus dilewati bangsa ini bila pemakzulan benar-benar dilakukan ?
Apakah mereka berpikir bahwa para pendukung Partai Demokrat
dan pasangan SBY-Boediono akan diam melihat presiden yang
mereka menangkan secara demokratis ditumbangkan beberapa
gelintir orang menggunakan celah-celah politik di parlemen?
Sungguh tidak elok melakukan “kudeta legal” seperti itu. Apalagi,
SBY adalah satu-satunya Presiden RI yang terpilih secara langsung.
Dia juga satu-satunya Presiden RI yang terpilih kembali secara
langsung dengan mandat yang lebih besar dari sebelumnya.
Seperti diketahui, dalam Pilpres 2004, Capres SBY yang
berpasangan dengan Cawapres Muhammad Jusuf Kalla menjadi
pemenang. Pada putaran pertama, pasangan ini ada pada posisi
tertinggi dengan 39.838.184 suara atau 33,57%. Pasangan nomor urut
4 yang diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia ini mengungguli pasangan Hj.
Megawati Soekarnoputri-KH. Hasyim Muzadi yang dicalonkan PDIP
dengan raihan suara 31.569.104 (26,61%). Tiga pasangan lain gagal
maju ke putaran kedua, yakni H. Wiranto, SH-Ir. H. Salahuddin
Wahid (Partai Golkar) yang meraih 26.286.788 suara atau 22,15%,
pasangan Prof. Dr. HM. Amien Rais-Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
Mengungkap Kesenjangan Istana 85
(PAN) yang meraih 17.392.931 suara atau 14,66%, dan pasangan Dr.
H. Hamzah Haz- H. Agum Gumelar, M.Sc (PPP) yang meraih
3.569.861 suara atau 3,01%. Pada putaran kedua Pilpress—karena
tak satu pun pasangan yang memeroleh suara lebih dari 50%—
kembali pasangan SBY-Jusuf Kalla unggul dengan raihan 69.266.350
suara atau 60,62%.
Raihan suara SBY makin tinggi dalam Pilpres 2009. Bila pada
Pilpres 2004 SBY harus melalui putaran kedua, dalam Pilpres 2009
SBY-Boediono menang langsung dalam 1 putaran.
SBY-Boediono yang diusung Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP,
PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai
RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI,
PIS, PIB, dan PPDI menang dengan 73.874.562 suara atau 60,80%.
Pasangan ini unggul jauh dibanding Megawati-Prabowo yang
meraih 32.548.105 suara (26,79%) maupun Jusuf Kalla-Wiranto yang
ada di urutan terakhir dengan 15.081.814 suara (12,41%).
Apakah pasangan presiden dan wakil presiden dengan mandat
dan kepercayaan masyarakat yang begitu besar akan dihentikan di
tengah jalan melalui satu kasus yang belum terbuka secara terang
benderang? Padahal, SBY sendiri yang memerintahkan agar kasus
Bank Century dibuka seterang-terangnya. Saat bertemu pimpinan
media massa di Istana Negara, Minggu, 22 November 2009, SBY
dengan tegas memerintahkan kasus Bank Century dibuka seterang-
terangnya.
Bahkan SBY menilai, bahwa menerima, meminta, atau berharap
memperoleh dana dari sumber-sumber yang tidak semestinya
merupakan perbuatan tercela.
“…Saya ingin semuanya dibikin terang, seterang-terangnya. Makin
terang makin diketahui duduk persoalannya,” katanya menyangkut
pengungkapan kasus Century. Lebih lanjut ia menyebut, “Apakah
ada yang tidak benar pada bank itu? Saya ingin tahu kemana larinya
aliran dana talangan ke bank tersebut. Buka semuanya dan apa
adanya, apakah proper atau tidak…”
86 Korban Fitnah Tak Berujung
SBY yang banyak disebut man of integrity adalah pihak pertama
yang membuka pintu bagi keberadaan Pansus Hak Angket Bank
Century di DPR.
“…Saya tidak ingin tidak ada halangan psikologis antara rakyat
dengan kepala negaranya. Buka semuanya, seterang-terangnya. Bila
DPR menggunakan hak angket dan menganggapnya sebagai jalan
yang terbaik, maka itu perlu digunakan,” tegas SBY.
Bila ikut bermain dalam kasus ini atau menerima aliran dananya,
bagaimana mungkin SBY memerintahkan kasus ini dibuka secara
gamblang dan perintah itu diketahui seluruh khalayak, bahkan
publik internasional karena beritanya muncul di seluruh media
(termasuk online)?
Pandangan akhir fraksi di Pansus yang disampaikan Rabu, 17
Februari 2010 menunjukkan tak ada aliran dana ke presiden maupun
tim suksesnya. Lima fraksi, yakni Fraksi PDIP, Gerindra, Partai
Golkar, PKS, dan PPP memang menyebut Bank Indonesia, Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), manajemen Bank Century, serta
manajemen baru Bank Mutiara dinilai ikut bertanggung jawab atas
kasus ini. Namun, tak satu pun fraksi yang menyebut aliran dana
itu sampai ke SBY atau tim suksesnya dulu saat Pilpres.
Militer Demokrat dan Reformis
Dorongan SBY agar DPR tak ragu-ragu menggunakan haknya
sebagai parlemen—termasuk hak angket—menunjukkan jiwa
demokrat SBY. Penghormatannya terhadap sistem demokrasi
sebelumnya banyak diragukan sejumlah elemen masyarakat. Latar
belakang kemiliterannya membuat purnawirawan jenderal bintang
empat ini selalu dicurigai anti demokrasi dan punya tendensi
memerintah dengan tangan besi.
Sebagian elemen masyarakat yang lain memang tidak menuduh
SBY bertangan besi. Namun, mereka punya tuduhan yang tak kalah
menggelikan. Menurut kelompok ini, SBY tak lebih dari sekadar
“jenderal di belakang meja”. Ini hinaan yang dihembuskan untuk
Mengungkap Kesenjangan Istana 87
menciptakan kesan SBY petinggi militer yang tidak pernah
menyabung nyawa di medan laga dan karena itu tak terbiasa meng-
ambil kebijakan cepat dan tepat. Padahal, kemampuan mengambil
keputusan secara cepat dan tepat adalah salah satu kualitas yang
diakui dimiliki kebanyakan personel militer.
Bagaimana mungkin satu orang memiliki dua sifat yang saling
bertentangan? Kedua tuduhan itu juga akan langsung pupus kalau
saja kita membaca biografi SBY secara menyeluruh.
Mereka yang menuduh SBY sekadar “jenderal di belakang meja”
sangat mungkin tidak mengetahui ayah dua putra ini kenyang de-
ngan pendidikan tempur dan penugasan di gugus tempur.
Setelah menjadi lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima
penghargaan lencana Adhi Makayasa, SBY melanjutkan pendidikan
kemiliterannya di Airborne and Ranger Course di Fort Benning,
Georgia, AS (1976) lalu ke Infantry Officer Advanced Course di
tempat yang sama (1982-1983). Setelah itu, lelaki kelahiran Pacitan,
Jatim ini mengikuti Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti
Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), serta Kursus
Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-
1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth,
Kansas, AS (1990-1991).
Bila diperhatikan teliti, SBY mendapatkan pendidikan dari
ranah pertahanan udara, perang di hutan belantara, hingga anti
tank. Tak hanya kemampuan teknis, kelihaian strateginya pun diasah
mulai sekolah komando Angkatan Darat di dalam negeri hingga
pendidikan khusus pejabat tinggi dan komando militer di AS (lihat
boks).
SBY sendiri juga pernah memimpin Peleton II Kompi A Batalyon
Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-
1977, termasuk dalam misi di Timor Timur.
Bila catatan ini dianggap belum cukup menunjukkan SBY
sebagai “jenderal lapangan,” agaknya para penuduh itu harus
kembali membaca sejarah. Adakah pertempuran selain di Timor
88 Korban Fitnah Tak Berujung
Timur yang melibatkan tentara Indonesia secara langsung selepas
Agresi Militer Belanda II?
Selain itu, adalah SBY pula yang memimpin yang dipercaya
bertugas sebagai pemimpin pasukan keamanan PBB di Bosnia
Herzegovina (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer
PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang
bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia
berdasarkan kesepakatan Dayton, AS, antara Serbia, Kroasia dan
Bosnia Herzegovina.
Mereka yang mengidentikkan SBY dengan pemerintahan
tangan besi hanya karena ia militer, juga patut menyimak perjalanan
hidup SBY. SBY adalah satu dari sangat sedikit jenderal yang
menaruh perhatian besar terhadap bidang ilmu di luar kemiliteran.
Gelar master di bidang manajemen didapatnya dari Webster
University, AS, sementara gelar doktor manajemen pertanian
diraihnya dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Keduanya adalah
perguruan tinggi dengan reputasi sangat baik, bukan universitas
papan nama atau dengan status “samar-samar terdengar” yang
biasanya disinggahi banyak birokrat haus gelar namun tak memen-
tingkan ilmu.
Dengan latar belakang keilmuan non militer yang demikian
baik, tentu memperkecil peluang SBY untuk sepenuhnya
dipengaruhi oleh naluri kemiliterannya. Lagipula, siapa yang
memastikan bahwa setiap personel militer pasti akan bertangan besi?
Bukankah tidak ada jaminan bahwa orang sipil—yang tidak memiliki
latar belakang militer—akan selalu demokratis.
Tuduhan SBY sebagai “jenderal di belakang meja” atau
sebaliknya, cenderung militeristik seharusnya sudah sejak lama
dikoreksi. SBY adalah satu-satunya menteri yang secara gentle
memilih pensiun dini dari kemiliteran agar bisa sepenuhnya
berkonsentrasi terhadap tugas yang dipercayakan padanya. Tugas-
nya saat itu adalah sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada
pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama
Mengungkap Kesenjangan Istana 89
kemudian, SBY dipercaya menjadi Menko Polsoskam.
Lalu pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri
memercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet
Gotong-Royong. Namun pada 11 Maret 2004, lelaki kelahiran 9
September 1949 ini memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko
Polkam karena merasa tidak dilibatkan dalam sejumlah keputusan
pemerintah yang sebenarnya ada pada ranah tugas dan tanggung
jawabnya. Tak ingin sekadar menjadi pajangan, SBY pun
mengundurkan diri dan lebih leluasa menjalankan hak politiknya,
termasuk membidani lahirnya Partai Demokrat, partai dengan raihan
suara terbanyak saat ini.
Dengan paduan kemampuan militer, manajemen, dan akademis
seperti itu, tak heran bila SBY disebut sebagai salah satu pemimpin
terbaik dunia. PM Australia John Howard bahkan menilainya
sebagai the best president ever in the history of Indonesia.
Profil SBY yang tenang, sangat penting dalam mengangkat
peran Indonesia di dunia internasional. Bagaimana pun, pemimpin
yang tenang, santun, tidak meledak-ledak dan lebih mengutamakan
stabilitas daripada prestasi gemebyar jangka pendek, lebih disukai
investor internasional.
Profil SBY yang tenang itu sangat membantu positioning
Indonesia di dunia internasional yang makin tinggi dan kuat. Salah
satunya ditandai dengan masuknya Indonesia ke dalam Kelompok
20 atau kita lebih mengenalnya dengan istilah G20. Ini adalah
kelompok negara-negara industri maju dan sejumlah negara yang
dipersepsi sebagai middle power.
Middle power memang konsep yang belum final, namun
biasanya merujuk pada negara-negara dengan perilaku politik luar
negeri tertentu. Misalnya, lebih suka bertindak dalam kerangka
proses dan institusi multilateral, memiliki komitmen mempromosi-
kan norma-norma legal internasional dan penggunaan tindakan
diplomatik, militer, dan ekonomi secara proaktif untuk mencapai
hasil politik yang diinginkan.
90 Korban Fitnah Tak Berujung
Konsep middle power bukan hanya merujuk pada semacam
pemeringkatan atas kapabilitas (ekonomi, militer, diplomatik) suatu
negara, namun juga pada kemauannya terlibat pada isu-isu krusial
dunia dan kemampuannya bermain di dalamnya. Kemauan terlibat
dalam isu-isu krusial dunia ini adalah titik kesamaan antara negara-
negara yang dipersepsi sebagai negara maju atau negara kuat
dengan negara-negara middle power.
Karena itu G20, meski memiliki fokus pada kerja sama inter-
nasional di sektor ekonomi, namun juga punya peran signifikan
dalam menentukan agenda-agenda kerja sama pada sektor lain, mulai
penjagaan keamanan, HAM, hingga lingkungan. Dengan peran
semacam ini, G20 selalu menjadi referensi pelaku ekonomi di seluruh
dunia.
Anggota G20 yang merupakan gabungan negara industri maju
dan kaya dengan negara middle power yang secara ekonomi masih
dalam tahap pembangunan, dinilai stake holder dunia lebih repre-
sentatif dan lebih mewakili aspirasi hingga peluang riil dunia.
Dibanding, misalnya, organisasi yang keanggotaannya lebih
homogeny atau eksklusif seperti OECD.
G20 sendiri terdiri dari G7 (Amerika Serikat, Jepang, Inggris,
Prancis, Jerman, Italia, dan Kanada) ditambah kelompok negara yang
disebut Pricewaterhouse Coopers beberapa tahun lalu sebagai
Emerging 7 (E-7), yakni Brasil, India, China, Indonesia, Meksiko,
Turki dan Rusia. Anggota tambahannya diambilkan dari negara-
negara yang dianggap paling maju dan stabil di kawasan, yakni
Australia (Oseania), Korea Selatan (Asia), Arab Saudi (Timur
Tengah), Afrika Selatan (Afrika), dan Argentina (Amerika Latin),
dan Uni Eropa. Yang disebut terakhir adalah satu-satunya anggota
G20 non-negara, melainkan sebuah organisasi multilateral regional.
SBY sendiri terbukti memainkan peran penting dalam KTT G20.
Dia, misalnya, mengusulkan agar G20 menjadi organisasi permanen
dan menjadi rujukan utama menggantikan kelompok yang lebih
eksklusif (G8). Hasilnya, meski belum menjadi organisasi permanen,
Mengungkap Kesenjangan Istana 91
namun KTT dua hari G20 di Pittsburgh, AS, tahun lalu menyetujui
bahwa G20 menggantikan G8. G20 sendiri merangkum 90 persen
perekonomian global.
Pembatasan kompensasi bagi eksekutif lembaga keuangan
termasuk yang disuarakan SBY. Ternyata, usulan ini juga diterima.
Secara resmi G20 menyetujui bahwa kompensasi “berlebihan” bagi
para eksekutif di sektor perbankan harus diakhiri karena mendorong
risiko. G20 menentang jaminan bonus multitahun, mendesak
transparansi yang lebih besar dan menyerukan Dewan Stabilitas
Keuangan G20 untuk mengusulkan langkah-langkah baru pada
Maret 2010.
Penampilan SBY dalam KTT ini juga dipuji, misalnya, oleh
Zulkifliemansyah, Ph.D, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat. “Saya
bertemu para akademisi dan kolega yang memantau lawatan SBY
ke AS,” ujar Zulkifliemansyah. “Persiapan yang serius dan matang,
membuat Presiden SBY tampil lebih kapabel dan kredibel di hadapan
para pemimpin dunia. Media dan publik AS menyambut baik
kehadiran SBY dan gagasannya dalam pertemuan G-20,” lanjutnya.
(http://www.demokrat.or.id)
Meski terus memantapkan posisi di ranah diplomatik global,
Presiden SBY tidak pernah melupakan lingkungan terdekatnya:
ASEAN. Presiden SBY sadar benar bahwa lingkungan para tetangga
ini adalah ring 1 dalam diplomasi Indonesia. ASEAN adalah sumber
peluang terbesar sekaligus ancaman paling dekat bagi Indonesia,
karena itu harus disikapi dengan cerdas.
Selalu ada gagasan brilian yang ia tawarkan. Sebut saja
seruannya agar ASEAN menjadi lumbung pangan global.
“Marilah kita bersama-sama para pimpinan membikin ASEAN
menjadi lumbung pangan internasional, utamanya lumbung beras
dunia,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Peringatan
Hari Ulang Tahun ke-42 Perum Bulog di Jakarta, 8 Mei 2009.
Presiden SBY juga menjadi inisiator langkah-langkah bantuan
bagi krisis kemanusiaan seperti yang menimpa manusia perahu etnis
92 Korban Fitnah Tak Berujung
rophingya, Myanmar. Presiden SBY menegaskan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Aceh tetap akan mengupayakan penyelesaian kasus
terdamparnya manusia perahu di Sabang dan Kuala Idi. Langkah-
langkah penanganan yang dimaksud adalah upaya investigasi untuk
mengetahui identitas dan asal mereka.
Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva juga mengaku siap
mendiskusikan dan menerima usulan Indonesia untuk menyelesai-
kan masalah ini melalui mekanisme Bali Process. “Thailand berusaha
menanganinya dengan berbagai level, kita butuh dukungan karena
banyak negara yang terlibat,” kata Abhisit.
Korban PenzalimanDengan profil yang menjanjikan seperti itu, seharusnya tak
tersedia celah menghujat SBY. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
SBY terus menerus menjadi bulan-bulanan fitnah dan hujatan. Salah
satunya bahkan menukik pada isu yang sangat pribadi, jauh dari
perdebatan isu-isu nasional atau kepentingan masyarakat.
Adalah Zaenal Maarif yang menyebut SBY sudah menikah dan
punya anak sejak sebelum masuk Akabri. Padahal, sebagaimana
diketahui, Akabri mensyaratkan para taruna belum menikah saat
pertama kali masuk pendidikan. Meski menganggap berita yang
disiarkan Zaenal adalah fitnah yang sangat mengganggu diri dan
keluarganya, akhirnya SBY tetap memaafkan Zaenal.
Dengan pemberian maaf itu, vonis terhadap mantan politisi
Partai Bintang Reformasi itu menjadi ringan. Zaenal yang juga
mantan Wakil Ketua DPR RI itu dijatuhi hukuman delapan bulan
penjara dengan masa percobaan satu tahun dan diharuskan
membayar biaya perkara Rp 5.000,00. Zaenal sendiri tetap divonis
karena penerimaan maaf Zaenal Maarif oleh SBY tidak dapat
menghapuskan kesalahannya, apalagi SBY tidak pernah mencabut
pengaduannya dan mengharapkan proses hukum terus berjalan.
Di sini SBY memberi dua pelajaran sekaligus kepada masyarakat
Indonesia. Pertama, dia tidak mencabut pengaduannya. Hal ini
bukan semata-mata supaya pengadilan secara resmi membersihkan
Mengungkap Kesenjangan Istana 93
nama dia dan keluarganya, namun untuk menunjukkan kepada
khalayak agar bersikap hati-hati. Segala perkataan dan perbuatan
mengandung konsekuensi. Diharapkan masyarakat tidak secara
serampangan memunculkan rumor atau fitnah karena bisa dituntut
di meja hijau.
Kedua, SBY menunjukkan kebesaran hatinya dengan meneri-
ma permohonan maaf Zaenal. Penerimaan ini diyakini berkontribusi
terhadap vonis Zaenal yang tergolong ringan. Vonis terhadap Zaenal
diyakini lebih berat andai SBY tidak secara terbuka menerima
permohonan maafnya. Vonis itu merupakan penegasan bahwa
fitnah adalah fitnah dan yang menyebarkannya bisa dihukum. Itu
juga merupakan pesan jangan sampai ada lagi fitnah dalam politik
Indonesia.
Zaenal sendiri diduga menyebarkan berita bohong itu karena
sakit hati, karena SBY menandatangani permintaan PBR untuk me-
recall Zaenal. Zaenal menyebut penggusuran dirinya dari
keanggotaan DPR dan dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR seba-
gai pemaksaan. Alasannya, konflik internal PBR yang bermula dari
Muktamar PBR di Bali masih dalam sengketa hukum di tingkat kasasi
Mahkamah Agung (MA).
Karena itu, pihaknya mengharapkan Presiden tidak menanda-
tangani Keppres pergantian dirinya walaupun Ketua DPR Agung
Laksono telah melayangkan surat recall itu ke KPU dan KPU pun
telah meneruskannya ke Presiden.
Setelah Zaenal Maarif, SBY dan keluarganya kembali menjadi
korban tuduhan. Kali ini oleh LSM yang menamakan diri Benteng
Demokrasi Rakyat (Bendera). Bendera melalui dua aktivisnya,
Mustar Bonaventura dan Ferdi Semaun menyebut bahwa dana
bailout Bank Century mengalir ke mana-mana. Selain kepada putra
Presiden SBY, Edhie Baskoro, dana itu juga diklaim Bendera mengalir
ke sejumlah politisi yang juga tim sukses SBY-Boediono seperti
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa, Menko
Polhukam Djoko Suyanto, Menteri Negara (Meneg) Pora Andi
94 Korban Fitnah Tak Berujung
Mallarangeng, tim public relations SBY-Boediono, Choel
Mallarangeng dan Rizal Mallarangeng, serta pengusaha yang juga
fungsionaris Partai Demokrat, Hartati Moerdaya.
Senin, 30 November 2009 lalu LSM Bendera merilis aliran dana
Bank Century yang masuk ke kalangan istana maupun lembaga lain.
Data yang dirilis Bendera terkait aliran dana itu meliputi; KPU
menerima dana Rp 200 miliar, LSI Rp 50 miliar, Fox Rp 200 miliar,
Partai Demokrat Rp 700 miliar, Edi Baskoro Yudhoyono Rp 500
miliar, Hatta Radjasa Rp 10 miliar, Mantan Panglima TNI, Djoko
Suyanto Rp 10 miliar. Lalu, kepada mantan Jubir Presiden Andi
Malarangeng Rp 10 miliar, Rizal Malarangeng Rp 10 miliar, Choel
Malarangeng Rp 10 miliar, serta aliran dana kepada pengusaha
Hartati Murdaya Rp 100 miliar.
Bendera sendiri tak hanya muncul di tengah ramai-ramainya
pengusutan skandal Bank Century. Lembaga ini sempat muncul saat
Pemilu Presiden lalu dengan mengklaim sebagai pendukung
Megawati-Prabowo. Kantornya pun menempati kantor lama DPP
PDIP, lokasi tragedi Kudatuli. Bendera makin kelihatan tidak fokus
karena juga menyoroti aksi klaim kebudayaan Indonesia oleh
Malaysia. Saat itu Bendera bahkan mengusulkan dilakukannya invasi.
Sebenarnya, tidak sulit mengukur siapa Presiden SBY dan
bagaimana kualitas para pengritik atau bahkan pengganggunya.
Sayangnya, kita masih terjebak pada stereotip sifat masyarakat
Indonesia: jelek dicaci, bagus tak dipuji.
Kita memiliki banyak wisdom, namun jarang menerapkannya
secara sungguh sungguh. Sebut saja pepatah “tak ada gading yang
tak retak.” Sejak SD kita paham pepatah yang berarti bahwa tak
ada seseorang dan satu hal pun di dunia ini yang sempurna. Pepatah
itu sebenarnya mengajarkan kita sikap menghargai, berempati, dan
kemampuan mengerem tuntutan atas kesempurnaan. Namun ketika
berbicara tentang pemerintahan dan pemimpin, kita selalu bersikap
nyaris tak mau tahu. Kita cenderung meminta pemerintah dan
pemimpin menjadi orang dan lembaga super yang bekerja tanpa
Mengungkap Kesenjangan Istana 95
cela tanpa memperhitungkan faktor-faktor lain yang turut mem-
pengaruhi performa mereka. Kita sering menjadi sangat penuntut
dan menganggap salah siapa pun yang tak sependapat dengan kita.
Kita mengakui Universitas Harvard sebagai universitas terbaik
di dunia. Namun ketika mahasiswa universitas itu memuji Presiden
SBY, kita tiba-tiba saja seperti meragukan reputasi mereka.
Kita bangga bila berlangganan—atau bahkan sekadar
membaca—Majalah Time karena menganggap majalah itu objektif,
cerdas, dan berkelas. Namun saat majalah itu menganggap Presiden
SBY sebagai salah satu tokoh berpengaruh, kita tiba-tiba saja seperti
meragukan kredibilitas majalah itu.
Kita juga demikian sering memuji Barack Obama sebagai tokoh
muda yang sukses mendobrak tabu terbesar politik Amerika Serikat,
tokoh kulit hitam pertama yang memimpin Gedung Putih. Namun
ketika Obama memuji SBY, kita masih berteriak setengah tak percaya:
benarkah?
Selama kita belum berubah dari sifat ini, maka Presiden SBY,
atau siapa pun di era setelahnya, takkan mencicipi sedikit saja apre-
siasi dari anak negeri ini.
Mengungkap Kesenjangan Istana 97
66666Setelah Tenda Bulan
Madu DitutupThank you for calling me. Thanks for congratulating me.
Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru pulang
dari Bandung usai menyaksikan serah terima 40 panser buatan
PT Pindad kepada pemerintah.
Ucapan selamat atas kemenangan SBY pada Pilpres 8 Juli 2009
itu berasal dari kolega sesama presiden di manca negara. Dia, seperti
ditulis Majalah Tempo (13-19 Juli 2009) adalah Presiden Palestina
Mahmud Abbas. Tak terlalu istimewa barangkali. Sesama kolega lama
Abbas merasa perlu memberi ucapan selamat itu. Indonesia, salah
satu negeri tempat Palestina mendapatkan dukungan internasional
yang tanpa kenal lelah buat berjuang melawan pendudukan Israel.
Sumringah (senyun nan cerah), lumrah, bagi siapa pun yang
berhasil (menang) dalam ketatnya kompetisi politik. Tak terkecuali,
barangkali, bagi seorang SBY. Negeri dengan 200 juta jiwa lebih,
telah jadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India
dan Amerika Serikat. Maka, kemenangan dalam pilpres langsung
bukan hal yang perlu dicemburui, tetapi perlu disyukuri. Ucapan
terima kasih selain bernuasa rendah hati juga ungkapan silaturrahim.
98 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
Bagian dari rahmat yang perlu diapresiasi dengan ketulusan dan
rasa syukur.
Pun normal alias wajar pula jika senyum nan cerah itu tak bisa
ditahan tim pemenangan SBY. Ketika angka-angka perolehan suara
terus meningkat dari hitungan lembaga survei—angka-angka itu
menjadi informasi yang hampir memastikan kemenangan SBY—
meskipun belum ada hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan
Umum (KPU) mereka patut bersuka cita. Tim pemenangan
pasangan SBY-Boediono banyak menerima jabat tangan dan ucapan
selamat atas kemenangan dari hasil “keringat panas-dinginnya.”
Kolega yang lain yang memberi ucapan selamat kepada SBY
adalah pemimpin negara sahabat. Tetangga dekat yang
seperjuangan. Ucapan-ucapan selamat dikirim oleh Perdana Menteri
(PM) Australia Kevin Rudd dan Presiden Korea Selatan Lee Myung-
Back. Sesama anggota ASEAN, juga memberi salam kemenangan
serupa. Mereka, PM Malaysia (saat itu) Najib Tun Abdul Razak, PM
Singapura Lee Hsin Loong, Presiden Filipina Ny Gloria Arroyo
Maccapagal.
Selamat juga datang dari Obama. Ia pernah tinggal empat tahun
di Menteng, Jakarta, pada saat-saat akhir 1960-an, mungkin pula
punya kenangan khusus bagi Presiden AS Barack Obama. Obama
memberi ucapan selamat yang terasa cukup istimewa. Secara khusus
dari kantornya di Gedung Putih, Washington DC, Obama memuji
pelaksanaan pilpres Indonesia. Obama secara pribadi juga memuji
kemenangan SBY seperti yang diucapkannya pada hari Selasa (14/
7) atau Rabu (15/7) waktu Indonesia:
“...Rakyat Indonesia telah mengadakan pemilu bebas dan adil pada 8
Juli 2009, dan Presiden Yudhoyono dengan mengesankan memenangi
pemilu. Saya menyampaikan selamat secara pribadi kepada Presiden
Yudhoyono dan memastikan keinginan Amerika bekerja sama
dengannya dan rakyat Indonesia di tahun-tahun mendatang untuk
membangun hubungan lebih kuat di antara keduanya negara.
Tingginya pemilih yang menggunakan hak suaranya, kampanye
yang bersemangat oleh semua kandidat, dan tingginya minat media
Mengungkap Kesenjangan Istana 99
Indonesia serta organisasi sipil menunjukkan demokrasi di Indonesia
begitu kuat...” (Berita Pemilu Indonesia, 15 Juli 2009).
Respek pun muncul dalam sejumlah tayangan jaringan televisi
internasional dan pers mancanegara. Jaringan televisi CNN
(Amerika) dan BBC (London) menayangkan liputannya bahwa
demokrasi di Indonesia patut jadi teladan bagi dunia internasional.
Tayangan tentang penyelenggaraan Pemilu 2009 di Indonesia yang
dipuji amat demokratis dan damai itu dikemas dalam tema
Remarkable Indonesia. Media internasional lain, The Magazine, menulis
“Indonesia is a political success story.”
Senyum Para Kolega
Sultan Brunei Hassanal Bolkiah turun dari Mercy hitam
mengkilap. Ia sedikit membungkukkan badan ketika protokol
menyambutnya di pelataran Istana. Dengan tetap menyungging
senyum khasnya, dengan ekspresi wajah serius, Bolkiah masuk ke
ruangan Istana menunggu giliran menjabat tangan SBY-Boedino.
Untuk memberi ucapan selamat pada pasangan presiden-wapres
yang beberap saat sebelumnya, pada tanggal 20 Oktober 2009, baru
dilantik MPR.
Ada pula Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, Perdana
Menteri (PM) Australia Kevin Rudd, PM Singapura Lee Hsien
Loong, dan PM Malaysia Najib Razak. Mereka turut mengumbar
senyum, sambil menjabat tangan SBY di ruangan Istana yang ditata
mirip suasana pesta kemenangan.
Filipina dan Thailand tak diwakili orang nomor satu di
pemerintahannya. Tapi, mengutus menteri luar negeri masing-
masing. Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru,Amerika Serikat (AS),
dan Republik Ceko diwakili oleh utusan khusus di acara pemberian
ucapan selamat dari para kolega manca negara itu.
Presiden AS Barack Obama yang tidak bisa datang sendiri
mengirimkan delegasinya untuk menghadiri pelatikan SBY-Boediono
ke gedung MPR. Yang diutus Obama ialah Administrator Badan
100 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
Perlindungan Lingkungan Lisa P Jackson. Jackson bertindak sebagai
ketua delegasi utusan khusus dari Presiden Obama untuk
menghadiri pelantikan SBY-Boediono. (Harian Seputar Indonesia, 21
Oktober 2009).
Di dalam negeri, kemenangan SBY-Boediono ibarat bulan madu
pasangan yang baru nikah. Gairah pujian juga dilontarkan para
pendukung SBY. Suka cita tentu saja diperlihatkan parpol anggota
koalisi pendukung SBY-Boediono. Mereka patut bersuka cita karena
telah turut bekerja gigih untuk memenangkan pasangan asal Pacitan-
Blitar ini.
Tidak ada arak-arakan khusus memang. Tidak ada pesta ke-
menangan seperti klub sepakbola yang meraih juara. Tak ada
kembang api meletup-letupkan bunga warni-warni, serpihan bola-
bola api di langit malam.
Namun, wajarlah rasanya ketika KPU mengetokkan palu pada
tanggal 18 Agustus 2009 yang menetapkan SBY-Boediono sebagai
presiden dan wakil presiden RI 2009-2014 terpilih—melalui SK No.
373/Kpts/KPU/2009—suasa suka cita terpencar. Dari semua elemen
pendukung dan rakyat yang bersimpati pada SBY-Boediono.
Toh, agaknya ada yang patut diberi acungan jempol. Boleh
jadi ini cermin kearifan bangsa Indonesia yang melampaui retorika
sebagian elite politik. Bahwa suka cita itu kemenangan itu dengan
sportif diperlihatkan para pemilih yang saat penconterengan menga-
ku memilih pasangan lain di luar capres-cawapres. Tak memilih SBY-
Boediono
Itu diperlihatkan konstituen PDI Perjuangan yang pada hari H
pilpres tanggal 8 Juli 2009 sangat mungkin memberikan suaranya
kepada pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.
Menurut hasil survei Reform Institute sebanyak 88,61 responden-
nya menerima sepenuh hati kemenangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono dalam Pemilihan Presiden 2009. Bahkan yang
menarik dari hasil survei ini ialah mayoritas pemilih PDI Perjuangan
juga dapat menerima kemenangan SBY-Boediono.
Mengungkap Kesenjangan Istana 101
Hanya 9,84 persen dari 2.520 responden yang menyatakan
menerima dengan terpaksa dan 0,91 persen mengaku menolaknya.
Survei Reform Institute dilakukan tangga 7-15 September 2009
terhadap responden yang tersebar di 68 desa dan 58 kelurahan di 33
provinsi.
Berdasarkan pilihan partai, pendukung Partai Demokrat adalah
yang terbesar menerima kemenangan SBY-Boediono. Sebanyak 97,49
Persen pemilih Demokrat menerima dengan sepenuh hati
kemenangan SBY, 1,76 persen menerima dengan terpaksa dan 0,25
persen menolak.
Penolakan terbanyak muncul dari pemilih PDIP dan Partai Hati
Nurani Rakyat, meski angkanya kecil. Hanya 2,22 persen pemilih
PDIP dan 2,13 persen pemilih Hanura menolak kemenangan SBY-
Boediono. Sementara 70,25 persen pendukung PDIP menerima
dengan sepenuh hati dan 26,9 persen menerima dengan terpaksa.
Sementara 78,72 persen pendukung Hanura menerima dengan
sepenuh hati dan 19,15 persen menerima dengan terpaksa.
Penjelasan ringkas dari hasil survei Reform Institute ini ialah
sebagian besar responden menerima dengan sepenuh hati
kemenangan SBY-Boediono. (Viva news, Jum’at, 16 Oktober 2009)
***
Ketika perolehan suaranya tak sesuai perkiraan dalam
pemilihan umum (pemilu) legislatif tanggal 9 April 2009, Golkar
melakukan langkah-langkah politik lebih lanjut terkait dengan
pancalonan capres-cawapres. Indikasinya sebagian pimpinan Golkar
ingin mempertahankan duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) –
M. Jusuf Kalla (JK). Hanya saja, keinginan itu tak kesampaian. Duet
SBY-JK yang sempat dianggap sebagai duet paling serasi dalam
sejarah presiden-wakil presiden RI itu ternyata memilih berpisah
secara baik-baik.
Maka timbul intermezo. Jika pada pilpres 2004 pasangan SBY-
JK membuat tema kebersamaan dalam kampanye menjadi bersama
102 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
kita bisa ketika pada pilpres 2009 pasangan ini memilih jalan sendiri-
sendiri. Ada yang melontar sindiran pada perpisahan itu dengan
kalimat berpisah kita bisa.
Setelah berpisah dengan JK, SBY sebagai calon presiden (capres)
yang diusung Partai Demokrat—partai peraih suara terbanyak pada
pemilu legislatif 2009—didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dalam jalinan koalisi besar—justru memilih Gubernur Bank
Indonesia (BI) saat itu, Boediono, sebagai calon presiden (cawapres).
Selain parpol yang memperoleh kursi di DPR, koalisi yang
mendukung SBY-Boediono adalah parpol non-parlemen. Yakni,
parpol yang gagal memperoleh kursi atau gagal meloloskan kadernya
di DPR-MPR melalui Pemilu 2009. Parpol-parpol non-parlemen itu,
antara lain, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai
RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI,
PIS, Partai PIB, dan Partai PDI. Total perolehan suara seluruh parpol
koalisi pendukung SWBY-Boediono adalah 59,70% dari suara sah
hasil pemilu 2009.
Sebelum pemilu, Golkar sebagai “juara bertahan” Pemilu 2004
amat confidence (percaya diri) bakal dapat mempertahankan
kemenangannya. Golkar menghembuskan optimismenya bahwa
bakal kembali memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 2009.
“Golkar partai besar, tidak mungkin hanya jadi cawapres. Harus
mengajukan capres sendiri,’’ tegas banyak pimpinan Golkar pada
sejumlah media pekabaran kala itu.
SBY-JK memang benar-benar berpisah. Toh Golkar tetap
percaya diri. Yakin,—ini juga wajar karena Golkar partai besar yang
amat berpengalaman di pentas pemilu Indonesia—bahwa pasangan
capres-cawapres yang dijagokan, JK-Wiranto, bakal bisa memenang-
kan pemilihan pilpres. Menurut tim kampanye capres Golkar—yang
yang membuat mereka optimistis menang—, Boediono tidak me-
miliki parpol dan basis politik. Boediono juga tidak memiliki basis
pendukung yang kuat di tingkat massa. “Karena SBY berpindah duet
Mengungkap Kesenjangan Istana 103
ke Boediono, peluang JK memenangkan pilres menjadi terbuka lebar,”
tegas pimpinan Gokar saat itu.
Ternyata duet baru SBY-Boediono menang telak. Dalam pilpres
tanggal 8 Juli 2009, duet SBY-Boediono meraih perolehan suara
terbanyak yakni 73.874.562 (60,80%) dari 121.504.481 suara pemilih
pilpres yang sah. Perolehan suara JK-Wiranto. Capres-cawapres
yang diusung Gokar sebesar 15.081.814 suara (12,41%). Sedangkan
pasangan capres-cawapres PDIP Perjuangan-Gerindra, Megawati
Soekarnoputri-Prabowo Subianto, meraih 32.548.105 suara (26,79%).
Boediono memang tidak punya basis dukungan politik
tradisional yang kuat. Sebab, guru besar Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Muda (UGM) Jogjakarta itu seorang ilmuwan.
Dia bukan politikus. Pekerjaan dia bukan untuk menggalang atau
memobilisasi dukungan politik sebagaimana biasa dilakukan elite
atau kader parpol.
Namun, Boediono adalah seorang pekerja profesional yang low
profile, rendah diri, jujur, dan santun dengan pembawaan yang
kalem. Sebagai teknokrat ia lebih banyak bekerja daripada berpidato
untuk menggalang massa.
Duet SBY-Boediono lebih pas dan lebih serasi dibanding duet
SBY-JK karena pembawaan keduanya relatif mirip. Sama-sama sabar,
santun, hati-hati, cermat, tidak gegabah, dan pekerja keras. Dengan
begitu duet keduanya akan lebih serasi dan harmonis dibanding
dengan duet SBY-JK.
Dengan demikian, duet baru presiden-wapres ini lima tahun
ke depan (2009-2014) diharapkan dapat menjalankan program-
program pemerintah secara lebih efektif, lebih fokus, lebih
konsentrasi pada tugas dan pekerjaan besar yang diamanahkan
bangsa Indonesia. Lebih cepat memenuhi janji-janji kampanyenya.
Lebih responsif terhadap tuntutan rakyat yang sebagai bangsa besar
ingin mempercepat kemajuan dalam segala hal. Ingin lebih adil.
Ingin lebih sejahtera, dan sebagai bangsa pula ingin semakin beradab.
Duet SBY-Boediono lima tahun ke depan diharapkan tidak
104 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
banyak disibukkan oleh langkah atau manuver-manuver politik
praktis yang tidak perlu, hanya karena kepentingan politik sesaat
untuk memenuhi hasrat dan nafsu berkuasa demi memuaskan
konstituen yang bersifat ekslusif yang belum tentu sejalan atau
seirama dengan keinginan, aspirasi, dan harapan sebagian besar
rakyat Indonesia yang bersifat inklusif.
Hasil pilpres 2009 ternyata juga dengan kasat memperlihatkan
bahwa rakyat Indonesia menginginkan kepemimpinan presiden-
wakil presiden yang selain menjadi dwitunggal (duet) juga
menghendaki presiden-wakil presiden yang berpembawaan kalem,
rendah diri, penyabar, hati-hati, santun, pekerja keras tanpa kenal
lelah, mengabdi total kepada kepentingan negara dan bangsa
Indonesia.
Aspirasi dan kehendak rakyat Indonesia terhadap tipe
kepemimpinan presiden-wakil presiden yang seperti itu bermuara
pada keputusan mereka untuk memberikan suara paling banyak
sekaligus memberi amanah paling besar kepada pasangan SBY-
Boediono melalui pilpres tanggal 8 Juli 2009.
Meski demikian, SBY dalam pidato penerimaan penetapan KPU
sebagai presiden RI 2009-2014 terpilih, SBY tetap mengapresiasinya
dengan santun. Menang dengan keunggulan 60% lebih dari
Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto, SBY tetap hormat dan sportif
memuji Megawati Soekarnoputri-Prabowo dan JK-Wiranto.
’’…Ibu Megawati, Pak Jusuf Kalla, Pak Wiranto, dan Pak Prabowo,
adalah putra-putri terbaik bangsa yang telah memberikan yang
terbaik kepada demokrasi di Indonesia. Saya mengharapkan
pengabdian mereka tidak akan mengenal batas akhir dan akan terus
berlanjut,’’ kata SBY dalam pidato penerimaan penetapan KPU
sebagai presiden terpilih.
Kemenangan bersejarah. Untuk dua kali berturut-turut seorang
presiden Indonesia terpilih melalui pilpres langsung. Tanpa gejolak
yang berarti lagi. Ini kemenangan yang melebihi kemenangan Barack
Obama yang juga bersejarah bagi rakyat Amerika karena untuk kali
Mengungkap Kesenjangan Istana 105
pertama memilih presiden berkulit hitam
Legitimasi yang besar melalui kemenangan dalam pemilu yang
demokratis dan jurdil bagi SBY adalah modal politik yang amat
penting untuk secara konklusif memajukan agenda-agenda besar
bangsa Indonesia yang perlu penanganan cepat dan segera.
Tentu kita ingat dan sepaham bahwa pemerintahan SBY-
Boediono lima tahun ke depan perlu dukungan tanpa pamrih dati
semua lapisan masyarakat, elit politik, dan segenap elemen pimpinan
bangsa untuk terus segera meningkatkan mutu pendidikan nasional,
mempermudah akses pendidikan murah dan berkualitas bagi warga
yang tidak mampu, pemberantasan pengangguran sekaligus
perluasan kesempatan kerja, dan penurunan kemiskinan.
SBY-Boediono juga dituntut untuk bekerja lebih keras untuk
memperluas jaringan infrastruktur vital seperti jalan bebas hambatan,
pembangunan bandara baru, baik domestik maupun internasional,
pelabuhan laut untuk ekspor impor, tenaga listrik, dan industri
strategis yang dapat mempercepat peningkatan daya bangsa
Indonesia dalam percaturan internasional.
Kemenangan SBY yang mencapai 60 persen lebih melalui pemilu
demokratis, jujur-adil (jurdil), dan damai di negara majemuk seperti
Indonesia yang dalam perjalanan sejarahnya sering diterpa krisis
politik dan konflik-konflik sosial yang rumit, dinilai banyak pemim-
pin dunia sebagai fenomena besar dalam elan perkembangan
demokrasi global.
Karena keberhasilannya menanamkan etika berdemokrasi yang
bagus sambil terus mematangkan tahapan-tahapan kompetisi politik
di dalam negeri yang damai, seperti pemilu kepala daerah, Presiden
Sby dinilai telah turut memberi kontribusi besar terhadap perkem-
bangan peradaban demokrasi, etika politik, dan perdamaian dunia.
Barangkali itu sebabnya, dalam berbagai forum internasional
lintas Asia dan dunia seperti sidang umum PBB atau KTT (Kon-
ferensi Tingkat Tinggi) pemimpin 20 negara industri maju dan
berkembang (G-20), kehadiran Presiden SBY bukan hanya pelengkap
106 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
untuk menjadi makmum di barisan belakang saja. SBY hadir atau
diundang untuk memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan
konsepnya.
Oposisi atau Sakit Hati?
Jurnas: “Pak SBY, dalam pilpres maupun pilkada, nampaknya amat
sulit calon yang kalah mengakui kekalahannya. Amat sulit untuk
mengucapkan selamat kepada kompetitornya yang menang. Coba Pak
SBY lihat, kan indah itu Hillary Clinton mengaku kalah dan mengajak
pendukungnya memenangkan Obama. Kemudian McCain, setelah kalah
dari Obama mengucapkan selamat selamat kepada Obama.
Kapan negeri kita seperti itu Pak ya?
SBY: ’’Jangan kecil hati. Suatu saat demokrasi kita akan semakin
baik. Kearifan dan jiwa besar itu milik semua bangsa. Milik semua manusia
mana pun. Kita sedang membangun nilai dan budaya demokrasi ke arah
itu.”
Jurnas: “Ngomong-ngomong, ketika Pak SBY terpilih sebagai
presiden pada pilpres 2004 lalu, adakah capres pesaing bapak yang
mengucapkan selamat?”
SBY: (Tidak menjawab. Hanya tersenyum, sambil menggeleng)
Ini adalah kutipan wawancara harian Jurnas dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanggal 20 Februari 2009.
Ironi. Tidak sportif. Atau kata orang Jawa ora legowo. Entahlah.
Kemenangan SBY banyak mendapatkan respek dan pujian dari
masyarakat internasional. Di negerinya sendiri? Presiden SBY malah
ditertawakan. Banyak kata-kata negatif yang muncul dari sejumlah
kalangan. Nadanya berupa hinaan. Tudingan buruk. Prasangka dan
fitnah yang di luar nalar dan akal sehat. Keberhasilannya memimpin
Indonesia sering tidak diakui dengan sportif. Sering disikapi apriori.
Bahkan untuk menyindir melalui kritik keras pun elemen-
elemen yang tak suka pada SBY harus mengibaratkannya dengan
seekor Kerbau yang harus susah payah diajak demo. Orang yang
berpikiran sehat dan punya nalar yang genah akan menilai menya-
Mengungkap Kesenjangan Istana 107
makan seorang Presiden—sebagai simbol kehormatan negara—
dengan seekor Kerbau merupakan perbuatan yang biadab. Sama
sekali jauh dari norma, etika, dan tatakrama. Melampaui klaim-klaim
kebanyakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa beradab yang
agamis dan bermartabat.
Adalah normal, atau malah merupakan keharusan, dalam
negara demokrasi harus ada elemen sosial politik yang menjalankan
fungsi pengawasan. Muara atau titik temunya ialah agregasi kekuatan
oposisionis.
Dalam konteks hubungan kepartaian dengan kontestasi politik
untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan mestilah dipahami
bahwa rakyat memberikan suara untuk mendukung parpol tertentu
dalam pemilu agar parpol tersebut merebut kekuasaan guna
mewujudkan perjuangan politiknya. Agar mengartikulasikan
aspirasi pemilih melalui perjuangan politiknya. Kesempatan
berkuasa itu bisa terwujud bila calon presiden yang diajukan parpol
menang dalam pemilu.
Bagaimana kalau calon presiden yang diusung parpol gagal
menang? Pada dasarnya amanah pemilih tidak berubah. Dalam hal
ini, partai tetap diharapkan memperjuangkan aspirasi pemilih.
Berikutnya partai itu perlu menjadi pengontrol penguasa yang
sportif dan fair. Partai yang kalah dalam pemilu mesti terus menye-
rap suara konstituennya dengan cara mewujudkan program
tandingan yang bisa diadu dengan program pemerintah yang
berkuasa.
Dengan begitu akan berlangsung kompetisi politik yang sehat.
Rakyat pun akan terus menilai persaingan itu. Selanjutnya, rakyat
memilih pemenang versi mereka setiap lima tahun sekali –dalam
pemilu (Tempo, 6 September 2009: 23). Dari sinilah mekanisme check
and balances akan berjalan sehat.
Persoalannya konstruksi berpolitik yang demokratis seperti ini
masih belum berjalan sepenuhnya. Yang masih terus terjadi ialah
pemerintahan yang berkuasa, presiden-wakil presiden yang
108 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
mendapatkan mandat untuk berkuasa melalui pemilu senantiasa
menjadi sasaran tembak murahan. Secara apriori presiden yang
berkuasa terus diserang dari segala penjuru. Harus segera jatuh dan
diganti. Tidak perlu menunggu periode lima tahunan. Dijatuhkan
saja di tengah jalan.
Ironisnya, pihak-pihak yang bersikap apriori dan tidak punya
etika politik itu tetap saja mengibarkan bendera panji-panji demokrasi
yang dibawa ke mana-mana. Dibenar-benarkan menurut versi
sendiri untuk kepentingan mereka sendiri.
Simak saja, banyak pernyataan elit politik atau pimpinan parpol
yang dengan mudah dapat dipahami sebagai sikap yang jauh dari
santun. Disengaja atau tidak, apriori itu telah turut merusak tatanan
etika berdemokrasi yang beradab. Tidak mendidik perilaku politik
masyarakat agar punya etika dalam menyikapi suatu persoalan yang
belum tentu benar.
’’...Penyelenggaraan Pemilu 2009 paling jelek sepanjang sejarah
republik. Memalukan ini! Saya sebagai warga negara malu.
Pemenang, boleh dipaksakan menang. Tapi kalau tidak diakui secara
legitimasi, untuk apa?
Secara pribadi, saya melihat kekacauan DPT merupakan upaya yang
dilakukan secara sistematis. Bagaimana orang mati ada dalam DPT,
anak 3 tahun masuk di DPT. Ini penzaliman yang seharusnya tidak
boleh terjadi di suatu negara dalam abad 21. Upaya ini dilakukan
segelintir manusia, untuk meneruskan sistem oligarkhinya,’’
(ww.kompas.com, 13 April 2009)
Itu pernyataan pimpinan salah satu parpol peserta Pemilu 2009.
Pernyataan itu terkait dengan kekacauan daftar pemilih tetap (DPT).
Ia—pimpinan parpol itu—mungkin tidak sepenuhnya keliru.
Hanya menjadi kurang etis, bernada su’udzon, karena temuan
tentang adanya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih, atau
masuk di daftar pemilih sementara (DPS) lantas hilang dalam daftar
pemilih tetap (DPT), atau warga yang sudah meninggal wafat masih
terdaftar sebagai pemilih, dapat dipahami sebagai menyederhanakan
persoalan.
Mengungkap Kesenjangan Istana 109
Kemenangan pasangan SBY-Boediono dituduh akibat rekayasa
politik sistemaik pada daftar pemilih tetap (DPT). Tudingan ini
nyaris terus dikemukakan, bahkan sejak satu bulan menjelang
pemberian suara pada Pilpres 2009. Sebagai incumbent, Presiden SBY
mudah sekali diapriorikan sebagai pihak yang memiliki “kekuatan”
untuk mengubah DPT, agar menguntungkan dirinya. Apalagi,
setelah terjadi kekisruhan DPT pada Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD pada 9 April 2009.
Tentu saja hal ini sulit dipahami secara akal sehat. Bagaimana
mungkin, Presiden SBY atau orang-orang dekatnya merekayasa DPT,
baik pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2009. Bukankah DPT itu
telah diumumkan kepada publik yang berawal dari Daftar Pemilih
Sementara (DPS) yang setiap partai politik juga diberikan
salinannya. Bahkan DPS itu ditempel di kantor-kantor desa,
kelurahan, kecamatan, dan beberapa tempat, termasuk diberikan
salinannya kepada partai politik. Tujuannya, agar ada partisipasi
masyarakat dan partai untuk ikut serta mengoreksi DPS sebelum
menjadi DPT. Dengan tahapan-tahapan yang telah disusun oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti itu, muncul pertanyaan
balik, bagaimana mungkin presiden SBY, kader-kader Partai
Demokrat, dan tim kampanye presiden melakukan rekayasa
tersebut. Apakah itu sesuatu yang muskil dilakukan, karena semua
pihak diberi kesempatan untuk mengoreksi DPS sebelum menjadi
DPT.
Seolah kekacauan DPT itu kesengajaan yang dilakukan KPU.
Dikesankan seakan-akan dilakukan dengan terencana dan
sistematik. Bahkan dituding sebagai bentuk pemihakan KPU untuk
memenangkan parpol tertentu.
Pernyataan itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap
moderat. Umpamanya, kemungkinan ada kesalahan adminstratif
sejak dari RT/RW sampai Dinas Kependudukan setempat. Bukan
karena kesalahan bermotif politik.
110 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
Bukankah administrasi kependudukan sampai sekarang
memang belum tertata dengan baik, meskipun lembaga terkait terus
berusaha menyempurnakannya?
Muncul kesan kuat, cenderung apriori terhadap kemenangan
parpol dalam pemilu atau terhadap kemenangan pasangan capres-
cawapres tertentu, elemen parpol, aktivis politik, dan pimpinan
parpol, tidak mengembanglan diri menjadi barisan kekuatan oposisi.
Sebaliknya, mereka justru terkesan menjadi barisan sakit hati. Sebab,
yang diperlihatkan dalam berpolitik bukan akal sehat dan nalar yang
jernih, tetapi dendam dan emosi yang destruktif.
Amat mudah, misalnya. Begitu kalah dalam kompetisi politik
mereka menuduh lawan yang menang bermain curang. Menuding
lembaga penyelenggara dan mengawas pemilu tidak netral. Tidak
independen. Atau jumlah perolehan suara dicuri aparat pemerintah
untuk memenangkan parpol atau kontestan tertentu, Tidak
independen. Lantas dengan gegabah pula menuntut pemilu diulang.
Minta penghitung diulang. Atau menggugat ke pengadilan.
Entah lupa atau sengaja melupakan bahwa di negara mana pun
di dunia ini tidak ada penyelenggaraan pemilu yang sempurna.
Tanpa cacat. Sejauh ini, selalu saja ada votes yang tidak bisa diper-
tanggung jawabkan (irregularities). Malah menurut sejumlah analisis,
votes yang tidak bisa dipertanggungjawabkan di Indonesia masih
di bawah votes yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam
pemilu-pemilu di demokrasi terbesar yakni Amerika Serikat dan
India.
Ketidakpuasan atau kecewaan karena kalah dalam persaingan
politik dalam pemilu memang menyakitkan. Bisa terjadi di mana
pun. Dapat menimpa kontestan mana pun.
Dalam pemilihan Presiden Amerika tahun 2000 juga terjadi
gejolak politik akibat perbedaan hasil penghitungan perolehan suara
antara Capres Partai Repubik, George W Bush, dan Capres Partai
Demokrat Al Gore yang saat itu adalah incumbent wapres AS. Gore
adalah wakil presiden dari Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.
Mengungkap Kesenjangan Istana 111
Akibat perseteruan antara keras antara Bush dan Gore,
penyelesaiannya harus melalui pengadilan. Hanya saja yang perlu
dicatat ialah perbedaan penghitungan suara antara Bush dan Gore
memang amat tipis. Jadi wajar jika dugaan Gore bahwa dirinya
dirugikan oleh sistem penyelenggaraan pemilihan presiden harus
diselesaikan melalui pengadilan.
Dan, ini bedanya dengan pengalaman dalam pemilu di
Indonesia. Sudah tahu perbedaan suaranya amat jauh, tetap saja
pihak yang kalah enggan menyerah. Ngotot memperkarakannya
melalui pengadilan. Padahal kalau pun pengadilan memerintahkan
penghitungan ulang belum tentu pihak yang kalah itu menjelma
menjadi menang. Itu karena perbedaan perolehan suara antara yang
menang dan yang kalah terlalu beda jauh.
Jadi kalau pun dihitung ulang, misalnya, ada perubahan
perolehan suara pada pihak yang kalah tetap saja tidak cukup
menambah jumlah perolehan suara untuk mengatrolnya berubah
menjadi pihak yang menang. Mustahil pula perolehan suara yang
besar dari pihak yang menang semuanya karena hasil dari
kecurangan. Musykil semua perolehan suara pihak yang menang
karena “mencuri” suara di kotak-kota suara. Atau juga karena
mengubah angka perolehan suara.
Ironisnya, ketika putusan pengadilan sudah diketuk pun belum
menyerah. Masih berlanjut mencari celah baru untuk terus
memperkarakan lagi ke pengadilan berikutnya. Perilaku semacam
ini tidak keliru jika disebut tidak taat pada hukum.
Barangkali pengalaman diskusi salah seorang wartawan
Indonesia yang sedang mengikuti program kunjungan internasional
atas undangan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS (US
Departemen of State) tahun 2001 bisa menjadi anekdot yang lucu.
Saat itu, si wartawan Indonesia sedang diskusi tentang pemilu
dengan beberapa pejabat Departemen Luar Negeri Amerika di desk
Asia Tenggara. Kajian tentang Indonesia di Deplu AS masuk dalam
Desk Asia Tenggara.
112 Setelah Tenda Bulan Madu Ditutup
“Kenapa sengketa penghitungan suara antara Bush dan Gore
ke pengadilan?,’’ tanya si wartawan.
“Oh gak masalah. Semua orang bisa ke pengadilan kalau merasa
dirugikan,’’ jawab staf di desk Asia Tenggara itu.
’’Bagaimana kalau vonis pengadilan tak adil,’’ kejar si wartawan.
’’Ya tidak apa-apa. Kalau divonis kalah, yang kalah akan
menunggu bersaing lagi lima tahun lagi.’’
’’Beda kan... dengan Indonesia,’’ si staf tadi melanjutkan.
’’Menurut Anda kalau di Indonesia bagaimana,’’ wartawan itu
terus bertanya.
’’Saya lihat di TV di negeri Anda pendukung yang kalah
merobohkan pohon dipinggir jalan ke jalan raya,’’ jawab staf
itu sambil tertawa.
Saat itu, awal 2001, sedang gonjang-gonjang politik di Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid tengah mendapatkan tekanan politik
dan terancam dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Merasa kecewa, pendukung Gus Dur di kawasan tapal kuda
Jawa Timur, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi,
emosi.
Mereka berdemo masal di sepanganjang jala raya di kawasan
tapal Kuda. Mereka menebang pohon-pohon besar di pinggir jalan
raya. Dan, pohon-pohon dirobohkan ke tengah jalan untuk meng-
hadang arus lalu lintas dari Banyuwangi ke arat Barat. Juga sebalik-
nya.
Ini potret ungkapan kekecewaan yang salah jalan. Menggelikan.
Atau mungkin memalukan. Bagaimana pendapat Anda?
Mengungkap Kesenjangan Istana 113
77777Panggung Politik:Melihat Wajah Kita
’’ ... Politik itu puisi. Ekspresi dari upaya yang menggetarkan
untuk membangkitkan gelora hati. Dengan politik mungkin
pernyataan-pernyataan tak cocok 100 persen dengan kenyataan.
Tapi seperti halnya puisi harus bisa mempesona... ‘’ kata Richard
Nixon (Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Tempo, 19
November 1988).
Nixon terlalu puitif. Mungkin pula utopis. Kalau bagian dari
politik adalah tindakan (action) yang mencakup pula
serangkaian upaya merebut—juga mempertahankan—kekuasaan
rasanya sulit harus menuangkannya dengan bobot yang sarat
pesona. Mengungkapkan kegairahan yang menggelora hati,
sekaligus menjadi pesona bagi orang lain.
Masalahnya ialah kalau memang tak mesti memesona, apakah
harus diametral (berhadap-hadapan)–membiarkan dan mengguna-
kan segala cara hanya untuk memuaskan nasfu berkuasa?
Ini bukan diskursus baru. Hal semacam ini sudah purba. Hanya
saja tak pernah terkubur dari wacana, nilai, moral, dan praktik politik
sampai peradaban manusia modern sekarang. Satu sisi, kita
114 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
menuntut perlunya etika dan moral politik yang dapat mengge-
lorakan semangat hidup bermartabat—sesuatu yang memberi
tempat politik jadi memesona. Menggugah gairah orang banyak.
Sisi lain selalu saja dalam tindakan politik kita sering tak dapat
menceraikan tujuan-tujuan pragmatis yang intans.
Andaikan peluang menang terbuka. Sarana dan instrumen yang
menjanjikan melalui jalan dan acara yang berselingkuh dengan
praktik buruk––kekerasan, misalnya––toh banyak pelaku politik
membuka diri. Asal kekuasaan bisa dirasakan atau dimiliki. Kadang-
kadang tercetus ketidaklaziman, pokoknya harus menang. Lawan
jadi musuh, jika perlu dimakzulkan.
Ketika jalan yang tak dapat menceraikan tujuan pragmatis ini
yang dipilih, rona langgam politik sering berwajah tindakan
membiarkan—tak perlu menyebut “menghalalkan”—segala cara. Di
jalan ini, politik kurang gaul dengan moralitas. Etika politik hidup
dalam ruang gelap, yang terkadang membuatnya sedikit kehilangan
kecerdasan dan kesopanannya.
Politik—bagi yang memilih di lintasan ini––bukan serangkaian
ikhtiar berkuasa melalui daya dorong keberadaban. Tetapi ini bukan
masalah benar atau salah. Hanya soal pilihan yang muncul dari
ikhtiar untuk berkuasa. Jika ikhtiar berkuasa untuk menjadikan
hidup bersama dalam bernegara menjadi bermartabat pilihanya
adalah memilih keadaban politik. Bahkan, itu dimulai sejak calon-
calon penguasa masih terlibat dalam kontestasi politik yang sarat
persaingan ketat.
Memang tidak semua yang beretika itu baik. Pun pula tidak
semua yang dinilai tidak beretika itu buruk. Bergantung pada
kemuliaan dan kerendahan hati; tujuan mulia seseorang, serta
manfaat ideal yang hendak dicapai ketika berkuasa. Toh, dalam
medan kontestasi politik, seragam perjuangan para kontestan bisa-
bisa nyaris serupa. Mengenakan atribut dan simbol-simbol yang
mirip-mirip. Terkadang merias wajah dengan lipstik, bedak, dan
parfum dengan warna serta roma, tujuannya bisa beragam dan
Mengungkap Kesenjangan Istana 115
berbeda jalan, ingin memesona rakyat dan mungkin pula mewakili
wajah rakyat.
Dalam ranah ini kita terbawa untuk mengingat kepedihan
Niccollo Machialli. Termakzulkan dari tahta kekuasaan di usia yang
masih amat belia, menjadikan batinnya galau. Lewat kumpulan
surat-suratnya yang terhimpun dalam The Prince (1512) Machiavelli
justru memberi jalan bagi realitas pergulatan kekuasaan politik di
zamannya. ’’Kekuasaan itu tak ada urusan dengan moral,’’ katanya
mengungkapkan isi hatinya. Dalam The Prince yang terkenal itu ia
bilang, ’’ penguasa bukanlah personifikasi dari kekuatan moral.’’
Tindakan macam apa pun yang diperlukan ketika harus meraih
atau mempertahankan kekuasaan tidak perlu bertolak dari kehendak
rakyat. Tak ada ukuran baik atau buruk. (M. Sastrapatedja dkk, 1987).
Tak heran bila ada pemimpin politik dengan pikiran jernih,
memimpin dengan akal sehat, man of integrity, menyelenggarakan
negara dengan cerdas, bersih, dan kredibel, melalui jalan yang
beretika justru dikucilkan. Mahatma Ghandi, misalnya. Atau
Salvadore Allende. Dipilih rakyat Chili melalui Pemilu yang demo-
kratis, Allende justru dikudeta oleh junta militer pimpinan Augusto
Pinochet (1974) (Budiman, 1987).
Wajah berbeda adalah Adolf Hitler. Dia dipuji. Pada masanya
dengan suara gemuruh pemimpin Nazi Jerman itu dielu-elukan.
Bukan karena tebar pesona perdamaian, melainkan menggelorakan
permusuhan ke seluruh dunia mendapatkan dukungan.
Berdemokrasi Tanpa Anarki
Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat,
meninggal “tidak wajar.” Ia meninggal di tengah-tengah demonstrasi
yang anarkis. Bukan ikut demo. Azis adalah korban demo. Sebagian
rakyatnya –yang dicintainya– dalam jumlah besar melakukan aksi
massa brutal. Azis terkena tonjokan, konon di sekitar ulu hati dan
mukanya. Jatuh pingsan. Dilarikan ke rumah sakit, Azis meninggal
dalam perjalanan.
116 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
Demo, lebih-lebih yang mendatangi DPR atau DPRD,
menyuarakan aspirasi. Atas nama hak dan kebebasan berpendapat
yang jadi ajaran demokrasi. Anarki massa yang merusak kantor
DPRD Sumut—dan jiwa ketua DPRD-nya jadi korbannya—sama
saja. Atas nama demokrasi, menuntut pemekaran. Mereka mendesak
persetujuan wakil rakyat agar sejumlah daerah Sumut memisahkan
diri menjadi Provinsi Tapanuli Barat.
Kebebasan memang inti demokrasi. Yang sering dialpakan ialah
dalam demokrasi ada aturan main—norma hukum dan etika. Ada
rambu harus dipatuhi agar kebebasan tak menjelma menjadi agresi
yang merusak. Mencegah agregasi kebebasan menyuarakan hak
berpendapat tidak berbuah anarki dan kekerasa.
Ini yang senantiasa disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam banyak kesempatan di hadapan publik. Jangan
anarki. Patuhlah pada hukum. Taatilah rule of the games. Tunduklah
pada rule of law agar berdemokrasi tidak jadi beringas yang menakut-
kan orang lain.
Ketika Azis jadi korban demo anarkis, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengaku sangat prihatin. Itu kejadian memalukan.
“...Sikap saya jelas. Saya hormati demokrasi, tetapi saya menentang
anarki,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyikapi demo
rusuh di DPRD Sumatera Utara. Presiden menegaskan sikapnya
ketika melakukan kunjung kerja ke PT Sinar Sosro, Bekasi. (Antara
News, 5 Februari 2009)
Kita pilih yang mana? Politik yang memesona mendorong gairah
berbangsa, santun, dan beretika, atau yang anarki atau, misalnya,
menghalalkan segala cara? Ini pertanyaan tak perlu dijawab. Kita
nyatakan lagi pertanyaan ini barangkali agar mendorong refleksi
bersama. Dapat menilai diri sendiri. Terutama, meluruskan kembali
makna demokrasi yang sudah kita pilih sebagai ajaran berbangsa
serta jalan hidup bernegara yang beradab serta beretika.
Jalan panjang yang kita jalani ketika kita memilih demokrasi
sebagai sistem politik dan penyelenggaraan negara sejak merdeka
Mengungkap Kesenjangan Istana 117
65 tahun silam, sebenarnya telah cukup memberi pengalaman yang
matang bagi bangsa ini. Pilihan berdemokrasi sebagai jalan berpolitik,
berbangsa, dan bernegara sudah final. Kita memilih demokrasi
karena dianggap lebih beradab. Moral menjadi jalan hidup bersama
bermasyarakat. Etika menjadi roh pengikat pergaulan dan tata cara
menjalankan kehidupan berbangsa. Lebih cocok dengan tradisi
budaya bangsa yang sarat dengan nilai-nilai bijak yang luhur.
Itu sebabnya, berbagai kejadian dan pengalaman buruk dalam
perjalanan kita sebagai bangsa terus kita gelorakan, agar tidak
terulang dan mengulang dengan lebih buruk lagi di masa men-
datang. Pengalaman buruk semasa Orde Lama (1959 dimulai dari
dekrit presiden sampai 1966) dan Orde Baru 1966-1998 menjadi
pendidik paling bijak. Kecurigaan terhadap aktor politik, elite, dan
penyelenggara negara, terhadap kepala negara-pemerintahan, pada
presiden-wakil presiden perlu jadi motivasi untuk mengontrol semua
aktor, elemen, dan produk-produk kebijakan yang dibuatnya.
Yang perlu kita pahami bersama adalah ajaran demokrasi
mensyaratkan keutamaan akal sehat dan cerdas. Kekuatan penalaran
hendaknya menjadi landasan. Ini agar curiga yang bermuara pada
pengawasan tidak berbuah dendam. Agar check and balances senan-
tiasa menggunakan pikiran positif. Tidak senantiasa su’udhon
(berprasangka buruk).
Demokrasi mensyaratkan pula persamaan. Intinya perlu mem-
beri tempat terhormat bagi persamaan, menempatkan orang lain
untuk diberi pandangan yang objektif. Serta jujur pula. Sportif,
dalam bahasa olahraga. Muaranya dalam perilaku demokratis ialah
sikap untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Tradisi demokrasi
mengajarkan toleransi. Mendorong emansipasi sosial politik yang
luas, dan berderajat yang sama.
Bagi Milton Friedman ajaran demokrasi yang paling inti ialah
kebebasan. Sebagai orang Amerika ia menikmati betul kebebasan
yang dirasakannya. Friedman, peraih nobel ekonomi asal AS itu,
sampai perlu menjadikan kebebasan sebagai indikator kemajuan
118 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
sebuah bangsa. ’’Keunggulan Amerika karena sang Paman Sam
memberi ruang yang lega bagi kebebasan,’’ ujarnya (Friedman, 1990).
Namun, khilaf besar jika ilham demokrasi hanya bermuara pada
kebebasan dan persamaan yang egaliter. Di sana juga ada nilai moral
yang mengajarkan komitmen untuk taat pada aturan main. Kebebas-
an memang roh dan jiwa demokrasi. Namun jangan alpa, di sana
ada pula norma, aturan hukum yang dijilid dalam Undang-Undang
(UU) atau konstitusi yang mengikat orang banyak yang hidup
bersama. Semua harus dipatuhi bersama.
Tanpa kepatuhan pada aturan main untuk hidup tertib bersama
dalam negara bangsa, berdemokrasi tak sekadar sah dicap ke-
bablasan. Lebih buruk dari itu, justru dari sana bisa muncul sikap
dan padangan yang memperbudak ajaran kebebasan—yang amat
menjunjung hak-hak asasi manusia itu. Semisal, kebebasan dimodifi-
kasi menjadi energi yang membakar militansi anarki dan agresi. Itu
semua dapat berwujud tindakan merusak fasilitas publik, menghina
lawan di hadapan umum tanpa rasa bersalah, membunuh karakter
lawan politik melalui tudingan fitnah. Juga mencemarkan nama baik,
melakukan kerusuhan, atau mengolok-olok simbol negara.
Andi A Mallarangeng, mantan juru bisa kepresidenan yang kini
menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) meng-
ungkapkan kegetirannya. ’’Bayangkan jika fitnah merebak di tengah
masyarakat, di mana setiap orang memfitnah orang lain tanpa rasa
salah dan tak bisa dihukum. Yang terjadi adalah kekacauan, chaos.’’
(Mallarangeng, 2007).
Celakanya, kalau bisa disebut demikian, tindakan diskriminasi
pada kelompok minoritas bisa menjelma atas nama demokrasi.
Minoritas harus taat pada mayoritas. Maka wajah tindakan yang
muncul bisa berupa menjarah hak milik minoritas tanpa rasa
bersalah. Atas nama minoritas harus hormat pada mayoritas.
Menertawai Diri Sendiri
“...Ini kemerdekaan bagi kita,’’ ujar Imusha, sopir taksi asal Aceh di
Mengungkap Kesenjangan Istana 119
Jakarta ketika melihat mahasiswa melambai-lambaikan bendera
merah putih di Gedung MPR yang mereka duduki Mei 1998.
‘’Pertama, kemerdekaan dari Belanda, kemudian kemerdekaan dari
Soeharto.’’ (Soeharto Lengser, 1998).
Seperti para aktivis mahasiswa 1998 yang melengserkan Pak
Harto pada 21 Mei 1998. Imusha merasa jiwanya bebas dari tekanan
yang memblenggu selama 32 tahun Orde Baru. Perasaannya adalah
contoh representasi masyarakat yang ingin bebas dari rasa takut.
Keluar dari tekanan berat yang lama membebani bangsa Indonesia.
Kemerdekaan yang dirasakan Imusha menjadi tonggak sejarah
baru kehidupan politik Indonesia. Ke depan setelah reformasi
diharapkan segera lebih adil dan demokratis. Dicita-citakan agar
konsolidasi politik oleh pemerintahan baru dan aktor-aktor politik
generasi muda yang lebih segar dapat segera menata percaturan
politik yang lebih berkualitas.
Reformasi 1998—dengan simbol Pak Harto lengser—memang
telah mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi
terbesar di dunia. Babak berikutnya, kita menjalani transisi dari
langgam otoritarian ke langgam demokratis. Dengan hati berbunga-
bunga dalam waktu tidak lama transisi diharapkan segera terlewati.
Lalu menyongsong demokrasi yang mapan dan tertata. Transisi
jangan stagnan yang menjerumuskan Indonesia menjadi negara
lemah atau bahkan gagal.
Sejumlah kunci pembuka pintu demokrasi, terutama mekanisme
dan prosedur-prosedur kelembagaan politik yang demokrastis,
dikembangkan pemerintah baru. Tradisi sirkulasi kepemimpinan
nasional lima tahunan dilembagakan, melalui pemilu yang demo-
kratis. DPR dan lembaga-lembaga negara lain yang berfungsi sebagai
media check and balances dioptimalkan. Pemilu yang adil, jujur, dan
terbuka terus disempurnakan, baik dari segi lembaga penyelenggara
maupun sistem pemilunya. Ini dilakukan agar bangsa ini tidak
melalukan self destruction terhadap sistem politik dan ketatanegaraan
disebabkan kelengkapan formal ketatanegaraan yang demokratis
120 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
dijalankan dengan sistem aturan main politik yang lemah dan
lembek.
Pada kenyataannya, pada tahap perjalanan babak berikutnya
dari reformasi 1998 –sampai 12 tahun kemudian (2010 sekarang ini)—
upaya melembagakan sistem demokrasi masih teramat berliku.
Tanjakannya kadang terjal dan menyulitkan. Kalau turun sering
melalui jalanan tajam berkelok-kelok. Kalau naik di depan, terkadang
ada jurang dalam. Terkadang-kadang di tengah belantara hutan pula.
Langgam bernegara, berpolitik, serta berbangsa dalam label dan
bingkai negara demokrasi sering harus berjalan dalam suasana trial
and error. Konflik, pertikaian politik, huru-hara, anarki, serta
ancaman chaos sering muncul tanpa alasan yang kuat. Munculnya
sering sulit diperkirakan. Pada saat bersamaan melahirkan
ketidakpastian politik.
Kebebasan—yang semasa 32 tahun Orde Baru ibarat cacing
diinjak, gerak terus diawasi, mulut ditutup– telah kita raih dalam
kadar yang agaknya belum pernah terjadi sebelumnya. Namun,
kebebasan yang bebas luas itu belum seindah yang dicontohkan
Friedman. Juga tak seindah pesona puisi yang dibayangkan Nixon.
Masih tergolong prematur untuk jadi indikator kemajuan bangsa
yang sesungguhnya.
Dalam sejumlah hal, kebebasan berpendapat dan kebebasan
menyampaikan ekspresi di muka umum, mengindikasikan
demokrasi yang kita bangun kian terasa kebablasan. Tanpa aturan
main yang dapat mengikat kuat semua orang agar menjalankan hak-
hak politik dan hak sipilnya pada koridor yang benar.
Di awal reformasi, antara 1998-2004 diwarnai ketidakstabilan
politik. Di banyak daerah banyak terjadi konflik-konflik lokal dengan
skala kerumitan lintas nasional. Konflik Ambon dan Aceh yang
meminta banyak korban jiwa merupakan pengalaman traumatik
yang tidak perlu terulang lagi di kemudian hari. Sampai 2004 tiga
presiden naik turun silih berganti. Meski gejala ini merupakan
warna-warni periode transisi politik dari langgam yang otoritarian
Mengungkap Kesenjangan Istana 121
ke demokrasi—karena belum menemukan format politik yang pas—
jangan lupa bahwa hal itu merupakan wujud ketidakpastian politik.
Presiden Soeharto dipaksa turun karena krisis ekonomi-politik,
kepemimpinan, dan menjalankan roda pemerintahan-kenegaraan
yang buruk. Modal sosial dan politiknya rapuh. Menyulut amarah
berkepanjangan yang memicu dendam politik amat masif. Presiden
B.J. Habibie pertanggungjawabannya juga ditolak MPR yang
memaksa dia secara moral tidak bisa maju lagi. Presiden
Abdurrahman Wahid mengalami nasib serupa. Dimakzulkan melaui
sidang istimewa MPR pada Juli 2001, tanpa proses hukum untuk
membuktikan kesalahan-kesalahannya.
Apresiasi dan respek perlu diberikan kepada Presiden ke-5,
Megawati Soekarnoputri. Putri Bung Karno yang meneruskan
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid—dan berikhtiar
meneruskan jabatan presiden periode kedua pada Pemilu 2004, tetapi
tidak mendapatkan dukungan pemilih yang cukup ketika maju
sebagai calon presiden—dapat dipandang sebagai peletak dasar
democracy based people.
Melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) independen di era
pemeritahannya untuk kali pertama rakyat memilih langsung
Presiden RI melalui pemilihan umum. Megawati Soekarnoputri-
Hasyim Muzadi memang kalah dari pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla, tetapi sirkulasi kepemimpinan nasional
rutin lima tahunan melalui pemilu sejak 2004 sampai 2009 semakin
mapan dengan jaminan konstitusi (UUD 1945) yang sudah
diamandemen.
Megawati patut diapresiasi sebagai “ibu kandung” pemilu yang
jujur dan adil. Sebab, dia kalah melalui pemilu demokratis yang
diselenggarakan pemerintahannya.
Seringnya terjadi ketidakstabilan politik memang bukan hanya
milik Indonesia. Tetangga pun mengalami hal serupa. Filipina sejak
Ferdinand Marcos jatuh pada Februari 1986 penggantinya, sering
diganjal ancaman kudeta. Corry Aquino, Fidel Ramos, sampai
122 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
Arroyo Macapagal sekarang beberapa kali mengalami goncangan
politik. Sering mendapatkan ancaman kudeta dari lawan-lawan
politiknya meski tak sampai jatuh.
Sekalipun begitu, agaknya kurang pas pula memahami potensi-
potensi ketidakstabilan politik itu hanya dari perspektif transisi yang
belum selesai. Lagi pula tidak semua negara mengalami periode
tradisisi dengan situasi yang sama. Ada yang lama atau pula yang
singkat.
Juga tidak ada jalan tunggal bagi proses transisi menuju
demokrasi. Sangat rumit. Penuh jebakan, setiap saat bisa terbalik.
Transisi gagal. Lalu, kembali ke otoritarian (O’Donnell, 1993).
Sebab itu, bagi kita amat perlu memahami diri sendiri. Melihat
wajah sendiri. Pada saat yang sama ketika wajah kita—seolah sedang
bercermin—ternyata tak seindah yang dibayangkan, bolehlah untuk
menertawai diri sendiri.
Kelemahan kita sebagai bangsa selama ini barangkali memang
jarang menertawai diri sendiri. Lebih tertarik untuk menertawai
orang lain. Padahal diri kita belum tentu lebih gagah dari orang
lain.
Apa yang masih kurang pada kita? Pada kultur, sikap mental,
dan tradisi berbangsa dalam kehidupan bernegara? Mungkin
penilaian ini tidak sepenuhnya benar. Toh barangkali perlu jujur
diakui kelemahan itu terasa pada cara menyikapi isu-isu besar,
terutama yang berskala besar. Kita, sering gegabah, kurang dingin,
mudah emosional ketika pada saat tertentu perlu menyikapi isu-isu
besar yang masih “abu-abu.” Di kala perisiswa yang menyita per-
hatian luas belum hitam putih. Masih membutuhkan penelusuran,
penggalian, dan konstruksi yang harus hati-hati, cerdas, cermat,
serta teliti.
Sering kita tidak dapat menahan diri, gampang emosional. Dan,
manakala yang dapat menyikapi isu-isu besar yang masih “abu-abu”
itu adalah pimpinan politik, maka begitu cepat merambat menjadi
keresahan massa berskala luas. Entah sengaja dipolitisasi atau tidak,
Mengungkap Kesenjangan Istana 123
demi kepentingan kelompok, parpol, atau orang-orang tertentu
implikasi dari ketidak hati-hatian itu ialah dendam masal yang
“berjemaah.”
Dari situasi seperti ini mudah diduga implikasi berikutnya. Itu
berkisar, antara lain, saling tuding. Fitnah sini fitnah situ. Ancam
sana ancam sini. Sikat sini sikat situ. Gugat sana gugat sini. Semua
pihak yang dituding—meskipun belum tentu benar—menjadi objek
protes. Jadi tujuan kecaman. Amuk massa sering menjadi tidak
terhindarkan. Kalau sudah seperti ini seolah tidak terpikirkan pula—
atau memang sengaja cuek alias tak mau tahu—bahwa yang
dirugikan ialah masyarakat yang sama sekali tidak mengerti banyak
peristwa yang jadi isu-isu amat besar itu.
Dan, ketika situasi chaos menjadi tak terkendali, maka hanya
ada satu sasaran empuk untuk menumpahkan kesalahan yakni
kepada pemerintah. Oleh sebab itu, isu-isu pun berubah menjadi
aksi-aksi politik massa yang biasanya akan berupa: “urunkan,”
“Pecat,” “Makzulkan,” “Percepat pemilu,” dan “Impeachment.” Isu-
isu semacam ini dengan sendirinya menjadi amat potensial untuk
memicu anarki.
Secara sederahana sering dapat dikatakan, hanya karena isu-
isu besar yang belum tentu benar rezim pemerintahan harus
bertanggung jawab. Presiden dituduh tidak mampu mengelola
penyelenggaraan negara. Lebih tragis, sering pula justru presiden
difitnah—diduga-duga ada di belakang isu-isu besar yang menyulut
emosi dan amarah massa.
Kita barangkali tidak perlu menyamaratakan begitu saja. Hanya
dulu di masa Orde Baru, Soeharto pernah melontarkan istilah colong
pelayu. Arahnya saat itu ialah kelompok-kelompok yang dianggap
menampar pipi orang lain dengan menggunakan tangan orang lain
lagi.
Benar atau tidak saat itu, tidak perlu diperdebatkan. Hanya,
sangat mungkin pula terjadi sekarang. Bahwa—entah disengaja atau
tidak, atau mungkin khilaf dan perlu dimaafkan—memang ada
124 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
orang-orang, kelompok, elemen, kekuatan sosial politik tertentu
yang cenderung memiliki tabiat colong pelayu. Kurang dapat
bertanggung jawab. Tidak menjadi teladan moral dan etika politik
yang luhur bagi bangsa.
Karena kita sering kurang memberi teladan itu, kata wartawan
senior Goenawan Mohamad, orang terbawa untuk melihat kawan
dan lawan dari segi yang paling menukik. Tentang kegemaran
seksualnya, tentang masa lalu di sekolahnya ketika ia menyontek.
Juga caranya mengernyit dalam debat atau bersendawa sehabis
makan.
’’Orang tak bicara tentang pengetahuannya mengenai angka
kemiskinan, atau persenjataan, atau yang lain-lain.’’ (Tempo, 19
November 1988)
Wajah buruk perpolitikan ini—yang masih sering menyulut
anarki, menumpahkan kesalahan pada pihak yang tidak objektif—
toh tak bisa pula digeneralisasi bawa semuanya memang buruk.
Masih ada yang bagian dari rakyat objektif. Seorang mengaku dari
forum pembaca Harian Kompas mengatakan:
‘’…Saya sendiri, berterima kasih kok sama pemerintahan sekarang,
pemerintahan ini bagi penilaian pribadi saya merupakan yang terbaik
dari 2 periode sebelumnya, nah berharap nih, untuk para politikus
yang akan berkompetisi untuk 2014-2019, kalau bisa nih, teruskan
perjuangan SBY sekarang ini. Gak usah terlalu banyak menjelek-
jelekkan keputusan pemerintah. Ingat INDONESIA ini tidak dapat
dipulihkan seperti membalikkan tangan saja. Dan kalau Politisiku
ini terpilih, apakah bisa menyelesaikan masalah INDONESIA ini,
jangan-jangan lebih parah lagi. Enakan tuh gak usahlah berebut
kekuasaan, mending sama-sama deh bekerja sama. (www.yahoo.com,
1 Januari 2010).
Ungkapan pembaca Kompas ini dikemukakan untuk merespons
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya dalam suatu
kesempatan SBY sempat mengemukakan pernyataan yang isinya
mengeluh. ’’Banyak kalangan di masyarakat Indonesia sulit
berterima kasih kepada pemerintah.’’
Mengungkap Kesenjangan Istana 125
Paradoks Demokrasi
‘’… Tidak perlu ada dendam dan amarah yang disimpan dandipelihara. Seolah-olah kompetisi harus berjalan sepanjang lima tahun.Apalagi jika para elite dan tokoh politik mengajak pendukung dankonstituennya untuk memelihara permusuhan. Terus menerusmengadakan perlawanan. Ini praktik demokrasi yang buruk.
Dalam gejolak hati yang penuh emosi, kekecewaan dan mungkinamarah, kita mesti bisa mengontrol dan mengendalikannya.... Amatberbahaya jika seorang pemimpin tidak dapat mengendalianemosinya, dan akhirnya tidak dapat berpikir rasional.
Bayangkan, jika seorang presiden yang sering harus mengambilkeputusan yang strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orangbanyak tidak mampu berpikir tenang, jernih, dan rasional..” (PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dalam wawancara dengan HarianJurnas 10 Februari 2010).
Dalam kadar yang relatif, Indonesia sekarang telah diakui
oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara demokrasi
terbesar di dunia. Tentu pula, penilaian yang perlu diapresiasi positif
itu disebabkan masyarakat internasional memandang Indonesia telah
memiliki sejumlah prasyarat utama negara yang memilih sistem
politik demokratis.
Pertama, partisipasi politik yang luas dan otonom. Dalam hal
ini, misalnya, partisipasi pemilih sejak 1999 sampai 2009 rata-rata
mencapai angka di atas 60 persen. Ini di atas partisipasi pemilih di
Amerika yang kurang dari 60 persen.
Kedua, telah terselenggara kompetisi politik yang sehat, adil,
dan demokratis. Dari 1999 sampai 2009 berlangsung dalam situasi
politik yang aman dan damai. Ketiga, telah ada suksesi dan sirkulasi
kekuasaan berkala. Terkelola dan terjaga dengan bersih. Telah
memenuhi standar transparansi, khususnya dalam penyelenggaraan
pemilu.
126 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
Berikutnya, ada monitoring, kontrol, dan pengawasan terhadap
kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan memiliter dari
kekuatan masyarakat sipil. (Dahl, 1999). Ini menunjukkan check and
balances telah relatif berjalan meskipun belum sepnuhnya sempurna.
Indonesianis senior William Liddle angkat topi. Bill Liddle,
begitu guru besar asal Ohio State University Amerika itu biasa disapa
teman-temannya di Indonesia, mengakui dinamika demokrasi di
negeri berkembang semakin sehat. Dalam wawancara khusus
dengan Jaringan Islam Liberal usai Pemilu 2004, Liddle memuji
perkembangan demokrasi di sini yang dinilainya sangat berhasil:
“ ...saya mengapresiasi tinggi-tinggi masyarakat Indonesia yang telah
berhasil melaksanakan pemilu yang sangat demokratis untuk kedua
kalinya. Orang-orang di Jakarta, sekarang lupa akan hal itu karena
mereka banyak ditimpa masalah. Jadi sepertinya Pemilu 2004 ini
bagi mereka gagal. Padahal menurut saya sangat berhasil. Demokrasi
Indonesia sangat berhasil….” (Islamib.com, 19 April 2004)
Kekurangan atau kelemahan yang masih tersisa mengganjal
dalam sistem politik yang sudah demokratis ini ialah, prasyarat
pokok kelima belum cukup terpenuhi. Apa gerangan? Kebebasan
dan persamaan yang luas kurang terlembaga melalui kepatuhan yang
kuat terhadap tatakrama dan norma-norma yang disepakati bersama
dalam masyarakat.
Kita seolah alpa, atau barangkali sengaja mengalpakan diri
bahwa berdemokrasi memerlukan sejumlah prinsip dasar. Etika,
moralitas, dan hukum harus ditegakkan. Diperlihara sebagai
komitmen bersama.
Institusionalisasi penegakkan etika, moral, dan aturan hukum
memang tak serta merta datang dari langit nan biru. Tak pula cukup
disosialisasi melalui pendidikan formal pada saat pak guru bercerita
pada murid-muridnya tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Belum cukup seperti bu guru memberi contoh si Budi
terkena sanksi berdiri di depan kelas karena mencontek si Panut
saat ulangan sekolah.
Mengungkap Kesenjangan Istana 127
Sosialisasi itu justru menjadi sangat terhormat jika berupa
teladan kepemimpinan politik yang bersih, santun, dan beretika.
Niatnya hanya mengabdi kepada kepentingan bangsa. Demi
kemajuan masyarakat. Dan, untuk kemaslahatan bersama dalam
negara bangsa Indonesia.
Demi masa depan yang lebih baik ini tidaklah memadai jika
seleksi kemimpinan nasional melalui pemilu hanya berorientasi pada
pergantian kekuasaan yang aman dan damai. Orientasi demikian
hanyalah memenuhi prasyarat-prasyarat formal dan prosedural.
Sedangkan tujuan substansial dari suksesi kepemimpinan nasional
tidak sepenuhnya bisa diraih. Pemilu yang sudah adil dan jujur gagal
menghasilkan pemimpin nasional yang bersih. Tidak melahirkan
pemimpin politik yang cerdas. Juga gagal menelorkan pemimpin
bangsa yang inovatif. Berkemampuan merumuskan terobosan besar
melalui new deal-new deal, konsensus-konsensus baru yang kreatif.
Tidak mungkin masa depan bangsa hanya diserahkan kepada
pemimpin-pemimpin yang hanya berorientasi kekuasaan.
Pemimpin yang putih harus terus dilahirkan sambil terus memberi
kesempatan pada yang “kotor” membersihkan diri. Agar kelak
menjadi teladan yang dapat dibanggakan masyarakat Indonesia.
Mungkin ia, si pemimpin baru yang dilahirkan pemilu, memang
benar-benar orang baru. Toh, menjadi kurang pas jika tidak dapat
membuat terobosan-terobosan baru yang memberi manfaat bagi
kemajuan bernegara dan memberi nilai tambah yang konstruktif
bagi peradaban demokrasi.
Kita harus terus berubah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Kita sebagai bangsa harus bergerak dinamis. Jangan biarkan
anggapan klise awam yang sinis bahwa politik itu kotor menjadi
kenyataan. Politik kita harus putih, memesona, dan menggairahkan
untuk mendorong motivasi berprestasi lebih baik.
Seperti tarian Siva, kata Fritjof Capra, pemikiran kita harus terus
bergerak dan berubah menyempurnakan diri. Agar dapat meme-
nuhi kebutuhan baru atau harapan lama yang belum terakomodasi
128 Panggung Politik Melihat Wajah Kita
(Denny JA, 1999).
Paradoks-paradoks demokrasi yang tersisa ke depan harus
semakin berkurang. Kita membayangkan pluralisme sosial politik
dalam kebhinekaan bangsa dapat membangun konstruksi politik
dan format demokrasi yang—oleh SBY sering dikemukakan dalam
banyak kesempatan—adil dan sejahtera.
Pengakuan internasional sebagai salah satu negara demokrasi
terbesar di dunia saat ini adalah legitimasi moral yang menjadi
kekuatan bangsa Indonesia untuk mewujudkan mimpinya menjadi
kenyataan.
Kita harus terus melangkah. Bekerja keras. Tanpa henti. Yang
kita ingin capai kelak ialah Indonesia yang maju dan unggul. Negara
bangsa yang mandiri, adil, dan makmur. Dalam undang-undang
yang kita miliki ada delapan langkah yang meski kita lakukan sejak
sekarang. Mewujudkan masyarakat yang bermoral, berbudaya, dan
beradab. Civilized menjadi sasaran pertama berdasarkan falsafah
Pancasila.
Berikutnya merindukan masyarakat yang taat pada hukum
harus diwujudkan. Kebebasan (freedom), rule of law, and toleransi
harus duduk bersama. Demokrasi yang ingin kita mekarkan ialah
demokrasi yang sarat harmoni.
Ini saja belumlah cukup rasanya. Indonesia ke depan juga mesti
jadi negara bangsa yang aman, damai, dan bersatu. Bikutnya lagi,
pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Ini koreksi atas banyak
hal yang terjadi di di masa lalu. Pengalaman masa lalu—juga di
negara-negara lain—kalau growth hanya for the side of growth tidak
disertai dengan pemerataan akan berbuah kesenjangan, konflik, dan
bentuk-bentuk konflik yang tersulut oleh perlakuan yang tidak adil
dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi.
Indonesia masa depan—yang lestari—adalah negara bangsa
yang dapat memelihara kesinambungan, berkelanjutan, sustainability
dari pembangunan.
Kini tugas-tugas besar pun bertambam-tambah. Mestilah
Mengungkap Kesenjangan Istana 129
dielaborasi segera komitmen bersama di tingkat internasional. Di
era sekarang isu-isu global utuk mengatasi global warming, climate
change, menjadi agenda internasional yang menuntut keikutsertaan
Indonesia secara amat serius. Kita harus jadi bagian amat penting
dari masyarakat internasional untuk merespons isu-isu dan agenda
kerja gelobal. Ini menuntut keharusan kita berperan penting dalam
pergaulan dunia.
Kita membayangkan kelak bangsa Indonesia menjadi primadona
dalam hal, demokrasi, kemajuan peradaban, kehidupan politik yang
adil. Masyarakat yang sejahtera dan mandiri.
“ ...Hanya pohon berbuah matang yang diincar orang. Dan, buah
yang manis itu jadi sasaran untuk dipetik. Manis rasanya...’’
Mengungkap Kesenjangan Istana 131
88888Pilih Mirip Thailand
atau Singapura?
“…Prioritas kami hanya satu: mendapatkan penerbangan pertama
keluar dari sini (Thailand) dan tidak pernah kembali…”
Kalimat itu meluncur dari bibir Robert Grieve. Pengantin baru
yang memilih Thailand sebagai tempatnya berbulan madu itu
tak pernah menyangka ia dan istrinya akan terperangkap dalam
Bandara Suvarnabhumi tanpa tahu pasti kapan bisa keluar.
Sepertinya, kenikmatan bulan madu yang baru saja mereka
reguk, menguap dalam ketidakpastian. Di mana-mana di seluruh
bangunan bandara mewah itu, para turis berserak seperti rongsokan.
Mereka tidur sekenanya: di atas koper besar mereka, di troli, di atas
ban berjalan (tentu saja saat itu mati), di depan konter check in yang
kosong, di mana saja. Mereka kuyu, bau, dan kelaparan.
Wajah para turis yang terdampar itu jelas menyiratkan kema-
rahan. Apalagi, banyak di antara mereka datang dengan anak-anak
dan orang berkebutuhan khusus. Sayangnya, yang mereka lihat
bukanlah petugas yang memberi tahu apa yang harus mereka
lakukan. Sebaliknya, yang mereka jumpai justru puluhan ribu massa
berkaos kuning dengan wajah yang tak bisa disebut ramah.
132 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
“Ada banyak orang memegang tongkat baseball. Mereka
kelihatannya siap berkelahi,” kata Ben Creemers. Warga Belgia itu
adalah satu dari sekitar ribuan wisatawan asing yang terdampar di
Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok, 26 November 2008
silam.
Orang-orang yang disebut Creemers “memegang tongkat
baseball” itu tak lain para pendukung Aliansi Rakyat untuk Demo-
krasi (PAD) yang mengamuk di dalam dan sekitar bandara megah
bernilai 4 miliar dollar AS itu.
Para wisatawan asing yang sebagian besar tidak paham kondisi
politik Thailand, seperti anak ayam kehilangan induknya. Mereka
kebingungan dan telantar. Para pejabat bandara dan perusahaan
penerbangan hanya menyelinap pergi, meninggalkan para wisata-
wan yang akhirnya telantar berhari-hari.
Pendudukan bandara internasional ini sengaja dilakukan PAD
untuk menambah bobot tekanan mereka kepada pemerintah.
Dengan secara tidak langsung “menyandera” ribuan warga negara
asing, para demonstran berharap pemerintah Thailand mendapat
tekanan negara-negara lain dan akhirnya meluluskan permintaan
mereka. Para demonstran sendiri menolak bernegosiasi, kecuali
langsung dengan Perdana Menteri Somchai Wongsawat.
Frustrasi juga menimpa Fred Thierry. Eksekutif Perancis yang
bekerja di Shanghai, China ini kehilangan peluang mendapat
kontrak besar.
“…Saya semestinya menghadiri sejumlah rapat di Shanghai, hari
ini. Saya punya jadwal pertemuan besar dengan kastemer besar.
Dan kenyataannya, saya masih terperangkap di sini,” katanya, kesal.
Tentu saja banyak yang kapok datang ke Thailand. Robert Grieve
bukan satu-satunya yang bersumpah takkan pernah datang lagi ke
negeri seribu pagoda itu. Patricia Peel pun punya “sumpah” yang
sama.
“…Ini betul-betul menjijikkan. Saya berbicara dengan banyak orang,
dan mereka bersumpah takkan pernah datang lagi ke Thailand,”
Mengungkap Kesenjangan Istana 133
katanya.
Perempuan itu jengkel sekali, tak tahu harus berbuat apa. Gerak
geriknya makin tak leluasa karena rekannya, John Vineal mengguna-
kan kursi roda.
Takkan ada yang gembira dengan situasi seperti itu. Pariwisata,
salah satu sektor andalan di Thailand, sangat menderita. Padahal,
sektor ini harus terus menerus dipelihara karena menyumbang 5%
GDP dari kedatangan sekitar 14 juta wisatawan asing setiap tahun
dan mempekerjakan dua juta penduduk atau lebih dari 7% total
tenaga kerja Thailand.
Tersanderanya ribuan wisatawan dalam bandara, dan memaksa
ribuan lainnya luntang-lantung dalam kota tak bisa pulang, jelas
sebuah kampanye negatif bagi sektor pariwisata. Siapa pun tahu
sektor ini sangat peka, terutama dalam hal keamanan.
Sebuah travel warning saja dapat berpengaruh pada tingkat
kedatangan wisatawan. Bila travel warning datang berkali-kali, bukan
hanya sektor pariwisata saja yang terpengaruh. Situasi tidak aman
dan stabilitas sangat berpengaruh terhadap investasi. Apalagi,
Bandara Suvarnabhumi lebih dari sekadar pintu gerbang.
Bettina Wassener dalam artikelnya yang berjudul “Political Crisis
Ripples Across Thai Economy” di The New York Times menyebut,
bandara ini melayani 100 maskapai penerbangan yang terbang ke
dan dari 68 negara. Bandara ini juga melayani 1,25 juta penerbangan
komersial per tahun, melayani 100 ribu penumpang per hari, dan
menjadi titik distribusi bagi 1.209.720 ton barang atau sekitar 3 persen
dari total barang yang diangkut maskapai penerbangan seluruh
dunia. Jasa pengiriman barang lewat udara ini menyumbang 3 miliar
baht per hari.
Ratusan penerbangan dibatalkan. Thai Airways yang biasanya
menguasai 25 persen dari dan ke Suvarnabhumi rugi 500 juta baht
(sekitar 14 juta dollar AS) per hari. AirAsia, maskapai murah yang
menyumbang 12% lalu lintas penerbangan di bandara itu terpaksa
membatalkan sekitar 106 penerbangan sehari, berpengaruh terhadap
134 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
10.000 penumpang per hari. Belum lagi akumulasi penerbangan
oleh maskapai lain.
Karena itu, penutupan Bandara Suvarnabhumi diikuti penutup-
an Bandara Don Muang yang membuat sekitar 300 ribu wisatawan
telantar tak hanya berakibat bagi sektor pariwisata. Lembaga rating
Standard & Poor’s saat itu menurunkan tingkat perkiraan ekonomi
Thailand akibat rangkaian instabilitas di Thailand itu.
“…Instabilitas itu mengganggu secara serius perekonomian Thailand
dan meningkatkan kemungkinan meluasnya kekerasan di sana. Hal
ini menambah tekanan negatif terhadap perekonomian Thailand yang
sudah menderita karena melemahnya perekonomian global,” kata
Kim Eng Tan, analis kredit di Standard & Poor’s.
Setelah demo hingga menutup Bandara Internasional
Suvarnabhumi dan “menyandera” ribuan turis asing oleh kelompok
kontra mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, keamanan di
Thailand tidak mudah pulih. Pada April 2009 atau sekitar 3 bulan
sejak demo raksasa itu, gelombang demo yang tak kalah massif digelar
kelompok pro Thaksin. Bila massa kontra Thaksin menggunakan
kaos kuning, massa pro Thaksin ini menggunakan kaos merah.
Eskalasi demo mereka sama-sama besar. Massa kaos merah
sukses menunda pelaksanaan KTT ASEAN. Para demonstran
memasuki Hotel Royal Cliff Beach di Pattaya, tempat KTT ASEAN
diadakan. Mereka serta merta memasuki hotel, menaiki tangga, dan
memecahkan beberapa pintu kaca. Media center KTT ASEAN yang
terletak di resort Pantai Pattaya pun tidak luput dijamah demonstran.
Padahal beberapa pemimpin negara Asia dari China, Jepang, dan
Korea Selatan sudah ada di hotel itu. Mereka pun terpaksa dievakuasi
dengan helikopter, termasuk Menteri Perdagangan Indonesia, Mari
Elka Pangestu dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Presiden
SBY yang sempat ditawari menuju hotel dengan heli pun menolak
karena tak yakin dengan keamanan hotel. Akhirnya, PM Abhisit
mengatakan KTT ASEAN dibatalkan.
Tak hanya itu, massa juga menembus Kantor Kementerian
Mengungkap Kesenjangan Istana 135
Dalam Negeri dan memukuli mobil Perdana Menteri Abhisit
Vejjajiva dengan tongkat dan pentungan. Abhisit memang sukses
melarikan diri, namun dunia melihat bagaimana massa yang marah
merendahkan martabat pemimpin nasional mereka.
Thailand membuktikan pada dunia bahwa kerajaan itu adalah
entitas demokratis. Rakyat memiliki kemerdekaan untuk menyam-
paikan pendapatnya, sedemikian bebas hingga mereka bisa ber-
hadapan vis a vis dengan pemerintah, bahkan menggulingkannya.
Dalam masa antar demo yang berlangsung awal 2008 hingga awal
2009, Thailand diperintah 3 perdana menteri, yakni Samak
Sundaravej, Somchai Wongsawat, dan akhirnya Abhisit Vejjajiva.
Tiga kali pula kabinet negara itu berganti dengan hiruk pikuk mosi
tidak percaya di parlemen, perang di pengadilan, dan juga demo
jalanan dalam skala sangat massif.
Thailand memang demokratis, namun warga negara gajah putih
itu mengakui mereka mulai tidak percaya pada efektivitas demokrasi
karena selama ini, atas nama demokrasi itu pulalah kelompok merah
dan kuning bertikai tanpa ujung hingga membahayakan stabilitas
nasional.
Bagaimana dengan Indonesia?
***
“Apa yang kalian lakukan? Kalian tak boleh mengambil gambar.
Ini milik polisi,” kata laki-laki itu.
Teman-temannya minggir, menjauh dari area rekam kamera.
“Siapa bilang? Fasilitas itu milik para pembayar pajak, dan saya
adalah pembayar pajak,” teriak salah satu reporter Partai Demokrat
Singapura (SDP).
Tak menunggu lama, aktivis partai non pemerintah itu pun
bertanya balik. “Kalian sendiri sedang apa?”
Melihat orang yang mereka larang mengambil gambar tak bisa
diintimidasi, para pekerja proyek itu pun ganti takluk. Mereka
mengaku sebagai rekanan Kepolisian Singapura yang sedang
136 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
membangun fasilitas closed circuit television (CCTV). Sebagian
menyiapkan tiangnya, yang lain sibuk melakukan pemrograman di
laptopnya.
Tahukah Anda di mana 3 kamera CCTV itu dipasang? Kamera
pemantau itu dipasang di Speaker’s Corner. Dan asal tahu saja,
bagian kosong di Taman Hong Lim itulah satu-satunya fasilitas yang
disediakan Pemerintah Singapura untuk warganya yang ingin
menyampaikan aspirasinya.
Tempat berunjuk rasa namun jelas-jelas dipasangi CCTV?
Inilah ironi terbesar Singapura. Semua surga dunia sepertinya
ada di negara pulau itu. Pendapatan per kapita penduduknya sangat
tinggi, 50.300 dollar AS (bandingkan dengan pendapatan per kapita
penduduk Indonesia yang hanya 4.000 dollar AS). Namun Singapura,
negara yang sejahtera itu, jauh dari “kelengkapan” sebuah masya-
rakat demokratis.
Bahkan untuk berunjuk rasa di tempat yang ditentukan pun,
di Speakers’ Corner, warga Singapura harus lebih dulu mendaftar
ke kepolisian dan isi orasinya tidak boleh menyangkut masalah
agama, hubungan antarras, dan politik kenegaraan. Dan, unjuk rasa
di Speaker’s Corner pada dasarnya tidak beda dengan unjuk rasa
di tempat lain yang dilarang: para pelakunya tetap tidak kebal dari
undang-undang Singapura tentang pencemaran nama baik yang
sangat ketat.
Bukan hanya itu, Singapura juga tidak memiliki satu pun
kelompok penekan (pressure group). Data ini tentu membuat kita
berkernyit dahi. Bagaimana pun, kehadiran kelompok penekan
adalah suatu hal yang wajar dalam demokrasi. Tiadanya kelompok
penekan berarti pemerintah cenderung menetapkan dan
mengeksekusi kebijakan nyaris tanpa pembanding, apalagi kontrol.
Sekadar perbandingan, Indonesia memiliki banyak kelompok
penekan. Sebut saja Komite untuk Orang Hilang dan Korban
Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi), Front Pembelasa Islam (FPI), Benteng
Mengungkap Kesenjangan Istana 137
Demokrasi Rakyat (Bendera), Lumbung Informasi Rakyat (Lira), dan
banyak lagi lainnya.
Kelompok penekan adalah bagian fundamental dari demokrasi.
Dalam pendekatan pluralis, kelompok-kelompok penekan
memainkan peran esensial dalam proses demokrasi. Alasannya,
partai-partai politik tidak bisa mewakili kepentingan dan opini di
masyarakat yang spektrumnya begitu luas. Parpol lebih banyak
bergerak pada isu mendasar yang seringkali dianggap kurang bisa
mewakili kepentingan kelompok tertentu secara spesifik. Di sinilah
peran kelompok penekan menjadi vital. Keberadaan mereka
membuat isu-isu spesifik tertentu menjadi terdengar dan mendapat
porsi perhatian oleh masyarakat dan pemerintah.
Kelompok-kelompok penekan adalah produk dari kebebasan
berserikat yang menjadi salah satu prinsip demokrasi liberal.
Keberadaan kelompok penekan penting bagi berfungsinya
demokrasi dalam 3 hal: mereka menjadi institusi penghubung vital
antara pemerintah dan masyarakat, mereka membantu “membagi”
power ke lebih banyak aktor, dan mereka memberi imbangan atas
terjadinya konsentrasi kekuasaan. Salah satu ciri berlangsungnya
sebuah demokrasi adalah adanya rule of law; pembatasan kekuasaan
absolute pemerintah, adanya kebebasan berbicara, kebebasan
menjalankan agama atau kepercayaan; adanya kesetaraan di depan
hukum; penghargaan kepada wanita, toleransi agama dan etnis, serta
penghargaan kepada hak kepemilikan pribadi.
Tak hanya itu, Singapura juga terbelakang dalam sejumlah para-
meter demokrasi lainnya. Sebut saja tentang kebebasan pers dan
keberadaan partai oposisi. Demikian buram kebebasan pers di
Singapura hingga lebih banyak wartawan di sana yang memilih
melakukan sensor terhadap diri mereka sendiri daripada mengambil
risiko berhadapan dengan pemerintah, seperti ditulis dalam artikel
berjudul “No Freedom in Singapore, Freedom House Ranks the PAP
State 154th (www.singaporeelection.blogspot.com/2007/05/no-freedom-in-
singapore-freedom-house.html, diunduh pada 22 Februari 2010):
138 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
“…Singapura sangat ketat (membatasi kebebasan) hingga mayoritas
wartawan mempraktikkan penyensoran sendiri (self-censorship)
daripada dikenai tuduhan pencemaran nama baik atau dianggap
melanggar undang-undang pidana tentang pernyataan yang
diperbolehkan…”
Masih dalam berita yang sama, disebut juga bahwa konstitusi
Singapura menjamin hak kebebasan berbicara dan kebebasan
berekspresi. Namun, Singapura juga membatasi hak-hak ini.
Kebebasan pers di Singapura, misalnya, dibatasi oleh Newspapers
and Printing Presses Act, the Defamation Act, dan the Internal
Security Act yang kesemuanya membolehkan pemerintah melarang
peredaran berita yang dianggap memicu kekerasan, memancing
ketegangan rasial dan agama, ikut campur dalam politik domestik,
atau berita-berita yang dinilai pemerintah mengancam tatanan
masyarakat maupun keamanan dan kepentingan nasional.
Dalam peta tingkat kebebasan yang dirilis Freedom House tahun
2010, Singapura ada pada level kuning (partly free). Parameter
kebebasan mereka jauh di bawah Indonesia yang dalam kategori
itu masuk kelompok hijau (free).
***
Melihat Thailand yang begitu bebas hingga tidak stabil, atau
Singapura yang demikian membatasi kebebasan dalam menjaga
stabilitas dan kesejahteraannya, Indonesia muncul sebagai model
yang mengejutkan.
Negara ini memiliki ratusan suku, banyak agama dan keper-
cayaan, serta disparitas pendidikan dan sosial yang demikian
terentang. Siapa pun setuju, Indonesia jauh lebih kompleks dibanding
Thailand, apalagi Singapura. Namun, sejarah mencatat prestasi
demokrasi Indonesia yang membuat dunia terperanjat.
Saat Indonesia memulai masa transisinya menuju demokrasi
yang diusung melalui gerakan reformasi tahun 1998, banyak yang
memperkirakan nasib Indonesia akan seperti Yugoslavia atau Uni
Soviet, hancur berkeping–keping menjadi negara-negara kecil
Mengungkap Kesenjangan Istana 139
dengan ego kesukuannya masing-masing dan hingga kini relatif
tidak sejahtera.
Prediksi suram ini tentu bukan tanpa alasan. Sejak lama
Indonesia memiliki “bisul bernanah,” kekuatan-kekuatan yang dapat
membelah Indonesia sewaktu-waktu. Kekuatan-kekuatan secamam
ini pernah ada, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kini
telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Di bagian lain Indonesia,
gerakan separatis juga muncul dalam bentuk Organisasi Papua
Merdeka hingga kelompok-kelompok yang lebih kecil dan samar
seperti gerakan kemerdekaan Riau, Kaltim, hingga sisa-sisa Republik
Maluku Selatan.
Apalagi, sejak gerakan reformasi tahun 1998, Indonesia
mengalami masa transisi cukup panjang. Bila stabilitas diukur dengan
keberlangsungan rezim pemerintahan secara normal dalam waktu
yang telah diatur Undang-Undang Dasar, di awal masa reformasi
Indonesia tergolong kurang stabil. Dalam kurun 1998 hingga 2004,
misalnya, kita punya 4 presiden. Soeharto mengundurkan diri
setelah didesak gelombang massa yang menentangnya. Burhanudin
Jusuf Habibie yang kala itu wapres, akhirnya naik menjadi presiden.
Dia pun berhenti karena pidato pertanggungjawabannya ditolak
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Lalu, KH Abdurrahman Wahid tercatat sebagai presiden
pertama pasca Orde Baru. Adalah KH Abdurrahman Wahid pula
yang diturunkan oleh MPR di tengah masa pemerintahannya
melalui mekanisme pemakzulan. Megawati Soekarnoputri melanjut-
kan sisa masa jabatannya hingga 2004.
Dalam masa transisi itu, banyak hal—lebih tepatnya disebut
pergolakan—terjadi. Pada periode itulah kita melihat masyarakat
kelas bawah berbondong-bondong mendukung KH Abdurrahman
Wahid yang akan dilengserkan, menciptakan situasi mencekam
karena potensi konflik horizontal maupun konflik rakyat-aparat
keamanan yang demikian tinggi.
Risiko-risiko itu kita tanggung karena yakin gerakan reformasi
140 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
pada akhirnya menjadi pintu bagi re-demokratisasi kehidupan
bernegara kita. Karena kita yakin demokrasi yang sebenarnya
menjadi jawaban untuk hidup yang makin sejahtera dan kian
bermartabat. Hasilnya tidak mengecewakan.
Dunia pun mengakuinya. Indonesia disebut sebagai negara
demokratis nomor 3 terbesar di dunia, setelah India dan Amerika
Serikat (AS). Bahkan dibanding kedua negara itu, Indonesia berhasil
mengatasi tantangan pluralisme yang jauh lebih kompleks.
Rezim pemerintahan Indonesia mulai stabil sejak pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masa 6 tahun terakhir
diwarnai dengan dibangunnya struktur yang adaptif terhadap
perkembangan demokrasi. Kita sudah memiliki sistem yang
memungkinkan warga negara, pemerintah, dan siapa pun
pemangku kepentingan lain untuk menyuarakan aspirasi mereka,
menuntut hak, maupun memberi masukan bagi perbaikan.
Dunia internasional pun memuji demokrasi dan stabilitas
Indonesia, khususnya di masa kepemimpinan Presiden SBY. Media
Australia yang selalu kritis tentang Indonesia, salah satunya memuji
Indonesia sebagai demokrasi yang paling berfungsi baik di Asia
Tenggara.
“…Memang benar ada serangan teroris di Jakarta, bulan lalu, namun
itu serangan sejenis yang pertama dalam 4 tahun. Indonesia baru
saja menggelar Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yang bebas
yang akhirnya memberi mandat tegas kepada pemimpin modern
moderat Susilo Bambang Yushoyono untuk masa jabatan lima tahun
yang kedua. Angkatan bersenjata tak lagi berkuasa. Perekonomian
tak lagi hancur. Indonesia yang begitu lama ada di bawah tumit
(kekuasaan) diktator, kini berubah menjadi apa yang disebut para
analis sebagai “demokrasi yang berjalan paling baik di Asia
Tenggara…” (“Indonesia’s Quiet Revolution Bodes Well for Us)
(‘indonesia-quite-revolution’, Sydney Morning Herald –
www.smh.com.au, diakses tgl 21 Februari 2010)
Lebih lanjut tulisan itu juga memuji tingkat kebebasan yang
luar biasa di Indonesia. Kebebasan berpendapat, kebebasan
Mengungkap Kesenjangan Istana 141
berserikat, kebebasan pers, pengadilan yang kian ditingkatkan
independensinya, dan pemilu langsung yang relatif jujur dan adil
melesatkan Indonesia ke peringkat atas kategori negara demokratis.
“…Di saat China, Singapura, dan Malaysia masih tetap dalam
genggaman elite berkuasa yang enggan melepaskan kekuasaannya,
Indonesia menjadi negara di mana penduduknya bisa berbicara bebas
tanpa harus lebih dulu memeriksa siapa yang mendengarkan
pembicaraan mereka…”
Bukan hanya itu, transisi kepemimpinan di Indonesia juga
dinilai menjadi teladan proses demokratisasi di dunia. Pemilu dan
Pilpres yang aman dan sukses di Indonesia juga membuat banyak
kalangan optimismtis terhadap masa depan pemerintahan partisipa-
toris yang penduduknya mayoritas muslim, selama ini dianggap
didominasi pemerintahan tertutup, bahkan tidak demokratis. Artikel
Dr N. Janardhan, “Indonesia, A Model Muslim Democracy” yang
dimuat di ARAB NEWS, 22 Oktober 2009 (http://www.alarabiya.net/
views diakses 2 Maret 2010) menunjukkan jelas hal itu. Di sana ia
menulis:
“…Cara dia (Susilo Bambang Yudhoyono) naik ke tampuk kekuasaan
yang relatif lancar dan tenang bukan saja memperkuat eksperimen
demokrasi Indonesia, namun juga memberi optimisme terhadap masa
depan pemerintahan partisipatoris di dunia Islam…”
Kedewasaan demokrasi di Indonesia pasca reformasi, yang
ditandai dengan aman dan suksesnya Pemilu 1999, 2004, dan 2009,
tak hanya dipuji karena menyumbang terhadap modernisasi sistem
politik kita. Ia juga diyakini menyelamatkan Indonesia dari
keruntuhan secara ekonomi dan sosial. Pemilu-pemilu yang sukses,
berlangsung hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam memilih
anggota DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, pemilihan
gubernur, pemilihan walikota, dan pemilihan bupati secara
langsung, tak hanya menjadikan Indonesia sebagai “ibukota pemilu
dunia”. Bank Dunia, seperti ditulis Dr N. Janardhan, yakin hal itu
membuat negara Indonesia makin kuat, warganya kian bersatu, dan
142 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
pada akhirnya menciptakan spin-off ekonomi yang menguntungkan.
Dia menulis:
“…Indonesia juga memastikan bahwa demokrasi mereka terus
mengalami perbaikan secara kualitatif karena “pemilu saja tak cukup
untuk membangun demokrasi yang sesungguhnya…”
Pujian terhadap Indonesia juga mencakup banyak aspek lain
yang dibutuhkan bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat. Sebut saja
meningkatnya partisipasi politik masyarakat, kebebasan pers,
reformasi ekonomi, perlindungan HAM, juga reformasi di tubuh
militer dan lembaga peradilan. Padahal, siapa pun tahu reformasi
di 3 sektor yang disebut terakhir itu sangatlah sulit dan tidak semua
pemerintahan mau mengupayakannya. Lebih lanjut Dr N.
Janardhan memuji:
“…Sementara sejumlah pemilu meningkatkan partisipasi politik
masyarakat, kebebasan pers, masyarakat madani yang kuat, sistem
checks and balances, reformasi ekonomi, terlindungan terhadap HAM,
serta reformasi militer dan badan peradilan telah mebuat entitas
demokratis muda ini (Indonesia) dalam keadaan sehat…”
***
Demokratisasi memang layaknya pendulum. Ia tak pernah diam
dan selalu bergerak antara dua kutub ekstrem, antara stabilitas yang
memberangus kebebasan dan kebebasan yang cenderung chaotic bila
kebablasan. Dua-duanya bukan pilihan.
Kebebasan yang kebablasan hingga membuat negara guncang,
pada akhirnya justru membuat orang mempertanyakan efektivitas
demokrasi itu sendiri. Hal ini sudah terjadi pada masyarakat
Thailand.
Pada seperempat akhir tahun 2009 lalu, masyarakat Thailand
menunjukkan dengan jelas sikap mereka. Jajak pendapat gelaran
Dusit Poll menunjukkan warga negara gajah putih itu sudah muak
dengan konflik massa kaos merah (pendukung mantan PM Thaksin
Shinawatra) dan massa kaos kuning (kontra Thaksin) yang tak
Mengungkap Kesenjangan Istana 143
kunjung berhenti. Hasil ini tidak mengejutkan karena pertikaian
antara kedua kelompok massa itu “menyandera” Thailand nyaris
sepanjang tahun 2008 hingga awal tahun 2009.
Yang membuat banyak pihak khawatir adalah, rasa muak itu
berlanjut pada sikap mempertanyakan efektivitas demokrasi. Makin
besar saja persentase masyarakat yang mulai mengendur kepercaya-
annya terhadap demokrasi. Masyarakat mulai percaya bahwa apa
pun hasil akhir amandemen konstitusi, apa pun bentuk pemerin-
tahan yang muncul dan aturan-aturan yang menyertainya, warga
sudah apatis. Mereka yakin semua geliat itu hanyalah kumpulan
taktik selfish demi kepentingan memenangkan Pemilu mendatang.
Pranata-pranata demokrasi hanya dijadikan dalih untuk mengejar
kepentingan sendiri dan kelompok. Suthichai Yoon dalam “From
Delusion to Loss of Faith in ‘Democracy’” yang dimuat The Nation, 17
September 2009 menulis:
“…Janji demokrasi berubah menjadi persaingan bebas di antara
kelompok-kelompok penuh kepentingan dan bukannya proses di mana
beragam perbedaan diselesaikan dalam kerangka rule of law dan
nilai-nilai moral. Bukannya meningkatkan kesadaran publik, kita
justru menyaksikan kemenangan politik uang, terus tergerusnya
etika politik, tirani mayoritas, dan berkuasanya para preman…”
Suthichai Yoon juga jeli dan kritis saat menyebut bahwa
penegakan rule of law dan nilai-nilai moral menjadi syarat utama
penyelesaian konflik. Rule of law lebih banyak mengatur tentang
materi dan bentuk hubungan, sedang nilai-nilai moral memandu
bagaimana materi atau bentuk hubungan itu diejawantahkan atau
dieksekusi.
Rule of law adalah konsep bahwa baik pemerintah maupun
rakyat tunduk dan taat kepada hukum. Konsep ini muncul sebagai
pengganti konsep sebelumnya, yaitu rule of man yang lebih merujuk
pada bentuk kekuasaan kerajaan di mana titah raja adalah hukum
itu sendiri. Tidak ada ruang diskusi, tak ada adu argumentasi, tak
ada koalisi dan oposisi karena semua berpusat pada apa yang
144 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
diputuskan raja belaka. Manifestasi paling terkenal dari konsep rule
of man adalah kalimat Raja Prancis, Louis XIV, “l’etat c’est moi”
(negara adalah saya).
Presiden SBY sadar betul akan hal ini. Dia paham, presiden
dan keseluruhan pemerintahan tidak berada di atas hukum. Karena
itu, tak pernah terbersit sedikit pun memberangus kebebasan masya-
rakat. Meski stabilitas selalu menjadi unsur penting pembangunan,
namun pemerintah takkan melakukan pembungkaman seperti sering
terjadi di negara lain. Di Thailand, misalnya, pemimpin kudeta
Jenderal Sonthi Boonyaratglin sempat memanggil semua bos media
di negara gajah putih itu. Dia meminta media massa berhenti
menayangkan reaksi publik atas perebutan kekuasaan oleh militer.
Jenderal Sonthi meminta semua televisi menghentikan
penyiaran pesan tertulis dari masyarakat dalam bentuk running text
dan tayangan lainnya yang memperlihatkan reaksi publik atas
kudeta militer. Beberapa jam setelah kudeta, militer juga menge-
luarkan perintah mengawasi secara ketat media massa lokal maupun
asing. Saluran berita asing seperti BBC dan CNN hilang dari jaringan
televisi kabel Thailand. Bahkan, tentara sudah menyita seluruh
fasilitas transmisi mereka.
Presiden SBY tidak pernah memikirkan kemungkinan semacam
itu. Sejauh ini, menghadapi serangan dan cercaan terhadapnya, yang
banyak dilakukan Presiden hanya memperbaiki komunikasi dan
menggugah keterlibatan masyarakat secara lebih positif. Pemerintah
juga membiarkan siaran langsung sidang paripurna DPR yang
membahas rekomendasi Pansus Century. Padahal, sejak mula,
Pansus itu memang menunjukkan gelagat kurang bersahabat ter-
hadap pemerintah dan menjadikan kebijakan pemerintah sebagai
bahan pertanyaan, bahkan diselidiki kemungkinannya melanggar
peraturan.
Daripada menggugat pelaku demo yang menyamakan dia
dengan kerbau yang lamban dan bodoh, misalnya, Presiden lebih
memilih menyatakan terus terang bahwa demo seperti itu tidak
Mengungkap Kesenjangan Istana 145
patut. Menurut dia, demonstrasi sebagai bentuk pengungkapan
pendapat tak hanya perlu ditilik dari substansinya, namun juga
bentuk atau formatnya. Unjuk rasa dengan cara yang tidak patut,
menurut presiden, menunjukkan dengan jelas perkembangan
budaya bangsa.
“…Karena itu, silakan dibahas dengan pikiran yang jernih,
menyelamatkan demokrasi kita, menyelamatkan budaya kita,
menyelamatkan peradaban bangsa,” lanjut Presiden.
Kedewasaan yang sama dimiliki Wapres Boediono dan Menkeu
Sri Mulyani Indrawati yang tidak mengambil tindakan apa-apa
meski mereka diteriaki sebagai maling menyusul pemberian bailout
terhadap Bank Century. Selain membuka ruang kepada masyarakat
untuk menimbang dan belajar bersikap, pilihan SBY, Boediono, dan
Sri Mulyani untuk diam juga dilandasi kesadaran bahwa tiap
langkah pembelaan mereka cukup sering disalahtafsirkan.
Dengan begitu berkuasanya media massa, siapa pun memang
harus berhati-hati dan jeli saat melakukan komunikasi. Meski secara
formal media massa dibuat memiliki “objektivitas formal” dengan
keharusan balance atau cover both sides, namun sejak tahap paling
asali mereka tak pernah bisa objektif sebagai konsekuensi dari
kewajiban mengambil pilihan.
Ketika dihadapkan pada keterbatasan space (media cetak) dan
durasi (media massa elektronik), maka sejak mula media massa harus
melakukan pilihan: berita apa saja yang akan mereka angkat? Mana
yang akan ditaruh di halaman pertama? Mana yang akan dijadikan
headline? Mana yang dilengkapi foto besar?
Ketika membuat ulasan, siapa nara sumber yang mereka
wawancarai? Berapa banyak mereka mengutip nara sumber A dan
berapa pula porsi yang mereka sediakan untuk nara sumber B? Itu
semua sudah sesuai dengan objektivitas formal yang diminta oleh
jurnalisme. Namun sekaligus, hal itu juga memunculkan pilihan-
pilihan sejak awal berikut konsekuensi keberpihakannya (langsung
maupun tak langsung). Maka, media massa pun bukan sekadar alat
146 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
untuk menggambarkan realitas, namun juga menciptakan gambar-
an-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada
publik (pembaca).
Presiden sendiri cukup sering disalahtafsirkan media dan
masyarakat. Ketika membahas “demo kerbau” yang tidak patut,
mayoritas media massa memotretnya sebagai apa yang disebut
“politik melankolis.” Presiden dianggap terlalu sering “curhat” atau
mengadu kepada rakyat. Padahal, menurut kelompok ini, kehidupan
masyarakat sudah cukup sulit hingga beban mereka tak perlu
ditambah dengan keluhan seorang presiden.
Yang luput dipahami adalah, pernyataan-pertanyaan Presiden
merupakan bentuk komunikasi, ajakan kepada seluruh elemen
bangsa untuk tetap memperhatikan rule of law saat mengekspresikan
kebebasan yang mereka miliki, sebuah kebebasan yang takkan pernah
dipungkiri eksistensinya oleh Presiden. Presiden lebih memilih
mengomunikasikan hal-hal yang menyakitkan baginya–yang ke-
mudian disebut curhat itu—daripada, misalnya, serta merta
mengajukan pelaku “unjuk rasa kerbau” sebagai pelaku tindakan
penghinaan.
Satu pemahaman dasar yang sering dilewatkan adalah arti rule
of law itu sendiri. Kekhawatiran yang banyak disuarakan biasanya
dipicu anggapan bahwa rule of law adalah penegakan seperangkat
aturan yang bersifat top down, dari pemerintah kepada rakyat. Di
dalamnya terkandung kekuatan—dan tendensi—paksa dari peme-
rintah. Secara ringkas, ketakutan itu dipicu pemahaman bahwa
pemerintah ada di atas hukum. Padahal, siapa pun mestinya sadar
di Indonesia yang merupakan negara hukum, tak ada satu pun pihak
yang ada di atas hukum karena hukum itulah yang tertinggi.
Pelaksanaan rule of law tidak hanya berarti pengadilan berhak
mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi di masyarakat,
tetapi juga berwenang mengawasi cara pemerintah menjalankan
tugasnya. Artinya, pengadilan diposisikan sebagai satu-satunya
instansi sekaligus instansi tertinggi (enigste en hoogste instantie) yang
Mengungkap Kesenjangan Istana 147
berwenang menentukan apakah tindakan-tindakan pemerintah itu
benar dan berdasarkan hukum yang berlaku
Ya, semua kebijakan pemerintah adalah objek pula dari
penegakan rule of law itu sendiri. Bila pemerintah bersalah, ia bisa
disanksi pula. Kebijakan yang dianggap tidak pas dengan undang-
undang dasar, bisa diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung.
Pejabat yang sengaja menyelewengkan aturan untuk kepentingan
pribadi, bisa dipidanakan. Lembaga peradilan menjadi penentu yang
mestinya ditaati bersama.
Bila kebebasan diterapkan dengan menabrak rule of law, kondisi
chaos seperti yang terjadi di Thailand akan muncul pula di Indonesia.
Bila itu terjadi, harga yang harus dibayar teramat mahal.
Dampak unjuk rasa anti pemerintah di Thailand yang di dalam-
nya termasuk penutupan Bandara Internasional Suvarnabhumi,
misalnya, lebih mahal daripada biaya untuk merehabilitasi kerusakan
akibat bencana tsunami di akhir 2004 dan biaya akibat wabah SARS
(2003). Rangkaian aksi itu menyebabkan negara rugi 290 miliar baht
(Rp 89,9 triliun). Kerugian itu antara lain 120 miliar baht (Rp 37,2
triliun) pada industri jasa, 90 miliar baht (Rp 27,9 triliun) untuk
logistik, dan 60 triliun baht (Rp 18,6 triliun) pada industri
pariwisatanya sendiri.
Kerugian akibat huru hara politik ini memang tak hanya me-
landa industri pariwisata, namun juga merembet pada industri
lainnya. Jumlah kerugian itu setara dengan 3% nominal GDP.
Tak pelak, Indonesia tak punya pilihan lain kecuali menjaga
situasi tetap smooth. Untuk mencapainya tak ada pilihan lain kecuali
memastikan bahwa demokrasi tumbuh bersama ketaatan terhadap
aturan.
“..Karena itu demokrasi yang hendak kita bangun adalah demokrasi
yang nilai dasar kebebasan mesti berjalan bersama dengan aturan.
Yang kita perlukan adalah demokrasi yang sehat, ada keseimbangan
hak dan kewajiban, mari kita terus dorong demokrasi tumbuh dan
bermartabat,” katanya.
148 Pilih Mirip Thailand atau Singapura?
Bila hal yang sama terjadi di Indonesia, tentu menjadi kerugian
besar. Apalagi, prestasi demokratisasi sejauh ini tak hanya
memunculkan pujian, namun juga peluang. Kini Indonesia kembali
masuk radar investasi. Tak hanya itu, Indonesia juga diyakini sudah
masuk dalam BRIC, grup negara dengan potensi pembangunan dan
ekonomi luar biasa hingga selalu menjadi incaran tempat
penananman modal para pemain kelas internasional.
Eric Ellis, dalam “Indonesian Reform the Path to Investment”
di Sydney Morning Herald (21 Oktober 2009) menulis:
“…Share market (Indonesia) termasuk yang terbaik di dunia tahun
ini. Malah, banyak komentator menyebut bahwa Indonesia adalah
anggota baru BRIC—Brazil, Rusia, India dan China—, yaitu
kelompok negara yang tak boleh diabaikan perusahaan global.
Indonesia bukannya akan menggantikan India, namun menambah
satu “I” lagi dalam daftar tersebut menjadi BRIIC yang membuat
kumpulan pasar terbesar di dunia ini menjadi makin besar saja…”
Karena itu, apa yang diimbaukan Presiden sekadar penyeim-
bangan antara kebebasan dan rule of law.
“…Kebebasan dan rule of law atau pranata, keduanya diperlukan.
Kalau negara surplus rule of law nanti jadi negara aturan. Kalau
kebebasan demokrasi tanpa rule of law nanti jadi anarkis,” begitu
pesan Presiden saat bersilaturahmi dengan gubernur se-Indonesia
di Kantor Gubernur Kalimantah Tengah, Palangkaraya, Rabu, 2
November 2009 lalu.
Anda setuju?
Mengungkap Kesenjangan Istana 149
99999Koalisi Campursari
Layu SebelumBerbuah
“…Tak perlu belajar ke Eropa atau Amerika. Kalau mau belajar
semangat demokrasi serta kehidupan politik yang bersih dan
bersahaja, bukalah lembaran sejarah demokrasi
Indonesia pada 1950-an…” (Daniel S Lev).
Mohammad Natsir seolah datang dari negeri nan jauh di sana.
Negeri rumah para politikus yang berjuang sungguh-
sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Di negeri itu para politikus
memegang teguh ideologi parpol masing-masing. Amat teguh
pendiriannya. Beradu argumen dengan amat keras, bahkan
tergolong panas. Sangat jelas perbedaannya.
Dan, ini yang membedakannya dengan sekarang. Dalam
pendirian, sikap, pandangan politik, dan ideologi, yang berseberang-
an amat tajam para “bapak-bapak kita” di masa mereka berkuasa
pada periode 1950-an tak menisbikan saling menghormati. Tutur
kata yang sopan sebagai sahabat seperjuangan untuk memerdekakan
Indonesia dari kolonialisme Belanda, mereka junjung tinggi. Tradisi
150 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
budaya bangsa yang ramah begitu kukuh mereka jaga. Sesudah panas
dan keras beradu argumen di ruang parlemen yang sederhana,
mereka rehat meneguk bersama secangkir kopi.
Natsir, yang saat itu adalah tokoh utama Partai Masyumi,
dikenal amat keras memegang pendirian politiknya. Dia politikus
yang amat puritan. Tetapi pendirian politik itu tak merenggangkan
gandeng tangan yang sejati dengan sahabat-sahabatnya yang
kebetulan haluan politiknya berbeda.
Dengan Bung Karno, Natsir sempat berpolemik. Bung Karno
dikritik keras. Dan ini yang patut diteladani politikus masa kini.
Ketika Bung Karno diadili pemerintah kolonial Belanda sebelum
dibuang ke Ende, Natsir maju gagah berani membela proklamator
RI itu. Kebersamaan dan kesetikawaan teramat kental. Mereka
menghidupkan politik. Bukan mencari hidup dari politik.
Tentu di masa itu ada politikus yang berperilaku miring. Hanya
jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Entah mengapa perilaku politik
santun sarat kolegial itu sulit berbenih lagi di masa kini. (Tempo, 14-
20 Juli 2008).
Bung Karno dan Bung Hatta dikenal luas berbeda amat tajam
pandangan politiknya. Tipe kepemimpinannya pun berbeda amat
kontras. Indonesianis Herbert Feith (almarhum) menyebut Bung
Karno seorang pengemban solidaritas (solidarity maker). Bung Hatta
disebutnya seorang administratur (administrator maker). (Feith, 1962).
Tetapi sejarah juga mencatat, “koalisi” atas nama hati nurani
kenegarawanan yang menduetkan dua bapak bangsa ini—meski
pada perjalanannya tak kekal karena Bung Hatta mengundurkan
diri tanggal 5 Februari 1957 (Noer, 1990—di kursi presiden-wakil
presiden pertama RI menjadi amat populer dengan sebutan: dwi-
tunggal.
Rasa kekolegialan berdarah daging saling menghormati ini
seakan tergerus di alam demokrasi multipartai saat ini. Etika politik
dengan tradisi budaya kesetiakawanan amat mulia yang diajarkan
para pendiri republik ini seolah membekas. Tidak jadi pelajaran bagi
Mengungkap Kesenjangan Istana 151
para politikus masa kini yang sarat dengan berbagai gelar akademik.
Tak tersisa dalam mentalitas dan naluri politik mereka.
Terlalu ekstrim mungkin. Karena bisa jadi tidak semua politikus
generasi sekarang seburuk yang kita temui. Mungkin banyak pula
politisi negarawanan sekelas Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, atau
yang lain. Hanya mereka masih di jalan gelap untuk menunjukkan
jati dirinya yang sejati. Tergelapkan karib mereka yang belum
terentas dari lembah nista moral politik yang buruk.
Ke depan, optimisme tetap terbuka. Toh, kadang optimisme
ini tergerus oleh kenyataan akrobat-akrobat buruk politikus kita yang
tidak mengambarkan sikap kenegarawanan. Oleh sebab itu, semoga
reportase sekilas silang argumen dalam rapat-rapat Pansus Hak
Angkat DPR tentang Bank Century hanyalah contoh soal sumir
yang tak mencerminkan perilaku, etika, dan moral semua politikus
kita saat ini.
Dengan pikiran waras kita rindu perbedaan politik apa pun—
sejuah apa pun perbedaan itu—toleransi tetap terpelihara. Tak
enteng sikap untuk terburu-buru menyalahkan lawan politik. Benar,
politik itu adalah siapa memperoleh apa. Koalisi di mana pun isinya
kurang lebih sama. Sharing kekuasaan. Namun, yang waras pasti
ingat ada batasan etis dalam moral berkuasa. Singkatnya, kekuasaan
itu jangan dianggap segala-galanya.
Bung Hatta berkoalisi dengan Bung Karno. Dwi tunggal ini
kawan sekaligus berteru paham dan pandangan politik. Hatta, sering
“bertengkar” dengan Bung Karno. Di saat yang sama wakil presiden
pertama RI ini tetap menjaga hubungan persaudaraan yang santun
dengan Bung Karno. Misalnya suatu ketika dia tak sejalan tentang
sistem pemerintahan yang efisien:
’’…Ada baiknya diberi fair chance dalam waktu yang layak kepada
Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu
akan menjadi suatu sukses, atau suatu kegagalan...’’ (Noer, 1990)
Di zaman yang berbeda kita menyaksikan dengan mata sendiri.
Ada sepak terjang politikus generasi sekarang yang rasanya tak
152 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
cukup elok untuk dipandang.
Dengan intonasi suara melengking, Ruhut Poltak Sitompul dari
Fraksi Partai Demokrat (FPD) mengintrupsi pimpinan rapat, Gayus
Lumbun. Rapat malam itu (5 Januari 2010) tiba-tiba panas karena
ulah Ruhut. Ia menuding Gayus tak tegas memimpin rapat. Gayus,
politisi asal PDI Perjuangan itu emosi. Tersinggung ucapan Ruhut,
Gayus balik menuding Ruhut karena dianggap tidak sopan.
’’Pemimpin, yang tegas dong. Masih ada fraksi lain yang belum
dapat giliran,’’ kata Ruhut.
’’ Tolong diatur yang benar. Jangan nanti pimpinan keluar lagi,’’
kembali Ruhut melanjutkan intrupsinya.
’’Memang Anda pernah lihat saya keluar,’’ balas Gayus dengan
nada sengit.
Ruhut menilai Gayus terlalu otoriter memimpin rapat. Ia juga
menyebut-nyebut Gayus profesor. Selain anggota DPR, Gayus
memang guru besar di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
’’Anda jangan kurang ajar menyebut-nyebut profesor,’’ tegas
Gayus.
’’ Kalau nggak senang lempar palu ke aku,’’ Ruhut tak terima
disebut kurang ajar.
Gayus menuding Ruhut selalu mengganggu jalannya rapat
dengan pernyatan-pernyataan yang meminta partainya Gayus,
PDI Perjuangan, menarik dia dari keanggotaan pansus.
‘’Nggak ada hubungannya. Saya Demokrat, Anda PDIP,’’ balas
Ruhut sengit.
’’Diam kau bangsat, ’’kembali Ruhut menggertak Gayus. (Berita
Fenomenal, Wordpress.com, 6 Januari 2010).
Sampai episode-episode berikutnya gertak menggertak antar
anggota pansus terus meramaikan panggung rapat di DPR. Sekali
Mengungkap Kesenjangan Istana 153
waktu, Ruhut mengatakan bahwa PKS sebagai anggota koalisi
pendukung pemerintahan SBY dianggap sudah out. ’’PKS sudah
kita buang ke laut,’’ katanya. Esoknya, anggota pansus asal FPKS,
Fahri Hamzah, membalas. ’’Ruhut itu radio rusak,’’ katanya.
Entah episode-episode apalagi yang bakal kita saksikan di
waktu-waktu selanjutnya. Lebih buruk. Atau, siapa sangka, justru
mereka bangkit dan belajar atas situasi hari ini agar lebih baik
berikutnya. Bahwa mereka sadar untuk berubah menjadi lebih baik.
Mereka wakil rakyat. Atas nama rakyat. Menjadi tidak elok kalau
rakyat diberi tontonan atraktif tentang perilaku yang kurang
mempesona. Rakyat perlu tuntunan etis tentang moral berperilaku
politik yang indah dan satun.
Ironi Kebhinekaan
Dwi-tunggal dalam ranah kebhinekaan Indonesia lebih dari
sekadar pengertian dua jadi satu atau dua orang bergabung jadi
satu. Ibarat pinang dibelah dua. Tidak juga hanya diartikan
kebersamaan dua orang yang intim. Dwi-tunggal adalah wacana
filosofis tentang moral dan etika; tentang kebersamaan,
persaudaraan, dan perjuangan yang sejati secara bersama-sama. Di
dalamnya memiliki nilai-nilai peradaban mulia yang agung.
Dalam konteks koalisi politik dapatlah pula dipahami bahwa
dwi-tunggal adalah koalisi yang tak hanya mensyaratkan kesamaan
dan persamaan platform dan ideologi partai politik. Di sana ada
perasaan setia kawan yang karib, kekeluargaan, dan kebersamaan
dalam perbedaan. Visi dari semua ini ialah ikhtiar dan aksi nyata
untuk mewujudkan tanggung jawab sosial politik yang didasari
semangat kebhinekaan—pluralisme—untuk berjuang bersama-sama
memajukan bangsa. Prinsip yang dianut adalah masalahmu adalah
masalahku. Bukan, masalahmu adalah bahan bagiku untuk
menyerangmu.
Dengan dasar moral dan filosofis dwi-tunggal tersebut, dapat
menjadi inspirasi dan referensi politik yang dapat menjadi roh dan
154 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
semangat yang mempererat tali koalisi.
Ikhtiar itu terasa kuat tersirat dalam suatu langkah politik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat maju lagi jadi calon
presiden (capres)—berduet dengan Boediono sebagai calon wakil
presiden (cawapres)—SBY bukan hanya menatap ke depan sebatas
memayoritaskan suara dan kursi di DPR agar pemerintahannya tidak
gampang digoyang dari gedung DPR-MPR. Koalisi antarparpol—
yang kemudian disepakati melalui kontrak politik itu—dilandasi niat
baik (good will) untuk membangun tali kebersamaan dalam
kebhinekaan di pemerintahan.
Dengan begitu kebhinekaan dalam koalisi besar itu diharapkan
dapat membulatkan tekad dan aksi untuk mempercepat kemajuan
bangsa. Diajaklah PKS, PAN, PPP, dan PKB untuk “berkolega”
dalam barisan koalisi yang dikomandani Partai Demokrat sebagai
pemenang Pemilu 2009.
Bahwa koalisi besar yang dibangun Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) tak cuma diniati hendak memayoritaskan
dukungan di DPR bisa dilihat dari perluasan kesempatan bagi parpol
lain untuk ikut dalam koalisi besar. Diajak pulalah parpol yang gagal
memperoleh kursi atau gagal meloloskan kadernya di DPR-MPR
pada Pemilu 2009. Mereka, antara lain, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN,
PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB,
PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, dan Partai PDI.
Kalau tujuannya hanya untuk memayoritaskan dukungan
politik di parlemen, barangkali tidaklah banyak gunanya mengajak
parpol-parpol nonparlemen ke dalam koalisi parpol pendukung SBY-
Boediono. Hanya meribetkan. Menambah-nambah masalah saja.
Dengan kata lain, koalisi besar yang dibangun Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk memperkuat roh kebhinekaan bangsa.
Dengan begitu tanggung jawab untuk memberikan dukungan pada
pemerintahan Presiden SBY tidak hanya dibebankan pada Partai
Demokrat sebagai pemenang pemilu. Parpol lain pun ikut serta
untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Mereka diajak
Mengungkap Kesenjangan Istana 155
bergotong royong membangun kebersamaan yang etis buat
memenuhi amanah rakyat yang dimandatkan melalui Pemilu 2009.
Haruslah dipahami bahwa mandat rakyat untuk memperjuang-
kan kepentingannya tidak hanya dibebankan kepada parpol peraih
suara terbanyak dalam pemilu—Partai Demokrat. Parpol yang tak
meraih suara siknifikan, malah pula yang tak punya kursi di
parlemen juga mendapatkan mandat kurang lebih serupa.
Jadi, kalau pun gagal dalam pemilu tak dengan sendirinya
berhenti mengartikulasikan mandat rakyat. Parpol-parpol itu tetap
dituntut memperjuangkan aspirasi rakyat dengan cara lain. Dalam
hal ini turut masuk ke dalam barisan parpol koalisi pendukung
pemerintahan hasil pemilu.
Tentu, good will itu tak terbayangkan bertepuk sebelah tangan.
Apalagi sampai ada dusta di antara mereka—parpol anggota koalisi.
Etika politik kebersamaan itu, dicita-citakan pula datang dari hati
yang dalam para pimpinan dan semua kader parpol anggota koalisi.
Jadi ada atau tidak ada kontrak politik antarparpol koalisi pen-
dukung, SBY tetap berkomitmen untuk “satu suara” di parlemen
seharusnya diikuti pula oleh para kader-kadernya. Satu barisan. Tak
ada yang saling cemooh. ’’SBY ingin koalisi itu jujur sepenuh hati,’’
kata Rocky Gerung dari FISIP UI (Kompas, 17/01/2010).
Dorongan membentuk koalisi ini bersifat universal. Negara
mana pun yang memilih sistem multiparpol yang dikombinasikan
dengan sistem presidensial, jika hasil pemilu tak menghasilkan
parpol pemenang mayoritas mutlak, parpol pemenang itu pasti
mengajak parpol lain untuk membangun koalisi. Terutama di
parlemen. Niatnya, kurang lebih serupa. Agar keputusan-keputusan
pemerintah tidak dihadang di gedung parlemen.
Tak jauh-jauh amat dari sini. Di Jepang, hasil Pemilu 2009 tak
menghasilkan parpol pemenang mutlak. Partai Demokrat Jepang
(DPJ) yang menang pemilu tak mayoritas mutlak itu perlu mengajak
kerja sama dua parpol gurem untuk membentuk pemerintahan
koalisi. Dua parpol gurem itu, Partai Sosial Demokrat (SDP) dan
156 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
partai konservatif—Partai Rakyat Baru (PNP).
Partai Demokrat Jepang (DPJ) yang berhaluan tengah-kiri,
meraih kemenangan. Partai ini meraih suara mayoritas di Mejelis
Rendah. Namun, di Majelis Tinggi Partai Demokrat Jepang tidak
berkuasa mutlak. Untuk mencegak penghadangan rencana pem-
buatan undang-undang baru maka DPJ mengajak SDP dan PNP
membentuk pemerintahan koalisi. (Radio Nederland Wereldomroep,
9/09/2009)
Di Eropa, sejak Perang Dunia II 1945 koalisi dijalin lebih banyak
berdasarkan persamaan program. Koalisi karena persamaan ideologis
semakin jarang terwujud. Di sana, parpol kanan dan kiri—yang
dari nama itu saja sudah tercermin perbedaan ideologi—bisa
bergabung dalam jalinan koalisi. Di Belanda, Partai Kristen Demokrat
bisa intim berkoalisi dengan Partai Hijau Kiri. Di Jerman kurang
lebih sama. Partai Kristen Demokrat, Partai Liberal Demokrat, dan
Partai Sosial Demokrat bisa “bertegur sapa” dalam koalisi yang
kukuh. Tidak mudah memang. Jalan untuk membangun koalisi
terkadang amat rumit, bahkan melelahkan.
Di Belanda, ada formatur koalisi yang dipimpin parpol
pemenang pemilu—direstui ratu. Dialah, si formatur ini, yang
melakukan negosiasi platform dengan parpol-parpol yang diajak
koalisi. Dan, begitu kesepakatan koalisi tercapai, mereka seolah
memegang sumpah. Tidak saling menjatuhkan. Tak ada caci maki.
Mustahilkah keterikatan koalisi seperti di Eropa untuk menjadi
pelajaran di sini?
Agaknya bukan sekolah formal saja yang perlu ke Eropa.
Sekolah etika demokrasi pun perlu pula ke sana, meskipun bagi
Daniel S Lev berguru demokrasi ke Eropa adalah hal ironi. Kata
Lev, kalau mau sekolah etika demokrasi, cukuplah “memutar ulang”
dokumen sikap-sikap santun sarat pertemanan dalam kebhinekaan
yang diperlihatkan Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, dan para pendiri
republik ini.
Saat mereka di puncak kekuasaan politiknya pada 1950-an,
Mengungkap Kesenjangan Istana 157
ketika saling berhadapan sebagai sesama politikus, di antara para
sesepuh negawaran itu tak memosisikannya sebagai musuh besar.
Sesama mereka hanya kawan, kolega yang berseberangan pendapat
tentang perjuangan meraih masa depan bangsa yang lebih baik. Tak
ada caci maki. Tanpa fitnah negatif yang membunuh karakter pribadi
masing-masing.
Koalisi Campur Sari
“ Tahun pertama berseri-seri
Tahun kedua menyesuaikan diri
Tahun ketiga saling iri
Tahun keempat saling caci maki
Tahun kelima jalan sendiri-sendiri.”
Ini puisi yang pernah ditulis para aktivis pemuda di Surabaya.
Mereka menyindir pasangan koalisi walikota-wakil walikota—
mungkin benar mungkin pula salah—hasil Pilkada (pemilukada)
2005 yang menurut para aktivis itu hanya kompak beberapa tahun
saja setelah pemilukada. Setelah itu, kongsi politik (koalisi) pecah.
Walikota dan wakil walikota saling menjauh. Jalan sendiri-sendiri
untuk kepentingan mereka sendiri. Tak peduli masyarakat yang jadi
korban persaingan politiknya.
Gejala ini meskipun naif, terasa merusak etika demokrasi,
lumrah terjadi hampir di semua daerah di tanah air ini. Bukan hanya
di level pemilukada kabupaten-kota. Di pemilukada provinsi sama
dan nyaris serupa, setali tiga uang. Gubernur dan wakil gubernur,
walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati maju
sendiri-sendiri menjadi calon orang nomor satu di pemilu
berikutnya.
Kompetisi politik yang demokratis memang memberikan
kesempatan yang setara terhadap semua orang untuk dipilih dan
memilih secara bebas dan otonom. Yang sering diabaikan, memin-
jam itermezo prokem masa kini “emang gue pikirin,” dalam
persamaan untuk memilih dan dipilih terdapat modal sosial yang
158 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
disebut kompetensi. Ada norma-norma yang patut dan tidak patut.
Memanfaatkan kesempatan yang sama dan kebebasan dalam
sistem politik demokratis memang tak melanggar UU No. 10/2008
tentang Pemilu dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang sempat direvisi secara terbatas pada tahun 2008, yakni UU No
12/2008. Sah-sah saja. Namun, norma kepantasan, patut dan tidak
patut berlaku universal. Ini kembali ke nurani masing-masing. Sebab,
patut dan tidak patut dalam banyak hal bersinggungan dengan rasa
malu atau tidaknya seseorang kepada orang banyak.
Di banyak daerah, duet kepala daerah—gubernur dan wakil
gubernur, walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil
bupati—sudah berantakan ketika rakyatnya belum menikmati buah
prestasi pemimpin politiknya yang dijanjikan di panggung kam-
panye. Ketika duet itu tak sampai lima tahun, kepemimpinan sudah
harus buyar karena ego masing-masing. Duet itu tidak bisa menahan
diri untuk terus mengabdi kepada rakyatnya hanya karena dorongan
untuk bersaing jadi orang nomor satu di daerah. Bagi kebanyakan
kepala daerah yang wakilnya berbeda partai bahkan kadang-kadang
tidak akur, berkompetisi dalam memerintah.
Dengan kata lain, pemerintahan daerah hasil koalisi yang
seharusnya bekerja keras untuk menyejahterakan dan memakmur-
kan daerahnya menjadi tidak fokus bekerja. Mereka terseret
kepentingan pragmatisnya. Ingin segera menjadi orang nomor satu.
Celakanya, keduanya—kepala daerah dan wakil kepala daerah—
mengklaim mengklaim paling pantas untuk memimpin daerah.
Dorongan berkuasa yang mengaburkan rambu-rambu ketidak-
patutan menjelang pemilukada 2010, bukanlah pepesan kosong.
Datanglah ke Surabaya. Atau, mungkin pula potret serupa ditemui
di kota-kota besar lain di tanah air ini, yang juga akan melakukan
hal yang sama.
Di Surabaya, Walikota incumbent saat ini segera menyelesaikan
dua periode pemerintahannya. Tapi, dia enggan purna tugas. Karena
konstitusi hanya membolehkan kepala daerah menjabat dua kali
Mengungkap Kesenjangan Istana 159
periode saja, dibuatlah siasat. Demi bertahan di puncak kekuasaan
di Surabaya, si kepala daerah ingin tetap maju lagi pada pemilukada
tanggal 2 Juni 2010. Tidak sebagai calon orang nomor satu. Dia
“ikhlas” turun posisi. Hanya maju menjadi calon wakil walikota.
Tak ada aturan yang dilanggar memang. Hanya nurani kita
berdegub-degub. Patutkah hal itu? Pantaskah hal itu dilakukan?
Kita hanya dapat bertanya soal kepantasan dan kepatutan, karena
memang Undang-undangnya tidak melarang.
Di Kabupaten Kediri preseden ketidakpatutan lebih buruk lagi.
Bupati incumbent punya dua istri. Dia poligami. Karena bupati
incumbent ini sudah dua periode menjadi bupati Kediri—tidak bisa
maju lagi—giliran istri tua dan istri mudanya bersaing untuk maju
menjadi calon bupati Kediri. Dua istri yang dipoligami itu bersaing
untuk menggantikan sang suami.
Kini, baliho-baliho bergambar dua istri bupati berjejer-jejer
menyesaki pohon, tiang listrik, dan gedung-gedung di kota tahu
itu. Istri pertama, ngotot untuk mendapatkan tiket dari sejumlah
partai. Istri kedua, tak mau kalah. Dia juga terus menggalang
kekuatan untuk menjadi calon bupati dengan tiket dari parpol
berbeda. (Jawa Pos, 27 Ferbuari 2010). Suatu anomali politik yang
mungkin tidak ditemukan di negara lain.
Reportase sekilas pemilukada, sepintas mungkin benar adanya.
Mungkin juga salah. Apa pun hasilnya—jadi maju atau tidak dalam
contoh dua istri Bupati Kediri—tetap saja akan menjadi preseden
buruk bagi demokrasi kita, dan norma kepatutan. Memang tidak
ada aturan yang dilanggar. Tidak pula ada pasal dalam UU No 32/
2004 yang ditabrak. Sedemikian itu, tetaplah menggelikan.
NamunGgambaran di atas mengilustrasikan sedang tumbuhnya
klien-klien dan dinasti politik, suatu model baru dinasti politik di
beberapa daerah yang belum pernah kita temukan sebelumnya.
Demokrasi yang memberi ruang lega bagi persamaan dan
kebebasan secara otonom justru dimanfaatkan dengan murahan.
Tidak elegan. Menjauhi keadaban politik. Hanya ditunggangi
160 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
kepentingan unjuk ego politik. Pamer nafsu berkuasa yang tidak
patut.
Pada saat pemilihan presiden 2009 yang lalu, gambaran koalisi
parpol yang tercemin hingga kini barangkali dapat diibaratkan
sebagai koalisi campursari. Disebut campursari karena koalisi
antarparpol bukan hanya warna-warni politiknya, ibarat pelangi.
Juga disebabkan oleh rentan dan renggangnya koalisi, alias mudah
goyah. Koalisi demikian ibarat lagu, jika tak ada “lagu baru,” barisan
koalisi terkesan solid. Begitu muncul “lagu gubahan, “ dengan
aransemen yang baru, tiba-tiba berubah. Irama pun turut berubah.
Bisa keras seperti lagu-lagu cadas (rock). Bisa berubah jadi pop, jazz,
atau dangdut. Bergantung pesanan dan permintaan penggemarnya.
Mirip irama campursari yang gado-gado.
Dalam bahasa lain dapat dipahamai bahwa pengalaman dua
kali pilpres telah memberikan kesan kuat bahwa motif koalisi tidak
sepenuhnya didasari komitmen untuk menciptakan pemerintahan
yang efektif. Kesan yang dapat dipahami lebih terasa akan adanya
motif sharing mendapatkan kekuasaan, terutama parpol non-
pemenang pemilu.
Langgam yang bisa dirasakan ialah komitmen koalisi yang
disepakati pimpinan parpol jarang merembes menjadi semangat
serupa di level kader atau fraksi di DPR hingga DPRD. Ketika sesama
kader parpol anggota koalisi ada yang dapat jatah kekuasaan, jumlah
mereka banyak sementara tempat yang tersedia terbatas, tidak
kebagian, seolah sudah jadi mafhum segera munculkan agregasi-
agregasi faksi di internal parpol.
Lalu, ketika faksi-faksi makin mengental, sikap atau pandangan
yang keluar menjadi tidak satu suara. Celakanya, kadang suara yang
keluar lebih keras dari suara parpol yang sedari awal memilih di
luar koalisi.
Dalam rapat-rapat Pansus Hak Angket Bank Century, friksi-
friksi semacam itu amat mencolok. Kecuali Partai Demokrat dan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), parpol anggota lain koalisi
Mengungkap Kesenjangan Istana 161
pemerintahan SBY-Boediono, sikapnya malah oposan. Fraksi Partai
Golkar (FPG) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), amat
dan teramat keras menentang kebijakan bailout (penalangan) Bank
Century yang merupakan produk pemerintahan koalisi yang
didukungnya. FPG dan FPKS tak ada bedanya, dengan Fraksi PDI
Perjuangan dan Fraksi Partai Hanura yang memilih oposisi.
Sebagian lagi, Partai Amanat Nasional (PAN) memilih bermain
aman. Abu-abulah. Hari ini terkesan keras menentang, esok hari
berputar-putar dulu. Berulah setelah itu kita harus memberikan
kesimpulan bahwa PAN memberi isyarat mendukung kebijakan bail
out.
Dari amatan terhadap pengamanan dua kali pilpres, 2004 dan
2009, ada dua hal yang tampaknya memicu koalisi menjadi rentan.
Di tengah jalan, anggota koalisi sering jalan sendiri-sendiri sesuai
kepentingan politik sesaat. Pertama, belum banyak parpol memiliki
“orang kuat” di kursi orang nomor satu. Sering terjadi, suara orang
nomor satu—dan orang-orang sekitarnya yang sejalan—tak dengan
sendirinya diikuti suara serupa oleh orang-orang partai di level-level
berikutnya. Tidak satu suara.
Gambaran berikutnya sederhana saja. Pilihan-pilihan politik
yang diambil—termasuk pilihan untuk atau tidak berkoalisi—tak
otomatis diikuti kader-kader lain. Terlalu beragam kepentingan
politiknya.
Dalam sejumlah kesempatan, Taufik Kiemas, mengatakan
bahwa partainya, PDI Perjuangan, membuka kesempatan untuk
koalisi. Semua tahu, ternyata suara Kiemas bukan representasi
partainya. PDI Perjuangan tetap kukuh memilih jalur di luar
pemerintahan.
Menanggapi Pansus Hak Angket DPR tentang Bank Century,
Kiemas dengan enteng mengatakan tidak ingin menyebut nama
pihak-pihak tertentu yang dianggap bertanggungjawab dalam
penyaluran dana bail out (penalangan) ke Bank Century.
Seperti sikap Kiemaskah suara anggota pansus dari Fraksi PDI
162 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
Perjuangan? Ternyata tidak. Semua tahu, dalam pandangannya,
anggota Pansus dari Fraksi PDIP menyebut terang benderang nama-
nama yang dimaksud.
Di Partai Amanat Nasional (PAN) sama saja. Ketua Umum
Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN M. Amien Rais berulang-
ulang mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani harus
diberhentikan. Amien juga menerima Tim 9 Pansus Bank Century.
Amien minta agar DPR menyebut seterang-terangnya pihak yang
dianggap bertanggung jawab terkait bailout.
Nyatanya suara Amien tak dimakmumi anak buahnya. Anggota
Pansus dari PAN berusaha agar koalisi tetap solid. Salah satu Ketua
DPP PAN Patrialis Akbar malah mengatakan bahwa tidak ada yang
salah dalam penyaluran dana bailout Bank Centry (Jawa Pos, 28
Februari 2010).
Kedua, pimpinan parpol sering tak dapat menahan diri ketika
harus memilih untuk maju dalam kompetisi politik seperti pilpres
atau pemilukada.
Dengan kata lain ketika koalisi menjadi gembos tak serta merta
karena masalah eksternal. Sering karena penggembosan dari internal
parpol karena kepentingan yang majemuk serta faksi-faksi yang tidak
bisa dikelola menjadi kekuatan yang solid.
Ada pula karena motif masuk koalisi amat fragmatis. Dengan
cara apa pun yang penting bisa mendapatkan bagian dari kue ke-
kuasaan. Ketika motif berkoalisi condong demikian, tak jika mereka
masuk koalisi hanya dengan satu kaki. Satu kaki ada di koalisi yang
diharapkan menang dalam kompetisi politik seperti pilpres. Satu
kaki lainnya menunggu di luar. Kaki yang di luar ini bisa bergerak
ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Jaga-jaga. Jika koalisi
gagal menang, dalam sekejap kaki yang nunggu di luar, meminjam
lagu Mulan Jameela, sudah hijrah ke “lain hati.” Koalisi seperti
inilah yang patut disebut koalisi campur sari. ’’Koalisi setengah hati,’’
kata Rully Chairul Azwar.
Mengungkap Kesenjangan Istana 163
“ ... Koalisi yang ada sekarang ... hanyalah koalisi semu. Pola
dukungan bisa berubah-ubah berdasarkan isu dan kepentingan
pencitraan masing-masing partai. Alasan yang dikemukakan karena
partai anggota koalisi tak ingin mati-matian membela pemerintah.
Juga karena partai koalisi harus menyalurkan aspirasi rakyat.
Karena itu koalisi itu sangat cair dan lemah..” (Azwar, 2009).
Rully mencoba memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
hal itu. Menurut kader Golkar ini, koalisi sering menjadi setengah
hati karena ada sebab-sebab lain. Mengutip C Rudd, kata Rully,
koalisi parpol dalam negara yang menganut sistem multi partai
dengan pemilu proporsional sering parpol yang bersangkutan merasa
dirugikan. Parpol anggota koalisi dalam sejumlah hal harus manahan
diri untuk membuat program partai yang sebenarnya menarik
perhatian pemilih. Mengapa? Karena parpol tersebut harus
menyesuaikan diri dengan arah program dan kebijakan koalisi.
Dalam wilayah berbeda ego seperti itu, posisi pimpinan partai
perlu dijadikan pertimbangan dalam melihat efektivitas koalisi.
Pepatah Jawa ini: rumongso, neng ora rumongso mengambarkan ego
seseorang yang merasa besar dan mampu. Jika yang rumongso neng
ora rumongso, ditarik ke wilayah koalisi mungkin saja mengganggu
soliditas koalisi.
Rumungso neng ora rumongso dapat menyimpulkan sikap sering
tidak mau mengalah. Tidak bisa menahan diri. Merasa paling bisa.
Aku bisa. Kamu tidak. Tidak mau mengalah. Oleh sebab itu, kadar
toleransi menjadi amat rendah. Dalam tataran praktis politik,
wujudnya, antara lain, saling menyalahkan. Mudah menuding
kelemahan sesama anggota koalisi.
Di mana pun komitmen koalisi bermula dari kompromi. Tidak
saling menonjolkan perbedaan. Yang diutamakan simpul-simpul
persamaan. Kalau pun tidak tercapai kompromi maka tenggang rasa
perlu diperlihatkan. Ketika Natsir gagal mencapai kompromi dengan
Bung Karno yang mengakibatkan Partai Masyumi dibubarkan, dia
tetap dapat mengendalikan emosinya. Dengan tetap santun bin etis,
164 Koalisi Campursari Layu Sebelum Berubah
Natsir hanya berujar, ’’kami sepakat untuk tidak sepakat.’’ Tak
menyakiti lawan politiknya. Tanpa fitnah yang menyulut aksi-aksi
anarki.
Dalam contoh lain, sepakat untuk tidak sepakat ini secara relatif
pernah diperlihatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY
hendak mengajak PDI Perjuangan melalui Ketua Dewan
Pertimbangan Pusat (Deparpu), Taufiq Kiemas, masuk koalisi. Meski
PDI Perjuangan akhirnya memilih tetap di luar pemerintahan, SBY
tetap mesra dengan Kiemas. Bahkan terpilihnya Kiemas menjadi
ketua MPR mendapat dukungan Partai Demokrat melalui SBY.
(Tempo, 31 Agustus-6 September 2009).
Kepentingan subjektif dan egoistik tiap-tiap parpol memang
momok yang jadi hambatan serius koalisi. (Giovanie, 2004). Koalisi
pun menjadi rentan retak sebelum perjalanan pemerintahan yang
didukungnya menyelesaikan tugas periodiknya.
Memang pada simsul inilah persoalannya ketika koalisi
merupakan keniscayaan lantaran dalam pemilu tidak ada partai
meraih suara mayoritas mutlak. Tawar menawar menguras energi
besar. Padahal menyertai tawar menawar itu beragam kepentingan
politik muncul. Celakanya, jika pun koalisi berhasil dibentuk tak
ada jaminan bisa langgeng.
Beragamnya kepentingan politik. Egoisme elite parpol yang
kuat. Buruknya etika politik. Dan, pilihan-pilihan politik yang ber-
ubah-ubah, kian mengukuhkan koalisi parpol di negeri ini ibarat
irama campursari. Koalisi gampang goyah oleh tuntutan dan
desakan situasional yang instan.
Koalisi pendukung pemerintahan SBY kian terasa lemah di
parlemen. Fraksi Partai Demokrat (FPD) sebagai pemimpin koalisi
belum dapat menjadi “induk” yang nyaman. Yang terasa di luar
parlemen, Fraksi Partai Demokrat kurang lincah. Tidak cekatan.
Lemah membangun komunikasi lintas partai koalisi agar dapat saling
memahami untuk berjalan di rel yang sama untuk mendukung
pemerintah.
Mengungkap Kesenjangan Istana 165
Ini, terutama, terasa ketika FPD berhadapan dengan fraksi
partai besar, baik fraksi sesama koalisi maupun fraksi dari parpol
yang memilih di luar pemerintahan (oposisi). Dengan Fraksi Partai
Golkar (FPG) dan Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP), misalnya. Dari
luar gedung DPR terasa, Fraksi Partai Demokrat—semoga ini tidak
benar—justru sering ditinggalkan FPG. Sedangkan FPDIP sering
begitu mudah “menyerang” FPD. Dalam situasi demikian, FPD
sering berada pada posisi yang defensif.
Kalau sudah demikian, lantas, siapa yang bisa bilang kalau
koalisi gado-gado ini bisa efektif sebagai koalisi pendukung
pemerintah? Sekalipun orang tahu pemerintahan pimpinan duet
Presiden SBY-Wakil Presiden Boediono hasil pemilu yang jurdil dan
demokratis.
Apa pun, kita terus berharap—tentu dengan optimistik—
perubahan dan perbaikan format politik, sistem demokrasi, dan
etika politik yang unggul-mulia, dapat segera menjelang. Semoga
tak jadi cermin ucapan Schiller, pujangga Jerman:
’’ Suatu abad besar telah lahir
Namun ia menemukan generasi kerdil.’’
Mengungkap Kesenjangan Istana 167
1010101010Tak Sabar Menunggu
Siklus 5 Tahunan
17 Agustus 1998
Bill Clinton duduk tegang di depan grand jury. Seperangkat
alat perekam seperti mengancamnya. Setelah beberapa jenak
dikuasai kesunyian yang menekan, suara Clinton akhirnya keluar
dalam getar: “Ya, saya pernah memiliki hubungan fisik yang tidak
patut dengan Lewinsky.”
Sore harinya, Clinton membuat publik dunia tercengang. Wajah
kuyunya tampil dalam siaran televisi nasional. Dia akui punya
hubungan dengan Lewinsky, dan hubungan itu bukanlah hubungan
yang pantas dan bisa dimengerti.
Ya, saat itu presiden ke-42 AS itu tak bisa lagi bersembunyi.
Pengakuan panjang Monica Lewinsky –hasil pertukaran dengan
kekebalan dari tuntutan hukum—memojokkan mantan Gubernur
Negara Bagian Arkansas itu. Gaun biru Lewinsky yang ternoda
cairan semen sang presiden meneriakkan satu kata dengan lantang:
skakmat!
Tak menunggu lama, detil affair Clinton dan Lewinsky itu
langsung tersebar. Termasuk, bahwa Clinton melakukan oral seks
saat melakukan tugas negara yang penting: berdiskusi via telepon
168 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
dengan salah satu anggota Kongres dari Partai Republik tentang
pengiriman pasukan penjaga perdamaian AS ke Bosnis Herzegovina.
Mungkin rakyat Bosnia akan marah mengetahui nasib bangsanya
didiskusikan dalam situasi yang tidak pantas seperti itu. Media massa
yang sudah memiliki versi lengkap atas affair itu, langsung mengudar
cerita perselingkuhan dari istana itu dalam beragam format. Penga-
kuan Clinton layaknya bendera start bagi dimulainya satu lomba
yang dimulai sejak 17 Januari 1998 di situs Drudge Report. Berita
itu melaporkan bahwa para redaktur majalah berita Newsweek
enggan memuat tulisan wartawan investigatif mereka, Michael
Isikoff tentang skandal Clinton dan Lewinsky. Keengganan redaktur
Newsweek saat itu tentu memancing keingintahuan media-media
lain.
Sejak itu, Clinton dan orang-orangnya sibuk melakukan pem-
belaan. Tak terhitung penyangkalan yang mereka buat. Namun,
suara dari dalam Gedung Putih sendiri, dari para staf yang tadinya
tak berani bicara, lebih lantang menyatakan kebenaran skandal itu.
Delapan bulan sejak itu, setelah pengakuannya menjadi breaking
news di mana-mana, memicu para produser membuat aneka talk
show paling menarik dan memaksa koran mengambil headline yang
sama, Clinton terpojok sendiri. Andai kata waktu bisa diputar ke
belakang, ia ingin mengganti semua kesaksiannya sebelumnya yang
dipenuhi penyangkalan.
Salah satu yang paling diingatnya tentu penyangkalannya pada
26 Januari 1998. Saat itu, didampingi istrinya Hillary Rodham,
Clinton berkata tegas:
“…Sekarang saya harus kembali mengerjakan pidato State of the
Union. Saya mengerjakannya hingga larut malam. Namun, ada satu
hal yang ingin saya katakan pada warga AS. Saya ingin Anda semua
mendengarkan saya. Saya akan mengatakannya sekali lagi: saya
tidak punya hubungan seksual apa pun dengan wanita itu, Nona
Lewinsky. Saya juga tak pernah meminta orang lain berbohong, tidak
sekali pun, tidak pernah. Semua tuduhan itu salah. Kini saya harus
Mengungkap Kesenjangan Istana 169
kembali bekerja untuk seluruh warga AS, terima kasih…”
Sungguh sebuah penyangkalan yang demikian tegas. Penyang-
kalan yang, bersama sejumlah kebohongan Clinton yang lain dalam
persidangan, menjadi senjata ampuh bagi para pengacara untuk
balik memukulnya.
Hillary ikut pusing tujuh keliling. Selama berbulan-bulan
Clinton diperiksa, wanita yang kini menjadi Menlu AS itu setia
membela suaminya. Dalam acara Today di NBC, 27 Januari 1998,
dia dengan yakin menuduh bahwa skandal ini hanyalah rekayasa
dari mereka yang tak ingin Clinton memerintah.
“…Cerita besar bagi siapa pun yang ingin mencari tahu, menulis,
atau menjelaskan adalah, ada konspirasi sayap kanan yang sangat
luas yang sudah berkonspirasi melawan suami saya sejak pertama
dia dinyatakan sebagai presiden,” kata Hillary.
Namun demikian, Clinton sudah mengaku. Semua “meriam”
mengarah padanya. Yang pertama berasal dari Hakim Susan D.
Webber Wright menetapkan Clinton telah melakukan contempt of
the court karena berbohong di bawah sumpah tentang affair-nya
dengan Lewinsky. Izin praktik hukum Clinton dicabut di Arkansas,
lalu di seluruh AS oleh Mahkamah Agung AS. Clinton juga didenda
90.000 dollar AS karena memberi kesaksian palsu.
Meriam lain yang lebih besar segera ditembakkan. Mayoritas
anggota Kongres dari Partai Republik yang saat itu menjadi mayo-
ritas di DPR maupun Senat mulai bergerak untuk melengserkan
Clinton . Kesaksian palsunya dan dugaan ia mempengaruhi
Lewinsky untuk berbohong, dianggap sebagai kejahatan obstruction
of justice and perjury (menghalangi peradilan dan kebohongan) yang
layak diganjar pemakzulan (impeachment).
DPR AS meloloskan usulan impeachment ini hingga masuk ke
Senat. Beruntung bagi Clinton , persidangan di Senat selama 21 hari
memutuskan Clinton tak melakukan kesalahan terhadap negara dan
dia tetap sebagai presiden.
170 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
Namun hal semacama itu mungkin akan mudah bila terjadi di
Indonesia. Tak perlu menunggu sebuah pelanggaran asusila berat
seperti kasus Clinton untuk memunculkan tuntutan impeachment.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru memulai jilid II
pemerintahannya, juga mendapat serangan ke arah impeachment
dirinya. Wacana pemakzulan sudah berkembang, sementara
pembuktian secara politis dan hukum belum dilakukan.
***
CERITA berujung impeachment memang tidak dimulai oleh Clinton.
Richard Nixon, Presiden ke-37 AS lebih dulu mengalami impeachment
karena kasus kriminal serius yang diotakinya.
Semua bermula pada malam 17 Juni 1972. Lima orang pencuri
memasuki kantor Komite Nasional Demokrat dalam Kompleks
Perkantoran Watergate di Washington. Terpergok oleh penjaga
malam, Frank Wills, kelima pencuri itu pun sukses dibekuk polisi
sekitar pukul 02:30 dinihari.
Mimpi buruk Richard Nixon dimulai
Makin siang, polisi yang memeriksa 5 orang itu mendapat
banyak titik terang. Bahwa 5 orang itu bekerja untuk Komite Bagi
Pemilihan Kembali Presiden Nixon.
Ketika temuan itu pertama kali muncul, Gedung Putih langsung
meenyangkal. Menurut mereka, kejadian itu tak lain hanyalah
“upaya pencurian kelas tiga.” Dengan kata lain: sangat remeh, jauh
dari keterkaitan dengan pusat kekuasaan Gedung Putih.
Namun, keping demi keeping bukti berhasil dikumpulkan polisi.
Sekitar 2 bulan kemudian, tepatnya Agustus 1972, Presiden Nixon
yang mulai terpojok, tampil di depan wartawan. Dia menegaskan,
“Tidak ada satu pun di pemerintahan, tak satu pun pegawai Gedung
Putih, yang terlibat dalam insiden aneh ini.”
Namun, penegasan mereka tak bisa menghentikan penyelidikan
polisi. Partai Demokrat pun, juga banyak elemen masyarakat lainnya,
Mengungkap Kesenjangan Istana 171
terus mendesak agar polisi memunculkan gambar utuh kasus ini.
Dua wartawan muda Koran The Washington Post, Bob
Woodward dan Carl Bernstein, banyak membantu dengan
ketekunan mereka mengikuti petunjuk demi petunjuk. Salah satu
bukti yang mereka dapat adalah bawa salah seorang pencuri itu
adalah pensiunan pegawai CIA, James W. McCord yang juga
Koordinator Keamanan Komite Bagi Pemilihan Kembali Richard
Nixon. Temuan lainnya, dana 25.000 dollar AS dikirimkan ke
rekening salah satu pencuri itu. Yang lebih mengejutkan, Jaksa
Agung John Mitchell mengontrol sebuah dana rahasia yang
membiayai aktivitas mata-mata politik dan trik-trik kotor terhadap
para kandidat presiden dari Partai Demokrat.
Salah satu trik kotor itu adalah dimuatnya surat di sebuah Koran
New Hampshire yang menuduh salah satu kandidat presiden dari
Partai Demokrat, Senator Edmund Muskie dari Maine mengejek
warga AS keturunan Kanada-Prancis sebagai “Canucks”. Canucks
adalah bahasa prokem untuk menyebut “orang Kanada.”
Hasilnya, di hari yang bersalju di New Hampshire , di luar
kantor surat kabar itu, Musky dengan penuh airmata menyangkal
tuduhan itu. Tindakan emosionalnya, yang terekam jelas di televisi,
membuat popularitasnya turun drastis di New Hampshire tak lama
sebelum presidential primary. George McGovern yang dianggap
kandidat yang lebih lemah oleh para ahli strategi Nixon, akhirnya
benar-benar memenangkan nominasi sebagai Presiden dari Partai
Demokrat. Rencana Nixon berjalan lancar. Menghadapi McGovern
yang sejak awal dianggap lawan yang mudah, Nixon pun meraih
kemenangan besar dan terpilih untuk masa jabatan kedua.
Namun, bau busuk konspirasi tetap tak bisa ditutupi. Pada
Februari 1973, Senat AS membentuk Komite Penyelidik Aktivitas
Kampanye Kepresidenan yang diketuai Senator Sam Ervin. Komite
ini bertanggung jawab menyelidiki semua peristiwa seputar
Watergate dan tuduhan-tuduhan lain terkait sabotase dan mata-mata
politik atas nama terpilihnya kembali Nixon.
172 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
Maret-April 1973 menjadi periode penting terbukanya trik-trik
kotor tim Nixon. Pada 23 Maret, James W. McCord mengaku kepada
Hakim distrik AS, John J. Sirica bahwa dia ditekan orang-orang
Nixon untuk tutup mulut. Pada 20 April, Pejabat Direktur CIA, L.
Patrick Gray mengundurkan diri. Alasannya, dia telah
menghancurkan bukti-bukti terkait kasus Watergate atas tekanan
para pembantu Nixon. Sepuluh hari kemudian, 4 pejabat utama
Nixon mengundurkan diri, yaitu Kepala Staf H.R. Haldeman;
Asisten Urusan Dalam Negeri John Ehrlichman; Jaksa Agung
Richard Kleindienst; dan Penasihat Presiden John Dean.
Sejak 17 Mei, Komite Penyelidik Aktivitas Kampanye
Kepresidenan mulai melakukan hearing yang disiarkan langsung
televise—seperti Pansus Hak Angket Bank Century. Sebulan
kemudian, mantan Penasihat Presiden John Dean bersaksi bahwa
memang ada cover up (upaya menutup-nutupi) bahwa Nixon terlibat
langsung secara personal dengan membayar kelima pencuri yang
masuk kantor Komite Nasional Demokrat tersebut dan 2 orang lain
yang merencanakan penyusupan itu. Tiga pekan kemudian,
pembantu lain Nixon bersaksi bahwa Nixon pribadi memerintahkan
pemasangan mikrofon tersembunyi di Ruang Oval Gedung Putih
pada musim semi 1971 dan merekam semua percakapan di sana.
Rekaman hasil penyadapan itulah yang menjadi fokus pertikaian
hukum setahun penuh antara 3 badan Pemerintah AS. Pada Oktober
1973, Jaksa Distrik Khusus Watergate Archibald Cox yang dipilih
oleh Pemerintahan Nixon berjanji kepada publik untuk
mendapatkan rekaman-rekaman itu sekalipun Nixon sangat
menentangnya.
Menghadapi kemungkinan terbukanya skandal, Nixon pun
gelap mata. Dalam apa yang disebut “Saturday Night Massacre,” 20
Oktober 1973, Nixon mencoba memecat Cox. Langkah Nixon gagal
karena Jaksa Agung Elliot Richardson dan wakilnya, William
Ruckelshaus menolak tekanan Nixon ini dan memilih mengundur-
kan diri. Hanya Solicitor General Robert Bork yang kemudian setuju
Mengungkap Kesenjangan Istana 173
menjalankan perintah Nixon dan memecat Cox. Solicitor general
adalah orang yang diposisikan untuk mewakili Pemerintah AS di
depan Mahkamah Agung AS.
Menit demi menit peristiwa ini dilaporkan secara langsung oleh
televisi, mengejutkan publik seluruh AS yang lalu mengirim desakan
impeachment terhadap Nixon.
“…Inilah saat kita menentukan apakah kita diperintah oleh hukum
atau diperintah oleh sekumpulan orang. Adalah Kongres, dan
akhirnya rakyat AS, yang harus segera mengambil keputusan,” kata
Cox usai pemecatannya.
Sepuluh hari kemudian, desakan impeachment itu benar-benar
dijalankan. DPR melalui Komite Yudisiari yang dipimpin memulai
investigasi awalnya. Hingga November tahun itu, Nixon masih
menyangkal keterlibatannya. Di depan 400 redaktur pelaksana
Associated Press di Florida, Nixon memberi kesaksian, “... Selama
tahun-tahun saya bekerja untuk rakyat, saya tidak pernah melanggar
hukum… Masyarakat harus tahu apakah presiden mereka seorang
bromocorah atau bukan. Dan yang pasti, saya bukan begal.”
Namun, bukti-bukti mengalir lebih deras dibanding sanggahan
yang bisa diberikan Nixon. Akhirnya, pemungutan suara di Komite
Yudisiari DPR AS memutuskan bahwa Nixon bersalah atas seluruh
dari 3 tuduhan yang ditimpakan padanya, yakni: pelanggaran
hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelecehan Kongres.
***
Puluhan juta pasang mata menatap televisi. Sebagian sedih,
yang lain gembira. Namun yang pasti, mereka tercengang. Di layar,
tampak sesosok pendek tambun berkacamata. Ia hanya mengenakan
baju dan celana pendek. Keseluruhan sosok itu kontras dengan
tempat dia berada saat itu: tangga Istana Merdeka.
Ya, sosok itu tak lain KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI
saat itu yang harus meninggalkan kursi kepresidenannya karena
impeachment MPR. “Banyak yang percaya, karena saya mengenakan
174 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
celana pendek saat itu, itu adalah tanda banjir,” kata Gus Dur dalam
sebuah wawancara dengan Jennifer Byrne yang disiarkan ABC, 17
April 2002.
Kalimat Gus Dur jelas sebuah guyonan khas pribadi humoris.
Namun, peristiwa yang membuat ia tak bisa menyelesaikan
keseluruhan masa jabatannya, jelas bukan guyonan.
KH Abdurrahman Wahid, presiden pertama Indonesia pasca
Orde Baru adalah juga korban pertama impeachment di masa
reformasi. Dianggap tidak kapabel dalam menjalankan pemerin-
tahan, parlemen pun mengusulkan impeachment dan akhirnya benar-
benar melakukannya. Gus Dur di-impeach karena diduga melakukan
korupsi, yaitu Rp 35 miliar dana Bulog dan 2 juta dollar AS pem-
berian Sultan Brunei Darussalam, Hasanal Bolkiah, tanpa suatu
proses pembuktian hukum.
Kasus yang pertama dan kemudian dikenal sebagai Buloggate,
dipicu oleh perbuatan Suwondo, tukang pijat Gus Dur dan pernah
menjadi rekan bisnisnya. Suwondo dituduh menggunakan nama
Gus Dur untuk menipu Bulog hingga mendapatkan dana Rp 35
miliar itu. Kasus ini lantas dikaitkan dengan Gus Dur karena sejumlah
pejabat Bulog mengatakan bahwa beberapa bulan sebelumnya Gus
Dur pernah bertanya apakah dana Bulog bisa disalurkan untuk
proyek-proyek bantuan di Aceh yang didera pertempuran antara
TNI dan kelompok separatis GAM. Gus Dur sendiri mengaku
pernah berniat melakukan hal itu, namun kemudian tidak jadi.
Tentang tuduhan kedua yang dikenal dengan istilah Bruneigate,
sebenarnya sudah diverifikasi oleh Gus Dur sejak pertama ia
diberikan. Seperti dikutip dalam “Gus Dur, The Authorized Biography
of Abdurrahman Wahid” yang ditulis Greg Barton(2003), bantuan itu
diberikan Sultan Brunei Darussalam kepada Gus Dur pribadi, bukan
Pemerintah Indonesia.
Selain dugaan korupsi yang menjadi alasan resmi impeachment,
banyak pihak yakin impeachment itu dilakukan terhadap Gus Dur
karena kinerja yang dinilai buruk dan sikapnya yang jauh dari kesan
Mengungkap Kesenjangan Istana 175
“asal parpol/parlemen senang.” Kegagalannya mengatasi tekanan
ekonomi (ditandai terus melorotnya nilai tukar rupiah) dan tin-
dakannya memecat dua menteri, yakni Menteri Industri dan
Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN, Laksamana
Sukardi (PDIP) menjadi pemicu impeachment terhadapnya karena
banyak partai yang kemudian sakit hati terhadapnya
Sikap Gus Dur yang keras, tanpa tedeng aling-aling, termasuk
perlawanan sengitnya yang berencana membubarkan parlemen,
membuatnya diperlakukan sebagai musuh bersama. Akibatnya,
MPR pun sepakat meng-impeach dia dengan 591 suara mendukung
dan tak ada satu pun suara menentang. Lebih dari 100 anggota
parlemen pro Gus Dur memboikot sidang istimewa MPR dengan
agenda impeachment terhadap Gus Dur tersebut.
“…MPR dengan ini menyatakan Abdurrahman Wahid diberhentikan
sebagai presiden sebelum masa jabatannya berakhir karena ia dinilai
benar-benar melanggar haluan negara,” kata Ketua MPR saat itu,
Amien Rais.
Gus Dur tidak pernah benar-benar menjalani persidangan di
pengadilan seputar tuduhan terhadapnya. Hal ini terjadi karena
Indonesia belum memiliki mekanisme legal yang baku tentang
impeachment. Karena itu, perdebatan tentang hal itu terus berlang-
sung sejak impeachment dilakukan. Saat Gus Dur di-impeach,
misalnya, perdebatan tentang keabsahan legalnya terus mengemuka.
Karena aturan baku impeachment belum tersedia, kebijakan tentang
masalah ini terkesan disisipkan pada aturan lain yang dinilai punya
kedekatan materi.
Karena itu, tidak heran bila para ahli hukum tata negara pun
menganggap impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tidak memiliki dasar yang kuat. Pasalnya, Gus Dur tidak
pernah diadili (baik di pengadilan biasa maupun di parlemen) atas
tuduhan korupsi yang menjadi pemicu usulan impeachment tersebut.
Dengan demikian, tidak ada dasar faktual yang bisa dijadikan
legitimasi pelengserannya selain kentalnya balutan politis.
176 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
Kentaranya muatan politis ini karena para pengaju impeachment
tidak mampu menjabarkan secara gamblang pelanggaran terhadap
haluan negara atau alasan konstitusional lain yang kuat dan telah
dilakukan Gus Dur.
Bukti bahwa mekanisme impeachment belum ada, berasal dari
DPR sendiri. Sejumlah fraksi di DPR meminta klausul impeachment
(pemakzulan) dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Fraksi yang
meminta tersebut adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan,
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Bintang Reformasi.
Sedangkan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Bintang Pelopor
Demokrasi dalam rapat kerja Pansus RUU Susduk, Senin, 20 Oktober
2008 bersama pemerintah tidak memberikan komentar terkait
dengan impeachment. “Ini pelajaran dari pengalaman sejarah ketika
dulu Gus Dur dijatuhkan. Sejarah bangsa ini tidak boleh barbar
secara politik, jadi pemakzulan merupakan persoalan bersama,” kata
Masduki Baidlowi, anggota DPR dari FKB.
***
Kondisi pada massa Abdurrahman Wahid tersebut berbeda
pada saat wacana pemakzulan mendominasi ruang publik saat akan
dilakukan pembentukan Panitia Khusus Hak Century. Walaupun
pada saat pansus ini dibentuk, wacana pemakzulan mengemuka,
namun hampir sama, masih belum ada mekanisme yang baku
mengenai impeachment. Mekanisme ini baru kemudian ditata oleh
Mahkamah Konstitusi dan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
melalui Keputusan Tata Tertib MPR yang baru.
Adalah kebijakan bailout terhadap Bank Century yang
kemudian diarahkan untuk menyebut bahwa Menkeu Sri Mulyani
Indrawati dan Wapres Boediono bertanggung jawab dan harus
mundur. Sri Mulyani adalah Ketua Komite Stabilitas Sektor
Mengungkap Kesenjangan Istana 177
Keuangan (KSSK) saat bailout terhadap Bank Century dikucurkan,
sementara Boediono adalah Gubernur Bank Indonesia pada saat bail
out terhadap Bank Century dilakukan. Mereka dianggap bertang-
gung jawab karena mem-bailout Bank Century yang sudah ditetap-
kan sebagai bank gagal. Berbeda dengan Boediono dan Sri Mulyani,
para penentang bailout mengatakan tidak ada dampak sistemik apa
pun bila bank ini dibiarkan kolaps.
Penyelidikan oleh Panitia Khusus Hak Angket Bank Century
di DPR RI diwarnai upaya-upaya untuk mengaitkan pengambilan
kebijakan itu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pertanyaan yang diajukan sejumlah anggota pansus diarahkan untuk
mencari tahu keterkaitan antara pengambilan kebijakan itu dengan
Presiden SBY. Pertanyaan seperti: “apakah Presiden SBY
mengetahuinya?” dan “apakah Anda sudah melaporkannya pada
Presiden SBY? Apa tindakannya?” sering terlontar. Harapannya,
bila kebijakan KSSK dianggap salah dan menyeret nama Sri Mulyani
dan Boediono, maka presiden pun akan bisa diseret sebagai pihak
yang bersalah pula dan membuka peluang impeachment.
Padahal, media massa mencatat sejak awal, Presiden SBY
meminta DPR untuk membuka kasus ini seterang-terangnya. Tidak
ada niat presiden untuk menutup-nutupi apapun. Tak ayal, upaya
yang dicari-cari untuk menyeret presiden ke arah kebijakan yang ia
tidak terlibat secara langsung, jelas merupakan gangguan luar biasa
bagi 100 hari pertama pemerintahan jilid II Presiden SBY dan
percobaan kesekian bagi impeachment presiden yang belum memiliki
panduan legal bakunya.
Seratus hari pertama sebuah pemerintahan sebenarnya tidaklah
istimewa karena ia adalah bagian dari keseluruhan masa pemerin-
tahan. Presiden SBY pun berpendapat demikian. Menurutnya,
program 100 hari merupakan satu kesatuan yang berkesinambungan
dengan program-program pemerintah yang tercantum dalam APBN
2010 dan juga tahun-tahun setelahnya.
Nilai penting masa 100 hari pertama sebuah pemerintahan
178 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
hanyalah fungsinya sebagai “etalase.” Etalase untuk menunjukkan
rancangan kebijakan apa saja yang telah dibuat dan apakah serang-
kaian usulan peraturan dan perundangan itu cukup strategis untuk
memandu dan membentuk postur pemerintahan yang efektif ke
depan.
Bahkan presiden sehebat Franklin Delano Roosevelt pun
melakukannya. Perhatian khusus terhadap 100 hari pertama sebuah
pemerintahan memang muncul pertama kali sejak masa peme-
rintahan presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) itu.
Presiden yang sering disebut dengan singkatan “FDR” itu
memimpin AS saat Perang Dunia (PD) II berkecamuk dan dunia
dilanda depresi besar (the great depression). Saat itu perekonomian
dunia nyaris tak bergerak. Jumlah pengangguran meningkat 25
persen, daya beli masyarakat turun drastis, jumlah penduduk miskin
bertambah, ratusan ribu orang mendadak menjadi gelandangan,
sistem perbankan kolaps, lebih dari 5.000 bank gulung tikar, semen-
tara industri, proyek konstruksi, dan pertanian, semua lumpuh.
Dihadang dengan kondisi tidak menguntungkan semacam itu,
nyatanya FDR berhasil mengatasinya. Kuncinya terletak pada
kebijakannya yang terkenal, menutup sementara seluruh bank dan
membuka kembali bank yang dianggap sehat. Secara esensial,
kebijakan ini membuat keyakinan publik meningkat, karena peme-
rintah dianggap paham persoalan dan mau berbuat untuk
mengatasinya.
Tampilan, kebijakan itu juga muncul dalam wajah yang ramah
karena FDR lihai memilih istilah. Dia menyebut penutupan
sementara bank-bank itu sebagai bank holiday, bukan sejumlah istilah
lain yang bernada mengancam. Hasilnya, ketika 12 Maret FDR
menyebut bahwa bank paling sehat akan dibuka kembali, sehari
berikutnya jumlah setoran masyarakat ke bank mengalir deras,
melebihi jumlah penarikan. Rush yang dikhawatirkan, justru
berganti kepercayaan publik.
FDR sukses membalik tantangan menjadi prestasi dengan
Mengungkap Kesenjangan Istana 179
program 3R: relief, reform, dan recovery. Melalui program relief, dia
menyelamatkan agar pengangguran sedikit demi sedikit bisa
dikurangi, terutama sektor industri dan pertanian. Reformasi praktik
bisnis dan keuangan ia jalankan agar sektor itu menjadi kuat, dan
secara keseluruhan ia upayakan recovery ekonomi nasional.
Prestasi lainnya, di rentang waktu 9 Maret hingga 16 Juni 1933,
FDR membanjiri Kongres dengan rancangan UU dalam jumlah luar
biasa besar dan semuanya digodok dengan mudah. RUU yang
dengan mulus menjadi UU itu termasuk berisi pembentukan Badan
Penanggulangan Darurat Federal, Korps Konservasi Sipil, Badan
Pembiayaan Rekonstruksi, pemberian kewenangan tambahan bagi
Komisi Dagang Federal, dan lainnya (Tiga Bulan Penuh Jeram,
Surabaya Post, 28 Januari 2010, halaman 1).
Berkaca pada keberhasilan FDR mengatasi masalah pelik di
negaranya yang bertumpu pada kelihaian mengusulkan serangkaian
RUU, dunia pun berhasil diyakinkan bahwa 100 hari pertama sebuah
pemerintahan sangatlah penting.
Bukan hanya secara empiris 100 hari pertama harus diisi dengan
pembahasan—bahkan penetapan—UU penting, namun juga 100
hari pertama signifikan dalam membentuk kepercayaan publik. Bila
dipersepsi positif oleh masyarakat, biasanya tingkat dukungan publik
akan terus membesar hingga masa pemerintahan rezim itu berakhir.
Bila 100 hari pertama lebih didominasi ketidakpercayaan dan
kecurigaan, biasanya sepanjang masa pemerintahan akan selalu
menikmati gangguan.
Dalam konteksnya masing-masing, sebenarnya prestasi
Presiden SBY tidak lebih buruk dari FDR. Kinerja ekonomi 2009—
yang merupakan perpaduan antara masa pemerintahan SBY jilid I
dan masa 100 hari pertama pemerintahan Presiden SBY jilid II—
tergolong berhasil. Tingkat inflasi hanya 2,78 persen (terendah selama
10 tahun terakhir), nilai tukar rupiah pada akhir 2009 ditutup pada
tingkat Rp. 9.400-an, dan cadangan devisa terakumulasi di atas 65
miliar dolar AS (tingkat tertinggi yang pernah dicapai), serta defisit
180 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
anggaran yang jauh dari target, yaitu hanya 1,6 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB) atau Rp 87 triliun.
“…Pencapaian ini juga jauh lebih baik dari pada kinerja di banyak
negara dunia yang mengalami dampak krisis. Di banyak negara
telah terjadi pembengkakan defisit anggaran mencapai 5 hingga 10
persen dari PDB dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif,”
kata Presiden Yudhoyono.
Sayangnya, sebagaimana diketahui publik, masa 100 hari
pertama pemerintahan jilid II Presiden SBY justru lebih banyak
diwarnai gangguan. Gangguan terbesar adalah penyelidikan bail out
Bank Century yang dipaksakan dikaitkan dengan upaya-upaya ke
arah impeachment wapres dan presiden.
Upaya-upaya mengkaitkan penyelidikan bail out Bank Century
dengan impeachment presiden bisa disebut gangguan yang disengaja
terhadap pemerintah, karena pemerintahan Presiden SBY tidak
melakukan pelanggaran susila berat (seperti Presiden AS Bill Clinton)
dan tidak pula melakukan tindak kriminalitas luar biasa (seperti kasus
Watergate Presiden AS Richard Nixon).
Padahal, konsep impeachment yang memang diimpor dari AS,
memiliki syarat yang rumit bagi pelaksanaannya. Impeachment adalah
kekuatan konstitusional fundamental yang dimiliki Kongres.
Kekuatan ini diberikan kepada Kongres untuk memastikan upaya-
upaya pemberantasan korupsi (termasuk penyalahgunaan
wewenang, aksi kriminalitas, dan tindakan asusila) terhadap pejabat
negara, mulai dari yang terendah hingga Presiden dan Ketua
Mahkamah Agung.
Dalam konstitusi AS, prosedur pelaksanaan impeachment telah
diatur pula. Impeachment dilaksanakan melalui dua tahap, yakni
penyelidikan di DPR (House of Representatives) dan bila disetujui
oleh mayoritas anggotanya, diusulkan untuk disidangkan di Senat.
Dalam sejarahnya, impeachment di tingkat federal maupun negara
bagian sangat jarang. Hingga pertengahan tahun 1990-an, hanya 50
usulan impeachment diajukan dan hanya sepertiganya saja yang
Mengungkap Kesenjangan Istana 181
akhirnya disidangkan di Senat.
Keengganan anggota Kongres untuk menggunakan haknya
meng-impeach pejabat menjadi bukti sangat penting dan signifikan-
nya proses ini. Impeachment biasanya dilakukan hanya untuk aksi
kriminalitas dan penyalahgunaan kekuasaan berat. (baca misalnya
di: http://legal dictionary.thefreedictionary.com/impeachment.)
Bila upaya-upaya impeachment tetap digulirkan tanpa adanya
pelanggaran susila berat, tindak kriminalitas luar biasa, dan penya-
lahgunaan kekuasaan berlebihan, maka proses ini dapat disebut
sebagai kudeta pula. Ia adalah cermin dilanggarnya etika berpolitik
dan berdemokrasi.
Impeachment adalah sejenis kudeta, yaitu mengganti rezim yang
sedang berkuasa dengan rezim baru secara paksa. Kudeta sendiri,
berdasar pengertian Ensiklopedia Britannica, adalah penggantian
pemerintahan secara tiba-tiba dan dengan cara kasar, bahkan sering
meminta korban jiwa. Syarat utama sebuah kudeta adalah penguasa-
an atas seluruh atau sebagian angkatan bersenjata, polisi, dan
elemen-elemen militer lainnya. Tidak seperti revolusi yang biasanya
melibatkan kelompok besar masyarakat yang bekerja mengubah
tatanan politik, sosial, ekonomi, sebuah kudeta lebih merupakan
perubahan kekuasaan dari atas dan hanya berakibat pada perubahan
pucuk pimpinan. Sebuah kudeta jarang mengubah fundamental
kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosialnya, juga tidak mengubah
secara signifikan distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok
yang bersaing di masyarakat.
Samuel P. Huntington membagi kudeta menjadi tiga tipe: kudeta
terobosan yang melibatkan tentara revolusioner untuk mendongkel
pemerintah dan menciptakan elite birokrasi baru (seperti yang
terjadi di China pada 1911 dan Mesir pada 1956); kudeta terarah
yang bertujuan mendesak perbaikan fasilitas umum, melakukan
efisiensi, dan memerangi korupsi (contohnya di Pakistan, Turki, dan
Thailand); dan kudeta veto, yang terjadi jika militer memveto
mobilisasi sosial yang berakibat konfrontasi dengan kekuatan massa
182 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
dan dapat memicu pertumpahan darah (seperti yang terjadi di Chile
pada 1973 dan Argentina pada 1975).
Karena inti dari kudeta adalah pengambilalihan pemerintahan
pada pucuk tertinggi, maka pelaku dan bentuknya bisa bervariasi.
Bila selama ini kita lebih mengenal kudeta yang dilakukan elemen
dalam negeri, sejak berkecamuknya persaingan antara Blok Barat
dan Blok Timur beberapa dekade lalu, banyak kudeta yang dilakukan,
dirancang, diinisiasi, atau didukung penuh oleh elemen-elemen luar
negeri.
Campur tangan dalam Pemilu suatu negara dengan dalih mem-
bantu pemberdayaan masyarakat sipil, seperti dikatakan Jonathan
Steele, adalah bentuk kudeta pula. Kudeta jenis ini menjadi gaya
kudeta post-modern. Gejolak-gejolak di negara-negara dunia ketiga
yang dibenih atau dibantu oleh CIA adalah yang paling banyak ter-
jadi. Instrumen-instrumen demokrasi digunakan secara selektif
untuk menggeser pemimpin yang tidak populer di mata aktor inter-
nasional yang merancang kudeta tersebut. Biasanya, penggantian
kekuasaan ini dilakukan setelah pemimpin alternatif yang dibina
kekuatan luar negeri itu dinilai cukup kuat untuk tampil ke per-
mukaan.
Cara yang ditempuh untuk melakukan kudeta tidak harus
diawali dengan mengambil alih kekuasaan secara fisik, seperti
menguasai istana presiden, gedung DPR, sarana komunikasi vital
(stasiun televisi dan radio) dan barak-barak militer. Kudeta juga bisa
dilakukan oleh anggota dewan. Seperti dikatakan Edward Luttwak
dalam bukunya, “Coup d’Etat: A Practical Handbook” (1980), kudeta
terjadi karena adanya infiltrasi dari kelompok kecil tapi berpengaruh
dan kritis dalam tubuh pemerintah untuk mengganti pemerintah
dan mengambil alih kekuasaan.
Siapa pun pasti sepakat bahwa anggota parlemen termasuk
dalam kelompok kecil yang kritis dan berpengaruh. Penggunaan
hak atau power impeachment secara serampangan bisa dikategorikan
sebagai upaya kudeta pula. Merujuk pada kategorisasi kudeta
Mengungkap Kesenjangan Istana 183
Huntington, kudeta melalui impeachment yang tidak didasari alasan
objektif yang mencukupi dekat pada pengertian kudeta terarah
(Guardian coup d’état). Kudeta jenis ini sebenarnya dilandasi niat
luhur, yakni memperbaiki tatanan publik, meningkatkan efisiensi,
dan mengakhiri praktik korupsi. Tiga elemen ini pula yang sering
dijadikan alasan sebagian anggota pansus untuk mendesakkan
wacana impeachment.
Persoalannya adalah, apakah dalam pemerintahan SBY ini
memang terjadi kekacauan tatanan publik, inefisiensi, dan korupsi?
Mengacu kepada sejarah AS, negara pemilik struktur
impeachment yang paling disorot di dunia, impeachment dilakukan
bila terjadi dua pelanggaran utama yang relatif terukur: kriminalitas
dan tindakan asusila. Hanya dalam kasus impeachment terhadap
Presiden Andrew Johnson kedua alasan itu tidak mengemuka.
Presiden Andrew Johnson di-impeach karena kebijakan-kebijakannya
sering berseberangan dengan Kongres.
***
Penggantian pemerintahan sebelum masa jabatannya habis—
baik kita menyepakatinya sebagai sebuah kudeta atau bukan—
memiliki konsekuensi yang terbilang mengerikan. Termasuk, wacana
impeachment. yang beberapa waktu lalu sempat mengemuka.
Maklum, wacana itu bukan hanya menarget presiden yang bisa
digantikan oleh wapres, namun menyasar pasangan presiden dan
wapres. Artinya, kalau saja impeachment itu benar-benar diloloskan,
Indonesia harus segera menggelar Pilpres baru. Mengacu kepada
biaya Pilpres yang sekitar Rp 4 triliun (satu putaran), maka dana
sebesar itu pulalah yang harus kita alokasikan kembali demi sebuah
Pilpres.
Tentu, dana bukan perhatian utama kita. Terpilih pasangan
presiden dan wapres baru tentu akan diikuti dengan “100 hari per-
tama pemerintahan” lagi. Dapatkah kita yakin bahwa 100 hari per-
tama pemerintahan itu akan berjalan tanpa gangguan? Dapatkah
184 Tak Sabar Menunggu Siklus 5 Tahunan
kita yakin bahwa etika berpolitik akan dijunjung tinggi hingga
impeachment menjadi proses yang sangat penting dan bermutu tinggi
hingga tak diobral sembarangan?
Dengan gambaran seperti itu, mari kita jawab pertanyaan
sederhana ini: Apakah kinerja Presiden SBY memang layak di-
impeach? Apakah akibat yang menyertainya tidak akan lebih buruk
dari yang kita alami kini?
Mengungkap Kesenjangan Istana 185
1111111111Mengompres Bank
Sekarat, MenghindariTumbang Massal
Barbara Harvey naik ke dalam mobil SUV-nya dari pintu belakang.
Semua kursi dilipatnya, menciptakan sedikit ruang dalam mobil
sempit itu. Lalu, segera punggungnya ia luruskan, mencoba
mengundang kantuk meski harus berdesakan dengan 2 anjing golden
retriever-nya. Bagi perempuan 69 tahun itu, tidur adalah pilihan
terbaik karena ia tak punya tempat lain lagi untuk pergi setelah
rumahnya lenyap disita bank.
“Saya tak pernah menyangka akan menghabiskan hidup saya
menggelandang dalam mobil seperti ini,” katanya.
Harvey terpaksa menjadi tuna wisma setelah ia dipecat dari
pekerjaannya sebagai loan processor awal tahun 2008 lalu saat krisis
perbankan mendera Amerika Serikat (AS). Ketika masih memiliki
pekerjaan, 75 persen pendapatannya digunakan untuk membayar
sewa tempat tinggalnya, sebuah rumah menengah dengan
pemandangan ke arah laut. Saat tak lagi bekerja, uang sewa pun tak
bisa ia bayar. Tabungannya yang sedikit segera habis di dua bulan
186 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
pertama masa sulit itu.
Kini ibu 3 anak itu memang memiliki pekerjaan lagi, namun
itu hanyalah pekerjaan paro waktu dengan upah 8 dollar AS per
jam. Dia pun terpaksa masuk ke dalam daftar warga yang mendapat
bantuan sosial.
Sejak kehilangan rumahnya, Harvey terpaksa hidup dalam
mobil. Tiap malam ia masuk ke area parkir yang dikelola New
Beginnings Counseling Center, sebuah LSM yang membantu
gelandangan agar tidak telantar dan—kalau bisa—mendapatkan
tempat tinggal yang sesuai dengan tebal tipisnya kantong mereka.
Maklum, di Santa Barbara, tempat Harvey tinggal, jarang sekali
ada tempat tinggal dengan sewa murah. Padahal, Negara Bagian
California melarang warga tidur dalam mobil di jalanan. Tak ada
pilihan bagi Harvey dan orang-orang yang senasib dengannya
kecuali menyesaki zona-zona parkir yang ada yang biasanya buka
pukul 7 malam dan tutup pukul 7 pagi. Tiap pagi, Harvey dan para
tunawisma bermobil lainnya harus membawa mobil mereka ke
tempat atau berkeliling kota, asal tidak berdiam di zona parkir itu.
Ya, ketika jutaan warga AS tiba-tiba harus merelakan rumahnya
disita bank karena tak kuat membayar cicilan, New Beginnings pun
berhadapan dengan komunitas gelandangan jenis baru. Mereka
adalah warga kelas menengah yang dipecat dari pekerjaannya
hingga tak bisa membayar sewa rumah, bahkan sekadar flat
sederhana pun. Banyak di antara mereka adalah lansia.
“…Lihatlah di sekeliling Anda sekarang. Begitu banyak mereka yang
tak lagi memiliki rumah. Saya melihat para ibu tidur di bangku-
bangku taman. Sungguh mengenaskan,” kata Nancy Kapp,
Koordinator New Beginnings. “Ini sama sekali bukan situasi ideal
bagi ibu-ibu lanjut usia tersebut,” lanjutnya.
***
Beralih ke pantai timur AS, tepatnya di New York, Paul
Nawrocki (kini 61 tahun) sukses menarik perhatian ribuan pasang
Mengungkap Kesenjangan Istana 187
mata yang membanjiri jalanan kota tersibuk di dunia itu. Di
pertengahan Desember 2008 itu, dia menggelar demo tunggal. Dalam
balutan jas dan dasi, pakaian kerja sehari-harinya, dia berdiri di
tengah trotoar. Dia seperti warga lain yang bergegas menuju kantor
andai saja di dada dan punggungnya tidak tergantung papan dengan
tulisan besar mencolok.
Papan di dada bertuliskan, “Hampir gelandangan, mencari pekerja-
an, sangat berpengalaman sebagai manajer administrasi dan operasional”.
Sementara papan pada bagian punggung mengabarkan kondisi
keluarganya, “Sangat membutuhkan pekerjaan tetap dengan asuransi,
untuk pribadi dan keluarga, istri penyandang cacat dengan 15 pengobatan”.
Nawrocki tidak sedang menjadikan dirinya media seni instalasi.
Dia sedang terdesak. Sangat terdesak. Sembilan bulan sudah dia
menjadi pengangguran. Tabungan yang dikumpulkannya selama
23 tahun bekerja sebagai manajer impor di sebuah perusahaan
mainan nyaris habis. Tunjangan pengangguran yang dimilikinya
segera habis kurang dari sebulan. Selain istrinya yang butuh
pengobatan intensif, anak perempuannya juga terpaksa DO dari
universitas karena ketiadaan biaya.
“Saya mulai panik dan tak tahu apa yang akan saya kerjakan,”
kata Nawrocki.
Dia, seperti juga jutaan warga AS lainnya, memang pantas
khawatir karena gelombang PHK terjadi di mana-mana sejak krisis
subprime mortgage menjadi seperti gempa yang meruntuhkan
beragam bangunan perekonomian.
***
Apa yang menimpa Harvey dan Nawrocki dialami pula jutaan
warga AS lain. Mereka korban meletusnya apa yang dinamakan
“ekonomi gelembung” (bubble economy) yang ketika pecah
menyebabkan dampak sistemik berupa runtuhnya perekonomian
secara beruntun hingga memunculkan PHK di mana-mana.
Kolapsnya Bank Century, bila tidak segera ditangani pemerintah
188 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
dengan menyuntikkan bailout, dikhawatirkan menimbulkan
dampak serupa.
Ekonomi gelembung adalah suatu keadaan perekonomian yang
tidak sehat akibat timbulnya spekulasi yang menaikkan harga-harga
diikuti spekulasi lanjutan. Akhirnya, harga-harga yang tidak realistis
itu akan mencapai puncaknya dan jatuh kembali ke nilai realistisnya
(pecah atau burst) secara bersamaan sehingga perekonomian
mengalami krisis.
Biasanya bubble ini disebabkan pola investasi di mana para
investor percaya terhadap teori greater fool (orang yang lebih bodoh).
Di sektor real estate, misalnya, para investor melakukan investasi di
sebuah properti pada nilai yang sudah over-valued. Biasanya mereka
tahu bahwa nilainya sudah di-mark up, namun mereka tetap ambil
karena yakin properti itu tetap dapat dijual dengan nilai lebih tinggi
lagi kepada orang lain.
Dalam ekonomi gelembung, transaksi tampak bergairah dengan
volume dan nilai nominal yang besar, namun sebenarnya memiliki
nilai aktual yang lebih kecil (seringkali jauh lebih kecil) dari yang
sebenarnya karena yang diperdagangkan bukan aset tangible dan
asli, namun hanya surat-surat kepemilikan (atau bahkan surat
jaminan) atas aset tersebut.
Di AS, ekonomi gelembung terutama dipicu sektor properti.
Selama ini, real estate dianggap sektor bisnis yang menggaruk
untung. Baik pengusaha maupun pembeli memiliki pendapat yang
sama. Pembeli merasa yakin properti (utamanya rumah) yang
mereka beli pasti akan selalu naik harganya di masa mendatang.
Sementara di kalangan bank dan lembaga keuangan ada anggapan,
memberi kredit bagi pemilikan rumah akan selalu menguntungkan.
Pertimbangannya, kalau pun debitur mereka tidak bisa melan-
jutkan kreditnya dan rumah yang menjadi jaminan itu terpaksa
disita, bank atau lembaga pembiayaan lainnya dengan mudah bisa
menjual rumah itu dan harganya pasti baik (lebih tinggi daripada
jumlah kredit yang mereka salurkan). Karena itu, mereka tidak hanya
Mengungkap Kesenjangan Istana 189
menyalurkan kredit kepemilikan rumah kepada warga yang secara
finansial meyakinkan dan rating kreditnya memenuhi persyaratan.
Mereka yang ada di kelompok “di bawah standar kelayakan”
(subprime) pun diberi kredit pula. Kredit kepemilikan rumah untuk
kelompok inilah yang kita kenal dengan istilah subprime mortgage.
Memang, memberi kredit kepada mereka yang memiliki rating
kredit dan kemampuan finansial meragukan adalah tindakan
berisiko tinggi. Namun, kebijakan itu tetap diambil banyak bank
dan lembaga pembiayaan lain dengan satu keyakinan: kalau pun
mereka gagal membayar cicilannya, rumahnya tetap bisa disita dan
dijual dengan mudah dan harga yang menguntungkan.
Pemahaman bahwa rumah merupakan aset sekaligus produk
yang bisa dijual dengan mudah, dimiliki oleh seluruh pelaku bisnis.
Karena itu, bank-bank investasi mau memberi kredit bagi bank atau
lembaga pembiayaan lain yang lebih kecil dengan jaminan sertifikat
kredit perumahan itu (mortgage certificate). Pertimbangan para bank
investasi itu jelas: kalau pun bank-bank yang mereka pinjami dana
tak bisa mengembalikan, maka sertifikat mortgage itu akan laku
dengan mudah dan harganya pasti baik (lebih tinggi dari kredit yang
mereka salurkan).
Keyakinan itu memicu kelalaian. Pada periode awal 2000 hingga
sekitar 2007, penggunaan “persetujuan kredit secara otomatis”
(automated loan approval) meningkat tajam. Automated loan approval
adalah kredit yang diberikan tanpa pengkajian kelayakan yang
memadai. Selama 2007 saja 40% dari total pinjaman subprime
diberikan melalui mekanisme ini.
Ketika kondisi memburuk, Kepala Mortgage Bankers Asso-
ciation mengklaim, para mortgage brokers hanya mengambil untung
dari booming-nya kredit perumahan namun tidak melakukan tindak-
an yang cukup untuk mengkaji apakah para pengaju kredit itu me-
miliki kemampuan membayar kembali yang memadai. Malah, pada
2004, FBI mengingatkan adanya “epidemi” dalam penipuan mortgage
(mortgage fraud). Peringatan ini menunjukkan bahwa pemberian
190 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
kredit secara serampangan sudah menjadi kejadian umum di mana-
mana.
Lalu, datanglah bencana itu. Jumlah pemilik subprime mortgage
yang tidak bisa melunasi kredit mereka ternyata sangat banyak.
Mereka gagal bayar di saat yang bersamaan. Akibatnya, jumlah
rumah yang jatuh ke dalam sitaan bank pun sangat melimpah.
Dengan surplus jumlah rumah yang luar biasa tersebut, bank
kesulitan melego hasil sitaan mereka. Harga rumah-rumah itu pun
jatuh secara signifikan, jauh di bawah jumlah kredit yang disalurkan.
Akibatnya, bank-bank penyalur mortgage kesulitan likuiditas.
Akibat rentetannya, mereka tidak bisa membayar cicilan atau utang
kepada bank investasi atau lembaga pembiayaan lain yang lebih besar.
Akibat yang lebih jauh lagi, saat bank-bank investasi itu mau menjual
jaminan yang diberikan oleh bank-bank yang lebih kecil tadi, tak
ada yang membeli. Sementara di saat yang sama, mereka tetap
memiliki kewajiban untuk membayar deposan atau pemilik
tabungan. Maka, satu per satu lembaga keuangan besar mengalami
kesulitan dan bahkan tumbang. Inilah yang menimpa Lehman
Brothers, bank investasi terbesar keempat di AS.
Lehman bangkrut setelah mengalami kerugian besar pasca
mengakuisisi Archstone-Smith yang bergerak di bidang portofolio
apartemen nasional. Namun, deal dengan Tishman Speyer ini bukan
satu-satunya deal komersial berisiko tinggi yang dilakukan Lehman
berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan setelah lembaga-
lembaga rating mengingatkan bahwa industri real estate tidak lagi
aman karena standar pemberian kreditnya makin rendah sementara
prospek bisnisnya dibuat melebihi yang senyatanya.
Pada Juli 2007, saat pengetatan kredit dimulai, Lehman mengikat
deal dengan Prologis, sebuah perusahaan logistik dan membeli
portofolio pergudangan nasional senilai 1,85 miliar dollar AS dari
Dermody Properties dan California State Teachers Retirement
System. Agar deal itu cepat dilaksanakan, Lehman bukan saja me-
lunasi biaya kreditnya, namun juga menyediakan 80 persen ekuitas.
Mengungkap Kesenjangan Istana 191
Namun, tak menunggu lama bagi Lehman untuk menyadari
dirinya tak bisa menarik seluruh mortgage atas pergudangan itu dan
pinjaman lain. Lebih sulit lagi menjualnya kepada investor. Di saat
yang sama, industri pergudangan yang sangat bergantung pada
sehatnya industri ritel, mulai sakit-sakitan akibat melesunya eko-
nomi. Lehman pun dalam dilema. Mereka tak bisa memanfaatkan
pergudangan itu karena permintaan jasa pergudangan lesu,
menjualnya pun tak ada yang membeli.
Tak hanya itu, Lehman juga terlibat pembelian pertokoan besar
di Arlington, Virginia (Mei 2007) dan di Austin, Texas (Juni 2007).
Lehman sendiri memiliki reputasi sebagai pemberi pinjaman paling
agresif untuk sektor properti. Sebagian pihak bahkan menyebut
Lehman sebagai “ATM-nya real estate”.
Perilaku agresif seperti ini bukan hanya dominasi Lehman.
Bank-bank dan lembaga keuangan lain memiliki sikap dan perilaku
yang sama. Meski hanya Lehman Brothers yang kemudian dibiarkan
mati oleh otoritas AS, namun lembaga keuangan lainnya pun
mengalami pendarahan yang sama hingga krisis finansial meng-
hantam AS.
Selama 2004-2007, 5 bank investasi terbesar AS meningkatkan
financial leverage mereka hingga membuat mereka lebih rentan
terhadap financial shock. Kelima bank investasi ini mencatat utang
lebih dari 4,1 triliun dollar AS dalam tahun fiskal 2007 atau sekitar
30% dari nominal GDP AS untuk tahun yang bersangkutan. Akibat-
nya, Lehman Brothers dilikuidasi, Bear Stearns dan Merrill Lynch
dijual dengan sistem BU (butuh uang), sedang Goldman Sachs dan
Morgan Stanley berubah menjadi bank komersial dan harus taat
kepada serangkaian peraturan yang lebih ketat daripada aturan
untuk bank investasi. Di luar Lehman, keempat bank itu akhirnya
mendapat bantuan pemerintah.
Kacaunya pasar mortgage juga bisa dilihat dari apa yang
menimpa Fannie Mae dan Freddie Mac, dua perusahaan sokongan
Pemerintah AS yang memiliki atau menjamin obligasi mortgage
192 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
senilai 5 triliun saat mereka dimasukkan dalam skema pengawasan
khusus (conservatorship) oleh Pemerintah AS pada September 2008.
Secara bersama-sama ketujuh lembaga keuangan ini menanggung
kewajiban obligasi atau utang 9 triliun dollar AS, sebuah risiko akibat
keteledoran yang sangat tinggi.
Dampak runtuhnya sektor keuangan tak hanya terbatas pada
sektor itu sendiri. Ketidakmampuan sektor keuangan menyehatkan
dirinya sendiri membuat mereka mengerem secara ketat pemberian
kredit. Akibatnya, sektor lain pun kelimpungan. Salah satu yang
paling kuat terkena dampaknya adalah sektor otomotif yang akhir-
nya harus di-bailout pula. Ketidakmampuan sektor ini memper-
tahankan kinerja finansialnya berdampak pada PHK jutaan pekerja.
Pengurangan remunerasi, pemotongan gaji, hingga PHK massal
menjadi konsekuensi pahit yang harus ditanggung para pekerja
seperti Harvey dan Nawrocki.
Bukan hanya di AS, dampak kredit juga berlangsung di seluruh
dunia. Hal ini dipicu oleh luasnya keterkaitan pasar AS dengan pasar
dunia, baik dampak transaksi langsung maupun psikologis.
Keterkaitan langsung, misalnya, karena banyak para pemain
asing yang menanamkan modalnya di sektor properti AS. Banyak
juga yang membeli surat jaminan KPR dari bank-bank investasi AS.
Saat bank-bank investasi AS mengalami kesulitan pembayaran,
rekan bisnis asing itu pun terkena dampaknya pula.
Dampak tidak langsungnya, lesunya—bahkan krisis—ekonomi
AS memberi guncangan psikologis kepada pasar seluruh dunia.
Bursa-bursa efek di seluruh dunia berjatuhan, indeks harga saham
gabungan rontok. Lingkaran setan krisis pun makin tebal.
***
Memang, para pengelola lembaga keuangan yang kemudian
dikategorikan “gagal” harus bertanggung jawab karena ketidakmam-
puan atau keteledoran mereka. di AS pun, saat krisis finansial meng-
himpit negara itu sekitar tahun 2008 lalu, para CEO lembaga-lembaga
Mengungkap Kesenjangan Istana 193
keuangan yang terlalu asyik mengejar keuntungan besar di sektor
real estate dan mengabaikan prinsip kehati-hatian, menjadi pihak
pertama yang dituding bertanggung jawab terhadap krisis.
Presiden Barack Obama pun mengritik pola remunerasi kepada
para CEO dan eksekutif perusahaan-perusahaan besar yang
dinilainya kelewatan. Gaji dan beragam tunjangan yang diberikan
kepada mereka dinilai Obama mengusik rasa kepatutan dan tidak
sesuai kinerja (yang malah memunculkan krisis). Pemerintah AS
pun menjadikan pemotongan remunerasi para CEO dan eksekutif
itu sebagai salah satu syarat pemberian bail out.
Namun, bukan hanya para pengelola lembaga keuangan saja
yang dituding sebagai penangung jawab. Pemerintah melalui badan-
badan yang membidangi sektor itu, juga mendapat tudingan yang
sama. Saat krisis finansial yang melanda AS itu, Bank Sentral AS
(The Federal Reserve) juga disebut sebagai pihak yang bersalah secara
serius karena tidak mengantisipasi krisis ini. Gubernur Bank sentral
AS Alan Greenspan dan penggantinya, Ben Bernanke, dinilai gagal
memahami bahaya yang disebabkan oleh menggelembungnya
pemberian kredit subprime mortgage oleh lembaga-lembaga keuangan
raksasa, padahal dari sifat asalnya saja subprime mortgage sebenarnya
sudah terkategori “tidak layak menerima kucuran kredit”. Selain
itu, Bank sentral AS juga dianggap bertanggung jawab karena gagal
memberikan peringatan, bahkan mengambil tindakan, untuk
mencegah terjadinya pemberian kredit yang mengabaikan aspek
kehati-hatian ini.
Namun, AS tak berhenti pada mencari kesalahan dan meng-
hukum. Mereka bergerak cepat menanggulangi krisis tersebut.
Program bail out yang dirangkum dalam Troubled Asset Relief
Programme (TARP) segera dieksekusi yang menghabiskan sekitar
1% dari GDP AS. Padahal, langkah penyelamatan dalam krisis
perbankan sebelumnya menghabiskan sekitar 13% dari GDP,
demikian estimasi IMF. Ben Bernanke bahkan menyebutnya: “This
is a pretty good return on investment (Ini adalah hasil investasi yang
194 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
sangat baik).”
Sementara Inggris membutuhkan biaya lebih kecil lagi. Dalam
laporan pra anggarannya Desember 2009 lalu, Pemerintah Inggris
menyebut skema penyelamatan mereka membutuhkan dana sekitar
8 miliar pounsterling atau sekitar 13 miliar dollar AS. Angka ini
setara 0,5% dari GDP Inggris.
Melalui TARP ini Pemerintah AS membelanjakan 700 miliar
dollar AS untuk menyelamatkan sistem finansial mereka. Angka
ini diperkirakan masih bisa turun seiring dengan berjalannya
program perbaikan. Sebagian besar dana bailout itu diberikan kepada
sektor otomotif, lembaga keuangan AIG, dan untuk membantu
warga AS membayar cicilan mortgage mereka, atau setidaknya
menskema ulang cicilan itu.
Tentu angka 700 miliar dollar AS ini bukan angka yang sedikit.
Dengan kurs Rp 9.500/dollar AS, angka itu setara dengan Rp 6.650
triliun atau hampir 1.000 kali dana bailout yang dikucurkan
Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Bank Century senilai
Rp 6,67 triliun. Dan, Pemerintah AS sadar betul bahwa mereka
sedang membantu badan-badan usaha kaya yang telah melakukan
bisnis mereka secara serampangan dan menunjukkan sifat serakah
sebagian pengelolanya. Namun, bail out dalam jumlah besar tetap
diberikan juga.
Mengapa? Karena bila lembaga-lembaga keuangan itu semuanya
dibiarkan mati, dampak ikutannya sangat besar. Inilah yang ingin
dicegah oleh Pemerintah AS. Berkaca pada yang dilakukan otoritas
AS, jelas sekali bail out bukan sebuah praktik yang haram. Dalam
formula dan kerangka kebijakan yang tepat, bail out adalah obat
yang bisa mencegah penyakit menjadi lebih serius dan bahkan
menyembuhkannya.
Bank sentral AS, yang dikritik karena gagal mengantisipasi
adanya krisis besar, di lain pihak juga dipuji karena dianggap sukses
dalam menanggapi kepanikan pasar dan masyarakat. Kebijakannya
menurunkan suku bunga The Fed dan mengalokasikan banyak
Mengungkap Kesenjangan Istana 195
bantuan ke sistem perbannkan (bailout) dinilai banyak pihak
membantu mengatasi krisis. Kebijakan inilah yang dinilai mencegah
AS masuk ke situasi seperti depresi besar tahun 1930-an.
Pada akhirnya, pemerintah—melalui bank sentral dan badan
terkait— menjadi tulang punggung pemulihan krisis sekaligus
pemain utama yang bisa mencegahnya. Jeremy J. Siegel, Profesor
Keuangan Russell E. Palmer, The Wharton School, University of
Pennsylvania menyebut adalah sangat penting Bank Central diberi
keleluasaan maksimum untuk bergerak di masa krisis di saat peralihan
dari “pasar yang teratur” menjadi “pasar yang beku karena panik”
bisa terjadi dalam hitungan menit saja.
“Bayangkan apa yang mungkin terjadi terhadap sistem
keuangan global andai saja Bank Sentral AS harus menghabiskan
beberapa hari atau bahkan beberapa minggu menunggu persetujuan
(Kongres) bagi langkah-langkah penyelamatannya,” demikian
analisis Siegel.
Pendapatnya sama dengan peraih Nobel Ekonomi tahun 1976,
Milton Friedman. Menurut Friedman, kurangnya tindakan Bank
Sentral AS adalah alasan utama terjadinya Depresi Besar tahun 1930-
an. Ben Bernanke memiliki pendapar yang sama dan karenanya ia
bergerak cepat memaksimalkan peran Bank Sentral yang ia pimpin
supaya Depresi Besar itu tak terulang. Dan dia berhasil.
***
Indonesia pun tentu harus melakukan langkah serupa untuk
melindungi perekonomiannya. Apalagi, dalam dunia yang sudah
saling terkoneksi –terutama secara ekonomi— maka apa yang terjadi
di belahan dunia yang lain akan berdampak pula terhadap kita
sebagai dampak contagion effect. Financial contagion adalah
peningkatan secara signifikan keterkaitan lintas pasar (crossmarket
linkages) setelah terjadinya shock terhadap suatu negara atau
sekelompok negara.
Dari definisi ini jelas bahwa guncangan moneter dan ekonomi
196 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
yang terjadi di AS pasti akan memunculkan “gempa susulan” di
banyak negara lainnya. Indonesia tak terkecuali. Kondisi ini menjadi
alasan otoritas moneter untuk melakukan intervensi dalam bentuk
pemberian bailout atas sektor-sektor atau institusi-institusi yang
rapuh, atau bahkan sakit, akibat krisis.
Makroekonomi suatu negara tidak harus terhubung secara
langsung dengan perekonomian negara yang terkena krisis untuk
ikut merasakan dampak krisis tersebut. Suatu negara tidak perlu
memiliki keterkaitan langsung dalam hal fundamental makroekono-
minya untuk menyalurkan guncangan ke negara lain atau menerima
guncangan dari negara lainnya. Satu-satunya syarat yang diperlukan
bagi mengalirnya guncangan ekonomi itu dari satu negara ke negara
lain adalah adanya variabel-variabel makro ekonomi yang sama di
sejumlah negara.
Krisis global sangat berpengaruh terhadap Indonesia juga
terutama karena krisis itu pertama menghantam AS, negara yang
memiliki pengaruh ekonomi ke seluruh dunia dan menjadi patokan
dalam banyak hal bagi Indonesia. Ketika AS mengalami krisis,
perputaran uangnya menjadi seret. Utang-utang dalam dollar AS
yang jatuh tempo pada periode itu tidak bisa berharap mendapatkan
penjadwalan ulang. Utang-utang itu tetap harus dibayar meski kurs
terhadap rupiah luar biasa tingginya.
Banyak indikasi telah terjadi krisis di Indonesia. Pada 8 Oktober
2008, Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia (IHSG
BEI) terkoreksi hingga 10,38% atau menyentuh 1.451,7 yang
membuat otoritas bursa menutup sementara (suspend) perdagangan
efek dan derivatif selama 2 hari hingga 10 Oktober 2008. Penutupan
sementara bursa untuk melindungi para investor agar tidak rugi
lebih banyak lagi .
Selain bursa, indikator krisis lainnya datang dari cadangan devisa
yang pada Desember 2008 tinggal 51,6 miliar dollar AS, padahal pada
Juli 2008 masih 60,6 miliar dollar AS. Artinya, dalam kurun waktu
sekitar 5 bulan saja, cadangan devisa Indonesia lenyap sekitar 9
Mengungkap Kesenjangan Istana 197
miliar dollar AS atau usut 15% .
Bukti lain diberikan oleh rupiah. Sebelum pengumuman
penutupan Lehman Brothers, nilai tukar rupiah masih di kisaran
9.000 per dollar AS. Sejak adanya pengumuman kebangkrutan bank
investasi terbesar keempat di AS (saat itu) tersebut, rupiah mulai
sempoyongan. Puncaknya, rupiah terdepresiasi hingga Rp 12.650
per dollar AS pada 24 November 2008 .
DPR pun sepakat Indonesia tengah dilanda krisis di akhir 2008
itu. Sesuai harapan anggota dewan ketika itu, pemerintah
mengambil langkah-langkah cepat dan strategis seperti menerbitkan
tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang (Perpu)
untuk menghadapi krisis.
“Alhamdulillah, DPR pun sependapat dengan pemerintah. Ini
tercermin dengan sikap DPR untuk menyetujui Perpu perbaikan
peraturan di bidang keuangan dan perbankan. Itu maknanya DPR
pun mengakui adanya krisis, adanya kegentingan yang tentunya
memerlukan pengambilan keputusan di masa krisis bukan
pengambilan keputusan di masa normal-normal saja,” kata Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya, Kamis malam, 4
Maret 2010, menanggapi hasil paripurna DPR tentang bailout Bank
Century.
Situasi memang genting. Perusahaan manapun yang memiliki
utang dalam dollar AS (atau deposito dalam konteks bank) yang
jatuh tempo dengan kurs Rp 12.650 per dollar AS seperti saat itu,
pasti sempoyongan pula. Padahal pada Nobember 2008, ada surat-
surat berharga Bank Century yang jatuh tempo senilai 45 juta dollar
AS dan pada Desember senilai 40,36 juta dollar AS. Sudah pasti
Bank Century langsung “kejang-kejang”.
Sakitnya Bank Century tentu terpantau oleh bank-bank lain,
juga para kreditur maupun debitur besarnya. Hasilnya seperti
disinggung sebelumnya, pasar uang antar bank (PUAB) seret karena
bank tidak percaya meminjamkan uangnya terhadap bank lain meski
dengan margin yang sangat tinggi.
198 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
Apakah Bank Century akan dibiarkan mati dalam situasi seperti
itu?
Bila kebijakan itu yang diambil, para deposan di bank-bank lain
akan berpikir ulang tentang keselamatan dana mereka. Mereka pasti
akan melakukan penarikan besar-besaran (rush) dan menbuat banyak
bank mati kehabisan darah.
Maka, ketika Bank Century gagal kliring pada 13 November
2008 dan sehari kemudian mengajukan Fasilitas Pinjaman Jangka
Pendek (FPJP), Bank Indonesia pun mengabulkannya sebesar Rp
502 miliar. Pada tanggal 17 Nobember 2008, Bank Century mengaju-
kan FPJP kedua dan kembali disetujui Rp 187 miliar hingga total
FPJP yang diterima bank ini Rp 689 miliar.
Sayangnya, kucuran dana tersebut tak mampu menyehatkan
Bank Century. Mismatch yang dialaminya sudah terlalu dalam.
Mismatch adalah kondisi di mana aliran dana masuk (melalui
tabungan, deposito, dan lainnya) lebih kecil dibanding aliran dana
keluar (kewajiban yang harus dibayar). Maka, pada 20 November
2008 Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang berpotensi
sistemik. Keputusan BI ini disampaikan ke Komite Stabilitas Sektor
Keuangan (KSSK) yang diketuai Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
KSSK berpendapat serupa dan meminta Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) melakukan langkah selanjutnya.
Setelah melalui serangkaian perhitungan, penyelamatan Bank
Century ditetapkan senilai Rp 6,76 miliar. Angka ini terdiri dari:
1. Menambah modal bank (capital adequate ratio atau CAR)
menjadi 8% sebanyak Rp 1,7 triliun.
2. Memenuhi likuiditas selama 3 bulan ke depan sebesar Rp 4,792
triliun.
Dana ini dikeluarkan oleh LPS dan diperhitungkan sebagai
penyertaan modal sementara (PMS) LPS ke Bank Century yang
kemudian berubah nama menjadi Bank Mutiara. Dalam kurun 2
hingga 3 bulan setelah PMS itu, LPS akan menjual saham Bank
Mutiara yang dimilikinya ke investor lain. Jadi, PMS sama sekali
Mengungkap Kesenjangan Istana 199
bukan uang hilang.
Malah, mekanisme penjaminan dan penyelamatan oleh LPS ini
adalah koreksi atas kebijakan tahun 1998. Saat itu, dana penanganan
krisis perbankan sebesar Rp 656 triliun nyata-nyata berasal dari
keuangan negara dan yang berhasil kembali hanya 27 persen saja.
“Dengan angka yang saya sebutkan tadi dapat dilihat bahwa
biaya krisis 1998 membebani Anggaran Negara hingga Rp 656
triliun—sebuah angka raksasa jika dibandingkan dengan penyertaan
modal sementara Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century
yang senilai Rp 6,7 triliun,” kata Presiden Yudhoyono.
Melihat latar belakang situasinya dan perbandingan apa yang
dilakukan otoritas moneter dan ekonomi AS, tentu tidak bisa bail
out terhadap Bank Century serta merta disebut sebagai sebuah
kesalahan, apalagi kejahatan. Kebijakan bailout ini mestinya dipan-
dang sebagai upaya kehati-hatian pemerintah (baca: Bank Indonesia,
Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), Departemen Keuangan,
dan Lembaga Penjamin Simpanan) untuk mencegah terjadinya
krisis.
Dilihat dari aset dan jumlah dana yang dikelola, Bank Century
sungguh bank kecil. Kantor cabangnya pun hanya 30 buah dengan
nasabah cuma 65 ribu. Namun kebijakan yang tidak tepat bisa
membuat bank dengan kemampuan kecil seperti itu memicu
dampak yang jauh lebih besar. Uni Eropa sendiri sudah mengeluar-
kan panduan bahwa dalam melihat krisis perbankan, ukuran-ukuran
kuantitatif bukan satu-satunya bahan pertimbangan karena ukuran
kualitatif justru perlu dikedepankan.
Mereka yang tidak sepakat bahwa penutupan Bank Century
memiliki dampak sistemik sangat mungkin mengabaikan
perhitungan secara kualitatif ini dan terlalu mengandalkan data-
data kuantitatif. Padahal, dimasukkannya perhitungan kualitatif ini
bukan hanya dominasi Indonesia, namun sudah menjadi semacam
konvensi di dunia internasional seperti terlihat dari sikap Uni Eropa
tersebut.
200 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
Uni Eropa sendiri menetapkan 4 indikator untuk menilai bank
gagal berdampak sistemik:
1. Institusi keuangan
2. Pasar keuangan
3. Sistem pembayaran, dan
4. Sektor riil.
Bank Indonesia menambah satu indikator lagi, yaitu faktor
psikologis pasar. Penambahan factor psikologis pasar ini tak lepas
dari pengalaman krisis moneter yang lebih dulu menerjang
Indonesia tahun 1997 lalu. Saat itu pemerintah menutup 16 bank
bermasalah. Bank-bank itu sungguh kecil karena akumulasi dana
yang mereka kelola hanya 3% dari total aset perbankan nasional.
Namun, penutupan bank-bank itu mengirim sinyal negatif yang
segera direspon masyarakat dengan rush. Hasilnya, pemerintah harus
mengalokasikan Rp 600 triliun untuk merekapitalisasi perbankan
nasional agar terhindar dari kebangkrutan.
Bank Century diyakini memiliki dampak sistemik seperti ini.
Bila tak diselamatkan, masyarakat dikhawatirkan tak percaya pada
sistem perbankan nasional dan menciptakan rush.
Salah satu titik utama perdebatan yang kemudian membesar
hingga menjelma menjadi Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang
Pelanggaran Bailout Bank Century memang terletak pada perbedaan
dalam menilai apakah Bank Century memiliki dampak sistemik atau
tidak. Bila Bank Century dianggap memiliki dampak sistemik, maka
bailout bisa dibenarkan karena ia adalah upaya pencegahan terjadinya
krisis yang lebih besar. Namun bila Bank Century dianggap tidak
memiliki dampak sistemik, pemberian bailout itu dinilai sebagai
sebuah kesalahan, semacam memberi permen kepada anak nakal.
Padahal, bahkan Pemerintah AS pun memberi berkantong-kantong
permen kepada anak-anaknya yang jauh lebih nakal.
Kenyataannya, Bank Century memang memiliki dampak
sistemik karena kegagalannya terjadi pada periode Oktober-
Desember 2008, saat dunia (termasuk Indonesia) berada dalam situasi
Mengungkap Kesenjangan Istana 201
krisis. Bila pemerintah melakukan penutupan bank gagal dalam latar
belakang situasi krisis, diyakini akan terjadi rush dan menciptakan
ketidakpercayaan di masyarakat. Bila ini terjadi, maka yang tumbang
bukan hanya satu bank, namun bank-bank lain pun akan berjatuhan
dan menyeret Indonesia ke krisis moneter parah. Bila sektor
perbankan tumbang, sektor-sektor lainnya pun (manufaktur,
pertanian, pertambangan, perdagangan, ekspor-impor, dan lainnya)
akan macet juga karena tak memiliki sumber dana untuk
menjalankan usaha atau melakukan ekspansi.
A Tony Prasetyantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada pernah menyebut, ongkos
bila Bank Century tak diselamatkan adalah Rp 6 triliun (total jumlah
dana pihak ketiga di bawah Rp 2 miliar yang dijamin LPS). Ini adalah
biaya langsung. Di luar komponen ini, masih ada biaya tidak
langsung yang jumlahnya jauh lebih besar (Kompas, 4 Desember
2009).
Biaya tidak langsung yang dimaksud Tony adalah biaya
kepanikan para deposan di 23 bank setara Bank Century yang
memiliki dana di atas Rp 2 miliar yang tidak dijamin LPS. Kepanikan
nasabah bisa membesar dengan cepat sebagai dampak contagion effect
(dalam ranah psikologis) yang ditimbulkannya.
Sesuai teori ini, bila sebagian deposan itu melakukan rush karena
yakin dananya tak diperjuangkan oleh pemerintah, maka para
deposan di bank-bank lain pun akan melakukan hal yang sama.
Akibatnya, sangat mungkin 23 bank lain setara Bank Century akan
kolaps pula. Bila bank-bank itu ambruk, LPS harus menanggung
banyak sekali dana nasabah di bawah Rp 2 miliar. Total dana
pengganti ini, diyakini Tony jauh lebih besar dari Rp 6,76 triliun
yang dialokasikan untuk bailout Bank Century (Krisis Global dan
Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2010,
halaman 65).
“Menyelamatkan Bank Century dengan harga Rp 6,76 triliun
masih lebih murah dibanding skim lainnya,” lanjut A. Tony
202 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
Prasetyantono.
Penyelamatan Bank Century, dalam konteks ini, bukanlah
untuk menyelamatkan bank itu an sich, namun lebih pada upaya
mencegah terjadinya efek domino atau spiralisasi ketidakpercayaan
publik yang bisa melumpuhkan sistem perbankan.
Kalangan perbankan pun terlihat menyambut baik kebijakan
bailout ini. Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Perbankan
Nasional (Perbanas) menyatakan tidak ada seorang bankir pun yang
menyatakan keputusan itu keliru. Sebab, ketika itu bank sudah
terjangkit penyakit ketidakpercayaan.
“Bank-bank tidak mau lagi meminjamkan uangnya ke bank lain
karena khawatir tidak dapat dikembalikan,” katanya.
Meski yakin tindakannya adalah kebijakan yang tepat untuk
melokalisasi krisis dan tidak memicu krisis yang lebih besar, namun
pemerintah menyambut baik inisiatif sebagian anggota DPR mem-
bentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk menyelidiki kemungkinan
kesalahan dalam proses bailout Bank Century.
Sejak awal Presiden Yudhoyono mempersilakan semua pihak
membuka hal ini seterang-terangnya. Namun Rabu (3/3) malam,
temuan pansus dibawa ke sidang paripurna DPR. Melalui voting,
mayoritas anggota DPR memilih opsi C, yaitu pernyataan bahwa
dalam pemberian bailout terkandung kesalahan. Mereka pun mere-
komendasikan agar kesalahan-kesalahan itu diselidiki dan dibawa
ke ranah hukum.
Mengungkap Kesenjangan Istana 203
Peta Sikap Fraksi di DPR Terhadap Bailout Bank Century
* Mereka yang tidak hadir adalah akumulasi dari tidak hadir di rapatparipurna (biasanya beralasan sakit) dan mereka yang tidak hadirsaat pemungutan suara.
Opsi A (menganggap bailout tidak mengandung kesalahan)
Opsi C (menganggap bailout menyimpang)
Presiden Yudhoyono sepenuhnya sepakat, pengadilan akan
menjadi wasit penentu ada tidaknya kesalahan. Pemerintah sendiri
malah sudah bertindak lebih maju. Pemilik Bank Century yang
terbukti menipu dan mengambil dana nasabah untuk kepentingan
sendiri, telah ditahan, diadili, dan dipenjarakan.
Dibanding proses penegakan hukum BLBI yang masih
menyisakan banyak masalah, termasuk perdebatan tak berkesudah-
an kebijakan release and discharge, langkah pemerintah di tahun 2008
jelas merupakan kebijakan yang lebih tepat dan menjunjung tinggi
kepastian hukum.
“Semua langkah kebijakan terkait dengan Bank Century
dilakukan dengan mempertimbangkan semua opsi yang tersedia,
diputuskan dengan cepat dan tepat, tanpa sedikitpun mengabaikan
prinsip kehati-hatian,” tegas Presiden Yudhoyono.
Nah apakah kebijakan yang terbukti menghindarkan Indonesia
dari seretan krisis global dan bahkan membuahkan pertumbuhan
ekonomi positif 4,5% selama 2009 (tertinggi ketiga di antara negara
Fraksi Opsi A Opsi C Abstain Tidak hadir* Demokrat 148 0 0 0 Golkar 0 104 0 2 PDI Perjuangan 0 90 0 4 PKS 0 56 0 1 PAN 39 0 0 7 PPP 0 32 0 6 PKB 25 1 0 2
Gerinda 0 25 0 1
Hanura 0 17 0 0
Total 212 325 0 23
204 Mengompres Bank Sekarat, Menghindari Tumbang Massal
G-20, di bawah China dan India) masih juga dianggap salah? Apakah
jangan-jangan kita memang enggan peduli jika nasib Barbara Harvey
dan Paul Nawrocki menular ke Saudara-saudara sendiri di sini? *
Mengungkap Kesenjangan Istana 205
1212121212Cyberdemocrazy:Itukah yang Kita
Inginkan?
“Enyahlah dari Romawi. Semua orang takut danmembencimu. Matamu penuh airmata buaya, tanganmu
penuh darah, tubuhmu dibalut keserakahan…!”
Dengan gaya khasnya sebagai orator ulung, Cicero melanjutkan
kobaran pidatonya di hadapan Senat Romawi: “Sampai
kapan, oh Catiline, kamu melecehkan kesabaran kami? Sampai kapan
kegilaanmu menghina kami? Kapan keberanianmu yang lepas
kendali itu kamu akhiri?”
Itulah sebagian pidato Marcus Tullius Cicero yang dikenang
sampai 2.000 tahun kemudian. Cicero memang dikenal sebagai filsuf,
politisi, dan orator ulung. Tapi dengan kelihaiannya berorasi, pria
yang hidup pada 206 SM - 43 SM itu juga dikenang pernah menusuk
lawan politiknya dengan kampanye hitam yang kejam.
Abad pertama masehi di Imperium Romawi bukan cuma
ditandai perang saudara yang disesaki kekerasan fisik, tapi juga
kekerasan verbal. Cicero adalah salah satu aktornya. Ia menuduh
206 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
Cataline, lawan politiknya, melakukan konspirasi menjatuhkan
pemerintah. Cicero juga menuding Cataline membunuh isterinya
untuk kawin lagi.
Parahnya kerusakan akibat kata-kata Cicero memang tak
terbantahkan. Saat pidato itu diucapkan, Catiline baru datang.
Senator-senator lain spontan beringsut menjauh saat Catiline hendak
mengambil tempat duduk. Catiline pun terpencil sendirian. Dia
berupaya membalas cercaan Cicero dengan pidato, tapi para senator
lain terus menginterupsinya.
“Pengkhianat, pengkhianat…!”
Seruan para senator lain itu serasa menghunjam jantung
Catiline. Catiline tak lagi bisa menahan perasaannya. Dia lari keluar
dari gedung senat setelah melontarkan ancaman. Catiline lalu pergi
ke Manlius, sebuah camp yang dikuasai pasukan pemberontak.
Esok paginya, Cicero mengumpulkan massa dan kembali
berpidato. “Catiline meninggalkan kota, bukan diasingkan. Dia telah
bergabung dengan tentara liar,” kata Cicero.
Cicero melengkapi serangannya dengan menyebut gerakan
Catiline sebagai konspirasi para orang kaya yang tengah dililit utang,
orang-orang kaya yang haus kekayaan dan kekuasaan. Sebagai
politisi ulung, dia juga bisa meyakinkan warga Roma tak perlu
khawatir dengan pemberontakan Catiline.
“Karena saya dan dewa-dewa akan melindungi negara,”
katanya.
Sejarah mencatat, Catiline akhirnya tewas dibunuh tentara
Romawi dalam sebuah pertempuran pada tahun 62 SM.
Sejarah mencatat pula, prasangka, fitnah atau fiksi politik
memang menjadi semacam “ramuan ajaib” para politisi untuk
mempertahankan maupun menjatuhkan kekuasaan. Cicero sendiri,
yang amat bangga dengan kedahsyatannya mengolah retorika di
depan massa, pernah mengatakan, “Tidak ada satu hal pun yang
tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-
kata”
Mengungkap Kesenjangan Istana 207
Sejarah memang tak cuma berisi kegemilangan dan heroisme
para pemimpin, tapi juga panah-panah kata beracun yang dialamat-
kan kepada mereka. Sosok sefenomenal Barack Obama, misalnya,
pernah dihajar isu yang mengaitkan masa lalunya di Indionesia dan
Kenya. Masa kecilnya di Indonesia di-frame sebagai potensi bahaya
bagi Amerika Serikat lantaran status Indonesia sebagai negara
berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Nama tengah “Husein” juga
dikampanyekan lawan-lawan politiknya sebagai bahaya besar bagi
keamanan nasional Amerika Serikat.
Hal yang sama juga menimpa Sarah Palin, kandidat wapres
dari Partai Republik yang pernah menjadi competitor Obama. Ia
disorot atas kehamilan di luar nikah putrinya. Amerika Serikat
memang relatif bebas dalam pergaulan seks, tetapi warganya
menginginkan pemimpin yang bersih, termasuk dalam urusan
keluarga. Kehamilan di luar nikah pun menjadi senjata kampanye
hitam sehingga Sarah Palin menjadi bulan-bulanan media.
Di Indonesia? Sama saja. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berulang kali menjadi sasaran empuk kampanye hitam, mulai
digembar-gemborkan pernah menikah saat masih menjadi taruna
Akabri hingga menjadi “antek” Amerika Serikat. Bersama Sri
Mulyani (sekarang Menteri Keuangan) dan Boediono (sekarang
Wakil Presiden), Presiden Yudhoyono juga dikapmanyekan sebagai
“antek” neoliberalisme.
Karakter politik Presiden SBY yang santun, hati-hati, dan penuh
pertimbangan agar tak melukai pihak lain juga dipelintir menjadi
bahan kampanye hitam secara terus-menerus. Melalui beragam
medium, mulai layar televisi, berita di koran, SMS, internet, atau
selebaran-selebaran gelap, Presiden SBY kemudian disebut sebagai
sosok peragu, penakut, lamban, dan cengeng.
Wapres Boediono juga tak lepas dari serangan yang sama. Saat
kampanye Pemilihan Presiden 2009 berlangsung, istri guru besar
yang juga dikenal santun itu dituding beragama Katolik. Bukan
hanya berbau fitnah, isu ini juga bisa merusak pluralisme dan
208 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
semangat Bhinneka Tunggal Ika. Jika pun informasi itu benar, inilah
pertanyaannya: apakah seseorang yang beristri bukan muslimah,
atau seseorang yang suaminya bukan muslim dilarang dan dibatasi
haknya untuk dipilih menjadi pemimpin? Sungguh, itu adalah cara
berpikir yang bertentangan dengan semangat kemajemukan kita.
Nah kini, tak perlu harus sepiawai Cicero untuk mengirim
“pesan-pesan kebencian” kepada lawan politik. Tak perlu pula ber-
susah-susah memikat media atau menjadi “media darling” agar bisa
punya akses ke ruang media dan menebar pernyataan yang menye-
rang lawan. Sekarang kita punya medium yang memungkinkan
semua orang punya akses yang sama. Hebatnya lagi, semua orang
bisa bersembunyi di balik anonimitas.
Selamat datang ke dalam era baru dalam dunia komunikasi dan
informasi, era yang oleh Mark Poster disebut sebagai second media
age. Inilah era yang ditandai bangkit dan berkembang luasnya
electronic media seperti internet dan realitas virtual. Second media age
sering disebut sebagai “revolusi” terhadap era yang kemudian
dijuluki first media age, sebuah era di mana old media atau traditional
media seperti koran, majalah, radio, atau televisi mendominasi dunia
komunikasi dan informasi.
Para ahli komunikasi juga sering menyebutnya sebagai new
media, yang dikotradiksikan dengan apa yang kemudian disebut old
media. New media merujuk pada kemunculan jaringan teknologi
informasi dan komunikasi berbasis teknologi digital dan computer
pada akhir abad ke-20. Teknologi yang digambarkan sebagai new
media ini bersifat digital, seringkali bisa dimanipulasi, bersifat
jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Secara
sederhana, new media merupakan media yang terbentuk dari
interaksi antara manusia melalui komputer dan internet, termasuk
di dalamnya web, blog, online social network, online forum, dan
sebagainya. Sementara old media merujuk pada media-media
“tradisional” seperti koran, majalah, radio, televisi, film, buku, atau
produk media cetakan lainnya.
Mengungkap Kesenjangan Istana 209
Di tengah gelombang new media, orang kemudian menyebut-
nyebut terminologi cyberdemocracy. New media, yang secara
operasional sering disebut sebagai computer-mediated communication
(CMC) ini dianggap menjadi monumen kelahiran kembali
demokrasi. New media telah membuka kembali apa yang pernah
disebut Habermas sebagai public sphere, yang sebelumnya dianggap
gagal direpresentasikan oleh old media lantaran adanya komersialisasi
media massa, bias kepentingan media, tidak adanya akses yang equal
bagi semua orang dan kecenderungan sensor.
Komersialisasi media massa dan perluasan intervensi negara
menimbulkan apa yang disebut Habermas sebagai “refeodalisasi”
ruang publik. Ruang publik runtuh menjadi sekedar dunia khayalan,
tempat citra dan opini dikelola dan mengalami komodifikasi untuk
tujuan-tujuan komersial belaka. Media tak lagi dinilai merefleksikan
realitas secara objektif, jernih dan apa adanya. Isi media dianggap
dipengaruhi beragam faktor yang menghasilkan bermacam-macam
realitas. Isi media tidak lagi bisa dipahami dalam konteks bebas nilai,
tetapi disesaki aneka kepentingan.
Maka new media pun—yang berupa situs jejaring sosial seperti
Friendster, Facebook atau Twitter, blog, milis, atau forum di internet—
menjadi ruang baru bagi publik untuk mengekspresiken perasaan
atau kepentingannya secara terbuka, bebas, dan tanpa hambatan
akses. Banyak yang menganggap, itulah bentuk kontemporer dari
public sphere yang dimaksud Habermas. Komunitas virtual itu
menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang
dapat menyediakan situasi komunikasi tanpa dominasi.
Tapi, bagaimana kita secara etik menjelaskan hal berikut ini?
“SBY Anjing”
Cobalah search kata kunci SBY di situs jejaring sosial Facebook.
Niscaya, di antara sederet akun akan muncul nama akun itu: “SBY
Anjing”. Di bawah nama akun terpampang foto profil berupa seekor
kepala anjing yang dihiasi topi.
210 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
Lalu coba lihat status atau komentar-komentar yang ada di
dinding (wall) akun itu. Pemilik akun itu di antaranya menulis begini:
Antek antek kebo lagi mangkal disini....ayo kawan kita serbu!!!http://
www.facebook.com/sbyudhoyono?ref=ts
Yang dimaksud adalah sebuah akun di Facebook yang dide-
dikasikan untuk Presiden Yudhoyono. Pemilik akun “SBY Anjing”
itu rupanya kesal melihat banyaknya akun di Facebook yang memberi
apresiasi terhadap Presiden Yudhoyono.
Pada hari lain, si pemilik akun “Sby Anjing” bahkan tega
membandingkan Presiden Yudhoyono dengan si penjahat
kemanusiaan, Adolf Hitler:: “Mending hitler lah hampir menang lawan
sekutu ketimbang Sby lawan malingsia pun takut.”
Binatang-binatang yang berkonotasi negatif belakangan ini juga
rajin direkatkan sebagai label ke sosok Presiden Yudhoyono. Caranya
pun cenderung dilakukan dengan mengabaikan etika atau sopan-
santun politik. Di jagat maya, hal itu dilakukan dengan memilih
kata-kata sekeras dan sekotor mungkin.
Sementara di “dunia nyata”, dilakukan dengan menggelar
semacam “aksi teatrikal” yang cenderung melampaui batas kepatut-
an. Pada hari-hari yang nyaris bersamaan dengan munculnya status-
status di akun “Sby Anjing” itu, di Jakarta sebuah kelompok
demonstran tega-teganya membawa babi dan anjing. Dua binatang
yang tidak mengerti duduk perkara itu dipaksa menduduki poster
bergambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan
Sri Mulyani, dan Wakil Presiden Indonesia Boediono.
Sebuah media membuat laporan dengan judul: “Wah! Anjing
dan Babi Duduki Poster Bergambar SBY.” Teras beritanya berbunyi:
“Kerbau boleh saja batal mengikuti aksi bertajuk tangkap dan adili maling
skandal Bank Century. Namun, hewan anjing dan babi ternyata tak me-
nemui hambatan berarti dalam mengikuti aksi tentang skandal Bank
Century.”
Tak hanya melaporkan, media itu juga kembali mengingatkan
pembacanya kepada kerbau yang sebelumnya juga dibawa
Mengungkap Kesenjangan Istana 211
demonstran. Pantat kerbau itu diberi tulisan SBY, disuguhkan sebagai
representasi sosok Presiden. Ketika Presiden Yudhoyono meng-
gunakannya sebagai contoh perlunya etika politik, para demonstran
balik menuding Presiden sebagai “cengeng” atau “suka curhat.”
Bagi demonstran, boleh jadi babi, anjing, dan kerbau itu hanya
lelucon. Arthur Koestler dalam The Act of Creation, memang
menyebut lelucon sebagai kebutuhan manusia. Tapi bagaimanapun,
lelucon adalah representasi dari sebuah petanda. Boleh jadi beragam
hewan yang diadaptasi ke dalam ranah politik itu –termasuk politik
di jagat maya— dimaksudkan sebagai lelucon. Tapi pertanyaannya,
apakah lelucon itu kemudian bermakna lucu? Tidakkah itu ber-
makna sebaliknya, menjadi menjadi sesuatu yang sangat kejam
hingga menista karakter seseorang? Lalu di mana letaknya etika?
Agak susah dibayangkan, adakah si pemilik akun “Sby Anjing”
akan mengatakan atau menulis dengan kekerasan verbal sekaligus
simbolik seperti itu jika mediumnya tidak bersifat anonim? Mengapa
anonimitas dan apa yang disebut ahli komunikasi sebagai “rebirth of
democratic life “ justru dimanfaatkan untuk menabur kata-kata kotor
dan kasar seperti “anjing, kebo, serbu”, atau “malingsia”?
Di jagat new media, ada bergerobak-gerobak akun, content milis
atau blog yang sejenis dengan akun “Sby Anjing.” Masih di Facebook,
ada pula akun yang diberi nama “GERAKAN ANTI SBY, Bangsat
Sby-Boediono Gila,” dan “Sby Bangsat.” Tentu saja, tidak jelas
identitas pembuatnya.
Status atau komentar yang terpampang di wall-nya juga tak
kelas seram. Di dinding akun “GERAKAN ANTI SBY” misalnya,
ada komentar seperti ini:
SBY=Seperti Babi Yah
Boediono=Bodoh,Edan,Ilmu ne ora ono
Sri Mulyani=Setan republik indonesia Muka licik yang amat
nista
Komentar itu disusul komentar lain: S B Y,,,,Sangat Bebal Y....
Akun “Bangsat Sby-Boediono Gila” juga memajang status atau
212 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
komentar yang tak kalah vulgarnya. Salah satunya berbunyi: “SBY
PREMAN ABAL-ABAL !!!”
Caci-maki dan kata-kata kotor juga beredar di milis-milis.
Sejumlah posting di sebuah milis mencerca Presiden Yudhoyono
seperti ini: “Tapi dasar DIA SOSOK BANGSAT ..... “. Satu lagi
berbunyi: “SBY BISA NONGKRONG di ISTANA karena DIBESAR-
KAN RAKYAT. Tapi dasar DIA SOSOK BANGSAT, RAKYAT justru
DIA SIKSA.”
Jika seperti ini yang terjadi dengan di alam new media, lalu apa
makna sebenarnya dari apa yang disebut cyberdemocracy? Adakah
kebebasan di jagat new media boleh-boleh saja menghasilkan ekspresi-
ekspresi yang penuh caci-maki? New media adalah jawaban terhadap
old media (traditional media) yang sudah dianggap terlalu elitis dan
dijajah komersialisasi, tapi apa jadinya kalau kemudian new media
dijadikan bagian dari pertarungan-pertarungan politik di tingkat
elite dan disesaki ungkapan-ungkapan dengan bahasa yang kurang
patut?
Dalam blog pribadinya, seorang admin/moderator di internet,
pernah mengungkapkan kegelisahannya terhadap fenomena “lomba
mencerca” ini. Suatu saat, dia memblokir akun seorang anggota
forum diskusi yang dikelolanya lantaran si anggota rupanya
kejangkitan hobi mencerca. Sang admin mengirim pesan begini:
“Kamu boleh berpendapat apa saja. Silahkan. Kamu bebas sebebas-
bebasnya. Tapi lakukanlah dengan cara yang sopan, intelek dan
beradab.”
Tahu jawabannya? Si pemilik akun yang gemar mengumbar
cercaan itu malah balik menyerang. Dia mengatakan, “Ini internet,
Bung! Di sini semuanya bebas. Anda ini seperti Orde Baru saja.
Suka mengekang kebebasan orang lain!”
Sungguh, sebuah jawaban tragis dari sosok yang juga tragis.
Hanya orang tragis yang melihat kebebasan sebagai sebuah kondisi
tanpa batas, yang sama sekali tak sadar bahwa kebebasan seseorang
selalu dibatasi kebebasan orang lain. Hanya orang tragis yang
Mengungkap Kesenjangan Istana 213
membabi-buta menggunakan apa saja yang ada dalam jangkauannya
untuk menistakan karakter orang lain.
Dulu, rezim Orde Baru menggunakan politik bahasa dan simbol
untuk memperoleh “penaklukan suka rela” (hegemoni) dari
warganya. Pancasila, stabilitas, dan pembangunan, (dan masih
banyak yang lain) adalah diksi-diksi kunci yang menjadi bagian dari
politik bahasa Orde Baru untuk menindas rakyatnya secara simbolik.
Tetapi kini, mengapa “Orde Baru” tiba-tiba menjadi diksi kunci yang
digunakan sebagian kaum “reformis” untuk “menindas” reformis
lainnya? Tidakkah ini tragedi?
Pertanyaan lainnya, apakah kampanye hitam, saling serang dan
saling menelanjangi baik bagi perkembangan demokrasi? Victor
Kamber, penulis buku Poison Politics, tegas menjawab: “Kampanye
negatif, apalagi kampanye hitam, merusak demokrasi. Kampanye
hitam seperti racun politik yang tidak sehat bagi rakyat,” tulisnya.
Kini, pertarungan-pertarungan politik tak cuma dihelat di
gedung parlemen, partai politik, atau di jalan-jalan, tapi juga di jagat
maya new media. Apa-apa yang sebelumnya hanya bisa diedarkan
lewat selebaran gelap atau tayangan (old) media, tiba-tiba ditarik
masuk ke dalam jagat maya. Atas nama demokrasi, semua orang
bisa bebas –lantaran bisa bersembunyi di balik anonimitas—menulis,
mengatakan, atau melakukan apa saja. Apalagi, sejarah mencatat,
banyak peristiwa politik dramatis di berbagai penjuru dunia –
termasuk Indonesia— terjadi melalui new media.
Tapi, menggunakannya secara kalap bertabur kata-kata kotor
juga jelas bukan pilihan bijak.
Awal Mei 2005
Seorang pemuda 16 tahun asal Korea Selatan, Lee Chun-Kil,
menekan tombol send di ponselnya. Dia mengirim pesan teks kepada
temanya saat berada di dalam kelas. Dia memang sangat andal
memainkan keypad ponselnya. Dia bahkan tak perlu melihat tombol
keypad saat mengetik pesan ini: “Gwanghwamun station. 6:00.”
214 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
Pesan teks itu pun segera tersebar, mengabarkan berita aksi
spontanitas siswa SMA di negeri ginseng tersebut. Pada hari
berikutnya di tengah kota Seoul, tiba-tiba sekitar 400 siswa berkum-
pul menggelar protes terkait tekanan ujian masuk perguruan tinggi
negeri yang amat sangat kompetitif.
“Aksi ini tak akan besar jika kita tidak memiliki ponsel. Tanpa
SMS, kita tak akan mampu menyebarkan informasi dengan cepat,”
ujar Im Soon-jae, salah satu koordinator aksi.
Sekitar dua dekade silam, kita melihat bagaimana tayangan
televisi ikut merobohkan Tembok Berlin, dan mesin faks membantu
pengorganisiran demonstran selama protes di Lapangan Tiananmen.
Lima tahun lalu, pesan teks via ponsel yang dikenal sebagai SMS
(short message services) menyusul menjadi perkakas politik baru bagi
aktivis atau siapapun.
Di negeri yang melek teknologi seperti Korea Selatan, SMS
menyuntikkan pengaruh dan merangasang apa yang disebut sebagai
mobile democracy. Gerakan SMS ini tak terawasi dan berongkos
murah. Maka, mobile democracy pun menyediakan kanal bawah
tanah untuk pernyataan singkat yang tak tersensor.
Demonstran menggunakannya untuk memobilisasi protes,
menjungkalkan otoritas, dan melesakkan berbagai spam (penyalah-
gunaan sistem pesan elektronik) untuk mengirim pesan massal yang
secara politik tidak tanpa pandang bulu. Mobile democracy juga
memungkinkan mereka merekayasa aksi kolektif dengan kecepatan
tak terduga.
Filipina juga memberi contoh bagaimana politik “menguji” tek-
nologi informasi dan komunikasi. Pada 2002, gerakan anti Presiden
Joseph Estrada juga menggunakan SMS untuk mengorganisir
demonstrasi. Para pemrotes diminta berpakaian hitam, dan
dipanggil secara serentak oleh pesan SMS dari ponsel ke ponsel:
“Go 2 EDSA (akronim untuk sebuah jalan di Manila). Wear Black.”
Sejarah mencatat, Joseph Estrada Estrada dipaksa turun dari
kursi kepresidenannya dengan gerakan people power yang
Mengungkap Kesenjangan Istana 215
dikoordinasi lewat SMS. Seorang presiden yang dulunya terpilih
dengan dukungan publik begitu besar akhirnya harus jatuh karena
publik berhasil menyatukan diri melalui medium SMS. Seperti
diketahui, Estrada kemudian diganti Gloria Macapagal Arroyo.
Sejak itu, penggunaan SMS sebagai perkakas politik (political
tool) semakin menyebar. Banyak peristiwa besar terjadi karenanya.
Banyak negara dari bagian yang bebeda di seluruh dunia yang
pemilihan umumnya dipengaruhi orang-orang yang secara spontan
bergerak bersama,” tulis Howard Rheingold dalam “Smart Mobs:
The Next Social Revolution.”
Ketika fenomena new media datang, SMS bukannya ditinggal-
kan. Keduanya bahkan kemudian terkoneksi sehingga menjadi
perkakas politik yang kian dahsyat. Facebook dan Twitter, semisal,
kini bisa diakses dari ponsel. Maka, pesan-pesan melalui Facebook,
Twitter, dan SMS kembali menjadi medium perubahan politik di
mana-mana.
Di Korea Selatan, misalnya, Presiden Roh Moo Hyun dianggap
tak akan terpilih tanpa bantuan internet dan SMS. Pendukung utama
Roh adalah generasi muda yang melek teknologi informasi. Mereka
membantu kampanye Roh dengan melancarkan kampanye massif
pada menit terakhir dengan menebar surat elektronik dan pesan
teks ke 80 ribu pemilih pada pagi hari pemilihan. Pesannya: datanglah
ke bilik-bilik pemilihandan pilihlah Roh.
Dengan dukungan para citizen journalist di situs OhMyNews
dan pesan SMS, Roh memenangkan pemilu presiden dengan margin
tipis: hanya 2%. Berkat pesan elektronik itu, orang-orang Korsel
yang tengah asyik berlibur main ski sampai-sampai mau kembali ke
kota hanya untuk memilih Roh.
Di negeri seperti China, di mana internet disensor, ponsel
memainkan peran lebih penting. Internet merupakan cara membuat
pernyataan tanpa terawasi. Selama tiga pekan pada musim semi
2005, warga China menggelar protes massal anti-Jepang. Para
pemuda China mengirim surat elektronik dan SMS secara berantai
216 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
yang mendesak warga memboikot produk Jepang dan menggelar
aksi jalanan, memberi informasi logistik atas rute aksi massa dan
bahkan slogan apa yang harus diteriakkan. Meski tanpa beridentitas
jelas, pesan-pesan itu mampu memobilisasi sekitar 20 ribu orang
untuk berdemo pada 16 April 2005.
Internet dan SMS juga berpengaruh secara luas di Timur
Tengah. Maret 2005, warga Lebanon menggunakan e-mail dan SMS
untuk mengorganisasi aksi besar di Beirut. Mereka menggalang
sejuta demonstran yang meminta penarikan pasukan Suriah dan
pengunduran diri pemerintah. Akhir April, karena beragam tekanan
dari PBB dan aksi massa anti Suriah yang massif, 14 ribu pasukan
ditarik, dan mengakhiri kehadiran Suriah selama 29 tahun di
Lebanon.
Di Kuwait, wanita dimobilisasi melalui internet dan SMS untuk
berdemo mendapatkan hak suara dalam pemilu. Usaha mereka
terbayar. Kuwait memberlakukan amandemen hukum dan memberi
hak suara untuk perempuan serta menempati posisi parelemen dan
dewan lokal.
9 April 2009, ratusan ribu anak muda Moldova anti-rezim
komunis yang berkuasa turun ke jalan setelah menggalang komu-
nikasi melalui Twitter. Sebelumnya, tweets masuk dari seseorang di
Moldova di tengah hari yang diwarnai berbagai bentrokan antara
petugas keamanan melawan demonstran. “TV di Moldova Utara
mati. Untunglah kita punya INTERNET YANG MAHAKUASA!
Mari memaksimalkannya untuk berkomunikasi secara damai untuk
mencapai kebebasan,” begitu bunyi tweets itu.
Beberapa detik kemudian, puluhan tweets bergantian masuk.
Ada yang mengeluhkan bos di kantor yang melarang turun
berdemonstrasi, ada pula yang menyampaikan pesan damai dan
tuntutan perubahan rezim yang dianggap telah bertindak curang
dalam pemilu. Darfi tweets demi tweets itulah dunia tahu apa yang
sebenarnya terjadi di negeri termiskin di Eropa itu saat media asing
kesulitan menembus lapangan. Dari spirit yang digelorakan secara
Mengungkap Kesenjangan Istana 217
online lewat Twitter atau Facebook itu juga ribuan demonstran tak
pernah kehabisan bensin menentang penguasa Moldova.
“Hanya enam yang mengorganisasikan semuanya lewat
internet. Hasilnya, 15 ribu orang sekaligus turun ke jalan,” kata
Natalia Morar, jurnalis dan pentolan kelompok pemuda yang meng-
gerakkan demonstrasi di Moldova, kepada harian Inggris The
Independent.
Sebulan kemudian, Iran yang diguncang demonstrasi serupa.
Ratusan ribu pendukung kandidat presiden yang kalah, Mir Hossein
Mousavi, juga menggugat hasil pemilu. Pemerintahan Mahmoud
Ahmadinejad merespon aksi itu dengan keras. Misili paramiliter
Basij diterjunkan, korban jiwa pun berjatuhan.
Karena media asing diblokir, kelompok anti-pemerintah pun
memanfaatkan Facebook, Twitter, dan berbagai blog. Tak hanya
untuk menggalang dukungan, mereka juga mewartakan. Saat
“media tradisional” (old media) sekelas CNN dan BBC tak berdaya,
new media seperti Facebook dan Twitter yang mengambil oper
peranan. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai “Revolusi
Facebook” atau “Revolusi Twitter.”
Tak hanya ampuh untuk menantang atau merobohkan
penguasa, Facebook dan Twitter mampu mengantar orang ke puncak
kekuasaan. Contoh paling kondang adalah Barack Obama.
Kemenangannya atas John McCain di pemilihan presiden Amerika
Serikat (AS) November 2008 lalu merupakan hasil memaksimalkan
Facebook dan Twitter. Financial Times bahkan pernah menulis, kalau
ada medali emas kategori pemanfaatan teknologi baru untuk tujuan
politik, maka semua medali itu sangat pantas dianugerahkan untuk
Obama.
Betapa tidak. Tim kampanye Obama memanfaatkan semua situs
jejaring sosial seperti MySpace, Facebook, YouTube, Twitter, dan banyak
lagi. Situs resmi Obama, BarackObama.com, juga dilengkapi semua
fasilitas situs-situs tersebut. Tim kampanye Obama menggunakan
internet sebagai alat mencapai tiga sasaran, yakni membantu
218 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
mengorganisasi pendukung, mengumpulkan dana, dan menyam-
paikan pesan (telling the campaign’s story).
Hasilnya dahsyat. Hanya berbekal biaya jasa konsultasi dan
pelayanan lainnya sebesar 1,1 juta dollar AS, Obama sanggup
menggalang dana hingga 200 juta dollar AS secara online, 2 juta
dukungan telepon, dan 850 ribu pengunjung tiap hari. Situsnya
menyajikan informasi up-to-date dalam bentuk video, foto, ringtone,
widgets, hingga info kampanye. Pendukung Obama bisa membuat
blog masing-masing sesuai isu yang diusungnya, mengusulkan reko-
mendasi kampanye, membuat situs mini untuk menggali dana kam-
panye, mengelola kegiatan, bahkan menggunakan phone-bank widget.
Rekaman video kegiatan yang digelar juga bisa diakses melalui
YouTube, MySpace, dan Facebook. Pendukung juga dapat menikmati
berbagai pesan kampanye melalui iPod. Kanal Obama di YouTube
punya hampir 1.300 video yang dibuat staf kampanyenya, dan setiap
hari bertambah. Video Obama ditonton 50 juta orang, bandingkan
dengan kanal YouTube John McCain yang hanya punya 200 video
dan ditonton 4 juta orang.
Sebelum era internet dan SMS, publik yang terdiri dari jutaan,
ratusan juta dan bahkan miliaran orang merupakan entitas besar
yang sulit dijangkau dengan old media apapun dalam sekejap.
Kehadiran internet dan SMS mengubah segalanya. Publik yang sede-
mikian luas menjadi tiada artinya. Publik yang sedemikian banyak
dan sulit “disatukan” tiba-tiba serasa berada di genggaman tangan,
menjadi bak sekeping elemen kecil yang mudah dijangkau dalam
hitungan detik.
New media menjadi ibu yang melahirkan apa yang kemudian
disebut flashmob. Ini terminologi yang merujuk pada kerumunan
massa yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba, baik untuk tujuan-
tujuan politik maupun lainnya. Anggota kerumunan massa itu
berkumpul berdasar pesan singkat tentang lokasi dan waktu, dan
segera bubar begitu urusan kelar. Flashmob inilah yang dalam lima
tahun belakangan ini meruyak di mana-mana, di sekujur dunia
Mengungkap Kesenjangan Istana 219
termasuk di Indonesia.
Dalam konteks politik, new media menjadi bentuk komunikasi
massa yang hampir tidak bisa dikontrol pemerintah. Orang bisa
berbicara kepada publik tentang gagasan-gagasannya (serevolusioner
apapun itu) melalui blog, website, atau situs jejaring sosial. Sesuatu
yang nyaris mustahil bisa dilakukan melalui old media yang berada
dalam jangkauan kontrol kekuasaan politik.
29 Desember 2009
Prita Mulyasari (32) divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri (PN) Tangerang, Selasa (29/12). Inilah bukti the Facebook power
juga menjalar ke Indonesia. Kuasa politik new media sudah sampai
ke bumi Nusantara.
Sebagian orang gembira menyambut vonis ini. Mereka
menganggap vonis itu mewakili rasa keadilan. Namun sebagian lain
diam-diam tepekur miris, khawatir proses peradilan kini bisa
dikendalikan sentimen massa yang digalang melalui new media.
Dalam kasus Prita Mulyasari, Facebook seolah telah menjelma
menjadi ruang pengadilan tersendiri. Boleh saja hakim memutus
sebuah kasus di ruang sidang pengadilan, tapi para Facebooker punya
versi putusan sendiri. Situs jejaring sosial semacam Facebook dan
Twitter menjelma menjadi kekuatan yang diakui atau tidak mampu
mempengaruhi proses formal seperti putusan pengadilan.
Sebelumnya, kuasa new media melalui Facebook juga telah
membebaskan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah. Kasus ini bahkan
menggambarkan secara gamblang perubahan konstelasi hubungan
negara dan warga negara.
Facebook menjadi sebagai alat baru untuk mengontrol peme-
rintah. Tak perlu lagi capek-capek berdemonstrasi atau meneriaki
dewan untuk mengontrol pemerintah. Cukup tulis ketidakpuasan
ke dalam status di Facebook, sontak dukungan akan datang. Saat
dukungan menjadi massif, sikap pemerintah diasumsikan akan
220 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
goyah.
Inilah yang diyakini terjadi hingga Bibit dan Chandra dibebas-
kan 1 Desember 2009 lalu. Mereka menerima surat ketetapan peng-
hentian penuntutan (SKPP) kasus yang membelit mereka: sangkaan
pemerasan dan penyalahgunaan wewenang menyusul keputusan
mencekal Anggoro.
Ada hubungan atau tidak, yang pasti pembebasannya bersama-
an waktunya dengan saat dukungan bagi akun “Gerakan 1.000.000
Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” di
Facebook mencapai ratusan ribu. Di Facebook, akun yang
didedikasikan kepada Bibit-Chandra cukup banyak, misalnya akun
“Pahlawan Anti Korupsi: Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto”,
“Dukung Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah”, “Gerakan
Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto”,
hingga “PONOROGO DUKUNG BIBIT SAMAD RIYANTO DAN
CANDRA HAMZAH”.
Hasil lebih spektakuler tecermin dari kasus Prita. Derasnya
dukungan publik juga memaksa RS Omni International, Tangerang,
Banten, resmi mencabut gugatan perdata, 14 Desember 2009. Ini
adalah bagian dari upaya damai yang ditawarkan RS Omni, RS yang
awalnya menjerat Prita dengan gugatan perdata dan pidana. Seperti
diketahui, Prita dilaporkan mencemarkan nama baik RS Omni
menyusul e-mail-nya yang berisi keluhan ketidakjelasan penanganan
saat sakit dan dirawat di RS itu, 7 Agustus 2008 silam. Vonis bebas
atas Prita untuk dakwaan pidana diyakini terpengaruh pula oleh
tekanan massa yang diinisasi para Facebooker.
Dalam kasus ini, Facebook tak hanya melahirkan flashmob atau
mengarahkan opini publik, tapi juga tindakan publik yang serentak.
Dalam kasus Bibit-Chandra, sejumlah demonstrasi diorganisir
melalui Facebook. Massa berkumpul berdasar informasi tentang
lokasi dan waktu demonstrasi yang muncul di akun-akun Facebook.
Yang lebih dahsyat adalah simpatisan Prita. Melalui Facebook pula –
dan kemudian ikut disebarluaskan oleh old media— mereka sukses
Mengungkap Kesenjangan Istana 221
menghelat gerakan mengumpulkan koin bertajuk Koin untuk Prita.
Fenomena ini memang bisa dilihat sebagai bentuk baru
demokrasi, yaitu cyberdemocracy. Itulah saat lembaga perwakilan
rakyat dianggap tak lagi kompeten menyalurkan suara rakyat, maka
Facebook pun menjadi ruang bebas rakyat untuk mengontrol negara.
Cyberdemocracy memang merupakan respon terhadap proses evolusi
jaringan komputer, yang ingin membangun sistem interaksi langsung
antarkomunitas virtual maupun nonvirtual melalui media diskusi
dan perdebatan-perdebatan kebijakan/politik.
Namun diskusi dan perdebatan publik yang demokratis mem-
butuhkan beberapa kata kunci yang sepertinya sering diabaikan:
kewarasan, kesantunan, dan respek. Karena itu, beragam kata-kata
kotor, penuh prasangka, dan simbolisasi hewan tentu tidak patut
ikut diedarkan di dalam ruang bebas di dunia maya, apalagi dengan
bersembunyi di balik anonimitas.
Saat menanggapi hasil Pansus Bank Century, misalnya, di
sebuah milis yang lain muncul sebuah posting dari sebuah akun
email yang tidak jelas identitas pemiliknya. (mungkin hanya Tuhan
yang tahu tahu identitas sebenarnya sang pemilik). Seperti posting
lain, isinya barisan cercaan dan kata-kata kotor untuk Presiden
Yudhoyono. Saat menganalisis kasus Bank Century, si pengirim
posting menggunakan judul-judul seperti “SBY pikun, SBY bodoh,
SBY rasis, SBY arogan, SBY pengecut, SBY plin-plan,” dan “SBY
telmi.”
Isinya analisisnya? Tentu tak jauh-jauh dari itu. Misalnya, saat
mengomentari Presiden Yudhoyono dia menulis kata-kata “ada
syaraf yang korslet, tolol, nggobloki, SBY face off, kepalanya ndengak,
kerdil,” atau “hilang ingatan.”
Tentu kita tidak ingin secara bersama-sama gigih menjadi
pengamal ajaran Machiavelli: “Politik itu boleh kotor. Jadi, amalkan
dan jangan ragu-ragu. Walaupun jalannya berdarah-darah, tempuh
saja.”
Menggunakan ruang publik di new media adalah keniscayaan
222 Cyberdemocrazy itukah yang Kita Inginkan
jalan yang sudah ditunjukkan sejarah. New media dan juga ber-
kembangnya cyberdemocracy bakal menjadi pelajaran besar bagi
negara agar lebih hirau terhadap keadilan. Tetapi tentu saja, semua
itu tidak harus dijalani dengan “berdarah-darah”, meski dalam
pengertian lebih simbolik.
Demokrasi, seperti pernah ditulis Prof Karl Popper, sering
diibaratkan bak permadani. “Indah di permukaan, tapi seringkali
digunakan untuk menyembunyikan sampah di baliknya.”
Mahathir Mohamad dalam Achieving True Globalisation (2004),
juga mengatakan: “Democracy, at least at present, is the best form of
governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the
freedom. When democracy is misunderstood, however, and freedom is
misinterpreted, the result is anarchy.”
Anarki. Meski tidak dalam pengertian secara fisik, apakah itu
yang kita inginkan: cyberdemocrazy? *
Mengungkap Kesenjangan Istana 223
1313131313Kearifan Rakyat danMasa Depan Politik
Indonesia
Sore itu Paijo pulang kampanye. Ia, meski kata tetangganya tak
punya potongan jadi politikus, nekad maju ingin ke Senayan.
Ingin menikmati berkuasa jadi wakil wakyat di DPR. Ditemani
Genuk, sang istri, Paijo merasa kelelahan setelah seharian penuh
berteriak-teriak sampai serak dari panggung kampanye ke panggung
kampanye. Agar tetap terlihat merakyat Paijo dan Genuk istiharat
di warung tegal sambil minta kopi panas.
’’…Hari ini saya benar-benar menguras tenaga. Lelah sekali,’’
bisik Paijo ke Genuk sambil sedikit memejamkan mata.
’’ Demi aspirasi rakyat sudah beberapa hari ini saya kurang
tidur,’’ Paijo terus berbisik ke Genuk
’’Saya juga kok mas,’’ balas Genuk ke Paijo. ’’Saya sampai
setengah lupa kalau lelah,’’ lanjut Genuk.
’’ Lha wong kamu gak jadi jurkam,’’ balas Paijo kali ini setengah
224 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
tak percaya.
“Yaiyalah mas,’’ istrinya tidak mau kalah.
“Kok bisa,’’ kali ini Paijo lebih serius.
’’Karena saya harus bertepuk tangan terus menerus samapai
kehabisan tenaga pada semua jurkam yang isinya semua sama,’’
Genuk sambil nyengir.
Ini hanya obrolan rakyat. Mungkin lucu. Cerdas. Juga menggeli-
kan. Atau pula refleksi keluguan. Mungkin pula ketidakpercayaan
pada retorika politik yang begitu mudah diobral para politikus di
panggung-panggung formal yang begitu mudah atas nama rakyat.
Sementara rakyat sendiri semakin tak mudah percaya pada klaim-
klaim manis. Janji-janji angin surga.
Begitu banyak janji-janji angin surga tak nyambung dengan
harapan rakyat. Toh, rakyat punya cara sendiri untuk tidak percaya.
Lewat obrolan-obrolan ringan di warung kapi. Lewat arisan ibu-
ibu RT. Lewat penguyuban-peguyuban. Tidak mesti dengan caci
maki. Tanpa harus anarki. Mereka juga punya model sendiri untuk
menyikapi. Mereka juga punya cara sendiri untuk menunjukkan
ketidakpercayaan. Salah satunya, misalnya, membludaknya massa
di area kampanye tidak dengan sendirinya mencerminkan tingginya
popularitas dan elektabilitas juru kampanye (jurkam) yang sudah
mengebu-ngebu menjanjikan angin surga.
Rakyat punya kearifan sendiri. Mata sendiri. Punya hati sendiri.
Dan, dari semua kearifannya mereka bisa mendeligitimasi calon
wakil rakyat tanpa diduga. Setelah rakyat diberi kesempatan memilih
langsung sang calon dalam Pemilu 2009, banyak caleg top kelas
nasional yang gagal. Perolehan suaranya kalah dari calon “kelas
kampung” yang mungkin tak punya banyak modal politik. Mereka
tak berkutik di hadapan “pengadilan rakyat.”
Inilah putusan rakyat yang paling arif, sejak Pemilu 2009
menghapus nomor urut untuk menentukan terpilih atau tidaknya
calon wakil rakyat (caleg). Dan, caleg top berkelas nasional itu harus
Mengungkap Kesenjangan Istana 225
gigit jati. Hanya bisa mengumpat. Sebagian menuding sana sini
menuduh lawan politiknya curang. Ada yang menuduh orang lain
membeli suara.
Rakyat tak peduli. Makanya kalau mereka mau menurut untuk
melakukan sesuatu janganlah serta merta diartikan seragam seperti
yang tampak di permukaan.
Mereka mungkin saja antusias datang ke Tempat Pemungutan
Suara (TPS). Mereka memberikan suaranya—tidak golput. Dalam
hati, siapa tahu, kalau mereka punya rasa bijak sendiri. Atau sekadar
rasa kasihan pada caleg. Memberikan suara bukan untuk memberi
amanah agar yang dicoblos atau dicontreng mengartikulasikan
aspirasinya. Sama sekali tidak.
“…Paidi keluar dari TPS disambut wartawan yang ingin
meminta komentarnya.
’’Wah... Pak Paidi telah ikut pesta demokrasi ya. Apa komentar
bapak tentang pesta demokrasi sekarang?,’’ tanya wartawan.
’’Pesta demokrasi apaan?, Paidi balik bertanya ke wartawan
yang mengerubunginya.
’’Loh... tadi Pak Paidi memberikan suara itu kan pesta
demokrasi,’’ kejar si wartawan.
’’Ah... bukan pesta. Saya hanya membantu tetangga yang ingin
dapat pekerjaan. Jadi anggota DPR,’’ Paidi ngeloyor
meninggalkan kerumunan wartawan. (Dono, 1987)
Pemilu pertama setelah reformasi pada tanggal 6 Juni 1999
dengan sistem multi partai. Banyak yang was-was, rakyat tak siap.
Fanatisme terhadap partai dikhawatirkan dapat memicu timbulnya
pertikaian fisik, akibat perbedaan ideologi. Maklum, selama 32 tahun
Orde Baru rakyat dikendalikan sedemikan rupa. Mereka pun hanya
“dipaksa” memilih tiga partai saja: PPP, Golkar, dan PDI. Tak heran
tata kala harus memilih 48 partai pada Pemilu 1999, diestimasikan
banyak pengamat berpotensi menimbulkan konflik. Lagi pula
226 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
konsolidasi politik saat itu belumlah sepenuhnya tertata dengan baik.
Nyatanya kita kecele. Masyarakat sungguh amat dewasa ketika
diberi kesempatan yang sangat bebas untuk memberikan suaranya.
Melihat pelaksanaan Pemilu 1999 kita benar-benar bangga.
Masyarakat kita sudah sangat siap berdemokrasi secara damai.
Yang tidak siap justru partai politik. Wakil-wakil partai yang
duduk di Komisi Pemilihan Umum, tidak bersedia menetapkan hasil
Pemilu 1999. Penetapan hasil pemilu akhirnya diambil alih oleh
Presiden B.J. Habibie. Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah
Indonesia, karena Komisi Pemilihan Umum yang dipimpin oleh
Rudini, justru bersiegang soal hasil pemilu.
Masyarakat termasuk yang paling siap menerima apa pun hasil
Pemilu 1999. Hilangnya rasa curiga, kelihatannya menjadi salah satu
penentu untuk membuat orang siap menerima apa pun hasil pemilu
untuk diri dan partainya.
’’…Saya juga melihat terjadinya saling olok di antara saksi—yang
yang merupakan wakil-wakil partai—ketika penghitungan suara
dilakukan. Namun, olok-olokan itu hanya sebatas canda. Dengan
olok-olokan itu suasana menjadi cair. Segar. Tidak menegangkan…’’
(Iskan, 2000).
Kedewasaan dan kearifan masyarakat itu, tetap berlangsung
hingga sekarang. Amatlah jarang gonjang-gonjang politik langsung
berasal dari rakyat. Justru yang sering terjadi sebaliknya, situasi
panas muncul dari gesekan-gesekan elit. Rakyat hanya kena imbas-
nya, terprovokasi atau dimobilisasi. Entah itu disengaja atau tidak.
Gonjang-ganjing politik selalu berasal dari elit. Lihat saja pada pra
Pemilu 2009, sempat kisruh dan muncul tuduhan berbagai rekayasa
Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Sementara (DPS).
Arah tuduhan memberi sinyal bahwa yang “bermain” itu pemerin-
tah. Tujuannya, tentu saja menurut nalar para penuduh itu, adalah
dengan rekayasa itu hendak memenangkan parpol peserta pemilu
tertentu.
Nyata pemilih bergeming. Yang ribut sebagian besar bukan
Mengungkap Kesenjangan Istana 227
pemilih yang tidak terdaftar, atau pemilih kebanyakan. Namun,
mereka adalah sebagian politikus. Dengan segala kelemahannya,
pemilu tetap berjalan sesuai jadwal. Dan, dengan segala kekurangan-
nya—yang tentu harus segera diperbaiki—Pemilu 2009 telah meng-
hasilkan anggota DPR, anggota DPD, dan presiden-wakil presiden
2009-2014.
Saat terjadi keributan dalam Sidang Paripurna DPR tentang
pembacaan hasil Pansus Hak Angket Bank Century, Selasa (2 Maret
2010) denyut Pasar Palmerah, Jakarta, berjalan normal. Justru kuli
angkut di pasar itu menertawakan ulah para wakil rakyat yang
protes ke Ketua DPR karena dianggap kurang adil dalam memimpin
sidang. ’’Malu-maluin saja. Harusnya ga usah ribut gitu. Itu kan wakil
rakyat, pimpinan kita. Harusnya ngomong baek-baek, dengerin dulu,
baru diputuskan,’’ kata Supriyadi, kuli angkut.
Rekan Supriyadi, sesama kuli panggul, menambahkan, anggota
DPR saja kayak gitu, bagaimana rakyatnya. ’’Kalau kita orang pasar
ga ada pendidikan, wajar beramtem. Mereka ga ada etika sama sekali,’’
Slamet Widodo (Kompas, 3 Maret 2010).
Bergeming dengan Gonjang-Gonjang
Sejak Pemilu 2009 usai –isu-isu tentang pemilu yang
sebelumnya dianggap periode politik yang amat krusial, sarat
dengan gonjang-ganjing politik, mulai ditinggalkan. Usai pemilu,
gonjang-ganjing politik mulai berubah. Para kuli tinta mulai mengejar
berita tentang penangkapan pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Tak hanya disitu, kasus Bibit-
Chandra menyeruak bak magnet menyedot perhatian media massa
dan publik. Hampir dua bulan, pemberitaan tentang Bibit-Chandra
terus diolah oleh media. Tat kala isu itu usai, babak berikutnya, media
masuk ke “panasnya” isu-isu seputar bail out Bank Century.
Toh, berbagai kondisi politik yang “panas” itu, rakyat tetap saja
bergeming. Mereka memang banyak mengikuti berbagai kisruh
politik melalui tayangan langsung televisi nasional. Namun,
228 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
kehidupan sehari-hari mereka tetap normal.
Kehidupan ekonomi, misalnya, sama sekali tidak terpengaruh.
Di pasar uang, nilai tukar rupiah tetap stabil. Tidak ada gejolak
lonjakan kurs yang cukup berarti. Pasar modal juga berjalan normal.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hampir tidak pernah
mengalami goncangan besar.
Kecuali, ketika terjadi krisis finansial global Oktober 2008. Saat
itu otoritas bursa sempat menghentikan transaksi karena indeks
terjun bebas 10,23 persen. Terendah sejak September 2006 (Tempo,
19 Oktober 2008).
Setelah itu, pelan-pelan perekonomian berjalan normal. Bahkan
Indonesia dianggap negara yang cukup kukuh fondasi ekonominya.
Ketika negara lain banyak yang tergoncang krisis ekonomi yang
berawal dari Amerika itu, Indonesia nyaris tak mendapatkan
“gangguan” yang berarti. Relatif dapat bertahan dengan cukup
baik.Tentu itu hasil kerja keras pemerintah yang membuat sejumlah
kebijakan terobosan untuk mencegah dampak krisis keuangan global
agar tidak menerpa perekonomian Indonesia.
Hampir lima tahun terakhir ini perekonomian kita memang
tidak lagi rentan terhadap gonjang-gonjang politik. Mulai dari
pemilu sampai isu-isu politik terbaru tak banyak berpengaruh
terhadap aktivitas perekonomian nasional. Ini menandakan bahwa
ekonomi makin terpisah dari isu-isu politik. Ekonomi jalan sendiri.
Politik jalan sendiri. Punya ranah sendiri-sendiri. Ekonomi punya
nalar dan akal sehat sendiri. Karena itu, tidak selalu terimbas isu-isu
politik aktual. Meskipun tentu memang tidak selamanya akan begitu.
Itu semua menandakan bahwa masyarakat kita semakin
dewasa. Telah dapat memilah-milah mana yang perlu direspons
serius dengan sikap tertentu. Dan, mana pula yang hanya merupa-
kan isu-isu terkait dengan kepentingan politik tertentu yang ber-
sumber pada persaingan antar kekuatan politik.
Kecenderungan rakyat yang kian matang (dewasa) dalam
berpolitik dan menyikapi sejumlah persoalan itu mengundang
Mengungkap Kesenjangan Istana 229
kagum Wakil Presiden Boediono. Dalam Peringatan ke-81 Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 2009 di Banteng, Boediono memuji
kearifan rakyat Indonesia.
“…Beruntung bangsa Indonesia telah menemukan kearifan yakni
kearifan rakyat Indonesia, sehingga kita tempuh demokrasi dengan
mantap dan tak terjadi gesekan berarti,’’ katanya
Celakanya, kalau boleh disebut demikian, institusi politik seperti
parpol belum banyak berubah wataknya. Orientasi kekuasaan yang
dibangun sering tidak merupakan desakan yang muncul dari
dinamika sosial, eknomi, dan politik di arus bawah rakyat. Tetap
saja, misalnya, hingar-bingar politik di parlemen tidak selalu
nyambung dengan denyut harapan aspirasi masyarakat.
Agaknya menjadi ironis kalau untuk menentukan calon
kepala daerah, dewan pimpinan pusat (DPP) parpol mesti ikut
menentukan calon, suatu posisi yang sarat intervensi campur terlalu
jauh. Ada parpol yang DPP-nya begitu gampang ambil posisi.
Daerah diminta menyodorkan lebih dari satu orang calon kepala
daerah. Berikutnya, DPP tinggal memilih satu di antara sekian calon
yang disodorkan daerah. Bagaimana kalau calon ditunjuk—bahasa
kerennya direkomendasi—DPP bukanlah calon terbaik, katakan,
yang ditujuk DPP hanya calon yang menurut daerah hanya ranking
ketiga? Ini bukan lagi demokrasi, tetapi mentalitas sok tahu dari
pihak yang punya kuasa. Top down bukan buttom up yang eman-
sipatoris.
Masyarakat di daerah, rakyat di lapisan bawah, tentu kecewa
dengan pola-pola kekuasaan parpol yang masih menyisakan sentral-
istik. Bisa dipahami jika mereka kecewa. Hanya kekecewaan itu
jarang dilampiaskan dengan anarki berlebihan yang destruktif.
Kekecewaan itu tetaplah rasional. Menurut common sens dan logika
rakyat.
Mereka, umpamanya, menunggu kinerja tokoh yang terpilih
jadi kepala daerah. Jika kinerja lima tahun pertama seorang kepala
daerah tidak bagus, pada pemilukada berikutnya siap-siap didepak.
230 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
Di Jawa Timur, ada gejala politik lokal yang menarik. Sejumlah kepala
daerah (bupati) incumbent gagal bertahan melalui pemilukada
berikutnya karena kinerjanya lebih buruk dibanding kinerja kepala
daerah tetangganya.
Semula, gejala ini seolah kebetulan. Ternyata, tahun-tahun
berikutnya memperlihatkan kecenderungan serupa. Misalnya, di
pemilukada Jember, Pacitan (2005), Ngajuk (2006), dan Bojonegoro
(2008).
Ini berbeda dengan kabupaten lain yang kinerjanya dirasakan
memuaskan rakyatnya. Pada pemilukada berikutnya, kepala daerah
kabupaten-kota incumbent itu relatif sulit ditandingi para pesaingnya.
Para incumbent itu lebih mudah menang, seperti di Lamongan,
Surabaya, dan kota Blitar.
Majalah Tempo pun perlu memberi apresiasi berupa liputan
khusus terhadap bupati-bupati nan jauh dari Jakarta yang dinilai
berprestasi menonjol melalui inovasi-inovasi best practices yang
dilakukannya untuk memajukan daerah yang dipimpinnya (Tempo,
23 Agustus 2009). Sebagian di antara bupati itu berasal dari Jawa
Timur, seperti Bupati Jombang dan Walikota Blitar. Ada pula
Walikota Jogjakarta, Bbupati Sragen, dan Walikota Tarakan,
Kalimantan Timur, mereka itu memang dikenal luas sebagai bupati-
bupati yang dicintai rakyatnya karena dianggap dapat mempercepat
kemajuan daerahnya.
Belum cukup banyak informasi tentang kecenderungan hasil
pemilukada serupa di daerah-daerah lain. Boleh jadi, jika dilakukan
riset akan memperlihatkan kecenderungan kurang lebih sama
dengan di Jawa Timur. Bukankah, masyarakat semakin dewasa
dalam berpolitik. Mereka juga semakin cerdas. Pandai mengambil
keputusan politik yang tepat. Sesuai dengan nuraninya.
Kini dunia kian sempit. Batas-batas antarnegara kian kabur.
Ekspansi informasi menjadi keniscayaan. Juga sekaligus menjadi tali
pengikat persaudaraan sebangsa dan kesetiakawanan antarbangsa
dengan media massa menjadi perantara yang amat efektif.
Mengungkap Kesenjangan Istana 231
Kata Ritzer, ketika ekspansi informasi menyerbu ke ruang-ruang
publik melalui televisi, internet, dan media-media online serupa
bukan hanya dunia ada dalam genggaman. Namun, juga telah terjadi
pengglobalan kehendak paling pribadi (private) sekaligus
penyeragaman akses kehidupan tanpa bisa dikendalikan.
Kecenderungan yang tampak, antara lain, akselerasi penguasaan
informasi melalui penyeragaman nilai-nilai sosial budaya telah
mempercepat keberdayaan masyarakat untuk membuat keputusan-
keputusan otonom yang bersifat inidividual.
Seseorang dengan orang lain tak lagi berinteraksi eksklusif, dan
tanpa memperlihatkan diri, justru dapat melakukan sesuatu yang
kurang lebih sama rupa. Misalnya, dari gaya bertutur, model fashion,
cara mengonsumsi, cara berbelanja, sampai selera makan pun seolah
cenderung menjadi mudah diseragamkan (Ritzer, 2006).
Dengan tanpa dirasakan dalam kecenderungan globalisasi
demikian, orang di mana pun dapat bersama-sama—melalui
penyeragaman penafsiran terhadap objek-objek sosial, ekonomi, dan
politik—membuat keputusan-keputusan terbaik yang dikehendaki.
Inilah yang disebut kearifan politik tanpa agresi. Rakyat, di era
kesetiakawanan global sekarang terus membangun kesetiaan global
menuju peradaban baru yang unggul.
Sedangkan parpol? Jika tak segera bercermin dan berbenah
bakal kian mengalami krisis kepercayaan. Sebab, isu-isu aktual
kepolitikannya kian tak sambung dengan kehendak massanya. Kalau
tidak ada keinginan yang kuat dari partai untuk mereformasi dirinya
sendiri, maka pembusukan akan terjadi. Masyarakat pun akan
meninggalkan partai. (Iskan, 2007)
Masa Depan Politik Indonesia
Indonesia, siapa pun mungkin setuju, memiliki modal sangat
besar untuk menjadi negara yang secara politik amat kuat dan
menjadi negara demokrasi besar. Saat ini pun, sebagai negara
demokrasi, Indonesia telah diakui masyarakat internasional sebagai
232 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika dan India.
Potensi besar yang menuai banyak pujian ini tidak cukup hanya
dibanggakan. Lebih dari itu perlu dikembangkan. Diimpele-
mentasikan menjadi negara yang benar memenuhi prasyarat-
prasyarat ideal, normatif, dan kelembagaan, sebagai salah satu negara
demokrasi besar. Jangan hanya menjadi negara demokrasi besar
sebatas pujian dan wacana. Tapi, secara substansial perlu diwujud-
kan dalam kehidupan politik dan perilaku demokrasi sehari-hari.
Secara ideal, kita memang telah memenuhi syarat sebagai negara
demokrasi karena telah terikhtiarkan dalam konstitusi Negara
Republik Indonesia—dalam UUD 1945. Secara kelembagaan pun
juga telah memenuhi persyaratan. Terdapat pemilu yang bebas,
terbuka, jujur, dan adil. Terdapat lembaga perwakilan rakyat yang
mandiri serta wakil rakyat yang berasal dari parpol peserta pemilu
yang otonom. Terdapat rotasi kemimpinan nasional yang telah diatur
dengan mekanisme lima tahunan.
Telah terdapat pula pemisahan kekuasaan yang seimbang antara
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini untuk menciptakan check and
balances yang tertata dengan tertib serta diatur melalui undang-
undang.
Dan, ini yang membanggakan—bahkan yang dibanggakan ini
dinilai sebagai salah satu yang terbaik di Asia. Ia adalah kebebasan
individu untuk berpendapat dan berbicara secara bebas yang dijamin
oleh sejumlah undang-undang. Ini pula yang banyak dipuji banyak
negara demokrasi lainnya. Indonesia menjamin kebebasan pers.
Bahkan kebebasan pers di Indonesia jauh lebih baik dibanding
dengan negara-negara Asia.
Toh, modal dasar ini belumlah cukup. Yang terasa masih kurang
ialah pelembagaan norma-norma demokrasi. Loyalitas atau ketaatan
terhadap aturan main atau rambu-rambu berdemokrasi masih belum
cukup melembaga menjadi kesadaran berpolitik.
Satu sisi pada sebagian besar rakyat telah tertanam kearifan
berpolitik yang makin lama terasa semakin dewasa. Di sisi lain
Mengungkap Kesenjangan Istana 233
kearifan politik yang telah dimiliki sebagian besar rakyat sering
bertolak belakang dengan praktik-praktik politik sebagian rakyat
lainnya yang tidak dapat menahan diri ketika menjalankan hak-hak
politiknya yang otonom. Bahkan terkadang kebablasan.
Dalam hal kebebasan berpendapat dan berbicara, misalnya,
sering terseret arus emosi. Dalam banyak hal, ini memicu
ketidaksabaran yang berbuah pada kecenderungan perliku yang
dengan mudah menabrak aturan main tentang kebebasan.
Ini membawa implikasi lebih lanjut. Kebebasan yang dimiliki
ketika tertuang dalam perilaku atau praktik politik justru menjadi
kebebasan yang berbaju agresi dan anarki. Kebebasan berpolitik
sering tak memberi peluang bagi hak-hak orang lain untuk turut
menggunakan kebebasan berpolitik serupa. Buahnya bisa berupa
caci maki, tudingan, atau fitnah. Jika lebih matang lagi buah itu bisa
berupa pertikaian, konflik, dan kerusuhan politik, yang ongkos
sosial, ekonomi, dan politik yang ditanggungnya amat besar.
Secara lebih kongret, masa depan politik Indonesia diwarwai
oleh sejumlah hal agar menjadi lebih matang sebagai negara
demokrasi besar. Pertama, komitmen untuk taat pada aturan hukum
dalam semua tataran dan dimensinya. Ini membutuhkan kerja keras
dan dukungan segenap lapisan masyarakat, segenap pimpinan
bangsa, dan segenap pimpinan politik.
Kedua, perlunya reformasi kelembagaan internal kekuatan-
kekuatan politik dan demokrasi. Dalam hal ini, parpol dan infra-
stukturnya selain harus semakin responstif terhadap tuntutan-
tuntutan masyarakat, juga harus lebih dekat dengan massa
konstituennya. Dengan begitu program perjuangan politik tetap
dapat sambung dengan aspirasi rakyat.
Ketiga, perlunya keteladanan moral serta etika politik dari
pimpinan partai. Tugas pemimpin partai bukan sekadar bermanuver
untuk mendapatkan kekuasaan, melainkan turut mendidik bangsa
bahwa kekuasaan yang didapat haruslah diraih dengan cara-cara
terhormat, dan tentu prosesnya harus beretika luhur. Bangsa
234 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
Indonesia sarat dengan keteladanan para pendiri republik. Dengan
keleladanan tersebut perlu diputar ulang menjadi tuntunan yang
bermoral tinggi bagi kita. Bagi generasi muda berikutnya.
Keempat, Indonesia ke depan membutuhkan banyak pemimpin
politik dan pemimpin bangsa yang memiliki integritas moral tinggi.
Bersih. Memiliki akuntabilitas. Berawawasan kenegaraan yang luas
untuk membawa Indonesia menjadi negara demokrasi besar dalam
pergaulan internasional guna bersama-sama masyarakat dunia yang
lain membangun peradaban baru yang unggul dan mulia.
Jangan biarkan kita sebagai bangsa mengalami kemerosotan
moral dan etika politik. Kita toh, selama ini telah berkomitmen bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya unggul. Berbudi
luhur dan mulia. Dan, bangsa yang sanga agamis.
Jangan biarkan pula negeri ini mengalamai kemerosotan sikap
moral yang diwujudkan, antara lain, menghakimi sendiri maling
atau copet yang tertangkap dengan cara membakar mereka. Jangan
biarkan muncul kelompok-kelompok yang membuka ruang terbuka
bagi aksi-aksi amuk massa dalam menyelesaikan persoalan. Atau
melakukan teror terhadap warga masyarakat lain, kelompok,
terhadap simbol-simbol negara hanya karena merasa dikecewakan.
Komitmen untuk menjaga saling sinergi dan saling kolega
antarsemua elemen bangsa harus dijunjung tinggi. Saling percaya
harus dijaga. Kepercayaan, seharusnya diingat, dalam dirinya
sendirinya bukan hanya berupa kebajikan moral, melainkan lebih
merupakan by-product dari kebajikan. Ini muncul ketika masyarakat
berbagi norma kejujuran. Kesediaan saling menolong dan berbagi.
Dan, itu semua harus mampu dituangkan dalam kerja sama satu
dengan yang lain secara kolegial.
Memang sulit untuk mengukur tingkat sikap mementingkan
diri sendiri secara langsung. Toh—ada isyarat—dan kepercayaan
bahwa masyarakat telah menjadi lebih mementingkan diri sendiri,
kini sudah pasti meningkat di antara orang-orang Indonesia.
Kiranya tak banyak jalan lain. Salah satu, di antaranya, yang
Mengungkap Kesenjangan Istana 235
kini dibutuhkan ialah saling percaya di antara kita. Jangan mudah
menyalip di tikungan. Apalagi, sampai ada dusta di antara kita.
Sekurang-kurangnya dusta berupa merasa paling benar sendiri.
Paling bersih sendiri. Seolah tidak pernah salah. Atau seolah tidak
pernah punya dosa politik.
Nasehat filsuf politik, Hannah Arendt (1958), barangkali perlu
direnungkan. Ada dua sifat utama dari tindakan manusia:
unpredictable dan irreversible. Tiap tindakan manusia yang dilakukan
di ruang publik tidak bisa diramalkan dan tak bisa diulang. Untuk
menanggulangi yang unpredictable manusia perlu janji. Namun, janji
itu bukan janji yang diucapkan juru kampanye untuk memperoleh
suara pemilih sebanyak-banyaknya. Janji tersebut ialah keluar dari
hati nurani kemanusiaan kita untuk sungguh-sungguh menepatinya.
Untuk menanggulangi yang irreversible adalah dengan
pengampunan. Kita tahu tidak ada seorang pun yang bersih dari
kesalahan. No body’s perfect. Ini meminta kita untuk membuka
wawasan berupa pemberian kesempatan kepada mereka yang
pernah melakukan kesalahan untuk memperbaiki diri. Bukan
dengan menghina. Bukan juga dengan menghujatnya sampai,
misalnya, membunuh karakter yang bersangkutan (Fukuyama, 2002).
Bagi kita, upaya untuk mengampuni itu tidak boleh melupakan
prinsip keadilan. Artinya, kesalahan tetap diberi sanksi atau
punishment. Setelah itu diberi kesempatan untuk koreksi dan
memperbaiki diri.
Dengan begitu, kita akan bisa melangkah lebih optimistik untuk
membangun masyarakat yang saling percaya. Saling toleran. Di atas
semua ini tentu disertai kejujuran, kearifan, dan kesediaan saling
bekerja sama.
Dan, sesungguhnya kita memiliki modal dan peluang besar
untuk optimistis. Bahwa Indonesia ke depan akan menjadi lebih
bermartabat dan berkeadilan. Pidato Presiden SBY di London School
of Economics and Political Science, tanggal 31 Maret 2009, misalnya,
kian menebalkan optimisme itu.
236 Kearifan Rakyat dan Masa Depan Politik Indonesia
“...Beberapa tahun lalu, Indonesia menjadi berita utama di
seluruh dunia, termasuk di sini, di BBC, Daily Telegraph, dan
The Guardian, tentang semua masalah yang menimpa kita.
Mulai dari krisis ekonomi, krisis Timor Timur, Aceh, konflik
etnis, terorisme, sampai krisis politik. Saat itu tampaknya tak
ada yang optimistis tentang Indonesia.
Beberapa kalangan memprediksikan bahwa setelah Timor Timur
memisahkan diri dari kami, Indonesia akan jatuh ke dalam
“Balkanisasi.” Akan hancur ke dalam potongan-potongan kecil.
Yang lain berpikir bahwa Indonesia akan hancur di bawah
beban transisi demokrasi yang kacau.
Mengapa tidak? Antara 1998 dan 2004 kita punya empat
presiden, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan
Megawati Soekarnoputri. Rata-rata satu presiden hanya
bertahan 1,5 tahun. Thomas Friedman menyebut Indonesia
sebuah ‘negara berantakan.’ Terlalu besar untuk gagal. Namun,
mantan Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell cukup cerdik
untuk menyebut Indonesia sebagai ‘negara yang paling salah
dimengerti di dunia.’ Dan, saya pikir Powell benar.
Tetapi itu dulu. Kini gambaran kekacauan dan ketidakpastian
tidak lagi mewakili kita. Setelah semua cobaan dan kesengsaraan
kita lalui, Indonesia hari ini telah menjadi negara yang sangat
tangguh.
Dalam dunia yang masih bernanah dengan konflik etnis,
Indonesia telah lebih bersatu dengan memecahkan konflik
Aceh, serta mempromosikan reformasi politik dan sosial di
Papua.
Saat ini Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar
setelah India dan Amerika Serikat. Kami adalah terbesar di Asia
tenggara dan terkuat di bidang demokrasi.
Mengungkap Kesenjangan Istana 237
Mungkin itu sebabnya The Economist menyatakan bahwa
Indonesia akan menjadi contoh dalam pembangunan
demokrasi..”
Pertanyaannya, sudahkah kita terus melakukan konsolidasi
tanpa kenal lelah untuk bersatu. Lantas, terus menerus memintal
sinergi kebersamaan guna membangun Indonesia ke depan yang
lebih demokratis, adil, dan sejahtera? Mari kita jawab bersama
dengan pikiran jernih. Dengan hati yang dingin.
Mengungkap Kesenjangan Istana 239
EpilogKaya Filosofi, Miskin
Keteladanan
Apa yang masih kurang dari bangsa Indonesia? Semua potensi
nilai budaya sebagai bangsa besar nyaris lengkap sempurna.
Simak dan alami sehari-hari. Di sekolah, di kegiatan rukun tetangga
dan rukun warga (RT-RW), arisan ibu-ibu, dan acara-acara sosial
lainnya, kalimat-kalimat seperti: “harus unggah-ungguh,” “harus
bertutur kata sopan,” “harus minta permisi jika sedang lewat di
hadapan orang yang sepuh,” dan bahasa-bahasa sejenis yang sarat
keadaban tidak pernah dilupakan.
Kita sering ngerasani orang-orang yang tidak sopan santun
dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, “eh eh .. si A tak punya
tatakrama.” Atau, si B tak punya unggah-ungguh.”
Lihat dan alami sendiri di banyak pengajian. Kita selalu
mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamis.
Meski bukan negara berdasarkan agama, tetapi berperilaku yang
agamis selalu diajarkan sejak kita kecil, ketika di play groups, taman
kanak-kanak, sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi (PT). Di
PT yang para pelajarnya sudah “mahapelajar” itu belum dianggap
240 Epilog: Kaya Filosofi, Miskin Keteladanan
cukup memiliki pengetahuan agama. Maka, di kurikulum perguruan
tinggi pun masih diberikan pendidikan agama, lengkap dengan
kegiatan-kegiatan kerohanian agama.
Di negeri ini kalender hari libur nasional karena peringatan
hari keagamaan paling banyak. Mungkin yang terbanyak di dunia.
Di negara berdasarkan agama seperti Arab Saudi, hari idul fitri tidak
menjadi hari libur, di Indonesia hari Idul Fitri dinyatakan sebagai
hari libu nasional. Bahkan liburnya sampai dua hari berturut-turut.
Bahkan pula sepanjang tujuh hari menjelang dan sesudah Idul Fitri
praktis menjadi “hari libur” karena semua aktivitas perkantoran tidak
bekerja normal karena kita sibuk mudik dan merayakan Indul Fitri
sampai tujuh hari.
Tapi lihatlah bagaimana ritual-ritual moral dan spiritual serta
norma-normal etika keadaban itu dalam kehidupan berpolitik?
Melekatkah nilai-nilai moral dan spiritual? Ternyata sebagian besar
tidak. Dalam berpolitik atau berdemokrasi, nafas, jiwa, dan spirit
berbudi luhur tidak banyak tampak. Saling fitnah, saling tuding,
dan berperilaku anarki masih sering diperlihatkan. Seolah-olah
bangsa ini tidak mengenal etika dan sopan santun.
Lantas di mana salah satu duduk perkaranya? Kita tidak banyak
memiliki keteladanan dari para pemimpin politik dan pemimpin
bangsa tentang cara-cara berpolitik dan bernegara yang bermoral.
Kita mengalami krisis keteladanan kepimpinan moral.
Para elite politik dan elite bangsa justru sangat jarang mem-
berikan pendidikan politik yang sarat suri tauladan. Karena memim-
pinnya jarang memberikan contoh teladan maka rakyat pun mudah
ikut arus. Sama-sama keluar dari rel etika dan moral dalam
berpolitik. Bahkan kadang justru terkesan barbar.
Kita patut prihatin.
Mengungkap Kesenjangan Istana 241
Daftar Bacaan
Anderson, Benedict. Imagined Communities/Komunitas-komunitas
Terbayang. Yogyakarta: Insist Press-Pustaka Pelajar, 2001
Azwar, Rully Chairul. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era.
Jakarta: Grasindo, 2009.
Tsagarousianou, Roza et.al. Cyberdemocracy: Technology, Cities, and
Civic Network. New York: Routledge , 1998.
Louw, Eric. The Media and Political Process. Australia: SAGE
Publications, 2005.
Howard Philip N. New Media Campaigns and the Managed Citizen.
New York: Cambridge University Press, 2006.
Hackett Robert A. and William K. Caroll. Remaking Media: The
Struggle to Democratic Public Communication. New York:
Routledge, 2006.
Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, Bank
Indonesia, 2010.
Barton, Greg. Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Budiman, Arief. Jalan Demokratis ke Sosialisme, Pengalaman Chili di
Bawah Allende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Luttwak, Edward. Coup d’Etat: A Practical Handbook. New York:
Harvard University Press, 1969.
242 Dafatar Bacaan
Aflian (editor). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1978.
Fukuyama, Francis. The Great Distruption, Hakikat Manusia dan
Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogjakarta: Qalam, 2002.
Friedman, Rose and Milton. Free to Choose, A Personel Statement.
New York: Harcourt Brace Javanovich, 1990.
Giovanie, Jeffrie. Tantangan Demokratisasi dalam Masyarakat Transisi.
Jakarta: Teraju, 2004.
Hisyam, Usamah. SBY, sang Demokrat. Jakarta: Dharmapena, 2004.
Iskan, Dahlan. Taman Kanak-Kanan Presiden. Surabaya: Lembaga
Biografi Tokoh Jawa Timur, 2000
J.A. , Denny. Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998.
Jakarta: JUP, 1999.
Mallarangeng, Andi A. Dari Kilometer 0,0. Jakarta: Indonesian RDI,
2007.
Mohamad, Goenawan, ‘Politik,’ Tempo, tanggal 19 November 1988
Ungerer, Carl, “The “Middle Power” Concept in Australian Foreign
Policy,” dalam The Australian Journal of Politics and History,
December 2007
Noer, Deliar. Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1990.
Ritzer, George. The Globalization of Nothing. Yogjakarta: Universitas
Atma Jaya, 2006.
Forbes, K. and Rigobon, R. (2000): “Contagion in Latin America:
definitions, measurement, and policy Implications,” dalam
Economia, Volume 1, Number 2, 2001.
Warkop, Dono. Balada Paijo. Jakarta: Aya Media, 1987.
Ukraine’s postmodern coup d’etatYushchenko got the US nod, and money
flooded in to his supporters
Algeria: Democracy Betrayed, New York Times, January 14, 1992
Democracy Denied in Algeria, New Yoek Times, July 24, 1992
Bettina Wassener. Political Crisis Ripples Across Thai Economy.
(www.nytimes.com/2008/12/01/world/asia/), diunduh 5
Maret 2010
Mengungkap Kesenjangan Istana 243
KTT ASEAN di Thailand Batal, Pemerintah Umumkan Keadaan Darurat
di Bangkok, (www. hariansib.com), diunduh 22 Februari 2010
Singapore police put up CCTV cameras at Hong Lim Park aka Speakers’
Corner, (www.jacob69.wordpress.com/2009/07/24/singapore-
police-put-up-cctv cameras-at-hong-lim-park-aka-speakers-
corner), diunduh 9 Maret 2010.
Speakers Shy Away From Singapore’s “Free Speech” Corner, AFP,
(dikutip dari www.singapore-window.org/sw03/
030615af.htm), diunduh 9 Maret 2010.
No freedom in Singapore, Freedom House ranks the PAP state 154th,
(www.singaporeelection.blogspot.com/2007/05/no-freedom-
in-singapore-freedom-house.html), diunduh 22 Februari 2010.
PAP adalah People’s Action Party, partai berkuasa di Singapura.
Indonesia’s quiet revolution bodes well for us, Sydney Morning Herald
(www.smh.com.au/opinion/politics/indonesias-quiet-revolution-
bodes-well-for-us, 4 September 2009), diunduh 21 Februari 2010
N. Janardhan DR, Indonesia, A Model Muslim Democracy,
published in ARAB NEWS, October 22, 2009,
(www.alarabiya.net, 22 Oktober 2009) diunduh 2 Maret 2010
Suthichai Yoon, From Delusion to Loss of Faith in ‘Democracy, The
Nation, dimuat 17 September 2009, (www.nationmultimedia.com,
17 September 2009) diunduh tanggal 9 Maret 2010.
Pemimpin Kudeta Thailand Kumpulkan Bos Media,
(www.tempointeraktif.com/luarnegeri, 21 Juni 2006) diunduh 21
Februari 2010
SBY Curhat Soal Kerbau, (www.mediaindonesia.com, 2 Februari 2010),
diunduh 22 Februari 2010.
Demo Thailand Lebih Mahal dari Tsunami, (www.inilah.com/berita/
politik, 7 Januari 2009) diunduh 22 Februari 2010
Eric Ellis, Indonesian reform the path to investment, Sydney Morning
Herald, tanggal 20 Oktober 2009.
SBY: Akan ada Reformasi Gelombang Kedua dengan 3 Agenda,
(www. hariansib.com), diunduh 22 Februari 2010
244 Dafatar Bacaan
SBY Dipuji di Harvard, (www.forumkami.com/forum/berita), diunduh
tanggal 18 Februari 2010.
Di Time 100, SBY Dipuji Anwar Ibrahim, (www. vivanews.com),
diunduh 18 Februari 2010.
Aktif Jalin Kerja Sama IPTEK, SBY Dipuji Obama,
(www.detiknews.com) diunduh 18 Februari 2010
Wimar: President SBY Not Shaping Up, Metro TV, 05 April 2007
Politik Santun Kunci Kemenangan SBY, (www.pemilu.okezone.com,
10 Juli 2009) diunduh tanggal 18 Februari 2010
Dino: Perlu Politik Santun, (www. matanews.com, 15 Agustus 2009),
diunduh s tanggal 18 Februari 2010
Bangun Budaya Santun, (www.pikiran-rakyat.com, Juni 2009),
diunduh 17 Februari 2010
Presiden SBY Dianugerahi Komunikator Politik Terbaik, LKBN
Antara, Kamis, 4 Februari 2010
SBY: Buka Kasus Century, www.suaramerdeka.com, 23 November
2009), diunduh 17 Februari 2010.
BI, LPS, dan Century Bertanggung Jawab, (www.surabayapost.co.id)
diunduh tanggal 17 Februari 2010.
Perjanjian Utama KTT G20, (www.antara.co.id/berita), diunduh
tanggal 17 Februari 2010.
Negara Maju Puji Usulan SBY di KTT G20, (www.demokrat.or.id),
diunduh tanggal 15 Februari 2010
SBY: ASEAN Harus Jadi Lumbung Pangan Dunia,
(www.bisnis.vivanews.com) diunduh tanggal 18 Februari 2010
SBY Siap Bantu Manusia Perahu, Isu Rohingya Digiring ke ASEAN
Summit 2009, (www.harian-aceh.com) diunduh tanggal 18
Februari 2010.
Apa Kata Ahli Bahasa Terkait Kasus Zaenal Ma’arif?, (www.
detiknews.com), Selasa, tanggal 29 Januari 2008
Fadjroel: Data Bendera Menarik Meski Masih Diragukan, Kompas, 1
Desember 2009
Satgas Yakin Ada Peran Mafia Pajak, Surabaya Post edisi Kamis, 18
Mengungkap Kesenjangan Istana 245
Februari 2010, halaman 1.
MK Tolak Gugatan Hasil Pilpres, Fokus, Indosiar, (www.
indosiar.com)
Americas Bailout Bill, Cheap As Chips?, (www.economist.com/
business-finance)
Forbes, K., & Rigobon, R, “No contagion, only interdependence:
Measuring stock market comovements,” dalam The Journal of
Finance, 5, 2002: 2223-2261.
Atish Kumar Dash, Hrushikesh Mallick, Contagion Effect of Global
Financial Crisis on Stock Market in India, www.devstud.org.uk.
Pidato Presiden SBY, Kamis malam, 4 Maret 2010, menanggapi hasil
paripurna DPR tentang bailout Bank Century.
Hall, Eleanor, Wahid faces impeachment over corruption allegations,
www.abc.net.au, diunduh tanggal 23 Februari 2010
Tiga Bulan Penuh Jeram, Surabaya Post, 28 Januari 2010.
Andrew Johnson: 17th U.S. President, dalam www.historyplace.com.
Akhmad Kusaeni, Kampanye Hitam dan Racun Politik, LKBN Antara,
9 Juni 2009.
Sastrapratedja, M, Dr (dkk). Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa.
Jakarta: Gramedia, 1987
Antara News, tanggal 5 Februari 2009
Anderson, Ben, Lev, Daniel S (dkk). Soeharto Lengser Perspektif Luar
Negeri. Yogjakarta: LkiS, 1998.
O’Donnell, Guillermo (dkk). Trandisi Menuju Demokrasi. Jakarta:
LP3ES, 1993.
Forum Pembaca Kompas, www.yahoo.com, 1 Januari 2010.
Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Harian
Jurnas, 10 Februari 2009
Wawancara R William Liddle dengan Jaringan Islam Liberal,
www.islamib.com, 19 April 2004
www. beritapemiluindonesia.com, 15 Juli 2009.
Obama Kirim Utusan Khusus pada Pelantikan SBY-Boediono, Harian
Seputar Indonesia, 21 Oktober 2009
246 Dafatar Bacaan
Mayoritas Pemilih PDI Perjungan Dapat Menerima Kemenangan
SBY-Boediono, www.viva news.com, Jum’at, 16 Oktober 2009.
Penyelenggaraan Pemilu 2009 Paling Jelek Sepanjang Sejarah
Republik, www.kompas.com, 13 April 2009.
Wakil Rakyat Malu-Maulin, Kompas, 3 Maret 2010
Bertahan atau Karam, Tempo, 13-19 Oktober 2008.
10 Tokoh 2008, Mereka Bekerja dengan Hati Menggerakkan Daerah,
Tempo, 22-28 Desember 2008.
Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Tempo, 14-20 Juli 2008
Berita Fenomenal, www.worldpress.com, 6 Januari 2010.
SBY Ingin Koalisi Jujur, Kompas, 17 Januari 2010
DPJ Ajak Koaliai Dua Parpol Gurem, Radio Nederland Wereldomroep,
9 September 2009.
Dua Istri Bupati Kediri Maju Pemilukada, Jawa Pos, 27 Februari 2010.
Elite Parpol Tak Satu Suara Soal Kasus Century, Jawa Pos, 28 Februari
2010.
Bagi-Bagi Kuasa, Bagaimana Gerilya Partai Demokrat Rangkul PDIP,
Tempo, 31 Agustus – 6 September 2009.
Haris, Syamsuddin, Demokrasi Ala Partai Demokrat, Kompas, 5
Maret 2010.
Koalisi Berantakan, Kompas, 5 Maret 2010.
Setelah Pesta Kemenangan, Tempo, 13-19 Juli 2009.
Purba, Daniel P (editor). Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia. Jakarta:
Erlangga, 2008.
Mengungkap Kesenjangan Istana 247
Tentang Penulis
MOCH. NURHASIM, lahir di Lamongan 14 Juli 1972 dari tujuh orang
bersudara. Ia lahir disebuh desa yang relatif terpencil di Kabupaten
Lamongan, tepatnya di Desa Gelap, Kecamatan Laren. Nur, begitu
panggilan masa kecilnya menghabiskan waktunya untuk sekolah
pada saat kesadaran masyarakat di desanya tentang pendidikan
masih sangat rendah.
Gelar Sarjana Ilmu Politik diperolehnya pada 1991 di Program
Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga Surabaya. Semasa kuliah, ia aktif dalam
berbagai organisasi kemahasiswaan. Jabatan Ketua Senat Mahasiswa
FISIP Unair diembannya pada periode 1995-1996 dan aktif pula di
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Universitas Airlangga. Selain
itu, ia juga merupakan aktivis dari Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Komisariat FISIP Airlangga. Semasa menjadi mahasiswa hobi
menulisnya disalurkan melalui artikel-artikel di Jawa Pos.
Sempat menjadi wartawan tidak tetap untuk wilayah Jawa
Timur Tabloid PARON setelah lulus kuliah pada 1996. Sejak Maret
1997 diterima sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik dan
Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI)
248 Tentang Penulis
yang kini berubah menjadi Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).
Gelar master of science (M.Si) diperolehnya di Program Pasca
Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia pada 2007 yang lalu.
Top Related