BAB II PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of BAB II PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF ...
BAB II
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA
A. Pengertian Model Pembelajaran
Soekamto dkk dalam Trianto (2011 : 22) mengemukakan maksud
dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman
bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan
aktivitas belajar mengajar.
Dengan mengutip pendapat tersebut di atas, maka aktivitas
pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata
secara sistematis.
Model pembelajaran mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
Sebagai contoh model penelitian kelompok disusun oleh Herbert
Thelen dan berdasarkan teori Jhon Dewey. Model ini dirancang untuk
melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model
berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir
induktif.
3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar
di kelas, misalnya model synectic dirancang untuk memperbaiki
kreativitas dalam pelajaran mengarang.
4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: a. Urutan langkah-
langkah pembelajaran (syntax), b. Adanya prinsip-prinsip reaksi, c.
Sistem sosial, dan d. Sistem pendukung. Keempat bagian tersebut
merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model
pembelajaran.
5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.
Dampak tersebut meliputi: a. Dampak pembelajaran, yaitu hasil
belajar yang dapat diukur, b. Dampak pengiring, yaitu hasil belajar
jangka panjang.
11
6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman
model pembelajaran yang dipilih (Rusman, 2011 : 136).
Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa model
pembelajaran tidak sama dengan strategi, metode atau prosedur, karena
memiliki ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan strategi,
metode atau prosedur.
B. Konsep Model Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Riyanto (2010 : 267) pembelajaran kooperatif adalah model
yang pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan
akademik (academic skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill)
termasuk interpersonal skill.
Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi
pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk
mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif disusun dalam
sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi
siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat
keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa
untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar
belakangnya. Jadi dalam pembelajaran kooperatif siswa berperan
ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru (Trianto, 2011 : 58).
2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Johnson dan Johnson dalam Trianto (2007 : 57) menyatakan
bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar
siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik
secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja sama
dalam satu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki
hubungan dianara para siswa dengan berbagai latar belakang etnis dan
kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses
kelompok dan pemecahan masalah.
Model yang digunakan dalam pembelajaran memiliki tujuan
yang akan dicapai oleh peserta didik. Model kooperatif yang
digunakan peneliti sebagai model dalam penelitian ini memiliki tujuan
tersendiri yang nantinya dapat memberikan keaktifan kepada peserta
didik dalam pembelajaran matematika.
3. Konsep Utama Pembelajaran Kooperatif
Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin dalam
Trianto (2007 : 61) adalah sebagai berikut :
a. Penghargaan kelompok yang akan diberikan jika kelompok
mencapai kriteria yang ditentukan.
b. Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya
kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota
kelompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk
membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok
telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
c. Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa
telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar
mereka sendiri. Hal ini memastikan bahwa siswa berkemampuan
tinggi, sedang, dan rendah sama-sama tertantang untuk
melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota
kelompok sangat bernilai.
4. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Apabila diperhatikan secara saksama, maka pembelajaran
kooperatif ini mempunyai ciri-ciri tertentu dibandingkan dengan
model lainnya.
Arends dalam Trianto (2007 : 65) menyatakan bahwa
pelajaranyang menggunakan pembelajaran kooperatif memiliki ciri-
ciri sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk
menuntaskan materi belajar.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan
tinggi, sedang, dan rendah.
c. Bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya,
suku, jenis kelamin yang beragam.
d. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok dari pada
individu.
5. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran pada saat digunakan tentu melalui lankah-
langkah yang harus ditempuh. Tujuannya agar pembelajaran lebih
terarah dan menghasilkan nilai yang maksimal sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
Hamdani (2011 : 34) pembelajaran dalam kooperatif dimulai
dengan informasi guru tentang tujuan-tujuan pembelajaran dan
memotivasi siswauntuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian
informasi, sering dengan bentuk teks bukan verbal. Kemudian siswa
dibawah bimbingan guru bekerja sama untuk menyelesaikan tugas-
tugas yang saling berkaitan. Fase terakhir meliputi penyajian produk
akhir kelompok atau mengetes semua yang telah dipelajari siswa, dan
pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.
Berikut tabel fase-fase pembelajaran kooperatif
Tabel 2.1
Sintaks model pembelajaran kooperatif
Fase-fase Perilaku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan dan memotivasi
siswa.
Menyampaikan semua tujuan yang
ingin dicapai selama pembelajaran
dan memotivasi siswa untuk
belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi.
Menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demonstrasi
atau melalui bahan bacaan.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar.
Menjelaskan kepada siswa cara
membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar
melakukan transisi secara efisien.
Fase 4:
Membimbing kelompok bekerja dan
belajar.
Membimbing kelompok belajar
pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka.
Fase 5:
Evaluasi.
Mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau
meminta presentasi hasil kerja
kepada kelompok.
Fase 6:
Memberikan penghargaan.
Menghargai upaya dan hasil
belajar individu dan kelompok.
(Hamdani, 2011 : 34)
6. Tipe dalam Model Pembelajaran Kooperatif
a. Student Team Achievement Division (STAD)
Slavin dalam Trianto (2011 : 68) menyatakan bahwa pada
STAD siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4-5
orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis
kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian
siswa bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh
anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Kemudian,
seluruh siswa diberikan tes tentang materi tersebut, pada saat tes
ini mereka tidak diperbolehkan saling membantu.
Persiapan-ersiapan dalam STAD, antara lain:
1) Perangkat pembelajaran
Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran ini perlu
dipersiapkan perangkat pembelajarannya, yang meliputi
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku siswa,
Lembar Kegiatan Siswa (LKS) beserta lembar jawabannya.
2) Membentuk kelompok kooperatif
Menentukan anggota kelompok diusahakan agar
kemampuan siswa dalam kelompok adalah heterogen dan
kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya
relatif homogen. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif
perlu memerhatikan ras, agama, jenis kelamin, dan latar
belakang sosial.
3) Menentukan skor awal
Skor awal yang dapat digunakan dalam kelas kooperatif
adalah nilai ulangan sebelumnya. Skor awal ini dapat berubah
setelah ada kuis. Misalnya pada pembelajaran lebih lanjut dan
setelah diadakan tes, maka hasil tes masing-masing individu
dapat dijadikan skor awal.
4) Pengaturan tempat duduk
Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif perlu
juga diatur denga baik, hal ini dilakukan untuk menunjang
keberhasilan pembelajaran kooperatif apabila tidak ada
pengaturan temapt duduk dapat menimbulkan kekacauan yang
menyebabkan gagalnya pembelajaran pada kelas kooperatif.
5) Kerja kelompok
Untuk mencegah adanya hambatan pada pembelajaran
kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerja
sama kelompok. Hal ini bertujuan untuk lebih jauh
mengenalkan masing-masing individu dalam kelompok.
b. Jigsaw
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot
Aroson dan teman-tman dari Universitas Texas, dan diadopsi oleh
Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins.
Untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw disusun
langkah-langkah:
1) Pembagian tugas
2) Pemberian lembar ahli
3) Diskusi
4) Kuis
Rencana pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw diatur secara
intruksional sebagai berikut.
1) Membaca, siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca
materi tersebut untuk mendapatkan informasi.
2) Diskusi kelompok ahli, siswa dengan topik-topik ahli yang
sama bertemu untuk mendiskusikan topik tersebut.
3) Diskusi kelompok, ahli kembali ke kelompok asal untuk
menjelaskan topik kepada kelompoknya.
4) Kuis, siswamemperoleh kuis individu yang mencakup semua
topik.
5) Penghargaaan kelompok, penghitungan skor kelompok dan
menentukan penghargaan kelompok.
Dalam pembelajaran koopertif tipe Jigsaw, siswa lebih
mudah menemukan dan memahami konsep-konsep ang sulit
apabila mereka saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut
dengan temannya. Melalui diskusi, akan terjadi elaborasi kognitif
yang baik sehingga dapat meningkatkan daya nalar dan
meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, serta
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan
pendapatnya.
c. Investigasi kelompok (Group Investigation)
Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran
kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk
diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan.
Dalam perkembangannya model ini diperluas dan dipertajam oleh
Sharan dari Universitas Tel Aviv. Berbeda dengan STAD dan
Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang
dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka.
Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih
rumit daripada pendekatan yang lebih berpusat pada guru.
Pendekatan ini juga memerlukan mengajar siswa keterampilan
komunikasi dan proses kelompok yang baik.
d. Think Pair Share (TPS)
Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan
berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang
diranang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think
pair share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan
waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan
koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutip Arend
(1997), menyatakan bahwa think pair share merupakan suatu cara
yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.
Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan
pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan
prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi
siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan saling
membantu.
e. Numbered Head Together (NHT)
Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir
bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang
dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai
alternatif terhadap struktur kelas tradisional.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru
menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT:
1) Fase 1: Penomoran
Dalam fase ini. Guru membagi siswa kedalam kelompok 3-5
orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor
antara 1-5.
2) Fase 2: Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik
dan dalam bentuk kalimat tanya. Misalnya “Berapakah
jumlah gigi orang dewasa?” atau berbentuk arahan, misalnya
“Pastikan setiap orang mengetahui 5 buah ibu kota provinsi
yang terletak di Pulau Sumatera.”
3) Fase 3: Berpikir bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan
itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui
jawaban tim.
4) Fase 4: Menjawab
Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba
untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
f. Teams Game Tournament (TGT)
Model pembelajaran kooperatif tipe Team Game
Tournament (TGT), atau pertandingan permainan tim
dikembangkan secara asli oleh David De Vries dan Keath Edward
(1995). Pada model ini siswa memainkan permainan dengan
anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk
skor tim mereka.
TGT dapat digunakan dalam berbagai macam mata
pelajaran, dari ilmu-ilmu eksak, ilmu-ilmu sosial maupun bahasa
dari jenjang pendidikan Dasar (SD, SMP) hingga perguruan tinggi.
TGT sangat cocok untuk mengajar tujuan pembelajaran yang
dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar.
C. Model Kooperatif Tipe Make A Match
1. Pengertian Model Kooperatif Tipe Make A Match
Model make a match merupakan salah satu jenis dari metode
dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna
Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari
pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam
suasana yang menyenangkan. Penerapan metode ini dimulai dengan
teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan
jawaban atau soal sebelum batas waktunya siswa yang dapat
mencocokkan kartuya diberi poin (Rusman, 2011 : 223).
2. Kelebihan dan Kekurangan Model Kooperatif Tipe Make A Match
Dalam model pembelajaran yang akan digunakan untuk proses
pembelajaran yang efektif tentu tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan. Model kooperatif tipe make a match memiliki kelebihan
dan kekurangan, yaitu:
Kelebihan:
- Siswa terlibat langsung dalam menjawab soal yang disampaikan
kepadanya melalui kartu.
- Meningkatkan kreativitas belajar siswa.
- Menghindari dari kejenuhan siswa dalam mengikuti kegiatan
belajar mengajar.
- Pembelajaran lebih menyenangkan karena melibatkan media
pembelajaran yang dibuat oleh guru yaitu kartu dengan mencari
pasangan kartu yang sesuai.
Kekurangan:
- Tidak mudah bagi guru mempersiapkan kartu-kartu yang baik dan
bagus sesuai dengan materi pelajaran.
- Sulit mengatur ritme atau jalannya proses pembelajaran.
- Siswa kurang begitu menyerap makna pembelajaran yang ingin
disampaikan karena siswa hanya merasa sekedar bermain saja.
- Sulit untuk membuat siswa berkonsentrasi.
(Diunduh pada tanggal 17 Juni 2014 10:10)
D. Hasil Belajar Matematika
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan suatu kegiatan yang sangat urgen
dilaksanakan dalam proses kegiatan di sekolah. Berikut beberapa
pendapat para ahli mengenai belajar:
Ahmadi dan Tri Prasetyo (2005:17) belajar adalah proses
perubahan perilaku berkat pengalaman dan pelatihan. Artinya tujuan
kegiatan belajar ialah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut
pengetahuan, keterampilan, sikap, bahkan meliputi segenap aspek
pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman
belajar, menilai proses dan hasil belajar termasuk dalam cakupan
tanggung jawab guru.
Dimyati dan Mudjiono (2009 : 18), belajar merupakan proses
internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut
adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Sudjana (2013 : 28) mengatakan bahwa belajar bukan
menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses
yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.
Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam
berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya,
sikap dan tingkah laakunya, keterampilannya, kecakapan dan
kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain
aspek yang ada pada individu.
Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa
setidaknya belajar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku
tersebut bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotor) maupun nilai dan sikap (afektif).
b. Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja, melainkan menetap
atau dapat disimpan.
c. Perubahan itu tidak terjadi begitu saja, melankan harus dengan
usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.
d. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik
atau kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh
obat-obatan (Evelin dan Hartini, 2011 : 5).
2. Prinsip-prinsip Belajar Mengajar
Prinsip-prinsip dalam belajar mengajar adalah sebagai berikut:
a. Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan
pengembangan perilaku siswa.
b. Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu
c. Belajar dilaksanakan dengan latihan daya-daya, membentuk
hubungan asosiasi, dan melalui penguatan.
d. Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman,
berpikir kritis, dan reorganisasi pengalaman.
e. Belajar membutuhkan bimbingan, baik secara langsung oleh guru
maupun secara tak langsung melalui bantuan pengalaman
pengganti.
f. Belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan
faktor dari luar diri individu.
g. Belajar sering dihadapkan kepada masalah dan kesulitan yang
perlu dipecahkan.
h. Hasil belajar dapat ditransferkan ke dalam situasi lain (Hamalik,
2007:54).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi
dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan
faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu
yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada
diluar individu (Slameto, 2003 : 54).
Menurut Slameto (2003 : 54) faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar adalah sebagai berikut:
a. Faktor-faktor Intern
Di dalam membicarakan faktor intern ini, akan dibahas
menjadi tiga faktor yaitu:
1) Faktor jasmaniah
a) Faktor kesehatan
Proses belajar seseorang akan terganggu jika
kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia akan
cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing,
ngantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun
ada gangguan-gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat
inderanya serta tubuhnya.
b) Cacat tubuh
Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan
kurang baik atau kurang sempurna mengenai
tubuh/badan.
Keadaan cacat tubuh juga dapat mempengaruhi
belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga terganggu.
Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga
pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar
dapat menghindari atau mengurangi pengaruh
kecacatan itu.
2) Faktor psikologis
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong
ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar.
Faktor-faktor itu adalah:
a) Inteligensi
Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga
jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan
menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat
dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-konsep
yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan
mempelajarinya dengan cepat.
b) Perhatian
Perhatian menurut Gazali dalam Slameto (2003 :
56) adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun
semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/hal)
atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin hasil
belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai
perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan
pelajaran tidak menjadi perhatian siswa maka timbullah
kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar.
c) Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk
memperhaikan dan mengenang beberapa kegiatan.
Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus-
menerus yang disertai dengan rasa senang.
d) Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk belajar.
Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi
kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih.
e) Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan
yang akan dicapai. Dalam proses belajar haruslah
diperhatikan apa yang dapat mendorong siswa agar
dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai
motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian,
merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang
berhubungan/menunjang belajar.
f) Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam
pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya
sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.
g) Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi response
atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri
seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan,
karena kematangan berarti kesiapan untuk
melaksanakan kecakapan.
3) Faktor kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk
dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan
jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul
keccenderungan untuk membaringkan tubuh. Sedangkan
kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan
kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk
menghasilkan sesuatu hilang.
b. Faktor-faktor Ekstern
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapatlah
dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu:
1) Faktor keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari
keluarga berupa:
a) Cara orang tua mendidik
b) Relasi antar anggota keluarga
c) Suasana rumah
d) Keadaan ekonomi keluarga
e) Pengertian orang tua
f) Latar belakang kebudayaan
2) Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup:
a) Metode mengajar
b) Kurikulum
c) Relasi guru dengan siswa
d) Relasi siswa dengan siswa
e) Disiplin sekolah
f) Alat pelajaran
g) Waktu sekolah
h) Standar pelajaran di atas ukuran
i) Keadaan gedung
j) Metode belajar
k) Tugas rumah
3) Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga
berpengaruh terhadap belajar siswa, iantaranya adalah
sebagai berikut:
a) Kegiatan siswa dalam masyarakat
b) Mass media
c) Teman bergaul
d) Bentuk kehidupan masyarakat
4.Hasil Belajar Matematika
Hasil adalah sesuatu yang diadakan, dibuat, dijadikan dan
sebagainya oleh usaha, pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Belajar adalah berusaha, memperoleh kepandaian atau ilmu
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Abdurrahman (1999 : 37) Hasil belajar adalah kemampuan
yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu
sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk
memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.
Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang
disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, tujuan
belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil
dalam belajar ialah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran atau tujuan-tujuan instruksional.
Sudjana (2013 : 50) mengatakan ada tiga tipe yang terdapat
dalam aspek hasil belajar, yaitu:
a. Tipe hasil belajar bidang kognitif, meliputi:
1) Tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge)
2) Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention)
3) Tipe hasil belajar penerapan (aplikasi)
4) Tipe hasil belajar analisis
5) Tipe hasil belajar sintesis
6) Tipe hasil belajar evaluasi
b. Tipe hasil belajar bidang afektif, yaitu berkenaan dengan sikap
dan nilai. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam
berbagai tingkah laku seperti atensi/perhatian terhadap
pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan
teman sekelas, kebiasaan belajar, dan lain-lain. Sekalipun
bahan pelajaran berisikan bidang kognitif, namun bidang
afektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut, dan
harus nampak dalam proses belajar dan hasil belajar yang
dicapai siswa.
c. Tipe hasil belajar bidang psikomotor, yaitu tampak dalam
bentuk keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu
(seseorang).
Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya
perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak
tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Tingkah laku memiliki unsur subyektif dan unsur motoris. Untuk
subyektif adalah unsur rohaniah sedangkan unsur motoris adalah
unsur jasmaniah. Bahwa seseorang sedang berpikir dapat dilihat
dari raut mukanya, sikapnya dalam rohaniah tidak bisa kita lihat.
Hamalik (2008:30) Tingkah laku manusia terdiri dari
sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada seiap perubahan
pada aspek-aspek tersebut. Adapun aspek-aspek itu adalah:
a. Pengetahuan f. Emosional
b. Pengertian g. Hubungan sosial
c. Kebiasaan h. Jasmani
d. Keterampilan i. Etis atau budi pekerti
e. Apresiasi j. Sikap
Kalau seseorang telah melakukan perbuatan belajar maka
akan terlihat terjadinya perubahan dalam salah satu atau beberapa
aspek tingkah laku tersebut.
Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam
memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang
direncanakan. Dengan demikian, tugas utama guru dalam kegiatan
ini adalah merancang instrumen yang dapat mengumpulkan data
tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan data tersebut guru dapat mengembangkan dan
memperbaiki program pembelajaran. Sedangkan, tugas seorang
desainer dalam menentukan hasil belajar selain menentukan
instrumen jugaperlu merancang cara menggunakan instrumen
beserta kriteria keberhasilannya. Hal ini perlu dilakukan, sebab
dengan kriteria yang jelas dapat ditentukan apa yang harus
dilakukan siswa dalam mempelajari isi atau bahan pelajaran
(Sanjaya, 2009:13).
E. Hakikat Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Matematika
Dipandang dari segi menjelaskan tentang apa (ontologi) dan
bagaimana struktur (epistemologi), Russel dalam Hamzah dan Masri
Kuadrat (2009 : 108) mendefinisikan bahwa matematika sebagai suatu
studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal
menuju arah yang tidak dikenal. Arah yang tidak dikenal itu tersusun
baik (konstruktif), secara bertahap menuju arah yang rumit
(kompleks) dari bilangan bulat ke bilangan pecah, bilangan riil ke
bilangan kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan
integral, dan menuju matematika yang lebih tinggi. Pakar lain,
Soedjadi memandang bahwa matematika merupakan ilmu yang
bersifat abstrak, aksiomatik dan deduktif.
Hamzah dan Kuadrat (2009 : 109) matematika adalah sebagai
suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat
untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya
logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan
individualitas, dan mempunyai cabang-cabang antara lain aritmetika,
aljabar, geometri dan analisis.
Menurut Johnson dan Myklebust dalam Abdurrahman (1999:
252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan
sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir.
Matematika menurut Ruseffendi (1991) dalam Heruman (2013:
1) adalah bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima
pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan dan struktur
yang terorganisasikan, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke
aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.
2. Pembelajaran Matematika di SD
Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7
tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget dalam Heruman
(2013 : 1) mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan
yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat
dengan objek yang bersifat konkret.
Usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat objek
konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam pembelajaran
matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media,
dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan
oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa.
Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret,
semi konkret, semi abstrak dan selanjutnya abstrak.
Saat mengajarkan matematika, guru harus memahami bahwa
kemampuan setiap siswa berbeda-beda, serta tidak semua siswa
menyenangi mata pelajaran matematika. Konsep-konsep pada
kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar,
yaitu:
a. Penanaman konsep dasar, yaitu pembelajaran suatu konsep baru
matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep
tersebut. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan
jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif
siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak.
b. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman
konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep
matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian.
Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman
konsep dalam satu pertemuan. Kedua, pembelajaran pemahaman
konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih
merupakan lanjutan dari penanaman konsep.
c. Pembinaan keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran
pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil
dalam menggunakan berbagai konsep matematika(Trianto, 2011 :
3).
F. Konsep Model Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap Hasil
Belajar Matematika
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau
topik yang cocok untuk sesi review (satu sisi kartu berupa soal dan sisi
sebaliknya berupa kartu jawaban).
2. Setiap siswa mendapatkan satu kartu dan memikirkan jawaban atau
soal dari kartu yang dipegang.
3. Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (kartu soal atau kartu jawaban).
4. Siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin.
5. Setelah satu babak kartu dicocokkan lagi agar tiap siswa mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya. Demikian seterusnya.
Suprijono (2010 : 94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika
pembelajaran dikembangkan dengan make a match adalah kartu-kartu.
Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan
kartu-kartu lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sejalan dengan pendapat Rusman yang telah diungkapkan,
Suprijono mengatakan langkah berikutnya adalah sebagai berikut :
1. Guru membagi komunitas kelas menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi
pertanyaan-pertanyaan. Kelompok kedua adalah kelompok pembawa
kartu-kartu berisi jawaban-jawaban. Kelompok ketiga adalah
kelompok penilai. Aturlah posisi kelompok-kelompok tersebut
berbentuk huruf U. Upayakan kelompok pertama dan kedua sejajar
saling berhadapan.
2. Jika masing-masing kelompok sudah berada diposisi yang telah
ditentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar
kelompok pertama maupun kelompok kedua saling bergerak mereka
bertemu, mencari pasangan pertanyaan-jawaban yang cocok. Berikan
kesempatan kepada mereka untuk berdiskusi. Ketika mereka diskusi
alangkah baiknya jika ada musik instrumentalia yang lembut
mengiringi aktivitas belajar mereka. Hasil diskusi ditandai oleh
pasangan-pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu
pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban.
3. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan
pertanyaan-jawaban kepada kelompok penilai. Kelompok ini
kemudian membaca apakah pasangan pertanyaan-jawaban itu cocok.
4. Setelah penilaian dilakukan, aturlah sedemikian rupa kelompok
pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memosisikan dirinya
menjadi kelompok penilai. Sementara, kelompok penilai pada sesi
pertama tersebut diatas di pecah menjadi dua, sebagian anggota
memegang kartu pertanyaan sebagian lainnya memegang kartu
jawaban. Posisikan mereka dalam bentuk huruf U.
5. Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok pemegang
kartu pertanyaan dan jawaban bergerak untuk mencari,
mencocockkan, dan mendiskusikan pertanyaan-jawaban. Berikutnya
adalah masing-masing pasangan pertanyaan-jawaban menunjukkan
hasil kerjanya kepada penilai.
Perlu diketahui bahwa tidak semua peserta didik baik yang
berperan sebagai pemegang kartu pertanyaan, pemegang kartu jawaban,
maupun penilai mengetahui dan memahami secara pasti apakah betul kartu
pertanyaan-jawaban yang mereka pasangkan sudah cocok. Demikian
halnya bagi peserta didik kelompok penilai. Mereka juga belum
mengetahui pasti apakah penilaian mereka benar atas pasangan
pertanyaan-jawaban. Berdasarkan kondisi inilah guru memfasilitasi diskusi
untuk memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik
mengonfirmasikan hal-hal yang mereka telah lakukan yaitu memasangkan
pertanyaan-jawaban dan melaksanakan penilaian.
G. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang relevan dan telah menunjukkan
keefektifan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match
dalam pembelajaran matematika. Penelitian yang relevan dengan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian kuasi eksperimen di kelas IV SDN 03 Sumberejo oleh
Minatul Maula (2013) yang berjudul:
“Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe make A Match
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa kelas IV SDN 03
Sumberejo Kabupaten Kendal”. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan model tersebut dalam materi bilangan romawi
sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu pada materi konsep
bangun ruang. Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar siswa yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match lebih
baik dari pada yang menggunakan model konvensional.
2. Penelitian tindakan kelas di kelas IV SDN 03 Dompyong Wetan oleh
Adi Sunardi (2013) yang berjudul:
“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Mata Pelajaran
PAI Pokok Bahasan Iman Kepada Malaikat Di SDN 03 Dompyong
Wetan Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon”. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar siswa sedangkaan penelitian yang akan
dilaksanakan hanya untuk mengetahui apakah ada pengaruh atau tidak
dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match.
Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar siswa meningkat setelah
diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe make a match.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Prasetia Ningrum (2013) yang
berjudul:
“Keefektifan Model Make A Match Dalam Pembelajaran Pemahaman
Pantun Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 2 Karangjati
Kabupaten Bajarnegara”. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan
pemahaman pantun pada siswa setelah menerapkan model make a
match.
4. Penelitian tindakan kelas di kelas III SD Santo Aloysius oleh Lusia
Lasiyem yang berjudul:
“Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Kooperatif
Tipe Make A Match Siswa Kelas III SD Santo Aloysius Semarang”.
Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar matematika siswa
meningkat setelah menerapkan model kooperatif tipe make a match.
Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, peneliti
mengatakan hal yang sama yakni ada sebuah pengaruh yang signifikan
karena model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat
mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran.