BAB II PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF ...

21
BAB II PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA A. Pengertian Model Pembelajaran Soekamto dkk dalam Trianto (2011 : 22) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan mengutip pendapat tersebut di atas, maka aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Model pembelajaran mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut: 1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori Jhon Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis. 2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif. 3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, misalnya model synectic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang. 4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: a. Urutan langkah- langkah pembelajaran (syntax), b. Adanya prinsip-prinsip reaksi, c. Sistem sosial, dan d. Sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran. 5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: a. Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur, b. Dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang. 11

Transcript of BAB II PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF ...

BAB II

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA

A. Pengertian Model Pembelajaran

Soekamto dkk dalam Trianto (2011 : 22) mengemukakan maksud

dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan

prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar

untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman

bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan

aktivitas belajar mengajar.

Dengan mengutip pendapat tersebut di atas, maka aktivitas

pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata

secara sistematis.

Model pembelajaran mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut:

1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.

Sebagai contoh model penelitian kelompok disusun oleh Herbert

Thelen dan berdasarkan teori Jhon Dewey. Model ini dirancang untuk

melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.

2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model

berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir

induktif.

3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar

di kelas, misalnya model synectic dirancang untuk memperbaiki

kreativitas dalam pelajaran mengarang.

4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: a. Urutan langkah-

langkah pembelajaran (syntax), b. Adanya prinsip-prinsip reaksi, c.

Sistem sosial, dan d. Sistem pendukung. Keempat bagian tersebut

merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model

pembelajaran.

5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.

Dampak tersebut meliputi: a. Dampak pembelajaran, yaitu hasil

belajar yang dapat diukur, b. Dampak pengiring, yaitu hasil belajar

jangka panjang.

11

6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman

model pembelajaran yang dipilih (Rusman, 2011 : 136).

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa model

pembelajaran tidak sama dengan strategi, metode atau prosedur, karena

memiliki ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan strategi,

metode atau prosedur.

B. Konsep Model Pembelajaran Kooperatif

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Riyanto (2010 : 267) pembelajaran kooperatif adalah model

yang pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan

akademik (academic skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill)

termasuk interpersonal skill.

Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi

pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk

mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif disusun dalam

sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi

siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat

keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa

untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar

belakangnya. Jadi dalam pembelajaran kooperatif siswa berperan

ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru (Trianto, 2011 : 58).

2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Johnson dan Johnson dalam Trianto (2007 : 57) menyatakan

bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar

siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik

secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja sama

dalam satu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki

hubungan dianara para siswa dengan berbagai latar belakang etnis dan

kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses

kelompok dan pemecahan masalah.

Model yang digunakan dalam pembelajaran memiliki tujuan

yang akan dicapai oleh peserta didik. Model kooperatif yang

digunakan peneliti sebagai model dalam penelitian ini memiliki tujuan

tersendiri yang nantinya dapat memberikan keaktifan kepada peserta

didik dalam pembelajaran matematika.

3. Konsep Utama Pembelajaran Kooperatif

Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin dalam

Trianto (2007 : 61) adalah sebagai berikut :

a. Penghargaan kelompok yang akan diberikan jika kelompok

mencapai kriteria yang ditentukan.

b. Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya

kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota

kelompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk

membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok

telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.

c. Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa

telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar

mereka sendiri. Hal ini memastikan bahwa siswa berkemampuan

tinggi, sedang, dan rendah sama-sama tertantang untuk

melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota

kelompok sangat bernilai.

4. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif

Apabila diperhatikan secara saksama, maka pembelajaran

kooperatif ini mempunyai ciri-ciri tertentu dibandingkan dengan

model lainnya.

Arends dalam Trianto (2007 : 65) menyatakan bahwa

pelajaranyang menggunakan pembelajaran kooperatif memiliki ciri-

ciri sebagai berikut :

a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk

menuntaskan materi belajar.

b. Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan

tinggi, sedang, dan rendah.

c. Bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya,

suku, jenis kelamin yang beragam.

d. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok dari pada

individu.

5. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran pada saat digunakan tentu melalui lankah-

langkah yang harus ditempuh. Tujuannya agar pembelajaran lebih

terarah dan menghasilkan nilai yang maksimal sehingga tujuan

pembelajaran dapat tercapai dengan baik.

Hamdani (2011 : 34) pembelajaran dalam kooperatif dimulai

dengan informasi guru tentang tujuan-tujuan pembelajaran dan

memotivasi siswauntuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian

informasi, sering dengan bentuk teks bukan verbal. Kemudian siswa

dibawah bimbingan guru bekerja sama untuk menyelesaikan tugas-

tugas yang saling berkaitan. Fase terakhir meliputi penyajian produk

akhir kelompok atau mengetes semua yang telah dipelajari siswa, dan

pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.

Berikut tabel fase-fase pembelajaran kooperatif

Tabel 2.1

Sintaks model pembelajaran kooperatif

Fase-fase Perilaku Guru

Fase 1:

Menyampaikan tujuan dan memotivasi

siswa.

Menyampaikan semua tujuan yang

ingin dicapai selama pembelajaran

dan memotivasi siswa untuk

belajar.

Fase 2:

Menyajikan informasi.

Menyajikan informasi kepada

siswa dengan jalan demonstrasi

atau melalui bahan bacaan.

Fase 3:

Mengorganisasikan siswa ke dalam

kelompok-kelompok belajar.

Menjelaskan kepada siswa cara

membentuk kelompok belajar dan

membantu setiap kelompok agar

melakukan transisi secara efisien.

Fase 4:

Membimbing kelompok bekerja dan

belajar.

Membimbing kelompok belajar

pada saat mereka mengerjakan

tugas mereka.

Fase 5:

Evaluasi.

Mengevaluasi hasil belajar tentang

materi yang telah dipelajari atau

meminta presentasi hasil kerja

kepada kelompok.

Fase 6:

Memberikan penghargaan.

Menghargai upaya dan hasil

belajar individu dan kelompok.

(Hamdani, 2011 : 34)

6. Tipe dalam Model Pembelajaran Kooperatif

a. Student Team Achievement Division (STAD)

Slavin dalam Trianto (2011 : 68) menyatakan bahwa pada

STAD siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4-5

orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis

kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian

siswa bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh

anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Kemudian,

seluruh siswa diberikan tes tentang materi tersebut, pada saat tes

ini mereka tidak diperbolehkan saling membantu.

Persiapan-ersiapan dalam STAD, antara lain:

1) Perangkat pembelajaran

Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran ini perlu

dipersiapkan perangkat pembelajarannya, yang meliputi

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku siswa,

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) beserta lembar jawabannya.

2) Membentuk kelompok kooperatif

Menentukan anggota kelompok diusahakan agar

kemampuan siswa dalam kelompok adalah heterogen dan

kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya

relatif homogen. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif

perlu memerhatikan ras, agama, jenis kelamin, dan latar

belakang sosial.

3) Menentukan skor awal

Skor awal yang dapat digunakan dalam kelas kooperatif

adalah nilai ulangan sebelumnya. Skor awal ini dapat berubah

setelah ada kuis. Misalnya pada pembelajaran lebih lanjut dan

setelah diadakan tes, maka hasil tes masing-masing individu

dapat dijadikan skor awal.

4) Pengaturan tempat duduk

Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif perlu

juga diatur denga baik, hal ini dilakukan untuk menunjang

keberhasilan pembelajaran kooperatif apabila tidak ada

pengaturan temapt duduk dapat menimbulkan kekacauan yang

menyebabkan gagalnya pembelajaran pada kelas kooperatif.

5) Kerja kelompok

Untuk mencegah adanya hambatan pada pembelajaran

kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerja

sama kelompok. Hal ini bertujuan untuk lebih jauh

mengenalkan masing-masing individu dalam kelompok.

b. Jigsaw

Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot

Aroson dan teman-tman dari Universitas Texas, dan diadopsi oleh

Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins.

Untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw disusun

langkah-langkah:

1) Pembagian tugas

2) Pemberian lembar ahli

3) Diskusi

4) Kuis

Rencana pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw diatur secara

intruksional sebagai berikut.

1) Membaca, siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca

materi tersebut untuk mendapatkan informasi.

2) Diskusi kelompok ahli, siswa dengan topik-topik ahli yang

sama bertemu untuk mendiskusikan topik tersebut.

3) Diskusi kelompok, ahli kembali ke kelompok asal untuk

menjelaskan topik kepada kelompoknya.

4) Kuis, siswamemperoleh kuis individu yang mencakup semua

topik.

5) Penghargaaan kelompok, penghitungan skor kelompok dan

menentukan penghargaan kelompok.

Dalam pembelajaran koopertif tipe Jigsaw, siswa lebih

mudah menemukan dan memahami konsep-konsep ang sulit

apabila mereka saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut

dengan temannya. Melalui diskusi, akan terjadi elaborasi kognitif

yang baik sehingga dapat meningkatkan daya nalar dan

meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, serta

memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan

pendapatnya.

c. Investigasi kelompok (Group Investigation)

Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran

kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk

diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan.

Dalam perkembangannya model ini diperluas dan dipertajam oleh

Sharan dari Universitas Tel Aviv. Berbeda dengan STAD dan

Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang

dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka.

Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih

rumit daripada pendekatan yang lebih berpusat pada guru.

Pendekatan ini juga memerlukan mengajar siswa keterampilan

komunikasi dan proses kelompok yang baik.

d. Think Pair Share (TPS)

Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan

berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang

diranang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think

pair share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan

waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan

koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutip Arend

(1997), menyatakan bahwa think pair share merupakan suatu cara

yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.

Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan

pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan

prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi

siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan saling

membantu.

e. Numbered Head Together (NHT)

Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir

bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang

dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai

alternatif terhadap struktur kelas tradisional.

Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru

menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT:

1) Fase 1: Penomoran

Dalam fase ini. Guru membagi siswa kedalam kelompok 3-5

orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor

antara 1-5.

2) Fase 2: Mengajukan pertanyaan

Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.

pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik

dan dalam bentuk kalimat tanya. Misalnya “Berapakah

jumlah gigi orang dewasa?” atau berbentuk arahan, misalnya

“Pastikan setiap orang mengetahui 5 buah ibu kota provinsi

yang terletak di Pulau Sumatera.”

3) Fase 3: Berpikir bersama

Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan

itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui

jawaban tim.

4) Fase 4: Menjawab

Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang

nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba

untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.

f. Teams Game Tournament (TGT)

Model pembelajaran kooperatif tipe Team Game

Tournament (TGT), atau pertandingan permainan tim

dikembangkan secara asli oleh David De Vries dan Keath Edward

(1995). Pada model ini siswa memainkan permainan dengan

anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk

skor tim mereka.

TGT dapat digunakan dalam berbagai macam mata

pelajaran, dari ilmu-ilmu eksak, ilmu-ilmu sosial maupun bahasa

dari jenjang pendidikan Dasar (SD, SMP) hingga perguruan tinggi.

TGT sangat cocok untuk mengajar tujuan pembelajaran yang

dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar.

C. Model Kooperatif Tipe Make A Match

1. Pengertian Model Kooperatif Tipe Make A Match

Model make a match merupakan salah satu jenis dari metode

dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna

Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari

pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam

suasana yang menyenangkan. Penerapan metode ini dimulai dengan

teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan

jawaban atau soal sebelum batas waktunya siswa yang dapat

mencocokkan kartuya diberi poin (Rusman, 2011 : 223).

2. Kelebihan dan Kekurangan Model Kooperatif Tipe Make A Match

Dalam model pembelajaran yang akan digunakan untuk proses

pembelajaran yang efektif tentu tidak terlepas dari kelebihan dan

kekurangan. Model kooperatif tipe make a match memiliki kelebihan

dan kekurangan, yaitu:

Kelebihan:

- Siswa terlibat langsung dalam menjawab soal yang disampaikan

kepadanya melalui kartu.

- Meningkatkan kreativitas belajar siswa.

- Menghindari dari kejenuhan siswa dalam mengikuti kegiatan

belajar mengajar.

- Pembelajaran lebih menyenangkan karena melibatkan media

pembelajaran yang dibuat oleh guru yaitu kartu dengan mencari

pasangan kartu yang sesuai.

Kekurangan:

- Tidak mudah bagi guru mempersiapkan kartu-kartu yang baik dan

bagus sesuai dengan materi pelajaran.

- Sulit mengatur ritme atau jalannya proses pembelajaran.

- Siswa kurang begitu menyerap makna pembelajaran yang ingin

disampaikan karena siswa hanya merasa sekedar bermain saja.

- Sulit untuk membuat siswa berkonsentrasi.

(Diunduh pada tanggal 17 Juni 2014 10:10)

D. Hasil Belajar Matematika

1. Pengertian Belajar

Belajar merupakan suatu kegiatan yang sangat urgen

dilaksanakan dalam proses kegiatan di sekolah. Berikut beberapa

pendapat para ahli mengenai belajar:

Ahmadi dan Tri Prasetyo (2005:17) belajar adalah proses

perubahan perilaku berkat pengalaman dan pelatihan. Artinya tujuan

kegiatan belajar ialah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut

pengetahuan, keterampilan, sikap, bahkan meliputi segenap aspek

pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman

belajar, menilai proses dan hasil belajar termasuk dalam cakupan

tanggung jawab guru.

Dimyati dan Mudjiono (2009 : 18), belajar merupakan proses

internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut

adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif dan

psikomotorik.

Sudjana (2013 : 28) mengatakan bahwa belajar bukan

menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses

yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.

Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam

berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya,

sikap dan tingkah laakunya, keterampilannya, kecakapan dan

kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain

aspek yang ada pada individu.

Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa

setidaknya belajar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku

tersebut bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan

(psikomotor) maupun nilai dan sikap (afektif).

b. Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja, melainkan menetap

atau dapat disimpan.

c. Perubahan itu tidak terjadi begitu saja, melankan harus dengan

usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.

d. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik

atau kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh

obat-obatan (Evelin dan Hartini, 2011 : 5).

2. Prinsip-prinsip Belajar Mengajar

Prinsip-prinsip dalam belajar mengajar adalah sebagai berikut:

a. Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan

pengembangan perilaku siswa.

b. Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu

c. Belajar dilaksanakan dengan latihan daya-daya, membentuk

hubungan asosiasi, dan melalui penguatan.

d. Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman,

berpikir kritis, dan reorganisasi pengalaman.

e. Belajar membutuhkan bimbingan, baik secara langsung oleh guru

maupun secara tak langsung melalui bantuan pengalaman

pengganti.

f. Belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan

faktor dari luar diri individu.

g. Belajar sering dihadapkan kepada masalah dan kesulitan yang

perlu dipecahkan.

h. Hasil belajar dapat ditransferkan ke dalam situasi lain (Hamalik,

2007:54).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi

dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan

faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu

yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada

diluar individu (Slameto, 2003 : 54).

Menurut Slameto (2003 : 54) faktor-faktor yang mempengaruhi

belajar adalah sebagai berikut:

a. Faktor-faktor Intern

Di dalam membicarakan faktor intern ini, akan dibahas

menjadi tiga faktor yaitu:

1) Faktor jasmaniah

a) Faktor kesehatan

Proses belajar seseorang akan terganggu jika

kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia akan

cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing,

ngantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun

ada gangguan-gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat

inderanya serta tubuhnya.

b) Cacat tubuh

Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan

kurang baik atau kurang sempurna mengenai

tubuh/badan.

Keadaan cacat tubuh juga dapat mempengaruhi

belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga terganggu.

Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga

pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar

dapat menghindari atau mengurangi pengaruh

kecacatan itu.

2) Faktor psikologis

Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong

ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar.

Faktor-faktor itu adalah:

a) Inteligensi

Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga

jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan

menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat

dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-konsep

yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan

mempelajarinya dengan cepat.

b) Perhatian

Perhatian menurut Gazali dalam Slameto (2003 :

56) adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun

semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/hal)

atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin hasil

belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai

perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan

pelajaran tidak menjadi perhatian siswa maka timbullah

kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar.

c) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk

memperhaikan dan mengenang beberapa kegiatan.

Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus-

menerus yang disertai dengan rasa senang.

d) Bakat

Bakat adalah kemampuan untuk belajar.

Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi

kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih.

e) Motif

Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan

yang akan dicapai. Dalam proses belajar haruslah

diperhatikan apa yang dapat mendorong siswa agar

dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai

motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian,

merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang

berhubungan/menunjang belajar.

f) Kematangan

Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam

pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya

sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.

g) Kesiapan

Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi response

atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri

seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan,

karena kematangan berarti kesiapan untuk

melaksanakan kecakapan.

3) Faktor kelelahan

Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk

dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam,

yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan

jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul

keccenderungan untuk membaringkan tubuh. Sedangkan

kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan

kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk

menghasilkan sesuatu hilang.

b. Faktor-faktor Ekstern

Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapatlah

dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu:

1) Faktor keluarga

Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari

keluarga berupa:

a) Cara orang tua mendidik

b) Relasi antar anggota keluarga

c) Suasana rumah

d) Keadaan ekonomi keluarga

e) Pengertian orang tua

f) Latar belakang kebudayaan

2) Faktor sekolah

Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup:

a) Metode mengajar

b) Kurikulum

c) Relasi guru dengan siswa

d) Relasi siswa dengan siswa

e) Disiplin sekolah

f) Alat pelajaran

g) Waktu sekolah

h) Standar pelajaran di atas ukuran

i) Keadaan gedung

j) Metode belajar

k) Tugas rumah

3) Faktor masyarakat

Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga

berpengaruh terhadap belajar siswa, iantaranya adalah

sebagai berikut:

a) Kegiatan siswa dalam masyarakat

b) Mass media

c) Teman bergaul

d) Bentuk kehidupan masyarakat

4.Hasil Belajar Matematika

Hasil adalah sesuatu yang diadakan, dibuat, dijadikan dan

sebagainya oleh usaha, pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Belajar adalah berusaha, memperoleh kepandaian atau ilmu

(Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Abdurrahman (1999 : 37) Hasil belajar adalah kemampuan

yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu

sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk

memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.

Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang

disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, tujuan

belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil

dalam belajar ialah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan

pembelajaran atau tujuan-tujuan instruksional.

Sudjana (2013 : 50) mengatakan ada tiga tipe yang terdapat

dalam aspek hasil belajar, yaitu:

a. Tipe hasil belajar bidang kognitif, meliputi:

1) Tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge)

2) Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention)

3) Tipe hasil belajar penerapan (aplikasi)

4) Tipe hasil belajar analisis

5) Tipe hasil belajar sintesis

6) Tipe hasil belajar evaluasi

b. Tipe hasil belajar bidang afektif, yaitu berkenaan dengan sikap

dan nilai. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam

berbagai tingkah laku seperti atensi/perhatian terhadap

pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan

teman sekelas, kebiasaan belajar, dan lain-lain. Sekalipun

bahan pelajaran berisikan bidang kognitif, namun bidang

afektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut, dan

harus nampak dalam proses belajar dan hasil belajar yang

dicapai siswa.

c. Tipe hasil belajar bidang psikomotor, yaitu tampak dalam

bentuk keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu

(seseorang).

Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya

perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak

tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Tingkah laku memiliki unsur subyektif dan unsur motoris. Untuk

subyektif adalah unsur rohaniah sedangkan unsur motoris adalah

unsur jasmaniah. Bahwa seseorang sedang berpikir dapat dilihat

dari raut mukanya, sikapnya dalam rohaniah tidak bisa kita lihat.

Hamalik (2008:30) Tingkah laku manusia terdiri dari

sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada seiap perubahan

pada aspek-aspek tersebut. Adapun aspek-aspek itu adalah:

a. Pengetahuan f. Emosional

b. Pengertian g. Hubungan sosial

c. Kebiasaan h. Jasmani

d. Keterampilan i. Etis atau budi pekerti

e. Apresiasi j. Sikap

Kalau seseorang telah melakukan perbuatan belajar maka

akan terlihat terjadinya perubahan dalam salah satu atau beberapa

aspek tingkah laku tersebut.

Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam

memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang

direncanakan. Dengan demikian, tugas utama guru dalam kegiatan

ini adalah merancang instrumen yang dapat mengumpulkan data

tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Berdasarkan data tersebut guru dapat mengembangkan dan

memperbaiki program pembelajaran. Sedangkan, tugas seorang

desainer dalam menentukan hasil belajar selain menentukan

instrumen jugaperlu merancang cara menggunakan instrumen

beserta kriteria keberhasilannya. Hal ini perlu dilakukan, sebab

dengan kriteria yang jelas dapat ditentukan apa yang harus

dilakukan siswa dalam mempelajari isi atau bahan pelajaran

(Sanjaya, 2009:13).

E. Hakikat Pembelajaran Matematika

1. Pengertian Matematika

Dipandang dari segi menjelaskan tentang apa (ontologi) dan

bagaimana struktur (epistemologi), Russel dalam Hamzah dan Masri

Kuadrat (2009 : 108) mendefinisikan bahwa matematika sebagai suatu

studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal

menuju arah yang tidak dikenal. Arah yang tidak dikenal itu tersusun

baik (konstruktif), secara bertahap menuju arah yang rumit

(kompleks) dari bilangan bulat ke bilangan pecah, bilangan riil ke

bilangan kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan

integral, dan menuju matematika yang lebih tinggi. Pakar lain,

Soedjadi memandang bahwa matematika merupakan ilmu yang

bersifat abstrak, aksiomatik dan deduktif.

Hamzah dan Kuadrat (2009 : 109) matematika adalah sebagai

suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat

untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya

logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan

individualitas, dan mempunyai cabang-cabang antara lain aritmetika,

aljabar, geometri dan analisis.

Menurut Johnson dan Myklebust dalam Abdurrahman (1999:

252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk

mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan

sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir.

Matematika menurut Ruseffendi (1991) dalam Heruman (2013:

1) adalah bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima

pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan dan struktur

yang terorganisasikan, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke

aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.

2. Pembelajaran Matematika di SD

Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7

tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget dalam Heruman

(2013 : 1) mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan

yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir

untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat

dengan objek yang bersifat konkret.

Usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat objek

konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam pembelajaran

matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media,

dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan

oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa.

Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret,

semi konkret, semi abstrak dan selanjutnya abstrak.

Saat mengajarkan matematika, guru harus memahami bahwa

kemampuan setiap siswa berbeda-beda, serta tidak semua siswa

menyenangi mata pelajaran matematika. Konsep-konsep pada

kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar,

yaitu:

a. Penanaman konsep dasar, yaitu pembelajaran suatu konsep baru

matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep

tersebut. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan

jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif

siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak.

b. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman

konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep

matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian.

Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman

konsep dalam satu pertemuan. Kedua, pembelajaran pemahaman

konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih

merupakan lanjutan dari penanaman konsep.

c. Pembinaan keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari

penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran

pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil

dalam menggunakan berbagai konsep matematika(Trianto, 2011 :

3).

F. Konsep Model Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap Hasil

Belajar Matematika

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau

topik yang cocok untuk sesi review (satu sisi kartu berupa soal dan sisi

sebaliknya berupa kartu jawaban).

2. Setiap siswa mendapatkan satu kartu dan memikirkan jawaban atau

soal dari kartu yang dipegang.

3. Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan

kartunya (kartu soal atau kartu jawaban).

4. Siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi

poin.

5. Setelah satu babak kartu dicocokkan lagi agar tiap siswa mendapat

kartu yang berbeda dari sebelumnya. Demikian seterusnya.

Suprijono (2010 : 94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika

pembelajaran dikembangkan dengan make a match adalah kartu-kartu.

Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan

kartu-kartu lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sejalan dengan pendapat Rusman yang telah diungkapkan,

Suprijono mengatakan langkah berikutnya adalah sebagai berikut :

1. Guru membagi komunitas kelas menjadi tiga kelompok. Kelompok

pertama merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi

pertanyaan-pertanyaan. Kelompok kedua adalah kelompok pembawa

kartu-kartu berisi jawaban-jawaban. Kelompok ketiga adalah

kelompok penilai. Aturlah posisi kelompok-kelompok tersebut

berbentuk huruf U. Upayakan kelompok pertama dan kedua sejajar

saling berhadapan.

2. Jika masing-masing kelompok sudah berada diposisi yang telah

ditentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar

kelompok pertama maupun kelompok kedua saling bergerak mereka

bertemu, mencari pasangan pertanyaan-jawaban yang cocok. Berikan

kesempatan kepada mereka untuk berdiskusi. Ketika mereka diskusi

alangkah baiknya jika ada musik instrumentalia yang lembut

mengiringi aktivitas belajar mereka. Hasil diskusi ditandai oleh

pasangan-pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu

pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban.

3. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan

pertanyaan-jawaban kepada kelompok penilai. Kelompok ini

kemudian membaca apakah pasangan pertanyaan-jawaban itu cocok.

4. Setelah penilaian dilakukan, aturlah sedemikian rupa kelompok

pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memosisikan dirinya

menjadi kelompok penilai. Sementara, kelompok penilai pada sesi

pertama tersebut diatas di pecah menjadi dua, sebagian anggota

memegang kartu pertanyaan sebagian lainnya memegang kartu

jawaban. Posisikan mereka dalam bentuk huruf U.

5. Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok pemegang

kartu pertanyaan dan jawaban bergerak untuk mencari,

mencocockkan, dan mendiskusikan pertanyaan-jawaban. Berikutnya

adalah masing-masing pasangan pertanyaan-jawaban menunjukkan

hasil kerjanya kepada penilai.

Perlu diketahui bahwa tidak semua peserta didik baik yang

berperan sebagai pemegang kartu pertanyaan, pemegang kartu jawaban,

maupun penilai mengetahui dan memahami secara pasti apakah betul kartu

pertanyaan-jawaban yang mereka pasangkan sudah cocok. Demikian

halnya bagi peserta didik kelompok penilai. Mereka juga belum

mengetahui pasti apakah penilaian mereka benar atas pasangan

pertanyaan-jawaban. Berdasarkan kondisi inilah guru memfasilitasi diskusi

untuk memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik

mengonfirmasikan hal-hal yang mereka telah lakukan yaitu memasangkan

pertanyaan-jawaban dan melaksanakan penilaian.

G. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Ada beberapa penelitian yang relevan dan telah menunjukkan

keefektifan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match

dalam pembelajaran matematika. Penelitian yang relevan dengan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kuasi eksperimen di kelas IV SDN 03 Sumberejo oleh

Minatul Maula (2013) yang berjudul:

“Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe make A Match

Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa kelas IV SDN 03

Sumberejo Kabupaten Kendal”. Pada penelitian ini peneliti

menggunakan model tersebut dalam materi bilangan romawi

sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu pada materi konsep

bangun ruang. Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar siswa yang

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match lebih

baik dari pada yang menggunakan model konvensional.

2. Penelitian tindakan kelas di kelas IV SDN 03 Dompyong Wetan oleh

Adi Sunardi (2013) yang berjudul:

“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Mata Pelajaran

PAI Pokok Bahasan Iman Kepada Malaikat Di SDN 03 Dompyong

Wetan Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon”. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk

meningkatkan hasil belajar siswa sedangkaan penelitian yang akan

dilaksanakan hanya untuk mengetahui apakah ada pengaruh atau tidak

dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match.

Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar siswa meningkat setelah

diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe make a match.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Prasetia Ningrum (2013) yang

berjudul:

“Keefektifan Model Make A Match Dalam Pembelajaran Pemahaman

Pantun Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 2 Karangjati

Kabupaten Bajarnegara”. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan

pemahaman pantun pada siswa setelah menerapkan model make a

match.

4. Penelitian tindakan kelas di kelas III SD Santo Aloysius oleh Lusia

Lasiyem yang berjudul:

“Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Kooperatif

Tipe Make A Match Siswa Kelas III SD Santo Aloysius Semarang”.

Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar matematika siswa

meningkat setelah menerapkan model kooperatif tipe make a match.

Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, peneliti

mengatakan hal yang sama yakni ada sebuah pengaruh yang signifikan

karena model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat

mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran.