BAB II ACC
Transcript of BAB II ACC
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Ubi Kayu (Manihot utilissima)
Tanaman ubi kayu menurut Steenis (1998)
merupakan tanaman yang memiliki klasifikasi sebagai
berikut.
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Familia : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Species : Manihot utilissima
Gambar 1. Tanaman ubi kayu (Manihot utilissima)
10
Ubi kayu merupakan salah satu jenis tanaman
umbi yang telah dikenal dan dibudidayakan oleh
petani Indonesia. Tanaman ini merupakan famili dari
Euphorbiaceae yang berasal dari Brazil. Ubi kayu
memiliki umbi atau akar pohon yang panjang dengan
fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang
50-80 cm, tergantung dari jenis ubi kayu yang
ditanam. Daging ubi kayu berwarna putih atau
kekuning-kuningan. Umbi akar besar, memanjang dengan
kulit berwarna coklat suram.
Menurut Najayati dan Danarti (1988), ubi kayu
mempunyai bentuk pohon yang kecil dan akarnya dapat
membelah, beberapa akarnya dapat digunakan untuk
menyimpan bahan makanan (karbohidrat) sehingga
ukurannya membesar mengalahkan ukuran akar lainnya.
Akar ini disebut umbi yang banyak mengandung zat
tepung. Iklim yang panas dan lembab dibutuhkan untuk
pertumbuhannya sehingga tanaman ini tidak dapat
tumbuh pada suhu kurang dari 10°C. Menurut Budijanto
(2008) ubi kayu memiliki nilai gizi yang cukup
11
tinggi dengan komposisi yang lengkap, mampu
menyediakan energi dalam jumlah yang cukup tinggi
dan kandungan gizinya berguna bagi kesehatan tubuh.
B. Komposisi Kimia Ubi Kayu
Menurut Rukmana (1997), umbi ubi kayu
mengandung senyawa sianogenik glukosida linamarin
(glukosida aseton sianohidrin). Komponen ini apabila
terhidrolisis dapat menjadi glukosa, aseton, dan
asam sianida (HCN). Kandungan asam sianida (HCN)
pada umbi ubi kayu tergantung dari jenis varietas
ubi kayu tersebut. Umbi ubi kayu dengan kadar asam
sianida (HCN) rendah yang biasa dikonsumsi berasal
dari ubi kayu varietas manis, sedangkan varietas
pahit mengandung kadar HCN tinggi dan banyak
digunakan untuk industri (Barrett & Damardjati,
1983). Mengingat kadar airnya cukup tinggi
dibandingkan dengan bahan pangan berpati lainnya,
ubi kayu sangat mudah membusuk apalagi pada suhu
rendah dengan kelembapan yang tinggi sehingga
penanganannya harus dilakukan secara cepat agar
12
menghasilkan produk bermutu tinggi dan aman untuk
dikonsumsi. Nilai gizi ubi kayu selengkapnya pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Kayu dan Bahan OlahanUbi Kayu
Komposisi Ubikayu Gaplek Tapioka
Kalori (per 100 gram) 127 355 370
Karbohidrat (%) 34,7
81,3 88,2
Protein (%) 1,2 1,5 1,1Lemak (%) 0,3 0,7 0,5Air (%) 62,
514,
5 9,1
Kalsium (mg/100 gram)
33,0
80,0 84,0
Fosfor (mg/100 gram)
40,0
60,0
125,0
Besi (mg/100 gram) 0,7 1,9 1,0
Vitamin B1 (mg) 0,06
0,04 0,04
Vitamin C (mg) 30,0 0 0
Makfoeld (1982).
C. Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Wikau Maombo Instan
Wikau maombo merupakan makanan khas yang
berasal dari daerah Buton, Bau-bau Sulawesi
Tenggara. Pengolahan Wikau maombo yaitu ubi kayu
13
dibersihkan kemudian dilakukan perendaman
menggunakan air laut selama 24 jam. Setelah proses
perendaman dilanjutkan dengan proses fermentasi
selama 4 hari. Hasil penelitian Aminiah (2008)
selama proses fermentasi dari hari ke-0 hingga hari
ke-4 menunjukkan peningkatan kadar protein dan
karbohidrat yakni sebesar 1,69%bk menjadi 5,04%bk
dan 3,83%bk menjadi 6,21%bk. Sedangkan untuk kadar
serat kasar dan kadar air ubi kayu hingga menjadi
produk Wikau maombo yakni sebesar 4,95%bk menjadi
4,28%bk dan 25,78% menjadi 22,32%. Hasil penelitian
Yanti (2005) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kadar protein dari produk mirip Wikau maombo (kabuto)
setelah difermentasi selama 4 hari. Hasil
penelitian Indradewi dan Wahyuni (2009) diperoleh
kadar protein kabuto sebesar 3,67%, sedangkan gaplek
hanya mengandung protein sebesar 1,2%.
Adanya rasa singkong Wikau maombo yang lebih
enak dibandingkan singkong kering gaplek dapat
dijelaskan oleh Dwijoseputro (1998) bahwa secara
14
umum proses perubahan karbohidrat menjadi glukosa
melibatkan enzim amilase dan glukoamilase yang
dihasilkan oleh kapang. Kapang yang tumbuh pada
permukaan Wikau maombo telah diisolasi oleh Rahmatia
(2004). Aktifitas enzim dari kapang mengakibatkan
cita rasa yang lebih manis dan khas pada produk Wikau
maombo karena dibuat dari hasil perendaman dengan
air laut yang mengandung kadar garam sekitar 3.5%
(Basiru, 1999).
Bersamaan dengan hal tersebut Wahyuni, et al
(2011) telah melakukan penelitian mengenai pembuatan
Wikau maombo instan murni dan Wikau maombo instan
dengan berbagai suplemen. Kandungan zat gizi Wikau
maombo baik yang disuplementasi maupun tanpa
suplementasi menunjukkan kandungan yang bervariasi,
namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa
suplementasi dapat meningkatkan kandungan nilai gizi
protein dari produk. Hasil analisis kadar glukosa
dan pati menunjukkan bahwa Wikau maombo tanpa
suplementasi memiliki kadar glukosa dan pati yang
15
lebih tinggi dan diperoleh Wikau maombo yang paling
diminati yaitu pada suplementasi kacang hijau
sebesar 15 %. Penyimpanan Wikau maombo dengan
menggunakan plastik polipropilena pada suhu kamar
telah dilakukan selama lima bulan, menunjukkan bahwa
Wikau maombo yang disuplementasi dengan kacang
kedelai dan kacang merah memiliki daya simpan paling
kecil, dimana setelah penyimpanan tiga bulan pada
suhu kamar telah ditumbuhi oleh jamur sedangkan Wikau
maombo instan murni dan yang disuplementasi kacang
hijau, beras dan jagung masih dalam kondisi yang
baik.
Pengolahan Wikau maombo instan ini dilakukan
dengan Wikau maombo hasil olahan awal yang telah
direndam dalam air laut dan difermentasi kemudian
dikeringkan dengan tujuan untuk pengawetan layaknya
pengeringan pada gaplek. Wikau maombo kering inilah
yang kemudian dapat dibuat menjadi tepung yang
selanjutnya dapat dibuat menjadi produk beras analog
Wikau maombo instan.
16
Hasil penelitian Wahyuni, et al (2011)
menunjukkan perbandingan bahan tepung Wikau maombo
dan air dalam pembuatan Wikau maombo instan yang
baik dengan bentuk produk kenyal dan tidak berair
yaitu pada perbandingan tepung:air yaitu 10:9,5.
Dalam pengolahan menjadi produk instan pada ubi kayu
dilakukan pengukusan dan pengeringan. Pemasakan
ditujukan agar terjadi gelatinisasi dan pengembangan
granula pati. Pada proses gelatinisasi, ikatan
hidrogen yang mengatur integritas struktur granula
pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang
bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi
pembengkakan granula pati. Ketika granula
mengembang, amilosa akan keluar dari granula.
Granula hanya mengandung amilopektin, rusak, dan
terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
(Harper, 1981).
Pati yang mengalami gelatinisasi setelah
dikeringkan molekulnya dapat lebih mudah menyerap
air kembali dalam jumlah besar. Karena adanya
17
perendaman menjadikan tekstur produk semi-instan
menjadi lebih poros. Struktur pati yang poros
setelah pengeringan memudahkan air untuk meresap ke
dalam produk semi instan pada waktu rehidrasi. Sifat
inilah yang digunakan dalam pembuatan pangan instan
(Djuardi, 2011).
D. Beras Analog Wikau Maombo Instan Sebagai Salah SatuSumberdaya Pangan Lokal
Beras analog merupakan tiruan beras yang
terbuat dari bahan umbi-umbian atau serealia yang
bentuk maupun komposisi gizinya mirip seperti beras
(Samad, 2003). Beras analog didefinisikan sebagai
bahan pangan mirip beras padi, terbuat dari campuran
bahan baku lokal, seperti sagu, sorgum, umbi-umbian,
dan jagung (Info Iptek, 2012). Beras analog tersebut
dicetak hingga menyerupai bulir beras, sehingga
diharapkan masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi
beras bisa menjadikan produk beras analog Wikau
maombo instan menjadi bahan makanan pokok sehari-
hari. Seperti halnya bahan pangan lainnya, beras
18
analog juga memiliki waktu simpan tertentu. Waktu
simpan adalah waktu dimana produk pangan dapat
dikonsumsi dengan aman karena kandungan gizinya yang
masih baik dan belum ditumbuhi oleh mikroba-mikroba
perusak bahan pangan.
Selain itu, pengembangan teknologi pangan yang
berbasis pangan lokal dapat dilakukan untuk
menunjang program penganekaragaman pangan.
Beranekaragam serta jumlah yang sangat besar dari
produk pangan lokal tersebut, tentu sangat
berpotensi dalam mewujudkan kemandirian pangan
nasional. Di Indonesia banyak pangan lokal yang
berfungsi sebagai makanan pokok yang dapat dibuat
dengan bahan dasar ubi kayu diantaranya tiwul, gatot,
oyek (Balagopalan, 2002), dan kabuto serta Wikau
maombo (Amininah, 2008)
Keunggulan Wikau maombo instan yaitu mudah
mengkonsumsinya dimana hanya dengan mengukus produk
beras analog Wikau maombo instan selama kurang lebih
10 menit maka produk dapat langsung dikonsumsi.
19
Berdasarkan aspek nutrisi produk Wikau maombo instan
memiliki kandungan lemak, kalsium, zat besi, vitamin
A dan C yang berasal dari komposisi bahan dasar
Wikau maombo itu sendiri yaitu ubi kayu.
E. Kemasan Produk Wikau Maombo Instan
Dalam kehidupan sehari-hari, pangan merupakan
salah satu kebutuhan primer manusia. Seiring dengan
perkembangan teknologi, produk pangan pun mengalami
perkembangan, antara lain dari segi teknik
pengolahan, pengawetan, pengemasan dan
distribusinya. Hal tersebut memungkinkan suatu
produk pangan yang dihasilkan di suatu tempat dapat
diperoleh di tempat lain. Kebanyakan produk pangan
yang ada di pasaran telah dikemas sedemikian rupa
sehingga mempermudah konsumen untuk mengenali serta
membawanya.
Secara umum, kemasan pangan merupakan bahan
yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus
pangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak
langsung dengan pangan. Menurut Buckle et al. (1987)
20
menyatakan, kemasan yang dapat digunakan sebagai
wadah penyimpanan harus memenuhi beberapa
persyaratan, yakni dapat mempertahankan mutu produk
supaya tetap bersih serta mampu memberi perlindungan
terhadap produk dari kotoran, pencemaran, dan
kerusakan fisik, serta dapat menahan perpindahan gas
dan uap air.
Bahan yang umum digunakan sebagai kemasan
pangan antara lain adalah plastik, kertas, karton,
selofan, kaca/gelas, keramik, logam atau campuran
logam dan plastik. Bahan-bahan tersebut memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Salah satu
jenis kemasan bahan pangan yaitu plastik. Beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan
bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut,
keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan
yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah
kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas
dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada
produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan
21
pada produk bubuk dan pelunakan pada produk kering
(Syarief et al., 1989).
Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda
dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau
pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering
harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen
dengan cara menggunakan bahan pengemas yang
mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut
(Purnomo dan Adiono, 1987). Produk kering terutama
yang bersifat hidrolik harus dilindungi terhadap
masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki
ERH yang rendah oleh sebab itu harus dikemas dengan
kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah
untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi
merekat atau produk-produk tepung menjadi basah
sehingga tidak lagi bersifat mawur (Syarief et al.,
1989).
Plastik merupakan bahan pengemas yang penting
dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dari
kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatife
22
rendah dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk
dan mengurangi biaya transportasi. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan
pangan antara lain sifat bahan pangan, kondisi
lingkungan, dan jenis bahan pengemas yang digunakan.
Hubungan jenis bahan pengemas dengan daya awet bahan
pangan yang dikemas ditentukan berdasarkan
permeabilitasnya. Permeabilitas merupakan transfer
molekul air atau gas melalui kemasan baik dari
produk ke lingkungan ataupun sebaliknya.
Integritas suatu produk pangan ketika dikemas
ditentukan oleh kemampuan bahan dan sistem
kemasannya dalam menahan kerusakan selama proses
penanganan, distribusi dan proses lain yang terlibat
hingga produk sampai ke tangan konsumen.
Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan
kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah
gas yang baik dan luas permukaan yang kecil
menyebabkan masa simpan produk lebih lama. Kemasan
plastik memiliki nilai permeabilitas pada suhu
23
tertentu. Semakin naik suhu penyimpanan suatu produk
pangan maka nilai permeabilitas semakin kecil
(Lastriyanto et al., 2007). Data sekunder nilai
permeabilitas uap air beberapa kemasan plastik pada
suhu 300C dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Permeabilitas beberapa jenis plastik padasuhu 300C dan Po=31,82 mmHg
Jeniskemasan
Permeabilitasuap air
(g/m2.mmHg.hari)
LDPE 0,5MDPE 0,3HDPE 0.1PP 0,185
Sumber : Arpah et al. (2002)
Permeabilitas uap air kemasan merupakan
kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu
unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu akibat
adanya perbedaan tekanan uap air antara produk
dengan lingkungan pada suhu dan kelembaban tertentu.
Semakin luas permukaan kemasan yang digunakan maka
uap air yang masuk ke lingkungan akan semakin tinggi
dan akan tersebar lebih meluas di dalam kemasan,
sehingga kadar air kritis produk pun akan segera
24
tercapai dan umur simpan produk tidak lama
(Robertson, 2010).
Polipropilena berasal dari monomer propilena
yang diperoleh dari pemurnian minyak bumi.
Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik
yang ringan, densitas 0,90 – 0,92, memiliki
kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan
bersifat kurang stabil terhadap panas dikarenakan
adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi
dan penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu
kimia yang baik sebagai bahan polimer dan tahan
terhadap pemecahan karena tekanan (stress-cracking)
walaupun pada temperatur tinggi. Plastik
polipropilena merupakan jenis plastik yang baik
sebagai barrier terhadap uap air pada produk karena
memiliki permeabilitas uap air yang rendah. Semakin
kecil nilai permeabilitas uap air kemasan, maka umur
simpan produk pangan yang dikemas akan semakin lama
(Manley, 2000).
25
Sifat-sifat kemasan polipropilena (PP) menurut
Buckle et al., (2007) antara lain sebagai berikut:
1.Mengkilap dan tidak mudah sobek.
2.Plastik polipropilena lebih kaku daripada
polietilena.
3.Memiliki daya tembus atau permeabilitas uap air
yang rendah.
4.Memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak.
5.Tahan terhadap suhu tinggi.
F. Aktivitas air
Aktivitas air (singkatan: aw) adalah sebuah
angka yang menghitung intensitas air di dalam unsur-
unsur bukan air atau benda padat. Secara sederhana,
aktivitas air adalah ukuran dari status energi air
dalam suatu sistem. Hal ini didefinisikan sebagai
tekanan uap dari cairan yang dibagi dengan air murni
pada suhu yang sama. Semakin tinggi suhu biasanya aw
juga akan naik, kecuali untuk benda yang yang
mengkristal seperti garam atau gula. Semakin tinggi
26
aw dalam sebuah benda, akan lebih menopang kehidupan
mikroorganisme.
Bakteri biasanya memerlukan aw paling tidak
0,91 untuk hidup dalam produk pangan dan jamur
paling tidak memerlukan aw 0,7 untuk tumbuh. Air yang
terkandung dalam suatu benda akan berpindah dari
benda dengan aw
tinggi ke benda dengan aw rendah. Sebagai contoh,
jika madu (aw ≈ 0.6) ditempatkan di udara terbuka
yang lembap (aw ≈ 0.7), maka madu akan menyerap air
dari udara. Definisi dari aw yaitu aw = P/Po, dimana
p adalah tekanan uap air di dalam benda dan p₀
adalah tekanan uap air murni pada temperatur yang
sama (Anonim1, 2012).
Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air yang
tidak terikat atau bebas dalam sistem dan dapat
menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas
air merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroba,
produksi racun, reaksi enzimatis, dan reaksi kimia
lainnya (Mercado dan Canovas, 1996). Air dalam bahan
27
pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut
dari beberapa komponen.
Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila
terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar
digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun
aktivitas kimia hidrolik (Syarief dan Halid, 1993).
Kadar air dalam bahan pangan berkaitan erat dengan
daya awet produk. Pengurangan air baik dalam
pengeringan atau penambahan bahan lain bertujuan
untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan
terhadap kerusakan kimiawi maupun mikrobilologi
(Fennema, 1985). Aktivitas air merupakan faktor
penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering
selama penyimpanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan
aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan
umur simpan suatu produk pangan karena faktor ini
akan mempengaruhi sifat fisik, sifat fisiko-kimia,
perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis,
dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang
28
tidak diolah. Sifat-sifat yang dimaksud di atas
diantaranya, kekerasan, kekeringan, dan pencoklatan
non-enzimatis (Winarno dan Jenie, 1983). Selama
penyimpanan akan terjadinya proses penyerapan uap
air dari lingkungan yang menyebabkan produk kering
mengalami penurunan mutu menjadi lembab/tidak renyah
(Robertson, 2010).
Menurut Labuza (1982), hubungan antara
aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah
sebagai berikut:
1. Pada selang aktivitas air sekitar 0.7 – 0.75 atau
lebih, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh
dan produk menjadi beracun.
2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6 – 0.7,
jamur dapat mulai tumbuh.
3. Aktivitas air sekitar 0.35 – 0.5 dapat
menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya.
4. Pada selang aktivitas air 0.4 – 0.5, produk pasta
yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh
selama dimasak atau karena goncangan mekanis.
29
Dalam keadaan setimbang, aktivitas air sering
dihubungkan dengan kelembaban relatif keseimbangan
(equilibrium relative humidity = ERH) dari lingkungan, yaitu
kelembaban udara saat terjadinya kadar air
kesetimbangan sehingga dapat dirumuskan sebagai
berikut:
aw = ERH/100
Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu
sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat
lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan
seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain,
peranan air dalam pangan biasanya dinyatakan dalam
kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air
di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan
kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya
kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan
lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya.
Indonesia merupakan negara subtropis yang memiliki
kadar kelembaban udara lingkungan sekitar RH 70%-
80%, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata RH
30
penyimpan suatu bahan pangan di Indonesia akan
berkisar pada kelembaban udara tersebut (Hadi,
2008).
G. Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis
Kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan
adalah kadar air bahan pangan ketika uap air bahan
tersebut dalam kondisi setimbang dengan
lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami
penambahan atau pengurangan bobot produk (Fellows,
1990). Pengertian ini sejalan dengan definisi yang
dikemukakan Heldman dan Singh (1981) bahwa kadar air
kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan
tersebut saat tekanan uap air bahan dalam kondisi
setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban
relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan
dinyatakan sebagai kelembaban relatif kesetimbangan
(equilibrium relative humidity/ ERH).
Kadar air kesetimbangan penting untuk
menentukan bertambah atau berkurangnya kadar air
bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban
31
relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban
relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan
menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban
relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif
bahan maka bahan akan menguapkan air yang
dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992).
Penambahan atau penurunan bobot sampel selama
penyimpanan menunjukkan fenomena hidratasi. Uap air
akan berpindah dari lingkungan ke produk atau
sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan.
Perpindahan uap air ini terjadi sebagai akibat
perbedaan RH lingkungan dan produk, dimana uap air
akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah.
Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan
lingkungan ditandai oleh bobot sampel yang konstan.
Bobot yang konstan ditandai oleh selisih penimbangan
berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel
yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih
dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di
atas 90% (Adawiyah, 2006).
32
Terdapat dua metode untuk menentukan kadar air
kesetimbangan yaitu dengan metode statis dan
dinamis. Metode statis dilakukan dengan cara
meletakkan bahan pangan pada tempat dengan RH dan
suhu yang terkontrol. Dalam metode dinamis, kadar
air kesetimbangan ditentukan dengan meletakkan bahan
pangan pada kondisi udara bergerak. Metode dinamis
sering digunakan untuk pengeringan, dimana
pergerakan udara digunakan untuk mempercepat proses
pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air
disekitar bahan (Brooker et al., 1992).
Kurva sorpsi isotermis merupakan kurva yang
menggambarkan hubungan antara aktivitas air (aw)
atau kelembaban relatif kesetimbangan pada ruang
penyimpanan (ERH) dengan kandungan air per gram
suatu bahan pangan (Winarno, 2004). Kurva ini
menunjukkan aktivitas menyerap air (adsorpsi) dan
melepaskan air yang dikandung (desorpsi) pada bahan
pangan sehingga banyak digunakan dalam penentuan
33
umur simpan, penyimpanan, pengemasan dan
pengeringan.
Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan
pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Kurva
adsorpsi (penyerapan uap air) dan kurva desorpsi
(pelepasan uap air) tidak pernah berhimpit, keadaan
seperti ini disebut sebagai fenomena histerisis.
Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam
tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami
bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama
perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau
adsorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama
desorpsi atau adsorpsi (Fennema, 1996).
Menurut Mir dan Nath (1995), pengetahuan
tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan
sangat membantu sekali dalam penentuan jenis
pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan
karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta
masa simpannya sehingga pertumbuhan mikroba yang
sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat
34
dihindari. Selain itu berguna juga untuk menghitung
waktu pengeringan, memprediksikan kondisi
keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan
nilai aw yang berbeda.
H. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Model matematika untuk persamaan sorpsi
isothermis telah banyak dikembangkan oleh para ahli
secara teoritis, semi teoritis maupun empiris.
Model-model matematik tersebut tidak dapat
menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isothermis
dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis
salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis.
Tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis tersebut
untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka
model-model persamaan yang sederhana dan lebih
sedikit jumlah parameternya akan lebih cocok
digunakan (Labuza, 1982).
Secara empiris, Henderson mengemukakan
persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar
air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban
35
relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah
satu persamaan sorpsi isotermis yang paling banyak
digunakan pada kebanyakan bahan pangan kering
terutama biji-bijian.
Berikut model persamaan Hederson:
1-aw =exp (-KMen) (1)
Keterangan:
Me = kadar air kesetimbangan
K dan n = konstanta
Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan
model yang berlaku untuk kebanyakan bahan pangan
pada aw 0,0 sampai 0,85. Berikut model persamaan
Caurie:
ln Me = ln P1-P2*aw (2)
Hasley mengembangkan persamaan yang dapat
menggambarkan proses kondensasi pada lapisan
multilayer. Persamaan ini dapat digunakan untuk
bahan makanan dengan aw antara 0,1 sampai 0,81.
Berikut model persamaan Hasley:
Aw=exp [-P1/(Me)P2] (3)
36
Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan
pangan pada aw 0,0 sampai 0,85 dan cocok untuk kurva
sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Berikut
model persamaan Oswin:
Me = P1 [aw/(1-aw)]P2 (4)
Chen Clayton juga telah membuat model
matematika yang berlaku untuk semua bahan pangan
pada semua nilai aw. Berikut model persamaan Chen
Clayton:
Aw= exp[-P1/exp(P2*Me)] (5)
Keterangan:
Aw = aktivitas air
P1 dan P2 = konstanta
Persamaan-persamaan tersebut kemudian di uji
ketetapannya dengan menghitung nilai MRD. Jika nilai
MRD < 5 maka model sorpsi ishotermis tersebut dapat
menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sangat
tepat. Jika model sorpsi isotermis dengan 5 < MRD <
10 maka model tersebut agak tepat menggambarkan
keadaan sebenarnya dan jika MRD > 10 maka model
37
tersebut tidak tepat menggambarkan kondisi
sebenarnya.
MRD = 100n ∑i=1
n |A−BA | (6)
Keterangan:
A = Kadar air Percobaan
B = Kadar air hasil perhitungan
n = Jumlah data
Semakin kecil nilai MRD yang diperoleh maka
semakin tepat kurva model persamaan tersebut dalam
menggambarkan kondisi kadar air kesetimbangan hasil
percobaan atau dengan kata lain semakin kecil nilai
MRD maka semakin tepat pula model tersebut dalam
menggambarkan fenomena sorpsi isotermis yang terjadi
(Tarigan et al., 2006).
I. Umur Simpan
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi
yang terjadi di dalam produk pangan bersifat
akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga
38
pada saat tertentu hasil reaksi tersebut
mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi
(Syarief dan Halid, 1993). Istilah lain yang
digunakan adalah use by date yang menyatakan produk
tidak dapat lagi dikonsumsi, karena berbahaya bagi
kesehatan manusia (produk yang sangat mudah rusak
oleh mikroba) setelah tanggal yang tercantum
terlewati (Ellis, 1994).
Menurut Institute of Food Technologist, umur simpan
adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat
konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang
memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma,
tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor Association
mendefinisikan umur simpan sebagai berikut yaitu
suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur
simpannya bila kualitas produk secara umum dapat
diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh
konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki
integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan
Syarief, 2000). Peraturan mengenai penentuan umur
39
simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7
tahun 1996 dan PP No. 69 tahun 1999. Informasi umur
simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik
produsen, konsumen, penjual, dan distributor
(Setiawan, 2005). Pada saat baru diproduksi, mutu
produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun
sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi.
Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan
akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu,
nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et
al. 2003).
Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan
suatu produk dilakukan dengan mengamati produk
selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang
tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan
umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan
yang terjadi pada produk selama selang waku
tertentu. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa
perubahan mutu pangan dapat diketahui dari perubahan
faktor-faktor mutunya. Oleh karena itu, untuk
40
menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan
pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.
Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang
mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas
adalah sebagai berikut:
1. Keadaaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan
terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.
2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume.
3. Kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban,
dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan
sebelum digunakan.
4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar
masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan,
penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.
Selain itu. terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi penurunan mutu produk pangan. Floros
dan Guanasekharan (1993) menyatakan terdapat enam
faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan
41
mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa
oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi
atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor.
Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti
oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan
protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan,
perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan
terbentuknya racun.
Umur simpan produk pangan dapat diduga dan
kemudian ditetapkan umur simpannya dengan
menggunakan dua konsep yaitu dengan metode
konvesional (Extended Storage Studies) dan metode
percepatan (Accelerated Shelf Life Testing). Metode
konvensional adalah penentuan umur simpan dengan
cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal
sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap
penurunan mutunya hingga mencapai tingkat
kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun
membutuhkan waktu yang panjang dan analisis
42
parameter mutu yang relatif banyak. Biasanya metode
konvensional digunakan untuk produk yang mempunyai
masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan. Metode ASLT
menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat
mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan.
Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian
yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki
ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001).
J. Metode ASLT (Accelerated Shelf-Life Testing)
Penentuan umur simpan produk dengan metode ASLT
dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi
lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan
mutu (usable quality) produk pangan. Salah satu
keuntungan metode ASLT yaitu waktu pengujian relatif
singkat (1−2 bulan), namun ketepatan dan akurasinya
tinggi. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan
asumsi-asumsi yang mendukung model tersebut. Variasi
hasil prediksi antara model yang satu dengan yang
lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat
ketidak-sempurnaan model dalam mendiskripsikan
43
sistem, yang terdiri atas produk, bahan pengemas,
dan lingkungan (Arpah, 2001).
Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan
dalam perhitungan umur simpan menurut Gunasekharan
dan John (1993) adalah sebagai berikut:
1. Mekanisme kerusakan yang terjadi sangat
tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial
oksigen, kelembaban relatif, dan temperatur) dan
faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air,
dan sebagainya).
2. Laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan
menghubungkan beberapa hasil penilaian
organoleptik dan toksikologi.
3. Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga
karakteristik penyerapan hanya tergantung pada
bahan kemasan saja.
Tahapan penentuan umur simpan dengan ASLT
meliputi penetapan parameter kriteria kedaluwarsa,
pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan suhu
untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi
44
pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi,
analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis
organleptik untuk pendekatan kadar air kritis.
Penentuan umur simpan dengan ASLT perlu
mempertimbangkan faktor teknis dan ekonomis dalam
distribusi produk yang di dalamnya mencakup
keputusan manajemen yang bertanggung jawab.
Penggunaan suhu inkubasi untuk mengetahui umur
simpan produk disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Penentuan suhu pengujian umur simpanproduk.
Jenis produkSuhu
pengujian(ºC)
Suhukontrol(ºC)
Makanan kaleng
25, 30, 35, 40 4
Pangan Kering
25, 30, 35, 40, 45 -18
Pangan dingin 5, 10, 15, 20 0
Pangan beku -5, -10, -15 <-40Sumber: Labuza dan Schmidl (1985).
Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat
dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model
Arhenius dan model kadar air kritis.
1. Model Arrhenius
45
Model Arrhenius umumnya digunakan untuk
menduga umur simpan produk pangan yang sensitif
terhadap perubahan suhu, diantaranya produk
pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi
lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan,
atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius
adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim,
dimana produk pangan akan lebih cepat rusak,
kemudian umur simpan produk ditentukan
berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan.
Oleh karena itu, umur simpan yang diperoleh
merupakan nilai perkiraan yang validitasnya
sangat ditentukan oleh model matematika yang
diperoleh dari hasil percobaan. Contoh produk
yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model
Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial,
susu UHT, susu bubuk, produk snack, meat produk,
produk pasta, jus buah, mie instant, tepung-
tepungan, kacang-kacangan, dan produk lain yang
mengandung lemak tinggi atau mengandung gula
46
pereduksi dan protein yang memungkinkan
terjadinya oksidasi lemak atau reaksi pencoklatan
(Kusnandar, 2006).
Pendugaan umur simpan dengan metode ASLT
pada prinsipnya sangat bertumpu pada model
Arrhenius, yaitu upaya mempercepat penurunan umur
simpan dengan meningkatkan suhu secara terukur.
Secara umum, rumus umum penurunan mutu adalah:
-dQ/dt = kQn
Pengujian laju kerusakan mutu biasanya
dilakukan pada minimal tiga suhu yang berbeda.
Nilai konstanta laju penurunan mutu (k) dapat
ditentukan berdasarkan persamaan Arrhenius,
dimana nilai k merupakan fungsi suhu. Selanjutnya
masa kadaluarsa (ts) produk ditentukan dengan
persamaan ts = (Qo-Qs)/k untuk laju reaksi ordo
nol dan ts = [ln(Qo/Qs)]/k untuk reaksi ordo 1,
dimana Qo adalah nilai mutu awal dan Qs adalah
nilai mutu akhir. Berikut ini adalah persamaan
Arrhenius:
47
k = k0.exp (–Ea/RT)
dimana:
k = konstanta laju penurunan mutu
k0 = konstanta (faktor frekuensi yang tidak
tergantung suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak
R = konstanta gas (8.314 J/mol.K =
1.986kal/mol.K)
2. Model Kadar Air Kritis
Model kadar air kritis biasanya digunakan
untuk produk pangan yang relatif mudah rusak
akibat penyerapan uap air dari lingkungan. Dalam
metode kadar air kritis ini kerusakan produk
semata-mata disebabkan oleh penyerapan air dari
lingkungan hingga mencapai batas yang tidak dapat
diterima secara organoleptik. Kadar air pada
kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima
oleh konsumen secara organoleptik disebut kadar
air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan
48
pada standar mutu organoleptik yang spesifik
untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan
oleh produk untuk mencapai kadar air kritis
menyatakan umur simpan produk. Pada metode
pendekatan kadar air kritis ini, produk pangan
kering disimpan pada kondisi lingkungan
penyimpanan yang memiliki kelembaban relatif
tinggi, sehingga akan mengalami penurunan mutu
akibat menyerap air (Labuza, 1982).
Model kadar air kritis dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan
kurva sorpsi isotermis. Pendekatan kurva sorpsi
isotermis digunakan untuk produk yang mempunyai
kurva isotermis yang biasanya berbentuk sigmoid
(bentuk S). Penentuan umur simpan produk pangan
dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi
isotermis memperhitungkan pengaruh perbedaan
kadar air awal dibandingkan dengan kadar air
kritis, perbedaan tekanan udara di luar dan di
dalam kemasan, permeabilitas uap air kemasan, dan
49
luas kemasan. Keseluruhan faktor yang
mempengaruhi umur simpan ini diformulasikan oleh
Labuza menjadi persamaan kadar air kritis
(Labuza, 1982). Persamaan Labuza ini dapat
digunakan untuk menentukan umur simpan produk
pada suhu dan kondisi RH tertentu. Persamaan
tersebut merupakan model pendekatan kurva sorpsi
isotermis:
θ=ln(Me−Mi)/(Me−Mc)
kx ( AWs ) Pob
Keterangan:
𝜃 = Waktu perkiraan umur simpan (hari)
Me = Kadar air keseimbangan perhitungan RH 75%
sesuai model isoterm sorpsi yang terpilih (%)
Mi = Kadar air awal produk (%)
Mc = Kadar air kritis pada RH 75% (%)
/𝑘 𝑥 = Konstanta permeabilitas uap air kemasan
(g/m2.hari.mmHg)
A = Luas permukaan kemasan (m2)
50
Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g
padatan)
Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
b = Kemiringan kurva sorpsi isotermis
terpilih
K. Kerangka Pemikiran
Beras analog merupakan suatu alternatif bahan
pangan yang dapat dikonsumsi sebagai penganti beras,
dimana beras analog tersebut dapat dibuat dari bahan
baku seperti ubi, jagung dan sagu. Keuntungan beras
analog yaitu murah, bahan baku mudah diperoleh, dan
merupakan bahan pangan yang telah biasa dikonsumsi
oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut Wahyuni et
al (2011) telah melakukan penelitian mengenai
kandungan gizi produk beras analog Wikau maombo
instan yang dapat menjadi bahan makanan pokok
sehari-hari sebagai penganti beras. Beras analog
Wikau maombo instan ini harus memiliki persyaratan
untuk kelayakannya agar dapat dikonsumsi di
masyarakat sebagai bahan pangan.
51
Salah satu persyaratan tersebut yaitu produk
beras analog Wikau maombo instan ini harus memiliki
umur simpan. Umur simpan merupakan periode waktu
suatu produk pangan aman untuk dikonsumsi dan masih
memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen.
Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan
pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan
PP No. 69 tahun 1999. Informasi umur simpan produk
sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen,
konsumen, penjual, dan distributor.
Pendugaan umur simpan beras analog Wikau maombo
instan dapat ditentukan dengan metode konvensional
namun metode ini memerlukan waktu yang lama
dikarenakan pengamatan terhadap penurunan mutu
produk dilakukan pada kondisi normal sehari-hari.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode pendugaan
umur simpan yang relatif lebih singkat, namun tetap
memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat. Metode
pendugaan umur simpan dapat yang relatif lebih
singkat tersebut dapat dilakukan dengan metode ASLT
52
(Accelerated Shelf Life Testing), yaitu dengan cara
menyimpan produk pangan pada lingkungan yang
menyebabkannya cepat rusak, baik pada kondisi suhu
atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi.
Data perubahan mutu selama penyimpanan diubah
dalam bentuk model matematika, kemudian umur simpan
ditentukan dengan cara ekstrapolasi persamaan pada
kondisi penyimpanan normal. Berdasarkan hal
tersebut, dalam penelitian ini ingin diketahui
bagaimana metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat
diterapkan pada produk pangan beras analog Wikau
maombo instan agar diperoleh umur simpan produk
pangan tersebut sehingga diketahui batas waktu yang
aman untuk dapat dikonsumsi masyarakat sebagai bahan
pangan pengganti beras.