BAB II perbaikkan

34
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik. Dalam rangka menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik

Transcript of BAB II perbaikkan

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang

mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis

atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang

otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat

publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh

otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat

dari publik atau orang banyak, umumnya melalui

suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama

rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan

dilaksanakan oleh administrasi negara yang di

jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama

kebijakan publik dalam negara modern adalah

pelayanan publik.

Dalam rangka menyeimbangkan peran negara yang

mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik

dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan

pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok

dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta

mencapai amanat konstitusi. Dimana pemerintah yang

baik (good governance) sangat penting dibutuhkan

untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam rangka

pengelolaan sumberdaya alam secara adil. Intervensi

negara harus lebih difokuskan pada bidang pelayanan

umum, seperti pemberian pelayanan kesehatan. Adapun

definisi kebijakan publik adalah sebagai berikut

menurut Chief J.O (2001) ( Abdul Wahab, 2005:5). ”

Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan

tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu

yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian

besar warga masyarakat”.

Kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis

daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai

sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah

terangkum preferensi-preferensi politis dari para

aktor yang yang terlibat dalam proses kebijakan,

khususnya pada proses perumusan.

Berikutnya Nugroho sendiri (2008: 54) sendiri

mendefinisikan kebijakan Publik sebagai berikut :

“Kebijakan Publik adalah keputusan yang dibuatoleh negara, khususnya pemerintah, sebagaistrategi untuk merealisasikan tujuan negarayang bersangkutan . Kebijakan Publik adalahstrategi untuk mengantar masyarakat pada masaawal, memasuki masyarakat pada masa transisi,untuk menuju pada masyarakat yang di cita-citakan.”

Kebijakan publik merupakan keputusan politik

yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah.

Karena itu karakteristik khusus dari kebijakan

publik adalah bahwa keputusan politik tersebut

dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino,

2006:42) sebagai “otoritas” dalam sistem politik

yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif,

legislatif, para hakim, administrator, penasehat,

para raja, dan sebagainya.” Selanjutnya Easton

menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas

dalam sistem politik dalam rangka memformulasikan

kebijakan publik itu adalah:

“Orang-orang yang terlibat dalam urusan sistem

politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab

dalam suau masalah tertentu dimana pada satu titik

mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian

hari yang diterima serta mengikat sebagian besar

anggota masyarakat selama waktu tertentu”.

Sebuah kebijakan memiliki beberapa tahap dimulai

dari formulasi kebijakan, implementasi, sampai pada

evaluasi kebijakan. Dimana dalam penelitian ini

peneliti mengangkat mengenai masalah implementasi

suatu kebijakan dari pada Peraturan Daerah Kabupaten

Sumedang nomor 3 tahun 2012 tentng Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dan kaitannya dengan kemacetan yang

terjadi di jalan Mayor Abdurrahman Sumedang.

2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

Suatu implementasi kebijakan pada prinsipnya

adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai

tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang digunakan

untuk mengimplementasikan suatu kebijakan publik.

Perlu kiranya disadari bahwa mempelajari masalah

implementasi kebijakan berarti berusaha untuk

memahami apa yang senyatanya terjadi setelah

program diberlakukan atau dirumuskan, yakni

peristiwa dan kegiatan yang terjadi setelah proses

pengesahan kebijakan publik.

Budi Winarno (2008 :144) menyatakan bahwa :

“ Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertianyang luas merupakan tahap dari proses kebijakansegera setelah penetapan Undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan program-program. Impelementasidipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaanUndang-undang, kebijakan-kebijakan dan program-program dimana berbagai aktor, organisasi, prosedurdan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankankebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuankebijakan. Implementasi pada sisi yang lain yangmerupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapatdipahami sebagai proses, suatu keluaran (output)maupun sebagai suatu dampat (outcome). “

Guna memperoleh pemahaman yang baik mengenai

implementasi kebijakan publik kita jangan hanya

menyoroti perilaku lembaga-lembaga administrasi atau

badan-badan yang bertanggung jawab atas suatu

program beserta pelaksanaanya terhadap kelompok-

kelompok sasaran, tetapi juga perlu memperhatikan

berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan

sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh

terhadap prilaku dari berbagai pihak yang terlibat

dalam suatu program yang pada akhirnya membawa

dampak pada program tersebut. Eugene (2001:3)

(Agustus, 2006:153) mengungkapkan kerumitan dalam

proses implementasi sebagai berikut:

“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dankebijaksanaan umum yang kelihatannya bagus di ataskertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakanbagi telinga para pemimpin dan para pemilih yangmendegarkannya. Dan lebih sulit lagi untukmelaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semuaorang”

Kebijakan-kebijakan dapat dimodifikasi untuk

menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan

kelompok dan individu, yang dengan demikian tujuan

umum dari kebijakan tersebut dapat saja dibelokan.

Mengingat bahwa dalam banyak kasus para pelaksana

kebijakan-kebijakan publik tersebut adalah

administrator publik, maka tidak heran apabila

kemudian mereka pulalah yang paling sibuk

memodifikasikan kebijakan itu sendiri demi

kepentingan rezim. Grindle (2000:15) (dalam Abdul

Wahab, 2008:221) mengikhtisarkan keadaan tersebut

dengan menyatakan sebagai berikut :

“Hingga derajat yang paling besar bila dibandingkan

dengan sistem-sistem politik di Amerika Serikat dan

Eropa Barat, proses implementasi kebijakan publik di

negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah

merupakan pusat partisipasi politik dan persaingan

politik”.

Beberapa definisi implementasi kebijakan dari para

tokoh antara lain adalah : Bardach (Agustino,

2006:54) mengemukakan: ” Adalah cukup untuk membuat

sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatanya

bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya

dalam kata – kata dan slogan- slogan yang

kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin

dan para pemilih yang mendengarkanya. Dan lebih

sulit lagi untuk melaksanakanya dalam bentuk yang

memuaskan orang”.

Metter dan Horn (2005) (dalam Agustino, 2006:139)

mengatakan ”Implementasi kebijakan ialah tindakan-

tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu

atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan

dalam keputusan kebijakan”.

Mazmanian dan Sabatier (2003:61) (dalam Agustino,

2006:139) implementasi kebijakan adalah :

” Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanyadalam bentuk undang-undang, namun dapat pulaberbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusaneksekutif yang penting atau keputusan badanperadilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikanmasalah yamg ingin diatasi, menyebutkan secara tegastujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagaicara untuk menstrukturkan atau mengatur prosesimplementasinya.”

Jenkins (2008:203) (dalam Parsons, 2006:463 )

”studi implementasi adalah studi perubahan,

bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan

perubahan bisa dimunculkan”.

Dari definisi tersebut di atas dapat

diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut

(minimal) tiga hal yaitu:

(1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan,

(2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan

dan

(3) adanya hasil kegiatan.

Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan

bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses

yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan merupakan

suatu proses yang dinamis dimana pelaksana kegiatan

melakukan suatu kegiatan. Sehingga pada akhirnya

akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan

tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan

oleh Lester dan Stewart (2000:104) (dalam Agustino

2006:139) menyatakan bahwa:

”Implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil

(output) keberhasilan suatu implementasi kebijakan

dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian

tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau

tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.”

Sama halnya dengan apa yang diutarakan oleh

Grindle (2000) (Agustino 2006:154), yaitu

”Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat

dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah

pelaksanaan program sesuai dengan yang telah

ditentukan yaitu melihat pada action program dari

individual projects dan yang kedua apakah tujuan

program tersebut tercapai.”

Dari beberapa definisi implementasi dapat

disimpulkan bahwa implementasi dapat diartikan

sebagai proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah

dirumuskan sebelumnya dalam rangka mencapai tujauan

yang telah ditetapkan. Perlu pula di tambahkan bahwa

proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi

oleh macam tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dan

oleh cara tujuan-tujuan itu dirumuskan . Dengan

demikian implementasi kebijakan merupakan hal yang

sangat peting dalam keseluruhan tahapan kebijakan,

karena melalui tahap ini keseluruhan prosedur

kebijakan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan

atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan tersebut.

2.1.3 Model-Model Implementasi Kebijakan

Dalam literatur ilmu kebijakan terdapat beberapa

model implementasi kebijakan publik yang lazim

dipergunakan. Beberapa model implementasi

kebijakan disumbangkan oleh para ahli diantaranya

model implementasi kebijakan disumbangkan dari

pemikiran Donald Van Meter dan Carl Van Horn

dengan A Model of The Policy Implementation,

Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dengan A

Framework for Policy Implementation Analysis, dan

Merille S. Grindle dengan Implementation as A

Political and Administration Process.

Guna pembatasan dalam penelitian ini maka

peneliti memilih menggunakan teori Merille S.

Grindle karena dianggap relevan dengan materi

pembahasan dari objek yang diteliti. Hal ini bukan

berarti bahwa peneliti men-justifikasi teori-teori

lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori

implementasi kebijakan publik, melainkan lebih

kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus

terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui

penelitian ini.

Implementasi Kebijakan Model Merille S.

Grindle

Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan

konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa

setelah kebijakan ditransformasikan, barulah

implementasi kebijakan hasilnya ditentukan oleh

implementability. (Nugroho, 2008:445) Menurutnya

keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat

dari dua hal, yaitu:

1) Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakanapakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yangditentukan (design) dengan merujuk pada aksikebijakannya.

2) Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi inidiukur dengan melihat dua faktor, yaitu: a. Impak atau efeknya pada masyarakat secaraindividu dan kelompok.

b. Tingkat perubahan yang terjadi sertapenerimaan kelompok sasaran dan perubahanyang terjadi.

Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat

ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan

itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of

Policy dan Context of Policy, Grindle (2000)

(dalam Agustino 2006:1168).

Content of Policy menurut Grindle adalah

a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi.Berkaitan dengan berbagai kepentingan yangmempengaruhi suatu implementasi kebijakan.Indikator ini berargumen bahwa suatukebijakan dalam pelaksanaannya pastimelibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmanakepentingan-kepentingan tersebut membawapengaruh terhadap implementasinya.

b. Jenis manfaat yang bisa diperoleh. Pada poinini Content of Policy berupaya untukmenunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu

kebijakan harus terdapat beberapa jenismanfaat yang menunjukan dampak positif yangdihasilkan oleh pengimplementasian kebijakanyang hendak dilaksanakan.

c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Setiapkebijakan mempunyai target yang hendak daningin dicapai. Adapun yang ingin dijelaskanpada poin ini adalah bahwa seberapa besarperubahan yang hendak atau ingin dicapaimelalui suatu implementasi kebijakan harusmempunyai skala yang jelas.

d. Letak pengambilan keputusan. Pengambilankeputusan dalam suatu kebijakan mempunyaiperanan penting dalam pelaksanaan suatukebijakan, maka pada bagian ini harusdijelaskan di mana letak pengambilankeputusan dari suatu kebijakan yang hendakdiimplementasikan.

e. Pelaksana program. Dalam menjalankan suatukebijakan atau program harus didukung denganadanya pelaksana kebijakan yang kompeten dankapabel demi keberhasilan suatu kebijakan.Hal ini harus terdata atau terpapar denganbaik pada bagian ini.

f. Sumber-sumber daya yang digunakan.Pelaksanaan suatu kebijakan juga harusdidukung oleh sumber-sumberdaya yangmendukung agar pelaksanaannya berjalan denganbaik.

Context of Policy menurut Grindle adalah:

a. Kekuasaan, kepentingan-kepentingn danstrategi dari aktor yang terlibat. Dalamsuatu kebijakan perlu diperhitungkan pulakekuatan atau kekuasaan, kepentingan-kepentingan serta strategi yang digunakanoleh para actor guna memperlancar jalanyapelaksanaan suatu implementasi kebijakan.

Bila hal ini tidak diperhitungkan denganmatang, besar kemungkinan program yang hendakdiimplementasikan akan jauh panggang dariapi.

b. Karakteristik lembaga dan rezim yangberkuasa. Lingkungan di mana suatu kebijakandilaksanakan juga berpengaruh terhadapkeberhasilannya, maka pada bagian ini ingindijelaskan karakteristik dari lembaga yangakan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon daripelaksana. Hal lain yang dirasa penting dalamproses pelaksanaan suatu kebijakan adalahkepatuhan dan respon dari para pelaksana,maka yang hendak dijelaskan pada poin iniadalah sejauhmana kepatuhan dan respon daripelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Setelah pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi

oleh isi atau konten dan lingkungan atau

konteks yang diterapkan, maka akan dapat

diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam

membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang

diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu

kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan,

sehingga tingkat perubahan yang diharapkan

terjadi.

2.1.4 Faktor Penentu Pelaksanaan Kebijakan

Ada beberapa faktor yang menentukan sebuah

kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik, antara

lain adalah:

1. Respek Anggota Masyarakat Terhadap Otoritas dan

Keputusan Pemerintah; Dalam filsafat John Locke

dikatakan bahwa manusia memiliki keadaan ilmiah

(state of nature) yang besifat positif, pada

dasarnya manusia adalah baik. Manusia dapat

saling memberi, saling hormatmenghormati dan

saling tolong menolong. Ketika relasi ini

berjalan dengan baik, ada sistem sosial yang

menggerakan masyarakat untuk saling menghormati

dan memberikan respek yang baik pada otoritas

negara, undang-undang yang dibuat oleh politisi

serta memberikan kepercayaan kepada pejabat

pelaksana kebijakan. Hal ini akan terus

berlangsung selama masyarakat memiliki anggapan

yang logis untuk menghormati persoalan-persoalan

itu. Konsekwensinya adalah manusia telah dididik

untuk mematuhi peraturan yang dibuat oleh

pemerintah sebagai sesuatu yang membawa kebaikan

bagi kepentingan bersama.

2. Adanya Kesadaran Untuk Menerima Kebijakan; Pada

kehidupan yang semakin maju ini, dimana segala

hal dinilai secara rasional oleh masyarakat,

semakin banyak dijumpai baik oleh individu,

kelompok masyarakat maupun organisasi yang

beranggapan bahwa dalam kehidupan bernegara,

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah

sesuatu yang diperlukan untuk menyelesaikan

masalah sosial dimasyarakat. Seperti Kebijakan

yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta mengenai

pelarangan merokok di tempat umum, bagi

masyarakat rasional hal ini dianggap perlu,

karena berkaitan dengan kebaikan bersama. Namun

dilain pihak, masih saja ada yang tidak mematuhi

kebijakan yang telah dibuat tersebut, karena

menurut sebagian masyarakat harus dikaji ulang

lagi.

3. Adanya Sanksi Hukum; Penerapan sanksi bagi

individu maupun kelompok yang tidak melaksanakan

kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah

merupakan cara yang cukup efektif untuk

pengimplementasian kebijakan. Alasannya

kebanyakan dari masyarakat tidak mau dan takut

menerima sanksi yang berupa denda yang cukup

tinggi maupun berupa kurungan penjara, selain itu

mereka tidak mau dianggap sebagai orang yang

telah melangar peraturan.

4. Adanya Kepentingan Publik; Masyarakat

berkeyakinan bahwa kebijakan yang telah dibuat

melalui proses yang sah. Pada dasarnya kebijakan

yang dibuat adalah sebagai solusi dari

permasalahan publik, sehingga mereka mau menerima

kebijakan tersebut, karena berkaitan dengan

kepentingan bersama / publik.

5. Adanya Kepentingan Pribadi; Seseorang atau

kelompok warga akan menerima sebuah kebijakan

dengan senang hati, karena dengan demikian akan

mendatangkan manfaat ataupun keuntungan secara

pribadi bagi mereka. Misalnya saja pada pembuatan

peraturan mengenai penggunaan internet,

pemerintah akan membatasi situs-situs tertentu

untuk melindungi penyalahgunaan pemakaian

internet. Akan tetapi dilain sisi pihak pengusaha

multimedia akan merasa dirugikan terhadap

peraturan tersebut.

2.1.5 Faktor Penentu Penolakan dan Penundaan

Kebijakan

Selain faktor penentu pelaksanaan kebijakan,

pada pelaksanaannya terdapat juga beberapa

faktor penentu penolakan dan penundaan

kebijakan, antara lain:

1. Adanya Kebijakan yang Bertentangan dengan

Sistem Nilai yang Ada; Apabila suatu

kebijakan dipandang bertentangan dengan

sistem nilai yang berlaku dimasyarakat,

maka pada pengimplementasiannya akan sulit

untuk dilaksanakan. Misalnya pada pembuatan

undang-undang anti pornografi, dimana

pemerintah mempunyai itikad baik untuk

mencegah terjadinya kebobrokan moral. Akan

tetapi dilain sisi tentunya hal ini

bertentangan dengan nilai-nilai yang

berlaku dimasyarakat khususnya kebudayaan

bangsa, sehingga menimbulkan penolakan-

penolakan dari berbagai kalangan

masyarakat.

2. Tidak Adanya Kepastian Hukum; Tidak

adanya kepastian hukum, ketidakjelasan

kebijakan yang berlaku akan cenderung

membuat masyarakat melanggar dan tidak

mematuhi peraturan tersebut. Karena

masyarakat akan beranggapan bahwa tidak

mematuhi peraturan tersebut juga tidak apa-

apa, tidak akan mendapat sanksi dari

pemerintah. Seperti peraturan tentang

pelarangan menjual CD/VCD/DVD bajakan,

tidak ada kepastian hukumnya, sehingga

banyak penjual di setiap sudut kota bahkan

di mal-mal menjualnya dengan bebas.

3. Adanya Keanggotaan Seseorang Dalam

Organisasi; Keanggotaan seseorang dalam

organisasi dapat menimbulkan penolakan

terhadap sebuah kebijakan, karena

kemungkinan kebijakan tersebut dapat

mengganggu kepentingannya, namun ada juga

karena keanggotaannya dalam sebuah

organisasi, seseorang mendukung kebijakan

yang telah dibuat oleh pemerintah. Misalnya

saja peraturan mengenai perlindugan hak-hak

lingkungan, bagi para aktivis lingkungan

hidup tentunya tanpa diminta pun akan

sangat mendukung kebijakan tersebut, akan

tetapi bagi kalangan industri akan sangat

menggangu aktivitas produksi mereka, karena

saat ini sangat sedikit industri yang

memiliki pengolahan limbah yang dapat

dikatakan layak, alasannya karena mahalnya

biaya pembuatan tempat pengolahan limbah.

Kenyataannya untuk membuat tempat

pengolahan limbah sama saja dengan biaya

mereka membangun satu pabrik produksi lagi.

4. Adanya Konsep Ketidakpatuhan Selektif

Terhadap Hukum; Pada prinsipnya, masyarakat

terdiri dari berbagai suku bangsa dan latar

belakang yang berbeda. Ada masyarakat yang

patuh pada suatu kebijakan tertentu, akan

tetapi pada saat yang bersamaan dia tidak

patuh pada kebijakan yang lainnya karena

adanya ketidakpatuhan selektif. Misalnya

saja pada perusahaan yang patuh terhadap

peraturan pemungutan pajak, tetapi pada

saat yang bersamaan perusahaan tersebut

tidak patuh terhadap jumlah pembayaran

pajak alias memanipulasi pembayaran pajak.

2.2 Deskripsi Kebijakan

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kewenangan

pemerintah daerah adalah mengatur sistem lalu

lintas dan angkutan jalan di wilayah

pemerintahannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota perlu

mengatur ketentuan mengenai lalu lintas dan

angkutan jalan di Kabupaten Sumedang. Pengaturan

mengenai lalu lintas dan angkutan jalan di

Kabupaten Sumedang tertuang dalam Perda Nomor 3

Tahun 2012 yang merupakan hasil persetujuan bersama

antara DPRD Kabupaten Sumedang dengan Bupati

Sumedang.

Peraturan daerah ini mempunyai posisi yang

strategis dan penting untuk memberikan motivasi

dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat

guna mewujudkan tata kehidupan kota Sumedang yang

lebih tenteram, tertib, nyaman, bersih dan indah.

yang dibangun berdasarkan partisipasi aktif seluruh

komponen masyarakat dalam berlalu lintas.

2.3 Deskripsi/teori tentang Lalu Lintas Dan Angkutan

Jalan

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang

Nomor 3 Tahun 2012 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan jalan, yang dimaksud dengan :

a. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satukesatuan sistem yang terdiri atas LaluLintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas danAngkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi,Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.

b. Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orangdi ruang lalu lintas jalan.

c. Angkutan adalah perpindahan orang dan/ataubarang dari satu tempat ke tempat lain denganmenggunakan Kendaraan di Ruang Lalu LintasJalan.

d. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasukbangunan pelengkap dan perlengkapannya yangdiperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yangberada pada permukaan tanah, di ataspermukaan tanah, di bawah permukaan tanah

dan/atau air, serta di atas permukaan air,kecuali jalan rel dan jalan kabel.

e. Ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yangdiperuntukan bagi gerak pindah kendaraan,orang, dan/atau barang yang berupa jalan danfasilitas pendukung.

f. Jaringan lalu lintas dan angkutan jalanadalah serangkaian simpul dan/atau ruangkegiatan yang saling terhubungkan untukpenyelenggaraan lalu lintas dan angkutanjalan.

g. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalanadalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, danPerlengkapan Jalan yang meliputi marka,rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alatpengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alatpengawasan dan pengamanan Jalan, sertafasilitas pendukung.

h. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalahserangkaian usaha dan kegiatan yang meliputiperencanaan, pengadaan, pemasangan,pengaturan, dan pemeliharaan fasilitasperlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan,mendukung dan memelihara keamanan,keselamatan, ketertiban, dan kelancaran LaluLintas.

i. Pengawasan lalu lintas jalan adalahserangkaian tindakan yang dilakukan olehpetugas dinas untuk mengadakan pemeriksaanterhadap pengemudi dan atau kendaraanmengenai pemenuhan persyaratan teknis danlaik jalan serta pemenuhan kelengkapanpersyaratan administrasi perizinan angkutan.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan

dengan tujuan:

a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib,

lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain

untuk mendorong perekonomian daerah, memajukan

kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan

kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi

martabat bangsa;

b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya

bangsa; dan

c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian

hukum bagi masyarakat.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan

dengan memperhatikan:

a. asas transparan;

b. asas akuntabel;

c. asas berkelanjutan;

d. asas partisipatif;

e. asas bermanfaat;

f. asas efisien dan efektif;

g. asas seimbang;

h. asas terpadu; dan

i. asas mandiri.

Identifikasi masalah lalu lintas yang dilaksanakan

oleh bupati, meliputi:

a. geometrik jalan dan persimpangan;

b. struktur dan kondisi jalan;

c. perlengkapan jalan, baik yang berkaitan

langsung maupun tidak langsung dengan pengguna

jalan dan bangunan pelengkap jalan;

d. lokasi potensi kecelakaan dan kemacetan lalu

lintas;

e. penggunaan bagian jalan selain peruntukannya;

f. penggunaan ruang jalan;

g. kapasitas jalan;

h. tataguna lahan pinggir jalan;

i. pengaturan lalu lintas; dan

j. kinerja lalu lintas.

2.4 Kegiatan dalam hal penertiban lalu lintas.

a. Kegiatan perencanaan lalu lintas

Kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi

inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan.

Maksud inventarisasi antara lain untuk

mengetahui tingkat pelayanan pada setiap ruas

jalan dan persimpangan. Maksud tingkat pelayanan

dalam ketentuan ini adalah merupakan kemampuan

ruas jalan dan persimpangan untuk menampung lalu

lintas dengan tetap memperhatikan faktor

kecepatan dan keselamatan sesuai dengan

penetapan tingkat pelayanan yang diinginkan.

Dalam menentukan tingkat pelayanan yang

diinginkan dilakukan antara lain dengan

memperhatikan : rencana umum jaringan

transportasi jalan; peranan, kapasitas, dan

karakteristik jalan, kelas jalan, karakteristik

lalu lintas, aspek lingkungan, aspek sosial dan

ekonomi, penetapan pemecahan permasalahan lalu

lintas, penyusunan rencana dan program

pelaksanaan perwujudannya. Maksud rencana dan

program perwujudan dalam ketentuan ini antara

lain meliputi: penentuan tingkat pelayanan yang

diinginkan pada setiap ruas jalan dan

persimpangan, usulan aturan-aturan lalu lintas

yang akan ditetapkan pada setiap ruas jalan dan

persimpangan, usulan pengadaan dan pemasangan

serta pemeliharaan rambu rambu lalu lintas marka

jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, dan

alat pengendali dan pengaman pemakai jalan;

usulan kegiatan atau tindakan baik untuk

keperluan penyusunan usulan maupun penyuluhan

kepada masyarakat.

b. Kegiatan pengaturan lalu lintas meliputi

Kegiatan penetapan kebijaksanaan lalu

lintas pada jaringan atau ruas-ruas jalan

tertentu. termasuk dalam pengertian penetapan

kebijaksanaan lalu lintas dalam ketentuan ini

antara lain penataan sirkulasi lalu lintas,

penentuan kecepatan maksimum dan/atau minimum,

larangan penggunaan jalan, larangan dan/atau

perintah bagi pemakai jalan

c. Kegiatan pengawasan lalu lintas meliputi

1. Pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan

kebijaksanaan lalu lintas. Kegiatan pemantauan

dan penilaian dimaksudkan untuk mengetahui

efektifitas dari kebijaksanaan-kebijaksanaaan

tersebut untuk mendukung pencapaian tingkat

pelayanan yang telah ditentukan. Termasuk dalam

kegiatan pemanatauan antara lain meliputi

inventarisasi mengenai kebijaksanaan-

kebijaksanaan lalu lintas yang berlaku pada

ruas jalan, jumlah pelanggaran dan tindakan-

tindakan koreksi yang telah dilakukan atas

pelanggaran tersebut. Termasuk dalam kegiatan

penilaian antara lain meliputi penentuan

kriteria penilaian, analisis tingkat pelayanan,

analisis pelanggaran dan usulan tindakan

perbaikan.

2. Tindakan korektif terhadap pelaksanaan

kebijaksanaan lalu lintas. Tindakan korektif

dimaksudkan untuk menjamin tercapainya sasaran

tingkat pelayanan yang telah ditentukan.

Termasuk dalam tindakan korektif adalah

peninjauan ulang terhadap kebijaksanaan apabila

di dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah

yang tidak diinginkan.

d. Kegiatan pengendalian lalu lintas meliputi

1. Pemberian arahan dan petunjuk dalam

pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas.

Pemberian arahan dan petunjuk dalam ketentuan

ini berupa penetapan atau pemberian pedoman

dan tata cara untuk keperluan pelaksanaan

manajemen lalu lintas, dengan maksud agar

diperoleh keseragaman dalam pelaksanaannya

serta dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya

untuk menjamin tercapainya tingkat pelayanan

yang telah ditetapkan.

2. Pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada

masyarakat mengenai hak dan kewajiban

masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan

lalu lintas. (Kegiatan dalam menertibakan lalu lintas

ini bersumber dari www.wikipedia.com dan UU no.22

Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan)

2.5 Kajian Normatif

Landasan yuridis dari Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2012 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

tersebut, diantaranya :

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang

Jalan.

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang.

4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993

tentang Angkutan Jalan.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993

tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di

Jalan.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993

tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006

tentang Jalan.

10. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2011

tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis

Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu

Lintas.

11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011

tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

12. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah

Tingkat II Sumedang Nomor 27 Tahun 1996

tentang Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan

Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas Di Kabupaten

Daerah Tingkat II Sumedang.

13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat

Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan

Perhubungan.

14. Peraturan daerah Kabupaten Sumedang

Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa

Umum.

15. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah kabupaten Sumedang Tahun 2011-2031.