BAB II perbaikkan
-
Upload
childcarbl -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of BAB II perbaikkan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang
mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis
atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat
publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat
dari publik atau orang banyak, umumnya melalui
suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama
rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan
dilaksanakan oleh administrasi negara yang di
jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama
kebijakan publik dalam negara modern adalah
pelayanan publik.
Dalam rangka menyeimbangkan peran negara yang
mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik
dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan
pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok
dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta
mencapai amanat konstitusi. Dimana pemerintah yang
baik (good governance) sangat penting dibutuhkan
untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam rangka
pengelolaan sumberdaya alam secara adil. Intervensi
negara harus lebih difokuskan pada bidang pelayanan
umum, seperti pemberian pelayanan kesehatan. Adapun
definisi kebijakan publik adalah sebagai berikut
menurut Chief J.O (2001) ( Abdul Wahab, 2005:5). ”
Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan
tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu
yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian
besar warga masyarakat”.
Kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis
daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai
sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah
terangkum preferensi-preferensi politis dari para
aktor yang yang terlibat dalam proses kebijakan,
khususnya pada proses perumusan.
Berikutnya Nugroho sendiri (2008: 54) sendiri
mendefinisikan kebijakan Publik sebagai berikut :
“Kebijakan Publik adalah keputusan yang dibuatoleh negara, khususnya pemerintah, sebagaistrategi untuk merealisasikan tujuan negarayang bersangkutan . Kebijakan Publik adalahstrategi untuk mengantar masyarakat pada masaawal, memasuki masyarakat pada masa transisi,untuk menuju pada masyarakat yang di cita-citakan.”
Kebijakan publik merupakan keputusan politik
yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah.
Karena itu karakteristik khusus dari kebijakan
publik adalah bahwa keputusan politik tersebut
dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino,
2006:42) sebagai “otoritas” dalam sistem politik
yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif,
legislatif, para hakim, administrator, penasehat,
para raja, dan sebagainya.” Selanjutnya Easton
menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas
dalam sistem politik dalam rangka memformulasikan
kebijakan publik itu adalah:
“Orang-orang yang terlibat dalam urusan sistem
politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab
dalam suau masalah tertentu dimana pada satu titik
mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian
hari yang diterima serta mengikat sebagian besar
anggota masyarakat selama waktu tertentu”.
Sebuah kebijakan memiliki beberapa tahap dimulai
dari formulasi kebijakan, implementasi, sampai pada
evaluasi kebijakan. Dimana dalam penelitian ini
peneliti mengangkat mengenai masalah implementasi
suatu kebijakan dari pada Peraturan Daerah Kabupaten
Sumedang nomor 3 tahun 2012 tentng Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan kaitannya dengan kemacetan yang
terjadi di jalan Mayor Abdurrahman Sumedang.
2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan
Suatu implementasi kebijakan pada prinsipnya
adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang digunakan
untuk mengimplementasikan suatu kebijakan publik.
Perlu kiranya disadari bahwa mempelajari masalah
implementasi kebijakan berarti berusaha untuk
memahami apa yang senyatanya terjadi setelah
program diberlakukan atau dirumuskan, yakni
peristiwa dan kegiatan yang terjadi setelah proses
pengesahan kebijakan publik.
Budi Winarno (2008 :144) menyatakan bahwa :
“ Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertianyang luas merupakan tahap dari proses kebijakansegera setelah penetapan Undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan program-program. Impelementasidipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaanUndang-undang, kebijakan-kebijakan dan program-program dimana berbagai aktor, organisasi, prosedurdan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankankebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuankebijakan. Implementasi pada sisi yang lain yangmerupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapatdipahami sebagai proses, suatu keluaran (output)maupun sebagai suatu dampat (outcome). “
Guna memperoleh pemahaman yang baik mengenai
implementasi kebijakan publik kita jangan hanya
menyoroti perilaku lembaga-lembaga administrasi atau
badan-badan yang bertanggung jawab atas suatu
program beserta pelaksanaanya terhadap kelompok-
kelompok sasaran, tetapi juga perlu memperhatikan
berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan
sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap prilaku dari berbagai pihak yang terlibat
dalam suatu program yang pada akhirnya membawa
dampak pada program tersebut. Eugene (2001:3)
(Agustus, 2006:153) mengungkapkan kerumitan dalam
proses implementasi sebagai berikut:
“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dankebijaksanaan umum yang kelihatannya bagus di ataskertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakanbagi telinga para pemimpin dan para pemilih yangmendegarkannya. Dan lebih sulit lagi untukmelaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semuaorang”
Kebijakan-kebijakan dapat dimodifikasi untuk
menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan
kelompok dan individu, yang dengan demikian tujuan
umum dari kebijakan tersebut dapat saja dibelokan.
Mengingat bahwa dalam banyak kasus para pelaksana
kebijakan-kebijakan publik tersebut adalah
administrator publik, maka tidak heran apabila
kemudian mereka pulalah yang paling sibuk
memodifikasikan kebijakan itu sendiri demi
kepentingan rezim. Grindle (2000:15) (dalam Abdul
Wahab, 2008:221) mengikhtisarkan keadaan tersebut
dengan menyatakan sebagai berikut :
“Hingga derajat yang paling besar bila dibandingkan
dengan sistem-sistem politik di Amerika Serikat dan
Eropa Barat, proses implementasi kebijakan publik di
negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah
merupakan pusat partisipasi politik dan persaingan
politik”.
Beberapa definisi implementasi kebijakan dari para
tokoh antara lain adalah : Bardach (Agustino,
2006:54) mengemukakan: ” Adalah cukup untuk membuat
sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatanya
bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya
dalam kata – kata dan slogan- slogan yang
kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin
dan para pemilih yang mendengarkanya. Dan lebih
sulit lagi untuk melaksanakanya dalam bentuk yang
memuaskan orang”.
Metter dan Horn (2005) (dalam Agustino, 2006:139)
mengatakan ”Implementasi kebijakan ialah tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu
atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan”.
Mazmanian dan Sabatier (2003:61) (dalam Agustino,
2006:139) implementasi kebijakan adalah :
” Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanyadalam bentuk undang-undang, namun dapat pulaberbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusaneksekutif yang penting atau keputusan badanperadilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikanmasalah yamg ingin diatasi, menyebutkan secara tegastujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagaicara untuk menstrukturkan atau mengatur prosesimplementasinya.”
Jenkins (2008:203) (dalam Parsons, 2006:463 )
”studi implementasi adalah studi perubahan,
bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan
perubahan bisa dimunculkan”.
Dari definisi tersebut di atas dapat
diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut
(minimal) tiga hal yaitu:
(1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan,
(2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan
dan
(3) adanya hasil kegiatan.
Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan
bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses
yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan merupakan
suatu proses yang dinamis dimana pelaksana kegiatan
melakukan suatu kegiatan. Sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan
oleh Lester dan Stewart (2000:104) (dalam Agustino
2006:139) menyatakan bahwa:
”Implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil
(output) keberhasilan suatu implementasi kebijakan
dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian
tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau
tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.”
Sama halnya dengan apa yang diutarakan oleh
Grindle (2000) (Agustino 2006:154), yaitu
”Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat
dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah
pelaksanaan program sesuai dengan yang telah
ditentukan yaitu melihat pada action program dari
individual projects dan yang kedua apakah tujuan
program tersebut tercapai.”
Dari beberapa definisi implementasi dapat
disimpulkan bahwa implementasi dapat diartikan
sebagai proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah
dirumuskan sebelumnya dalam rangka mencapai tujauan
yang telah ditetapkan. Perlu pula di tambahkan bahwa
proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi
oleh macam tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dan
oleh cara tujuan-tujuan itu dirumuskan . Dengan
demikian implementasi kebijakan merupakan hal yang
sangat peting dalam keseluruhan tahapan kebijakan,
karena melalui tahap ini keseluruhan prosedur
kebijakan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan
atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
2.1.3 Model-Model Implementasi Kebijakan
Dalam literatur ilmu kebijakan terdapat beberapa
model implementasi kebijakan publik yang lazim
dipergunakan. Beberapa model implementasi
kebijakan disumbangkan oleh para ahli diantaranya
model implementasi kebijakan disumbangkan dari
pemikiran Donald Van Meter dan Carl Van Horn
dengan A Model of The Policy Implementation,
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dengan A
Framework for Policy Implementation Analysis, dan
Merille S. Grindle dengan Implementation as A
Political and Administration Process.
Guna pembatasan dalam penelitian ini maka
peneliti memilih menggunakan teori Merille S.
Grindle karena dianggap relevan dengan materi
pembahasan dari objek yang diteliti. Hal ini bukan
berarti bahwa peneliti men-justifikasi teori-teori
lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori
implementasi kebijakan publik, melainkan lebih
kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus
terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui
penelitian ini.
Implementasi Kebijakan Model Merille S.
Grindle
Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa
setelah kebijakan ditransformasikan, barulah
implementasi kebijakan hasilnya ditentukan oleh
implementability. (Nugroho, 2008:445) Menurutnya
keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat
dari dua hal, yaitu:
1) Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakanapakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yangditentukan (design) dengan merujuk pada aksikebijakannya.
2) Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi inidiukur dengan melihat dua faktor, yaitu: a. Impak atau efeknya pada masyarakat secaraindividu dan kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi sertapenerimaan kelompok sasaran dan perubahanyang terjadi.
Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat
ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan
itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of
Policy dan Context of Policy, Grindle (2000)
(dalam Agustino 2006:1168).
Content of Policy menurut Grindle adalah
a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi.Berkaitan dengan berbagai kepentingan yangmempengaruhi suatu implementasi kebijakan.Indikator ini berargumen bahwa suatukebijakan dalam pelaksanaannya pastimelibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmanakepentingan-kepentingan tersebut membawapengaruh terhadap implementasinya.
b. Jenis manfaat yang bisa diperoleh. Pada poinini Content of Policy berupaya untukmenunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu
kebijakan harus terdapat beberapa jenismanfaat yang menunjukan dampak positif yangdihasilkan oleh pengimplementasian kebijakanyang hendak dilaksanakan.
c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Setiapkebijakan mempunyai target yang hendak daningin dicapai. Adapun yang ingin dijelaskanpada poin ini adalah bahwa seberapa besarperubahan yang hendak atau ingin dicapaimelalui suatu implementasi kebijakan harusmempunyai skala yang jelas.
d. Letak pengambilan keputusan. Pengambilankeputusan dalam suatu kebijakan mempunyaiperanan penting dalam pelaksanaan suatukebijakan, maka pada bagian ini harusdijelaskan di mana letak pengambilankeputusan dari suatu kebijakan yang hendakdiimplementasikan.
e. Pelaksana program. Dalam menjalankan suatukebijakan atau program harus didukung denganadanya pelaksana kebijakan yang kompeten dankapabel demi keberhasilan suatu kebijakan.Hal ini harus terdata atau terpapar denganbaik pada bagian ini.
f. Sumber-sumber daya yang digunakan.Pelaksanaan suatu kebijakan juga harusdidukung oleh sumber-sumberdaya yangmendukung agar pelaksanaannya berjalan denganbaik.
Context of Policy menurut Grindle adalah:
a. Kekuasaan, kepentingan-kepentingn danstrategi dari aktor yang terlibat. Dalamsuatu kebijakan perlu diperhitungkan pulakekuatan atau kekuasaan, kepentingan-kepentingan serta strategi yang digunakanoleh para actor guna memperlancar jalanyapelaksanaan suatu implementasi kebijakan.
Bila hal ini tidak diperhitungkan denganmatang, besar kemungkinan program yang hendakdiimplementasikan akan jauh panggang dariapi.
b. Karakteristik lembaga dan rezim yangberkuasa. Lingkungan di mana suatu kebijakandilaksanakan juga berpengaruh terhadapkeberhasilannya, maka pada bagian ini ingindijelaskan karakteristik dari lembaga yangakan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon daripelaksana. Hal lain yang dirasa penting dalamproses pelaksanaan suatu kebijakan adalahkepatuhan dan respon dari para pelaksana,maka yang hendak dijelaskan pada poin iniadalah sejauhmana kepatuhan dan respon daripelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi
oleh isi atau konten dan lingkungan atau
konteks yang diterapkan, maka akan dapat
diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam
membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang
diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu
kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan,
sehingga tingkat perubahan yang diharapkan
terjadi.
2.1.4 Faktor Penentu Pelaksanaan Kebijakan
Ada beberapa faktor yang menentukan sebuah
kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik, antara
lain adalah:
1. Respek Anggota Masyarakat Terhadap Otoritas dan
Keputusan Pemerintah; Dalam filsafat John Locke
dikatakan bahwa manusia memiliki keadaan ilmiah
(state of nature) yang besifat positif, pada
dasarnya manusia adalah baik. Manusia dapat
saling memberi, saling hormatmenghormati dan
saling tolong menolong. Ketika relasi ini
berjalan dengan baik, ada sistem sosial yang
menggerakan masyarakat untuk saling menghormati
dan memberikan respek yang baik pada otoritas
negara, undang-undang yang dibuat oleh politisi
serta memberikan kepercayaan kepada pejabat
pelaksana kebijakan. Hal ini akan terus
berlangsung selama masyarakat memiliki anggapan
yang logis untuk menghormati persoalan-persoalan
itu. Konsekwensinya adalah manusia telah dididik
untuk mematuhi peraturan yang dibuat oleh
pemerintah sebagai sesuatu yang membawa kebaikan
bagi kepentingan bersama.
2. Adanya Kesadaran Untuk Menerima Kebijakan; Pada
kehidupan yang semakin maju ini, dimana segala
hal dinilai secara rasional oleh masyarakat,
semakin banyak dijumpai baik oleh individu,
kelompok masyarakat maupun organisasi yang
beranggapan bahwa dalam kehidupan bernegara,
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah
sesuatu yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah sosial dimasyarakat. Seperti Kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta mengenai
pelarangan merokok di tempat umum, bagi
masyarakat rasional hal ini dianggap perlu,
karena berkaitan dengan kebaikan bersama. Namun
dilain pihak, masih saja ada yang tidak mematuhi
kebijakan yang telah dibuat tersebut, karena
menurut sebagian masyarakat harus dikaji ulang
lagi.
3. Adanya Sanksi Hukum; Penerapan sanksi bagi
individu maupun kelompok yang tidak melaksanakan
kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
merupakan cara yang cukup efektif untuk
pengimplementasian kebijakan. Alasannya
kebanyakan dari masyarakat tidak mau dan takut
menerima sanksi yang berupa denda yang cukup
tinggi maupun berupa kurungan penjara, selain itu
mereka tidak mau dianggap sebagai orang yang
telah melangar peraturan.
4. Adanya Kepentingan Publik; Masyarakat
berkeyakinan bahwa kebijakan yang telah dibuat
melalui proses yang sah. Pada dasarnya kebijakan
yang dibuat adalah sebagai solusi dari
permasalahan publik, sehingga mereka mau menerima
kebijakan tersebut, karena berkaitan dengan
kepentingan bersama / publik.
5. Adanya Kepentingan Pribadi; Seseorang atau
kelompok warga akan menerima sebuah kebijakan
dengan senang hati, karena dengan demikian akan
mendatangkan manfaat ataupun keuntungan secara
pribadi bagi mereka. Misalnya saja pada pembuatan
peraturan mengenai penggunaan internet,
pemerintah akan membatasi situs-situs tertentu
untuk melindungi penyalahgunaan pemakaian
internet. Akan tetapi dilain sisi pihak pengusaha
multimedia akan merasa dirugikan terhadap
peraturan tersebut.
2.1.5 Faktor Penentu Penolakan dan Penundaan
Kebijakan
Selain faktor penentu pelaksanaan kebijakan,
pada pelaksanaannya terdapat juga beberapa
faktor penentu penolakan dan penundaan
kebijakan, antara lain:
1. Adanya Kebijakan yang Bertentangan dengan
Sistem Nilai yang Ada; Apabila suatu
kebijakan dipandang bertentangan dengan
sistem nilai yang berlaku dimasyarakat,
maka pada pengimplementasiannya akan sulit
untuk dilaksanakan. Misalnya pada pembuatan
undang-undang anti pornografi, dimana
pemerintah mempunyai itikad baik untuk
mencegah terjadinya kebobrokan moral. Akan
tetapi dilain sisi tentunya hal ini
bertentangan dengan nilai-nilai yang
berlaku dimasyarakat khususnya kebudayaan
bangsa, sehingga menimbulkan penolakan-
penolakan dari berbagai kalangan
masyarakat.
2. Tidak Adanya Kepastian Hukum; Tidak
adanya kepastian hukum, ketidakjelasan
kebijakan yang berlaku akan cenderung
membuat masyarakat melanggar dan tidak
mematuhi peraturan tersebut. Karena
masyarakat akan beranggapan bahwa tidak
mematuhi peraturan tersebut juga tidak apa-
apa, tidak akan mendapat sanksi dari
pemerintah. Seperti peraturan tentang
pelarangan menjual CD/VCD/DVD bajakan,
tidak ada kepastian hukumnya, sehingga
banyak penjual di setiap sudut kota bahkan
di mal-mal menjualnya dengan bebas.
3. Adanya Keanggotaan Seseorang Dalam
Organisasi; Keanggotaan seseorang dalam
organisasi dapat menimbulkan penolakan
terhadap sebuah kebijakan, karena
kemungkinan kebijakan tersebut dapat
mengganggu kepentingannya, namun ada juga
karena keanggotaannya dalam sebuah
organisasi, seseorang mendukung kebijakan
yang telah dibuat oleh pemerintah. Misalnya
saja peraturan mengenai perlindugan hak-hak
lingkungan, bagi para aktivis lingkungan
hidup tentunya tanpa diminta pun akan
sangat mendukung kebijakan tersebut, akan
tetapi bagi kalangan industri akan sangat
menggangu aktivitas produksi mereka, karena
saat ini sangat sedikit industri yang
memiliki pengolahan limbah yang dapat
dikatakan layak, alasannya karena mahalnya
biaya pembuatan tempat pengolahan limbah.
Kenyataannya untuk membuat tempat
pengolahan limbah sama saja dengan biaya
mereka membangun satu pabrik produksi lagi.
4. Adanya Konsep Ketidakpatuhan Selektif
Terhadap Hukum; Pada prinsipnya, masyarakat
terdiri dari berbagai suku bangsa dan latar
belakang yang berbeda. Ada masyarakat yang
patuh pada suatu kebijakan tertentu, akan
tetapi pada saat yang bersamaan dia tidak
patuh pada kebijakan yang lainnya karena
adanya ketidakpatuhan selektif. Misalnya
saja pada perusahaan yang patuh terhadap
peraturan pemungutan pajak, tetapi pada
saat yang bersamaan perusahaan tersebut
tidak patuh terhadap jumlah pembayaran
pajak alias memanipulasi pembayaran pajak.
2.2 Deskripsi Kebijakan
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kewenangan
pemerintah daerah adalah mengatur sistem lalu
lintas dan angkutan jalan di wilayah
pemerintahannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota perlu
mengatur ketentuan mengenai lalu lintas dan
angkutan jalan di Kabupaten Sumedang. Pengaturan
mengenai lalu lintas dan angkutan jalan di
Kabupaten Sumedang tertuang dalam Perda Nomor 3
Tahun 2012 yang merupakan hasil persetujuan bersama
antara DPRD Kabupaten Sumedang dengan Bupati
Sumedang.
Peraturan daerah ini mempunyai posisi yang
strategis dan penting untuk memberikan motivasi
dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat
guna mewujudkan tata kehidupan kota Sumedang yang
lebih tenteram, tertib, nyaman, bersih dan indah.
yang dibangun berdasarkan partisipasi aktif seluruh
komponen masyarakat dalam berlalu lintas.
2.3 Deskripsi/teori tentang Lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan jalan, yang dimaksud dengan :
a. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satukesatuan sistem yang terdiri atas LaluLintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas danAngkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi,Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
b. Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orangdi ruang lalu lintas jalan.
c. Angkutan adalah perpindahan orang dan/ataubarang dari satu tempat ke tempat lain denganmenggunakan Kendaraan di Ruang Lalu LintasJalan.
d. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasukbangunan pelengkap dan perlengkapannya yangdiperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yangberada pada permukaan tanah, di ataspermukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air,kecuali jalan rel dan jalan kabel.
e. Ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yangdiperuntukan bagi gerak pindah kendaraan,orang, dan/atau barang yang berupa jalan danfasilitas pendukung.
f. Jaringan lalu lintas dan angkutan jalanadalah serangkaian simpul dan/atau ruangkegiatan yang saling terhubungkan untukpenyelenggaraan lalu lintas dan angkutanjalan.
g. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalanadalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, danPerlengkapan Jalan yang meliputi marka,rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alatpengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alatpengawasan dan pengamanan Jalan, sertafasilitas pendukung.
h. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalahserangkaian usaha dan kegiatan yang meliputiperencanaan, pengadaan, pemasangan,pengaturan, dan pemeliharaan fasilitasperlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan,mendukung dan memelihara keamanan,keselamatan, ketertiban, dan kelancaran LaluLintas.
i. Pengawasan lalu lintas jalan adalahserangkaian tindakan yang dilakukan olehpetugas dinas untuk mengadakan pemeriksaanterhadap pengemudi dan atau kendaraanmengenai pemenuhan persyaratan teknis danlaik jalan serta pemenuhan kelengkapanpersyaratan administrasi perizinan angkutan.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan
dengan tujuan:
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib,
lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain
untuk mendorong perekonomian daerah, memajukan
kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi
martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya
bangsa; dan
c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian
hukum bagi masyarakat.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan
dengan memperhatikan:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
d. asas partisipatif;
e. asas bermanfaat;
f. asas efisien dan efektif;
g. asas seimbang;
h. asas terpadu; dan
i. asas mandiri.
Identifikasi masalah lalu lintas yang dilaksanakan
oleh bupati, meliputi:
a. geometrik jalan dan persimpangan;
b. struktur dan kondisi jalan;
c. perlengkapan jalan, baik yang berkaitan
langsung maupun tidak langsung dengan pengguna
jalan dan bangunan pelengkap jalan;
d. lokasi potensi kecelakaan dan kemacetan lalu
lintas;
e. penggunaan bagian jalan selain peruntukannya;
f. penggunaan ruang jalan;
g. kapasitas jalan;
h. tataguna lahan pinggir jalan;
i. pengaturan lalu lintas; dan
j. kinerja lalu lintas.
2.4 Kegiatan dalam hal penertiban lalu lintas.
a. Kegiatan perencanaan lalu lintas
Kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi
inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan.
Maksud inventarisasi antara lain untuk
mengetahui tingkat pelayanan pada setiap ruas
jalan dan persimpangan. Maksud tingkat pelayanan
dalam ketentuan ini adalah merupakan kemampuan
ruas jalan dan persimpangan untuk menampung lalu
lintas dengan tetap memperhatikan faktor
kecepatan dan keselamatan sesuai dengan
penetapan tingkat pelayanan yang diinginkan.
Dalam menentukan tingkat pelayanan yang
diinginkan dilakukan antara lain dengan
memperhatikan : rencana umum jaringan
transportasi jalan; peranan, kapasitas, dan
karakteristik jalan, kelas jalan, karakteristik
lalu lintas, aspek lingkungan, aspek sosial dan
ekonomi, penetapan pemecahan permasalahan lalu
lintas, penyusunan rencana dan program
pelaksanaan perwujudannya. Maksud rencana dan
program perwujudan dalam ketentuan ini antara
lain meliputi: penentuan tingkat pelayanan yang
diinginkan pada setiap ruas jalan dan
persimpangan, usulan aturan-aturan lalu lintas
yang akan ditetapkan pada setiap ruas jalan dan
persimpangan, usulan pengadaan dan pemasangan
serta pemeliharaan rambu rambu lalu lintas marka
jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, dan
alat pengendali dan pengaman pemakai jalan;
usulan kegiatan atau tindakan baik untuk
keperluan penyusunan usulan maupun penyuluhan
kepada masyarakat.
b. Kegiatan pengaturan lalu lintas meliputi
Kegiatan penetapan kebijaksanaan lalu
lintas pada jaringan atau ruas-ruas jalan
tertentu. termasuk dalam pengertian penetapan
kebijaksanaan lalu lintas dalam ketentuan ini
antara lain penataan sirkulasi lalu lintas,
penentuan kecepatan maksimum dan/atau minimum,
larangan penggunaan jalan, larangan dan/atau
perintah bagi pemakai jalan
c. Kegiatan pengawasan lalu lintas meliputi
1. Pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan
kebijaksanaan lalu lintas. Kegiatan pemantauan
dan penilaian dimaksudkan untuk mengetahui
efektifitas dari kebijaksanaan-kebijaksanaaan
tersebut untuk mendukung pencapaian tingkat
pelayanan yang telah ditentukan. Termasuk dalam
kegiatan pemanatauan antara lain meliputi
inventarisasi mengenai kebijaksanaan-
kebijaksanaan lalu lintas yang berlaku pada
ruas jalan, jumlah pelanggaran dan tindakan-
tindakan koreksi yang telah dilakukan atas
pelanggaran tersebut. Termasuk dalam kegiatan
penilaian antara lain meliputi penentuan
kriteria penilaian, analisis tingkat pelayanan,
analisis pelanggaran dan usulan tindakan
perbaikan.
2. Tindakan korektif terhadap pelaksanaan
kebijaksanaan lalu lintas. Tindakan korektif
dimaksudkan untuk menjamin tercapainya sasaran
tingkat pelayanan yang telah ditentukan.
Termasuk dalam tindakan korektif adalah
peninjauan ulang terhadap kebijaksanaan apabila
di dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah
yang tidak diinginkan.
d. Kegiatan pengendalian lalu lintas meliputi
1. Pemberian arahan dan petunjuk dalam
pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas.
Pemberian arahan dan petunjuk dalam ketentuan
ini berupa penetapan atau pemberian pedoman
dan tata cara untuk keperluan pelaksanaan
manajemen lalu lintas, dengan maksud agar
diperoleh keseragaman dalam pelaksanaannya
serta dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
untuk menjamin tercapainya tingkat pelayanan
yang telah ditetapkan.
2. Pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai hak dan kewajiban
masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan
lalu lintas. (Kegiatan dalam menertibakan lalu lintas
ini bersumber dari www.wikipedia.com dan UU no.22
Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan)
2.5 Kajian Normatif
Landasan yuridis dari Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2012 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
tersebut, diantaranya :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang
Jalan.
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993
tentang Angkutan Jalan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993
tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di
Jalan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993
tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2011
tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis
Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu
Lintas.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011
tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
12. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah
Tingkat II Sumedang Nomor 27 Tahun 1996
tentang Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas Di Kabupaten
Daerah Tingkat II Sumedang.
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Perhubungan.
14. Peraturan daerah Kabupaten Sumedang
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa
Umum.
15. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah kabupaten Sumedang Tahun 2011-2031.