9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman randu (Ceiba ...

30
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman randu (Ceiba pentandra) Kapuk randu (Ceiba pentandra) adalah pohon tropis yang tergolong ordo Malvales dan famili Malvaceae (sebelumnya dikelompokkan ke dalam famili terpisah Bombacaceae), berasal dari bagian utara dari Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Karibia, dan (untuk varitas C. pentandra var. guineensis) berasal dari sebelah barat Afrika. Kata "kapuk" atau "kapok" juga digunakan untuk menyebut serat yang dihasilkan dari bijinya. Pohon ini juga dikenal sebagai kapas Jawa atau kapok Jawa, atau pohon kapas-sutra dan disebut sebagai Ceiba yaitu nama genusnya yang merupakan simbol suci dalam mitologi bangsa Maya. Pohon ini tumbuh hingga setinggi 60-70 m dan dapat memiliki batang pohon yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m. Pohon ini banyak ditanam di Asia, terutama di pulau Jawa, Malaysia, Filipina, dan Amerika Selatan. Taksonomi tanaman randu menurut Heyne (1987): Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malvales Famili : Malvaceae Genus : Ceiba Spesies : Ceiba pentandra (L.) Gaertn.

Transcript of 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman randu (Ceiba ...

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman randu (Ceiba pentandra)

Kapuk randu (Ceiba pentandra) adalah pohon tropis

yang tergolong ordo Malvales dan famili Malvaceae

(sebelumnya dikelompokkan ke dalam famili terpisah

Bombacaceae), berasal dari bagian utara dari Amerika Selatan,

Amerika Tengah dan Karibia, dan (untuk varitas C. pentandra

var. guineensis) berasal dari sebelah barat Afrika. Kata "kapuk"

atau "kapok" juga digunakan untuk menyebut serat yang

dihasilkan dari bijinya. Pohon ini juga dikenal sebagai kapas

Jawa atau kapok Jawa, atau pohon kapas-sutra dan disebut

sebagai Ceiba yaitu nama genusnya yang merupakan simbol

suci dalam mitologi bangsa Maya. Pohon ini tumbuh hingga

setinggi 60-70 m dan dapat memiliki batang pohon yang cukup

besar hingga mencapai diameter 3 m. Pohon ini banyak ditanam

di Asia, terutama di pulau Jawa, Malaysia, Filipina, dan

Amerika Selatan.

Taksonomi tanaman randu menurut Heyne (1987):

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malvales

Famili : Malvaceae

Genus : Ceiba

Spesies : Ceiba pentandra (L.) Gaertn.

10

Gambar 2. Pohon kapuk randu umur 4 tahun (Sumber: Barani,

2006)

Gambar 3. Bunga kapuk randu (Sumber: Barani, 2006)

Gambar 4. Biji Kapuk yang berisi serat di dalamnya (Sumber:

Wikipedia)

11

Penyebaran tanaman randu di Asia meliputi wilayah

India, Indonesia, Thailand dan Filipina. Tanaman randu di

Indonesia dikembangkan oleh rakyat, perkebunan swasta dan

perkebunan pemerintah (BUMN). Areal seluruhnya saat ini

mencapai 250.500 hektar dengan produksi serat mencapai

84.700 per kg. dan saat ini dikembangkan aneka jenis keperluan

lainnya. Penggunaan untuk obat tradisional randu di antaranya

sebagai obat luar dan obat dalam seperti untuk mengatasi

demam, diare, diabetes, hipertensi, sakit kepala, obat luka, dan

sebagainya. Selain itu menurut Pratiwi (2014) yaitu tanaman

randu memiliki banyak kegunaan lain, di antaranya pada bagian

daunnya dapat digunakan untuk makanan ternak dan minyak

bijinya untuk industri. Pohon randu berfungsi sebagai inang

lebah madu dan ada lebah spesifik yang hanya mau mengambil

madu dari bunga pohon randu. Madu dari lebah ini ampuh

mengobati banyak penyakit, seperti demam, sariawan, dan luka

bakar, serta dapat meningkatkan kecerdasan otak. Dengan

demikian, potensi Ceiba pentandra sebagai tanaman obat

multifungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam

penggunaannya sebagai obat modern. Menurut Mahfudin

(2016) pohon randu (C. pentandra) merupakan tumbuhan yang

mengandung polifenol, saponin, damar yang pahit, hidrat arang

pada daunnya, dan minyak dalam bijinya. Senyawa saponin

yang dikandung oleh daun randu dapat pula berperan sebagai

zat antimikroba karena dapat menimbulkan reaksi saponifikasi.

Reaksi ini menyebabkan kerusakan struktur lemak membran

bakteri sehingga dinding sel bakteri akan pecah kemudian mati,

sehingga tidak perlu penambahan antimikroba pada pembuatan

edible coating ekstrak daun randu.

12

2.2 Madu

Menurut SNI 3545 (2013) madu merupakan cairan

alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan

oleh lebah madu (Apis sp) dari sari bunga tanaman (floral

nektar) atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral). Persyaratan

mutu madu dapat dilihat pada Tabel 1.

13

Tabel 1. Persyaratan mutu madu menurut SNI 3545:2013

No Jenis uji Satuan Persyaratan

A Uji organoleptik

1 Bau Khas madu

2 Rasa Khas madu

B Uji laboratoris

1 Aktivitas enzim diastase DN Min 3*)

2 Hidroksimetilfurfural (HMF) mg/kg Maks 50

3 Kadar air % b/b Maks 22

4 Gula pereduksi (dihitung

sebagai glukosa)

% b/b Maks 65

5 Sukrosa % b/b Maks 5

6 Keasaman ml NaOH/kg Maks 50

7 Padatan tak larut dalam air % b/b Maks 0,5

8 Abu % b/b Maks 0,5

9 Cemaran logam

9.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0

9.2 Cadmium (Cd) mg/kg Maks 0,2

9.3 Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0,03

10 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0

11 Kloramfenikol Tidak

terdeteksi

12 Cemaran mikroba

12.1 Angka lempeng total

(ALT)

koloni/g <5X103

12.2 Angka paling mungkin

(APM) koliform

APM/g <3

12.3 Kapang dan khamir koloni/g <1X101

Catatan *) Persyaratan ini berdasarkan pengujian setelah madu dipanen

Sumber: SNI 3545:2013

14

Beternak lebah madu dapat menghasilkan produk-

produk lebah madu yang bernilai ekonomi tinggi, berupa madu,

malam, royal jelly, propolis, dan bee pollen. Menurut Widowati

(2013) Lebah madu dalam kehidupannya membutuhkan

makanan berupa nektar dan serbuk sari. Nektar adalah cairan

berasa manis yang berasal dari kelenjar-kelenjar nektar pada

bunga yang kelak menjadi madu lebah. Serbuk sari adalah alat

reproduksi jantan pada bunga. Serbuk sari yang dibawa oleh

lebah pekerja pencari serbuk sari untuk disimpan di dalam sel-

sel sisiran sarang. Serbuk sari yang siap dikonsumsi lebah madu

disimpan di dalam sel-sel sisiran sarang (comb) yang disebut

sebagai bee bread. Jaya (2017) menyatakan bahwa nektar

merupakan zat yang dihasilkan oleh kelenjar nektarifer berupa

larutan gula dan mempunyai konsentrasi sekitar 7-70%. Nektar

dipengaruhi beberapa faktor yaitu tanah, jenis tanaman dan

kelembaban udara. Berdasarkan sumber bunga (nectar), madu

dibedakan menjadi 2 yaitu madu monofloral dan multifloral.

Madu yang berasal dari satu jenis tanaman, misalnya madu

randu. Madu randu adalah madu yang dihasilkan oleh lebah

yang mengkonsumsi nektar dari tanaman randu. Madu

monofloral berasal dari satu jenis nectar atau didominasi oleh

satu nectar. Madu multifloral adalah madu yang berasal dari

berjenis-jenis tanaman, sebagai contoh madu hutan dari lebah

yang mendapatkan nektar dari beberapa jenis tanaman

(Anonim, 2003).

Menurut Anonim (2003) madu juga dapat dibagi

menurut asal nektar, maupun menurut bentuk madu yang lazim

terdapat dalam istilah pemasaran. Berbagai jenis madu dapat

dihasilkan dari berbagai sumber nektar yang dikenal sebagai

madu flora, madu ekstra flora serta madu embun (honey dew

honey). Madu flora dihasilkan dari nektar bunga. Bila nektar

15

tersebut berasal dari beranekaragam bunga, maka madu yang

dihasilkan disebut madu poliflora dan bila dari satu jenis

tanaman disebut madu monoflora. Madu ekstra flora, madu

yang dihasilkan dari nektar yang terdapat di luar bunga yaitu

dari bagian tanaman lain, seperti daun, cabang dan batang.

Madu embun dihasilkan dari cairan hasil sekresi serangga

famili Lechanidae, Psyllidae atau Lechnidae yang diletakkan

eksudatnya pada bagian-bagian tanaman. Cairan ini kemudian

dihisap dan dikumpulkan oleh lebah madu di dalam bagian

tertentu yang disebut sarang madu. Menurut Andriani, Utami

dan Hariyati (2010) madu monoflora merupakan madu yang

diperoleh dari satu tumbuhan utama. Madu ini biasanya

dinamakan berdasarkan sumber nektarnya, seperti madu

kelengkeng, madu rambutan dan madu randu. Madu monoflora

mempunyai wangi, warna dan rasa yang spesifik sesuai dengan

sumbernya dan jenis yang lain yaitu madu poliflora. Madu

poliflora merupakan madu yang berasal dari nektar beberapa

jenis tumbuhan bunga. Madu ini biasanya berasal dari hutan

yang diproduksi oleh lebah-lebah liar. Dari beberapa jenis madu

yang berbeda sumber nektarnya ini dimungkinkan akan

memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda pula. Sumber

nektar yang berbeda akan mempengaruhi sifat madu yang

dihasilkan oleh lebah, diantaranya dari segi warna, rasa, dan

komponen madu. Madu dihasilkan oleh lebah madu dengan

memanfaatkan bunga tanaman.

Madu randu merupakan jenis madu yang diproduksi

secara kontinyu di Indonesia. Madu randu termasuk dalam

monofloral atau madu yang berasal dari satu jenis bunga yaitu

bunga randu (Cheiba petandra) di area hutan randu. Secara fisik

madu randu berwarna coklat muda dan bening, rasa manis

sedikit masam, jika dipanen pada musim panas maka kadar air

16

dalam madu lebih sedikit dibanding saat musim hujan (Kamil

dkk. 2008). Madu Randu merupakan jenis madu yang

diproduksi secara kontinyu di Indonesia. Madu ini termasuk

dalam madu monofloral atau madu yang berasal dari satu jenis

bunga yaitu bunga randu. Madu Randu diproduksi oleh industri

peternakan lebah madu di perkebunan randu, yang telah

diketahui mempunyai khasiat sangat baik bagi kesehatan.

(Parwata, Ratnayanti dan Listya, 2010). Kandungan madu

randu dapat dilihat pada Tabel 2. Madu memiliki warna, aroma

dan rasa yang berbeda-beda, tergantung pada jenis tanaman

yang banyak tumbuh di sekitar peternakan lebah madu. Sebagai

contoh madu mangga (rasa yang agak asam), madu bunga timun

(rasanya sangat manis), madu kapuk atau randu (rasanya manis,

lebih legit dan agak gurih), madu lengkeng (rasa manis, lebih

legit dan aromanya lebih tajam). Selain itu dikenal pula madu

buah rambutan, madu kaliandra dan madu karet (Ratnayani,

Dwi dan Gitadewi, 2008). (Mulu dkk, 2004) menyatakan

perbedaan jenis tumbuh-tumbuhan yang cairan bunganya

menjadi sumber makanan lebah untuk memproduksi madu akan

mempengaruhi karakteristik dari madu, seperti flavor, aroma,

warna, dan komposisi dalam madu.

17

Tabel 2. Kandungan madu randu

No Parameter Kandungan

1 Kadar air 21,68%

2 Keasaman 13,97 ml NaOH 1N/kg

3 Enzim diastase 15,52 DN

4 Hidroksi Metil Furfural

(HMF)

0,23 mg/kg

5 Kadar abu 0,30%

6 Gula pereduksi 67,82%

7 Sukrosa 2,80%

8 Padatan tak larut 0,03%

9 Logam berupa Fe 0,50 ppm

10 Zn 1,03 ppm

11 Pb -

12 Cu 0,25 ppm

Sumber: Jaya (2017)

Sifat fisik madu menurut Jaya (2017) yaitu :

1. Higroskopis yaitu kemampuan madu untuk menyerap uap

air dari udara sekitarnya sampai mencapai kesetimbangan.

Hal ini dikarenakan madu merupakan larutan gula yang

lewat jenuh serta tidak stabil.

2. Tekanan osmosis yaitu larutan gula yang lewat jenuh dari

karbohidrat sehingga disebut sebagai medium

hiperosmotik. Padatan madu memiliki campuran

monosakarida sekitar 84%, yakni terdiri dari fruktosa dan

glukosa. Jika organisme bersel satu akan terbunuh jika

berada dalam medium hiperosmotik seperti ini, karena

kehilangan cairan tubuh ynag diakibatkan oleh perbedaan

tekanan osmosis yang besar. Terdapat interaksi yang kuat

18

antara molekul gula dengan molekul air, sehingga

ketersediaan air untuk mikroba menjadi terbatas.

3. Kadar air merupakan salah satu faktor terpenting dalam

menentukan kualitas madu. Jika kadar air madu terlalu

tinggi akan mengakibatkan kualitas madu menjadi rendah.

4. Viskositas merupakan larutan gula yang lewat jenuh yang

mengandung protein dan mineral meskipun dalam jumlah

yang kecil. Viskositas pada madu dipengaruhi oleh suhu,

jenis flora bunga dan kadar air viskositas pada madu.

5. Madu memiliki sifat menurunkan titik beku. Madu yang

memiliki kadar air 15% akan membeku pada suhu 1,42-

1,53 0C, sedangkan suatu larutan 68% akan membeku

sekitar -120C. Madu sebaiknya disimpan pada suhu 27 0C

dalam kemasan kedap udara.

6. Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

bobot jenis madu, sedangkan jenis sumber bunga

berpengaruh sedikit sekali terhadap bobot jenis madu.

7. Aktifitas air madu bergantung pada suhu dan kadar air.

Asam madu juga memiliki pengaruh sedikit terhadap sifat

aktifitas air.

8. Faktor yang mempengaruhi tegangan permukaan pada

madu adalah sumber nektar dan kandungan zat koloid.

Sebaliknya, jika tegangan madu rendah serta kekentalan

yang tinggi akan menciptakan madu yang membentuk

busa.

9. Suhu pada madu yaitu madu mudah mengalami

overheating (kelebihan panas) karena memilki sifat yang

mudah menghantarkan panas.

10. Warna alami madu adalah kuning kecoklatan seperti warna

gula karamel. Namun, warna madu sangat bervariasi mulai

dari transparan hingga berwarna amber gelap. Warna madu

19

sangat dipengaruhi oleh sumber nektar, umur panen madu

dan waktu kondisi penyimpanan.

11. Aroma madu berasal dari sel kelenjar bunga yang

mengeluarkan zat yang tercampur didalam nektar dan juga

merupkan hasil dari proses fermentasi dari asam amino,

gula dan vitamin selama pematangan madu. Aroma madu

tidak bertahan lama dikarenakan zat ini menguap selama

penyimpanan khusunya bila madu tidak disimpan dengan

baik.

12. Rasa madu diciptakan oleh kandungan asam organik,

karbohidrat dan jenis nektarnya. Hampir semua madu

memilki rasa manis dan agak asam. Rasa manis pada madu

tergantung dari rasa karbohidrat (fruktosa dan glukosa)

yang terkandung dalam nektar tanaman. Rasa pada madu

dapat berubah menjadi kurang enak dan masam jika

disimpan pada suhu diatas 300C.

Madu merupakan salah satu produk hasil hutan yang

sudah lama dikenal oleh masyarakat dan memiliki banyak

manfaat, diantaranya yaitu sebagai suplemen kesehatan,

kecantikan, anti toksin, obat luka, dan sebagai bahan baku

dalam industri makanan dan minuman. (Kementerian

Kehutanan, 2010). Menurut Siregar (2001) madu adalah bahan

alami yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan

kecantikan. Madu mengandung alfa hidroxy acid yang sangat

baik meningkatkan kekenyalan dan kekencangan kulit, selain

itu madu juga mengandung flavonoid dan asam amino yang

berfungsi sebagai pelembab kulit. Aden (2010) juga

menyatakan bahwa manfaat madu untuk kecantikan yaitu untuk

melembutkan bibir, melembabkan dan mencegah bibir

mengering atau pecah-pecah, madu bisa menghilangkan

20

jerawat, menghilangkan noda dan flek hitam diwajah serta

mencegah kulit keriput.

Menurut Wineri, dkk (2014) madu memiliki zat yang

bersifat bakterisidal dan bakteriostatik seperti antibiotik.

Bakteri tidak dapat hidup dan berkembang di dalam madu

karena madu mengandung unsur kalium yaitu unsur yang

mencegah kelembaban sehingga dapat menghambat

pertumbuhan bakteri. Madu juga memiliki kandungan fenol,

komponen peroksida dan non-peroksida, memiliki viskositas

kental, serta pH yang rendah sehingga dapat menghambat

pertumbuhan bakteri. Sifat hidroskopik yang dimiliki madu

dapat menarik air dari lingkungan hidup bakteri yang

mengakibatkan bakteri mengalami dehidrasi. Madu juga

bersifat imunomodulator yaitu dengan cara memicu makrofag

untuk menghasilkan sitokin yang terlibat untuk membunuh

bakteri dan perbaikan jaringan. Sifat antibakteri tersebut efektif

untuk menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhii,

Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Staphylococcus

aureus serta Pseudomonas aeruginosa. Kandungan yang

terdapat dalam madu sangat kaya akan vitamin, mineral dan

antioksidan yang dapat digunakan sebagai pelembab, penyegar

dan masker wajah. Madu memiliki kandungan zat antiseptik

yang berguna untuk membunuh bakteri pada tubuh. Beberapa

faktor yang menyebabkan madu memiliki aktivitas antibakteri

menurut Mundo, Padilla dan Worobo (2004), antara lain

keasaman, tekanan osmotik dan hidrogen peroksida. Komponen

tambahan pada madu seperti asam aromatik dan komponen

fenol juga berperan dalam aktivitas antibakteri. Menurut

Mclonne (2016) madu dapat digunakan untuk eksim yang dapat

membunuh berbagai macam patogen luka. Madu dapat

21

menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia

coli, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus aureus.

2.3 Sabun

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1994

sabun mandi didefinisikan sebagai senyawa Natrium dengan

asam lemak yang digunakan sebagai pembersih tubuh,

berbentuk padat, berbusa, dengan atau penambahan lain serta

tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Syarat mutu sabun mandi

padat yang ditetapkan oleh SNI dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat mutu sabun mandi

No Uraian Tipe I Tipe II Seperfat

1 Kadar air, % Maks.15 Maks.15 Maks.15

2 Jumlah asam

lemak, %

>70 64-70 >70

3 Alkali bebas

-dihitung

sebagai

NaOH, %

Maks. 0,1 Maks. 0,1 Maks. 0,1

-dihitung

sebagai KOH,

%

Maks. 0,14 Maks. 0,14 Maks. 0,14

4 Asam lemak

bebas dan atau

lemak netral,

%

<2,5 <2,5 2,5-7,5%

5 Minyak

mineral

Negatif Negatif Negatif

Sumber: Standar Nasional Indonesia 06-3532-1994

22

Sabun tipe 1 merupakan sabun yang terbaik karena

mengandung jumlah asam lemak yang tinggi (lebih dari 70%)

dengan asam lemak bebas yang rendah yaitu kurang dari 2,5%.

Sabun tipe 1, 2 dan seferfat merupakan sabun yang dapat

dipasarkan di masyarakat karena aman untuk digunakan. Sabun

tipe 2 lebih baik dari superfat karena kandungan asam lemak

bebasnya kurang dari 2,5%.

Menurut Purwaningsih, dkk (2014) kulit merupakan organ

yang menutupi seluruh tubuh manusia dan mempunyai fungsi

untuk melindungi dari pengaruh luar. Kerusakan pada kulit

akan menggangu kesehatan manusia maupun penampilan,

sehingga kulit perlu dilindungi dan dijaga kesehatannya. Proses

kerusakan kulit ditandai dengan munculnya keriput, sisik,

kering dan pecah-pecah. Kebersihan merupakan hal yang

sangat penting, karena semakin banyak penyakit yang timbul

karena bakteri dan kuman. Sabun merupakan salah satu sarana

untuk membersihkan diri dari kotoran, kuman dan hal-hal lain

yang membuat tubuh menjadi kotor. Bahkan di zaman sekarang

ini sabun bukan hanya digunakan untuk membersihkan diri,

tetapi juga ada beberapa sabun yang sekaligus berfungsi untuk

melembutkan kulit, memutihkan kulit maupun menjaga

kesehatan kulit. Dalam pembuatan sabun sering digunakan

bermacam-macam lemak ataupun minyak sebagai bahan baku.

Jenis-jenis minyak ataupun lemak yang digunakan dalam

pembuatan sabun ini akan mempengaruhi sifat-sifat sabun

tersebut, baik dari segi kekerasan, banyaknya busa yang

dihasilkan, maupun pengaruhnya bagi kulit. Untuk itu dalam

pembuatan sabun perlu dipilih jenis minyak dan lemak yang

sesuai dengan kegunaan sabun itu sendiri (Gusviputra, Meliana,

Aylianawati dan Indraswati, 2013).

23

Menurut Anonymous (2002) ada tiga bahan utama dalam

sabun biasa yaitu minyak atau lemak, alkali dan air. Bahan-

bahan lain dapat ditambahkan untuk memberikan sabun dengan

bau atau warna yang menyenangkan dan dapat meningkatkan

kualitas sabun. Menurut Widyasanti (2016) menyatakan bahwa

sabun merupakan bahan pembersih tubuh yang saat ini semakin

populer di kalangan masyarakat. Cara yang paling tepat untuk

menjaga kesehatan kulit adalah dengan mandi teratur dengan

menggunakan sabun. Fungsi dari sabun yaitu sebagai bahan

pembersih tubuh, sabun dapat mengangkat kotoran-kotoran

yang menempel pada permukaan kulit, baik kotoran yang larut

dalam air maupun kotoran yang larut dalam lemak. Sabun dapat

mengangkat sel – sel kulit yang telah mati, sisa – sisa kosmetik,

dan bahkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang

merugikan bagi kulit. Sabun adalah bahan yang digunakan

untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua komponen

utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium

atau potasium. Sabun merupakan pembersih yang dibuat

dengan reaksi kimia antara kalium atau natrium dengan asam

lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang

dibuat dengan NaOH dikenal dengan sabun keras, sedangkan

sabun yang dibuat dengan KOH dikenal dengan sabun lunak.

Sabun dibuat dengan dua cara yaitu proses saponifikasi dan

proses netralisasi minyak. Proses saponifikasi minyak akan

memperoleh produk sampingan yaitu gliserol, sedangkan

proses netralisasi tidak akan memperoleh gliserol. Proses

saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan

alkali, sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi asam

lemak bebas dengan alkali (Zulkifli dan Teti, 2014). Menurut

Marina (2009) sabun adalah kombinasi dari asam lemak

(minyak nabati atau hewani) yang bereaksi dengan air dan KOH

24

untuk sabun cair atau NaOH untuk sabun padat. Campuran

akan bereaksi dan memulai proses yang dikenal sebagai

saponifikasi yang berubah menjadi sabun. Pembuatan sabun

dapat dibuat dengan memilih lemak, minyak, lalu menentukan

jumlah alkali yang tepat untuk ditambahkan. Jumlah alkali ini

adalah angka yang disebut nomor atau nilai saponifikasi (SAP).

Sabun diklasifikasikan menjadi tiga kelompok menurut

Ophardt (2003).

1. Sabun dengan kualitas A yaitu sabun yang diproduksi dengan

menggunakan bahan baku dari minyak atau lemak terbaik dan

mengandung sedikit alkali atau tidak mengandung alkali bebas.

Sabun A ini umumnya digunakan untuk sabun mandi (toilet

soap) yang biasa kita kenal.

2. Sabun kualitas B merupakan sabun yang dibuat dengan

menggunakan bahan baku yang berasal dari minyak atau lemak

dangan kualitas yang lebih rendah dan mengandung sedikit

alkali, namun tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Sabun B ini

biasanya digunakan untuk mencuci pakaian dan piring.

3. Sabun dengan kualitas C merupakan sabun yang dibuat

dengan minyak atau lemak yang berwarna gelap (kualitas

rendah) dan mengandung alkali yang relatif tinggi.

Berdasarkan bentuknya sabun menurut Maripa, Kuniasih

dan Ahmadi (2012) diantaranya:

1. sabun cair (liquid soap)

2. sabun padat opaque (sabun padat biasa)

3. sabun padat transparan

Sifat – sifat sabun menurut Naomi, Lumban, Anna dan

Yusuf (2013) yaitu :

1. Sabun bersifat basa: sabun adalah garam alkali dari asam

lemak suku tinggi sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air.

Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.

25

2. Sabun menghasilkan buih atau busa: jika larutan sabun dalam

air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak

akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat

menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air

mengendap.

3. Sabun mempunyai sifat membersihkan: sifat ini disebabkan

proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak)

digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun

non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar.

Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang

bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air)

dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala

yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air.

Menurut Sari, Kasih dan Sari (2010) sabun adalah satu

macam surfaktan, senyawa yang menurunkan tegangan

permukaan air. Sifat ini menyebabkan larutan sabun dapat

memasuki serat, menghilangkan dan mengusir kotoran dan

minyak. Setelah kotoran dan minyak dari permukaan serat,

sabun dapat mencucinya karena struktur kimianya. Bagian

akhir dari rantai (ionnya) yang bersifat hidrofil (suka air)

sedangkan rantai karbonnya bersifat hidrofobik (tidak suka air).

Rantai hidrokarbon larut dalam partikel minyak yang tidak larut

dalam air. Ionnya terdispersi atau teremulsi dalam air sehingga

dapat dicuci. Maripa dkk., (2012) menyatakan sabun adalah

surfaktan yang digunakan dengan air untuk mencuci dan

membersihkan. Berdasarkan bentuknya, sabun yang dikenal

pada saat ini ada bermacam-macam diantaranya berupa sabun

cair (liquid soap), sabun padat opaque (sabun padat biasa), dan

juga sabun padat transparan. Sabun transparan adalah jenis

sabun untuk muka dan untuk mandi yang dapat menghasilkan

busa lebih lembut di kulit dan penampakannya berkilau jika

26

dibandingkan dengan jenis sabun yang lain. Harga sabun

transparan relatif lebih mahal dibandingkan dengan sabun

lainnya dan dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas

(Hambali, Bunasor, Suryani dan Kusumah 2004). Menurut

Qisty (2009) sabun padat transparan merupakan salah satu

inovasi sabun yang menjadikan sabun lebih menarik. Sabun

transparan mempunyai busa yang lebih halus dibandingkan

dengan sabun opaque sabun yang tidak transparan. Faktor yang

dapat mempengaruhi transparansi sabun adalah kandungan

alkohol, gula, dan gliserin dalam sabun. Ketika sabun akan

dibuat jernih dan bening, maka hal yang paling penting adalah

kualitas gula, alkohol, dan gliserin. Kandungan gliserin baik

untuk kulit karena berfungsi sebagai pelembab pada kulit dan

membentuk fasa gel pada sabun (Rahadiana dan Luviana,

2014).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi

penyabunan menurut (Gusviputra dkk, 2013) antara lain:

1. Konsentrasi larutan KOH atau NaOH: Konsentrasi basa yang

digunakan dihitung berdasarkan stokiometri reaksinya, di mana

penambahan basa harus sedikit berlebih dari minyak agar

tersabunnya sempurna. Jika basa yang digunakan terlalu pekat

akan menyebabkan terpecahnya emulsi pada larutan, sehingga

fasenya tidak homogen, sedangkan jika basa yang digunakan

terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang lebih

lama. Dalam industri sabun, NaOH digunakan sebagai alkali

dalam pembuatan sabun keras, sedangkan KOH digunakan

sebagai alkali dalam pembuatan sabun lunak.

2. Suhu (T): Kenaikan suhu operasi akan meningkatkan

konversi reaksi dari reaktan menjadi produk yang terbentuk.

Akan tetapi kenaikan suhu yang berlebihan akan menurunkan

konversi produk yang diinginkan.

27

3. Pengadukan: Pengadukan dilakukan untuk memperbesar

probabilitas tumbukan molekul-molekul reaktan yang bereaksi.

Jika tumbukan antar molekul reaktan semakin besar, maka

kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula.

4. Waktu: Semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin

banyak pula minyak yang dapat tersabunkan, berarti hasil yang

didapat juga semakin tinggi, tetapi jika reaksi telah mencapai

kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan

meningkatkan jumlah minyak yang tersabunkan.

Saponifikasi merupakan salah satu metode pemurnian

secara fisik. Saponifikasi dilakukan dengan menambahkan basa

pada minyak yang akan dimurnikan. Sabun yang terbentuk dari

proses ini dapat dipisahkan dengan 30 sentrifugasi.

Penambahan basa pada proses saponifikasi akan bereaksi

dengan asam lemak bebas membentuk sabun yang mengendap

dengan membawa serta lendir, kotoran dan sebagian zat warna.

Saponifikasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam

lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan

asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga

memmbentuk sabun (soap stock) (Zulkifli dan Teti, 2014).

Menurut Naomi dkk (2013) saponifikasi merupakan proses

hidrolisis basa terhadap lemak dan minyak, dan reaksi

saponifikasi bukan merupakan reaksi kesetimbangan. Hasil

mula-mula dari penyabunan adalah karboksilat karena

campurannya bersifat basa. Setelah campuran diasamkan,

karboksilat berubah menjadi asam karboksilat. Produknya,

sabun yang terdiri dari garam asam-asam lemak. Fungsi sabun

dalam keanekaragaman cara adalah sebagai bahan pembersih.

Sabun menurunkan tegangan permukaan air, sehingga

memungkinkan air untuk membasahi bahan yang dicuci dengan

lebih efektif. Sabun bertindak sebagai suatu zat pengemulsi

28

untuk mendispersikan minyak dan sabun teradsorpsi pada

butiran kotoran.

2.4 Bahan Pembuat Sabun Padat Transparan

2.4.1 Minyak Biji Bunga Matahari

Tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.)

famili Asteraceae merupakan tanaman yang memiliki

aktivitas terapetik dalam berbagai pengobatan,

diantaranya: sebagai penyembuh luka, antioksidan,

antikanker, antidiare, antihistamin, antiinflamasi, serta

sebagai analgesik (Juniarti dan Yedi 2015). Menurut

Rodhiyah dan Sulistiyawati (2012) menyatakan bahwa

kemampuan Helianthus annuus dalam mempercepat

proses penyembuhan luka berasal dari kandungan zat aktif

antara lain β-sitosterol, flavonoid dan linoleic acid yang

terdapat pada bagian biji bunga mataharinya.

Penyembuhan luka pada kelompok minyak biji bunga

matahari pada fase inflamasi lebih baik, hal ini disebabkan

adanya flavonoid yang berperan sebagai anti oksidan yang

mampu membatasi jumlah radikal bebas. Pada fase

inflamasi, flavonoid berperan membatasi radikal bebas

seperti reactive oxygen species (ROS) sehingga tidak

terjadi kerusakan jaringan yang berlebihan, β-sitosterol

yang membatasi jumlah prostasiklin dan linoleic acid yang

merupakan mediator pro inflamatori kuat yang

menyebabkan akumulasi dari leukosit dan makrofag

sehingga mambantu mempercepat fase inflamasi.

Minyak biji bunga matahari adalah salah satu

minyak utama di dunia yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan dikarenakan kualitasnya yang terbaik. Kualitas

minyak ditentukan oleh adanya kandungan asam lemak

29

yang tinggi, kombinasi asam lemak tak jenuh tunggal dan

ganda dengan kadar asam lemak jenuh yang rendah. Asam

linoleat (omega-6) dan asam linolenat (omega-3) yang

terdapat dalam minyak biji bunga matahari merupakan

asam lemak tak jenuh ganda dan berperan sebagai asam

lemak essensial bagi tubuh. Asam linoleat memiliki fungsi

yang sama dengan asam linolenat, yaitu dapat mencegah

kekeringan kulit dan peradangan (Kurniati dalam Husna,

Suryanto dan Purba, 2011). Komposisi minyak biji bunga

matahari berkisar antara 23-45%. Minyak biji bunga

matahari mengandung asam linoleat 44-72% dan asam

oleat 11,7%. Minyak biji bunga matahari digunakan untuk

berbagai keperluan seperti minyak goreng, pembuatan

margarine bahan baku kosmetik, dan obat-obatan, selain

itu bungkil atau ampas hasil pemerasan minyak

mengandung 13-20% protein, yang dapat dimanfaatkan

sebagai pakan ternak. Misalnya biji bunga matahari

termasuk golongan minyak rendah kolesterol menyaingi

minyak jagung, minyak kacang tanah dan minyak kadelai,

sehingga sangat baik untuk kesehatan (Rukmana, 2004).

2.4.2 Asam Stearat

Asam stearat dihasilkan dari minyak sawit atau

minyak kelapa. Asam sterat dapat berbentuk cairan atau

padatan. Pada proses pembuatan sabun transparan, jenis

asam stearat yang dipilih adalah yang berbentuk kristal

putih kekuningan. Kristal putih ini mencair pada suhu

56oC. Pada proses pembuatan sabun, asam stearat

berfungsi untuk mengeraskan dan menstabilkan busa

(Hambali dkk., 2005). Menurut Febriyanti (2015) asam

stearat adalah campuran asam organik padat yang

30

diperoleh dari lemak dan minyak yang sebagian besar

terdiri atas asam oktadekonat dan asam heksadekonat,

berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan

hablur putih atau kuning pucat,mirip lemak lilin. Praktis

tidak larut dalam air, larut dalam bagian. Febriyenti, Sari

dan Novita (2014) menyatakan asam stearat yang memiliki

atom carbon C18 merupakan asam lemak jenuh yang

menyebabkan sabun yang dihasilkan menjadi keras.

Rahayu (2015) juga menyatakan asam stearat digunakan

sebagai pengeras sabun dan penstabil busa, asam stearat

dipilih karena aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan

dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan

tegangan permukaan dari air.

2.4.3 Natrium Hidroksida (NaOH)

Soda kaustik (NaOH) merupakan bahan penting

dalam pembuatan sabun mandi karena menjadi bahan

utama dalam proses saponifikasi dimana minyak atau

lemak akan diubah menjadi sabun. Tanpa bantuan NaOH

maka proses kimia sabun tidak akan terjadi. Setelah

menjadi sabun maka NaOH akan terpecah menjadi unsur

penyusunnya yang netral. Konsentrasi NaOH berpengaruh

terhadap kualitas sabun yang dibuat karena dapat

mempengaruhi pH sabun, asam lemak bebas, alkali bebas

dan kadar air. Tinggi rendahnya konsentrasi NaOH akan

mempengaruhi kesempurnaan proses saponifikasi pada

sabun sehingga secara tidak langsung juga akan

mempengaruhi kualitas sabun yang dihasilkan (Maripa

dkk, 2012). Menurut (Hambali dkk., 2005) Natrium

hidroksida sering disebut dengan kaustik soda atau soda

api yang merupakan senyawa alkali yang mampu

31

menetralisir asam. NaOH berbentuk kristal putih dengan

sifat cepat menyerap kelembaban. Rahayu (2015)

menyatakan NaOH berfungsi sebagai penetralisir asam.

Aquadest ditambahkan sebagai pelarut karena lebih aman,

bersifat inert, lebih murah serta mudah didapatkan.

2.4.4 Gliserin

Gliserin adalah produk samping dari reaksi

hidrolisis antara minyak nabati dengan air untuk

menghasilkan asam lemak. Gliserin merupakan humektan

sehingga dapat berfungsi sebagai pelembab pada kulit.

Pada kondisi atmosfer sedang ataupun pada kondisi

kelembapan tinggi, gliserin dapat melembabkan kulit dan

mudah dibilas. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak

berbau dan memilki rasa manis (Hambali dkk., 2005).

Faktor yang dapat mempengaruhi transparansi sabun

adalah kandungan alkohol, gula, dan gliserin dalam sabun.

Ketika sabun akan dibuat jernih dan bening, maka hal yang

paling penting adalah kualitas gula, alkohol, dan gliserin.

Kandungan gliserin baik untuk kulit karena berfungsi

sebagai pelembab pada kulit dan membentuk fasa gel pada

sabun (Rahadiana dan Luviana, 2014). Kandungan gliserin

berfungsi sebagai humektan, emolient dan sebagai

komponen pembentuk transparan bersama dengan sukrosa

dan alkohol 96% (Febriyenti dkk, 2014). Rahayu (2015)

menyatakan gliserin digunakan sebagai humektan karena

humektan penting digunakan untuk mencegah pengeringan

sediaan. Humektan dapat juga berfungsi sebagai pelican

pada sediaan.

32

2.4.5 Gula Pasir

Gula pasir berbentuk kristal putih. Pada proses

pembuatan sabun transparan gula pasir berfungsi untuk

membantu terbentuknya transparansi pada sabun. Gula

pasir yang ditambahkan dapat membantu perkembangan

kristal pada sabun (Hambali dkk., 2005).

2.4.6 Etanol

Etanol (etil alkohol) yaitu berbentuk cair, jernih

dan tidak berwarna. Etanol merupakan senyawa organik

dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol digunakan sebagai

pelarut pada proses pembuatan sabun transparan karena

sifatnya yang mudah larut dalam air dan lemak (Hambali

dkk., 2005).

2.4.7 Coco-DEA

Coco-DEA merupakan dietanolamida yang

terbuat dari minyak kelapa. DEA dalam formula sediaan

kosmetik berfungsi sebagai surfaktan dan penstabil busa.

Surfaktan adalah senyawa aktif penurun tegangan

permukaan yang bermanfaat untuk menyatukan fasa

minyak dengan fasa air (Hambali dkk., 2005).

2.4.8 Natrium Klorida (NaCl)

Natrium klorida merupakan bahan berbentuk

kristal putih, tidak berwarna dan bersifat higroskopik

rendah. Penambahan NaCl selain bertujuan untuk

pembusaan sabun, juga untuk meningkatkan konsentrasi

elektrolit agar sesuai dengan penurunan jumlah alkali pada

akhir reaksi sehingga bahan-bahan pembuat sabun tetap

seimbang selama proses pemanasan (Hambali dkk., 2005).

33

2.4.9 Asam Sitrat

Asam sitrat memiliki bentuk berupa kristal putih.

Asam sitrat diperoleh melalui proses hidrolisis pati yang

berasal dari tumbuh-tumbuhan. Asam sitrat berfungsi

sebagai agen pengelat (chelating agent) yaitu pengikat ion-

ion logam pemicu oksidasi, sehingga mampu mencegah

terjadinya oksidasi pada minyak akibat pemanasan. Asam

sitrat juga dapat dimanfaatkan sebagai pengawet dan

pengatur pH (Hambali dkk., 2005). Asam sitrat juga

berfungsi sebagai penurun nilai pH (Kirk et al., 1954).

2.4.10 Pewangi

Pewangi ditambahkan pada proses pembuatan

sabun transparan untuk memberikan efek wangi pada

produk sabun yang dihasilkan. Sama halnya dengan aditif

pewarna, pewangi yang ditambahkan tidak boleh memiliki

efek yang berlawanan terhadap sifat transparansi sabun

yang dihasilkan. (Hambali dkk., 2005). Menurut Rahayu

(2015) bahan pewangi berfungsi untuk memperbaiki bau

dari sabun agar menghasilkan bau yang segar. Parfum

termasuk bahan pendukung yang bertujuan untuk

mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik

konsumen.

2.5 Variabel Penelitian

2.5.1 Kadar Air

Kadar air merupakan bahan yang menguap pada

suhu dan waktu tertentu. Maksimal kadar air pada sabun

adalah 15%, hal ini disebabkan agar sabun yang dihasilkan

cukup keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian dan

sabun tidak mudah larut dalam air. Kadar air akan

34

mempengaruhi kekerasan dari sabun. Kadar air yang

dihasilkan dari sabun transparan dengan bahan utama

minyak kelapa yang ditambahkan madu dengan level 0%,

2,5%, 5% dan 7,5% sebesar 30,07%, 29,60%, 29,58% dan

29,53% (Qisty, 2009). Menurut Widyasanti (2017) kadar

air yang dihasilkan dari sabun transparan dengan bahan

utama minyak zaitun yang ditambahkan ekstrak teh putih

dengan level 0%, 0,5%, 1,0% dan 1,5% sebesar 16,97%,

20,82%, 21,99% dan 22,09%. Menurut Dahlia (2015)

kadar air yang dihasilkan dari sabun transparan dengan

bahan yang ditambahkan ekstrak gren tea dengan level 0%,

0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2% sebesar 39,10%, 36,65%,

35,52% , 34,52% dan 35,35%.

2.5.2 pH

Menurut Qisty (2009) umumnya pH madu berkisar

sebesar 3,91. Paling sedikit ada 11 jenis asam yang

diketahui terdapat dalam madu. Keasaman madu

ditentukan oleh disosiasi ion hidrogen dalam larutan air,

namun sebagian besar juga oleh kandungan berbagai

mineral, antara lain Ca, N, dan K (Sihombing, 1997).

Berdasarkan Bailey (1979) pH sabun transparan umumnya

adalah lebih besar dari 9,5. Mencuci tangan dengan sabun

dapat meningkatkan pH kulit sementara, tetapi kenaikan

pH kulit ini tidak akan melebihi 7 (Wasitaatmadja, 1997).

Sedangkan menurut ASTM D 1172-95 (2007) kriteria

mutu nilai pH yaitu berkisar antara 9-11. Nilai pH

kosmetik yang terlalu tinggi atau rendah dapat

menyebabkan iritasi pada kulit. Menurut Qisty (2009) pH

yang dihasilkan dari sabun transparan dengan bahan utama

minyak kelapa yang ditambahkan madu dengan level 0%,

35

2,5%, 5% dan 7,5% sebesar 9,76, 9,69, 9,57 dan 9,56.

Menurut Widyasanti (2017) pH yang dihasilkan dari sabun

transparan dengan bahan utama minyak zaitun yang

ditambahkan ekstrak teh putih dengan level 0%, 0,5%,

1,0% dan 1,5% sebesar 10 untuk semua perlakuan.

Menurut Dahlia (2015) kadar air yang dihasilkan dari

sabun transparan dengan bahan yang ditambahkan ekstrak

gren tea dengan level 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2%

sebesar 10,21, 10,19, 10,09, 10,01 dan 9,78.

2.5.3 Alkali Bebas

Alkali bebas merupakan alkali dalam sabun yang

tidak diikat sebagai senyawa. Kelebihan alkali bebas

dalam sabun tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun Na,

dan 0, 14% untuk sabun KOH karena alkali mempunyai

sifat yang keras dan menyebabkan iritasi pada kulit.

Kelebihan alkali bebas pada sabun dapat disebabkan

karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada

proses penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi

biasanya digunakan untuk sabun cuci (Qisty, 2009). Alkali

bebas adalah alkali dalam sabun yang tidak terikat sebagai

senyawa sabun. Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak

boleh melebihi 0,1 % untuk sabun natrium dan 0,14 %

untuk KOH. Hal ini disebabkan karena alkali mempunyai

sifat yang keras dan dapat mengakibatkan iritasi pada kulit.

kelebihan alkali bebas pada sabun dapat disebabkan karena

konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses

penyabunan. Sabun dengan kadar alkali yang lebih besar

biasanya digolongkan ke dalam sabun cuci (Zulkifli dan

Teti, 2014). Menurut Widyasanti (2017) alkali bebas yang

dihasilkan dari sabun transparan dengan bahan utama

36

minyak zaitun yang ditambahkan ekstrak teh putih dengan

level 0%, 0,5%, 1,0% dan 1,5% sebesar 0,0652%,

0,0691%, 0,0935% dan 0,0584%. Menurut Dahlia (2015)

alkali bebas yang dihasilkan dari sabun transparan dengan

bahan yang ditambahkan ekstrak gren tea dengan level 0%,

0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2% yaitu tidak terdeteksi untuk

semua perlakuan.

2.5.4 Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas merupakan asam lemak pada

sabun yang tidak terikat sebagai senyawa natrium atau pun

senyawa trigliserida (lemak netral) (DSN, 1994).

Tingginya asam lemak bebas pada sabun akan mengurangi

daya membersihkan sabun, karena asam lemak bebas

merupakan komponen yang tidak diinginkan dalam proses

pembersihan. Sabun pada saat digunakan akan menarik

komponen asam lemak bebas yang masih terdapat dalam

sabun sehingga secara tidak langsung mengurangi

kemampuannya untuk membesihkan minyak dari bahan

yang berminyak (Qisty, 2009). Menurut Zulkifli dan Teti

(2014) asam lemak bebas (ALB) merupakan asam lemak

dalam keadaan bebas dan tidak berikatan lagi dengan

gliserol. Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya

reaksi hidrolisis terhadap minyak yang mengalami

ketengikan. Asam lemak bebas dalam minyak tidak

dikehendaki karena degradasi asam lemak bebas tersebut

menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Pada

pengolahan minyak diupayakan kandungan asam lemak

bebas serendah mungkin.

Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada

sebagai asam lemak bebas tidak terikat sebagai trigliserida.

37

Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan

oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Asam

lemak bebas dan peroksida merupakan bagian dari

parameter kulitas minyak. Asam lemak bebas terbentuk

karena proses oksidasi dan hidrolisis. Kandungan asam

lemak bebas yang tinggi akan berpengaruh terhadap

kualitas produk. Asam lemak bebas dalam minyak tidak

dikendaki karena kenaikan asam lemak bebas tersebut

menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Jumlah

asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak dapat

menunujukkan kualitas minyak, dimana semakin tinggi

nilai asam lemak bebas maka semakin turun kualitas

(Nurhasnawati, Risa dan Nana 2015). Menurut Qisty

(2009) asam lemak bebas yang dihasilkan dari sabun

transparan dengan bahan utama minyak kelapa yang

ditambahkan madu dengan level 0%, 2,5%, 5% dan 7,5%

sebesar 0,52%, 0,61%, 0,74% dan 1,12%. Menurut Dahlia

(2015) asam lemak bebas yang dihasilkan dari sabun

transparan dengan bahan yang ditambahkan ekstrak gren

tea dengan level 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2% sebesar

24,56%, 25,02%, 28,33% , 28,91% dan 29,78%.

2.5.5 Minyak Mineral

Minyak mineral merupakan zat atau bahan tetap

sebagai minyak, namun saat penambahan air akan terjadi

emulsi antara air dan minyak yang ditandai dengan

kekeruhan. Minyak mineral adalah minyak hasil

penguraian bahan organik oleh jasad renik yang terjadi

berjuta-juta tahun. Minyak mineral sama dengan minyak

bumi beserta turunannya. Contoh minyak mineral adalah

bensin, minyak tanah, solar, oli, dan sebagainya.

38

Kekeruhan pada pengujian minyak mineral dapat

disebabkan juga oleh molekul hidrokarbon dalam bahan.

Menurut Qisty (2009) minyak mineral yang dihasilkan dari

sabun transparan dengan bahan utama minyak kelapa yang

ditambahkan madu dengan level 0%, 2,5%, 5% dan 7,5%

yaitu negatif untuk semua perlakuan.