Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Rambutan

11
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. AGROWISATA Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha di bidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Anonimous, 2005). Konsep agrowisata merupakan kegiatan yang berupaya mengembangkan sumberdaya alam suatu daerah yang memiliki potensi di bidang pertanian untuk dijadikan kawasan wisata. Daerah perkebunan, sentra penghasil sayuran tertentu dan wilayah perdesaan berpotensi besar menjadi objek agrowisata. Potensi yang terkandung tersebut harus dilihat dari segi lingkungan alam, letak geografis, jenis produk, atau komoditas pertanian yang dihasilkan, serta sarana dan prasarananya (Sumarwoto, 1990). Sementara itu, ada juga pandangan yang menyebutkan bahwa agrowisata adalah usahatani yang pemasarannya berorientasi pada kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan pariwisata. Misalnya usaha penggemukan sapi atau budidaya sayur-sayuran yang pemasaran hasilnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hotel atau restoran yang melayani wisatawan. Di sini teknologi yang diterapkan adalah teknologi usahatani yang dapat mencapai mutu produksi sesuai dengan permintaan hotel atau restoran. Jadi agrowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan agribisnis. Pandangan-pandangan tentang agrowisata sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada dasarnya memberikan pengertian bahwa adanya keinginan untuk mengkaitkan antara sektor pertanian dan sektor pariwisata. Harapannya adalah agar sektor pertanian dapat semakin berkembang, karena mendapatkan nilai-tambah dari sentuhannya dengan sektor pariwisata.

Transcript of Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Rambutan

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. AGROWISATA

Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan

pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata

dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan

hubungan usaha di bidang pertanian. Agrowisata merupakan bagian dari objek

wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata.

Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan

hubungan usaha di bidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang

menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa

meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta

memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang

umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Anonimous, 2005).

Konsep agrowisata merupakan kegiatan yang berupaya mengembangkan

sumberdaya alam suatu daerah yang memiliki potensi di bidang pertanian untuk

dijadikan kawasan wisata. Daerah perkebunan, sentra penghasil sayuran tertentu

dan wilayah perdesaan berpotensi besar menjadi objek agrowisata. Potensi yang

terkandung tersebut harus dilihat dari segi lingkungan alam, letak geografis, jenis

produk, atau komoditas pertanian yang dihasilkan, serta sarana dan prasarananya

(Sumarwoto, 1990). Sementara itu, ada juga pandangan yang menyebutkan bahwa

agrowisata adalah usahatani yang pemasarannya berorientasi pada kegiatan yang

berhubungan dengan pelayanan pariwisata. Misalnya usaha penggemukan sapi

atau budidaya sayur-sayuran yang pemasaran hasilnya diarahkan untuk memenuhi

kebutuhan hotel atau restoran yang melayani wisatawan. Di sini teknologi yang

diterapkan adalah teknologi usahatani yang dapat mencapai mutu produksi sesuai

dengan permintaan hotel atau restoran. Jadi agrowisata merupakan salah satu

bentuk kegiatan agribisnis. Pandangan-pandangan tentang agrowisata

sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada dasarnya memberikan pengertian

bahwa adanya keinginan untuk mengkaitkan antara sektor pertanian dan sektor

pariwisata. Harapannya adalah agar sektor pertanian dapat semakin berkembang,

karena mendapatkan nilai-tambah dari sentuhannya dengan sektor pariwisata.

5

Secara singkat mungkin dapat disebutkan bahwa agrowisata adalah suatu kegiatan

yang secara sadar ingin menempatkan sektor primer (pertanian) di kawasan sektor

tersier (pariwisata), agar perkembangan sektor primer itu dapat lebih dipercepat,

dan petani mendapatkan peningkatan pendapatan dari kegiatan pariwisata yang

memanfaatkan sektor pertanian tersebut. Dengan demikian akan dapat lebih

mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor

primer, atau sektor primer (pertanian) tidak semakin terpinggirkan dengan

perkembangan kegiatan di sektor pariwisata. Kegiatan agrowisata dapat

disebutkan sebagai kegiatan yang memihak pada rakyat miskin (Goodwin, 2000).

2.2. KLASIFIKASI TANAMA RAMBUTAN (Nephelium lappaceum Linn)

Tanaman rambutan (Nephelium lappaceum Linn) merupakan tanaman

buah hortikultura berupa pohon dengan famili Sapindacaeae. Tanaman buah

tropis ini dalam bahasa Inggrisnya disebut Hairy Fruit berasal dari Indonesia.

Hingga saat ini telah menyebar luar di daerah yang beriklim tropis seperti Filipina

dan negara-negara Amerika Latin dan ditemukan pula di daratan yang mempunyai

iklim sub-tropis (Anonimous, 2006 ).

Adapun taksonomi dari tanaman rambutan (Nephelium lappaceum Linn)

adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae (Tumbuhan)

Sub Kerajaan : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Sapindales

Famili : Sapindaceae

Genus Nephelium

Spesies : Nephelium lappaceum Linn.

6

2.3. MORFOLOGI TANAMAN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum

Linn)

Tanaman Rambutan (Nephelium lappaceum Linn) merupakan tanaman

buah hortikultura yang banyak dijumpai di Indonesia karena tanaman rambutan

merupakan tanaman tropis. Tanaman rambutan (Nephelium lappaceum Linn.)

dapat tumbuh dengan baik di daerah yang memiliki curah hujan yang cukup.

Tanaman rambutan (Nephelium lappaceum Linn) banyak dibudidayakan karena

tanaman ini sangat mudah perawatannya dan mempunyai nilai ekonomis yang

cukup baik.

Tumbuhan tropis ini memerlukan iklim lembab dengan curah hujan

tahunan paling sedikit 2.000 mm. Rambutan merupakan tanaman dataran rendah,

hingga ketinggian 300–600 m dpl. Pohon dengan tinggi 15-25 m ini mempunyai

banyak cabang. Daun majemuk menyirip letaknya berseling, dengan anak daun 2–

4 pasang. Helaian anak daun bulat lonjong, panjang 7,5–20 cm, lebar 3,5–8,5 cm,

ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, tangkai silindris,

warnanya hijau, kerapkali mengering. Bunga tersusun pada tandan di ujung

ranting, harum, kecil-kecil, warnanya hijau muda. Bunga jantan dan bunga betina

tumbuh terpisah dalam satu pohon. Buah bentuknya bulat lonjong, panjang 4–5

cm, dengan duri tempel yang bengkok, lemas sampai kaku. Kulit buahnya

berwarna hijau, dan menjadi kuning atau merah kalau sudah masak. Dinding buah

tebal. Biji bentuk elips, terbungkus daging buah berwarna putih transparan yang

dapat dimakan dan banyak mengandung air, rasanya bervariasi dari masam

sampai manis. Kulit biji tipis berkayu. Rambutan berbunga pada akhir musim

kemarau dan membentuk buah pada musim hujan, sekitar November sampai

Februari. Ada banyak jenis rambutan, seperti ropiah, simacan, sinyonya,

lebakbulus, dan binjei. Perbanyakan dengan biji, tempelan tunas, atau dicangkok.

Selain buah, tanaman rambutan juga mempunyai kandungan yang baik

bagi tubuh manusia. Buah mengandung karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi,

kalsium, dan vitamin C. Kulit buah mengandung tanin dan saponin. Biji

mengandung lemak dan polifenol. Daun mengandung tanin dan saponin. Kulit

batang mengandung tanin, saponin, flavonoida, pectic substances, dan zat besi.

(Anonimous, 2012).

7

2.4. KONSEP LAHAN DAN DAYA DUKUNG LAHAN

Lahan merupakan salah satu elemen penting dalam sektor pertanian,

pemanfaatan lahan sebagai salah satu media budidaya tanaman tidak dapat

disangkal lagi. Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup

semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di

bawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan

oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap

penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang

(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Sedangkan menurut FAO (1976) lahan

adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim relief, hidrologi dan

vegetasi, dimana factor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya.

Kualitas lahan adalah sifat-sifat yang kompleks dari satuan lahan.

Kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability),

merupakan dua istilah yang berbeda. Kesesuaian lahan merupakan kecocokan

(adaptability) suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut

dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan

(improvement). Kesesuaian lahan ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya,

terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk status

usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al., 2003).

Kemampuan lahan diartikan sebagai kapasitas suatu lahan untuk berproduksi. Jadi

semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu

wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi, sedangkan kesesuaian

lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land

utilization type) sehingga dalam penggunaan lahan, aspek manajemen juga harus

dipertimbangkan.

Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata

guna tanah yang membandingkan persyaratan yang diminta untuk penggunaan

lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki

oleh lahan yang akan digunakan. Inti prosedur evaluasi kesesuaian lahan adalah

dengan menentukan jenis penggunaan atau jenis komoditas yang akan diusahakan,

kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhan/penggunaannya,

terakhir membandingkan (matching) antara persyaratan penggunaan lahan

8

(pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi

kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode

FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian

lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia

(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976)

dibedakan menurut tingkatannya yaitu:

1. Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara umum. Pada tingkat ordo, kesesuaian

lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang

tergolong tidak sesuai (N).

2. Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian suatu lahan dalam sebuah ordo,

dimana pada tingkat kelas lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke

dalam tiga kelas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai

marginal/sesuai akan tetapi terdapat faktor pembatas yang tidak bisa

diperbaiki (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N)

dibedakan ke dalam 2 kelas yaitu tidak sesuai saat ini (N1) dan tidak sesuai

untuk selamanya (N2).

3. Subkelas, adalah tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan

dibedakan menjadi subkelas berdasarkan karakteristik lahan yang menjadi

faktor pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan. Dalam satu

subkelas, faktor pembatas yang dimiliki maksimum tiga, dengan faktor

pembatas terberat dituliskan pada urutan pertama. Kemungkinan kelas

kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya

sesuai masukan/perbaikan yang dilakukan.

4. Unit, adalah tingkat dalam subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada

aspek tambahan dari pengelolan yang harus dilakukan. Semua unit yang

berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas.

Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek

tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan

tingkat detil dari faktor pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat

unit tersebut memudahkan penafsiran secara detil dalam perencanaan usaha

tani.

9

Berdasarkan dari prosedur yang telah ditentukan, maka diperoleh

keseuaian aktual dan kesesuaian potensial. Kesesuaian lahan aktual adalah

kesesuaian lahan pada saat itu atau kesesuaian alami. Untuk penentuan kelas

kesesuaian lahan aktual, mula-mula dilakukan penilaian terhadap masing-masing

kualitas lahan berdasarkan kualitas lahan terjelek. Kesesuaian lahan aktual

menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data hasil pengamatan fisik lapang dan

data hasil analisis laboratorium.

Kesesuaian potensial adalah kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah

dilakukan usaha-usaha perbaikan lahan. Kesesuaian lahan ini merupakan kondisi

yang diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan

yang diterapkan, sehingga dapat diduga tingkat produktivitasnya per satuan lahan.

Dalam kerangka kerja evaluasi lahan oleh FAO (1976), pendekatan dalam

evaluasi lahan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pendekatan dua tahap (two

stage approach) dan pendekatan paralel (pararel approach). Pendekatan dengan

dua tahap adalah melalui proses evaluasi yang dilakukan secara bertahap, pertama

adalah evaluasi secara fisik lahan dan kedua adalah evaluasi secara ekonomi.

Pendekatan ini biasanya untuk inventarisasi sumberdaya lahan secara makro dan

studi potensi produksi. Pendekatan paralel adalah kegiatan evaluasi lahan secara

fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel) atau pendekatan ini

merekomendasikan analisis sosial ekonomi terhadap jenis penggunaan lahan

dilakukan secara bersamaan dengan analisa faktor-faktor fisik dan lingkungan

lahan tersebut. Pendekatan paralel memberikan hasil yang lebih cepat dan tepat

sehingga lebih menguntungkan untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya

dengan prospek pengembangan lahan.

2.5. KONSEP PENGINDERAAN JAUH

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena

yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Alat yang digunakan adalah alat

pengindera atau sensor yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik

atau wahana lain.

10

Kegiatan penginderaan jauh terbagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu

pengumpulan data dan analisis data, dengan demikian pembicaraan penginderaan

jauh tidak dapat lepas dari alat pengumpul data dan alat analisis data agar

menghasilkan informasi yang bermanfaat. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat

dilakukan dengan berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan

gelombang bunyi atau agihan energi elektromagnetik.

Citra Landsat adalah salah satu contoh bentuk data hasil perekaman

penginderaan jauh dalam bentuk agihan energi elektromagnetik. Citra landsat

biasa digunakan untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam di muka bumi,

khususnya untuk melihat tutupan lahan dan jenis penggunaan lahan. Obyek-obyek

di permukaan bumi mempunyai karakteristik yang berbeda terhadap tenaga

elektromagnetik yang sampai pada obyek tersebut. Prinsip dasar pengenalan objek

dalam penginderaan jauh adalah unsur-unsur interpretasi yaitu rona/warna,

bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs dan asosisi. Tetapi tidak semua

unsur interpretasi tersebut digunakan untuk pengenalan obyek, tergantung kepada

kemudahan interpretasi. Semakin mudah obyek itu dikenali, semakin sedikit unsur

interpretasi yang digunakan. Penginderaan jauh akan semakin sederhana, bila

setiap benda memantulkan dan/atau memancarkan tenaga secara unik diketahui.

Jenis benda yang berbeda dapat memiliki kesamaan spektral dan mempersulit

pembedaan benda tersebut.

Kunci keberhasilan terapan suatu sistem penginderaan jauh terletak pada

manusia (kelompok manusia) yang menggunakan data penginderaan jauh. Data

yang dihasilkan dengan sistem penginderaan jauh hanya akan menjadi

informasi bila seseorang memahami asal-usulnya, mengerti bagaimana

meenginterpretasinya dan memahami bagaimana cara menggunakannya secara

tepat (Lillesand and Kiefer, 1990). Hasil interpretasi data penginderaan jauh

sangat tergantung pada keluasan dan kedalaman pengetahuan dari interpreter

(Munibah, 1992).

2.6. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) pertama kali digunakan pada tahun

1960 yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan geografis. 40 tahun

kemudian perkembangan SIG sudah merambah ke berbagai bidang seperti :

11

1. Pertanian

2. Pertahanan

3. Penyakit epidemik (demam berdarah)

4. Analisis kejahatan (kerusuhan)

5. Navigasi dan vehicle routing (lintasan terpendek)

6. Analisis bisnis (sistem stock dan distribusi)

7. Urban (tata kota) dan regional

8. Planning (tata ruang wilayah)

9. Peneliti: spatial data exploration

10. Utility (listrik, PAM, telpon, dan lain-lain

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan kumpulan yang terorganisir

dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang

dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengolah,

memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang

bereferensi geografis (Permanasari, 2007).

Menurut Husein (2006), SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir

perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat

mendaya gunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara

simultan, sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek

keruangan. SIG merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis

komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (i) mempunyai fenomena aktual

(variabel data non-lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi

bersangkutan; (ii) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan (iii) mempunyai

dimensi waktu.

Sistem Informasi Geografis dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem

sebagai berikut:

a. Data input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan data dan mempersiapkan data

spasial dan atribut dari berbagai sumber dan bertanggung jawab dalam

mengkonversi atau mentransfortasikan format-format data-data aslinya ke

dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

12

b. Data output

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian

basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti : tabel,

grafik dan peta.

c. Data management

Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun data atribut ke

dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update

dan diedit.

d. Data manipulation dan analysis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh

SIG dan melakukan manipulasi serta pemodelan data untuk menghasilkan

informasi yang diharapkan. Jika subsistem SIG tersebut diperjelas berdasarkan

uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada didalamnya, maka

subsistem SIG dapat juga digambarkan sebagai gambar 2.1 :

Sumber: Anonimuos, 2012

Gambar 2.1. Subsistem Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Kuncoro (2003) pemakaian komputer sebagai pengolah data dan

penyimpan data tidak dapat diabaikan dalam perancangan sistem informasi dalam

pengelolaan sumberdaya alam. Disamping karena kebutuhan pengorganisasian

13

dan pengolahan volume unsur-unsur data yang dimuat cukup besar dan

memerlukan kecepatan serta ketepatan pengolahan, kompleksitas operasi-operasi

pengolahan data yang harus dieksekusi, pembatasan waktu pengolahan, juga

karena tuntutan melakukan perhitungan yang benar. Sehingga komputer

merupakan media yang tepat untuk perancangan sistem informasi terpadu ini.

Sumber: Anonimuos, 2012

Gambar 2.2. Instrumen Sistem Informasi Geografis (SIG)

Pemakaian komputer sebagai media perancangan sistem informasi terkait

erat dengan pemilihan teknik (perangkat keras) dan bahasa komputer (perangkat

lunak) yang digunakan untuk implementasi sistem. Pemilihan perangkat keras dan

perangkat lunak ini akan berpengaruh pada ketelitian dari hasil komputasi, biaya

dari operasi sistem, kesesuaian dengan komputer yang tersedia dan efektifitas dari

proses pengambilan keputusan yang akan menggunakan hasil sistem.

Komponen perangkat keras (hardware) berupa komputer (mikrokomputer,

minikomputer, mainframe) dan periferal pendukungnya yang digunakan untuk

menjalankan sistem beserta aplikasi-aplikasinya (Central Processing Unit/CPU,

Keyboard, Monitor, Mouse, dan Printer).

Komponen perangkat lunak (software) mencakup perangkat lunak OS

(Operating System) Windows XP, Piranti lunak ErMapper (untuk pengolahan

14

citra digital), ArcGis 9.2 (untuk pengolahan sistem informasi geografis),

Microsoft Word, Microsoft Excel. Perangkat lunak sistem operasi dibangun di

atas platform Microsoft® Windows XP Professional Edition sebagai perantara

antara perangkat lunak aplikasi sistem dengan perangkat keras komputer.

Perangkat lunak sistem operasi sistem ini berfungsi mengendalikan sumberdaya

komputer yakni pemakaian perangkat keras, perangkat lunak dan data selama

perangkat lunak ini dijalankan. Tujuannya adalah menyediakan lingkungan yang

memungkinkan pemakai dapat menjalankan perangkat lunak aplikasi sistem,

perangkat lunak manajemen basis sistem, dan perangkat lunak pendukung dengan

mudah (Ekadinata at al., 2008).