VARISELA HEMORAGIK PADA ANAK DENGAN IDIOPHATIC ...

19
LAPORAN KASUS Kepada Yth. : Dipresentasikan pada: Hari/Tanggal : Rabu/24 Februari 2016 Jam : 12.00 VARISELA HEMORAGIK PADA ANAK DENGAN IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA Oleh : dr. Putu Nila Wardhani Batan Pembimbing : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2016

Transcript of VARISELA HEMORAGIK PADA ANAK DENGAN IDIOPHATIC ...

0

LAPORAN KASUS Kepada Yth. :

Dipresentasikan pada:

Hari/Tanggal : Rabu/24 Februari 2016

Jam : 12.00

VARISELA HEMORAGIK PADA ANAK

DENGAN IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIC

PURPURA

Oleh :

dr. Putu Nila Wardhani Batan

Pembimbing :

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/

RSUP SANGLAH DENPASAR

2016

1

PENDAHULUAN

Varisela yang dikenal pula sebagai chicken pox atau cacar air merupakan sebuah

penyakit eksantema akut yang menular sebagai akibat infeksi primer varicella-

zoster virus (VZV). Manifestasi klinis varisela berupa gejala konstitusi yang

diikuti kelainan kulit polimorf dan terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.1,2

Varisela dapat dijumpai di seluruh belahan dunia dan tidak ada perbedaan

ras maupun jenis kelamin. Pada era sebelum diperkenalkannya vaksin varisela di

Amerika Serikat tahun 1995, diperkirakan terdapat 4 juta kasus varisela setiap

tahunnya, dengan angka rawat inap mencapai 11.000 per tahun dan angka

kematian 100 per tahun. Setelah diperkenalkannya vaksin varisela, angka

prevalensi varisela di Amerika Serikat menurun sebanyak 90% pada tahun

2005.1,2

Angka kejadian varisela di Indonesia belum pernah diteliti. Berdasarkan

data dari poliklinik Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (IKA-

RSCM) pada tahun 2005-2010 tercatat terdapat 77 kasus varisela tanpa penyulit.3

Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah tahun 2015 tercatat terdapat 23

kasus varisela baru dari 1.792 kunjungan baru.4

Infeksi varisela lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada orang

dewasa. Pada anak yang imunokompeten, penyakit ini biasanya menimbulkan

gejala ringan dan dapat sembuh sendiri, namun beberapa kasus varisela dapat

menimbulkan gejala yang atipikal dan terjadi komplikasi.5,6

Varisela hemoragik merupakan kasus yang jarang terjadi dan biasanya

dijumpai pada pasien imunokompromais dan pasien yang mendapatkan terapi

imunosupresif. Manifestasi klinis atipikal varisela seperti vesikel hemoragik,

memiliki prevalensi hanya 3,3%.7 Erupsi vesikular varisela dapat terlihat berupa

vesikel hemoragik bila pasien menderita trombositopenia yang kemudian

menghasilkan gambaran klinis varisela yang atipikal.8,9

Trombositopenia sendiri dapat dijumpai pada berbagai kondisi. Salah satu

penyebab tersering trombositopenia simptomatik pada anak adalah idiophatic

thrombocytopenic purpura atau yang dikenal pula sebagai immune

thrombocytopenic purpura (ITP). Idiophatic trombocytopenic purpura merupakan

suatu kelainan autoimun yang menyebabkan terjadinya destruksi platelet dan

2

gangguan trombopoiesis. Hampir semua pasien ITP mengalami gejala berupa

perdarahan kutaneus seperti petekie, purpura, dan ekimosis.10,11

Salah satu terapi imunosupresif yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

varisela hemoragik adalah penggunaan kortikosteroid sistemik. Pasien dengan

limfoma dan yang mendapatkan terapi imunosupresif seperti steroid sistemik,

seringkali menderita erupsi varisela yang atipikal. Klinisi seharusnya mewaspadai

kemungkinan terjadinya varisela dengan manifestasi yang atipikal pada pasien

varisela yang memiliki riwayat pengobatan dengan kortikosteroid sistemik.12

Presentasi klinis atipikal yang jarang dijumpai menimbulkan tantangan

dalam penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit ini.13

Diagnosis yang cepat

dan cermat sangat diperlukan untuk memulai terapi yang tepat pada kasus ini.9

Berikut dilaporkan sebuah kasus varisela hemoragik pada anak usia 4

tahun dengan ITP. Tujuan dilaporkan kasus ini adalah untuk mengetahui bahwa

varisela dapat memperlihatkan manifestasi klinis atipikal berupa varisela

hemoragik dan kaitan trombositopenia, khususnya ITP, dengan kejadian varisela

hemoragik.

KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan

nomor rekam medis 15.04.25.80, dikonsulkan dari bagian Pediatri ke bagian Kulit

dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada tanggal 22 Agustus 2015

dengan vesikel kehitaman di seluruh tubuh disertai dengan ITP.

Pasien dikonsulkan dengan keluhan muncul bintil-bintil kehitaman di

seluruh tubuh sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Heteroanamnesis dari ibu

pasien dikatakan bintil diawali dengan ruam kemerahan yang berkembang

menjadi bintil berair berwarna jernih yang kemudian berubah menjadi bintil

berwarna kehitaman. Bintil tersebut berisi cairan kehitaman seperti gumpalan

darah. Bintil awalnya muncul pada bagian dada dan kemudian menyebar ke

seluruh tubuh dan bertambah banyak. Pasien mengeluh demam, badan lemas dan

nafsu makan menurun sejak 3 hari sebelum muncul bintil kehitaman. Saat

3

pemeriksaan dilakukan, tidak didapatkan keluhan demam dan didapatkan bintil

baru pada kaki kiri. Keluhan sesak tidak didapatkan.

Pasien dikeluhkan terdapat memar pada lutut kanan sejak 7 hari sebelum

masuk rumah sakit setelah terjatuh saat bermain di rumah. Pasien memiliki

riwayat sering timbul memar sejak 1 tahun yang lalu. Memar biasanya timbul bila

pasien terjatuh atau dipukul temannya. Pasien juga mengeluh mimisan sebelum

berangkat ke rumah sakit yang hilang sendiri setelah hidung pasien ditekan selama

kurang lebih 10 menit. Pasien memiliki riwayat mimisan berulang yang hilang

dengan penekanan hidung sejak 1 tahun yang lalu. Tidak didapatkan keluhan

berak darah dan muntah darah.

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien belum

pernah menderita cacar air. Pasien tidak memiliki riwayat atopi. Riwayat kontak

dengan teman yang menderita cacar air 2 minggu sebelum muncul bintil

kehitaman. Pasien adalah anak kedua dari 2 bersaudara. Pasien didiagnosis ITP

pada bulan Oktober 2014 dan dirawat inap selama satu bulan di RSUP Sanglah.

Pasien belum mendapat pengobatan untuk keluhan ini. Riwayat minum

obat dan jamu sebelumnya disangkal. Riwayat mengoleskan minyak atau krim

sebelum maupun setelah keluhan muncul disangkal. Pasien mengkonsumsi

metilprednisolon tablet 4-4-3-3 mg rutin setiap hari sejak bulan November 2014.

Pasien telah mendapatkan imunisasi BCG, polio, hepatitis B, DPT, dan campak.

Pasien lahir cukup bulan secara spontan di dokter kandungan dengan berat

3.500 gram dan segera menangis. Pasien mendapat air susu ibu (ASI) sejak lahir

hingga saat ini. Riwayat tumbuh kembang pasien dalam batas normal. Pasien

tinggal serumah dengan kedua orangtua dan seorang kakak.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran kompos

mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 126 kali/menit, respirasi 24

kali/menit, temperatur aksila 36.5oC, berat badan 16 kg, panjang badan 92 cm, dan

indeks masa tubuh 18,9. Status generalis didapatkan kepala normosefali, tidak

didapatkan tanda anemia dan ikterus. Pada penampakan pasien, tidak didapatkan

adanya moon face dan buffalo hump. Pemeriksaan tenggorokan tidak didapatkan

hiperemis. Pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung S1 dan S2 tunggal,

4

reguler, tidak ada murmur. Pemeriksaan paru didapatkan suara napas

bronkovesikuler, tidak didapatkan ronkhi ataupun wheezing. Pemeriksaan

abdomen didapatkan dalam batas normal, tidak terdapat distensi, hepar dan lien

tidak teraba, dan tidak didapatkan striae. Pemeriksaan ekstremitas teraba hangat

dan tidak terdapat edema. Pembesaran kelenjar limfe tidak ada.

Status dermatologis pada lokasi wajah, mulut, badan, punggung, dan

ekstremitas didapatkan efloresensi vesikel multipel, bentuk bulat, berisi darah,

diskret, ukuran bervariasi dengan diameter 0,2-0,5 cm, di atas kulit eritema,

didapatkan pula bula multipel, bentuk bulat dan beberapa bula berkonfluen

berbentuk geografika, dinding tegang, berisi darah, diskret, ukuran bervariasi

dengan diameter 0,6-0,8 cm, di atas kulit eritema. Tanda Nikolsky negatif. Selain

ditemukannya vesikel dan bula, pada lokasi genu dextra didapatkan adanya

efloresensi ekimosis multipel, bentuk oval-geografika, ukuran 2x2-3x4 cm

(gambar 1).

1a

1h 1g

1f

1e

1d

1b

1c

Gambar 1a-h. Manifestasi klinis pada pasien. Tampak vesikel dan bula multipel berisi darah di

atas kulit eritema pada kulit dan mulut pasien.

5

Diagnosis banding pasien adalah varisela hemoragik dan impetigo bulosa.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah hapusan Tzanck pada lesi vesikel

baru pada kaki kiri dengan hasil ditemukan multinucleated giant cell (gambar 2).

Gambar 2. Pada hapusan Tzanck ditemukan adanya multinucleated giant cell.

Pemeriksaan darah lengkap tanggal 22 Agustus 2015 didapatkan leukosit

10,5x103/μL (6-14), neutrofil 6,37x10

3/μL (1,1-6,6), limfosit 2,57x10

3/μL (1,8-9),

monosit 0,42x103/μL (0-1), eosinofil 0,33x10

3/μL (0-0,7), basofil 0,08x10

3/μL (0-

0,1), eritrosit 5,28x106/μL (4,1-5,3), hemoglobin 12,10 g/dL (12-16), hematokrit

36 (36-49), trombosit 5,35x103/μL (140-440), gula darah acak 78 mg/dL (60-100).

Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan BUN 9 mg/dL (8-23) dan kreatinin 0,85

mg/dL (0,7-1,2). Pemeriksaan C-reactive protein (CRP) didapatkan hasil

meningkat yaitu, 41,1 mg/L (0,00-5,00). Pemeriksaan panel hematologi seperti

PPT didapatkan hasil memanjang 13,4 detik (< 11,5), INR 1,22, dan APTT

memanjang 39,8 detik (< 35,2). Pemeriksaan urinalisis didapatkan dalam batas

normal dengan specific gravity 1,010, pH 7 (7,35-7,45), leukosit, nitrit, protein,

glukosa, bilirubin, dan eritrosit ditemukan negatif, keton 5 (+), urobilinogen

normal, dan sedimen urin tidak didapatkan adanya leukosit, eritrosit, dan bakteri.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis kerja

pasien ini adalah varisela hemoragik. Penatalaksanaan yang diberikan adalah

rawat bersama, asiklovir oral 4x20 mg/kgBB/kali ~ 400 mg setiap 6 jam

direncanakan selama 7 hari dan pemberian salisil talk 1%+menthol 0,5% topikal

setiap 12 jam pada lesi vesikel. Keluarga pasien diberi komunikasi, informasi dan

edukasi (KIE) mengenai varisela, kemungkinan penyebab dan cara penularan,

2

6

perawatan yang akan diberikan di rumah sakit, pemeriksaan yang diperlukan dan

komplikasi yang mungkin terjadi serta pengobatan.

Diagnosis bagian Pediatri adalah ITP. Penatalaksanaannya adalah rawat

inap, kebutuhan cairan 1.300 mL/hari dengan pemberian IVFD D5 1/2 NS 18

tetes makro/menit, kebutuhan kalori 1.305 kkal/hari, kebutuhan protein 14,5

gram/hari, diet makanan lunak 3x1 porsi/hari, cefoperazone sulbactam 800 mg

intravena setiap 8 jam, amikacin 300 mg intravena setiap 24 jam, paracetamol

sirup 160 mg dan kompres hangat bila temperatur aksila ≥ 380C dapat diulang

setiap 4 jam. Pasien juga diberikan transfusi thrombocyte concentrate (TC)

sebanyak 5 kantong.

PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI III, TANGGAL 24 AGUSTUS 2015)

Heteroanamnesis dari ibu pasien mendapatkan tidak ditemukan bintil baru,

beberapa bintil telah pecah dan meninggalkan luka yang sebagian telah

mengering. Pasien mulai aktif kembali, namun makan dan minum masih kurang.

Demam, batuk, pilek, sesak dan lemas, mimisan, muntah darah, dan berak darah

tidak ada. Memar pada tungkai bawah sudah tidak ditemukan.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dengan

kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100x/menit,

respirasi 24 kali/menit, suhu aksila 36,8oC. Status generalis dan pemeriksaan

lainnya dalam batas normal.

Status dermatologis pada lokasi wajah, badan, punggung, dan ekstremitas

didapatkan efloresensi vesikel multipel, bentuk bulat, berisi darah, diskret, ukuran

bervariasi dengan diameter 0,2-0,5 cm, di atas kulit eritema, didapatkan pula bula

multipel, bentuk bulat, dinding tegang, berisi darah, diskret, ukuran bervariasi

dengan diameter 0,6-0,8 cm, di atas kulit eritema, beberapa vesikel dan bula telah

pecah dan membentuk erosi multipel, batas tegas, betuk bulat-geografika, diskret,

ukuran bervariasi dengan diameter 0,3x0,3-0,7x1 cm, dan tertutup krusta

kehitaman (gambar 3). Tanda Nikolsky negatif.

7

Gambar 3a-f. Manifestasi klinis pada pengamatan pertama. Tampak masih terdapat vesikel dan

bula multipel yang berisi darah dan sebagian telah pecah dan meninggalkan erosi multipel yang

tertutup krusta kehitaman.

Pemeriksaan Gram dari lesi erosi didapatkan leukosit 1-2/ lpb dan tidak

didapatkan kokus Gram positif ataupun basil Gram negatif. Pemeriksaan darah

lengkap tanggal 24 Agustus 2015 mendapatkan trombosit 8,26x103/μL (140-440),

sedangkan komponen darah lengkap lain dalam batas normal. Hapusan darah tepi

mendapatkan hasil eritrosit normokromik, leukosit kesan dalam jumlah normal,

differential count kesan normal, trombosit kesan jumlah menurun, kesan hapusan

darah tepi: trombositopenia.

Diagnosis kerja pasien adalah follow up varisela hemoragik hari rawat

ketiga. Penatalaksanaan yang diberikan adalah asiklovir oral 400 mg setiap 6 jam

(hari ketiga), salycil talk 1%+menthol 0,5% topikal setiap 12 jam pada lesi

vesikel, dan natrium fusidat krim topikal setiap 12 jam pada lesi erosi. Keluarga

pasien diberi KIE mengenai perkembangan kondisi pasien, perawatan yang

dilakukan di rumah sakit, dan menghindari untuk menggaruk lesi kulit.

3f

3b

3d

3a

3e

3c

8

Diagnosis bagian Pediatri adalah ITP. Penatalaksanaannya adalah

kebutuhan cairan 1.300 mL/hari dengan pemberian IVFD D5 1/2 NS 18 tetes

makro/menit, kebutuhan kalori 1.305 kkal/hari, kebutuhan protein 14,5 gram/hari,

diet makanan lunak 3x1 porsi/hari, transfusi TC 5 kantong, cefoperazone

sulbactam 800 mg intravena setiap 8 jam (hari ketiga), amikacin 300 mg intravena

setiap 24 jam (hari ketiga), paracetamol sirup 160 mg dan kompres hangat bila

temperatur aksila ≥ 380C, yang dapat diulang setiap 4 jam.

PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI VII, TANGGAL 28 AGUSTUS

2015)

Pada pengamatan lanjutan kedua, heteroanamnesis dari ibu pasien tidak

didapatkan adanya bintil baru dan luka telah mengering. Makan dan minum

pasien baik. Tidak didapatkan adanya panas badan, batuk, memar, mimisan,

muntah darah, dan berak darah.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dengan

kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100 kali/menit,

respirasi 24 kali/menit, suhu aksiler 36,5oC. Status generalis dan pemeriksaan lain

dalam batas normal.

Status dermatologis, pada lokasi wajah, badan, dan ekstremitas atas dan

bawah didapatkan efloresensi makula hipopigmentasi multipel, batas tegas,

bentuk bulat-geografika, diskret, ukuran bervariasi 0,3x0,3-0,7x0,7 cm disertai

erosi multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, diskret, ukuran 0,3x0,3-0,7x1

cm, ditutupi krusta kehitaman (gambar 4).

Pemeriksaan darah lengkap tanggal 28 Agustus 2015 mendapatkan

trombosit 3,31x103/μL (140-440), sedangkan komponen darah lengkap lain dalam

batas normal.

Diagnosis kerja pasien adalah follow up varisela hemoragik hari rawat

ketujuh (membaik). Penatalaksanaan asiklovir dihentikan dan natrium fusidat

krim topikal setiap12 jam tetap dilanjutkan, serta memberikan KIE mengenai

perkembangan kondisi pasien dan perawatan yang diperlukan di rumah.

Perawatan dilanjutkan dengan rawat poliklinis.

9

Diagnosis bagian Pediatri adalah ITP. Penatalaksanaannya adalah

kebutuhan cairan 1.300 mL/hari dengan pemberian IVFD D5 1/2 NS 18

tetes/menit, kebutuhan kalori 1.305 kkal/hari, kebutuhan protein 14,5 gram/hari,

transfusi TC 5 kantong, cefoperazone sulbactam 800 mg intravena setiap 8 jam

(hari ketujuh-hari terakhir), amikacin 300 mg intravena setiap 24 jam (hari

ketujuh-hari terakhir), paracetamol sirup 160 mg dan kompres hangat bila

temperatur aksila ≥ 380C, yang dapat diulang setiap 4 jam. Pasien rencana

diberikan kortikosteroid sistemik pada hari kedelapan perawatan,

metilprednisolon 2 mg/kgBB/hari ~ 10 mg oral setiap 8 jam.

PEMBAHASAN

Varisela adalah penyakit infeksi akut primer yang disebabkan oleh VZV yang

menyerang kulit dan mukosa. Varisela dapat mengenai semua kelompok umur,

namun hampir 90% kasus mengenai anak usia di bawah 10 tahun dengan usia

puncak 5-10 tahun.1,3,14

Gambar 4a-g. Manifestasi klinis pada pengamatan kedua. Tampak makula hipopigmentasi

multipel yang disertai erosi multipel yang ditutupi krusta coklat kehitaman.

4a

4g 4f 4e

4d

4c 4b

10

Varisela merupakan penyakit yang sangat menular, dengan angka

penularan pada anggota keluarga lain sebesar lebih dari 90%. Rute utama

penularan varisela adalah melalui saluran pernapasan dan dapat juga menular

akibat kontak langsung dengan lesi. Masa inkubasi varisela berkisar antara 10-21

hari dengan masa inkubasi rata-rata 14 hari.1,2

Multiplikasi VZV pertama kali terjadi di saluran napas bagian atas. VZV

kemudian menginfeksi sel T tonsilar dan menyebar ke aliran darah dan limfatik

yang disebut sebagai viremia primer. Sel T yang terinfeksi akan membawa virus

ke sistem retikuloendotelial yang merupakan tempat utama virus bereplikasi

selama periode inkubasi. Virus juga dibawa ke kulit yang merupakan tempat

terjadinya respon imun inat dan terbentuknya ruam kulit. Saat masa inkubasi

berlangsung, tubuh mulai membentuk respon imun spesifik terhadap VZV. Pada

sebagian besar individu, replikasi virus tersebut melebihi respon imun host,

sehingga 2 minggu setelah infeksi akan terjadi viremia sekunder yang kemudian

menyebabkan terjadinya manifestasi klinis varisela.1

Manifestasi klinis varisela biasanya diawali dengan gejala prodromal yang

diikuti dengan munculnya lesi kulit. Lesi kulit varisela dimulai dengan timbulnya

makula yang berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta dalam

beberapa hari. Vesikel pada varisela berbentuk bulat-oval, berisi cairan jernih, dan

berada di atas kulit eritema. Cairan vesikel cepat menjadi keruh karena sel

inflamasi dan menjadi pustul, kemudian pecah dan mengering menjadi krusta

yang terkelupas dalam waktu 1-3 minggu. Lesi varisela bersifat polimorfik. Ruam

kulit umumnya terkonsentrasi pada badan dan kepala dan kemudian menyebar ke

bagian ekstremitas. Vesikel juga dapat dijumpai pada mukosa mulut, hidung,

faring, laring, trakea, saluran gastrointestinal, saluran kemih, dan genitalia.1,2

Varisela umumnya digolongkan penyakit ringan yang dapat sembuh

sendiri.6,15

Pada pasien imunokompromais dapat terjadi manifestasi atipikal

varisela seperti lesi hemoragik.9 Keadaan ini jarang dijumpai pada anak yang

sehat.5,16,17

Varisela hemoragik merupakan kasus yang jarang terjadi dan biasanya

dijumpai pada pasien imunokompromais dan pasien yang mendapatkan terapi

11

imunosupresif.9,17

Varisela hemoragik memiliki kaitan dengan trombositopenia.8

Erupsi vesikular varisela dapat terlihat berupa vesikel hemoragik bila pasien

menderita trombositopenia yang kemudian menghasilkan gambaran klinis varisela

yang atipikal.9,15

Patogenesis terjadinya varisela hemoragik ini masih belum diketahui

secara pasti. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa vesikel merupakan tempat

utama terjadinya perdarahan bila jumlah platelet di bawah normal. Mekanisme

terjadinya varisela hemoragik diduga sebagai akibat dari peningkatan tekanan

intrakapiler sebagai akibat sekunder dari hiperemia kutaneus yang kemudian

mengakibatkan ekstravasasi dari sel darah merah ke dalam vesikel.18

Diagnosis varisela umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gambaran

klinis dan diperkuat dengan adanya riwayat kontak dengan penderita varisela

dalam kurun waktu 2-3 minggu.1,2

Untuk memastikan diagnosis, dapat dilakukan

hapusan Tzanck yang akan memperlihatkan multinucleated giant cell, namun

pemeriksaan ini tidak hanya spesifik untuk infeksi VZV. Pada pemeriksaan

histopatologi ditemukan celah intraepidermal, akantolisis, degenerasi nuklear dan

dapat ditemukan multinucleated giant cell dengan perubahan inti yang khas.

Metode konfirmasi lain meliputi pemeriksaan serologis untuk mendeteksi IgA dan

IgM terhadapVZV serta pemeriksaan kultur virus. Kultur virus membutuhkan

medium transpor khusus dan membutuhkan waktu yang lama. Metode deteksi

virus indirek seperti polymerase chain reaction (PCR) lebih berguna dan dapat

mengkonfirmasi manifestasi klinis yang tidak biasa pada infeksi varisela.1,2,9

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan penunjang. Dari heteroanamnesis didapatkan keluhan timbul bintil kehitaman

di seluruh tubuh sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Bintil diawali dengan

ruam kemerahan yang berkembang menjadi bintil berair berwarna jernih dan

kemudian berubah menjadi bintil berwarna kehitaman. Bintil tersebut berisi cairan

kehitaman seperti gumpalan darah. Bintil awalnya muncul pada dada dan

menyebar ke seluruh tubuh dan pecah meninggalkan luka. Pasien juga mengeluh

demam, badan lemas dan nafsu makan menurun sejak 3 hari sebelum muncul

bintil kehitaman. Pasien tidak pernah menderita keluhan yang sama. Riwayat

12

kontak dengan teman yang menderita cacar air 2 minggu sebelum munculnya

bintil kehitaman. Pemeriksaan fisik mendapatkan status generalis dalam batas

normal. Dari pemeriksaan pada lokasi wajah, mulut, badan, punggung, dan

ekstremitas didapatkan efloresensi vesikel multipel, bentuk bulat, berisi darah, di

atas kulit eritema, didapatkan pula bula multipel, bentuk bulat dan beberapa bula

berkonfluen berbentuk geografika, dinding tegang, berisi darah, di atas kulit

eritema. Tanda Nikolsky negatif. Pada pengamatan lanjutan pertama ditemukan

pula erosi multipel yang ditutupi krusta kehitaman. Pemeriksaan hapusan Tzanck

menemukan multinucleated giant cell dan pengecatan Gram mendapatkan leukosit

dalam batas normal dan tidak ditemukan bakteri. Pemeriksaan laboratorium

mendapatkan adanya trombositopenia, sedangkan CRP didapatkan meningkat dan

PPT serta APTT memanjang. Keseluruhan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang tersebut mendukung diagnosis varisela hemoragik.

Diagnosis banding varisela pada anak adalah impetigo bulosa. Impetigo

bulosa disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus. Impetigo bulosa terjadi

lebih sering pada bayi dan anak-anak. Karakteristik dari penyakit ini adalah

timbulnya vesikel yang berubah menjadi bula secara cepat. Bula biasanya timbul

pada daerah kulit yang normal. Bula pada awalnya berisi cairan kuning bening

yang berubah menjadi kuning gelap dan keruh dan berbatas tegas tanpa halo

eritema. Bula yang ada superfisial dan dalam satu atau dua hari pecah dan

membentuk krusta tipis berwarna cokelat terang hingga kuning keemasan. Tanda

Nikolsky tidak ditemukan. Pengecatan Gram dari eksudat impetigo bulosa

memperlihatkan kumpulan kokus gram positif.1,2

Pada kasus, pasien adalah seorang anak berusia 4 tahun, dengan keluhan

adanya bintil berair yang diawali dengan gejala prodromal. Bintil berair kemudian

berubah menjadi bintil kehitaman pada seluruh tubuh, bintil mucah pecah, dan

kemudian meninggalkan luka. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan efloresensi

berupa vesikel dan bula multipel berisi darah di atas kulit eritema, dan erosi

multipel yang tertutup krusta kehitaman. Hapusan Gram tidak mendapatkan

adanya kokus Gram positif dan jumlah leukosit dalam batas normal, akan tetapi

13

pada hapusan Tzanck ditemukan multinucleated giant cell, sehingga diagnosis

banding impetigo bulosa ini dapat disingkirkan.

Salah satu penyebab tersering trombositopenia simptomatik pada anak

adalah ITP.6 Idiophatic trombocytopenic purpura adalah sebuah kelainan

perdarahan oleh karena sistem imun merusak platelet yang mememiliki peranan

penting dalam hemostasis primer. Insiden tahunan ITP adalah sekitar 3-8 kasus

per 100.000 anak, dengan puncak insiden pada anak usia 2-5 tahun.10,11

Individu dengan ITP akan menderita trombositopenia, suatu keadaan

dengan jumlah platelet di bawah batas normal, yaitu kurang dari 150.000/μL.

Trombositopenia pada ITP umumnya bermanifestasi sebagai kecenderungan

terjadinya perdarahan, seperti purpura, petekie, dan ekimosis. Pada pasien ITP

dapat pula ditemukan gejala perdarahan mukokutaneus dan perdarahan yang lama

berhenti setelah trauma minor.11,19

Proses patologis yang mendasari terjadinya ITP adalah terbentuknya

autoantibodi yang bereaksi dengan antigen permukaan platelet. Mekanisme yang

umum terjadinya adalah pembentukan autoantibodi antiplatelet melalui aktivasi

limfosit β. Antibodi ini merusak platelet glikoprotein, seperti glikoprotein IIb/IIIa.

Autoantibodi juga dapat merusak megakaryosit dan mengganggu produksi platelet

pada sumsum tulang. Bila autoantibodi ini berikatan dengan platelet, maka

autoantibodi tersebut akan menyebabkan platelet keluar dari sirkulasi melalui

fagositosis oleh sistem retikuloendotelial, terutama limfa. Hal ini mengakibatkan

umur platelet memendek dan terjadi trombostopenia.10,11

Diagnosis ITP ditegakkan secara klinikopatologis. Anamnesa yang cermat

meliputi onset dan pola perdarahan, serta ditunjang dengan pemeriksaan

laboratorium akan dapat membantu menegakkan diagnosis ITP.11

Pemeriksaan

laboratorium sederhana yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap

dan hapusan darah tepi. Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya hanya

didapatkan trombositopenia dengan jumlah platelet < 20.000/μL. Pada hapusan

darah tepi dijumpai adanya trombositopenia tanpa disertai kelainan morfologi

pada sel darah merah dan sel darah putih. Pada ITP dapat pula dilakukan

pemeriksaan antibodi antiplatelet untuk mendeteksi adanyanya antibodi terhadap

14

platelet, namun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan sumsum

tulang memperlihatkan prekursor eritroid dan myeloid yang normal, dengan

terdapat peningkatan jumlah megakaryosit yang tampak lebih besar dan imatur.

Kortikosteroid telah digunakan sejak lama sebagai terapi ITP pada semua

kelompok umur. Idiophatic thrombocytopenic purpura pada anak diterapi dengan

oral metilprednisolon (2 mg/kgBB/hari) dan diikuti degan penurunan dosis hingga

jumlah trombosit meningkat.10,11

Pasien didiagnosis menderita ITP sejak bulan Oktober 2014.

Heteroanamnesis mendapatkan riwayat mimisan sebelum datang ke rumah sakit

yang menghilang setelah dilakukan penekanan hidung. Pasien memiliki riwayat

sering mimisan dan sering timbul memar setelah terjatuh sejak satu tahun yang

lalu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia, dan PPT serta

APTT yang memanjang. Hapusan darah tepi juga memperlihatkan

trombositopenia. Dari bagian Pediatri, pasien diterapi dengan transfusi TC 5

kantong setiap hari dan rencana diberikan kortikosteroid sistemik pada hari rawat

kedelapan yaitu metilprednisolon 2 mg/kgBB/hari ~ 10 mg oral setiap 8 jam.

Selain memiliki kaitan dengan patogenesis varisela hemoragik,

trombositopenia dan ITP dapat pula merupakan komplikasi varisela yang jarang

terjadi dan biasanya timbul sebagai komplikasi tahap lanjut.6 Trombositopenia

umumnya terjadi pada kasus varisela berat, namun bila ditemukan terjadinya

trombositopenia pada anak yang imunokompeten biasanya terjadi tanpa sekuele.

Trombositopenia sebagai komplikasi pada varisela memiliki kaitan dengan

terjadinya perdarahan pada lesi kulit, perdarahan visceral, dan risiko berkembang

menjadi disseminated intravascular coagulation.5,20,21

Mekanisme utama patogenesis trombositopenia dan ITP sebagai

komplikasi varisela adalah terjadinya destruksi platelet yang dipicu oleh sistem

imun, namun produksi sumsum tulang yang menurun, agregasi platelet yang

dipicu virus (dan diikuti oleh fagositosis atau lisis) juga merupakan faktor yang

signifikan.5,20,21

Tidak terdapat marker prediktif yang dapat mengidentifikasi

pasien akan mengalami komplikasi pada fase akut infeksi ataupun akan

mengalami ITP di kemudian hari.6

15

Varisela hemoragik tidak hanya berkaitan dengan trombositopenia,

terdapat pula beberapa laporan kasus mengenai kejadian varisela hemoragik pada

pasien asma dan sinfrom nefritik yang ketergantungan terhadap steroid.9,15

Pasien

dengan limfoma dan yang mendapatkan terapi imunosupresif seperti steroid

sistemik, seringkali menderita erupsi varisela yang atipikal (purpura, ekimosis,

dan vesikel hemoragik). Penggunaan kortikosteroid sistemik juga dicurigai

meningkatkan risiko terjadinya varisela berat.12

Pada masa awal penggunaan glukokortikoid secara luas pada pertengahan

tahun 1950, berbagai laporan yang mendeskripsikan hubungan antara penggunaan

kortikosteroid dan varisela telah didokumentasikan. Erupsi varisela atipikal akibat

penggunaan steroid sistemik jangka panjang dapat terjadi pada berbagai lokasi.

Erupsi ini disebabkan oleh perubahan jaringan ikat dermal di sekitar pembuluh

darah dan terjadi vasodilatasi yang kemudian menimbulkan gejala purpura,

ekimosis, dan vesikel hemoragik.12

Pasien mengkonsumsi Metilprednisolon tablet 4-4-3-3 mg rutin setiap hari

sejak bulan November 2014. Manifestasi klinis varisela yang atipikal mungkin

memiliki kaitan dengan penggunaan kortikosteroid jangka panjang selain

berkaitan dengan trombositopenia akibat ITP yang diderita pasien.

Pengobatan infeksi varisela sangatlah penting, terutama pada pasien risiko

tinggi seperti pasien imunokompromais dan pasien dengan komplikasi contohnya

pneumonia, ensefalitis, atau keterlibatan okular. Asiklovir merupakan obat pilihan

utama infeksi VZV yang harus diberikan sedini mungkin. Pada anak yang

menderita infeksi VZV diberikan asiklovir oral 20 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari

selama 5 hari. Pemberian antivirus ini bertujuan menghentikan terbentuknya lesi

baru dan durasi ruam, demam, serta gejala konstitusional. Pilihan terapi lain

adalah famsiklovir dan valasiklovir.1,23

Terapi topikal merupakan terapi penunjang

varisela yang bergantung pada stadium penyakit. Pada lesi vesikel diberikan

bedak dan pada erosi dapat diberikan antibiotik topikal untuk mencegah terjadinya

infeksi sekunder.1,2

Antipiretik dibutuhkan bila terdapat demam, tetapi pemberian

salisilat harus dihindarkan.1

16

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah rawat bersama dengan

bagian Pediatri, pemberian asiklovir oral 4x20 mg/kgBB/kali ~ 400 mg setiap 6

jam selama 7 hari, salisil talk 1%+menthol 0,5% topikal setiap 12 jam pada lesi

vesikel, dan natrium fusidat krim topikal setiap 12 jam pada lesi erosi. Antipiretik

diberikan sesuai saran bagian pediatri yaitu dengan paracetamol sirup 160 mg dan

kompres hangat bila temperatur aksila ≥ 380C, yang dapat diulang setiap 4 jam.

Sebagian besar kasus varisela pada anak memiliki prognosis yang baik

dengan angka morbiditas dan mortalitas yang rendah. Varisela hemoragik

memiliki prognosis yang baik apabila pengenalan gejala yang atipikal dan

pemberian antiviral serta terapi suportif dilakukan dengan cepat dan cermat, serta

tidak disertai dengan komplikasi varisela yang lain meliputi pneumonitis,

glomerulonefritis, nekrosis retinal, myokarditis, dan ensefalitis.5,9,18

Pada kasus, tidak didapatkan komplikasi lokal dan sistemik dan telah

didapatkan perbaikan lesi kulit, meskipun pada pasien didapatkan lesi varisela

yang atipikal. Prognosis pasien adalah dubius ad bonam.

SIMPULAN

Telah dilaporkan kasus varisela hemoragik pada anak usia 4 tahun dengan

ITP. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

penunjang. Heteroanamnesis mendapatkan keluhan bintil berair yang diawali

gejala prodromal, dan kemudian berubah menjadi bintil kehitaman sejak 3 hari

sebelum masuk rumah sakit. Riwayat penyakit cacar didapatkan pada teman

pasien. Pemeriksaan fisik mendapatkan status dermatologis pada wajah, mulut,

badan, punggung, dan ekstremitas dengan efloresensi vesikel dan bula multipel,

berisi darah, di atas kulit eritema, dan erosi multipel yang tertutup krusta

kehitaman. Hapusan Tzanck mendapatkan multinucleated giant cell.

Penatalaksanaan yang diberikan adalah asiklovir oral 4x20 mg/kgBB/kali ~ 400

mg setiap 6 jam selama 7 hari, salisil talk 1%+menthol 0,5% topikal setiap 12 jam

pada lesi vesikel, natrium fusidat krim topikal setiap 12 jam pada lesi erosi, dan

KIE. Prognosis pasien adalah baik.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varisela and Herpes Zoster. In: Wolff

K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds.

Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th

ed. New York: McGraw

Hill. 2012. p. 2383-401.

2. Anne AG. Varicella-Zoster Virus Infections. Pediatrics in Review. 2008;

29(1): 5-11.

3. Sondakh CC, Kandou RT, Kapantow GM. Profil Varisela di Poliklinik Kulit

dan Kelamin RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado Periode Januari-Desember

2012. Journal e-Clinic. 2015; 3(1): 181-185.

4. Anonim. Buku Register Kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit

Umum Pusat Sanglah Denpasar 2015.

5. Gancheva GI, Doichinova TG, Lukanov TC. Complications of Varicella –

Report Case with Hemorrhagic –Necrotic Rash and Cerebellar Ataxia. The

Journal of Medical Research. 2014; 14: 1-6.

6. Abro AH, Ustadi AM, Gangwani JL, Abdou AM, Chandra FS, Al-Haj A.

Varicella Induced Trombocytopenia in Adults. Pakistan Journal of Medical

Science. 2009; 25(1): 7-11.

7. Kole AK, Roy R, Kole DC. An observational study of complications in

chickenpox with special reference to unusual complications in an apex

infectious disease hospital, Kolkata, India. Journal of Postgraduate Medicine.

2013; 50(2): 93-97.

8. Mashhood AA, Salamat N. Fatal hemorrhagic chickenpox in a case of acute

promyelocytic leukaemia. Journal of Pakistan Association of Dermatologist.

2008; 18: 119-121.

9. Umstattd LJ, Reichenberg JS. Varicella Pneumonia with Immune

Thrombocytopenic Purpura: A Patient with Multiple Complications.

Continuing Medical Education. 2008; 82: 309-402.

10. Cuker A, Cines DB. Immune Thrombocytopenia. American Society of

Hematology. 2010; 10: 377-84.

11. Blanchette MF. Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP): A New Look at

and Old Disorder. Blood Type Spring. 2010; 10: 1-6.

12. Dowel SF, Bresee JS. Severe Varicella Associated with Steroid Use.

Pediatrics. 2003; 92(2): 223-228.

13. Gnaan JW. Varicella-Zoster Virus: Atypical Presentations and Unusual

Complications. The Journal of Infectious Diseases. 2002; 186(1): 91-98.

14. Arvin AM. Varicella-Zoster Virus. Clinical Microbiology Reviews. 2006; 12:

361-381.

15. Sharma CM, Sharma D, Agrawal RP. Hemorrhagic Varicella in Chronic Liver

Disease. Journal of Global Infectious Disease. 2014; 6(1): 39-41.

16. Suwabe H, Yabe H, Tsutsumi Y. Relapsing hemorrhagic varicella. Pathology

International. 1996; 46: 605-609.

17. Nadir A, Masood A, Majeed A. Chicken pox associated thrombocytopenia in

adults. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2006;

16(4): 270-2.

18

18. Miller HG, Stephan M. Hemorrhagic Varicella: A Case Report and Review of

the Complications of Varicella in Children. American Journal of Emergency

Medicine. 2003; 11(6): 633-638.

19. Cines DB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. The New

England Journal of Medicine. 2002; 346: 995-1008.

20. Hamada M, Yasumoto S, Furue M. A Case of Varicella-Associated Idiopathic

Thrombocytopenic Purpura in Adulthood. The Journal of Dermatology. 2014;

31(6): 477-479.

21. Amir A, Gilad O, Yasobovic J, Scheuerman O, Tamary H, Garty BZ. Post-

varicella thrombocytopenic purpura. Acta Paediatrica. 2010;99(9):1385-8.

22. Wiegering V, Schick J, Beer M, Weissbrich B, Gattenlohner S. Varicella-

zoster virus infections in immunocompromised patient-a single centre 6-years

analysis. BMC Pediatric. 2011; 11: 31-38.

23. Dirk M.Elston. Antiviral Drugs. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In

General Medicine. 8th

ed. New York: McGraw Hill. 2012. p.2787-2796.