TUTORIAL Rinitis Alergika

49
TUTORIAL RHINITIS ALERGI Pembimbing : dr. Hj, Fitriah Shebubakar, Sp.THT Disusun Oleh : Sakina J.H.Saleh Andy Ainun Zamirah Rio Oktabyantoro SMF THT RS ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN

description

tutorial rinitis alergi

Transcript of TUTORIAL Rinitis Alergika

Page 1: TUTORIAL Rinitis Alergika

TUTORIAL

RHINITIS ALERGI

Pembimbing :

dr. Hj, Fitriah Shebubakar, Sp.THT

Disusun Oleh :

Sakina J.H.Saleh

Andy Ainun Zamirah

Rio Oktabyantoro

SMF THT RS ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

Page 2: TUTORIAL Rinitis Alergika

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya

pada kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial dengan judul ”Rhinitis Alergi”

sesuai pada waktu yang telah ditentukan.

Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para

pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari suatu

proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik

kehidupan sehari-hari.

Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami

dalam kelancaran pembuatan laporan tutorial ini, dr. Hj. Fitriah Shebubakar, Sp.THT. Semoga

laporan ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan

laporan kami.

Jakarta, Maret 2015

Penyusun

Page 3: TUTORIAL Rinitis Alergika

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi terhitung sebagai keluhan utama dari 50% pasien baru pada bidang THT.

Keahlian dalam menatalaksana masalah alergi dari saluran pernafasan bagian atas adalah

keahlian yang sangat berharga sebagai seorang ahli THT. 1

Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan

laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang

disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.

Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit

yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-

hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan

semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.2

BAB II

Page 4: TUTORIAL Rinitis Alergika

ANATOMI HIDUNG

2.1. ANATOMI

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1

1. pangkal hidung (bridge),

2. dorsum nasi,

3. puncak hidung,

4. ala nasi,

5. kolumela dan

6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1

Page 5: TUTORIAL Rinitis Alergika

1. tulang hidung (os nasalis),

2. prosesus frontalis os maksila dan

3. prosesus nasalis os frontal

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu: 1

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau

Page 6: TUTORIAL Rinitis Alergika

lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares

posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares

anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang

rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila

dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina

kuadrangularis) dan kolumela. 1

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian

tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral

hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi

sebagian besar dinding lateral hidung. 1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah

ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka

superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga

rudimenter. 1

Page 7: TUTORIAL Rinitis Alergika

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di

antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.

Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.

Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius

terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris

merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila

dan sinus etmoid anterior.1

Page 8: TUTORIAL Rinitis Alergika

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar

rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung

sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari

rongga hidung. 1

2.2. PENDARAHAN

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.1

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di

antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior

konka media. 1

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian

depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,

a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach

letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis

terutama pada anak. 1

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 1

Page 9: TUTORIAL Rinitis Alergika

2.3. PERSARAFAN

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga

hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

sfenopalatina. 1

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-serabut

sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-

serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit

di atas ujung posterior konka media. 1

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada

mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

2.4. MUKOSA HIDUNG

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa

pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel

torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan

diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang

terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah

Page 10: TUTORIAL Rinitis Alergika

muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.

Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 1

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.

Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 1

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel

terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan

limfoid. 1

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak

pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal.

Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel.

Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang

dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini

mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang

lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan

kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan

vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1

Page 11: TUTORIAL Rinitis Alergika

BAB III

FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah: 1

1. Fungsi respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran

tekanan dan mekanisme imunologik local.

2. Fungsi penghidu

Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus

penghidu.

3. Fungsi fonetik

Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah

hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

4. Fungsi static dan mekanik

Untuk meringankan beban kepala.

5. Reflex nasal.

3.1 FUNGSI RESPIRASI

Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu naik

ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran

udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 1

Page 12: TUTORIAL Rinitis Alergika

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,

udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut

lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 1

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi pengatur

suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan

konka dan septum yang luas. 1

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung

oleh: 1

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lender

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel

yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

3.2 FUNGSI PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel

bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik

napas dengan kuat. 1

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis

yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang

atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 1

Page 13: TUTORIAL Rinitis Alergika

3.3 FUNGSI FONETIK

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara

sengau (rinolalia). 1

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara

sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga

mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. 1

3.4 REFLEKS NASAL

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas

berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan

pankreas.1

Page 14: TUTORIAL Rinitis Alergika

BAB IV

RHINITIS ALERGI

4.1 DEFINISI

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,

1986). 1

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1

Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini

diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja.

Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis

dan rhinosinusitis.3

4.2 ETIOLOGI

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara

genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.

Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang

tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan

dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan

merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1

Page 15: TUTORIAL Rinitis Alergika

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara

pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan

lain-lain.1

4.3 PREVALENSI

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,

diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan

global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga

telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa

menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa

berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.3

4.4 PATOFISILOGI

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-self" yang

berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan

limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar sistem

kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell

dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek

imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan

antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan terutama

jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja di

Page 16: TUTORIAL Rinitis Alergika

berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang

hal tersebut.5

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic

reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan

dapat berlangsung 24-48 jam. 1

Gambar 4. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. 1

Page 17: TUTORIAL Rinitis Alergika

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan

Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti

IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 1

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan

sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT

C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut

sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 1

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan

sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang

Page 18: TUTORIAL Rinitis Alergika

ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 1

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,

netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5

dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil

dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban

udara yang tinggi. 1

4.5 GAMBARAN HISTOPATOLOGIK

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran

sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung. 1

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang

Page 19: TUTORIAL Rinitis Alergika

tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi

jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. 1

Gambar 5. Jenis Alergen

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan

Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan

serta jamur.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan

Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan

Misalnya: penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa

Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Page 20: TUTORIAL Rinitis Alergika

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi

gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial dan rhinitis

alergi. 1

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari: 1

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non

spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah

sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil

dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada

defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat

bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

4.6 KLASIFIKASI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 1

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Page 21: TUTORIAL Rinitis Alergika

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang

mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan

spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino

konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata

(mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi

musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah

alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan

utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor).

Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering

merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain,

seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial

lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten

maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi : 1

1. Intermiten (kadang-kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap

Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Page 22: TUTORIAL Rinitis Alergika

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1

1. Ringan

Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat

Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

4.7 DIAGNOSIS

4.7.1 Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis

alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan

sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya

lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-

kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 1

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,

hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar

(lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali

gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung

tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh

Page 23: TUTORIAL Rinitis Alergika

pasien.1 Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-

batuk lebih jarang dikeluhkan.4

4.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak

hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala

spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang

terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic

shiner.1

Gambar 6. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,

dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan

menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di

dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.1

Page 24: TUTORIAL Rinitis Alergika

Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior

faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring

menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 1

Gambar 8. Facies Adenoid

Gambar 9. Geographic Tongue

Page 25: TUTORIAL Rinitis Alergika

4.7.3 Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan

nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,

misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan

ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu

keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST

(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay

Test). 1

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,

tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah

banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya

infeksi bakteri.1

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET).

SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab

juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 1

Page 26: TUTORIAL Rinitis Alergika

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat

diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi

(³Challenge Test´).1

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah

berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis

makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala

menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 1

4.8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:1,6

1. Rhinitis Non-alergik

Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan

oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan

alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).

Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya, antara

lain:

- rhinitis vasomotor

- rhinitis gustator

- rhinitis medikamentosa

- rhinitis hormonal

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)

Page 27: TUTORIAL Rinitis Alergika

Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-silia) ditandai

oleh penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar (PKS). Manifestasi klinis

termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis

yang umum di masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis

sinus frontalis.7

4.9 TATALAKSANA

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 1

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis

alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral. 1,4

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat

lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)

dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini

antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,

sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin

generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

Page 28: TUTORIAL Rinitis Alergika

selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,

antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 1,4

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif

untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non

sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok

pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.

Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda

dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia

medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,

setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 1

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 1

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

Page 29: TUTORIAL Rinitis Alergika

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan

Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset

obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat

menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.4

Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine

HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-

12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari

obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 4

c. Antikolinergik

Page 30: TUTORIAL Rinitis Alergika

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor. 1

d. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai

adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah

bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif

terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat

sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat

ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,

obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel

netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai

profilaksis. 1

e. Lainnya

Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 1

Page 31: TUTORIAL Rinitis Alergika

Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa

pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi

gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. 8

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti

atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior

hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3

25% atau triklor asetat1

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan

sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang

memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan

penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan

sublingual. 1

4.10 KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 1

1. Polip hidung.

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasa

Page 32: TUTORIAL Rinitis Alergika

BAB IV

KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan

alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Gejala

utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air

bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair, kemerahan dan gatal. RA merupakan

penyakit umum dan sering dijumpai.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.

Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute dan allergic

crease.

Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin dapat

menunjang penegakan diagnosis RA.Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin diperlukan tes

alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik). Pemeriksaan

terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.

Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang

terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.

DAFTAR PUSTAKA

Page 33: TUTORIAL Rinitis Alergika

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

3. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis.

2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.

4. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.

Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.

5. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck Surgery:

Third Edition. 1998. St Louis: Mosby

6. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:

http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 10 Januari 2011.

7. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di:

http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU.

Diunduh pada 10 Januari 2011.

8. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the Treatnement of

Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8

Januari 2011.