Dermatitis Alergika
-
Upload
ayu-deni-pramita -
Category
Documents
-
view
92 -
download
0
Transcript of Dermatitis Alergika
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah hipersensitifitas tipe lambat yang disebabkan
oleh alergen, dihasilkan dari dari kontak kulit dengan alergen tertentu dimana pasien telah
mengembangkan sensitivitas tertentu. Reaksi alergi menyebabkan peradangan kulit
dimanifestasikan dengan berbagai derajat eritema, edema, dan vesikula1,2.
Di Amerika kejadian DKA yang di laporkan 7% terkait dengan penyakit pekerja pabrik,
karena hanya mengenai orang yang kulitnya peka atau hipersensistif. Di perkirakan di Amerika
perbadingan antara DKA akibat pekerja pabrik dengan yang bukan pekerja jauh lebih tinggi yang
bukan pekerja pabrik. Secara umum , usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitivitas namun,
DKA jarang di jumpai pada anak – anak. Bila di lihat dari jenis kelamin DKA pada wanita
cenderung dua kali lipat lebih tinggi kejadianya di bandingkan dengan laki – laki1,11.
Penyebab DKA adalah bahan - bahan yang sederhana yang mempunya berat molekul
yang rendah, merupakan allergen yang belum diproses, bersifata hipofilik, sangat reaktif, dapat
menembus stratum korneum, dan beberapa hal yang berpengaruh terhapat DKA , misalnya
potensi sensitifitas allergen dll 4.
Manifestasi klinis pada umumnya gatal. Dermatitis Kontak Alergika dapat dibagi
menjadi akut dan kronis, pada DKA akut bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian di
ikuti dengan edema, papilavesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis kulit kering , skuama,
papul, likenifikasi, dan fisur10. Dalam menegakan diagnosa di lakukan dengan uji tempel, di
gunakan untuk mengetahui sensitifitas tubuh pasien terhadap berbagai allergen8,9.
Kortikosteroid topikal merupakan andalan pengobatan, tapi yang penting lagi adalah
mengidentifikasi dan menghapus agen penyebab potensial. Jika tidak diobati akan terjadi
peningkatan resiko untuk dermatitis kronis dan berulang1,2.
Kami mengambil DKA sebagai referat karena ini merupakaan penyakit berulang jika
dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan. Bila tidak di temukan bahan alergennya maka
sangat menggangu dalam menjalankan aktifitasnya atau pekerjaannnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah keradangan kulit yang di sebabkan bahan atau
substansi yang menempel pada kulit dan termasuk dalam reaksi hipersensitive tipe lambat 2,4.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika kejadian DKA yang di laporkan 7% terkait dengan penyakit pekerja pabrik,
karena hanya mengenai orang yang kulitnya peka atau hipersensistif. Di perkirakan di Amerika
perbadingan antara DKA akibat pekerja pabrik dengan yang bukan pekerja jauh lebih tinggi yang
bukan pekerja pabrik. Secara umum , usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitivitas namun,
DKA jarang di jumpai pada anak – anak. Bila di lihat dari jenis kelamin DKA pada wanita
cenderung dua kali lipat lebih tinggi kejadianya di bandingkan dengan laki – laki1,11.
2.3 Etiologi
Penyebab DKA adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul
kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Beberapa faktor yang
berpengaruh dalam dermatitis kontak iritan, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit
area, luas daerah yang tekena, lamanya pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan,
vehikulum, dan pH, juga faktor individu misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak ( keadaan
stratum korneum , ketebalan epidermis ), status imunologik (misalnya sedang dalam keadaan
sakit, terpapar sinar matahari ) 4.
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus
Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya
adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat
rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol
(karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)4,10.
2.4 Patogenesis
Dermatitis kontak alergika adalah dermatitis akibat mekanisme hipersensitivitas kulit
yaitu reaksi imunologik yang spesifik yang dapat bersifat akut atau kronik. Secara statistik
insiden dermatitis kontak alergen lebih sedikit dibanding dermatitis kontak iritan yaitu 20:80.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya
penetrasi di kulit. Ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi
dermatitis kontak alergi yaitu 4.6.
1) Fase sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase eferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi
terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak
atau pemeka. Hal ini terjadi bila hapten masuk ke dalam stratum korneum akan di tangkap oleh
sel langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau
sitosol serta dikonjugasikan pada melekul Human Leukocyte Atigen – DR (HLA-DR) menjadi
antigen lengkap. Sel LE kemudian menuju duktus limfatikus dan menuju ke parakortek
Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen pada molekul Cluster of
Diferentiation 4+ (CD4+) dan molekul CD 3. CD 4+ berfungsi sebagai pengenal komplek HLA-
DR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 merupakan pengenal antigen yang lebih
spesifik, misal untuk ion chrom saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan
sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan sel antigen. Selanjutnya sel Langerhans dirangsang
untuk mengeluarkan Interleukin – 1 (IL-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan
Iterleukin - 2 (IL-2). Kemudian IL-2 merangsang terjadinya proliferasi sel T sehingga terbentuk
primed memory T cell, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan
akan memasuki fase elisitasi bila kontak dengan alergen yang sama. Proses ini berlangsung pada
manusia selama 14-21 hari, dan belum terjadi ruam pada kulit.Pada saat ini individu telah
tersensitisasi yang berarti mempunyai risiko untuk mengalami dermatitis kontak alergi4,6.
2) Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi bila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama
dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans
akan mengsekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2
akan merangsang Interferon (INF) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi Intercelluler Adhesion Molecul-1 (ICAM-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan Lekosit serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel Mast dan
makrofag untuk melepaskan histamine sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti ertema, edema dan vesikula
yang nampak sebagai dermatitis4,6.
3.4 Manifestasi Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut di mulai bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemudian diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
dan menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata,
penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat
kulit kering , berskuama, papul, likenifikasi, dan fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit di
bedakan dengan dermatitis kontak iritaan kronis4.
Gambar : DKA pada tangan dan tungkai
3.5 Diagnosa
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan
anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing
celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang
pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik)4.
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan
kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran,
di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena
sebab-sebab endogen4
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada
umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah
sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian
tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis4.
3.6 Pemeriksaan Uji Tempel
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin
setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar
lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang
utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam
dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan
tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema
dengan urtikaria sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak
atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena
iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi
kontak makin meningkat (reaksi tipe crescendo)7,8,9.
Penilaian atau Interpretasi atau Pembacaan
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 15 - 25 menit kemudian, supaya
kalau ada tanda-tanda akibat tekanan, penutupan dan pelepasan dari Unit uji tempel yang
menyerupai bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam pendapat.
Yang dianjurkan oleh ICDRG (International Contact Dermatitis Research Group) sebagai
berikut8:
+ atau ˜ : hanya eritema lemah: ragu-ragu
+ : eritema, infiltrasi (edema), papul: positif lemah
++ : eritema, infiltrasi, papul, vesikel: positif kuat
+++ : bula: positif sangat kuat
˜ : tidak ada kelainan : iritasi
NT : tidak diteskan
Bila perlu, misalnya dugaan klinis kuat, tetapi hasil tes negatif, pembacaan dilakukan 72
jam setelah penempelan, atau bahkan juga 1 minggu setelah penempelan, tanpa menempelkan
lagi bahan tadi. Ini untuk mengetahui mungkin reaksinya lambat (delayed reaction).
Pada pembacaan mungkin kita dapat kecewa oleh karena terjadinya beberapa reaksi yang tidak
kita harapkan, misalnya:
a) Reaksi iritasi
b) Reaksi alergi oleh unit uji temple
c) Maserasi oleh kelenjar keringat
d) Retensi keringat
e) Miliaria
f) Perubahan warna dari bahan
g) Reaksi isomorfik (fenomen koebner)
h) Reaksi pustulasi
i) Reaksi positif palsu
j) Folikulitis
Di sini yang hampir serupa yaitu bentuk reaksi alergi dengan reaksi iritasi, maka untuk ini perlu
kita bedakan:
Reaksi Positif Palsu
Reaksinya sendiri betul-betul positif, tidak palsu. Yang dimaksud “palsu” disini yaitu apabila
tidak mencerminkan reaksi alergi terhadap bahan yang diteskan itu, tetapi reaksi timbul oleh
karena adanya faktor-faktor lain, misalnya9:
a) Dalam bahan tes maupun unit uji tempel terdapat unsur - unsur yang iritatif.
b) Bahan tes dengan konsentrasi yang terlalu tinggi atau jumlahnya terlalu banyak.
c) Kulit dalam keadaan terlalu peka, misalnya bekas dermatitis, sedang menderita dermatitis
yang akut atau luas dan sebagainya.
Hal yang mungkin terjadi pada uji temple.
Terjadi Reaksi Positif
Ini menunjukkan bahwa penderita bersifat alergik terhadap bahan yang diteskan. Hasil ini
akan sangat berarti bila bahan tersebut sesuai dengan dugaan yang diperoleh dari riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik, hingga diagnosis yang mantap bisa ditegakkan. Akan tetapi
mungkin pula hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita perkirakan. Ini bisa terjadi bila kita
melakukan tes dengan bermacam-macam bahan, terutama bahan tes standar. Kemungkinan
terjadinya hal ini oleh karena8,9:
a) reaksi positif terhadap bahan tersebut sesuai dengan dermatitis masa lalu, yang pada saat
ini tidak tampak, tetapi kulit masih tetap peka terhadap bahan tersebut, sedangkan
penyebab dari dermatitis yang sekarang belum dapat dibuktikan.
b) Penderita memang peka terhadap beberapa bahan yang menimbulkan reaksi positif, yang
tidak ada hubungannya dengan penyakit sekarang. Ia belum pernah menderita dermatitis
yang disebabkan oleh bahan-bahan itu oleh karena belum ada kesempatan atau tidak
penah kontak dengan bahan tersebut secaracukup lama.
c) Reaksi tersebut masih ada hubungannya dengan dermatitis yang sekarang, tetapi tidak
secara langsung, yaitu berupa kepekaan silang (cross sensitisation). Bahan penyebab
dermatitis yang sekarang mempunyai struktur kimia yang serupa dengan bahan yang
menimbulkan reaksi positif. Sebagai contoh : bahan dalam cat rambut dengan bahan
anestesi lokal. Kalau penderita peka terhadap cat rambut, mungkin ia peka pula terhadap
anestesi lokal.
Terjadinya reaksi negative
Kemungkinannya adalah:
a) Memang penderita tidak peka terhadap bahan yang diteskan.
b) Negatif palsu, yaitu yang semestinya positif, tetapi oleh karena beberapa kesalahan
teknik, reaksinya negatif. Ini disebabkan antara lain oleh karena:
Nilai ambang konsentrasi belum tercapai.
Bahan tersebut bersifat photo-sensitiser, yang untuk terjadinya reaksi positif
diperlukan sinar matahari atau sinar ultra violet.
Bahan sudah rusak.
Kalau riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan fisik cukup jelas merupakan alergi
terhadap bahan tertentu, maka dugaan masih tetap ada meskipun reaksi negatif. Pembacaan bisa
dilakukan lagi setelah 72 jam setelah penempelan tanpa menempelkan lagi bahan tes tersebut.
Kemungkinan terjadi reaksi tertunda (delayed reaction), hingga reaksi menjadi positif. Akan
tetapi kalau dalam penundaan pembacaan ini kulit tempat patch test tadi terbuka atau terkena
sinar matahari, masih ada kemungkinan lain yaitu bahwa bahan tersebut bersifat photo-
sensitiser8,9.
Gambar : Tes Tempel
3.7 Diagnosa Banding
Kelaian kulit DKA sering tidak menunjukan gambaran morfologi yang tidak khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau proriasis. Diagnona
banding yang terutama adalah dermatitis kontak iritan (DKA) lebih jelasnya dapat di liat pada tabel 4,11:
Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak alergika
Gejala Akut
Kronik
Nyeri
Gatal / nyeri
Gatal
Gatal/nyeri
Lesi Akut
Kronis
Eritema vesikel erosi
Crusta skuama
Papula, Plak, fisur, skuama dan
krusta
eritema palula vesikel
erosi krusta skuama
Papula, plak, skuama, krusta
Batas dan
lokasi
Jelas, berbatas tegas pada
tempat terjadinya kontak.
Jelas, terbatas pada terjadinya
kontak tapi bisa menyebar di
daerah sekirnya ; berupa papula
kecil; biasa menjadi generalisata.
Perubahan Akut
Kronik
Cepat ( beberapa jam setelah
paparan)
bulanan sampai tahunan
apabila terjadi paparan terus
menerus
Tidak begitu cepat ( 12 sampai 72
jam setelah paparan )
Bulan atau lebih lama, kambuh
setiap mendapat paparan
Factor Tergantung dari konsentrasi Relative tidak bergatung dari
pencetus dari agen dan keadaan barier
kulit; terjadi hanya di atas
ambang batas.
jumlah pemakaian, konsentrasinya
bisanya sangat rendah sudah
cukup tetapi juga tergantung dari
derajat kepekaan
Insiden Bisa terjadi hampir pada setiap
orang
Terjadi hanya pada orang yang
sensitive.
3.8 Penatalaksanaan
Hal yang perlu di perhatikan dalam pengobatan DKA adalah upaya mencehah
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.3
Kortikosteroid dapat di berikan jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA
akut yang di tandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif misalnya
prednisone 30 mg/hari. Umumnya kelaina kulit akan meredan beberapa hari. Sedangkan kelainan
kulit cukup di kompres dengan garam faali atau air salisil.2,4
Untuk DKA ringan atau akut yang telah mereda dapat diberikan kortikosteroid
( hidrokortisone 2,5 % ) atau makrolaktam (Pimecrolimum) secara topical.2,3
2.9 Monitoring terapi
Individu dapat mengembangkan alergi baru. Seorang pasien yang mengalami kambuh
atau memburuknya DKA mungkin memerlukan pengetahuan riwayat penyakit lebih lanjut dan
mungkin pemantauan dengan tes patch1,2.
2.10 Prognosa
Seseorang dengan DKA umunnya baik, yang perlu diperhatikan biasanya sering persisten
atau kambuh, terutama jika bahan yang menyebabkan alergi tidak diidentifikasi atau jika mereka
terus melakukan perawatan kulit yang tidak sesuai (yaitu, mereka terus menggunakan bahan
kimia untuk membersihkan kulit mereka,dan juga mereka tidak memberikan krim emolien
lembut untuk melindungi kulit mereka)1.
Semakin lama seseorang mengalamai DKA akan menjadi lebih berat, semakin lama
penyebabnya teridentifikasi akan memakan waktu lama untuk mengatasinya1,2.
BAB III
RINGKASAN
Dermatitis Kontak Alergika adalah keradangan kulit yang di sebabkan bahan atau
substansi yang menempel pada kulit dan termasuk dalam reaksi hypersensitive tipe lambat.
Beberapa factor yang berpengaruh dalam dermatitis kontak iritan, misalnya potensi
sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang tekena, lamanya pajanan, oklusi, suhu
dan kelembapan lingkungan, vehikulum, pH dan juga factor individu.
Gambaran klini acut dari DKA di mulai bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
di ikuti dengan edema, papilavesikel, vesikel atau bula, gambaran kronis kulit kering ,
berskuama, papul, likenifikasi, dan mukin juga fissure, batasnya tidak jelas.
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan
anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji temple
Uji Tempel Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila
mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di
bagian luar lengan atas. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu
dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai
vesikel atau bula.
Penatalaksanaan adalah mengurangi rasa gatal, pasien di berikan hidrokortoson topikal,
antihistamin , dan beberapa agen atipruritik. Apabila pasien yang mengalami kondisi yang berat
dapat di berikan kortikosteroid sistemik. Pasien juga dapat menggunakan astringen untuk
mempercepat pengeringan luka yang basah sehingga memberika penutup pelindung kulit yang
mengalami inflamasi. Selain itu juga dapat di berikan antiseptic untuk melindungi dari infeksi
sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jacobs JJ, Lehé CL, Hasegawa H, Elliott GR, Das PK. Skin irritants and contact
sensitizers induce Langerhans cell migration and maturation at irritant concentration. Exp
Dermatol. Jun 2006;15(6):432-40.
2. Shaffer MP, Belsito DV. Allergic contact dermatitis from glutaraldehyde in health-care
workers. Contact Dermatitis. Sep 2000;43(3):150-6
3. Pohan S. dkk. 2005. Dermatitis Kontak. Dalam Pedoman dan Terapi Bagian Ilmu
penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. Surabaya: FK Unair, hal 5 – 8.
4. Djuanda, Adhi dan Sularsito, S.A., 2011. Dermatitis. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, Hal. 133 – 138.
5. Mustiastutik, Dwi. Dkk. 2011. Dermatitis Kontak. Dalam Atlas Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi kedua. Surabaya: Pusat Penerbit dan Percetaka FK Unair, Hal. 104 -105.
6. Suwondo Ari, Jayanti Siswi, Lestantio Daru. Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan
Dermatitis Kontak Pekerja Industri Tekstil “X” di Jepara. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Indonesia. Vol 6 Nomer 2 Tahun 2010. Hal 95 – 96.
7. Sulaksmono. 2000. Dermatosis Akibat Kerja, Bahan Buku Ajar. FKM Unair. Surabaya.
8. Sulaksmono, M.200. Keuntungan dan Kerugin Tes Tempel. Dalam Bagian Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat. Surabaya.
9. Suyoto. 1997. Uji Tempel, Seminar Penyakit Kulit Akibat Kerja, Jakarta.
10. Sularsito S.A., 2004. Dermatitis Kontak Alergika dalam Subono, H., Kumpulan Makalah
Seminar Kontak Dermatitis, FK UGM , Yogyakarta.
11.