Rintis Alergika

27
RINITIS ALERGI PENDAHULUAN Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya.Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman tertentu pada orang-orang yang alergi terhadap zat ini. (1) Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) bekerjasama dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten berat.Ini merupakan kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi. Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun komplikasi masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup.(2) Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis 1

description

sedikit info mengenai rhinitis alergika, semoga dapat membantu sesama sejawat dan sesama yang membutuhkan

Transcript of Rintis Alergika

Page 1: Rintis Alergika

RINITIS ALERGI

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus

meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya.Rinitis

alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE pada

mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer,

obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya

terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman tertentu pada orang-orang

yang alergi terhadap zat ini. (1) Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi

diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan

(perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan

WHO 2001 membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan

kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi

diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan

dan persisten berat.Ini merupakan kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar

20% dari populasi. Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun

komplikasi masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat

mengganggu kualitas hidup.(2) Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis alergi

sebelum usia 30, tapi kejadiannya dapat terjadi pada usia kapanpun. Alergi rhinitis

tidak memiliki predileksi seksual. Ada kecenderungan genetik yang kuat untuk rhinitis

alergi. Satu orang tua dengan riwayat rhinitis alergi memiliki sekitar 30 persen

kesempatan untuk memproduksi keturunan dengan gangguan tersebut Resiko

meningkat sampai 50 persen jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi. Pasien

dapat sangat dibatasi dalam kegiatan sehari hari,sehingga dalam waktu yang

berlebihan dari sekolah atau bekerja. 4

1

Page 2: Rintis Alergika

DEFENISI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan

dengan alergen spesifik tersebut ( Von Pirquet,1986).

Defenisi menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma )

tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperentarai oleh IgE. 1

EPIDEMIOLOGI

Meskipun insiden rinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang

sekitar 10% dari populasi umum (Norman, 1985). Polip hidung dan sinussitis

tampaknya meningkat pada penderita rinitis alergika. Suatu kumpulan berupa

kepekaan terhadap aspirin, polip hidung, dan asma brokhial telah ditemukan pada 2 %

dari 28 % penderita asma bronkhial (Giraldo dkk; MC Donald dkk). Penderita

demikian serngkali akan mengalami masalah dengan agent-agent anti radang non

steroid seperti indometasin dan ibuprofen. 2

ETIOLOGI

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi.

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan

ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan.

Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa

pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi

musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

2

Page 3: Rintis Alergika

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang

peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya debu

tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor

kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk

tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu

identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor

nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau

merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG

Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan

pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid

dengan bagian-bagian dari atas ke bawah : pangkal hidung, (bridge), dorsum nasi,

puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. 4

Gambar 1 : Hidung luar 4

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),

prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka

3

Page 4: Rintis Alergika

tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis

inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa pasang kartilago ala

minor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2 : Hidung bagian dalam 4

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut

vibrase. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh

tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,

vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan

adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,sedangkan

diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.Bagian depan dinding lateral hidung licin,

4

Page 5: Rintis Alergika

yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi

sebagian besar dinding lateral hidung. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah

konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah

konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya

rudimenter. 4

Gambar .3 : Concha nasalis 4,7

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari

labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut

meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior

terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga hidung.

Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius

terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius

terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid.

Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara

sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang

merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat sinus etmoid

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan

dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior

atau atap hidung sangat sempit dan di bentuk oleh lamina kribriformis, yang

memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 4

5

Page 6: Rintis Alergika

PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2

fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)

yang berlangsung secara kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late

Phase Allergic Reaction atau reaksi tipe lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung

sampai 24-48 jam 1,5

.Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell /APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah di proses,

antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung denganmolekul

HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II ( Major  Histocompatility

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel

penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL 3,IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel

limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh

reseptor IgE dipermukaan sel mastoid atau basofil (sel mediiator) sehingga kedua sel ini menjadi

aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi

terpapar dengan alergen yanng sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen

spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan

akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Preformed  Mediators)

terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly formed mediators antara

lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4),

bradikinin, Pletelet Activating Factor PAFdan berbagai sitokin IL3, IL4, IL5, IL6, GM-

CSF Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor dll. Inilah yang disebut sebagai

reaksi alergi fase cepat (RAFC) 1,5

.Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vadianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan

kelenjar mukosa dan sel globet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler

meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat

6

Page 7: Rintis Alergika

vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga

menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran

Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). 1,5

Pada RACF, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditanndai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit,neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte macrophag colony

stimulating factor (GM-CSF)dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala

hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic

Derivated Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

dapat memberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan

kelembaban udara yang tinggi. 1,5

KLASIFIKASI RHINITIS ALERGI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya,yaitu:

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal,hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak

dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.

Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh

karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena

gejala klinik yang tampak ialah pada hidung dan mata (mata merah,gatal

disertai lakrimasi) 1,3

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (peremmia). Gejala pada penyakit ini timbul

intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan

sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergi inhelen, terutama

pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama ialah alergen

dalam rumah (indoor ) dan alergen luar rumah (autdoor) alergen ingestan

sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan

gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan

fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan

7

Page 8: Rintis Alergika

musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering

ditemukan. 1,3

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (AllergicRhinitis and its Impact on Asthma)tahun 2001, yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intrmiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu

2. Persisten / menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu.1,8,9

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit,rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menggangu

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas. 1,8,9

Intermiten

Gejala

≤ 4 hari per minggu

atau ≤ 4 minggu

Persisten

Gejala

> 4 hari per minggu

dan > 4 minggu

Ringan

tidur normal

aktivitas sehari-hari, saat olah

raga dan santai normal

bekerja dan sekolah normal

tidak ada keluhan yang

mengganggu

Sedang-Berat

Satu atau lebih gejala

tidur terganggu

aktivitas sehari-hari, saat olah

raga dan santai terganggu

masalah dalam sekolah dan

bekerja

ada keluhan yang mengganggu

8

Page 9: Rintis Alergika

DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi ditegakan berdasarkan :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting,karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Gejala rintis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,terutama pada pagi hari atau

bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hali ini merupakan

mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning

process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-

kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah

keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan

mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar

(lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.

Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau

satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 1,3

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan

gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga

tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan.

Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.Keadaan menggosok hidung ini

lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garing melintang di dorsum

nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering

terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding

posterior faing tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta

dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta

(geographic tongue). 1

9

Page 10: Rintis Alergika

3. Pemeriksaan penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat dapat normal atau meningkat.

Demekian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immuno-sorbent test)

seringkali menunjukan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih

dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma

bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan

alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang

tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio

Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay

Test). Pemeriksaan sitologi hidung,walaupun tidak dapat memastikan

diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya

eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Jika

basofil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,sedangkan jika

ditemukan sel PMN menunjukan adanya infeksi bakteri. 1

In vivo :

Alergan penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan, atau intadermal yang tunggal atau berseri (skin End-point

Tetration/SET) SET dilakukan untuk alergan inhalan dengan menyuntikan

alergan dalam berbagai konsentrasi yang vertingkat kepekaaannya.

Keuntungan SET, selain alergan penyebab juga derajat alergi serta dosis

inhalasi untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku

emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge test”)

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada “Challenge test” makanan yang dicurigai diberikan pada

pasien setelah berpantang salama lima hari, selanjutnya di amati reaksinya.

Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkn dari menu makanan

sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis

makanan. 1

PENATALAKSANAN

10

Page 11: Rintis Alergika

1. Terapi yang paling ideal denagan menghindari kontak alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompentitif pada reseptor H-1 sel terget, dan merupakan

prefarat farmakologi yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rinitis alergi. Pemeberiaan dapat dalam kombinasi atau tanpa

kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu golongan antihistamin

generasi- 1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak ( mempunyai

efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang

termasuk kelompok ini antara lain adalah : difenhidramin, klofeniramin,

promesetin, siproheptidin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal

adalah azelastin. 1

Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar

darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak

mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP

minimal (non sadatif). Antihistamin di absorpsi secara oral dengan cepat

dan mudah serta elektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat

seperti rinore, bersin, gatal tetapi tidak elektif untuk mengatasi gejala

obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi

menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah

astemisol dan terpenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas

terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda

dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan

kematiaan mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok ke 2 adalah

loratadin, seyirisin feksofenadin, desloratadin dan lefosetirisin 1

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin

atau topikal namun pemakain secara topikal hanya boleh untuk beberapa

hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

11

Page 12: Rintis Alergika

dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid,

flunisolid,flutikason,mometason furoat dan triamsinoloson). Kortikosteroid

topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa

hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dan eosinofil,

mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini

menyebabkan epitel hidung tidak hiperresonsif terhadap rangsangan

alergan (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium

kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit ( mungkin menghambat

ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase

lambat, obat ini juga menghambat aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan

monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropin bromida, bermamfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien

(zafirluast /montelukast) anti igE,DNA rekombinat.1

3. OPERATIF

Tindakan konkostomi parsial (memotong sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multipel outfractured, inferior turbinoplasty perlu

dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan

dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 1

4. IMUNOTERAPI

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalasi dengan gejala yang

berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah

pembentukan IgG bloking antibody adalah penurunan IgE. Ada 2 metode

imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub lingual.1

12

Page 13: Rintis Alergika

Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA 1

Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran allergen

Intermitten Persisten/menetap

Ringan Sedang/berat Ringan Sedang/berat

KS topical

Evaluasi setelah 2-4 minggu

13

-AH oral/topical atau

- AH + dekongestan

oral atau- KS topical atau- Na kromoglikat

↓Gejala persisten

↓Evaluasi setelah

2-4 minggu↓

Jika gagal: maju 1 langkah

Jika th/ berhasil:

- AH oral/ topical atau

- AH + dekongestan oral

Membaik↓

Th/ Mundur 1 langkah

dan th/ diteruskan

Tidak ada↓

- salah diagnosis- nilai kepatuhan

pasien- komplikasi/

infeksi- factor kelainan

Tingkatkan dosis

intranasal KS

Rinore menetap

↓Ipratroprium bromida

Sumbatan hidung

menetap↓

Dekongestan (3-5 hari) atau

KS oral (jangka pendek)

↓Gagal

Bersin/Gatal

hidung↓

Tambahkan H1

Page 14: Rintis Alergika

KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi

utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia

sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited

mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-

lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan

metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4

dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi alergis.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat

edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia

menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan

penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara

rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama

bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya

fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-

mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis

akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi

ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral

maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan

rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotik

adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

14

Page 15: Rintis Alergika

KESIMPULAN

  

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang

disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang

ada diudara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin,

keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi yaitu : mata berair,

kemerahan dan gatal.RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.

 

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner,

allergic salutedan allergic crease. Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit)

terhadap berbagai allergen mungkin dapat menunjang penegakan diagnosis RA. Bila

hasil belum dapat mengetahui mungkin diperlukan tes alergi intra dermal.

Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).Pemeriksaan terhadap lgE

spesifik terhadap alergen tertentu. Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat

keparahan penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen

pemicu.

SARAN

1. Mencegah timbulnya rinitis alergi dengan menghindari alergen

2. Jika ada yang memperberat rinitis alergi disarankan untuk memeriksa ke klinik

3. Apabila rinitis alergi tidak kunjung sembuh ada baiknya untuk memeriksa

imunoglobulin, sehingga kita tau penyebab rinitis alergi

4. Menjaga kebersihan dan lingkungan sekitar rumah

15

Page 16: Rintis Alergika

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.Dr.Eflaty Arsyad Soepardi,Prof.Dr.Nurbaiti Iskandar, DR.Dr .Jenny

Bashiruddin, DR.Dr. Ratna Dwi Restuti. (2009). Teling-Hidung-Tenggorok

Kepala Leher.Jakarta : FK UI Hal 128-133

2. George L Adams, Lawrence R Boies, Peter A Higler. (1997). Boies

Fundamentals of Otolaryngology . Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : PT

EGC, Hal 196-198

3. D.Thane R. Cody M.D., C.M., Ph.D.,Eugene B. Kern, M.D., M.S., Bruce W.

Pearson, M.D., F.R.C.S. (C.) (1993). Penyakit Telinga, Hidung dan

Tenggorokan (Diseasea of the Ears, nose, and Throat) Penuntun untuk

Diadnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran Hal

171-176

4. http://www.scribd.com/doc/54701092/rinitis-alergi

5. http://www.scribd.com/doc/56499837/PATOFISIOLOGI-RINITIS-ALERGI

6. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.

7. Prof. Dr. Med. R. Putz – R.Pabts. Atlas Anatomi Manusia. Edisi ke 19.

Jakarta : EGC 1997

8. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus SimadibrataK,

Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI. Hal 255-256

9. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).

16

Page 17: Rintis Alergika

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II. PEMBAHASAN................................................................................ 2

DEFENISI.......................................................................................... 2

ETIOLOGI.........................................................................................

ANATOMI......................................................................................... 3

PATOFISIOLOGI............................................................................. 6

8

KLASIFIKASI..........................................................................

DIAGNOSIS.............................................................................

PENATALAKSANAAN...........................................................

KOMLIKASI............................................................................

KESIMPULAN.........................................................................

17