Rintis Alergika
-
Upload
indrawirak -
Category
Documents
-
view
37 -
download
1
description
Transcript of Rintis Alergika
RINITIS ALERGI
PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus
meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya.Rinitis
alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE pada
mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer,
obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya
terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman tertentu pada orang-orang
yang alergi terhadap zat ini. (1) Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi
diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan
(perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan
WHO 2001 membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan
kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi
diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan
dan persisten berat.Ini merupakan kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar
20% dari populasi. Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun
komplikasi masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat
mengganggu kualitas hidup.(2) Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis alergi
sebelum usia 30, tapi kejadiannya dapat terjadi pada usia kapanpun. Alergi rhinitis
tidak memiliki predileksi seksual. Ada kecenderungan genetik yang kuat untuk rhinitis
alergi. Satu orang tua dengan riwayat rhinitis alergi memiliki sekitar 30 persen
kesempatan untuk memproduksi keturunan dengan gangguan tersebut Resiko
meningkat sampai 50 persen jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi. Pasien
dapat sangat dibatasi dalam kegiatan sehari hari,sehingga dalam waktu yang
berlebihan dari sekolah atau bekerja. 4
1
DEFENISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut ( Von Pirquet,1986).
Defenisi menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma )
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperentarai oleh IgE. 1
EPIDEMIOLOGI
Meskipun insiden rinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang
sekitar 10% dari populasi umum (Norman, 1985). Polip hidung dan sinussitis
tampaknya meningkat pada penderita rinitis alergika. Suatu kumpulan berupa
kepekaan terhadap aspirin, polip hidung, dan asma brokhial telah ditemukan pada 2 %
dari 28 % penderita asma bronkhial (Giraldo dkk; MC Donald dkk). Penderita
demikian serngkali akan mengalami masalah dengan agent-agent anti radang non
steroid seperti indometasin dan ibuprofen. 2
ETIOLOGI
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
2
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu
identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG
Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagian dari atas ke bawah : pangkal hidung, (bridge), dorsum nasi,
puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. 4
Gambar 1 : Hidung luar 4
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
3
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa pasang kartilago ala
minor dan tepi anterior kartilago septum.
Gambar 2 : Hidung bagian dalam 4
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrase. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,sedangkan
diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.Bagian depan dinding lateral hidung licin,
4
yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya
rudimenter. 4
Gambar .3 : Concha nasalis 4,7
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior
terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid.
Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat sinus etmoid
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan di bentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 4
5
PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung secara kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late
Phase Allergic Reaction atau reaksi tipe lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam 1,5
.Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell /APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah di proses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung denganmolekul
HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II ( Major Histocompatility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL 3,IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE dipermukaan sel mastoid atau basofil (sel mediiator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi
terpapar dengan alergen yanng sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Preformed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly formed mediators antara
lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Pletelet Activating Factor PAFdan berbagai sitokin IL3, IL4, IL5, IL6, GM-
CSF Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor dll. Inilah yang disebut sebagai
reaksi alergi fase cepat (RAFC) 1,5
.Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vadianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel globet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
6
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran
Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). 1,5
Pada RACF, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditanndai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit,neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte macrophag colony
stimulating factor (GM-CSF)dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
Derivated Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi. 1,5
KLASIFIKASI RHINITIS ALERGI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya,yaitu:
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal,hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak
dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh
karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah pada hidung dan mata (mata merah,gatal
disertai lakrimasi) 1,3
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (peremmia). Gejala pada penyakit ini timbul
intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergi inhelen, terutama
pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama ialah alergen
dalam rumah (indoor ) dan alergen luar rumah (autdoor) alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
7
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan. 1,3
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (AllergicRhinitis and its Impact on Asthma)tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intrmiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten / menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.1,8,9
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit,rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menggangu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas. 1,8,9
Intermiten
Gejala
≤ 4 hari per minggu
atau ≤ 4 minggu
Persisten
Gejala
> 4 hari per minggu
dan > 4 minggu
Ringan
tidur normal
aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan santai normal
bekerja dan sekolah normal
tidak ada keluhan yang
mengganggu
Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
tidur terganggu
aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan santai terganggu
masalah dalam sekolah dan
bekerja
ada keluhan yang mengganggu
8
DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergi ditegakan berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting,karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rintis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hali ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 1,3
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.Keadaan menggosok hidung ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garing melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faing tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). 1
9
3. Pemeriksaan penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat dapat normal atau meningkat.
Demekian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immuno-sorbent test)
seringkali menunjukan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih
dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang
tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung,walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukan adanya infeksi bakteri. 1
In vivo :
Alergan penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan, atau intadermal yang tunggal atau berseri (skin End-point
Tetration/SET) SET dilakukan untuk alergan inhalan dengan menyuntikan
alergan dalam berbagai konsentrasi yang vertingkat kepekaaannya.
Keuntungan SET, selain alergan penyebab juga derajat alergi serta dosis
inhalasi untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge test”)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada “Challenge test” makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang salama lima hari, selanjutnya di amati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkn dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan. 1
PENATALAKSANAN
10
1. Terapi yang paling ideal denagan menghindari kontak alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompentitif pada reseptor H-1 sel terget, dan merupakan
prefarat farmakologi yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemeberiaan dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu golongan antihistamin
generasi- 1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak ( mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini antara lain adalah : difenhidramin, klofeniramin,
promesetin, siproheptidin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal
adalah azelastin. 1
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP
minimal (non sadatif). Antihistamin di absorpsi secara oral dengan cepat
dan mudah serta elektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal tetapi tidak elektif untuk mengatasi gejala
obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi
menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terpenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas
terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematiaan mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok ke 2 adalah
loratadin, seyirisin feksofenadin, desloratadin dan lefosetirisin 1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal namun pemakain secara topikal hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
11
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid,
flunisolid,flutikason,mometason furoat dan triamsinoloson). Kortikosteroid
topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dan eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresonsif terhadap rangsangan
alergan (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit ( mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase
lambat, obat ini juga menghambat aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan
monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropin bromida, bermamfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirluast /montelukast) anti igE,DNA rekombinat.1
3. OPERATIF
Tindakan konkostomi parsial (memotong sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multipel outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 1
4. IMUNOTERAPI
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalasi dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan IgG bloking antibody adalah penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub lingual.1
12
Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA 1
Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)
Penghindaran allergen
Intermitten Persisten/menetap
Ringan Sedang/berat Ringan Sedang/berat
KS topical
Evaluasi setelah 2-4 minggu
13
-AH oral/topical atau
- AH + dekongestan
oral atau- KS topical atau- Na kromoglikat
↓Gejala persisten
↓Evaluasi setelah
2-4 minggu↓
Jika gagal: maju 1 langkah
Jika th/ berhasil:
- AH oral/ topical atau
- AH + dekongestan oral
Membaik↓
Th/ Mundur 1 langkah
dan th/ diteruskan
Tidak ada↓
- salah diagnosis- nilai kepatuhan
pasien- komplikasi/
infeksi- factor kelainan
Tingkatkan dosis
intranasal KS
Rinore menetap
↓Ipratroprium bromida
Sumbatan hidung
menetap↓
Dekongestan (3-5 hari) atau
KS oral (jangka pendek)
↓Gagal
Bersin/Gatal
hidung↓
Tambahkan H1
KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi
utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia
sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited
mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-
lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4
dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat
edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia
menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan
penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi
ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral
maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan
rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotik
adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.
14
KESIMPULAN
Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang
ada diudara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin,
keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi yaitu : mata berair,
kemerahan dan gatal.RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner,
allergic salutedan allergic crease. Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit)
terhadap berbagai allergen mungkin dapat menunjang penegakan diagnosis RA. Bila
hasil belum dapat mengetahui mungkin diperlukan tes alergi intra dermal.
Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).Pemeriksaan terhadap lgE
spesifik terhadap alergen tertentu. Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen
pemicu.
SARAN
1. Mencegah timbulnya rinitis alergi dengan menghindari alergen
2. Jika ada yang memperberat rinitis alergi disarankan untuk memeriksa ke klinik
3. Apabila rinitis alergi tidak kunjung sembuh ada baiknya untuk memeriksa
imunoglobulin, sehingga kita tau penyebab rinitis alergi
4. Menjaga kebersihan dan lingkungan sekitar rumah
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.Dr.Eflaty Arsyad Soepardi,Prof.Dr.Nurbaiti Iskandar, DR.Dr .Jenny
Bashiruddin, DR.Dr. Ratna Dwi Restuti. (2009). Teling-Hidung-Tenggorok
Kepala Leher.Jakarta : FK UI Hal 128-133
2. George L Adams, Lawrence R Boies, Peter A Higler. (1997). Boies
Fundamentals of Otolaryngology . Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : PT
EGC, Hal 196-198
3. D.Thane R. Cody M.D., C.M., Ph.D.,Eugene B. Kern, M.D., M.S., Bruce W.
Pearson, M.D., F.R.C.S. (C.) (1993). Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan (Diseasea of the Ears, nose, and Throat) Penuntun untuk
Diadnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran Hal
171-176
4. http://www.scribd.com/doc/54701092/rinitis-alergi
5. http://www.scribd.com/doc/56499837/PATOFISIOLOGI-RINITIS-ALERGI
6. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.
7. Prof. Dr. Med. R. Putz – R.Pabts. Atlas Anatomi Manusia. Edisi ke 19.
Jakarta : EGC 1997
8. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus SimadibrataK,
Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. Hal 255-256
9. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).
16
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II. PEMBAHASAN................................................................................ 2
DEFENISI.......................................................................................... 2
ETIOLOGI.........................................................................................
ANATOMI......................................................................................... 3
PATOFISIOLOGI............................................................................. 6
8
KLASIFIKASI..........................................................................
DIAGNOSIS.............................................................................
PENATALAKSANAAN...........................................................
KOMLIKASI............................................................................
KESIMPULAN.........................................................................
17