RINITIS ALERGIKA

download RINITIS ALERGIKA

of 22

description

Refarat

Transcript of RINITIS ALERGIKA

B A B IPENDAHULUANRinitis Alergika merupakan salah satu penyakit alergi yang sering dijumpai dimasyarakat. Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai IgE. Rinitis alergika adalah suatu gejala alergi yang terjadi pada hidung. Angka ini bergantung kepada iklim dan letak geografis masing-masing negara. Kejadian rinitis alergi pada anak usia yang sangat muda rendah akan tetapi secara progresif meningkat pada anak usia yang Iebih tua. Sekitar 57% penderita rinitis alergika mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya. Rinitis alergika yang timbul pada masa anak biasanya menetap sampai usia dewasa dan akan berkurang pada usia lanjut. Sekitar 15 - 25 % penderita akan sembuh spontan setelah S - 7 tahun. Gejala rinitis alergika berupa bersin-bersin disertai gatal-gatal pada hidung dengan ingus yang encer sebanyak kurang lebih 20 ml setiap jam. Gejala ini sering disertai gejala hidung tersumbat yang menyebabkan anak rewel dan sulit tidur. Rasa gatal kadang-kadang terasa pada langit-langit dan telinga. Gejala-gejala gatal, merah dan berair pada mata sering menyertai gejala rinitis alergika. Kadang-kadang gejala rinitis alergika ini disertai gejala sinusitis yaitu peradangan sinus (rongga udara) di sekitar hidung.Prinsip pengobatan rinitas alergika juga sama dengan prinsip pengobatan penyakit alergi pada umumnya. Terbagi dalam tiga pendekatan, meliputi penghindaran terhadap allergen, farmakoterapi untuk pencegahan dan penanganan gejala, imunoterapi spesifik. Sedangkan terapi farmakologinya didasarkan pada gejala yang terjadi. (1)

B A B IITINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI (2)Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

II. FISIOLOGI HIDUNG (2)Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal.1. SEBAGAI JALAN NAPASPada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.1. PENGATUR KONDISI UDARAFungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.1. SEBAGAI PENYARING DAN PELINDUNGFungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.1. INDRA PENGHIDUHidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.1. RESONANSI SUARAResonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).1. PROSES BICARAHidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.1. REFLEKS NASAL Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

III. DEFINISI (1)Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi. Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A.Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.

IV. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGIRinitis alergika merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam lingkup data penyakit saluran napas bagian atas pada pencatatan diagnosis sesuai ICD 09. Penyakit lain pada saluran napas bagian atas menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan Setiabudi tahun 2006. (3)Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopic. Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergi memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka yang mederita asma; namun, 56 hingga 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini. (3)Prevalensi rhinitis alergika pada berbagai studi epidemiology range-nya 3% - 19 %. Studi menunjukkan rhinitis alergi musiman (hay fever) ditemukan sekitar 10 20 % dari populasi yang ada. Sebuah studi menunjukkan bahwa prevalensi anak usia 6 tahun yang terdiagnosa rhinitis alergi mencaoai 42%. Secara keseluruhan, rhinitis alergi mengenai 20-40juta individu di US dalam setahun. (3) Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor: (1)1. AlergenAlergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.1. PolutanFakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.Faktor resiko rhinitis alergika antara lain : (3)1.Riwayat keluarga yang atopi2.Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun3.Sosioekonomi menengah keatas4.Paparan terhadap alergen dalam ruangan (binatang dan debu) 5.Skin prick test positif

V. KLASIFIKASI (4), (5) Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:1. Rinitis alergi musiman (Hay Fever, seasonal, polinosis)Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau asap, serta spora jamur. Gejala klinis yang tampak ialah mata merah disertai lakrimasi dan gejala pada hidung. 2. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat. Allergen yang sering pada dewasa dan anak adalah allergen ingestan dan biasanya disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan ini lebih ringan dibandingkan golongan musiman, tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

VI. PATOFISIOLOGIRhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Pada kontak langsung pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)1.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adheesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Protein(EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (alergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.Bila dilihat pada gambaran mikroskopik, akan tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. (1,3,6)

Gambar 2. Patofisiologi rinitis alergi

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjasi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (1)1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya tungau debu rumah, (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis)I, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucingm anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).1. Alergen ingestan yang masuk melalui saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan. 1. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 1. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit dengan jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronchial dan rhinitis alergi. VII. DIAGNOSIS (2)1. Anamnesis Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

1. Pemeriksaan FisikPada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)..

1. Pemeriksaan Penunjang2. In vitroHitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

2. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

VIII. PENATALAKSANAAN (2)Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain:1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.1. Tidak menimbulkan takifilaksis.1. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.1. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak):1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari 1. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. 1. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. 1. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari. 1. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. 1. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari. 1. Kortikosteroid intranasalDigunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik. 1. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. 1. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. 1. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.1. Leukotrien antagonis1. Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy, masih diperdebatkan rasional tidaknya. Dari berbagai penelitian ternyata TIAS efektif apabila diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated dan sensitif terhadap satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters) yang mewakili the AAAAI, the ACAAI, dan JCAAI) yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia. JTFPP mengakui bahwa TIAS merupakan satu-satunya pengobatan antigen-specific immuno-modulatory pada penggunaan rutin, dan diakui memiliki manfaat jangka panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi dan kualitas hidup pasien sampai 2-5 tahun setelah dihentikan. Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro. TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGF- memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4. dan IgA. Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat mild-persistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh pengobatan medikamentosa dan telah bergejala lebih dari setahun, perlu dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.AntihistaminAntihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot polos, dan otak.

Gambar. Target-target terapi rhinitis alergika.Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa. Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel konjungtiva.KortikosteroidBerdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1.Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya.Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.DekongestanDekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.Penstabil Sel MastContoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi kepatuhan pasien.ImmunoterapiMekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE dalam darah.Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu. Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan, immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+. Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.FototerapiAlternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology 2005.Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3 minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06 J/cm2.Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah. Menghindari AlergenSebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit.Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila dihitung secara kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International Congress of Allergy and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico mengemukakan, rinitis alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2 juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar US$ sebagai akibat kehilangan produktivitas kerja dan terapi dengan antihistamin di Amerika Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi. Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang optimal.Operatif Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

IX Komplikasi (2)Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :7. Polip hidung.Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 7. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.7. Sinusitis paranasal.Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.

X. Prognosis (6)Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus ( terutama pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, system imun menjadi kurang sensitive terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu yang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoterapy atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus. 6