CRS Rinitis Alergika
-
Upload
marogi-al-ansoriani -
Category
Documents
-
view
59 -
download
3
Transcript of CRS Rinitis Alergika
BAB I
STATUS PASIEN
I. Keterangan Umum
Nama : Tn.Budiadi
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 53 th
Alamat : Cibeber, Cimahi
Pekerjaan : PNS II D Ajendam III Siliwangi
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 06 September 2012
II. Anamnesis
Keluhan Utama : Hidung Beringus
Anamnesis khusus :
Sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poliklinik THT pasien mengeluh
keluar ingus dari kedua lubang hidung dalam jumlah yang tidak terlalu banyak yang
berwarna bening, kental, dan tidak berbau. Keluar ingus dari lubang hidung
berlangsung saat cuaca dingin dan apabila terkena paparan debu.
1
Keluhan disertai rasa hidung tersumbat dengan ingus pada lubang hidung
sebelah kanan. Keluhan juga disetai dengan sering bersin bersin pada pagi hari,
terkena debu, dan bila mencium bau parfum yang menyengat. Keluhan tersebut
dirasakan lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dalam satu tahun
Riwayat sering gatal-gatal atau kemerahan pada kulit, mata merah, dan gatal
bila cuaca panas, bersin-bersin di pagi hari ataupun asma tidak ada.
Riwayat penggunaan obat-obatan semprot pada hidung sebelumnya tidak ada.
Keluhan tidak disertai kejang, sakit kepala hebat ataupun demam tinggi.
Keluhan tidak disertai nyeri pada daerah sekitar mata ataupun bengkak pada daerah
sekitar mata. Keluhan tidak disertai nyeri telan. Keluhan tidak disertai rasa hidung
tersumbat yang menetap.
Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada.
Keluhan seperti ini dialami oleh pasien sejak kelas 5 SD.
Riwayat penyakit darah tinggi atau jantung tidak ada.
Riwayat sering buang air kecil di malam hari, banyak makan, dan rasa haus
terus-menerus tidak ada.
Riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan tidak ada.
2
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : TD : 110/80 mmHg
N : 72 x/menit
R : 18x/menit
S : 36,7 oC
Berat Badan : 62 Kg
Tinggi badan : 164 cm
STATUS GENERALIS
Kepala : Mata : - Konjungtiva tidak anemis
- Sklera tidak ikterik
Leher : KGB tidak teraba membesar
Neurologis : Parese N.C tidak ada
3
STATUS LOKALIS
1. TELINGA
Bagian KelainanAuris
Dextra Sinistra
Preaurikula
Kongenital - -
Peradangan & tumor - -
Trauma - -
Aurikula
Kongenital - -
Peradangan & tumor - -
Trauma - -
Retroaurikula
Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Sikatriks - -
Fistula - -
Fluktuasi - -
Canalis
Acustikus
Kongenital - -
Kulit Tenang Tenang
4
Externa
Sekret - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -
Membrana
Timpani
Warna Putih keabuan Putih keabuan
Intak + +
Refleks cahaya + +
5
2. HIDUNG
PemeriksaanNasal
Dextra Sinistra
Keadaan luar Bentuk dan ukuranDalam batas
normal
Dalam batas
normal
Rhinoskopi
Anterior
Mukosa Edem, kebiruan Edem, kebiruan
Sekret + jernih + jernih
Krusta - -
Concha inferior Eutrofi Eutrofi
Septum deviasi - +
Polip/tumor - -
Pasase udara Menurun Menurun
Rhinoskopi
Posterior
Mukosa tenang tenang
Koana terbuka terbuka
Sekret - -
Torus tubarius tenang tenang
Fossa Rosenmuller tenang tenang
6
3. MULUT DAN OROFARING
Bagian Kelainan Keterangan
Mulut
Mukosa Tenang
Lidah Bersih, basah, gerakan normal ke
segala arah
Palatum molle Tenang, simetris
Gigi geligi 87654321 12345678
87654321 12345678
Uvula Simetris
Halitosis -
Tonsil
Mukosa Tenang
Besar T1 - T1
Kripta Tidak melebar
Detritus (-/-)
Perlengketan (-/-)
Faring Mukosa Tenang
Granula -
Post nasal drip +
Laring Epiglotis Tenang
7
(laringoskop indirek)
Keterangan :
1. Epiglotis
2. Kartilago
aritenoid
3. Plika
vestibularis
4. Plika vokalis
5. Plika
ariepiglotika
6. Rima glotis
Kartilago Aritenoid Tenang +/+
Plika Ariepiglotis Pergerakan (+), massa (+)
Plika Vestibularis Pergerakan (+), massa (+)
Plika Vokalis Pergerakan (+), massa (+)
Rima Glotis terbuka
Cincin Trachea Di tengah (normal)
4. MAKSILOFASIAL
Bentuk : Simetris
Parese N. Cranialis : Tidak ada
8
5. LEHER
Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar
Massa : Tidak ada
IV. Pemeriksaan Khusus
Tes PendengaranAuris
Dextra Sinistra
Tes Rinne + +
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Tes Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
9
Sinus paranasalis : - Palpasi : nyeri tekan sinus frontalis -/-
nyeri tekan sinus maksilaris +/+
- Perkusi : nyeri ketok sinus frontalis -/-
nyeri ketok sinus maksilaris +/+
Transiluminasi :
4 4
2 2
V. Pemeriksaan Penunjang : -
VI. Resume
Seorang Laki-laki, berusia 53 tahun, PNS, beragama Islam, sudah
menikah, datang ke rumah sakit Dustira Cimahi dengan keluhan utama keluar
ingus dari kedua lubang hidung.
10
Dari anamnesa didapatkan bahwa Sejak 4 hari yang lalu sebelum datang
ke poliklinik THT pasien mengeluh keluar ingus dari kedua lubang hidung
dalam jumlah yang tidak terlalu banyak yang berwarna bening, kental, dan
tidak berbau. Keluar ingus dari lubang hidung berlangsung saat cuaca dingin
dan apabila terkena paparan debu.
Keluhan disertai rasa hidung tersumbat dengan ingus pada lubang hidung
sebelah kanan. Keluhan juga disetai dengan sering bersin bersin pada pagi hari,
terkena debu, dan bila mencium bau parfum yang menyengat. Keluhan tersebut
dirasakan lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dalam satu tahun
Riwayat sering gatal-gatal atau kemerahan pada kulit, mata merah, dan gatal
bila cuaca panas, bersin-bersin di pagi hari ataupun asma tidak ada.
Riwayat penggunaan obat-obatan semprot pada hidung sebelumnya tidak ada.
Keluhan tidak disertai kejang, sakit kepala hebat ataupun demam tinggi.
Keluhan tidak disertai nyeri pada daerah sekitar mata ataupun bengkak pada daerah
sekitar mata. Keluhan tidak disertai nyeri telan. Keluhan tidak disertai rasa hidung
tersumbat yang menetap.
Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada.
Keluhan seperti ini dialami oleh pasien sejak kelas 5 SD.
Riwayat penyakit darah tinggi atau jantung tidak ada.
11
Riwayat sering buang air kecil di malam hari, banyak makan, dan rasa haus
terus-menerus tidak ada.
Riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan tidak ada.
Pada pemeriksaan status lokalis, didapatkan :
ADS : CAE tenang +/+, sekret -/-, serumen -/-, edema -/-
MT intak +/+, RC +/+, RA tenang +/+
CN : Mukosa Edem-kebiruan +/+, sekret +/+, konka eutrofi +/+
SD (+), PU +/+
NPOP : Tonsil T1-T1 tenang, kripta tidak melebar, detritus -/-
Perlengketan -/-
Faring : Tenang
MF : Simetris, Parese N. VII (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
Tes Pendengaran : AD dan AS normal
Sinus paranasalis : - Palpasi : nyeri tekan sinus frontalis -/-
nyeri tekan sinus maksilaris +/+
- Perkusi : nyeri ketok sinus frontalis -/-
nyeri ketok sinus maksilaris +/+
12
Transiluminasi :
4 4
2 2
VII. Diagnosis Banding
1. Rinitis alergika persisten sedang berat
2. Rinitis vasomotor
VIII. Diagnosis Kerja
Rinitis alergika persisten sedang berat
IX. Usul Pemeriksaan : - Foto Rontgen Waters, Skin Test (skin prick test), tes
kadar IgE
X. Penatalaksanaan
Khusus : - Ambroksol 30 mg 3x1 tablet, Loratadin 10 mg 1x1tablet,
kromolin inhaler 20 mg 4x1, Oksimetazolina-HCI 0,05% 2x2
XI. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
13
Quo ad functionam : dubia Ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rinitis Alergika
Alergi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh respon imun pada
paparan alergen berulang seperti serbuk sari, kutu, debu, makanan, dan lain-lain.
Rinitis alergi adalah inflamasi membran mukosa nasal yang dimediasi oleh reaksi
antigen dengan IgE terhadap satu atau lebih alergen yang terjadi pada pasien dengan
riwayat atopi. 1,2 Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk reaksi hipersensitivitas
yakni tipe 1 yang disebut juga sebagai reaksi anafilaksis. Hipersensitivitas tipe 1
merupakan reaksi alergi yang timbulnya cepat, melibatkan histamin yang distimulasi
dari degranulasi sel mast dan basofil, serta melibatkan mediator inflamasi dan IgE.
Reaksi ini merupakan reaksi self-limiting.3 Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar
1 berikut.4
Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergi4
14
Berdasarkan data Amerika Serikat, sekitar 18-32% populasi mengidap rinitis
alergi, prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi sangat mempengaruhi kualitas
hidup pasien, produktivitas, memberikan dampak ekonomi yang besar dalam
pengobatannya.5
Berdasarkan Workshop ARIA 2007, rinitis alergi diklasifikasikan sebagai
berikut:6
Di negara Barat, 29% dari populasi mengidap rinitis alergi persisten dan rata-
rata memiliki derajat serangan yang berat. Pada penelitian lain di Italia, dari 1321
pasien rinitis alergi, 7,7% intermiten ringan, 17,1% intermiten sedang-berat, 11,6%
persisten ringan, dan 63,6% persisten sedang berat. Penelitian retrospektif di 9 negara
Asia, menunjukkan 60-70% pasien dengan persisten sedang-berat.5 Dengan demikian,
dampak terhadap kualitas hidup penderita akan lebih berat. Prevalensi terjadinya
asma meningkat seiring dengan meningkatnya persistensi gejala dan derajat berat
rinitis alergi. Penatalaksanaan rinitis alergi persisten dapat dilakukan dengan
farmakoterapi, imunoterapi, dan edukasi. Hingga sekarang masih banyak penelitian
mengenai strategi penatalaksanaan rinitis alergi persisten sedang-berat sehingga dapat
mencapai sasaran yang optimal.7
2.1.1 Diagnosis
a. Anamnesis
15
Intermiten (Gejala)< 4 hari dalam seminggu< 4 minggu dalam setahun
Intermiten (Gejala)< 4 hari dalam seminggu< 4 minggu dalam setahun
Persisten (Gejala)> 4 hari dalam seminggu> 4 minggu dalam setahun
Persisten (Gejala)> 4 hari dalam seminggu> 4 minggu dalam setahun
RinganTidur normalTak mengganggu aktivitas, olahragaTak mengganggu kerja dan sekolahGejala (+) tapi tak menonjol
RinganTidur normalTak mengganggu aktivitas, olahragaTak mengganggu kerja dan sekolahGejala (+) tapi tak menonjol
Sedang-beratTidur terganggguMengganggu aktivitas, olahragaMengganggu kerja dan sekolahGejala (+) dan menonjol
Sedang-beratTidur terganggguMengganggu aktivitas, olahragaMengganggu kerja dan sekolahGejala (+) dan menonjol
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Secara umum gejala klinis rinitis alergi berupa :2
1. Bersin berulang,
2. Rinore encer dan banyak,
3. Hidung tersumbat,
4. Hidung dan mata gatal
Pada anak, biasanya tidak semua gejala klinis yang timbul, gejala tersering
pada anak adalah hidung tersumbat. Gejala tambahan lainnya berupa lakrimasi. 2
Bersin dan rinore dapat terjadi pada reaksi alergi fase cepat sekitar 30 menit
setelah IgE terpapar pada alergen tertentu dan kemudian menghilang. Reaksi alergi
fase cepat terjadi sebagai respon dari sel mast yang terpapar alergen. Sel mast
kemudian mengalami degranulasi mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator
preformed di sel mast lepas berupa histamin. Selain itu, dilepaskan juga newly formed
mediator seperti leukotriene, prostaglandin, dan platelet activating factor (PAF).
Mediator pada reaksi alergi fase cepat yang bersifat kemotaksis mengakibatkan
terjadinya reaksi alergi fase lambat di mana kemotaktik terhadap eosinofil, sel mast,
sel T. Migrasi eosinofil dan sel T ke mukosa hidung mengakibatkan rusaknya sel
epitel mukosa nasal serta remodeling mukosa nasal.4,9,10
Akibatnya, serabut saraf langsung terpapar mediator inflamasi yang
dikeluarkan tersebut. Jika yang tereksitasi (oleh neurotropin) adalah serabut sensorik
maka terjadi gejala gatal di hidung, jika yang tereksitasi oleh serotonin adalah serabut
motorik maka mengakibatkan terjadi bersin. Jika yang tereksitasi oleh neurotropin
adalah saraf otonom maka akan meningkatkan sekresi sel Goblet dan eksudasi
plasma dari kapiler sehingga menghasilkan gejala klinis berupa rinore yang encer.
Proses ini disebut hiperresponsif non spesifik. Histamin mengakibatkan vasodilatasi
sinusoid sehingga terjadi kongesti nasal. 4, 9, 10
Reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah
pemaparan, dan bisa berlangsung hingga 24-48 jam. Sel eosinofil, sel Th2
menginfiltrasi mukosa nasal mengeluarkan beberapa sitokin, mediator kimia,
16
kemokin. Sitokin seperti IL-3,4,5 dan granulosit-makrofag koloni stimulating factor
(GMCSF) diproduksi oleh sel Th2 dan sel mast serta eosinofil. Mediator kimia yang
dilepas berupa platelet activating factor (PAF), sistenil leukotriene, dan tromboksan
A2. Kemokin berupa eotaksin berfungsi untuk mengaktivasi sel T normal dan
meningkatkan produksi sel T di timus. Mediator kimia ini dapat mengakibatkan
hipereksitasi parasimpatis sehingga mengakibatkan vasodilatasi dan edema interstisial
sehingga terjadi pembesaran konka. Pada fase ini, selain alergen, iritasi oleh faktor
non spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan
kelembaban udara yang tinggi bisa memperberat gejala.4
Mekanisme terjadinya gejala klinis pada rinitis alergi dapat dilihat pada
gambar 2 di bawah ini.4
Gambar 2. Mekanisme terjadinya gejala klinis rinitis alergi4
Dari anamnesis juga harus dicari riwayat atopi di keluarga, sebab jika kedua
orang tua memiliki riwayat atopi maka >50% dari anak mungkin bisa kena rinitis
alergi. Perhatikan gambar 3.11, 13
17
Gambar 3. Kemungkinan atopi keturunan11
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan jika 2 atau lebih dari gejala seperti
rinore encer, bersin, kongesti nasal, dan gatal di hidung terjadi selama 1 jam atau
lebih dan berulang dalam beberapa hari.9
Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat gejal
klinis bersin, rinore, dan kongesti akan lebih berat dibandingkan rinitis intermiten
ringan, persisten ringan, dan intermiten sedang-berat. Berikut hasil penelitiannya
pada tabel 1.5
Tabel 1. Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat
gejala bersin, kongesti, dan rinore lebih berat.5
Pada pasien dengan rinitis alergi persisten sedang-berat, biasanya juga disertai
dengan berkurangnya penciuman (Gambar 4). Hal ini dikarenakan rinitis alergi
yang kronik dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi mukosa dan edem, hal ini
akan menghambat rangsang bau mencapai neuroepitel olfaktorius. Reseptor
olfaktorius juga menjadi rusak akibat stress oksidatif yang terjadi bersamaan dengan
setiap reaksi inflamasi alergi. Hal ini mengakibatkan berkurangnya reseptor
olfaktorius dan terjadi regenerasi epitel olfaktorius. 5
18
Gambar 4. Perbandingan disfungsi penciuman pada kelompok rinitis alergi5
Keadaan lain yang berhubungan dengan patofisiologi rinitis alergi sendiri juga
harus ditanyakan di anamnesis. Obstruksi nasal dapat mengakibatkan pasien tidur
mendengkur dan bahkan bisa terjadi apnea sementara saat tidur. Obstruksi dari
ostium sinus dapat mengakibatkan sinusitis. Disfungsi tuba Eustachius juga dapat
terjadi, hal ini menjadi penyebab terjadinya otitis media serosa. Riwayat penyakit
lainnya yang juga dapat mempengaruhi terjadinya rinitis alergi ditanyakan pada
pasien seperti asma, dermatitis atopi.
b. Pemeriksaan fisik
Rasa gatal di hidung mengakibatkan kebiasaan menggosok hidung dan mata
maka timbullah allergic salute yakni garis horizontal di 1/3 dorsum nasal distal
(gambar 5).13
19
Gambar 5. Allergic salute13
Pada rinitis alergi juga dapat terjadi kongesti vena di wajah mengakibatkan
tampaknya pembengkakan kelopak mata bawah disertai garis Dennies (Gambar 6).
Garis tersebut serta pembengkakan kelopak mata bagian bawah tersebut tampak lebih
gelap dibanding daerah sekitarnya yang disebut dengan allergic shiners (Gambar 7).
Hal ini terjadi karena statis vena periorbital akibat obstruksi kongesti nasal.13
Gambar 6. Denniess line13
Gambar 7. Allergic shiners11
20
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan tampak mukosa nasal pucat,
kebiruan dan sekretnya encer tanpa tanda infeksi sekunder (gambar 8).11,13,15
Gambar 8. Rinoskopi anterior tampak mukosa pucat kebiruan11
c. Pemeriksaan penunjang
1. Skin test
Skin test merupakan salah satu gold standard tes alergi. Prinsip skin test
adalah dengan terjadinya reaksi antara antigen dengan sel mast yang telah
tersensitisasi di kulit mengakibatkan munculnya edema dan eritema pada
kulit. Reaksi ini berlangsung dari 2 menit-20 menit. Skin test ini disupresi oleh
antihistamin dan antidepresan. Oleh karena itu, pasien tidak boleh
mengkonsumsi antihistamin dan antidepresan dalam 72 jam sebelum skin test
dilakukan.1,14
Skin test terbagi menjadi epikutaneus dan intrakutaneus.1,14
a. Uji epikutaneus contohnya skin prick test dan skin scratch test.1,14 Dari
beberapa jenis skin test tersebut, skin prick test direkomendasikan sebagai
skin test yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari.9 Skin test
dilakukan pada daerah volar lengan bawah. Jarak antar alergen yang diuji
sekitar 2 cm untuk skin prick test dan 5 cm untuk uji intradermal. Skin
21
prick test dilakukan dengan menusukkan jarum lanset yang sudah ada
alergen ke barrier epidermis. Untuk kontrol harus disediakan kontrol
negatif tanpa alergen dan kontrol positif menggunakan histamin dilusi.16
Sebelum melakukan skin scratch test, lapisan kulit superfisial ditempeli
dulu dengan tape kemudian tape ditarik sehingga lapisan korneum kulit
ikut tertarik. Kemudian alergen yang akan diuji dioleskan ke area kulit
tersebut. Skin scratch test hanya dilakukan jika jumlah alergen yang ada
sedikit dan tidak mencukupi untuk skin prick test.16
b. Uji intrakutaneus
Skin test yang paling sensitif adalah uji intrakutan. Uji intrakutan
dilakukan dengan menyuntikkan alergen pada berbagai konsentrasi dan
kepekatan. Selain diketahui alergen penyebab juga dapat menentukan
derajat dan dosis inisial untuk desensitisasi. Jika dengan skin prick test
hasilnya negatif maka selanjutnya dilakukan uji intrakutan sebab skin
prick test kurang sensitif untuk menunjukkan reaksi alergi pada kadar
antigen yang rendah.1,15
Setelah 20 menit observasi, dilakukan penilaian reaksi alergi yang terjadi
seperti pada tabel 3 berikut:16
Tabel 3. Interpretasi reaksi alergi pada skin test 16,17
22
2. Pemeriksaan kadar IgE
Pemeriksaan kadar IgE dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgE total serum
dan secara invitro16,18
a. Pemeriksaan IgE total menunjukkan peningkatan dari kadar
normalnya, tabel 4 berikut menunjukkan nilai normal IgE total16
Tabel 4. Nilai normal IgE total serum16
b. Pemeriksaan IgE invitro dapat menunjukkan alergen yang
mensensitisasi terjadi reaksi alergi secara lebih spesifik. Uji invitro
dilakukan dengan beberapa metode RAST (Radio Alergo Sorbent
Test) maupun ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).16
Metode yang paling sering digunakan adalah RAST yang
menggunakan alergen tak larut di suatu cakram kertas selulosa yang
terdapat IgE spesifik dari serum.18 Indikasi pemeriksaan invitro apabila
terdapat :16
i. Indikasi primer:
1. Kondisi di mana skin test tidak dapat dilakukan seperti
pada bayi, penyakit kulit pada area skin test, urtikaria,
dan alergen skin test yang tidak tersedia
2. Dapat menimbulkan bahaya bagi pasien seperti syok
anafilaktik
23
ii. Indikasi sekunder: jika terjadi kesenjangan antara anamnesis
denan hasil skin test, untuk pasien yang akan menjalani
imunoterapi.
3. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan sitologi hidung
dengan mengambil sekret hidung dan menilainya. Jika eosinofil ditemukan
dalam jumlah banyak >10% sel dari sekret hidung akan mendukung ke arah
rinitis alergi. Namun perlu diingat bahwa pada rinitis kronik juga
menimbulkan eosinofilia.
4. Hitung eosinofil darah tepi meningkat merupakan penanda penyakit atopi.
Gambar di bawah ini menunjukkan pemeriksaan penunjang rinitis alergi dan
kaitannya dengan patofisiologi.16
Gambar 9. Pemeriksaan penunjang rinitis alergi dan kaitannya dengan reaksi
alergi16
Tabel 5 di bawah ini menunjukkan guide diagnosis rinitis alergi.6
24
Tabel 5. Guide diagnosis rinitis alergi6
2.1.2 Penatalaksanaan
a. Menghindari alergen penyebab
Penanganan terbaik dalam kasus alergi adalah dengan menghindari alergen
penyebab.14 Walaupun secara evidenced based, menghindari allergen penyebab pada
rinitis persisten sedang-berat tidak memiliki makna yang signifikan tetapi hal ini
masih menjadi rekomendasi ARIA. Pada pasien dengan persisten sedang-berat,
kemungkinan alergen penyebab sudah multipel, sehingga akan sulit untuk
menghindari alergen penyebab. 7
Kutu rumah ditemukan pada kondisi hangat, lembab, dan memakan kulit
manusia. Antigen penyebabnya berupa kotoran kutu. Yang dapat dilakukan adalah
eliminasi reservoir berupa karpet, hewan, menutupi bantal dan tempat tidur dengan
sarungnya. Bulu kucing harus dihindari dengan cara meletakkan kucing di luar rumah
dan membersihkan karpet dan furniture, mandikan kucing dengan air hangat sekali
seminggu.14
Pada pasien dengan predisposisi cuaca dingin, maka disarankan untuk
melakukan pembatasan aktivitas di luar rumah terutama pada pagi hari, kemudian
jendela rumah dibiarkan tertutup pada pagi hari. Tabel berikut menunjukkan hal yang
dapat dilakukan untuk menghindari paparan serbuk sari di luar rumah (Tabel
25
6).Tempat tidur rajin dibersihkan dengan menggunakan air hangat sehingga
membunuh kutu debu rumah, penghangat ruangan harus rajin dibersihkan untuk
mencegah ruangan dalam kondisi lembab. Tabel berikut menunjukkan hal yang bisa
dilakukan untuk menghindari paparan alergen kutu debu rumah (Tabel 7).11
Tabel 6. Menghindari paparan serbuk sari11
Tabel 7. Menghindari paparan kutu debu rumah11
b. Farmakoterapi
26
Farmakoterapi yang dapat diberikan berupa antihistamin, dekongestan,
stabilizer sel mast, steroid, leukotriene reseptor antagonis, dan antikolinergik (tabel
8).2 Tabel 8. Efek farmakoterapi pada rinitis alergi2
Klasikasi ARIA bertujuan untuk memudahkan penatalaksanaan pasien sesuai
dengan derajat berat ringan serangan serta frekuensi serangan. Berikut ini adalah
algoritme yang menunjukkan penatalaksanaan untuk tiap klasifikasi rinitis alergi.6
27
Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan rinitis alergi ARIA6
28
Berikut ini adalah table yang menunjukkan evidence based therapy untuk
rinitis alergi.6
Tabel 9. Evidenced based therapy rinitis alergi6
Berikut ini adalah penjelasan mengenai obat-obatan dalam farmakoterapi
rinitis alergi:
1. Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan berkompetisi pada reseptor histamin H1 di organ target.
a. Generasi pertama efek sampingnya berupa efek antikolinergik seperti
mukosa kering, jika digunakan penggunaan jangka panjang menyebabkan
toleransi, selain itu yang sering adalah efek sedasi. Contohnya klorfeniramin,
klemastin, dimetindene maleat, hidroksizin, ketotifen, oxatomin,
bromfeniramin, difenhidramin, tripolidin.
b. Generasi kedua tidak dapat melewati sawar darah otak sehingga tidak
memiliki efek sedasi, efek samping tersering adalah aritmia karena efek
antikolinergiknya. Contohnya adalah astemizol, terfenadin, setirizin, loratadin,
akrivastin, azelastin, desloratadin, ebastin, fexofenadine, levosetirizin,
loratadin, mekuitazin, mizolastin, rupatadin. Tabel 10 berikut menunjukkan
dosis antihistamin oral. Astemizol dan terfenadin telah ditarik dari pasaran
karena bersifat kardiotoksik. Walaupun antihistamin generasi I lebih poten
dibanding generasi II, tetapi generasi I tetap tidak boleh diberikan jika
generasi II tersedia.6, 10, 13,14, 15
29
Tabel 10. Dosis antihistamin13
Antihistamin merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi tetapi bukan untuk
persisten sedang-berat. Antihistamin intranasal contohnya azelastin, levocabastine,
olapatadine. 6 Antihistamin dapat diberikan pada pasien persisten sedang-berat
sebagai terapi tambahan.7
2. Dekongestan
Dekongestan adalah agonis adrenergik yang mengakibatkan vasokontriksi dan
mengurangi kongesti nasal. Biasa digunakan topikal berupa tetes hidung atau spray
hidung. Mengakibatkan fenomena rebound sehingga bisa terjadi rinitis
medikamentosa jika digunakan lebih dari 7 hari. Sediaan oral berupa pseudoefedrin,
fenilpropalamin, fenilefrin. Efek samping penting berupa hipertensi, insomnia, dalam
penggunaannya biasa dikombinasikan dengan antihistamin. Pseudoefedrin diberikan
dengan dosis 240mg/hari pada dewasa. Fenilefrin dosisnya 40mg/ hari pada
dewasa.14, 15 Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin, xilometazolin mengurangi
kongesti nasal. Dekongestan intranasal direkomendasikan untuk terapi pada pasien
dengan persisten sedang-berat.6,19
3. Steroid
30
Steroid digunakan bukan karena dapat menghindarkan reaksi antibodi-alergen tetapi
untuk minimalisir respon inflamasi akibat pelepasan mediator inflamasi serta
mengurangi hiperaktivitas nasal. Tabel berikut menunjukkan dosis steroid topikal
nasal. (Tabel 11)6,13,14
Tabel 11. Steroid nasal topikal13, 14
Steroid intranasal merupakan terapi lini pertama dan sangat efektif untuk rinitis alergi
yang persisten sedang-berat. Efek samping sistemik dari preparat topikal steroid ini
sangat rendah sehingga dapat digunakan dalam jangka lama. Steroid oral hanya
digunakan jika klinis dari persisten sedang-berat tidak membaik tetapi hanya
diberikan dalam jangka waktu pendek.6
4. Antikolinergik
Antikolinergik mengakibatkan sekresi mukus di mukosa hidung berkurang sehingga
bermanfaat untuk menangani rinore. Sediaan yang ada ipratropium bromide spray,
dosisnya 2 semprotan di masing-masing hidung 3x1 hari. Efek samping sistemik
tidak ada.14
5. Mast cell stabilizer
Kromolin semprot hidung merupakan stabilizer sel mast, dan mencegah terjadinya
degranulasi sel mast sehingga dapat mencegah reaksi alergi fase cepat dan lambat.
Pemberian dimulai dengan 1x semprotan pada masing-masing hidung tiap 4 jam
maksimal selama 2 minggu.15
31
6. Leukotriene reseptor antagonis
Inhibitor leukotriene memiliki efek menghambat reseptor sistenil leukotriene,
preparat ini memiliki toleransi yang baik sehingga dapat digunakan baik dewasa
maupun anak-anak. Efektif untuk semua gejala rinitis alergi. Contoh preparat
antileukotriene berupa montelukast, pranlukast, zafirlukast. Preparat antileukotriene
ini belum beredar di Indonesia. 6 Leukotrien merupakan salah satu jenis mediator
yang dilepaskan dari reaksi imunologik pada rinitis alergi yang berperan terhadap
timbulnya kongesti hidung. Antagonis reseptor leukotrien efektif untuk rinitis alergi
intermiten dan rinitis alergi persisten.2 99% Berikatan dengan protein plasma, dan
sedikit yang bisa melewati sawar darah otak. Metabolismenya terjadi di hati, dengan
enzim sitokrom p450 dan diekskresikan lewat empedu. Efek sampingnya sangat
sedikit dilaporkan hanya 2% dari seluruh kejadian berupa nyeri kepala, insomnia,
gangguan tidur. Efektivitasnya sama dengan antihistamin jika digunakan monoterapi
tetapi jika dibandingkan dengan steroid intranasal masih kurang efektif.
Penggunaannya secara kombinasi dengan antihistamin generasi II sama efektifnya
dengan steroid intranasal monoterapi. Preparat tersedia dalam sediaan tablet 4 mg,5
mg, 10 mg. Bayi- anak usia 5 tahun dosisnya 1x4 mg. Usia 6-14 tahun dosisnya 1x5
mg. Dosis dewasa 1x10mg per hari.20,21
Keuntungan pemberian medikamentosa intranasal adalah sebagai berikut: 10
a. Dapat digunakan dengan konsentrasi tinggi dan langsung tepat sasaran
b. Beberapa obat sistemik memiliki efek samping sistemik lebih besar, tapi jika
diberikan intranasal dapat meminimalisir efek samping tersebut
c. Onset kerja obat lebih cepat daripada pemberian oral
Sebagai seorang dokter umum, dapat memberikan terapi medikamentosa pada
pasien rinitis alergi, akan tetapi jika > 3 bulan setelah terapi medika mentosa
diberikan tidak ada perbaikan gejala maka tindakan selanjutnya adalah merujuk
pasien ke spesialis.10
32
c. Imunoterapi
Imunoterapi hanya dilakukan sebagai penatalaksanaan untuk rinitis alergi persisten
sedang-berat yang telah menjalani terapi medikamentosa tetapi menunjukkan hasil
yang tidak memuaskan atau muncul efek samping serius dari terapi medikamentosa
tersebut. Terapi ini harus cepat dilaksanakan pada pasien persisten sedang-berat sebab
dapat mencegah terjadinya asma dan progresivitas serangan rinitis.7 Mekanisme
imunoterapi sebagai terapi desensitisasi dapat dijelaskan dengan gambar berikut.9
Gambar 11. Mekanisme imunoterapi sebagai terapi desensitisasi9
Walaupun tidak semua pasien dengan rinitis alergi memerlukan terapi ini, hanya
terapi inilah yang bisa menyembuhkan rinitis alergi. Pemberian antigen yang akan
berikatan dengan IgE yang sudah tersensitisasi bermanfaat untuk memodulasi
terbentuknya IgG, IgG ini disinyalir akan mampu menghambat reaksi alergi.
Imunoterapi dapat diberikan secara subkutan maupun sublingual. Dosis antigen yang
digunakan sesuai dengan hasil uji khusus dosis antigen pada uji intrakutan, ELISA,
dan lain-lain. Injeksi antigen dilakukan 1-2x dalam 1 minggu hingga efek terlihat,
lalu dilakukan hanya 1x1 minggu selama 1 tahun. Terapi maintenance diberikan tiap
2-3 minggu dalam 3-5 tahun. 2, 14 Dikatakan bahwa pemberian sublingual memiliki
risiko reaksi anafilaksis yang lebih rendah dari pada pemberian subkutan.7
d. Pembedahan
Indikasi tindakan bedah terhadap pasien rinitis alergi yaitu :10
- Hipertrofi konka inferior yang resisten terhadap pengobatan
33
- Variasi anatomi tulang hidung dengan gangguan fungsi atau estetik
- Sinusitis kronik sekunder akibat rinitis alergi
- Bentuk berbeda dari poliposis unilateral hidung (polip koana, polip
soliter, sinusitis jamur alergi) atau polip hidung bilateral yang resisten
terhadap pengobatan
- Penyakit sinus jamur
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan jika konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.22 Teknik operasi endoskopi minimal invasif
saat ini telah dilakukan untuk hipertrofi konka. Tindakan bedah laser saat ini juga
telah dilakukan. 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Krouse JH., Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Bailey, Byron J., Jonas T., Newlands. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th edition: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. p. 352-63
2. Lund VJ., Acute and Chronic Nasal Disorder. In: Ballenger JJ., Snow JB. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16 th edition: Lippincott Williams and Wilkins; 2003. p 741-50.
3. Pasha R. Otolaryngology head and neck surgery clinical reference guide. 2nd
ed. San Diego: Prural Publishing; 2005.
34
4. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et.al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update. Allergy. 2008; 63(Suppl. 86): 8–160.
5. Okano M. Mechanism and clinical implication of glucocorticosteroids in the treatment of allergic rinitis. Clinical and Experimental Immunology. 2009;158:164-73.
6. Lee CH, Jang JH, Lee HJ, Kim IT, Chu MJ, Kim CD et al. Clinical characteristic of allergic rinitis according to allergic rinitis and its impact on asthma guidelines. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology. 2008;1(4): 196-200.
7. Bosquet J, Reid J, Van WC, Baena CC, Demoly P, Denburg J et al. Management of allergic rinitis and its impact on asthma. USA:Allergic Rinitis and its Impact on Asthma; 2007.
8. Mullol J, Bachert C, Bousquet J. Management of persistent allergic rinitis : evidenced based treatment with levocetirizine. Therapeutics and Clinical Risk Management. 2005;1(4):265-71.
9. Min YG. The pathophysiology, diagnosis, and treatment of allergic rinitis. Allergy Asthma Immunol Res. 2010;2(2):65-76.
10. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.16th ed. Spain: BC Decker;2003.p.708-31.
11. Stanford T. The pediatric allergic rhinitis. In: Mitchell RB, Pereira KD, editors. Pediatric otolaryngology for clinician.New York: Humana Press; 2009.p. 113-8.
12. Klimek L, Schendzielorz P. Early detection of allergic disease in otorhinolaryngology. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology. 2008;7:1-25.
13. Allergy testing, skin test. 2010 [cited 2012 June 13]. Available from: http://216.177.139.237/allergy_testing.html
35
14. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Boies Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.
15. Jan L, Bousquet J, Cagnani CEB, Bonini S, Canonica WG, Casale TB, et al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2010 Revision. Canada:ARIA;2010.
16. Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2003.
36