CRS Rinitis Alergika

48
BAB I STATUS PASIEN I. Keterangan Umum Nama : Tn.Budiadi Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 53 th Alamat : Cibeber, Cimahi Pekerjaan : PNS II D Ajendam III Siliwangi Agama : Islam Status : Menikah Tanggal Pemeriksaan : 06 September 2012 II. Anamnesis Keluhan Utama : Hidung Beringus Anamnesis khusus : 1

Transcript of CRS Rinitis Alergika

Page 1: CRS Rinitis Alergika

BAB I

STATUS PASIEN

I. Keterangan Umum

Nama : Tn.Budiadi

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 53 th

Alamat : Cibeber, Cimahi

Pekerjaan : PNS II D Ajendam III Siliwangi

Agama : Islam

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 06 September 2012

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Hidung Beringus

Anamnesis khusus :

Sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poliklinik THT pasien mengeluh

keluar ingus dari kedua lubang hidung dalam jumlah yang tidak terlalu banyak yang

berwarna bening, kental, dan tidak berbau. Keluar ingus dari lubang hidung

berlangsung saat cuaca dingin dan apabila terkena paparan debu.

1

Page 2: CRS Rinitis Alergika

Keluhan disertai rasa hidung tersumbat dengan ingus pada lubang hidung

sebelah kanan. Keluhan juga disetai dengan sering bersin bersin pada pagi hari,

terkena debu, dan bila mencium bau parfum yang menyengat. Keluhan tersebut

dirasakan lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dalam satu tahun

Riwayat sering gatal-gatal atau kemerahan pada kulit, mata merah, dan gatal

bila cuaca panas, bersin-bersin di pagi hari ataupun asma tidak ada.

Riwayat penggunaan obat-obatan semprot pada hidung sebelumnya tidak ada.

Keluhan tidak disertai kejang, sakit kepala hebat ataupun demam tinggi.

Keluhan tidak disertai nyeri pada daerah sekitar mata ataupun bengkak pada daerah

sekitar mata. Keluhan tidak disertai nyeri telan. Keluhan tidak disertai rasa hidung

tersumbat yang menetap.

Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada.

Keluhan seperti ini dialami oleh pasien sejak kelas 5 SD.

Riwayat penyakit darah tinggi atau jantung tidak ada.

Riwayat sering buang air kecil di malam hari, banyak makan, dan rasa haus

terus-menerus tidak ada.

Riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan tidak ada.

2

Page 3: CRS Rinitis Alergika

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis

Tanda vital : TD : 110/80 mmHg

N : 72 x/menit

R : 18x/menit

S : 36,7 oC

Berat Badan : 62 Kg

Tinggi badan : 164 cm

STATUS GENERALIS

Kepala : Mata : - Konjungtiva tidak anemis

- Sklera tidak ikterik

Leher : KGB tidak teraba membesar

Neurologis : Parese N.C tidak ada

3

Page 4: CRS Rinitis Alergika

STATUS LOKALIS

1. TELINGA

Bagian KelainanAuris

Dextra Sinistra

Preaurikula

Kongenital - -

Peradangan & tumor - -

Trauma - -

Aurikula

Kongenital - -

Peradangan & tumor - -

Trauma - -

Retroaurikula

Edema - -

Hiperemis - -

Nyeri tekan - -

Sikatriks - -

Fistula - -

Fluktuasi - -

Canalis

Acustikus

Kongenital - -

Kulit Tenang Tenang

4

Page 5: CRS Rinitis Alergika

Externa

Sekret - -

Serumen - -

Edema - -

Jaringan granulasi - -

Massa - -

Cholesteatoma - -

Membrana

Timpani

Warna Putih keabuan Putih keabuan

Intak + +

Refleks cahaya + +

5

Page 6: CRS Rinitis Alergika

2. HIDUNG

PemeriksaanNasal

Dextra Sinistra

Keadaan luar Bentuk dan ukuranDalam batas

normal

Dalam batas

normal

Rhinoskopi

Anterior

Mukosa Edem, kebiruan Edem, kebiruan

Sekret + jernih + jernih

Krusta - -

Concha inferior Eutrofi Eutrofi

Septum deviasi - +

Polip/tumor - -

Pasase udara Menurun Menurun

Rhinoskopi

Posterior

Mukosa tenang tenang

Koana terbuka terbuka

Sekret - -

Torus tubarius tenang tenang

Fossa Rosenmuller tenang tenang

6

Page 7: CRS Rinitis Alergika

3. MULUT DAN OROFARING

Bagian Kelainan Keterangan

Mulut

Mukosa Tenang

Lidah Bersih, basah, gerakan normal ke

segala arah

Palatum molle Tenang, simetris

Gigi geligi 87654321 12345678

87654321 12345678

Uvula Simetris

Halitosis -

Tonsil

Mukosa Tenang

Besar T1 - T1

Kripta Tidak melebar

Detritus (-/-)

Perlengketan (-/-)

Faring Mukosa Tenang

Granula -

Post nasal drip +

Laring Epiglotis Tenang

7

Page 8: CRS Rinitis Alergika

(laringoskop indirek)

Keterangan :

1. Epiglotis

2. Kartilago

aritenoid

3. Plika

vestibularis

4. Plika vokalis

5. Plika

ariepiglotika

6. Rima glotis

Kartilago Aritenoid Tenang +/+

Plika Ariepiglotis Pergerakan (+), massa (+)

Plika Vestibularis Pergerakan (+), massa (+)

Plika Vokalis Pergerakan (+), massa (+)

Rima Glotis terbuka

Cincin Trachea Di tengah (normal)

4. MAKSILOFASIAL

Bentuk : Simetris

Parese N. Cranialis : Tidak ada

8

Page 9: CRS Rinitis Alergika

5. LEHER

Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar

Massa : Tidak ada

IV. Pemeriksaan Khusus

Tes PendengaranAuris

Dextra Sinistra

Tes Rinne + +

Tes Weber Tidak ada lateralisasi

Tes Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

9

Page 10: CRS Rinitis Alergika

Sinus paranasalis : - Palpasi : nyeri tekan sinus frontalis -/-

nyeri tekan sinus maksilaris +/+

- Perkusi : nyeri ketok sinus frontalis -/-

nyeri ketok sinus maksilaris +/+

Transiluminasi :

4 4

2 2

V. Pemeriksaan Penunjang : -

VI. Resume

Seorang Laki-laki, berusia 53 tahun, PNS, beragama Islam, sudah

menikah, datang ke rumah sakit Dustira Cimahi dengan keluhan utama keluar

ingus dari kedua lubang hidung.

10

Page 11: CRS Rinitis Alergika

Dari anamnesa didapatkan bahwa Sejak 4 hari yang lalu sebelum datang

ke poliklinik THT pasien mengeluh keluar ingus dari kedua lubang hidung

dalam jumlah yang tidak terlalu banyak yang berwarna bening, kental, dan

tidak berbau. Keluar ingus dari lubang hidung berlangsung saat cuaca dingin

dan apabila terkena paparan debu.

Keluhan disertai rasa hidung tersumbat dengan ingus pada lubang hidung

sebelah kanan. Keluhan juga disetai dengan sering bersin bersin pada pagi hari,

terkena debu, dan bila mencium bau parfum yang menyengat. Keluhan tersebut

dirasakan lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dalam satu tahun

Riwayat sering gatal-gatal atau kemerahan pada kulit, mata merah, dan gatal

bila cuaca panas, bersin-bersin di pagi hari ataupun asma tidak ada.

Riwayat penggunaan obat-obatan semprot pada hidung sebelumnya tidak ada.

Keluhan tidak disertai kejang, sakit kepala hebat ataupun demam tinggi.

Keluhan tidak disertai nyeri pada daerah sekitar mata ataupun bengkak pada daerah

sekitar mata. Keluhan tidak disertai nyeri telan. Keluhan tidak disertai rasa hidung

tersumbat yang menetap.

Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada.

Keluhan seperti ini dialami oleh pasien sejak kelas 5 SD.

Riwayat penyakit darah tinggi atau jantung tidak ada.

11

Page 12: CRS Rinitis Alergika

Riwayat sering buang air kecil di malam hari, banyak makan, dan rasa haus

terus-menerus tidak ada.

Riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan tidak ada.

Pada pemeriksaan status lokalis, didapatkan :

ADS : CAE tenang +/+, sekret -/-, serumen -/-, edema -/-

MT intak +/+, RC +/+, RA tenang +/+

CN : Mukosa Edem-kebiruan +/+, sekret +/+, konka eutrofi +/+

SD (+), PU +/+

NPOP : Tonsil T1-T1 tenang, kripta tidak melebar, detritus -/-

Perlengketan -/-

Faring : Tenang

MF : Simetris, Parese N. VII (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar

Tes Pendengaran : AD dan AS normal

Sinus paranasalis : - Palpasi : nyeri tekan sinus frontalis -/-

nyeri tekan sinus maksilaris +/+

- Perkusi : nyeri ketok sinus frontalis -/-

nyeri ketok sinus maksilaris +/+

12

Page 13: CRS Rinitis Alergika

Transiluminasi :

4 4

2 2

VII. Diagnosis Banding

1. Rinitis alergika persisten sedang berat

2. Rinitis vasomotor

VIII. Diagnosis Kerja

Rinitis alergika persisten sedang berat

IX. Usul Pemeriksaan : - Foto Rontgen Waters, Skin Test (skin prick test), tes

kadar IgE

X. Penatalaksanaan

Khusus : - Ambroksol 30 mg 3x1 tablet, Loratadin 10 mg 1x1tablet,

kromolin inhaler 20 mg 4x1, Oksimetazolina-HCI 0,05% 2x2

XI. Prognosis

Quo ad vitam : Ad bonam

13

Page 14: CRS Rinitis Alergika

Quo ad functionam : dubia Ad bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rinitis Alergika

Alergi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh respon imun pada

paparan alergen berulang seperti serbuk sari, kutu, debu, makanan, dan lain-lain.

Rinitis alergi adalah inflamasi membran mukosa nasal yang dimediasi oleh reaksi

antigen dengan IgE terhadap satu atau lebih alergen yang terjadi pada pasien dengan

riwayat atopi. 1,2 Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk reaksi hipersensitivitas

yakni tipe 1 yang disebut juga sebagai reaksi anafilaksis. Hipersensitivitas tipe 1

merupakan reaksi alergi yang timbulnya cepat, melibatkan histamin yang distimulasi

dari degranulasi sel mast dan basofil, serta melibatkan mediator inflamasi dan IgE.

Reaksi ini merupakan reaksi self-limiting.3 Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar

1 berikut.4

Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergi4

14

Page 15: CRS Rinitis Alergika

Berdasarkan data Amerika Serikat, sekitar 18-32% populasi mengidap rinitis

alergi, prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi sangat mempengaruhi kualitas

hidup pasien, produktivitas, memberikan dampak ekonomi yang besar dalam

pengobatannya.5

Berdasarkan Workshop ARIA 2007, rinitis alergi diklasifikasikan sebagai

berikut:6

Di negara Barat, 29% dari populasi mengidap rinitis alergi persisten dan rata-

rata memiliki derajat serangan yang berat. Pada penelitian lain di Italia, dari 1321

pasien rinitis alergi, 7,7% intermiten ringan, 17,1% intermiten sedang-berat, 11,6%

persisten ringan, dan 63,6% persisten sedang berat. Penelitian retrospektif di 9 negara

Asia, menunjukkan 60-70% pasien dengan persisten sedang-berat.5 Dengan demikian,

dampak terhadap kualitas hidup penderita akan lebih berat. Prevalensi terjadinya

asma meningkat seiring dengan meningkatnya persistensi gejala dan derajat berat

rinitis alergi. Penatalaksanaan rinitis alergi persisten dapat dilakukan dengan

farmakoterapi, imunoterapi, dan edukasi. Hingga sekarang masih banyak penelitian

mengenai strategi penatalaksanaan rinitis alergi persisten sedang-berat sehingga dapat

mencapai sasaran yang optimal.7

2.1.1 Diagnosis

a. Anamnesis

15

Intermiten (Gejala)< 4 hari dalam seminggu< 4 minggu dalam setahun

Intermiten (Gejala)< 4 hari dalam seminggu< 4 minggu dalam setahun

Persisten (Gejala)> 4 hari dalam seminggu> 4 minggu dalam setahun

Persisten (Gejala)> 4 hari dalam seminggu> 4 minggu dalam setahun

RinganTidur normalTak mengganggu aktivitas, olahragaTak mengganggu kerja dan sekolahGejala (+) tapi tak menonjol

RinganTidur normalTak mengganggu aktivitas, olahragaTak mengganggu kerja dan sekolahGejala (+) tapi tak menonjol

Sedang-beratTidur terganggguMengganggu aktivitas, olahragaMengganggu kerja dan sekolahGejala (+) dan menonjol

Sedang-beratTidur terganggguMengganggu aktivitas, olahragaMengganggu kerja dan sekolahGejala (+) dan menonjol

Page 16: CRS Rinitis Alergika

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Secara umum gejala klinis rinitis alergi berupa :2

1. Bersin berulang,

2. Rinore encer dan banyak,

3. Hidung tersumbat,

4. Hidung dan mata gatal

Pada anak, biasanya tidak semua gejala klinis yang timbul, gejala tersering

pada anak adalah hidung tersumbat. Gejala tambahan lainnya berupa lakrimasi. 2

Bersin dan rinore dapat terjadi pada reaksi alergi fase cepat sekitar 30 menit

setelah IgE terpapar pada alergen tertentu dan kemudian menghilang. Reaksi alergi

fase cepat terjadi sebagai respon dari sel mast yang terpapar alergen. Sel mast

kemudian mengalami degranulasi mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator

preformed di sel mast lepas berupa histamin. Selain itu, dilepaskan juga newly formed

mediator seperti leukotriene, prostaglandin, dan platelet activating factor (PAF).

Mediator pada reaksi alergi fase cepat yang bersifat kemotaksis mengakibatkan

terjadinya reaksi alergi fase lambat di mana kemotaktik terhadap eosinofil, sel mast,

sel T. Migrasi eosinofil dan sel T ke mukosa hidung mengakibatkan rusaknya sel

epitel mukosa nasal serta remodeling mukosa nasal.4,9,10

Akibatnya, serabut saraf langsung terpapar mediator inflamasi yang

dikeluarkan tersebut. Jika yang tereksitasi (oleh neurotropin) adalah serabut sensorik

maka terjadi gejala gatal di hidung, jika yang tereksitasi oleh serotonin adalah serabut

motorik maka mengakibatkan terjadi bersin. Jika yang tereksitasi oleh neurotropin

adalah saraf otonom maka akan meningkatkan sekresi sel Goblet dan eksudasi

plasma dari kapiler sehingga menghasilkan gejala klinis berupa rinore yang encer.

Proses ini disebut hiperresponsif non spesifik. Histamin mengakibatkan vasodilatasi

sinusoid sehingga terjadi kongesti nasal. 4, 9, 10

Reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah

pemaparan, dan bisa berlangsung hingga 24-48 jam. Sel eosinofil, sel Th2

menginfiltrasi mukosa nasal mengeluarkan beberapa sitokin, mediator kimia,

16

Page 17: CRS Rinitis Alergika

kemokin. Sitokin seperti IL-3,4,5 dan granulosit-makrofag koloni stimulating factor

(GMCSF) diproduksi oleh sel Th2 dan sel mast serta eosinofil. Mediator kimia yang

dilepas berupa platelet activating factor (PAF), sistenil leukotriene, dan tromboksan

A2. Kemokin berupa eotaksin berfungsi untuk mengaktivasi sel T normal dan

meningkatkan produksi sel T di timus. Mediator kimia ini dapat mengakibatkan

hipereksitasi parasimpatis sehingga mengakibatkan vasodilatasi dan edema interstisial

sehingga terjadi pembesaran konka. Pada fase ini, selain alergen, iritasi oleh faktor

non spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan

kelembaban udara yang tinggi bisa memperberat gejala.4

Mekanisme terjadinya gejala klinis pada rinitis alergi dapat dilihat pada

gambar 2 di bawah ini.4

Gambar 2. Mekanisme terjadinya gejala klinis rinitis alergi4

Dari anamnesis juga harus dicari riwayat atopi di keluarga, sebab jika kedua

orang tua memiliki riwayat atopi maka >50% dari anak mungkin bisa kena rinitis

alergi. Perhatikan gambar 3.11, 13

17

Page 18: CRS Rinitis Alergika

Gambar 3. Kemungkinan atopi keturunan11

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan jika 2 atau lebih dari gejala seperti

rinore encer, bersin, kongesti nasal, dan gatal di hidung terjadi selama 1 jam atau

lebih dan berulang dalam beberapa hari.9

Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat gejal

klinis bersin, rinore, dan kongesti akan lebih berat dibandingkan rinitis intermiten

ringan, persisten ringan, dan intermiten sedang-berat. Berikut hasil penelitiannya

pada tabel 1.5

Tabel 1. Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat

gejala bersin, kongesti, dan rinore lebih berat.5

Pada pasien dengan rinitis alergi persisten sedang-berat, biasanya juga disertai

dengan berkurangnya penciuman (Gambar 4). Hal ini dikarenakan rinitis alergi

yang kronik dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi mukosa dan edem, hal ini

akan menghambat rangsang bau mencapai neuroepitel olfaktorius. Reseptor

olfaktorius juga menjadi rusak akibat stress oksidatif yang terjadi bersamaan dengan

setiap reaksi inflamasi alergi. Hal ini mengakibatkan berkurangnya reseptor

olfaktorius dan terjadi regenerasi epitel olfaktorius. 5

18

Page 19: CRS Rinitis Alergika

Gambar 4. Perbandingan disfungsi penciuman pada kelompok rinitis alergi5

Keadaan lain yang berhubungan dengan patofisiologi rinitis alergi sendiri juga

harus ditanyakan di anamnesis. Obstruksi nasal dapat mengakibatkan pasien tidur

mendengkur dan bahkan bisa terjadi apnea sementara saat tidur. Obstruksi dari

ostium sinus dapat mengakibatkan sinusitis. Disfungsi tuba Eustachius juga dapat

terjadi, hal ini menjadi penyebab terjadinya otitis media serosa. Riwayat penyakit

lainnya yang juga dapat mempengaruhi terjadinya rinitis alergi ditanyakan pada

pasien seperti asma, dermatitis atopi.

b. Pemeriksaan fisik

Rasa gatal di hidung mengakibatkan kebiasaan menggosok hidung dan mata

maka timbullah allergic salute yakni garis horizontal di 1/3 dorsum nasal distal

(gambar 5).13

19

Page 20: CRS Rinitis Alergika

Gambar 5. Allergic salute13

Pada rinitis alergi juga dapat terjadi kongesti vena di wajah mengakibatkan

tampaknya pembengkakan kelopak mata bawah disertai garis Dennies (Gambar 6).

Garis tersebut serta pembengkakan kelopak mata bagian bawah tersebut tampak lebih

gelap dibanding daerah sekitarnya yang disebut dengan allergic shiners (Gambar 7).

Hal ini terjadi karena statis vena periorbital akibat obstruksi kongesti nasal.13

Gambar 6. Denniess line13

Gambar 7. Allergic shiners11

20

Page 21: CRS Rinitis Alergika

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan tampak mukosa nasal pucat,

kebiruan dan sekretnya encer tanpa tanda infeksi sekunder (gambar 8).11,13,15

Gambar 8. Rinoskopi anterior tampak mukosa pucat kebiruan11

c. Pemeriksaan penunjang

1. Skin test

Skin test merupakan salah satu gold standard tes alergi. Prinsip skin test

adalah dengan terjadinya reaksi antara antigen dengan sel mast yang telah

tersensitisasi di kulit mengakibatkan munculnya edema dan eritema pada

kulit. Reaksi ini berlangsung dari 2 menit-20 menit. Skin test ini disupresi oleh

antihistamin dan antidepresan. Oleh karena itu, pasien tidak boleh

mengkonsumsi antihistamin dan antidepresan dalam 72 jam sebelum skin test

dilakukan.1,14

Skin test terbagi menjadi epikutaneus dan intrakutaneus.1,14

a. Uji epikutaneus contohnya skin prick test dan skin scratch test.1,14 Dari

beberapa jenis skin test tersebut, skin prick test direkomendasikan sebagai

skin test yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari.9 Skin test

dilakukan pada daerah volar lengan bawah. Jarak antar alergen yang diuji

sekitar 2 cm untuk skin prick test dan 5 cm untuk uji intradermal. Skin

21

Page 22: CRS Rinitis Alergika

prick test dilakukan dengan menusukkan jarum lanset yang sudah ada

alergen ke barrier epidermis. Untuk kontrol harus disediakan kontrol

negatif tanpa alergen dan kontrol positif menggunakan histamin dilusi.16

Sebelum melakukan skin scratch test, lapisan kulit superfisial ditempeli

dulu dengan tape kemudian tape ditarik sehingga lapisan korneum kulit

ikut tertarik. Kemudian alergen yang akan diuji dioleskan ke area kulit

tersebut. Skin scratch test hanya dilakukan jika jumlah alergen yang ada

sedikit dan tidak mencukupi untuk skin prick test.16

b. Uji intrakutaneus

Skin test yang paling sensitif adalah uji intrakutan. Uji intrakutan

dilakukan dengan menyuntikkan alergen pada berbagai konsentrasi dan

kepekatan. Selain diketahui alergen penyebab juga dapat menentukan

derajat dan dosis inisial untuk desensitisasi. Jika dengan skin prick test

hasilnya negatif maka selanjutnya dilakukan uji intrakutan sebab skin

prick test kurang sensitif untuk menunjukkan reaksi alergi pada kadar

antigen yang rendah.1,15

Setelah 20 menit observasi, dilakukan penilaian reaksi alergi yang terjadi

seperti pada tabel 3 berikut:16

Tabel 3. Interpretasi reaksi alergi pada skin test 16,17

22

Page 23: CRS Rinitis Alergika

2. Pemeriksaan kadar IgE

Pemeriksaan kadar IgE dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgE total serum

dan secara invitro16,18

a. Pemeriksaan IgE total menunjukkan peningkatan dari kadar

normalnya, tabel 4 berikut menunjukkan nilai normal IgE total16

Tabel 4. Nilai normal IgE total serum16

b. Pemeriksaan IgE invitro dapat menunjukkan alergen yang

mensensitisasi terjadi reaksi alergi secara lebih spesifik. Uji invitro

dilakukan dengan beberapa metode RAST (Radio Alergo Sorbent

Test) maupun ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).16

Metode yang paling sering digunakan adalah RAST yang

menggunakan alergen tak larut di suatu cakram kertas selulosa yang

terdapat IgE spesifik dari serum.18 Indikasi pemeriksaan invitro apabila

terdapat :16

i. Indikasi primer:

1. Kondisi di mana skin test tidak dapat dilakukan seperti

pada bayi, penyakit kulit pada area skin test, urtikaria,

dan alergen skin test yang tidak tersedia

2. Dapat menimbulkan bahaya bagi pasien seperti syok

anafilaktik

23

Page 24: CRS Rinitis Alergika

ii. Indikasi sekunder: jika terjadi kesenjangan antara anamnesis

denan hasil skin test, untuk pasien yang akan menjalani

imunoterapi.

3. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan sitologi hidung

dengan mengambil sekret hidung dan menilainya. Jika eosinofil ditemukan

dalam jumlah banyak >10% sel dari sekret hidung akan mendukung ke arah

rinitis alergi. Namun perlu diingat bahwa pada rinitis kronik juga

menimbulkan eosinofilia.

4. Hitung eosinofil darah tepi meningkat merupakan penanda penyakit atopi.

Gambar di bawah ini menunjukkan pemeriksaan penunjang rinitis alergi dan

kaitannya dengan patofisiologi.16

Gambar 9. Pemeriksaan penunjang rinitis alergi dan kaitannya dengan reaksi

alergi16

Tabel 5 di bawah ini menunjukkan guide diagnosis rinitis alergi.6

24

Page 25: CRS Rinitis Alergika

Tabel 5. Guide diagnosis rinitis alergi6

2.1.2 Penatalaksanaan

a. Menghindari alergen penyebab

Penanganan terbaik dalam kasus alergi adalah dengan menghindari alergen

penyebab.14 Walaupun secara evidenced based, menghindari allergen penyebab pada

rinitis persisten sedang-berat tidak memiliki makna yang signifikan tetapi hal ini

masih menjadi rekomendasi ARIA. Pada pasien dengan persisten sedang-berat,

kemungkinan alergen penyebab sudah multipel, sehingga akan sulit untuk

menghindari alergen penyebab. 7

Kutu rumah ditemukan pada kondisi hangat, lembab, dan memakan kulit

manusia. Antigen penyebabnya berupa kotoran kutu. Yang dapat dilakukan adalah

eliminasi reservoir berupa karpet, hewan, menutupi bantal dan tempat tidur dengan

sarungnya. Bulu kucing harus dihindari dengan cara meletakkan kucing di luar rumah

dan membersihkan karpet dan furniture, mandikan kucing dengan air hangat sekali

seminggu.14

Pada pasien dengan predisposisi cuaca dingin, maka disarankan untuk

melakukan pembatasan aktivitas di luar rumah terutama pada pagi hari, kemudian

jendela rumah dibiarkan tertutup pada pagi hari. Tabel berikut menunjukkan hal yang

dapat dilakukan untuk menghindari paparan serbuk sari di luar rumah (Tabel

25

Page 26: CRS Rinitis Alergika

6).Tempat tidur rajin dibersihkan dengan menggunakan air hangat sehingga

membunuh kutu debu rumah, penghangat ruangan harus rajin dibersihkan untuk

mencegah ruangan dalam kondisi lembab. Tabel berikut menunjukkan hal yang bisa

dilakukan untuk menghindari paparan alergen kutu debu rumah (Tabel 7).11

Tabel 6. Menghindari paparan serbuk sari11

Tabel 7. Menghindari paparan kutu debu rumah11

b. Farmakoterapi

26

Page 27: CRS Rinitis Alergika

Farmakoterapi yang dapat diberikan berupa antihistamin, dekongestan,

stabilizer sel mast, steroid, leukotriene reseptor antagonis, dan antikolinergik (tabel

8).2 Tabel 8. Efek farmakoterapi pada rinitis alergi2

Klasikasi ARIA bertujuan untuk memudahkan penatalaksanaan pasien sesuai

dengan derajat berat ringan serangan serta frekuensi serangan. Berikut ini adalah

algoritme yang menunjukkan penatalaksanaan untuk tiap klasifikasi rinitis alergi.6

27

Page 28: CRS Rinitis Alergika

Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan rinitis alergi ARIA6

28

Page 29: CRS Rinitis Alergika

Berikut ini adalah table yang menunjukkan evidence based therapy untuk

rinitis alergi.6

Tabel 9. Evidenced based therapy rinitis alergi6

Berikut ini adalah penjelasan mengenai obat-obatan dalam farmakoterapi

rinitis alergi:

1. Antihistamin

Antihistamin bekerja dengan berkompetisi pada reseptor histamin H1 di organ target.

a. Generasi pertama efek sampingnya berupa efek antikolinergik seperti

mukosa kering, jika digunakan penggunaan jangka panjang menyebabkan

toleransi, selain itu yang sering adalah efek sedasi. Contohnya klorfeniramin,

klemastin, dimetindene maleat, hidroksizin, ketotifen, oxatomin,

bromfeniramin, difenhidramin, tripolidin.

b. Generasi kedua tidak dapat melewati sawar darah otak sehingga tidak

memiliki efek sedasi, efek samping tersering adalah aritmia karena efek

antikolinergiknya. Contohnya adalah astemizol, terfenadin, setirizin, loratadin,

akrivastin, azelastin, desloratadin, ebastin, fexofenadine, levosetirizin,

loratadin, mekuitazin, mizolastin, rupatadin. Tabel 10 berikut menunjukkan

dosis antihistamin oral. Astemizol dan terfenadin telah ditarik dari pasaran

karena bersifat kardiotoksik. Walaupun antihistamin generasi I lebih poten

dibanding generasi II, tetapi generasi I tetap tidak boleh diberikan jika

generasi II tersedia.6, 10, 13,14, 15

29

Page 30: CRS Rinitis Alergika

Tabel 10. Dosis antihistamin13

Antihistamin merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi tetapi bukan untuk

persisten sedang-berat. Antihistamin intranasal contohnya azelastin, levocabastine,

olapatadine. 6 Antihistamin dapat diberikan pada pasien persisten sedang-berat

sebagai terapi tambahan.7

2. Dekongestan

Dekongestan adalah agonis adrenergik yang mengakibatkan vasokontriksi dan

mengurangi kongesti nasal. Biasa digunakan topikal berupa tetes hidung atau spray

hidung. Mengakibatkan fenomena rebound sehingga bisa terjadi rinitis

medikamentosa jika digunakan lebih dari 7 hari. Sediaan oral berupa pseudoefedrin,

fenilpropalamin, fenilefrin. Efek samping penting berupa hipertensi, insomnia, dalam

penggunaannya biasa dikombinasikan dengan antihistamin. Pseudoefedrin diberikan

dengan dosis 240mg/hari pada dewasa. Fenilefrin dosisnya 40mg/ hari pada

dewasa.14, 15 Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin, xilometazolin mengurangi

kongesti nasal. Dekongestan intranasal direkomendasikan untuk terapi pada pasien

dengan persisten sedang-berat.6,19

3. Steroid

30

Page 31: CRS Rinitis Alergika

Steroid digunakan bukan karena dapat menghindarkan reaksi antibodi-alergen tetapi

untuk minimalisir respon inflamasi akibat pelepasan mediator inflamasi serta

mengurangi hiperaktivitas nasal. Tabel berikut menunjukkan dosis steroid topikal

nasal. (Tabel 11)6,13,14

Tabel 11. Steroid nasal topikal13, 14

Steroid intranasal merupakan terapi lini pertama dan sangat efektif untuk rinitis alergi

yang persisten sedang-berat. Efek samping sistemik dari preparat topikal steroid ini

sangat rendah sehingga dapat digunakan dalam jangka lama. Steroid oral hanya

digunakan jika klinis dari persisten sedang-berat tidak membaik tetapi hanya

diberikan dalam jangka waktu pendek.6

4. Antikolinergik

Antikolinergik mengakibatkan sekresi mukus di mukosa hidung berkurang sehingga

bermanfaat untuk menangani rinore. Sediaan yang ada ipratropium bromide spray,

dosisnya 2 semprotan di masing-masing hidung 3x1 hari. Efek samping sistemik

tidak ada.14

5. Mast cell stabilizer

Kromolin semprot hidung merupakan stabilizer sel mast, dan mencegah terjadinya

degranulasi sel mast sehingga dapat mencegah reaksi alergi fase cepat dan lambat.

Pemberian dimulai dengan 1x semprotan pada masing-masing hidung tiap 4 jam

maksimal selama 2 minggu.15

31

Page 32: CRS Rinitis Alergika

6. Leukotriene reseptor antagonis

Inhibitor leukotriene memiliki efek menghambat reseptor sistenil leukotriene,

preparat ini memiliki toleransi yang baik sehingga dapat digunakan baik dewasa

maupun anak-anak. Efektif untuk semua gejala rinitis alergi. Contoh preparat

antileukotriene berupa montelukast, pranlukast, zafirlukast. Preparat antileukotriene

ini belum beredar di Indonesia. 6 Leukotrien merupakan salah satu jenis mediator

yang dilepaskan dari reaksi imunologik pada rinitis alergi yang berperan terhadap

timbulnya kongesti hidung. Antagonis reseptor leukotrien efektif untuk rinitis alergi

intermiten dan rinitis alergi persisten.2 99% Berikatan dengan protein plasma, dan

sedikit yang bisa melewati sawar darah otak. Metabolismenya terjadi di hati, dengan

enzim sitokrom p450 dan diekskresikan lewat empedu. Efek sampingnya sangat

sedikit dilaporkan hanya 2% dari seluruh kejadian berupa nyeri kepala, insomnia,

gangguan tidur. Efektivitasnya sama dengan antihistamin jika digunakan monoterapi

tetapi jika dibandingkan dengan steroid intranasal masih kurang efektif.

Penggunaannya secara kombinasi dengan antihistamin generasi II sama efektifnya

dengan steroid intranasal monoterapi. Preparat tersedia dalam sediaan tablet 4 mg,5

mg, 10 mg. Bayi- anak usia 5 tahun dosisnya 1x4 mg. Usia 6-14 tahun dosisnya 1x5

mg. Dosis dewasa 1x10mg per hari.20,21

Keuntungan pemberian medikamentosa intranasal adalah sebagai berikut: 10

a. Dapat digunakan dengan konsentrasi tinggi dan langsung tepat sasaran

b. Beberapa obat sistemik memiliki efek samping sistemik lebih besar, tapi jika

diberikan intranasal dapat meminimalisir efek samping tersebut

c. Onset kerja obat lebih cepat daripada pemberian oral

Sebagai seorang dokter umum, dapat memberikan terapi medikamentosa pada

pasien rinitis alergi, akan tetapi jika > 3 bulan setelah terapi medika mentosa

diberikan tidak ada perbaikan gejala maka tindakan selanjutnya adalah merujuk

pasien ke spesialis.10

32

Page 33: CRS Rinitis Alergika

c. Imunoterapi

Imunoterapi hanya dilakukan sebagai penatalaksanaan untuk rinitis alergi persisten

sedang-berat yang telah menjalani terapi medikamentosa tetapi menunjukkan hasil

yang tidak memuaskan atau muncul efek samping serius dari terapi medikamentosa

tersebut. Terapi ini harus cepat dilaksanakan pada pasien persisten sedang-berat sebab

dapat mencegah terjadinya asma dan progresivitas serangan rinitis.7 Mekanisme

imunoterapi sebagai terapi desensitisasi dapat dijelaskan dengan gambar berikut.9

Gambar 11. Mekanisme imunoterapi sebagai terapi desensitisasi9

Walaupun tidak semua pasien dengan rinitis alergi memerlukan terapi ini, hanya

terapi inilah yang bisa menyembuhkan rinitis alergi. Pemberian antigen yang akan

berikatan dengan IgE yang sudah tersensitisasi bermanfaat untuk memodulasi

terbentuknya IgG, IgG ini disinyalir akan mampu menghambat reaksi alergi.

Imunoterapi dapat diberikan secara subkutan maupun sublingual. Dosis antigen yang

digunakan sesuai dengan hasil uji khusus dosis antigen pada uji intrakutan, ELISA,

dan lain-lain. Injeksi antigen dilakukan 1-2x dalam 1 minggu hingga efek terlihat,

lalu dilakukan hanya 1x1 minggu selama 1 tahun. Terapi maintenance diberikan tiap

2-3 minggu dalam 3-5 tahun. 2, 14 Dikatakan bahwa pemberian sublingual memiliki

risiko reaksi anafilaksis yang lebih rendah dari pada pemberian subkutan.7

d. Pembedahan

Indikasi tindakan bedah terhadap pasien rinitis alergi yaitu :10

- Hipertrofi konka inferior yang resisten terhadap pengobatan

33

Page 34: CRS Rinitis Alergika

- Variasi anatomi tulang hidung dengan gangguan fungsi atau estetik

- Sinusitis kronik sekunder akibat rinitis alergi

- Bentuk berbeda dari poliposis unilateral hidung (polip koana, polip

soliter, sinusitis jamur alergi) atau polip hidung bilateral yang resisten

terhadap pengobatan

- Penyakit sinus jamur

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan jika konka

inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi

memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.22 Teknik operasi endoskopi minimal invasif

saat ini telah dilakukan untuk hipertrofi konka. Tindakan bedah laser saat ini juga

telah dilakukan. 10

DAFTAR PUSTAKA

1. Krouse JH., Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Bailey, Byron J., Jonas T., Newlands. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th edition: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. p. 352-63

2. Lund VJ., Acute and Chronic Nasal Disorder. In: Ballenger JJ., Snow JB. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16 th edition: Lippincott Williams and Wilkins; 2003. p 741-50.

3. Pasha R. Otolaryngology head and neck surgery clinical reference guide. 2nd

ed. San Diego: Prural Publishing; 2005.

34

Page 35: CRS Rinitis Alergika

4. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et.al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update. Allergy. 2008; 63(Suppl. 86): 8–160.

5. Okano M. Mechanism and clinical implication of glucocorticosteroids in the treatment of allergic rinitis. Clinical and Experimental Immunology. 2009;158:164-73.

6. Lee CH, Jang JH, Lee HJ, Kim IT, Chu MJ, Kim CD et al. Clinical characteristic of allergic rinitis according to allergic rinitis and its impact on asthma guidelines. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology. 2008;1(4): 196-200.

7. Bosquet J, Reid J, Van WC, Baena CC, Demoly P, Denburg J et al. Management of allergic rinitis and its impact on asthma. USA:Allergic Rinitis and its Impact on Asthma; 2007.

8. Mullol J, Bachert C, Bousquet J. Management of persistent allergic rinitis : evidenced based treatment with levocetirizine. Therapeutics and Clinical Risk Management. 2005;1(4):265-71.

9. Min YG. The pathophysiology, diagnosis, and treatment of allergic rinitis. Allergy Asthma Immunol Res. 2010;2(2):65-76.

10. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.16th ed. Spain: BC Decker;2003.p.708-31.

11. Stanford T. The pediatric allergic rhinitis. In: Mitchell RB, Pereira KD, editors. Pediatric otolaryngology for clinician.New York: Humana Press; 2009.p. 113-8.

12. Klimek L, Schendzielorz P. Early detection of allergic disease in otorhinolaryngology. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology. 2008;7:1-25.

13. Allergy testing, skin test. 2010 [cited 2012 June 13]. Available from: http://216.177.139.237/allergy_testing.html

35

Page 36: CRS Rinitis Alergika

14. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Boies Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.

15. Jan L, Bousquet J, Cagnani CEB, Bonini S, Canonica WG, Casale TB, et al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2010 Revision. Canada:ARIA;2010.

16. Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2003.

36