Erupsi Obat Alergika

39
TINJAUAN PUSTAKA ERUPSI OBAT ALERGIK Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis. l Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO), yang dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas. Insidens RSO yang berat mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %. Sedangkan Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah mengalami RSO. 2 Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA merupakan masalah utama yang dapat timbul akibat pemberian obat. ROA terjadi pada 6 - l0 % kasus RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau kulit dan mukosa. RSO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat. Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA). 1,2 Erupsi Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat

Transcript of Erupsi Obat Alergika

Page 1: Erupsi Obat Alergika

TINJAUAN PUSTAKA

ERUPSI OBAT ALERGIK

Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah

keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si

pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis.l

Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan

pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO), yang

dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas. Insidens RSO yang berat

mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %. Sedangkan

Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah mengalami RSO.2

Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari

respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA merupakan masalah

utama yang dapat timbul akibat pemberian obat. ROA terjadi pada 6 - l0 % kasus

RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO

dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau kulit dan mukosa. RSO yang

bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat. Mekanisme terjadinya

erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian

besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan mekanisme imunologik

disebut erupsi obat alergik (EOA).1,2

Erupsi Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat Alergik : EOA) merupakan

manifestasi tersering dari ROA. Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai

macam obat, sedangkan satu macam obat dapat menimbulkan berbagai macam

erupsi.3

Page 2: Erupsi Obat Alergika

REAKSI SIMPANG OBAT

Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respons terhadap obat

yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada

penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi

fungsi fisiologis. Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu

tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,

bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada

tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B

merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung

pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya

terjadi pada individu yang rentan.Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi,

reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B

merupakan reaksi obat alergik.3,4

Belakangan ditambahkan dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan dengan dosis

dan waktu (tipe C) dan reaksi lambat (tipe D). Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan

berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin,

nefropati analgetikl0 serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh

kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan

dengan waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E).

Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau

kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan

teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera

setelah penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Baru - baru ini

ditambahkan kategori tipe yang keenam (tipe F), yaitu kegagalan terapi yang tidak

diharapkan. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali

disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak

adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.4

Page 3: Erupsi Obat Alergika

REAKSI OBAT ALERGIK

ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).3 ROA memiliki beberapa

karakteristik klinis tertentu, yaitu :

▪ Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.

▪ Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.

▪ umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.

▪ Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah

kisaran dosis terapeutik.

▪ Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses alergi.

▪ Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.

FAKTOR RISIKO REAKSI OBAT ALERGIK

Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor

yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta

faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya,

penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).

Sifat obat

Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, kimopapain,

streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang

potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.2-5Obat- obatan dengan berat

molekul dibawah 1000 dalton merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.2

Pajanan obat

Page 4: Erupsi Obat Alergika

Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersenstisasi,

sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitiasi. Aplikasi

topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian parenteral,

misalnya pada pemberian oral. Pemberian oral atau nasal menstimulasi produksi

imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM.

Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik

spesifik obat. pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya

pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia

hemolitik yang diinduksi penisilin.

Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan dengan

pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.4 Frekuensi pemberian obat dapat

berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval

pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.2

Usia

Umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa,

walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak - anak. Bayi dan

usia lanjut jarang mengalami alergi obat, dan kalaupun terjadi lebih ringan, hal

tersebut dikaitkan dengan irnaturitas atau involusi sistem imun. Ruam yang terjadi

akibat infeksi virus pada anak - anak dapat dikelirukan dengan anggapan bahwa hal

tersebut terjadi akibat pemberian antibiotika sebagai pengobatan.4

Genetik

Page 5: Erupsi Obat Alergika

ROA hanya terjadi pada sebagian kecil pasien yang mendapat pengobatan. Banyak

faktor, baik genetik dan lingkungan, yang dapat berperan untuk berkembangnya suatu

reaksi alergi.

Proses asetilasi diperlukan untuk metabolisme beberapa obat, misalnya sulfonamid,

INH, dapson, hidralazin, prokainamid, klonazepan. Asetiase obat-obatan tersebut

dikatalisis oleh enzim N-asetiliransferase(N AT). Fenotipe utama yang telah diketahui

adalah asetilator lambat dan asetilator cepat. Pasien yang secara genetik merupakana

setilator lambat lebih berpeluang berkembang menjadi LE yang diinduksi obat,

sehubungan dengan pemberian hidralizin dan prokainamid.ROA terhadap sulfonamid

dapat lebih berat di antara asetilator lambat. Penurunan kapasitas N-acetilating

merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya EOA yang serius. Kapasitas N-

acetilating yang rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi tertentu

obat dalam seru dan penurunan detoksifikasi, hal ini terlihat pada pasien sindroma

Stevens Johnson (SSJ) dan nekrosis epidermal toksik (NET).

Gen FILA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kerentanan

terhadap terjadinya nefropati yang diinduksi obat pada pasien dengan rematoida rtitis

yang diobati dengang arame masa taup enisilinb erhubungand engan fenotipe HLA -

DRw3 dan HLA-88. Selain itu, gen HLA spesifik juga dihubungkan dengan I-E yang

diinduksi hidrazalin, agranulositosis yang diinduksi levamisol, dan NET yang

diinduksi sulfonarnid.

Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang

orangtuanya rentan terhadap reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami

reaksi alergi terhadap agen antimikrobial ; sedangkan individu dengan orangtua tanpa

reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.4

Reaksi obat sebelumnya

Page 6: Erupsi Obat Alergika

Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya.

Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Telah

diketahui bahwa setelah reaksi alergi terhadap fenisilin, waktu paruh antibodi IgE

antipenisiloil dalam serum berkisar 55 hari hingga jangka waktu lebih dari 2000 hari.

Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok

sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi

untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi

penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap

antimikroba non-β-laktam. Limapuluh tujuh persen bereaksi silang dengan

sulfonamid. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.4

Penyakit medis yang menyertai

Anak - anak dengan fibrosis kistik lebih mudah mengalarni ROA terutama selama

desensitisasi obat. Ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin terjadi lebih

sering selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan leukemia

limfatik. Pasien-pasien dengan HIV memiliki peningkatan risiko ROA. Defisiensi

imunitas dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ROA. Pasien dalam keadaan

tertekan sistem imunnya mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur

sintesis antibodi IgE.2

Pengobatan medis yang menyertai

Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat.

IMUNOPATOGENESIS

Page 7: Erupsi Obat Alergika

Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan

klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu :

▪ Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :

IgE : eritema, urtikaria, angioedema.

IgG : purpura (vaskulitis), erupsi morbiliformis.

▪ Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas

▪ Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik

Eksantema fikstum

Eritema multifomis (sindrom Stevens-Johnson)

Nekrolisis epidermal toksik

4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.1 Aspek imnunopatogensisnya

adalah:

A.Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten

Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik bila

berat molekul kurang dari 4000 Dalton. Sebagian besar obat-obatan merupakan

senyawa kimia organik sederhana dengan berat molekul rendah, biasanya kurang dari

1000 Dalton, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak imunogenik.

Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi imunogenik bila obat atau

metabolit obat berikatan dengan karier makromolekul, seringkali melalui ikatan

kovalen, membentuk kompleks hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi

efektif. Untungnya, sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki

sedikit kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan

kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya insidens alergi

obat. Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah (misalnya polimiksin), yang

bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan jaringan. Meski mekanisme yang pasti

belum diketahui, imunogenesitas suatu obat mungkin berhubungan dengan

Page 8: Erupsi Obat Alergika

kemampuan obat membentuk polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan

berat molekul tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons

imun dan memicu reaksi hipersensitivitas. Kecenderungan obat tertentu untuk

menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung membentuk

metabolit yang sangat reaktif.

Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun berdasarkan pada model

hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik sangat bergantung pada struktur kimia

obat. Peningkatan ukuran molekul dan kompleksitas berhubungan dengan

peningkatan kemampuan untuk memicu respons imun.

Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas harus mengalami

bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang reaktif. β- laktam ; yang

secara spontan terbuka membentuk kelompok penisiloil yang mengikat protein secara

kovalen, membentuk kompleks hapten - karier. Kesiapan β - laktam untuk mengikat

protein secara kovalen inilah yang merupakan alasan seringnya kejadian alergi yang

diinduksi obat- obatan dari kelompok ini. P enelitian lain pada IgE dan IgG manusia

terhadap sulfonamid menunjukkan bahwa determinan sulfamidoil merupakan

determinan sulfonamid yang utama.

Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses detoksifikasi, obat yang

sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi lebih polar dan hidrofilik sehingga

mudah dieksresi. Jika metabolit tidak mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat

menyebabkan toksisitas langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai

imun.

Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan reaksi fase II.

Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis, dan reaksi fase II adalah

reaksi konjugasi yang menghasilkan pembentukan senyawa inaktif yang mudah

dliekskresi. Reaksi oksidasi membutuhkan berbagai isoezim sitokrom P450,

monooksigenase yang mengandung flavin, prostaglandin sintetase, dan bermacam-

macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh berbagai enzim antara

lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase (ST), dan NAT. Pada umumnya

metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali mengalami detoksifikasi dan

eliminasi secara cepat. Metabolit reaktif obat yang tidak didetoksifikasi dapat

Page 9: Erupsi Obat Alergika

mengikat protein atau asam nukleat, sehingga menyebabkan nekrosis sel atau

menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik

langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid.

Kemungkinan lain, metabolit reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat

secara kovalen dengan makromolekul yaitu protein, atau membran permukaan se1.

Pengikatan tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat

menginisiasi respon imun. Respon imun dapat langsung terhadap obat atau

rnetabolitnya, tapi juga terhadap determinan antigen baru (neoantigen) yang terbentuk

melalui kombinasi obat dengan protein , misalnya trombositopelia karena kuinin,

terbcntuk antibodi IgG yang spcsifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan

trombosit. Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen

jaringan lain) dapat mengubah temat pengikatan obat pada molekul protein jauh dari

tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada protein jaringan ini kemudian

dapat dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada

drug-induced autoimmunity. Contoh yang baik untuk fenomenai ni adalah sindrom

lupus eritematosus sistemik yang diinduksi hidralazin.

Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga dapat memicu

reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging molekul antibodi IgE dan lgG

atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan

karier makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalen penting untuk insiasi

respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen (obat atau

metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon imun melalui kompetisi

dengan konjugat multivalen pada reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi

menentukan frekuensi, beratnya dan angka kejadian ROA.

Kulit merupakan organ yang aktif bermetaboisme, m engandung enzim untuk

Page 10: Erupsi Obat Alergika

memetabolisme obat baik fase I dan II. Isoenzim sitokrom P 450 multipl berada

dikulit. Netrofil, monosit, dan keratinosit memiliki enzim yang potensial dapat

mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif.s Kulit juga merupakan organ

imunologis yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritik pada patogenesis

ROA. Kombinasi aktivitas metabolik dan mungkin dapat menerangkan mengapa kulit

merupakan organ tersering mengalami ROA.1,2,3,4

B. Pengenolan Obat Oleh Sel T

Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui molekul

major histocornpatibitityc ontpelx( MHC). Secarau muln, antigel eksogen misalnya

protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui perencanaan

enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan oleh molekul MHC

kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen

dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CDB8+. Sel T tidak hanya

mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara

lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat obatan yang dipresentasikan

melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.

Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat oleh APC,

yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut

merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul

MHC pada APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor

termasuk sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan

APC.

Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan sebagai berikut :

a. Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)

Kebanyakan obat didetoksifikasi itraseluler melalui isoenzim sitokrom P450.

Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat mengikat protein

secara langsung. Jalan ini dialami sufametoksasol, dimana metabolit reaktif yang

terbentuk (hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat protein secara

kovalen.

Page 11: Erupsi Obat Alergika

▪ Aktivasi ekstraselulerAktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau

melalui metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate

dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau mengikat

protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan ditangkap APC dan

diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian dipresentasikan molekul MHC

pada permukaan.

▪ Tidak ada aktivasiJalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak

labil kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida

atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,

ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.

Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan

faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberasaan IL-4 menyebabkan

polarisasi kuat kearah fenotipe Th2, sedangkan diferensiasi Th1 diinduksi oleh IFN-γ

atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel mast,

eosinofil dan antibodi IgE. IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk

eosinofilia, dan kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan

sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarari respons imun yang berbeda- beda.

Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan granulocyte

macrophage colony stimulating factor. Th1, tetapi bukan Th2, juga mempreantarai

respons imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai hipersensitivitas tipe

lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek sitotoksik langsung ke

berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi

efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik.

Page 12: Erupsi Obat Alergika

Zanni melaporkan adanya klon sel T spesifik obat. Mayoritas klon sel T tersebut

mengekspresikan reseptor sel T tipe αβ, sebagian kecil mengekpresikan reseptor tipe

γδ, seperti ada sel T yang mengenali lidokain. Pola produksi sitokin oleh klon sel T

yang spesifik untuk obat adalah bermacam - macam. Klon yang spesifik untuk benzil

penisilin terutama menghasilkan pola menyerupai Th1 dengan produksi IL-2 dan IFN-

γ yang tinggi. Klon yang spesifik untuk sulfametoksasool dan lidokain

memperlihatkan campuran fenotip ThO dan Th2 Aktiviasi Thl menyebabkan produksi

sitokin sepertiI L-2 dan IFN-γ, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta

menyebabkan reaksi seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi

mortibiliformis. Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi

antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.4

C. Klasifikasi Realesi Alergik

Reaksi Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan Gell

yaitu tipe I, reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I), reaksi sitotoksik (tipe II), reaksi

komplek imun (tipe III), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV). Reaksi tipe

I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV oleh limfosit T

spesifik obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari

keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk mengklasifikasikan ROA ini

ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme yang bertanggung jawab untuk

elisitasi belum diketahui.

Tipe I

Tipe I terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2 rnolekul

IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil, mengakibatkan degranulasi

serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal leukotrien dan

prostaglandin) dari sel. Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau

tanpa angioederma. P enisilin merupakan penyebab utama erupsi obat yang IgE

dependent.

Tipe II

Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan sel. Hal ini

menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai

Page 13: Erupsi Obat Alergika

komplemen. reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama, obat

terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat obat dan

mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat-antibodi yang

terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya

sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun

yang mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa).Antibodi

yang tebentuk mengaktifkan sel K yang mempunyai reseptor Fc sebagai efektor

antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen antibodi

mengaktifkan komplemen melalui reseptor C3b sehingga memudahkan fagositosis

dan menimbulkan lisis. Sedormid (sedatif) dapat mengikat trombosit dan

imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit

(trombositopenia) dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah

putih, mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan

sulfonamid dapat mengikat sel darah merah, mengakibatkan anemia hemalitik.

Kerusakan sel dapat terjadi oleh karena sitolisis melalui komplemen atau fagositosis

melalui reseptor untuk Fc atau C3b.

Tipe III

Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG atau

IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen teraktivasi melepas

macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ketempat tersebut melepas

enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a

(anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen

juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan.

Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria,

vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada awal reaksi

semm sickness diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia. Reaksi ini berhubungan

dengan kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang

mengaktifkan kaskade komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a,

C5a). Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas dan

basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada

vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi disangka disebabkan oleh deposit kompleks

imun obat dan IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan

Page 14: Erupsi Obat Alergika

yang diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang

diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai

IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat.

Tipe IV

Imunoglobulin tidak terlibat pada reaksi tipe ini. APC (misal sel Langerhans),

mempresentasikam antigen kepada limfosit. Limfosit T yang sudah tersensitisasi

mengenali antigen dan menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain

marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang

diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasik adalah dermatitis

kontak alergik.

Erupsi eksematosa, eritrodermik, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi

tipe ini melibatkan limfosit efaktor yang spesifik yang juga terlibat pada purpura,

sindrom Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus.

Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed

drug emption, dan eritema nodosum.

Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun dapat bersama

sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan antibodi bekerja sebagai

essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC.4

MANIFESTASI KLINIS

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya erupsi obat alergik adalah :

1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat.

Pada penggunaan obat pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8 – 9 hari.

▪ Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan kimiawi

obat tersebut.

▪ Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat

tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.

Page 15: Erupsi Obat Alergika

▪ Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama

padar vaktu yang berlainan; sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan

reaksi atau manifestasi klinis yang sama. ROA dapat mengenai setiap organ,

seperti darah, pulmo, hepar, dan renal, tetapi yang tersering mengenai kulit

(EOA).7 Manifestasi EOA yang tersering (erupsi morbiliformis, urtikaria /

angioedema, fixed drug eruption), yang terberat (sindroma Stevens – Jhonson,

nekrosis epidennal toksik), serta beberapa manifestasi lain berupa dermatitis

kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik

dan eritenta nodosum.

1. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis

Erupsi makulopapular atau morbilifonnis merupakan EOA yang tersering dan dapat

diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali erupsi ini generalisata dan simetris, dan

dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di

wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul

dalam 1 – 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul obat

dihentikan. Lesi diikuti pruritus, demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan

nyeri sendi, dan biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat

dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun sangat jarang terjadi.

Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritoderma atau dermatitis

eksfoliativa dengan melanjutkan terapi. Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa

eksantematosa generalisata akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang

muncul mendadak diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula,

pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang

terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.

Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui

dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme

reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan

tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjtrkkan perlunya periode

sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh

sel T.

Page 16: Erupsi Obat Alergika

Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi

obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat

dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif

itraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian dipresentasikan

oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.

Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin, NSAID,

sulfonamid, antikonvulsan, allopurino, tetrasiklin, eritromisis, fenobarbital, dan

bahkan retinoid. Penyebab utama adalah antibiotika β laktam, dan anti epilepsi. Harus

diingat bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi

oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar

dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan

dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.4

2. Urtikuria / angioedema

Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua. Lesi pada urtikaria

berupa edema yang eritem atau pucat dan seringkali gatal. Lesi urtika biasanya hilang

dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika

yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa

milimeter hingga 10 – 20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti demam

dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala.

Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dalam dan jaringan

subkutan, ditundai edema setempat yang hanya berkembang pada lokasi

tertentu saja. Edema biasanya simetris. Daerah predileksi adalah bibir, kelopak mata,

gentalia eksterna, dan punggung tangan dan kaki. Edema pada laring dan lidah

merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat

menqakibatkan kematian.

Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian tipe III.

Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan juga melalui pembentukan

kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan

NSAID lain.

Page 17: Erupsi Obat Alergika

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika β-laktam (melalui mekanisme

alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme

pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi urtikaria

yang diinduksi obat.2,4

3. Fluid Drug Eruption (FDE)

FDE adalah satu-satunya EOA yang diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. FDE

merupakan EOA tersering ketiga. Gambaran FDE berupa makula merah atau coklat

berbatas tegas, dan kadang-kadang bula (pada kasus yang berat), dengan predileksi di

bagian distal tubuh (tangan, kaki, genitalia), tetapi dapat pula lebih sentral. Ukuran

lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Lesi biasanya tidak gatal

tapi dapat memberikan sensasi panas saat lesi timbul. Dengan pemberian obat inisial,

lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak

hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.

Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terclapat

peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper /

sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik. Limfosit T

yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan

rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada tesi kulit FDE

menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit

dan limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi

limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin,

barbiturat, fenazon,t funitoin, trimetoprin, dan analgesik.4

Page 18: Erupsi Obat Alergika

4. Erythema multiforme (EM), sindroma Stevens-Jhonson (SSJ), nekrolisis

epidermal toksik (NET)

EM, SSJ; dan NET merupakan EOA yang paling berat. Kriteria diagnostik spesifik

untuk penyakit-penyakit ini masih kontroversial. Banyak klinisi menyatakan bahwa

SSJ dan NET merupakan spektrum EM dengan berat penyakit yang berbeda. Bastuju-

Garin mengklasifikasikan kedua penyakit ini memiliki keterlibatan mukosa, lesi

bulosa, dan epidermolisis. Epidermolisis pada SSJ biasanya dibawah 10 % luas

permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET lebih besar dari 30% LPB. NET

berturnpang-tindih dengan SSJ bila epidermolisis mencapai 10 – 30% LPB.

Gambaran klinis lain yang dapat dipakai untuk membedakan penyakit ini adalah

karakteristik dan distribusi lesi kulit serta gejala dan tanda yang berhubungan.

EM merupakan erupsi polimorfik eritematosa, sesuai dengan namanya. Lesi klasik

berupa lesi target (iris) yang dominan di ekstremitas, lesi tipe lain berupa makula,

papul, vesikel, dan bula. Letak lesi simetris dan membran mukosa dapat terlibat, dapat

pula tidak. Obat merupakan penyebab EM pada 10 – 20% kasus, sisanya disebabkan

oleh infeksi dan penyakit lain. Delapan puluh persen EM diklasifikasikan sebagai

“minor”, karena kebanyakan kasus EM ringan, swasirna, dan melibatkan permukaan

mukosa tidak lebih dari satu. Selebihnya sebanyak 20 % lebih luas dan lebih berat.

SSJ merupakan EM mayor, dengan gambaran khas berupa stomatitis erosif,

keterlibatan okular berat, serta erupsi kulit yang luas berupa makula merah tua

seringkali nekrotik. Roujeau dan Stem menyatakan bahwa EM mayor dan SSJ

merupakan penyakit yang berbeda dengan beberapa alasan. Kira - kira 50 % kasus

SSJ diinduksi obat, sedangkan EM mayor berupa lesi target dengan sedikit bula,

sementara pada SSJ terdapat bula yang tersebar luas dan terjadi diatas makula

keunguan atau pada target datar atipik. Lesi EM mayor terutama pada ekstremitas,

sedangkan lesi SSJ terutama meliputi badan dan wajah.

Page 19: Erupsi Obat Alergika

Jika SSJ berlanjut, dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih berat yaitu NET.

Terdapat banyak tumpang tindih antara kedua sindrom ini, dan obat yang sama dapat

menginduksi keduanya. Lebih dari 80 % NET diinduksi oleh obat. NET disertai

periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis, yang bertahan beberapa

hari hingga minggu, selanjutnya lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari.

Awalnya, pasien merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi makulopapular,

urtikaria, atau erupsi seperti EM yang dengan cepat berkonfluensi. Bula dan

pengelupasan kulit pada area yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif.

SSJ merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap makromolekul obat atau virus.

Sistem imun mengenali kompleks obat- sel sebagai benda asing dan menolak

kompleks tersebut. Jadi SSJ dianggap sebagai reaksi host-versus-host melibatkan

kulit, rnembran, mukosa, dan visera.

Paul dkk menemukan adanya keratinosit yang mengalami apoptosis di epidermis lima

pasien NET atau NET yang tumpang tindih dengan SSJ. Mereka menyatakan belum

dapat menentukan stimulus yang bertanggung jawab atas terjadinya apoptosis yang

luas, namun mereka memberikan hipotesis bahwa mekanisme imun terlibat dengan

beberapa alasan ; yaitu ditemukannya dominasi limfosit T CD8+ dan makrofag di

epidermis serta jumlah TNF yang berlebihan di epidermis pasien NET. TNF dan

limfosit T sitotoksik diketahui menginduksi apoptosis pada sel target. Peneliti lain

menyebutkan bahwa protein like FAS antigen (CD 95) dan p55 TNF-α reseptor

menginduksi apoptosis keratinosit.

Beberapa obat lebih banyak menyebabkan SSJ, dan obat yang lainnya menyebabkan

NET, seringkali jenis obat yang sama menginduksi kedua reaksi tersebut. Lebih dari

80 % kasus NET diinduksi oleh obat yang juga dapat menginduksi SSJ. Banyak obat

yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan

aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus

SSJ. Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab

tersering.2,3,4

Page 20: Erupsi Obat Alergika

5. Dermatitis Kontak Alergik (DKA)

Gambaran klinis DKA karena obat sama dengan DKA yang ditimbulkan olel

penyebab lain. DKA yang diinduksi obat disebabkan pemberian obat topikal. Setelah

sensitisasi topikal, dermatitis kontak dapat dielisitasi oleh aplikasi topikal berikutnya.

DKA merupakan reaksi alergi tipe IV.

Beberapa penyebab umum tersering DKA adalah neomisin, benzokain, etilendiamin.

Penyebab lain yang kurang sering adalah paraben ester, thirmerasol, antihistamin,

basitrasin ; serta tabir surya dan kortikosteroid topikal merupakan penyebab yang

jarang.2

6. Dermatitis Eksfoliativa (DE)

DE juga dikenal sebagaie ritroderma. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu

atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh

tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki. Proses dapat

berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian obat. Mekanisme yang

pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe IV. DE dapat berasal dari

erupsi eksantematosa jik aobat penyebab masih dilanjutkan. DE selain diinduksi obat,

juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya, atau

berkaitan dengan limfoma, leukemia, dan keganasan lainnya. Banyak obat yang dapat

menjadi penyebab DE, namun yang paling sering adalah sulfonamid, penisilin,

barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenibutason, allopurinol, dan garam emas.2,4

7. Purpura

Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat, atau mungkin

berhubungan dengan erupsi berat lain, misalnya EM. Erupsi biasanya simetris serta

muncul di sekitar kaki, dan pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah, dengan

penyebar keatas. Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna

merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan seringkali gagal.

Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh trombositopenia.

Mekanisme trombositopenia berhubuug dengan pembentukan kompleks antigen

Page 21: Erupsi Obat Alergika

antibodi dengan afinitas pada trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan

kerusakan kapiler tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non

trombositopenik atau purpura vaskular. Purpura non trombositopenik secara umum

berkaitan dengan deposit kompleks imun di dinding venula.

Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam asetilsalisilat,

karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin, penisilinamin, fenitoin, dan

derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa

obat penyebab purpura non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin,

sulfatrimetoprim, sulfonamid, asam asetilsalisilat.2,4

8. Vaskulitis.

Vaskulitis ditandai adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah. Bentuk tersering

adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul Gambar klinis tersering vaskulitis

adalah palpable purpura. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat

melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi

bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.

Demam, malaise, myalgia dan anoreksia dapat menyertai lesi kulit. Vaskulitis clapat

terjadi pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima.

Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III, jadi

berhubungan dengan deposit kompleks imun.

Obat hanya salah satu penyebab vaskulitis. Obat-obatan yang dianggap sebagai

penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol,2 tiazid,

NSAID, antidepresan, antiaritmia.2

9. Reaksi fotoalergik.

Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi

imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons imun dan

cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi fotoalergik. Reaksi

fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau sisternik.

Gambaran klinis reaksi fotoalergik kontak menyerupai gambaran dermatitis kontak

pada umumnya. Reaksi kulit diawali didaerah terpajan matahari, kemudian dapat

Page 22: Erupsi Obat Alergika

meluas yang tidak terpajan matahari. Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer

sistemik lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.

Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi hipersensitivitas

tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi fotoalergik membutuhkan

fase induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa

bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil. sebagaian

besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid,

fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik, misalnya

fenotiazin, klorpromazin, sulfa8, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin dapat menimbulkan

reaksi fotoalergik.4

10. Eritema nodosum, (EN)

EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Lesi EN berupa nodus eritema yang lunak,

dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada kasus yang

berat dapat mengenai paha dan lengan. Gejala unum berupa deman, malaise, dan

artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. A witan EN cepat namun regnesi

perlahan.

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN.2 Biasanya

dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun, tapi kadang-

kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang menyebabkan inflamasi di

pembuluh darah subkutan mungkin mencetuskan lesi.

Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid, bromida, dan

kontrasepsi oral. Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih

jarang menyebabkan EN.2,4

DIAGNOSIS

Diagnosis erupsi obat berdasarkan :1. Anamnesis ; adanya hubungan antara timbulnya

erupsi dengan penggunaan obat.

▪ Pemeriksaan klinis ; adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing

Page 23: Erupsi Obat Alergika

reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan

petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.

▪ Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan dapat

dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik. Beberapa pemeriksaan yang

dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan

penyebab erupsi obat alergik :

▪ Pemeriksaan in vivo :

uji tempel (patch test)

uji tusuk (prick/scratch test)

uji provokasi (exposure test)

▪ Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan

reaksi anafilaksis.

▪ Perneriksaan in vitro :

Y ang diperantarai antibodi :

-  Hemaglutinasi pasif

-  Radio immunoassay

-  Degranulasi basofil

-  Tes fiksasi komplemen

Y ang diperantarai sel :

-  Tes transformasi limfosit

-  Leucocyte migration inhibition test

Page 24: Erupsi Obat Alergika

Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang

mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut merupakan

pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang teliti. 1

PENGOBATAN

Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran

dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya

Pengobatan dibagi dalam: 1). Pengobatan kausal, 2). Pengobatan simtomatik.

▪ Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat

tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat

yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan).

▪ Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi yang

mendasarinya :

Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 :

1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena.

Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan

merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi

dalam waktu 15 – 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati

selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi.

Pada reaksi tipe yang lain :Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup

memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi,

pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari) dan

antihistamin dapat dipertimbangkan.l

PENCEGAHAN

Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dapat dipastikan, maka

sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis

obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana

diperlukan (misalnya apabila penderitaan berobat), sehingga dapat dicegah pajanan

Page 25: Erupsi Obat Alergika

ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.l

PENTUTUP

Penting untuk diketahui bahwa masih terdapat banyak empsi tipe lain yang dapat

disebabkan oleh obat. Penting pula diketahui bahwa tiap obat dapat memicu

timbuhlya RSO. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat, klinis harus

mempertimbangkan besar kecilnya risiko, serta keuntungan dan kerugian dari terapi

tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis

EOA, dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat, dapat menurunkan

morbiditas EOA.3

DAFTAR PUSTAKA

Page 26: Erupsi Obat Alergika

▪ Retno WS, Suharti KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al eds, Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan Empsi Obat Alergik, Balai penerbit FK- UI ,

Jakarta ; 1995 : 3 – 6.

▪ DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic

diseases, 5th Lippincott-Raven Publisher,Philadelpia ; 1997 : 317 – 352.

▪ Gruchalla RS. Understanding drug allergies. J. Alergy Clin Immunol 2000 ; 105 :

S637 – 5644.

▪ Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG. Imunologi

Dasar, 4th. Balai penerbit FKUI : Jakarta ; 2 000 : 106 – 129.