27070134 Dermatitis Kontak Alergika

20
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui mekanisme imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang disebabkan oleh paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya. (1) Epidemiologi Prevalensi penyakit DKA di Amerika Serikat terhitung sebesar 7% dari total penyakit yang terkait dengan pekerjaan. (6) Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu. Poison ivy, pohon ek, nikel, Balsam of Peru (Myroxylon pereirae), neomisin, wangi-wangian, thimerosal, emas, formaldehid, basitrasin, dan karet merupakan alergen penyebab DKA yang paling sering dijumpai. Angka kejadian dermatitis kontak alergika dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, etnik dan pekerjaan. (2) Individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset dan resolusi yang lebih cepat terhadap dermatitis dibandingkan dengan yang lebih tua. Secara klinis, pada individu yang berusia diatas 65 tahun, gejala timbul lebih lama dan waktu untuk perbaikan yang dibutuhkan juga lebih lama. Prevalensi kejadian DKA pada usia tua juga lebih rendah dibandingkan usia muda. 1

description

vb

Transcript of 27070134 Dermatitis Kontak Alergika

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui

mekanisme imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang disebabkan oleh

paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya.(1)

Epidemiologi

Prevalensi penyakit DKA di Amerika Serikat terhitung sebesar 7% dari total

penyakit yang terkait dengan pekerjaan.(6) Berdasarkan beberapa studi yang

dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen

tertentu. Poison ivy, pohon ek, nikel, Balsam of Peru (Myroxylon pereirae),

neomisin, wangi-wangian, thimerosal, emas, formaldehid, basitrasin, dan karet

merupakan alergen penyebab DKA yang paling sering dijumpai. Angka kejadian

dermatitis kontak alergika dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis

kelamin, etnik dan pekerjaan.(2)

Individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset dan resolusi

yang lebih cepat terhadap dermatitis dibandingkan dengan yang lebih tua. Secara

klinis, pada individu yang berusia diatas 65 tahun, gejala timbul lebih lama dan

waktu untuk perbaikan yang dibutuhkan juga lebih lama. Prevalensi kejadian

DKA pada usia tua juga lebih rendah dibandingkan usia muda.

Perempuan memiliki kecenderungan untuk alergi terhadap 7 dari 10 alergen

yang diujikan dalam tes tempel. Dalam uji dengan membandingkan potensi

alergen, sebagian besar perempuan juga sensitif terhadap alergen lemah. Tangan

dan wajah merupakan area yang sering terkena peradangan, dikarenakan kedua

area ini merupakan area yang sering terpapar ke lingkungan.(1)

Etiologi

Dermatitis kontak alergika merupakan inflamasi pada kulit yang terjadi

melalui mekanisme imunologik tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV),

disebabkan oleh adanya paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah

tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7)

1

Sebagian besar senyawa yang menginduksi reaksi hipersensitivitas

merupakan senyawa dengan berat molekul < 500 Dalton. Hapten baru dapat

menginduksi sel imun ketika berinteraksi dengan protein sel kulit.(5) Terdapat lebih

dari 3700 alergen yang dilaporkan dapat memicu reaksi DKA. (3,10) Beberapa

diantaranya yang sering ditemukan adalah bahan pewangi, bahan sintetis pada

pakaian, kosmetik, perhiasan, karet, bunga, antioksidan, produk perawatan

rambut, obat topikal dan sebagainya.

Patogenesis

Fungsi kulit sebagai pelindung adalah sebagai penghambat terpaparnya

alergen ke tubuh. Pertahanan awal kulit dibentuk oleh stratum korneum yang

merupakan lapisan teratas epidermis. Pada epidermis, Fillagrin (FLG) yang

merupakan hasil diferensiasi terakhir proteinmemiliki peran yang sangat penting

dalam fungsi perlindungan. Dilaporkan bahwa kehilangan fungsi dari varian FLG

menyebabkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan merupakan predisposisi

terjadinya dermatitis atopi. Mutasi FLG juga dapat meningkatkan kerentanan

terhadap hapten.(5) DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang

diperantarai imunitas seluler (hipersensitivitas tipe 4). (6,7,8)

Patogenesis DKA diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu fase induksi (fase

sensitisasi atau fase aferen) dan fase elisitasi (fase eferen). Fase sensitisasi

dimulai pada saat kulit penderita pertama kalinya terpapar dengan alergen kontak

sampai pada saat penderita tersensitisasi, artinya jika terjadi paparan ulang

terhadap alergen yang sama akan dapat memicu terjadinya reaksi DKA. Fase

efektor dimulai dari paparan ulang alergen kontak yang sama sampai waktu

terjadinya manifestasi klinik DKA, seperti eritema, edema dan munculnya vesikel.

Reaksi inflamasi yang timbul pada DKA dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

frekuensi dan durasi paparan alergen.(3,5,8)

Tahapan imunopatologi pada DKA meliputi : (3,5,8)

a. Fase Aferen (Fase Sensitisasi)

Hapten yang sudah diikat protein akan menjadi antigen masuk ke dalam

epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan

cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta

2

dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya

sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag

dengan sedikit menstimulasi sel T, tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten

yang juga mempunyai sifat alergen maka akan dilepaskan sitokin (IL-1) yang

akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi

tersebut mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin

tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC I

dan MHC II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan

oleh keratinosit yaitu TNFα yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag dan

granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin ini

juga meningkatkan MHC I dan MHC II.

TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada

epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel

Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening

setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans

mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,

yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel

Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah

diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk

mengekspresi reseptot IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel

T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T memori (sel

T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar di seluruh

tubuh. Pada saat tersebut individu dikatakan telah tersensitisasi.

Sinyal antegenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi

sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi, dengan demikian terjadinya

sensitisasi kontak tergantung pada adaya sinyal iritan yang dapat berasal dari

alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan,

dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang atau kombinasi ketiganya.

Maka suatu tindakan yang ditujukan utuk mengurangi iritasi akan menurunkan

potensi sensitisasi.

3

b. Fase Eferen (Fase Elisitasi)

Fase elisitasi pada hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang

alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel

Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, kemudian diikat oleh

HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-

DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T

memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL-

2 dan mengekspresi IL-2R yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi sel T

di kulit.

Sel T teraktivasi juga mengeluarkan IFNγ yang akan mengaktifkan

keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1

memungkinkan keratinosit berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang akan

megekspresi LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit berinteraksi

langsung dengan sel T CD4+ dan memungkinkan presentasi antigen kepada sel

tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit.

Keratinosit juga menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6, TNFα dan

GMCSF yang semuanya dapat mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi

keratinosit menghasilkan eikosanoid.

Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel

mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain

histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4

(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari

keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatnya

permeabilitas shingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi

ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan

menarik neutrofil, monosit dan sel darah yang lain dari pembuluh darah ke dalam

dermis. Proses ini akan menimbulkan manifestasi klinik DKA.

4

Gambar Imunopatogenesis Dermatitis Kontak Alergika

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

a. Anamnesis

Ada beberapa yang harus diperhatikan pada anamnesis berkaitan dengan

kasus DKA, yaitu adanya keluhan gatal pada kulit, riwayat paparan terhadap

bahan alergen sebelumnya, munculnya keluhan pada kulit terjadi setelah paparan

terhadap alergen yang sama, mulai muncul 48-96 jam setelah paparan ulang, dan

sering berulang selama beberapa tahun. (2) Selain hal tersebut, ada beberapa hal

yang juga perlu diketahui dari anamnesis yaitu data demografi pasien termasuk

umur, ras, pekerjaan dan hobi, adanya kecenderungan terpapar bbahan alergen,

lokasi tempat tinggal, riwayat penyakit dahulu dan pengobatan dan riwayat

penyakit keluarga, alergi obat, serta riwayat pengobatan dan operasi sebelumnya. (1,4,8)

b. Pemeriksaan Fisik

Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan efloresensi DKA polimorf, batas tegas,

dimana alergen kuat selalu menyebabkan pembentukan vesikel, sedangkan

5

alergen yang lemah ditandai dengan adanya papula. Pada fase akut ditandai

dengan gejala pruritus, edema, makula eritematous batas tegas dan vesikel

hanya pada area terpapar (lokalisata). Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan

erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata,

penis, skrotum, eritema lebih dominan dibandingkan vesikel.

Lesi subakut dapat berupa : eritema, papula, dan skuama. Bila kontak

dengan alergen berulang, maka dapat ditemukan gejala dan tanda DKA kronik,

berupa plak eritematosa batas tidak tegas, pada permukaan lesi bisa didapatkan

skuama, fissura, likenifikasi; dan lesi dapat meluas melewati area yang terpapar

(diseminata). Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis

dan diperkirakan penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain,

misalnya dengan cara autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan, dan kaki relatif

resisten terhadap DKA. (1,2,4)

Tabel 1. Regio predileksi tersering timbulnya Dermatitis Kontak Alergika

Regio Penyebab

Kepala dan Leher Rambut, sampo, spray rambut, zat perawatan rambut

lainnya, bahan pencukur jenggot, alergen di udara

Telinga Neomisin, pewangi, nikel, logam

Mata Maskara, bulu mata palsu, pewangi, sponge bedak

Mulut dan bibir Pasta gigi, permen karet, pewangi, pewarna bibir (lipstick),

obat, getah buah

Badan Baju (bahan poliester, wol, serat sintetis lainnya), besi dalam

pakaian dalam wanita, ikat pinggang, karet celana, nikel,

perhiasan tindik, kancing logam, deterjen, bahan pelembut

atau pengharum.

Ketiak Deodoran, formaldehid

Tangan Perhiasan, jam tangan, bunga dan serbuk sari, poison ivy,

sarung tangan berbahan karet, bahan kosmetik, bahan

perawatan rambut

Genital Pewarna pakaian, kondom, obat suppositoria, pewangi,

pembalut wanita.

Kaki Kaos kaki, sepatu, obat topikal

6

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang sebagai Gold Standard untuk menegakkan diagnosa

DKA adalah uji tempel (patch test). (8,10) Uji tempel (patch test) dengan

menggunakan bahan standar atau bahan yang dicurigai menyebabkan timbulnya

DKA. Adapun indikasi dilakukannya uji tempel yaitu pada kasus dermatitis yang

bersifat kronik dan/atau adanya gatal yang selalu berulang, adanya likenifikasi,

dan pada kecurigaan adanya DKA sebagai penyebab atau komplikasi dari keluhan

tersebut. Sedangkan kontraindikasi uji tempel yaitu imunodefisiensi,

mengkonsumsi obat-obatan yang menekan respon imun dan penyakit autoimun.

(9)

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk

melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik,

misalnya Finn Chamber System Kit. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan

menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila digunakan sebagai uji

tempel, dapat langsung digunakan dan ditempelkan apa adanya. Bila

menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya,

misalnya sampo, pasta gigi, maka bahan ini dicampur harus diencerkan terlebih

dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam

vaselin atau minyak mineral.

Konsentrasi zat alergen pada uji tempel sangat berpengaruh terhadap

interpretasi hasil uji tempel karena konsentrasi yang terlalu rendah dapat

menimbulkan hasil negatif palsu, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat

menimbulkan hasil positif palsu.(2) Pembacaan dan interpretasi hasil uji tempel

dilakukan setelah 24 jam, 72 jam dan setelah 7 hari.(8,9,11) Pembacaan pada hari ke 7

dapat membantu menilai hasil positif yang muncul lebih lambat (lebih dari 4 hari)

yang pada pemeriksaan 24 jam serta 72 jam bernilai negatif, missal untuk zat

allergen seperti neomisin, tixocortol pivalate dan nikel.(9)

Tatalaksana

Tatalaksana medikamentosa Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah

sebagai berikut:

1. Topikal

a. Lesi basah (madidans) : kompresi terbuka (2-3 lapis kain) dengan

7

NaCl 0,9 %

b. Lesi kering : kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi.

2. Sistemik

a. Kortikosteroid, digunakan dalam waktu singkat :

Prednison, 5-10 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam

Metil Prednisolon, 4, 8, 16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam

Deksametason, 0,5-1 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam

Triamsinolon, 4, 8, 16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam

b. Antihistamin

c. Antibiotik: bila ada super-infeksi bakteri

Adapun tatalaksana non-medikamentosa pada pasien Dermatitis Kontak

Alergika adalah menghindari terjadinya paparan dengan alergen.

8

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. IN

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Alamat : Poncowolo barat RT 1/6 PENDIRIKAN Lor Semarang

No. RM : 05.73.48

Tanggal Pemeriksaan : 10 Februari 2016

Anamnesis

a. Keluhan utama

Rasa gatal di punggung

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan rasa gatal di punggung. Keluhan ini sudah

dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul kemerahan dan gatal pada

punggung.Rasa gatal dialami terus menerus dan disertai dengan kulit yang

mengering dan meluas ke badan,lengan tangan, paha, dan kaki. Menurut

pengakuannya, keluhan muncul setelah menggunakan seprei yang baru dibeli.

Alergi obat dan makanan disangkal pasien. Pasien mengaku sudah berobat ke

dokter namun keluhan belum membaik. Tidak ada gejala demam, mual, muntah,

dan diare.

c. Riwayat penyakit dahulu

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat

alergi dan riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.

d. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat

atopi keluarga disangkal.

9

e. Riwayat kebiasaan sosial

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. biaya dengan BPJS. Kesan

ekonomi cukup.

Pemeriksaan Tanda Vital

Status Generalisata

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Laju nadi : 84 kali/menit

Laju pernapasan : 18 kali/menit

Suhu tubuh : 36,8oC

Pemeriksaan Fisik

Status Fisik Kulit:

- Regio : punggung

- Efluoresensi : Tampak Regio punggung tampak makula eritem, papul, plak,

skuama.multiple dan batas tidak tegas.

10

-

-

11

Diagnosis Banding

1. Dermatitis kontak alergika

2. Dermatitis kontak iritan

3. Dermatitis atopik

Planning Diagnosis

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah

sebagai berikut:

Patch Test

Prick Test

White Dermographisme

Pemeriksaan Kaarsvlek phenomenon

Pemeriksaan Auspitz Sign

Pemeriksaan Koebner phenomenon

Pemeriksaan KOH

Diagnosis Klinis

Dermatitis Kontak Alergika e.c seprei

Tatalaksana

12

Prinsip penatalaksanaan pada pasien DKA adalah mengobati gejala dan

menghindari paparan dengan alergen.

a. Farmakologis

R/ CTM No. X

s.2.d.d.I

R/ Prednison No.XII

s.2-2-0

R/ Zinc No.X

s.1.d.d.I

R/ Bedak RST

s.u.e

b. Edukasi

1. Hindari kontak dengan seprei baru yang dapat memicu rasa gatal berulang

pada kulit. (seprei dicuci dulu jika masih baru)

2. Hindari menggaruk pada daerah yang gatal terlalu kuat.

3. Penggunaan obat sesuai dengan instruksi dokter

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam: dubia ad bonam

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell,

D.J. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. USA : The

McGraw-Hill Companies.

2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2011. Andrew’s Diseases of The

Skin Clinical Dermatology. USA : Elsevier

3. Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya

Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Karyawan Binatu. Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro

4. FKUI

5. Honda, T., Egawa, G., Grabbe, S., Kabashima K. 2013. Update of Immune

Events in the Murine Contact Hypersensitivity Model : Toward the

Understanding of Allergic Contact Dermatitis. Journal of Investigative

Dermatology; 133. p.303-315

6. Spiewak, R. 2008. Patch Testing for Contact Allergy and Allergic Contact

Dermatitis. The Open Allergy Journal; 1, p.42-51

7. Marks, J.G., Elsner, P., Deleo, V.A. 2002. Contact and Occupational

Dermatology. USA : Mosby.

8. Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffith, C. 2010. Rook’s Textbook of

Dermatology. USA : Wiley-Blackwell.

9. Liu, B., Escalera, J., Balakrishna, S., Fan, L., Caceres, A.I, Robinson, E.

2013. TRPA1 Controls Inflammation and Pruritogen Responses in

Allergic Contact Dermatitis. The Faseb Journal; 27

10. Bourke, J., Coulson, I., English, J. 2009. Guidelines for The Management

of Contact Dermatitis: An Update. British Journal of Dermatology; 160

14