Case Rhinitis Alergika

42
BAB I PENDAHULUAN Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik langsung maupun tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki indeks kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati gangguan alergi. (1) Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap jika disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan dalam diet sehari- hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti memiliki sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu inhalan saja. (1) Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik. Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.

description

asd

Transcript of Case Rhinitis Alergika

Page 1: Case Rhinitis Alergika

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu

oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi,

komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut

gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat

terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik langsung maupun

tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki indeks

kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati gangguan alergi.(1)

Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap jika

disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan dalam

diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti memiliki

sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu

inhalan saja.(1)

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik. Suatu

penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika memperlihatkan bahwa 17 hingga

19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata

menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini.(1)

Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.

Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik dari

individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.(1)

Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah mengalami

sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu : reseptor histamine

H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan

reseptor iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila

terserang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-

bersin, gatal dan rinore.(1)

Page 2: Case Rhinitis Alergika

BAB II

LAPORAN KASUS

RUMAH SAKIT TNI AU Dr ESNAWAN ANTARIKSA

SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK

Jl. Merpati No 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur – 13610

Nama : Sufrianus Brian Rantesalu Tanda Tangan

NIM : 11 – 2014 – 022 .............

Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Asnominanda, Sp. THT-KL

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. MFS Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 9 tahun 11 bulan 7 hari Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : Sekolah Dasar

II. ANAMNESIS: Auto-allo anamnesis Tanggal/ Jam: 28 Agustus 2015/ Jam 10.30 WIB

Keluhan Utama: Hidung keluar ingus

Keluhan Tambahan: Hidung tersumbat, bersin-bersin, hidung gatal, batuk berdahak

Page 3: Case Rhinitis Alergika

Riwayat Penyakit Sekarang

OS datang ke poliklinik THT RS Pusat TNI AU dengan keluhan hidung keluar ingus

sejak 3 hari yang lalu. Ingus berbentuk kental, berwarna putih bening, dan tidak berbau.

Banyaknya ingus sekitar 4-5 sendok makan. Keluhan tersebut disertai rasa tersumbat pada kedua

lubang hidungnya. Selain itu juga OS mengeluh sering bersin-bersin, hidung terasa gatal, dan

batuk berdahak. Orang tua pasien mengatakan sebelumnya pasien sering mengalami keluhan

yang sama, namun keluhan tersebut hilang timbul.

Keluhan-keluhan yang dirasakan pasien terutama terjadi apabila pasien sedang berada di

kamar. Kamar pasien memakai pendingin udara berupa AC. Orang tua pasien mengatakan bahwa

AC dibersihkan setiap 3 bulan sekali. Setelah pembersihan biasanya keluhan-keluhan tersebut

membaik.

OS tidak mengeluh pusing dan nyeri pada bagian dahi, pipi, dan disekitar pangkal

hidung. Tidak ada gangguan pada penciuman pasien. Gangguan pendengaran dan rasa penuh di

telinga disangkal. Nyeri menelan disangkal oleh pasien.

Orang tua pasien mengatakan bahwa anaknya sudah diberikan pengobatan berupa

metilprednisolon dan amoxicillin namun setelah pemberian kedua obat tersebut tidak terjadi

perubahan.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):

OS mengaku memiliki riwayat asma sejak kecil

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

Tensi : 120/80 mmHg

Pernafasan : 20x/ menit

Suhu : 36,6 0C

Berat Badan : 26 kg

Page 4: Case Rhinitis Alergika

III.PEMERIKSAAN FISIKa. Telinga

Kanan KiriBentuk daun telinga Normotia NormotiaKelainan Kongenital Tidak ditemukan Tidak ditemukanTumor/ tanda peradangan

Pre aurikuler Retroaurikuler

Tidak ditemukanTidak ditemukan

Tidak ditemukanTidak ditemukan

Nyeri tekan tragus (-) (-)Penarikan daun telinga (-) (-)Tes Fungsi Tuba

Valsava Thoinbee

Tidak dilakukanTidak dilakukan

Tidak dilakukanTidak dilakukan

Liang Telinga CAE lapang, serumen (-), Hiperemis (-)

CAE lapang, serumen (-), Hiperemis (-)

Membran Timpani Dalam batas normal, retraksi (-), edema (-), refleks cahaya (+) jam 5

Dalam batas normal, retraksi (-), edema (-), refleks cahaya (+) jam 7

Tes Penala: Rinne Weber Swabach

PositifTidak ada lateralisasiSama dengan pemeriksa

PositifTidak ada lateralisasiSama dengan pemeriksa

Kesan: - Tidak ditemukan kelainan pada liang telinga

- Kelainan pendengaran tidak ditemukan

b. Hidung dan Sinus Paranasal

Page 5: Case Rhinitis Alergika

Bentuk : Simetris Tanda Peradangan : Tidak ditemukan tanda peradangan dari luar Vestibulum : - Tampak bulu hidung bilateral +/+

- Hiperemis -/-, massa -/-, lapang +/+, polip -/-

- Hipertrofi +/+

- Mukosa basah kiri-kanan; krusta kuning kehijauan -/-

Konka inferior kanan/ kiri : Hipertrofi +/+, sekret +/+ Meatus inferior kanan/kiri : Sekret +/+, hiperemis -/- Konka medius kanan/ kiri : Hipertrofi +/+ Meatus nasi medius kanan/ kiri : Sekret +/+, hiperemis -/- Septum nasi : Deviasi (-), sisa sekret +/+ Daerah sinus frontalis dan maksilaris : Tidak dilakukan pemeriksaan

c. Nasofaring (tidak dilakukan rhinoskopi posterior) Koana : - Septum nasi posterior : - Muara tuba eustachius : - Torus tubarius : - Konka inferior dan media : - Dinding posterior : -

d. TenggorokFaring

Dinding faring: sedikit hiperemis, permukaan licin Arkus faring : simetris kanan-kiri, sedikit hiperemis Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta lebar (-), detritus (-) Uvula : simetris ditengah, hiperemis (-) Gigi geligi : bekas pencabutan gigi (-), oral hygiene baik Lain-lain : radang ginggiva (-), mukosa pharynx tenang

Laring (tidak dilakukan pemeriksaan laringoskopi) Epiglotis : -

Page 6: Case Rhinitis Alergika

Plika aryepiglotis : - Arytenoid : - Plika Ventrikularis: - Pita suara asli : - Rima glottis : - Cincin trakea : - Sinus piriformis : -

e. Leher Kelenjar limfe submandibula : tidak ada pembesaran Kelenjar limfe servikal : tidak ada pembesaran

f. Maksillo – Fasial Deformitas

- Tidak ditemukan deformitas os maxilla, os mandibula, dan os zygomaticum- Hematoma (-)

Nervus Kranialis- Nervus 1 (olfaktorius) : dapat mencium bau bahan yang diberikan seperti

teh, kopi, parfum- Nervus 2 (optikus) : penglihatan baik, tidak kabur atau double- Nervus 3 (okulomotorius) : gerakan kedua bola mata (atas-luar, atas-dalam,

bawah-luar, medial-horizontal) normal- Nervus 4 (trochlearis) : gerakan kedua bola mata (bawah-medial) normal- Nervus 5 (trigeminus) : membuka mulut, mengunyah, menggigit normal

pada sisi kanan dan kiri- Nervus 6 (abdusen) : gerakan kedua bola mata ke arah lateral normal- Nervus 7 (fascialis) : mengerutkan dahi, menutup mata, menyeringai

normal/ memperlihatkan gigi- Nervus 8 (vestibulocochlearis) : pendengaran baik, tidak ada gangguan

keseimbangan- Nervus 9 (glossopharingeus) : tidak dilakukan- Nervus 10 (vagus) : bicara dan menelan normal- Nervus 11 (aksesorius) : mengangkat bahu dan memalingkan kepala normal- Nervus 12 (hipoglossus) : pergerakan lidah normal, tremor lidah (-),

artikulasi bicara baik

Page 7: Case Rhinitis Alergika

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG- Pemeriksaan darah tepi- Pemeriksaan IgE spesifik

V. RESUME

Dari anamnesa didapatkan :

Seorang anak laki-laki bernama An. D berusia 9 tahun datang ke poliklinik THT RS Pusat

TNI AU dengan keluhan hidung keluar ingus sejak 3 hari yang lalu. Ingus berbentuk kental,

berwarna putih bening, dan tidak berbau. Banyaknya ingus sekitar 4-5 sendok makan. Keluhan

tersebut disertai rasa tersumbat pada kedua lubang hidungnya. Selain itu juga OS mengeluh

sering bersin-bersin, hidung terasa gatal, dan batuk berdahak. Orang tua pasien mengatakan

sebelumnya pasien sering mengalami keluhan yang sama, namun keluhan tersebut hilang timbul.

Keluhan-keluhan yang dirasakan pasien terutama terjadi apabila pasien sedang berada di kamar.

Kamar pasien memakai pendingin udara berupa AC. Orang tua pasien mengatakan bahwa AC

dibersihkan setiap 3 bulan sekali. Setelah pembersihan biasanya keluhan-keluhan tersebut

membaik. OS mengaku memiliki riwayat asma sejak kecil.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan:

Bentuk : Simetris Vestibulum : - Hipertrofi +/+

- Mukosa basah kiri-kanan

Konka inferior kanan/ kiri : Hipertrofi +/+, sekret +/+ Meatus inferior kanan/kiri : Sekret +/+, hiperemis -/- Konka medius kanan/ kiri : Hipertrofi +/+ Meatus nasi medius kanan/ kiri : Sekret +/+, hiperemis -/- Septum nasi : Sisa sekret +/+

Page 8: Case Rhinitis Alergika

VI. DIAGNOSIS KERJA

Rhinitis Alergika

VII.DIAGNOSIS BANDING- Rhinitis Vasomotor- Rhinosinusitis

VIII.USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG- Skin End-point Titration/ SET

IX. PENATALAKSANAAN

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi

a. Pengobatan- Antihistamin: Cetirizine 1 x 5mg- Dekongestan oral: Pseudoefedrin HCl 4 x 30 mg- Kortikosteroid: Methylprednisolon 0,4 – 1,6 mg/kgBB/hari

b. Anjuran(Edukasi)- Kenali hal-hal atau keadaan seperti apa yang menyebabkan keluhan-keluhan yang

dirasakan pasien muncul- Hindari paparan terhadap allergen tersebut- Memakai masker dilingkungan yang berdebu- Bersihkan pendingin udara secara rutin

X. PROGNOSISa. Quo ad vitam : ad bonamb. Quo ad functionam : ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Page 9: Case Rhinitis Alergika

III. 1. ANATOMI HIDUNG

III. 1. A. Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar

menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas

tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat

kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung

yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari

atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung

(hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk

oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa

otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka

tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3)

prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang

tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis

lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)

Gambar 3. Anatomi hidung luar

Anatomi Hidung Luar

III. 1. B. Anatomi Hidung Dalam

Page 10: Case Rhinitis Alergika

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di

sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan

Gambar 2. Anatomi hidung dalam

konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior,

berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas

konka media disebut meatus superior.(2)

Anatomi Hidung Dalam

1. Septum Nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior

dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum

(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh

os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.(2)

Page 11: Case Rhinitis Alergika

Gambar 3. Septum nasi

2. Kavum Nasi

Kavum nasi terdiri dari : (2)

Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal

os palatum.

Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus

frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar

atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen

n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan

menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os

etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina

pterigoideus medial.

Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka

inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media

dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus

superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.

Page 12: Case Rhinitis Alergika

Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os

etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada

maksila bagian superior dan palatum.

3. Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara

septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid

posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang

besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid

terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.(2)

4. Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal

dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang

dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit

yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus

semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang

berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada

penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium

sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di

infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian

anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya

sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di

depan infundibulum.(2)

5. Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara

duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas

posterior nostril.(2)

6. Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares

Page 13: Case Rhinitis Alergika

posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh

os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina

pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri

atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus

paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan

dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus

zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala

yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus

alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial

dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified

columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga

hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.(2)

7. Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang

keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum

sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar

melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.

Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau

ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.(2)

Page 14: Case Rhinitis Alergika

Gambar 4. Kompleks Ostiomeatal

III. 1. C. Vaskularisasi Rongga Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan

posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung mendapat

pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari

cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh darah pada

septum nasi bagian anterior.(3)

Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior & posterior,

arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan

menyebabkan epistaksis anterior.(3)

Gambar 5. Vaskularisasi rongga hidung

Page 15: Case Rhinitis Alergika

III. 1. D. Persarafan Rongga Hidung

Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus

nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya

mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung

berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina.

Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis

pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut

saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut

halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga

hidung.(3)

Gambar 6. Persarafan rongga hidung

II. 2. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air

conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara; 6)

proses bicara; 7) refleks nasal.(4)

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini

berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan

Page 16: Case Rhinitis Alergika

aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan

bergabung dengan aliran dari nasofaring.(4)

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara

yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : (4)

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,

sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga

radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah

melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh : (4)

Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

Silia

Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir

dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut

lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas

dengan kuat. (4)

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung

akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.(4)

6. Proses bicara

Page 17: Case Rhinitis Alergika

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana

rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran

udara.(4)

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan

refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar

liur, lambung dan pankreas.(4)

III. 3. RINITIS ALERGI

III. 3. A. DEFINISI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,

1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)

Gambar 7. Rhinitis Alergi

Page 18: Case Rhinitis Alergika

III. 3. B. PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung

sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau

Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC

kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th

0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)

Gambar 8. Patofisiologi Rhinitis alergi

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13

dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif

dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan

dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua

sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka

Page 19: Case Rhinitis Alergika

kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed

Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators

antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin,

Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi

Alergi Fase Cepat (RAFC). (5)

Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada

mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,

netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5

dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil

dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan

udara yang tinggi.(5)

MEKANISME TERJADINYA NASAL ALLERGY SYNDROME PADA RINITIS ALERGI

Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa

gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili gejala

karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung

diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris

menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan

simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar

Page 20: Case Rhinitis Alergika

mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.(5,6)

Gambar 9. Mekanisme Rhinitis Alergi

MEKANISME HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN ASMA

Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme yang

menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori diajukan

untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary Reflex yaitu

refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan saraf pusat

melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan menimbulkan kontraksi

otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut terhadap udara dingin, kering atau

alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi

spasme bronkus. Drenase post nasal bahan inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan

penyebaran sel-sel inflamasi melalui sirkulasi.(7)

Page 21: Case Rhinitis Alergika

III. 3. C. GAMBARAN HISTOLOGIK

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler

dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa

dan submukosa hidung.(5)

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa

kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun,

sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat

dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.(5)

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (5)

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah

(D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,

anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(5)

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,

coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(5)

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan

lebah.(5)

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan

kosmetik, perhiasan.(5)

Gambar 10. Jenis Alergen

Page 22: Case Rhinitis Alergika

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi

gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis

alergi.(5)

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari : (5)

1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut

menjadi respons sekunder.(5)

2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas

selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,

reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka

reaksi berlanjut menjadi respons tertier.(5)

3. Respons tertier :

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.(5)

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi

kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1

yaitu rinitis alergi.(5)

III. 3. D. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : (5)

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi

musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,

yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis

Page 23: Case Rhinitis Alergika

atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata

(mata merah, gatal disertai lakrimasi).(5)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau

terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang

paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah

(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai

dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik

pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena

lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(5)

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi(5):

1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu.(5)

2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.(5)

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(5):

1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(5)

2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(5)

III. 3. E. DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1.Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5). Gejala rinitis alergi yang khas

ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,

terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

Page 24: Case Rhinitis Alergika

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).

Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat

dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala

lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,

yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang

timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)

Gambar 11. Gejala Rhinitis Alergi

2.Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak

ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder

akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak

anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut

allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya

garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut

sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran

peta (geographic tongue).(5)

Page 25: Case Rhinitis Alergika

3.Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain

rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi

yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno

Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan

sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (5)

In Vivo :

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan

atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk

alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial

untuk desensitisasi dapat diketahui.(5)

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat

dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). (5)

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada

“Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5

hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan

dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis

makanan.(5)

Page 26: Case Rhinitis Alergika

III. 3. F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya

(avoidance) dan eliminasi.(5)

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor

kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering

dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi

atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.(5)

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)

dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat

menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek

kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,

prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.

Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,

antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral

denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti

rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase

lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.

Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.

Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat

menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik

dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan

levosetirisin.(5)

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan

hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian

secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis

medikamentosa.(5)

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase

lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid

Page 27: Case Rhinitis Alergika

topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan

triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada

mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas

limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif

terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium

kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium)

sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga

menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.

Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. (5)

Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi

rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.(5)

Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau

multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat

dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor

asetat.(5)

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah

berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.

Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.(5)

III. 3. G. KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(5) :

1. Polip hidung(5)

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor

penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.(5)

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(5)

3. Sinusitis paranasal.(5)

Page 28: Case Rhinitis Alergika

BAB III

KESIMPULAN

 

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh

IgE. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara

genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis

alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit

ini. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menghindari faktor penyebab yang

dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat dihindari dapat dibantu dengan terapi medika

mentosa hingga pembedahan. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan

pengobatan memiliki prognosis baik.

Page 29: Case Rhinitis Alergika

DAFTAR PUSTAKA

1. Hilger PA, Highler AB. BOIES Buku ajar penyakit THT. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1997. ed 6. p. 210-7.

2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available

from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed

at : August 31th, 2015.

3. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/38904487/Anatomi-Hidung .

Accesed at : August 31th, 2015.

4. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/52832505/7/Anatomi-Hidung.

Accesed at : August 31th, 2015.

5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung dan tenggorok.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. ed 6. p. 128-32.

6. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and Sneezing in

Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital Mannheim, Germany.

Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 35-40.

7. Rinitis Alergi. Available from : http://www.scribd.com/doc/19986753/Rinitis-Alergi. Accesed

at : August 31, 2015