Tugas Final Ujian Dr.sherina
-
Upload
sanjaya-soebagio -
Category
Documents
-
view
15 -
download
5
description
Transcript of Tugas Final Ujian Dr.sherina
Patogenesis Koma Hepatikum
Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Beberapa hipotesis
yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis ammonia, (2) Hipotesis
neurotoksi sinergis, (3) Hipotesis neurotransmitter palsu, (4) Hipotesis GABA / benzodiazepine
(Budihusodo., 2002).
Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah :
1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati sirotik.
2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron.
3. Kelainan permeablitas sawar darah-otak.
4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya.
Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikiasi otak yang
disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat
kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (pataologis atau akibat pembedahan) yang
memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati
hati (Price et al., 1995).
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar
tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri
dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati
atau karena pirau (Price et al., 1995).
EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna,
asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan,
azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia (Abou-assi.,
2001).
Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah mengungkapkan
beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh salah satu faktor
tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama (Blei., 1999).
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa E terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang
langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua
keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di
hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada penderita EH yang memudahkan
masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.
Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk terjadinya
pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari saluran cerna
(merkaptan, amonia, mangan, dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan portosistemik dapat juga
terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS (transjugular intrahepatic
portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi portal. Neurotoksin yang dapat
menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan menimbulkan gangguan pada
metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah - otak memang mengalami perubahan pada pasien
sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin
(Budihusodo., 2001).
Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya EH/koma
hepatik, yaitu :
1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB).
2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter
3. Perubahan (energi) metabolisme otak.
4. Gangguan fungsi membran neuron.
5. Peningkatan “endogenous Benzodiazepin“
Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini.
Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan FHF terdapat
beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun secara perlahan-lahan,
apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada EH/koma akibat FHF, karena
proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya bahan toksis ke dalam otak secara
tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan permeablitas dan integrasi selular pembuluh
darah otak serta edema serebral.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan :
1. Ammonia
Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen
oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan
lambung.
Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui.
Penaruh langsung terhadap membran neuron
Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat,
kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang
diperlukan untuk oksidasi sel.
Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar ammonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan
rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran ammonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama
zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar ammonia pada EH
hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu (Blake A., 2003).
2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami
metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan
asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-
sama ammonia menyebabkan timbulnya koma (Blake A., 2003).
3. Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati dan
penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang
terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik (Blake A., 2003)
AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada
EH. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah
valin, leusin, dan isoleusin (Blake A., 2003)
4. Asam lemak rantai pendek
Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat,
dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan
cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia (Gitlin., 1996).
5. Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin,
histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor kompepetif dari
true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya
menurun pada penderita PSE maupun FHF (Gitlin., 1996).
Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk
suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ.
Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan
fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi
motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut untuk keperluan
(Gitlin., 1996).
6. Glukagon
Peningkatan AAA pada EH/ koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar
glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini
melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis.
Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila
terdapat sirkulasi kolateral (Blake A., 2003).
7. Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permiabel terhadap berbagai macam substansi.
Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran
bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli. Pada
koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi
edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperi
fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnnya meningkat di dalam otak
(Gitlin., 1996).
Infeksi Cacing Tambang
Cacing tambang paling sering disebabkan oleh Ancylostoma duodenaledan Necator
americanus. Cacing dewasa tinggal di usus halus bagian atas, sedangkan telurnya akan dikeluarkan
bersama dengan kotoran manusia. Setelah 1-1,5 hari dalam tanah, larva tersebut menetas menjadi
larva rhabditiform. Dalam waktu 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus
kulit dan bertahan hidup hingga 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, cacing ikut ke aliran
darah, jantung dan lalu paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk
ke bronchus lalu trachea dan laring.
Cacing dewasa berpindah-pindah tempat di daerah usus halus dan tempat lama yang ditinggalkan
mengalami perdarahan lokal. Jumlah darah yang hilang setiap hari tergantung pada:
(1) jumlah cacing, terutama yang secara kebetulan melekat pada mukosa yang berdekatan
dengan kapiler arteri
(2) species cacing : seekor A. duodenale yang lebih besar daripada N. americanus mengisap 5x
lebih banyak darah
(3) lamanya infeksi. Gejala klinik penyakit cacing tambang berupa anemia yang diakibatkan oleh
kehilangan darah pada usus halus secara kronik. Terjadinya anemia tergantung pada keseimbangan
zat besi dan protein yang hilang dalam usus dan yang diserap dari makanan. Kekurangan gizi dapat
menurunkan daya tahan terhadap infeksi parasit. Beratnya penyakit cacing tambang tergantung pada
beberapa faktor, antaza lain umur, wormload, lamanya penyakit dan keadaan gizi penderita.
Manifestasi Klinis
Penyakit cacing tambang menahun dapat dibagi dalam tiga golongan :
(I) Infeksi ringan dengan kehilangan darah yang dapat diatasi tanpa gejala, walaupun penderita mempunyai
daya tahan yang menurun terhadap penyakit lain.
(II) Infeksi sedang dengan kehilangan darah yang tidak dapat dikompensasi dan penderita kekurangan gizi,
mempunyai keluhan pencernaan, anemia, lemah, fisik dan mentaI kurang baik.
(III) Infeksi berat yang dapat menyebabkan keadaan fisik buruk dan payah jantung dengan segala akibatnya.
Penyelidikan terhadap infeksi cacing tambang pada pekerja-pekerja di beberapa tempat di Jawa Barat
dan di pinggir kota Jakarta, menunjukkan bahwa mereka semua termasuk golongan I (Kazyadi dkk.,
1973). Reksodipoetro dkk., (1973) telah memeriksa 20 penderita cacing tambang dengan infeksi
berat; hemoglobin berkisar antara 2,5 -- 10,Og % pada 17 penderita, defisiensi zat besi terdapat pada
semua penderita yang anemia. Disamping itu terdapat kelainan pada leukosit yaitu hipersegmentasi
sel neutrofil pada sebagian besar penderita yang diperiksa. Perubahan tersebut disebabkan oleh
defisiensi vit. B 12 dan/atau asam folat. Diagnosis penyakit cacing tambang dapat dilakukan dengan
menemukan telur cacing tambang dalam tinja.
Penatalaksanaan Krisis Tiroid
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah. Idealnya, terapi yang diberikan
harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif
dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi organ.
Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor pencetusnya
yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk mencegah kekambuhan. Krisis tiroid
merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.
Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan untuk
menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi
perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan
agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat
inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau
agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut. PTU
diindikasikan untuk hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian yang
mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan
PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan
metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai
terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk
wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan
menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan hati, terutama
selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi
PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU tidak
boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak
ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar menghubungi dokter jika
terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau
menguningnya mata maupun kulit pasien.
Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid
Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat dihambat dengan sejumlah
besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh
kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu
jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang digunakan secara tunggal
akan membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan status
tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat
diberikan untuk keperluan iodium dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi
perifer. Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya digunakan
sebelum operasi pada tirotoksikosis. Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan
litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU
atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan.
Litium menghambat pelepasan hormon tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran
plasma, transfusi tukar dengan dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain
yang digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang
teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal.
Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari
pasaran.
Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid. Propranolol menghambat
reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan
dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol
menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar.
Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung
pasien.
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang berhasil digunakan pada krisis
tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat
digunakan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk
kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan
reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar propranolol.
Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular
atau syok.
Penatalaksanaan: penanganan suportif
Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi dan hipotensi.
Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan
membawa pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi
3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut usia dan
dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat digunakan saat
hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan intravena yang
mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat
ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi melalui aksi sentral dan
perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan
hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons
yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara perifer. Oksigen yang
dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka harapan hidup.
Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat
percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien
mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh insufisiensi
adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptakeiodium dan titer antibodi yang terstimulasi
oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan
hidrokortison dapat memiliki efek menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis
glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan.
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat muncul pada
pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis
diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium. Obat-obat anti-
koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan jika tidak ada
kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada dosis yang digunakan
pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring
membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif muncul
sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan dengan
kateter Swan-Ganz.
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal selama
tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial transien dan pengawasan jangka panjang
elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut.
Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan efek agonis
kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki ketidakseimbangan
simpatovagal.