Tetanus

20
Infeksi Tetanus Pada Manusia Pendahuluan Dalam dunia kedokteran saat ini penyakit infeksi merupakan salah satu masalah utama. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin bertahan hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar. Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi sehat, dan lebih-lebih lagi bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Salah satu mikroba yang menimbulkan penyakit infeksi yang sering ditemukan adalah Clostridium tetani. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang banyak dikenal oleh kalangan masyarakat. Tetapi tidak banyak yang tahu mengenai detil dari penyakit ini. Kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa penularan tetanus dikarenakan luka akibat benda berkarat. Penulis membuat karya tulis ini dengan tujuan mengedukasi calon dokter mengenai infeksi tetanus beserta cara penanganannya yang tepat. Penulis memiliki harapan bahwa ke depannya penanganan tetanus dan pencegahannya akan semakin efektif sehingga mengurangi angka mortalitas akibat infeksi tetanus. Pembahasan 1

description

ika

Transcript of Tetanus

Infeksi Tetanus Pada Manusia

PendahuluanDalam dunia kedokteran saat ini penyakit infeksi merupakan salah satu masalah utama. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin bertahan hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar. Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi sehat, dan lebih-lebih lagi bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Salah satu mikroba yang menimbulkan penyakit infeksi yang sering ditemukan adalah Clostridium tetani. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang banyak dikenal oleh kalangan masyarakat. Tetapi tidak banyak yang tahu mengenai detil dari penyakit ini. Kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa penularan tetanus dikarenakan luka akibat benda berkarat.Penulis membuat karya tulis ini dengan tujuan mengedukasi calon dokter mengenai infeksi tetanus beserta cara penanganannya yang tepat. Penulis memiliki harapan bahwa ke depannya penanganan tetanus dan pencegahannya akan semakin efektif sehingga mengurangi angka mortalitas akibat infeksi tetanus.

PembahasanSkenario 6:Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan pasien, 2 minggu lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, dan mengalami luka robek pada tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh petugas kesehatan didesanya. Saat dilakukan inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak berwarna merah, dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah.

AnamnesisAnamnesis merupakan langkah pertama yang akan diambil oleh seorang dokter apabila bertemu dengan pasien. Anamnesis sangat penting untuk mengetahui keluhan utama pasien datang ke dokter untuk dirawat. Dari anamanesis, dokter akan mengetahui penyakit yang pasien hadapi sekarang dan keluhan penyerta lainnya. Anamnesis yang baik untuk seorang dewasa mencakupi keluhan utama, informasi mengenai kelainan yang dialami sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga, dan informasi mengenai keadaan tiap sistem tubuh pasien.1 Saat bertemu pasien, dapatkan identitasnya tanpa ragu-ragu (tanyakan nama lengkap dan cocokkan dengan label nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, serta pekerjaan). Dalam skenario diketahui bahwa pasien seorang laki-laki berusia 22 tahun.1Riwayat penyakit sekarang adalah deskripsi keluhan termasuk keluhan utama. Yang dimaksud dengan deskripsi keluhan utama adalah upaya dokter untuk memberi makna keluhan (gejala) yang diceritakan oleh pasien, yang kiranya merupakan bagian dari kelainan organ apa atau bagian dari penyakit apa. Dalam skenario, selain keluhan utama pasien juga mengutarakan bahwa 2 minggu yang lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, dan mengalami luka robek pada tungkai bawah kanan serta mendapat 27 jahitan oleh seorang petugas kesehatan di desanya.2Riwayat penyakit dahulu adalah bagian penting dari anamnesis. Penting untuk mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan. Tanyakan adakah masalah dengan operasi atau anastesi, dan jika ada apa masalahnya. Pasien juga harus ditanya mengenai vaksinasi, khususnya dalam skenario vaksinasi tetanus, pengobatan, tes skrining, dan kehamilan. Pasien juga perlu ditanyakan riwayat pengobatan yaitu obat apa yang sedang dikonsumsi oleh pasien, obat terlarang yang pernah dikonsumsi, pernahkan adanya intoleransi terhadap suatu jenis obat, dan alasannya. Pasien juga harus ditanya apakah alergi terhadap sesuatu, misalnya terhadap antibiotika termasuk penisilin. Juga penting untuk mengetahui adanya intoleransi lain, seperti efek samping, terhadap pengobatan.1Penting juga untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh kerabat pasien karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit. Selain itu kita juga perlu memahami latar belakang pasien, pengaruh penyakit yang mereka derita terhadap hidup dan keluarga mereka.1

EtiologiPenyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang seperti penabuh genderang, berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Organisme ini tersebar luas di tanah, termasuk juga sporanya. Tempat masuk organisme ini ke dalam tubuh adalah luka. Faktor predisposisi yang paling sering pada tetanus adalah yang mempunyai potensial oksidasi-reduksi sangat rendah sehingga spora tetanus dapat bergerminasi. Manusia mendapatkan infeksi ini karena kontaminasi luka dengan tanah. Germinasi spora terjadi pada jaringan nekrotik dan pada luka dengan suplai darah yang buruk. Tidak pernah terjadi penularan antarmanusia. Bakteri tetanus ini tumbuh pada luka dan mengeluarkan toksin yang dapat menyusup secara sistemik dan menimbulkan kejang otot skelet. Clostridium tetani sebenarnya memproduksi 2 toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin adalah suatu hemolisin yang dapat diaktivasi oleh kolesterol dan tidak berperan pada patogenesis. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang bersifat spasmogenik (menimbulkan kekakuan otot) dan menyebabkan timbulnya gejala klasik penyakit tetanus. Tetanospasmin adalah protein ekstraseluler besar yang labil pada pemanasan, bersifat antigenik, mudah dinetralisasi oleh antitoksin dan dapat cepat rusak pada pemanasan 65C serta dirusak oleh protease usus. Penderita umumnya tidak mengalami demam, tetapi banyak mengeluarkan keringat dan mulai merasa sakit, terutama pada otot sekitar luka terjadi kedutan (twitching) dan pasien tidak dapat membuka mulut dengan baik (trismus) yang disebabkan oleh meningkatnya tonus otot masseter.3EpidemiologiTetanus tersebar di seluruh dunia. Kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat tetanus tersebar luas. Spora secara luas tersebar pada tanah dan feses hewan. Tetanus spora atau toxin dapat mengkontaminasi berbagai produk biologis dan peralatan operasi, seperti vaksin, serum dan catgut. Seseorang yang tidak diimunisasi, berapapun umur atau apapun jenis kelaminnya, memiliki probabilitas yang sama untuk terinfeksi. Walaupun C.tetani tersebar dimana-mana, tetanus termasuk penyakit yang jarang terjadi, namun NT masih merupakan masalah serius pada negara-negara berkembang, dimana tetanus menjadi penyabab dari 8% hingga 69% dari mortalitas neonatus. Asia selatan dan Afrika sub-Sahara yang paling dominant. Di India, NT, merupakan penyebab kedua terbanyak mortalitas neonatus dibawah septisemia. Lebih dari 300.000 bayi meninggal tiap tahunnya akibat NT. Survey berbasis komunitas telah mengidentifikasi faktor resiko terjadinya NT, termasuk tidak diberikannya imunisasi tetanus toxoid pada kehamilan, persalinan dirumah, pemotongan tali pusar yang tidak higienis, perban yang tidak steril yang diberikan pada tali pusar, dan riwayat NT pada persalinan sebelumnya.4 Penyakit ini dapat dicegah terjadi pada neonatus dengan memberikan imunisasi kepada wanita baik sebelum atau selama kehamilan dan meningkatkan frekuensi pertolongan persalinan oleh ahli medis berkompeten. Faktanya, dengan peralatan modern, teknik asepsis, dan imunisasi aktif, tetanus tetap merupakan penyakit yang tidak dapat dieliminasi.5 WHO pada tahun 1992, memperkirakan imunisasi dan persalinan steril akan mencegah 686.000 kematian neonatus akibat tetanus. Banyak usaha telah dilakukan melalui Program Imunisasi Berkelanjutan.

PatogenesisSpora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toksin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Apabila toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.Saat ini dikenal 3 bentuk klinik tetanus. Tetanus generalisata bertanggung jawab bagi kira-kira 80% kasus. Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari. Bila jumlah tetanospasmin cukup besar untuk menyebar melalui pembuluh limfe dan aliran darah ke myoneural junction di seluruh tubuh, yang akan terkena terlebih dahulu adalah otot dengan jalur saraf terpendek. Pada tetanus generalisata yang terkena pertama-tama adalah otot pengunyah, otot muka, dan otot leher, kemudian secara desendens diserang pula otot distal. Pada jenis tetanus generalisata ini, yaitu bentuk penyakit yang paling sering, pelepasan jumlah toksin yang lebih besar dari luka ke dalam aliran darah, cenderung menimbulkan permulaan penyakit serta perkembangan gejala yang lebih cepat ataupun penyakit yang lebih berat. Penyakit tersebut desendens dalam prestasi kliniknya, sering dimulai dengan trismus dan berlanjut ke kaku kuduk, rigiditas abdomen serta spasme tetanik pada ekstremitas. Trismus dapat menimbulkan spasme wajah yang dikenal sebagai risus sardonicus. Risus sardonicus merupakan tanda lanjut, yaitu trismus yang disertai spasme otot muka yang menyebabkan bibir mencucu atau terbuka (doll sign) dengan gigi dalam keadaan menggigit. Karena spasme berlanjut, maka otot punggung terlibat dengan melengkungkan punggung (opistotonus). Dua tanda paling menonjol dari tetanus generalisata mengancam ialah trismus serta otot abdomen yang kaku.3,6,7Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum.7Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi pada otitis media atau luka trauma pada kepala. Masa inkubasinya 1-2 hari. Biasanya ada disfungsi saraf kranial, khususnya saraf otak ke tujuh. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Meskipun neuron spinal penghambat paling sensitif terhadap kerja tetanospasmin, toksin tersebut dapat pula menghambat pelepasan asetilkolin pada neuromuskular junction. Hal ini dapat menerangkan paralisis fasialis yang dapat terjadi pada tetanus sefalik. Mortalitasnya tinggi.3,6,7Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya melibatkan otot pada daerah luka. Ini bentuk teringan penyakit ini. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Tetanus lokal dapat berlangsung selama berminggu-minggu sebelum mereda secara berangsur-angsur, atau mungkin berkembang menjadi tetanus generalisata yang seringkali bersifat ringan.3,7Pada kasus fatal, kematian dapat disebabkan oleh kelelahan dan kegagalan pernapasan. Semua kejadian ini disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan dalam jumlah yang sangat kecil pada daerah lesi yang seringkali kecil dan tidak disadari. Tetanospasmin merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmitter. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Toksin spasmogenik berikatan dengan gangliosida pada jaringan saraf dan menghambat pelepasan glisin, suatu zat transmitter yang dalam keadaan normal mencegah kontraksi otot antagonis. Toksin ini mendegradasi sinaptobrevin, protein yang dibutuhkan untuk penambatan vesikel neurotransmitter pada membran prasinaptik. Pelepasan asam aminobutirat- dan glisin inhibitor diblok, dan motorneuron tidak diinhibisi. Blokade pelepasan transmitter penghambat menyebabkan kontraksi (kejang) otot volunter, antara lain spasme pada rahang (trismus) dan otot-otot leher.3,6,7,8

Differential diagnosis Meningitis bacterialMeningitis bakterialis adalah infeksi purulen akut di dalam ruang subarachnoid. Meningitis bakterialis sering disertai dengan peradangan parenkim otak, atau disebut juga meningoensefalitis. Prevalensi meningitis bakterialis sebesar > 2,5 kasus per 100.000 populasi di Amerika Serikat; S.pneumonia merupakan penyebab utama (50%), diikuti oleh N. meningitidis (25%), Streptococcus grup B (15%) dan Listeria monocytogenes (10%). Awitan gejala akut ( 60%. Prognosis dibagi menjadi 2 macam yaitu prognosis yang paling baik dihubungkan dengan masa inkubasi yang lama, tanpa demam, dan dengan penyakit yang terlokalisasi. Prognosis yang buruk dihubungkan antara jejas dan mulainya trimus seminggu atau kurang, dan tiga hari atau kurang antara trimus dengan spasme tetanus menyeluruh.13

PengobatanStrategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat di dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi. Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimisasi.7Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis 3000-6000 unit intramuskular, biasanya dengan dosis terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Immunoglobulin intravena merupakan alternatif lain daripada TIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka.7Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang bagus. Metronidazol aman dan pada penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin. Metronidazol ialah 1-(-hidroksi-etil)-2-metil-5-nitroimidazol yang berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air atau alkohol. Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 g/ml. Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Obat ini diekskresi melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukoronidasi. Urin mungkin berwarna coklat kemerahan karena mengandung pigmen tak dikenal yang berasal dari obat. Efek samping yang paling sering dikeluhkan ialah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Walaupun sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya gangguan darah yang berat, pemberian metronidazol untuk jangka panjang lebih dari 7 hari hendaknya disertai dengan pemeriksaan leukosit secara berkala, terutama pada pasien usia muda atau pasien dengan daya tahan rendah. Metronidazol telah diberikan pada berbagai tingkat kehamilan tanpa peningkatan kejadian teratogenik, prematuritas, dan kelainan pada bayi yang dilahirkan. Namun penggunaan pada trimester pertama kehamilan tidak dianjurkan.7,14Untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri, regimen yang ideal adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABAA. Karena benzodiazepin yang penting secara farmakologis selalu mengandung gugus 5-aril (cincin C) dan cincin 1,4-benzodiazepin, rumus bangun kimia golongan ini selalu diidentikkan dengan 5-aril-1,4-benzodiazepin. Hampir semua efek benzodiazepin merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama: sedasi, hipnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansiesitas, relaksasi otot, dan antikonvulsi. Semua benzodiazepin dalam bentuk nonionik memiliki koefisien distribusi lemak:air yang tinggi; namun sifat lipofiliknya dapat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung kepada polaritas dan elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepin. Benzodiezepin dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim sitokrom P450 di hati, terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Benzodiazepin dosis hipnotik pada kadar puncak dapat menimbulkan efek samping berikut: kepala ringan, malas/tak bermotivasi, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan psikomotorik, gangguan koordinasi berpikir, bingung, disartria, dan amnesia anterograd. Pilihan yang lain adalah lorazepam dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu paruh yang lebih singkat. Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin.7,14

PencegahanTetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah melalu immunisasi aktif dengan adsorbed tetanus toxoid (ATT) dan dengan pembersihan luka yang benar.Imunisasi Aktif pada masa kanak kanak, tiga dosis triple vaksin (tetanus, diphtheria, pertussis) diberikan dengan interval beberapa bulan dan booster diberikan pada usia 4 sampai 6 tahun. Individual yang tidak diberikan imunisasi diatas 7 tahun sebaiknya diberikan triple vaksin dalam tiga dosis, yang pertama dan yang kedua dengan jarak waktu 6 minggu, dan yang ketiga 6 bulan setelah yang kedua. Booster dari ATT sangat dianjurkan setiap 10 tahun.15

KesimpulanPenyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Bakteri ini jika masuk dalam tubuh manusia dapat menyebabkan infeksi baik pada luka yang dalam maupun yang dangkal.Untuk penanganannya, strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat di dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi. Untuk antitoksin digunakan Immunoglobulin tetanus manusia (TIG), untuk mengeradikasi sel vegetatif digunakan Metronidazol, serta untuk mengobati spasme digunakan Benzodiazepin.

Daftar pustaka1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2007.p.11-21.2. Hardjodisastro D. Menuju seni ilmu kedokteran: bagaimana dokter berpikir, bekerja, dan menampilkan diri. Jakarta: Gramedia;2006.p.219-22.3. Muliawan SY. Bakteri anaerob yang erat kaitannya dengan problem di klinik: diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: EGC;2008.p.34-46.4. Arnon, SS. Tetanus (Clostridium tetani). Dalam: Behrman R, Kliegman R, Jenson H, Ed. Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed. Philadelphia: Elsevier;2004. chapter 194.5. Wiknjosastro H. Tetanus. Edisi keempat.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ;2008.p.530-53.6. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC;2003.p.200-1.7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 5. Jakarta: InternaPublishing;2009.p.2911-23.8. Brooks FG, Carrol KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & adelberg. Ed 25. Jakarta: EGC;2012.p.178-9.9. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis & tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC;2009.p.37-8.10. Kee JL, Hayes EH. Farmakologi. Jakarta: EGC;2004.p.185.11. Ginsberg L. Lecture notes: neurologi. Ed 8. Jakarta: Erlangga;2008.p.79-80.12. Burnside JW. Diagnosis fisik. Ed 17. Jakarta: EGC;2005.p.67-73.13. Chairul I. Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang bedah. Bandung : UNPAD;2005.p.75-9.14. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2012.p. 139-48,552-3.15. Elzouki A.Y, Harfi H.A, Nazer H.M, Stapleton F.B, Oh W, Whitley R.J. Textbook of clinical pediatrics, edisi ke 2.USA:Springer;2011.p.1051-2.12