TABLOID INSTITUT EDISI 37

16
Edisi XXXVII / Mei 2015 Email: [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311 LAPORAN UTAMA WAWANCARA FSDAL Terancam Tak Terima Mahasiswa Baru Kelas Internasional Minim Perhaan Hal. 3 Hal. 11 LAPORAN KHUSUS Hal. 4 Terbit 16 Halaman LPM INSTITUT - UIN JAKARTA @lpminstitut www.lpminstitut.com Aci Sutanti Keberadaan kelas internasional sebagai langkah UIN Jakarta menuju WCU kini tak ubahnya dengan kelas reguler. Terpaksa gulung tikar. Satu ruangan bersama mahasiswa dari berbagai negara merupakan bayangan awal Muhammad Ghiyast Farisi tentang kelas in- ternasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, ekspek- tasi mahasiswa Teknik Informatika (TI) kelas Internasional Fakultas Sains dan Teknologi (FST) tahun 2009 itu bak panggang jauh dari api. Jangankan satu kelas bersama mahasiswa mancanegara, fasilitas yang mestinya didapat mahasiswa internasional saja kini sudah tak nampak bukti fisiknya. Tak hanya Ghiyast, mahasiswa semester 6 TI Internasional, Faiqul Azmi pun merasakan hal serupa. Intensive class (kelas intensif) yang seharusnya ia dapatkan, kini juga sudah tidak lagi dirasakannya. Padahal, menurut- nya, intensive class penting bagi mahasiswa kelas internasional agar bisa aktif berbahasa Inggris lantaran menjadi syarat sidang un- tuk menyandang gelar Sarjana Komputer (S. Kom). Terhitung sejak 2013, Mahasiswa TI Inter- nasional memang tak lagi mendapat fasilitas berupa, student lounge (ruang diskusi), lobi khusus, komputer di setiap ruangan, staf ad- ministrasi, dan dosen yang menggunakan Ba- hasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Pun double degree (gelar ganda), visiting study (pertukaran pelajar), dan field trip (karyaw- isata) yang jadi program unggulan di kelas internasional. Ruang di lantai empat FST, yang awalnya dikhususkan untuk kelas inter- nasional, beberapa di antaranya kini juga di- gunakan untuk kelas reguler dan ruang dosen magister Jurusan Agribisnis. Tak tinggal diam, beberapa mahasiswa TI Internasional FST pada akhir 2014 kemudi- an melayangkan surat keberatan kepada pi- hak dekanat sebagai bentuk kekecewaan atas fasilitas yang tak mereka dapatkan. Namun, dekanat memberikan alasan bahwa pihak fakultas ingin menginternasional FST. “Tapi, alasan itu tidak masuk akal,” tukas Faiq, Senin (11/5). Lain FST lain FEB. Sejak 2011, mahasiswa di Prodi Manajemen Internasional dan Pro- di Akuntansi Internasional juga sudah tak mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Namun beruntung, karena dua prodi internasional itu masih menggunakan pengantar Bahasa Inggris di kelas meski han- ya 80 persen. Berbeda dengan FST yang kini sama sekali tak menggunakan bahasa wajib kelas internasional itu. Dekan FST, Agus Salim, tak menampik ketiadaan beberapa fasilitas seperti laptop atau double degree yang seharusnya didapat mahasiswa kelas internasional. Kata Agus, beberapa fasilitas itu memang seharusnya Bersambung ke hal. 15 kol. 2 Ongkos Mahal Fasilitas Abal-abal

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 37

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 37

Edisi XXXVII / Mei 2015 Email: [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311

LAPORAN UTAMA WAWANCARAFSDAL Terancam Tak

Terima Mahasiswa Baru Kelas Internasional MinimPerhatian

Hal. 3 Hal. 11

LAPORAN KHUSUS

Hal. 4

Terbit 16 Halaman LPM INSTITUT - UIN JAKARTA @lpminstitut www.lpminstitut.com

Aci Sutanti

Keberadaan kelas internasional sebagai langkah UIN Jakarta menuju WCU kini tak ubahnya dengan kelas reguler. Terpaksa gulung tikar.

Satu ruangan bersama mahasiswa dari berbagai negara merupakan bayangan awal Muhammad Ghiyast Farisi tentang kelas in-ternasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, ekspek-tasi mahasiswa Teknik Informatika (TI) kelas Internasional Fakultas Sains dan Teknologi (FST) tahun 2009 itu bak panggang jauh dari api. Jangankan satu kelas bersama mahasiswa mancanegara, fasilitas yang mestinya didapat mahasiswa internasional saja kini sudah tak nampak bukti fisiknya.

Tak hanya Ghiyast, mahasiswa semester 6 TI Internasional, Faiqul Azmi pun merasakan hal serupa. Intensive class (kelas intensif) yang seharusnya ia dapatkan, kini juga sudah tidak lagi dirasakannya. Padahal, menurut-nya, intensive class penting bagi mahasiswa kelas internasional agar bisa aktif berbahasa Inggris lantaran menjadi syarat sidang un-tuk menyandang gelar Sarjana Komputer (S. Kom).

Terhitung sejak 2013, Mahasiswa TI Inter-nasional memang tak lagi mendapat fasilitas berupa, student lounge (ruang diskusi), lobi khusus, komputer di setiap ruangan, staf ad-ministrasi, dan dosen yang menggunakan Ba-hasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Pun double degree (gelar ganda), visiting study (pertukaran pelajar), dan field trip (karyaw-isata) yang jadi program unggulan di kelas

internasional. Ruang di lantai empat FST, yang awalnya dikhususkan untuk kelas inter-nasional, beberapa di antaranya kini juga di-gunakan untuk kelas reguler dan ruang dosen magister Jurusan Agribisnis.

Tak tinggal diam, beberapa mahasiswa TI Internasional FST pada akhir 2014 kemudi-an melayangkan surat keberatan kepada pi-hak dekanat sebagai bentuk kekecewaan atas fasilitas yang tak mereka dapatkan. Namun, dekanat memberikan alasan bahwa pihak fakultas ingin menginternasional FST. “Tapi, alasan itu tidak masuk akal,” tukas Faiq, Senin (11/5).

Lain FST lain FEB. Sejak 2011, mahasiswa di Prodi Manajemen Internasional dan Pro-di Akuntansi Internasional juga sudah tak mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Namun beruntung, karena dua prodi internasional itu masih menggunakan pengantar Bahasa Inggris di kelas meski han-ya 80 persen. Berbeda dengan FST yang kini sama sekali tak menggunakan bahasa wajib kelas internasional itu.

Dekan FST, Agus Salim, tak menampik ketiadaan beberapa fasilitas seperti laptop atau double degree yang seharusnya didapat mahasiswa kelas internasional. Kata Agus, beberapa fasilitas itu memang seharusnya

Bersambung ke hal. 15 kol. 2

Ongkos Mahal Fasilitas Abal-abal

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 37

Laporan Utama 2Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Pemimpin Umum: Adi Nugroho | Sekretaris & Bendahara Umum: Nur Hamidah | Pemimpin Redaksi: Thohirin | Redaktur Online & Web Master: Syah Rizal | Pemimpin Litbang: Erika Hidayanti | Pemimpin Perusahaan: Maulia Nurul HakimAnggota: Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat

Koordinator Liputan: M. Rizky Rakhmansyah | Reporter: Erika Hidayanti, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Syah Rizal, Thohirin, Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer & Editor: INSTITUTERS | Desain Visual & Tata Letak:Erika Hidayanti, Ika Puspitasari, Syah Rizal | Karikaturis & Ilustrator: Syah Rizal, Aci Sutanti | Editor Bahasa: Nur Hamidah, Arini Nurfadilah

Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412Telepon: 08978325188 | Email: [email protected] / [email protected] | Website: www.lpminstitut.com

~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~

Salam RedaksiSalam sejahtera pembaca sekalian!

Di sela kesibukan kuliah, kami bersyukur bisa hadir kembali. Bulan Mei ini banyak hari penting yang diperingati. Di antaranya, hari buruh internasional, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dan Hari Kebangkitan Nasional (Hardkitnas). Tiga momen penting itu menjadi motivasi tambahan kami untuk terus berkarya.

Agenda rutin kami setiap bulan yakni rapat redaksi dan deadline kali ini terasa lebih padat dari biasanya. Lantaran Bakal Calon Anggota (Bacang) yang telah selesai menempuh Training Pers Institut (TPI) mulai menulis berita di portal kami. Deadline dan rapat redaksi pun menjadi lebih sering dari biasanya. Belum lagi kegiatan diskusi kami adakan setiap minggunya.

Kepadatan ini tak lantas membuat kami menurunkan kualitas Tabloid Institut untuk pembaca sekalian. Kali ini, tabloid kami masih tetap digarap oleh anggota dan pengurus LPM Institut. Namun, untuk pertama kalinya anggota kami menulis rubrik-rubrik utama pada karya kali ini.

Bulan ini kami menyajikan tiga laporan utama terkait kelas internasional di UIN Jakarta. Headline kami memaparkan bagaimana perjalanan kelas internasional dan tahun ke tahun. Pengelolaan mulai dari pelayanan hingga fasilitas yang cenderung semakin menurun setiap tahunnya. Kami mencoba menelisiknya hingga tahu apa alasannya.

Pada dua laporan utama lain kami membahas mengenai biaya kelas internasional yang tiga kali lipat lebih besar dibanding kelas reguler namun, tak memiliki fasilitas memadai. Sederet fasilitas yang dijanjikan kampus tak lagi dirasakan mahasiswa kelas internasional kini. Selanjutnya, kami pun membahas respons mahasiswa kelas internasional yang tak puas dengan pelayanan kampus sehingga hengkang ke kelas reguler.

Sajian kami selanjutnya adalah pada laporan khusus yang mengupas pelanggaran UIN Jakarta karena membuka Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL) tanpa adanya izin Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Hal ini pun menyebabkan UIN Jakarta tak lagi membuka pendaftaran mahasiswa baru untuk FSDAL.

Laporan khusus lainnya kami menyuguhkan bagaimana ketidakselarasan janji kampus untuk mahasiswa program Center for Computing and Information Technology (CCIT). Sejumlah fasilitas dan status yang dijanjikan seakan omong kosong belaka karena hal-hal itu tak dirasakan mahasiswa CCIT. Bahkan, mereka sempat tak bisa mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Edisi ke-37 ini pun menyajikan resensi buku Indonesia X-files yang mengupas misteri di balik kematian beberapa tokoh besar di Indonesia seperti kematian aktivis buruh Marsinah, Munir Said Thalib, dan Soekarno. Ada pula komunitas yang kami angkat kali ini adalah komunitas 1000 Guru yang bergerak di bidang pendidikan. 1000 Guru menjadi salah satu komunitas peduli pendidikan yang datang ke beberapa sekolah di pelosok untuk mengajar dan memberi bantuan saran pendidikan.

Selama proses liputan kami kembali menemui kesulitan untuk mendapatkan data-data terkait keuangan dan narasumber yang tak mau banyak berbicara. Namun, hasil maksimal tetap kami sajikan. Semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Akhirnya, di antara tumpahan kopi dan kertas yang berserakan di sekretariat kami, Tabloid Institut Edisi 37 (Mei) ini bisa selesai dan hadir di hadapan pembaca sekalian.

Selamat membaca, selamat bangkit!

Kekecewaan tampak di raut wajah Ajrina Ziezie saat keluar dari ruang dekanat fakultasn-ya. Baru saja, keinginannya untuk pindah dari kelas internasional ke kelas reguler tidak disetu-jui dekan. Ia, yang kala itu bersama Sang Ibu, walhasil harus memupus keinginannya untuk mendapat biaya kuliah yang lebih murah.

Niat Ajrina itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, ia yang terhitung sebagai mahasiswi semester dela-pan kelas internasional di Program Studi ( Prodi) Teknik Informatika (TI), Fakultas Sains dan Te-knologi (FST) merasa dirugikan lantaran sudah dua tahun tidak lagi mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Padahal, setiap semester Ajrina harus mengeluarkan biaya kuli-ah lebih dari Rp 10 juta—lima kali lipat lebih mahal dari mahasiswa kelas reguler di jurusan yang sama.

Ajrina tidak sendiri. Beberapa temannya bah-kan sudah terlebih dulu memutuskan hengkang dari kelas internasional. Terhitung sampai saat ini, sudah sembilan orang temannya yang heng-kang. Dari total 11 mahasiswa kelas internasi-onal di jurusan TI, kini hanya Ajrina dan satu temannya yang masih bertahan. “Angkatan aku cuma sisa dua orang,” ungkapnya, Senin (18/5).

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lit-bang Institut kepada semua mahasiswa kelas internasional, sebanyak 82% responden menya-takan ketidakpuasannya terhadap kelas interna-sional.

Tommy Putra, misalnya. Mantan mahasiswa kelas internasional Prodi TI ini mengaku, mera-sa beruntung dapat pindah dari kelas internasi-onal. Tommy yang kini terdaftar sebagai Ma-hasiswa Prodi Sistem Informasi (SI) bercerita, keputusannya dulu untuk pindah lantaran biaya kelas internasional yang terlalu mahal. “Dosen-nya juga lokal sih,” tambahnya, Kamis (21/5).

Sesuai peraturan, bagi mahasiswa yang ingin

pindah jurusan memang diwajibkan untuk kem-bali mengikuti ujian masuk tak ubahnya maha-siswa baru. Tak terkecuali bagi mahasiswa kelas internasional seperti Ajrina yang berniat pindah ke kelas reguler. Bagi ia yang lulus mengikuti uji-an masuk, kemudian akan diringankan dengan konversi nilai. Jadi, beberapa mata kuliah yang sudah diambil mahasiswa yang pindah jurusan tidak harus diambil kembali pasca masuk di ju-rusan baru.

Kekecewaan terhadap fasilitas kelas inter-nasional juga dirasakan Rifqi Syahrizal, maha-siswa semester delapan kelas internasional Pro-di Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Menurutnya, fasilitas yang didapat kelas internasional tidak sebanding dengan uang kuliah yang harus ia ba-yar tiap semester. Bahkan, tak jarang Rifqi juga terpaksa mengikuti perkuliahan di kelas reguler.

Merasa tak puas, ia dan teman-temannya lan-tas melayangkan tuntutan kepada pihak fakultas. Mereka sempat mempertanyakan, fasilitas yang tidak sebanding dengan uang perkuliahan yang harus mahasiswa keluarkan. “Sebaiknya angga-ran dan laporan yang sudah ada dapat diketahui dengan jelas,” saran Rifqi, Rabu (19/5).

Menanggapi hal itu, Dekan FST, Agus Salim berharap, rektorat dapat segera meninjau Sum-bangan Pembinaan Pendidikan (SPP) agar kebi-jakan anggaran mahasiswa kelas internasional dapat disamakan dengan reguler. “Sesuai hasil rapat Senat niversitas, hanya rektorat yang bisa mengubah kebijakan anggaran itu,” tegas Agus, Selasa (19/5).

Namun seperti diketahui, empat keseluruhan fakultas yang membuka kelas internasional me-mang sudah tidak menerima mahasiswa baru. Pada tahun 2012, kelas internasional di FISIP sudah resmi dihapus. Begitu juga dengan kelas internasional di FST, Fakultas Ekonomi dan

Bisnis (FEB) serta Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang dihapus di tahun selanjutnya.

Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP, Dzuri-yatun Toyibah bercerita, Prodi HI kelas interna-sional mulai dikelola semenjak menjadi bagian Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) pada tahun 2005. Dan dihapus pada tahun 2012 keti-ka sudah berada di bawah naungan FISIP.

Penutupan itu, kata Dzuriyatun, lantaran ada beberapa dosen fakultas yang menilai mahasiswa HI kelas internasional tidak memenuhi kriteria. “Bahasa Inggrisnya tidak mencapai Test of En-glish as a Foreign Language (TOEFL) 500 di kelas. Diajar juga tidak nyambung, malah lebih bagus mahasiswa regular,” tandasnya. Namun, hingga saat ini, dekanat masih terus mencari solusi tentang kelanjutan mahasiswa kelas inter-nasional Prodi HI FISIP.

Senada dengan Dzuriyatun, Agus juga me-nilai tidak terpenuhinya standar menjadi salah satu alasan dihapusnya kelas internasional. Se-bagai jalan keluar, beberapa fakultas akhirnya memindahkan mahasiswa kelas internasional ke kelas reguler. “Kasihan juga yang udah jalan,” ucap Agus.

Terkait TOEFL, Ajrina mempertanyakan ha-sil tes TOEFL yang menjadi syarat penerimaan mahasiswa kelas internasional. Pasalnya, saat ujian masuk UIN Jakarta dulu, ia merasa tidak pernah diberi tahu tentang standar TOEFL yang harus dipenuhi calon mahasiswa kelas interna-sional. “Padahal, TOEFL aku rendah, tapi bisa masuk,” kata Ajrina.

Hal tersebut juga dibenarkan Rifqi Syahrizal. Saat itu, ia yang masuk lewat jalur Seleksi Pener-imaan Mahasiswa Baru (SPMB) Mandiri UIN Jakarta, juga tidak mengikuti seleksi khusus agar diterima di kelas internasional HI FISIP. “Tidak ada itu (prosedur khusus), semua sama,” ka- tanya.

Mahasiswa kelas internasional yang merasa tak puas memilih hengkang. Fasilitas yang tak berbeda dengan kelas reguler jadi alasan.

Ramai-ramai ‘Angkat Kaki’

M. Rizky Rahmansyah

Foto

: Yas

ir/In

s

Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) hendak memasuki ruang Lobby dan Koridor di lantai 4 FST, Rabu (27/5). Ruangan tersebut merupakan salah satu fasilitas untuk mahasiswa kelas internasional.

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 37

Laporan Utama 3Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Pengantar bilingual, Bahasa Inggris atau Bahasa Arab dalam kegiatan be-lajar mengajar sudah tak lagi dirasakan Mahasiswa Manajemen kelas interna-sional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Muhammad Anugrah Asshidiq. Padahal, Bahasa Inggris menjadi pe- ngantar wajib di kelas internasional.

Sejak dua tahun terakhir, Didit, sa-paan akrabnya, memang sudah tak lagi mendapati dosen yang menggunakan pengantar Bahasa Inggris saat belajar di kelas. Itu tak sebanding, mengingat biaya kuliah yang harus Didit bayar Rp6 juta—dua kali lipat lebih besar dari

mahasiswa kelas reguler—tiap semes-ternya.

Ketidakselarasan antara fasilitas dan biaya juga dirasakan Mahasiswa Teknik Informatika (TI) Internasional Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Muham-mad Fadil Lubis. Sedangkan, ia harus membayar uang semester lebih dari Rp10 juta tiap semesternya, lebih mahal Rp8 juta dari kelas reguler. Laptop yang harusnya ia peroleh di semester satu juga hanya sebatas wacana. “Padahal, laptop jadi fasilitas kelas internasional jelas tertera di brosur,” katanya, Senin (18/5).

Sebagai salah satu program unggu-lan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menuju World Class University (WCU), kelas in-ternasional memang punya tarif khusus bagi para mahasiswanya. Dari total 12 fakultas, UIN Jakarta hanya membuka enam prodi kelas internasional di empat fakultas: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Prodi Hubungan In-ternasional (HI), FST di Prodi TI dan Sistem Informasi (SI), FEB di Prodi Manajemen dan Akuntansi, dan Fakul-tas Syariah dan Hukum (FSH) di Prodi Perbandingan Mazhab Hukum Khusus

(PMHK).Dari enam prodi di empat fakultas

itu masing-masing memiliki biaya kuli-ah berbeda-beda. Di FST, prodi TI dan SI sebesar Rp10.625.000 per semester nya. Sedangkan di FEB, prodi Mana-jemen dan Akuntansi mematok biaya Rp5.840.000. Dan Rp5.840.000 untuk biaya kuliah prodi HI di FISIP.

Dalam brosur kelas internasional, disebut beberapa fasilitas yang harus nya didapat para mahasiswa, seperti ru-ang kelas ber-AC, laptop, student lounge (ruang diskusi), dan pengantar Bahasa Inggris atau Bahasa Arab. Selain itu, mereka juga bisa visiting study (studi ke luar negeri), memperoleh double degree (memperoleh dua gelar), dan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di beberapa negara mitra seperti Malaysia, Austra-lia, dan Jerman. Namun, lebih dari satu tahun belakangan semua fasilitas tak dirasa semua mahasiswa kelas interna-sional.

Menanggapi hal itu, Dekan FST, Agus Salim mengatakan, sebenarnya pihak fakultas sudah menganggarkan biaya pembelian laptop. Namun, pi-hak Keuangan UIN Jakarta menolak ajuan dari fakultas. Hal ini lantaran me- nyalahi aturan Kementerian Keuangan RI nomor 53/PMK.02/2014. Dalam aturan tersebut, dilarang adanya biaya pengadaan barang non konstruksi ter-masuk laptop. Di sisi lain, Agus pun tak menampik ketiadaan laptop bagi Maha-siswa Internasional FST.

Menyoal program double degree, Ma-hasiswa TI Internasional, Isyroqi Rah-manul Galby mengaku kecewa dengan program yang ditawarkan. Selama tiga tahun lebih, ia tak mendapat pemberi-tahuan dari pihak kampus tentang biaya double degree dan student exchange yang harus ia tanggung. “Saya tahu dari se-nior,” kata Galby, Kamis (21/5).

Terkait hal itu, Agus menjelaskan, sejak awal perkuliahan, pihak fakultas

sudah memberitahu mahasiswa kelas internasional bahwa biaya program double degree ditanggung masing-masing mahasiswa. “Baik fakultas maupun uni-versitas, tak memiliki biaya untuk double degree,“ terang Agus, Jumat (22/5).

Ketiadaan dana double degree juga dibenarkan Kepala Bagian Keuangan, Sulamah Susilawati. Ia mengatakan, universitas hanya mengurus adminis-trasi akademik yang syarat-syaratnya sudah dilengkapi mahasiswa.

Sulamah melanjutkan, semestinya fakultas lebih memperjelas isi kerja sama dengan negara mitra. Misalnya, terkait biaya student exchange dan double degree akan menjadi tanggung jawab sia-pa nantinya. Bagaimanapun, menurut Sulamah, mahasiswa kelas internasio nal harus studi ke luar negeri, “Kalau di kandang sendiri, namanya bukan inter-nasional,” ujar Sulamah, Jumat (22/5).

Ia menambahkan, anggaran kelas internasional tiap fakultas berbeda-be-da, tergantung dari jumlah mahasiswa. Karena, pemasukan dana kelas interna-sional hanya berasal dari uang kuliah yang dibayar oleh mahasiswa. “Kecuali, fakultas meminta dana untuk menga-dakan seminar atau workshop,” tutur Sulamah.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Abdul hamid menjelaskan, prosedur penganggaran biaya untuk fasilitas kelas internasion-al, pihak fakultas harus memasukkan-nya dalam Rencana Biaya Anggaran (RBA), nantinya diusulkan ke Bagian Perencanaan universitas. Setelah itu, akan diajukan dalam rapat pimpinan untuk diputuskan hasilnya. Terakhir, data akan dibawa ke bagian keuangan.

Anggaran yang dikeluarkan UIN Ja-karta untuk kelas internasional, lanjut Abdul Hamid, tergantung fakultas mas-ing-masing. “Pengeluaran fakultas akan disesuaikan jumlah mahasiswanya,” tu-tupnya, Sabtu (23/5).

INFO GRAFIS

Infografis:Rizal

Arini Nurfadilah

Ongkos Mahal Fasilitas Abal-abal

Perolehan MedaliKontingen UIN JakartaPionir Ke-VII Palu18-24 Mei 2015

Sumber data: Pionir Palu

Sum

ber:

ww

w.u

injk

t.ac.

id

Fasilitas yang didapat mahasiswa kelas Internasional tak sebanding dengan biaya kuliah yang dibayar-kan. Mahasiswa pun mempertanyakan haknya.

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 37

Laporan KHUSUS 4Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Iming-iming kuliah empat tahun di dua universitas bagi mahasiswa CCIT hanya sebatas janji. Mimpi kuliah cepat pun harus kandas di tengah jalan.

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun ini kemungkinan tidak membuka pendaftaran pada tiga Program Stu-di (Prodi) di Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL): Teknik Geologi, Teknik Pertambangan, dan Teknik Perminyakan. Keputusan

itu didapat setelah menggelar rapat senat pada April 2015 lalu.

Wakil Rektor Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga menyatakan, keputusan UIN Jakarta tak membuka pendaftaran di tiga prodi FSDAL lan-taran sudah beberapa kali mendapat teguran lisan dari Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi (Dikti). “Kami harus menutup pendaftaran FSDAL karena pembentukan prodi baru tan-pa izin dari Dikti itu melanggar hu-kum,” tegas Lala saat ditemui di ru-angannya, Selasa (19/5).

Berbeda dengan Lala, Ketua Tim Pembentuk FSDAL, Untung Sur

yanto menuturkan, UIN Jakarta akan tetap membuka pendaftaran maha-siswa baru FSDAL meski izin opera-sional dari Dikti belum turun. Ia ber-harap Dikti akan mengeluarkan izin dalam waktu dekat sebelum Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB ) Mandiri ditutup pada 2 Juni nanti. Namun, jika perizinan dari Dikti be-lum turun sampai Juni nanti, ketiga prodi itu tidak terdaftar di pendaft-aran jalur SPMB Mandiri.

Guna mengantisipasi kemung- kinan terburuk itu, kata Untung, pendaftaran Mahasiswa FSDAL akan dibuka melalui Fakultas Sains dan Teknologi (FST) pada Jurusan Fisika. “Lagi pula, rektor sudah menyetujui pendaftaran FSDAL melalui FST terlebih dulu,” tutur Untung, Jumat (15/5).

Menurut Untung, FSDAL ha-rus membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru pada tahun ajaran 2015/2016. Bagaimanapun, ia ber-sama Tim Pembentuk FSDAL sudah menerima mahasiswa baru pada ta-hun ajaran 2014/2015. Sehingga un-tuk tahun ajaran ini, FSDAL harus membuka pendaftaran.

Menyikapi persoalan tersebut, Un-tung meminta, rektor bertanggung jawab dan mempertimbangkan dibu-ka atau tidaknya FSDAL. “Sejauh ini, rektor sudah berusaha untuk mengu-rus berkas perizinan prodi baru. Hal itu menunjukkan bahwa rektor juga sungguh-sungguh dalam izin pendi-rian FSDAL,” terangnya.

Walaupun pihak kampus telah mengetahui status FSDAL yang be-lum memiliki izin dari Dikti, namun proses pembelajaran mahasiswa tahun ajaran 2014/2015 telah ber-

Harapan Mohamad Hilmy Zha-frani untuk lulus kuliah empat tahun sepertinya bakal terganjal. Mahasiswa program CCIT semester enam Program Studi (Prodi) Teknik Informatika (TI)Fakultas Sains dan Teknologi (FST) ini harus menjala-ni satu setengah tahun lagi kuliahn-ya dari tiga tahun masa kuliah yang sudah ia tempuh—setengah tahun lebih lama dari mahasiswa pada umumnya. Bukan lantaran Hilmy gagal atau mengulang mata kuliah, namun karena program yang ia iku-ti.

Berbeda dengan mahasiswa um-umnya, program pendidikan yang dijalani Hilmy, merupakan program kerjasama antara Pusat Pengem-bangan Sains dan Teknologi (Pus-bangsitek) UIN Jakarta dan FST dengan Center for Computing and Information Technology (CCIT) Fakultas Teknik Universitas Indo-nesia (FTUI).

Melalui program itu, Hilmy dijanjikan oleh CCIT FTUI dan Pusbangsitek UIN Jakarta dapat mengambil kuliah masing-masing selama dua tahun di UI dan UIN Jakarta. Namun, setelah menjalani satu tahun kuliahnya di UI, pihak CCIT FTUI menyatakan Hilmy ha-

rus menjalani tiga setengah tahun lagi kuliahnya di UIN Jakarta.

“Waktu itu saya masih di SMA, dan yang mempromosikan ada-lah Pusbangsitek UIN Jakarta dan CCIT FTUI. Tapi saat promosi, mereka (Pusbangsitek UIN Jakarta dan CCIT FTUI) tidak menjelaskan detail lebih lanjut mengenai sistem perkuliahan yang dipakai,” ungkap-nya, Kamis (21/5).

Lain lagi dengan Syafran Nur-rahman. Mahasiswa program CCIT Prodi TI FST ini harus menjalani satu tahun lagi kuliahnya di UIN Jakarta. Padahal, terhitung sudah empat tahun ia mengikuti program pendidikan di CCIT FTUI dan UIN Jakarta sejak tahun 2010. Setelah menempuh empat semester di UI dan pada 2012 masuk UIN Jakarta, ia kaget karena untuk bisa menyele-saikan kuliahnya, ia harus men-gambil enam semester lagi.

Sesuai ketentuan, mahasiswa program CCIT harus menyele-saikan 144 Sistem Kredit Semester (SKS) selama di UI dan UIN Jakarta agar bisa memperoleh gelar S1. Jum-lah itu sama seperti yang ditempuh mahasiswa reguler. Persoalannya, sistem SKS yang berbeda antara CCIT dan UIN Jakarta membuat masa studi

mahasiswa program CCIT lebih lama dibanding mahasiswa reguler umum-nya.

Syafran mendapat kabar itu dalam sebuah rapat bersama dekanat. “Kami di-jelaskan bahwa kurikulum di CCIT dan di UIN berbeda. Maka dari itu, mahasiswa enggak bisa lulus dua tahun di UIN karena SKS dan mata kuliahnya juga beda,” kata mahasiswa program CCIT yang masuk UIN Jakarta pada 2011 ini, Senin (18/5).

Kepala Pusbangsitek UIN Jakarta sekaligus pihak yang menangani ker-jasama CCIT, Ujang Maman mem-benarkan, masa studi yang ditempuh mahasiswa program CCIT memang tidak seperti yang dijanjikan. “Teorin-ya dua tahun di UI dan dua tahun di UIN, tapi kalau memang nilai maha-siswa masih kurang (SKS), ya, harus lanjut menyelesaikan S1-nya,” Kamis (22/5).

Sementara itu, menurut Dekan FST UIN Jakarta, Agus Salim, se-suai Memorandum of Understanding (MoU), mahasiswa program CCIT sebenarnya bisa lulus dua tahun di UIN Jakarta jika nilai mata kuliah mereka memenuhi standar (B). Se-baliknya, mahasiswa program CCIT akan lebih lama menempuh masa studi jika nilai mereka di bawah standar.

Kerjasama Tak DiperpanjangBerdasarkan surat perjanjian ker-

jasama antara FST dengan FTUI no-mor Un.01/F9/PP.0010/9/2009 dan CCIT FTUI dengan Pusbangsitek no-mor 005/SP/PSBK-UIN, kontrak ker-jasama program pendidikan berakhir di tahun 2015.

Dekan FST, Agus Salim juga men-gungkapkan, bahwa UIN Jakarta tidak akan melanjutkan kerjasama dengan CCIT FTUI. Pasalnya, kata Agus, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) belakangan telah melarang ker-jasama antara UIN Jakarta dan CCIT FTUI.

Adapun jika ingin melanjutkan kerjasama, Agus menuturkan, pihak CCIT FTUI harus mengubah MoU dengan tidak menyertakan Pusbangsitek

di dalamnya. Itu lantaran keberadaan Pusbangsitek sebagai lembaga non-struk-tural di UIN Jakarta. “Jadi tidak boleh ikut campur dalam masalah akademik fakultas,” paparnya.

Sedangkan menurut Maman, sebagai lembaga non-struktural Pusbangsitek hanya memberikan dukungan teknis agar program kerjasama berjalan lancar. Seperti membantu persoalan administra-tif, monitoring, dan sosialisasi. Persoalan administratif yang ditangani itu misaln-ya, melakukan pencatatan pembayaran uang kuliah. Sedangkan monitoring yang dimaksud yakni memantau kehadiran dosen dan ketepatan waktu lulus maha-siswa. Soal sosialisasi, Pusbangsitek se-misal mendampingi pihak CCIT FTUI saat promosi.

langsung selama dua semester ini. Sementara itu, Dekan FST, Agus

Salim angkat bicara mengenai hal ini. Ia meminta rektor untuk berte- rus terang pada 78 Mahasiswa FS-DAL itu mengenai status mereka sekarang. “Saya menyarankan rektor untuk memberikan dua pilihan kepa-da mahasiswa FSDAL; dipindahkan ke universitas lain dengan prodi yang sama atau tetap kuliah di UIN Jakar-ta dengan memilih prodi yang sudah mendapat izin,” papar Agus, Selasa (19/5).

Menanggapi hal tersebut, Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mene-gaskan, saat ini pihaknya masih be-rusaha agar FSDAL mendapatkan izin dari Dikti. Sementara, keputu-san Dikti baru bisa keluar Juli men-datang. “Kemungkinan buruknya, kami belum dapat membuka pendaf-taran jika belum ada izin dari Dikti agar sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2012 mengenai Izin Pendirian Prodi Baru di Perguruan Tinggi,” ujarnya.

Mendengar kabar FSDAL tak membuka pendaftaran mahasiswa baru, salah satu Mahasiswa Prodi Teknik Pertambangan, Rendy Adrista mengungkapkan kekecewaannya apa-bila hal tersebut benar terjadi. “Sudah banyak uang yang keluar, masa FS-DAL mau ditutup. Saya membayar uang pendaftaran sebesar Rp20 juta dan Rp10 juta per semesternya,” kata Rendy, Rabu (20/5).

Lain Rendy lain pula Adji Dwi, Ma-hasiswa Prodi Teknik Pertambangan ini optimis, FSDAL akan membuka pendaft-aran mahasiswa baru pada tahun ajaran 2015/2016. “UIN Jakarta pasti mempunyai solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut,” pungkasnya, Rabu (20/5).

Niat kekeuh UIN Jakarta membuka FSDAL mendapat teguran dari Dikti. Tahun ini, tiga prodi di fakultas terse-but terancam tak buka pendaftaran.

Ika Puspitasari

Jeannita Kirana

FSDAL Terancam Tak Terima Mahasiswa Baru

Mahasiswa FSDAL tengah mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan (OPAK) di lantai lima gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Sabtu (30/8/14).

Sum

ber:

Inte

rnet

Ingkar Janji Kerjasama CCIT

Suasana kelas mahasiswa CCIT FTUI saat masih berkuliah di UI.

Sum

ber:

Inte

rnet

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 37

KAMPUSIANA 5Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Demam Pendaki Gunung Dadakan

Asah Keterampilan Seni Mahasiswa

Tak hanya mencari ilmu pengeta-huan, di kampus mahasiswa juga bisa menggali potensi lain, termasuk da-lam bidang kesenian. Dengan berkese-nian, mahasiswa turut serta melestari-kan kebudayaan. Oleh karenanya, beberapa fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ja-karta memfasilitasi mahasiswa untuk belajar kesenian.

Senja itu, sekelompok mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta tengah asik memegang bambu simetris dengan tangan kiri dan menggetarkan ujung batang pe- nyangga bambu dengan tangan kanan. Bambu tersebut memiliki ber-macam bentuk dari kecil hingga besar. Dari getarannya menghasilkan alunan nada yang harmonis.

Angklung FAH, berlatih setiap Selasa dan Kamis. Namun, bila ada jadwal untuk tampil di sebuah per-tunjukan mereka berlatih setiap hari. Banyak lagu yang biasa dimainkan, mulai dari pop sampai lagu tradisional daerah Indonesia macam Apuse, Ma-nuk Dadali, dan Si Patokaan.

Sudah hampir tiga tahun Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) FAH UIN Jakarta memasukkan bebe- rapa unsur kesenian dalam bidang minat dan bakat mahasiswa. Selain angklung ada pula tarian tradisional seperti Gayo dan Ranup Lampuan sampai kesenian timur tengah seperti Marawis dan Hadrah.

Di sela kesibukkan kuliah, dua

kali dalam seminggu Damas Magh-fur Pratama bersama 34 rekannya menyempatkan diri berlatih kesenian. “Khusus untuk angklung biasanya li-at-liat di youtube, setelah itu langsung dipraktikkan saat latihan,” ucap pria asli Banyumas yang juga Ketua Di-visi Minat dan Bakat Dema FAH ini, Rabu (20/5).

Sama halnya Dema FAH, Pojok Seni Tarbiyah (Postar) pun mewada-hi Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbi-yah dan Keguruan (FITK) yang ingin menuangkan minat pada kesenian. Postar mempelajari beberapa kese-nian antara lain Gamelan (Degung), tarian tradisional, Lingkar Sastra Tar-biyah, Band, serta Paduan Suara.

Terdapat dua jenis gamelan yang dipelajari di Postar yakni Gamelan Sunda dan Jawa atau Karawitan. Per-bedaan kedua jenis gamelan terletak pada tangga nada. Jika Gamelan Sun-da bernama Pelog dan Karawitan itu Slendro. Selain itu, ada juga tari-tarian tradisional seperti, Kundaran, Ratoh Jaroeh, Lenggang Nyai, dan Jaipong.

Selasa, Rabu, dan Kamis sore tim gamelan Postar FITK biasa berlatih. Sedangkan Jumat adalah waktunya berlatih tim tarian tradisional. Pemain gamelan Postar langsung belajar dari seniman asli Tasikmalaya, sedangkan tarian biasanya mendatangkan pela-tih dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atau sanggar tari sekitar Ja-karta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

“Seenggaknya lu-lusan FITK punya keterampilan lain selain mengajar,” ujar Ketua Postar, Rizal Hanif Masy-hur, Senin (18/5). Di sisi lain, ada- nya Postar adalah bentuk dukungan nyata mahasiswa untuk melestarikan kesenian Indone-sia. Terlebih, animo mahasiswa untuk belajar kesenian sa-ngat tinggi. Terbuk-ti banyak yang ikut bergabung dengan lembaga ini.

Lain lagi dengan Himpunan Mahasiswa Program Stu-di (HMPS) Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Prihatin melihat alat Marawis yang terbengka-lai. Pada 2010 Nova Rizky Prakoso, Ahmad Afif Mauludi, dan Meitama Arief Budhiman ingin menghidupkan kembali kesenian marawis di jurusan-nya.

Mulanya, Marawis Kesmas kurang diminati mahasiswa. Meskipun begi-tu, Nova, Afif dan Meitama tak patah arah, dengan semangat tinggi mereka pun intens mengajak mahasiswa Kes-mas untuk bergabung. Kini, tercatat sudah ada 30 anggota Marawis Kes-

Laiknya magnet, pegunungan be-lakangan seperti memiliki daya tarik sendiri bagi banyak orang. Tak hanya bagi pecinta alam, namun kini juga menjamur di kalangan mahasiswa. Bagi sebagian mahasiswa itu, mendaki gunung menjadi salah satu alasan un-tuk melepas penat di tengah kejenuhan tugas kampus.

Salah satunya Siti Masithoh. Ma-hasiswi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sya- rif Hidayatullah Jakarta yang baru kali pertama mendaki gunung itu, menu-turkan kegiatan mendaki gunung dapat menyegarkan otak karena udara asri di pegunungan. Terlebih lagi, ia bisa me-nemukan hal-hal baru di alam bebas secara langsung seperti halnya mera-sakan indahnya alam ciptaan Tuhan.

Dengan mendaki gunung, Mashitoh merasa cukup mengobati kebosanan- nya setelah menjalani tugas praktikum di kampus. “Alasan aku mendaki sih ngilangin sejenak tugas kuliah dan me-manfaatkan sedikit waktu kosong. Lagi pula mendaki gunung kali ini menjadi pengalaman pertama,” ujarnya, Kamis (14/5).

Masithoh bercerita, tanggal 19 April menjadi hari bersejarah bagi hidupnya

lantaran ia bersama teman-temannya berhasil mancapai puncak Gunung Gede. Menurutnya, untuk mencapai puncak dan turun dengan selamat, ia harus benar-benar kompak dengan satu timnya.

Sama halnya Masithoh, Maha-siswa Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin (FU) Amirul Akbar mengatakan, mendaki gunung merupakan salah satu kegiatan yang menyenangkan. Selain bisa melihat keindahan alam, ia dan teman-teman-nya juga dapat mempererat persa-habatan mereka.

Amirul bercerita, kala itu, sebe-lum melanjutkan perjalanan mendaki di Gunung Gede, salah satu teman- nya mengalami demam tinggi. Semua teman-temannya panik, tapi beruntung karena salah satu dari tim kelompok-nya berinisiatif mencari obat-obatan herbal untuk menurunkan demam teman sekelompoknya. Lalu, di hari berikutnya temannya sembuh dan kembali meneruskan pendakian ke puncak Gunung Gede.

“Kegiatan mendaki gunung menjadi pengalaman yang tak bisa dilupakan, lebih lagi bersama sahabat. Meskipun, persiapan kami belum maksimal, “ ung- kapnya (16/5).

Tak hanya modal nekat, mendaki gunung juga membutuhkan persia-pan matang. Namun, sebagian maha-siswa beranggapan persiapan mendaki gunung yang matang sebenarnya tidak terlalu penting.

Misalnya, Yolanda Afiata Mawa-dati. Kegiatan mendaki di Gunung Papandayan pada 4 Januari lalu, menjadi yang kedua kalinya bagi Ma-hasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidahiyah (PGMI) meski tanpa persiapan khusus. Ia mengaku, hanya melakukan joging beberapa hari saja sebelum pendakian. “Teman kan ngasih tahunya mendadak, jadi cuma sempat joging beberapa hari dan itu udah cukup kok,“ katanya, Jumat (20/5).

Sebenarnya, kata Yolanda, banyak manfaat yang ia dapat sehabis pulang mendaki gunung. Tak hanya menik-

mati keindahan alam, di sana ia juga belajar kehidupan melalui alam. Be-berapa manfaat yang telah ia rasakan seperti, belajar hidup mandiri, tidak ceroboh, dan bagaimana bertindak ce-pat dalam situasi apapun. Oleh sebab itu, mendaki gunung menjadi wisata alam paling menarik bagi mahasiswi semester enam ini.

Menanggapi maraknya mahasiswa yang mendaki gunung, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelom-pok Pecinta alam (KPA) Arkadia Mu-hammad Yunus menekankan, mereka yang baru mendaki gunung belum bisa dikatakan pecinta alam. Ia berangga-pan, mahasiswa yang demam mendaki gunung saat ini hanya memiliki jiwa penikmat alam saja.

Terbukti, tambah Yunus, maha-siswa lebih memedulikan keindahan alam saja dan masih banyak sampah

yang menumpuk di setiap pos peristi-rahatan, mereka pun masih saja men-gambil sembarang Bunga Edelweis. Jika masih melakukan hal tersebut, mereka te lah melanggar kode etik pecinta alam.

Menurut Yunus, pendaki harus be-lajar dan menerapkan kode etik pecin-ta alam, karena hal itu menjadi hukum alam yang sangat penting. “Dalam kode etik pecinta alam, pendaki dila-rang mengambil apapun kecuali gam-bar, membunuh apapun kecuali waktu, dan meninggalkan apapun kecuali je-jak kaki,” tegas pria yang akrab disapa Gobet itu, Senin (18/5).

Gobet menyayangkan, maraknya pendaki dadakan malah menimbulkan beberapa dampak, seperti halnya kese-lamatan diri dari jalan yang terjal jika tidak berhati-hati dan juga kelestarian lingkungan. “Namanya juga alam, setiap perbuatan biasanya langsung dibalas, makanya perlu hati-hati, “ ka-tanya.

Sementara itu, ketua Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup Kemanusiaan (KMPLHK) Kemba-ra Insani Ibnu Battuta (Ranita) Nur- Hidayat menjelaskan, ada dua faktor yang menjadi catatan penting bagi seo-rang pendaki gunung. “Pertama, faktor internal seperti kesehatan fisik, men-tal dan ilmu pengetahuan. Sedangkan yang kedua meliputi faktor eksternal seperti perlengkapan logistik dan fak-tor alam,” ujar lelaki yang akrab disapa Bledig, Senin (18/5).

Kedua faktor tersebut, lanjut Bledig, harus benar-benar dipersiapkan sebaik mungkin. Pasalnya, lanjut Bledig, hal itu akan sangat bermanfaat di setiap mendaki gunung. “Perencanaan yang matang merupakan setengah keberhas-ilan guna mencapai tujuan,” tutupnya.

Mendaki gunung mendadak jadi tren belakangan di kalangan maha-siswa. Sayang, tak sedikit di antara mereka abai pada esensi dan aturan-nya.

Triana Sugesti

Dok.

Prib

adi

Kesenian mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemuda. Mahasiswa pun antusias belajar kesenian di fakultasnya masing-masing.

Mahasiswa FITK sedang bermain gamelan dalam Artchipelago Postar di Loby Barat FITK. Acara ini menampilkan kolaborasi antara Karawitan dan Marawis, Selasa (12/5).

Yasir Arafat

Beberapa mahasiswa UIN Jakarta sedang mendaki di Gunung Gede, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cipendawa, Cianjur Jawa Barat, Sabtu (18/4). Sebagian dari mereka merupa-kan pendaki pemula.

mas dan saban Rabu sore berlatih di taman sekitar FKIK.

Selain melestarikan kesenian, kata Nova, adanya marawis bisa memper-erat hubungan persaudaraan antar mahasiswa Kesmas. “Mengenalkan marawis ke masyarakat khususnya mahasiswa ialah bukti mahasiswa peduli kesenian,” katanya, Rabu (20/5).

Menanggapi hal demikian, Wakil Dekan (Wadek) Kemahasiswaan FAH, Zubair menuturkan, semua fakultas di UIN Jakarta ingin menja-

di yang terdepan dalam soal meles- tarikan kesenian Indonesia. Bahkan, fakultas dengan senang hati memban-tu pendanaan dan pengarahan kegia-tan kebudayaan.

“Pendanaan dan pendampingan akan disediakan,” jelas Zubair, Selasa (19/5). Ia melanjutkan, baiknya tak hanya dilestarikan, tapi juga melaku-kan penelitian terkait kesenian nusan-tara. Mahasiswa diharapkan bisa me-mahami makna kesenian sebenarnya. Agar tumbuh rasa nasionalime dan harga diri bangsa.

Dok.

Prib

adi

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 37

Desa

in V

isual

: Ika

, Erik

a/IN

S

SURVEI 6Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Setidaknya, empat fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membuka kelas internasional. Namun, nasibnya kini seperti ada dan tiada. Untuk melihat respons mahasiswa kelas internasional, divisi Litbang Institut melakukan survey terhadap 133 mahasiswa kelas internasional di empat fakultas. Sampel diambil dengan metode non-probabilty sampling dan teknik pengambilan sampel dengan insidental.

Berdasarkan hasil survei 82% responden merasa fasilitasyang disediakan tidak memadai, hanya 12% sisanya yang menyatakan fasilitasnya sudah memadai. Selanjutnya, 64% responden menyatakan pengaja-ran yang diterimanya di kelas internasional tak sesuai, sedangkan 36% lainnya menyatakan sudah sesuai.

Lebih lagi, 89,5% responden menyatakan biaya kuliah yang telah dibayarkan tak sebanding dengan sarana dan prasarana yang diterimanya, hanya 10,5% yang merasa sebanding. Bukan hanya itu, dari 133 responden, 82% menyatakan tak puas dengan pelayanan kelas internasional, sisanya sebanyak 12% me- nyatakan sudah puas.

Dalam survei ini, Litbang Institut juga mencoba menanyakan apa yang diinginkan mahasiswa kelas in-ternasional, mayoritas responden mempertanyakan status internasional yang mereka sanding. Tak hanya itu mereka juga ingin fasilitas yang memadai dan dosen yang kompeten. Lebih dari itu, responden juga ingin kejelasan ke mana uang yang selama ini mereka bayarkan dan juga kejelasan ijazah double degree.

*Survei ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke 133 sampel mahasiswa internasional UIN Jakarta di empat fakultas di antaranya FST, FISIP, FEB, dan FSH. Survei ini dilakukan hanya untuk mengetahui respons mahasiswa inter-nasional bukan untuk mengevaluasi secara keseluruhan.

Menerima:Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen.

Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak men-gedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya.

Tulisan dikirim melalui email:[email protected]

Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor085693706311

Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat PembacaTabloid INSTITUT berikutnya.

Redaksi LPM Institut

Suara Mahasiswa Kelas Internasional

RalatTABLOID INSTITUT EDISI XXXVI halaman 7 kolom dua tertulis biaya bangunan umum berjumlah di atas ‘Rp20 miliar’, seharusnya tertulis ‘Rp200 juta’.

TABLOID INSTITUT EDISI XXXVI halaman 5 kolom dua tertulis nama narasumber ‘Risman Sulaeman’, seharusnya ‘Riswan Sulaeman’ dan tertulis Fakultas Kedokteran dan Ilmu ‘Keperawatan’, seharusnya ‘Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan’.

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 37

berita foto 7Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Foto

: Aci

/Ins

Foto

: Ham

idah

/Ins

Foto:R

izal/Ins

Tiga presidium sidang sedang memimpin Musyawarah Perwakilan Mahasiswa Universitas (MPMU) di Aula Madya, Kamis (14/5). MPMU ini dihadiri oleh SEMA-U, SEMA-F, DEMA-U, DEMA-F, dan UKM UIN Syarif Hidayat-ullah Jakarta.

Inaugurasi Wakil Dekan Periode 2015-2019

Musyawarah Perwakilan Mahasiswa Universitas (MPMU) telah berlangsung di Aula Madya lantai dua pada 11-17 Mei. Rapat dihadiri oleh seluruh lembaga kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai dari Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U), Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U), SEMA Fakultas (SEMA-F), DEMA Fakultas (DEMA-F), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Ketua SEMA-U, Eko Siswandanu mengatakan, hasil MPMU hanya bersifat usulan dan tak serta merta disetujui rektor. Meskipun begitu, sudah ada pembicaraan dengan Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan dan Rektor UIN Jakarta bahwa pihaknya tak akan merevisi hasil MPMU. Sampai saat ini hasil MPMU belum disahkan rektor.

MPMU merupakan forum tertinggi di tingkatan mahasiswa UIN Jakarta yang membahas Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), dan mengusulkan rekomendasi di bidang kemahasiswaan. “Tak bisa dipungkiri mahasiswa memiliki peran besar dalam perkembangan UIN menuju World Class University,” kataya, Rabu (20/5). (Yasir Arafat)

Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada memutuskan, empat Wakil Dekan (Wadek) dilantik bersyarat. Keputusan itu diambil dalam rapat senat yang digelar pada Rabu (29/4). Menurut Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Sukron Kamil, empat wakil dekan yang dilantik bersyarat itu karena belum memenuhi tiga syarat wakil dekan.

“Pertama, wakil dekan harus bergelar doktor. Kedua, sudah menjadi lektor, dan terakhir, berpengalaman dalam memimpin,” kata Kamil, Rabu (20/5).

Adapun empat wakil dekan tersebut yakni Wadek Bidang Administrasi Umum dan Wadek Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama dari Fakultas Psikologi (FPsi). Pun, Wadek Bidang Akademik Fakultas Dirasat Islamiah (FDI) dan Wadek Bidang Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK).

Lantaran itu, Kamil menambahkan, wadek terpilih bersyarat belum dapat dicantumkan dalam susunan pengurus organisasi UIN Jakarta periode 2015-2019. (Ika Puspitasari)

Hasil MPMU Tak Final

UPDATE TERUS BERITA KAMPUSVisit www.lpminstitut.com

Penampilan Anggota Muda Paduan Suara Mahasiswa UIN Jakarta dalam Acara Recital Antares PSM UIN Ja-karta bertemakan Supernova Timeless Time Line, Kamis (14/5).

Mahasiswa melakukan aksi di depan Halte Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (20/5). Aksi tersebut merupakan bentuk mahasiswa memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2015.

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 37

opini 8Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Aksi dalam Demokrasi ; Sebuah KritikEra reformasi memang telah mem-

buka keran aspirasi selebar-lebarnya. Media telah menjadi pilar demokra-si dan semua warga negara punya hak yang sama di dalam hukum. Pe-merintah dituntut untuk menjalan- kan seluruh kepentingan atas nama rakyat. Dan masyarakat menjadi kon-trol berjalannya pemerintahan.

Menanggapi aksi yang terjadi tang-gal 20 - 21 Mei 2015 dengan tuntutan menurunkan Presiden Jokowi atau sebagainya, bagi saya itu merupakan bentuk aspirasi masyarakat. Dan pe-merintah patut untuk mengakomo-dirnya. Aspirasi rakyat di Indonesia memang dilindungi oleh konstitusi. Tapi bentuk aksi tersebut bagi saya, sebagai mahasiswa Ilmu Politik, me- rupakan bentuk aspirasi yang tidak demokratis.

“Aksi reformasi tahun ’98 ialah bentuk aspirasi”. Itu boleh dan bah-kan sangat boleh dilakukan. Namun hal tersebut tetaplah tidak demokratis. Begitupun aksi tanggal 20 - 21 Mei 2015 kemarin.

Kita seharusnya paham dengan makna demokrasi dan demokratis. Demokrasi juga mempunyai aturan mainnya, tidak sekadar penyampaian aspirasi semata. Demokrasi memang sebuah sistem yang menjunjung ting-gi kedaulatan rakyat, namun dalam mencapai kedaulatannya, rakyat perlu bersifat demokratis.

Dalam demokrasi, mengaspi-rasikan kepentingan idealnya harus melalui prosedur-prosedur yang si-fatnya demokratis, seperti membuat partai politik untuk mengikuti pemi-

lihan umum, atau membangun jalur aspirasi melalui partai politik untuk mengintervensi partai politik yang ada di parlemen dalam pembuatan kebijakan.

Dalam demokrasi pula. partai berperan menjadi kendaraan politik. Artinya, untuk mencapai kepentin-gan dengan cara yang demokratis harus melalui partai politik. Masyarakat harus m e r u mu s k a n kepentingan-nya ke da-lam par-tai.

J i k a partai su-dah tidak bisa mengako-modir kepentin-gan masyarakat, atau ada keadaan di mana partai sudah tidak bisa mengaspirasikan kepentingan. Masyarakat HARUS membuat partai baru sampai partai tersebut dapat menyampaikan kepen- tingannya. Pola seperti ini akan terus berjalan di negara demokrasi.

Oleh karena itu, pemimpin sebuah negara yang terpilih secara demokra-si—yakni melalui pemilihan umum langsung—seharusnya ia hanya bisa diturunkan dengan cara yang demokratis pula. Atau bahkan pe- mimpin sebuah negara yang dipan-dang tidak adil, bisa di intervensi oleh partai-partai yang ada di parlemen. Idealnya partai seharusnya menjadi keran demokrasi.

Pemimpin yang diturunkan dengan

aksi, atau aksi yang dilakukan untuk menyampaikan aspi-rasi, itu merupakan proses yang tidak demokratis dan sekaligus mengkhi-anati demokrasi.

Kita semua memang

sepakat bahwa aspirasi harus diako-modir dan kebebasan berpendapat ialah hak yang dilindu- ngi oleh konstitusi di Indonesia. Na-

mun ketika aksi jadi sebuah cara penyampaian a s p i r a - si, secara tidak l a n g s u n g perbuatan tersebut telah memangkas kegiatan-kegia-tan demokratis lainnya. Aksi telah mengkhianati pemilu yang esensinya ialah proses penyampaian aspirasi se-cara langsung. Aksi telah melangkahi hasil musyawarah-musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat.

Bagi saya, mengkritisi kinerja par-tai dan mengoptimalkan fungsi partai ialah jalan yang demokratis. Seperti memperbaiki sistem rekrutmen partai, sistem verifikasi pencalonan dalam

Hari Pendidikan Nasional. Akrab kita sapa Hardiknas, Sabtu 2 Mei ke-marin berlalu begitu saja. Anehnya, pendidikan yang katanya sebagai aset terpenting masa depan negara itu tak lagi menarik dan diperbincangkan se-cara serius. Melalui momentum ini, Hardiknas sepertinya kalah menjual dengan hukuman mati kasus narko-ba dan Hari Buruh di mata media. Padahal, memperbincangkan dan mengevaluasi pendidikan di Indone-sia akan sangat berpengaruh dalam meretas dekadensi moral yang saat ini merajai bangsa.

Pendidikan selalu saja menjadi bahan tumpuan setiap orang untuk menatap masa depannya yang lebih baik. Kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman Amerika, Jerman, Jepang, dan lainnya yang pernah me- ngalami keterpurukan. Namun me- reka mampu mengatasi keterpurukan itu setelah mereka memperbaiki pendi-dikannya. Oleh karena itu, kita semua sepakat bahwa pendidikan memang menjadi sebuah kekuatan utama bagi suatu bangsa.

Kondisi pendidikan Indonesia sa-ngat beragam. Perubahaan kurikulum

sering kali dilakukan lebih dahulu se-belum buku teks penunjangnya terse-dia. Akibatnya, buku-buku teks kemu-dian dikeluarkan oleh banyak penerbit dengan tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan pasar, mengingat ketergan-tungan guru terhadap buku teks sangat tinggi.

Karena buku teks dibuat tergesa-ge-sa untuk memenuhi kebutuhan guru di lapangan, maka dalam banyak hal hasilnya sering kali tidak dapat diper-tanggungjawabkan. Seperti kasus-ka-sus buku yang tak layak dikonsumsi oleh para peserta didik Sekolah Dasar (SD) beberapa waktu lalu.

Dihadapkan dengan persoalan se- perti itu, mengharuskan peran guru tidak hanya sebagai agent of information saja, melainkan juga berperan sebagai inspirator, motivator, dan fasilitator bagi siswa sebagai pemeran utamanya. Dengan demikian, pembelajaran di-harapkan berjalan kreatif dan bergerak dinamis sehingga fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengem-bangkan akal saja, melainkan mengo-lah dan mengembangkan keterampi-lan dan karakter (akhlak).

Sumbangsih SastraSebagai seorang penikmat sastra

yang membaca kehidupan dengan sastra, timbul kesadaran untuk me-mikirkan bagaimana cara melepas-kan bangsa ini dari belenggu karakter yang lusuh, dan dekadensi moral yang tak berkesudahan. Yudi Latif dalam

bukunya Menyemai Karakter Bangsa mengatakan bahwa kesusastraan bisa menjadi wahana persemaian nilai dan praktis moralitas yang efektif.

Pendidikan karakter bisa diintro-duksikan ke dalam kelas lewat medium kesusastraan dengan keteladanan para pahlawannya. Pada intinya, untuk menanamkan nilai-nilai dasar, siswa harus bisa menemukan teladan yang baik dalam semua aspek kehidupan sekolah. Pengaruh kesusastraan ter- hadap kehidupan tidak boleh dire- mehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobar-kan revolusi, dan bahkan mengubah dunia.

Di Inggris, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak SD da-lam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Swedia, aneka spanduk dibentangkan di hari raya berisi kutipan dari karya-karya kesusastraan. Di Prancis, sas-trawan-sastrawan agung menghuni pantheon jejak-jejak singgahnya di beberapa tempat dan diberi tanda khu-sus. Lantas bagaimana di Indonesia?

Dalam sebuah tulisan Putu Wijaya mengatakan bahwa di tahun 1960-an sastra masih menjadi mata pelajaran wajib yang diujikan, digeluti juga oleh para pelajar SMA. Tetapi kini, sastra mendapat ruang sempit dalam kuriku-lum, sastra seolah menjadi penumpang gelap dalam pelajaran bahasa Indone-sia. Seakan diakui namun tidak jelas

*Penulis adalah Mahasiswa Semester 2 UIN Jakarta

*Penulis adalah Ketua HMJ PBSI UIN Jakar-ta, Mahasiswa Semester 6 PBSI

partai dan mendorong partai untuk melakukan pendidikan

politik secara benar. Dan hal tersebut tentunya

masyarakat harus ter-libat di dalam partai.

Keadaan hari ini justru terba-lik. Kita berbon-dong-bondong antipati terh-adap partai, masyarakat me- n g a n g g a p partai selalu m e m p u n y a i kepentingan-kepen-

tingan politis, dan juga mas-

yarakat mengalami krisis kepercayaan

terhadap partai. Namun dengan keadaan yang demikian mas-yarakat tidak mau membentuk partai atau sekedar memperbaiki partai.

Salah satu contoh fenomena maha-siswa yang sok menjaga idealismenya dan menjaga independensinya namun tidak mau membentuk partai maha-siswa atau partai yang berbasiskan ideologi mereka. Tidak mau terlibat di dalam hanya karna anggapan masuk ke dalam partai sama dengan menjual idealisme, sekalipun partai tersebut mempunyai idealisme yang sama den-gan mahasiswa. Ini hal yang Aneh.

Pola pikir yang menganggap partai politik hanya sebagai wadah kegia-tan-kegiatan politis inilah yang menja-dikan konstruksi berpikir masyarakat terhadap partai menjadi pesimis.

Mereka terlalu menggeneralisir bah-wa partai tak akan pernah mengako-modir kepentingan rakyat jelata tanpa ada usaha membentuk partai yang mengakomodir kepentingan rakyat je-lata atau bahkan terlibat dalam partai yang berpihak terhadap rakyat jelata.

Sehingga pola pikir demikianlah yang menganggap bahwa aksi seo-lah wadah yang bisa mengakomodir seluruh kepentingan dan aspirasi mas-yarakat. Menganggap aksi seolah jauh dari kegiatan yang sifatnya politis, bahkan percaya bahwa aksi satu-sa- tunya kegiatan yang independen, ide-alis dan sangat demokratis.

Padahal tidak juga!Menurut Jack Sneyder (Guru besar

Ilmu Politik Universitas Colombia) dalam bukunya From Voting to Violence Democratization and Nasionalist Conflict (2000) demokrasi harus menuntut partisipasi politik. Dan partisipasi politik harus bersifat demokratis yaitu dengan cara pemilu atau melalui par-tai politik dan semua tanpa kekerasan. Jika tidak ada partisipasi politik yang demokratis, maka proses demokra-tisasi hanya akan membawa sebuah negara demokrasi ke arah perpecahan (disintegrasi).

Inilah kenapa aksi bukanlah parti-sipasi politik yang demokratis dan sa-ngat berbahaya bagi proses demokrati-sasi di Indonesia.

keberadaannya. Padahal, bukan tidak mungkin sastra yang dedaktik mampu berkontribusi dalam membangun mor-al bangsa di tengah pengikisan globa- lisasi yang bebas nilai ini.

Hal sedemikian sangat jelas, me- ngapa sastra harus dipelajari dan bu-kan hanya dinikmati, apalagi hanya untuk dihafal. Sastra adalah salah satu peran utama di dalam kehidupan, baik untuk individu-individu/manusia prib-adi atau selaku bangsa dalam negara.

Pendidikan Karakter Berbasis Kesastraan:Sebuah Refleksi Hari Pendidikan Nasional

“Pendidikanselalu saja

menjadibahan tumpuan

setiap oranguntuk menatapmasa depannyayang lebih baik.”

Oleh: Fitra Aditya Irsyam*

Oleh : Arief D. Hasibuan*

Sum

ber:

Inte

rnet

Sum

ber:

Inte

rnet

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 37

opini 9Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Di Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ini, saya ingin meluang-kan waktu untuk menulis tentang fenomena arabisasi yang marak di kalangan kelompok-kelompok Islam fundamental radikal. Apalagi, menilik banyaknya perhatian yang tercurah pada isu pembacaan Alquran dengan langgam Jawa akhir-akhir ini, saya kadang berpikir, kok sampai segitu- nya?

Padahal tidak ada yang salah de- ngan pembacaan Alquran dengan cara seperti itu. Banyak pula orang Sudan, Yaman, Mali, juga melakukan hal serupa. Hal itu tidak diprotes oleh ulama-ulama setempat, bahkan pem-bacaan Alquran dengan cara ini per-nah dilakukan di depan Imam Masjid Nabawi tanpa protes. Jadi kalau di- pikir, yang protes itu bukan karena agama, melainkan karena selera.

Ahsin Sakho Muhammad me-negaskan, cara membaca Alquran merupakan hasil karya seni manusia yang dirangkum dalam kalamullah. Hal tersebut tidak bertentangan de- ngan ajaran Islam melainkan lahir dari seni budaya masyarakat tertentu. “Ini adalah perpaduan yang baik antara Kalamullah dari langit yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. “Itu sah dan diperbolehkan,” kata Sekretaris Lajnah Pentashih Mushaf

Alquran Kementrian Agama RI, yang juga pimpinan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon itu, kepada ROL, Ahad (17/5/2015).

Terkadang, mereka melihat sesuatu yang diasosiasikan Arab lalu diasosi-asikan pula ke Indonesia, mereka ti-dak nyaman dibuatnya. Selera mereka terusik. Sebetulnya hal itu tidak aneh, mengingat bahwa protes itu datang dari orang yang lebih nyaman me-makai sorban dibanding peci.

Untuk meneliti akar permasalahan-nya, saya coba membuka situs radikal untuk mencari alasan kenapa mere-ka mengutamakan budaya Arab dan benci budaya sendiri? Di situs radikal itu, dikatakan bahwa dalam kelom-pok radikal, pemimpin pasti orang Arab, karena orang Arab berwatak “pemi-mpin”. Berar-ti orang I n d o n e -sia dan non-Arab d ianggap b e r w a t a k babu kali ya? Jadi in-gat kisah war-ga India yang b e r g a b u n g dengan ISIS,

namun kecewa lantaran malah disuruh bersih-bersih toilet.

Pantas saja, giliran butuh umpan peluru komandan ISIS, orang Indone-sia diletakkan paling depan dijadikan pengantin bom bunuh diri. Sedangkan orang Arab? Enak-enakan nonton dari monitor. Mungkin terlintas dalam pe-mikiran kita, kok mau ya? Harus dili-hat, fenomena arabisasi ini muncul di kalangan orang-orang yang malu jadi orang Indonesia.

Mereka sudah tidak mau memakai peci maupun sarung, lebih cocok

memakai sorban atau kupluk Af-ghanistan. Bahkan FPI memandang budaya Jawa sebagai “Budaya barbar Ken Arok”. Sehingga tidak aneh bila mereka murka melihat pembacaan Alquran dengan langgam Jawa terse-but. Karena ujung-ujungnya mereka “tidak nyaman”, mereka benci sekali dengan budaya asli Indonesia.

Langgam Jawa sudah dinilai sah oleh banyak ulama, asalkan tajwidnya benar (baca http://www.islamtoleran.com/bagaimana-hukum-bacaan-al-qu-ran-dengan-langgam-jawa-menurut-ula-ma-al-azhar/). Beda dengan pengikut arabisasi.

Momen Harkitnas ini sangat tepat agar kita bangkit sebagai muslim In-

donesia (Islam Nusantara) dan menolak kepicikan penga-

nut arabisasi. Hingga para korban a r a b i s a s i m e n g a -takan bah-wa semua m a n u s i a merupakan ke tu r unan bangsa Arab. M e m a n g R a s u l u l l a h dan para nabi dilahirkan di

Fenomena ArabisasiOleh: Waki Ats Tsaqofi*

* Penulis adalah Mahasiswa Tarjamah Fakultas Adab dan HumanioraSu

mbe

r: In

tern

et

Jazirah Arab. Tapi perlu diingat, Jibril dan para Malaikat bukanlah orang Arab. Ukuran Muslim adalah takwa, bukan Arab. Orang Arab belum tentu lebih kaffah ilmunya dibanding kiai dari Indonesia. Penganut arabisasi sebetulnya memiliki misi penghapu-san budaya. Kenapa? karena bangsa tanpa identitas lebih mudah untuk mereka ambil alih.

Budaya Indonesia yang heterogen

memancarkan toleransi dan moder-at, tidak sesuai dengan misi kelom-pok-kelompok radikal Arab tersebut. Karena itu mereka membencinya.

Akhir kata, saya sarankan agar kita semua menuruti nasehat Gus Dur berikut ini. ‘Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi bu-daya Arab. Bukan untuk Aku jadi ana, Sampean jadi antum, dan sedulur jadi akhi. Kita pertahankan budaya kita, ambil ajarannya bukan budayanya.

Salam Hari Kebangkitan Nasional

“Setinggi-tinggi ilmu,semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” H.O.S Tjokroaminoto (1882-1934)

BANg PekaBuru-buru WCU

Niat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menuju universitas kelas dunia (UKD) tampaknya menemui jalan terjal. Belum lama ini, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) melayangkan teguran lan-taran putusan UIN Jakarta yang membuka fakultas baru (FSDAL) tanpa izin. Imbasnya, UIN Jakarta tahun ini sepertinya tidak akan menerima mahasiswa baru di fakultas baru tersebut.

Merujuk opini di Tabloid Institut edisi 28, Maret 2013 berjudul “Menyoal Demam Kampus Kelas Dunia” yang ditulis Fahrus Zaman Fadhli, dosen Uni-versitas Kuningan, menarik untuk dicermati. Fahrus yang juga mengutip per-nyataan Profesor Conrad W. Watson tentang “demam kampus kelas dunia” itu mempersoalkan kesalahan yang kerap dilakukan banyak pemimpin di negeri kita. Tulisan itu, akhirnya mengerucut pada sebuah pernyataan: tidak mampu menempatkan prioritas terpenting dan mendesak, dari kebutuhannya sendiri.

Menyoal Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL), tentu tak lepas dari rencana strategis (renstra) UIN Jakarta sampai 2021 yang hendak menu-ju World Class University (WCU). Pertanyaannya, apakah langkah membuka FS-DAL itu benar menjadi prioritas yang harus terlebih dulu diambil UIN Jakarta?

Dan jika merujuk pada pernyataan Prof. Watson, ada dua pilihan yang juga harus diambil UIN Jakarta, pemerataan atau pertumbuhan? Kiranya dua per-tanyaan itulah yang harus terlebih dulu terjawab.

Memang, sebagai universitas berakreditasi A, UIN Jakarta berhak membu-ka fakultas atau prodi baru. Namun dengan melihat skala prioritas, langkah itu patut mendapat perhatian khusus. Pasalnya, tak mudah memenuhi standar untuk menyandang universitas kelas dunia.

Beberapa standar yang harus terpenuhi itu misalnya, 40% tenaga pendidik bergelar Ph.D., minimal dua artikel yang harus dipenuhi staf pengajar per ta-hunnya, jumlah mahasiswa pasca yang harus 40% dari total populasi maha-siswa, anggaran riset minimal Rp 1,5 miliar per staf setiap tahunnya, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan sebagainya.

Sementara dengan melihat UIN Jakarta yang hanya mampu bertengger di posisi 20 nasional, memenuhi semua kriteria UKD itu tidaklah mudah. Posisi itu masih terbilang jauh untuk ukuran nasional. Universitas Indonesia, yang di nasional berada di posisi kedua, hanya mampu bertengger di posisi 400-an di level internasional.

Wajar, jika langkah UIN Jakarta membuka fakultas baru, dianggap belum mampu mendahulukan prioritas. Tingkat penelitian dosen misalnya. Kini, UIN Jakarta masih terbilang rendah di wilayah itu. Mengambil sampel tahun 2014 lalu, dosen UIN Jakarta hanya mampu meloloskan 108 proposal peneli-tian dosen dari total 284 yang disediakan.

Belum lagi melihat kualifikasi dan jumlah profesor, jumlah mahasiswa as-ing yang hanya berjumlah 102 dari sekitar 25.000 ribu mahasiswa UIN Jakar-ta, pula dosen yang tak memenuhi beban kerja, dan lain-lain. Bak panggang jauh dari api. Begitu kira-kira.

Indonesia pernah mencatat sejarah kelam di masa Orde Baru lantaran Soe-harto harus memilih pertumbuhan negara ketimbang pemerataan di semua sektor kerakyatan. Banyak kalangan yang menilai, pilihan itulah yang akhir- nya membawa Indonesia pada krisis ekonomi pada Juli ’98. Akankah UIN Jakarta tertimpa nasib yang sama?

Editorial

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 37

TUSTEL 10Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Pendidikan adalah hak setiap war-ga negara. Namun, di negeri merde-ka ini masih banyak anak-anak yang belum bisa mengenyam pendidikan. Bahkan, di jalanan kota bisa dengan mudah kita temukan anak yang putus sekolah. Entah salah siapa.

Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) adalah salah satu sekolah non-formal bagi anak-anak jalanan. Sekolah yang sudah beberapa kali di-gusur ini, kini mengadakan kegiatan-nya di dekat jalan layang, Pasar Cipu-tat. Empat kali sudah sekolah anak jalanan ini mesti berpindah tempat.

Bahasa Inggris, teater, seni lukis, menulis, dan agama adalah hal-hal yang dipelajari murid SKAB setiap minggunya. Di sela-sela waktu men-gamennya mereka menyempatkan diri untuk belajar. Semangat tinggi mereka untuk menikmati pendidikan terlihat di antara sorot mata polosnya.

Pendidikan non-formal seperti ini adalah salah satu jalan mencerdaskan anak bangsa. Mereka tak perlu banyak sorotan yang sesaat. Harapan mereka tak muluk-muluk, hanya ingin belajar di tempat yang layak.

Pendidikan Anak BangsaFoto dan Teks: Erika Hidayanti

Menulis

Mengajar

Membimbing

Foto

: Erik

a/In

s

Foto

: Erik

a/IN

SFo

to: E

rika/

INS

Berdialog Bahasa Inggris

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 37

WAWANCARA 11Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

REKOMENDASI

Kelas Internasional Minim Perhatian

Belanja Aksesoris Trendi dan Nyablon Kaos Cepat

Sudah hampir dua tahun kelas internasional di beberapa fakultas diha-puskan. Kualitas mahasiswa jadi alasan.

Delapan tahun sudah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayat-ullh Jakarta membuka kelas internasi-onal. Namun, nasibnya tak tentu arah. Enam prodi dari empat fakultas yang membuka kelas internasional itu kini sudah resmi ditutup. Fakultas Sains dan Teknologi (FST) salah satunya.

Namun, bagaimana sebenarnya perjalanan kelas internasional sampai akhirnya harus gulung tikar? Berikut hasil wawancara Reporter Institut dengan Dekan Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Agus Salim, Rabu (20/5).

Sebenarnya apa alasan UIN Jakar-ta membuka kelas internasional ?

Kelas internasional dibuka kare-na UIN Jakarta ingin menjadi World Class University (WCU). Tahun 2007, baru empat fakultas di UIN Jakar-ta yang bisa merealisasikan adanya kelas internasional yakni, Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB), FST dan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH).

Bedanya dengan kelas reguler?Perbedaan yang paling menonjol

yaitu ruang kelas ber-AC. Ada juga ruang khusus public speaking di lantai 4 atau student lounge. Tak hanya itu, mahasiswa kelas internasional juga akan mendapatkan double degree. Mis-alnya, ada salah satu mahasiswa kelas internasional dari FST yang melanjut-kan kuliah ke Amerika.

Selain itu, ada juga fasilitas wi-fi un-tuk mahasiswa kelas internasional di lantai 4 ruang khsusus kelas interna-sional. Mahasiswa kelas internasional juga mendapatkan bahasa pengantar Bahasa Inggris di kelas.

Mahasiswa kelas internasional

Aksesoris digunakan sebagai perhiasan dan menambah keindahan bagi pemakainya. Aksesori juga pelengkap untuk memaksimalkan penampilan. Begitu pun ketika Anda kuliah. Jika Anda ingin tampil fashionable tanpa harus menguras kocek yang banyak, Annisa Accessories hadir untuk memberikan solusinya.

Annisa Accessories menjual aneka pernak-pernik handmade seperti kalung dan gelang. Aksesoris ini memiliki khas tersendiri dan bergaya trendi, sehingga cocok dipakai untuk siapa saja dan untuk busana apa saja. Selain itu, penjual juga menyediakan souvenir lain seperti gantungan kunci.

Merek aksesoris hasil tangan salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini terjangkau bagi kantong mahasiswa yaitu kisaran Rp15.000 sampai Rp120.000.

Tak perlu khawatir, dengan tangan yang terlatih, Annisa Accessories menyediakan lebih dari 30 jenis model. Model kalung dan gelang tersebut antara lain, gelang kristal setengah

anggur, gelang payet, gelang mutiara anggur, kalung dan gelang batu pirus dan lain sebagainya. Jika Anda masih belum puas, model pernak-pernik, warna dan ukuran yang Anda inginkan pun dapat di-request langsung.

Hasil kreatifitas tangan Annisa, sang pemilik online shop, sudah tak diragukan lagi karena produknya kerap menjadi sponsor untuk acara-acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa UIN Jakarta.

Merek aksesoris yang menjadikan Putri Muslimah 2014, Melly Baskarani, sebagai brand ambassador ini, juga membuka lowongan untuk menjadi reseller. Mudah saja, syaratnya hanya melakukan pemesanan minimal Rp150.000 dan setelah itu langsung terdaftar sebagai reseller baru.

Jika Anda tertarik untuk membeli atau sekedar bertanya, Anda bisa mengecek katalog di akun Instagram @annisa_accessories. Pemiliknya ini pun dapat langsung dihubungi di 0813-2005-4655 (Annisa) atau pin BBM 53703CEE.

tersebut biasanya juga mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) di negara mitra, seperti Internasional Is-lamic University of Malaysia (IIUM) dan Deakin University, Australia. Ditambah adanya kegiatan unggulan dari kelas internasional yaitu, visiting study dan field trip.

Tentang beberapa pen-gakuan mahasiswa kelas interna-sional yang tidak lagi

mendapat haknya seperti laptop. Apa tanggapan Anda?

Kalo soal laptop, itu disesuaikan dengan kebijakan Kementrian Keuan-gan (Kemenkeu) yang melebihi pagu yang ditentukan, seperti laptop. Ka-lau dulu apa saja boleh, tapi sekarang

uang untuk itu tidak di-

bolehkan. Sejak kali pertama dibuka,

bagaimana Anda melihat kelas inter-nasional saat ini?

Semakin hari, peminat kelas inter-nasional di FISIP, FEB, dan FSH se-makin sedikit. Berbeda dengan di FST yang tiap tahunnya masih stabil dan tidak mengalami penurunan. Meski-pun, di tahun 2013, FST akhirnya me-nutup kelas internasional.

Hal itu karena kebijakan yang diterapkan di FST yakni mengin-

ternasionalkan kelas reguler. Jadi, mahasiswa kelas reg-

uler saat ini bisa memi-liki kesempatan untuk

mendapatkan fasi- litas dengan maha-siswa kelas interna-sional. Misalnya, student exchange, joint double degree, dan riset ke luar negeri. Alasann-ya, mahasiswa reguler mampu membukt ikan bahwa mereka mampu mengua-sai bidang terse-but.

Di FST, sejak 2013 kelas interna-

sional dihapus, apa alasannya?Ada tiga alasan. Per-

tama, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) ma-

hasiswa yang kurang bagus, kami juga punya rencana mengin-

ternasionalkan kelas reguler di FST. Kemudian, ada pula mahasiswa yang masuk kelas internasional bukan kare-na kelas internasional menjadi pilihan

utama, tapi cadangan. Penutupan kelas internasional yang

di FST ini juga berdasarkan keputu-san para dekan untuk meregulerkan kelas internasional. Belum lagi, ba- nyak mahasiswa yang akhirnya pin-dah ke kelas reguler.

Artinya, kelas internasional akan diregulerkan?

Nah itu, karena sudah lama ditutup hampir dua tahun. Jadi, nuansanya sudah tidak ada. Paling nanti kami in-gin menginternasionalkan kelas regul-er biar kualitasnya semakin baik. Jadi, nantinya kelas reguler akan menjadi kelas internasional baru.

Tapi biayanya masih sama seperti kelas internasional atau kelas regul-er?

Mengenai hal itu, masih belum bisa dibicarakan sekarang. Saat ini, kami masih mengurus hal-hal teknis, setelah itu baru dekan-dekan yang memiliki kelas internasional akan mendiskusikan masalah biaya.

Lalu, bagaimana dengan nasib mahasiswa kelas internasional saat ini ?

Mahasiswa kelas internasional yang ingin pindah bisa menggunakan salah satu cara, yaitu mengikuti daf-tar ulang dan ujian mandiri. Nan-tinya, mahasiswa internasional itu mengulang dari awal, tapi nilai dapat dikonversi jika mata kuliahnya sama.

Biasanya nilai yang masih bisa dikonversi hanya mata kuliah kasar umum (MKDU) seperti Bahasa In-ggris dan Bahasa Indonesia. Selain MKDU, mahasiswa kelas internasion-al dianjurkan mengulang pada semes-ter sebelumnya. Selain itu uang kuliah kelas internasional lambat laun akan disesuaikan. Meski hal itu juga masih harus didiskusikan kembali.

Sum

ber:

inte

rnet

Foto

: Jea

nnita

/IN

S

TomBriant.com Anda mencari tempat penyablonan

kaos dengan harga terjangkau? Atau mencari jasa penyablonan cepat? TomBriant.com kini menjadi jalan keluar bagi Anda.

Berlokasi di Pasar Modern Pondok Cabe Blok D2 no. 9, Tangerang Selatan, TomBriant.com menyediakan jasa sablon kaos digital. Teknik yang digunakan dalam usaha sablon kaos ini ialah digital printing sehingga proses penyablonan dapat berjalan dengan cepat dengan kualitas yang memuaskan.

Ada empat jenis kaos yang ditawarkan yakni v-neck, o-neck, raglan, dan kaos anak. Semua jenis kaos yang disediakan berbahan 100% katun sehingga nyaman dipakai. Kisaran harga sablon kaos juga terjangkau yaitu Rp60.000-Rp120.000. Menariknya, kita bisa sablon kaos menggunakan foto pribadi dan juga dapat mendesain kaos sendiri.

Bagi anda yang ingin bertanya atau melakukan pemesanan bisa menghubungi 0852-2205-8683 atau pin BBM 794906C5.

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 37

RESENSI 12Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Martini, pagi itu sudah duduk di muka pintu rumah kayunya sambil melihat murid-murid sekolah dasar yang mulai berdatangan. Sesekali ia melempar senyum pada mereka yang tak lain adalah anak didiknya. Para murid itu, datang mengenakan sera- gam putih yang sudah agak kecokla-tan dengan kaki yang dialasi sandal jepit.

“Jadi kita adalah negara Indonesia atau disebut NKRI. Apa itu NKRI?” tanya Martini pada mereka dalam sebuah upacara bendera pagi itu. “Negara Kesatuan Republik Indone-sia,” sebagian kecil di antara mereka menjawab, sementara sisanya hanya diam. melongo. Tak memperhatikan. Atau memang tidak mengerti apa yang ditanyakan gurunya itu.

Sekolah Dasar Negeri 14 Badat—begitu tertulis di papan nama yang menempel di dinding sekolah—ber- ada di dusun Badat Baru, Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat—se-buah dusun terluar di perbatasan In-donesia-Malaysia.

Bangunan sekolah itu sebagian besar berbahan dasar kayu. Memili-ki tiga ruangan yang masing-masing sekat ruangannya terdapat pintu un-tuk keluar-masuk Martini memberi pelajaran pada semua kelas. Di seko-lah itu, Martini menjadi satu-satunya pengajar, sekaligus menjabat kepala

sekolah. Ia hanya dibantu satu staf yang bertugas mengontrol kelas jika Martini memberi pelajaran di kelas lainnya.

Tiga ruangan kelas yang ada di se-kolah itu,disekat oleh pintu untuk ke- luar masuk. Dengan itu, Martini bisa

dengan mudah memberikan pelajaran pada seluruh kelas.

“Saya (mengajar) di sini karena memang betul-betul membutuhkan seorang guru. Betul-betul membutuh-kan seorang pendidik,” ujar Martini yang sudah delapan tahun menjalani profesinya itu.

Martini asli warga Semanggit, Ke- camatan Entikong. Dari semanggit menuju Badat, Martini harus mene-mpuh perjalanan sungai selama 8-12 jam dengan menggunakan sampan yang menjadi satu-satunya alat trans-portasi yang menghubungkan bebera-pa desa di Kecamatan Entikong.

Di Badat, ia tinggal di sebuah ru-mah kayu hampir lapuk yang tidak jauh dari sekolah tempatnya me- ngajar. Hanya berjarak beberapa me-ter dari sekolah. Rumah itu Martini dapat dari dinas pendidikan setempat karena rumah tempat ia tinggal bera-da jauh dari sekolah.

Pendidikan, adalah sedikit dari sekian banyak persoalan bagi warga di banyak dusun di Entikong. Kisah lain datang dari Kusnadi, suami Mar-tini yang berprofesi sebagai mantri. Kusnadi adalah warga Dusun Suru Enkaduk, Prapatsam, Entikong. Ber-beda dengan sang istri yang banyak mengabdikan diri dalam ruangan, sebagai mantri, Kusnadi harus pergi dari satu desa ke desa lainnya dengan berjalan kaki.

Seperti halnya pendidikan, keseha-

tan juga menjadi barang mahal di ba- nyak dusun di Entikong. Dusun Gun Jemak salah satunya. Minimal sekali dalam sebulan, Kusnadi mendatangi dusun itu untuk memberi pelayanan kesehatan pada warga. Karenanya, kedatangan Kusnadi ke dusun itu te- lah menjadi anugerah tersendiri bagi warga di sana.

Betapa tidak, untuk memperoleh pelayanan kesehatan saja, warga Gun Jemak harus pergi ke pusat Keca-matan Entikong dengan berjalan kaki, dan menyusuri sungai selama 4-5 jam. Dalam sekali perjalanan itu, mereka harus mengeluarkan uang Rp 1-2 juta. Mulai untuk membayar transportasi perahu, ojek, makan, dan minum se-lama perjalanan.

Cerita dari Tapal Batas merupakan film dokumenter yang meneropong kehidupan warga di beberapa dusun di Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Film produksi Keana Production ini mengangkat se-buah pola hidup, budaya, dan tradisi kehidupan warga negara Indonesia di daerah perbatasan.

Lewat film berdurasi 57 menit ini, Wisnu Adi, sang sutradara melihat

bahwa pendidikan, transportasi, atau kesehatan hanya beberapa dari seki-an banyak masalah itu. Wajar, jika yang demikian itu berpengaruh pada perekonomian warga di sana. Merasa terisolir, walhasil tak sedikit penduduk yang akhirnya mencari akses ke negeri tetangga (Malaysia) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masalah in-frastruktur menjadi persoalan lumrah bagi banyak warga di sana.

Sayangnya, bukan hanya kebutu-han pokok yang mereka cari di sana, bahkan tak sedikit warga dusun sekitar perbatasan yang akhirnya beralih war-ga negara. Pada 2011 silam, Equator, salah satu media lokal di Pontianak, Kalimantan Barat mencatat seban-yak 61 penduduk Dusun Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Entikong, berpindah menjadi warga negara Ma-laysia. Dan benar, faktor minimnya infrastruktur di negeri sendiri menjadi sebab utama banyak di antara mereka yang akhirnya kepincut pada negara tetangga.

“Saya memang warga negara In-donesia, tapi saya tidak kenal Indone-sia,” ujar salah satu warga yang tidak disebutkan namanya itu.

Tubuh Marsinah, buruh wanita itu ditemukan tewas di hutan wilayah Nganjuk, Jawa Timur pada 8 Mei 1993 silam. Oleh banyak pihak, kematian buruh di PT. Catur Putra Surya (CPS) masih menyimpan misteri sampai 21 tahun pascakematiannya. Masih belum jelas siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Marsinah.

Mayat Marsinah yang saat itu penuh luka kemudian diautopsi. Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Nganjuk dan RSUD Dr. Soetomo terlibat dalam pe-meriksaan mayat Marsinah. RSUD Nganjuk menerbitkan visum et reper- tum (VR) yang menyimpulkan akti- vis buruh Orde Baru itu tewas karena pendarahan dalam rongga perut. Se-dangkan RSUD Dr. Soetomo, menga-takan Marsinah tewas karena kekerasan benda tumpul.

Dalam VR, mestinya dijelaskan jenis kekerasan yang dialami korban, bukan bendanya. VR juga harus menyebut penyebab kematian, seperti tusukan atau cekikan, bukan cara kematian se- perti pendarahan, kehabisan nafas, atau kecacatan organ tubuh dalam. Simpu-lannya, hasil VR yang diterbitkan RSUD Nganjuk dan RSUD Dr. Soetomo dinilai tak lazim.

Seorang dokter ahli forensik Indo-nesia, Abdul Mun’im Idries kemudian memiliki kesimpulan berbeda dengan kedua VR yang diterbitkan kedua ru-mah sakit itu. Mun’im, menyimpul-kan tulang kemaluan Marsinah hancur berkeping-keping karena luka tembak,

bukan kekerasan benda tumpul sep-erti yang yang disimpulkan RSUD Dr. Soetomo.

Lain lagi dengan kasus kematian Soekarno. Presiden Indonesia perta-ma ini meninggal di Wisma Yaso pada Juni 1970. Kesimpulan tim dokter yang menangani Bung Karno menyatakan, ia meninggal karena penyakit ginjal yang sudah lama dideritanya. Menurut mere-ka, fungsi ginjal yang hanya tinggal 25% menyebabkan Soekarno semakin lemah karena terus menerus mengonsumsi obat-obatan.

Bukan hanya faktor kesehatan fisik yang ternyata menjadi penyebab ke-matian Sang Proklamator, Mun’im me- nyimpulkan, pengucilan dan perhatian yang kurang juga menjadi salah satu penyebab kematian Bapak Proklamator itu. Saat itu, Bung Karno memang seo-lah sengaja diabaikan dengan tinggal di wisma. Dengan kata lain, Bung Karno sengaja dibunuh perlahan dengan cara penekanan secara psikologis.

Kedokteran forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang digunakan da-lam membantu penyidik mengungkap penyebab kematian seseorang. Inilah salah satu cara ilmiah untuk mengung-kap kebenaran dalam proses peradilan.

Mun’im Idries banyak menangani kasus kematian tak wajar. Melalui keah-liannya, ia mencoba menjadi saksi ahli dan memberikan penilaian tentang suatu tindak pidana. Dalam perjalanan-nya, tak jarang pernyataannya menim-bulkan kontroversi.

Selain kematian Marsinah dan Soekarno, dalam buku X-Files, Mun’im juga memberi kesimpulan berbeda terhadap kematian salah satu pejuang Hak Asasi Manusis (HAM), Munir Said Thalib yang meninggal dalam perjala-nan menuju Amsterdam Belanda keti-ka hendak melanjutkan studi S2-nya di sana, 2004 silam.

Menurut Mun’im, dalam bukunya, Munir meninggal karena racun arsenik yang dituangkan dalam kopinya ketika singgah di bandara Changi, Singapura. Kesimpulan itu berbeda dengan kesim - pulan awal, bahwa racun arsenik itu dituangkan dalam jus jeruk saat Munir berada dalam pesawat.

Mun’im juga melakukan penelusu-ran terhadap kasus yang terkesan di-tutup-tutupi itu. Misalnya, ia merasa janggal pada Pollycarpus yang saat itu mengaku ditugaskan mengecek keadaan peswat, padahal ia seorang pilot, bukan teknisi. Selanjutnya, dari sekian ba- nyak kamera CCTV di bandara Soekar-no-Hatta hanya dua yang berfungsi, Mun’im kemudian menjelaskan adanya keterlibatan pihak Garuda dan pihak lain dalam kasus ini.

Dalam buku setebal 334 halaman ini, Mun’im Idris juga mengungkap bagaimana kejamnya psikotropika dapat merenggut nyawa banyak orang. Tak lama setelah pengungkapan kasus-ka-sus janggal dalam buku yang terbit pada Juni 2013 , Mun’im meninggal pada Ok-tober 2013—lima bulan pasca buku itu terbit.

Di balik mereganganya nyawa seseorang kadang masih tersimpan banyak misteri: terbunuh atau dibunuh. Melalui pisau tajam forensik, Mun’im Idries mencoba mengupasnya satu per satu.

Menyusuri Cerita Pahit di Balik Kematian

Sum

ber:

Inte

rnet

Hidup di perbatasan dan jauh dari pusat kota, membuat sebagian besar penduduk Entikong lebih banyak mendapat akses kehidupan dari negeri seberang—Malaysia. Film ini mengisahkan sebuah dikotomi hitam-putih kehidupan rakyat di perbatasan.

Thohirin

Sum

ber:

Inte

rnet

Erika Hidayanti

Kisah Rakyat di Perbatasan

Sum

ber:

Inte

rnet

Judul : Indonesia X-Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian MunirPenulis : dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.FPenerbit : Noura BooksCetakan : Juni, 2013Tebal : 334 hlm

Judul: Cerita Dari Tapal Batas

Sutradara: Wisnu Adi

Tahun: 2012

Durasi: 57 menit

Genre: Dokumenter

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 37

SOSOK 13Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Terpilih menjadi runner up 2 Putri Muslimah Indonesia tahun 2015 meru- pakan pengalaman berharga bagi gadis kelahiran Jakarta, 22 tahun lalu itu. Bun-ga Ade Tama mengaku ditantang agar memiliki mental yang kuat dan pengeta-huan yang luas. Selain itu, ia juga merasa bakatnya terasah dengan kontes tersebut.

Bunga, biasa ia dipanggil, menjadi salah satu perwakilan dari Jakarta pada kontes yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Setelah mendaftar pada ajang itu, ia mengikuti tahap demi tahap tes yang harus dijalani.

Pada tahap awal, ia menjalani tes tu-lis berisi 25 soal pilihan ganda dan lima soal esai. Ia mengatakan, pertanyaan yang diberikan seputar tajwid, surat da-lam Alquran, dan pengetahuan umum. Sedangkan, soal esai itu berisi pendapat tentang isu-isu terkini seputar jilboobs, ISIS, dan lainnya.

“Sebenarnya dalam tes tulis ini aku enggak kesulitan. Tapi ketika hanya diberikan waktu 10 menit, kita semua kelabakan,” ceritanya, Jumat (22/5). Setelah dinyatakan lolos pada tahap tu-lis, ia langsung menjalani tahap wawan-cara dengan pihak produksi.

Wawancara ia mulai dengan mem-perkenalkan diri sebagai Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Lalu, juri bertanya mengenai pengetahuann-ya sesuai dengan latar pendidikannya. Salah satu kasus psikologi yang ditanya-kan terkait anak autis. “Selain itu, mere-ka juga memintaku untuk berbicara

Rasa minder sempat membuatnya tidak semangat menjalani masa karantina. Namun seiring dukungan yang terus berdatangan, akhirnya ia melaju ke babak final.

Nur Hamidah

Keramaian suara siswa di kelas berdinding bambu itu terdengar jelas. Antusias kedatangan gu-ru-guru baru menjadi daya tarik tersendiri bagi para siswa di se-kolah pedalaman. Para guru baru tersebut berkenalan, bercerita, mengajar, dan membagikan ha- diah berupa peralatan sekolah.Rona kegembiraan terlihat dari

wajah para siswa karena diha- diahi buku tulis dan pensil baru. Semangat untuk belajar semakin tergambar dari nada bicara siswa pada para guru barunya yang ma-sih muda.Bagi guru-guru tersebut, usia be-

lia tak menjadi penghalang untuk mengajar di daerah pedalaman yang minim infrastruktur dan jauh dari akses informasi serta transportasi. Bagaimana tidak, pendidik berusia 17-35 tahun itu sampai harus merogoh kocek sendiri untuk biaya akomodasi perjalanan dan keperluan menga-jar.Awalnya founder komunitas ini,

Jemi Ngadiono membagikan cerita tentang kehidupan anak sekolah pedalaman saat dirinya bertugas menjadi videographer film dokumenter di luar kota. Respon

positif pun diterima Jemi dari masyarakat pengguna media so-sial setelah ia membagikan video tersebut melalui Youtube, Twitter, dan Instagram.Komunitas 1000 Guru didirikan

untuk mengajak anak muda agar menjadi pengajar di pelosok ne- geri. Salah satu program komu-nitas ini adalah program Teaching and Travelling (TNT), di mana para guru dapat mengajar anak-anak pedalaman sambil jalan-jalan berwisata alam.“Anak muda sekarang banyak

yang suka travelling, tapi mere-ka enggak memikirkan bahwa di sekitar tempat travelling ada yang membutuhkan uluran tangan,” jelas Tuti Alawiyah, salah satu tim inti komunitas yang berdiri sejak Agustus 2012 itu, Rabu (20/5).Konsep komunitas ini dituju-

kan untuk pemuda-pemudi yang memiliki rasa kepedulian tinggi. Meski biaya program dibebank-an kepada peserta, tak sedikit orang yang ingin bergabung. Program TNT yang ditargetkan rutin setiap bulan, kata Tuti, melibatkan 30 peserta untuk satu kali acara.Untuk mengatasi banyaknya pe-

serta, pendaftaran hanya dibuka dalam waktu singkat, misalnya dua atau tiga hari. Tak ada penye-leksian untuk peserta pendaftar menjadi pengajar. Namun, me- reka yang sehat fisiknya, peduli pada pendidikan dan memiliki penghasilan, maka peserta itu ber-peluang untuk bergabung dalam komunitas ini.Tuti mengatakan, “Kalau orang

mau daftar, berarti ia ingin mem-bantu dan berbagi. Jadi kita tidak menyeleksi peserta dengan ketat.” Hal itu pula yang dijadikan prin-sip oleh founder komunitas yang berpusat di Jakarta ini. Program TNT paling tidak menghabiskan waktu 3 hari yaitu pada Jumat, Sabtu, dan Minggu.Pada program TNT, peserta

dibagi menjadi enam kelompok yang masing-masing terdiri dari lima orang. Setiap kelompok di-tugaskan mengajar di kelas yang berbeda-beda. Materi ajar yang diberikan pun bebas dan selalu menggunakan alat peraga.Setiap pengajar melakukan

pendekatan kepada para siswa dengan menggunakan metode dis - kusi dan sharing. Pengajar juga memotivasi semua siswa di kelas

agar terus semangat belajar. Hadi-ah seperti buku dan alat tulis pun dibagikan cuma-cuma kepada siswa.Selain TNT, 1000 Guru juga

memiliki program lain yaitu Bea-siswa Guru Pedalaman dan Hor-mati Gurumu. Beasiswa tersebut ditujukan untuk guru lokal yang berdedikasi tinggi di sekolah pe-losok namun tak mendapat gaji layak. Sedangkan program Horma-

ti Gurumu dilaksanakan untuk anak-anak sekolah di Jabode-tabek. Program ini merupakan moral campaign yang menekankan bagaimana siswa-siswa menghor-mati guru saat di sekolah. Niat mulia peserta rupanya tak

sebatas sampai program dilak-sanakan. Beberapa alumni 1000 Guru tetap memantau kondisi se-kolah yang pernah dikunjunginya.

Hal itu dapat dilakukan secara pribadi atau mengatasnamakan komunitas 1000 Guru.Tak hanya itu, banyak peserta

yang dulunya bergabung mena- warkan diri untuk membuka cabang regional 1000 Guru. Itu-lah yang kemudian menyebabkan komunitas ini kini mempunyai 16 cabang yang tersebar di beberapa kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan NusaTenggara Timur (NTT). Tak cukup 16 cabang, saat ini alumni peserta tengah membuka cabang di Papua.Dengan tersebarnya cabang di

beberapa kota, Tuti menghara-pkan eksistensi komunitas ini tetap terjaga. “Menjaga eksisten-si setiap cabang membutuhkan usaha yang susah. Maka, kita tak menargetkan banyak cabang yang berdiri,” jelas Tuti saat ditemui di kantornya.

Pendidikan hakikatnya dibutuhkan oleh semua insan tanpa kenal jarak dan waktu. Pula, posisi pengajar men-jadi sosok penting dalam kegiatan belajar mengajar.

Maulia Nurul

Nama : Bunga Ade TamaTtl : Jakarta, 17 September 1993Jurusan : Psikologi (2011)Fakultas : PsikologiSemester : 8Riwayat pendidikan : - Mts 3 Pondok Pinang - SMAN 29 Jakarta - UIN Jakarta

Melawan Rasa Takut

dengan menggunakan bahasa asing,” tambahnya.

Menguasai dua bahasa asing –Inggris dan Jepang— membuat gadis bungsu dari empat bersaudara ini pun semakin memukau di mata juri. Selain kemam-puan berbahasa asing, ia menampilkan tari Praben Radin yang dipadukan de-ngan gerakan Taekwondo dalam malam bakat.

Gadis yang mengagumi sosok Soekar-no ini berujar, tarian berasal dari Jawa Timur itu memiliki gerakan-gerakan yang dibuat kaku, sehingga menyerupai taekwondo. Demi pertunjukkan yang sempurna, Bunga butuh waktu satu minggu untuk mempersiapkan penampi-lannya.

“Awalnya sih sempat minder juga kare-na peserta lain punya banyak bakat yang keren. Ditambah malam bakat itu menja-di titik poin seorang peserta masuk 10 be-sar atau tidak. Tapi aku coba menampil-kan tari Praben Radin dengan baik.”

Tak banyak yang tahu, gadis kelahiran 17 September ini telah menekuni dunia taekwondo sejak SMP. Ia juga sudah meraih sabuk biru slip merah. Sebelum-nya, emas dan perak telah ia raih pada Modus Open yang diselenggarakan di Popki, Cibubur tahun 2010.

“Dulu sempat ikut Hapkido—gabun-gan dari Jujitsu, takewondo, dan ka-rate—sampai sabuk biru, tapi keluar. Sebelumnya juga masuk ke kelompok taekwondo sampai sabuk kuning,” ujar-nya. Sebelum akhirnya vakum dari

dunia beladiri, Bunga sebenarnya sangat ingin melanjutkan ke tingkat sabuk yang lebih tinggi. Namun, kini ia hanya dapat latihan beberapa kali saja dalam satu minggu karena kesibukannya yang lain.

Memiliki bentuk fisik yang ideal dan pengetahuan yang luas belum juga mem-buat Bunga percaya diri menghadapi kontes ini. Ia mengaku rasa minder yang kerap kali datang membuatnya tidak bersemangat. Namun, ia teringat sosok sang ibu yang selalu menyema- ngatinya dan ikut berjuang dari awal kontes hing-ga masuk masa karantina. “Cuma Ibu, yang bisa memompa semangat aku sam-pai saat ini,” tegasnya.

Di saat peserta lain memimpikan ke-menangan dalam kontes ini, tidak hal-nya dengan Bunga. Awalnya ia tidak berniat mengikuti ajang Putri Muslimah Indonesia ini. Namun, orang tua dan teman-temannya menyarankan agar ia juga ikut mendaftar. Akhirnya, setelah melalui proses seleksi dan masuk dalam tiga besar, Bunga mendapat banyak pe-lajaran.

“Aku jadi paham bagaimana meng-hargai waktu. Dengan bertemu banyak orang yang memiliki potensi yang bagus, Aku juga belajar bagaimana menimbul-kan rasa percaya diri,” terang-nya. Selain menjadi runner up 2 Putri Muslimah In-donesia, Bunga juga pernah mengikuti ajang Muslimah Model Icon di Indone-sia Fashion Week tahun 2015. Ajang ini merupakan pertama kalinya ia terjun ke dunia fashion.

Anak-anak SD Moro Dewe, Kabupaten Mesuji, Lampung menyambut hangat kedatangan pendidik dari komunitas 1000 Guru. Komunitas ini rutin mengadakan program bersama anak-anak sekolah.

Pengajar Muda Peduli Anak Pedalaman

Sum

ber:

inst

agra

m.

Bunga Ade Tama

Dok.

Prib

adi

Komunitas

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 37

SASTRA 14Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

PalsuOleh: Uus Mustar*

Kurasa tak cukup kata untuk menyanjungmu dan mencelamu.Tanah mana yang kaya akan sumber dayaTanah mana yang kaya akan budayaTanah mana yang kaya akan agamaTanah mana yang tak sadar orang-orangnyaTanah mana yang selalu melarat rakyatnya

Aku berkata:Indonesia milikku dan milikmuWarisan orang terdahulu.Manusia mana yang terbuka dadanyaManusia mana yang bermoral muliaManusia mana yang tak pantas berkata:“Kamilah pemilik tunggal negara ini”Itu diaIndonesia dengan baju kotornyaTanah surga di tengah bara neraka.

Komunal adalah jiwanyaTak pernah ada pagar di depan rumah dan pesantrennyaAku adalah kamu, kamu adalah akuSilakan ambil ituKeganasan, tantangan, hutan, lautan,adalah rumah dan hidupnya.

Indonesia tidak lagi menjadi dirinyaDirinya sudah tak terupaRupa yang mana?Para manusia yang selalu mencium tanahmya yang basahPara manusia dengan jiwa maritimnyaPara manusia yang bersahabat dengan senyum dan tawa

Ternyata mereka sedang kerasukanbengisnya hantu-hantu baratDengan senjata teknologi di tangannyaKerasnya tipu daya padang pasirDengan baju agamanyaMenjadikan lautan kering kerontangbening air laut menjadi keruh penuh darah para simbolis

Manusia Indonesia yang sedang tak sadarSadarlah kau, padang cahaya mencarimumencari jiwa dahulu

Baju Kotor Indonesia

*Penulis adalah anggota Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci)

Cerpen

Puisi

Oleh: Ihya Ulumuddin*

Sum

ber:

Inte

rnet

Kau jatuh cinta padanya sejak pan-dangan pertama, entah berapa tahun yang lalu. Valla, namanya—nama yang kau berikan padanya—sebuah viola. Ya, agaknya memang terdengar tak wajar. Kau jatuh cinta pada viola, sebuah alat musik gesek yang berasal dari dunia Barat. Bukan jatuh cin-ta pada manusianya, tapi instrumen musik.

Namun, bukankah setiap orang memiliki cintanya masing-masing? Kau pun begitu, kau berhak mencintai Valla, sebuah viola.

Kini usahamu untuk mendekatinya telah berhasil. Bersama dengan seseo-rang yang kau pandang sebagai dokter alat musik gesek, kau membeli viola dari sebuah toko musik di mall kota. Mahal memang, maka itu kau anggap sebagai salah satu bentuk pengorba-nanmu untuknya. Uang yang terkum-pul dari hasil kerja selama setahun rela kau keluarkan, untuk membuatn-ya menjadi dekat padamu. Agar kau dapat bercumbu mesra dengan Valla.

Valla sudah berada di tanganmu. Kau amati detail tentangnya, lembut

halus kulitnya, lekak-lekuk tubuhnya, getaran suaranya sampai kau menger-ti benar akan dirinya.

Kau begitu dekat dengan Valla. Hampir tiap hari kau relakan waktu bersama untuknya, di antara padat aktivitas harianmu. Setengah hingga dua jam, waktu yang lumayan banyak untuk menemuinya, menurutmu. Kau bahkan menyesal jika dalam sehari tak bertemu, bermesraan dengannya. Begitu tuturmu.

Sejumlah orang yang tak begitu ke-nal baik dengan Valla, selalu kagum padamu. Betapa besar cintamu padan-ya. Kau disanjung, dipuja-puja. Kau nikmati pujian itu, melayangkanmu entah kemana. Kebersamaan tanpa syarat, komentar mereka. Naman-ya juga cinta, ujarmu mencoba mer-endah.

Empat bulan, lebih barangkali, kau sudah akrab dengannya. Kau juga sering bepergian besamanya. Tanpa malu, tanpa ragu. Katamu, kau sudah lihai membelai lehernya dengan ram-but ekor kuda. Kau pun bangga akan hal itu. Cintamu pada Valla kian ber-

bunga.Tiba di sore di mana kau terbu-

ru-buru karenanya. Mengejar waktu untuk menemui dokternya, dokter alat mu s i k gesek. Jam dua, dokter a k a n beranjak pergi d a r i t e m -

p a t yang telah di-tentukannya. Kau kayuh sepeda secepat yang kau mam-pu, berusaha sampai sebelum dokter meninggalkan tempat kerja, pindah ke klinik lain, kata dokter.

Beruntung, waktu memberikan

kemurahan hati. Kau datang saat dok-ter tampak hendak pergi, meski me-mang waktu belum memperlihatkan angka dua. Mendung, jawab dokter saat kau bertanya mengapa tergesa.

Sebenarnya, kau tak hendak me-meriksakan dirinya pada dokter. Kau datang untuk memenuhi panggilan-

nya. Tapi tanpa kau minta, dokter mengambil Valla dari wadah dan mengam-

atinya, seolah sedang me-meriksa pasien. Ia mengam-

bil bow, penggeseknya. Lalu dokter membunyikan setiap

senar, memastikan bunyi yang dihasilkan pas dengan nada.

Dengan tiba-tiba dokter memberikan Valla kepadamu.

Kau tahu apa maksudnya. Ia in-gin tahu cintamu pada Valla. Aura

tegang dan canggung menyelimuti. Di waktu yang sempit itu kau harus

yakinkan dokter bahwa kau benar-be-nar mencintainya. Gugup, kau pun membuktikan cintamu padanya.

Selesai, tak sampai satu menit.Dokter berujar sederhana, menang-

gapi bukti cintamu. “Dia masih me-nutup diri.” Dokter diam sebentar, lalu melanjutkan, “Ataukah kau yang belum sepenuhnya ada untuknya?” Bagai tersiram ribuan debit hujan di mendung yang masih menggantung. Kau terjaga dari tidur hasil buaian semilir angin di bawah pohon rin-dang, sedang sekitar panas membakar.

“Ini pr-mu, buatlah ia mencin-taimu. Tak sekadar cinta remaja pi-cisan, cinta monyet.” Tambah dokter. Lalu dokter pun berlalu, meninggal-kanmu yang masih termangu.

“Nikmati saja,” ucap teman pada-mu. Sedang kamu tertawa menang-gapi ucapan kawan yang bermaksud menghiburmu. Tawa getir atas hati yang tertusuk sembilu.

Kau mengerti maksud dokter. Itu berarti kau perlu jalin hubungan den-gannya mulai dari nol lagi. Kau sadar, cintamu pada Valla, instrumen musik itu, masih palsu.

Tayu, 30 Januari 2015*Penulis adalah mahasiswi

Jurusan Bahasa Sastra dan Arab, Fakultas

Surat Pembaca

Saya Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan (FITK) merasa ter-ganggu dengan toilet fakultas yang belum juga diperbaiki. Petugas kebersi-han mungkin bisa lebih cepat menanganinya.

085642537XXX

Saya Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) meminta agar wi-fi di fakultas tidak dimatikan. Pasalnya, mahasiswa sangat membutuhkannya untuk mengerjakan tugas.

083895696XXX

Saya Mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) berharap agar stop kontak di kelas diperbanyak. Hal ini kami butuhkan saat hendak presentasi.

083182491XXX

KomaOleh: Indah Khairil Bariyah*

Entah berapa episode dibumbui dengan tangisan yang pahitMenelusuri jejak-jejak nestapa yang menyelimuti diri Mengenang untaian bunga dan tepuk tangan riuh sang zaman Mengingat memoar manis jepretan kameramen ternama Untaian nada indah yang sempat ku dendangkan

Mengisi dan mengelabui hati para pendengar Para penikmat rasaPara pemuja nafsu Tanpa helaan nafas untuk mundur

Berfikir bahwa hidup tak ada koma Terus panjang sampai bertemu titik Namun, saat ku temukan kehidupan jalanan Koma menjadi jembatan yang menyadarkan Di antara reruntuhan bangunan dan bongkahan batu kasar, besar Aku terhimpit, dada terasa sakitDan ku temui jalan menuju kematian Namun ku sadari, ini bukan jalan yang indah untuk pulangTanpa kemenangan

Tanpa sertifikat peserta ujian kehidupan Tanpa medali tanda kemenangan Tanpa apapun bentuk penghargaan Setetes darah suci pun tak hadir, tak ada di tubuh

Hanya bau busuk tumpukan sampah menghiasi badan Karena ... jika ku dapati kata lulus itu sangat mudah Namun untuk mencapai kejujuran itulah sulit Mati dengan cara yang jujur

Meninggalkan kenangan tanpa kebohongan Tanpa syarat membayar catatan kematian mulia Atau membayar petugas gali kuburan palsuHanya mungkin bukan aku sendiri yang menikmati koma menuju kehidupan abadi.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiah (FDI)

Belasungkawa,Kembang Api, dan Pesta Pora

Oleh: M. Adhi kurnia*

Rabu dini hari menuju pukul 12Kembang api, petasan dan polusiAku duduk dengan buku tokoh dekonstruksiBetapa pilunya langit malam iniBerita duka dari seberang sana

Masih hangat tapi tak sepanas api kembang apiTak sepanas bara panggangan malam iniAku hanya mengumpat, maafkan kamiSelamat jalan saudara sebangsa kamiMaafkan saudaramu yang angkuh ini

Bukannya doa yang kami lepaskan ke atas awanMalah bunga-bunga api dengan kebanggaan duniawiMaafkan kami yang terlenaAku berharap dalam doa, semogaKalian tenang di alam sanaMereka tabah dengan dunia

Aamiin.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH).

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 37

SENI BUDAYA 15Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015

Setiap orang mempunyai arti cinta masing-masing. Begitu pun cinta Nyonya pada Tony.

“Maaf tuan,” ujar dokter kepada Tuan.

“Tak ada jalan lain dokter?” Tuan berharap dokter bisa menemukan jalan lain demi kesembuhan Tony.

“Tidak ada. Ini bukan karena penya-kit, tapi karena usianya yang sudah tua,” terang dokter.

Mendengar percakapan suaminya dengan dokter, Nyonya sangat kesal. “Pokoknya sembuhin dia!” bentak Nyonya pada suaminya. Nyonya ber-debat hebat dengan sang suami. Ia be-gitu kesal karena Tony terbaring sakit dan tak kunjung sehat.

Sorot lampu mulai meredup dan bersinar kembali menyoroti panggung, menandakan hari telah berganti. Pro-fesor berambut putih dan berkacama-ta tebal dengan kedua asisten wanita ber-makeup tebal mengunjungi rumah Tuan dan Nyonya.

Nyonya langsung melontarkan pertanyaan, “Apa Prof. bisa menyem-buhkannya?” profesor kemudian

menyarankan Tuan dan Nyonya agar percaya akan adanya harapan untuk kesembuhan Tony. “Tuan dan Nyo-nya harus percaya Tony akan sem-buh. Kalo percaya Tuhan, kita harus pasrahkan semua ini kepada-Nya. Mungkin sembuh,” terangnya kepada Tuan dan Nyonya.

Dari dokter, profesor, hingga dukun mereka datangkan demi menyembuh-kan Tony. Tapi, semua usaha yang mer-eka tempuh tak membuahkan hasil.

Tony adalah seekor anjing yang sakit lantaran usianya tak lagi muda. Tony jadi anjing setia menemani Nyo-nya karena Tuan selalu sibuk dengan pekerjaannya setiap hari. Meski Tony sudah tua, Nyonya amat cinta dengan anjingnya itu. Tidur bersama Tony pun jadi hal biasa.

Sedikit demi sedikit Nyoya mulai tak waras. Ia tak henti berharap agar Tony terus hidup dan dapat kembali menemani keseharian Nyonya.

Walhasil, Tuan sedih melihat ting-

kah laku istrinya. Sesekali ia pasrah kepada Tuhan akan kelakuan istrinya yang irasonal karena terlalu sayang pada seekor anjing. Lebih dari itu, sebetulnya Tuan sangat sayang pada Nyonya. Setiap pekerjaan yang ia lakukan hanya untuk membuat istrin-ya hidup dengan layak.

Semakin hari, kemarahan Nyonya semakin memuncak. “Apa yang ter-jadi denganmu? Sepertinya kamu su-dah berubah sekarang. Kamu terlihat menyeramkan!” bentak Nyonya pada suaminya. Tuan pun terdiam.

Sementara itu, di balik cek-cok Tuan dan Nyonya, hidup pula Otong dan Wilem, dua orang pembantu yang setia pada Nyonya dan Tuan. Mere-ka sempat-sempatnya menjalin cinta di tengah kesedihan dan keluh kesah majikannya. Meski begitu, Otong dan Wilem jadi sosok yang membuat pe-nonton Teater Kecil Taman Ismail Marzuki tertawa karena kocaknya tingkah laku mereka.

Gara-gara terlalu sibuk melayani majikan dan menggoda Wilem, Otong lupa dengan istri dan bayin-ya yang sedang sakit keras. Seketika, pengunjung dibuat terkejut ketika muncul seorang pemuda mengabari Otong jika bayinya meninggal. Tak hanya itu, seorang gadis juga meminta Otong untuk menikahinya karena se-dang mengandung buah hati Otong. Otong pun memutuskan menjadikan gadis tersebut istri kedua dan Wilem sebagai istri ketiganya.

Tingkah laku Otong yang meng-hebohkan penonton tak dihiraukan Nyonya. Kondisi Nyonya semakin terpuruk karena kematian anjing ke-sayangannya. Setelah kepergian Tony, Nyonya tetap meminta Tuan untuk mengumumkan kematian Tony ke-pada tetangga, kerabat, hingga war-tawan. Drama berjudul Kisah Cinta Dan Lain-Lain (KCDLL) itu ditutup dengan tangisan Nyonya yang tak bisa merelakan kepergian Tony.

Salah satu pemain KCDLL, Bimo Ardev mengatakan, drama yang me-makan tiga bulan persiapan tersebut mengadaptasi naskah karya Arifin C. Noer. “Drama yang kami pentaskan ingin menyampaikan jalinan cinta pada setiap mahluk,” ujar pemeran Tuan dalam KCDLL ini, Rabu (20/5).

Bimo menambahkan, makna cin-ta yang ditampilkan bukan hanya menampikan cinta sesama manusia. Lebih dari itu, lanjutnya, drama terse-but juga menyampaikan pesan akan kasih sayang kepada setiap makhluk hidup.

Salah satu pengunjung, Ali Furon, mengaku kagum dengan pementasan pementasan ke-46 Seni Teater Ma-hasiswa Bina Nusantara (STMANIS) ini. “Meski baru pertama kali nonton teater, pementasan tadi sih keren. Saya bisa menangkap pesan apa yang ingin disampaikan,” ujar Mahasiswa Teknik Infomatika, Bina Nusantara itu, Rabu (20/5).

Syah Rizal

Foto

: Arie

f/JL

didapat mahasiswa kelas internasi-onal. Selain itu, tambah Agus, mer-eka juga seharusnya dapat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di negara mitra (Malaysia, Australia, dan Jer-man), serta double degree di Interna-tional Islamic University of Malaysia (IIUM) dan Deakin University Aus-tralia.

Terkait pengantar Bahasa Inggris yang tidak digunakan dosen di kelas internasional FST, lanjut Agus, itu karena beberapa dosen kelas interna-sional belakangan merasa keberatan lantaran gaji yang diterima sepadan dengan besaran gaji yang diterima dosen reguler. “Terakhir dosen-dosen kelas internasionalnya pada kom-plain karena mereka sudah english ad-dict (sepenuhnya berbahasa Inggris) tapi gaji yang diterima sama saja den-gan dosen reguler,” papar Agus.

Namun, salah satu dosen TI Inter-

Sambungan Servis Lokal Kelas Internasional ...

BACA, TULIS, LAWAN!

nasional, Yuditha Ichsani, mengaku dirinya hingga kini masih meng-gunakan pengantar Bahasa Inggris bagi mahasiswa internasional di ke-lasnya. Hanya saja, ada perbedaan antara mahasiswa semester atas dan semester bawah. Bagi mahasiswa se-mester atas, saat mengajar, Yuditha sepenuhnya menggunakan pengan-tar Bahasa Inggris, sedangkan bagi mahasiswa semester awal dengan bilingual (dua bahasa). “Soalnya ma-hasiswa baru belum fasih berbahasa Inggris baik pasif maupun aktif,” ujar Yuditha, Jumat (22/5).

Sama halnya Yuditha, menurut salah satu dosen Prodi Manajemen Internasional FEB, Sri Hidayati, dosen yang mengajar di kelas inter-nasional wajib sepenuhnya berbaha-sa Inggris. Kecuali, jika mahasiswa kesulitan untuk memahami materi, maka ia akan menerapkan bilingual.

Itu pun hanya untuk memperjelas.Tercatat, TI Internasional sem-

pat mengalami masa keemasan saat Ghiyast dan rekannya pada 2011 mendirikan Himpunan Internasional (Himter). Saat itu, mereka menuntut dekanat menyediakan fasilitas yang seharusnya diperoleh mahasiswa in-ternasional. Semisal, AC dan jaringan internet di lobi, serta field trip tiap tahunnya. “Waktu itu angkatan gue field trip-nya ke CISCO, Indonesia Data Center (IDC), dan LIPI Band-ung,” terang Ghiyast.

Nahas, masa itu tak bertahan lama. Satu tahun berikutnya, saat Ghiyast dan rekannya mengikuti vis-iting study ke IIUM Malaysia, satu per satu fasilitas sudah mulai tak dira-sakan. Di sisi lain, semangat anggota Himter untuk mempertahankan fasili-tas juga mulai menurun. Puncaknya saat pergantian dekan pada 2013:

Cinta Irasional

Otong dan Wilem hanya menunduk saat melihat Nyonya me-marahi Tuan. Begitulah salah satu adegan drama Kisah Cinta Dan Lain-Lain karta STMANIS di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu (20/5).

staf administrasi diberhentikan, ma-hasiswa TI Internasional hanya seka-li melakukan field trip ke Universitas Gajah Mada (UGM), bahkan kelas internasional dihapuskan.

Nasib kelas internasionalDari total 12 fakultas, UIN Ja-

karta memiliki empat fakultas yang membuka kelas internasional, yak-ni TI dan Sistem Informasi (SI) di FST, Manajemen dan Akuntansi di FEB, Perbandingan Mazhab Hukum Khusus (PMHK) di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), serta Hubungan Internasional (HI) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).

Namun, seperti diketahui semua kelas internasional itu kini sudah di-hapuskan di tahun yang berbeda. Se-misal, HI dihapuskan pada 2012, TI dan SI pada 2013, Manajemen dan Akuntansi pada 2014, dan PMHK pada 2015. Meski begitu, penghapu-

san itu tetap tidak menghilangkan hak mahasiswa kelas internasional yang masuk sebelum tahun pengha-pusan itu.

Menurut Agus, penghapusan kelas internasional di UIN Jakarta dikare-nakan fakultas belum memiliki pe-doman pengelolaan yang seragam. Selain itu, menurut Agus, calon ma-hasiswa kelas internasional juga tak memiliki kualitas mumpuni. Mereka hanya menjadikan kelas internasional sebagai cadangan.

Faktor lain, sebagai Dekan FST Agus katanya, juga berniat mengin-ternasional kelas reguler. Sehingga, kelas reguler pun bisa mengikuti stu-dent exchange dan double degree dengan syarat mampu membiayai biaya hid-up dan kuliah di negara mitra. “Agar tak ada kesan dikotomi kelas interna-sional,” kata Agus, Selasa (19/5).

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 37

CP: Maulia NurulNo HP: 08567231682

Pasang IklanSejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan

perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, MajalahINSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com.

Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Olehsebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya:

Tabloid INSTITUTTerbit 4000 eksemplar setiap bulan

Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansipemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)

INSTITUT OnlineMemiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan

800-1000 per hariMajalah INSTITUT

Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.