TABLOID INSTITUT EDISI 20

16
Edisi XX/Juni 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Di tengah euforia Milad ke-55 UIN Jakarta, ternyata masih ada permasala- han yang belum terselesaikan dan melu- lu berlarut-larut. Entah maksudnya apa, yang jelas kita tidak bisa membiarkan keadaan ini berlarut tanpa ada penyele- saian. Kita menginginkan stabilitas ru- ang akademik yang minimal mendekati sempurna dengan berpikir ideal. Seperti tersedianya ruang pembelajaran aktif- produktif, tidak pasif dan menjenuhkan. Perlu kesadaran dari semua elemen sivi- tas akademika kampus ini. Baru-baru ini, kita kembali tertidur dan lupa ingatan bahwa persoalan ma- hasiswa belum selesai. Pihak rektorat mencoba memberikan rasa nyaman ke- pada mahasiswa agar tertidur dan lupa bahwa sistem pemerintahan mahasiswa masih belum jelas. Ada upaya intervensi berlebihan agar mahasiswa tak perlu sok- sokan berpikir idealis, cukup duduk ma- nis agar tak melakukan tindak anarkis. Memang, persoalan ini sangat men- jemukan semua pihak, tapi jika belum selesai, apakah kita masih bisa tenang? Seandainya mahasiswa merasa sudah tenang dengan keadaan ini semua, ber- arti sifat apatisme sudah menjangkit, dan jangan heran jika nanti mahasiswa akan mudah didikte tanpa bisa meng- kritisi. Hilang sudah generasi pemba- haru karena sejak mahasiswa sudah ditanam mental-mental pengikut (baca: suruhan), tidak bisa berpikir out of the box dengan inovasinya. Jika semua elemen bersangkutan pu- nya niat baik menyelasaikan persoalan pemerintahan mahasiswa, tak perlu ada tindakan merasa paling benar sendiri. Tiap-tiap elemen perlu menghilang- kan ego masing-masing, tak ada yang kalah-menang di sini. Yang perlu adalah bagaimana pemerintahan mahasiswa mampu menopang kegiatan akademis yang aktif-produktif tanpa menghilang- kan nilai kritis untuk kepentingan ber- sama. Seperti laboratorium, seyogyanya kampus ini tak cuma menjadi ruang eksperimen bagi mahasiswa ilmu eksak. Mahasiswa selain ilmu eksak juga diberi ruang untuk bereksperimen, asal dengan catatan perlu diawasi, tidak perlu didikte ke sana kemari. Bukankah kita sudah bu- kan siswa yang selalu menerima masu- kan dari guru? Tapi kita mahasiswa yang harusnya diberi ruang eksperimen den- gan daya nalarnya sendiri. Supaya tim- bul kepercayaan diri, integritas pribadi, dan berani membuat inovasi. Bukankan itu salah satu tujuan pendidikan tinggi? Di balik 55 tahun Rentetan pertanyaan hadir menilik bagaimana komunikasi yang terjalin se- lama ini, dan sudahkah terbentuk dialog yang mempertemukan atau lebih tepatnya menyandingkan keduanya. Lantas kenapa masih terdapat konflik? Pakar Komunikasi UIN Syarif Hida- yatullah Gun Gun Heryanto memaparkan, seharusnya ada proses memfasilitasi yang sejajar dan komunikasi produktif. Dengan arti, mahasiswa harus menghormati cara pandang rektorat bahwa konsep SG yang kemarin menimbulkan kegaduhan politik. Hal ini berakibat pada menurunnya atmos- fer akademik. “Bisa saja itu jadi bahan evaluasi ber- sama. Sebaiknya dimulai dengan tawaran tertulis dari masing-masing pihak, dengan tukar-menukar konsep, sehingga menim- bulkan kesepahaman bersama. Dialog itu jangan mentah,” tambahnya. Sebagai mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Sabir Laluhu menyampaikan, rektorat sebagai pejabat kampus, dalam hal ini merasa bisa dan mempunyai hak untuk mengatur, sedang- kan mahasiswa tidak mau diatur. Pilihannya adalah mahasiswa harus bisa menawarkan konsep, bukan hanya menuntut. “Aturan itu bukan dibuat untuk mereka (rektorat), tapi untuk mahasiswa. Rektorat harus bisa melihat konteks mahasiswa seka- rang, kalau memang konsep jaman dulu itu baik, tapi dalam konteks sekarang tidak. Jangan dipaksakan,” tambahnya, Senin (6/6). Tak hanya itu, Sabir pun memberikan be- berapa saran kepada rektorat. Ada tiga pola yang harus diterapkan. Pertama, jangan saling menyalahkan. Kedua, ada aturan yang harus dijalankan dan jangan dipaksa- kan. Ketiga, aturan tersebut harus disesuai- kan dengan konteks. Menyikapi beberapa pernyataan yang ditudingkan ke rektorat, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudar- noto Abdul Hakim, Selasa (7/6), menyam- paikan, selama ini pihaknya sudah terbuka dengan mahasiswa. (Bersambung ke hal.15 kol. 2) Kekerasan yang terjadi di kampus UIN Jakarta pada Januari lalu, saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Student Government (SG), ditambah dengan keributan saat pemilu bulan kemarin, menjadi sebuah peristiwa yang menghancurkan teori yang selama ini dipergunakan untuk menciptakan perdamaian. Lembaga kampus telah gagal mencip- takan bagaimana pendidikan membentuk sebuah karekter, terutama dalam komunikasi. Kiky Achmad Rizqi Hilangnya Retorika Kampus GRATIS! Laporan Utama 3 Mahasiswa: Gerakan Bak Gincu Laporan Khusus 7 RUU PT dalam Kacamata Mahasiswa Komunitas 11 Agb2Roda Untuk Silaturahmi

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 20

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 20

Edisi XX/Juni 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Editorial

Di tengah euforia Milad ke-55 UIN Jakarta, ternyata masih ada permasala-han yang belum terselesaikan dan melu-lu berlarut-larut. Entah maksudnya apa, yang jelas kita tidak bisa membiarkan keadaan ini berlarut tanpa ada penyele-saian. Kita menginginkan stabilitas ru-ang akademik yang minimal mendekati sempurna dengan berpikir ideal. Seperti tersedianya ruang pembelajaran aktif-produktif, tidak pasif dan menjenuhkan. Perlu kesadaran dari semua elemen sivi-tas akademika kampus ini.

Baru-baru ini, kita kembali tertidur dan lupa ingatan bahwa persoalan ma-hasiswa belum selesai. Pihak rektorat mencoba memberikan rasa nyaman ke-pada mahasiswa agar tertidur dan lupa bahwa sistem pemerintahan mahasiswa masih belum jelas. Ada upaya intervensi berlebihan agar mahasiswa tak perlu sok-sokan berpikir idealis, cukup duduk ma-nis agar tak melakukan tindak anarkis.

Memang, persoalan ini sangat men-jemukan semua pihak, tapi jika belum selesai, apakah kita masih bisa tenang? Seandainya mahasiswa merasa sudah tenang dengan keadaan ini semua, ber-arti sifat apatisme sudah menjangkit, dan jangan heran jika nanti mahasiswa akan mudah didikte tanpa bisa meng-kritisi. Hilang sudah generasi pemba-haru karena sejak mahasiswa sudah ditanam mental-mental pengikut (baca: suruhan), tidak bisa berpikir out of the box dengan inovasinya.

Jika semua elemen bersangkutan pu-nya niat baik menyelasaikan persoalan pemerintahan mahasiswa, tak perlu ada tindakan merasa paling benar sendiri. Tiap-tiap elemen perlu menghilang-kan ego masing-masing, tak ada yang kalah-menang di sini. Yang perlu adalah bagaimana pemerintahan mahasiswa mampu menopang kegiatan akademis yang aktif-produktif tanpa menghilang-kan nilai kritis untuk kepentingan ber-sama.

Seperti laboratorium, seyogyanya kampus ini tak cuma menjadi ruang eksperimen bagi mahasiswa ilmu eksak. Mahasiswa selain ilmu eksak juga diberi ruang untuk bereksperimen, asal dengan catatan perlu diawasi, tidak perlu didikte ke sana kemari. Bukankah kita sudah bu-kan siswa yang selalu menerima masu-kan dari guru? Tapi kita mahasiswa yang harusnya diberi ruang eksperimen den-gan daya nalarnya sendiri. Supaya tim-bul kepercayaan diri, integritas pribadi, dan berani membuat inovasi. Bukankan itu salah satu tujuan pendidikan tinggi?

Di balik 55 tahun

Rentetan pertanyaan hadir menilik bagaimana komunikasi yang terjalin se-lama ini, dan sudahkah terbentuk dialog yang mempertemukan atau lebih tepatnya menyandingkan keduanya. Lantas kenapa masih terdapat konflik?

Pakar Komunikasi UIN Syarif Hida-yatullah Gun Gun Heryanto memaparkan, seharusnya ada proses memfasilitasi yang sejajar dan komunikasi produktif. Dengan arti, mahasiswa harus menghormati cara pandang rektorat bahwa konsep SG yang kemarin menimbulkan kegaduhan politik. Hal ini berakibat pada menurunnya atmos-fer akademik.

“Bisa saja itu jadi bahan evaluasi ber-sama. Sebaiknya dimulai dengan tawaran tertulis dari masing-masing pihak, dengan tukar-menukar konsep, sehingga menim-bulkan kesepahaman bersama. Dialog itu jangan mentah,” tambahnya.

Sebagai mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Sabir Laluhu menyampaikan, rektorat sebagai pejabat kampus, dalam hal ini merasa bisa dan mempunyai hak untuk mengatur, sedang-kan mahasiswa tidak mau diatur. Pilihannya adalah mahasiswa harus bisa menawarkan konsep, bukan hanya menuntut.

“Aturan itu bukan dibuat untuk mereka (rektorat), tapi untuk mahasiswa. Rektorat harus bisa melihat konteks mahasiswa seka-rang, kalau memang konsep jaman dulu itu baik, tapi dalam konteks sekarang tidak. Jangan dipaksakan,” tambahnya, Senin (6/6).

Tak hanya itu, Sabir pun memberikan be-berapa saran kepada rektorat. Ada tiga pola yang harus diterapkan. Pertama, jangan saling menyalahkan. Kedua, ada aturan yang harus dijalankan dan jangan dipaksa-kan. Ketiga, aturan tersebut harus disesuai-kan dengan konteks.

Menyikapi beberapa pernyataan yang ditudingkan ke rektorat, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudar-noto Abdul Hakim, Selasa (7/6), menyam-paikan, selama ini pihaknya sudah terbuka dengan mahasiswa.

(Bersambung ke hal.15 kol. 2)

Kekerasan yang terjadi di kampus UIN Jakarta pada Januari lalu, saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Student Government (SG), ditambah dengan keributan saat pemilu bulan kemarin, menjadi sebuah peristiwa yang menghancurkan teori yang selama ini dipergunakan untuk menciptakan perdamaian. Lembaga kampus telah gagal mencip-takan bagaimana pendidikan membentuk sebuah karekter, terutama dalam komunikasi.

Kiky Achmad RizqiHilangnya Retorika Kampus

GRATIS!

Laporan Utama3

Mahasiswa: Gerakan Bak Gincu

Laporan Khusus7

RUU PT dalam Kacamata Mahasiswa

Komunitas11

Agb2Roda Untuk Silaturahmi

“Kado” untuk UIN

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 20

2 Edisi XX/Juni 2012LAPORAN UTAMA

Permasalahan dimulai dengan dibekukannya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) pada pertengahan 2010 lalu. Pembekuan tersebut melibatkan dua partai besar, yakni Partai Persatuan Mahasiswa (PPM) dengan Partai Reformasi Maha-siswa (PARMA). Saat itu, Parma melakukan penggelembungan suara di dua fakultas, Fakultas Ushuludin dan Filsafat (FUF), dan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) program non reguler.

Karena itu, Majelis Pemilihan Umum (MPU), lembaga yang menangani kekisruhan pemira saat itu, memutuskan PARMA kehilangan suara di dua fakultas tersebut. Atas keputusan yang ditetapkan MPU, Komisi Pemili-han Umum (KPU) menetapkan calon presiden dari PPM, Syaiful Bahri, sebagai pemenang, dan Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) segera melantiknya be-berapa hari kemudian.

PARMA kala itu tidak puas atas keputusan tersebut. Menu-rut Wahyudin, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PARMA saat itu, keputusan MPU diam-bil secara sepihak tanpa meli-batkan rektorat. PARMA pun meminta mediasi kepada Rek-tor UIN Jakarta untuk menen-gahi permasalahan ini. Langkah PARMA itu justru berakibat fatal pada lembaga kemahasiswaan. Berbekal surat permintaan me-diasi dari PARMA, rektorat mengeluarkan keputusan untuk membekukan BEMU yang saat itu baru saja dilantik

Sejak itu, drama politik kam-pus dimulai. Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU) dan KMU menggantikan peran BEMU sebagai penguasa ekse-kutif. Kedua lembaga ini diha-dapkan pada masalah reorgan-isasi lembaga kemahasiswaan melalui Surat Keputusan Dirjen-Pendis No. Dj.I/253/ 2007.

SK tersebut memuat regulasi mengenai organisasi kemaha-siswaan yang berlandaskan pada sistem Senat Mahasiswa. Hal ini langsung mendapat respon dari partai kampus, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan bebera-pa BEM Fakultas. Bagi mereka, SK tersebut masih kalah kekua-tan hukumnya dari SK Mendik-bud No. 155/U/1998, yang

menjelaskan bahwa organisasi kemahasiswaan diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa.

Banyaknya pandangan yang berbeda terhadap format peme-rintahan mahasiswa saat itu menjadi alasan diselenggarakan-nya workshop lembaga kemaha-siswaan. Workshop tersebut dilak-sanakan guna menyerap aspirasi berbagai pihak terhadap format pemerintahan mahasiswa, teru-tama rektorat dan aktivis kam-pus.

Sebelum diadakan workshop, terlebih dulu diadakan diskusi serial dengan mengundang pihak yang memiliki kredibilitas, seperti pengamat politik yang sebagian pembicaranya alumni UIN Jakarta. Mereka memberi masukan kepada tim perumus dari kalangan mahasiswa, untuk mencari format ideal pemerinta-han mahasiswa.

Harapan mahasiswa untuk mempertahankan Student Go-vernment (SG) melalui langkah workshop ini pupus. Lantaran, keinginan mahasiswa agar rek-torat mengeluarkan SK yang berisi pengesahan draf Undang-undang Dasar Keluarga Besar Mahasiswa (UUD KBM) UIN hasil workshop, tidak dipenuhi. Dalihnya, rektorat tidak memi-liki kewenangan untuk menen-tang kekuatan hukum SK Dirjen.

“Ini adalah soal hukum,” tegas Sudarnoto Abdul Hakim, Pem-bantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan ketika menang-gapi masalah ini (7/6). Menu-rutnya, hasil workshop itu hanya berisi saran untuk pembuat ke-bijakan, yakni Dirjen. Apa yang dihasilkan pun bukan produk hukum. Jika rektorat memenuhi keinginan mahasiswa, katanya, maka UIN melakukan tindakan inkonstitusional.

Karena kecewa akan hasil workshop, mahasiswa melakukan demonstrasi di gedung rektorat untuk menuntut rektor segera mengesahkan UUD KBM UIN. Namun sekali lagi, melalui dalih SK Dirjen, rektorat tak dapat memenuhi keinginan maha-siswa, meski terjadi bentrok yang mengakibatkan beberapa korban luka dari pihak mahasiswa.

Pantden Muhammad Noor, Ketua KMU kala itu, dengan tegas menyatakan, jika melihat

hasil yang seperti ini, ia merasa penyelenggaraan workshop yang telah dilakukan menjadi tidak berguna. “Cuma buang-buang uang,” tegasnya. Ia pun heran keadaan pasca workshop tak juga menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.

Berlarut-larutnya penyelesai-an kisruh lembaga kemaha-siswaan ini, kata Sudarnoto, ka-rena tidak ada titik temu antara mahasiswa dan rektorat. “Jika mahasiswa menolak SK Dirjen, lakukan penolakan itu kepada Dirjen, bukan ke UIN. Karena penolakan ke UIN tidak akan berpengaruh apa-apa. Kalau pun mahasiswa demo di UIN, tidak akan membuat SK Dirjen dicabut,” ujarnya.

Sudarnoto pun membantah jika pelaksanaan workshop tidak menghasilkan sesuatu. “UUD KBM UIN adalah hasil dari work-shop lembaga kemahasiswaan,” ungkapnya. Ia mengungkapkan, jika mahasiswa tetap menolak SK Dirjen, maka mahasiswa harus mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Bagi Pantden, berlarut-larutnya ini akibat dari ego, baik mahasiswa maupun rektorat. Ia menambahkan, dalam hal ini rektorat juga mengulur-ulur waktu membuat penyelesaian masalah semakin lama dengan tujuan mahasiswa lupa terhadap

kasus ini.

Langkah penyelesaianLambatnya pengangkatan

ketua BEM Fakultas terpilih, menjadi alasan belum ditindak-lanjutinya masalah ketiadaan konstitusi lembaga kemaha-siswaan dan mekanisme pemili-han BEMU. Setelah semua ketua itu dilantik, mereka akan diun-dang untuk membicarakan soal tersebut. “Karena itu, masa tran-sisi ini menjadi agak panjang,” ujar Sudarnoto.

Bagi Sudarnoto, meski belum ada konstitusi yang menaungi pemerintahan mahasiswa yang baru, saat ini yang menjadi per-hatian utama adalah tetap ber-jalannya kegiatan mahasiswa. Pelaksanaan pemilihan BEM Fakultas kemarin pun, ia meng-akui, belum berjalan sempurna.

Meski target awal penyelesai-an soal ini tidak tercapai pada Juni 2012, rektorat tetap beru-saha menyelesaikan masalah lembaga kemahasiswaan ini. Ka-renanya, jika sampai beberapa waktu ke depan pihak fakultas masih lambat melakukan pelan-tikan ketua terpilih, Sudarnoto menegaskan akan segera me-langsungkan pembicaraan terkait masalah yang menimpa lembaga kemahasiswaan selama ini.

Salam Redaksi

Permasalahan lembaga kemahasiswaan tak kunjung usai. Ini disebabkan ketidaksamaan visi antara pihak rektorat sebagai pem-bina dan mahasiswa sebagai pelaksananya. Bersikukuhnya kedua pihak akan konsep lembaga kemahasiswaan turut memperlama proses penyelesaian permasalahan ini.

Diterbitkan olehLembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN

JakartaSK. Rektor No.23 Th. 1984

Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006

Pemimpin Umum: Dika Irawan | Sekretaris: Ibnu Affan | Bendahara Umum: Muji Hastuti | Pemimpin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar | Redaktur

Online: Rahmat Kamaruddin | Web Master: Makhruzi Rahman | Redaktur Foto : Jaffry Prabu | Redaktur Bahasa : Ema Fitriyani | Artistik : Hilman Fauzi | Ilustrator : Trisna Wulandari

| Desain Grafis: Ahmad Rizqi | Pemimpin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan & Sirkulasi: M. Umar & Rahayu O | Marketing & Promosi: Aprilia Hariani, Rina Dwi Fitriyani & Fajar I |

Pemimpin Litbang: Abdul Charis | Riset: Egie FA & Aditya Putri | Pendidikan: Iswahyudi | Kajian: Aditia Purnomo | Dokumentasi: Aam Mariyamah.

Koordinatur Liputan: Muhammad Umar Reporter: Aam Mariyamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Rizqi, Editor: Oby, Umar, Hilman, Haris , Egi, Fajar,

Ibnu, Dika, Iswahyudi Ilustrator: Omen, Ulan. Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-133-1241 Web: www.lpminstitut.com

Email: [email protected] reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Penyelesaian Masalah Lembaga Kemahasiswaan Berlarut-larut

Aditia Purnomo

Seorang mahasiswa tengah asyik bersama laptopnya di ruang BEMU. Kini ruang tersebut tak terurus karena tidak memiliki penghuni akibat dibekukannya BEMU pada 2010.

ADIT/INSTITUT

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk pembaca yang budiman, semoga selalu di-beri rahmat oleh Allah Swt. Pada tabloid edisi XX bulan Juni ini, kami menyajikan beberapa berita tentang permasalahan kampus yang belum selesai dan berlarut-larut di tengah-tengah euforia Mi-lad ke-55 UIN Jakarta. Beberapa kado spesial kami berikan untuk mengingatkan kembali persoalan-persoalan kampus yang cukup lama kita biarkan.

Pada Headline dan Laporan Utama, kami memuat beberapa persoalan kampus yang menurut kami layak diangkat untuk dijadi-kan sentakan bagi para stakeholder kampus ini. Agar lebih meng-upayakan pembenahan terhadap persoalan yang berlarut dan be-lum diselesaikan. Mulai dari Hi-langnya Retorika Kampus, sampai Semrawutnya Perparkiran. Alasan kami mengangkat itu semua, tak lain adalah bentuk kritik kami ke-pada semua elemen yang bersang-kutan agar lebih cepat menyelesai-kannya.

Dan di dalam Laporan Khusus, kami angkat mengenai SNMPTN yang diadakan UIN sebagai ben-tuk eksistensi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar lebih presti-sius. Dengan begitu, kampus UIN menjadi lebih dianggap, tapi siapa yang tahu itu malah menyimpan sisi negatif. Untuk lebih lanjut, tinggal dibaca secara seksama.

Kemudian di Laporan Khusus selanjutnya, dimuat hasil diskusi kami dengan organisasi ekstra ten-tang RUU PTN yang sebentar lagi diketuk palunya. Kami mencoba mengambil perspektif mahasiswa dalam memandang RUU PTN tersebut yang banyak orang bilang menyerupai RUU BHP. Diskusi ini merupakan terobosan baru dari kami, yang dimaksudkan untuk lebih menginginkan kampus ini aktif-produktif dalam mengkritisi kebijakan yang dirasa merugikan banyak orang.

Akhir kata, tulisan kami tak berarti tanpa masukan dari para pembaca. Kritikan dalam bentuk apapun akan kami terima, kare-na hal itu bagi kami merupakan apresiasi terhadap karya jurnalis-tik. Dan tak lupa, kami ucapkan selamat menikmati sajian tabloid kami. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 20

3Edisi XX/Juni 2012 LAPORAN UTAMA

Okky yang tercatat sebagai alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta 2011 menambahkan, mahasiswa mengalami degradasi kritisisme akibat egosentris yang tertanam dalam tiap-tiap organisasi. Meski gerakan mahasiswa tetap ada, namun roh perjuangannya terasa nihil.

“Semua berjuang di belakang benderanya masing-masing, pa-dahal sebenarnya kita semua memiliki tujuan satu, di bawah pemerintahan UIN. Tapi mereka seolah-olah nyaman akan hal itu,” tutur pria yang saat ini ber-profesi sebagai pekerja budaya dan jurnalis.

Sedikit menjamah sepenggal pendahuluan yang tercantum pada Garis Besar Haluan Organ-isasi Keluarga Besar Mahasiswa UIN Jakarta, Student Government (SG) hadir sebagai variabel insti-tusional yang apabila dijalankan secara selaras akan mendorong mahasiswa menunaikan tang-gung jawabnya sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of social control).

Menanggapi hal tersebut, Okky menjelaskan, faktor utama dari fenomena gerakan mahasiswa yang tidak dapat mengontrol kebijakan rektorat dikarenakan sistem penerimaan masuk UIN Jakarta yang berbeda saat UIN masih bernama IAIN.

“Saya menganalisis dari segi so-sial budaya di UIN yang rata-rata mahasiswanya dari kalangan Se-kolah Menengah Umum (SMU) karena kebanyakan dari mereka masuk melalui jalur SNMPTN, didukung pula dengan berdirinya fakultas-fakultas umum, sehingga

rata-rata mahasiswanya dari ke-las sosial menengah ke atas yang fokus pada akademik,” ujarnya.

Menurut ketua Badan Ekse-kutif Mahasiswa Fakultas Ke-dokteran dan Ilmu Kesehatan (BEM FKIK) Muhammad Fa-had, apatisme yang terjadi lanta-ran kesalahan kaderisasi organ-isasi internal kampus terhadap mahasiswa baru.

“Kurangnya proses pendidikan kader berkelanjutan, mahasiswa baru kemudian dilepaskan begitu saja setelah propesa, tidak ada pendidikan seperti advokasi kon-flik, mengenal hak dan kewajiban sebagai mahasiswa secara men-dalam. Ya pola pikir mereka jadi tidak terbangun untuk peduli akan permasalahan yang terjadi di kampus,” tutur mahasiswa se-mester enam ini.

Lanjutnya, ia mengutarakan dampak dari putusnya kaderisasi juga meningkatkan paradigma yang terus mengejar akademik. “Sistem pula yang mengantarkan mahasiswa terjerumus ke dalam study oriented, jadi apatisme ma-hasiswa sekarang adalah sebuah kewajaran,” tambahnya.

Mencederai demokrasiSebuah modul berjudul

Konsepsi Demokrasi, karangan Danniel Sparringa dan Ignas Kleden, memaparkan hambat-an demokrasi transisi, lantaran ketidakpercayaan berujung apa-tisme disebabkan elit modern ga-gal membangun hubungan par-tisipatoris.

Kembali pada tataran demokrasi internal kampus, Ke tua BEMFA Ekonomi dan Bisnis, Lukmanul Hakim mengatakan, demokrasi akan berjalan jika

antar elemen saling menguatkan dan menjalankan tugasnya.

“Rektorat bisa dikatakan mencederai demokrasi yang su-dah disepakati bersama, kebija-kan mengalami ketimpangan. Pada akhirnya, konsep demokra-si berubah menjadi dari rektorat, untuk rektorat, dan oleh rek-torat,” paparnya.

Hal serupa diutarakan Ketua Bidang I Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Herman Saputra, demokrasi kampus saat ini sudah dihantui oleh kontruksi pemikiran yang mengikis se-mangat demokrasi, hingga si-kap kritis itu sebagai suatu yang membahayakan.

“Wajar saja keadaan ini dapat dikatakan menjamur. Aktivis yang awalnya sangat idealis, ke-tika dibenturkan dengan sistem, akan menggugurkan idealisme-

nya itu,” katanya.Kemudian paparnya, kelema-

han mahasiswa adalah tekanan (power pressure) yang dibuat rek-torat, namun mahasiswa tidak dapat mengorganisir dirinya. Se-hingga, itu yang menjadi senjata rektorat seakan menjajah melalui sistem.

Sementara itu, Ketua Fo-rum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Faris Bimantara menu-turkan, pengambilan keputusan butuh komunikasi antara maha-siswa dan rektorat.

“Rektorat tidak mewakili ma-hasiswa, seakan kita didoktrin akademis. Padahal, UKM khu-susnya juga dapat menjadi wadah belajar. Belajar tidak diartikan se-lalu di kelas,” ujarnya yang juga menjabat sebagai ketua UKM RIAK.

Menanggapi fenomena di

atas, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan Su-darnoto Abdul Hakim menga-takan, mahasiswa harus belajar dari pengalaman, mekanisme demokrasi itu berkembang di mana UIN harus menjadi lem-baga besar. Menurutnya, hal itu dapat terwujud melalui jalur aka-demik, bukan politik.

“Kecenderungan mahasiswa itu institusioanalis, ibaratnya yang penting saya punya lem-baga atau organisasi. Mahasiswa boleh tidak suka dengan saya dan saya tidak terlalu terpengaruh. Terpenting, setiap kebijakan yang saya buat adalah untuk mewujud-kan visi dan misi UIN dan me-jadikan UIN lembaga yang besar dengan membangun subtansi ke-cerdasan,” jelasnya.

Mahasiswa: Gerakan Bak GincuSiapa yang tak mengenal benda penghias bibir, gincu atau bia-

sa dikenal lipstik. Rupanya merah mengilat, terhirup wangi nan menghias belaka, kemudian sehelai tisu dengan mudah mengha-pusnya seketika. Begitu pun gerakan mahasiswa yang mengalami perumpamaan serupa, seperti penilaian aktivis kajian era 2005, Okky Tirto.

Aprilia Hariani dan Aam Mariyamah

RIZQI/INSTITUT

Salah satu contoh aksi yang dilakukan mahasiswa UIN Jakarta menolak komersialisasi pendidikan. Saat ini aktivis kajian era 2005 (Okky Tirto) menilai aksi-aksi mahasiswa mengalami degradasi gerakan.

Berita Foto

(Dari kiri ke kanan): Muhammad Assad, Dian Pelangi, Poppy Savitri saat konferensi pers seusai talkshow yang diadakan UIN Fashion Fair (UFF). Talkshow yang mengusung tema “Fashion, World, and Religion” bertempat di Pusat TIK Nasional, Kampus II, Jumat (1/6). kegiatan ini merupakan serangkaian acara yang digelar UFF menuju acara puncak Fashion Fair yang akan diadakan 15 September mendatang.

Sejumlah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) tengah sibuk menata hiasan tumpeng dalam perlombaan menghias tumpeng pada acara perayaan Milad ke-10 FEB, Senin (21/5). Acara ini diselenggarakan selama seminggu dan dipadati oleh beberapa rangkaian perlom-baan, antara lain lomba debat, fotografi, futsal, dan menyanyi.

APRIL/INSTITUTJAFFRY/INSTITUT

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 20

4 Edisi XX/Juni 2012LAPORAN UTAMA

Belum optimalnya kinerja UKM, diperjelas dengan pernya- taan bahwa fasilitas UKM tidak dipergunakan dengan semestinya, “Sekretariat itu kan kantor, bukan tempat untuk nginap!” ungkap Purek III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, Selasa (5/6).

Pihaknya kecewa terhadap kondisi gedung Student Center (SC) yang dinilai jorok. Selain ka-rena sampah yang berserakan, SC juga dipenuhi barang-barang yang tercecer sembarangan. Penggu-naan air yang boros untuk keper-luan mencuci dan mandi anggota UKM, memperkuat cap ‘SC jorok’ di mata rektorat. “Ujung-ujungnya beban listrik jadi meningkat,” tan-dasnya di depan para ketua UKM, Jumat (27/4).

Yusuf Muarif, ketua UKM Teater Syahid memberi pledoi berbeda terkait kebersihan. Pada dasarnya ini berkenaan dengan kesadaran seluruh sivitas UIN, “Tapi karena kita satu gedung, UKM deh yang kena imbasnya,” ujar pria yang disapa Ucup.

Selain itu, Sudarnoto juga menganggap kegiatan yang di-lakukan UKM selama ini belum mendukung visi misi keislaman UIN selain akademis dan kebang-saan. “Sehingga jangan sampai ada UKM yang tidak mencermin-kan sikap keislaman,” lanjutnya.

Sesuai dengan nama kampus UIN yang bernuansa Islam maka perilaku, tutur kata, dan cara ber-pakaian pun dijadikan citra keisla-man yang harus ditunjukkan ke khalayak. Dirinya heran melihat adanya mahasiswa UKM yang tak mencerminkan sikap kema-

hasiswaannya. Sering berkeliaran dengan celana pendek di sekitar SC.

Noto menambahkan, tak hanya keislaman yang menjadi patokan visi dan misi. Akademis dan ke-bangsaan juga harus diterapkan dalam setiap kegiatan. UIN tak hanya dimiliki orang yang beraga-ma Islam, tapi juga milik bangsa. “Sayangnya, UKM tidak mengerti posisi ini. Akibatnya, semakin ke-cil kepercayaan masyarakat terha-dap posisi UIN”.

Ia menganggap belum adanya orientasi masa depan menjadi salah satu kendala belum opti-malnya kinerja UKM. Untuk mengapai tujuan yang besar me-mang diperlukan waktu yang lama. “Meski masa jabatan tiap periode hanya setahun, namun planning jangka panjang harus tetap dipikirkan.”

Pengurus hanya peduli pada masa jabatannya saja. Tak pernah menyusun strategi program kerja jangka panjang, misalnya program kerja untuk 15 tahun ke depan. “Sedangkan rancangan program setahun hanya berisi kumpulan kegiatan yang berulang.”

Faris Bimantara, ketua UKM Komunits Musik Mahasiswa (KMM) RIAK sekaligus ketua Pelaksana tugas (Plt) Forum UKM tidak setuju dengan ko-mentar Sudarnoto. Baginya, per-masalahan utama yang dihadapi ketika membuat program kerja jangka panjang adalah pola pikir, pandangan, dan tujuan berbeda dari tiap pergantian masa kepe- ngurusan.

Ia mengatakan, sudut pandang yang kurang pas dari pihak rek-

torat diakibatkan pemikiran yang melulu tentang akademik. Ketika ada penjustifikasian, harus meli-hat lebih dalam faktor-faktor yang mau dijustifikasi, dalam hal ini UKM.

Saat disinggung UKM yang tak sesuai dengan visi dan misi UIN, vokalis Treble Tonic ini berani berpendapat, “Saya rasa rektorat sendiri belum bisa menjalankan visi dan misi UIN,” tandasnya. Pernyataan celana pendek tidak islami pun dibantahnya, “Emang status Islam dilihat dari pendek-nya celana!”

Selintas dengan Faris, Ucup me-nilai transparansi setiap kegiatan UKM kurang terkoordinasi deng-

an rektorat, padahal jika ter-

jalin komunikasi yang baik antara rektorat dengan UKM, semua pas-ti bisa diselesaikan dengan mudah, “Entah pihak rektorat kurang apresiasi atau gimana,” ungkap-nya bingung.

Ucup juga merasa UKM telah banyak memberikan kontribusi kepada UIN. Dengan adanya ke-giatan di luar UIN secara tak lang-sung nama baik UIN ikut diusung, “Jadi salah besar kalau dibilang kinerja kita tidak optimal.”

Sementara Kelompok Pecinta Alam (KPA) Arkadia melalui ketuanya, Muchsin Sapto Adi se-lalu berusaha memaksimalkan segala program kerja yang telah disusun bersama-sama. Tak hanya seminar dan diskusi yang mereka

coba berikan kepada mahasiswa, namun kegiatan luar seperti fun rafting dan jelajah budaya pun di-tawarkan.

“Kita kan berjalan karena ada-nya dana dari mahasiswa,” ujar pria yang sering disapa Gendon.

Gendon yakin UKM tidak akan lupa pada kulitnya, yang me-nilai masalah keoptimalan bukan UKMnya sendiri, tapi mereka se-lalu mencoba berbenah diri. Faris pun percaya tiap-tiap UKM punya cara sendiri dalam memperbaiki kinerja. “Kami akan mengambil sisi positif dari kritikan rektorat untuk perbaikan,” ujarnya mawas diri.

Kritikan Rektorat untuk Perbaikan UKMRektorat menggangap kinerja yang belum optimal menjadi salah

satu penyebab belum terlihatnya posisi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di tingkat universitas. Namun, pihak UKM menilai label itu belum pantas diberikan. Rektorat hanya melihat dari pandangannya sendiri dan tak mau mengenal keberadaan UKM lebih jauh.

Jadi salah besar kalau dibilang

kinerja kita tidak optimal.

DOKUMEN INSTITUT

Aditya Putri dan Rahayu Oktaviani

Kegiatan buka puasa bersama yang dilakukan Forum UKM beserta anak-anak panti asuhan pada bulan Ramadhan tahun lalu di lapangan Student Center, (13/8/11).

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 20

5Edisi XX/Juni 2012 LAPORAN UTAMA

Jumlah motor terus bertambah tidak dibarengi dengan pembangu-nan gedung parkir sebab dana yang kurang memadai. Selain itu, pe-nyebab semrawutnya parkir di Kam-pus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu kurangnya kesadaran maha-siswa.

Terkait masalah itu, Rahmat Hi-dayat, koordinator lapangan UIN Parking mengatakan bahwa lahan parkir masih tersedia di parkir atas. Menurutnya, masih banyak maha-siswa yang sekedar fotokopi saja membawa motor kemudian parkir di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). ”Jadi parkirnya numpuk di situ,” tambahnya (8/6).

Rahmat mengaku, pihak UIN Parking sudah mengarahkan ke parkir atas, namun mahasiswa seenaknya saja. “Untuk sementara ini, kita sedang mendorong petugas parkir dan satpam untuk menghim-bau agar jangan parkir sampai 2 la-pis. Nanti pada nggak bisa muter,” ujar rahmat.

Menurut Kepala Biro Administra-si Umum dan Kepegawaian, Abdul Somad, mengatakan, sekarang ini pihaknya mengupayakan jika parkir sudah penuh, maka satpam harus melarangnya. “Kita terus terang aja, kalau boleh, saya nangis,” katanya. Menurutnya pihaknya sudah beru-saha melayani karyawan dan maha-siswa dengan baik.

Selanjutnya, Somad, mengung-

kapkan, hal yang perlu dibenahi adalah pemanfaatan lahan kosong. Pihaknya juga sudah membuat por-tal agar memanfaatkan parkir atas dahulu. “Tapi masih saja ada yang bisa melewati portal, terus parkir di bawah,” ungkapnya.

Di samping itu, menurut Sutrisno Sugiyono, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Imu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), di samping UIN Par- king sebagai pengelola harus mem-bereskan parkir yang belum rapi tersebut, kesadaran mahasiswa juga harus terbentuk.

Hal serupa disampaikan Syifa Ainul Taqin, mahasiswa Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Antara maha-siswa dan petugas parkir harus ada kerjasama. “Mahasiswa Jangan me ngandalkan tukang parkir saja. Kalau kehilangan, tukang parkirnya yang disalahkan,” tuturnya.

Rahmat menyatakan, tujuan dari parkir yang tertib adalah agar sivi-tas akademika dapat memarkirkan kendaraan dengan nyaman serta memudahkan akses untuk keluar masuk. “Kasihan yang perempuan-nya, kalo mau ngeluarin motor tapi di belakanganya ada motor lain kan susah,” ujarnya.

Bisakah dengan pembatasan?Dalam kunjungan LPM INSTI-

TUT ke Property management Uni-

versitas Tarumanegara, Albertus Arifin mengatakan, lahan parkir harus disesuaikan dengan jumlah kendaraan yang masuk. “Jadi kebija-kan di sini itu, motor didata kemu-dian diserahkan kepada pengelola parkir,” katanya.

Dalam penerapannya, prosedur parkir di sana menurut Arifin yaitu dengan mendaftarkan kendaraan mahasiswa. “Yang boleh didaftar-kan hanya dua kendaraan saja, un-tuk motor pertama misalnya, boleh dibawa pada hari Selasa, dan motor kedua dibawa pada hari Senin. Keti-ka motor pertama dibawa pada hari Senin maka akan dikenakan biaya lebih,” ungkapnya.

Terkait pembatasan kendaraan, Rahmat mengungkapkan, “Bisa den-gan shift-shiftan, berarti kerja sama dengan akademik untuk mendata mahasiswa yang membawa motor,” ucapnya. Namun menurutnya, pem-batasan tersebut akan sulit dilaku-kan karena akan melanggar hak dan akan menjadi gejolak kemudian.

Parkir Semrawut, Kesadaran Mahasiswa Dipertanyakan

Akan tetapi, Sutrisno tidak setuju dengan diterapkannya pembatasan kendaraan. Menurutnya kendaraan bermotor sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. “Apalagi yang rumahnya jauh,” katanya.

Hal senada juga disampaikan ma-hasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ke-guruan (FITK), Leni Santri, “Soalnya kita butuh motor, ada yang dari jauh misalkan Serpong, terus kalau pagi juga butuh motor,” ungkapnya.

Sementara itu, Somad menanggapi pembatasan kendaraan hal tersebut tidak bisa dipaksakan, “Kalau naik angkot pasti macet, dan lebih terlam-bat,” katanya. Malah ia menilai secara keseluruhan sistem transportasi yang sudah salah. Pemerintah mengeluar-kan izin kendaraan bermotor secara terbuka dan dinas perhubungan be-lum membuat tranportasi massal yang baik, “Biaya juga masih mahal, maka yang paling murah bagi rakyat Indonesia adalah motor,” paparnya.

Mahasiswa Jangan meng-

andalkan tukang parkir saja. Kalau

kehilangan, tukang parkirnya yang

disalahkan

””

Makhruzi Rahman dan Ema Fitriyani

Kondisi parkiran Student Center dipadati sepeda motor.DOKUMENTASI INSTITUT

Rahman/INSTITUT

Pengguna sepeda motor melanggar tanda larangan parkir di depan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (8/6).

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 20

6 Edisi XX/Juni 2012WAWANCARA

Survei

Gun Gun Heryanto

Dunia politik kampus merupakan representasi perpolitikan sebuah negara. Jika praktek dalam kampus baik, maka penerapan di negara pun akan baik. Lalu, bagaimanakah demokrasi politik di UIN Jakarta? Berikut petikan wawancara dengan pakar komunikasi UIN Jakarta Gun Gun Heryanto di ruangannya, Kamis (7/6).

Masih ada keinginan untuk kemu-dian berpartisipasi. Kalau political performance itu harus dilihat dari proses legitimasi. Misalnya, pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mulai dari uni-versitas sampai ke fakultas apakah dipilihnya melalui legitimate atau tidak. Makanya konsep Student Goverment (SG) masih relevan di UIN Jakarta. Lalu, salah satu par-tisipasi politik kan media massa. Kalau kita taruh UIN Jakarta ini negara, kita perhatikan media massa masih bisa tumbuh subur. Saya mengajar di Paramadina dan gairah untuk membicarakan poli-tik cenderung rendah. Kalau di UIN Jakarta, di fakultas apa saja, semangat politiknya tinggi.

Apakah SG itu baik?Eksistensi SG sendiri un-

tuk pembelajaran mahasiswa, kemudian nanti tahu persis prototipe negara. SG itu punya nilai plus. Plusnya adalah proses demokratisasi. Itu prototipe dari institusi negara. Mungkin yang perlu diperbaiki ada beberapa hal. Seperti ekspresi simbolik pada saat kampanye, sehingga kampa-nye menjadi lebih transformatif dan akademis. Contohnya saat pemilihan, jangan pasang poster atau baliho. Jadi, nggak usah lagi karena itu prototipe generasi kedua dalam komunikasi politik. Generasi ketiga itu sudah mulai pendekatan-pendekatan modern. Misalnya, melakukan pendekatan ke komunitas atu organisasi ter-

tentu di UIN Jakarta. Kemudian debat ilmiah. Kemarin yang men-jadi pertimbangan untuk ditinjau ulang, karena ekspresi politik yang cenderung antagonistik. Salah satu dipicu karena konflik pemilu. Salah satu konflik pemilu karena konflik kampanye. Relasi antagonistiknya seperti konflik partai dengan partai di negara. Inilah yang mesti diperbaiki.

Siapa yang mesti dipersalahkan dengan sistem SG yang mengacu dengan sistem perpolitikan di Indonesia?

Harusnya ada reformulasi yang dimulai dari kampus. Karena kampus ini prototipe masyarakat akademik. Jadi bukan lagi pada baliho. Ini yang disebut dengan pendekatan public relation politic and sporadic. Itu ditandai dengan pendekatan yang spontan dan instan. Jadi dilakukan jauh-jauh hari kalau ingin menjadi ketua. Harus dibangun intelektual, organisasional, sehingga layak untuk berkompetisi. Setelah layak berkompetisi, lalu difasilitasi de-ngan dialog-dialog publik melalui debat-debat. Bagi saya, sistem SG itu baik, hanya saja diekspresi simboliknya itu yang harus ditata. Jangan sampai ekspresi simbolik itu melahirkan kekerasan.

Menurut Anda, universitas mana yang memiliki sistem demokrasi yang baik?

Sebenarnya prototipe di setiap universitas itu berbeda-beda.

Masing-masing universitas memi-liki keunggulan tersendiri. Seperti di UI, memiliki desentralisasi kekuatan yang bagus di fakultas-fakultas. Jadi, ada proses empower-ment di BEM di berbagai fakultas. Secara keseluruhan BEM ini representasi dari masyarakat menengah (dari segi intelektual) terdidik. Kampus ini kan pemasok calon intelektual, profesional dan lain-lain ke depan, sehingga tradi-si di negara jangan diikuti. Corak tradisional itu menurut saya ada tiga. Yaitu feodal, oligarkis, dan tradisional. Dan tradisi ini jangan sampai ada di mahasiswa.

Apa bentuk komunikasi yang dilakukan mahasiswa de-ngan rektorat untuk mencapai demokrasi?

Seharusnya ada proses memfasilitasi yang sejajar dan komunikasi produktif. Dengan arti, kita harus menghormati cara pandang rektorat bahwa konsep SG yang kemarin menimbulkan kegaduhan politik. Itu menim-bulkan kegaduhan politik yang berakibat pada menurunnya atmosfer akademik. Bisa saja itu jadi bahan evaluasi bersama. Se-baiknya dimulai dengan tawaran tertulis dari masing-masing pihak dengan tukar menukar konsep, sehingga menimbulkan kesepaha-man bersama. Dialog itu jangan mentah.

Sistem demokrasi mahasiswa di UIN Jakarta seperti apa?

Saya melihat demokratisasi di UIN itu dari sudut political perfor-mance, artinya penampilan politik demokrasinya sampai sekarang bagi saya lumayan bagus. Mak-

sudnya dalam fase lebih bagus dibanding universitas lain di

swasta. Mereka kelompok apolitisnya jauh lebih

besar persentase-nya. Kalau di UIN Jakarta pada saat pemilu

raya misalnya, antusiasmenya masih ada. Itu artinya in-dikator masih ada concern.

JAF

FR

Y/I

NST

ITU

T

SG Masih RelevanJaffry Prabu Prakoso

Sistematika pemilu raya yang berubah menjadi nonpartai, sis-tem budgeting tanpa melalui kon-gres mahasiswa, dan penerapan jam malam merupakan sedikit dari sekian banyak kebijakan yang dibuat rektorat demi kepentin-gan mahasiswa, khususnya untuk Lembaga Kemahasiswaan (LK).Namun, kebijakan tersebut men-dapat banyak pertentangan ka-rena pembuatannya dirasa masih sepihak oleh rektorat dan tanpa melibatan mahasiswa dalam pe-nyusunannya. Dalam survei yang dilakukan Litbang LPM INSTI-TUT, dapat dilihat bahwa sebagi-an besar mahasiswa yang aktif di LK seperti BEM dan UKM tidak setuju terhadap hasil kebijakan.Total sebanyak 260 sampel diam-bil dari 26 LK yang terdiri dari sebelas BEM dari tiap fakultas

dan 15 UKM. Pada pertanyaan pertama tentang tingkat kepuasan mahasiswa terhadap hasil kebija-kan rektorat sebesar 79% sampel menyatakan tidak puas, 8% puas, 12% mengaku tidak tahu, dan 1% memilih abstain.Sedangkan kebijakan mengenai budgeting menjadi pokok ketidak setujuan mahasiswa, sebanyak 35% responden menyatakan alokasi budgeting untuk LK men-jadi timpang karena tidak adanya sistem kongres yang mengatur pel-bagia budget.Kebijakan selanjutnya adalah sis-tem Student Goverment (SG) yang berubah menjadi Senat Maha-siswa mendapat penolakan sebe-sar 24%. Walaupun pemilu raya sudah dilaksanakan dan perwailan dari semua BEM fakultas maupun jurusan sudah terpilih, kebijakan

ini belum bisa diterima sepenuh-nya oleh mahasiswa. Dan seban-yak 20% menentang jam malam sebagai kebijakan yang membatasi ruang waktu kreativitas. 17% res-ponden berpendapat semua kebi-jakan tersebut memberatkan dan 4% memilih abstain.Kebijakan yang memberatkan itu semakin tidak adil karena dilaku-kan sepihak oleh rektorat, 67% mahasiswa merasa mereka belum dilibatkan dalam upaya pengambi-lan kebijakan. Sebaliknya, sekitar 8% mahasiswa merasa selama ini sudah dilibatkan. Dan 25% men-gaku tidak tahu.Mereka yang menginginkan ada-nya musyawarah sebelum kepu-tusan diturunkan berkisar 94% responden. Sedangkan hanya 3% responden yang berpikir tidak per-lu diadakan musyawarah, sisanya

sekitar 3% tidak tahu.Setelah kebijakan diturunkan pun diharap tidak lepas tanggung jawab begitu saja, namun tetap ada pengevaluasian kebijakan, sebanyak 92% responden setuju terhadap pengevaluasian. Adapun jangka waktu dalam pengevalu-asian juga menentukan tingkat keefektivitasan penerapan kebija-kan. Sejumlah 44% mahasiswa setuju pengevaluasian ini dilaku-kan dalam periode satu semester,

34% dari mereka menghendaki setiap bulan dilakukan evaluasi, 9% selama tiga bulan, 12% selama satu tahun dan 1% menyatakan abstain.Alasan dinginkannya musyawarah bersama adalah sebagai kunci un-tuk menjaga komunikasi antara re-ktorat dengan mahasiswa, karena seyogyanya mahasiswa sebagai subjek yang menjalankan kebija-kan lebih berperan aktif untuk me-majukan almamater tercinta.

Metode Survei:Survei ini dilakukan Litbang INSTITUT pada tanggal 1-5 Juni 2012. Sebanyak 260 responden dari 26 lembaga kemahasiswaan yang terdiri dari 15 UKM dan 11 BEM dipil-ih secara acak dengan metode Convenience Sampling. Hasil survey ini tidak dimak-sudkan untuk mewakili seluruh mahasiswa UIN Jakarta.

LK Tidak Puas dengan Kebijakan Rektorat

*Sumber: Litbang INSTITUT

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 20

7Edisi XX/Juni 2012 LAPORAN KHUSUS

Sejak dimunculkannya wacana Rancangan Undang-Undang Per-guruan Tinggi (RUU PT) di paruh akhir 2011 lalu, berbagai pro dan kontra terus bergulir. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut me-nuai polemik. Kebijakan pemerintah dirasa seperti mencekik kehidupan pendidikan di Indonesia.

Kegelisahan-kegelisahan ter-hadap RUU PT membuat banyak pihak jelas mengeluarkan pen-dapatnya tentang bagaimana se-harusnya bersikap. Sudah barang tentu, para praktisi pendidikan baik yang pro maupun kontra berkicau lewat media cetak atau-pun elektronik.

Diskusi-diskusi dalam kampus pun banyak terlihat, di antaranya mahasiswa—yang peduli akan sis-tem dan iklim pendidikan di kam-pusnya. Salah satu diskusi yang membahas polemik RUU PT ini diprakarsai oleh UKM LPM IN-STITUT bersama kawan-kawan organisasi, baik dalam atau luar kampus, pada Selasa (5/6) malam di kesekretariatan UKM FORSA yang dimoderatori oleh Aditia Purnomo dari Divisi Kajian LPM INSTITUT.

Dalam diskusi terbatas tersebut, ada beberapa poin yang diangkat. Abdul Charis, Pimpinan Litbang LPM INSTITUT mengatakan, poin kritik yang utama RUU PT ini adalah liberalisasi dalam pen-didikan. Sedianya, pasal 77 yang menyebutkan bahwa pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga kategori , yakni otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas, bisa membuat universitas menjadi

mandiri dalam memperoleh dan mengelola keuangan. “Liberalisa-si berkaitan dengan modal asing,” tambah Charis. Baginya, pasal 77 akan menimbulkan diskriminasi karena menyalahi konstitusi.

Menurut Umar Mukhtar, Redaktur Pelaksana LPM INSTI-TUT mengatakan, pemerintah hanya beralasan. Dana alokasi yang ada untuk pendidikan habis dipakai untuk belanja pegawai. “Okezone melansir 70% diguna-kan untuk itu (belanja pegawai),” ucapnya.

Dipakainya dana pendidi-kan 20% untuk belanja pegawai, menurut K. Achdan Mubarok, perwakilan Lembaga Studi-Aksi

Demokrasi Indonesia (LS-ADI) yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Univer-sitas (FKMU), menduga pergu-ruan tinggi itu bukan lagi dibiayai APBN, tapi oleh usaha asing. “Terbukti dari diambilnya dana mahasiswa yang digunakan untuk membayar hutang dari pemban-gunan gedung kampus, misalnya pada Islamic Development Bank (IDB),” ujarnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapakan Dika Irawan, Pimpinan Umum LPM INSTI-TUT yang mengemukakan, kebi-jakan-kebijakan di Indonesia ada semacam “titipan” asing. “Karena kita sudah disetir, “ ungkapnya.

Achdan yang juga aktif dalam UKM Teater Syahid pun menan-yakan ke mana peran pemerintah.

Perempuan satu-satunya dalam diskusi ini, Suci Fitriah dari Komite Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK) mengatakan, inter-vensi pemerintah sangat dibu-tuhkan dalam soal pendidikan dan kebudayaan. RUU PT diang-gap akan membuat pemerintah seolah-olah lepas tangan (dalam tanggung jawab). “Jika RUU PT disahkan, fokus PT akan pecah,” ujar M. Choirul Anam yang juga dari LS-ADI/FKMU.

Akan tetapi, Sulaiman Ra-syid, salah satu perwakilan UKM Lembaga Dakwah Kampus

(LDK) mengatakan, RUU PT jus-tru membuat universitas mandiri. “Komersialisasi ini adalah jalan agar pemerintah fokus dalam pen-didikan,” katanya. Diskusi semakin menarik ketika Sulaiman mengata-kan keuangan UIN akan terbantu dengan adanya Badan Layanan Umum (BLU) sebagai salah satu sumber pendapatan UIN selain dari pemerintah dan SPP mahasiswa, mahasiswa seharusnya akan lebih sejahtera.

Tetapi Charis punya pandangan lain. Lepas tangannya pemerintah dalam urusan pendidikan menu-rutnya akan membuat universitas yang mengalami kekurangan modal akan mendirikan ataupun mengem-bangkan usaha. Efek lain, univer-sitas berpotensi menaikkan SPP mahasiswa. Pendidikan jadi mahal, “Dan akses sekolah jadi sulit bagi si miskin.”

Jika dibenturkan dengan kondisi di UIN Jakarta, lebih jauh Charis berkata, badan usaha yang dimi-liki UIN Jakarta saat ini, seperti di antarnya Rumah Sakit Syarif Hiday-atullah, Madrasah Pembangunan, dan Syahida Inn bersifat komersil. “Secara halus rektorat menyebutnya nirlaba,” katanya.

Diskusi yang ikuti sekitar 13 orang yang terdiri dari 5 organisasi dengan sebelumnya mengundang 20 organ-isasi. Kelima oragnisasi yang datang yakni: Komite Aksi Mahasiswa Ja-karta (KAMJAK), LS-ADI, FKMU, UKM LDK, dan UKM LPM IN-STITUT, berharap setiap kebijakan harus dikritisi dengan menggulirkan opini agar mahasiswa melek terha-dap situasi yang ada.

ULAN/INSTITUT

RUU PT dalam Kacamata MahasiswaEma Fitriyani

Sama seperti tahun sebelumnya, di tahun ini, UIN Jakarta membuka kuota jalur Seleksi Nasional Ma-hasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) lebih besar dari jalur lainnya. Namun, apakah besarnya kuota pada jalur ini memiliki efek positif ? Dan akankah besarnya kuota mempengaruhi pemahaman Islam pada mahasiswa UIN Jakarta saat ini?.

Menghadapi tahun ajaran baru, kampus-kampus sedang sibuk menyiapkan ujian seleksi untuk mencari calon mahasiswa yang terpilih. Tak terkecuali UIN Ja-karta yang membuka jalur masuk mahasiswa baru melalui empat ta-hap. Di jalur SNMPTN UIN me-nyediakan kuota 60% , sedangkan sisanya sebesar 40%, diberikan un-tuk jalur Seleksi Perguruan Maha-siswa Bersama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (SPMB-PTAIN), Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK), dan Ujian Man-diri (UM).

Pembantu Rektorat (Purek) II Bidang Akademik, Moh. Matsna menjelaskan, besarnya kuota pada jalur SNMPTN disebabkan ka-rena adanya kerjasama yang bisa menguntungkan pihak UIN Jakar-ta. Keuntungan yang bisa diambil salah satunya, UIN Jakarta bisa bergabung dan setara dengan Per-

rusan Dirasat Is-lamiah, menga-takan, awalnya ia tidak setuju dengan kuota SNMPTN lebih besar dari jalur lain, namun ka-rena SNMPTN cakupannya na-sional, akhirnya ia pun setuju. Baginya, kuota SNMPTN lebih besar tidak ter-lalu berpengaruh kepada prodi agama, “Jalur SNMPTN kan tidak hanya siswa SMA saja yang bisa masuk, siswa lulusan MAN dan Pesantren

sehingga pihak UIN mengam-bil kuota pada jalur agama seperti SPMB PTAIN lebih sedikit diband-ingkan dengan kuota pada jalur SNMPTN.

M e n a n g -gapi besarnya kuota pada jalur SNMPTN yang tidak seband-ing dengan jalur lain, Dekan Fakultas Ushu-luddin, Zainun Kamal meny-ambut baik karena dengan begitu UIN bisa diwarnai den-gan hal yang

positif. Ia mengatakan, bagus tidaknya besar kuota SNMPTN kembali kepada pembinaan UIN. “Jika pembinaannya bagus, maka akan menghasilkan akademis yang bagus, jika pembinaannya kurang bagus, maka akademisnya pun akan kurang bagus,” katanya sambil tersenyum, Rabu, (6/6).

Zainun mencontohkan maha-siswanya yang berlatar belakang

sekolah umum lalu masuk fakultas agama, dengan pembinaan yang baik mahasiswa tersebut menda-patkan peringkat pertama. Walau-pun demikian ia tetap menyadari pendalaman ilmu agama antara Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliah (MA) tetap berbeda dari output yang dihasil-kan.

Willy Oktaviano, Sekretaris Ju-

pun bisa mengikutinya,” ucapnya, Rabu, (6/6).

Ia menambahkan, tidaklah be-nar jalur SNMPTN hanya me-mengaruhi banyaknya kuantitas fakultas umum. Bila diperhatikan fakultas agama dari masa IAIN sampai berganti UIN tidaklah berkurang. “Fakultas agama sekarang ini sudah bertambah, walaupun tidak sebanyak fakultas umum. Tapi intinya tetap bertam-bah,” imbuh Willy.

Zainun tak hanya melihat pen-garuh besarnya kuota SNMPTN, ia pun mengamati masalah pema-haman Islam yang dimiliki ma-hasiswa UIN Jakarta saat ini. Menurutnya, pemahaman Islam yang dimiliki mahasiswa, telah berkurang dan tak sama seperti dahulu. Hal itu terlihat dari kuri-kulum yang diberikan, berbeda dari tiap fakultas.

Berbeda dengan Zainun, Mats-na menjelaskan, pemahaman Is-lam yang dimiliki mahasiswa UIN Jakarta saat ini tidaklah jauh ber-beda dengan mahasiswa UIN Ja-karta yang dahulu. Walaupun saat ini UIN banyak diisi oleh maha-siswa lulusan SMA, ia menjamin pemahaman Islam yang dimiliki mahasiswa lulusan MA dan SMA tidak jauh berbeda.

Tetap Setuju, Walau Kuota SNMPTN Besar

ULAN/INSTITUT

Para calon mahasiswa sedang menggunakan komputer Akademik pusat mendaftar ujian jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri.

guruan Tingkat Negeri lain seperti Universitas Indonesia (UI), Uni-versitas Negeri Jakarta (UNJ), dan universitas tinggi negeri lainnya.

Selain itu, alasan yang me-nyebabkan jalur SNMPTN lebih besar dari jalur lain juga disebab-kan karena adanya kebijakan khusus masalah tes agama. Di mana masalah tersebut berupa tes bahsa arab yang cukup sulit,

Muji Hastuti

Diskusi terbatas LPM INSTITUT dengan beberapa organ intra dan ekstra kampus membahas RUU PT dalam konteks UIN, Selasa (5/6).

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 20

8 Edisi XX/Juni 2012KOLOM

Nota KeberatanAssalamu’alaikum Wr. Wb.Setelah membaca laporan Tab-

loid Institut edisi XIX/Mei 2012 secara seksama tertera di hala-man 2 dengan judul “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” kami sampaikan bahwa:

Pertama, Saudara telah tidak menyampaikan berita yang sebe-narnya akan tetapi lebih cende-rung memberikan tafsir yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi pengembangan UIN dan justru menimbulkan image negatif di kalangan pem-baca dan masyarakat. Judul yang saudara buat “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” dan kalimat pertama “… Ati karep tenaga cupet” adalah contoh yang sangat jelas bahwa saudara telah dengan sekehendak hati menghukumi secara negatif ter-hadap Ma’had.

Kedua, Kutipan ungkapan saudara Ardhy yang tertulis “…Jadi kita bebas saja mau pulang jam 2 pagi juga,” juga ungkapan yang tidak terhormat karena te-lah mengesankan bahwa Ma’had UIN Jakarta tidak diurus dengan serius. Begitu juga ungkapan sau-dara Ardhy yang saudara kutip “…program pembinaan yang be-lum jelas tujuannya” juga tidak berdasar.

Ketiga, Dengan menggunakan ungkapan sdr Ardhy, saudara sekali lagi, telah memperburuk citra Ma’had. Saudara tidak ber-hasil menangkap makna dan spir-it program pembinaan yang di-lakukan UIN Jakarta antara lain karena cenderung menafsirkan ketimbang menggali secara aku-rat dan jujur info pengembangan mahasiswa di Ma’had melalui

UIN justru menimbulkan imej negatif di kalangan pembaca dan masyarakat”, kami minta maaf. Sedangkan judul “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” dan kalimat pertama “...Ati karep tenaga cupet” sebenarnya bisa kami ganti dengan kalimat lain seandainya memang menurut bapak “...sekehendak hati meng-hukumi secara negatif terhadap Ma’had”. Akan tetapi, kami me-rasa bahwa prosedur kami sudah sesuai dengan metode jurnalistik, di mana kami mewawancarai se-mua narasumber yang bersang-kutan atau dalam istilah jurnal-istik cover bothside. Salah satunya, kami juga menulis komentar ba-pak “Karena ini bukan sulapan, jadi jangan komplain”, yang mengindikasikan agar pembaca tidak melihatnya semata-mata negatif tentang Ma’had UIN, tapi semuanya masih melalui proses.

Kedua, komentar saudara Ar-dhy “...Jadi kita bebas saja mau pulang jam 2 pagi juga,” yang menurut bapak “ungkapan yang tidak terhormat karena menge-sankan bahwa Ma’had UIN Ja-karta tidak diurus dengan seri-us”, adalah sebuah bentuk nyata di lapangan bagaimana kondisi Ma’had UIN, paling tidak ini adalah bentuk upaya kami un-tuk “jujur” dalam menuliskan laporan, tidak ada yang disem-bunyikan. Begitu pun ungkapan saudara Ardhy “... program pem-binaan yang belum jelas tujuan-nya” yang menurut bapak “tidak mendasar”, adalah kejadian yang ada di lapangan yang sangat tidak bisa kami tutupi.

Ketiga, dengan ungkapan saudara Ardhy justru kami men-coba menggali informasi secara

berbagai sumber (antara lain do-kumen resmi yang tidak saudara pelajari). Di samping itu saudara tidak menangkap dengan baik isi wawancara dengan saya.

Sehubung dengan itu, kami tegaskan kepada saudara:

Pertama, Kami sangat kebera-tan terhadap laporan saudara yang tendensius

Kedua, kami minta saudara meralat itu semua. Saudara se-mestinya memilih dan meman-faatkan sumber secara “adil” dan “jujur”

Ketiga, Kami minta LPM INS-TITUT ke depan mengembang-kan pers yang mendidik dan yang benar-benar memahami/menger-ti Visi dan Misi UIN.

Demikian surat ini kami sam-paikan semoga saudara bisa me-nerima kritik dan permintaan kami. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.Pembantu Rektor Bidang Ke-

mahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim.

JawabanAssalamualaikum Wr.WbSetelah membaca Nota

Keberatan No. Un.01/R/HM.00.6/961/2012 yang diberi-kan kepada Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT dan Pemimpin Redaksi Tabloid INSTITUT se-cara seksama, kami sampaikan bahwa:

Pertama, dalam prosedur kami, tidak diperkenankan sedikitpun memberikan tafsiran dalam menuliskan laporan. Jika memang laporan kami menurut bapak “…memberikan tafsiran yang sama sekali tidak memberi-kan manfaat bagi pengembangan

akurat, pertimbangannya karena saudara Ardhy adalah salah satu santri Ma’had UIN Jakarta yang merasakan dengan seluruh in-dranya tentang program pembi-naan yang dilakukan UIN Jakar-ta. Dan tentang “menggali secara akurat dan jujur info pengem-bangan mahasiswa di Ma’had melalui berbagai sumber (antara lain dokumen resmi yang tidak saudara pelajari)”, kami merasa sudah mewawancarai semua narasumber terkait. Jika memang dokumen resmi yang tidak kami pelajari membuat laporannya terasa “tidak berhasil menangkap makna spirit program pembinaan Ma’had UIN Jakarta antara lain karena cenderung menafsirkan ketimbang menggali secara aku-rat....”, kami minta maaf. Karena memang, seandainya narasum-ber terkait memberikan dokumen resmi tentang Ma’had UIN Ja-karta, barangkali kami dapat me-melajarinya dan meminimalisir “imej negatif di kalangan pem-baca dan masyarakat”.

Sehubung dengan itu, kami bermaksud kepada bapak:

Pertama, Berterima kasih dan minta maaf jika memang Bapak “...keberatan terhadap laporan saudara (kami) yang tendensius”. Kami menganggapnya sebagai sebuah apresiasi terhadap karya jurnalistik. Laporan tersebut menurut kami adalah sebuah upaya untuk mempublikasikan apapun terkait UIN Jakarta se-cara apa adanya kepada sivitas akademika, karena mereka harus tahu apa saja yang perlu dibena-hi di kampus tercinta ini, demi mewujudkan visi/misi UIN Ja-karta.

Kedua, Untuk “meralat itu se-

mua”, kami akan mempublikasi-kan surat Nota Keberatan bapak terhadap khalayak ramai beserta Jawaban Nota Keberatan kami, agar para pembaca tahu di mana letak kesalahan kami di dalam menuliskan laporan “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” yang sudah dipublikasikan di Tabloid INSTITUT Edisi XIX/Mei 2012. Dan tentang “…semestinya me-milih dan memanfaatkan sumber secara “adil” dan “jujur”, kami sebenarnya sudah berupaya me-milih dan memanfaatkan sumber di antaranya mewawancarai HD Hidayat Pimpinan Asrama (Kyai Ma’had), Ardhy Dinata Sitepu Mahasantri di Ma’had UIN Jakarta, dan Sudarnoto Abd Hakim Purek Kemahasiswaan, serta sebagai perbandingan Isro-qunnajah Direktur Ma’had UIN Malang. Dari itu semua, kami bermaksud menyampaikan lapo-ran apa adanya.

Ketiga, Permintaan “... LPM INSTITUT ke depan mengem-bangkan pers yang mendidik dan yang benar memahami/mengerti visi dan misi UIN” tentu akan kami pegang sebagai bahan evaluasi kami. Sekali lagi kami berterima kasih atas masukan bapak.

Demikian surat ini kami sam-paikan semoga Bapak dapat mengerti maksud kami dan da-pat pula menerima kritikan yang ada di dalam laporan kami seba-gai masukan untuk membangun bersama UIN Jakarta ini. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. WbLembaga Pers Mahasiswa

(LPM) INSTITUT UIN Syarif-hidayatullah Jakarta

Hak Jawab

Kampanye penegakan kode etik mahasiswa kini sedang gencar di-galakan penguasa kampus, dalam hal ini rektorat di tingkat universi-tas dan dekanat di tingkatan fakul-tas. Sebenarya peraturan ini sudah lama diterapkan tapi hasilnya ker-obohan. Maka saatnya sekarang untuk menegakannya.

Kode etik mahasiswa tertulis di buku pedoman akademik. Maaf, saya sendiri tak hafal isinya, intinya membahas soal tata cara mulai dari berbusana sampai sikap mahasiwa di kampus, dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Kampanye ini terlihat dari ban-yaknya peringatan tentang ber-busana yang rapi. Baik di kantor maupun di fakultas. Ketika saya masuk di fakultas pencetak calon guru, dengan jelas terpampang pa-pan informasi tentang bagaimana berbuasana yang baik. Lengkap dengan contoh model seorang pria dan perempuan yang mengenakan busana yang sesuai dengan kode etik. Tak hanya itu, terdapat la-rangan berambut gondrong, me-makai sandal jepit, dan merokok.

Bahkan ada fakultas yang be-gitu tegas menegakan kode etik, tak segan-segan satpam dan dosen menggunting paksa rambut ma-hasiswanya yang gondrong, dan mengusir jika kedapatan merokok. Ada yang melawan tapi sedikit,

butnya acak-acakan. Adakah pen-garuh rambut gondrong itu terha-dap kejeniusan otak?”.

Sedangkan bagi si penurut, mengikuti kampanye penegakan kode etik mahasiswa. Mereka nyaman dengan kerapihannya. Toh mereka menurut saja dengan peraturan yang ada untuk berada di zona aman. Jika disuruh untuk berpakaian rapi, memakai kemeja dengan celana bahan, rambut pen-dek, jangan memkai sandal jepit, jawabnya, “Iya pak”. Esok hari-nya tak ada masalah mereka me-nuruti perintah. Sebab tugas mere-ka hanyalah kuliah, menghindari segala persoalan yang dianggap mengganggu kuliahnya.

Di balik kampanye penegakan kode etik muncul pesan yang ingin disampaikan penguasa kampus. Pertama, penguasa terutama rek-torat dan dekanat ingin ‘menji-nakan’ mahasiswanya. Pasalnya, jejak rekam menunjukan, rektorat dan kolega selalu mengalah den-gan mahasiswa, seperti dalam sis-tem Student Government (SG) yang berperan dominan adalah maha-siswa. Kemudian, tak jarang me-nuruti kehendak mahasiswa yang melakukan aksi. Tapi untuk SG sudah diatasi dengan terbentukn-ya Senat Mahasiswa. Selanjutnya, bidikannya lebih adalah kode etik mahasiswa.

pada akhirnya tunduk. Mungkin ini dilakukan agar mahasiswa jera, tak main-main dengan pihak kam-pus.

Ada pula beberapa fakultas yang kurang begitu menegakan kode etik. Membebaskan mahasiswa-nya berambut gondrong, me-makai sandal jepit, celana sobek, dan merokok. Artinya melang-gar kode etik mahasiswa. Inilah yang disukai mahasiswa, den-gan jiwa mudanya mereka bebas mengekspresikan penampilannya.

Penguasa kampus berpendapat, penerapan kode etik dilakukan agar terbiasa dengan kerapihan.Dengan kata lain mencermin-kan sikap islami. Kepribadian seseorang dapat dilihat dari penampilannya. Lalu, ketika nanti berada di tempat kerja yang men-untut rapi sudah terbiasa.

Saya ingin mengklasifikasikan mahasiswa menjadi dua kubu, dengan cara pandang yang ber-beda; pemberontak dan penurut. Mereka yang pemberontak diisi para aktivis, yang terkadang kri-tis. Umunya, tak sepakat dengan kebijakan tersebut, berani tidak mengindahkan himbauan tentang kode etik, dengan terus memperta-hankan gayanya. Pernah seorang teman berkata “Yang kuliah itu otak bukan pakaian atau rambut gondrong, lihat saja Einstein ram-

Nah, kode etik mahasiswa sendiri menyangkut tata cara ma-hasiswa ketika berada di kampus. Di mana isi dari peraturan ini menurut saya, dibuat sepenuhnya oleh rektorat dengan cara pandan-ganya sendiri tanpa menyertakan mahasiswa sebagai pengguna dari kebijakan ini. Artinya, jika pen-egakan kode etik berhasil dilaku-kan, maka sukseslah rektorat me-nyetir mahasiswa.

Kedua, adanya usaha rektorat sebagai sentral kekuasaan untuk menyeragamkan mahasiswa. Se-luruh fakultas diharuskan mengi-kuti kebijakan ini. Cara penyerga-man ini serupa tradisi militer, yang serba menyergamkan sesuatu, dengan alasan disiplin taat den-gan peraturan atasan. Soeharto di masa Orde Baru, mengguna-kan metode penyeragaman ala militer ini, dalam mengendalikan kekuasannya. Semua pihak harus mengikuti, dan mendukung apa yang keluar dari pusat. Jika ada yang tak sesuai dengan program pembangunan, dianggap sebagai musuh yang harus dibasmi.

Pinta penguasa kampus, semua elemen yang ada di kampus harus mendukung visi dan misi keisla-man UIN. Salah satunya pen-egakan kode etik mahasiswa, agar berpakaian dan berperilaku islami sehingga citra baik yang dimun-

culkan dari kampus ini. Andaikan ada mahasiswa yang melanggar kode etik maka dikegorikan tak is-lami, maka harus segera ditindak. Demi terciptanya iklim kampus yang kondusif, nyaman, dan ten-ram. Tanpa adanya grasak-grusuk dari mahasiswa.

Semestinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan terutama yang terkait langsung dengan maha-siswa, elegannya didiskusikan ber-sama. Memang susah menjemba-tani orang tua dengan anak muda. Orang tua bersikukuh dengan pen-galamannya, dan ingin dihormati. Sedangkan yang muda, dengan jiwanya yang berapi-api tak ingin dirinya dikuasai, sebab ia ingin mencari jati dirinya sendiri tanpa perlu dibimbing.

Jika yang terjadi pemaksaan persepsi, itu pun kurang baik. Sebab di alam kampus permasala-han biasa diselesaikan dengan dis-kusi, tanpa memunculkan siapa pemenang. Tapi semua pihak me-rasa puas tanpa ada yang dirugi-kan. Termasuk dalam menyuruh berpakaian rapi, perlu dijelaskan kenapa haru seperti itu, tentunya dengan penjelasan yang logis.

* Pegiat sejarah dan bahasa di UIN Jakarta

Penegakan Kode Etik MahasiswaOleh Panjang Jiwa*

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 20

9Edisi XX/Juni 2012 OPINI

Melihat fenomena pada 10 dekade terakhir di Indonesia, layak

jika kita memosisikan Indonesia dalam daftar negara gagal. Walau tidak seburuk Afrika dengan kasus kemiskinannya, tetap saja Indone-sia memiliki banyak cacat.

Arbi Sanit membagi ciri negara gagal menjadi dua. Kegagalan se-cara fungsional, dan eksistensial. Secara fungsional, Indonesia telah mengalami banyak fashil. Hal itu dapat ditengarai dari ketidaksang-gupan pemerintah dalam me-nangani permasalahan ling-kungan. Banyaknya bencana alam di Indonesia menjadi faktor penentu kelengahan pemerintah menjalankan wewenangnya.

Mulai dari bencana tsunami di Aceh. Agaknya pemerintah kewalahan untuk memberikan bantuan karena banyaknya kor-ban dan kerugian finansial yang diderita. Belum lagi meletusnya gunung berapi di kota Magelang yang merenggut ratusan nyawa. Atau pun malapetaka lumpur Lapindo yang hingga kini para korbannya belum juga mendapat-kan bantuan hidup secara penuh. Mereka terpaksa bermukim di lokasi kumuh, disebabkan rumah tinggal mereka terendam lumpur panas.

Belum selesai dengan berbagai permasalahan di atas, akhir-akhir ini pemerintah disibukkan kemba-li dengan jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100. Dengan adanya ke-celakaan tersebut, pemerintah di-tuntut untuk mampu memberikan bantuan terhadap para korban.

Di sisi lain, ternyata pemerintah

lainnya yang mendapatkan fasili-tas apik di hotel penjara suci.

Bahkan, di intra-parlemen sendiri, masih banyak aktor-aktor demokrasi elit yang menjadi peng-gerak tindak ketidakadilan. Na-mun, pemerintah masih saja bersi-kap defensif karena terjebak oleh sistem koalisi partai, atau bahkan tetap berkutat dalam tatanan pen-citraan yang berkelanjutan. L a n -tas, bagaimana jalan alternatifnya?

Solusi awalCikal bakal dari kegagalan se-

buah negara dapat ditemukan pada titik partainya. Partai seperti penjelasan Mark Hagopian adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengontrol atau mempen-garuhi tindakan atau kebijakan pemerintah.

Sehingga pantas jika dikatakan baik buruknya pemimpin juga

juga kewalahan menghadapi kon-stelasi politik di negerinya sendiri, Indonesia. Kolotnya partai-partai politik mengharuskan pemerintah untuk selalu bersikap tegas, berbe-lok haluan dengan sikapnya seka-rang yang kerap defensif.

Sejak mencuatnya kasus BBM misalnya, beberapa partai yang se-cara kontitusional masih termasuk barisan koalisi pemerintah, justru membelot dari kebijakan pemer-intah. Belum lagi model partai-partai catch-all yang kerap mencari peluang untuk menduduki kursi yang masih tersisa. Sungguh posisi pemerintah yang dilematis.

Di satu sisi, pemerintah tetap harus menjaga elektabilitas par-tainya, mengingat jabatannya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Biru. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus bisa me-mobilisasi aspirasi-aspirasi koalisi-nya, sebagai konsekuensi mengi-kuti sistem politik multi-partai.

Selain itu, jika ditilik dari segi eksistensial, agaknya pemerintah belum maksimal menjalankan peran dan fungsinya. Pemerin-tah belum mampu menampilkan otoritas dan legitimasi kekuasaan-nya di hadapan berbagai kekuatan ‘gelap’ seperti jaringan penyelun-dupan (barang, manusia), perjudi-an, penjualan manusia, pelacuran, pencurian kayu dan hasil laut, ko-rupsi, hingga terorisme.

Termasuk kasus Gayus, ter-dakwa kasus korupsi pajak. Status terdakwa itu ternyata belum juga bisa membuatnya jera, bahkan di-rinya masih bisa bebas melakukan pariwisata hingga Kota Bali. Atau pun para tahanan kasus koruptor

dipengaruhi oleh partai asalnya. Sebab, partai juga merupakan Kawah Condrodimuka segenap kader-kadernya. Ideologi partai juga sangat memengaruhi ek-sistensi seseorang dalam meng-emban amanah rakyat. Terlebih, basis semua ideologi partai mem-injam penuturan Ichlasul Amal, Sosiolog UGM, adalah usaha memperoleh kekuasaan.

Sayangnya, pendidikan dan kaderisasi partai di Indonesia be-lum berjalan maksimal. Faktanya, para kandidat partai hanya dipilih berdasarkan banyaknya nominal uang yang ia miliki, bukan kapa-bilitas dan integritasnya. Padahal, seorang kaya belum tentu mampu mengemban amanat rakyatnya secara teguh, tanpa kualitas diri yang mumpuni. Alih-alih ingin menegakkan keadilan, ia justru menjadi aktor perusak keadilan itu sendiri.

Arbi Sanit menjelaskan bahwa politisi partai itu mudah terjebak oleh manipulasi politik secara vulgar, kebohongan politik, penyalahgunaan kekuasaan, argu-men dangkal, menyesatkan, dan disakuntabel. Jika hal ini terus diberdayakan, sampai kapan Re-publik ini akan terus dicap sebagai negara gagal?

Padahal, dengan adanya pendi-dikan politik, warga sipil justru akan lebih menyadari adanya konstelasi politik yang se-dang berlangsung. Lambat laun mereka pun akan menyadari peran dan fungsinya sebagai pen-gontrol, check and balance. Model masyarakat seperti itulah yang berpotensi menjadikan bangsa ini

adil dan beradab. Selain itu, den-gan adanya pendidikan politik dan kaderisasi partai yang sempurna, solidaritas rakyat juga akan mu-dah terbentuk. Sebab, mereka te-lah menyadari peran dan fungsin-ya masing-masing.

Namun, tidak mudah rasanya untuk menciptakan masyarakat politisi. Sebab kenyataannya, masyarakat Indonesia sangat apolitis. Mereka bahkan enggan untuk ikut terjun dalam dunia politik, karena asumsi awal yang mereka miliki, bahwa politik ada-lah kejahatan. Padahal, seyog-yanya politik adalah kebaikan. Sebuah jalan untuk mendapatkan kekuasaan dengan baik. Berbeda dengan kelompok kepentingan dan penekan yang lebih memilih cara persuasi dan propaganda dalam usahanya untuk berkuasa.

Ini menjadi PR kita bersama un-tuk memperjuangkan masyarakat yang politisi, sekaligus membina parpol yang sadar akan pendidi-kan politik dan kaderisasi. De-ngan begitu Indonesia dapat kelu-ar dari zona keterpurukan. Karena pada dasarnya, Indonesia yang namanya pernah berjaya di tengah negara-negara anggota PBB kala Soekarno, sangat berpotensi men-jadi negara impian semua orang. Tinggal bagaimana aplikasinya di lapangan.

*Penulis adalah Mahasiswa Tafsir

Hadis Fakultas Ushuluddin dan Fil-safat.

Mengidentifikasi Negara GagalOleh Shodiq Adi Winarko*

Menerima:

Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, dan cerpen. Opini, cerpen, tekno, dan esai: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter.

Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya.

Tulisan dikirim melalui email: [email protected]

Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085718363281. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat

Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

Redaksi LPM INSTITUT

SuratPembaca

Pertama kali datang ke Jakarta, saya heran dengan konsep “serba membayar parkir”. Masuk toko bayar parkir, masuk kantor bayar parkir, mampir ke ATM juga kena parkir. Taksi masuk hanya untuk drop off penumpang sekalipun tetap harus bayar parkir. Pendek kata, se-tiap melewati portal sebuah bangu-nan, harus bayar uang parkir. Lalu, bagaimana dengan kampus kita?

lagi, hanya mahasiswa yang harus bayar parkir.

Mungkin, curhat soal parkir ini bukan tentang angkanya, tapi filosofinya. Jika komersialisasi pen-didikan diterapkan di kampus, apa kata para founding father bangsa ini.

Jika semua kalangan, termasuk kalangan pendidikan sudah meng-komersialkan sesuatu yang mestinya menjadi bagian dari pelayanan, pasti ada yang sudah bergeser dari cara pandang kita sebagai makhluk ekonomi.

Cara pandang seperti ini mengge-jala hampir di semua lapisan masyarakat dan segala sendi ke-hidupan. Cara pandang “kalau bisa mendatangkan duit, kenapa harus gratis” membuat kita tak lagi meng-hargai nilai-nilai pelayanan kepada masyarakat.

Ternyata, kampus UIN juga sama. Sekali masuk bayar gopek (Rp500) .Itu untuk motor. Kalau mobil harganya seceng (Rp1000). Memang sih, uang segitu tidak terlihat mahal untuk orang-orang yang berduit, tapi untuk yang tak berpunya, cepek pun berharga. Mungkin semua ini ka-rena perusahaan-perusahaan parkir yang bermodal portal saja.

Dan tidak hanya itu, “Ideologi parkir” juga ideologinya pemilik lahan. Hasil uang parkir dipakai untuk operasional dan keuntungan perusahan, lalu selebihnya untuk pemilik area parkir tersebut.

Kabar buruknya, kewajiban bayar parkir nyatanya hanya diperuntuk-kan untuk mahasiswa dan tamu. Pejabat kampus tidak diharuskan bayar parkir. Pegawai, dosen, dan pengelola parkir juga tidak. Sekali

Padahal, tidak semua mahasiswa UIN dari keluarga mampu, banyak dari mereka yang berasal dari keluarga pas-pasan atau miskin bahkan tidak sedikit dari mereka yang membiayai kuliahnya sendiri. Dengan keluarnya berbagai kebi-jakan yang memberatkan maha-siswa, menunjukan bahwa pihak Rektorat menutup mata terhadap kondisi obyektif mahasiswanya. Mereka hanya menuntut mahasiswa untuk membayar biaya kuliah yang semakin besar, tetapi melalaikan kewajibannya terhadap mahasiswa.

Bagaimana seharusnya sikap ma-hasiswa dan pihak kampus tentang semua ini.

(Khotman Achdan Mubarok)

Bentuk Komersialisasi Pendidikan

Bang Peka...

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 20

10 Edisi XX/Juni 2012KAMPUSIANA

Hujan terus mengguyur Ciputat sejak pagi hingga petang (05/06). Rasa lapar pun seketika tercipta, “Makanan pedas, enak nih kayanya,” ujar Intan Nisa mahasiswi kos-kosan.

Nisa pun berinisiatif untuk makan Mie Aceh yang bumbu-nya dikenal cukup pedas, “Ma-kanan, tepat saat hujan datang,” ujarnya.

Berbicara soal Mie Aceh, makanan khas yang satu ini memang sangat terkenal akan kelezatannya. Untuk menikma-tinya, Anda tidak perlu repot-repot datang ke Aceh. Karena, di sekitar Ciputat kini banyak tersedia rumah makan yang khusus menyediakan kudapan Mie Aceh. Salah satunya adalah rumah makan Putra Mulya.

Sudah hampir satu tahun, Fitri, pemilik rumah makan ini, men-jalankan usaha Mie Acehnya. Banyak pesaing, tidak membuat ia surut. Alih-alih pesimis, Ia justru selalu yakin bahwa tem-patnya memiliki ciri khas yang membuat pelanggan kembali datang,”Semua bumbu Mie Aceh emang sama, tapi setiap orang li-dahnya beda-beda, ada saja yang

suka dengan Mie Aceh tempat saya,” ujarnya selepas shalat magrib.

Satu hal yang juga menarik dari Rumah ma-kan Putra mulya adalah sajian makanan kecil nya. Tentunya, penganan ini juga merupakan makanan ciri khas tanah rencong. Seperti Bulu Ba-kar, sejenis ketan yang dibungkus daun pisang, lalu dibakar, “Bulu Bakar ini sangat cocok sekali kalau dimakan dengan tape.” Di samping itu, ada juga Timpan, kue kara (sarang burung), dan roti jala,”Makanannya sengaja dihidangkan biar ketika pembeli menunggu, mereka bisa ngemil dulu.

Dalam pengolahannya, Mie Aceh Putra Mulya juga sudah

pasti sehat. Karena Fitri mengo-lah mienya sendiri, tanpa mem-beli di pasar. Para kokinya pun sangat piawai dalam membuat racikan bumbu , sehingga rasa nya sudah pasti “Super Sekali”.

Tidak sekadar mencari profit, perempuan keturunan Aceh-India ini sangat ingin mengenal-kan makanan khas daerahnya ke khalayak banyak, di luar provin-sinya, “Agar semua orang lebih mengenal seperti apa makanan ciri khas Aceh ini .”

“Saya memang hobi makan, apalagi di rumah anak-anak pada

suka makan Mie Aceh. Bumbu nya juga hampir sama dengan makanan India, jadi saya tidak kesulitan,” ujarnya

Provinsi Aceh juga memiliki ciri khas kuliner lain, yaitu kopi Aceh. Kopi ini sangat sulit diper-oleh dipasar-pasar biasa, karena penjualannya sangat terbatas. Na-mun tidak usah hawatir, karena Putra Mulya pun menyediakan kopi Aceh siap saji yang hanya tinggal diseruput.

“Rasanya cukup tajam diban-ding dengan kopi jenis lainnya, hanya saja kopi ini langsung diolah dari bijinya.”

Fitri sendiri mengambil stok kopi Aceh dari daerah Pasar Baru, karena di sana tersedia banyak kopi Aceh yang asli, tanpa campuran. Bahkan, apabila di sana tidak tersedia, maka ia rela memesan kopi langsung dari Aceh, “Kalau saya tidak pulang ke Aceh, kadang saya titip ke orang buat beliin kopi,” ujarnya antusias.

Wisata Kuliner...

Olahan Rempah dalam MieNoor Rahma Julia

UIN Jakarta, INSTITUT- Menyambut pembukan cabang Institute Francais-In-donesia (IFI) baru di Pusat Bahasa UIN Jakarta, IFI menggelar acara bertajuk Un Jour En France (Sehari di Prancis) di Auditorium Harun Nasution, Rabu (30/5). Acara yang juga dihadiri Bertrand Lortholary, Duta Besar Prancis untuk In-donesia ini dibuka dengan penandatanga-nan nota kesepakatan antara IFI dan UIN Jakarta terkait kerja sama dalam bidang pendidikan, ilmiah, dan budaya.

Rangkaian acara dilanjutkan dengan presentasi mengenai studi di Prancis oleh Campus France dan para alumninya di-sertai kelas pengenalan bahasa Prancis. Selain itu, disediakan pula konsultasi in-dividual oleh para agen Campus France. Dalam presentasi tersebut dijelaskan, ma-hasiswa yang belajar di universitas-univer-sitas Prancis sudah diprogramkan untuk lulus dalam 3 tahun untuk program Strata 1 (S1 atau License di Prancis) dan 2 tahun untuk program S2.

Selain itu, mahasiswa Indonesia yang belajar di Prancis tak perlu takut ke-habisan uang, karena mahasiswa dari luar Prancis dikantongi izin untuk bekerja paruh waktu. Toko-toko di sana juga ba-nyak menyediakan potongan harga 10-40 % bahkan gratis, bagi yang mengantongi kartu mahasiswa Prancis. Perihal isu pela-rangan pengenaan jilbab bagi muslimah, agen Campus France menjelaskan, pera-turan tersebut hanya berlaku bagi yang berumur 18 tahun ke bawah.

Thalita Fauziah Khairunisa, salah satu alumni Campus France dari Indonesia menjelaskan, pengajuan beasiswa ke Prancis tak sulit dilakukan. Langkah yang perlu dilakukan calon penerima beasiswa hanya menyiapkan lamaran beasiswa lalu mengajukannya ke universitas. Selan-jutnya, pihak universitas akan mengurus pengajuan tersebut untuk dapat diterima di tahun berikutnya.

Di sela pengenalan studi, agen IFI juga mengadakan pemutaran dan diskusi film Prancis Les femmes du 6eme etage (The Women on 6th Floor). Tak hanya itu, perhelatan IFI ini juga mendemonstrasi-kan kuliner ala Prancis di depan audito-rium.

Direktur IFI Jakarta, David Tursz ber-pendapat, hadirnya IFI di UIN Jakarta akan membantu para mahasiswa un-tuk mengenal budaya Prancis lebih jauh. Selain itu, IFI juga menyediakan kursus bahasa Prancis berbayar yang mendatang-

kan guru-guru profesional dari Indonesia dan Prancis.

Menurut David, mengingat program S1 di perguruan tinggi Prancis umum-nya mensyaratkan mahasiswanya untuk memiliki sertifikat internasional bahasa Prancis DELF B2 (Diplome d’Etudes en Langue de Francaise), kelas kursus IFI akan mempermudah persiapan maha-siswa untuk mengikuti program pertu-karan mahasiswa dan dosen ke Prancis yang akan segera dilaksanakan.

Malamnya, acara Un Jour En France ditutup dengan pertunjukan music jazz oleh Trio Cedric Hanriot. Konser bertema French Stories ini diisi oleh Cedric Hanri-ot (piano, programming, laptop), Bertrand Beruard (bass), dan Jean Baptiste Pinet (drum) yang berasal dari Prancis.

Cedric mengaku bersemangat datang ke Indonesia lagi setelah dua turnya di Yog-yakarta, Ambon, Surabaya, dan Jakarta pada 2011 lalu. Baginya, menyenangkan sekali bisa melihat para penonton di UIN Jakarta yang terbuka pada genre musik baru, khususnya jenis musik yang mereka usung. “Prancis-Indonesia merupakan perjalanan yang jauh, namun semuanya terasa mengasyikkan,” ujarnya.

Titi Hardianti, salah satu peserta Un Jour en France dari Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) mengaku puas terhadap rangkaian acara yang digelar dari pukul sebelas siang tersebut. Menurutnya, acara ini mengemas budaya Prancis dengan me-narik, terutama karena menghadirkan trio jazz yang sudah ia tunggu-tunggu.

“Gue nikmatin banget suguhan musik-nya. Meskipun sempat terpisah dari te-man pas mau nonton (pertunjukan musik jazz), yang penting gue bisa dengerin trio ini,” ujarnya senang.

Penandatanganan MoU kerjasama oleh pihak UIN Jakarta dan Institute Francais-Indonesia, (30/5).

NIDA/INSTITUT

Mengenal Prancis dalam “Un Jour En France”

Trisna WulandariUIN Jakarta, INSTITUT- Pada seminar

“Pesantren Studies vs Islamic Studies: Mem-pertanyakan Kembali Integrasi Keilmuan di UIN” yang berlangsung di Aula Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Lantai II, Sudarnoto Abdul Hakim, Purek III Bidang Akademik, dalam sambutannya mengatakan, saat ini UIN masih dalam tahap penyandingan ilmu, belum pada tahap integrasi keilmuan, Kamis (7/6).

Menurutnya, proyek integrasi keilmuan di UIN bukan hal mudah. Dibutuhkan proses dan waktu yang lama. Namun, UIN, katanya, saat ini tetap berkomitmen menghilangkan dikotomi ilmu. “Belum integrasi! Masih perlu perjalanan panjang. Jadi, kalau dipertanya-kan (integrasi keilmuan), ya, no questions,” katanya.

Dalam sambutannya pula, Abuddin Nata, Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, menga-takan latar belakang konversi IAIN ke UIN adalah paradigma Studi Islam. Pendalaman Studi Islam tersebut perlu agar Islam da-pat masuk ke ‘bumi’. “Studi Islam adalah bagaimana Islam bisa masuk dan tidak eks-lusif,” katanya.

Studi Islam, menurutnya, merupakan se-buah paradigma baru yang melihat Islam sebagai sebuah kajian yang memiliki interde-pendensi dengan bidang-bidang kajian sains, ilmu sosial, antropologi, serta responsif terha-dap isu-isu kontemporer.

Ia mengatakan salah satu alasan kenapa terjadi konversi guna merespon pergeseran paradigma madrasah aliah yang semula ada-lah sekolah agama, kini bergeser menjadi se-kolah umum berciri Islam. “Ciri mahasiswa IAIN itu harus bisa baca kitab. Kalau nggak dikonversi, sudah nggak ada lagi mahasiswa di UIN ini,” katanya.

Tampil sebagai pembicara pertama, Fuad Jabali, pengajar program pascasarjana UIN, mengatakan konsep Integrasi Keilmuan, berdasarkan sudut pandang historis, kurang tepat. Seharusnya menggunakan istilah Rein-tegrasi Keilmuan. Karena, menurutnya, kon-sep Integrasi Keilmuan sudah pernah ada di jaman keemasan Islam di abad pertengahan.

Agar maju, menurut Fuad, umat Islam harus mempelajari ilmu dari Barat. “Dulu,” katanya, “Barat banyak belajar dari Timur. Oleh karena itu, kalau kita menolak perada-ban Barat, itu berarti menolak sebagian per-adaban Islam, karena apa yang ada di Barat itu adalah dulu punya Islam,” tandasnya.

Ia menghimbau umat Islam meruntuhkan mitos integrasi keilmuan yang seringkali dia-sosiasikan berdasarkan tinjauan demografis kepada wilayah Timur Tengah. Padahal, menurutnya, asosiasi Islam dengan Timur-Tengah itu hanya sebentar. ”Pusat peradaban Islam berpindah-pindah tidak hanya dengan di Timur-Tengah,” katanya. “Kita harus ber-

sikap seperti umat Islam jaman dulu yang tidak takut dengan dengan peradaban apapun.”

Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta, Mulyadi Kartanegara, dalam presentasinya mengatakan integrasi keilmuan harus menyin-ergikan potensi indera, akal dan hati dalam mempelajari segala yang ada di alam semesta ini sebagai ayat Allah.

Menurutnya, tidak ada dikotomi dalam ilmu, seperti yang dilakukan oleh Barat yang bercorak eksperimental-empiris. “Integrasi bu-kan melebur, integrasi berhadapan dengan per-soalan dikotomi,” katanya.

Menurutnya, UIN perlu mengadakan cur-riculum reform dengan memperbanyak referensi dari Islam jangan hanya dari Barat, mengada-kan proyek karya-karya ilmiah dan membuat pengantar buku-buku pengantar Islam. “Kalau tidak, wacana integrasi keilmuan itu , ya, han-ya wacana saja,” katanya.

Pembicara terakhir, Ahmad Baso, Intele-ktual NU, berpendapat pentingnya karakter berkebangsaan dalam integrasi keilmuan. Ber-dasarkan kitab Serat Centini hasil karya orang pesantren di Indonesia, ia mengatakan kon-tribusi orang pesantren dalam khazanah keil-muan sangatlah kaya.

Bahkan, dulu, akibat kemajuan di bidang keilmuan tersebut membuat penjajah saat kewalahan menghadapi kaum pesantren. “Pesantren tidak membenci ilmu Barat, tapi kolonialisme, kapitalisme.”

Ia menghimbau UIN agar juga mempelajari teks-teks peninggalan nusantara, khususnya pesantren, yang banyak menyimpan khazanah keilmuan, tidak hanya mengutip karya-karya luar nusantara.

Hal tersebut, menurutnya, akan bermanfaat untuk memperkuat karakter kebangsaan ma-hasiswa, “UIN kalau kalau mau ngomong inte-grasi, harus mempunyai karakter kebangsaan. Kalau tidak, yang ada cuma kutip mengutip dari luar,” katanya.

Seminar tersebut terselenggara atas kerjasa-ma berbagai pihak, yaitu Komunitas Saung, LPM INSTITUT, Himpunan Mahasiswa Juru-san (HMJ) Tarjamah Fakultas Adab dan Hu-maniora, Badan Eksekutif Mahasiswa FDI dan HMJ Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin.

Integrasi Keilmuan UIN, No Questions!Rahmat Kamaruddin

Ahmad Baso (tengah), Intelektual NU mengemukakan, UIN Jakarta harus mengkaji literatur klasik keilmuan nusantara pada seminar Integrasi Keilmuan di Aula Fakultas Dirasat Islamiyah, Kamis (7/6).

ABDUL JALIL/KALACITRA

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 20

11Edisi XX/Juni 2012 SOSOK

Komunitas

Perkumpulan ini di-awali dari kumpul biasa. Namun, untuk mem-pererat kebersamaan dan silaturahmi dengan yang lain, terutama di Jurusan

Agribisnis, terbentuklah Agb2Ro-da. Hal ini dilakukan untuk mel-anjutkan tradisi yang telah ada, yaitu Jurusan Agribisnis yang terkenal dengan keakrabannya ke seluruh angkatan, meskipun seniornya sudah lulus.

Kegiatan Agb2Roda tidak hanya CFD. Sejak 2010, komuni-tas ini melakukan perjalanan ke Pulau Untungjawa di Kepulauan Seribu. Tahun yang lalu pun, pulau ini kembali dijamah komu-nitas ini. Akan tetapi, di tahun ini keinginan untuk menyambangi pulau serupa tak diinjak kembali. “Mungkin tahun ini kita akan ke Mekar Sari,” tutur Alan sembari tersenyum.

Selain perjalanan menyebrang pulau, Agb2Roda turut serta dengan kegiatan yang berhubun-gan dengan lingkungan, karena sebagian besar anggota yang aktif berkecimpung dengan dunia pertanian, di Fakultas Sains dan Tekhnologi, Jurusan Agribisnis.

Di Tugu UIN, ditemani sebotol minuman serta kicauan burung

gereja, Alan meceritakan di mana ia bisa kenal dengan komunitas sepeda dari universitas lain. Kendati belum memiliki anggota yang banyak, itu tidak membuat Alan rendah diri dengan komuni-tas sepeda lain yang sudah banyak anggotanya. “Yang penting (ko-munitas sepeda UIN) ada dulu,” paparnya.

Setiap anggota pun tidak diharuskan memiliki sepeda wajib. Bagi mereka yang ingin berpartisipasi di Agb2Roda, bisa saja mendekatkan emosionalnya dengan teman-teman yang sebel-umnya telah ada. Asalkan mereka berkeinginan untuk bergabung, Agb2roda membukakan pintu selebar-lebarnya bagi yang ingin berpartisipasi.

Meski membawa nama jurusan, Agb2Roda tak menghidari bagi kawan-kawan lain yang ingin bergabung dengan komunitas ini. “Pengen punya banyak teman di sepeda,” ujar Alan yang sedang sibuk menyelesaikan tugas skrip-sinya.

Agb2Roda pun tak berkutat dengan anggotanya saja. Ketika bersepeda di jalan dan bertemu dengan komunitas lain, mereka ikut bergabung agar lebih ramai. Semakin banyak komunitas yang berkumpul, semakin seru pula Komunitas Agb2Roda saat perjalanan menuju Pulau Untungjawa 2011 silam.

ALAN/Agb2Roda

Berawal dari kegiatan bulanan Car Free Day (CFD), Alan Dwikora bersama kawan satu kuliahnya berkumpul menikmati jalanan Jakarta tanpa kendaraan bermotor. Seringnya mengikuti acara tersebut, akhirnya Alan bersama teman sepermainannya membuat komunitas sepeda yang dinamakan Agb2Roda.

perjalanan yang mereka lakukan.Tujuan Agb2Roda untuk

mempererat persaudaraan antara Jurusan Agribisnis tak sesuai dengan harapan. Menurut Alan, ketertarikan mahasiswa akan sepeda sangat jarang, sehingga orang yang memiliki sepeda pun tak sebanding dengan pengguna motor. Karena motor lebih mudah dikendarai dan tidak melelahkan.

Bagi Alan, bersepeda itu sehat. Sungguh disayangkan baginya kalau orang malas bersepeda karena mudah berkeringat. Alan pun menyadari, di UIN Jakarta fasilitas untuk membersihkan diri karena keringatan masih san-gat minim, jika dilihat dengan kondisi kamar mandi yang jauh dari baik. Tapi itu tak mengurangi niatnya dan kawan-kawannya yang lain untuk bersepeda.

Saat ini masih belum ada yang meneruskan Agb2Roda. Yang aktif dalam kegiatan itu masih diisi oleh orang-orang lama. Pendekatan ke adik kelas pun dilakukan. Selain menghidupkan kembali komunitas sepeda, Alan juga ingin bersilaturahmi dengan adiknya di jurusan yang belum ia kenal. Karena sesuai dengan tujuan awal, Agb2Roda untuk silaturahmi.

Agb2Roda untuk SilaturahmiJaffry Prabu Prakoso

“Kita mau ganja ini kembali kepada status-nya seperti dulu lagi,” tutur Gilang. Sembari

bercerita, Gilang senantiasa tersenyum tipis, sesekali ia me-

layangkan pandang ke depan. Tenang. “Kita

ingin masyarakat Indonesia mampu

melihat secara objektif keberadaan ganja di

negeri ini,” lanjutnya.Bergabung dan menjabat

sebagai Humas di Komunitas Ganja’sMART, pria pecinta musik reggae ini telah berkali-kali melakukan sosialisasi legalitas tumbuhan yang akrab disebut hemp itu, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Dalam aksi kampanye legalisasi ganja, Gilang merangkul berbagai elemen masyarakat menghimpun suara dengan cara mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Hampir semua komponen yang ada pada tumbuhan ganja itu ber-manfaat. Mulai dari kesehatan, arsitektur bangunan, kerajinan tangan, tali-temali, hingga kon-servasi hutan di Indonesia. “Jika dipakai dengan kadar berlebih, ganja memang memabukkan. Jika

mendalam tentang perdamaian,” katanya.

Menurut vokalis band Chain Lova RR tersebut, aliran musik reggae mempunyai sisi historis yang panjang dan berbeda dengan ragam musik lainnya. Reggae mengandung unsur filosofi yang dalam. Dalam perjalanannya, menurutnya, di beberapa negara di Afrika, reggae membawa misi perdamaian, pembebasan, dan ke-merdekaan terhadap situasi sosial penduduk setempat.

Ia tampak bersemangat ketika berkisah tentang reggae terutama sejarah Rastafarian. Dia mengata-kan dirinya adalah penganut aga-ma Islam Rastafarian. Ia melihat adanya persamaan pada dua ajaran tersebut. “Ajaran Rasta itu adalah kasih sayang, sama seperti dalam konsep Islam, rahmatan lil ‘alamin,” katanya. “Ayat-ayat reggae penuh unsur kemanusiaan, transaksi cinta, dan getaran perdamaian.”

Saat ditanya tentang harapan dan cita-citanya, ia mengatakan ingin bangsa ini pintar, memban-gun kesadaran serta melakukan se-galanya bukan dasar paksaan. Dia juga mempunyai impian tidak ada lagi terjadi tindak kekerasan terjadi di Indonesia dan masyarakat dapat hidup bersama dalam perbedaan. “Cita-cita gue, di negeri ini nggak ada lagi orang menderita. Kita semua hidup dalam kasih sayang meski berbeda-beda. Seperti pel-angi,” ujarnya sembari tersenyum.

berlebihan, ya, berbahaya, apapun itu,” tutur pria berzodiak Taurus yang juga anggota Lingkar Ganja Nusatara (LGN) tersebut.

Mahasiswa Fakultas Ushulud-din, Jurusan Akidah Filsafat ini, selain aktif menyosialisakan gan-ja, ia juga banyak aktif mengedu-kasi penyandang Orang Dengan HIV Aids (ODHA) dan pecandu narkotika. “Mereka sama dengan kita, tak perlu dijauhi,” katanya. “Gue banyak belajar dari seman-gat dan optimis mereka untuk hidup”.

Dalam upayanya menanggulan-gi ODHA dan pecandu narkotika, Gilang menggunakan tumbuhan ganja untuk mengobati mereka. “Teman gue, ODHA, saat pengob-atan medis konvensional nggak bisa lagi ngobatin, sampai seka-rang masih hidup meski di dalam otaknya infeksi karena tumbuh banyak bisul, ganja memperkuat sistem imun tubuh manusia, ia punya kadungan zat neoru protec-tion,” katanya.

“Reggae Jalan Hidupku”

Tidak hanya berkutat di kancah akademis, aktivis dan sosial. Pria kelahiran 6 Mei 1989 tersebut juga aktif di bidang musik. Ia seorang pecinta musik reggae. Baginya, reggae banyak mengin-spirasi setiap alur kehidupannya. “Reggae menebar kasih, setiap baitnya mengandung pesan

Gilang: Masyarakat Indonesia, Sadarlah!

Rahmat Kamaruddin

Gilang Kreasi Galang Logika

DOK. PRIBADI

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 20

12 Edisi XX/Juni 2012SASTRAPuisi...

Setiap malam,aku membaringkan gedung-gedung batuyang berhimpitan denganlelah.

Yang menjadi basah oleh curah rasasepanaskawah.

Aku pun menyulapnyamenjadi lahan berpetak laksanasawah.Lalu kutebar benih-benih kasihyang tumbuh jadi serigalasetiap pagi.

Setiap pagi,aku membangunkan gedung-gedung batuyang berhimpitan denganpedih.

Yang menjadi kuburan besar juga luasdan kuukir nama orang tercintalalu berubah menjadi iblissetiap malam.

Mutiara,sosoknya banyak bicarabercahayamenari-nari, penuh setangkupgaya.Seniscaya surya yang penuh dengandaya.Seumpama bandit yang menentangbahaya.

Terkadang, dia tajammenghujamkejam.

Mematutkan diri di balik cerminsendiri.Riang berseri di antara kerikil-kerikil yangbernyanyi.Yang sempat merasakan sunyi, walau mereka beraniberbunyi.

Apakah dunia memuja rupa tanpa rasa???

Tidak!!!

Apakah hidup melukiskan luka tanpa suka???

Tidak!!!

Kerikil lalu terdiammerasakan kehidupan pun tiada adil baginya.Keburukan seakan adalah racun jiwayang tiada henti merampokmimpi.

Kemudian kerikil-kerikil berkata :Tuhan, kami ingin jadi mutiarayang indahnya tiada terkira.

Seandainya aku adalah Tuhan,aku pasti tertawaseraya langsung berkata :Tahukah kalian tentang mutiara???

Metropolitan

Mutiara di antara Kerikil-Kerikil

Oleh Syafira Ulfa “Guys, ke kantin yuk!”“Kaga punya duit gue Sin, atm gue

di blokir.”“Ah,lo ada aja alesannya, ya udah

gue traktir deh.”“Nah itu baru gue mau, setuju ga

guys?”“Setujuuu,thanks Sinta,”jawab tiga

cewe menor itu kompak.

Setibanya di kantin, seperti biasa Sinta selalu membuat gaduh. Dia san-gat disegani seluruh isi sekolah, karena dia adalah cucu semata wayang dari Mr.Kursbendlood jutawan berkebang-saan yang terkenal. Hidup mewah sudah menjadi santapan hariannya. Tapi dia masih merasa sedih, karena dia menyandang status yatim piatu.

####

Satu minggu sudah, tapi gadis kecil lusuh itu masih bertahan disana. Mengais sisa makanan yang sudah dihinggapi lalat. Setiap warga sekitar yang membuang sampah, merasa iba padanya dan sering kali menawari untuk tinggal di rumah mereka. Tapi si gadis hanya diam dan menggeleng. Dia lebih memilih bersembunyi di balik tong sampah besar itu seraya menatap sebuah jendela di rumah itu.

Duapuluh tahun yang lalu,

“Tuti aku mencintai kamu,menikahlah denganku,”kata lelaki bule itu.

“Aku tidak bisa Thomas, kita berbeda bangsa. Ibuku takkan setuju!!!”

“Aku tidak peduli, aku tau bangsaku sudah menjajah bangsamu. Tapi aku tidak begitu. Maafkanlah ayahku, aku mohon.”

“Mungkin aku bisa memaafkannya, tapi kurasa ibuku tidak,” jawab Tuti dengan derai air mata.

Cinta mereka terlalu kuat, hingga Tuti memilih pergi dengan Thomas dan meninggalkan ibunya. Tiga tahun berlalu, Tuti mengandung seorang anak perempuan. Sunguh malang nasib Tuti dan anaknya. Suaminya tewas di bunuh seorang anak pejuang Indonesia yang dendam pada ayah Thomas. Tutipun kembali ke rumah sang ibu dengan membawa serta bayinya.

“Seumur hidup Ibu takkan pernah menganggapnya cucu, anak dari Be-landa biadab yang ayahnya telah mem-bunuh ayahmu. Apa kau tak merasakan perihnya hati ibu nak??” ucap sang ibu dengan muka merah padam menahan amarah.

Tuti hanya bisa membisu mendengar ucapan ibunya. Tak berapa lama orang tua Thomas juga mengetahui kematian anaknya. Merekapun marah besar pada Tuti dan merampas anaknya sebagai ganti atas kepergian Thomas. Kesedi-han itu semakin bertambah saat Tuti kembali kehilangan ibu tercintanya. Hingga membuat Tuti menjadi tidak waras.

####

“Oma…!!!” sapa Sinta seraya men-cium pipi neneknya.

“Eh Sinta udah pulang,”jawab sang nenek membalas kecupannya.

“Gimana kondisi opa? Apa udah membaik?”

“Belum ada kabar dari dokter, Say-ang. Kita doakan saja yah.”

“Iya Oma..”Oma Sinta selalu berada di rumah

sakit untuk menjaga sang suami yang sedang sakit keras. Walaupun kecil ke-mungkinan untuk bisa bertahan hidup, namun Sinta dan omanya percaya opanya bisa sehat seperti semula.

####

Keadaan Tuti semakin parah, untungnya ada seorang pria baik hati yang menolong dan bersedia menjadi-kannya istri. Pria itu dengan telaten merawat Tuti hingga berangsur-angsur ia kembali normal. Selang beberapa tahun pernikahan, suami Tuti berubah menjadi pria kasar yang sering menyik-sa dirinya bahkan saat sedang hamil. Lantas dengan tega suaminya pergi dengan wanita lain, meninggalkan Tuti dan anak yang di kandungnya. Bahkan hingga anak itu lahir dan tumbuh besar suaminya tak pernah kembali.

####“Nggak,,gue nggak percaya opa

meninggal. Gue pasti mimpi buruk, opa pasti masih ada di kamar,” batin Sinta.

“Opa,bangun opa udah pagi,”seraya membuka pintu kamar kakeknya.

Sintapun menangis sesegukan meli-hat kenyataan ini kemudian kembali ke kamarnya. Dia bersandar di jendela menghirup udara segar untuk me-nenangkan hatinya. Satu pemandangan yang tak disukainya yaitu tong sampah besar yang persis menghadap kamarn-ya. Tapi kali ini dia menatap tong itu lekat-lekat, ada seseorang disana yang pernah di lihatnya tiga bulan lalu. Rasa penasaran menghinggapinya hingga ia memutuskan keluar dan mendekati tong sampah itu. Ternyata benar di

dalam sana ada seorang anak perem-puan kecil sedang tidur. Menyadari kehadiran Sinta, gadis itu terbangun lalu tersenyum.Sinta pun heran.

“Kamu ngapain disini? Rumah kamu dimana?”tanya Sinta.

Anak kecil itu tak menjawab hanya mengangguk-ngangguk kegirangan. Kemudian seperti mencari sesuatu. Diapun memberikannya pada Sinta. Benda itu secarik kertas kumal. Tetes demi tetes air mata Sinta berjatuhan saat membacanya.

Teruntuk anakku tercinta,Siapapun namamu, aku ibumu nak,

Tuti Purnangsih. Hidup ibu sangat menderita nak ibu harus kehilangan ayahmu dan kamu. Tapi ibu yakin kau sekarang hidup bahagia bersama nenek kakekmu. Pasti sekarang kau menjadi gadis yang cantik kan? Ibu sungguh ingin melihatmu. Jika kau sudah men-emukan gadis kecil yang tuli dan bisu itu ,ajaklah ia berbahagia bersamamu. Kasihan adikmu nak, ibu mohon agar kau bersedia menjaga dan mencintain-ya. Ibu mencintai kalian berdua.

Sinta lalu memeluk adiknya, dia tidak perduli bajunya kotor dia kembali menangis.

“De, kakak janji akan selalu men-jagamu. Maafin kakak yah?”tutur Sinta lembut.

Sinta mengajak adiknya untuk ting-gal bersama. Oma yang tadinya tidak menyukai kehadiran gadis itu lantas merasa iba dan menyayanginya seperti yang di lakukannya pada Sinta. Be-berapa tahun setelah bimbingan privat, adik Sintapun sedikit demi sedikit dapat berbicara.

####“Susi, nanti kalo kamu mau be-

rangkat ke jakarta. Mbak nitip Lisa yah,tolong anterin ke alamat ini,”kata Tuti pada tetangganya yang akan ke Arab sebagai tkw.

“Lisa anakku, temui kakakmu yah. Dia punya tanda lahir di leher kirinya. Ini untukmu dan ini untuk kakakmu,ibu mencintaimu nak!!”ucap Tuti terbata-bata seraya memberi dua cincin pada Lisa.

Itu adalah cincin yang di berikan Thomas saat pertama mereka bertemu, ternyata Thomas juga memilikinya. Tuti mendapatkannya dari saksi mata saat Thomas terbunuh. Tutipun meng-hembuskan nafas terakhirnya karena sudah tak kuat menahan TBC akut yang di deritanya.

Tong Sampah itu?Cerpen...

Oleh Rahardyan Afrian

Kunjungi...

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 20

13Edisi XX/Juni 2012 RESENSI

Buku

untuk mendekatkan diri dengan Tu-han sebagai pusat spiritual.

Bambang Mulyanto (Bamton), mantan wakil pimpinan redaksi Majalah Poultry Indonesia, mem-buat novel yang berjudul Suluk. Dalam novel ini, ia menceritakan tentang sebuah tempat yang me-nurutnya sesuai bagi para pem-buru rohani. Tepatnya di sebuah surau bernama Baitul Amin. Ke-giatan utama yang dilakukan ada-lah mengingat sang pencipta atau berdzikir, dengan metode Tarekat-ullah Ahlusunnah wal Jamaah, mereka menamakan diri Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah.

Melalui proses dialektika yang dilakukan para tokoh dalam no-velnya, Bamton ingin menyam-paikan gagasan tentang masalah spiritual mendasar yang seharus-nya tertanam dalam diri setiap manusia. Karena kini, manusia memang terkesan menjauh dari Tuhan. Maka, selain berguna bagi kalangan sivitas akademika, novel ini juga berguna bagi masyarakat untuk mengetahui peta besar spi-ritual seorang muslim.

Dalam buku ini, Bamton meng-gunakan tokoh pemuda bernama Rahina yang terlahir dan dibe-sarkan dari lingkungan Muslim

Dewasa ini manu-sia semakin di sibukkan dengan

urusan duniawi. Hingga seringkali manusia melupa-kan urusan yang bersifat spiritual (rohani). Secara psikologis, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkun-gannya. Atas dasar pemen-uhan kebutuhan spiritual tersebut, maka dibutuh-kan tempat yang sesuai

Kejawen. Ia ingin mencari jalan terang melalui tuntunan ajaran Is-lam yang kaffah, Islam yang utuh. Pertemanannya dengan pemeluk agama lain menambah keyakinan-nya bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Islam memberi ruang penghayatan keagamaan eksoterik (lahiri) seperti salat, zakat, puasa, naik haji, sekaligus ruang penghayatan keagamaan esoterik (batini) seperti halnya ber-tapa atau meditasi.

Rahina berkeyakinan bahwa beragama layaknya bersekolah. Ia masuk dalam ‘lembaga pendidi-kan rohani’ yakni lembaga tarekat. Di ‘sekolah’, ia harus menjadi ‘murid’ yang patuh, mengikuti pelajaran dan kegiatan lain hingga akhirnya menunggu pengumuman kelulusan.

Setelah lulus dari tingkat dasar, siswa harus melanjutkan ke ting-kat selanjutnya yang lebih tinggi. Suluk dalam lembaga tarekat da-pat diumpakan sebagai ujian ke-naikan kelas, sedangkan kelulusan adalah saat kita meninggalkan du-nia ini.

Sebagai murid tarekat, penting untuk mengetahui silsilah guru-guru tarekat hingga bertautan langsung dengan Rasulullah Saw.

Ini bertujuan, agar mengenal se-jarah Islam dari prespektif yang berbeda dengan pelajaran sejarah selama ini, yang lebih merujuk pada sumber-sumber Barat.

Bamton juga menguraikan peri-hal sejarah tasawuf dan tarekat, juga silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah, dengan tambahan catatan-catatan sejarah lainnya, seperti sejarah masuknya Islam ke nusantara, se-jarah penyaliban Yesus, kisah per-wayangan Baratayudha, sejarah Jalan Daendles yang sekarang kita kenal sebagai Jalan Pantai Utara (Pantura), dan kisah-kisah sejarah lainnya.

Buku ini memberikan rujukan literatur yang membantu pembaca untuk menelusur informasi lebih jauh tentang pengetahuan-penge-tahuan yang dipaparkan dalam isi novel ini. Namun sayangnya, pe-nulis nampak kurang detail men-ceritakan pergulatan pikiran yang biasanya terjadi pada seseorang pada proses pencarian jati diri. Se-lain itu, masih banyak kesalahan dalam tanda baca dan penulisan kata-kata yang terkadang membin-gungkan pembaca.

Judul : SulukPenulis : Bambang Mulyantono (Bamton)Penerbit : Trans PustakaIsi : xvii + 411 halaman; 14,8 x 21 cmTerbit : Mei 2012ISBN : 978-979-3907-18-5

Memelajari Tarekat di ‘Sekolah’ SpiritualAam Mariyamah

Film

“Kemanusian itu satu, kendati ber-beda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan bangsa dan adat istia-datnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga be-sar,” Ini merupakan goresan pena se-orang uskup di atas kertas pada tahun 1940, yang menjadi permulaan film berjudul Soegija.

Film ini bertutur tentang se-orang uskup Katolik pertama di Indonesia. Ia dilantik menjadi uskup dengan nama Mgr Soegi-japranata Sj (Nirwan Dewanto) pada jaman penjajahan belanda, ketika banyak masyarakat Indone-sia ditindas oleh Belanda.

Dalam perjuangan ke-merdekaan, Soegija memang tidak ikut berperang degan senjata. Na-mun, saat penduduk membutuh-kan tempat berlindung karena terjadi perang, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk me-nampung mereka.

Memberikan cinta kasih dan keadilan dianggapnya tidak cukup, ia berpikir perlu juga melakukan pertempuran dengan lembut untuk kemerdekaan. Ia melakukan dak-wah, mencerahkan masyarakat In-donesia yang saat itu resah karena situasi perang. Berkat keuletannya dalam perjuangan kemerdekaan, ia mendapat gelar pahlawan na-sional dari Soekarno.

Selain itu, ia juga berperan atas pengakuan kemerdekaan yang

diberikan oleh Vatikan untuk In-donesia. Berkat suratnya, Vati-kan mengutus perwakilan untuk menyampaikan pengakuan ke-merdekaan untuk Indonesia, saat itu perwakilan Vatikan disambut baik oleh Soekarno yang saat itu menjadi Presiden dan Uskup Soegija.

Film yang digarap oleh Garin Nugroho itu tidak hanya men-ceritakan tentang sosok uskup pribumi saja, film ini juga ber-cerita tentang seorang fotografer

bernama Hendrik (Wouter Braaf). Ia yang berjasa dalam mendoku-mentasikan aktivitas Soegija mulai dari pelantikannya menjadi uskup sampai wafat.

Film ini juga menceritakan tentang Mariyem (Annisa Her-tami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang dan kembali bertemu dalam keadaan berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang anak Tionghoa juga terpi-sah dari ibunya (Olga Lydia) kem-bali bertemu dengan ibunya dalam

sebuah acara di gereja. Di akhir cerita film ini, Hen-

drik memberikan foto mengenai kegiatan yang dilakukan Soegija kepada Mariyem sebagai kenang-kenangan. Hendrik yang meru-pakan orang Belanda menyukai Mariyem yang berasal dari Indo-nesia. Namun, mereka tak bisa bersatu karena negara mereka ber-perang .

Terdapat pesan yang disampai-kan Soegija yang bisa menjadi bahan kontemplasi dalam film ini.

“Perjuangan sudah selesai, seka-rang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi be-nalu negara.”

Meski Film ini berlatar belakang tentang seorang uskup Katolik, namun kisah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah lebih mendominasi isi film ini. Di mu-lai dari perang melawan penjajah Belanda, Jepang sampai perang mempertahankan kemerdekaan.

Unsur kemanusiaan sangat tera-sa, hal ini terlihat dari Nobuzuki (Suzuki) yang tak tega membunuh Ling Ling karena teringat anak-nya di rumah. Selain itu, Robert (Wouter Zweers), tentara Belanda yang sangat yang mudah mem-bunuh, tiba-tiba luluh ketika me-nemukan bayi di medan perang.

Selain unsur kemanusiaan, ter-dapat adegan jenaka yang mem-buat tawa dalam film ini, itu ditun-jukan pada seorang pemuda yang hanya bisa mengeja huruf yang bertuliskan merdeka, tetapi tidak bisa mengeja huruf lain. Film ini menjadi unik di saat jarangnya film Indonesia yang mengangkat tema tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Sumber: boleh.com

Judul: Soegija

Sutradara: Garin Nugroho

Dirilis:7 Juni 2012

Pemain: Nirwan Dewanto,

Wouter Braaf, Suzuki, Wouter Zweers, Olga Lydia, Andrea Reva,

Abe, dan Annisa Her-tami

Perjuangan Sang UskupMuhammad Umar

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 20

14 Edisi XX/Juni 2012SENI BUDAYA

Jean pulang dengan kesal sambil membawa sepatu tuan bangsawan. Ia gusar bukan karena harus membersihkan

sepatunya, melainkan melihat tingkah laku Nona Julie yang

sedang menari begitu ceria bersama masyarakat biasa pada malam pesta musim

panas. Menurutnya, itu tidak sesuai dengan norma kebang-

sawanan.

Mengetahui kondisi Jean, Kris-tin -juru masak istana yang juga kekasih Jean- mengajak Jean bersenang-senang dengan me-minum anggur di dalam dapur istana. Ketika mereka sedang bersenang-senang, Julie masuk ke dapur untuk mengajak Jean berdansa. Jean pun menolak karena tak ingin digunjing oleh orang di luar istana. Namun, Julie bersikeras.

Malam pun semakin larut, Kristin pun tidur dan tinggal-lah mereka berdua dalam satu ruangan.

“Nona, jangan nona, aku bu-kan lelaki terhormat,” ucap Jean.

“Ayolah Jean,” balasnya. Akhirnya, Jean terbawa nafsu

dan timbul keinginannya untuk mencium Julie. Namun sayang-nya, Julie hanya bermain-main. Ia justru menolak dan men-dorong Jean.

Berduaan dalam satu ruangan dengan majikannya membuat Jean semakin takut. Terlebih ketika ia mendengar lamat-lamat

tak ingin menjadi rakyat jelata selamanya. Ia mengatakan ingin berada di pohon paling atas agar bisa memandang ke bawah.

Pada saat itu, terlihatlah sikap Julie yang rapuh dengan menenggak bergelas-gelas anggur sampai mabuk. Saat mabuk, Julie bercerita tentang masa lalu-nya. Sampai terjadilah perteng-karan hebat di antara keduanya.

Akibat skandal tersebut, Jean dan Julie merasa ketakutan, hingga bersepakat untuk pergi dari istana untuk menghilangkan jejak. Julie pun pergi ke kamar-nya untuk berkemas. Karena hari mulai pagi, Kristin bangun dan

sajak kotor dari luar istana, “Orang-orang disana sedang membicarakan kita, Nona. Lalu mereka membuat sajak kotor un-tuk aku dan Nona,” ucap Jean.

Julie tak percaya akan kondi-sinya saat itu. Ia semakin resah sehingga mengiyakan ajakan Jean untuk bersembunyi di kamarnya.

Diam-diam, Julie menyesali apa yang telah ia perbuat bersa-ma Jean. Sebaliknya, saat keluar dari kamar, Jean justru berjalan dengan mengangkat dagunya.

Dalam kesombongannya, Jean menceritakan tentang impiannya untuk menjadi orang besar. Ia

menemukan Jean sedang menu-lis. Ia juga melihat Julie yang sudah berkemas. Kristin heran dengan apa yang terjadi.

Setelah mereka menceritakan kejadian di kamar Jean, mereka mengajak Kristin untuk ikut pergi, tetapi Kristin menolak karena kecewa atas perbuatan Julie dan Jean.

Hari pun mulai terang, tetapi Jean dan Julie belum juga pergi hingga sebuah bel berbunyi yang menandakan tuan bangsawan akan datang untuk mengambil sepatunya. Julie yang semakin panik akhirnya bunuh diri.

Begitulah kisah Miss Julie yang

dipentaskan oleh Teater Luwes di gedung Salihara, Pasar Ming-gu, Jakarta Selatan. Teater yang diselenggarakan pada Kamis, (31/5) lalu diadaptasi dari lakon Fröken Julie karya dramawan asal Swedia Johan August Strindberg dan diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar.

Sepanjang pertunjukan, dialog hanya terjadi di antara tiga pe-main, yaitu Ine Febriyani (Nona Julie), Arswendy Nasution (Jean), dan Renny Adhitama (Kristin). Setting peristiwanya pun hanya terjadi dalam dapur istana dari awal cerita sampai akhir. Sedangkan setting waktu-nya terjadi sangat singkat, hanya terjadi pada malam pesta musim panas

Dalam pertunjukan yang di-sutradarai Frans Joseph Gintings itu, lingkungan kebangsawanan Nona Julie tidak ditampilkan se-cara utuh, tetapi ditandai dengan dinding megah dengan dua pilar yang besar serta sebuah tangga istana. Selain itu, terdapat se-buah jendela yang menggambar-kan sebuah kamar yang mewah.

Salah seorang penonton, Winarno mengatakan, pertunju-kan ini merupakan pertunjukan teater realis terbaik tahun ini. “Makanya saya betah di sini karena menyaksikan teater realis, seni akting yang beneran, sesuatu yang sangat langka,” tuturnya, Kamis (31/5).

Kisah Cinta dalam Dapur IstanaMuhammad Umar

Miss julie dikelilingi penari pada saat pembukaan pertunjukan Teater Luwes di Salihara, Rabu (31,5).

UMAR/INSTITUT

Nur Taufik Zamari - “Share The Road” Alan Dwikora - “Menuju Pulau Untungjawa”

Dian Sari Pertiwi - “Pesepeda Bagai Koloni Lebah”

Foto PilihanTema:

“Sepeda”

Tema Foto Selanjutnya

Kirim foto Anda ke [email protected]

untuk dipamerkan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya.

“Idul Fitri”

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 20

15Edisi XX/Juni 2012 TEKNO

“Pihak rektorat sendiri sudah mengundang kedua belah pihak, tapi seringkali tidak ketemu jalan pikirannya,” ujarnya.

Apa yang dipaparkan Sudar-noto ternyata dibantah Ketua Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) Pantden Mohammad Noor. Dalam penyampaiannya, rektorat selama ini cenderung memaksakan kehendaknya tanpa mendengar pendapat dari maha-siswa khususnya, dan beberapa elemen lain pada umumnya.

“Memang selama ini rektorat terbuka untuk mahasiswa, tapi sebenarnya pihak rektorat lebih tepat dikatakan mengintruksi ma-hasiswa. Mereka tak mendengar pendapat mahasiswa, apalagi me-

tor, ia mempunyai ide menjadikan IAIN (sekarang UIN) sebagai Laboratoriun for Democracy (Labo-ratorium Demokrasi). Azra meny-ampaikan, untuk sementara ini, di dalam koridor yang mungkin kita kembangkan dan dalam batas-batas maksimal bergerak, kita berikan ruang untuk demokrasi. Meskipun dalam pengertiannya, Laboratoriun for Democracy terse-but tidak seperti lembaga-lembaga politik di negara kita, yaitu DPR/MPR beserta sistem dan kelem-bagaannya yang identik. Namun, secara prinsipil sama, yaitu me-ngandung unsur representatif dan beberapa fungsi lainnya. Pihak rektorat maupun dekanat, jika se-tingkat negara, dalam hal ini me-

nampung aspirasi mahasiswa,” tegasnya, Jumat (8/6). Ia pun berharap, rektorat harus lebih responsif dan mahasiswa juga harus lebih solid agar lebih diden-gar oleh rektorat.

Atas kejadian tersebut, sekiranya bisa dijadikan renungan bagaimana peran lembaga yang notabene merupakan tempat para intelektual. Sedangkan kampus yang telah melahirkan orang-orang yang ahli dalam berbicara tentang kedamaian, nilai-nilai hu-manis ternyata masih perlu diper-tanyakan realitasnya.

Impian Laboratorium Demokrasi Di tahun 2002, saat Azyumardi

Azra masih menjabat sebagai rek-

rupakan eksekutif pada pelaksan-aan program pendidikan nasional secara keseluruhan (Majalah IN-STITUT, No. 36 Th. XVIII, 2002).

Terkait laboratorium demokrasi itu sendiri, Sudarnoto tidak begitu mengetahui apa yang diinginkan Azra. “Saya tidak tahu tentang laboratorium demokrasi. Akan tetapi, kalau membaca teorinya, demokrasi itu sebagai mekanisme politik dan demokrasi sebagai nilai,” paparnya.

Ia pun menambahkan, jika menjadikan demokrasi sebagai nilai tentu bagus, namun bila men-jadikan demokrasi sebagai eksper-imen politik praktis, apalagi partai politik praktis, tidak boleh.

Sementara itu, Gun Gun me-

nyampaikan, penampilan politik demokrasi di UIN Jakarta sampai sekarang cukup bagus. Mak-sudnya, dalam fase lebih bagus dibanding universitas swasta. Di sana, kelompok apolitisnya jauh lebih banyak.

Gun Gun pun menjelaskan bahwa SG masih layak di UIN. “Kalau di UIN, misalnya pada saat pemilu raya, antusiasmenya masih ada. Itu mengindikasikan bahwa mahasiswa masih concern (fokus), masih ada keinginan un-tuk berpartisipasi. Makanya, kon-sep SG masih relevan di UIN Ja-karta,” tegasnya.

Augmented Reality, mungkin sebagian para pembaca sering mendengar kata tersebut, atau mungkin ada yang baru mende-ngarnya. Bagi Anda yang baru mendengarnya, pernahkah Anda menonton acara ramalan cuaca di televisi? Saat itu presenter memperkirakan ramalan cuaca, ia berdiri di depan layar hijau dan biru, kemudian layar tersebut berubah menjadi gambar animasi tentang cuaca, sehingga seolah-olah presenter itu masuk ke dalam animasi tersebut?

Jika belum pernah men-galaminya, lihat gambar 1. Di gambar ini, objek maya boneka samurai Jepang dapat terlihat nyata secara 3 dimensi, di depan seorang wanita dengan kaca mata kamera terpasang di wajahnya. Itu semua adalah salah satu hasil dari teknologi augmented reality. Gambar 1

Secara singkat, Augmented Real-ity (AR) adalah sebuah teknologi untuk menampilkan objek maya tiga dimensi ke dalam dunia nyata yang dapat dilihat dengan sebuah kamera. Jadi, dengan mengarahkan kamera ke sebuah input berupa objek, yang telah dikenali pada aplikasi AR, maka akan muncul objek maya pada layar monitor atau output device lain, sehingga seolah-olah objek maya 3 dimensi itu hadir di depan mata kita.

Berbeda dengan Virtual Reality (VR) yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, di mana

VR merupakan penggabung-an objek dunia nyata ke dunia digital, AR adalah kebalikannya, yaitu pengintegrasian elemen-ele-men digital yang ditambahkan ke dalam dunia nyata secara realtime dan mengikuti keadaan lingkung-an yang ada di dunia nyata.

Arsitektur AR cukup seder-hana, yaitu input, kamera, aplikasi AR, dan output, dengan cara kerja sebagai berikut: Input yang bisa berupa apa saja, marker seperti pada contoh di Gambar 1, objek 2 dimensi, objek 3 dimensi, mau-pun yang lain harus dikenalkan pada aplikasi AR terlebih dahulu. Kemudian, aplikasi dibuat sede-mikian rupa dengan teknologi AR agar dapat mengenali input.

Ketika aplikasi selesai dan dijalankan, dibutuhkan sebuah kamera untuk membaca input agar objek maya seperti terlihat di dunia nyata. Lalu, aplikasi memproses input tersebut untuk kemudian memproyeksikan objek maya 3 dimensi pada output device, seperti monitor, layar smartphone, TV, LCD, dan proyektor.

Konsep mengenai teknologi AR ditemukan oleh seorang sine-matografer pada tahun 1950-an, Morton Heilig. Tapi, teknologi ini baru berkembang beberapa tahun belakangan. Mobilitas AR kini tidak kenal kompromi, AR telah lantang menunjukkan reputasinya dan membuat banyak orang ter-tarik untuk mengaplikasikan dan mengembangkannya.

Pada dunia kedokteran, AR

digunakan untuk simulasi operasi, simulasi pembuatan vaksin virus, dan lainnya. Dalam latihan militer pun, AR digunakan untuk simulasi perang. Di dunia industri, banyak perusahaan-perusahaan yang menggunakan teknologi ini dalam mempromo-sikan produk mereka, Adidas contohnya. Perusahaan produk aksesoris olahraga itu menampil-kan gambar objek maya, seperti pada gambar 2, yang membentuk sebuah kota ketika kamera diarah-kan ke produk sepatunya tersebut.

Seperti ekspresi yang ditun-jukan oleh model iklan Adidas tersebut. AR memang dapat membuat kita terpukau ketika melihatnya. Kita tidak hanya bisa melihat objek maya 3 dimensi yang diproyeksikan, tapi kita juga bisa berinteraksi langsung dengan objek tersebut.

Demikian sekilas tentang AR. Untuk melengkapi pengetahuan kita tentang keindahan teknologi yang satu ini, silakan kunjungi si-tus video sharing nomor 1 di dunia, Youtube, lalu ketik “Live Augment-ed Reality-National Geographic” pada kolom search.

*Mahasiswa Teknik Informatika

Rubrik Tekno bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika (HIMTI)

UIN Jakarta

RALATKami mohon maaf atas kesalahan yang meniadakan nama penulis tulisan di rubrik Tekno pada Tabloid INSTITUT bulan Mei lalu. Seharusnya di rubrik tersebut tertulis nama penulis yang ber-nama Azka Faridy, mahasiswa Jurusan Teknik Informatika.

Menyatukan Realita dan Objek MayaAde Rifaldi*Konsultasi Kecantikan Dokter

Wiwit AndhikaRubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel

Kata Ahli...

Dokter, apakah penggunaan pelembab dengan kandungan SPF 20 bisa diaplikasikan dengan Sun-block SPF 33? Mana yang harus didahulukan, pelembab atau sun-block? Dan apa resikonya jika kita menggunakan kandungan SPF dalam setiap kosmetik, misalnya sebelum make up kita memakai sunblock, pelembab, foundation, dan juga bedak yang semuanya me-miliki kandungan SPF? Akankah kulit kita benar-benar terjaga dari terik matahari atau justru malah beresiko dan menimbulkan komp-likasi negatif ?

Terima kasih atas jawabannya.Hormat saya, Jessi.

Jawab :Dear Jessi, Tabir surya atau sunblock ber-

tugas melindungi kulit dari pen-garuh negatif sinar matahari terutama UV A dan UV B, yang dapat mengakibatkan berbagai kerusakan sel-sel kulit.

Adapun jenis tabir surya me-mang ditandai dengan istilah SPF (Sun Protection Factor) dengan kekuatan tertentu sesuai keadaan dan kondisi lingkungan. Untuk negara tropis seperti Indonesia memang harus menggunakan tabir surya dengan kekuatan mi-nimal SPF 20, karena tingginya paparan sinar matahari.

Angka pada SPF menggambar-kan kekuatan dan lamanya tabir surya tersebut melindungi kulit kita dari paparan sinar matahari. Sebagai contoh, bila kita berada di daerah yang sangat tinggi pa-paran sinar mataharinya (pantai atau di gurun), kita harus meng-gunakan tabir surya di atas SPF 30, seperti SPF 50 atau SPF 80, dan harus diulang-ulang penggu-naannya setiap beberapa jam un-tuk efektivitas perlindungan.

Untuk penggunaannya me-mang dapat diaplikasikan sendiri atau bersama produk perawatan lain seperti pelembab, foundation, atau bedak. Selama penggunaan-nya tidak mengakibatkan iritasi dan sensitivitas/alergi pada ku-lit, sunblock termasuk kategori produk yang aman. Demikian juga untuk pemakaian ber-

tumpuk seperti yang ditanyakan, tidak masalah, selama pengguna juga merasa nyaman.

Dokter Wiwit, apakah penggu-naan masker madu tiap hari bisa merusak kelembaban kulit (meng-ingat madu yang sifatnya agak panas)? Dan apakah mitos tentang treatment kecantikan dengan lintah dapat membantu mempercantik ku-lit?

Terima Kasih, Intan.

Jawab :Hello Intan, Madu adalah salah satu bahan

herbal yang sangat banyak me-miliki khasiat untuk kesehatan pada umumnya, tak terkecuali untuk kesehatan kulit. Karena di dalamnya banyak terdapat kar-bohidrat, protein, asam amino, vitamin mineral dan senyawa lain yang bersifat seperti antioksidan dan antibiotika.

Penggunaan madu sebagai masker pun sangat baik untuk kesehatan kulit, dengan syarat kulit bisa menerimanya dengan baik (tidak ada reaksi sensitivitas, walaupun sangat jarang terjadi). Tetapi, apapun jika dilakukan se-cara berlebihan tentu akan meng-akibatkan hal yang tidak baik. Penggunaannya sebagai masker sebaiknya dilakukan 1-2 kali sem-inggu, tidak setiap hari.

Untuk terapi lintah yang dapat membuat kulit wajah menjadi lebih cantik masih banyak diper-debatkan. Hanya lintah jenis tertentu yang dugunakan untuk pengobatan (jenis Hirudo medici-nallis atau Hirudo mannilencis). Di dalam air liur lintah, terkandung zat hirudin yang bersifat sebagai antikoagulan (anti pembekuan darah) dan oleh beberapa pe-nelitian dikatakan dapat bersifat seperti antibiotika. Untuk me-kanisme bagaimana terapi lintah dapat menghasilkan kulit yang cantik masih perlu penelitian lebih lanjut, terutama untuk efek-tivitas dan resiko terapinya pada manusia.

Sambungan.... Hilangnya Retorika Kampus

Gambar 2

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 20

16 Edisi XX/Juni 2012IKLAN

Hub. 085781157788

Masang iklan?

Siapa takut!!!