TABLOID INSTITUT EDISI 27

16
Edisi XXVII/ September 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Belum Efektif LAPORAN UTAMA Laporan Keuangan LPM Masih Bermasalah hal:3 RESENSI Melawan Lupa Peristiwa G30S hal:13 LAPORAN KHUSUS Ancaman Ideologi Radikalisme hal:4 “Walau program tersebut tidak ada hubungannya dengan jurusan, saya harus melaksanakan program tersebut guna memenuhi kewajiban KKN,” ucap mahasiswa Jurusan Ilmu Ekono- mi dan Studi Pembangunan (IESP) tersebut, Jumat (13/9). Sementara itu, di Desa Nanggung, Bogor, mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Rika Nurjanah ber- sama teman-temannya dari Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komuni- kasi (FIDIKOM), Fakultas Sains dan Teknologi (FST), dan Fakultas Dira- sat Islamiyah (FDI) membantu warga setempat membangun saluran dan Di desa Paku Haji, Tangerang, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Ja- karta sedang mengaduk semen di dalam ember. Beberapa mahasiswa dari kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sama sedang menggali dan menyemen galian tersebut. Mereka melaksanakan salah satu program KKN, yakni membuat drainase. penampungan air bersih. “Setelah saya dan teman-teman sur- vei ke Desa Nanggung, permasalahan utamanya adalah tidak ada penam- pungan air bersih. Maka dari itu, kami memasukkan permasalahan tersebut ke dalam program KKN,” ucap ma- hasiswa semester tujuh tersebut, Sabtu (24/8). Kisah kedua mahasiswa di atas ha- nyalah sekelumit dari berbagai cerita tentang pelaksanaan program KKN. Di desa lainnya, ada kelompok KKN yang menyusun program kerja ternak puyuh, membangun Mandi Cuci Kakus (MCK), mengajar tajwid, dan lain-lain. Program KKN yang mereka susun sebagian besar tidak sesuai dengan latar belakang bidang keilmuan yang mereka geluti di fakultas. Tidak Proporsional Tim relawan monitoring lapangan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) UIN Jakarta, Nanang Syaikhu mengakui bahwa KKN di UIN Jakar- ta memang kurang efektif. Penyebab pertama adalah pembagian mahasiswa dari masing-masing jurusan tidak proporsional. Kedua, program kerja tidak didesain secara matang. Berdasarkan hasil pengamatannya di lapangan, beberapa kelompok KKN menyusun program mengajar di se- kolah atau Taman Pendidikan Alquran (TPA). Tiap kelompok KKN terdiri dari belasan mahasiswa yang berbeda- beda fakultasnya. “Belasan orang itu mengajar se- muanya. Mereka bergantian mengajar tiap hari. Tetapi, yang mengajar bukan mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), melainkan ma- hasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) atau FST, ” tuturnya. Demi mencapai KKN yang efektif, Nanang mengatakan, seharusnya pro- gram kerja dan jurusan mahasiswa cocok satu sama lain. Misalkan, ma- hasiswa Konsentrasi Jurnalistik tidak seharusnya Gita Juniarti Bersambung ke hal. 15 kol .2

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 27

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 27

Edisi XXVII/ September 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Belum Efektif

LAPORAN UTAMALaporan Keuangan LPM

Masih Bermasalah

hal:3

RESENSIMelawan Lupa Peristiwa

G30S

hal:13

LAPORAN KHUSUSAncaman Ideologi

Radikalisme

hal:4

“Walau program tersebut tidak ada hubungannya dengan jurusan, saya harus melaksanakan program tersebut guna memenuhi kewajiban KKN,” ucap mahasiswa Jurusan Ilmu Ekono-mi dan Studi Pembangunan (IESP) tersebut, Jumat (13/9).

Sementara itu, di Desa Nanggung, Bogor, mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Rika Nurjanah ber-sama teman-temannya dari Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komuni-kasi (FIDIKOM), Fakultas Sains dan Teknologi (FST), dan Fakultas Dira-sat Islamiyah (FDI) membantu warga setempat membangun saluran dan

Di desa Paku Haji, Tangerang, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Ja-karta sedang mengaduk semen di dalam ember. Beberapa mahasiswa dari kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sama sedang menggali dan menyemen galian tersebut. Mereka melaksanakan salah satu program KKN, yakni membuat drainase.

penampungan air bersih. “Setelah saya dan teman-teman sur-

vei ke Desa Nanggung, permasalahan utamanya adalah tidak ada penam-pungan air bersih. Maka dari itu, kami memasukkan permasalahan tersebut ke dalam program KKN,” ucap ma-hasiswa semester tujuh tersebut, Sabtu (24/8).

Kisah kedua mahasiswa di atas ha-nyalah sekelumit dari berbagai cerita tentang pelaksanaan program KKN. Di desa lainnya, ada kelompok KKN yang menyusun program kerja ternak puyuh, membangun Mandi Cuci Kakus (MCK), mengajar tajwid, dan lain-lain. Program KKN yang mereka susun

sebagian besar tidak sesuai dengan latar belakang bidang keilmuan yang mereka geluti di fakultas.

Tidak ProporsionalTim relawan monitoring lapangan

Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) UIN Jakarta, Nanang Syaikhu mengakui bahwa KKN di UIN Jakar-ta memang kurang efektif. Penyebab pertama adalah pembagian mahasiswa dari masing-masing jurusan tidak proporsional. Kedua, program kerja tidak didesain secara matang.

Berdasarkan hasil pengamatannya di lapangan, beberapa kelompok KKN menyusun program mengajar di se-kolah atau Taman Pendidikan Alquran

(TPA). Tiap kelompok KKN terdiri dari belasan mahasiswa yang berbeda-beda fakultasnya.

“Belasan orang itu mengajar se-muanya. Mereka bergantian mengajar tiap hari. Tetapi, yang mengajar bukan mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), melainkan ma-hasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) atau FST, ” tuturnya.

Demi mencapai KKN yang efektif, Nanang mengatakan, seharusnya pro-gram kerja dan jurusan mahasiswa cocok satu sama lain. Misalkan, ma-hasiswa Konsentrasi Jurnalistik tidak seharusnya

Gita Juniarti

Bersambung ke hal. 15 kol .2

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 27

Koordinatur Liputan: Dewi Maryam, Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Muawwan Daelami, Nurlaela, Nur Azizah, Siti Ulfah Nurjanah, Selamet Widodo Fotografer & Ediitor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Ibil Ar-Rambany Karikaturis: Azizah Nida Ilyas

Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-9214-5881 Web: www.lpminstitut.com Email: [email protected].

Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Pemimpin Umum: Muhammad Umar | Sekretaris: Muji Hastuti | Bendahara Umum: Trisna Wulandari | Pemimpin Redaksi: Rahmat Kamaruddin | Redak-

tur Cetak: Makhruzi Rahman | Redaktur Online: Jaffry Prabu| Web Master: Rizqi Jong | Pemimpin Perusahaan: Aprilia Hariani | Iklan & Sirku-

lasi: Rahayu Oktaviani | Marketing & Promosi: Ema Fitriani | Pemimpin Litbang: Aditya Putri | Riset: Aam Maryamah | Kajian: Aditia Purnomo

LAPORAN UTAMA TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 20132

Salam Redaksi

Wakil Dekan (Wadek) II Bidang Akade-mik Fakultas Psikologi, Fadhilah Suralaga menilai bentuk KKN yang selama ini ada di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tidak fokus pada bidang studi mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa membutuhkan program yang lebih memberikan kesempa-tan untuk mempraktikkan ilmu yang sudah didapatnya selama masa kuliah.

Fakultas Psikologi mengintegrasikan KKN ke dalam bentuk Kuliah Kerja Lapa-ngan (KKL). Program KKL ini dirancang oleh fakultas dan disesuaikan dengan ke-butuhan mahasiswanya. Fadhilah menga-takan, mahasiswa Psikologi butuh pengap-likasian ilmu psikologi melalui KKL.

Sedangkan menurutnya, KKN yang dikelola oleh LPM tidak demikian. “LPM itu tidak mengelola seperti apa yang kita kelola, jadi nanti hasilnya tidak sesuai fokus bidang studi,” ujar Fadhilah saat ditemui di ruanganya, Selasa (3/9).

Jika Fakultas Psikologi mengikuti pro-gram KKN dari LPM dan tetap mengada-kan program KKL, menurutnya malah akan menambah beban mahasiswa. “KKN kan intinya pengabdian masyarakat, begitu juga dengan KKL tetap memenuhi unsur pengabdian, praktik kerja, dan penelitian,” katanya.

Ia juga meyakini KKL lebih efektif dan terasa pengabdian mahasiswa sebagai

psikolog. Melalui evaluasi dan presentasi, laporan setiap peserta KKL akan terli-hat pencapaian mereka saat masa KKL. “Apakah KKL mereka efektif atau tidak,” tegasnya.

Lain Psikologi, lain pula FKIK. Fakul-tas yang terletak di Kampus III itu, me-nerapkan program Pre-klinik dan Klinik bagi Program Studi Keperawatan dan Pro-gram Studi Pendidikan Dokter (PSPD). Sedangkan di Program Studi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dan Program Studi Farmasi menerapkan KKL dengan Pro-gram Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dan magang.

Menurut Wadek II Bidang Akademik FKIK, Djauhari Widjajakusumah, FKIK mengintegrasikan KKN karena sistem perkuliahan yang dipakai adalah sistem modul yang membuat waktu perkuliahan lebih banyak. “Program KKN terintegrasi tersebut tetaplah bentuk kuliah kerja nyata karena sama-sama terjun langsung ke lapa-ngan,” ucap Djauhari, Selasa (27/8).

Misalnya, Program Pre-klinik dan Klinik dari Program Studi Keperawatan dan PSPD, mahasiswa akan terjun langsung ke rumah sakit selama beberapa semester. Dalam Program Pre-klinik, mahasiswa akan diajak untuk observasi ke rumah sakit atau Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskes-mas) untuk mengidentifikasi masalah yang

Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) tidak mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dikelola oleh Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM). Ketiga fakultas ini lebih memilih untuk mengintegrasikan KKN ke dalam sistem baru rancangan mereka masing-masing.

KKN Tidak Fokus, Tiga Fakultas Pilih Program Terintegrasi

ada. Ketika melanjutkan ke tahap sela-njutnya, yakni Klinik, mahasiswa sudah dapat melakukan tindakan invasif seperti, menyuntik, pasang infus, dan mengontrol pasien.

PBL dari Program Studi Kesmas hampir sama dengan Pre-klinik dan Klinik. PBL terdiri dari dua tahap. Di PBL I pada se-mester lima, mahasiswa terjun ke puskes-mas atau ke masyarakat untuk mengob-servasi masalah. Kemudian PBL II di semester enam, mahasiswa mulai melaku-kan intervensi seperti, memberikan peny-uluhan kesehatan, penanggulangan wabah, dan lainnya.

Menurut Staf Program Studi Kesmas, Ghozali, program PBL sangat efektif kare-na merupakan program berkelanjutan yang memiliki beberapa daerah binaan yang terus dipantau perkembangannya. Jadi setelah masa PBL berakhir, mahasiswa dan Program Studi Kesmas tidak lantas meni-nggalkan daerah tersebut.

Sejalan dengan Fadhilah dan Djauhari, Wadek II Bidang Akademik FITK, Muh-bib Abdul Wahab mengatakan, KKN yang dikelola LPM terlalu umum dan tidak fokus pada pendidikan.

Mengatasi hal tersebut, FITK memiliki program tersendiri yakni Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT). “Program ini dirancang agar mahasiswa Tarbiyah fokus pada praktik pendidikan guna memberikan bekal pengalaman mengajar,” tegas Muh-bib.

Azizah Nida Ilyas

Foto

: Ap

ril/

INS

Kelompok KKN Garuda sedang menggali selokan di Desa Paku Haji, Tangerang, Sabtu,(7/9)

“KKN yang dikelola LPM terlalu umum dan tidak fokus

pada pendidikan”

Pembaca budimanSetelah beberapa bulan tak terbit,

kami hadirkan kembali tabloid ini ke tangan pembaca sekalian. Alham-dulillah, untuk sekian kali kami ber-hasil menelurkan kembali tabloid ini, meski kru tabloid kami tak lengkap jumlahnya.

Tapi, demi menghilangkan rindu pembaca, kami berusaha melahirkan tabloid ini dengan menyampingkan segala kesusahan. Sudah puas rasan-ya, ketika melihat anda membaca atau sekadar membawa tabloid ini ke mana-mana. Tak ada yang menye-nangkan selain itu.

Musim Kuliah Kerja Nyata (KKN) baru berlalu. Namun muncul ang-gapan bahwa KKN yang dilakukan kurang efektif sebagai wadah penera-pan ilmu yang di dapat dalam kelas. Kemudian, diterapkan untuk melaku-kan pengabdian kepada masyarakat.

Sebagai contoh, apakah di dalam kelas, mahasiswa jurusan Jurnalistik mendapat pengajaran untuk mem-bangun jamban yang baik dan benar? Begitu juga dengan mahasiswa di ju-rusan lainnya, apa ada materi tentang membuat parit yang baik dan benar juga? Dan sebagainya. Beberapa con-toh di atas merupakan mozaik-mo-zaik yang dilontarkan dalam proses dialektika semalam suntuk. Mozaik tersebut kami susun menjadi sebuah isu utama bulan ini, “KKN Belum Efektif ”.

Kami harap Anda tak bosan mem-bolak-balik halaman tabloid ini. Ada bermacam cerita dan informasi yang berguna di setiap halamannya. Bisa dibilang merugi jika hanya baca hala-man mukanya saja. Kami juga me-nyoroti fenomena mahasiswa yang mondok lagi setelah masuk kampus. Sebab, ilmu agama di kampus dirasa kurang bagi sebagian mahasiswa.

Kami bukan sembarang berasumsi atau menuduh. Kami mengguna-kan prinsik kerja jurnalistik yang mengedepankan fakta. Tak ada niat kami menjadi provokator atau seba-gainya. Sudah tugas kami membela kebenaran. Sudah terpampang pada halaman depan, tagline kami, menyu-arakan kebebasan, keadilan, dan ke-jujuran. Itulah yang kami jaga hingga saat ini.

Meski begitu, anda boleh saja ke-beratan dengan tabloid ini. Selain pu-jian, kritik merupakan apresiasi bagi kami. Kritik menandakan bahwa tab-loid kami dapat perhatian oleh Anda. Kami tak pernah menyumbat telinga kami untuk mendengar keluhan pem-baca tentang hasil kami ini.

Maka, setelah membaca mari me-renung sebentar. Selanjutnya Anda boleh bergerak membuat perubahan atau hanya sekadar paham dan men-gatakan, “oke ini terjadi, apa boleh buat.” Itu terserah Anda. Tapi, apa Anda termasuk orang yang nyaman berada dalam ketidakadilan?

Semoga sajian kami ini berman-faat.

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TABLOID INSTITUT Edisi XXVI September 2013 3LAPORAN UTAMA

Hal itu disampaikan oleh Staf Divisi Sosial Development Yayasan Dompet Dhuafa, Imam Alfaruq. Ia menjelaskan, pada 14 Maret 2012 Dompet Dhuafa menjalin kerjasama dengan UIN Jakarta yang menunjuk LPM un-tuk menangani pendirian SKAB. Dompet Dhuafa menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Matahari Store sebesar Rp150 juta untuk pendirian sang-gar.

Imam menjelaskan, Dompet Dhuafa berkapasi-tas sebagai penyalur dana, sedangkan LPM UIN Jakarta yang ber-tanggung jawab dalam pelaksanaan, pe-ngontrol, dan memas-tikan program sanggar berjalan dengan baik. Sesuai dengan perjan-jian kerjasama, dana Rp150 juta itu diguna-kan untuk pendirian fisik bangunan sebesar Rp75 juta, Rp25 juta untuk pembelian peralatan pe-nunjang program, dan Rp50 juta untuk pembuatan laboratorium agribisnis.

Imam melanjutkan, pada ta-hap prapembangunan, LPM UIN Jakarta telah menyerahkan lapo-ran keuangan pada 22 Mei 2012, lalu pada tahap pembangunan I menyerahkan laporan keuangan pada 8 Oktober 2012, pada tahap pembangunan II menyerahkan laporan keuangan pada 26 No-vember 2012. “Masih ada hal-hal yang menurut kami (Dompet Dhuafa) bermasalah dalam lapo-ran keuangan tahap II, sehingga harus kami kembalikan lagi ke LPM untuk diperbaiki. ” ujarnya, Senin (9/9).

Berdasarkan draft Perjanjian Kerjasama antara Yayasan Dompet Dhuafa Republika dengan Universi-tas Islam Negeri (UIN) Jakarta tentang Pendirian Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) dengan No-mor: 098/DD.Relief-Legal/III/2012 dan Nomor: Un.01/R/OT 01.6/516/2012, Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) UIN Jakarta seharusnya sudah menyerahkan laporan keuangan dan laporan proses kegiatan kepada Yayasan Dompet Dhuafa pada 14 Juni 2012 lalu. Tetapi, hingga hari Selasa (10/9) laporan tersebut belum juga diselesaikan oleh LPM.

Laporan Keuangan LPM Masih

Bermasalah

Menurut Imam, pada 22 Ma-ret 2013, LPM telah menyerah-kan laporan keuangan yang telah diperbaiki, tetapi karena belum sempurna, LPM harus meleng-kapi kekurangannya. Hingga saat itu, LPM belum menyerahkan kembali laporan keuangannya. “Ini sudah nggak wajar. Ini termas-uk yang paling lama, sudah satu tahun lebih, laporan keuangannya belum kelar sampai sekarang,” ujarnya. Menurut Imam, LPM juga belum menyerahkan laporan

proses kegiatan.Imam menargetkan, LPM harus

menyelesaikan laporan keuangan-nya sampai akhir tahun ini. Dom-pet Dhuafa masih menahan sisa dana CSR sekitar Rp15 juta sam-pai laporan keuangan tersebut sempurna. Imam mengaku, ini pertama kalinya Dompet Dhuafa membuat kegiatan yang molor sampai seperti ini.

Tidak Ada Kontrol Dari LPMSementara itu, pendiri dan pen-

gelola SKAB, Diki Komaruzaman menjelaskan, awalnya sanggar yang dulunya bernama Lingkar Samudra Belajar (LSB) ini didi-rikan pada tahun 2010 dengan tujuan memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan dan

pemulung. “Waktu itu kegiatan belajar masih dilakukan di bawah fly over, kolong jembatan, dan pinggir jalan,” ujar alumni juru-san Manajemen Pendidikan (MP) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegu-ruan (FITK) ini, Kamis (5/9).

Seiring berjalannya waktu, ba-nyak pihak yang ingin bekerjasa-ma dengan Diki untuk mengelola LSB. Pada awal 2012, ak-hirnya Diki menerima tawaran dari LPM untuk melakukan kerjasama. Menurutnya, LPM bersedia mem-

berikan fasilitas tempat dan LSB juga masuk ke program binaan LPM.

Diki menuturkan, selain aka-demis, sanggar juga menye-diakan program pengembangan bakat dan minat, seperti menulis kreatif, bela diri, musik, melukis, dan teater. Namun, ia menyesal-kan sanggar sebagai bagian dari program binaan. LPM kurang berkontribusi.“Nyaris tidak ada kontrol sama sekali dari LPM mengenai perkembangan sang-gar,” ujarnya, Kamis (5/9).Misalnya, menurut Diki, pro-

gram laboratorium agribisnis den-gan dana Rp50 juta, awalnya akan dibuat etalase produk tanaman hias di sepanjang pagar sanggar yang akan dikelola oleh kawan-kawan agribisnis. Dalam aplika-sinya, Diki menjelaskan, sanggar hanya mendapatkan tanaman buah, seperti mangga, singkong, belimbing, dan lainnya. “Tidak ada etalase, bentuknya pun bukan tanaman hias, kawan-kawan agri-bisnis datang hanya di awal-awal, setelah itu tidak ada kelanjutan,” ujarnya, Jumat (13/9).

Sementara itu, saat ingin me-ngonfirmasi terkait hal di atas, Rabu, (12/9) Ketua LPM Yayan Sopyan menolak untuk diwawan-carai.

Anastasia Tovita

“Ini sudah nggak wajar. Ini termasuk yang paling lama,

sudah satu tahun lebih, lapo-ran keuangannya sampai seka-

rang belum kelar”

Salah satu kegiatan di Sanggar Kreatif Anak Bangsa.

Ketidaksinkronan kinerja DE-MA-U selama ini menurut Ketua BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Zaki Is-matullah terjadi karena mereka tidak membuka diri dalam mem-berikan informasi terkait program kerja dan visi-misi kepada pihak-nya. Zaki merasa pihaknya tidak tahu apa yang akan dilakukan DEMA-U dalam kepengurusan tahun ini.

Menurut Zaki, DEMA-U bisa memanfaatkan poster dan media lainnya untuk memberikan infor-masi kepada seluruh masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. “Hal itu akan lebih me-ngena dibandingkan sekadar me-masang baliho yang hanya berisi ucapan Idul Fitri,” ujar Zaki, Kamis (12/9).

Selain itu, menurut Zaki, ban-yak hal yang tidak efektif namun dipaksakan ada di dalam DEMA-U, seperti Kementrian Kesehatan dalam struktur organisasi yang menurut pandangannya diperta-nyakan urgensinya. Seharusnya, lanjut Zaki, apabila DEMA-U mempunyai program kerja yang bagus dan jelas, mereka harus berusaha mewujudkan hal terse-but semaksimal mungkin.

“Saya sangat berharap DEMA-U menyampaikan program kerja dan arah kinerja selama kepe-ngurusan kepada BEM di selu-ruh fakultas agar kami tahu, bisa mengkritisi, dan memberikan sa-ran. Tak hanya itu, mereka juga harus mempunyai sikap kepada rektorat dalam menentukan kebi-jakan agar mahasiswa itu benar-benar menjadi agen perubahan atas sikap tersebut,” ungkap Zaki.

Senada dengan Zaki, Sekre-taris BEM Fakultas Ushuluddin (FU), Turmudzi mengatakan, jika dilihat dari program kerjanya, kin-erja DEMA-U hanya baru berupa Opak saja dan hal itu mungkin menjadi program yang pertama untuk masa kepengurusan DE-MA-U tahun ini.

“DEMA-U itu terlalu patuh ter-hadap pihak rektorat. Seharusnya mereka mempunyai sikap dalam menentukan kebijakan, menjaga

independensi, pro mahasiswa, memperbaiki komunikasi dengan BEM di seluruh fakultas, dan ter-buka mengenai berbagai hal,” un-gkap Turmudzi.

Begitu juga dengan Wakil Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Rida Fauzia Qinvi, ia tidak tahu-menahu me-ngenai program kerja DEMA-U selama masa kepengurusan ta-hun ini. Menurutnya, DEMA-U tidak pernah melakukan koordi-nasi dengan pihak BEM FISIP. “Ada koordinasi, tapi waktu masa Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) saja, setelah itu tidak per-nah,” tambahnya, Kamis (12/9).

“Bahkan saya ingin tanya, DE-MA-U itu apa? Karena dari awal, munculnya saja secara tiba-tiba. Saya juga tidak tahu, awal mun-culnya sudah seperti itu dan DE-MA-U mau dibawa kemana pun, saya juga tidak tahu,” ungkapnya.

Terkait perihal keterbukaan in-formasi dan komunikasi DEMA-U dengan BEM-F, Wakil Ketua DEMA-U, Tutur Ahsanil Musto-fa angkat bicara. Pihaknya mem-punyai keinginan untuk meren-canakan pertemuan dengan semua BEM-F setiap bulannya.

Rencana pertemuan setiap bulan tersebut bertujuan untuk menampung aspirasi dari setiap fakultas yang ada. “Saya tidak hafal program DEMA-U, tapi di setiap kementerian pasti ada. Dalam waktu dekat ini, kita akan mengadakan inagurasi dengan kawan-kawan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),” tegasnya.

“Sebenarnya, masalah itu bu-kan karena komunikasi, melain-kan pada saat rapat teman-teman BEM-F itu sering ganti-ganti. Pada saat rapat di DEMA-U, ke-banyakan dari ketua BEM ser-ing menyuruh anggotanya untuk mengikuti rapat. Jadi dari situ-lah kebijakan setelah diputuskan seringkali mendapat protes dari beberapa ketua BEM yang tidak mengikuti rapat. Begitulah realitas yang ada,” jelas Tutur.

Setelah beberapa bulan terbentuk, kinerja Dewan Eksekutif Maha-siswa Universitas (DEMA-U) dinilai belum efektif. Sebagian Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) menganggap DEMA-U masih lemah dalam komunikasi, sosialisasi, transparansi, dan keterbukaan informasi.

Kinerja DEMA-U Belum Efektif

Selamet Widodo

Foto

: An

a/IN

S

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 27

LAPORAN KHUSUS4

Surat edaran Diktis nomor: Se/Dj.I/PP.009/54/2013 mengenai penerapan UKT disebutkan, UKT wajib diterapkan seluruh PTAIN pada tahun akademik 2013/2014 dan dilarang memungut uang pangkal ataupun iuran lain di luar UKT.

Menanggapi surat itu, Wakil Rektor (Warek) II Bidang Admin-istrasi Umum UIN Jakarta, Amsal Bakhtiar mengatakan, Kemen-terian Agama (Kemenag) hanya mengeluarkan surat edaran bukan surat keputusan. Maka, PTAIN tidak wajib melaksanakannya. “Dasar hukumnya tidak kuat. Jadi, UIN Jakarta tidak mengikuti UKT tidak apa-apa,” ucapnya, Kamis (5/9).

Amsal menambahkan, dirinya justru mempertanyakan kapan turunnya surat keputusan yang mewajibkan PTAIN untuk me-nerapkan UKT. Selama ini Amsal mengaku, sebenarnya UIN Jakar-ta telah menerapkan UKT jauh se-belum ada perintah tersebut. “Kan

Pada 16 Juli lalu, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) mengeluarkan surat edaran yang memberlakukan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, sampai saat ini Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta belum juga menerapkannya. Padahal dalam surat tersebut secara gamblang menjelaskan bahwa seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) wajib menerapkan sistem UKT.

Soal UKT, UIN Tak Patuhi Aturan

pada prinsipnya UKT bertujuan untuk meringankan beban maha-siswa yang kurang mampu seperti halnya beasiswa Badan Layanan Umum (BLU). Nah, UIN Jakarta sudah menerapkan prinsip terse-but,” ujarnya.

Buktinya, lanjut Amsal, banyak mahasiswa yang hanya membayar Rp0 selama masa kuliah. Seperti mahasiswa di Fakultas Ushulud-din (FU), Fakultas Adab dan Hu-maniora (FAH) serta Fakultas Di-rasat Islamiyah (FDI). “Jadi, tidak benar jika UIN Jakarta dikatakan terlambat menerapkan UKT. Lagi pula, nggak ada Surat Keputusan-nya,” tegasnya.

Simpang-siur pun terjadi kala Ditjen Pendidikan Islam (Pendis), Nur Syam menegaskan, UKT wajib diterapkan PTAIN di selu-ruh Indonesia. “Jika tidak dilak-sanakan akan mendapat sanksi,” tegas Syam, Senin (29/7).

Menurutnya, dalam UKT besa-ran biaya yang harus dibayar ma-hasiswa didasarkan pada kondisi

sosial-ekonomi orang tua. Sedan-gkan kata tunggal dalam UKT be-rarti tidak ada bentuk tarikan dana lain, kecuali Sumbangan Pendidi-kan (SPP).

Meski UIN Jakarta secara te-gas belum menerapkan UKT, ada beberapa keanehan dalam pem-bayaran uang kuliah mahasiswa tahun akademik 2013/2014. Jika dilihat dari bukti pembayaran-nya persis menyerupai UKT. Hal itu dibenarkan Kepala Bagian Keuangan, Sulamah Susilawati.

Menurutnya, sistem pemba-yaran mahasiswa baru sudah menyerupai UKT. “UKT berarti mahasiswa hanya membayar uang kuliah saja. Tidak ada tari-kan dana lain.” Tuturnya, Kamis (5/9).

Hal ini terbukti dari bukti pem-bayaran salah satu mahasiswa baru Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Rizka Fitriana.

Dalam bukti pembayaran itu, Rizka hanya membayar Rp

1.690.000 dengan rincian SPP sebe-sar Rp1.040.000 dan Dana Pengem-bangan Pendidikan (DPP) Rp650.000.

Sistem pemba-yaran yang diber-lakukan UIN Jakarta ekepada mahasiswa baru tahun ini berbeda pada tahun sebelumnya. Dalam bukti pembayaran tersebut ma-hasiswa baru tidak ada tarikan dana seperti Biaya Seleksi Ujian Masuk (BSUM), Dana Praktikum Laboratorium (DPL), Dana Ope-rasional Pendidikan (DOP), Dana Kemahasiswaan (DM), Dana Kes-ehatan Mahasiswa (DKM), dan lain-lain.

Permasalah lain jika sistem pem-bayaran UIN Jakarta menyerupai UKT, mengapa pihak UIN tidak menyosialisasikan kepada maha-siswa baru? Apakah UIN sengaja menutupi hal tersebut?

Seperti halnya Rizka dengan te-gas mengatakan tidak tahu jika se-benarnya sistem pembayaran UIN menyerupai UKT. “Saya nggak

Lembaga Penelitian Universi-tas Islam Negeri (UIN) Jakarta (The Research Institute) dalam bukunya “Pandangan Sivitas Aka-demika UIN Jakarta Terhadap Radikalisme Islam” menjelaskan radikalisme meliputi penolakan negara pancasila dan demokrasi, pluralisme, kesetaraan gender, dukungan terhadap khalifah Is-lamiyah, formalisasi syariah, dan penggunaan kekerasan atas nama agama. Kelompok-kelompok yang dianggap radikal, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), Jemaah Is-lam Liberal (JIL), dan lainnya.

Kelompok radikalisme di UIN Jakarta, sendiri memang minori-tas. Tetapi, pergerakan kelom-pok radikalisme bersifat agresif dan militan, ujar Zaki Mubarak, pengamat politik sekaligus pen-gajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta, Senin (9/11).

Ia menambahkan, organisasi radikal tersebut selalu mencari celah untuk menanamkan pema-hamannya. “Biasanya yang men-jadi sasaran kelompok tersebut mahasiswa baru, karena tidak mengerti kelompok Islam mana yang radikal dan bukan. Di samp-ing itu, mahasiswa baru juga tidak mempunyai dasar keagamaan yang cukup,” paparnya. Selain itu, kelompok radikal juga aktif dalam mengajak mahasiswa baru dengan

kegiatan yang beraneka ragam, seperti pada kegiatan diskusi, halakah, dan kampanye.

Adanya kelompok radikalisme di UIN Jakarta telah dibenarkan keberadaannya oleh Wakil Rek-tor (Warek) III Bidang Kemaha-siswaan, Sudarnoto Abdul Hakim. “Di UIN Jakarta ada kelompok-kelompok radikal.” ujarnya.

Menurutnya, saat ini ada be-berapa ancaman yang sedang dih-adapi UIN Jakarta. Salah satunya anca-man ideologi. Bagi Sudarnoto, anca-man ideologi meru-pakan gagasan yang berusaha mempe-ngaruhi mahasiswa maupun dosen un-tuk menolak pan-casila, Rabu (4/9).

Membendung Pa-ham Radikal

Sudarnoto melan-jutkan, sejak Aka-demi Dinas Ilmu Agama (ADIA) hingga berganti menjadi Universitas, UIN Jakarta tidak pernah bergeser dalam men-gajarkan Islam yang rahmatan lil alamin, yaitu mengajarkan agama yang membuat kenyamanan un-tuk semua orang, termasuk aga-ma non-Islam. Selain itu, untuk mewujudkan hal tersebut, kuriku-lum yang dibuat lebih mengarah-

kan mahasiswa kepada konsep Islam rahmatan lil alamin dan sikap terbuka.Dalam hal ini, sikap ter-buka lebih menekankan kepada menghargai pendapat orang lain, bukan kepada sikap penghakiman, seperti sikap saling mengkafirkan.

Seperti yang dipaparkan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin (FU), Zainun Kamal, mahasiswa FU mempelajari berbagai aliran yang ada. Salah satunya Ahmadiyah,

Syiah dan agama non-Islam pun dipelajari secara objektif, Selasa, (10/9).

Kesalahan-kesalahan yang ter-jadi, menurut Zainun, karena mahasiswa atau seseorang hanya memahami paham tertentu saja dan tidak mengerti dengan paham yang lain, sehingga mahasiswa tersebut menjadi eksklusif. Kesala-

han ini akhirnya akan menimbul-kan sekat, sehingga satu sama lain saling mengkafirkan dan bahkan terjadi kekerasan.

Berbeda dengan Sudarnoto dan Zainun. Zaki melihat kuri-kulum dalam mata kuliah Civic Education dan Studi Islam harus dievaluasi karena tidak sesuai den-gan keadaan saat ini. “Harus ada kontekstualisasi kurikulum dalam mata kuliah Studi Islam dan Civ-ic Education,” tegasnya, Senin (9/11).

Ia melihat mata kuliah Studi Islam sebagian besar hampir diisi

dengan materi ritual peribada-tan. Sehingga, segi sosial, politik, dan ke-masyarakatan masih kurang diberikan. Sama halnya dengan mata kuliah Civic Educa-tion tidak hanya m e n g a j a r k a n b a g a i m a n a warga negara yang baik, tetapi juga dikaitkan dengan konteks

keislaman.Dalam hal ini, dosen yang men-

gajar harus sesuai kemampuan dalam bidangnya. “Jangan sam-pai mata kuliah Civic Education diajarkan oleh dosen yang anti ter-hadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika hal itu ter-jadi maka akan muncul sikap yang ekstrem,” jelas Zaki.

Ideologi radikal selalu mengancam mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa baru. Berbagai macam bentuk ajakan dilakukan oleh golongan radikal tersebut. Tak hanya mahasiswa, organisasi radikal juga mengincar dosen untuk menjadi anggotanya.

Ancaman Ideologi Radikalisme

Penanganan RadikalismeMenanggapi radikalisme, Zai-

nun Kamal tidak melarang pe-mikiran radikal. Setiap orang bebas menggunakan pemikiran-nya sendiri, tetapi radikal dalam bentuk tindakan yang dilarang. “Apalagi sudah melakukan keru-sakan atau mengklaim dirinya pa-ling benar dan menyalahkan orang lain dengan kekerasan,” tukasnya.

Salah satu penanganan ideologi radikal telah dilakukan pihak rek-torat. Mereka pernah memanggil organisasi yang membuat spanduk dengan nama HTI cabang UIN Jakarta. Dalam pemanggilannya, Sudarnoto mengatakan, “Hormati lembaga pendidikan tinggi ini. HTI kan mengatakan demokrasi itu kafir, negeri ini akhirnya men-jadi kafir, karena dibangun dengan proses yang kafir. Padahal mereka (HTI) kuliah di lembaga pemerin-tah yang mereka kafirkan,” tegas-nya.

Bentuk penanganan lainnya, lanjut Sudarnoto, rektorat mela-rang masuknya organisasi ekstra dan juga organisasi radikal. Selain itu, ia memberitahukan kepada mahasiswa baru agar tidak mudah terpengaruh, dan lebih baik men-jauhi hal tersebut.

Zaki Mubarak menilai pihak rektorat sudah cukup baik, na-mun ia melihat tidak ada lembaga konseling di setiap fakultas. Men-urutnya, lembaga konseling itu penting, karena kebanyakan ma-hasiswa tidak mempunyai tempat untuk memecahkan permasala-hannya.

Adi Nugroho

Nur Azizah

Surat edaran Diktis Nomor Se/DjI/PP009/54/2013 tentang penerapan Uang Kuliah Tunggal

tahu uang yang saya bayarkan menyerupai sistem pembayaran UKT,” ucapnya, Jumat (13/9).

Entah, apakah hanya karena surat tersebut hanya bersifat edar-an sehingga pihak UIN Jakarta menganggap tidak wajib ataukah punya kebijakan lain dalam me-nentukan jenis pembayaran. Pada-hal, jika melihat beberapa PTAIN seperti UIN Alauddin Makassar, IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maliki Malang serta IAIN Salatiga patuh dan cepat melak-sanakan surat edaran tersebut.

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 27

Saat UKM EXPO berlangsung, banyak mahasiswa dari berbagai fakultas turut meramaikan kegi-atan UKM terbesar ini. Ketua Pelaksana Tugas (PLT) Forum UKM, Yusuf Muarif Hidayat mengatakan, UKM EXPO saat ini berbeda dengan tahun sebelu-mnya.

Pada tahun lalu, acara seperti ini diadakan bersamaan dengan demo UKM saat kegiatan Orien-tasi Pengenalan Akademik (Opak) berlangsung. Sedangkan untuk tahun ini, demo UKM dan UKM EXPO diadakan secara terpisah. Hal ini bertujuan, agar mahasiswa bisa lebih fokus untuk mendapat-kan informasi mengenai UKM.

“Kami cari waktu luang di luar acara Opak yang kemungkinan ini akan lebih efektif. Sebab, ada ru-ang buat maba saat isrtirahat kuli-ah untuk mengunjungi kegiatan UKM EXPO. Kalau kita merujuk pada tahun sebelumnya, ditakut-kan maba kurang fokus,” ungkap Yusuf, Jumat (13/9).

Meski demikian, kata Yusuf, untuk menentukan hari setelah Opak tidaklah mudah. Sebab, tempat yang digunakan selalu di-padati oleh kendaraan setiap hari-

Untuk menyambut mahasiswa baru (maba) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Forum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menyelenggarakan UKM EXPO 2013 di lapangan parkir Student Center (SC). Kegiatan yang berlangsung pada 12-13 September ini diadakan sebagai sarana untuk memper- kenalkan 15 UKM kepada mahasiswa yang ingin menyalurkan minat dan bakatnya di UKM.

nya. “Awalnya kami diminta oleh kepala bagian umum dan kepala parkiran untuk menyelenggarakan hari Jumat dan Sabtu. Namun, setelah mendapatkan solusinya, maka bisa diselenggarakan sejak Kamis kemarin,” katanya.

Yusuf berharap, meski banyak teman-teman dari UKM lain yang tidak bisa ikut berpartisipasi UKM EXPO ini, tidak mengurangi rasa kedekatan antar UKM. “Teman-teman UKM lainnya masih memilki banyak agenda kegiatan di luar,” tambah Yusuf. Yang ter-penting baginya, acara ini berja-lan lancar dan banyak maba yang hadir dalam acara ini.

Senada dengan yusuf, kordina-tor acara UKM EXPO 2013, Ab-dul Jalil mengatakan, kegiatan ini diadakan untuk mengajak maba agar bergabung dalam UKM. Menurutnya, UKM merupakan salah satu tempat untuk mencari kreatifitas, sebab kuliah bukan hanya untuk belajar akademik, tapi bagaimana caranya berkreati-fitas dan mengembangkan potensi.

Terkait dana untuk menyeleng-garakan acara ini, Jalil mengung-kapkan, dana untuk kegiatan ini diperoleh dari patungan masing-

masing UKM dan dari Dewan Eksekutif Mahasiswa Universi-tas (DEMA-U) yang sebelumnya diperuntukkan demo UKM.

Salah satu pengunjung dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Yumar-esta mengatakan, dirinya bangga dengan adanya kegiatan UKM EXPO. Menurutnya, banyak maba yang ingin bergabung den-gan UKM, tapi tidak tahu harus mencari ke mana informasi secara detail.

“Kalau kayak gini kan enak, ada macam-macam UKM. Kita be-bas memilih dan langsung daftar. Nggak kayak kemarin saya nyari kantornya susah dan juga nggak bisa ketemu dengan orang yang bersangkutan,” ujar Resta yang hendak mendaftar ke UKM Fed-erasi Olahraga Mahasiswa (FOR-SA).

Resta menyarankan, untuk keg-iatan UKM EXPO selanjutnya bisa lebih meriah serta banyak hiburan dari berbagai UKM yang terlibat di UKM EXPO. “Ya mas-ing-masing ada pertunjukkannya lah biar lebih meriah lagi,” ujar-nya.

UKM EXPO, Ajang Kreatifitas

MahasiswaKegiatan UKM EXPO 2013 untuk menyambut mahasiswa baru (maba). Acara ini berlangsung pada 12-13 Septem-ber di lapangan parkir Student Center (SC).

5LAPORAN KHUSUS

Abdurrohim Al Ayubi

Foto

: Za

mbr

ong/

KALA

CITR

A

Pembangunan Gedung Parkir dan PU UIN Jakarta, INSTITUT – Pembangunan gedung Perpus-

takaan Utama (PU) dan gedung parkir Universitas Islam Nege-ri (UIN) Jakarta yang dimulai sejak Rabu, (11/9) diprediksi memiliki daya tampung sekitar 400-500 kendaraan sepeda mo-tor. Menurut Muhammad Ali Meha, Kepala Bagian (Kabag) Umum, pembangunan tersebut akan berlangsung selama satu tahun yang dibagi ke dalam beberapa tahap. Tahap pertama, akan berlangsung hingga Desember 2013 dan tahap berikutnya akan dilaksanakan pada Februari 2014.

Ali Meha menjelaskan, tahap itu dibagi lantaran anggaran yang tidak mencukupi. “Pembangunan ini hanya sampai bulan Desember 2013. Jadi, meskipun nanti struktur pembangunan sudah selesai masih belum bisa ditempati, sebab menunggu anggaran 2014,” jelasnya, Selasa (10/9).

Perihal anggaran dana, Ali menuturkan, tahap pertama menghabiskan sekitar 30 milyar. Anggaran tersebut berasal dari dana Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN). “Kita tahu beres saja, ‘gedung sudah jadi’,” ungkapnya. (Ela)

Pengalihan Parkiran Motor UIN Jakarta, INSTITUT – Sudah hampir dua minggu, be-

berapa sivitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Ja-karta yang menggunakan sepeda motor tidak bisa memarkirkan kendaraannya di lapangan parkir atas UIN Jakarta. Hal terse-but dikarenakan adanya pembangunan gedung parkir dan per-pustakaan utama.

Mereka terpaksa memarkirkan kendaraannya di lapangan be-lakang Triguna. Namun, aturan ini diberlakukan pada jam-jam tertentu. “Kita membatasi sampai jam 9, setelah itu baru di-larikan ke lapangan belakang Triguna,” ungkap Kepala Bagian (Kabag) Umum, Muhammad Ali Meha, Selasa (10/9).

Menurut Ali, pengalihan tersebut bertujuan untuk membata-si tumpahnya jumlah sepeda motor yang masuk kampus UIN Jakarta. (Ela)

UIN Sabet Juara 2 PionirUIN Jakarta, INSTITUT – Universitas Islam Negeri (UIN)

Jakarta mengikuti pertandingan Pekan Olahraga Seni dan Riset (Pionir) ke VI, acara rutinan yang diadakan dwi tahunan ini di-selenggarakan di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Serang. Acara tersebut berlang-sung pada tanggal 19 – 24 Agustus lalu.

Pionir kali ini diikuti oleh enam UIN, 16 IAIN dan 31 Se-kolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di seluruh Indo-nesia. Pada pertandingan Pionir kali ini, UIN Jakarta berhasil meraih juara dua dan telah mengantongi sebanyak 24 medali yang terdiri dari 12 emas, delapan perak, dan empat perunggu.

Sementara itu, menurut salah satu peserta Pionir dari UIN Jakarta, Firman Faturohman, sebenarnya UIN Jakarta memi-liki kesempatan untuk menjadi juara umum. Namun, sayang IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang selaku penyeleng-gara mengubah peraturan yang tidak banyak diketahui peserta lainnya ketika technical meeting. Ia melanjutkan, ketika dibaca-kan peraturan cabang catur, baik UIN Jakarta maupun univer-sitas lain tidak terlalu memperhatikan

“Padahal UIN Jakarta sudah mengikuti banyak cabang olah-raga. Namun, cabang olahraga catur yang awalnya menyedia-kan 10 medali ternyata berubah menjadi 27 medali, sehingga UIN Jakarta hanya menyediakan peserta untuk peraturan awal,” ungkap Firman. (Ela)

KILAS

Suasana upacara pembukaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Kamis, (9/9). Opak tersebut diikuti oleh mahasiswa baru (maba) dari semua fakultas di UIN Jakarta.

BERITA FOTO

Penampilan Marching Band dari Sekolah Tinggi Perikanan (STP) saat upacara pembukaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Kamis, (9/9).

Foto

: N

ida/

INS

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 27

Sebagai mahasiswa UIN Jakar-ta, Hani Royhani Hariri merasa perlu tinggal di pesantren sem-bari menimba ilmu di kampus. Hani mengaku keilmuan tentang Islam banyak ia dapatkan ketika di pesantren. Ketika memutuskan untuk berkuliah, ia juga memutus-kan untuk meneruskan belajar di pesantren karena latar belakang pendidikan sebelumnya juga dari pesantren.

Hani menuturkan, kedua orang tuanya membolehkan ia berkuliah jika ia tetap tinggal dan belajar di pesantren. “Agar orang tua tidak khawatir, makanya saya tinggal di pesantren,” papar santri Darus Sunnah, Rabu (4/9).

Mahasiswi Fakultas Ushulud-din (FU) jurusan Tafsir Hadis ini menyatakan ia lebih mendalami ilmu hadis di pesantren yang seka-rang ditinggali ketimbang di kelas. “Kalau di pesantren, pada malam hari, kita (santri) diskusi hadis dengan teman-teman, keesokan-nya diterangkan oleh dosen yang datang ke sana,” ujarnya.

Selain Hani, Mahasiswi Fakul-tas Ilmu Dakwah dan Ilmu Ko-munikasi (FIDIKOM) jurusan Ju-rnalistik, Nurlaillah Sari Amalah, berharap dapat membentuk priba-di muslimah yang jauh lebih baik jika tinggal di pesantren. Menu-

Pengajaran Ilmu Agama Kurang Maksimal, Pesantren Jadi Pilihan

Keinginan Jaka pindah jurusan karena ia merasa Jurusan Arsitek-tur tidak sesuai dengan minatnya selama ini. Ia pernah membicara-kan niatannya pada orangtuanya. Tapi mereka enggan merestui ke-inginan anaknya itu. Mereka me-minta Jaka untuk terus mencoba bertahan agar betah.

Memasuki semester empat, ke-inginan pindah jurusan semakin kuat. Ia memutuskan untuk cuti guna memikirkan langkah apa yang selanjutnya ia tempuh. Selama cuti kuliah, ia mengisi hari-harinya dengan mengajar Matematika dan Fisika di Bim-bingan Belajar Nurul Fikri, akti-fitas yang telah ia geluti sejak Se-kolah Menengah Atas (SMA).

Berkat pengalaman mengajar dan aktif dalam kegiatan keaga-

Tahun 2009, Jaka Perdana Putra lolos ujian masuk Universitas Indonesia (UI) sebagai mahasiswa Fakultas Teknik jurusan Arsitektur. Hampir setiap hari ia mendapat tugas merancang dan menggambar bangunan yang bisa ia selesaikan dengan baik. Nilai-nilai ujiannya pun bagus. Namun, dalam lubuk hati ia menyimpan keinginan untuk pindah dari jurusan Arsitektur semenjak semester dua.

Salah Jurusan, Pilih Pindah atau Lanjut?

maan, membuat hati Jaka semakin mantap menjatuhkan pilihannya pada jurusan Pendidikan Agama Islam. Tahun ajaran 2011-2012, ia tercatat sebagai mahasiswa Fakul-tas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. “Sekarang udah nikmat banget lah. Bener-bener sesuai sama minat saya,” ungka-pnya, Senin (9/9). Penyesalannya hanya pada faktor usia.

Seperti halnya Jaka, Aziza Alas-ka mahasiswi baru jurusan Jurnal-istik, pernah kuliah di Center for Computing Information Technol-ogy (CCIT) selama dua semester. Ia memilih pindah dari jurusan yang dikelola atas kerjasama UIN Jakarta dengan UI, karena selama ini tidak cocok dengan minatnya. “Ternyata tuh nggak semua yang

kita bisa, enak untuk dijalanin,” ungkapnya, Rabu (11/9).

Aziza yang sangat mengge-mari bidang multimedia, merasa hal itu tidak cukup dijadikan ala-san untuk bertahan melanjutkan kuliah di CCIT. Ia memilih untuk mengembangkan hobi lain, yaitu menulis. Selain itu, ia juga se-nang mengamati berita aktual, se-hingga ia memutuskan pindah ke jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM).

Ia sadar jika pilihannya ini akan membuat orangtuanya kecewa. Mereka awalnya geram dengan keputusan putrinya, karena menu-rutnya jika pindah jurusan akan menyia-nyiakan uang serta waktu. Tapi Aziza beralasan tidak ingin menjadi mahasiswa yang biasa-

biasa saja. “Yang ditakutin nanti lulus nggak punya karya apa-apa (dan) jadi orang yang biasa-biasa aja,” ungkapnya lagi.

Mahasiswi baru jurusan Bi-ologi, Ana Roudlotul Jannah juga merasakan jurusan yang dipilih-nya tidak sesuai seperti Aziza dan Jaka. Akan tetapi, Ana lebih me-milih bertahan untuk kuliah di ju-rusan yang tidak menjadi pilihan pertamanya. Ia sempat dua kali mengikuti tes masuk UIN Jakarta dan memilih jurusan Kesehatan Masyarakat (Kesmas). Dua kali juga ia ditolak.

Di kesempatan tes terakhir Ana menjatuhkan pilihannya pada ju-rusan Biologi. Hal itu ia lakukan karena kegagalan saat memilih Ju-rusan Kesmas. Orang tuanya juga mengatakan lebih baik memilih Jurusan Biologi yang biayanya lebih murah dibanding dengan Jurusan Kesmas. “Iya sekarang dijalanin aja deh sampe lulus, nggak ada kepikiran untuk pindah juru-san,” ungkapnya, Jumat (13/9).

Menanggapi banyaknya maha-

siswa yang salah memilih jurusan, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Moh. Matsna mengatakan, UIN Jakarta telah memberikan kesem-patan kepada para calon pendaftar untuk memilih dua dari puluhan program studi (prodi) yang ada. “Calon mahasiswa harus mem-baca informasi dengan baik kalau memilih prodi,” ujarnya, Rabu (11/9).

Matsna menyatakan, UIN Ja-karta telah memfasilitasi para calon mahasiswa dengan men-cantumkan informasi setiap prodi pada laman resmi UIN Jakarta. Hal itu diharapkan agar maha-siswa bisa mencari informasi dari laman tersebut.

UIN Jakarta juga pernah mem-buka UIN EXPO yang bertujuan agar para pelajar SMA bisa me-nanyakan tentang prodi yang ada di UIN Jakarta lebih detail. Di samping itu, Matsna mengharap-kan agar organisasi ekstra, intra, dan kedaerahan dapat membantu menyebarkan informasi yang jelas terkait dengan dunia perkuliahan.

Dewi Maryam Foto

: N

ida/

INS

rutnya, pendidikan agama di kam-pus jauh dari harapannya. “UIN Jakarta sekarang tidak seperti In-stitut Agama Islam Negeri (IAIN) dulu yang lekat dengan nila-nilai agama,” tuturnya, Selasa (3/9).

Nurlaillah merasa perlu men-dalami ilmu agama selain di kam-pus, sehingga ia mencari ilmu tambahan di pesantren. “Nama-nya orang mencari ilmu, jadi nggak hanya dari satu lubang, tetapi juga mencari dari lubang yang lain,” ujarnya

Ia menambahkan, pesantren juga berguna sebagai filter dari ajaran-ajaran dosen yang menu-rutnya liberal. “Sebisa mungkin kegiatan di pesantren menjadi filter, mana yang harus kita am-bil dan mana yang tidak diambil, sekaligus penyokong untuk iman kita,” tegas santri Tasqif ini.

Kegiatan di pesantren mencipta-kan alur keberagamaan yang baik. Sejak bangun tidur dituntut untuk beribadah dan belajar. “Mulai jam tiga pagi tahajud, setoran hafalan Alquran, salat subuh, kuliah tujuh menit, kuliah, selanjutnya ba’da isya belajar bahasa Arab dan fiqih wanita,” kata Nurlaillah.

Selain paradigma dosen yang kritis, pesantren juga dapat men-jaga keimanan dan keislaman-nya. Baginya, UIN Jakarta saat ini

sangat jauh dari nilai-nilai Islam, dari segi penampilan mahasiswa berbeda, pun perilaku mereka tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Mereka cuma menjadikan UIN Jakarta sebagai tempat belajar, tapi tidak mengaplikasikan nilai keisla-man pada dirinya,” tegasnya.

Ketika nilai-nilai keislaman pada diri mahasiswa mulai lun-tur, ia berharap agar UIN Jakarta dapat menanamkan nilai-nilai tersebut agar lebih kokoh dan teraplikasikan. “Semoga UIN Ja-karta dapat menjadi universitas yang lebih kaffah dalam keislaman serta para mahasiswanya dapat

tunduk pada ajaran-ajaran Islam,” harapnya.

Menanggapi pencarian ilmu di pesantren, Dosen Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ke-guruan, Ahmad Dardiri, menya-takan itu merupakan hal baik. Di pesantren, katanya, dapat melatih kemandirian dan mempercepat proses pendewasaan mahasiswa, karena mereka harus disiplin dan bertanggung jawab.

Di pesantren, menurutnya, ter-dapat proses penjagaan diri dan bimbingan akhlak. “Apalagi kalau ada hafalan Alquran, insya Allah akan menjamin moralitas yang

baik,” paparnya, Senin (9/9).Namun, menurutnya tak dapat

dipungkiri jika program pendidikan di pesantren tidak efektif. “Terka-dang program hanya sebatas pro-gram, tapi tidak terlaksana dengan baik, sehingga nilai-nilai yang dida-pat kurang,” ujarnya.

Jika tidak ada penjagaan yang baik dari pihak pesantren terha-dap mahasiswa, menurut Dardiri, tak dapat dipungkiri jika terjadi kerusakan moral pada mahasiswa. “Mereka yang tidak bisa menguasai diri kerjanya hanya tidur, mereka jadi kontraproduktif terbawa oleh pengawasan yang tidak terkontrol,” tuturnya.

Akibat kurang maksimalnya pendidikan agama di kampus, beberapa mahasiswa memutuskan memilih pesantren ataupun asrama sebagai tempat menimba ilmu agama yang lebih luas. Di kawasan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta terdapat banyak pesantren yang ditinggali untuk mahasiswa, di antaranya Darus Sunnah, Sabilussalam, Darul Hikam, dan Tasqif.

Gita Nawangsari

Darus-Sunnah, salah satu pesantren yang terletak di Pisangan Barat, Ciputat.

KAMPUSIANA 6

Foto

: G

ita

Juni

arti

/IN

S

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013 7SURVEI

Di luar mengikuti kegiatan akademis, mahasiswa cenderung melirik dan berminat untuk mengikuti kegiatan nonakademis. Tujuannya tak lain untuk menambah pe-ngalaman, menambah teman, menjadi mahasiswa aktivis, atau sekadar menyalurkan hobi mereka.

Organisasi kemahasiswaan menjadi salah satu kegiatan nonakademis yang dige-mari oleh mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sendiri bermacam ragamnya. Mulai dari organisasi internal yang berada di bawah naungan rektorat, seperti Dema, Sema, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Lembaga Seni Orientasi (LSO), hingga organisasi eksternal, seerti organisasi maha-siswa Islam, komunitas, primordial, dan forum diskusi.

Pada awal September 2013, INSTITUT menyebarkan survei kepada 100 maha-siswa baru dari seluruh fakultas di UIN Jakarta guna mencari tahu organisasi seperti apa yang diketahui dan diminati oleh mahasiswa baru. Selain itu, survei tersebut juga mencari tahu darimana mahasiswa baru memperoleh sosialisasi ten-tang organisasi internal maupun eksternal di kawasan kampus.

UKM dan Organisasi Mahasiswa Islam Paling Banyak Peminat

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 27

KOLOM TABLOID INSTITUT Edisi XXVII Juni 20138

Program pembangunan ekono-mi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus dise-lesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktanya, saat ini jumlah penduduk mis-kin masih tinggi. Sampai pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indone-sia hidup di bawah garis kemiski-nan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin, karena kondisi kesejahte raan yang tidak jauh berbeda den-gan penduduk miskin (data BPS).

Salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan tersebut, yakni tingginya tingkat pengangguran. Sedangkan, tingginya tingkat pen-gangguran tidak lain disebabkan jumlah lapangan kerja yang terse-dia tidak sebanding dengan jum-lah pengangguran yang tinggi. Hal tersebut telah mendorong sebagi-an para pencari kerja untuk men-gadu nasib dengan mencari peker-jaan di luar negeri. Perbedaan kurs mata uang rupiah dengan mata uang asing telah menarik mereka untuk mencari uang di luar nege-ri, baik di negara-negara Timur Tengah maupun negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, dan lain-lain.

Data dan FaktaHingga tahun 2012, jumlah

Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI ada-lah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang) (data BNP2TKI). Sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor in-formal, khususnya bekerja sebagai Pembantu Rumah tangga (PRT). Sekitar 76 persen TKI adalah per-empuan. Dan sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT (data BNP2TKI).

Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, mereka berperan penting bagi perekono-mian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab mereka mendapat predi-kat sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2011, to-tal remitansi yang tercatat sebesar Rp 66.082.481.882.242 dengan jumlah penempatan sebanyak 521.381 TKI. Kemudian to-tal remitansi tahun 2012 sebesar 58.527.830.946.580 dengan jum-lah penempatan sebanyak 362.510 TKI (data BNP2TKI).

Angka tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi sesung-guhnya yang diterima dari para TKI. Jumlah remitansi tersebut hanya yang tercatat di 19 BP3TKI

se-Indonesia. Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi. Hal tersebut dikarenakan sebagian TKI lebih memilih untuk men-girim uang mereka melalui kera-bat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.

Potert Lain dari Kehidupan TKI

Melihat realitas ataupun fenom-ena yang ada di lapangan sangat kontradiksi dengan bayangan kita tentang TKI yang selalu digambar-kankan sebagai kaum yang tertin-das, terdiskriminasi, dan terpuruk ekonominya. Padahal di lapangan tidak selalu demikian. Banyak dari TKI yang justru menikmati kehidupannya yang sekarang. Sisi lain dari kehidupan TKI sangat menarik untuk kita cermati.

Ketika berada di luar negeri, tidak sedikit TKI yang bersifat glamor. Bergaya modis adalah cara lain bagi sebagian TKI untuk melampiaskan beban yang mereka pikul. Mereka ingin mencicipi manisnya gaya hidup di dunia modern. Kebanyakan mereka me-niru gaya hidup majikan maupun teman sesama TKI. Di hari libur, mereka seringkali menghabiskan waktu dengan berbelanja, ke tem-pat hiburan, rekreasi, dan seba-gainya. Seringkali kita sulit untuk

membedakan antara TKI dengan majikan ( Harsono, Jusuf, 2004).

Begitu pula ketika TKI kem-bali ke tanah air. Mereka pulang dengan membawa gaya hidupnya yang glamor beserta budaya yang ada di negara tempatnya bekerja. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang enggan berbicara meng-gunakan bahasa daerah mereka. Para TKI cenderung meninggal-kan nilai-nilai yang ada di daerah asalnya.

Di sisi lain, banyak dijumpai orang tua dan anggota keluarga TKI yang mengeksploitasi TKI dengan menjadikan mereka se-bagai “Anjungan Tunai Mandiri (ATM)” yang dapat dicairkan se-tiap saat. Gaya hidup keluarga TKI pun ikut berubah. Dana remitansi dari TKI untuk keluarganya yang seharusnya dimanfaatkan den-gan baik malah digunakan untuk berbelanja kebutuhan yang tidak begitu penting. Begitu besarnya remitansi meningkatkan semangat keluarga TKI untuk berbelanja. Rata-rata mereka mempunyai gaya hidup yang cukup konsumtif.

Jika kita melihat perubahan gaya hidup yang dialami oleh TKI dan keluarganya, terlihat adanya mobilitas vertikal. Yang mana dulunya mereka hidup dengan ke-sederhanaan, namun setelah men-jadi TKI gaya hidup mereka cend-erung glamor dan konsumtif. Hal

itu didasari karena ada niat un-tuk memperoleh pengakuan dari masyarakat atas status sosialnya yang baru dengan menggunakan simbol-simbol status seperti kepe-milikan materi dan gaya hidup.

Hal tersebut tentu sangat kon-tras dengan apa yang ada dipikiran kita mengenai TKI. Mengingat kebanyakan TKI berasal dari kelu-arga yang ekonominya pas-pasan, seharusnya mereka bisa meman-faatkan hasil jerih payahnya den-gan sebaik mungkin. Yang perlu di garis bawahi adalah, menjadi TKI itu sifatnya sementara, tidak lain hanya tenaga kontrak semata, bukan sampai jenjang pensiun lay-aknya pegawai negeri. Oleh kare-na itu, masa setelah habis kontrak harus dipikirkan dengan matang.

Dukungan seluruh anggota TKI dalam mengelola remitan menjadi sangat krusial sehingga pada akh-irnya dapat digunakan sebagai modal usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian pemerin-tah untuk memberikan pelatihan atau pendidikan ekonomi rumah tangga untuk keluarga TKI. Aso-siasi TKI mungkin juga bisa men-jadi salah satu solusi. Organisasi semacam ini bisa menjadi forum untuk sharing pengelolaan remitan dan kerja sama wirausaha.

Potret Lain Dunia TKI (Tenaga Konsumtif Indonesia)

Oleh Faisal Hilmi*

*Mahasiswa jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta.

Vickisasi KOLOM BAHASA

Oleh Rahmat Kamaruddin*

Vicky Prasetyo mendadak terkenal karena gaya bahasanya yang “intelek”. Mantan tunangan Zaskia Gotik itu punya gaya baha-sa yang cukup menghebohkan. Di antaranya: statutisisasi kemakmu-ran, kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, kudeta keinginan, ‘twenty nine my age’ dan labil ekonomi. Publik ramai mengo-mentari gaya bicara pria bernama asli Hendrianto tersebut.

Ia tak sadar telah menerobos garis demarkasi yang memisahkan antara bahasa “intelek” dan “non-intelek”. Merasa tersudutkan. Melalui akun vickyprasetyo.word-press.com, ia mengklarifikasi gaya bicaranya kepada publik. “Sung-guh memalukan keintelektuali-tasan layaknya aku menjadi ajang hiburan semata serta pemupusan harapan dan materi of futures…”, tulisnya.

Alhasil--sebagai golongan yang barangkali tersinggung--beberapa

kaum intelektual turut membin-cang Vicky. Karena dianggap menyalahi aturan berbahasa, pa-kar bahasa, budayawan, hingga psikolog turut mengomentari gaya bahasanya tersebut. Pelbagai is-tilah dari namanya juga banyak bermunculan, di antaranya, vicki-nisasi, vickiisme, vickybulari. Ia adalah nama lain dari laku peng-gunaan bahasa yang tak tepat.

Bahasa memang menguak iden-titas seseorang. Begitu menyalahi aturan berbahasa, Vicky segera menjadi objek olok-olok. Vicky dinilai tak cerdas, “sok intelek”, oleh publik yang boleh jadi lebih intelek dari dirinya. Budayawan Goenawan Mohamad membuat istilah ”vickinisasi” untuk fenom-ena ini dan memandangnya seba-gai puncak gunung es dari gejala kemalasan berbahasa, baik menel-aah maupun menerjemahkan kata asing.

Siapa Vicky? Tak penting. Yang

utama adalah bagaimana para in-telektual menghabiskan waktunya mempertontonkan kepintarannya mengkritisi orang tak terpelajar. Dan, tentu saja, segenap media massa yang haus akan perhatian itu, dengan mudah menaikkan ratingnya. Oleh media massa yang juga menurut pengamat media seringkali serampangan dalam berbahasa, kita diajak menghabis-kan waktu dan tenaga mengumpat sembari terbahak.

Vicky perlu tahu bahwa “yang intelek” punya legalitas kekuatan untuk memojokkan “yang tak intelek”. Terlepas dari momen-tum sebagai kritik atas maraknya masyarakat yang berbahasa secara serampangan. Sebenarnya, saya lebih tertarik membuat kata tand-ingan untuk mendefinisikan para intelek yang kurang kerjaan meng-habiskan tenaga membincang per-ihal remeh temeh. Tertarik?

*Mahasiswa Ushuluddin

Menerima:Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, dan cerpen. Opini, cerpen, tekno, dan esai: 3000 karakter. Puisi 2000

karakter.Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi

maksudnya. Bagi pengirim tulisan akan mendapat bingkisan menarik dari Institut.

Tulisan dikirim melalui email: [email protected]

Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085692145881. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

REDAKSI LPM INSTITUT

PEMENANG SAYEMBARA

OPAK 2013

Selamat kepada para

pemenang tulisan terbaik

“KISAH TENTANG OPAKMU”

1. Rorien Novriana ( Hubungan Internasional 'FISIP’)

2. Laela Maghfiroh (PGMI 'FITK’)

3. Hani Cahyati (Pendidikan Matematika 'FITK’)

Kalian berhak mendapatkan satu tiket nonton pentas “MADA” dari UKM Teater Syahid

dan majalah terbaru LPM INSTITUT. Untuk pengambilan hadiahnya, bisa hubungi Ema 0896-96-243-145 atau mention @lpmin-stitut / @ema_fitriyani. Batas pengambilan

hadiahnya tanggal 21 September 2013 Terima kasih.

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013 9OPINI

EDITORIAL

Sarekat Islam sebagai organisasi ke-bangkitan nasional, tentu sebagian masyarakat akademik sudah mengetahui hal itu, meskipun masyarakat umum lebih mengetahui kepopuleran Boedi Oetomo, organisasi nasional lebih diketahui atau dikenal masyarakat umum. Namun, bagaimana nasionalisme yang dikon-struksi Sarekat Islam, sehingga dapat mempersatukan bangsa?

Seperti yang kita ketahui, Sarekat Islam merupakan organisasi Islam dan nasion-alisme yang dikonstruksi Sarekat Islam berbasis agama, sedangkan bangsa Indo-nesia tidak seluruhnya beragama Islam. Namun, Sarekat Islam mampu memper-satukan visi bangsa dalam perbedaan ras, suku, dan agama. Perasaan senasib sepen-anggungan telah mengesampingkan per-bedaan agama menjadi persatuan untuk memperoleh kemerdekaan.

Dalam kaitannya dengan persatuan bangsa, Sarekat Islam sebagai organisasi Islam merupakan contoh sejarah yang memiliki keberhasilan dalam mempersat-ukan bangsa. Kunci keberhasilan Sarekat Islam dalam mengkonstruksi nasional-isme di Indonesia adalah tidak membe-sarkan perbedaan dalam fur’iyyah dalam lintas pemahaman sesama akidah. Selain itu, Sarekat Islam tidak mendiskreditkan

Idealisme Sarekat Islam: Persatuan, Persamaan, Persaudaraan, dan Kemerdekaan

kelompok lain. Hal tersebut sangat penti-ng, karena yang memiliki perbedaan terse-but adalah masyarakat pribumi. Sehingga sangat berbahaya apabila membesarkan hal tersebut. Karena akan berdampak kepada perpecahan pribumi yang mayo-ritas beragama Islam dan secara praktis perpecahan pribumi pula. Semangat na-sionalisme pun akan mudah dihilangkan, suatu hal yang memungkinkan akan ter-jadinya disintegrasi bangsa dan negara akan mudah dihancurkan.

Hal tersebut merupakan idealisme Sarekat Islam yang hingga saat ini masih diterapkan dalam komunitas Sarekat Islam. Sekecil apapun perbedaan tidak dibesar-besarkan. Terkait kemerdekaan, erat kaitannya dengan persatuan bangsa dan maraknya konflik sosial di Indonesia mulai dari konflik sosial (tawuran) yang dilakukan para pelajar dan mahasiswa sebagai generasi bangsa, yang dipicu dari permasalahan kecil yang dibesar-besarkan. Termasuk konflik sosial atas nama agama yang dilakukan Organisasi Masyarakat (Ormas) yang muncul, karena perbedaan dalam lintas pemahaman dan kemudahan pemberian identitas (takfir), liberal, radikal, dan sebagainya. Padahal belum tentu valid kebenarannya. Hingga konflik yang dilakukan para pemimpin

bangsa. Hal tersebut merupakan bagian dari disintegrasi generasi bangsa yang merupakan awal dari disintegrasi bangsa.

Idealisme Sarekat Islam merupakan si-kap pendewasaan dan pencerdasan bagi bangsa. Sarekat Islam patut menjadi con-toh pembelajaran bagi para aktivis kam-pus maupun aktivis berbasis Islam, seba-gai generasi intelektual bangsa. Pemikiran Sarekat Islam dalam mengkonstruksi nasionalisme sangat visioner terhadap permasalahan bangsa saat ini. Kontek-stualisasi nasionalisme yang diterapkan Sarekat Islam merupakan manifestasi ajaran Islam. Sayangnya, bangsa Indone-sia banyak yang tidak mengetahui perihal konstruksi nasionalisme yang dibentuk Sarekat Islam.

Realitas sejarah tersebut terasing oleh dinamika politik yang terjadi di internal Sarekat Islam, serta sikap tegas Sarekat Is-lam terhadap kebijakan pemerintah, baik pemerintah Belanda maupun orde lama, membuat penafsiran penguasa mengajak bangsa untuk sepakat dengan penafsiran, Sarekat Islam tidak dinamis dan tidak inklusif. Serta sikap Sarekat Islam yang tidak reaktif terhadap kebijakan pemer-intah orde baru hingga saat ini. Dalam momen bersejarah bulan kemerdekaan, saya ingin mengingatkan generasi bangsa terhadap sejarah yang terlupakan. Sejarah yang telah membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terdidik, bermarta-bat, dan berkarakter.

Jika pelajar, mahasiswa, dan aktivis kampus terlibat dalam konflik sosial, ka-rena alasan sepele dan perbedaan dalam lintas pemahaman, sehingga membuat garis pemisah, saling mendiskreditkan satu sama lain, serta mudah memberikan identitas (stigma) tertentu yang negatif. Tentunya, mereka perlu membaca ulang sejarah idelaisme Sarekat Islam dalam, Persatuan, persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan.

Hidup Mahasiswa, Hidup Indonesia, dan Merdeka!

Oleh: Kartini*

*Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Bang Peka...

SURAT PEMBACA

Dari :08989706XXX

Petisi untuk Maba

Kuliah hingga sore membuatku selalu pulang hingga larut

malam. Ternyata lampu pene-rangan di UIN Jakarta remang-remang, bahkan ada yang tidak

berfungsi. Aku kira cuma di dae-rah pedalaman saja yang tidak mendapat penerangan cahaya, ternyata di kampus tercinta ini

juga merasakan hal serupa.

Selamat datang di dunia kampus, mahasiswa baru (maba). Anda telah memilih sebuah keputusan besar dalam hidup, yakni menjadi mahasiswa. Ta-hukah Anda, dari 250 juta seluruh pen-duduk Indonesia hanya sekitar 4,8 juta orang saja yang sanggup menjadi men-jadi seperti Anda? Itulah kenapa Anda begitu istimewa bagi bangsa ini.

Saat duduk di bangku sekolah mung-kin anda lazim mendengar negara kita dipenuhi pelbagai masalah. Mulai dari dari arus globalisasi, anarkisme, radikalisme, seperatisme, terorisme, kemiskinan, dan, tentu saja, korupsi, yang menggerogoti sendi-sendi negara. Itulah tantangan yang saat ini tengah kita hadapi. Kini, sebagai mahasiswa anda punya kans besar mengentaskan permasalahan tersebut.

Ketahuilah, pelbagai permasalahan bangsa kita sangat kompleks dan telah mengakar di tubuh bangsa ini. Kita bahkan tak perlu lagi menunjuk jari menuding ke luar sana, sebab boleh jadi ia ada sekitar kita, atau bahkan diri kita sendirilah pelakunya. Dalam aspek pendidikan, misalnya. Tahukah Anda betapa bobroknya sistem pen-didikan kita?

Daya destruktif realitas sosial-politik di luar sana luar biasa, benteng kokoh sekelas universitas pun kini mulai re-tak. Oleh karena itu, sebagai contoh kecil, jika nanti anda menyaksikan dengan mata kepala anda perilaku bi-rokrat bermental feodal, dosen yang tak mendidik, aktifis narsis disorien-tasi, pegiat akademis apatis, senior pongah di organisasi, dan sejenisnya, maka percayalah hal tersebut hanyalah secuil gambaran dari kehidupan nyata di luar sana. Persiapkan diri anda.

Bangsa ini punya catatan emas perjuangan mahasiswa dalam narasi panjang sejarahnya. Tantangan kita masih banyak, maba. Pada pijakan awal anda memulai kehidupan sebagai mahasiswa ini, berjanjilah anda akan memaknai dengan baik arti kata yang “maha” dan “siswa”, berikut menekuri sejarahnya, guna membangun perada-ban yang lebih baik. Demi nusa dan bangsa.

Hidup mahasiswa!

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TUSTEL TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 201310

Riuh, sekelompok beratribut oranye memadati Gelora Bung Karno (GBK). Suporter Persatu-an Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija) seakan merelakan diri dan waktunya untuk menyeman-gati tim macan Kemayoran ke-banggaan mereka.Berangkat dari sekretariat di bi-

langan Lebak Bulus, Jakarta Sela-tan, mereka menuju GBK untuk memberi dukungan pada Persija. Berdiri, bernyayi, dan bersorak se-lama 90 menit seakan tak pernah lelah. Kesetiaan mereka seperti oranye yang menyala, tak pernah padam.

Semangat Oranye, Semangat Persija FOTO OLEH HANA SAYYIDA

Mahasiswa Jurnalistik semester 5

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013 11SOSOK

Kesadaran tersebut membawa jebolan Fakultas Ushu-luddin (FU) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu beralih menjadi pembuat film dokumenter. Ucu merasa, adanya batasan halaman pada media cetak dan sempitnya durasi pelaporan pada radio membatasi geraknya untuk menggali sebuah isu. Sehingga, ia memutuskan untuk merambah dunia audio visual.

Keputusan itu memberi tantangan tersendiri bagi wanita asal Sukabumi ini, sebab ia mesti beralih dari satu media ke media lainnya. “Dari menulis lewat pulpen sekarang nulis lewat kamera,” ungkapnya via telpon, Senin (12/8). Namun bagi Ucu, baik belajar menulis maupun belajar membuat film dokumenter mempunyai pendekatan yang sama.

Ucu bercerita, awalnya ia tidak mengerti dengan dunia dokumenter. “Mulanya, saya selalu bilang yang penting gembarnya terang. Ibarat menulis itu, awalnya nggak apa-apa tulisannya jelek, yang penting menulis.” Selain itu, ia juga selalu yakin dengan apa yang dia buat dan apa yang akan ia sampaikan. Hingga akhirnya, pada tahun 2005 ia berhasil membuat film dokumenter pertamanya dengan judul Death in Jakarta.

Hingga saat ini, Ucu telah melahirkan lima karya film dokumenter. Salah satunya, film dengan judul Raget’e Anak yang dirilis pada tahun 2008 menorehkan prestasi di kancah internasional. Film tersebut dan beberapa film lain yang menjadi bagian dari antologi Pertaruhan berhasil ditampilkan pada Festival Film Internasional Berlin di ta-hun 2009.

Sedari masih mahasiswa, dunia tulis menulis bukanlah hal asing bagi Ucu Agustin. Sejak semester enam, tulisannya kerap kali mewarnai berbagai media. Hingga setelah lulus kuliah pada tahun 2000, ia berhasil men-jadi kontributor Majalah Pantau. Tidak lama setelah itu, ia bergabung dengan sebuah radio yang juga bertugas sebagai kuli tinta. Namun, seiring berjalannya waktu, ia justru merasa bahwa tulisan pada media tidaklah cukup untuk menggambarkan sebuah realita.

Menguak Hal Biasa Menjadi Luar Biasa

Ucu percaya di balik realita-realita yang diang-gap biasa oleh kebanyakan orang sebenarnya terkandung hal luar biasa. Namun, karena sudah terlanjur dianggap biasa, maka orang-orang tidak menyadarinya. Hal-hal tidak biasa itulah yang terekam dalam film-film doku-menter garapan Ucu.

Melalui film dokumenternya, Ucu ingin mengajak orang untuk kembali melihat realitas keseharian yang sebenarnya mengandung ban-yak hal yang tidak terungkap. “Jadi film doku-menter ini menjadi bahan untuk refleksi bersama dan juga menjadi alat untuk orang kembali melihat apa yang tidak bisa dilihat,” tambahnya.

Selain itu, ia juga berharap, perkembangan media yang ada di dunia kampus dapat mendorong maha-siswa untuk mencoba dunia audio visual. Maha-siswa dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengekspresikan hal-hal yang terkait dengan isu sosial ataupun ekspresi personal.

Ia menambahkan, tidak selamanya media itu bu-ruk. Seperti yang banyak dikatakan orang, media adalah pisau analisis, dapat dipergunakan untuk hal baik, dapat juga untuk hal buruk. Mantan aktivis forum kajian diskusi Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) itu berharap, mahasiswa dapat menggunakan positif power dari media.

Mengenai inspirasi untuk pembuatan film-film-

Ucu Agustin: Dari Pulpen ke KameraSiti Ulfah Nurjanah

Informasi tersebut ia dapat ketika mengikuti acara Google Day yang diselenggarakan di Hotel Indonesia (HI). Meski begitu, awalnya, ia hanya iseng mengisi for-mulir dan mengunggah video profilnya ke Youtube sebagai salah satu persyaratan menjadi GSA.

Ia pun tak menyangka, keberanian dan keisen-gannya itu membuahkan prestasi. “Sebenarn-ya, mahasiswa UIN Jakarta sangat potensial mengikuti ajang-ajang berskala nasional. Tapi terkadang, mahasiswa UIN Jakarta nggak punya keberanian dan kepercayaan diri untuk berkompetisi di tingkat universi-tas ternama, semisal Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM),” jelas Saggaf saat ditemui di depan Cafe Cang-kir, Jumat (16/8).

Sebagai GSA, Saggaf bertugas menjadi penghubung antara UIN Jakarta dan Google. Karenanya, dalam hal ini ia mewakili UIN Jakarta di lintas universitas se-Indonesia. Kede-pan, pria kelahiran Palu ini akan menggelar workshop dan seminar yang berkaitan dengan Google. Tak hanya itu, Google juga mem-buka ruang bagi sivitas akademi-ka yang ingin menjalin kerjasama.

“Saya juga dituntut bersikap professional. Karena jika tak begi-tu, jabatan GSA yang kini saya san-

nya, tambah Ucu, ia peroleh dari aktivitas sehari-hari yang ia jalankan. Misalnya pada film terbarunya, Di Ba-lik Frekuensi, ia mendapatkan inspirasi untuk film tersebut dari kegiatannya sebagai jurnalis.

Pengaruh pemilik modal di media terhadap pember-itaan yang diceritakan dalam film Di Balik Frekuensi bu-kanlah hal asing bagi para pewarta. Namun hal demikian hanya dibicarakan di kalangan pekerja media saja. Oleh

karena itu, Ucu membuat film Di Balik Frekuensi sebab baginya,

masyarakat juga harus tahu hal-hal apa saja yang ada di

balik sebuah berita.

dang bisa dicopot. Pihak rektorat juga sepertinya belum mengetahui jika di UIN Jakarta ada GSA. Pasalnya, se-jauh ini belum ada tanggapan khusus dari pihak kampus.” ucap pria yang juga pernah menyabet gelar Nokia Lumia Premium Developer & Nokia Asha Premium Developer 2012 ini.

Dikatakan Saggaf, tahun ini, GSA sudah menginjak periode kedua. Namun di UIN Jakarta, ia merupakan GSA yang pertama. Hal ini dikarenakan, informasi mengenai GSA terkadang tak sampai di kampus UIN Jakarta.

Karena itu, ia menyarankan agar mahasiswa lebih aktif dan kreatif mencari informasi. “Kita harus men-

jemput bola dan jangan menunggu bola,” imbuh maha-siswa jurusan Teknik Informatika (TI) Fakultas Sains

dan Teknologi (FST) itu. Sebenarnya, lanjut Saggaf, GSA bu-

kan hanya diperuntukan bagi maha-siswa FST melainkan bagi seluruh mahasiswa UIN Jakarta. Karenanya, bagi mahasiswa yang tertarik menja-di GSA bisa menemuinya langsung.

“Menjadi GSA merupakan prestasi yang memberikan pengala-man berkesan. Selain bisa jalan-ja-lan gratis, saya juga bisa mengenal mahasiswa luar seperti dari Malay-sia, Singapura, Thailand, Vietnam,

dan Filipina,” kenangnya. Ia berharap, posisinya sebagai GSA,

Foto: wikimedia.org

Pekerjaan : Pembuat Film DokumenterFilm : Death in Jakarta Bab Akhir Pramoedya Raget’e Anak Konspirasi Hening Di Balik Frekuensi

Nama Lengkap : Ucu AgustinTTL : Sukabumi, 19 Agustus 1976Almamater : Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat (1995-2000)

Berani memulai sesuatu dan percaya diri mengikuti acara berskala besar, kiranya menjadi prinsip yang membawa Muhammad Saggaf Arsyad dinobatkan sebagai Google Student Ambassador (GSA) atau duta Google Universi-tas Islam Negeri (UIN) Jakarta 2013-2014. Prestasi itu diraih, setelah ia mengikuti ajang pencarian GSA bagi kampus-kampus ternama di Indonesia, UIN Jakarta salah satunya, Jumat (16/8).

KEBERANIAN HILANGKAN RASA PENASARANMuawwan Daelami

bisa turut mengenalkan universitas berbasis Islam di ting-kat nasional dan internasional. Terlebih selama ini, citra universitas Islam cenderung dipandang negatif. Secara intensif, lanjut Saggaf, kegiatan GSA akan dimulai saat perkuliahan sudah aktif.

Sejauh ini, ia baru mengenalkan GSA UIN Jakarta melalui Facebook, Twitter, dan Google+. Selebihnya, ia juga menjalin kerjasama dengan UIN Community dan Pan-dorasquad untuk publikasi. Mengingat, tak sedikit ma-hasiswa yang belum mengetahui dan memahami fungsi GSA. “Meski demikian, ia cukup mendapat dukungan positif dari kalangan mahasiswa UIN,” kata Saggaf.

Foto: arsip pribadi

Nama : Muhammad Saggaf ArsyadTempat/ Tgl Lahir : Palu, 29 September 1992Tempat tinggal sekarang : Jl. Ir. Juanda Raya No. 135, Ciputat, Tangerang SelatanFakultas : Sains dan TeknologiJurusan : Teknik InformatikaPrestasi : 1. Google Students Ambassador untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013-2014) 2. Juara 1 Coding Contest HIMSI (2012) 3. Juara 3 Lumia Apps Olympiad kategori API Ongkoskirim (2012) 4. Nokia Lumia Premium Developer & Nokia Asha Premium Developer (2012)

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 27

WAWANCARA TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September201312

Foto

: Za

mbr

ong/

KALA

CITR

A

Menurut Anda, apa sebenarn-ya problem yang dihadapi persma saat ini?

Persma itu problemnya dari dulu hingga sekarang sama saja, yaitu kehilangan aktualisasi yang serius di tingkat kampus, karena persma tidak punya daya saing

yang kuat ter-hadap pers

umum. Bu-kan karena p e r s m a

kurang h e -b a t ,

Pers mahasiswa (persma) kian hari kian sulit saja dalam melebarkan sayap. Padahal kendala yang dihadapi masih sama, yaitu tidak bisa mengimbangi aktualisasi pers umum. Persoalan lain yang sama antara persma dan pers umum yakni menyangkut independensi yang berdampak pada setiap pem-beritaan sarat kepentingan satu kelompok atau golongan.Untuk mengetahui lebih jauh fenomena persma yang kalah saing dan cend-erung sarat kepentingan, reporter INSTITUT, Ahmad Sayid Muarief berkesempatan mewawancarai Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) In-donesia Eko Maryadi, di Depok, Senin (19/8).

kurang militan, atau kurang ba-gus kualitasnya, tapi karena ruang lingkupnya yang terbatas hanya di sekitar kampus.

Masalah yang utama adalah li-putannya kurang kuat. Misalnya, bicara tentang di kampus masalah yang ditemui sedikit berbeda den-gan di luar kampus atau bisa di-bilang dangkal. Kalau pers umum kan semuanya bisa dihantam.

Selain itu, permasalahan lain yang masih menyelimuti persma didominasi kepentingan salah satu kelompok atau golongan. Bagaimana Anda menyikapinya?

Pada akhirnya persma harus menentukan identitas dirinya dulu. Kalau ada di kampus UIN Jakarta, targetnya akan menjalan-kan visi-misi apa. Misalnya, ingin

UIN Jakarta menjadi kampus yang mengembang-

kan keilmuan tentang plural-isme demokrasi. Kita buat pema-haman yang inklusif. Ini nantinya bisa

menjadi pembicaran di kampus. Kemudian, ada suatu kesalahan

paradigma yang sangat parah. Persma cenderung eksklusif dan cenderung kurang berani fight. Ke-tika saya dulu di persma Universi-tas Padjajaran (UNPAD) periode 1987-1990an, kita cenderung me-mandang organisasi ekstra (oreks) kampus dijadikan saingan.

Apakah persma harus antipati dengan kelompok/golongan?

Seharusnya mereka bisa dijadi-kan mitra kritik. Kita bisa ber-hubungan baik dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergera-kan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan mempunyai hak yang sama untuk hidup berdampingan di kampus dalam membangun basis yang sama mengembangkan ideologi mereka. Jadi persma nggak boleh alergi dengan mereka.

Pers itu bukan hanya alat arti-kulasi bagi komunitas di kampus, tapi bagi kelompok kepentingan tertentu. Karena oreks berbeda dengan mahasiswa umum, mere-ka punya kecenderungan ideologi tertentu. Kalau mahasiswa umum mementingkan kuliah yang pen-ting lulus. Sedangkan penggerak oreks punya visi-misi tertentu.

Lantas, bagaimana persma menjaga independensi?

Persma harus menjaga indepen-densinya. Kalau persma mampu mendeklarasikan diri sebagai pen-didikan massa yang independen. Misalnya, ada teman-teman dari organisasi ekstra, sama halnya di pers umum adanya ruang keredak-sian yang harus dijaga dari berba-gai kepentingan. Inilah fungsi dari pimpinan redaksi.

Di pers umum juga datang dari berbagai golongan, ada persma, aktivis atau orang yang mau kerja doang, kemudian ada juga titipan dari partai tertentu. Sama halnya

dengan pers umum juga seperti itu, adanya fungsi redaksi yang dipimpin oleh pimpinan redaksi yang punya kredibilitas, leadership yang kuat, ideologi yang kuat jadi independensi terjaga. Sehingga garda redaksi yang akan menjaga independensi persma.

Ketika dulu pernah persma di-manfaatkan oleh suatu golongan, akhirnya dibuat peraturan tidak boleh ada oreks di persma. Apa tanggapan Anda?

Di satu sisi saya melihat kelom-pok persma konflik sedikit ke-luar, diskusi sedikit menyempal membuat organisasi baru. Itu me-nunjukan ketidakkuatan ideologi persma. Kedua, ketidaksiapan untuk hidup bersama dalam per-bedaan, butuh suatu kedewasaan tersendiri.

Kalau ada persma yang memilih membersihkan dari adanya gang-guan independensi, mungkin itu menjadi salah satu jalan. Meski saya tidak bisa menyatakan itu be-nar atau tidaknya. Ini soal kapabil-itas. Kalau misalnya teman-teman persma merasa hal itu yang ter-baik dan tidak cukup kuat meng-hadapi benturan ekstra kampus ya silakan saja dibentuk.

Apa pesan Anda untuk persma?Saya berharap persma bisa men-

jadi salah satu sekolah atau sarana pendidikan jurnalistik di tingkat dasar. Mereka yang punya keter-tarikan di profesi jurnalis digodok melalui persma dan di situ ujian awalnya.

Jadi persma harus menjadi me-dia yang menyuarakan berbagai isu, yang mungkin tidak banyak diangkat oleh pers umum, namun khas kampus secara etik profesion-al. Belajar juga mempraktikan ten-tang kode etik jurnalistik seperti wartawan nasional, independen serta menjaga kredibilitas dan martabat.

Mempertanyakan Independensi Persma

Atas Wisuda Egi Fajar Nur Ali, SE.

Mantan Kepala Litbang LPM INSTITUT 2010-2011

SELAMAT DAN SUKSES

Foto: Dok. Pribadi

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013 13RESENSI

Ceritanya telah berakhir ber-samaan dengan diputarnya film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer, dituliskannya kisah pemberontakan G30S di buku-buku sejarah sekolah serta ‘dibersi-hkannya’ Partai Komunis Indone-sia (PKI) beserta antek-anteknya di Indonesia.

Singkat kata, bagi sebagian masyarakat Indonesia, seja-

rah peristiwa G30S diang-gap tidak perlu diusik

kembali lantaran sudah tutup

perkara. Na-mun ang-

gapan

t e r s e -but tidak

b e r l a k u bagi Julius

Pour, seorang wartawan senior

serta penulis sejarah kontemporer Indonesia. Dengan menelurkan

buku teranyar berjudul G30S, Fakta atau Rekayasa, Julius Pour

secara kritis menyatakan bahwa sejarah peristiwa G30S sesung-guhnya belum tersibak sempurna. Keberadaan fakta dan rekayasa masih abu-abu, belum dapat dipe-takan dengan jelas.

Mengingat hingga kini, siapa dalang, bagaimana kronologi peri-stiwa G30S, serta berapa jumlah korban jiwa masih jadi misteri.

Bila tidak menengok sejarah dan menggali fakta baru, akankah kita meneruskan sejarah yang masih menjadi jigsaw puzzle ini pada anak cucu kelak?

Dalam buku ini, pembaca di-ajak mengenang kembali peristiwa G30S, salah satu kepingan penting sejarah Indonesia. Sejumlah per-wira tinggi Tentara Nasional Indo-nesia Angkatan Darat (TNI-AD) gugur dalam peristiwa tragis yang disebut-sebut didalangi oknum PKI tersebut.

Sejak peristiwa G30S, PKI memang diposisikan sebagai ter-sangka utama pembunuhan pet-inggi TNI-AD dan percobaan kudeta terhadap pemerintah yang berkuasa. Untuk itu, atas perin-tah penguasa pemerintah, operasi pembersihan PKI yang dianggap telah melakukan makar digelar.

Kurang lebih 3 juta massa PKI serta masyarakat yang ‘dianggap’ sebagai anggota serta simpatisan PKI tewas. Dipenjarakan tanpa proses pengadilan, dihabisi, serta dibantai pada operasi pembersi-han PKI.

Setelah peristiwa G30S, tanpa PKI dapat membela diri, media yang kala itu dikuasai TNI-AD memang seolah memanfaatkan keadaan dengan membombardir masyarakat dengan pemberitaan yang memojokkan PKI.

Beberapa hari setelah peristiwa, dua koran milik AD, yaitu koran Berita Yudha dan Angkatan Bersend-

jata menampilkan pemberitaan serta foto-foto jenazah petinggi TNI-AD yang menerangkan ten-tang penyiksaan yang dilakukan pada jenazah petinggi TNI-AD.

Lantaran masyarakat tidak pu-nya sumber lain selain dua koran milik angkatan darat, masyarakat menjadi sangat mempercayai ber-ita tersebut. Meskipun, bila dikriti-si media tidak pernah menyuguh-kan bukti hasil visum petinggi TNI serta klarifikasi dari oknum PKI.

Pemberitaan seputar penyiksaan akhirnya secara resmi menjadi se-jarah peristiwa G30S di masa orde baru. Berita tersebut juga menjadi dasar pembuatan film Pengkhi-anatan G30S/PKI.

Dampaknya, lantaran tidak kri-tis menganalisa sejarah, hingga kini banyak masyarakat terjebak pada pemikiran, PKI merupakan dalang peristiwa G30S.

Untuk itu, demi menyudahi kekeliruan sejarah dalam diri masyarakat Indonesia, Julius Pour dengan buku G30S, Fakta atau Re-kayasa menggambarkan kembali serta menyuguhkan fakta-fakta terbaru mengenai peristiwa G30S.

Tidak seperti film Pengkhi-anatan G30S/PKI yang secara tersurat menyeret nama PKI seba-gai dalang utama, buku berjudul G30S, Fakta atau Rekayasa justru mengajak pembaca berpetualang mencari kebenaran sejarah peris-tiwa G30S.

Dengan menyuguhkan kesak-

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan singkatan G30S merupakan sejarah yang telah usai dan usang dimakan zaman.

Melawan Lupa Peristiwa G30S

Adea Fitriana

sian, pernyataan, serta argumenta-si dari seluruh pihak TNI-AD, pro PKI, kontra PKI, pro Soekarno, maupun pihak kontra Soekarno yang berasal dari kajian kepus-takaan pada 137 buku serta 13 media cetak, buku ini mengajak pembaca menelusuri serta menilai peristiwa G30S dengan lebih ob-jektif.

Selain penggambaran kembali, pembaca juga disuguhi hasil vi-sum tim dokter yang saat itu me-nangangi jenazah petinggi TNI-AD. Alasan mengapa Soeharto tidak masuk dalam daftar perwira tinggi Angkatan Darat yang harus ‘dibersihkan’ pada peristiwa G30S juga akan dijawab secara mende-tail.

Motif pembongkaran makam orang yang dipilih sebagai Wakil Komandan G30S, Letnan Kolonel (Letkol Udara), Heru Atmodjo se-cara mendadak dua bulan setelah ia tutup usia pada Januari 2011 juga diungkap dalam buku ini.

Yang tak kalah menarik, buku ini akan membongkar jati diri serta misteri kematian Letnan Jenderal (Letjen) KKo Hartono, seorang loyalis Soekarno yang kabarnya dibunuh akibat adanya konspirasi tingkat tinggi. Alasan dibalik pe-resmian nama Hartono sebagai nama asrama militer Kesatrian Marinir Hartono pada 2008 meski akta kematiannya belum pernah dikeluarkan juga akan disingkap.

Judul

: G30S, Fakta atau Rekayasa

Penulis : Ju

lius Pour

Penerbit : Kata Hasta Pustaka

Cetakan : M

ei 2013

Isi

: xii + 652 halaman

ISBN

: 978-979-1056-53-3

Komunitas Gesek berawal dari tiga mahasiswa bernama Daud Catur Wicaksono, Sukran Habibi, dan Ramdhan yang kerap kali me-mainkan violin di taman PU. Ru-panya kegiatan ketiga mahasiswa itu menarik perhatian mahasiswa yang lalu-lalang di sekitar PU. Ini terlihat dari banyaknya mahasiswa yang datang menghampiri un-tuk minta diajarkan atau sekadar melihat dan berbincang. Semakin lama, peminatnya semakin ban-yak.

Sukran Habibi yang lebih akrab disapa Cuke mengaku pemilihan tempat latihan di taman PU, ka-rena suasananya yang tenang dan sejuk. Terlebih karena mereka tak memiliki tempat untuk berlatih. “Biar mengubah suasana Univer-sitas Islam Negeri (UIN) Jakarta seperti di Taman Thamrin,” can-danya sambil tertawa, Kamis (25/7). Selain di taman PU, bi-asanya mereka juga berlatih di ta-man sekitar UIN Jakarta. Mereka melakukan ini untuk mencari dan

menciptakan suasana yang ber-beda.

Mahasiswa yang ingin belajar membuktikan keseriusannya den-gan membeli alat musik. Mereka-pun mulai bermain bersama. Setelah bermain selama beberapa bulan, akhirnya Daud, Cuke, dan Ramdhan memutuskan untuk mengorganisir dengan membuat Komunitas Gesek yang diresmi-kan pada 11 Juni 2013.

Daud mengatakan Komunitas Gesek bertujuan mengubah sua-

Taman Perpustakaan Utama (PU) belakangan terlihat berbeda dari biasanya. Beberapa bulan terakhir sering terdengar suara merdu yang ternyata berasal dari alat musik biola. Di taman PU, sekelompok mahasiswa terlihat memainkan lagu dengan alat musik itu. Kumpulan mahasiswa yang memiliki ketertarikan pada biola, menamakan diri mereka sebagai Komunitas Gesek.

Curi Perhatian Lewat Musik Gesek

sana kampus. Ia melihat semakin berkurang kegiatan mahasiswa di kampus. Oleh karena itu, ia berharap kehadiran Komunitas Gesek dapat berdampak baik bagi suasana kampus. “Jadi nggak cuma nongkrong ngabisin kopi, rokok, dan ngobrol nggak jelas,” ujarnya.

Komunitas yang beranggota sepuluh orang ini secara formal berlatih setiap hari Selasa dari pukul dua siang hingga lima sore. Materi yang dipelajari diawali dengan belajar teknik memegang dan menggesek biola. Inilah tahap yang paling dasar dan membutuh-kan kesabaran yang besar. Setelah mahir, akan diajarkan cara mem-baca nada. Mereka juga diberi pekerjaan rumah agar lebih cepat memahami materi yang dipelajari.

Meski telah berbagi ilmu kepada rekan-rekan di Komunitas Gesek, Cuke, Daud, dan Ramdhan me-nolak untuk dibilang sebagai pen-gajar. “Kami berbagi aja, tukar pikiran, nggak ada istilah yang guru dan murid,” kata Cuke.

Cuke mengatakan, saat ini mereka sedang fokus untuk berba-gi ilmu kepada anggota yang ada. Cuke dan kedua temannya ingin menjadikan anggota komunitasn-ya semakin pandai dalam bermain biola. Hal itu dilakukan agar kelak bisa menggantikan mereka untuk

Karlia Zainul

KOMUNITAS

Komunitas gesek ketika sedang berlatih di Taman Auditorium Harun Nasution. Mereka biasanya memainkan lagu-lagu klasik.

mengajar musik kepada yang lain. “Kami kan nggak selamanya ada di sini,” ucap mahasiswa Pendidi-kan Bahasa Inggris (PBI) Fakul-tas Ilmu Tarbiyahdan Keguruan (FITK) ini.

Perhatian utama komunitas ini adalah keseriusan setiap anggota untuk belajar, sehingga yang dite-kankan komunitas ini adalah ke-mauan untuk terus berlatih pada setiap anggota. “Nggak masalah cuma lima orang yang penting se-rius,” ucapnya.

Hal itu yang membuat komu-nitas ini memberikan beberapa syarat bagi yang igin bergabung. Selain harus memiliki alat musik, mereka harus serius dan mau ber-bagi. “Belajar musik kan harus fokus, kemauannya harus kuat. Itu aja yang kami mau,” ujar Cuke.

Meski baru diresmikan, ko-munitas ini mendapatkan respon yang baik dari mahasiswa dan karyawan kampus. Seperti Erfa Dwijayanti yang kerap kali men-gunjungi PU, merasa terhibur atas kehadiran komunitas gesek.

Erfa mengaku, suasana di seki-tar PU berubah menjadi meny-enangkan. “Keren. Gue suka li-atnya, apalagi kalau habis keluar kelas dan baru ngadepin dosen yang bikin ngantuk. Liat mereka latihan, ditambah angin sore, otak sama mata jadi segar. Lumayanlah refleksi gratis,” paparnya antusias.

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 27

SASTRA TABLOID INSTITUT Edisi XXVI September 201314

(1 p.m.) aku harus mengantarkan nenek ke suatu tempat. Tempat yang tidak ku mengerti. Nenek tidak pernah memberi tahu diriku tempat apa yang ia akan kun-jungi. “Nek, kita mau kemana sih sebenarn-ya?”, tanyaku dengan nada yang tergesa-gesa. “Sudah jangan banyak bicara, ikuti saja nenek. Nenek sudah terlambat,” nenek menjawab dengan nada ketus. Aku hanya bisa diam ketika nenek sudah mengeluarkan kerutan wajahnya yang kumengerti sebagai simbol bahwa ia sedang tidak ingin diajak bicara lebih lanjut.

Kami masih saja menyelusuri jalan yang dipenuhi dengan hiruk pikuk manusia. Nenek menyebut mereka sebagai manusia pecinta uang. Manusia yang tidak pernah cukup dengan harta yang dimilikinya. Ma-nusia yang akan terus mencari dan mencari hingga stock uang di kota akan benar-benar habis. Tapi sampai kapan stock uang akan benar-benar habis, karena saat ini saja nega-ra sedang menumpahkan uang di kota-kota. Yang berakibat pada kemacetan yang terus terjadi dari waktu ke waktu.

Nenek pernah bilang bahwa dengan iming-iming uang, orang baik pun lebih memilih uang ketimbang harga diri yang mereka miliki. Hal itu pula yang menyebab-kan nenek tidak pernah memberiku uang. Ia takut jika cucu kesayangannya ini men-jadi lupa tentang arti harga diri ketika sudah memegang uang. Nenek lebih suka mem-beriku permen lolipop dari pada uang. Ka-rena nenek tahu dengan memberiku lolipop, maka nenek telah memberi nutrisi kecer-dasan otakku yang bersumber dari lolipop tersebut.

(3 p.m. )“Kita sudah sampai,” nenek berujar kepadaku diikuti oleh hembusan an-gin yang berasal dari hidungnya, tanda ia su-dah kepayahan dengan jalan panjang yang kita lakukan sejak menerobos hiruk pikuk para manusia pecinta uang tadi. Selain itu, umurnya yang semakin dimakan usia juga menambah kepayahannya dalam bernafas. Usianya yang sudah usang itu ibarat sebuah generasi suatu angkatan. Yang lambat laun

harus digantikan oleh angkatan yang baru.“Ayo cepat,” nenek berkata kepadaku

disertai dengan genggaman tangan yang semakin erat yang mencengkeram jari-jari tangan kiriku.

“Kamu tunggu disini, jangan ke mana-mana,” nenek menghimbauku. Tidak cukup sekali, ia ingin memastikan kembali bahwa cucu kesayangannya ini harus menuruti apa yang ia katakan “Tunggu disini, jangan pergi ke mana-mana sebelum nenek selesai dengan urusan nenek,”. Aku menjawab den-gan penuh keyakinan kepada nenek bahwa aku bisa menjaga diriku dengan sahutan “Ok. Aku tidak akan ke mana-mana Nek, aku pasti nurut dengan perintah nenek,” dis-ertai dengan senyuman manis yang kuberi-kan untuk menentramkan hati nenek.

Tanpa basa-basi lagi nenek langsung masuk ke sebuah ruangan. Aku tak tahu ruangan apa itu. Yang aku ingat itu hanya sebuah ruangan yang pintu depannya terda-pat bagian kotak kecil seperti kaca. Entah apa fungsinya. Di rumahku saja pintunya tidak ada kacanya. Memang sungguh aneh ruangan yang dimasuki oleh nenek itu.

Dari tempat duduk yang dipilihkan nenek ini aku bisa melihat banyak orang. Ada yang sedang menulis di atas meja. Ada yang se-dang tertunduk wajahnya. Ada juga seorang laki-laki paruh baya yang sedang tertidur dengan kepala bersandar di tembok. Aku masih saja aneh dengan keadaan ruangan ini. Aku tidak mendengar sedikitpun suara. Hanya sesekali ruangan ini disesaki oleh bu-nyi bergemuruhnya angin yang lalu-lalang tanpa adanya sedikitpun kemacetan. Aku sangat penasaran sekali. Jika nanti nenek keluar dari ruangan, hal yang pertama kali akan kulakukan ialah langsung menanyakan kepada nenek tentang ruangan apa yang kita datangi ini. Ruangan dengan tidak adanya manusia yang melakukan pembicaraan den-gan mengeluarkan suara sedikitpun. Sepi sekali. Apakah karena aku memakai headset? Tapi ketika nenek tadi berbicara saja, aku masih mendengar suaranya. Tapi setelah sekarang aku duduk di depan ruangan yang nenek masuki, aku tidak dapat mendengar-kan suara apapun kecuali suara musik yang bersumber dari MP3 yang kugunakan ini.

Mataku masih saja berlarian mencari hal-hal yang menarik. Hal-hal yang bisa men-datangkan suara agar aku tidak menambah

MenungguOleh Heri Widyatno*

penasaran dengan keadaan ruangan ini. Ti-ba-tiba mataku tertuju kepada dua orang pe-muda. Mereka duduk bersebelahan. Mereka duduk sangat berdempetan. Tapi mereka tak berbicara sedikitpun. Mereka hanya me-mandangi benda kecil berbentuk kotak yang ada digenggaman tangannya. Entah benda apa itu. Akupun tidak memiliki benda sep-erti itu, begitu pula dengan nenek. Yang ku tahu hanya ayah yang memiliki benda sep-erti itu. Tetapi ayah juga tidak pernah mau meminjamkan bahkan memberitahu diriku benda apa yang ia miliki itu sebenarnya.

Tapi yang ku tahu sejak ayah mempunyai benda kecil tersebut ayah menjadi jarang berbicara dengan ibu dan juga aku. Apakah memang benda kecil itu membuat penggu-nanya menjadi malas untuk berbicara. Dan itupula yang terjadi pada kedua pemuda tersebut. Mereka tak berbicara, berbincang atau bahkan berdebat sedikitpun. Mereka hanya asik mengotak-atik, memencet, atau bahkan memainkan dengan lihai benda kecil yang ada di tangan mereka berdua. Tanpa berbicara, mereka bisa tersenyum. Terseny-um kepada benda kecil tersebut. Aku semak-in penasaran dengan mereka. Sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan?

“Awas saja nanti jika nenek sudah keluar dari ruangan, aku ingin sekali menceritakan tentang hal ini semuanya kepada nenek, agar aku mengerti tentang ruangan apa ini dan benda apa yang dipegang oleh kedua pemuda itu,” gumamku dalam hati.

“Sampai berapa jam lagi aku harus me-nunggu nenek keluar?”

Aku sudah tidak tahan ingin berbicara ke-padanya. Menceritakan tentang dua orang pemuda tersebut, orang-orang yang ada di ruangan ini serta ruangan apakah sebe-narnya ini. Tapi mau dikata apalagi. Yang harus kulakukan ialah menunggu nenek keluar dari ruangan. Entah, entah sampai kapan nenek akan keluar dari ruangan ini. Karena nenek tidak bilang kapan tepatnya ia akan keluar ruangan. Yang ia katakan hanya tunggu, tunggu, dan tunggu. Dan itu pula yang harus ku lakukan. Dan sekarang sudah pukul (5 p.m.)

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris

Langit:Sepekan matahari berlibur ke utara

Awan menyelinap ke kotaku

Membuang tiap bait tak terpakai

Yang dikumpulkan satu semester lalu

Kotaku seakan mati diserang hama

Bahkan penghuninya

Menjadi kepik telentang

Menunggu awan kehabisan amunisi

Siang itu

Para awan kabur

Sebab mencium bau matahari makin kuat

Dan kulit kotaku kembali melembab

18 1 2013

PUISI

Opini LangitOleh Akbar F (Ajoy)*

*Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

JUARA 1 SAYEMBARA OPAK 2013

Halo! Saya Rorien Novriana mahasiswi baru di FISIP Jurusan Hubungan Interna-sional. Ketika pertama kali resmi menjadi seorang mahasiswa, satu hal yang saya ta-kutkan adalah ospek. Ya, ospek. Ospek sep-erti menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa baru. Di benak saya, ospek akan menjadi empat hari yang me-nyeramkan, empat hari yang membuat saya ingin skip saja hari-hari itu. Terbayang akan ribetnya barang-barang yang akan dibawa, senior-senior galak, dan lainnya. Tapi apa mau dikata, itu adalah satu dari sekian ban-yak proses yang harus saya lewati.

Opak FISIP dimulai dengan Opak ju-rusan pada hari Rabu. Semuanya di luar dugaan saya. Barang-barang yang harus dibawa cukup mudah, hanya name tag dan makanan-makanan yang namanya penuh dengan teka-teki. Tapi, ada satu yang menu-rut saya cukup ribet dan melelahkan untuk dipenuhi, foto di depan Kedutaan Besar Nigeria. Kelompok kami, mendapat bagian

di Negara Nigeria. Kami menggunakan angkutan umum dan taksi untuk sampai ke sana. Sialnya, taksi yang saya tumpangi bersama keempat kawan lainnya tersesat ke Kedutaan Nigeria yang lama. Pantas saja tempat itu seperti rumah hantu. Saya dan teman-teman kebingungan karena posisi Kedutaan Besar Nigeria yang lama itu di dalam komplek yang notabene jauh dari ja-lan raya dan tentu saja, taksi. Saya sebenarn-ya masih bingung sampai sekarang, kenapa alamat Kedutaan Besar Nigeria yang lama masih dicantumkan ketika kita mencari itu di internet, padahal telah pindah sejak dua tahun lalu. Singkat cerita, akhirnya saya dan teman-teman berfoto di depan Kedutaan Besar Nigeria dengan menggunakan atribut Opak.

Hari Kamis, kami mahasiswa baru FISIP melanjutkan Opak universitas, dan mel-akukan upacara pembukaan bersama-sama dengan fakultas lainnya. Sepanjang jalan dari kampus dua ke kampus satu, kami

terus menyanyikan yel-yel yang tentu saja menjadi sebuah hal yang baru dan benar-be-nar membuat saya merasa menjadi seorang mahasiswa. Mungkin begitu rasanya orasi dan demo. Setelah upacara yang cukup me-lelahkan, FISIP, FITK, FKIK, dan Fakultas Psikologi mendapat giliran pertama untuk melihat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) apa saja yang ada di sini. Ada beberapa UKM yang menarik untuk saya, seperti LPM Institut, FLAT, dan RANITA. Tapi menurut saya, semua UKM-nya menarik untuk diikuti. Setelah itu kami melanjutkan dengan Opak fakultas.

Hari Jumat, FISIP melanjutkan dengan Opak fakultas. Berita bagus, kami sudah tidak lagi memakai atribut. Yey! Dengan baju batik bernuansa dominan merah, hari Jumat ini diisi dengan mentoring dari dosen mengenai banyak hal. Dan saya rasa, men-toring ini sangat bermanfaat untuk mem-berikan penggambaran lebih jauh tentang bagaimana mekanisme dunia perkuliahan. Dan karena hari Jumat, sementara yang laki-laki menunaikan kewajibannya, kakak-kakak panitia membuat ‘Hijab Class’ untuk yang perempuan. Sangat berguna.

Hari Sabtu adalah hari terakhir Opak.

Sedih atau senang? Sedih karena harus menyudahi acara yang begitu seru, tapi senang karena sebentar lagi resmi akan disebut sebagai mahasiswa. Hari ini di-awali dengan mentoring oleh dosen. Lalu, pada siang harinya kami lanjutkan dengan acara Cultural Day. Cultural Day dimulai dengan menonton film “Mata Tertutup” bersama-sama. Film yang menginspirasi dan penuh dengan pesan moral. Setelah itu kami diberikan kejutan oleh panitia. Agak penasaran, auditorium FISIP disulap bagai panggung konser. FISIP SHOW!! Kami, mahasiswa baru dimanjakan oleh banyak penampilan dari Stand Up Comedy UIN Jakarta sampai Teater Abstrak. Segala macam jenis musik ditampilkan disini ada NYIAH Band dengan aliran pop fun, ada juga saxophone yang menjadikan FISIP SHOW ibarat JavaJazz, sampai Street Walker dengan aliran rock yang bikin FISIP NGERI BANGET!! Jadi itulah kesan saya selama Opak FISIP, satu kata untuk Opak FISIP, NGERIII!!

Opak FISIP UIN Jakarta 2013Rorien Novriana*

*Mahasiswa semester 1, jurusan-Hubungan Internasional, FISIP

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 27

TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013 15SENI BUDAYA

Sali sebagai tokoh utama yang diperankan Saiful Arief Hidayat kalap dan tak dapat me-nahan diri ketika melihat pohon pepaya kes-ayangannya tumbang. Dianggapnya pohon pepaya bak anak kandung sendiri. Melihat keadaan seperti itu, Sali langsung dikuasai perasaan marah dan sedih.

Mendengar teriakan Sali, tetangganya pun berduyun-duyun menghampiri Sali yang ten-gah meratapi pohon pepayanya. “Siapa berani menebang pohon pepayaku ini? Bukankah se-malam tak ada badai, mengapa bisa tumbang? Nampak jelas sekali tebasan pisau!” tanya Sali kepada semua tetangganya.

Mengetahui tak ada yang dapat memban-tunya, akhirnya Sali pun bertekad untuk me-ngadukan dan mencari keadilan seorang diri. Ia bertekad untuk mengadukan peristiwa itu ke berbagai tempat yang dianggap ada keadi-lan di sana. Ia pikir akan mendapatkan jawa-ban atas pelaku penebang pohon kesayangan-nya tersebut.

Seharian penuh Sali terus berjuang mencari keadilan, tak peduli rasa lelah dan kantuk me-nyerang dirinya. Ia pun memutuskan untuk

Buah pepaya memang manis rasanya, yang ranum pun sedap kalau dibikin rujak. Siapa yang tak suka buah pepaya? Keistimewaan pohon pepaya juga yang bisa tumbuh di segala musim. Jadi, tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak menyukai buah dan pohon pepaya.

Pepaya Sayang, Si Sali Malang

mencari keadilan di kelurahan, kecamatan dan kepolisian. Namun, orang-orang dan tem-pat yang dianggapnya dapat memberikan so-lusi dan keadilan justru sebaliknya, ia hanya mendapatkan cemoohan atas aduannya.

Akhirnya Sali pun tak kuasa menahan be-ban batin. Suatu pagi, istri Sali tengah men-jemur pakaian di pekarangan rumah. Terkejut dirinya menemukan Sali tergolek lemah di samping pohon pepaya kesayangan. Ia men-coba membangunkan Sali, namun ternyata tak ada jawaban. Istrinya pun histeris, membuat semua tetangganya mulai berdatangan.

Melihat hal yang terjadi membuat istri Sali menyesal, ia pun mengaku ternyata dirinyalah yang menebas pohon pepaya kesayangan sua-minya. Begitulah kisah Gerhana yang dipen-taskan oleh Teater A-One di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Teater yang diselenggarakan pada Senin, (9/9) diadaptasi dari cerpen Gerhana karya Mo-hammad Ali.

Dalam pertunjukan yang disutradarai Intan Sari Ramadhani, ia menggunakan konsep dra-ma musikal dalam pertunjukan yang menjadi

tugas ujian akhir mata kuliah sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muham-madiyah Tangerang (UMT). Ini terlihat dari iringan musik mellow, pop rock serta da-ngdut yang mengisahkan tentang keadilan, menjadi ciri ketika Sali berganti tempat dari satu tem-pat ke tempat lainnya.

Menurut Intan, dalam penggarapan per-tamanya ini banyak sekali hambatan yang ditemui. “Sulit banget jadi sutradara, apalagi buat ngumpulin semuanya pas latihan,” je-lasnya dalam forum diskusi yang diadakan seusai pertunjukkan, Senin, (9/9).

Budi Sobari mengatakan, dalam pertunju-kan yang berdurasi 35 menit, teater A-one ber-hasil memadukan kedua bentuk teater tradisi dan modern. Hal itu terlihat dari penggunaan latar tempat yang dilakukan dan lakon yang ditampilkan. “Tokoh Sali yang berlari di tem-pat ketika menuju kantor polisi dan kantor kecamatan itu contoh bagian teater tradisi, se-dangkan bentuk teater modernnya terlihat dari latar tempat yang digunakan,” jelasnya.

Nurlaela

Sali, diperlakukan tidak baik oleh petugas kepolisian ketika sedang mengadu ke kantor polisi. Sanggar Baru Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Senin (9/9).

mengajar murid Sekolah Dasar (SD) atau TPA, melainkan mengajarkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk membuat bu-letin atau majalah.

Dosen Bahasa Jurnalistik ini mengung-kapkan, program dan mekanisme KKN di tahun 2014 hingga seterusnya seyogyanya diubah. ”Seharusnya LPM yang mencarikan lokasi dan masalah yang layak untuk ma-hasiswa guna menjalankan kegiatan KKN. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,” pa-parnya.

Ia menambahkan, hingga saat ini, LPM masih kekurangan orang untuk melakukan riset ke beberapa wilayah. “LPM memang kekurangan staf sehingga sulit untuk mel-akukan survei ke masing-masing daerah un-tuk tempat KKN,” ucap Nanang.

Sementara itu, staf administrasi LPM, Dwi Sukarminayu mengatakan, mahasiswa dan dosen pembimbing wajib melakukan survei dan membuat proposal berisi pro-gram KKN. “Itu kewajiban mereka supaya program lapangannya jelas,” ucapnya, Senin (9/9).

Mengenai mekanisme yang dilakukan LPM, Dwi menjelaskan bahwa LPM su-dah melakukan audiensi ke kabupaten di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kemudian, Tim Badan Ke-satuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) dari pemerin-tah merekomendasikan tempat yang layak untuk KKN kepada LPM UIN Jakarta.

Ia melanjutkan, tidak semua desa yang direkomendasikan oleh Kesbangpolinmas

dipilih oleh LPM. “Kami mengedepankan desa yang masyarakatnya masih berpendidi-kan rendah, tenaga kesehatannya kurang, dan pendapatannya rendah. Desa seperti itu cocok menjadi tempat KKN mahasiswa,” tuturnya.

KKN di Universitas LainBerbeda dengan UIN Jakarta, KKN di

Institut Pertanian Bogor (IPB) hanya men-girimkan lima hingga tujuh mahasiswa ke satu lokasi. Hal tersebut dipaparkan oleh Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB, Prastowo. Alasan-nya, jumlah mahasiswa yang kurang atau lebih akan menimbulkan ketidakefektifan.

“Selain itu, agar KKN berjalan efektif, kami juga mengintegrasikan antara jurusan mahasiswa dengan kebutuhan masyarakat

agar mereka sama-sama mem-peroleh keuntungan,” tam-bahnya, Selasa (24/8). Ia men-contohkan, mahasiswa Fakultas Kehutanan ditempatkan di Bengkulu, karena provinsi terse-but memang sedang membutuh-kan pemberdayaan kehutanan.

Terkait persoalan dana KKN, Prastowo menjelaskan, dana un-tuk menjalankan program KKN berasal dari sponsor dan Sum-bangan Pendidikan (SPP) yang dibayar oleh mahasiswa sejak semester satu. “Oleh karena itu, mahasiswa tidak ditarik dana lagi ketika masa KKN mereka tiba,” ucapnya.

Senada dengan Prastowo, Kepala LPPM Universitas Gad-jah Mada (UGM), Suratman mengatakan, guna menjalankan program KKN yang efektif, LPPM UGM mengelompokkan tiap fakultas berdasarkan peran masing-masing. “Hal itu dilaku-kan supaya program mahasiswa di setiap lokasi KKN sesuai de-ngan permasalahan dan kebutu-han nyata masyarakat,” ujarnya ketika diwawancarai via telepon, Kamis (29/8).

Kelompok pertama adalah kelompok agro yang terdiri dari Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kehutanan, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Tekonologi Perta-nian.

Di kelompok kesehatan, terda-pat mahasiswa dari Fakultas Ke-dokteran, Fakultas Farmasi, dan Fakultas Kedokteran Gigi.

Selain kelompok agro dan kes-ehatan, ada juga kelompok sains dan teknologi yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Teknik, dan Fakultas Biologi.

Kelompok terakhir adalah kelompok sosial dan humanio-ra yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Ekonomi, Fakultas Fil-safat, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, FISIP, dan Fakul-tas Psikologi.

Sambungan: KKN Belum Efektif...

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 27

Sejak didirikan 28 tahun lalu, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal pada Tabloid Institut, Majalah In-stitut, dan beberapa tahun ini secara kontinyu memper-cantik portal lpminstitut.com.

Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembang-kan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk mari beriklan di ketiga produk kami. Kenapa? Ini alasannya:

Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan

Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh univer-sitas besar se-Indonesia dan Instansi

pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendik-bud)

INSTITUT OnlineMemiliki portal online dengan sajian berita seputar

kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari

Majalah INSTITUTsajian berita bercorak investigatif dam terbit

per-semester

Untuk pemasangan iklan hubungi:

April : 081932276534

Pasang Iklan