TABLOID INSTITUT EDISI 14

16
Edisi XIV/Juni 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Bersambung ke hal 15 kol 2 EDITORIAL •Pustaka Hal. 6 Hypnolearning, Belajar cara Belajar •Wawancara Andi Syafrani Hal. 15 •Laporan Khusus Dugaan Penyelewangan Dana Beasiswa Berprestasi Hal. 5 Menanggapi stigma arus teknologi dan informasi kini yang menjadikan mahasiswa terkesan lebih individualis, Dede Rosyada, Dekan Fakul- tas Ilmu Tarbiyah dan Kegu- ruan (FITK), saat ditemui di ruangannya oleh INSTITUT (14/6) mengatakan hal tersebut tidak seekstrem demikian, na- mun memang ada peluang ke situ. Untuk selevel mahasiswa, menurutnya, secara psikologi mereka masih membutuhkan teman untuk sharing walaupun memang informasi mudah di- dapatkan. “Jaman saya kuliah dulu, kami sering melakukan diskusi dan belajar kelompok dan sebagainya, kebutuhan ke- pada teman itu memang sangat tinggi, karena kita ingin saling memperoleh informasi dari yang lain, sebab memang sum- ber informasi kami terbatas,” kenangnya. How to be a good listener is more difficult than a good speaker,ujar Dede. Menurutnya diskusi merupakan aktivitas yang san- gat urgen. Hal itu membentuk karakter mahasiswa agar bersi- kap openness (terbuka), sehingga dapat menerima berbagai pan- dangan dan tidak tertutup den- gan perubahan. Sikap keterbu- kaan merupakan ciri-ciri orang modern dan dengannya orang dapat melakukan changing (pe- rubahan). Siswo Mulyantoro, Ketua Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), mengatakan pentingnya diskusi selain wa- dah aktualisasi diri, juga me- nambah pengalaman, teman serta bisa membentuk karakter mahasiswa. “Kegiatan berdiskusi di luar jam perkuliahan itu sangat menunjang segala yang bersi- fat akademis, mengingat waktu perkuliahan cenderung sangat terbatas”, tutur pria asal Brebes tersebut kepada INSTITUT (20/6). Senafas dengan hal itu, be- rangkat dari ketidakpuasan atas kurikulum di kelas, Forum Kajian Rasional Ilmu Politik dan Keindonesiaan Jakarta (KRITIS) terbentuk. Hal terse- but diungkapkan Muhammad Kholil Ikhwan, Ketua Umum KRITIS periode 2010-2011. Dia mengatakan lebih banyak mendapatkan wawasan dari luar kelas. “Kalau di bangku kuliah saya lebih banyak canda dan tawa, di forum luar kelas saya banyak mendapatkan wawasan dan pengetahuan,” tutur Kholil (21/6). Dia juga mengatakan budaya diskusi mahasiswa saat ini cenderung merosot, ini dis- ebabkan tidak adanya kekom- pakan, persatuan, dan kerjasa- ma diantara satu mahasiswa dengan lainnya. Semua orang tahu bila mahasiswa identik dengan dunia intelektualitas. Hal tersebut adalah wajar mengingat posisi mahasiswa sebagai pemangku gelar agent of change. Aktivitas berdiskusi merupakan instrumen penting dalam iklim kampus yang seharusnya menjadi weltanschauung (pandangan hidup) , terutama dalam mengasah intelektualitas, menumbuhkan rasa percaya diri, dan kepekaan sosial di tengah derasnya arus teknologi dan informasi. Forum Kajian dan Diskusi Mahasiswa, masihkah? Rahmat Kamaruddin FOTO: RAHMAT/INSTITUT Sekelompok mahasiswa sedang berdiskusi di lapangan parkir FITK, (25/6). Intelektual yang Kering Jelas, terlalu larut dengan masa lalu sangat tidak baik, namun pa- ling tidak, masa lalu bisa menjadi tolak ukur, nilai, bahkan standar yang relatif baik dengan melihat fakta sekarang. Dan buktinya, perjalanan intelektual UIN Ja- karta ketika dahulu, banyak me- nitiskan orang-orang berintelek- tual tinggi. Pertanyaannya, apa yang sudah dicapai sekarang ini? Apakah pencapaian sekarang, mampu melampaui pencapaian masa lalu? Semangat jaman selalu menjadi biang keladi. Yang bisa memben- tuk mau bagaimana dan seperti apa pelakunya. Jaman sekarang, mahasiswa kerap dipandang tidak mapan. Ada yang sekedar kuliah demi titel, ada kuliah demi peker- jaan, dan ada pula yang benar-be- nar mencari intelektualitas. Tentu jaman dahulu pun sudah ada se- perti itu, tapi kita harus bersikap, jika memang ingin melampui pencapaian masa lalu. Mahasiswa bukan robot, apala- gi mesin photocopy, yang acapkali mengikuti apapun secara memba- bi buta, tanpa pertimbangan. Ma- hasiswa adalah manusia, manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Tidak hanya sekedar mengikuti kemauan dosen demi nilai kognitif yang tinggi, yang dipercaya bisa menjamin masa depan. Ada nilai lain di samping nilai kognitifitas, ada nilai morali- tas, kolektifitas, dan spritualitas. Itu hampir tak tersentuh. Maka jangan heran, ada ma- hasiswa yang malah suka foya- foya, tawuran, plagiat, bahkan terorisme. Itu kesalahan dalam berintelektual. Bukan juga salah dosen atau institusi pendidikan, namun, dosen dan institusi punya kesempatan untuk memperbaiki itu. Apa mau disia-siakan? Pem- bentukan karakter adalah salah satu kesempatan itu. Menjunjung tinggi nilai kog- nitif dan mengabaikan nilai yang lainnya, menjadikan mahasiswa hidup dengan intelektualitas yang kering. Ada, tapi tak sejuk. Tak ada manfaat buat orang lain, han- ya keinginan dan kepuasan pri- badi, muncul manusia-manusia individualis. Bahkan lebih sadis, mahasiswa hedonis, materialistis, dan jauh dari idealis. Jika mau serius, dimulai dari yang sederhana, dengan men- ciptakan budaya-budaya intelek- tual. Meramaikan forum-forum kajian, membuat komunitas yang punya kontribusi buat orang lain, atau mungkin, aktif dengan or- ganisasi yang mengajarkan kole- ktifitas. Mari sejukkan intelektual kita. (MF)

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 14

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Bersambung ke hal 15 kol 2

EDITORIAL

•Pustaka Hal. 6 Hypnolearning, Belajar cara Belajar

•Wawancara

Andi SyafraniHal. 15

•Laporan Khusus Dugaan PenyelewanganDana Beasiswa BerprestasiHal. 5

Menanggapi stigma arus teknologi dan informasi kini yang menjadikan mahasiswa terkesan lebih individualis, Dede Rosyada, Dekan Fakul-tas Ilmu Tarbiyah dan Kegu-ruan (FITK), saat ditemui di ruangannya oleh INSTITUT (14/6) mengatakan hal tersebut tidak seekstrem demikian, na-mun memang ada peluang ke situ.

Untuk selevel mahasiswa, menurutnya, secara psikologi mereka masih membutuhkan teman untuk sharing walaupun memang informasi mudah di-

dapatkan. “Jaman saya kuliah dulu, kami sering melakukan diskusi dan belajar kelompok dan sebagainya, kebutuhan ke-pada teman itu memang sangat tinggi, karena kita ingin saling memperoleh informasi dari yang lain, sebab memang sum-ber informasi kami terbatas,” kenangnya.

“How to be a good listener is more difficult than a good speaker,” ujar Dede. Menurutnya diskusi merupakan aktivitas yang san-gat urgen. Hal itu membentuk karakter mahasiswa agar bersi-kap openness (terbuka), sehingga

dapat menerima berbagai pan-dangan dan tidak tertutup den-gan perubahan. Sikap keterbu-kaan merupakan ciri-ciri orang modern dan dengannya orang dapat melakukan changing (pe-rubahan).

Siswo Mulyantoro, Ketua Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), mengatakan pentingnya diskusi selain wa-dah aktualisasi diri, juga me-nambah pengalaman, teman serta bisa membentuk karakter mahasiswa.

“Kegiatan berdiskusi di luar jam perkuliahan itu sangat menunjang segala yang bersi-fat akademis, mengingat waktu perkuliahan cenderung sangat terbatas”, tutur pria asal Brebes tersebut kepada INSTITUT (20/6).

Senafas dengan hal itu, be-

rangkat dari ketidakpuasan atas kurikulum di kelas, Forum Kajian Rasional Ilmu Politik dan Keindonesiaan Jakarta (KRITIS) terbentuk. Hal terse-but diungkapkan Muhammad Kholil Ikhwan, Ketua Umum KRITIS periode 2010-2011. Dia mengatakan lebih banyak mendapatkan wawasan dari luar kelas.

“Kalau di bangku kuliah saya lebih banyak canda dan tawa, di forum luar kelas saya banyak mendapatkan wawasan dan pengetahuan,” tutur Kholil (21/6). Dia juga mengatakan budaya diskusi mahasiswa saat ini cenderung merosot, ini dis-ebabkan tidak adanya kekom-pakan, persatuan, dan kerjasa-ma diantara satu mahasiswa dengan lainnya.

Semua orang tahu bila mahasiswa identik dengan dunia intelektualitas. Hal tersebut adalah wajar mengingat posisi mahasiswa sebagai pemangku gelar agent of change. Aktivitas berdiskusi merupakan instrumen penting dalam iklim kampus yang seharusnya menjadi weltanschauung (pandangan hidup) , terutama dalam mengasah intelektualitas, menumbuhkan rasa percaya diri, dan kepekaan sosial di tengah derasnya arus teknologi dan informasi.

Forum Kajian dan Diskusi Mahasiswa, masihkah?

Rahmat Kamaruddin

FO

TO

: RA

HM

AT

/IN

STIT

UT

Sekelompok mahasiswa sedang berdiskusi di lapangan parkir FITK, (25/6).

Intelektual yang Kering

Jelas, terlalu larut dengan masa lalu sangat tidak baik, namun pa-ling tidak, masa lalu bisa menjadi tolak ukur, nilai, bahkan standar yang relatif baik dengan melihat fakta sekarang. Dan buktinya, perjalanan intelektual UIN Ja-karta ketika dahulu, banyak me-nitiskan orang-orang berintelek-tual tinggi. Pertanyaannya, apa yang sudah dicapai sekarang ini? Apakah pencapaian sekarang, mampu melampaui pencapaian masa lalu?

Semangat jaman selalu menjadi biang keladi. Yang bisa memben-tuk mau bagaimana dan seperti apa pelakunya. Jaman sekarang, mahasiswa kerap dipandang tidak mapan. Ada yang sekedar kuliah demi titel, ada kuliah demi peker-jaan, dan ada pula yang benar-be-nar mencari intelektualitas. Tentu jaman dahulu pun sudah ada se-perti itu, tapi kita harus bersikap, jika memang ingin melampui pencapaian masa lalu.

Mahasiswa bukan robot, apala-gi mesin photocopy, yang acapkali mengikuti apapun secara memba-bi buta, tanpa pertimbangan. Ma-hasiswa adalah manusia, manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Tidak hanya sekedar mengikuti kemauan dosen demi nilai kognitif yang tinggi, yang dipercaya bisa menjamin masa depan. Ada nilai lain di samping nilai kognitifitas, ada nilai morali-tas, kolektifitas, dan spritualitas. Itu hampir tak tersentuh.

Maka jangan heran, ada ma-hasiswa yang malah suka foya-foya, tawuran, plagiat, bahkan terorisme. Itu kesalahan dalam berintelektual. Bukan juga salah dosen atau institusi pendidikan, namun, dosen dan institusi punya kesempatan untuk memperbaiki itu. Apa mau disia-siakan? Pem-bentukan karakter adalah salah satu kesempatan itu.

Menjunjung tinggi nilai kog-nitif dan mengabaikan nilai yang lainnya, menjadikan mahasiswa hidup dengan intelektualitas yang kering. Ada, tapi tak sejuk. Tak ada manfaat buat orang lain, han-ya keinginan dan kepuasan pri-badi, muncul manusia-manusia individualis. Bahkan lebih sadis, mahasiswa hedonis, materialistis, dan jauh dari idealis.

Jika mau serius, dimulai dari yang sederhana, dengan men-ciptakan budaya-budaya intelek-tual. Meramaikan forum-forum kajian, membuat komunitas yang punya kontribusi buat orang lain, atau mungkin, aktif dengan or-ganisasi yang mengajarkan kole-ktifitas. Mari sejukkan intelektual kita. (MF)

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Assalamu’alaikum Wr. Wb.Salam INSTITUT.Semoga kasih sayang Tuhan se-lalu tercurahkan kepada kita, te-man, sanak saudara, dan orang tua kita. Alhamdulillah, Tab-loid edisi XIV ini bisa hadir ke tangan pembaca yang budiman. Itu merupakan salah satu ke-bahagian kami, di samping ke-bahagian mendapat hasil UAS pada semester ini.Benar, para awak kami harus berjibaku dengan kegiatan akedemisnya, bahkan waktu ini merupakan waktu krusial dalam perkuliahan, yaitu UAS. Namun, kami punya kewajiban, sebagai seorang aktivis pers, jurnalis sekaligus penulis yang dituntut untuk produktif dalam keadaan apapun. Dan keadaan kami, tak bisa menjadi alasan, untuk kemalasan kami dalam menulis. Menulis adalah jiwa kami. Jika Tsubasa bilang, bola adalah teman. Tapi kami bilang, menulis adalah orang tua.Tabloid kali ini, berangkat dari keresahan, kegelisahan, dan niat baik tentunya. Tentang iklim budaya intelektual di kampus tercinta UIN Jakarta ini. Kami memotret fenomena kampus sekarang-sekarang ini, sebagai upaya menghidupkan kembali, dari yang telah hampir mati. Kami menyajikan itu semua le-wat Headline, Laput Satu dan Dua. Tak pula lupa, sebagai social con-trol, kami mencoba memanfaat-kan potensi kejurnalistikan den-gan menguak fakta-fakta yang kami rasa penting diangkat agar kehidupan kampus UIN sehat, seimbang, dan baik. Se-perti, kasus dugaan penyelewe-ngan dana beasiswa, molornya work-shop SG, sampai carut marut media kampus. Kami mencoba meliput sesuai profesi kami, sesuai fakta, benar dan berim-bang. Itu asas utama.Kami sadar, kami masih di bumi, tidak bisa merasa hebat atau bangga dengan berlembar-lembar tulisan ini. Tak lebih dari, dan tentu jauh dari sem-purna. Sepertinya kuping kami harus kebal kritikan. Siapa yang tahu persepsi terhadap kami sep-erti apa, jika tak mau mendengar kritik itu semua.Dan karenanya, kami me-manggil, menunggu pembaca budiman, dan siap sedia tentu-nya, dengan berbagai macam kritikan yang membangun. Demi kebaikan kami, dan demi kebaikan semuanya, jika kita tahu. Sajian ini merupakan sajian saat Anda ada di kam-pus, mungkin bisa menemani sajian pengisi perut, dan kami adalah sajian pengisi wacana pemikiran. Semoga bermanfaat. (MF) Salam INSTITUT.Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam Redaksi

Edisi XIV/Juni 2011Laporan Utama2

Mahasiswa Miskin Proses Belajar

yang menghantui di masa Ujian Tengah Semester (UTS) dan Uji-an Akhir Semester (UAS). Keta-kutan-ketakutan seperti itu yang membuat mahasiswa melakukan ketidakjujuran selama ujian. Se-perti prilaku mencontek.

Dalam hal ini, H.A.R Tilaar, pakar pendidikan Indonesia, mengungkapkan, mahasiswa itu pada dasarnya harus memiliki karakter yang bermoral dan ber-landaskan pancasila, sehingga tahu mana yang benar dan harus dilakukan, bukannya membenar-kan apa yang jamak dilakukan orang-orang di sekitarnya.

Idealnya, tambah Rusydy, ma-hasiswa harus me-rencanakan be-tul bagaimana pendidikannya be r la ng s u ng. Mereka hen-daknya su-dah memi-liki mimpi, akan jadi a p a

nantinya. Bila ingin m n j a d i s a r j a n a d e n g a n kelu- lus-an terbaik, m a k a i a

Maraknya kasus plagiat dan sikap anti diskusi di kalangan mahasiswa adalah implementasi dari ‘miskin’nya proses pembelajaran. Pun, kini maha-siswa memiliki kecenderungan yang berorientasi pada penilaian kognitif semata tanpa memahami substansi dari sebuah proses pembelajaran itu sendiri.

Proses belajar, menurut Dede Rosyada, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), sejatinya tidak sekadar membaca literatur-literatur. Lebih dari itu, proses belajar menuntut maha-siswa agar mempresentasikan hasil membaca tersebut kepada orang lain dalam sebuah forum diskusi, meninjau ulang hasil dis-kusi, dan mendengarkan pendapat orang lain.

Ia menambahkan, perlu adanya kesadaran dari mahasiswa dalam mencapai kesempurnaan proses belajar. Mereka hendaknya tidak hanya mengutamakan lulus dalam waktu yang cepat, namun juga menyelesaikan tahap-tahap pro-ses belajar denga baik. Menurut BAN-PT, kelulusan mahasiswa idealnya dalam jangka waktu 8-10 semester. Dalam masa itu, mereka perlu waktu untuk merefleksi dan membina diri sebagai persiapan transisi dari dunia perkuliahan ke lingkungan masyarakat.

“Dikhawatirkan, mahasiswa yang lulus dalam waktu singkat atau kurang dari jangka waktu tersebut akan memiliki jiwa so-sial yang belum matang dan be-lum siap untuk diterjunkan ke masyarakat. Maka, bila mereka tidak melalui proses belajar yang sempurna mereka tidak akan bisa mempertanggungjawabkan ang-ka-angka dalam ijazahnya terse-but,” jelas Dede.

Miskinnya proses pembelajaran di UIN Jakarta pun dirasakan Rusydy Zakaria, Ketua Jurusan Kependidikan Islam FITK. Bah-kan menurutnya, mahasiswa UIN masih minim dalam hal budaya membaca. “Seharusnya, ketika dosen telah memberikan silabus mata kuliahnya, mahasiswa aktif mencari referensi berdasarkan si-labus tersebut. Dengan demikian, ketika jam kuliah berlangsung, mahasiswa telah memiliki materi. Dengan banyaknya bacaan, mere-ka akan memiliki banyak argu-mentasi yang dapat diungkapkan, sehingga di kelas dapat terjadi suasana diskusi yang akademis,” (24/6) ujarnya.

Akan tetapi Mohammad Mats-na, Purek bidang Akademik, me-nuturkan bahwa tidak semua ma-hasiswa berorientasi ke penilaian kognitif. Banyak di antara mereka yang idealis, mau mengejar ke-mampuan akademisnya, bukan sekedar penilaian kognitif semata. Ia menuturkan, banyak faktor yang menyebabkan bergesernya pemahaman yang dianut maha-siswa sehingga menomorsatukan penilaian kognitif daripada proses dalam meraih penilaian kognitif tersebut. Salah satunya adalah pe-nilaian kognitif yang mementing-kan ‘hitam di atas putih’, bukan bagaimana ia berkreasi. “Kita itu hanya mengevaluasi (nilai-nilai red) dari tes saja, yang nontes tidak,” (20/6) ujarnya.

Ditambahkannya, paradigma penilaian kognitif adalah yang terpenting di atas segalanya, acapkali ditafsirkan sebagai penghalalan berbagai cara untuk mendapatkannya. Bayangan men-dapatkan penilaian kognitif di bawah standar menjadi momok

Aam Mariyamah dan Trisna Wulandari

Seorang mahasiswa sedang membaca buku di Perpustakaan Utama UIN Jakarta (24/06). Membaca merupakan tahap awal dalam proses pembelajaran.

harus mempersiapkannya dari awal. Mengenali potensi diri, di mata kuliah mana yang menjadi kekuatannya, dan di mata kuliah mana dia lemah.

“Di mata kuliah yang lemah, hendaknya mereka harus le-bih keras belajar. Untuk mem-perkuatnya, bisa lewat tutorial, otodidak, membaca, atau konsul-tasi-konsultasi. Lalu, mereka tata target keberhasilan studinya tiap semester. Dengan begitu, pasti dapat menggapai apa yang dia tar-getkan. Atau bila prosesnya diiku-ti secara baik, maka mereka akan menjadi sarjana yang berkuali-tas,” tutupnya.

Prof. Dr. Dede Rosyada, Dekan FITK UIN Jakarta

dederosyada.com

FOTO

.INST

ITU

T

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Laporan Utama 3

Pentingnya Profesionalisme Dosen Bagi Mahasiswa

Pemimpin Umum:Khalisotussurur Sekretaris Umum: Egi Fajar Nur Ali Bendahara Umum:Rina Dwihana Fitriani Pemimipin Redaksi:Muhammad Fanshoby Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar Artistik: Dika Irawan Penelitian & Pengembangan: Hilman Fauzi, Abdul Kharis, Iswahyudi Perusahaan & Periklanan: Noor Rahma Yulia, Ibnu Afan, Fajar Ismail.

Koordinatur Liputan: Aditia Purnomo Reporter: Aam Mariyamah, Achmad Faruq A., Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitri-yani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Komaruddin, Rifki Sulviar, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Dika, Rizqi, D.N Adit Editor: Oby, Umar, Lilis, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilustrator: Omen, Trisna Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085-697-091-557 Web: www.lpminstitut.com Email: [email protected].

Setiap wartawan INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Jaffry Prabu Prakoso & Faruq

Mahasiswa tarbiyah sedang menunggu dosen yang telat hadir, jumat (246)

Membentuk mahasiswa yang berkarakter dan berkualitas, tidak lepas dari sikap dan profesionalitas se-orang dosen, salah satu penilaiannya adalah pada cara dosen bagaimana ia bisa berperan aktif dalam membentuk mahasiswa yang berkarakter. Namun, nyatanya Profesional tersebut secara umun masih jauh dari harapan.

Dede Rosyada, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ke-guruan (FITK) mengungkapkan bahwa kurangnya profesional Dosen adalah tidak adanya rasa bangga dan rasa memiliki menjadi

dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Disisi lain, Rusydy Zakaria, Kepala Jurusan Kependidikan Is-lam, menambahkan bahwa salah satu penyebab kurangnya pro-fesional dosen yaitu minimnya komitmen dosen untuk mengajar dalam satu universitas.

Terkadang Dosen juga lebih mementingkan panggilan untuk menjadi pembicara dalam acara seminar, karena menurut Rusydy penghasilan yang didapat menjadi pembicara tersebut lumayan besar, sehingga dosen lebih mementing-

kan menjadi pembicara ketimbang melakukan tugasnya untuk men-gayomi mahasiswanya.

Selain itu, dosen yang ideal se-harusnya mendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan ke ma-hasiswa. Serta yang paling pen-ting lagi menanamkan nilai kepa-da mahasiswanya agar terbangun kerangka berpikir yang logis, sis-tematis, dan argumentatif.

Itulah yang menyebabkan per-guruan tinggi lain lebih baik dari-pada UIN Jakarta, contohnya saja Universitas Gajah Mada (UGM). Lulusan mahasiswa itu banyak

dicari karena tidak diragukan kualitasnya, terciptanya kualitas baik karena dosennya yang pro-fessional. “Dosen itu harus punya tanggung jawab penuh terhadap mahasiswa,” tambah Rusydy.

Sebagian mahasiswa pun mera-sakan masih kurangnya kinerja dosen di UIN dalam mengajar, Ulumuddin, mahasiswa Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Sosiologi Semester IV, mengomentari kinerja dosen yang kurang memberikan motivasi, mengayomi serta belum bisa me-nyelektif mahasiswa berdasarkan kualitas.

Lain halnya dengan Wasil, ma-hasiswa Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, semester XII menyatakan bahwa sistem pen-didikan di UIN ini sudah bagus. Namun sayangnya, kinerja dosen yang belum memuaskan. “Cuma masuk, absen, presentasi, abis presentasi sedikit memberikan komentar abis itu beres,” tukasnya (24/6).

Padahal menurut Ja’far Sanusi (23/6), Kepala Bagian Kemaha-siswaan, menuturkan bahwa dosen memegang peran penting dalam proses belajar mahasiswa, karena nilai kognitif mahasiswa berada pada tangan dosen tersebut. Se-hingga mahasiswa bisa mengikuti apa yang dikatakan dosen yang memang sudah profesional.

Rusydy menjelaskan apa yang

dimaksud dengan Profesional. “Tidak hanya sekedar memberi-kan ilmu yang normatif, semua orang bisa memberikan ilmu yang normatif. Tanpa dosen juga bisa mendapatkan ilmu yang normatif, tapi teori yang membentuk sikap, cara berpikir dan perilaku para mahasiswa, dan itu yang disebut dengan dosen yang professional,” tegasnya.

Tidak Adanya Pengamat Pen-didikan di UIN

Krisis pengamat pendidikan merupakan salah satu penyebab pendidikan kurang baik, padahal dengan adanya pengamat pen-didikan universitas dapat memper-baiki sistem atau kerja dosen itu sendiri.

Jajat Baharuddin, ketua Lemba-ga Penelitian (Lemlit), mengakui bahwa di UIN sendiri tidak memi-liki pengamat pendidikan. Tidak adanya pengamat pendidikan di UIN sudah ada sebelum ia men-jabat sebagai ketua Lemlit.

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Ke-guruan (FTIK) seharusnya dapat menciptakan pengamat pendidi-kan. Namun sayangnya Program Studi (Prodi) yang mengkhusus-kan lulusan tersebut tidak ada di FTIK. “Karena setelah saya cer-mati di berbagai universitas, Prodi tersebut kurang peminatnya,” tu-tur Rusydy.

FOTO

:JAFRRI/IN

STITUT

Bang Peka

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011Laporan Khusus4

Minggu Tekun Tak Jelas PemanfaatannyaAam Mariyamah

Carut Marut Media Publikasi Kampus

Media publikasi di kampus I UIN jakarta masih belum tertata dengan baik. Ini terlihat dari pemasangan spanduk-sapnduk yang masih beran-takan dan banyak bekas tempelan kertas pamflet hampir di semua dinding fakultas. Keadaan seperti ini sudah menjadi pemandangan yang lumrah di kampus UIN Ja-karta.

Banyak faktor yang mempen-garuhi, salah satunya kurang tertibnya mahasiswa dalam pe-masangan spanduk dan pamflet. Abdul Somad, Kepala Biro Ad-ministrasi Umum dan Kepegawa-ian (15/6) mengatakan bahwa penempatan publikasi seharunya di tiang-tiang besi dan di papan yang telah disediakan, serta pe-nempatan itu juga tidak boleh sembarangan.

Senada dengan Somad, Mu-hammad Ali Meha, Kepala Bagian (Kabag) umum menge-mukakan pemasangan spanduk harus mendapat izin dari Ka-bag Umum. “Sejujurnya izinnya akan kita berikan bila itu me-nyangkut kegiatan akademika dan kegiatan itu diadakan oleh intra kampus, yang enggak kita tolerir yaitu organ ekstra terma-suk bimbingan test,” paparnya saat ditemui diruanganya (23/6).

Selain itu, pulikasi itu juga di-larang ditempel di tembok dan kaca, terlebih menggunakan lem. Muhammad, Komandan Regu (Danru) Satpam menaga-takan publikasi itu akan dirobek bila terlihat oleh satpam. “Cuma kita kan sama mahasiswa seper-ti main kucing-kucingan, kalau enggak ada kita, dia (mahasiswa, red) tempel, kalau ada kita eng-gak ditempel,” ungkapnya ketika ditemui di Kantor satpam Rek-torat (22/6).

Pria berpostur tegap ini melan-jutkan tidak bermasalah bila pe-masanganya sesuai prosedur dan pemasangnya tertib. “Yang ma-sang pun bukan anak kecil, mak-sudnya mahasiswa,” imbuhnya.

Manggapi hal itu Faris Bim-antara, selaku ketua UKM RIAK (Ruang Inspirasi atas Kegelisa-han) menilai mahasiswa yang menempel di dinding gedung kerena dianggap strategis untuk dibaca orang. Ia juga mengakui UKM Riak tertib bila ada fasili-tas yang memadai seperti mad-ing. “Riak kalau nempel pamflet di fakultas tertib di mading” ungkapnya ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat (24/6).

Sedangkan di SC terpaksa pihaknya menempel pamflet di

tembok karena tak ada mading. ”Enggak ada tempat lain yang lebih strategis, kita juga kan ma-hasiswa, ingin acaranya sukses, yang penting bisa dibaca orang,” ucapnya saat diwawancarai di lorong Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK).

Sependapat dengan Faris, Mu-hammad Mujadid, divisi Kade-risasi UKM FLAT (Foreign Lan-guage Association), mengatakan belum ada fasilitas yang mema-dai. Menurutnya di SC sangat

pelu untuk adanya mading yang bersifat umum untuk semua, se-hingga semua bisa melakukan pulikasi.

Kurangnya fasilitas yang me-madai juga menjadi faktor lain penyebab kurang tertatanya me-dia publikasi. Ali Meha, men-gakui bila di SC tak ada mading. Ia sendiri meminta saran kepada kepada teman-teman UKM un-tuk menentukan tempat yang co-cok untuk penempatan mading

Ali meha juga menyadari Se-

harusnya tugas kabag juga men-jaga kebersihan, kerapian, dan keamanan. Tetapi dengan keter-batasan pegawainya sehingga hal itu dibagi ke fakultas.

Disamping itu Faris me-nyarankan sebiknya media publikasi kampus itu berada di tempat-tempat strategis, selain di fakultas dan di tempat yang ter-pusat. Ia juga menyarankan agar diperbaiki lagi manajemen dan diminta kesadaran dari semua untuk menjaga kebersihan.

Muhammad Umar

Menenangkan diri baik pikiran maupun badan perlu dilakukan sebe-lum menghadapi ujian akhir semes-ter (UAS), demi mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itulah ada minggu tekun. Namun, minggu tekun seakan menjadi waktu bagi dosen un-tuk memenuhi jadwal mengajar mere-ka yang terabaikan pada masa aktif perkuliahan.

Mohammad Matsna selaku

Pembantu Rektor (Purek) Bidang Akademik mengatakan, tidak ada peraturan tertulis mengenai ming-gu tekun.

Namun, ketika INSTITUT me-nemui Ja’far Sanusi, Kepala Ba-gian (Kabag) Kemahasiswaan UIN Jakarta, Ja’far menyebutkan bahwa ada peraturan mengenai minggu tekun yang terkait dengan dosen dan perkuliahan.

Ja’far membacakan surat eda-ran yang ia dapatkan dari dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang berbunyi, “Bagi para dosen yang belum memenuhi perkuliahan minimal 14 kali tatap muka atau pertemuan sampai tanggal 4 Juni 2011, dapat me-manfaatkan minggu tekun un-tuk memenuhi kekurangan tatap muka atau pertemuan dari tanggal 6 Juni 2011 hingga 10 Juni 2011.”

Isi dari peraturan tersebut tak sependapat dengan apa yang dika-takan oleh Rusydy Zakaria, Ketua Jurusan (Kajur) Manajemen Pen-didikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Ia berang-gapan, “Idealnya minggu tekun tidak dipakai untuk mengajar.” Hal tersebut dapat terjadi jika me-mang dosennya punya komitmen dalam mengajar sesuai dengan jadwal yang telah diatur, tam-bahnya, (24/6).

Tak jauh berbeda dengan Rusy-dy, Kabag Biro Admisnistrasi dan Kemahasiswaan UIN Jakarta Sumuran Harahap menuturkan, kuliah tidak ada lagi ketika sudah minggu tekun. “Minggu tekun itu sangat penting, dalam rangka su-paya mahasiswa lebih mendalami materi-materi yang diberikan,” tambahnya.

Meskipun ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa minggu tekun

sebaiknya tidak digunakan untuk perkuliahan. Namun, kenyataan-nya masih ada dosen-dosen yang menggunakan minggu tekun un-tuk perkuliahan.

Ja’far yang juga merupakan do-sen FEB mengakui bahwa kesibu-kannya sebagai Kabag Kemaha-siswaan kerap kali membuatnya terpaksa harus meninggalkan kelas. “Ketika saya mengajar, ada acara rektor, saya terikat dengan jabatan,” tuturnya. Ia menambah-kan, ketika ia menunda kelas, ia mengganti kelas tersebut pada lain waktu termasuk di saat minggu tekun.

Mengganti jadwal perkuliahan dikarenakan kesibukan dosen di-sesalkan oleh mahasiswa. Salah satunya Sigit Aji Pambudi, Maha-siswa FEB Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP) meng-ungkapkan, Minggu tekun mem-buat mahasiswa tidak tenang. ”Dosen seharusnya aktif mengajar sesuai jadwal yang sudah ada, jadi ketika minggu tekun mahasiswa bisa refreshing sebelum UAS,” tan-dasnya.

Sama halnya dengan Sigit, Faris Bimantara, Mahasiswa Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan Hubungan In-ternasional mengungkapkan, ia tidak setuju jika dosen mengganti jadwal perkuliahannya karena

alasan yang tidak jelas. Namun, ia bisa memaklumi ketidakhadiran dosen yang bersangkutan jika ala-sannya masih logis dan jelas.

Menanggapi apa yang diung-kapkan oleh mahasiswa, Rusydy mengatakan, sekarang ini para dosen cukup dinamis dan ban-yak kegiatannya. ”Dalam tingkat tertentu hal tersebut boleh selama tidak mengganggu UAS dan jad-wal perkuliahan mata kuliah lain,” jelasnya.

Terkait dengan pemanfaatan minggu tekun oleh dosen, Sumu-ran berpendapat semestinya do-sen tidak memanfaatkan adanya minggu tekun untuk mengisi jad-wal kuliah yang tertunda.

Ia juga menjelaskan selama pe-manfaatan minggu tekun oleh dosen tidak mengganggu ujian dan tidak ada unsur pemaksaan, mahasiswa juga mau, mengapa tidak diganti saja jadwal yang ter-tunda ke minggu tekun.

Namun, ada yang berbeda, Mu-hammad Mujadid, mahasiswa yang aktif di Foreign Language Association (FLAT) menuturkan minggu tekun sebaiknya digu-nakan untuk kuliah seperti biasa saja. ”Mendingan belajar seperti biasa saja, soalnya kalau di rumah belum tentu belajar,” tegasnya, (22/6).

Seorang perempuan sedang melintas di depan jendela yang ditempeli banyak famplet di gedung FITK (23/06).

FOTO

.INSTITU

T

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Laporan Khusus 5

Dugaan Penyelewengan Dana Beasiswa Berprestasi Kiky Achmad Rizqi & Muji Hastuti

Aditia Purnomo

setelah pemotongan dana itu, ke-jadian tersebut terjadi di McDon-ald samping kantor pos Ciputat. Selain itu juga, sekitar 2 bulan yang lalu, HS sempat menghubu-ngi Rody melalui via telepon un-tuk menagih potongan beasiswa.

Menanggapi hal tersebut, TP yang diwawancarai INSTITUT melalui via telepon sempat tidak mau menjawab tentang hal terse-but, tapi setelah dikaitkan den-gan informasi dari Doni, di akhir

diminta untuk tanda tangan hanya tertera 8 juta.

Untuk mengetahui kejelasan dana tersebut, INSTITUT mel-akukan penelusuran ke kantor Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama, yang terletak di sekitar Lapangan Banteng Jakarta Pusat untuk me-ngetahui kejelasan dana tersebut.

Setelah ditelusuri di ruang Subdit Akademik dan Kemaha-siswaan ternyata ditemukan salah satu nama yang mendapatkan beasiswa, Doni Purwanto tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang mendapat beasiswa berprestasi dengan jumlah 17 juta.

Namun, mengenai data terse-but, pihak Depag tidak bisa mem-berikan kepada INSTITUT dika-renakan hal tersebut menyangkut pencitraan nama baik lembaga UIN Syarif Hidayatullah.

Kejanggalan pun semakin jelas ketika Nurul Huda selaku Kasu-bag TU Direktorat Pendidikan Islam mempertegas tidak ada pengembalian dana menyangkut beasiswa tersebut, dana itu di-cairkan melalui kantor pos dan pengambilannya dilakukan lang-sung oleh mahasiswa yang ber-sangkutan.

Hal senada pun dilontarkan oleh Ahmad Thib Raya yang

pada waktu itu menjabat sebagai Pembantu Rektor (Purek) Bidang Kemahasiswaan. “Memang be-nar ada beasiswa tersebut yang berasal dari Depag, tapi mengenai jumlahnya saya tidak tahu karena beasiswa itu ditujukan langsung kepada pihak yang terkait dan dana tersebut tidak melalui pihak rektorat,” jelasnya.

Menurut penuturan Doni, TP memerintahkan Doni agar hal ini tidak diberitahukan kepada Thib

Dana beasiswa yang diberikan oleh Kementrian Agama yang ditujukan khusus kepada maha-siswa lulusan Madrasah Aliyah (MA) berprestasi pada bulan No-vember 2010 tidak sesuai dengan dana yang diterima mahasiswa. Dugaan adanya tindakan penyele-wangan terhadap dana beasiswa berprestasi melibatkan mantan Subag Kesejahteraan Mahasiswa yang berinsial HS dan TP.

Adanya dugaan tersebut diketa-hui ketika INSTITUT mewawan-carai Doni Purwanto, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) semester 8, salah satu pe-nerima beasiswa tersebut. “Ada ke-janggalan dalam penerimaan bea-siswa. Beasiswa yang seharusnya 17 juta dipotong menjadi 8 juta”. Ia pun menambahkan, potongan dana tersebut akan dikembalikan ke Departemen Agama (Depag) oleh TP selaku pihak yang me-manggil Doni, TP meminta dana tersebut untuk dikembalikan sete-lah Doni mengambil uang 17 juta dari Kantor Pos.

Dugaan tersebut, diperkuat oleh pernyataan Rody Hariska, maha-siswa Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) semester 8. “Waktu itu saya melihat sekilas lembaran kertas dengan nama saya sendiri dan tertera angka 17 juta, tapi ketika

pembicaraan, ia menjawab tidak melakukan pemotongan terhadap dana beasiswa tersebut.

Berbeda dengan HS, ketika di-wawancarai ia hanya menjawab tidak ada beasiswa dari Depag.

Doni menambahkan, “Waktu itu saya ingin mangangkat masalah tersebut. Berhubung HS dan TP sudah tidak ada dan teman-teman pun tidak ada jadi ya sudahlah,” imbuhnya.

Workshop Pedoman Organisasi Ke-mahasiswaan (POK) yang harusnya dilaksanakan tanggal 11 Juni hingga kini belum dilaksanakan. Berbagai alasan dikemukakan oleh pihak yang terkait mengenai keterlambatan dan terus mundurnya acara workshop POK. Keterlambatan ini juga ber-dampak langung terhadap lembaga kemahasiswaan di UIN Jakarta dan kegiatan yang harus dilaksanakan-nya.

Menurut Pembantu Rektor bi-dang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, keterlambatan tersebut disebabkan belum siapnya tim perumus dalam menyelesai-kan draft yang akan dibahas dalam workshop tersebut. “Macam-macam lah alasan teman-teman-mu itu (tim perumus, red),” ung-kapnya ketika ditemui INSTITUT di ruangannya (15/06).

Di lain pihak Akhmad Sukron, Ketua Panitia pelaksana workshop mengungkapkan molornya work-shop disebabkan belum tersedianya hal-hal teknis yang dibutuhkan. “Dana belum dicairkan karena ba-gian keuangan sedang sibuk untuk persiapan workshop lain di Ciawi,” ujarnya (23/06).

Selain itu ia menyatakan ke-terlambatan juga disebabkan ter-tundanya rencana pertemuan tim

perumus dengan tim pendamping dari rektorat pada Jum’at lalu. Hal tersebut terjadi dikarenakan pihak rektorat tengah mempersiapkan diri guna menghadiri workshop di Ciawi. “Jadi pertemuannya diundur hingga Senin (27/06),” ucapnya.

Namun ia mengungkapkan kepastian tentang pelaksanaan workshop akan ditentukan pada pertemuan hari senin (27/06). Pada pertemuan tersebut akan dimatangkan kembali draft yang dirancang tim perumus untuk dikaji bersama tim pendamp-ing.” Pertemuan juga membahas masalah tanggal, teknis, dan tem-pat workshop,” imbuhnya.

Dampak Molornya WorkhopMenurut Surya Vandiantara,

salah satu anggota tim perumus draft POK, keterlambatan work-shop ini dapat berdampak pada semakin lamanya pengesahan kekuatan hukum Student Govern-ment dan molornya pelaksanaan Pemira.

Hal senada diungkapkan Purek III, menurutnya apabila workshop terus diundur, maka kevakuman yang terjadi pada lembaga kema-hasiswaan akan bertambah lama. Selain itu draft yang akan dima-

tangkan pada saat workshop itu te-lah diminta oleh pihak Direktorat Pendidikan Islam untuk segera dibahas di lingkup nasional. “No more time. Rektor meminta sebe-lum puasa draft sudah selesai dan sudah diberikan kepada menteri,” lanjutnya.

Di lain pihak, Cukong, panggi-lan akrab Sukron, mengungkap-kan molornya workshop juga ber-dampak kepada persiapan yang harus dilakukan panitia. Seperti proses sosialisasi draft yang diran-cang tim perumus kepada peserta Workshop karena kondisi kampus

yang memasuki masa liburan. Ia berharap agar segala sesuatu yang dibicarakan hari Senin tidak berlangsung lama agar workshop dapat segera dilaksanakan pada akhir juni.

Workshop POK Terus Diundur

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011Seni Budaya6

Pancasila, Pijakan Pemersatu Keberagaman

Pentingnya Pendidikan Multikultural di Madrasah

“Pendidikan mulitikultural bu-kan lagi suatu ketimpangan sosial. Pendidikan multikultual adalah pendidikan untuk atau tentang keberagaman kebudayaan dalam merespon perubahan demokratis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia,” jelas Akhmad Shadiq, salah seorang pembicara Seminar Nasional ber-judul, “Pendidikan Islam Multi-kultural”, teater lt.3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (15/6).

Menurutnya, ada lima komit-men yang harus dipegang untuk mengembangkan pendidikan mul-tikultural. “Pertama, harus adan-ya konten multikultural ke dalam kurikulum yang diajarkan pada mata pelajaran atau disiplin ilmu tertentu. Kedua, harus adanya proses yang membuat seseorang mengerti akan multicultural lewat proses belajar,” paparnya.

Ia menambahkan, komitmen se-lanjutnya harus ada metode yang diselaraskan. “Seorang pengajar harus mempunyai suatu metode pengajaran yang dapat diterima oleh peserta didik dengan latar be-lakang yang berbeda. Sedangkan komitmen keempat, kurangi ber-

buruk sangka kepada orang lain. Terakhir, adanya sebuah interaksi di setiap perbedaan yang ada,” pungkasnya.

Di akhir penuturannya, ia men-gatakan bahwa seharusnya pen-didikan multikultural dapat mem-fasilitasi proses belajar mengajar yang dapat mengubah persepek-tif monokutural. “Perspektif ini secara esensial penuh prasangka dan diskriminasi ke persepektif multikultural yang menghargai keanekaragaman dan perbedaan,” tambahnya.

“Pendidikan Islam multikultural dapat meningkatkan kontribusi madrasah dalam pendidikan na-sional,” ungkap Abdul Kardi Ka-ring, anggota DPR komisi VIII. Madrasah merupakan perpaduan antara pendidikan umum dan pen-didikan agama. Sehingga para lu-lusan madrasah seharusnya dapat menjadi kader-kader bangsa yang tetap menjaga empat pilar di Indo-nesia. “Empat pilar tersebut Pan-casila, Undang-Undang Dasar, Negara Kesatuan Republik Indo-nesia, dan Bhineka Tunggal Ika,” ungkapnya.

Ia mengatakan, multikultural

adalah kesadaran kita terhadap keragaman serta perbedaan-perbedaan yang ada dengan pe-nuh keikhlasan dan keterbukaan pikiran kita dalam menerima per-bedaan tersebut. “Multikultural terjadi karena adanya kemajuan teknologi yang berkembang,” pa-parnya.

“Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, bangsa, agama, serta budaya yang berbeda. Jika perbedaan ini dipandang sebagia suatu yang negatif, pastilah hal tersebut menjadi suatu konflik yang berkepanjangan,” ungkap Armai Arief, yang juga Guru Be-sar UIN. Ia mengungkapkan, se-baliknya jika perbedaan tersebut dipandang sebagai suatu ynag positif, bangsa Indonesia akan berkembang karena memiliki keanekaragaman.

“Pendidikan multikultural bagi peserta didik sangat bermanfaat karena siswa mampu menginter-pretasikan nilai-nilai multikultural dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu siswa juga mempunyai peng-etahuan tentang agama lain tanpa meninggalkan agamanya,” tam-bahnya (Ayu)

beliau dari sisi buruknya terus. Seperti dalam buku-buku sejarah yang beredar luas di sekolah-se-kolah banyak di antaranya yang memutarbalikan fakta.”

Di sisi lain ruangan, tampak seorang pengunjung tengah mengabadikan foto-foto Bung Karno. Saat dihampiri, Pandji Kiansantang, mengatakan bahwa mengenang Bung Karno mem-berikan inspirasi untuk memban-gun bangsa.

Tepat di belakang galeri foto Bung Karno lainnya, ada sebuah ruangan berbentuk persegi pan-jang berukuran agak luas. Jika menengok ke dalamnya, akan terlihat kursi berwarna merah beraturan terpampang bisu.

Ba’da magrib, diputar sebuah film dokumenter mengenai Bung Karno yang berisikan perjala-nannya dalam memperjuang-kan Indonesia baik di dalam dan luar negeri. Terlihat dalam film itu, Soekarno berpidato di depan para pemimpin dunia, di Amerika Serikat. Tepuk tangan riuh mengalir untuknya. Pun ketika dia turun dari podium, banyak yang ingin berjabat tangan dengannya. Film ini mampu menyedot perhatian pengunjung, mereka duduk dengan fokus seolah tak ingin melewatkan satupun sekuelnya.

Lampu dalam ruangan itu sen-gaja digelapkan seperti suasana dalam bioskop. Cahaya yang timbul berasal dari lighting yang memantul bayang layar, warna karpet dan tirai merah.

Jalan untuk menelusuri jejak Soekarno di Galeri Cipta masih panjang. Di antaranya ruangan di belakang penyetelan film do-kumenter terdapat beberapa foto lagi. Foto-foto yang terpampang masih mengisahkan banyak lagi tentang kehidupan Soekarno, yaitu ketika ia bercengkrama dengan anak kecil di kampung, berpelukan dengan Jendral Soed-irman dengan raut muka yang sedu, dan Soekarno yang tampil dengan beberapa rekan per-juangannya ketika diasingkan di Ende, Flores, serta foto tentang dirinya dengan istri dan anak-anaknya (yang berbeda-beda).

Diantara foto-foto penuh his-toris itu terdapat beberapa poster besar berwajah dirinya dengan jargon yang akrab di te-linga “Aku Melihat Indonesia.” Semua foto yang dipamerkan berasal dari koleksi Prananda Prabowo/Dokumentasi Keluarga dan Yayasan Bung Karno.

Anakku, simpan segala yang kau tahu,

jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat,

biarkan aku menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu.

Ini aku lakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.

Itulah petikan kalimat ter-akhir Bung Karno kepada anak-anaknya, berjudul “Ama-nat Akhir Hayat”. Selama dua minggu, 13-25 Juni 2011, kalimat itu terpampang gagah di sudut ruangan Galeri Cipta II TIM Ja-karta. Font Color-nya yang merah nampak menujukan ketegasan dan kepeduliannya kepada negeri ini. Meski sudah di akhir hayat, Soekarno masih saja menujuk-kan paham Marhaenisme-annya. Ketegasan dan kepedulian kepada bumi pertiwi lainnya ditujukkan pada 150 foto yang terpampang di sepanjang Galeri Cipta II. Foto-foto itu berbicara seperti penutur. Ceritanya di mu-lai dari kelahiran sang presiden, masa sekolahnya, hingga aksi Turun ke Bawah (turba) menyen-tuh rakyatnya.

Meski agak buram lantaran fotonya hitam-putih, kharisman-ya masih tetap terpancar. Penggemarnya masih saja setia

memandangi setiap kisah yang terlihat dalam foto. Beberapa pengunjung nampak asik berbin-cang dengan orang disebelahnya, membicarakan salah satu foto tentang kehidupan Bung Karno ketika sekolah di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya.

Sayup-sayup terdengar salah seorang dalam perbincangan di depan pameran foto itu yang berkata dirinya pernah juga ke sana (HBS Surabaya), sambil menunjuk pada foto bergambar bangungan tua HBS.

Di sudut lain ruangan Galeri Cipta II nampak Ujang Supar-man, salah satu karyawan Univesitas Bung Karno (UBK) Jakarta, terpana melihat salah satu foto Soekarno yang se-dang membersihkan halaman kediamannya bersama istrinya

di Jalan Pengangsaan no. 56 Ja-karta. “Terlihat jelas bahwa Bung Karno itu nggak cuma bicara marheanisme tapi juga merea-lisasikannya,” ungkap Ujang sambil melanjutkan pandangan-nya ke foto sebelahnya, minggu (18/06).

Kemudian Ujang kembali me-nuturkan kisah foto berikutnya, terlihat gambar Bung Karno yang sedang menyantuni seorang nenek tua di depan rumahnya. Dari awal kedatangannya ke pameran itu, pria sederhana ini memang sudah bermaksud melihat foto idola-nya, “Saya me-mang kagum padanya,” ujarnya sambil nyengir.

“Dari foto ini (Bung Karno menyantuni nenek tua) me-nunjukan kalau dia orang baik. Makanya jangan hanya melihat

Menelusuri Jejak Soekarno Melalui FotoEma Fitriyani

Penafsiran Pancasila oleh bang-sa Indonesia seharusnya dijadikan sebagai sumber ideologi. Sumber ideologi yang dimaksud adalah ideologi terbuka. “Ideologi terbu-ka artinya ideologi yang mampu berinteraksi dengan situasi dan kondisi lebih dinamis, yang diala-mi oleh setiap generasi bangsa,” ungkap Lukman Hakim Syaifu-din selaku Wakil Ketua MPR RI, sekaligus pembicara di Stadium General berjudul Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Akar Jati Diri Bangsa, Auditorium Harun Nasution (15/6).

Ia menambahkan, tidak sepan-tasnya generasi bangsa Indonesia sekarang ini menafsirkan Pan-casila seperti yang pernah dilaku-kan oleh presiden yang terdahulu, yaitu adanya indoktrinasi (pem-berian paham atau doktrin yang kebenarannya dari arah tertentu, red), dan penafsiran tunggal ter-hadap Pancasila. “Padahal penaf-siran satu sila dengan sila yang lainnya tidak terlepas kaitannya,” paparnya.

Setelah era reformasi tahun 1997-1998, kondisi bangsa Indo-nesia sangat transparan. Kondisi ini diiringi dengan masuknya era

globalisasi. Dampak globalisasi sendiri bagi bangsa Indonesia ter-lihat dengan menolak nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penyebabnya karena adanya suatu trauma yang dialami bangsa Indo-nesia pada zaman orde baru.

“Nilai-nilai Pancasila pada saat itu sangat bersifat sakral, yang ide-tik dengan cara penafsiran tung-gal. Padahal nilai-nilai pancasila itu luar biasa, tidak hanya untuk kita (bangsa Indonesia, Red), me- lainkan dunia Internasional. Du-nia Internasional sangat menga- gumi Indonesia yang memiliki suatu dasar atau pijakan untuk menegakan bangsa negaranya,” jelasnya.

Ditengah-tengah suasana bang-sa Indonesia yang beragam, Indo-nesia juga memiliki potensi yang besar untuk pecah. Namun semua itu dapat diminimalisir karena ter-bentuknya Pancasila. “Pancasila memang dibuat sebagai sebuah utusan yang telah disepakati ber-sama yang dijadikan sebuah pija-kan untuk menyatukan keberaga-man yang terjadi,” pungkasnya sambil berdiri di tengah podium Auditorium Utama. (Ayu)

Kampusiana...

Ujang Suparman, salah satu pengunjung tengah memerhatikan foto Bung Karno di Galeri Cipta II TIM Jakarta, (19/6)

FOTO:INSTITUT

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Pustaka 7

Hypnolearning, Belajar cara Belajar

Sadarkah, bahwa anda adalah orang yang paling pintar? Mung-kin anda sedikit kurang mengerti bahwa anda dapat menjadi seperti Albert Einstain yang menemukan Teori Relativitas atau Thomas Alfa Edison penemu bola lampu, Ilmuan pintar yang hingga saat masih dikenang karena kejeniu-sannya.

Pada dasarnya otak manusia diciptakan sama. Namun, apakah kita sudah mengunakannya se-cara optimal seperti para ilmuan tersebut?. Karena perlu anda tahu bahwa kapasitas memori otak manusia setara dengan selu-ruh perpustakaan di muka bumi. Bahkan Gordon Dyren menyata-kan bahwa “Anda adalah pemilik computer paling hebat di dunia,” Tapi, Mungkin kita hanya sedikit malas untuk belajar, karena pola yang digunakan untuk belajar sangat kuno dan membosankan.

Dalam buku ini kita diajak mempelajari Hypnolearning, be-lajar dengan cara menyenangkan yang membuat kita ketagihan dan kecanduan untuk selalu bela-jar. Mengajarkan kita untuk men-goptimalkan kerja otak. Namun cara yang digunakan adalah cara yang tidak membuat kepala kita pusing. Mencoba menghentikan

sikap sikap pelajar yang putus asa, minder dan kecewa. Seka-ligus menghentikan nilai buruk yang diperoleh pelajar.

Selama ini kita berpikir bahwa ada hal yang lebih menarik dibanding belajar, mungkin kita hanya kurang percaya diri untuk belajar. Kalau selama ini kita se-lalu berpikiran seperti itu dibuku ini kita diajak untuk menguasai diri kita untuk selalu berpikir positif, untk selalu berpikir bahwa diri kita bisa!.

Apakah selama ini anda selalu ingin menjadi yang nomor satu, selalu ingin mendapatkan nilai sempurna yaitu 100 (A), anda bisa mencapai hasil tersebut, seperti dijelaskan diatas bahwa kejeniu-san berasal dari keyakinan diri kita sendiri. Rahasianya akan di-urai dalam buku ini, bagaimana tahap yang harus anda lakukan untuk meraih nilai tersebut.

Disini penulis yaitu Farida Yu-nita sari dan Mr. Mukhlis men-erangkan secara detail dan sangat mudah bagaimana cara meng-hafal yang membuat kita mudah mengingat pelajaran yang selama ini dianggap sulit dan membosan-kan.

Contoh saja disini penulis memberitahu bagaimana cara

mengingat Tabel Periodik dalam pelajaran kimia, tabel yang sela-ma ini dianggap membuat pelajar bosan bahkan membuat malas belajar. Dibuku setebal 127 hala-man ini diajak untuk mempela-jarinya dengan cara yang bisa dibilang menyenangkan. seperti mengaitkannya dengan film-film favorit atau joke-joke yang mudah kita ingat.

Penggabungan kerja otak kiri dengan otak kanan memang se-lama ini jarang digunakan ber-samaan, padahal jika kita meng-gunakan kekuatan kedua otak tersebut anda tidak akan menda-patkan kesulitan untuk mema-hami apapun.

Kita juga bisa memanfaatkan seluruh pancaindra indra kita untuk memudahkan belajar kita, seperti kita tahu penerimaan in-formasi yang paling efektif sesuai pancaindra yang kita miliki. Atau disini di jelaskan bagaimana men-genali Learning Channel-mu.

Buku ini sangat bagus untuk penerapan dalm bagaimana mem-pelajari cara belajar. Bagaimana kita menguasai skill yang kita mi-liki. Buku ini sangat praktis dan tidak terlalu teoritis. Bisa diman-faakan untuk belajar sehari-hari.

Hilman Fauzi

Judul : HypnolearningPenulis : Farida Yunita Sari & Mr. MukhlisPenerbit : VisimediaTahun terbit : April 2011Tebal : xx+127 Halaman

Diskusi merupakan bentuk kegiatan mahasiswa untuk mencari wawasan baru di luar bangku kuliah, meski kegiatan ini terlihat hanya berkumpul dalam menyampaikan gagasan dan pemikiran, sejarah telah mencatat bagaimana kegiatan semacam ini dapat melahirkan sosok manusia yang sanggup mewarnai peradaban. Misalnya saja, kita bisa melihat perkumpulan mazhab frankfrut di Jerman, forum yang di dalamnya hanya terdiri dari beberapa orang, namun karya-karyanya men-jadi rujukan bagi kaum cendikiawan di belahan dunia.

Melihat konteks sejarah UIN Jakarta, kita pernah memiliki mazhab Ciputat, mazhab yang melahirkan berbagai pemikiran, baik dalam bidang keagamaan maupun sosial. Mazhab ini dapat tumbuh dan berkembang karena memiliki tradisi kajian yang kuat oleh para mahasiswa yang terga-bung dalam forum diskusi.

Kondisi ini bergeser 180 derajat, forum kajian yang ada di UIN saat ini begitu memperihatinkan disebabkan minimnya minat mahasiswa untuk aktif dalam kajian yang ada. Tidak usah jauh-

jauh, forum kajian seperti Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) yang dulu melahirkan beberapa tokoh seperti Azyumardi azra dan Ray Rangkuti, saat ini hanya ada belasan mahasiswa yang aktif. Kontras dengan kondisi waktu mazhab Ciputat belum redup, mahasiswa begitu antusias berbondong-bondong mengikuti kajian.

Untuk mengetahui berapa besar antusiasme mahasiswa dalam mengikuti forum diskusi, LPM INSTITUT mengadakan survai pada mahasiswa UIN Jakarta. Hasil survai ini menunjukan 62% koresponden menyatakan tidak mengikuti forum kajian. Hal ini bisa disebabkan oleh dua kemung-kinan. Pertama, tidak adanya orang tua yang mau membimbing mahasiswanya untuk mengem-bangkan pemikiran baru. Maha-siswa membutuhkan sosok seperti bapak Harun Nasution sebagai orang tua yang mau membimbing dan dekat dengan anak didiknya.

Kedua, kehadiran teknologi sebagai bentuk modernitas mem-buat banyak mahasiswa terlena. Teknologi memang dapat memu-

dahkan dalam hal apapun namun di sisi lain berdampak pada sikap individualis, akibat informasi yang dapat diakses tanpa harus berinteraksi dengan orang lain.

Sebanyak 38% mahasiswa yang ikut forum kajian mengatakan, tema yang sering dibahas seputar sosial, politik, dan budaya sebesar 53%, agama 26%, dan tema lain-nya yang berkenaan dengan mata kuliah 21%.

Pertemuan diskusi umumnya dilakukan satu minggu sekali sebesar 67%, sebulan sekali 8% dan tidak menentu disesuaikan dengan kondisi sebanyak 25%.

UIN merindukan lahirnya para pemikir baru, kami berharap dengan adanya survai dapat men-jadi stimulus untuk menggiatkan kembali forum-forum diskusi di dalam dan di luar kampus.

Survai ini diambil dengan me-tode sampling acak dari populasi mahasiswa UIN Syarif Hiday-atullah Jakarta dengan sampel sebanyak 125 mahasiswa, diambil dari setiap fakultas berdasarkan persentase banyaknya mahasiswa.

Budaya Diskusi di UIN Jakarta

Yang diskusi 2 bln 1 orang, 3 tidak menentu, 6 lainnya kosong.

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Malam hari lalu saya berkesem-patan ngobrol dengan seorang lelaki tua, saat itu ia bercerita mengenai karir mengajarnya di suatu lem-baga penidikan tinggi yang penuh dengan persaingan yang tak sehat. “Yang minoritas selalu tertindas, nah saya ini orang minoritas,” katanya sembari mengerutkan ke-ning.

Lelaki itu merasa terpinggirkan dan dipersulit di tempatnya me-ngajar. Alasannya pun sederhana, hanya karena tak termasuk dari golongan mayoritas yang ada di perguruan tinggi itu. Menurutnya, ada orang yang belum teruji lo-yalitasnya tapi dengan mudah mendapatkan posisi yang strategis di sana. Sebab orang itu termasuk dari bagian mayoritas tersebut. Mungkin praktik semacam itu bisa diistilahkan dengan Kronisme sinonim Nepotisme. Pasalnya memberikan kedudukan kepada orang-orang yang se-identitas, se-golongan, atau se-kerabat dengan-nya.

Sejarah bangsa ini mencatat, bagaimana Orde Baru yang dike-nal dengan praktik korupsinya pun melakukan praktik kronisme. Soeharto pada waktu itu mema-sukkan kerabat, saudara, serta teman dekatnya untuk mengisi pos-pos jabatan di bangku peme-

rasanya kondisi ini tak jauh ber-beda dengan masa-masa Orba. Se-orang teman pun pernah bercerita, jika sebuah instansi pemerintah atau swasta yang sudah dikuasai mayoritas orang-orang tertentu, sulit bagi yang lain untuk bisa ‘masuk’ di sana. Akhirnya keluar ungkapan dari mulut orang-orang seperti, “Sekarang kalau enggak punya orang dalam atau kenalan maka susah untuk masuk ke lem-baga ini dan lembaga itu”.

Jadi, rasanya percuma saja me-miliki kompetensi yang tinggi jika pada akhrinya yang bermain ada-lah kronisme atau nepotisme. Bila sesuai maka boleh masuk, tapi bila

tidak maka coba lain kali.Memang sudah lumrah, dan

bisa saja menerimanya sebagai suatu kewajaran. Tapi setidak-nya, hal itu telah mengurangi nilai keprofesionalan dan penghargaan pada kompetensi seseorang. Ka-rena cara-cara itu tak memandang kapasitas seseorang untuk menem-pati sebuah posisi, tapi lebih ke-pada ‘nilai’ kedekatannya. Dalam arti, kedekatan dengan pejabat atau pemangku wewenang suatu lembaga.

Dan akhirnya seperti yang ter-tulis dalam hadits Nabi SAW, bila kedudukan dipegang oleh bukan orang yang sesuai dengan bidang-nya, maka tunggulah kehancuran-nya. Kehancuran terjadi karena tak tahu cara mengendalikan po-sisi, serta tak mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.

Contoh kerugian dari kro-nisme, para tenaga pendidik yang dikerahkan itu kurang kompeten, dalam arti tidak memliki kecaka-pan mengajar, tidak menguasai metode pengajaran, pengelolaan pengajaran serta pengelolaan kelas dan lain-lainnya. Sehingga pada akhirnya merugikan peserta didik itu sendiri, disebabkan mereka tak mampu menyerap dengan

baik ilmu-ilmu yang diberikan dan hasilnya kualitas anak didik ren-dah.

Padahal Allah SWT sendiri melalui al-Qur’an al-Karim meng-hendaki orang-orang yang berada di sisinya dengan syarat memiliki ketaqwaan atau kompetensi yang memadai. Posisi itu tak diberikan bagi mereka yang belum meme-nuhi persyaratan seperti yang tel-ah ditetapkan. Artinya melakukan persaingan secara sehat, semata-mata mengandalkan kemampuan dan tidak mengandalkan yang lain.

Pada akhir perbincangan de-ngan lelaki tua itu, tiba-tiba ia menganjurkan saya untuk ber-segera menjadi bagian dari yang mayoritas itu. “Sekarang jamann-ya udah beda, enggak apa-apa mela-kukan itu, sulit kalau jadi minori-tas. Sering ditindas,” ungkapnya sambil tertawa. Lantas saya hanya tersenyum, dalam hati saya sendiri masih mempertimbangkannya “Sepertinya menggiurkan”.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Bahasa Arab, semes-

ter enam. UIN Jakarta

rintahan. Ketika berakhirnya re-zim itu kemudian muncul istilah untuk memerangi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Tapi di antara kita tak dapat menafikan kronisme, dan mung-kin tak menolaknya pula, andai-kan berada dalam kondisi yang diuntungkan. Sama halnya sep-erti korupsi, banyak orang yang berkoar-koar serta turun ke jala-nan, namun ketika dihadapkan pada posisi yang mengenakan apalagi ditambah dengan kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini, dengan malu-malu kita pun ter-paksa menerimanya.

Mendengar cerita lelaki itu

KronismeDika Irawan*

Edisi XIV/Juni 2011Kolom8

Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman etnis dan aga-ma telah tepat memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Hal itu dikarenakan demokrasi dapat menjamin hak-hak warga negaranya. Namun, pelaksan-aan demokrasi secara utuh tak dapat diukur dengan eksistensi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan terselenggaranya pemilu. Pelaksanaan demokrasi harus kembali pada tujuan awal dengan melihat konteks Indone-sia sebagai bangsa yang plural.

Pluralitas tersebut harus dijamin oleh negara sebagai penyelengga-ra pemerintahan. Dalam hal ini, birokrasi yang paling dekat dalam berinteraksi dengan masyarakat adalah polisi. Pasca reformasi, ter-dapat pemisahan ABRI menjadi TNI dan Polri. Pemisahan tersebut brtujuan untuk mengembalikan posisi militer berada di bawah kepemimpinan sipil. Singkat kata, pemerintah pasca reformasi men-coba untuk mendepolitisasi militer.

Depolitisasi militer terse-but berupaya untuk mengem-

balikan profesionalitas militer. Dalam pemisahan tugas TNI lebih berperan terhadap perta-hanan dari ancaman luar negeri. Sementara itu, polri lebih con-dong untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Secara spesifik, polri memiliki tugas untuk melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Hal penting lain yang menjadi faktor pendukung demokrasi adalah pen-egakan hukum. Penegakan hukum yang terjadi di Indonesia tentunya

harus selaras dengan terjamin-nya hak-hak individu secara asasi.

Namun, kasus-kasus yang ser-ingkali terjadi belakangan ini se-cara tidak langsung telah mence-derai demokratisasi di Indonesia. Permasalahan kebebasan pers dan keyakinan beragama secara tidak langsung telah menimbulkan tin-dakan kekerasan. Hal tersebut seharusnya menjadi wewenang polri sebagai pemegang otoritas dalam menggunakan kekerasan.

Sebagai contoh, kasus pemuku-

lan terhadap wartawan media on-line Komhukum (8/5) oleh polisi. Hal tersebut menunjukkan polisi kurang memahami bagaimana ketika berhadapan dengan insan pers. Padahal, polisi seringkali ber-interaksi dengan wartawan seperti dalam momen demontrasi terse-but. Hal lain terkait dengan per-soalan agama. Agama menjadi hal yang sangat sensitif di masyarakat. Peristiwa Tanjung Priok dan Ahmadiyah merupakan contoh bahwa polisi kurang menjalankan

fungsinya sebagai penegak hukum. Dalam melaksanakan konsoli-

dasi demokrasi, penegakan hukum tanpa melanggar HAM. Seharusn-ya polisi mendapatkan pendidikan mengenai HAM dan bagaimana menangani konflik dengan berba-gai motif baik dalam hal agama, media, dan hal lain. Tentu hal ini tidak dapat dilepaskan dari kon-teks Indonesia yang multikultural.

Maka, polisi perlu memahami bagaimana menangani berba-gai macam konflik dengan ber-bagai macam pendekatan. Se-hingga reformasi TNI dan polri dalam menuangkan nilai-nilai demokrasi tidak sekedar refor-masi birokrasi. Tapi hal itu juga dikembalikan ke tujuan awal un-tuk menjamin hak-hak individu. Perlu ada interaksi yang lebih intensif dan pemahaman fung-sional antara aktor-aktor negara demi terjaminnya demokrasi.

*Pemimpin Umum LPM INSTITUT

Pendekatan Militer dalam Resolusi Konflik Multikultural Khalisotussurur*

Karikatur:w

eb toon 36 dean and denys barrow copy

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Opini 9

Tanggal satu Juni tahun ini terasa begitu bernyawa, unta-ian kenangan panjang tentang perjalanan republik ini, tentang kelamnya malam lukisan Indone-sia Kita yang penuh cerita kelabu, telah lama hanyut ditelan masa, tapi tetap menggugah. yakni hari lahirnya Pancasila.

Di tengah krisis kebangsaan, radikalisme laskar teroris, dan prahara bencana yang menimpa bangsa ini, lalu kapan kesejahter-aan akan menjadi nyata secara lahir dan batin masyarakat? Pan-casila pada hakikatnya adalah religiously friendly ideology, istilah mantan Rektor UIN Syarif Hi-dayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang memiliki makna se-bagai rahmat senyap dan terse-lubung bagi Indonesia. Takkan ada lagi alasan kuat untuk meng-ganti dengan ideologi lainnya.

Berbagai konspirasi untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, khususnya ideolo-gi yang berbaju agama seperti Daulah Islamiyah, NII, Khilafah Islamiyah, ataupun Negara Ma-dinah Indonesia (NMI), takkan mendapat dukungan mayoritas umat beragama Indonesia. Seh-ingga pasti gagal dan akan diga-

galkan. Ledakan globalisasi membawa

pengaruh yang sangat kompleks terhadap batang tubuh republik ini, yaitu kembang api demokrasi dengan segala pernak-perniknya. Pengaruh itu adalah mendunia-nya kekuatan-kekuatan politik radikal yang melandaskan diri pada ideologi dan cita-cita politik tertentu yang kontra dengan The nation state of Indonesia. Kekuatan-kekuatan radikal itu meliputi atau

saling menghargai pluralitas anak bangsa.

Republik ini harus tetap dige-rakkan kembali dengan tindakan nyata mengaktualkan semangat, prinsip, dan nilai-nilai Pancasila yang segar dan menyegarkan. Kaum muda seperti kita sudah saatnya mempersiapkan diri den-gan bekal wasiat guru bangsa KH. Abdurrahman Wahid yaitu akumulasi pengetahuan (Modified Capitalism), membaca dan meng-antisipasi sejarah masa depan, demi menyelamatkan ekspedisi pelayaran terbesar perahu retak yang bernama Indonesia menuju pulau kebahagiaan bersama.

Kini yang mungkin kita laku-kan adalah berpegang kepada tali temali Pancasila. Berenang di tengah gelombang besar Beautiful Imperalism. Hidup ini adalah pili-han, dan itulah pilihan kita: bere-nang atau tenggelam. Pancasila adalah jalan kita. Demi pertarun-gan yang kita menangi, dan per-tempuran yang belum kita jalani

*Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah &

Ketua Jaringan Alumni PB PMII 2011-2013

Pengurus Besar-Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Berdzikir dan ikhtiar mengi-ma-ni kembali Pancasila dapat kita awali dengan menjadikan Pancasila deconfessional ideology, sebagai wacana publik, berbagai pilar-pilar bangsa. Pancasila ada-lah rumah kita bersama, pelita, jalan hidup dan peredam konf-lik (Conflict Defuser). Mengimani Pancasila dengan situasi saat ini, menjadi jimat tersendiri secara koloni (jama’ah), demi kebang-kitan kembali kesadaran untuk

mewakili faham ultra-liberal dan radikal agama.

Group-group ini telah berkem-bang luas terutama menyusup bak ninja di malam hari di ten-gah hingar-bingarnya pergaulan kontemporer, dandanan gaulnya kaum muda mahasiswa. Penyu-supan amuba radikalisme secara clandesteine (Kompas/10/5/2011) dengan siasat ‘cuci otak dan hip-notis faham Islam Kontra Indo-nesia’.

Mengimani Islam Pancasila,Mengingkari Islam Kontra Pancasila

Maulana Ainul Asry, FISIP, Smester II, Ilmu Politik

Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ternyata ada hal mengganjal yang terdapat di dalam kampus. Hal mengganjal itu biasa disebut sebagai diskriminasi.

Ada sebuah ruangan di ge-dung “Sementara” FISIP, yang di dalamnya terdapat fasilitas ter-golong lengkap. Sebut saja seperti komputer berkemampuan akses in-ternet, TV cable, lesehan berkarpet merah yang cukup nyaman, dan ber-AC pula!.

Tapi ternyata ruangan seluas 3x3 meter itu hanya diperuntukkan

bagi mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI), kelas Interna-sional. Padahal, di depan ruangan hanya terpampang tulisan “Student Lounge, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, UIN Syarif Hiayatul-lah Jakarta”. Jelas tak ada kata-kata “Berisme” jurusan disitu. Hanya belakangan “Aksesoris” penanda HI dibubuhkan: beragam bendera negara-negara sahabat.

Fakta itu didapati melalui tragedi memilukan yang baru-baru ini ter-jadi, pada Kamis, pertengahan Mei 2011. Kala itu tiga mahasiswa ter-masuk saya “Divonis” tidak boleh menikmati semua fasilitas tersebut.

Dua orang mahasiswa HI kelas Internasional secara tidak langsung melarang kami. Setelah dikonfirma-si kepada karyawan kampus yang ada di dalam ruangan sebelahnya. Hasilnya, karyawan kampus mem-benarkan “Vonis” itu.

Imbasnya, selain “Melukai” kondisi psikologis mahasiswa, prak-tek tak demokratis itu secara tidak langsung juga mendidik mahasiswa untuk bersikap tak adil. Maka dari itu, tanpa bermaksud memojokkan salah satu jurusan, saya berharap agar diskriminasi ini tidak terus “dilestarikan”, dan segera dibumi-hanguskan.

Dino Munfaidzin Imamah*

Surat Pembaca...

Redaksi LPM INSTITUT

Menerima:

Tulisan berupa opini, esai, puisi, cerpen

dan surat pembaca.

Opini, cerpen dan Esai: 3000 karakter. Puisi

dan Surat Pembaca 2000 karakter

Untuk esai, temanya seputar seni dan bu-

daya. Kami berhak mengedit tulisan yang

dimuat tanpa mengurangi maksudnya.

Tulisan dikirim melalui email

[email protected]

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011Sastra10

Di Tepi Batas WaktuEko Indrayadi*

“Segores puisiku untukmu, terir-ing melalui deru dan lengangnya sepi malam ini. Sesepi diriku, sesunyi kehidupanku. Di antara keti-adaan yang mulai hilang. Akankah engkau mengingatku ketika nanti aku terlelap-membisu bersama aliran udara yang tak mungkin lagi masuk ke dalam paru-paruku. Sehingga aku bisa leluasa menatap dan men-genangmu, kekasihku . . .”

Begitulah isi puisi kegundahan hati yang kutulis beberapa waktu lalu. Ketika semuanya masih bisa berkumpul dan tersenyum bersama dengan hangatnya pelukan cahaya senja di kota ini. Aku akan selalu mengenangmu, mengingat semua hal tentang dirimu: indah matamu, lebat rambutmu, hingga hangat dan bersahabatnya senyumanmu yang selalu memandang-ku sebagai sahabat terbaikmu. Namun, aku sadar semua hanya kefatamorganaan belaka. Mung-kinkah ini yang namanya takdir tentang sebuah siklus daur hidup manusia yang ada di muka bumi: lahir, tumbuh, remaja, dewasa, tua, lalu mati. Terkadang sakit dan kematian tak pernah dapat diterka kapan datangnya. Kapan dia akan menjemput kita dari keadaan fana’ dalam dunia yang semakin tua ini.

Pikiranku melayang jauh tentang kisah seorang lelaki yang kini menanti ajalnya di tengah kebimbangan waktu yang berbuat semacam candu yang meng-gerogoti tubuhnya. Dokter bilang ia penderita kanker stadium 3 dan teramat sulit untuk disem-buhkan. Ia hanya bisa pasrah memandang nasib, melihat pada bayang-bayang waktu dan maut yang siap memeluk dirinya kapanpun. Mengajak dirinya menuju sebuah negeri yang kekal-abadi. Hanya sebuah kepasrahan pada takdir yang mesti diikuti. Berjalan mengalir bersama derasnya aliran keputu-san takdir dalam kepastian yang pasti terjadi. Lalu, setiap insan punya cara berbeda-beda dalam memahami arti, ketika maut bersiap dalam hitungan langkah menjemput dengan pasti. Tanpa bisa dilakukan peninjauan ulang kembali.

Berceritalah seorang sahabat dari lelaki tersebut kepada seorang teman, tentang betapa tegar dan kuat laki-laki itu meng-hadapi maut. Ia selalu tersenyum di setiap waktu, selalu berseman-gat di setiap kesempatan, dan tak kenal takut untuk berhadapan dengan tantangan. Tapi tahukah manusia lain? Selain diri dan Tuhan. Lelaki itu selalu menan-gis dalam setiap tawa dan canda yang keluar dengan ikhlas dalam dirinya. Tatkala beberapa waktu yang lalu, ia berkesempatan men-

genal sebuah rasa “cinta” atas sebuah karunia sebagai seorang manusia yang mengajarkan dirinya tentang arti kehidupan dengan penuh semangat untuk tetap tegar, lalu membuang jauh-jauh perasaan sunyi dan pilu dalam hati.

Bukan jawaban salah ketika cinta menjadikan orang gila men-cari-cari perhatian sekelilingnya. Bukannya tak berperasaan ketika maksud menghilangkan kesepian. Inilah yang dilaku-kan olehnya, setiap waktu yang berlalu dihabiskannya dengan mencari perhatian sekelilingnya. Berpura-pura menjadi orang bodoh yang membuang sebagian rasa malu yang meng-hinggapi kodrat seorang manusia. Tapi tahukah kita keadaan di dalam hatinya: kesunyian dan kegelisa-han mengingat sebentar lagi ia akan dijemput dan takkan pernah pulang untuk kedua kalinya.

“Aku akan tetap menunggu dan mengharapkanmu. Sekali-pun kau benci aku dengan segala sikap dan sifat aneh ini. Sikap yang membawa ketenangan bagi diriku, sayangku. Dan selama 7 tahun kanker ini menggerogoti getah beningku, tak sedikit pun aku mengetahui apa arti kehidu-pan bagiku. Apa arti senyuman dengan semangat yang tak per-nah padam untuk meraih mimpi dan cita-citaku. Semua tak bosan memandang bodohnya aku. Semua menghardikku, sementara kerisauan mulai menjadi kabut yang menutup cahaya hara-panku.”

Sementara malam mulai jauh meninggalkan pagi, rembulan sepi dan langit hujan rintik-rintik dengan hembusan angin yang mengetuk-ngetuk jendela kamar melati tempat yang sudah dua minggu ini menjadikanku sebagai seonggok sampah yang tak bisa berbuat apa-apa. Lalu, samar-samar kembali aku mendengar

suara-suara kekosongan dari hujan yang berjatuhan di atas genting rumah sakit ini.

“Sudahlah, tak berapa lama lagi engkau akan terbebas dari rasa sakit itu! Tak seorang pun yang peduli dengan kebodohan yang kau perbuat selama 7 tahun ini. Aku sudah tak sabar menye-lesaikan tugas terakhirku men-cabut nyawamu.” ujar sebuah suara yang menggema di gen-dang telingaku. Semua memang mengha-rapkan ketidakhad-iranku.

***Hari mulai pagi. Sembu-

rat lazuard merah saga mulai muncul di langit dengan penuh kesenduan hati. Para dokter sibuk menghampiri ruanganku. Terdengar bising-bising suara kepasrahan dari monitor yang merekam setiap detak jantungku. Dokter bersiap untuk memasang sebuah alat pacu denyut jantung di dadaku. Semua orang tampak pucat dengan butiran keringat sebesar jagung mengalir dari muara pori wajah mereka. Entah aku tak sempat untuk berpikir apa yang telah terjadi.

“Bukankah itu aku? Mengapa mereka tampak seperti itu ketika melihat tubuhku? Lalu, bukan-kah itu kedua orang tuaku dan adik-adiku. Mengapa pula mere-ka tampak berkumpul di sekelil-ing ranjang tempat aku berbaring selama dua minggu ini?”.

Terlalu sulit bagiku untuk me-nerjemahkan keadaan. Kucoba untuk menghampiri mereka se-mua, melihat wajah kedua orang tuaku. Kuperhatikan guratan-guratan kasar yang terpahat di wajah mereka, hasil kikisan waktu yang kejam.

Ibuku mencoba mengajak adik-adikku untuk pergi ke masjid yang ada di rumah sakit ini. Mencoba tegar dengan butiran kristal hangat yang tak terbendung me-ngalir dari kedua matanya. Mata yang selalu me-natap dan mengawasiku dengan kehangatan, mata yang se-lalu membelaiku.Sementara ibu pergi, ayah mencoba tegar dan tetap sabar berada di ruangan ini. Melihat dengan tatapan yang miris dan kosong kepada tubuhku yang mulai perlahan-lahan pucat kehilangan napas kehidupan.

Beberapa saat setelah itu, dokter memanggil kedua orang tua-ku untuk melaporkan sebuah kepasrahan terhadap kekuatan Tuhan yang berkuasa atas segala manusia. Namun, hanya ayah yang ditemuinya. Ibuku tidak ada disini, beliau masih khusuk berdoa khusuk-ikhlas melepas diriku.

“Maaf Pak, kami sudah beru-saha sekeras mungkin. Kami su-dah mengupayakan yang terbaik untuk anak Bapak. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain”.

Kulihat wajah ayahku men-coba tegar dan tenang dalam kesedihannya. Mencoba berta-han dalam seruan batinnya. Ia

hanya berujar pelan dan hampir tak kudengar.

“Iya, dok. Saya ikhlas. Tu-han punya kuasa. Tuhan yang mempertemukan kita. Tuhan yang memisahkan kita. Innalil-lahiwainailahirojiun.”

Begitulah akhirnya dan begitu pula awalnya. Lelaki itu menatap bintang yang berkedip dan tak pernah mampu ditatapnya kem-bali. Begitulah adanya, semua tak mampu menebak isi hati seorang manusia, bukan?

***Suatu pagi sebuah kertas

kumal ditemukan oleh para juru rawat ketika membersihkan kamar rumah sakit bekas lelaki itu. Kertas itu tampak lusuh dan kotor terkena debu yang berter-bangan. Sama halnya dengan ketegaran yang tertutup senyum milik lelaki yang telah pergi.

Dan di lembar kertas itu tertulis,

“Segores puisiku untukmu, ter-iring melalui deru dan len-gangnya sepi malam ini. Sesepi diriku, sesunyi kehidupanku. Di antara ketiadaan yang mulai hilang. Akankah engkau meng-ingatku ketika nanti aku terlelap-membisu bersama aliran udara yang tak mungkin lagi masuk ke dalam paru-paruku. Sehingga aku bisa leluasa menatap dan mengenangmu, kekasihku . . .”

****

Ciputat, 25 Februari 2011Dalam kekosongan menanti

hari-hari

*Mahasiswa Fisip UIN Jakarta, Jurusan Ilmu Politik,

Semester 4.

Cerpen...

Puisi...

Asfi*

Jika cinta itu buta

Maka cinta merasa iba

Sahabat ???

Terasa indah mengenalnya

Terasa sejuk bersamanya

Terasa riang bercanda tawa dengannya

Beribu jarak tertempuh namun langkahnyaselalu ada di keliling

Hidup

Terucap cinta

Namun lebih dari cinta

Terucap kasih

Terdua diabtara hati

Cerah mentari mengiringi bentuk wajahnya

Kias semangatnya terbentuk dalam tingkahnya

Duhai kau yang selalu terjaga senyumannya

Tak terlupa iringan setiamu

Duhai kau penyemangat jiwa

Permayaan ini tak terganti dengan materi

Duhai kau yang secerah mentari

Kehangatan budimu selalu dank an selalu terkenang

Kaulah penerang

Kaulah penyebar

Kaulah penyejuk

Senja dunia membolak balik hidupmu

Fana kehidupan tertantang di harimu

Senyum selalu perpanar di setiap keadaan mu

Jika air berhenti mengalir

Namun kasih saying dan sayangmu tak terhenti

Jika awan menggelapkan dunia

Kehadiranmu membawa cahaya

Dan kaulah sahabat tercinta

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab,

Fakultas Adab dan Humaniora

Semester empat.

Buta???

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Sesal Cinta pada Sang PelacurLelaki tak bernama itu terus saja

meraung dalam ruangan sumpek dan gelap: Penjara. Dirinya sa-ngat ketaku-tan karena kesendirian dan kegelapan. Cinta pada istri lacurnya, yang memberinya cahaya, kini terasa getir setelah kesabarannya hilang karena telah menikahi seorang perempuan bekas pelacur. Dan, dia menyesal.

Lelaki dalam penjara itu masih saja menundukan kepalanya, lalu berdiri dengan menyibakan rambut ubannya dan ia berbicara sendiri. Berbicara penyesalan. Itu yang selalu diocehkannya seperti orang sedang berzikir. Apa yang ia tanyakan pada ocehannya?

“Su, perempuan biasa tapi pu-nya daya tarik luar biasa,”

“Su, pelacur!”“Su, kenapa aku mau menikah

denganmu?”“Su.”Begitulah petikan kalimat

yang dilontarkan seorang lelaki gondrong beruban diatas pang-gung sederhana di lantai dua Aulamadya UIN Jakarta, Rabu (16/06) lalu. Pria berpakaian serba hitam yang diperankan Nur Rah-mat SN ini membawakan lakon utama dalam drama monolog bertajuk Cermin.

Lelaki bermimik keruh itu menampilkan jiwa penyesalannya yang semakin kuat menggerayangi hati rentanya tatkala teringat kem-bali akan cintanya kepada sang istri, si pelacur. Karena cintanya, ia rela menunggu ketika istrinya melacurkan diri. Karena cintanya pula, ia rela mendekap raga yang tak memiliki hati padanya.

Bayang-bayang cinta istrinya yang terbagi dengan para lelaki hidung belang mengantarkan-nya pada gelap mata, membunuh sosok yang ia pertahankan mati-matian hingga usia senja. Dalam sesalnya, ia berteriak merindu cahaya dalam gelap dirinya. Pen-jara yang mencekamnya akan dosa membunuh sang istri, tiga anaknya, dan lelaki-lelaki penik-mat istrinya.

Lampu-lampu pada pertunjukan itu menjadi cahaya dalam peng-harapannya pada ruang penjara, ia masih saja mengungkit-ungkit cintanya pada istrinya, tentang ketiga anaknya yang dilahirkan bukan dari darah dagingnya. Lalu sedetik kemudian dia meracau, menunduk hingga rambutnya menyentuh lantai.

Lalu, dayang-dayang dari balik tubuhnya mengelilingi aktor itu,

ber-koor bersama membentuk suatu irama kesedihan untuk lelaki tua. Mengelilinginya samba, mem-bawa bayi yang mengingatkan si lelaki pada ketiga anaknya yang ia bunuh dengan belati miliknya.

Tak lama, ingatannya kembali pada wanita yang ia sebut “Su” itu, sosok biasa dengan daya tarik luar biasa. Adegan berakhir dengan meninggalkannya dalam rintihan memanggil belahan jiwa

yang dirindukan.Dalam drama cermin ini tidak

sama sekali menggunakan cermin (kaca). Alat kaca yang dikiranya akan menjadi alat vital, menurut Kang Nur sengaja tidak ditampil-kan. “Itu karena aku mengang-gap pertunjukan seni ini adalah telanjang. Seni yang apa adanya,” tuturnya menjawab pertanyaan dari salah seorang penonton yang bergiat di Teater El-Nama Jakarta.

Salah satu penonton yang mera-sa gelisah dengan lampu blitz pada kamera penonton sepanjang acara juga menanyakan kepada para pemain, dan Budi Sobar dari Kon-sultan produksi Teater Gumbira sudah memperingatkan penonton yang membawa kamera agar tidak menggunakan blitz, ”Sudah saya colek-colek (tegur) tapi masih saja ada yang seperti itu (menggunakan blitz),” tegasnya.

Edisi XIV/Juni 2011 Seni Budaya 11

Ema Fitriyani

Tokoh utama dalam Drama Monolog CERMIN nampak sedang menyesali nasibnya. Teater ini dipentaskan oleh Teater Pen-tas Gumbira Jakarta Pusat di Aulamadya lt. 2, rabu (15/6)

Tak pernah terpikirkan tentang uang.

Dalam ruang kita pun ikut bersu-lang.

Saling share about anything, everything.

Ketika marah it’s all just kidding.

Itulah sepenggal lirik yang dibawakan oleh Syahid Hip-Hop

Community (SHC) saat didatangi INSTITUT, Kamis (16/11).

Sore itu, matahari masih me-nunjukkan keangkuhannya pada kami ketika berbincang-bincang di pelataran Aula Serbaguna SC (Student Centre). Sebagian ma-hasiswa terlihat letih karena UAS yang baru mereka hadapi, dan sebagian lain mulai beringsut ke rumahnya masing-masing.

Namun keenerjikan masih terlihat jelas menggelayuti tiga anggota SHC. Muhammad Bin-tang Agassi, N. Fitroni Mandela, dan Saddam Muammar. Energi positif berhasil mereka tularkan ke sekeliling dengan alunan nada rap yang diiringi beatboxing.

Bintang yang terlihat pa-ling bersemangat diantara keti ganya mulai menjelaskan tentang komunitas yang mereka bentuk pada tanggal 7 April 2011 ini, “Awalnya kita (anggota SHC, red) ketemu secara enggak sengaja. Dikenalin teman, dan makin bertambahlah orang yang mem-punyai kesukaan di bidang yang sama”

“Lalu kita berinisiatif untuk membentuk sebuah komunitas yang dapat menampung, menya-lurkan, dan menjawab keingin-

tahuan seputar dunia Hip-Hop khususnya untuk mahasiswa UIN sendiri,” ujarnya dengan tempo berbicara yang cepat.

Sebagai suatu lifestyle, Hip-Hop tidak seperti aliran musik lain yang hanya monoton dan berfokus pada satu genre. Namun, menurut raper yang satu ini Hip-Hop terdiri dari lima elemen yang mendasarinya.

Selain beatboxing dan rapping yang lebih dikenal sebagai aliran musik yang mempunyai melodi dan tempo cepat dalam pem-bawaannya, masih ada disc jocking, breakdancing, dan graffiti sebagai suatu seni menulis indah ala Hip-Hop.

Ada satu motto yang mereka junjung untuk membangun SHC adalah mengutamakan kebersa-maan dan solidaritas, “Kita enggak mau berbicara masalah uang, sejauh mana kita berkreatifitas itulah yang penting.”

Desingan knalpot motor masih terus berlalu lalang ketika kami membicarakan Hip-Hop sebagai suatu lifestyle yang lebih mengiblat ke barat dibadingkan dengan jenis musik lain seperti nasyid, pop, dan marawis yang sudah terlebih dulu akrab di telinga mahasiswa

UIN yang identik dengan Islam.Menurut Fitroy yang lebih

mengeksplor kemampuannya dalam beatboxing ini asal isi dari music itu sendiri tidak membawa pada kemusyrikan, jenis musik itu masih bisa dinikmati. Apal-agi SHC lewat Bintang sebagai seorang rapper telah menelurkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang merupakan curahan isi hatinya.

Pemuda yang mengaku rajin menulis lirik dan puisi ini meng-ungkapkan bahwa pada dasarnya nge-rap itu mudah, “Seperti kita sedang ngobrol saja, cuma bedan-ya diselipkan sedikit rima, atau kalau mau freestyle dengan tidak mengandalkan rima juga bisa.”

Tidak hanya berkonsentrasi pada komunitas Hip-Hop di dalam kampus namun SHC juga turut bertukar pikiran dengan komunitas Hip-Hop di luar UIN seperti Indobeatbox, “Tiap malam minggu nongkrong bareng mereka di Taman Menteng,” tutur pria berkacamata ini.

Begitu pula dengan Bintang, pe-muda berambut plontos ini untuk kedua kalinya ditemui INSTITUT, Kamis sore (23/6). Sama seperti kamis-kamis sore sebelumnya ke-tika para anggota SHC berkumpul

rutin di pelataran SC.Bintang yang kala itu men-

genakan kaos berwarna hitam sudah siap dengan lirik-lirik la-gunya yang akan diperdengarkan melalui speaker yang sengaja ia bawa di dalam tas. “Wah, sayang laptopnya enggak ada,” ujarnya sedikit kecewa.

Namun acara kala itu tetap ber-jalan dengan memperdengarkan sebuah lagu yang baru saja selesai ia garap lewat sebuah handphone. “Ini baru rilis kemarin, barengan rapper asal Aceh,” celotehnya bersemangat.

Ketika disinggung mengenai gaya bermusik mereka yang terka-dang dinilai berbeda dari yang lain, Saddam hanya menegaskan bahwa semua itu kembali lagi pada persepsi pribadi masing-masing. “Sama saja kalau biasa dengar dangdut terus disetelin musik rock pasti juga terdengar aneh di telinga,” ujar pemuda yang menyukai break dance ini.

Lalu sambil sedikit tersenyum ia kembali meneruskan pembic-araan, “Tapi yang jelas buat saya Hip-Hop itu simpel, asik, dan masuk kemana saja.”

Hip-Hopku, LifestylekuAditya Putri

Komunitas...

Salah satu penampilan break dance SHC, Saddam di depan kelas FST

FOTO

:INSTITU

T

FOTO

:INSTITU

T

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011Sosok12

Memperkenalkan Islam Plural di CaliforniaCerpen...

Makhruzi Rahman

“Kita tidak bisa mengatakan agama lain itu jelek dan mengatakan agama yang kita peluk itu sempurna, pemahaman yang kita trima terhadap agama lain itu cenderung subjektif. Seharusnya kita memahami agama mereka sebagaimana mereka melaksanakan ritual agamanya,” ungkapan tersebut disampaikan oleh Muhamad Ali kepada mahasiswanya pada perkuliahan studi agama di California.

Ditemui di kediamannya di bilangan

Srengseng Sawah, Jakarta Selatan (24/06). Ali menggunakan kaos Guess merah muda dan sarung yang terkesan sederhana seba-gai ciri khas orang Indonesia. Ia mencerita-kan bagaimana mendapat jabatan sebagai asisten profesor di University Of Cali-fornia, Riverside, USA. “Saya mendaftar menjadi asisten profesor di universitas itu. Kemudian dipanggil untuk wawancara oleh pihak universitas disana. Nggak nyangka juga,” ujarnya sambil tersenyum. Ia meng-ajar di jurusan, studi agama, khususnya bagian Asia Tenggara.

Mengajar di lingkungan akademis Amerika merupakan sebuah tantangan. Karena pertama kalinya Ali mengajar di Amerika yang terdiri dari berbagai agama, ras, dan budaya. Dia membandingkan antara orang yang muslim dengan non-muslim saat mengajar. Orang muslim cenderung sudah tahu dan dalam belajar ia tidak serius. Berbeda dengan non-muslim yang sama sekali belum tahu tentang Islam, karena mereka memiliki motivasi yang kuat untuk mengetahui apa Islam itu.

Selama mengajar di Amerika Ali mera-sakan sering terjadi perdebatan mengenai Islam diantara mahasiswanya. Ada muslim yang menghargai non-muslim dan seba-liknya ada non-muslim yang menghargai Islam.

Seperti halnya dengan agama Islam yang dianggap masyarakat barat dengan stigma negatif. Begitu juga masyarakat timur dalam menyikapi Yahudi. Masyarakat timur merasa tahu tentang agama Yahudi. Padahal belum mengenal agama tersebut lebih dalam.

Menurut ulama salafi, Yahudi yang benar

itu seperti di dalam Alquran, yaitu pada masa nabi. Setelah itu terjadi korupsi, distorsi, dan lain sebagainya. seolah olah umat yahudi pada masa setelah nabi mu-hammmad itu sama. Sehingga dimanapun dan sampai kapanpun kalau dia seorang Yahudi pasti sama, dengan stigma negatif.

Selain mengajar, Ali juga melakukan penelitian. Dari hasil penelitian itu Ali telah menelurkan beberapa buku seperti, Mengapa Membumikan Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Ia lebih mengkaji Islam di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Menu-rutnya di Indonesia banyak hal yang sangat menarik, misalnya ketika ia meneliti ten-tang Islam saat masa kolonialisme.

Kolonialisme tidak selalu bersifat destruktif terhadap islam. “Karena itu saya bisa dianggap tidak nasionalis,” ujarnya sambil tertawa. Tapi dalam perspektif historis, kolonialisme memberikan iklim organisasi yang memungkinkan islam itu tumbuh subur dan berkembang.

Bersamaan dengan konflik agama yang terjadi belakangan ini. Di tahun ini ia siap meluncurkan buku tentang pluralisme agama di Indonesia. Karena seringnya terjadi konflik antar agama di Indonesia, menurutnya kita sulit untuk menerima perbedaan. Masyarakat cenderung melihat perbedaan sebagai alat ukur apakah sese-orang itu layak diterima di lingkungannya atau tidak. Itu yang membuat orang sulit menerima perbedaan kayakinan.

Walaupun konflik antara Islam dengan agama lain sering terjadi, sebenarnya ajaran islam itu inklusif dan menghargai agama-agama lain. “Al-Quran itu yang paling inklusif karena di dalamnya mem-bahas beberapa agama, jika dibandingkan dengan kitab suci agama lain yang hanya membahas dalam konteks agama itu saja,” tuturnya.

Semester ini ia mengajar di Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah dan dalam waktu dekat ini akan kembali lagi ke Amerika. “Apa yang saya dapat di Indone-sia akan saya transfer ke Amerika, begitu pula sebaliknya.” tuturnya.

Dok. Pribadi

Baca!

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Tekno 13

Peluang Pada Industri Smartphone

Kenaikan pengguna ponsel di Indonesia terbilang sangat cepat. Jumlah pengguna ponsel di Indo-nesia hingga Juni 2010 diperkira-kan mencapai 180 juta pelanggan, atau 80 persen dari total penduduk Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa ponsel bukan lagi barang mewah dan bahkan kini menjadi bagian kebutuhan yang tidak ter-pisahkan dalam berkomunikasi.

Berkembangnya industri smart-phone beberapa tahun belakangan ini membuka peluang besar bagi para developer aplikasi berbasis smartphone untuk mendapatkan penghasilan yang besar. Salah satu teknologi operating system smartphone yang kini sedang booming ialah Android. Android yang merupakan operating system berbasis smartphone memiliki jum-

lah pengguna terbesar di dunia dalam market share smartphone dan diprediksi jumlah ini akan terus bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, teknologi ini pun berlisensi open source atau tidak berbayar. Hal inilah yang memicu banyak perusahaan ponsel menjadikan Android sebagai operating system mereka karena praktis mereka tidak

mengeluarkan biaya lisensi untuk operating system tersebut. Selain itu, Android merupakan peluang besar untuk para developer aplikasi berbasis mobile mengingat umur Android yang masih muda tapi sudah berkembang sedemikian pesat. Oleh karena, itu Saya dan dua orang teman saya mengambil keputusan untuk menciptakan se-buah aplikasi berbasis mobile yang berjalan pada platform Android. Aplikasi tersebut Kami beri nama Imotrans (Integrated Mobile Tranpor-tation Information System based on Social Media).

Imotrans merupakan aplikasi yang akan membantu anda menemukan informasi angkutan transportasi secara cepat, tepat dan akurat. Imotrans sangat ber-gantung pada teknologi internet, data informasi yang didapatkan pada ponsel 100% didapatkan atas bantuan teknologi internet. Untuk dapat menggunakan aplikasi ini, Anda tidak membutuhkan internet dengan kecepatan tinggi, dalam membuat aplikasi ini kami memikirkan pula faktor kecepatan internet yang ada di indonesia. Jadi, walaupun pada tingkat kece-patan rendah, misalnya: teknologi GPRS, Imotrans tetap masih bisa beroperasi dengan baik. Imotrans memberikan berbagai kemudahan informasi bagi penggunanya. Ber-bagai informasi, seperti: informasi

angkutan kota, bus, taxi, busway, dan kereta api. Semua informasi tersebut dapat pengguna dapatkan dalam satu aplikasi, yang bernama Imotrans, di manapun dan kapan pun selama terdapat koneksi internet. Pengguna juga dapat berbagi informasi mengenai ang-kutan transportasi dalam bentuk komentar maupun tips. Komen-tar dan tips tersebut juga kami tampilkan di website sehingga pengguna website dapat melihat komentar dan pengguna dari website. Kemudian data ini juga kami berikan kepada pengiklan agar mereka dapat memiliki feed-back yang berguna untuk evalu-asi kinerja perusahaan. Aplikasi yang kami kembangkan, sejauh ini Alhamdulillah telah berhasil menjadi juara III System Design Competition di ITB 2011 dan pada sisi bisnisnya aplikasi ini berhasil masuk finalis online entrepreneur award CIMB NIAGA 2011. Itulah peluang dan tantangan pada industri smartphone, yang saya jelaskan barusan ialah hanya sekelumit dari beribu-ribu peluang yang ada. Mari kita manfaatkan sebaik mungkin peluang yang ada sehingga menghasilkan produk yang baik.

[email protected]

Resensi Film..

Minye Cave adalah sebuah Gua bawah laut Esa’ala Cave yang terletak di Papua Nowa Gwinea. Gua ini menyim-pan keindahan yang luar biasa hebatnya. Bayangkan, sebuah gua vertikal dengan lubang hampir sempurna bulat, dengan diameter 350 m, dan Kedalaman sinkhole 400-510 m. Ruang terbe-sar di gua ini adalah Tuke chamber - salah satu ruang gua terbesar di dunia. Ini adalah 240 m panjang, 200 m dan lebar 180 m tinggi. Daerah Lantai ruangan ini adalah 48.000 m², volume - 6.240.000 m³. Gua ini me-miliki sambungan langsung menuju pantai.Keindahannya itulah yang

menginspirasi James Cam-eron, sang Eksekutif Pro-duser, untuk mengabadi-kan keajaiban Minye Cave kedalam sebuah film, yang berjudul Sanctum. James Cameron selalu sukses mencetak film-film box office dan menyabet penghargaan Oscar lewat film Titanic dan Avatar, Terminator, True Lies, serta sebuah film fiksi sukses berjudul Alien. Pria asal Kanada ini kemudian men-unjuk Alister Grierson untuk menyutradai film ini.Sanctum adalah sebuah film yang bercerita tentang ekspedisi gua bawah laut yang dilakukan oleh Frank McGuire (Richard Rox-burgh) bersama timnya.

Frank adalah seorang yang sangat berpengalaman dalam bidang Cave Diving. Has-ratnya menjelajahi Sanctum adalah untuk menemukan sambungan jalan dari gua menuju pantai.Ketegangan dimulai ketika Frank berebut tabung oksi-gen bersama temannya Judes (Allison Cratchley) saat mereka memulai ekspedisi Cave Diving untuk menemu-kan pantai. Judes kemudian menemui ajalnya, karena Frank tidak memberikan tabung oksigennya.Ketegangan berikutnya, adalah ketika di tengah per-jalanan, Frank dan Timnya dihadang Badai besar, hing-ga mereka tertahan dalam

gua dan sulit untuk keluar. Kondisi semakin memburuk ketika Frank harus mengha-dapi satu-persatu kematian temannya akibat tak mampu bertahan hidup.Diakhir cerita, Frank me-nemui kematiannya akibat dihunus tumbuhan beracun ketika berkelahi dengan Carl (Ioan Gruffudd) yang kesal kepada Frank atas kematian kekasihnya, Victoria (Alice Parkinson).Setelah kematian Frank, Perjalanan dilanjutkan oleh , Josh (Rhys Wakefield),yang merupakan anak kandung Frank. Josh kemudian ber-hasil menemukan titik temu lautan yang menjadi ambisi ia dan ayahnya, Frank.

Film ini terinspirasi dari kisah nyata tentang Andrew Wright yang sempat terjebak di Esa’ala Cave salama 2 hari bersama 14 orang lain. Film ini terasa menegangkan, sedih, haru, dan menantang. Grierson mengadaptasi kisah tersebut tanpa memberikan tambahan hal lain, sehingga setiap sekuelnya selalu me-mompa adrenalin penonton agar terus menikmati alur cerita nya hingga akhir. Sam-pai sekarang, film ini masih diputar di bioskop-bioskop terjauh dari Ciputat, seperti di Paris Van Java (Bandung), Grand Indonesia, Pasific Place, Mall of Indonesia, Teras Kota, dan Central Park. (ULI)

Judul Fim :SanctumGenre : ThrillerDirilis : 4 Februari 2011Pemain : Richard Roxburgh, Rhys Wake field, Alice Parkin son, Daniel Wyllie, Loan Gruffudd

Sanctum

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011Wisata Kampus14

Jaga Daya Tahan Tubuhmu dengan Madu!

Bali Qui: Santapan Etnis yang Tak PasaranNoor Rahma Yulia

Kata Ahli...FO

TO:IBN

U&

ULI/IN

STITUT

INTITUTERS, ternyata masih banyak dari kita yang belum me-mahami arti penting sehat, betapa indahnya sehat, betapa bahagia nya, dan betapa menariknya hidup sehat itu.

Apalagi bagi anda yang sangat aktif dan menyenangi kegiatan luar, tentunya mengerti kesehatan dan menjaga nya adalah wajib huku-mnya.

Nahh, saya akan berbagi tips dari para pakar kesehatan dunia tentang zat dan makanan yang dapat membuat tubuh kita bugar, dan selalu prima.

Zat ini tidak sulit didapat, bah-kan kita bisa menemukannya di swalayan atau toko-toko terdekat. Namun kerap kali kita meng-

abaikan keberadaannya karena memang dirasa tidak penting. Zat itu tak lain adalah Madu.

Madu memiliki banyak jenisn-ya. Dan setiap jenis memiliki kha-siat masing-masing. Hal ini bukan sekedar iklan promosi produk madu, melainkan memang sudah termaktub dalam ayat Al-Quran, “Dan Tuhanmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia (peternakan lebah). Ke-mudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tem-puhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam

warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikir-kan. [QS. An-Nahl: 68-69]

Madu juga memiliki keistime-waan dibandingkan zat pemanis lainnya. Salah satu keunggulan madu dibanding pemanis lain adalah dapat langsung dikonsum-si setelah diambil dari sarangnya tanpa melalui proses pengolahan terlebih dulu. Hal ini dimungkin-kan karena kandungan gula seder-hana yang terdapat di dalamnya, yaitu glukosa dan fruktosa dengan kadar yang cukup tinggi. Berbeda dengan gula tebu yang harus diolah sebelum dikonsumsi.

Sekilas tentang maduHypocrates, ahli ilmu fisika

membiasakan diri makan madu secara teratur yang menyebabkan dia dapat mencapai usia 107 ta-hun, demikian juga halnya Aristo-teles, bapak dari “Natural Science” beranggapan bahwa madu me-miliki sifat yang unik yang dapat meningkatkan kesehatan manusia dan memperpanjang usia, dalam arti dalam usia tua masih mem-punyai stamina yang kuat dan gangguan penyakit sangat jarang dijumpai. Demikian juga Ibnu sina (Avicenna), ilmuwan yang tersohor itu menganjurkan kita mengkonsumsi madu, karena dapat menjaga kekuatan sehingga masih mampu bekerja pada usia tua (senja). Dia juga mengan-jurkan agar manusia yang telah berusia 45 tahun sebaiknya meng-konsumsi madu secara teratur.

Semakin tinggi tingkat teknolo-gi suatu negara, semakin tinggi kesadaran akan arti madu dalam menu masyarakat sehari-hari. Mereka semakin mendambakan lebih banyak mengkonsumsi “natural foods”. Madu buan saja termasuk kategori “natural foods”, tetapi juga dalam “natural health foods”.

Dari berbagai negara yang pa-ling gemar mengkonsumsi madu adalah masyarakat Jerman Barat dan Swiss. Dua negara tersebut negara paling rewel terhadap persyaratan keamanan makanan bagi rakyatnya. Mereka rata-rata mengkonsumsi madu 800 gram 1,4 kg/orang/tahun. Amerika Serikat dan Inggris termasuk lebih rendah konsumsi madunya, yaitu

berturut-turut rata-rata 400 – 500 gram dan 250 – 350 gram/orang/tahun.

Berbeda dengan gula biasa yang terdapat dalam permen atau gula yang dapat merusak gigi (carries) yang diakibatkan oleh tumbuhnya bakteri pembusuk yang disebut bakteri asam laktat, madu me-ngandung antibiotika. Meskipun pH-nya rendah, tetapi karena kandungan mineralnya tinggi mempunyai potensi bersifat basa, dan karenanya dapat berfungsi se-bagai desinfeksi terhadap rongga mulut. Nenek moyang kita sering menganjurkan berkumur madu encer (± 15%) untuk menyembuh-kan radang rongga mulut.

Dari hasil berbagai penelitian menyatakan bahwa daya anti-bakteri madu tidak ada sangkut pautnya dengan kadar gula tinggi maupun rendahnya kadar air, tetapi oleh adanya suatu senyawa sejenis lysozyme yang memiliki daya antibakteri. Senyawa terse-but lebih popular dengan nama ‘inhibine’. Bakteri gram negatif lebih peka terhadap ‘inhibine’ dari-pada gram positif. Inhibine sangat peka terhadap panas. Pada suhu 600C keaktifan inhibine dalam madu hilang hanya dalam waktu 15 menit.

Sudah tahukan betapa madu sangat bermanfaat bagi keseha-tan harian? Segera perbaiki pola hidup Anda, jaga daya tahan tubuh kita dengan mengkonsum-sinya setiap hari.

Honey give the best for ur body(Uli)

Memang tidak salah jika seorang Karim menorah ide membuka tempat makan di sekitar kawasan Ciputat. Ini dia tempat makan yang dimaksud tak biasa. Dari mulai sekilas mata memandang, lalu menapakan kaki, sampai men-yantap masakannya, Anda akan dibuat terkesan oleh performance tempat makan yang bergaya etnik Bali. Baik Musik, makanan, desain interior, aksesoris, hingga nama tempat dirancang sepadan tema pulau dewata.Bali Qui, yang berarti Bali Kuno adalah tempat makan yang sudah dirintis Karim sejak tahun 2004. “Sebenarnya pusatnya ada di jalan Haji Narawiya, di sini adalah cabangnya,” ujar Karim di sela-sela istirahatnya.Ragam dan gaya hidup Jakarta yang serba modern terkadang membuat jenuh orang. Untuk mengatasi hal tersebut, Karim sengaja membuat konsep lesehan

yang dipadankan dengan cahaya lilin remang, serta tampilan unsur etnis Bali, supaya tidak terkesan pasaran, “Kalau orang kebanyakan kan hanya sekedar buka, kalau saya biar enggak formil harus ada unsur etniknya,” katanyaWalaupun tampilan Bali Qui ini terlihat cukup mewah, namun harga makanannya ternyata mu-rah. Tak heran jika pengunjung yang datang berasal dari semua kalangan, baik pelajar, mahasiswa, dan keluarga “Disini itu yang da-tang berasal dari semua kalangan, kalau hari libur baru banyak keluarga,” tutur pria kelahiran Purwokerto ini.Pelayanan yang diberikan pun sangat memuaskan. Kali pertama datang, Anda akan langsung disapa ramah. Makanan yang dis-antap saat itu adalah Ayam bakar Bumbu Bali. Dari rasanya, lidah kita bisa langsung mendeteksi adanya keterlibatan sereh, kunyit

dan cabe dalam masakan ini. Kendatipun tidak bisa menggam-barkan detail rasa lainnya seperti yang dilakukan Bondan Winarno, namun kesimpulan akan ma-kanannya adalah sama, “Makny-usss!”“Ini makanannya sudah saya modifikasi, kalau saya ambil dari Bali langsung, khawatirnya orang tidak suka, karena bumbunya terlalu berani,” kata Karim sambil tersenyumOleh karena itu, Bali Qui tidak melulu menyajikan makanan khas Bali. Anda juga dapat menyantap makanan khas barat, seperti Pizza, Burger, dan Pasta. Harga makanan yang ditawarkan sangat terjang-kau, kisaran 15.000-25.000Tertarik? Silahkan sambangi Bali Qui di Jalan Pahlawan No 9 A Ciputat, Tangerang.Melepas lelah di sore hari memang tak mudah. Aktivitas ngantor,

sekolah, sampai kuliah terkadang menguras tenaga hingga tak sisa. Jika sudah demikian, tentunya kita akan dibayangi pada

santap malam yang tak biasa.

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Wawancara 15

Pengetahuan, Perlu Didiskusikan Melalui KajianAprilia Hariani

Dewasa ini, semangat mahasiswa untuk mengikuti forum kajian terlihat tak bergairah, berbeda dengan seman-gat mahasiswa beberapa dekade dulu. Benarkah saat ini mahasiswa tak ber-gairah untuk aktif di forum kajian? Bagaimana komentar aktivis tahun ‘98 menanggapi hal tersebut?

Berikut ini petikan wawancara Aprilia Hariani, reporter INSTITUT (17/07) di kediaman Andi Syafrani, Komp. Grand Puri Laras Blok G-50 Legoso. Alumni sekaligus aktivis UIN Jakarta.

Di era tahun 90-an saat Anda menjadi seorang mahasiswa, bagaimana minat mahasiswa ter-hadap forum kajian/ forum forum diskusi pada saat itu ?

Pada era itu saya rasakan betul mahasiswa sangat bergairah. Di Ciputat sendiri saya rasakan pada tahun 1996-1998 gairah intelektu-alitas sangat tinggi sekali. Pada saat itu saya pun bergabung juga di fo-rum kajian Formaci, ada juga forum kajian / diskusi lainnya, Pyramida Cyrcle dan lain lain.

Apa yang menyebabkan sangat bergairahnya minat mahasiswa ter-hadap forum kajian saat itu ?

Dulu itu jika kita terlibat dalam fo-rum kajian seakan ada image tesendi-ri. Kita itu seperti elit mahasiswa, karena ada judge sebagai mahasiswa pemikir yang dituntut untuk mem-baca buku dan otamatis membawa buku tebal-tebal gitu. Saya tidak ingin membandingkan mahasiswa sekarang itu seperti apa, karena me-mang situasinya pun berbeda. Entah mahasiswa sekarang tertanam ima-ge apa ketika aktif dikajian, tapi di zaman saya elit mahasiswa adalah judge untuk mahasiswa yang aktif di forum kajian atau diskusi.

Apa forum kajian saat itu terus

mengalami peningkatan peminat? Forum kajian atau diskusi setahu

saya sempat mengalami tingkat pun-cak peminat itu sekitar kira kira ta-hun 1999-2000, yaitu 60 orang lebih setiap kajian. Minat tinggi tersebut karena tema-tema yang diangkat sangat aktual, serta pembicaranya pula merupakan tokoh-tokoh ter-nama. Dan mungkin penurunan terjadi setelah reformasi sampai sekarang.

Menurut Anda, apa yang me-nyebabkan menurunnya gairah mahasiswa saat ini terhadap forum kajian atau diskusi ?

Mungkin karena teknologi, se-hingga itu merupakan salah satu faktor penurunan minat. Tapi tetap saja diskusi langsung saya kira pen-ting, yang namanya dialog itu perlu lawan untuk mendialogkan ide atau gagasan kita sebagai mahasiswa. Kalau dari internet atau buku saja yang kita jadikan patokan mening-katkan intelektualitas, ya enggak berkembang, informasi kan harus didiskusikan agar ada dialektika un-tuk memecahkan masalah.

Seberapa pentingkah kajian atau diskusi di tengah arus teknologi sekarang ini?

Saya rasa sangat penting, ma-hasiswa adalah masa mencari dan terus mencari informasi. Jika masih fase mencari saya rasa harus ada sosok atau lawan diskusi, sehingga kita menemukan fase berdialektika dengan apa yang kita pelajari atau di akses .

Bagaimana cara untuk mem-bangkitkan gairah minat mengikuti forum kajian atau diskusi pada za-man dulu terhadap generasi saat ini ?

Kita realisasikan saja, seseorang yang memiliki ide desain sebuah

cangkir akan sangat dibayar tinggi dibandingkan dengan pekerja yang membuat cangkir tersebut. Di sini kita dapat menarik benang me-rah bahwa, kita sebagai mahasiswa harus membangkitkan sendiri ke-sadaran. Dengan forum kajian atau diskusi adalah wadah untuk mene-mukan ide atau gagasan baru yang nantinya akan lebih dihargai tinggi dibanding dengan orang yang hanya menjalankan ilmu atau ide yang sudah ada, karena tidak mengem-bangkan dengan interaksi. Saya rasa ada cara lain selain mengikti forum kajian, untuk meningkatkan intele-ktualitas mahasiswa. Salah satunya ya di organisasi lain, baik intra mau-pun ekstra.

Apa pesan Anda untuk maha-siswa saat ini dalam menyeimbang-kan pola fikir tersebut, hal ini juga untuk membangkitkan minat ma-hasiswa dalam forum kajian atau diskusi ?

Pertama, Saya tegaskan tantangan saat ini sangat besar untuk bertin-dak global, nah konteks global yang sangat kompetitif , kreativitas men-jadi salah satu nilai. kita bisa kreatif harus memiliki pula pengetahuan yang banyak pula. Setelah itu penge-tahuan harus dapat kita interaksikan melalui berbagai diskusi. Tentunya sekarang jangan terbelenggu dalam model pembelajaran didalam kam-pus saja.

Kedua, saya tekankan kembali fikiran atau ide itu harus didialog-kan melalui berbagai kajian. Karena memang interaksi adalah wadah kita meningkatkan nilai plus peng-etahuan kita lebih meningkat, De-ngan aktif di forum kajian ataupun organisasi lainnya, kita akan tahu siapa diri kita, jati diri diri kita sebe-narnya. Saya percaya untuk menca-pai kesuksesan ilmu hanya berperan 40 %, selebihnya ialah interaksi.

STITUT usai mengisi seminar ‘Membongkar Jaringan Tero-ris di Kampus’ di Student Cent-er(22/6).

Dirinya menghimbau UIN harus bisa masuk ke dalam berba-gai diskusi maupun kajian forum seperti itu agar dapat mendeteksi paham-paham dan ajaran-ajaran apa yang berkembang dalam fo-rum diskusi tersebut.

“UIN juga harus mensosial-isasikan kegiatan yang berwa-wasan kebangsaan, toleran dan pluralis kepada para mahasiswan-ya. Hal terburuk pada pemaha-man radikal yang diajarkan pada forum kajian maupun diskusi tersebut bisa menjerumuskan ke dalam kasus terorisme,” tam-bahnya.

Konteks mahasiswa ideal leb-ih berpeluang di masa kini

Rawan indoktrinasi paham radikal

Terkait urgensi forum kajian dan diskusi, Zaki Mubarok, Sek-prodi Ilmu Politik dan Peneliti Radikalisme di kampus UIN Syarif Hidayatullah, mengata-kan banyak mahasiswa yang be-lum mempunyai background yang cukup, mereka kebanyakan anak semester awal yang disasar, seh-ingga belum memiliki pemikiran matang. Mereka ini yang disalah-gunakan, diberikan materi-materi yang sangat tidak kondusif.

“Kelompok Islam radikal menggunakan instrumen kebi-jakan akademik untuk mencari pengikut, jadi memang dalam demokrasi seperti itu, permasala-hannya mereka mengajarkan hal yang menentang konstitusi,” katanya saat ditemui oleh IN-

Bagi Taufik Rigo, alumni IAIN dan mantan aktifis ‘98, dirinya merasa kurang beruntung dari pada mahasiswa pasca reformasi. Menurutnya, era tersebut jauh lebih hedonis, dan relatif ter-giur karena mall dan plaza baru berkembang.

Tekanan tirani begitu represif terhadap segala kegiatan maha-siswa yang dinilai menentang rezim kala itu tidak memungkin-kan adanya idealisme. Jika ada yang menentang rezim saat itu, harus siap berhadapan dengan operasi intelijen dan lebih berat resikonya. “Adik-adik (maha-siswa kini, red) lebih beruntung, jadi masalah idealisme adalah pilihan,” tuturnya kepada INSTI-TUT (15/6).

Sambungan..Forum Kajian dan Diskusi, masihkah?.

Ralat

Tabloid Edisi XIII/Mei 2011

Halaman 2, Kolom 2

Komite Mahasiswa Universitas (KMU) seharusnya

Kongres Mahasiswa Universitas (KMU)

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 14

Edisi XIV/Juni 2011 Tustel 16

Susur malam Fly Over CiputatFoto: Ibnu Affan & Iswahyudi

Saat malam hari dapat ditemukan suatu hal

yang unik dan menarik, selain itu terdapat sua-tu kepuasan tersendiri jika momen tersebut bisa diabadikan. Beri-kut ini beberapa foto pilihan redaksi LPM

INSTITUT saat menyu-suri tiap sudut jalan di sekitar pasar Ciputat (25/6), dengan tema

“Susur Malam Fly Over Ciputat”.

Kirim foto Anda ke [email protected] untuk dipamerkan di rubrik Tus-tel, foto dalam format JPEG beserta narasinya. Tema tustel untuk tabloid se-

lanjutnya adalah ‘Air’.