TABLOID INSTITUT EDISI 33

16
Edisi XXXIII/September 2014 Email [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi 085694801232 LAPORAN UTAMA LAPORAN KHUSUS KAMPUSIANA Mempertanyakan Kualitas Buku Ajar Menan Raja Baru UIN Jakarta Gawat! Antusias Diskusi Mahasiswa Hilang Hal: 2 Hal: 4 Hal: 5 Terbit 16 halaman www.lpminstut.com lpminstut @lpminstut Darurat Penerbitan Kampus Hidup Segan Mati Tak Mau Sebagai organisasi pendukung menuju universitas riset, kondisi UIN Jakarta Press tak terurus karena tidak termasuk dalam struktur formal. Lantas, bagaimana cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas berbasis riset? Terhitung sejak 2003, UIN Jakarta ingin bergeser dari teaching university menjadi research university atau uni- versitas riset. Bagi universitas riset, kegiatan riset dan publikasi karya tulis dosen menjadi prioritas. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, me- nyatakan untuk mewujudkan UIN Jakarta menjadi universitas riset, kam- pus harus mampu menerbitkan artikel ilmiah dosen baik di dalam maupun luar negeri. Karenanya, perlu penda- naan yang lebih besar dan teratur un- tuk penerbitan di UIN Jakarta. Sama halnya Azra, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Irfan Abubakar, mengungkapkan publikasi ilmiah merupakan jendela bagi pergu- ruan tinggi. Riset dan publikasi ilmiah menjadi tantangan terberat UIN Ja- karta ke depan. “Makanya, UIN perlu mengevaluasi dua hal tersebut,” kata Irfan, Rabu (1/10). Alih-alih menjadi universitas riset, UIN Jakarta Press sebagai organisasi pendukung malah tidak termasuk dalam struktur formal. Hal ini, meng- akibatkan UIN Jakarta Press minim staf dan karya karena tak mendapat dana operasional. Terlihat dari jumlah terbitan yang tidak menentu di setiap tahun. Berbeda dengan UIN Jakarta, UIN Malang memasukkan UIN Malang Press ke dalam struktur formal. Fak- tor inilah yang membuat UIN Malang Press lebih berkembang dibanding UIN Jakarta Press. Padahal, kedua universitas ini sama-sama bersta- tus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Usaha (BLU). Status dan kondisi UIN Malang Press yang berkembang turut mem- bantu UIN Malang mewujudkan cita- citanya menjadi universitas riset. Tak hanya membantu, UIN Malang Press juga bisa menjadi sarana promosi aka- demik yang baik. “Apalagi karya-kar- ya dosennya dipasarkan,” tutur Abdul Halim, salah satu staf redaksi UIN Malang Press, Jumat (26/9). Menanggapi perbedaan itu, Direk- tur UIN Jakarta Press tahun 2002- 2006, Abudin Nata, mengatakan UIN Jakarta Press memang tidak termasuk struktur formal karena pemerintah ingin membentuk lembaga yang mis- kin struktur tapi kaya fungsi. “Sebab struktur akan berimplikasi pada ang- garan,“ kata Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) itu, Selasa (23/9). Namun, kata Abudin, kondisi UIN Jakarta Press yang tak masuk dalam struktur formal bisa menghambat mimpi UIN Jakarta menuju univer- sitas riset. Meski bukan satu-satunya faktor, UIN Jakarta Press merupakan lembaga yang penting untuk men- dorong hal tersebut. “UIN Jakarta Press harus dihidupkan dan mampu bekerja sama dengan penerbit dalam dan luar negeri,” ungkapnya. Senada dengan Abudin, Direktur Erika Hidayanti Bersambung ke hal. 15 kol. 2

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 33

Edisi XXXIII/September 2014 Email [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi 085694801232

LAPORAN UTAMA LAPORAN KHUSUS KAMPUSIANAMempertanyakanKualitas Buku Ajar

Menanti Raja BaruUIN Jakarta

Gawat! AntusiasDiskusi Mahasiswa Hilang

Hal: 2 Hal: 4 Hal: 5

Terbit 16 halaman www.lpminstitut.com lpminstitut @lpminstitut

DaruratPenerbitan

Kampus

Hidup Segan Mati Tak MauSebagai organisasi pendukung menuju universitas riset, kondisi UIN Jakarta Press tak terurus karena tidak

termasuk dalam struktur formal. Lantas, bagaimana cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas berbasis riset?

Terhitung sejak 2003, UIN Jakarta ingin bergeser dari teaching university menjadi research university atau uni-versitas riset. Bagi universitas riset, kegiatan riset dan publikasi karya tulis dosen menjadi prioritas.

Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, me-nyatakan untuk mewujudkan UIN Jakarta menjadi universitas riset, kam-pus harus mampu menerbitkan artikel ilmiah dosen baik di dalam maupun luar negeri. Karenanya, perlu penda-naan yang lebih besar dan teratur un-tuk penerbitan di UIN Jakarta.

Sama halnya Azra, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Irfan Abubakar, mengungkapkan publikasi ilmiah merupakan jendela bagi pergu-ruan tinggi. Riset dan publikasi ilmiah menjadi tantangan terberat UIN Ja-karta ke depan. “Makanya, UIN perlu mengevaluasi dua hal tersebut,” kata Irfan, Rabu (1/10).

Alih-alih menjadi universitas riset, UIN Jakarta Press sebagai organisasi pendukung malah tidak termasuk dalam struktur formal. Hal ini, meng-akibatkan UIN Jakarta Press minim staf dan karya karena tak mendapat dana operasional. Terlihat dari jumlah terbitan yang tidak menentu di setiap tahun.

Berbeda dengan UIN Jakarta, UIN Malang memasukkan UIN Malang Press ke dalam struktur formal. Fak-tor inilah yang membuat UIN Malang Press lebih berkembang dibanding UIN Jakarta Press. Padahal, kedua universitas ini sama-sama bersta-tus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Usaha (BLU).

Status dan kondisi UIN Malang Press yang berkembang turut mem-bantu UIN Malang mewujudkan cita-citanya menjadi universitas riset. Tak hanya membantu, UIN Malang Press juga bisa menjadi sarana promosi aka-demik yang baik. “Apalagi karya-kar-ya dosennya dipasarkan,” tutur Abdul Halim, salah satu staf redaksi UIN Malang Press, Jumat (26/9).

Menanggapi perbedaan itu, Direk-tur UIN Jakarta Press tahun 2002-2006, Abudin Nata, mengatakan UIN Jakarta Press memang tidak termasuk struktur formal karena pemerintah ingin membentuk lembaga yang mis-kin struktur tapi kaya fungsi. “Sebab struktur akan berimplikasi pada ang-garan,“ kata Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) itu, Selasa (23/9).

Namun, kata Abudin, kondisi UIN

Jakarta Press yang tak masuk dalam struktur formal bisa menghambat mimpi UIN Jakarta menuju univer-sitas riset. Meski bukan satu-satunya faktor, UIN Jakarta Press merupakan lembaga yang penting untuk men-dorong hal tersebut. “UIN Jakarta Press harus dihidupkan dan mampu bekerja sama dengan penerbit dalam dan luar negeri,” ungkapnya.

Senada dengan Abudin, Direktur

Erika Hidayanti

Bersambung ke hal. 15 kol. 2

Laporan Utama2

Salam Redaksi

Pemimpin Umum: Selamet Widodo | Sekretaris Umum: Gita Juniarti | Bendahara Umum: Dewi Maryam | Pemimpin Redaksi: Muawwan Daelami | Redaktur Cetak: Gita Nawangsari E.P | Redaktur Online: Adea Fitriana | Web Master: Abdurrohim Al Ayyubi | Pemimpin Perusahaan: Azizah Nida Ilyas | Iklan & Marketing: Nur Azizah & Ahmad Sayid Muarief | Sirkulasi & Promosi: Nurlaela | Pemimpin Litbang: Karlia Zainul | Pendidikan: Siti Ulfah Nurjanah Riset & Dokumentasi: Anastasia Tovita & Adi Nugroho

Koordinatur Liputan: Thohirin Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Adi Nugroho, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam,Erika Hidayanti, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Maulia Nurul Hakim, Muawwan Daelami, Nur Hamidah, Nurlaela, Nur Azizah, Selamet Widodo, Siti Ulfah Nurjanah,

Syah Rizal, Thohirin Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Erika Hidayanti, Syah Rizal Karikaturis & Ilustrator: Nur Hamidah, Syah RizalEditor Bahasa: Maulia Nurul, Nur Hamidah, Thohirin

Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085694801232 Web: www.lpminstitut.com Email: [email protected].

Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang ber-tugas.______

Edisi XXXIII/September 2014

Sebagai lembaga penerbitan, UIN Jakarta Press tidak memiliki pembaca ahli yang terstruktur. Hal ini dikeluh-kan oleh salah satu dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Rosida Erowati. Pada 2011, ia dan rekannya sesama dosen menerbitkan buku ajar berjudul Sejarah Sastra Indo-nesia. Namun, setelah proses penerbi-tan, ia menemukan banyak kesalahan ketik.

Rosida menuturkan, dirinya kapok dan kecewa atas penerbitan yang me-makai nama kampus itu. “Setelah sele-sai menulis, ternyata salah ejaan, salah judul. Dibandingkan dengan Universi-tas Indonesia (UI), Universitas Gadjah mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Bayangkan, kampus ini tidak menggunakan tim pembaca ahli,” katanya, Selasa (16/9).

Selain karena persoalan pembaca ahli, proses penyuntingan hingga per-cetakan buku ajar di UIN Jakarta Press memakan waktu selama enam bulan. Selama kurun waktu itu, Rosi-da merasa tidak maksimal, karena tidak ada komunikasi saat proses pe-nyuntingan dari pihak penerbit terkait kelayakan naskah yang ia tulis. “Kita sudah berusaha menulis sebaik mung-kin, tapi pertanyaannya apakah layak kalau dipublikasikan secara lebih luas. Aku jadi enggak bangga kalau diterbi-tin sama UIN Jakarta press,” tukas-nya.

Tidak adanya pembaca ahli di-akui oleh editor UIN Jakarta Press, Hamid Nasuhi. Ia menyatakan, pada tahun 2000-an, tim pembaca ahli te-

Berdasarkan Rancangan Undang-undang (RUU) tahun 2014 tentang sistem perbukuan, ketentuan pembaca ahli adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang bertugas memeriksa substansi naskah buku cetak sesuai dengan keahlian atau kepakarannya. Pembaca ahli biasanya terlibat dalam sebuah penerbitan.

lah dibentuk sesuai Surat Keputusan (SK) Rektor. “Editor yang dulu itu bekerja secara sukarela, karena eng-gak ada dana dari kampus, jadi mana mau orang bekerja secara sukarela. Harusnya sih ada editor, tapi di sini enggak ada,” keluhnya, Kamis (26/9).

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ini merasa kewalahan karena tidak ada editor. Untuk meminta pembaca ahli dari luar, ia ragu karena proses penyuntingan akan berlangsung lama dan membutuhkan dana sendiri. Ha-mid juga menyayangkan tidak adanya pembaca ahli dari berbagai bidang. “Untuk buku-buku yang khususnya bidang eksak, kita langsung layout saja tanpa edit,” ungkapnya.

Saat ini, hanya ia dan Direktur UIN Jakarta Press, Idris Thaha yang menjalankan penerbitan. Biaya pener-bitan buku berasal dari kantung pri-badi penulis yang ingin menerbitkan buku ajarnya. Selain itu, dana lainnya berasal dari hibah universitas.

Menanggapi kualitas buku ajar, salah satu pengamat pendidikan Uni-versitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rusydi Zakaria memaparkan, meka-nisme untuk pembakuan buku ajar di UIN belum begitu baik. Salah satunya tidak ada pembaca ahli dalam pener-bitan di UIN Jakarta Press. Oleh ka-renanya, ia menilai kualitas buku ajar yang diterbitkan pun perlu dipertanya-kan.

Tambahnya, info dan nilai buku ajar yang diterbitkan tidak akurat tanpa melewati proses validasi dan penyuntingan. Jika hal ini terus ter-

jadi, mahasiswa akan terkena dampak negatif. “Ketika mahasiswa membuat skripsi dan buku sumbernya belum tervalidasi, ya nanti kalau ditanya pen-dapat sahih dari mana, bagaimana? Secara keilmuan pun, mutu skripsinya menjadi rendah,” tutur Rusydi, Rabu (1/10).

Lain hal dengan UIN Jakarta Press, staf redaksi UIN Malang Press, Abdul Halim menyatakan proses pe-nyuntingan naskah dilakukan oleh tim konsultan dan selanjutnya oleh edi-tor. Tim ini bertugas mendiskusikan sebuah naskah yang memiliki potensi untuk diterbitkan tanpa edit, diterbit-kan dengan proses edit, atau tidak di-terbitkan sama sekali.

Proses penerbitan di UIN Ma-lang Press diawali dengan pengajuan naskah pada bagian redaksi, lalu dibahas oleh tim konsultan mengenai kelayakan naskah untuk diterbitkan. Setelah diuji kelayakan, penulis me-ngirimkan kembali naskahnya pada penerbit untuk diedit oleh editor.

Manajer redaksi penerbit Mizan, Suhindrati Sinta menuturkan vitalnya pembaca ahli atau yang disebut editor ahli di sebuah penerbitan buku. Ia me-nentukan apakah sebuah naskah layak untuk disunting, diterbitkan, atau malah ditolak. Untuk menjadi editor ahli diperlukan ketelitian, penguasaan Ejaan yang Disempurnakan (EyD) yang baik, serta pengalaman. “Selain itu, editor juga disesuaikan dengan naskah yang masuk. Jadi dilihat juga latar belakang orangnya,” ungkapnya, Jumat (26/9).

Nur Hamidah

Salam sejahtera, pembaca budiman.

Untuk kali kesekian, demi memenuhi tanggung jawab sebagai Lembaga Pers Mahasiswa, kami hadirkan kembali Tabloid INSTITUT ke hadapan pembaca budiman. Selain memenuhi rasa tanggung jawab, keinginan untuk terus menggali informasi dan menulis juga telah mendarah-dag-ing di jiwa kami.

Seusai libur semester lalu, kami hadirkan Newsletter edi-si Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) yang memang menjadi terbitan rutin LPM INSTITUT setiap tahun ajaran baru. Kami mengerahkan adik-adik calon anggota LPM IN-STITUT untuk meliput dan menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama OPAK tersebut. Meskipun sebagai calon anggota, mereka telah kami bekali ilmu kejurnalistikan, ter-masuk Kode Etik Jurnalistik. Sebagai lembaga resmi, kami sangat serius dalam hal peliputan. Meskipun waktu kami masih terbagi dengan urusan perkuliahan dan hal lain.

Pembaca budiman, LPM INSTITUT sangat terbuka dalam hal kritik maupun saran. Kami yakin, kritik dan sa-ran dari pembaca budiman bertujuan untuk membangun LPM INSTITUT lebih maju. Untuk itu, selain membaca, kami juga mengharapkan kesediaan pembaca sekalian un-tuk memberi masukan-masukan kepada lembaga ini.

Pada edisi kali ini, Tabloid INSTITUT menghadirkan informasi mengenai organisasi nonstruktural milik UIN Jakarta, yaitu UIN Jakarta Press. Sedikit banyaknya, kami menulis tentang keinginan UIN Jakarta menjadi universitas riset. Namun, dalam pelaksanaannya masih ditemui berba-gai masalah.

Selain hambatan-hambatan yang ditemui dalam pengem-bangan UIN Jakarta Press, Tabloid INSTITUT edisi 33 ini juga membahas soal Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membatasi masa studi mahasiswa selama lima tahun.

Dalam peliputan edisi kali ini, reporter kami banyak me-nemui kesulitan. Mulai dari kesulitan membagi waktu dengan tugas-tugas lain, juga kesulitan menemui beberapa narasumber. Namun, kesemuanya tidak menjadi alasan bagi kami untuk tidak serius dalam melaksanakan tugas.

Kami sebagai salah satu lembaga yang berada di bawah naungan UIN Jakarta, selalu ingin membantu universitas ini untuk terus maju dan berkembang. Demi mewujudkan itu semua, kami juga mengajak pembaca budiman untuk turut serta mewujudkan impian-impian itu.

Tabloid INSTITUT adalah wujud bakti kami terha-dap kampus ini. Selain itu, Tabloid INSTITUT juga yang mendekatkan kami kepada pembaca sekalian. Untuk itu, mari membaca Tabloid INSTITUT. Salam mahasiswa, salam perjuangan!

MempertanyakanKualitasBuku Ajar

Seorang mahasiswi tengah melihat buku ajar yang dipajang dalam lemari kaca di lobi Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan (FITK), Jumat (4/10). Beberapa di antaranya yaitu buku terbitan UIN Jakarta Press.

Dok. Hamidah/IN

S

Akreditasi JurusanUIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

Laporan Utama 3

Info Grafis

Edisi XXXIII/September 2014

Menanggapi hal tersebut, Direktur UIN Jakarta Press Idris Thaha menje-laskan, minimnya jumlah buku yang diterbitkan karena tidak ada anggaran dari universitas. Berbeda pada tahun 2013, UIN Jakarta menganggarkan dana untuk percetakan dan hibah dos-en, Rp10 juta untuk individu dan Rp15

juta untuk kelompok melalui UIN Ja-karta Press.

Sedangkan untuk tahun ini, UIN Jakarta Press tak mendapat kucuran dana sepeser pun. “Karena tahun ini wakil rektor bidang akademik tak men-gadakan program penerbitan buku ajar,” ujarnya, Senin (22/9). Idris me-nambahkan, tak adanya dana pener-bitan buku ajar menyebabkan seluruh pengelola UIN Jakarta Press seperti

editor dan pembaca ahli tak digaji.Kondisi ini diamini oleh Direk-

tur UIN Jakarta Press tahun 2002-2006, Abudin Nata. Ia menjelas-kan, sejak berdirinya lembaga penerbitan, universitas tidak per-nah menganggarkan sedikit pun dana untuk biaya operasional.

Hal tersebut karena UIN Press merupakan lembaga otonom yang

tidak masuk satuan kerja universitas.Sebagai lembaga otonom, UIN

Jakarta Press dapat mencari dana un-tuk keberlangsungan hidupnya. Tapi nyatanya, UIN Jakarta Press dilarang mencari keuntungan dari usahanya

Demi meningkatkan integritas keilmuan, UIN Jakarta menerbitkan buku ajar melalui UIN Jakarta Press. Buku ajar berfungsi sebagai buku utama dan penunjang kuliah mahasiswa. Sebagai penerbit nonstruk-tural, UIN Jakarta Press hanya mampu menerbitkan buku sekitar 200 ek-semplar. Jumlah itu dibagikan kepada dosen, perpustakaan utama dan fakultas. Karena kuantitas terbitan minim, mahasiswa terpaksa memfo-tokopi buku ajar.

lantaran lembaga penerbitan ini meng-gunakan nama UIN Jakarta.

Ketiadaan dana tetap membuat UIN Jakarta Press tak berhenti mener-bitkan buku. Salah satu strategi yang dilakukan saat itu yakni menjalin kerja sama dengan penerbit lain. “UIN Ja-karta Press harus mandiri karena tidak mempunyai apa-apa, sedangkan jika ingin menjadi unit usaha sendiri akan berat,” kata Abudin, Kamis (23/9).

Semasa Abudin menjabat, lembaga penerbitan ini bekerja sama dengan be-berapa penerbit yang kredibel, di anta-ranya Raja Grafindo, Angkasa, dan penerbit lain yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Namun, bentuk kerja sama ini tidak berlanjut hingga saat ini. Sebab, sele-pas Abudin menjabat, tidak ada lagi

”“UIN Jakarta Press

harus mandiri karena tidak mempunyaiapa-apa, sedangkan

jika ingin menjadi unit usaha sendiri akan berat

staf yang mengurus.Pengajuan UIN Jakarta Press un-

tuk masuk ke dalam struktur universi-tas sudah pernah dilakukan. Namun, perdebatan terjadi karena beban ang-garan akan lebih besar jika struktur UIN Jakarta semakin gemuk. Selain itu, diperlukan pula proses yang lama dalam pembentukan lembaga jika in-gin berdiri sendiri.

Penerbit BaruMulai tahun 2014, Lembaga Pener-

bitan dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) dipercayai oleh universitas dalam penerbitan buku ajar karena memiliki Pusat Penelitan dan Pener-

bitan (Puslitpen). “LP2M telah masuk ke dalam struktur universitas, sehingga memiliki anggaran untuk memproses penerbitan buku,” kata salah satu edi-tor UIN Jakarta Press, Hamid Nasuhi (29/9).

LP2M sendiri telah mendesain pro-gram penerbitan buku mulai tahun ini. Naskah yang masuk akan diproses oleh editor dan pembaca ahli. Ini juga dijelaskan oleh Husnul Khatim, Staf Pengelola LP2M. Ia menuturkan, “buku ajar tahun ini sudah berada pada tahap evaluasi. Naskah yang kita terima diproses oleh editor untuk dikoreksi hingga menjadi draf.” Rabu (1/10).

Penerbit NonstrukturalTelantar

Maulia Nurul

Info Grafis: Syah Rizal / Sumber: BAN PT

Dok. Maulia/IN

S

Laporan Khusus4 Edisi XXXIII/September 2014

Dua Mata PisauPercepatan Masa Studi

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Tahun 2014 Pasal 17 Ayat 3 Hu-ruf D tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi mengharuskan mahasiswa strata satu (S1) menyelesaikan kuliah maksimal 5 tahun. Hal tersebut laiknya dua bilah mata pisau lantaran menuai pro-kontra dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga pengamat pendidikan.

Salah satu mahasiswa yang kebera-tan dengan adanya aturan baru ialah Virdika Rizky Utama. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu tak setuju dengan peraturan yang memaksa ma-hasiswa menyelesaikan kuliah dalam waktu 5 tahun.

Virdi menilai, adanya peratu-ran tersebut akan menurunkan mi-nat mahasiswa untuk berorganisasi. Pasalnya, sejak 2010 UNJ menerap-kan batas studi mahasiswa menjadi enam tahun, minat mahasiswa UNJ untuk aktif berorganisasi menurun. “Padahal organisasi menuntun ma-hasiswa jadi lebih disiplin, mengatur waktu, dan membangun karakter,” katanya, Kamis (25/9).

Sementara itu, Muhammad Nu’man, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setuju dengan adanya batas kuliah lima ta-hun. “Percepatan masa studi akan membuat mahasiswa termotivasi un-tuk lebih cepat menyelesaikan studi-nya,” ucap Nu’man, Rabu (1/10).

Namun, menurut pengamat pen-didikan, H.A.R. Tilaar, lulus strata satu (S1) dalam lima tahun bukanlah hal yang mudah. Hal itu disebabkan budaya akademis yang belum ada di Indonesia. “Ilmu pengetahuan me-mang semakin berkembang cepat, namun apakah ini mudah ditempuh mahasiswa dengan metode pembela-jaran saat ini? Apalagi fasilitas kam-pus juga masih kurang,” terangnya, Kamis (25/9).

Menanggapi respons negatif, Di-rektur Pembelajaran dan Kemaha-

siswaan, Direktorat Jenderal Per-guruan Tinggi, Kemendikbud, Illah Sailah, menjelaskan, Per-mendikbud bertujuan menca-pai pendidikan bermutu. Ia juga percaya, aturan tersebut tidak akan membatasi ma-hasiswa untuk berorganisasi.

“Untuk lulus, mahasiswa harus mencapai 144 SKS. Jika satu se-

mester 18 SKS, itu hanya 48 jam,

masih ada waktu luang 60 jam untuk mahasiswa berorganisasi,” paparnya.

Banjir Pengangguran Berpendidi-kan

Dilansir dari republika.co.id, Wak-il Menteri Pendidikan dan Kebu-dayaan, Musliar Kasim mengatakan Permendikbud ini harus diberlaku-kan untuk mendorong para maha-siswa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. “Mahasiswa Perguruan Ting-gi Negeri (PTN) kalau tidak lulus-lulus kuliah, misalnya sampai tujuh tahun akan menjadi beban negara,” pungkasnya, Selasa (19/8).

Akan tetapi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2014, pengangguran bergelar sarjana mencapai 398.298 orang. H.A.R Ti-laar mengatakan, jika Permendik-bud diterapkan, pengangguran dari kalangan sarjana semakin banyak dan itu juga akan menjadi beban pemerintah.

Ia menambahkan, semua itu ter-jadi karena saat ini universitas hanya mencetak pekerja, bukan meluluskan mahasiswa yang mampu membuat lapangan pekerjaan. “Alhasil, pen-didikan kita hanya mencetak robot yang mempunyai ijazah, tapi tidak tahu ijazahnya untuk apa. Harusnya universitas jangan hanya mencetak

pengangguran saja, tapi harus mem-perbaiki kualitas pendidikan,” tan-dasnya.

Paling Lambat Diterapkan Pada 2016

Kesimpangsiuran informasi me-ngenai realisasi Permendikbud sem-pat terjadi. Tapi, Illah mengatakan, setiap universitas diberi tenggang waktu sampai 2016 untuk menerap-kan aturan tersebut. “Peraturan itu kan peraturan peralihan, jadi para rek-tor diberikan waktu dua tahun sampai 2016 untuk menimbang kapan akan memberlakukan peraturan tersebut,”

jelas Illah, Selasa (23/9) malam. Saat ini, UIN Jakarta belum me-

nerapkan Permendikbud No.49 Ta-hun 2014. Apalagi, saat ditemui re-porter INSTITUT, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Mohamad Mats-na, belum mengetahui peraturan itu. Tapi, ia mengatakan, UIN pasti akan memberlakukan peraturan tersebut kalau sudah menjadi Permendikbud.

Di sisi lain, jelas Matsna, jika pera-turan tersebut diterapkan akan ban-yak mahasiswa UIN yang di-drop out. “Dulu kan 7 tahun, itu aja keteteran, banyak yang di-drop out apalagi lima tahun,” tuturnya, Senin (29/9).

Syah Rizal

”“Padahal

organisasi menuntunmahasiswa jadi

lebih disiplin,mengatur waktu,dan membangun

karakter

Dok. INSTITU

T

Sekretaris Senat Universitas, Su-wito, Rabu (1/10) mengatakan bahwa tiga nama–Amin Suma, Dede Rosya-da dan Jamhari–dipastikan maju pada pemilihan rektor (pilrek) UIN Jakarta 14 Oktober mendatang. Namun, ke-pada INSTITUT, ketiga nama tersebut enggan angkat bicara perihal pencalo-nannya menjadi rektor.

Setelah kandas pada pilrek 2010 silam, kini, Amin Suma kembali menjadi kandidat calon rektor UIN Jakarta periode 2015-2019. Namun, saat dihubungi melalui pesan singkat, mantan dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) itu belum mau komen-tar mengenai kabar pencalonannya. “Untuk soal itu, mohon maaf. Lain kali saja,” katanya, Senin (29/9).

Di lain kesempatan, eks Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Dede Rosyada juga tak berko-mentar banyak seputar desas desus dirinya menjadi salah satu kontestan pilrek. “Nanti saja. Itu kan belum resmi. Akan saya obrolkan dulu den-gan tim internal saya,” ujar Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) itu,

Tiga nama calon pengganti Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sudah muncul. Tak kurang dua minggu, satu nama akan keluar sebagai penguasa baru UIN Jakarta.

saat ditemui di gedung Kementrian Agama, akhir Juli lalu.

Nama terakhir yang dipastikan maju di pilrek adalah Jamhari. Meski mulanya tak diprediksi bakal maju, namun nama Wakil Rektor IV Bidang Pengembangan Lembaga UIN Jakarta itu dipastikan melenggang di pilrek nanti. Sama halnya dengan dua calon lain, Jamhari juga enggan bicara saat dimintai keterangan.

Awalnya, nama Bahtiar Effendy sempat digadang-gadang menjadi salah satu kandidat calon pengganti Komaruddin. Namun, hingga akhir masa penyerahan formulir, nama Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu tak terdaftar menjadi salah satu kontestan pilrek. Menurut salah satu anggota senat, Oman Fathurrahman, Jumat (19/9), masalah kesehatan membuat Bahtiar mengurungkan niatnya maju di bursa pilrek.

Kepada INSTITUT, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pilrek UIN Jakarta, Reti Indarsih mengatakan, se-lama 18 hari masa penjaringan calon

rektor (12-30 September), KPU me-nerima sembilan formulir pendaftaran dari 37 lembar formulir yang dibagi-kan. Sebelumnya, 37 formulir tersebut dibagikan KPU pilrek kepada semua guru besar (profesor) UIN Jakarta yang dinilai telah memenuhi syarat menjadi calon rektor.

Dari sembilan formulir yang diterima KPU, enam di anta-ranya menyatakan tak ber-sedia menjadi calon rektor. Sedangkan tiga formulir lainn-ya menyatakan ber-sedia. Namun, Reti ogah menyebut kes-embilan nama itu. “Se-baiknya tanya ke ketua senatnya saja,” ujarnya, Rabu (1/10).

Reti me-nuturkan, para nama calon rektor yang te-lah disahkan oleh senat bakal bersa-ing memperoleh suara terbanyak pada 14 Oktober menda-tang. Ketiga nama calon rektor akan dipililh secara tertutup oleh 95 ang-gota senat UIN Jakarta yang terdiri

dari 64 guru besar (profesor), 25 per-wakilan dosen dari seluruh fakultas, dan enam pejabat kampus bukan guru besar.

S e l a n j u t n ya , satu nama peraih suara terbanyak

akan diserahkan ke menteri agama untuk

dilantik menjadi rektor baru UIN Jakarta. Pelanti-

kan akan dilaksanakan pasca masa jabatan re-

ktor sebelumnya, Ko m a r u d -

din Hi-dayat, ber-

akhir pada 5 Januari 2015.

R e n c a n a -nya, pada 14 Oktober nanti pemilihan rek-

tor bakal digelar. S e s u a i keputu-

san Men-teri Agama

Nomor 11 Tahun 2014 Pasal 6 ayat 2 tentang Pengangkatan dan Pem-berhentian Rektor, pemilihan rektor UIN/IAIN dilakukan oleh senat uni-

versitas secara tertutup dengan tidak melibatkan mahasiswa.

Mampu Menjaga IdentitasPasca dilantik, seabrek permasala-

han bakal menanti rektor baru kampus peradaban ini. UIN Jakarta selama ini dikenal khalayak lantaran mampu memproduksi wacana keislaman di Indonesia. Karena itu, menurut Di-rektur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Ir-fan Abubakar, tantangan bagi rektor baru nanti adalah mampu menjaga dan memelihara identitas UIN Jakarta sebagai pusat studi kajian Islam di In-donesia.

Lebih-lebih, menurut Irfan, rek-tor baru nanti bisa menjadi kiblat pemikiran keislaman Indonesia yang toleran dan universal. Karena menu-rutnya, kelahiran UIN Jakarta tidak lepas dari semangat umat Islam In-donesia dalam memelihara nilai-nilai Islam Indonesia yang khas.

Persoalan lain, mengenai niat UIN Jakarta menuju universitas bertaraf internasional. Irfan mengatakan, pe-ningkatan kuantitas dan kualitas riset perlu perhatian serius dari rektor baru nanti. “Bukan hanya bermutu, tapi juga punya relevansi dan manfaat bagi masyarakat,” katanya, Rabu (1/10).

Menanti Raja Baru UIN JakartaThohirin

Sumber Foto: Internet

Kampusiana 5Edisi XXXIII/September 2014

Hal demikian dialami anggota aktif Forum Diskusi Ciputat (For-maci) Abdallah, menurutnya, forum diskusi dan kajian di UIN Jakarta terancam punah. “Forum Maha-siswa Ciputat (Formaci) misalnya, hanya 10 sampai 15 orang saja ang-gota yang aktif mengikuti diskusi. Padahal di UIN Jakarta ada sekitar 22.000 mahasiswa aktif, itu sisanya pada ke mana?” ujar mahasiswa se-mester 11 Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora, Rabu (1/10).

Pergantian Student Government (SG) ke Senat dirasakan Abdallah sangat berpengaruh terhadap gairah berdiskusi mahasiswa. Saat masa SG, kata Abdallah, semarak kajian sangat terasa. Tapi, sistem perkulia-han saat ini dengan beban SKS yang padat menuntut mahasiswa untuk cepat lulus. “Saya melihat sistem kampus yang seperti itu berimbas pada forum diskusi” paparnya.

Senada dengan Abdallah, Kor-dinator forum diskusi Komoenitas Lesehan Keboedajaan (Kolekan), Azami menjelaskan, sejak pergan-

Berdiskusi dan membaca dirasa tak lagi menjadi kebutuhan. Kesa-daran akan pentingnya kebutuhan tersebut digalakan berbagai forum diskusi untuk menjaga nilai intelektual dan akademis mahasiswa. Undan-gan untuk mengikuti forum diskusi pun dilakukan, ajakan perseorangan, menyebar pamflet dan leaflet secara langsung maupun media sosial juga sudah dilakukan, tetapi hasilnya nihil.

tian SG ke senat, Kolekan vakum be-regenerasi. “Hampir setengah tahun kita mati suri atau collapse pada 2010-2011,” jelas mahasiswa jurusan Seja-rah Kebudayaan Islam, Rabu (1/10).

Sedangkan Andi Kristianto, Pembina Lembaga Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan, forum diskusi mesti meninjau kembali metode dan pola berdiskusi agar mahasiswa mau ber-gabung. Menurutnya, forum diskusi perlu memanfaatkan semua saluran komunikasi saat megundang maha-siswa untuk berdiskusi. “Harus kre-atif saat mengajak orang lain,” pa-parnya ketika dihubungi INSTITUT, Rabu malam (1/10).

Inovasi dan perubahan telah dilakukan oleh Kolekan dan For-maci dalam menarik mahasiswa untuk ikut serta dalam forum dis-kusi. Azami mengatakan, Kolekan telah mengubah gaya diskusi yang bersifat ortodoks. Selain itu, lanjut Azami, menyambangi tempat kajian baru seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) juga menjadi inovasi Kole-kan. “Saat mengadakan diskusi,

Gawat!Antusias Diskusi Mahasiswa Hilang

Adi Nugroho

Sumber: www.sadargiz.com

“Jancuk, Jancuk, jangan cuma kuliah!” teriak mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta saat karnaval keliling kampus pada hari pertama UKM EXPO. Acara tersebut merupakan agenda tahunan UKM yang diselenggarakan untuk maha-siswa baru saat masa Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK). Namun, tahun ini berbeda. Acara istimewa UKM itu digelar setelah OPAK.

hun-tahun sebelumnya,” ujar ketua panitia UKM EXPO, Oky Primade-ka, Rabu (1/10).

Selain diisi dengan acara-acara yang edukatif, kata Oky, UKM EXPO kali ini juga lebih interaktif.

“Seperti seminar seni Islam, talk show handicraft, lomba nyanyi dan stand up comedy, penampilan-penampilan UKM, operasi bersih, dan nonton bareng,” jelas mahasiswa yang terga-bung di UKM Foriegn Language As-

sociation (FLAT) tersebut.Menurutnya, UKM EXPO sangat

penting bagi mahasiswa baru yang ingin tahu lebih dalam tentang UKM-UKM di UIN Jakarta. Meski demo UKM saat OPAK sudah dilakukan, bagi Oky itu saja belum cukup. Ka-rena menurutnya, UKM EXPO juga menjadi ajang pembuktian atas pan-dangan miring terhadap mahasiswa yang terlibat di UKM. “Banyak yang berpikir bahwa masuk UKM itu buruk, padahal tidak sedikit ang-gota UKM yang berprestasi secara akademis maupun non-akademis,” jelasnya.

Namun, Oky merasa kurang didukung oleh bagian kemaha-siswaan dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut. Sehingga, panitia UKM EXPO harus mengumpulkan dana swadaya dari masing-masing UKM dan harus bersusah payah mencari tempat. “H-1 kami baru da-pat tempat, itu pun separuhnya masih digunakan untuk parkir,” keluhnya.

Sementara itu, ketua Forum UKM, Fadilla Anwar mengatakan, UKM EXPO adalah sarana untuk menjaring mahasiswa baru agar tertarik bergabung dengan UKM. Ia menuturkan, UKM EXPO kali ini sengaja dibuat lebih interaktif agar mahasiswa baru tertarik untuk berkunjung.

Berkaitan dengan tema, Fadil menjelaskan, “JANCUK” Be Crea-tive and Innovative merupakan bentuk keprihatinan UKM terhadap maha-siswa baru. Ia memaparkan, tema tersebut dipakai untuk mengajak

mahasiswa baru aktif berorganisasi. “Jangan sampai mereka cuma kuliah pulang kuliah pulang (kupu-kupu), padahal organisasi itu penting,” ka-tanya.

Meski UKM EXPO terseleng-gara dengan dana yang minim, Fadil merasa senang karena anggota tiap UKM sangat antusias dengan kegi-atan-kegiatan UKM EXPO. “Mulai dari karnaval, seminar, lomba, ope-rasi bersih, nonton bareng, mereka sangat antusias,” kata Ketua Forum UKM itu.

Fadil berharap, UKM lebih so-lid dalam membangun kerjasama agar setiap kegiatan yang dilakukan sukses. Ia juga menghimbau agar mahasiswa baru ikut bergabung de-ngan UKM. Karena baginya, UKM merupakan tempat mahasiswa meng-asah bakat dan kreatifitas.

Salah satu mahasiswa baru yang berkunjung, Khori Bhaktiar Rahman mengatakan, UKM EXPO sangat membantunya mengenal kegiatan dan jenis UKM. Selain itu, lanjut Khori, UKM EXPO juga mem-buatnya tahu prestasi-prestasi UKM di dalam maupun luar negeri.

Namun, Khori menyayangkan lokasi UKM EXPO yang menurutnya tidak menarik. Stan-stan UKM yang sempit pun membuatnya tidak fokus saat mendengar informasi dari UKM yang ia kunjungi. “Terlalu sempit, bahkan satu tenda dua UKM,” ung-kap mahasiawa baru Jurusan Ke-sejahteraan Sosial (Kessos) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM).

Mahasiswa JANCUK!

Ahmad Sayid Muarief

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka tengah me-mimpin karnaval UKM EXPO di Kampus 1 UIN Jakarta, Rabu (24/9).

Kolekan juga mengundang teman-te-man Institut Kesenian jakarta (IKJ) agar memantik motivasi peserta diskusi,”paparnya.

Berbeda dengan Kolekan, untuk mengajak mahasiswa mengikuti fo-rum diskusi, Formaci menggunakan media sosial dalam menyebarkan pamflet dan leaflet. Namun, menu-rut Abdallah, mahasiswa sekarang tidak peduli akan berdiskusi, keter-tarikan mereka terhadap diskusi san-gat kurang. “Padahal, diskusi itu ke-

butuhan dan harus didasarkan oleh kesadaran, saya sendiri tidak bisa memaksa mahasiswa lain untuk ikut berdiskusi,” jelasnya.

Pentingnya mengikuti diskusi di-akui oleh Andi Kristianto. Ia mema-parkan, berdiskusi dapat melatih kecakapan berkomunikasi maupun beradu argumentasi dengan orang lain dalam berbagai hal. Sejatinya, ujar Andi, kesadaran dapat muncul dan tumbuh secara alami dalam diri seseorang. “Kesadaran itu mudah

menular, sebagaimana kemalasan yang juga mudah menjadi wabah yang merusak kita,” ungkapnya.

Abdallah bercerita, rezim represif yang membayangi pada tahun 80-an membuat mahasiswa lebih kritis dengan membentuk forum-forum diskusi. Namun, pascareformasi ia mempertanyakan daya kritis maha-siswa. “Bagaimana bisa kritis kalo mahasiswa sekarang dininabobokan di Seven Eleven dan Starbucks?” te-gas Adballah.

Dengan tema JANCUK (Jangan Cuma Kuliah) Be Creative and Innova-tive, UKM EXPO berlangsung dari 24-26 September di lapangan parkir Student Center (SC). “UKM EXPO tahun ini sangat berbeda dengan ta-

Dok. KMF Kalacitra

Survei6 Edisi XXXIII/September 2014

Mahasiswa Setuju Kuliah Lima Tahun

Pada 9 Juni lalu, Kementerian Pen-didikan dan Kebudayaan (Kemendik-bud) mengeluarkan Permendikbud No. 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional. Di mana pada Pasal 17 Ayat 3 Poin D, isinya menerangkan bahwa masa studi jenjang pendidikan S1 di-batasi menjadi 4-5 tahun saja dan masa studi jenjang pendidikan S2 dibatasi menjadi 2 tahun. Sebelumnya, batas waktu masa studi mahasiswa S1 ada-

lah 7 tahun.Untuk melihat respons mahasiswa

terhadap peraturan tersebut, Divisi Litbang INSTITUT melakukan survei kepada 100 orang mahasiswa UIN Ja-karta semester 3,5,7, dst. Berdasarkan hasil survei, 51% mahasiswa UIN Ja-karta sudah mengetahui adanya aturan baru tersebut, 42% mahasiswa belum mengetahui adanya pembatasan masa studi jenjang pendidikan S1, dan 7% si-

sanya tidak menjawab. Sementara itu, 19% mahasiswa mendapat informasi tersebut dari media sosial, 17% dari te-man, 14% dari media massa, dan 5% dari dosen.

Berdasarkan hasil suvei, 67% ma-hasiswa UIN Jakarta berpendapat, aturan baru Kemendikbud tidak mem-batasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan di luar perkuliahan, seperti berorganisasi, kerja part time, wirausa-

UIN Jakarta- Peralihan lokasi gedung parkir sementara di lapangan belakang SMK Triguna pun dipadati kendaraan bermotor setiap harinya. Hal tersebut menjadi pemandangan biasa bagi seluruh civitas akademika UIN Jakarta hingga proses pembangunan gedung parkir utama rampung. Lantaran lokasi parkir berada di luar area kampus, tentunya UIN Jakarta menyiapkan tingkat keamanan ekstra. Hal itu seperti yang diungkapkan Rahmat Hidayat selaku Koordinator Parkir UIN. “Pokoknya parkir di sini diberlakukan dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore,” tegasnya, Kamis (2/10).

Peraturan tersebut diberlakukan agar semua kendaraan bisa masuk area kampus ketika malam hari. Namun, bagi Rahmat, masih ada saja mahasiswa yang membandel, membiarkan motornya berada di lapangan parkir hingga larut malam. “Ya kadang-kadang para petugas terpaksa manggul motor sampai masuk ke dalam gerbang (area kampus),” jelasnya. Ia menyarankan, jika suasana parkir di area kampus mulai sepi sebaiknya mahasiswa memasukkan motornya ke dalam. “Semua itu kan demi keamanan juga,” tutur Rahmat.

Petugas Parkir Panggul Motor

UIN Jakarta-, Bagian Kemahasiswaan dan Alumni menyelenggarakan Workshop Manajemen Organisasi Ke-mahasiswaan yang diselenggarakan di Hotel Ria Diani, Puncak, Bogor. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua UKM, Ketua Dema, Ketua Sema, dan Pembina UKM.

Acara yang diselenggarakan pada (28-30/9) ini terkait penguatan dalam hal manajemen organisasi. Hal itu di-ungkapkan oleh Abdul Jalil, salah satu perwakilan UKM KMF Kalacitra. “Intinya sih lebih ke pembekalan dalam pembenaran website,” jelasnya, Kamis (2/10).

Kemahasiswaan Selenggarakan Workshop

ha, dan lainnya. 78% mahasiswa men-gatakan, lima tahun cukup bagi ma-hasiswa untuk menyelesaikan kuliah. Bahkan, menurut mereka, peraturan ini bagus untuk memotivasi mahasiswa untuk cepat menyelesaikan kuliah. Di sisi lain, 19% orang mahasiswa UIN menolak Permendikbud, karena di-anggap membatasi mahasiswa untuk mengembangkan diri di luar kegiatan perkuliahan.

Nur Laela

Kilas KilasKilas

Grafi

s: A

hmad

Say

id M

uarie

f

Berita Foto 7Edisi XXXIII/September 2014

Pojok Seni Tarbiyah (Postar) UIN Sya-rif Hidayatullah Jakarta mengang-kat secuil kisah getir rakyat kecil dalam pentas bertajuk ‘Nyanyian Punakawan’ di Hall Student Center, Sabtu (13/9). Dalam teater terse-but, gejolak hati seorang ibu miskin yang dilanda kesusahan digambar-kan dalam sebuah tarian modern.

Salah satu pemain mencoba memasukkan bola ke ring dalam se-buah pertandingan UIN Basketball Competition (UBC), Jumat (3/10). UBC merupakan kompetisi basket tahunan di UIN Jakarta yang di-adakan oleh Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa).

Edy Fajar Prasetyo tengah menyampaikan materi pelatihan handycraft dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Expo, Kamis (25/9). UKM Expo merupakan agenda rutin yang diadakan oleh Forum UKM UIN Jakarta untuk memperkenalkan UKM-UKM yang ada di UIN Jakarta kepada mahasiswa baru.

Menerima:Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen:

3000 karakter. Puisi 2000 karakter.Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengu-

rangi maksudnya.

Tulisan dikirim ke email: [email protected]

Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085694801232.Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

REDAKSI LPM INSTITUT

Opini8

PORTAL BERITA MAHASISWA UIN JAKARTA

Edisi XXXIII/September 2014

*Penulis adalah mahasiswa UINJakarta

Kamis 25 September yang lalu, Auditorium Harun Nasution seha-rian dipenuhi oleh peserta Seminar Nasional. Seminar yang bertemakan “Islam dan Politik Indonesia Men-datang” ini dihadiri oleh mayoritas mahasiswa UIN Syarif Hidayatul-lah Jakarta dan beberapa perguruan tinggi lainnya, serta sejumlah pimpi-nan fakultas dan dosen. Arahnya, bagaimana kita membangun kebu-dayaan yang berkarakter. Asumsinya, kebudayaan kita ini adalah kebu-dayaan hybrida, pertemuan, perpadu-an dan proses dialog yang kreatif dari berbagai kebudayaan masyarakat. Hingga saat ini, proses ini terus ber-langsung, tidak berhenti.

Dari sisi keberagamaan, Indonesia tidak saja mendapatkan pengaruh dari berbagai agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Bahkan, tak sedikit kita jumpai perpaduan, integrasi atau akomodasi antar nilai-nilai atau tradisi dari berbagai agama yang ada, bahkan dengan local tradi-tion sekalipun. Sebagai sebuah kebu-dayaan besar, tidaklah mudah untuk menjaga, melangsungkan dan apalagi membangun.

Corak kebudayaan seperti ini men-jadi basis penting bagi kehidupan dan pembentukan tradisi/corak politik kita. Inilah yang menjadi argumen penting bagi teori politik aliran (po-

litical stream theory). Teori ini menegas-kan bahwa arus kebudayaan kita akan besar sekali mewarnai arus politik. Jika mengacu basis teoritis klasiknya Clifford Geertz tentang Trikotomi Pri-yayi (nasionalis), Santri (Islam), dan Abangan (komunis), sebagaimana di-terapkan pada masa Orde Lama, ban-yak penolakan dari berbagai kalangan. Akan tetapi, itulah yang juga menjadi keyakinan Soekarno selaku presiden RI kala itu. Bagaimana dengan aliran kebudayaan dan politik Indonesia saat ini, tentulah tidak sama.

Demokrasi di Indonesia sangat unik dan khas karena mencakup soal agama, local wisdom, termasuk tradisi ketimuran. Meski ide awalnya dari Barat, demokrasi telah mengalami proses domestikasi yang sangat ber-arti di negara yang mayoritas muslim. Tentu saja sebagai proses kultural sekaligus sebagai isu akademik, ini juga tidak gampang mempertemu-kan, berdialog antara Islam dengan demokrasi. Perdebatan panjang telah berlangsung dan melibatkan tidak sedikit tokoh dan pemimpin sosial keagamaan dan politik serta akade-misi.

Mengapa panjang perdebatan ini? Karena, tidak saja menarik secara akademik akan tetapi juga penting dalam rangka mencari dan mene-mukan model Islam dan demokrasi

yang applicable untuk Indonesia. Per-tanyaannya tidak lagi boleh (halal) atau tidaknya (haram) menerapkan demokrasi untuk orang Islam, tidak sekadar menolak demokrasi karena produk Barat sebagaimana keyakinan atau pandangan kawan-kawan Hizbut Tahrir Indonesa (HTI).

Islam dan demokrasi, bukanlah kulit akan tetapi substansi dan esensi. Hajriyanto Y. Thohari, salah seorang pembicara seminar Islam dan politik tempo hari itu. Mengajukan perta-nyaan: “milih yang mana partai de-ngan simbol-simbol Islam tapi kotor karena korupsi, atau partai apa pun tanpa simbol Islam tapi memper-juangkan sesuatu yang substansinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam” misalnya kejujuran, keadi-lan dan sebagainya. Inilah salah satu persoalan pokok Islam dan politik di Indonesia, memperjuangkan apa dan untuk apa?

Sebetulnya, banyak yang mengakui sebetulnya bahwa dari sisi prosedur, demokrasi di Indonesia berjalan de-ngan sangat baik. Pemilu sebuah ne-gara berpenduduk muslim terbesar di dunia kemarin menunjukkan bahwa Indonesia telah sukses melampaui aspek prosedural. Soal puas dan tidak puas, ada tuduhan kecurangan dan sebagainya, bisa diselesaikan dengan prosedur yang tersedia. Memang ma-

hal procedural democracy ini. Tak semua negara bisa selenggarakan pemilu be-sar dengan aman dan stabil. Saya kira, ini ada soal awareness, ada komitmen untuk tetap bersahabat dengan baik meskipun tajam perbedaan pilihan ideologi politiknya.

Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari soal pemilu ini, ialah soal partai Islam. Ternyata, perolehan su-ara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pemilih yang ma-yoritas beragama Islam ternyata sa-ngat sedikit menentukan pilihannya kepada partai-partai Islam ini. Jadi, tidak ada korelasi antara anutan atau kepercayaan kepada kebenaran ajar-an Islam dengan pilihan kepada par-tai Islam. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit.

Apa yang dikatakan almarhum Cak Nur soal ‘Islam Yes, Partai Islam No’ benar-benar nampak dengan ka-sat mata. Partai-partai Islam semakin kehilangan trust. Pasti ada yang salah dari partai-partai Islam ini. Kasus yang sangat mencolok tentu saja, antara lain; (1) keterlibatan aktivis dan tokoh penting partai Islam dalam kasus korupsi. Kasus ini tidak saja memperpuruk partai, akan tetapi juga menampar dan membuat malu orang Islam. (2) Tidak seriusnya partai Is-lam untuk memperjuangkan sesuatu

untuk kemaslahatan masyarakat.Partai-partai Islam telah gagal

memanfaatkan demokrasi sebaik-ba-iknya secara prosedural untuk meme-nangkan pemilu. Tentu saja ini tidak sekadar mencederai partai, akan teta-pi juga syariat Islam bahkan Islam itu sendiri. Atas nama kesucian agama dan syariat, ternyata syahwat kekua-saan dan ekonomi yang dicari.

Uraian di atas tentu peran civil so-ciety menjadi sangat penting dan stra-tegis. Civil society ini adalah kekuatan orang-orang secara personal mau-pun kelompok yang sadar sesadar-sadarnya bahwa pemerintahan itu dibentuk untuk melayani masyarakat, mengayomi masyarakat, mencipta-kan keadilan, ketenangan, keamanan dan ketertiban. Pemerintah harus menjadi teladan yang mengarahkan masyarakat kepada tujuan moral yang luhur. Kekuatan civil society itu ba-nyak, ada pers, kalangan profesional, akademisi, ulama, lembaga pendidi-kan, ormas, dan juga partai. Mereka harus kerja sama untuk memperkuat posisi dan peran-peran mulianya agar tidak terjadi penyelewengan.

Bertanya Soal Civil SocietyOleh: Sudarnoto Abdul Hakim*

*Penulis adalah Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan

Diabsahkannya undang-undang pemilihan kepala daerah oleh De-wan Perwakilan Rakyat adalah ben-tuk paling nyata dari pengingkaran wakil rakyat terhadap hak politik orang banyak. Kekalahan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden Juli lalu membuat persekongkolan yang apik dengan partai-partai un-tuk menarik mundur jarum sejarah, mengembalikan kedaulatan rakyat ke pangkuan golongan tertentu.

Keberhasilan Koalisi Merah Putih yang mendukung pemilihan Gu-bernur, Walikota dan Bupati oleh Dewan Perwakilan Rakyat Dae-rah pada voting di Senayan itu me-ngakhiri pemilihan langsung yang dibangun sembilan tahun silam. Alhasil, setelah RUU usulan pemer-intah yang diundang-undangkan, para politikus partai telah menjadi penentu tunggal kepemimpinan di 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota di Indonesia. Jumlah itu akan terus bertambah karena politikus juga terus membentuk daerah oto-nomi baru.

Tak bisa dipungkiri lagi keputusan itu jelas mempertebal tembok yang memisahkan kepentingan partai dengan hajat orang banyak. Sejat-inya, sejumlah jajak pendapat telah menyimpulkan mayoritas rakyat masih menginginkan pemilihan

langsung kepala daerah. Kita semua sepakat pemilihan langsung kepala daerah masih jauh dari kata sempur-na, kritik terbesar adalah besarnya ongkos politik.

Bukan hal yang tabu fenomena kandidat harus membeli pencalonan ke partai atau koalisi partai, menyo-gok pemilih menjelang pemungutan suara hingga menyediakan pengaca-ra jika muncul sengketa hasil pemili-han. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menyimpulkan mahalnya ongkos politik menjadi biangnya korupsi.

Dalih Bos Besar di Kementerian Dalam Negeri itu sebenarnya gam-pang dipatahkan. Ongkos politik yang tinggi malah muncul akibat ‘kegagalan’ partai-partai politik dalam mengusung kandidat yang tangguh dan disukai masyarakat. Di sejumlah daerah kandidat yang mempunyai track record baik tak mengeluarkan ongkos tinggi untuk memenangi pemilihan. Tengok saja Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, dan Ridwan Kamil di Bandung merupa-kan sebagian kecil dari pemimpin-pemimpin daerah yang tak banyak mengeluarkan biaya politik. Bahkan, Gamawan pun tak perlu ongkos ba-nyak dalam memenangkan pemili-han Gubernur Sumatera Barat pada

2006 lalu.Perihal ongkos politik yang tinggi

sebenarnya bisa ditekan dengan berbagai macam perbaikan. Mi-salnya, pelaksanaan pemilihan se-cara serentak, pembatasan biaya kampanye, juga menentukan kandi-dat yang memiliki track record yang baik. Mengembalikan pemilihan ke DPRD tak menjamin bakal meng-hilangkan ongkos tinggi. Justru potensi suap dan politik uang akan makin merajalela. Bahkan politik uangnya lebih sistematis karena cukup diberikan kepada beberapa ratus anggota DPRD agar sang kan-didat bisa terpilih. Mungkin bahasa sederhananya siapa yang paling ban-yak menyuap anggota DPRD dialah yang jadi pemenang.

Berbeda dengan pemilihan lang-sung. Jika diamati, politik uang kepada pemilih dapat diragukan efektivitasnya karena tak menjamin politik uang bisa membeli suara. Atau kalau menurut istilah orang Jawa dikenal dengan sebutan ‘madep mungkur ati’. Artinya masyarakat menerima apa yang telah dikasih (kandidat) tapi belum tentu memilih.

Menyerahkan pemilihan kepala daerah kembali ke tangan DPRD tak hanya menarik jarum sejarah, tapi juga membahayakan demokrasi di Indonesia. Hampir semua partai di-

kuasai oligarki. Pada akhirnya par-tai hanya menjadi semacam kartel. Para pemilik modal mempengaruhi keputusan-keputusan penting partai dan bisa dipastikan kelak termasuk penentuan calon kepala daerah. Ra-ja-raja kecil akan menjadi pelayan bagi DPRD.

Padahal jika anggota dewan sem-pat membaca dan memahami ris-alah Bung Karno yang berjudul ‘Mencapai Indonesia Merdeka’, ter-gambar jelas bahwa prinsip kedaula-tan di tangan rakyat itu bermakna rakyat sebagai pemegang kekuasaan meliputi pemerintahan rakyat itu semua urusan politik, urusan diplo-masi, urusan onderwijs (pendidikan), urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa saja dan terutama urusan ekonomi, haruslah di bawah kecakrawatian (kekuasaan tertinggi) rakyat.

Rakyat sebagai pemegang kekua-saan tidak bisa direduksi hanya sekadar hak memilih, baik memilih badan perwakilan maupun pejabat eksekutif dalam bilik suara setiap lima tahun sekali. Namun, rakyat sebagai pemegang kekuasaan meng-isyaratkan adanya partisipasi rakyat dalam berbagai proses pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Karena itu, perde-batan soal kualitas demokrasi di

pilkada tidak serta merta hanya ber-henti pada soal teknis memilih pem-impin, tetapi juga menyangkut pen-ciptaan ruang bagi partisipasi rakyat dalam membuat kebijakan dan me-mastikan pelaksanaannya.

UU Pilkada sejatinya menjadi pelajaran penting bagi kita semua terutama mahasiswa. Sebagai agen perubahan mahasiswa sejatinya harus sadar bahwa demokrasi yang telah dibangun di atas genangan darah dan keringat rakyat telah dibunuh oleh orang-orang yang katanya mewakili rakyat. Marco Kartodikromo pernah bilang ‘didik masyarakat dengan pergerakan, di- dik penguasa dengan perlawanan.’ Penulis berharap UU Pilkada ini menjadi pemantik bagi bangkitnya gerakan mahasiswa untuk satu tu-juan bersama yakni ‘mengembalikan kedaulatan rakyat’.

Mengutip puisi Wiji Thukul, bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, ke-benaran pasti terancam. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan meng-ganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!

Demokrasi di Pangkuan Elit PolitikOleh: Don Jong*

Kunjungi website kami di www.lpminstitut.com

Opini

Editorial

Bang Peka

Edisi XXXIII/September 2014 9Pemasungan Kesadaran ‘Mahasiswa’

Oleh: Adi Nugroho*

2016 serentak seluruh universitas di Indonesia menerapkan Permendik-bud No. 49 Tahun 2014. Peraturan yang mengatur mahasiswa strata satu (S1) harus menyelesaikan kuliahnya maksimal 5 tahun. Alasannya, agar mahasiswa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. “Kalau kuliah tidak lu-lus-lulus akan menjadi beban negara,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim.

Pro-kontra pun bermunculan. Mahasiswa yang setuju menjadikan Permendikbud sebagai motivasi agar cepat lulus. Orientasi yang terbang-un selama ini, kuliah untuk mencari pekerjaan yang layak. Jadi bisa dilihat betapa lakunya Job Fair yang diadakan berbagai perusahan untuk menjaring para Fresh Graduate. Berharap, de-ngan bekal ijazah dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) amat baik atau bah-kan cumlaude para sarjana dapat men-dapat pekerjaan yang diinginkannya.

Namun jika melihat Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2014, pe-ngangguran bergelar sarjana mencapai 398.298. Bak lagu Iwan Fals “Sarjana Muda” yang menenteng ijazah dari satu perkantoran ke perkantoran lain-nya. Jika meminjam perkataan H.A.R Tilaar pendidikan kita mencetak robot yang mempunyai ijazah, tapi tidak tahu untuk apa dipergunakan.

Dalam teori nilai tenaga kerja, tenaga kerja atau buruh merupakan sumber seluruh kekayaan. Keuntu-ngan yang didapat oleh kapitalis men-

jadi dasar eksploitasi tenaga kerja, sederhananya membayar upah buruh kurang dari selayaknya yang diterima. Kemudian nilai surplus itulah yang disimpan dan diinvestasikan kembali oleh kapitalis.

Lalu jika diibaratkan robot atau mesin, maka robot tersebut telah dipersiapkan selama 5 tahun untuk menjadi basis eksploitasi. Basis eks-ploitasi yang tersedia bukan sedikit, malah ada 398.298 yang menunggu untuk dieksploitasi. Kapitalis tak perlu sulit mencari, bahkan setiap harinya akan ada yang datang untuk dieksploitasi.

Setelah mengatur lamanya studi apakah pemerintah mengatur lama-nya seseorang menganggur dan me-mastikan setiap lulusan S1 dengan ijazahnya mendapat kepastian untuk mendapat pekerjaan? Jika tidak kita dapat melihat indikasi bahwa peme-rintah hanya menghasilkan sapi perah dari sistem pendidikan 2016 nanti.

Kemudian patut dipertanyakan, ke mana arah pendidikan saat ini? Apakah hanya dipersiapkan menjadi robot atau seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara bahwa esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pertanyaan tersebut diri kita sendirilah, “mahasiswa” yang dapat menjawabnya.

Dilihat dari etimologi, mahasiswa berasal dari dua suku kata yaitu, kata ‘maha’ dan ‘siswa’. Kata ‘maha’ be-rarti besar, paling, ter, sangat. Seda-

ngkan siswa berasal dari kata ‘murid’ dari kata ‘iradatan’ yaitu orang yang mencari pengetahuan di tingkat se-kolah dasar, menengah. Jadi, sebagai seorang yang tingkatannya paling tinggi dalam mencari pengetahuan seharusnya, mahasiswa dapat dengan sendirinya menentukan kapan dirinya akan lulus.

Bangku perkuliahan tidaklah sama dengan masa studi SD sampai SMA. Kuliah bukan hanya duduk manis dan mengerjakan tugas makalah, kemu-dian mendapat IPK amat baik bahkan cumlaude. Pentingnya proses kesa-daran seseorang akan kebutuhan ilmu yang tidak didapatnya dari bangku perkuliahan sangatlah penting. Jika mahasiswa sudah disibukkan dengan pelbagai tugas bagaimana proses kesa-daran tersebut terbangun.

Membangun sebuah proses penya-daran dalam 5 tahun tidaklah cukup. Pembatasan studi menjadi salah satu bentuk pengekangan jika alasannya menjadi beban negara. Beban negara adalah koruptor bukan mahasiswa yang lama lulusnya! Bisa dilihat apa-kah politisi yang duduk di DPR RI dahulu hanya kuliah saja? Dan Apa-kah dahulu reformasi dibangun hanya dengan duduk manis di dalam kelas?

*Penulis adalah mahasiswa UINJakarta yang menjadi beban negara

Quote

Krisis KredibilitasGairah UIN Jakarta menjadi universitas berbasis riset, nampaknya

bakal terganjal. Sebab, salah satu peranti pendukung research univer-sity ini posisinya hilang dari radar pantauan para pimpinan kampus. Kondisinya memprihatinkan. Tak terurus bagai pepatah, habis manis sepah dibuang.

Jika dulu, UIN Jakarta Press terasa hidup, kini sinarnya mulai re-dup seiring kemunculan lembaga baru yang orientasinya nyaris serupa. Bahkan, di setiap fakultas telah bercokol lembaga-lembaga penerbitan. Tentu, bukan hal yang ganjil, jika kondisi ini pun kian menggeser posisi UIN Jakarta Press sebagai lembaga penerbitan. Bukannya terintegrasi, UIN Jakarta Press malah terisolasi.

Tak hanya terisolasi, lembaga penerbitan milik universitas ini juga bisa dibilang hidup segan mati tak mau. Keberlangsungannya tak me-nentu karena kekosongan ongkos operasional. Sehingga, kekosongan ini pula yang berimplikasi pada merosotnya fungsi UIN Jakarta Press sebagai penyokong research university.

Apalagi, pilihan menjadi universitas riset, seharusnya dapat men-dorong UIN untuk lebih memperhatikan infrastruktur dan sarana pe-nunjang riset, bukan malah membuatnya ’gembel’. Karena itu, sudah sepantasnya, bila kampus Ciputat ini masih ngotot memburu cap re-search university, tengoklah sarana pendukungnya.

Karena bukan tidak mungkin, amburadulnya sistem dan manajemen di tubuh UIN Jakarta Press akan mereduksi kualitas buku ajar yang biasa dikonsumsi mahasiswa. Apalagi, tak jarang dosen yang ‘mereko-mendasikan’ terbitan buku asal UIN Jakarta Press ini sebagai referensi.

Bukan tak percaya, tapi apa mau dikata? Ditambah lagi, minimnya staf dalam struktur UIN Jakarta Press, semakin memperpanjang derita lembaga yang dipimpin Idris Thaha ini. Jika kondisi ini dibiarkan dan tanpa ada upaya perbaikan, relakan saja UIN Jakarta Press menjadi lembaga yang tak berkredibilitas.

Tak berbeda dengan UIN Jakarta Press, kini nasib mahasiswa asal perguruan tinggi negeri pun di ambang krisis kredibilitas. Pasalnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Pasal 17 Ayat 3 Huruf D mengenai standar proses pembelajaran, memunculkan polemik baru.

Pelbagai respons positif dan negatif menghujani penetapan Per-mendikbud ini, tak terkecuali dari kalangan mahasiswa. Satu sisi, mahasiswa menilai, peraturan ini bakal memotivasi mahasiswa lulus cepat. Sementara sisi lain, mahasiswa juga menganggap, peraturan ini akan memperkecil dimensi mahasiswa untuk berkegiatan.

Ya. Konsekuensi-konsekuensi anyar ini memang lazim terjadi ketika lahirnya peraturan baru. Namun, yang pasti, jangan sampai penerapan Permendikbud ini malah menyamankan kita pada stigma intelektual individualis dan kering kredibilitas akibat dicekoki tuntutan kuliah lima tahun.

Jangan pula, masa kuliah yang disunat ini kian menjauhkan kita dari tujuan pendidikan ala John Dewey, bahwa tujuan pendidikan bukan-lah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Karenanya, mahasiswa perlu bersikap. Itulah yang kita butuhkan, kawan. Pilihannya sekarang, maksimalkan jatah kuliah lima tahun atau tenggelam pada ruang apatis. (MD)

Marco Kartodikromo Didik rakyatdengan pergerakan,

didik penguasadengan perlawanan

Month

ofthe

Selamat dan terus berjuang Calon AnggotaLPM INSTITUT 2014

Tustel10 Edisi XXXIII/September 2014

Semarak OPAK 2014Orientasi Pengenalan Akademik

dan Kebangsaan (OPAK) merupakan agenda yang tak pernah absen diikuti mahasiswa baru (maba) UIN Jakarta saban tahunnya. Di situ, mahasiswa tak hanya dikenalkan dengan tetek bengek persoalan akademik kampus, namun mahasiswa juga dibekali dengan nilai-nilai luhur keindonesiaan.

“Penanaman nilai-nilai kebangsaan bagi mahasiswa baru dalam OPAK bertujuan untuk menguatkan posisi kampus dari pelbagai ancaman ide-ologi radikal yang dapat menghancur-kan nilai luhur Pancasila,” kata Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Su-darnoto Abdul Hakim. Hal itu tak ber-lebihan. Mengingat posisi UIN Jakarta sebagai salah satu universitas Islam neg-eri terbesar berada di jantung Ibu Kota.

Beda era, beda cerita. Begitu pun dengan OPAK. Sejak 2001, pagelaran tahunan maba ini telah mengalami em-pat kali perubahan nomenklatur–OS-PEK, PROPESA, OAK, dan OPAK. Tentu saja, transformasi itu juga diiringi substansi yang berbeda.

Foto & teks: Muhammad Ibnu & Thohirin

Upacara Berdoa

Terlambat Yel-yel

Terbaring Lemah

Sosok 11Edisi XXXIII/September 2014

Sebuah informasi dari media so-sial membawanya berkenalan dengan ajang kontes duta pariwisata Kota Tangerang tersebut. Awalnya, ia tak tahu apa itu Kang dan Nong kota Tangerang. Rasa penasarannya mem-bawa Fajar untuk mengunjungi laman resmi kota Tangerang. “Oh, ternyata itu pemilihan duta parwisata kota Tangerang,” batinnya kala itu.

Pria penyuka tantangan ini pun segera mendaftarkan diri di ajang pencarian Duta Parwisata itu. Setelah melewati audisi dan serangkaian se-leksi yang menguji wawasan serta ket-erampilan yang dimiliki, Fajar akhirn-ya berhasil menyingkirkan sekitar 170 peserta dan masuk sebagai 40 finalis Kang dan Nong Kota Tangerang.

Meski hanya menjadi juara dua, raut kegembiraan tetap terpancar dari wajah mahasiswa jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (FSH). Rasa syukur tak henti-henti ia panjatkan. “Tetap bersyukur walaupun nggak terpilih menjadi juara pertama. Yang penting sudah berusaha dengan maksimal,” ucapnya saat ditemui INSTITUT, Jumat (2/10) sore.

Fajar masih ingat betul masa-masa karantina bersama 10 grand finalis Kang dan Nong kota Tangerang. Ban-

yak pengalaman dan cerita-cerita yang tak bisa dilupakan. Salah satunya, saat semua finalis berkumpul di rumah karantina, di sana ia menemukan satu keluarga baru yang memiliki banyak potensi.

Dari keluarga barunya itu Fajar banyak mendapat pengetahuan yang tak ia miliki serta bisa belajar dari kelebihan masing-masing peserta. Ter-penting baginya adalah saling meng-hargai satu sama lain karena peserta terdiri dari berbagai umur dan ling-kungan yang berbeda.

Pria yang pernah menjadi dele-gasi dalam Interfaith Youth Summit di Bali ini percaya, apa pun masalah dan tantangannya pasti bisa dihadapi. “Kita tidak boleh menyerah sebelum berperang. Jangan takut kepada tan-tangan. Jalani, karena kita akan jadi pemenang,” itulah kata-kata yang mampu menyihir dirinya hingga men-jadi seperti sekarang ini.

Mahasiswa yang mencintai dunia bahasa ini berharap selalu bisa me-nolong orang lain. Jika diberi kesem-patan untuk menjadi tokoh super hero ia berkeinginan menjadi Spiderman. “Saya mau seperti Spiderman. Dia sosok yang sederhana tapi selalu bisa menolong banyak orang,” tuturnya sambil melepas tawa.

Promosi BudayaSebelum terpilih menjadi Kang

Wakil I kota Tangerang 2014, Fajar memang sudah gencar mempromo-sikan kota Tangerang pada teman-teman kampus dan rumahnya. Tak hanya mempromosikan secara lisan, Fajar juga aktif mempublikasikan tu-lisan dan gambar lewat akun Twitter dan Instagram-nya.

Salah satu tempat yang pernah dipromosikan Fajar adalah Bendu-ngan Pintu Sepuluh, Pasar Baru. Di akun Twitter @fajarcrush, Fajar juga mencoba membagi informasi ten-tang tempat-tempat pariwisata Kota Tangerang yang patut dikunjungi. “Sebisa mungkin saya memberikan informasi tentang budaya dan pari-wisata Tangerang kepada publik,” tu-turnya.

Pria yang memiliki tinggi badan 172 cm ini berharap generasi muda mulai rajin mengunjungi objek wisa-ta yang memiliki nilai historis. Se-perti mengunjungi Museum Benteng Heritage atau Masjid al-Adzom di Tangerang.

Mahasiswa yang juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FLAT ini mengajak kepada seluruh anak muda untuk melestarikan dan mem-promosikan budaya pariwisata Indo-nesia. “Enggak susah kok untuk mele-starikan budaya dan mempromosikan pariwisata di daerah kita. Yang paling mudah dengan menjaga kebersihan dan kenyamanan objek wisata,” tu-tupnya.

September menjadi bulan penuh berkah bagi pria kelahiran 27 Okto-ber, 22 tahun silam, Fajar Fuady. Baru-baru ini, tepatnya 13 September kemarin, pria asal Banten itu resmi dinobatkan sebagai Kang wakil 1 Kota Tangerang 2014.

‘Spiderman’ Duta Pariwisata Kota Tangerang

Nur Azizah

Sebuah benda mungkin dinilai dari kegunaannya. Namun, Orientasi Pen-genalan Akademik (OPAK) UIN Sya-rif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 membuat beberapa benda yang kini saya miliki menjadi sesuatu yang ber-makna. Beberapa benda yang saya mi-liki tersebut mungkin biasa saja bagi kebanyakan orang. Tetapi bagi saya, benda-benda tersebut bersejarah dan bermakna.

Ada tiga benda berbeda yang ber-makna bagi saya dan menyatu dalam kegiatan OPAK. Tiga benda tersebut mempunyai cerita yang berlainan, namun tetap berhubungan dengan kemeriahan pelaksanaan OPAK. Benda-benda itu adalah batu, kaleng minuman, dan novel.

1. Batu (Rasa Gugup) Sebuah batu yang saya ambil di

sekitar gerbang samping UIN mem-punyai cerita tersendiri bagi saya. Sebuah batu berbentuk segitiga telah menjadi pelampiasan rasa gugup yang saya rasakan saat melakukan geladi resik upacara pembukaan OPAK Tahun 2014. Meski bukan acara utama, rasa gugup itu hadir ka-rena saat itulah pertama kalinya saya bersama teman dalam Pasukan Pen-gibar Bendera UIN yang lain tampil di hadapan kurang lebih 4500 maha-siswa baru. Tidak ada waktu untuk merasa gugup, karena rasa itu hanya akan mengganggu konsentrasi. Itulah alasan, kenapa saya mencari sebuah batu untuk menyalurkan rasa gugup saya--selain untuk mengeratkan kepa-lan tangan. Hingga saat ini, batu itu tetap saya simpan untuk mengingat-kan pengalaman yang pernah saya alami itu.

2. Kaleng (Rasa Berani) Cerita ini terjadi saat OPAK Fakul-

tas 29 Agustus 2014 lalu. Saya men-dapat sebuah hadiah minuman kaleng produk susu, setelah saya berani bertanya. Saat itu, tengah diadakan pengenalan dan penjelasan mengenai tugas dekan dan wakil dekan. Seusai menjelaskan, panitia menyilakan para peserta OPAK untuk bertanya soal hal yang belum jelas. Tak banyak yang mengangkat tangan untuk bertanya, mungkin karena takut atau ragu, se-perti saya. Awalnya, hanya satu orang yang mengangkat tangan, namun ka-rena saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, akhirnya saya juga mengangkat tangan dan menjadi orang kedua yang bertanya, disusul satu orang teman lainnya.

Untuk mengajukan pertanyaan, kami bertiga maju ke podium dan

berhadapan langsung dengan para pe-tinggi fakultas. Rasa gugup mungkin ada, namun saya memantapkan hati untuk berani bertanya.

Sesuatu yang tidak dapat saya lupa-kan. Setelah itu, kami para penanya di-berikan hadiah oleh dekan satu kaleng minuman susu. Meski ragu, apakah saya tidak salah dengar? Itu suatu kes-empatan yang langka, menurut saya pribadi sebagai mahasiswa baru.

3. Novel (Rasa Penasaran)Saya suka membaca. Saya senang

dengan buku, terlebih novel. Oleh karenanya, benda inilah yang paling berkesan bagi saya. Saya mendapat novel saat acara sharing alumni ber-prestasi dalam OPAK Jurusan tanggal 29 Agustus 2014. Sungguh hal yang tidak pernah saya duga, karena saya mendapatkannya lantaran rasa pena-

saran yang saya tanyakan langsung kepada alumni. Saya sedikit kaget mendengar beliau menyebut nama saya agar maju ke depan untuk me-nerima novel karena telah bertanya.

Bagi saya, inilah kejadian sekali-gus benda yang paling berkesan saat OPAK tahun 2014 ini, apalagi buku adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan.

Itulah cerita mengenai ketiga ben-da yang bersejarah bagi saya dalam pelaksanaan OPAK. Mungkin terlihat terlalu naif atau berlebihan, namun setiap orang memiliki pandangan ber-beda. Inilah pengalaman yang paling berkesan bagi saya dalam OPAK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 ini.

Tiga Benda BermaknaOleh: Sinta Amelia (Fak. Ekonomi & Bisnis)*

*Penulis adalah pemenang lomba esai #CeritaOPAK

Cerita OPAK

SEMPURNAKAN STATUS MAHASISWAMUDENGAN BERORGANISASIDAN MEMBACA PRODUK

LPM INSTITUT

Dok. Pribadi

Wawancara12

Rekomendasi

Edisi XXXIII/September 2014

Kelima orang tersebut bergabung dengan 545 peserta KKN lain yang berasal 34 universitas di seluruh In-donesia. Mereka mendapatkan pem-bekalan KKN sejak tanggal 7 hingga 10 Agustus di Markas Komando Paskhas TNI AU Pontianak. Pem-bekalan KKN diisi dengan berbagai macam materi. Mulai dari materi tentang pemberdayaan masyarakat perbatasan hingga pengenalan bu-daya suku dayak dan melayu.

Selepas masa pembekalan, mere-ka diberangkatkan ke wilayah per-batasan Indonesia–Malaysia yang terletak di tiga kabupaten, Sanggau, Sambas, dan Bengkayang. Selama satu bulan mereka melaksanakan program KKN di wilayah-wilayah perbatasan tersebut.

Program-program mereka terdiri dari pendampingan pelayanan ad-

ministrasi terpadu kecamatan, bim-bingan administrasi desa, pemberan-tasan buta aksara, bimbingan kader posyandu, sosialisasi Jaminan Kese-hatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), penyuluhan kesehatan, per-tanian, peternakan, dan perkebunan.

Program kerja mereka juga men-cakup bimbingan sosial keagamaan, pembuatan penampungan air hujan, dan pembangunan infrastruktur ja-lan dan desa. Namun, dari seluruh program tersebut tiap kelompok KKN dapat menyesuaikan kembali program mereka dengan kebutuhan masyarakat desanya masing-masing.

Kelima orang delegasi dari UIN Jakarta ini ditempatkan di desa-desa yang berbeda. Mereka dikelompok-kan dengan mahasiswa dari universi-tas lain. Sehingga tantangan mereka

bukan hanya memberdayakan per-batasan tetapi juga menjalin kebersa-maan dengan kawan-kawan yang ber-beda suku, ras, dan budaya.

Bukan hal yang mudah berbaur dengan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat. Terlebih lagi mayori-tas penduduk perbatasan beragama non-muslim dan bersuku dayak. Namun, hal itu mampu membuat delega-si-delegasi UIN ini menjadi pribadi yang lebih toleran. Suka dan duka mengabdi di jalur perbatasan pun mewar-nai kisah mereka.

Program KKN Kebang-saan ini diadakan tiap ta-hun oleh Badan Kerja Sama (BKS) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) wilayah barat dan Kementerian Pendidi-kan. Tahun sebelumnya, KKN Kebangsaan diadakan di Sulawesi Selatan. Bagi mahasiswa yang berminat mengikuti kegiatan KKN Kebang-saan, tahun depan akan diadakan di provinsi Riau. Akan ada lebih ban-

6 Agustus lalu, UIN Jakarta memberangkatkan lima orang maha-siswanya untuk mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebang-saan 2014 di Kalimantan Barat. Mereka adalah Abdul Muslih (Tafsir Ha-dis), Azizah Nida Ilyas (Jurnalistik), Basit Zainurrohman (Tafsir Hadis), Gita Nawangsari (Jurnalistik), dan Irfan Sanusi (Tafsir Hadis).

KKN Kebangsaan 2014, Tantangan Mengabdi di Garis Perbatasan

Lima orang delegasi UIN Jakarta berfoto bersama Yayan Sopyan dan Eva Nugraha Ketua dan staf PPM UIN Jakarta di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat dalam acara Malam Ramah Tamah, Sabtu (9/08).

yak tantangan dan pengalaman yang akan kalian dapatkan jika mengikuti KKN Kebangsaan. Untuk mengeta-

hui info lebih lanjut bisa up date terus web BKS PTN wilayah barat dan cari infonya di PPM UIN Jakarta.

Tak kurang dua minggu UIN Jakarta bakal punya rektor baru. Seabrek persoalan–baik intern maupun ekstern–sudah menunggu calon orang nomor satu di kampus peradaban ini. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju kampus bertaraf internasional (WCU).

Kepada reporter INSTITUT, Tho-hirin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, me-ngatakan persoalan utama bagi rektor baru nanti yakni harus mampu me-ningkatkan kualitas akademik. “UIN Jakarta harus mampu meningkatkan jumlah profesor, Dr. ataupun Ph.D.,” katanya, Kamis (2/10).

Tak hanya itu, rektor UIN Jakarta periode 1998-2006 ini juga menyam-paikan pandangannya soal kebijakan Kemendikbud tentang masa percepa-tan studi mahasiswa S1. Menurutnya, Kemendikbud semestinya tidak mendikolonisasi perguruan tinggi. Na-mun sebaliknya, Kemendikbud harus mengembalikan otonomi perguruan tinggi.

Bagaimana Anda melihat kondisi UIN Jakarta saat ini?

Kondisi UIN Jakarta, menurut saya, cukup berkembang. Jumlah maha-siswa dan lulusan juga terus mening-kat. Situasi kemahasiswaan juga cukup kondusif dalam menunjang proses pembelajaran.

Lantas, apa tantangan terbesar bagi rektor baru UIN Jakarta nanti?

Tantangan utama bagi rektor baru nanti adalah meningkatkan kualitas akademik. Menambah jumlah pro-fesor dan Dr./Ph.D., meningkatkan kerapian dan kebersihan kampus. Dan memperkuat jaringan kerjasama de-ngan pihak dalam dan luar negeri.

Oleh karena itu, UIN kini perlu sosok akademisi terkemuka. Bukan

hanya dikenal lingkungan perguruan tinggi Indonesia, namun juga di luar negeri. Sekaligus juga bisa menjadi semacam CEO (Chief Operating Officer) untuk mengelola UIN. Rektor baru nanti juga harus memiliki jaringan dengan berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri.

Salah satu syarat utama menjadi WCU, UIN Jakarta harus meni-ngkatkan publikasi ilmiah. Namun, kondisi yang terjadi malah sebalik-nya. Menurut anda, langkah apa yang harus diambil rektor UIN Jakarta nanti?

Soal penelitian, UIN seharusnya bisa membentuk kelompok peneliti handal yang dapat melakukan riset se-rius dalam menghasilkan artikel ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal dalam dan luar negeri. Karena itu, perlu pen-danaan lebih besar dan penerbitan ju-rnal di lingkungan UIN secara lebih teratur.

UIN Jakarta kerap dikaitkan den-gan isu-isu radikalisme agama. Apa tanggapan Anda?

Isu ini tidak perlu dibesar-besarkan. Jika ada yang terlibat radikalisme, itu hanya satu dua orang yang sudah tidak ada kaitan langsung dengan UIN. Pimpinan UIN mendatang harus lebih waspada mengawasi berbagai lemba-ga. Khususnya masjid dan fasilitas lain yang kerap dimanfaatkan pihak luar–kelompok radikal.

Menurut saya, UIN Jakarta tetap merupakan PTAIN progresif yang me-

madukan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan serta menjadi ben-teng akademis Islam wasatiyah.

Sebagian kalangan menilai kebija-kan Kemendikbud soal masa perce-patan studi S1 bakal berimbas pada menurunnya kualitas lulusan S1. Tak terkecuali UIN Jakarta?

Banyak kebijakan Kemendikbud yang menciptakan masalah, termasuk percepatan masa studi yang tidak je-las, kewajiban menulis di jurnal, dan sebagainya. Seharusnya percepatan studi itu harus dilakukan dengan pe-nyederhanaan kurikulum dan pembe-rian fasilitas Proses Belajar Mengajar (PBM) yang lebih lengkap.

Karena itu, pemerintah mendatang sepatutnya melakukan reformasi pada pendidikan tinggi, pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan tinggi di Indonesia harus kembali mendapat otonominya. Tidak dikolonisasi Ke-mendikbud. Jadi, harus ada dekolo-nisasi perguruan tinggi.

Sebenarnya, ‘percepatan studi’ juga tidak jelas. Karena itu, sebaiknya pe-nerapan kebiijakan itu ditunda dulu sampai terbentuknya kabinet baru yang sedikit banyak mengambil kebija-kan baru. Termasuk dalam bidang pen-didikan—dasar, menengah dan tinggi.

Pasca konversi IAIN menjadi UIN, fakultas-fakultas agama kurang dimi-nati mahasiswa baru. Seperti Dirasat dan Ushuluddin. Terbukti, dua fakul-tas itu membuka jalur khusus untuk menarik mahasiswa baru?

Saya kira, hal itu tidak perlu dikha-watirkan karena itu terkait dengan persepsi masyarakat pada lapangan kerja. Namun, yang perlu dilakukan Kemenag dan pesantren adalah kem-bali mendirikan dan memperbanyak Madrasah Aliyah Program Khusus Keagamaan (MA PK) yang menjadi sumber asupan bagi jurusan, prodi, dan fakultas semacam itu. Sangat dis-esalkan penutupan MA PK oleh Ke-menterian Agama beberapa tahun lalu.

Kenapa Anda tidak kembali men-calonkan diri menjadi rektor?

Sejak selesai periode kedua sebagai

rektor (2006), saya sudah memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi. Meski pada pilrek tahun tersebut, ada petisi dari sejumlah anggota senat yang meminta saya maju lagi karena mereka berpendapat saya baru sekali menjadi rektor UIN (2002-2006). Sebelumnya kan saya hanya jadi rektor IAIN (1998-2002).

Saya juga pernah diminta mencalon-kan diri pada 2010, tapi saya menolak dan menyatakan, “I am already history (saya sudah menjadi sejarah).” Bagi rek-tor mendatang, lebih baik generasi muda yang mendapat kesempatan dan tang-gung jawab untuk memajukan UIN.

UIN JakartaButuh Rektor Populer

Sumber: Internet

Azyumardi Azra:

Edisi XXXIII/September 2014Komunitas 13

Universitaria

Kebiasaan Wedha membuat karya seni realis, kartun, dan manga, per-lahan menggerus daya penglihatan pria kelahiran 10 Maret 1951. Bosan yang hinggap di pikirannya, memaksa Wedha memutar otak untuk mencip-takan karya seni grafis yang baru.

Pengalamannya di dunia ilustrasi tak perlu diragukan lagi. Apalagi, 40 tahun bekerja sebagai ilustrator tentu memberinya banyak pelajaran. Se-hingga, pelajaran dan pengalamannya pula yang memuluskan Wedha untuk menelurkan seni grafis gaya anyar, Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP).

Gaya WPAP merupakan cara baru Wedha dalam menggambar ilustrasi wajah. Mengingat, di usianya yang tak lagi muda, pria yang dijuluki Ba-pak Ilustrasi Indonesia ini kesulitan untuk menggambar bentuk yang real-istis dan detail.

Sebenarnya, sebelum populer de-ngan nama WPAP, lebih dulu, Wedha menamai gayanya dengan Foto Marak Berkotak (FMB). Namun, FMB ini tak berusia lama. Hanya delapan ta-hun, terhitung dari 1990 hingga 1998. Selama delapan tahun itu pula, dalam satu minggu Wedha rutin mengisi editorial picture di beberapa majalah, salah satunya Majalah Hai.

Seiring intensitasnya mengisi edi-torial picture, karyanya pun semakin dikenal masyarakat. Namun, karena pengerjaan FMB yang masih manual, karya Wedha pun sempat menuai kri-tik dari salah satu perupa terkemuka Indonesia.

Wedha disebut perupa akal-akalan

Keinginan menciptakan sesuatu yang baru, menarik, dan berkarakter menjadi pemicu perupa asal Kota Cirebon, Wedha Abdul Rasyid untuk berinovasi di dunia desain grafis.

yang hanya melakukan facetting (pem-bidangan) pada sebuah karya seni. Mendengar kritikan itu, niat Wedha pun perlahan mengendur. “Saya pen-gennya bikin sesuatu yang baru, malah dibilang begitu. Kan jadi repot,” ung-kap bapak tiga anak ini saat ditemui INSTITUT di kediamannya, Permata Puri Media, Kembangan Utara, Ja-karta Barat.

Kalau pembuatan FMB dianggap mudah dan disukai banyak orang–pikir Wedha–jangan-jangan karya model ini, sebelumnya pernah dibuat oleh orang lain. Hanya saja ia belum mengetahuinya.

Akhirnya, daripada malu di ke-mudian hari, FMB pun ia tutup pada tahun 1998. “Enggak mengusik lagi, enggak mikirin lagi, pokoknya FMB saya tinggal,” katanya, Rabu (24/9).

Hingga akhir 2007, nampaknya Tuhan mempunyai rencana lain. Ia dipertemukan dengan orang-orang yang berpengaruh di dunia desain grafis Indonesia. Dari pertemuan itu, tak sedikit perupa handal yang me-muji dan mendorong Wedha untuk sesegera mungkin menamai gaya ku-bismenya (kotak-kotak) dengan nama Wedha’s style.

Nama Wedha semakin melam-bung menyusul respons positif yang ia peroleh dari masyarakat. Ragam pujian dan dukungan tak henti terlon-tar dari mulut para pecinta seni foto kotak-kotak ini, tak terkecuali dari media sosial Facebook.

Salah satunya, Itok Sukarso. Penggemar karya WPAP ini berinisi-

atif membentuk WPAP Community untuk mengakomodasi para pengge-mar karya seni rupa model ini.

Sebenarnya, kata Itok, Komunitas WPAP ini lahir dari interaksi sesa-ma penggemar gaya melukis portrait yang bergaya pop art. Komunitas ini awalnya hanya berkegiatan melalui je-jaring sosial Facebook. Namun, lambat laun berkembang ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan mancanegara

Melihat respons positif tersebut, akhirnya Wedha bersama anggota ko-munitas WPAP menggelar pameran perdana di Mall Grand Indonesia. Walhasil, pameran itu pun dibanjiri pengunjung.

Menurut Itok, pameran perdana yang digelar pada 27 September 2010 itu sekaligus menandai peresmian komunitas WPAP. Total hinga awal tahun 2014, anggota dan penggemar WPAP mencapai lebih dari 20.000 orang.

Untuk lebih mengembangkan WPAP, komunitas yang bermukim di Bintaro sektor satu ini bersosiali-sasi melalui event pameran karya dan aktivitas lain. Serangkaian kegiatan yang telah diselenggarakan menjadi gambaran dinamika ekspresi komuni-tas WPAP.

Tujuan dari komunitas WPAP ini, jelas Itok, untuk menampung hasil

kreativitas anggota WPAP agar me-miliki daya jual di pasaran. Dalam jangka panjang, Itok berharap para kreator WPAP bisa menjadi pengu-saha WPAP mandiri.

Soal komunitas, sebagai founder, Wedha memberi keleluasaan tata lak-sana keseharian kepada ketua komu-nitas di daerahnya masing-masing. Kegiatan komunitas ini, mengadakan pameran, workshop, dan kursus gratis di House of WPAP, Bintaro. “Untuk recruitment cukup mengikuti www.wpapcommunity.com atau di Facebook, ‘Belajar WPAP Yuk’,” tutupnya.

WPAP, Gaya Wedha Kotak-KotakMuawwan Daelami

Dok. Pribadi

Seperti yang diungkapkan dosen Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) UIN Jakarta, Iting Shofwati dalam workshop “Sistem Tanggap Darurat Gedung Tinggi”. Acara tersebut di-selenggarakan Unit Kegiatan Maha-siswa (UKM) Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) yang bekerja sama dengan Badan Ekse-kutif Jurusan (BEMJ) Kesehatan Masyarakat, di Aula Madya lantai 1, Senin (23/6).

Menurut Iting, tujuan perlunya menerapkan sistem tanggap darurat di kampus UIN Jakarta, agar terhindar dari berbagai bahaya. Ia mencontoh-kan, seperti kasus yang pernah terjadi pada Oktober 2013 lalu, Laborato-

rium Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) rusak dan beran-takan akibat dihantam angin kencang. Hal itu disebabkan kurangnya peren-canaan manajemen keadaan daru-rat yang disesuaikan dengan potensi kondisi gedung yang ada.

Iting menambahkan, selain kurangnya perencanaan, UIN pun masih kurang dalam sosialisasi mana-jemen keadaan darurat. “Di UIN Ja-karta ini terdapat 20 ribu mahasiswa, dan kurang lebih 130 orang karyawan. Tapi, nyatanya mereka belum punya ahli dalam bidang kebakaran,” pa-parnya.

Wakil Rektor (Warek) III, Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul

Hakim, menyatakan, kampus UIN Jakarta sekarang perlu menerapkan sistem tanggap darurat. Hal ini karena ge-dung UIN Jakarta terdiri dari tujuh lantai. “Dulu, UIN be-lum memerlukan sistem tang-gap darurat karena gedung-nya belum banyak, jadi tidak banyak masalah,” ujarnya.

Dalam melakukan pe-nyempurnaan kemajuan UIN, kata Sudarnoto, maka perlu diadakannya penyeim-bangan antara fasilitas dan perawatan gedung. “Kan se-makin tahun, kebutuhan UIN semakin besar dan bertam-bah. Selain itu, sumber daya manusianya juga mengalami perkembangan,” tutur Sudar-noto, Senin (23/6).

Senada dengan Sudarnoto, ketua panitia Rahma Chairunisa, menje-laskan, diadakannya workshop terse-but berdasarkan observasi lapangan panitia terhadap sistem K3 di UIN Ja-karta. Menurutnya, sistem keselama-

Sebagai lembaga pendidikan, kampus seharusnya bisa menjadi tem-pat yang memberikan rasa nyaman dan aman bagi setiap orang dari keadaan bahaya. Apalagi, di dalam kampus begitu banyak aktivitas yang dilakukan mahasiswa, dosen, dan karyawan. Karenanya, untuk mengan-tisipasi kampus dari beragam bahaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Sya-rif Hidayatullah Jakarta perlu menerapkan sistem tanggap darurat dalam melakukan pembangunan gedung UIN Jakarta.

tan UIN Jakarta belum memenuhi standar prosedur K3. Sehingga masih berpotensi terkena bahaya. Selain itu, tujuan diselenggarakannya acara

UIN Perlu Terapkan K3

tersebut juga untuk menyadarkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat UIN terhadap potensi bahaya. (ADV)

Wakil Rektor(Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, sedang menyampaikan sambutan dalam workshop di Aula Student Center, Senin (23/6).

Dok. Pribadi

Sastra14

Cerpen

Edisi XXXIII/September 2014

Pada setiap hari aku masuk di ruang kelasTempatnya di lantai dua di atasDi sepanjang jalan aku meihat para pemulung sedang berebutanMerebut jas lusuh di kantor-kantor kusam, atauDi sampah-sampah ber-AC

Sementara di tangga yang keting-gian satu kilo meterAku melihat huruf-huruf berserakan yang belum kita paham, dansuara hura-hura di sela-sela bangku nakal“ayo pulang, kita santai-santai atau ke pasar-pasar,Semoga guru sesat di jalan!”ada yang nyeletuk berteriak “amin”

Madura, 2012

Kami adalah cukai yang menempel di pintu rumah megah kedua kaki kami dipenggal dijadikan lorong oleh jari-jari nakal

Kami hanya bisa diamwalau badan kami sering diangkat dari kaki yangmeringkik kemudian disambung dan diangkat kembali

Ciputat, 2012

Perempuanku, usahlah kau jagapadahal malam semakin lelapdan jam melamatkan detik.Ada yang ingin memejamkan mataadalah penyair yang terasingdari hibuk distrik.

Perempuanku, lekaslah kau tidursebab kau kelak percaya akansuatu muslihat indah:Sebaris mimpi telah dirangkai dari frasa-frasayang berbeda dan beberapa imaji yang tak biasadi setiap larik ada sebaris diatonikmenjelma partitur J. S. Bach yangselalu kuputar tatkala malam tiba.

Dan kau tak perlu mangkir daridoa. Kunyanyikan “Lagu Malam III”Perempuanku, Muthianissa, tidurlah.

19 Mei 2014

Doa Siswa Nakal Cukai LAGU MALAM IVOleh: Ali Dafir* Oleh: Ali Dafir*

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat

*Penulis adalah pegiat Forum Majelis Kantiniyah

Oleh: @hydesyarif*

PU

ISI

Kau menyebut dirimu petani. Ku-litmu legam. Wajahmu kusam. Kau hidup dari kasih sayang Tuhan lewat alam. Keluargamu tumbuh besar dalam derai cinta yang alam berikan lewat kesuburannya. Kau bergantung pada irama musim. Salah satu musim yang membuatmu tersenyum lebih dari sekadar biasanya adalah musim yang menunjang tumbuh besarnya kami; anak-anak tembakau.

Sejak dulu kau dan kami memang punya hubungan istimewa. Kau rawat kami dengan segenap rasa cinta. Kita seperti sepasang anak dan orang tua.

Memang tak pernah kau menye-but kami anak-anakmu. Sekali pun! Tapi dari caramu merawat dan mem-besarkan kami dengan kerja kerasmu tiap hari, bermandi keringat, air mata harapan dan kesedihan, rasa-nya tak perlu kami mempertanyakan kepastian status itu. Kami tak perlu merepotkanmu dengan pertanyaan itu. Kau anggap kami sebagai anak-anakmu atau bukan, itu tak penting. Kerja kerasmu telah cukup menjawab segala teka-teki sunyi itu.

Kami tak perlu berebut status se-bagai anak-anakmu. Kami tak perlu merepotkan istrimu untuk membagi status cintanya kepada kami dan anakmu. Cukup kami adalah anak-anakmu yang rajin kau rawat dan tak perlu kau beri kami pengakuan yang sah.

Kami masih ingat, di ladang ini kami tumbuh besar dalam perawatan-mu. Sewaktu kami masih bibit muda, melalui serangkaian kasih sayangmu, yang katamu beginilah tradisi yang berlaku di kampung sini cara membe-sarkan kami semua, tiap hari kau biar-kan kami disinari terik matahari agar kami tumbuh bagus. Sembari itu, kau beri kami siraman air secukupnya tiap hari agar kami tak kering.

Kau begitu peduli terhadap kondisi kami. Matamu tak pernah sangsi un-tuk mengawasi perkembangan kami tiap hari. Kau pupuk kami secukup-nya agar pertumbuhan kami bagus.

Manakala ada di antara kami yang tumbuh kurang sehat atau terserang penyakit, kau segera mencari bantuan untuk memperoleh pengobatan. Jika kau temui seseorang hendak meng-ganggu kami atau tak sengaja meng-akibatkan kami terganggu, kau pasti marah besar. Bahkan kau tak segan-segan membikin perhitungan dengan orang itu. Begitulah kau, begitu besar pembelaanmu kepada kami. Semakin kami tambah mantap untuk tak perlu merepotkanmu untuk menjawab sta-tus kami denganmu.

Kami juga masih ingat waktu itu di tempat ini manakala kau bilang kami adalah bibit-bibit masa depan. Bibit-bibit emas. Kami adalah pembawa keberuntungan untuk keluargamu. Sebabnya, sambil mengucapkan itu kau tersenyum bangga sumringah. Waktu itu, kami tidak mengerti apa maksudmu. Kami hanya diam dan sesekali mengikuti irama rayuan ang-in ke mana ia berhembus.

Dan sejauh kau merasa bahagia, kau bangga terhadap kami semua, kau perlakukan kami semua begitu istimewa. Itu sudah cukup. Tak perlu kami semua mengerti apa maksud perkataanmu waktu itu.

***Kini kami tumbuh semakin dewasa

dan besar. Kini kau tak lagi perlu ber-susah payah menyiram kami sebab kami sekarang sudah tak dahaga lagi. Kami sudah terbiasa bergaul dengan terik matahari. “Kami sekarang bisa tahan”, kata kami, “sudah berapa waktu bukan kanak lagi”.1

Daun-daun kami sebagian sudah menguning berkibaran menjanjikan.

Kami menyambut senyummu tiap pagi saat kau mengunjungi kami. Se-nyum, yang menurut kami tak pernah berubah, masih tampak seperti dulu meskipun garis usia dan legam akibat terik jelas di wajahmu. Dan caramu memberi kami perhatian, kerja keras dan kepedulian yang berlebihan, masih seperti beberapa bulan yang lalu.

Kini kami makin menua dan siap dipanen. Kau bilang nanti pada saat yang tepat, kau akan petik daun-daun kami untuk didiamkan di rumahmu barang beberapa hari demi menjalani proses pematangan khusus. Lalu sete-lah itu, dalam proses yang bertahap, kau akan dengan bangga mengatakan pada pembeli, “lihatlah tembakau kami, coba resapi aromanya. Tem-bakau ini bakal membikin produksi rokokmu makin meroket, diminati banyak perokok dunia ini. Kau pasti suka.”

Ucapan itu membuatmu terse-nyum meski pembeli menanggapi geli. Pembeli hanya perlu sedikit tersenyum untuk menghargai senyum puasmu dan selebihnya banyak me-nilai kelemahan-kelemahan kami, tembakaumu yang siap dijual. Uca-panmu juga membuat kami mengerti akhirnya mengapa kau mencintaiku terlampau besar dan kerja keras untuk merawatku. Kami benar-benar hara-pan kesejahteraan keluargamu.

Namun, tiba-tiba kau malah su-nyi. Garis senyum di wajahmu hilang seketika. Kau sempat bersitegang dengan sang pembeli. Katamu de- ngan meyakinkan, “ini daun emas, bagaimana mungkin kau patok harga semurah itu?” Di wajahmu jelas tergu-rat marah. Harga yang diberikan pem-beli tak sesuai dengan kerja keras dan kualitas tembakau ini, begitu katamu dengan tegas.

Nasib Kami,Tembakau dan Petani

“Tembakau-tembakau musim ini tak sebagus musim lalu,” kau dengar itu dari pembeli. “Kalau kau bersi-kukuh dengan harga itu, jelas pabrik rokok kami akan memilih yang lain. Toh, banyak yang mau seharga itu.”

Kau tampak kesal dengan sikap dan cara pembeli menghargai tem-bakaumu. Kami lihat kau masih hen-dak bersitegang. Tapi ….

“Kau coba tawarkan ke pabrik-pabrik rokok yang lain,” kau lihat bagaimana ekspresi sang pembeli. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia melanjutkan, “tak akan ada yang mau menerima di atas harga itu.”

Kau tak bisa berbuat banyak. Ke-butuhanmu untuk segera melunasi hutang-hutang selama masa pena-naman, proses panen dan sampai siap jual sekarang lebih mendesak. Terba-yang untuk segera membiayai sekolah anak-anakmu dan keperluan dapur istrimu. Kini kau berada di antara per-timbangan menjual murah agar segera memperoleh duit atau mempertahan-kan harga yang menurutmu ideal tapi kau ragu benarkah harga tembakau sekarang sedang anjlok?

Beberapa hari lalu kau sempat tersenyum. Kau bilang ada demon-strasi mahasiswa yang menuntut agar keberadaan nasib petani diperhatikan. Kau juga bilang mereka, para maha-siswa, mengatakan bahwa masa depan petani terletak pada masa depan kami. Masa depan kami adalah penentu kesejahteraan para petani. Mereka juga mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah tentang kami, tembakau, yang lebih menguntungkan pembeli daripada petani.

Entahlah seterusnya kritik itu. Yang pasti, akhirnya kau memilih pertimbangan yang pertama, menjual dengan harga murah demi memper-oleh duit segera meskipun tak cukup

menguntungkan bila dihitung dari kerja kerasmu dan pembiayaan lain-nya.

Kami begitu kasihan padamu yang telah merawat dan membesarkan kami. Kalau akhirnya kau tak memi-liki kemerdekaan untuk menentukan harga kami, apalah artinya kau seba-gai pemilik kami. Kau dan kami su-dah dipermainkan.

Kalau saja kami bisa bicara, kami akan memberimu pertimbangan bahwa sesungguhnya kaulah yang lebih berhak tentukan harga. Kami akan meyakinkanmu bahwa pabrik atau pemerintah sekalipun tak berhak begitu saja menentukan harga kami. Kalau saja kami bisa berontak, kami akan berpihak kepadamu. Kami akan melawan kebijakan-kebijakan pabrik. Kami akan bergabung dengan maha-siswa dalam irama demonstrasi yang sampai kini masih terus berlanjut menuntut pemerintah.

Sayangnya, kami hanyalah anak-anak tembakau yang kau rawat dan besarkan sejak bibit hingga tumbuh besar dan siap dijual. Kami hanyalah anak-anak tembakau yang sepenuhnya pasrah pada permainan harga pabrik, calo, dan pemerintah. Kau, petani, se-bagai pemilik sah, sayangnya tak bisa berbuat banyak. Kau kehilangan ke-merdekaanmu, hai petani tembakau.

1 Kata-kata ini berasal dari puisi Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara. Sebagian kata saya modifikasi untuk keperluan cer-pen.

(Cerpen ini dihaturkan untuk masyarakat tani tembakau di tengah per-mainan para tengkulak dan kebijakan pemerintah)

Oleh: Putra Gangga*

* Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir FISIP UIN Syarif Hidayatullah dan penyuka dongeng

Surat Pembaca

Saya mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS, menyarankan kepada pengelola Auditorium Harun Nasution agar bisa memberikan regulasi dan karakteristik yang jelas terkait kegiatan yang bisa di-selenggarakan di gedung tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak memunculkan nuansa diskriminatif.

08596667xxx

Saya mahasiswa Jurusan PBSI, mengeluhkan koneksi wifi yang berada di setiap fakultas. Saat kuliah berlangsung, semisal saat pagi dan siang hari, koneksi wifi malah terbatas. Padahal, saat-saat tersebut merupakan waktu yang urgen dan tepat bagi mahasiswa untuk menikmati koneksi wifi fakultas.

08978325xxx

Saya mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat, meminta agar kunci loker perpustakaan FKIK segera diganti. Supaya aman saat meninggalkan tas di loker.

089653138xxx

“Kriiiing…Kriiiing…,” terdengar suara stik yang bergetar di dalam badan cangkir sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Gelombang bunyi tersebut amat memekakkan telinga para pengunjung di dalam ruang pameran Galeri Nasional.

“Wah, belnya bunyi,” ucap pria berkemeja biru sambil menekan kembali tombol-tombol kuning yang terhubung dengan seutas kabel lis-trik yang bermuara ke kotak sebe-sar koper-koper kecil. Lima tombol kuning itu membunyikan stik plas-tik yang memukul badan cangkir warna-warni. Pria muda itu tampak sibuk dengan alat yang baru dite-mukannya.

Siapa sangka, cangkir kecil warna-warni itu merupakan salah satu seni kriya kontemporer yang bertajuk Propitious 13. Buah karya seniman muda Indonesia, Bagus Pandega itu mampu mengintegrasikan fungsi suara dan getar stik dalam berbagai komponen elektronik. Seni keramik itu mengaplikasikan sisi modern dari sejumlah seni dengan genre keramik di Indonesia.

Kriya dalam Seni Kontemporer

Selain seni cangkir warna-warni, masih ada seni kriya berbau tradi-sional yang menarik untuk diamati. Salah satunya keramik berbentuk wa-jah-wajah manusia berpahatkan ta-nah liat yang ditumpuk menyerupai gunung di dekat pintu masuk galeri. Tampak wajah yang memamerkan senyum bahagia, gurat sedih, hingga tersirat ekspresi ketakutan. Karya kri-ya milik Dadang Christanto bertajuk Java ini bersifat subjektif. Ia meng-guratkan ekspresi suka dan dukanya di tanah Jawa yang menjadi tem-patnya meraih eksistensinya di atas keramik-keramik tersebut.

Dua dari karya yang dibahas di atas hanyalah sekelumit dari pulu-han karya seniman Indonesia yang dipamerkan di Galeri Nasional. Pada pameran bertajuk Jakarta Contemporary Ceramics Biennale 3 (JCCB#3), peng-

unjung dapat melihat geliat seniman muda Indonesia dan seniman kan-cah internasional yang menghasilkan karya kriya kontemporer.

Salah satu penggagas pameran JCCB#3, Asmudjo Jono Iriyanto, menyatakan, ide dari JCCB#3 ada-lah memberikan ruang baru bagi seniman keramik sebagai medium utama maupun medium pilihan dalam berkarya. “JCCB#3 juga se-bagai bagian dari langkah besar un-tuk menjaga kekayaan tradisi kera-mik dan gerabah di Indonesia,” ucap pria yang akrab disapa Kang Mudjo ini, Kamis (25/9).

Salah satu kriya yang menarik perhatian para pengunjung adalah Untitled karya seniman dari Thai-land, Wasinburee Supranichvora-parach. Kriya berupa durian emas yang terbelah itu berdiri dengan

anggun di tengah ruang pameran. Kriya tersebut bermakna durian emas yang berarti menjadi awal kebahagiaan manusia, namun akan berakhir menjadi bencana akibat ke-serakahan manusia.

Selain Thailand, sebanyak 35 seni-man dari berbagai belahan dunia juga berlomba memamerkan seni kriya mereka di Galeri Nasional. Salah satunya, seniman dari Cina, Wan Li Ya, menggagas karyanya berupa deretan keramik berwarna putih yang dibentuk sangat apik menyeru-pai guci kecil. Berbeda dengan seni-man dari Malaysia, Shamsu Mad yang membangun genre horor untuk tembikarnya yang berbalut rantai dan cat merah kecoklatan menyeru-pai darah.

Salah satu kurator JCCB#3, Rifky Effendy mengatakan, tampak

perbedaan karya kriya Indonesia de-ngan negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Hong Kong. Indonesia jarang menerapkan tradisi keramik canggih, seperti me-mamerkan keramik yang didampingi dengan berbagai efek dari komputer sehingga tampak seperti keramik empat dimensi. Penyebabnya dimulai dari modal kultural, teknologi, dan apresiasi masyarakat di Indonesia terhadap seni keramik masih rendah.

Namun, bagi kurator kelas in-ternasional, tanpa sentuhan efek teknologi juga menjadi berkah bagi kesenian di Indonesia. “Keasrian keramik Indonesia masih terjaga sehingga menimbulkan ciri khas tersendiri. Bangga rasanya tiap pen-gunjung yang datang berkata ‘ini pasti keramik karya orang Indone-sia’,” tuturnya, Kamis (25/9).

Gita Juniarti Salah satu karya kriya Roslan Ahmad, Mysterius Rhytm, yang dipamerkan pada JCCB#3 di Galeri Nasional, Kamis (25/3).

Dok. Gita/INS

Seni Budaya Edisi XXXIII/September 2014 15

UIN Jakarta Press saat ini, Idris Thaha, mengungkapkan ketiadaan dana membuat UIN Jakarta Press tidak beroperasi secara maksimal. Selama ini, UIN Jakarta Press hanya menjadi jembatan antara dosen dan tempat percetakan.

Semisal pada 2013 kemarin, UIN Jakarta Press pernah menerima dana untuk menerbitkan 30 buku ajar dari program Wakil Rektor (Warek) I Bi-dang Akademik. Namun, jelas Idris, dalam program tersebut UIN Jakarta Press hanya sebagai pelaksana dan tidak mengambil keuntungan apa pun. “Bukunya pun tidak dijual,” tam-bah Idris, Rabu (17/9).

Terkait hal itu, Warek I Bidang Akademik, Mohammad Matsna, mengatakan sejak awal UIN Jakarta Press termasuk lembaga otonom se-hingga ia tidak bisa secara langsung memberikan intervensi. Meski begitu, pihaknya tetap berusaha mengajukan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Bi-rokrasi (KemenPAN-RB) agar UIN Jakarta Press masuk ke dalam struktur

formal. Keinginan serupa juga disampaikan

Warek II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar. Namun, sampai saat ini pihak KemenPAN-RB belum me-nyetujui usulan tersebut. “Butuh pro-ses panjang dan melelahkan,” katanya, Kamis (25/9).

Tak hanya itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Hamid Nasuhi, membenarkan minimnya staf di UIN Jakarta Press. “Sulit mencari staf yang bekerja tanpa pamrih. Siapa sih yang mau bekerja tanpa gaji?” tuturnya, Ju-mat (26/9).

Hamid menambahkan, dulu UIN Jakarta Press pernah memiliki struktur staf yang jelas, namun karena tak ada kegiatan dan gaji, struktur itu pun tidak berjalan. Saat ini, menurutnya, hanya ia dan Idris yang aktif di UIN Jakarta Press. “Semuanya, kami yang menger-jakan mulai dari manajerial sampai pengeditan naskah,” ungkap pria yang juga aktif sebagai editor di UIN Jakar-ta Press itu.

Sementara itu, Amsal menambah-kan, tidak bisa begitu saja memberi

gaji kepada pegawai yang berada di lembaga non struktural karena aturan pemerintah yang tidak menyediakan anggaran.

“Bahaya, kalau ketahuan Badan Pengawas Keuangan menggaji pegawai lembaga non struktural. Makanya, sampai saat ini saya sedang mencari solusi terbaik supaya bisa menggaji mereka,” ujarnya, Kamis (25/9).

Penerbit Kampus LainMenurut Abdul Halim, UIN Ma-

lang Press bisa rutin menerbitkan 60 sampai 70 buku setiap tahun karena telah menjadi lembaga struktural di universitas. “Penerbitan kami bersum-ber dari dana DIPA universitas,” ka-tanya ketika dihubungi via telepon.

Lebih lagi, ujar Halim, keberlang-sungan UIN Malang Press didukung dengan kebijakan Warek I Bidang Akademik yang meminta dosen un-tuk menerbitkan buku di UIN Malang Press. Selain itu, mereka juga diberi keleluasaan untuk mengikuti pameran dan melakukan pemasaran di toko-toko buku.

Sambungan Hidup Segan ...

COMING SOON! DEBAT CALON REKTOR

Pasang IklanSejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembang-kan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.

lpminstitut.com.

Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya:

Hub: Azizah Nida Ilyas Telp: 085717019957

Twitter: @nidailys

Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan

Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)

INSTITUT OnlineMemiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan

kunjungan 800-1000 per hari

Majalah INSTITUTsajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester

Kuliah lima tahun?Tujuh tahun aja nganggur

Iklan layananan mahasiswa ini dipersembahkanLPM INSTITUT