Tabloid INSTITUT Edisi 16

15
Edisi XVI/November 2011 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Trisna Wulandari “Dana penelitian kurang, jelas, diban- dingkan dengan universitas-universitas lain. Animo (dosen, red) tinggi, sayang dananya terbatas, sehingga kita tidak bisa menyediakan- nya untuk semua dosen.” Hal tersebut diungkapkan Jajad Burha- nuddin, Kepala Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Jakarta (17/11). Menu- rutnya, dana ideal untuk penelitian ber- jumlah lima persen dari total dana keselu- ruhan. Faktanya, dana yang diterima dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk penelitian tahun ini ber- jumlah Rp1,056 miliar, ditambah dana dari APBN-Perubahan (APBN-P) sejum- lah Rp750 juta, dan dari Badan Layanan Umum (BLU) sejumlah Rp1,6 miliar. Kepala Bagian Perencanaan Sadeli mengatakan (16/11), dana dari APBN- P tersebut dialokasikan untuk penelitian institusional. Sementara itu, dana peneli- tian dari BLU dikuotakan untuk sepuluh penelitian individual, sepuluh penelitian kolektif, sepuluh penelitian kompetitif, dan delapan penelitian institusional. Penetapan alokasi tersebut, lanjut Sad- eli, dirancang saat Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) dari perencanaan awal yang diajukan dan ditetapkan oleh rektor. Na- mun, perencanaan tersebut pada akhirnya disesuaikan lagi dengan dana yang ada. Untuk setiap kategori penelitian, Jajad menjelaskan, dana yang diturunkan ber- jumlah lima juta rupiah untuk kategori individu, dua puluh juta rupiah untuk kategori kolektif, lima puluh juta rupiah untuk kategori kompetitif, dan seratus juta rupiah untuk kategori institusional. Ia mengakui, UIN Jakarta masih belum mendapatkan sumber pendanaan lain dari departemen, swasta, dan sebagainya. Sementara itu, Universitas Indonesia (UI), yang diarahkan sebagai universitas riset, mendapatkan dana eksternal dari kerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), perusahaan-pe- rusahaan, DIKTI, dan internasional. Bersambung ke Halaman 15 kol. 2 Halaman 6 Halaman 2 Halaman 7 •Laporan Utama Penelitian: Belum Menjadi Hal yang Bisa Diunggulkan •Laporan Khusus Dugaan Penyelewengan Dana Beasiswa Belum Terselesaikan Dana Bukan Alasan Tak bisa disangkal, kampus kita memang kurang dalam menghasilkan penelitian. Banyak terjal untuk menuju universitas riset. Sebagaimana pencanangan universitas riset yang telah muncul 2002 silam, UIN Jakarta akan melewati batu ter- jal, dan sudah seharusnya dipikirkan sejak awal tentang misi-misi yang diemban. Secara umum, yang harus dimulai adalah men- jadikan penelitian sebuah kebudayaan. Dengan begitu, akan terbangun sebuah nuansa penelitian dalam kampus. Tapi tentu hal ini mesti disokong oleh para elit kampus. Memang tak mudah. Tentu ada tahapan untuk bisa menyokongnya. Pelan tapi pasti. Untuk mengembangkan pe- nelitian, dana menjadi faktor yang amat krusial. Bahkan, faktor itu kini dijadikan alasan kurang berkembangnya penelitian. Amat disayangkan pula bila pihak kampus pasrah terhadap keadaan ini. Minimnya dana penelitian tak bisa selalu di- jadikan kambing hitam. Pihak kampus mesti melebarkan sayapnya agar sumber dana tidak terpaku pada sebuah instansi, baik pemerintah maupun swasta. Dari fakultas pun tak mungkin hanya menunggu kerja sama yang diusahakan oleh pihak rektorat. Pihak fakultas, dengan segala jurusan yang dimilikinya, mesti memiliki jaringan- jaringan khusus yang sesuai dengan bidangnya. Tentu saja dana itu harus dicari, tanpa bisa menunggu dengan mencoba eksis. Seharusnya tak hanya bekerja sama dengan American Corner, yang jarang dijamah oleh mahasiswa. Namun, jika melihat kondisi kampus saat ini, rasanya perwujudan universitas riset hanya men- jadi angan-angan semata. Koleksi pustaka di perpustakaan utama pun masih kurang lengkap. Setidaknya, bila tidak bisa mewujudkan salah satu kriteria universitas riset, yakni perpustakaan yang berbasis internasional, koleksi pustaka di sana bisa memenuhi kebutuhan para mahasiswa dalam mencari referensi. Kriteria yang lain adalah fasilitas teknologi in- formasi di lingkup kampus. Realitanya, sivitas aka- demika UIN Jakarta masih kesulitan mengakses internet. Jika terus begini, mana bisa jadi world class university? Nuansa meneliti harus dibangun sejak awal terhadap dosen-dosen. 2002 lalu, saat berubah- nya IAIN menjadi UIN, kampus ini telah men- canangkan dirinya sebagai universitas riset. Na- mun memang, penetapannya jatuh pada tahun 2007. Untuk mencapainya, sebuah universitas mesti memiliki kekuatan internal dalam hal apa- pun, terutama pustaka yang lengkap. Bicara banyak tak diperlukan. Yang terpent- ing adalah tindakan. Kini memang sudah terlihat jaringan-jaringan yang sudah bermunculan, seper- ti American corner salah satunya yang berada di Perpustakaan Utama. Perpustakaan utama pun, kelengkapannya tak bisa diyakini lagi. karena jika kita memasukinya, masih banyak buku-buku di bidang manapun yang tidak memiliki kampus ini. Bagaimana mungkin mencapai universitas riset jika kelengkapan pustaka masih harus dipertan- yakan? Akankah kebudayaan meneliti ini dapat terger- us? Tentu bisa. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi UIN Jakarta jika pengembangan untuk pe- nelitian terhambat. Banyak hambatan yang untuk mengembangkannya. Selain itu, dana yang mi- nim ini pun mesti dimanfaatkan benar-benar agar teralokasikan dengan baik. Fokus pihak kampus harus tertuju pada pem- bentukan dana adalah poin terpenting untuk men- dukung penelitian. Karena meski semangat dosen besar, tapi dana tidak mendukung, penelitian pun tidak berjalan dengan lancar. •Pustaka Jelajah Dunia Filsafat dengan Novel Halaman 12 Sosok Firman Faturohman Telusuri Sejarah Lambang Negara ILUSTRASI: TRISNA WULANDARI

description

Penelitian

Transcript of Tabloid INSTITUT Edisi 16

Page 1: Tabloid INSTITUT Edisi 16

Edisi XVI/November 2011 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Editorial

Trisna Wulandari

“Dana penelitian kurang, jelas, diban-dingkan dengan universitas-universitas lain. Animo (dosen, red) tinggi, sayang dananya terbatas, sehingga kita tidak bisa menyediakan-nya untuk semua dosen.”

Hal tersebut diungkapkan Jajad Burha-nuddin, Kepala Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Jakarta (17/11). Menu-rutnya, dana ideal untuk penelitian ber-jumlah lima persen dari total dana keselu-ruhan. Faktanya, dana yang diterima dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk penelitian tahun ini ber-jumlah Rp1,056 miliar, ditambah dana dari APBN-Perubahan (APBN-P) sejum-lah Rp750 juta, dan dari Badan Layanan

Umum (BLU) sejumlah Rp1,6 miliar. Kepala Bagian Perencanaan Sadeli

mengatakan (16/11), dana dari APBN-P tersebut dialokasikan untuk penelitian institusional. Sementara itu, dana peneli-tian dari BLU dikuotakan untuk sepuluh penelitian individual, sepuluh penelitian kolektif, sepuluh penelitian kompetitif, dan delapan penelitian institusional.

Penetapan alokasi tersebut, lanjut Sad-eli, dirancang saat Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) dari perencanaan awal yang diajukan dan ditetapkan oleh rektor. Na-mun, perencanaan tersebut pada akhirnya disesuaikan lagi dengan dana yang ada.

Untuk setiap kategori penelitian, Jajad menjelaskan, dana yang diturunkan ber-

jumlah lima juta rupiah untuk kategori individu, dua puluh juta rupiah untuk kategori kolektif, lima puluh juta rupiah untuk kategori kompetitif, dan seratus juta rupiah untuk kategori institusional.

Ia mengakui, UIN Jakarta masih belum mendapatkan sumber pendanaan lain dari departemen, swasta, dan sebagainya.

Sementara itu, Universitas Indonesia (UI), yang diarahkan sebagai universitas riset, mendapatkan dana eksternal dari kerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), perusahaan-pe-rusahaan, DIKTI, dan internasional.

Bersambung ke Halaman 15 kol. 2

Halaman 6Halaman 2 Halaman 7

•Laporan Utama Penelitian: Belum Menjadi Hal yang Bisa Diunggulkan

•Laporan Khusus Dugaan Penyelewengan Dana Beasiswa Belum Terselesaikan

Dana Bukan AlasanTak bisa disangkal, kampus kita memang

kurang dalam menghasilkan penelitian. Banyak terjal untuk menuju universitas riset. Sebagaimana pencanangan universitas riset yang telah muncul 2002 silam, UIN Jakarta akan melewati batu ter-jal, dan sudah seharusnya dipikirkan sejak awal tentang misi-misi yang diemban.

Secara umum, yang harus dimulai adalah men-jadikan penelitian sebuah kebudayaan. Dengan begitu, akan terbangun sebuah nuansa penelitian dalam kampus. Tapi tentu hal ini mesti disokong oleh para elit kampus. Memang tak mudah.

Tentu ada tahapan untuk bisa menyokongnya. Pelan tapi pasti. Untuk mengembangkan pe-nelitian, dana menjadi faktor yang amat krusial. Bahkan, faktor itu kini dijadikan alasan kurang berkembangnya penelitian. Amat disayangkan pula bila pihak kampus pasrah terhadap keadaan ini.

Minimnya dana penelitian tak bisa selalu di-jadikan kambing hitam. Pihak kampus mesti melebarkan sayapnya agar sumber dana tidak terpaku pada sebuah instansi, baik pemerintah maupun swasta. Dari fakultas pun tak mungkin hanya menunggu kerja sama yang diusahakan oleh pihak rektorat. Pihak fakultas, dengan segala jurusan yang dimilikinya, mesti memiliki jaringan-jaringan khusus yang sesuai dengan bidangnya.

Tentu saja dana itu harus dicari, tanpa bisa menunggu dengan mencoba eksis. Seharusnya tak hanya bekerja sama dengan American Corner, yang jarang dijamah oleh mahasiswa.

Namun, jika melihat kondisi kampus saat ini, rasanya perwujudan universitas riset hanya men-jadi angan-angan semata. Koleksi pustaka di perpustakaan utama pun masih kurang lengkap. Setidaknya, bila tidak bisa mewujudkan salah satu kriteria universitas riset, yakni perpustakaan yang berbasis internasional, koleksi pustaka di sana bisa memenuhi kebutuhan para mahasiswa dalam mencari referensi.

Kriteria yang lain adalah fasilitas teknologi in-formasi di lingkup kampus. Realitanya, sivitas aka-demika UIN Jakarta masih kesulitan mengakses internet. Jika terus begini, mana bisa jadi world class university?

Nuansa meneliti harus dibangun sejak awal terhadap dosen-dosen. 2002 lalu, saat berubah-nya IAIN menjadi UIN, kampus ini telah men-canangkan dirinya sebagai universitas riset. Na-mun memang, penetapannya jatuh pada tahun 2007. Untuk mencapainya, sebuah universitas mesti memiliki kekuatan internal dalam hal apa-pun, terutama pustaka yang lengkap.

Bicara banyak tak diperlukan. Yang terpent-ing adalah tindakan. Kini memang sudah terlihat jaringan-jaringan yang sudah bermunculan, seper-ti American corner salah satunya yang berada di Perpustakaan Utama. Perpustakaan utama pun, kelengkapannya tak bisa diyakini lagi. karena jika kita memasukinya, masih banyak buku-buku di bidang manapun yang tidak memiliki kampus ini. Bagaimana mungkin mencapai universitas riset jika kelengkapan pustaka masih harus dipertan-yakan?

Akankah kebudayaan meneliti ini dapat terger-us? Tentu bisa. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi UIN Jakarta jika pengembangan untuk pe-nelitian terhambat. Banyak hambatan yang untuk mengembangkannya. Selain itu, dana yang mi-nim ini pun mesti dimanfaatkan benar-benar agar teralokasikan dengan baik.

Fokus pihak kampus harus tertuju pada pem-bentukan dana adalah poin terpenting untuk men-dukung penelitian. Karena meski semangat dosen besar, tapi dana tidak mendukung, penelitian pun tidak berjalan dengan lancar.

•Pustaka Jelajah Dunia Filsafat dengan Novel

77 Halaman 12

•Sosok

Firman FaturohmanTelusuri Sejarah LambangNegara

ILU

STRA

SI: T

RISN

A W

ULA

ND

ARI

Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian Dana Penelitian UIN MinimUIN Minim

Page 2: Tabloid INSTITUT Edisi 16

Assalamualaikum Wr. WbSalam INSTITUTSalam sejahtera untuk kita semua.

Semoga kehadirat Tuhan Yang Maha Esa selalu tercurah ke dalam hati kita. Kembali kami hadir di hadapan Anda untuk memberikan seputar permasala-han kampus tercinta. Kali ini, dengan berjibaku dengan kawan-kawan inter-nal, akhirnya kami memutuskan isu sen-tral berupa masalah penelitian di UIN Jakarta yang masih minim.

Katanya, alasannya karena urusan dana. Apakah dana bisa mengurangi intensitas penelitian di kampus ini? Lalu apakah dana penelitian itu hanya ber-sumber dari kampus? Seperti diketahui sebelumnya, UIN Jakarta sudah lama dicanangkan sebagai universitas riset, yaitu dari tahun 2002. Namun, baru ditetapkannya pada tahun 2007. Tapi kenapa penelitiannya jadi minim ya? Untuk selanjutnya baca saja Headline-nya.

Pada laporan utama, kami mengha-dirkan berita turunan dari HL. Yaitu mengenai keunggulan penelitian UIN Jakarta yang belum bisa ditonjolkan, publikasi, dan selainnya. Dari situ me-munculkan kembali pertanyaan tentang kenapa penelitian di kampus ini sulit berkembang. Semua itu tersuguhkan dalam laporan utama.

Pada “laporan khusus”, kami meng-hadirkan tentang perjalanan draf SG yang kini direspon oleh pihak Kemenag. Rektor pun pada akhirnya mengeluar-kan surat keputusan sementara tentang pemberlakuan POK. Apakah benar be-gitu?

Untuk lebih mengetahui secara men-dalam, bacalah dengan seksama tapi santai tabloid INSTITUT edisi 16 ini. Untuk Anda pembaca setia kami, kami menerima kritik dan sarannya. Bagi yang belum kebagian, dapat langsung mendatangi sekretariat kami di gedung Student Center untuk mengambilnya. Akhir kata, selamat membaca...

Wassalamualaikum Wr. Wb

Salam Redaksi

Edisi XVI/November 2011LAPORAN UTAMA2

Penelitian: Belum Menjadi Hal yang Bisa Diunggulkan

mungkin dikarenakan IPB merupakan uni-versitas pertanian di mana banyak penelitian yang nilai aplikatifnya tinggi. “Jika dilihat usianya pun, LPPM IPB memang sudah lebih dahulu ada,” jelasnya (15/10).

Perihal minimnya jumlah dosen peneliti di UIN Jakarta, Jajad Burhanuddin, Ketua Lemlit yang baru dilantik pada Mei lalu, melihat itu sebagai kurang baiknya kualitas dosen dalam proposal yang diajukan. “Masih banyak (dosen, red) yang belum punya skill yang bagus, begitupun dalam penulisannya,” tandasnya. Selain dana yang disediakan un-tuk penelitian UIN terbatas, Jajad mengang-gap kegiatan penelitian memang belum bisa menjadi sesuatu yang diunggulkan. “Pe-nelitian di sini masih marjinalitatif,” akunya pada Rabu, (9/10).

Sementara itu, Iwan Purwanto, Sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu Penge-tahuan So-sial (Sekjur IPS) yang tahun ini proposal pe-nelitiannya diterima oleh lemlit, mengatakan ada banyak hal mengapa kesadaran peneli-tan dan keberadaan peneliti kurang. Semisal, demi karir si dosen. “Itu menjadi suatu ke-butuhan karena menyangkut jabatan dosen. Kalau dia tidak mau meneliti, ya tidak akan naik pengkatnya dan bisa juga untuk sertifi-kasi,” ucapnya. Tapi, terpenting itu, peneli-tian ini sebagai realisasi dari Tri Darma, juga sebagai pengalaman.

Peran mahasiswa dalam penelitian

Keberadaan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, sudah sepatutnya dilibatkan dalam penelitian yang dilakukan oleh dosen. Menurut Agus Salim, Pembantu Dekan III Bid. Akademik Fakultas Sains dan Teknologi (FST) yang juga peneliti UIN, meski pelibatan mahasiswa tidak ada dalam SK Rektor, pengakreditasian terhadap pe-nelitian oleh Pendidikan Nasional (Diknas) akan bagus jika melibatkan mahasiswa di dalamnya. “Idealnya memang se-perti itu,” tandasnya. Lalu bagaimana pelibatan maha-siswa di UIN dalam penelitian?

Ketika ditanya perihal bagaimana peneli-tiannya di Fakultas Tarbiyah, Iwan menga-takan pelibatan mahasiswa dalam penelitian yang diadakan dosen memang tidak sepe-nuhnya meneliti. Keberadaan mahasiswa di tengah penelitian yang dilakukan dosen masih sebagai pengkoleksi bahan dan data yang diteliti. “Pelibatan mahasiswa dalam penelitian saya tahun ini memang untuk mengumpulkan data. Hal itu juga terjadi karena objek penelitian saya pun melibatkan para mahasiswa saya,” terangnya (17/11).

Bukan berita baru kalau UIN Syarif Hidayat-ullah Jakarta bertekad menjadi universitas kelas dunia atau World Class University. Keinginan mulia ini memerlukan usaha yang keras mengin-gat capaian untuk menjadi universitas kelas dunia itu tidaklah mudah. Paling tidak bisa menyejajar-kan dirinya dengan Universitas Indonesia. Salah satu program untuk mencapai cita-cita mulia itu adalah dengan memberikan nilai A untuk peneli-tian yang dilakukan sivitas akemika UIN. Perta-nyaannya adalah, apakah kampus yang terletak di pinggir kota Jakarta ini sudah bagus dalam hal penelitian? Apakah sudah banyak yang dilaku-kan Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN? Bagaima-na dengan jumlah dosen dan mahasiswa yang meneliti? Benarkah minim jumlahnya?

Berdasarkan data yang diterima dari staf Lemlit pada Jum’at, 11 November, jumlah dosen yang proposal penelitiannya disetu-jui oleh lemlit beserta penguji pada tahun ini sekitar 92 penelitian. Jumlah itu sudah termasuk ke dalam empat golongan peneli-

tian, yakni penelitian institusional, penelitian kompetitif, penelitian kolektif, dan penelitian individual. Pun dengan jumlah penelitian pada tahun 2010, lemlit hanya menerima 88 penelitian yang diajukan para dosen. Jum-lah ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penelitian dan judul yang disampai-kan oleh Abbas Ghazali dalam wawancara Hamzah Farihin dari Berita UIN (4/2) , Ke-tua Lemlit tahun lalu, yakni 63 judul.

Jumlah ini jelas timpang dengan jumlah penelitian yang diadakan oleh universitas lainnya, semisal Universitas Indonesia (UI) yang mencapai 900 penelitian dan Insti-tut Pertanian Bogor (IPB). Menurut Wakil Ketua Lembaga Peneltian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB, Rony Rachman Noor, terjadinya perbedaan jumlah peneli-tian yang timpang itu dikarenakan atmosfer universitas atau lembaga penelitian itu sendi-ri yang memang berbeda. Misalnya saja, menurut Rony, IPB lebih banyak jumlahnya

Ema Fitriyani

Agus Salim, peneliti nasional sekaligus Pudek III FST (16/11)

Koordinatur Liputan: Jaffry Prabu Reporter: Aam Mari-

yamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani,

Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi,

Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu

Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Rifki Sulviar, Trisna Wu-

landari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata

Letak: Dika, Rizqi, Jaff, Ulan Editor: Oby, Umar, Lilis, Hil-

man, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilustrator: Omen, Ulan

Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung

Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95

Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085-697-091-557 Web:

www.lpminstitut.com Email: [email protected].

Setiap reporter INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta

tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apa-

pun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Diterbitkan olehLembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta

SK. Rektor No.23 Th. 1984Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006

Pemimpin Umum: Khalisotussurur | Sekre-

taris: Egi Fajar Nur Ali | Bendahara Umum:

Rina Dwihana Fitriani | Pemimpin Redaksi:

Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana:

Umar Mukhtar | Artistik : Dika Irawan | Pem-

impin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan &

Sirkulasi: Ibnu Affan | Marketing & Promosi:

Fajar Ismail | Pemimpin Litbang: Hilman Fauzi

| Penelitian & Riset: Abdul Kharis | Pengem-

bangan SDM: Iswahyudi.

FOTO:EMA/INSTITUT

Page 3: Tabloid INSTITUT Edisi 16

LAPORAN UTAMA 3

Rahayu Oktaviani

Publish or perish, slogan yang ter-kenal dikalangan akademisi Amerika Serikat belakangan ini. Slogan di-maksud untuk hasil penelitian agar memperhatikan juga publikasinya. Tidak hanya publish or perish, Mur-tadla Muthahhari, ilmuwan Islam mengatakan: tinta ulama’ sama de-ngan darah syuhada’. Dua slogan ini bertujuan hampir sama, untuk mem-berikan semangat bahkan merubah pemikiran penulis dan juga memikir-kan publikasi penelitiannya agar lebih bermanfaat.

Slogan di atas bisa dijadikan pacuan bagi para peneliti untuk lebih mempublikasi hasil peneli-tiannya, tak terkecuali Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut Jajad Burhanuddin, Ketua Lemlit, mempublikasikan hasil penelitian memang masih kurang. Publikasi yang diselenggarakan lemlit hanya didistribusikan ke Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpus-takaan Fakultas. Selebihnya lemlit hanya mendorong para peneliti untuk mempublikasikan hasil pe-nelitiannya secara pribadi. “Pe-neliti wajib mempublikasi, karena

hasil penelitiannya milik dia (pe-neliti, red),” ucapnya (7/11).

“Sayangnya Perpustakaan Uta-ma tidak memberikan perlakuan khusus untuk laporan hasil pe-nelitian oleh lemlit,” ungkap Siti Maryam, Pelaksana Teknis Per-pustakaan Utama UIN Jakarta. Menurutnya, terakhir kali lemlit menyerahkan hasil penelitian pada tahun 2007 dalam bentuk laporan murni belum dijadikan buku. Sedangkan pada tahun berikutnya, lemlit hanya menye-rahkan buku ajar atau buku yang dibuat oleh dosen sebagai bahan ajar yang diterbitkan oleh lemlit, dan itu bukan laporan penelitian.

Tidak hanya Lemlit, beberapa peneliti pun masih kurang maksi-mal dalam melakukan publikasi. Salah satunya Suhilman, peneliti sekaligus dosen di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), yang kurang memperhatikan publikasi hasil penelitiannya. Menurutnya jika penelitian sudah dilaksana-kan, selanjutnya laporan hasil penelitian diserahkan ke Lemlit termasuk publikasinya. “Kalau secara khusus mempublikasi hasil penelitian kami (Suhilman dan

rekan-rekan penelitiannya, red) tidak pernah dilakukan,” ujarnya (16/11).

Digitalisasi Dalam Bentuk Online

Pendigitalisasian hasil peneli-tian bisa menjadi jalan keluar un-tuk melakukan publikasi. selain untuk mempermudah akses pub-likasi, digitalisasi online juga dapat meminimalisir plagiarisme. Seper-ti yang dilakukan Lembaga Peneli-tian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurut Ronny Rachman (15/11), Wakil Ketua Bidang Pe-nelitian LPPM IPB, semua hasil penelitian yang sudah dipatenkan akan dimuat dalam website LPPM IPB, se-hingga dapat dipublikasi-kan secara langsung.

Senada dengan LPPM IPB, Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Indonesia (UI), juga melakukan digitalisasi online bahkan mulai dari penyerahan proposal peneli-tian. Menurut Rr. Tutik Sri Hari-yati, Staf Ahli sub Direktorat Ri-set dan Inkubator Industri, semua hasil riset dimuat di online, namun

laporan tersebut belum dianjurkan menjadi sebuah referensi bagi ma-hasiswa UI dalam mengerjakan tugas kuliahnya. “Jika hasil riset belum dimuat dalam jurnal inter-nasional, maka laporan penelitian tersebut dianggap belum menyele-saikan proses penelitian yang su-dah menjadi standar di UI,” ung-kapnya.

Tutik menambahkan, laporan hasil penelitian memang beberapa dicetak, namun fungsi dari lapo-ran tercetak tersebut, hanya un-tuk keperluan kearsipan bukan

dipublikasi. Jumlah laporan yang dicetak pun hanya tiga eksemplar. “Laporan hasil riset itu digunakan untuk pencairan dana di bagian keuangan, satu eksemplar untuk arsip dan satunya lagi untuk per-pustakaan,” tambahnya.

Pendigitalisasian secara online hasil penelitian memang baru menjadi rancangan kerja di Lemlit UIN Jakarta. Jajad menambah-kan, pendigitalisasian ini dapat memperluas publikasi hasil peneli-tian yang selama ini masih kurang dilakukan Lemlit.

Kompetensi seorang reviewer atau penguji proposal penelitian, menjadi penting ketika sebuah proposal peneli-tian ingin berlanjut menjadi riset pe-nelitian yang disahkan. Karena para reviewer inilah yang berperan untuk mensahkan proposal tersebut.

“Kompetensi para reviewer kita jelas. Standar Operasional Prose-dur (SOP)-nya ada, minimal dia (reviewer, red) harus doktor dan 95% reviewer yang kita punya su-dah professor,” tutur Rony R. Noor, Wakil Kepala Bidang Pene-litian di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB (15/11).

Ia menjelaskan, bahwa para re-viewer IPB pun diharuskan mem-punyai kompetensi yang baik sesuai bidang yang akan diujikan.

Wakil ketua LPPM ini mengaku bahwa kualitas para reviewer IPB sudah tidak diragukan lagi, “Kita juga melihat track record orang yang akan menjadi reviewer. Bi-asanya dia sudah sering melaku-kan penelitian bertaraf nasional maupun internasional,” tukasnya.

Lanjutnya, IPB juga tidak mengambil reviewer eksternal ka-rena kualitas dan kuantitas reviewer yang dimiliki sudah sangat men-cukupi, “Kami punya sekitar 30 sampai 40 reviewer, untuk satu pro-posal saja diuji oleh dua reviewer.”

Berbeda dengan university of re-search lainnya, melalui Direktorat Riset dan Pengabdian kepada

Masyarakat, Tutik Sri Hariyati, Universitas Indonesia (UI) me-ngaku malah lebih menggunakan reviewer eksternal untuk menguji proposal penelitian mereka.

“Reviewer kita nggak hanya dari UI tapi juga dari luar negeri. Selain itu semua sistem dikerjakan secara online. Mulai dari pengumuman, masukin proposal, sampai review online. Baru ketika presentasi pro-posal dilakukan secara langsung,” kata Tutik (9/11).

Menurutnya, hal itu dilakukan agar memudahkan mobilisasi para peneliti dan juga reviewer, “Jadi ke-tika ada yang di luar negeri tetap bisa menguji secara tepat waktu. Karena semuanya sudah dikerja-kan secara online.”

Ketika disinggung mengenai kompetensi reviewer, wanita yang menjabat sebagai Staf Ahli Sub Direktorat dan Inkubator Industri ini menjelaskan bahwa seorang reviewer minimal harus menge-nyam pendidikan hingga S3, tidak sedang meneliti dan merupakan reviewer eksternal.

Ketika UI dan IPB telah me-masuki taraf university of research, UIN Jakarta sebagai universitas perintis tentu tidak mau ketingga-lan kompetensinya. Elpawati, Ke-tua Pusat Penelitian dan Pengab-dian kepada Masyarakat (P3M) FST UIN Jakarta mengaku mem-punyai standar ketika akan melu-luskan sebuah proposal penelitian.

“Kita nggak main-main, sebuah proposal penelitian harus sebuah ilmu baru dan terbarukan, original, sesuai format dan memang pen-ting untuk diteliti. Untuk apa me-neliti sebuah penelitian yang su-dah pernah diteliti sebelumnya,” ungkapnya tegas. (17/11)

Namun, walau sudah memiliki standar dalam kualifikasi peni-laian, SOP reviewer UIN Jakarta

terkesan kurang jelas dan tidak nyata, “SOP-nya ada, tapi ya tidak berbentuk SOP sih. SOP itu kan hanya mengacu pada pemili-han orang-orang berkompeten di bidangnya,” tutur Jajad Burha- nuddin, Ketua Lembaga Peneli-tian (Lemlit) UIN Jakarta. (17/11)

Di sela-sela kesibukannya, ia menuturkan bahwa rata-rata re-viewer adalah seorang guru besar,

tapi tidak menutup kemungkinan untuk orang-orang yang dianggap berkualifikasi disertakan untuk menguji proposal.

UIN Jakarta sendiri tidak me- nyertakan reviewer eksternal dalam pengujian penelitiannya, “Kita sendiri sudah menjadi reviewer na-sional kok, jadi berdayakan yang sudah ada saja,” jelas Elpa menu-tup pembicaraan.

Kompetensi Reviewer UIN Jakarta, Tertinggalkah?

Setiap reviewer menguji 10-15 proposal yang masuk ke LEMLIT UIN Jakarta, (17/11).

FOTO

: TYA

/IN

STIT

UT

Aditya Putri

Publikasi Hasil Penelitian Lemlit Perlu Perbaikan

Fasilitas online LPPM untuk mempublikasi hasil penelitian IPB

sumber lppm

.ipb.ac.id

Edisi XVI/November 2011

Page 4: Tabloid INSTITUT Edisi 16

LAPORAN KHUSUS4

Surat Peringatan Rektorat untuk DemonstranRifki Sulviar

Kemenag Merespon Draf SG

Pembuatan draf Student Goverment (SG) sudah diselesaikan mahasiswa. Draf tersebut diberikan mahasiswa kepada rektorat tanggal 15 Agustus lalu. Rektorat mengirim draf terse-but seminggu setelah mahasiswa mengirimkan ke rektorat.

Draf SG dibuat oleh maha-siswa dari enam fraksi. lima fraksi partai, yaitu partai Boe- nga, Partai Persatuan Maha-siswa (PPM), Partai Reformasi Mahasiswa (Parma), Pantai In-telektual Muslim (PIM), Partai Progressif dan satu fraksi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Mengenai proses pengiriman dari rektorat ke Kementerian Agama (Kemenag) yang mema-kan waktu seminggu, itu dika-renakan harus mendapat tanda tangan dari berbagai pihak re-ktorat. Hal itu disampaikan Amellya Hidayat selaku staf kemahasiswaan saat diwawan-carai di ruangannya. ”Salah satu kelemahan birokrasi itu lambat,” tegas Amel (16/11).

Setelah mendapat tanda tangan, Amel bergegas ke Ke-menag untuk menyerahkan draf

tersebut. Draf yang dikirimkan berupa print out. Setelah itu sivi-tas UIN Jakarta hanya menung-gu panggilan dari Kemenag me-ngenai draf tersebut.

Amel menunjukkan kepada INSTITUT bukti serah terima bahwa draf SG telah diberikan kepada pihak Kemenag.

Awal November, akhirnya Kemenag memberikan jawa-ban. Mereka mengundang pihak rektorat untuk membahas draf tersebut. “Undangannya sampai di UIN tanggal 9 November le-wat faksimile,” tukas Amel.

11 November, rektorat pergi ke Kemenag tanpa mahasiswa, sesuai dengan isi surat balasan dari Kemenag. Setelah perte-muan itu, mahasiswa juga men-dapat surat undangan dari Ke-menag.

Kemudian, perwakilan maha-siswa yang terdiri dari 12 orang, mendatangi pihak Kemenag, untuk mempresentasikan draf SG. Safriansyah selaku Kepala Seksi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), mem-buka pertemuan tersebut dengan

memberikan alasan kenapa me-manggil mahasiswa ke Kemenag.

Menurutnya, yang mengetahui isi draf SG adalah mahasiswa. Karenanya, mahasiswa sendiri yang harus datang menjelaskan isi draf tersebut. Saat perte-muan dengan rektorat kemarin, pihaknya pun masih belum pa-ham dengan isi draf itu.

Dalam presentasinya, maha-siswa jelas menentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Mereka menjelaskan dengan menganalisis Strenght, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT), dari sistem SG yang telah diusung mahasiswa selama satu dekade.

Setelah pembicaraan yang amat panjang, ditemukanlah titik tengah dari masalah POK. Safri menjanjikan akan menyampai-kan keluh kesah ini kepada rek-torat di pertemuan selanjutnya.

“Jika rektorat menyetujui apa yang dipermasalahkan maha-siswa, maka masalah selesai. Tapi jika rektorat tidak menyetu-jui masalah (keluh kesah, red) ka-lian, maka akan kita pertemukan

dari kedua belah pihak,” janjinya kepada mahasiswa yang hadir di pertemuan tersebut.

Tapi, pertemuan itu masih be-lum ditentukan waktunya. Moh. Matsna selaku Pembantu Rektor (Purek) 1 Bagian Akademik yang menggantikan tugas sementara Sudarnoto Abdul Hakim, se-bagai Purek 2 Bagian Kema-hasiswaan, menuturkan bahwa

pertemuan selanjutnya masih menunggu panggilan dari Keme-nag lagi.

Di pertemuan selanjutnya yang akan bertemu dengan Kemenag adalah Sudarnoto. “Karena saat ini pak Noto masih belum pu-lang dari melaksanakan ibadah haji. Kalau pak Noto sudah pu-lang, ia yang akan mengurus itu semua,” papar Matsna (17/11)

Jaffry Prabu Prakoso

Pergerakan Mahasiswa Islam Indone-sia (PMII) diharapkan bertanggung jawab dan segera memberikan penjela-san resmi tertulis terkait dengan pence-maran nama baik rektor dan seruan membakar rektorat.

Hal tersebut tertulis dalam surat bernomor Un.01/R/OT.00.4/1627/2011 yang dituju-kan oleh rektorat kepada Ketua Umum PMII Cabang Ciputat. Dalam surat yang bertanda tangan Sudarnoto Abdul Hakim, Pem-bantu Rektor (Purek) III, berisi tiga catatan penting rektorat me-ngenai demonstrasi yang dilaku-kan PMII, satu minggu setelah Orientasi Akademik dan Kebang-saan (OAK).

Tiga catatan tersebut dianta-ranya, pertama, adanya fitnah dan pencemaran nama baik rektor dengan menuliskan “Rektor = Ko-ruptor” pada salah satu pamflet.

Kedua, adanya orator yang memprovokasi massa untuk me-lakukan tindakan kriminal de-ngan meneriakkan “Bakar rek-torat”.

Ketiga, pencemaran nama baik dan memprovokasi massa untuk melakukan tindakan kriminal je-las tidak sekedar tindakan yang tidak terhormat tapi juga berten-tangan dengan ajaran Islam.

Menanggapi surat yang dituju-kan pada Budi Purnomo, Ketua

PMII Cabang Ciputat, mengata-kan, surat tersebut hanyalah se-buah “surat cinta” yang diberikan kepadanya dari rektorat. Hal terse-but dikarenakan, menurut Budi, di dalam surat tersebut hanya menjelaskan seperti apa maksud PMII dalam demonstrasi yang di-lakukan di areal kampus.

Tak jauh berbeda dengan Budi, Herman Saputra, Sekretaris Umum PMII Cabang Ciputat, mengungkapkan, surat tersebut hanyalah surat biasa, bukan suatu ancaman. Namun, meskipun su-rat tersebut dianggap biasa bagi-nya, Herman mengatakan, PMII diminta memberikan data terkait demonstrasi yang dilakukan dan jika tidak maka akan dilaporkan ke polisi.

Kemudian Herman menam-bahkan, dia telah mengantongi sejumlah data yang diminta rek-torat. “Saya punya buktinya tapi belum 100%, baru sekitar 30%,” tandasnya, (11/12).

Akan tetapi, Budi menegaskan, “Tidak ada perintah untuk mem-berikan data.” Menurutnya, hal tersebut hanyalah isu yang ber-edar di publik.

Budi menuturkan bahwa di hari setelah demonstrasi, diadakan mediasi dengan pihak rektorat. “Saat mediasi, Sudarnoto hanya menanyakan apa yang menjadi tuntutan kami (mahasiswa, red)

dan surat tersebut keluar setelah mediasi,” jelasnya.

Ketika Budi ditanya terkait tin-dakan selanjutnya setelah menda-pat surat tersebut, dia menjawab bahwa pihaknya ingin menemui Sudarnoto. Namun, ketika surat tersebut sampai padanya, Sudar-noto sudah berangkat ibadah haji, lalu dia menemui Moh. Matsna yang menjadi Penanggung Jawab Sementara (PJS) Purek III. “Surat tersebut baru saya terima tiga hari setelah surat dikeluarkan,” tam-bah Budi.

Dalam penjelasannya, Budi menuturkan, masalah ini sudah menjadi biasa dan mungkin tidak akan ditindaklanjuti (16/11). Se-dangkan Herman mengatakan, pihaknya akan mempertanggung-jawabkan data yang ada kepada Sudarnoto ketika dia kembali be-kerja.

Herman menambahkan, hal tersebut karena dia menganggap PJS Purek III tidak memiliki ka-pasitas apapun untuk memediasi masalah yang terjadi.

Ketika berita ini diturunkan, Su-darnoto tidak bisa ditemui, kemu-dian INSTITUT menemui Matsna untuk meminta tanggapan dari pihak rektorat terkait masalah tersebut (17/11). Dia mengatakan, “Masalah ini disudahi sajalah, tak usah diperpanjang lagi.”

Safriansyah (depan kiri) beserta dengan para mahasiswa menyaksikan persen-tasi dari Iman Lesmana (depan laptop), mengenai analisis SWOT SG yang ada diUIN JAkarta di kantor Kemenag (15/11).

Surat rektorat Un.01/R/OT.00.4/1627/2011, hal demonstrasi PMII, yang dianggap hanya sekedar surat biasa saja oleh PMII.

FOTO

: JA

FFRY

/IN

STIT

UT

Edisi XVI/November 2011FO

TO: A

PRIL

/IN

STIT

UT

Page 5: Tabloid INSTITUT Edisi 16

LAPORAN KHUSUS 5

Dari, oleh Rektorat dan untuk Kepentingan Mahasiswa?Muhammad Umar

Aprilia Hariani

mik, ada unsur pimpinan, ada un-sur dosen, unsur tenaga pendidik, maka jangan hanya mahasiswa- nya saja yang ngotot maunya ini, harusnya kan ada pilihan-pilihan, ada tawaran-tawaran. Yang pen-ting lembaga kemahasiswaan ja-lan, organisasi kemahasiswaan tidak dibubarkan hanya karena masalah teknis pemilihan,” lan-jutnya.

Agar tidak terjadi kevakuman terhadap lembaga kemahasiswaan maka SK ini dibuat oleh rektorat. “Kalau mahasiswa menolak, ya sudah, vakum,” tutur Matsna. Mahasiswa juga harus menunggu sampai adanya keputusan dari Ke-menterian Agama (Kemenag).

SK ini juga dibuat atas dasar de-sakan mahasiswa. Pihak rektorat pun memenuhinya dengan menge-luarkan SK tersebut (4/11). Mats-na menuturkan, rektorat tidak mempunyai landasan sehingga SK Dirjen yang dijadikan landasan dan SK itu sifatnya sementara. SK itu diberlakukan sampai kepu-tusan dari Kemenag turun.

Namun, Pantden Mohammad Noor, Ketua Kongres Mahasiswa

Kemahasiswaan (POK) Perguruan Tinggi Agama Islam. Hal itu diutara-kan oleh Iman Lesmana selaku ketua tim perumus draf Student Govern-ment (SG) (17/8).

Penolakan terhadap SK itu pun mendapat tanggapan dari Kepala Bagian (Kabag) Bidang Kemaha-siswaan, Ja’far Sanusi yang dite-mui di ruangannya, menurutnya itu hak mahasiswa untuk menolak

SK tersebut (14/11).Salah satu pihak yang menolak

SK tersebut berasal Partai Persa-tuan Mahasiswa (PPM). Tim pe-rumus dari fraksi PPM, Muhamad Syukron berpendapat, SK ini tidak mencerminkan prinsip dasar lem-baga kemahasiswaan yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Teta-pi dari, oleh rektorat, dan untuk mahasiswa karena SK ini dibuat sepihak. “Artinya tidak ada keter-libatan mahasiswa,” ucapnya saat diwawancarai INSTITUT (18/11).

Berkaitan dengan keterlibatan mahasiswa dalam SK rektor itu, Pembantu Rektor (Purek) Bi-dang Akademik, Moh. Matsna yang mewakili Pembantu Rektor (Purek) Bidang kemahasiswaan berkomentar, memang tidak meli-batkan mahasiswa UIN dalam pengambilan keputusan. ”Ngapain mahasiswa diajak. Orang yang pu-nya ini, pimpinan UIN kok, Rek-tor. Mahasiswa kan hanya num pang sebentar, paling empat ta-hun. Dosen kan seumur hidup,” jelasnya (17/11).

“Lembaga ini bukan hanya mi-lik mahasiswa loh. Sivitas akade-

Mahasiswa yang diwakilkan oleh 11 Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF), 15 Unit Kegia-tan Mahasiswa (UKM), dan 4 Par-tai Politik (Parpol) menolak adanya Keputusan Rektor UIN Jakarta no: Un.01/R/159/20011 tentang pem-berlakuan Surat Keputusan (SK) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI No: Dj.1/253/2007 men-genai Pedoman Umum Organisasi

Universitas (KMU) menilai, SK ini turun karena adanya desakan mahasiswa yang menuntut agar Undang-Undang KBM dibuatkan SK-nya, tetapi yang terjadi adalah pembuatan SK mengenai pengesa-han SK POK. “Ini bukti kesom-bongan rektorat,” tuturnya saat ditemui di gedung Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) (17/11).

Sedangkan Widian Vebriyanto, salah satu tim perumus dari fraksi Progresiv ketika diwawancarai INSTITUT mengatakan, dengan adanya reorganisasi seperti yang tercantum di SK itu berarti akan dibuat kelembagaan baru. Aki-batnya akan menghabiskan waktu yang lebih lama dibandingkan memperbaiki kelembagaan ma-hasiswa yang sudah ada. Hal itu malah mengganggu sivitas akade-mik. Tidak sebanding dengan apa yang sering disebut rektor yaitu kampus ini sebagai sivitas akade-mika bukan sivitas politika.

Penyerahan Lembar Pertanggung Jawaban (LPJ) kegiatan Orientasi Akademik dan Kebangsaan (OAK) se-tiap fakultas yang dilaksanakan pada tanggal 9-11 September, semestinya sudah diserahkan sebulan setelah acara dilaksanakan. Namun, hanya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegu-ruan (FITK) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang belum meny-erahkan LPJ OAK tersebut.

Menurut Nia Sumianingnsih, Bendahara Pengeluaran Pem-bantu (BPP) FEB, keterlambatan Penyerahkan LPJ OAK dikarena-kan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) belum meleng-kapi bukti-bukti transaksi. “Kita sih sudah dua kali merekap ulang LPJ, tapi kwitansi, nota dan fak-tur dari BEMF sendiri belum ada semua, jadi kita susah buat cepat menyerahkannya,” tuturnya keti-ka ditemui INSTITUT di ruangan-nya (16/11).

Hal senada diungkapkan BPP FITK, Yeni, keterlambatan Fakul-tas Tarbiyah juga dikarenakan BEM belum selesai membuat LPJ tersebut. “Di FITK sendiri

sebenarnya sudah diserahkan ke akademik, itu juga belum selesai karena BEM,’’ ungkapnya.

Akan tetapi, menurut Heru Se-tiawan, Ketua Pelaksana OAK FEB menuturkan, terhambatnya penyelesaian LPJ OAK karena berbeda dengan LPJ pada waktu Pengenalan Progam Study dan Al-mamater Propesa (Propesa).

“Kami dari BEMF sudah me-nyetorkan LPJ, tapi salah terus. Alasannya setiap transaksi, selain harus ada bon, juga harus ada kwitansi bercap. Itu sulit banget untuk mengumpulkannya, nggak mungkin transaksi Rp1000 harus ada bon dan kwitansi juga,” tu-turnya.

Berbeda dengan Heru, menurut Diding Mahfudin, Ketua BEMF FITK, pihaknya sudah selesai menggarap LPJ OAK, akan teta-pi keterhambatan penyelesaian ada pada beberapa BEM Juru-san. “Prosesnya itu setiap BEMJ langsung menyetor ke fakultas, se hingga permasalahan untuk keter-lambatan ada pada BEMJ sendiri. Jadi BEMF sudah tidak bertang-

gung jawab,” jelasnya.Ketika ditanyakan mengenai

hal tersebut, Vega Fachrudin, De-wan Kehormatan Kemahasiswaan BEMJ Menejemen Pendidikan, keterlambatan penyerahan LPJ bukan karena kesulitan dalam mengumpulkan bukti-bukti, tapi karena dari awal pembagian dana OAK tidak transparan.

“BEMJ akan menyerahkan LPJ OAK minggu ini. Alasan BEMJ mengundur-undur ialah kembali pada masalah ketidaktranspa- ranan pembagian dana tersebut,” tambahnya.

Subarja, Kepala Bagian Keuangan merasa kecewa atas keterlambatan penyerahan LPJ OAK FITK dan FEB. “Memang sih, LPJ disahkan oleh kita pa- ling lambat Bulan Desember. Tapi untuk penyerahan LPJ OAK per fakultas, kami tetapkan batas wak-tu paling lambat sebulan setelah acara, yaitu Bulan November,” je-lasnya, (18/11).

Selama ini pihak rektorat sudah memperingatkan ke semua fakul-tas terkait LPJ OAK. Tapi kenda-

lanya memang tidak sepenuhnya berasal dari pihak fakultas, mel-ainkan terletak pada BEM.

“Saya juga bingung dengan FITK, seharusnya BEM tidak ikut campur sama sekali dalam pem-buatan LPJ. Tapi ada beberapa item yang saya cek, ya memang

kendalanya pada mahasiswanya, dalam hal ini BEM. Kami pun mentolerir masalah ini dengan memberi batas waktu hingga awal Bulan Desember untuk penyelesa-ian LPJ OAK,” tambahnya.

Dua Fakultas Belum Menyerahkan LPJ OAK

Iman Lesmana, Ketua tim perumus yang menolak SK sementara

FOTO

: DO

K. P

RIBA

DI

Subarja, Kepala Bagian Keuangan ketika ditemui INSTITUT (18/11), ia menang-gapi keterlambatan penyerahan LPJ OAK

FO

TO

:AP

RIL

/IN

STIT

UT

Edisi XVI/November 2011

Page 6: Tabloid INSTITUT Edisi 16

LAPORAN KHUSUS6

dulikan hal itu. “Saya bingung mau memerjuangkan apa, karena saya sendiri sudah lulus dan sibuk dengan pekerjaan saya sendiri,” jelasnya (17/11).

Senada dengan Gandhi, Rody Hariska, mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) semes-ter IX yang diwawancarai via tel-epon mengatakan, “Anggap saja masalah itu sudah selesai, karena mau bagaimana lagi, kan saya sendiri sudah jarang ke kampus dan lagi fokus sama skripsi,” tu-turnya.

Berbeda dengan Ghandi dan Rody, Fitri Silviyah, mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester III. Fitri yang juga sebagai penerima beasiswa, masih ingin memperjuangkan beasiswanya itu.

“Saya pribadi masih ingin memperjuangkan beasiswa terse-but dan saya ingin teman-teman yang mendapat beasiswa tersebut ikut berjuang bareng karena tin-dakan yang dilakukan HS dan TP merupakan tindakan yang menyimpang,” tandasnya (17/11).

Sependapat dengan Fitri, Doni Purwanto, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Ju-rusan Akuntansi semester IX me-rasa permasalahan itu harus te-rus diperjuangkan. “Saya masih ingin memperjuangkan beasiswa tersebut dan secepatnya akan mengumpulkan teman-teman,” tegasnya (18/11).

“Kalau masalah duitnya, saya nggak masalah. Yang jadi per-masalahan, kalau HS dan TP masih dibiarkan begitu saja, akan banyak orang seperti mereka yang terus berkeliaran di UIN,” tambahnya.

Ja’far pun menambahkan, “Se-andainya mahasiswa tidak me-nunjukkan bukti-bukti, ya susah, karena untuk menyelesaikan kasus itu harus ada bukti yang jelas, apalagi masalah ini bukan masalah sepele, ” tukasnya.

Ia juga siap menyelesaikan masalah tersebut jika penerima beasiswa menunjukan bukti-buk-ti dan memberikan pernyataan tertulis supaya tidak menjadi be-ban moral.

Dugaan adanya penyelewengan dana beasiswa Kementerian Agama (Kemenag) yang diberikan khusus kepada mahasiswa berprestasi lulu-san Madrasah Aliyah (MA) masih menjadi persoalan. Permasalahan yang melibatkan mantan Subag Kese-jahteraan Mahasiswa yang berinisial HS dan TP ini sebelumnya pernah dimuat di Tabloid INSTITUT edisi XIV dan masih belum jelas penyele-saiannya.

Dalam proses penyelesaian permasalahan tersebut, pihak re-ktorat sudah mengimbau agar pe-nerima beasiswa itu memberikan bukti dan menulis surat pernya-taan. Namun, penerima beasiswa yang seharusnya memberikan bukti dan surat penyataan kepada rektorat hingga kamis (17/11) be-lum ada satu pun yang memberi-kannya.

Saat ditemui INSTITUT di ru-angannya, Ja’far Sanusi, Ketua Bagian Kemahasiswaan menga-takan, “Sudah dipanggil semua pihak yang bersangkutan tentang dugaan penyelewengan dana bea-siswa tersebut, hanya saja maha-siswanya malah tidak datang,” tegasnya.

Penegasan Ja’far tersebut seka-ligus mengimbau kepada maha-siswa agar memberikan bukti dan pernyataan secara tertulis, namun sampai saat ini penerima beasiswa tidak ada yang mem-berikan laporan kepada rektorat.

Lambannya penyelesaian kasus yang sudah terjadi setahun yang lalu, membuat sebagian dari pe-

nerima beasiswa menganggap permasalahan itu sudah selesai. Bahkan beberapa dari mereka su-dah jarang ke kampus serta ada yang telah lulus. Hal itu diung-kapkan Gandhi Angelino, lulu-san Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) kelas ekstensi.

Gandhi merasa permasalahan sudah selesai dan tidak memer-

Dugaan Penyelewengan Dana Beasiswa Belum TerselesaikanKiky Achmad Rizqi

Doni Purwanto, penerima beasiswa berprestasi yang masih berusaha untuk me-nyelesaikan kasus dugaan penyelewengan beasiswa

FOTO:DOK. PRIBADI

Transkrip Nilai Telat KeluarMakhruzi Rahman

UIN, INSTITUT. “Seharusnya beberapa minggu sesudah wisuda, transkrip nilai sudah bisa diam-bil, tapi kenapa transkrip nilainya baru keluar sekarang?” ujar In-dah, alumni Fakultas Sains dan Teknologi (FST), jurusan Teknik Informatika (TI) ,angkatan 2006, ketika ditemui INSTITUT di ko-sannya di Semanggi (6/11).

Gadis asal Ponorogo ini menge-luh karena transkrip nilainya yang baru keluar setelah beberapa bulan dia melaksanakan wisuda. ”Jauh- jauh dari Ponorogo mau ngambil ijazah dan transkrip nilai, eh tran-skripnya belum keluar,” ujarnya. Dia juga ingin melanjutkan pen-didikan S2-nya di Surabaya. Kare-na transkrip nilai yang tak kunjung keluar, dia harus menahan niatnya itu sampai transkrip nilainya ke-luar.

Menanggapi hal itu, Muslim Wiyono, staf akademik pusat, mengatakan kesalahan itu di-sebabkan karena data nilai angka-tan tahun 2006 tercecer. ”Dulu itu ada koordiantor ekstensi di fakul-tas untuk masalah ekstensi, setelah itu ditarik oleh reguler, dari situlah

nilainya mulai berantakan,” ujar Muslim ketika ditemui INSTITUT di gedung akademik pusat (7/11).

Dia menjelaskan bagaimana akhirnya nilai dikirim ke akade-mik. Mulai dari sidang skripsi, kemudian fakultas mengeluarkan lampiran dan akhirnya dikirim ke akademik. “Nilai di fakultas saja berantakan, apa mungkin bisa sampai ke akademik?” Dia me-nambahkan, sumber nilai berada di fakultas dan seharusnya fakul-tas juga yang bertanggung jawab.

Muslim menjelaskan beberapa masalah yang membuat transkrip nilai akhirnya terlambat. Salah sa-tunya, overlap. Program yang terse-dia hanya sampai 50 mata kuliah, ketika mata kuliah itu dimasukkan 52 mata kuliah, programnya tidak terbaca sehingga transkrip tidak bisa dicetak.

Dia juga mengatakan, “Di sini kita bukan teknisi, kita hanya pelaksana, tahunya cuma mema-sukkan data dan nge-print. Kalau itu terjadi kita kelabakan,” ungkap-nya . Di sisi lain, mahasiswa ingin secepatnya nilai keluar. Itu yang menyebabkan akhirnya pekerjaan

di akademik banyak yang terbeng-kalai, karena keterbatasan yang di-miliki oleh akademik pusat.

Hal yang sama juga terjadi pada Tyo, alumni FEB, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangu-nan (IESP), angkatan 2007. Dia mengatakan, “Harusnya komit-men sama jadwal yang sudah ada, kalau di jadwal tertera pengam-bilan ijazah seminggu sesudah wisuda ya seminggu, kan itu hak mahasiswa,” katanya. Dia juga menambahkan, “Kadang ma-hasiswa nggak habis pikir sama orang-orang akademik, keliha-tannya kerja mereka pada santai banget,” tambahnya.

Dia menyatakan, masalah bu-kan hanya saat pengambilan ijazah saja. Masalah juga terjadi pada beasiswa DIPA, “Saya dan teman-teman pernah diusir tiga kali sama orang akademik, mere-ka bilang sibuk,” tegasnya.

Keterbatasan Fasilitas

Muslim mengatakan banyak protes yang datang ke akademik. Tapi mahasiswa tidak tahu bahwa

akademik memiliki beberapa masalah. AIS dan keterbatasan fasilitas. Dia menjelaskan sam-pai saat ini akademik belum bisa membuka AIS, karena tidak ada password yang diberikan kepada mereka. Begitu juga dengan fasili-tas penunjang seperti printer yang

masih menggunakan model lama. “Tapi dengan keterbatasan yang

ada di sini kita bisa menyelesaikan masalah, banyak yang sudah lulus, selain protes yang banyak, kadang ada juga yang mengucapkan terima kasih atas kerja kita,” ujarnya men-genang.

Pegawai akademik pusat sedang menjalankan tugasnya dengan program kom-puter lama dan printer model lama

Edisi XVI/November 2011

Kampusiana...

FOTO

:RAH

MA

N/IN

STITUT

Page 7: Tabloid INSTITUT Edisi 16

RESENSI 7

Pengabdian Sang Penari

Berawal dari tragedi kera-cunan massal tempe bongkrek, Desa Dukuh

Paruk kehilangan gairahnya aki-bat kematian sang ronggeng, Sur-ti (Happy Salma). Srintil (Prisia Nasution), merasa bertanggung jawab karena perbuatan orang tu-anya yang menyebabkan tragedi tersebut. Ia yang sejak kecil gemar menari, juga diyakini memiliki roh indang sebutan warga desa untuk menyebut roh ronggeng.

Hal tersebut membuat Srintil bertekad untuk menjadi ronggeng guna menghidupkan kembali kebudayaan Dukuh Paruk dan mengembalikan nama baik orang tuanya. Selain itu, menjadi rong-geng adalah wujud darma bak-tinya untuk Dukuh Paruk yang dilindungi oleh arwah Ki Seca-menggala.

Meski begitu, Rasus (Nyoman Oka Antara) teman sepermainan Srintil yang sudah lama mencin-tainya, tak ingin Srintil men-jadi Ronggeng. Karena dengan menjadi ronggeng, ia tak hanya dituntut untuk menari, tapi juga diharuskan melayani lelaki desa.

Selain itu, kepercayaan warga Dukuh Paruk juga mempersulit impiannya. Warga desa memiliki

kepercayaan yang kuat bahwa seorang penari ronggeng sejati bukanlah hasil dari pengajaran belaka, melainkan juga menda-pat wangsit yang berasal dari Ki Secamenggala. Meskipun akh-irnya takdir lebih berkuasa men-jadikan Srintil sebagai ronggeng.

Pada waktu yang telah diten-tukan, digelarlah upacara peno-batan Srintil sebagai ronggeng. Selain harus menari, dalam upa-cara itu dia juga harus melewati ritual “buka klambu”. Dalam ritual ini keperawanan Srintil dilelang dan akan diserahkan kepada penawar tertinggi. Rasus yang tidak kuat menahan rasa cemburu akibat hal tersebut akh-irnya memilih pegi dari desa dan menjadi tentara.

Menampilkan kisah cinta anta-ra Rasus dan Srintil sebagai sen-tral cerita, sutradara Ifa Isfansyah berhasil menginterpretasikan filmnya dengan baik. Tidak terje-rumus dalam adegan-adegan seks yang murahan seperti yang per-nah diinterpretasikan film Darah dan Mahkota Ronggeng karya Yazman Yazid pada tahun 1983 yang juga diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Ifa juga berhasil menampilkan suasana politik tahun 1965 den-gan baik. Ia menampilkan kehad-iran PKI di Dukuh Paruk lewat sosok Bakar (Lukman Sardi), se-orang anggota PKI, dan warna merah pada beberapa properti (caping, selendang, ikat kepala, spanduk). Namun, tidak sekali pun kata “PKI” terucap, bahkan oleh para tentara yang melakukan “pembersihan” di Dukuh Paruk itu.

Begitu juga dengan propaganda yang dilakukan sesuai dengan pola yang biasa dilakukan partai “merah” tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat adegan di-mana warga Dukuh Paruk yang tidak memahami alasan mereka ditahan sebagaimana dampak dari tragedi pada tahun 1965.

Selain itu sinematografi, prop-erti, naskah dan chemistry antar pemain membuat film ini layak untuk diapresiasi. Secara keselu-ruhan, film produksi Salto Film Company ini mampu memberi-kan suguhan yang berbeda lewat nilai-nilai kebudayaan yang be-gitu melekat dan membawa sua-sana baru di perfilman Indonesia yang mulai terbiasa dengan film-film berbau seks belaka.

Aditia Purnomo

Judul : Sang PenariSutradara : Ifa IsfansyahSkenario : Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty H.Produksi : Salto FilmsDurasi : 111 MenitPemain : Oka Antara, Prisia Nasution, Landung Simatupang, Slamet Rahardjo, dll.

S etelah Sophie menutup pin-tu gerbang, dia buru-buru membuka amplop itu. Di

dalamnya hanya ada secarik kertas yang tidak lebih besar daripada am-plopnya sendiri. Bunyinya, siapakah kamu?

Paragraf di atas merupakan sebuah kutipan novel filsafat ini, protagonis Sophie Amundsend, gadis berusia 14 tahun, mulai mengarungi hidupnya secara ‘sa-dar ‘. Sebuah pertanyaan singkat yang melahirkan serangkaian per-tanyaan radikal sebagai upayanya memahami realitas kehidupan (lebenswelt) pada umumnya, dan membuat Sophie sesekali secara subjektif memiliki pandangan ten-tang kehidupan itu sendiri (erleb-nisse).

Jostein Gaarder, penulis nov-el, secara cermat membedah dan menguak kompleksitas serang-kaian teori para filsuf dengan menggunakan pisau keluguan serangkaian pertanyaan Sophie. Pertanyaan-pertanyaan yang sela-lu bersanding jawaban yang seder-hana, memikat dan dengan tetap tidak kehilangan subtansi, apalagi

berapologi, mengingat objeknya yang dituturi (mukhatab) adalah Sophie. Inilah yang kemudian se-cara eksplisit ditawarkan dalam novel ini, yaitu menegasikan ke-san kompleksitas filsafat untuk dipahami.

Karena secara garis besar novel ini bercerita tentang sejarah perkembangan filsafat, pula pola penulisan berbentuk sebuah novel, maka dua hal tersebut semakin membuat subjektifitas pengarang cukup dominan. Dalam beberapa

hal, penulis memiliki kesamaan pandangan dengan penulis Barat pada umumnya dalam menarasi-kan sejarah perkembangan filsafat.

Penulis melewatkan potret pe-riode Abad Pertengahan, di mana kontribusi filosof dan Ilmuwan muslim betapa telah berjasa besar mengantarkan bangsa Eropa ke-luar dari zaman kegelapan. Meski begitu, hal tersebut tidaklah men-jadikan novel ini bukan ‘barang hilang’ guna diraih dan dimiliki agar memperkaya khazanah keil-

muan dari mana saja ia ditemu-kan.

Dunia Sophie dicetak pertama kali pada tahun 1991 dalam baha-sa Norwegia dengan judul Sofie’s Verden, meski begitu novel ini tetap terasa segar untuk dibaca. Hingga kini, novel tersebut telah diterbitkan ke dalam lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia.

Penyajian menu filsafat dalam bentuk novel merupakan cara yang unik, tidak seperti umumnya buku-buku filsafat yang berbentuk

buku modul. Memudahkan me-mahami sejarah filsafat berdasar-kan urutan zaman para tokoh filsuf di dunia, mulai dari awal perkembangan sejarah filsafat, to-koh, dan paham filsafat sejak dari zaman Yunani hingga abad dua puluh.

Filsafat, di samping sebagai cikal-bakal dari ilmu pengetahuan, juga merupakan metode berpikir (method of thought). Karena inti dari filsafat adalah berpikir, yakni berpikir yang kritis, rasional, ana-litis, sistematis dan radikal. Maka banyak hal yang dijumpai dan di-hadapi semua manusia yang perlu ditanyakan, diragukan, dan kemu-dian dipikirkan.

Di tengah arus kehidupan kini yang bergenre konsumeris, prag-matis, dan materialistis, Dunia Sophie ini bagus dibaca siapa saja sebagai alternatif memaknai ke-hidupan, laiknya yang dilakukan Sophie . Novel ini baik pula men-jadi buku pengantar bagi yang in-gin mendalami disiplin keilmuan seperti: psikologi, bahasa, sastra, seni, budaya, sejarah, filsafat dan lainnya.

Judul Buku : Dunia Sophie, Sebuah Novel FilsafatTeks Asli : Sophie’s Verden (Norwegia), Sophie’s World (Inggris) Penerjemah : Rahmani AstutiPenulis : Joestin GaarderPenerbit : Penerbit MizanCetakan : Edisi Gold, Cetakan III, Mei 2011 Tebal : 800 halamanISBN : 978-979-433-574-1

Jelajah Dunia Filsafat dengan NovelRahmat Kamaruddin

Edisi XVI/November 2011

Judul Buku : Dunia Sophie, Sebuah Novel FilsafatTeks Asli : Sophie’s Verden (Norwegia), Sophie’s World (Inggris) Penerjemah : Rahmani AstutiPenulis : Joestin GaarderPenerbit : Penerbit MizanCetakan : Edisi Gold, Cetakan III, Mei 2011 Tebal : 800 halamanISBN : 978-979-433-574-1

SUMBER:BOLEH.COM

Page 8: Tabloid INSTITUT Edisi 16

KOLOM8

MUMPUNG belum jauh dengan momen Hari Pahlawan. Kita

kembali diingatkan tentang ak-tor beserta aksi heroiknya, dalam merebut kemerdekan Indonesia. Mereka pun belum tentu mem-bayangkan bagaimana dirinya begitu dikenang saat ini. Yang mereka lakukan hanyalah sebuah perbuatan perubahan, dari yang terkukung menjadi terbebas, dari yang terinjak-injak menjadi ter-dongak. Tak ada rasa jumawa, mereka hanya ingin memberikan yang terbaik bagi dirinya, keluar-ga, dan bangsa.

Bagi mahasiswa, aksi heroik pun tak kalah bingarnya. Banyak perjuangan yang dilakukan ma-hasiswa menuju kebebasan, yang hampir sama persis dengan pahla-wan kemerdekaan. Mereka cuma ingin kesejahteraan. Puncaknya, mahasiswa berhasil mengguling-kan Presiden. Mahasiswa suka cita bukan main. Namun setelah itu, apa yang terjadi? Sampai seka-rang kesejahteraan masih jauh panggang dari api.

Kepahlawanan itu hingga kini

masih terus dibanggakan. Ro-mantisme heroik kadang menjadi stimulus untuk menggelar aksi tu-run ke jalan. Menyulut semangat. Tapi apakah kegiatan kepahlawa-nan itu punya dampak perubahan yang baik? Kadang pula memang, melakukan aksi turun ke jalan itu perlu. Barangkali konteks sekarang lebih berat. Tidak sekedar turun ke jalan. Ada bukti konkret yang telah dilakukan, berupa prestasi, sembari menunjukan,”Hai para orang tua! Kami punya prestasi! Kami Bisa!”

Miliki SemangatSeperti kata-kata yang sering

dikutip dari Soekarno, “Berikan aku seribu orang tua, niscaya aku cabut Semeru dari akarnya, beri-kan aku seorang pemuda, niscaya aku guncang dunia”. Kutipan yang kelihatan luar biasa. Namun sebenarnya apa yang ingin disam-paikan olehnya? Barangkali, pe-muda punya semangat yang lebih hebat ketimbang orang tua. Ketika kita tidak punya semangat, pupus sudah harapan melakukan peruba-han.

Karena, kala semangat men-galahkan rasa malas, kala seman-gat menjatuhkan mental lawan, dan kala semangat ingin memberi-kan yang terbaik, tidak setengah-setengah. Kutipan Soekarno di atas menjadi niscaya. Kita benar-benar mengguncang dunia.

Harusnya juga kita melihat, kawan mahasiswa di Amerika, Jepang, Cina, bahkan tetangga kita, Malaysia. Sedang berlomba-lomba membuahkan prestasi. Tapi kita, melulu mengeluh, malas berbuat sesuatu. Yang ada malah

semangat melakukan perubahan yang setengah-setengah. Kalau saja, para pahlawan tahu kita pu-nya semangat setengah-setengah, cacian hina pun bisa dilontarkan.

Keluhan-keluhan itupun ser-ingnya berorientasi terhadap hasil semata. Jika berbicara hasil, apa-kah proses menuju hasilnya itu sudah benar? Semangat dalam melakukan prosesnya saja masih melempem, untuk apa berbicara hasil? Berbicara prestasi? Pada akhirnya, kita menjadi omong ko-song.

Makna kepahlawananBagi kita, kepahlawanan

harusnya bukan sekedar melaku-kan perubahan. Itu masih sangat sederhana. Dan sekarang lebih komplesks. Rumitnya adalah bagaimana kepahlawanan dimak-nai sebagai perubahan yang memi-liki relevansi jaman, bukan latah atau ikut-ikutan. Artinya peru-bahan yang punya kaitan dengan apa yang kita butuhkan di jaman sekarang, bisa terus konsisten, bahkan terus membaik. Dan juga, bagaimana perubahan itu melalui

proses selangkah demi selangkah. Dengan langkahan yang cepat. Tidak instan. Apa pun itu, instan tak pernah bertahan lama.

Dengan memaknai seperti itu, adalah salah satu upaya untuk membuahkan prestasi. Yang je-las kita belajar dari pengalaman dahulu, ketika perubahan sek-edar latah. Kita menjadi bingung sesudahnya. Layaknya pula, per-juangan kepahlawanan dari nenek moyang kita ini dilanjutkan. Karena masing-masing generasi memiliki tanggung jawab peruba-han. Jika para pahlawan dahulu melakukan perubahan dari penja-jahan menjadi kemerdekaan, para mahasiswa dahulu melakukan pe-rubahan dari keoteriteran menjadi kebebasan. Sekarang, kita melaku-kan perubahan dari keterpurukan menjadi kesejahteraan. Dengan begitu, kita akan menjadi pahla-wan bagi anak cucu kita.

*Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kepahlawanan Bagi Kita

Kata globalisasi, acapkali terdengar secara tertulis maupun dibahas secara

lisan pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang memukul Asia, terutama Indonesia. Ketika arus globalisasi melanda masyarakat dunia, maka timbullah peningka-tan keterkaitan dan ketergantun-gan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perda-gangan, investasi, dan bentuk in-teraksi lainnya hanya melalui per-angkat elektronik. Oleh karena itu, dunia adalah datar (World is Flat), yang juga merupakan judul dalam buku karya Thomas L. Friedman. Kekuatan globalisasi patut diper-hitungkan karena membuat batas-batas antar negara menjadi bias. Dalam konteks negara, ketergan-tungan dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga atau institusi internasional seperti yang diung-kapkan oleh Jill Steans & Lloyd Pettiford dalam bukunya berjudul Hubungan Internasional, Perspek-tif dan Tema 2009, mengatakan bahwa teoritisi kaum neoliberal berusaha mempelajari kerjasama di satu wilayah dangan membuka transaksi antar wilayah.

Munculnya aktor-aktor non ne-

gara yang mempunyai kekuatan modal yang sangat kuat, seperti Multinational Coorporation (MNCs) mampu memaksa negara, teru-tama negara berkembang dalam pengambilan kebijakan yang menguntungkan lembaga interna-sional tersebut. Maka kerjasama antara aktor non-negara dengan negara akan selalu bertambah seir-ing terbukanya pintu kerjasama mayarakat dunia dengan institusi internasional tersebut. Padahal te-oritisi integrasi wilayah terdahulu hanya mempelajari bagaimana aktivitas-aktivitas fungsional lin-tas batas tertentu (perdagangan, investasi, dll) menawarkan ker-jasama jangka panjang yang saling menguntungkan.

MNCs pada awalnya bertugas hanya mencari keuntungan ke-mudian bergerak hingga melewati lintas batas negara. Namun dalam perjalanannya, MNCs berusaha mempengaruhi tindakan dan ke-bijakan aktor negara tempat ber-investasi agar menerapkan sistem perdagangan liberal dan kebijakan investasi sehingga memberikan keuntungan kepada MNCs itu sendiri. MNCs tidak dianggap sebagai aktor independen atau

otonom dalam perekonomian in-ternasional, tetapi lebih dilihat se-bagai perpanjangan tangan negara atau alat kebijakan luar negeri. Ke-beradaan MNCs kemudian tidak menjadi kekuatan yang signifikan secara ekonomi dan politik menu-rut hak diri mereka sendiri tetapi sebagai ukuran dan refleksi dari kekuasaan dari negara-negara ter-tentu yang memegang permodalan MNCs. Malcolm N. Shaw menga-nalisa bahwa dalam pengaruhnya terhadap kedaulatan suatu negara, MNCs berusaha menimbulkan citra positif terhadap negara yang diinvestasikan seperti membuka lapangan pekerjaan dan mem-berikan skill para pekerja MNCs di suatu negara serta bantuan ke-pada negara dunia, seperti tertulis dalam bukunya berjudul Interna-tional Law, Sixth edition di tahun 2008.

MNCs dengan menggunakan kesepakatan World Trade Organisa-tion (WTO) serta difasilitasi oleh lembaga keuangan global seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mampu menge-luarkan pinjaman kepada negara yang membutuhkan dengan mena-warkan bunga yang telah disepa-

kati. Analisis ini terlihat dari ne-gara maju yang melatarbelakangi pembentukan MNCs semakin memperkokoh hegemoni mereka di suatu negara untuk mengatur dan mengontrol resources (sumber daya alam) di dunia. Lewat tangan WTO, mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia serta keuangan multilateral dengan menentukan negara-negara dan siapa saja yang dapat menikmati kucuran uang lembaga keuangan itu. Melalui aturan IMF, mereka dapat mene-kan negara-negara untuk mengi-kuti kebijakan negara maju seperti adanya deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Pada prinsipnya ketiga konsep ini mengurangi peran Ne-gara dalam menjalankan kekua-saannya sebagai suatu badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas wilayah negaranya.

Dari kegiatan MNC itu sendiri dapat dicatat bahwa dari 50 MNCs terkenal, 21 diantaranya berbasis di Amerika Serikat yang mengua-sai 54% dari total penjualan dunia. Disusul dengan Jerman 10 %, Ing-gris 9%, Jepang 7%, Perancis 6% dan Belanda 5%. Sepertiga dari perdagangan dunia didominasi oleh MNCs, yang ternyata me-

lakukan perdagangan di antara mereka sendiri. PBB memperkira-kan 50% dari ekspor AS terjadi di antara MNC mereka sendiri, sementara Inggris mencapai 30%-nya. Dari bukti inilah yang meng-gambarkan besarnya pengaruh MNCs dalam perdagangan dunia.

Kegiatan perusahaan multina-sional inilah sebagai bukti ketidak-mampuan negara berkembang saat ini untuk mengendalikan dan mengatur secara efektif kegiatan ekonomi dalam sektor swasta. Pengaruh MNCs dari tingkat re-gional dan negara semakin me-ngakar tanpa ada peraturan negara yang menghalangi. Jika demikian, kedaulatan negara untuk menga-tur kondisi masyarakat menjadi terhambat dengan monopoli dari investor MNCs yang tidak dapat ditolak oleh negara berkembang yang ingin meningkatkan pereko-nomiannya.

*Bendahara Umum Lembaga Pers

Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kedaulatan Negara Pudar Akibat MNCs di DuniaRina Dwihana Fitriani*

Edisi XVI/November 2011

Page 9: Tabloid INSTITUT Edisi 16

Shodiq Adi Winarko*

OPINI 9

Harus diakui, ke-merdekaan Bangsa Indonesia tak luput

dari jasa para pahlawan nasional. Mulai dari Bung Tomo, sosok pemberani yang mampu me-nyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya di radio. Hingga Pangeran Dipo-negoro yang berani mengangkat senjata terhadap Belanda.

Terlepas dari itu, ternyata pra-syarat menyandang gelar pahla-wan begitu mudahnya didapat di zaman dulu. Cukup dengan ke-beranian melawan ketidakadilan, walau pun masih dilatarbelakan-gi oleh problem personal. Dalam Nation and Civilization in Asia (2002), sejarawan Wang Gung Wu (2002) menyatakan, di Asia Tenggara, hanya Vietnam dan Indonesia yang memiliki catatan kepahlawanan saat meraih ke-merdekaannya. Hal ini menanda-kan, begitu suburnya pahlawan di zaman kemerdekaan Indonesia. Lantas pertanyaannya, benarkah kuantitas pahlawan diperlukan, guna memperbaiki citra bangsa? Jikalau benar, berarti Indonesia

tidak mementingkan kualitas diri para pahlawannya?

Kesimpulan seperti itu ten-tu sangat gegabah. Sebab, kini peraturan telah berbeda. Tidak sembarang orang yang dapat disebut pahlawan. Untuk men-jadi seorang pahlawan, seseorang harus mampu memenuhi segala persyaratan yang telah diatur pemerintah, kesemuanya itu ter-tuang dalam Keputusan Presiden (Keppres).

Bahkan ternyata, proses kelu-arnya Keppres pun sekarang san-gatlah sulit. Dimulai dari adanya usulan masyarakat, diteruskan dengan pemeriksaan dan peneli-tian Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD), barulah ke Gu-bernur (pemerintah daerah). Lalu dilanjutkan ke Badan Pembina Pahlawan Nasional yang ada di Departemen Sosial (Depsos). Terakhir barulah diserahkan ke-pada Presiden yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres). Pahlawan Pamrih

Yang menjadi soal kemudian adalah, apakah Keppres itu mem-

beratkan rakyat? Jika benar, lalu bagaimanakah cara masyarakat meraih predikat “pahlawan” tan-pa menuruti peraturan Keppres? Ada dua kemungkinan yang akan muncul, perihal menjembatani aturan Keppres di atas, dianta-ranya yaitu;

Pertama, dengan jalan menu-lis otobiografi. Sekarang, banyak sekali para tokoh politik yang me-manfaatkan kesempatan untuk menulis otobiografi. Tapi apakah langkah mereka itu benar? Mem-injam istilah B. Oetomo, kita tidak dapat berharap penulisan-nya digerakkan untuk pencarian kebenaran. Sebab, bisa saja ka-rena pertimbangan politik, ia da-pat dijadikan lahan subur untuk membenarkan ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang” atau ungkapan lain “pahlawan hari ini merupakan bandit di masa depan”. Jika hal ini berkelanju-tan, maka sungguh dapat menja-di manipulasi para pelaku politik terhadap nilai-nilai kepahlawa-nan. Lantas, sadarkah mereka terhadap perbuatannya?

Apakah mereka tidak me-

mahami ungkapan B. Oetomo? Dalam “Some Remarks on Mod-ern Historiography” dalam buku yang diedit Immanuel Waller-stein, Social Change The Co-lonial Situation, (1966), tradisi penulisan sejarah pahlawan di In-donesia bersifat amat fungsional, yaitu untuk membentuk identitas kebangsaan. Maka benar-benar tidak selaras jika disandingkan dengan niat para penulis otobio-grafi saat ini. Namun, semoga dengan meneladani ungkapan tadi, para pelaku politik di negeri ini dapat lebih menyadari akan perbuatan-perbuatannya.

Kedua, lebih bangga men-dapat pengakuan pahlawan dari masyarakat. Mendapat pengakuan pahlawan dari masyarakat, dirasa lebih baik daripada sekedar memenuhi Keppres, namun esensi kepahla-wanannya pun cepat pudar. Terkadang, penilaian objek-tif masyarakat seringkali tidak mendapatkan respon positif dari pemerintah. Sebaliknya, masyarakat seringkali dipaksa untuk menerima penilaian sub-

jektif pemerintah. Meminjam istilah Deddy Mizwar, alangkah lucunya negeri ini. Seakan hak pilih masyarakat terkooptasi oleh keputusan pemerintah.

Walhasil, hampir di setiap daerah berlomba-lomba mencari sosok pahlawan mereka. Maka dicarilah jejak jasa para tokoh daerah yang memang memenuhi kriteria. Adapun berdasarkan Su-rat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Dep-sos) No.281/PS/X/2006, bebera-pa kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa ditah-biskan sebagai pahlawan nasion-al, di antaranya: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi. Berskala nasional, sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal. Jika telah ditemukan, barulah proses pengangkatan menjadi pahlawan dilakukan.

*Penulis adalah Mahasiswa Taf-sir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Jadi Pahlawan, Mau?

kelas saya sudah bersahabat sekali dengan helm yang baru saya beli itu.

Singkat cerita, ketika saya kem-bali ke tempat penitipan motor untuk pulang ke asrama saya di Darussunnah, ternyata helm yang sebelumnya saya sangkutkan di spion motor sudah tidak ada lagi. Saya langsung was-was. Motor Mega Pro yang di spionnya saya sangkutkan helm KYT itu saya parkirkan di depan fakultas Dak-wah dan Komunikasi. Dua belas shaf motor ke kiri dan kanan saya telusuri. Siapa tahu ada. Ternyata juga tidak ada. Seketika itu saya langsung sadar bahwa helm saya telah dicuri. Lekas-lekas saya bergegas ke salah seorang petugas UIN Parking untuk mengambil tindakan utama; melapor.

“Wah bang, helmnya merek apa?” Kata seorang petugas ke-pada saya.

“KYT warna hitam yang ada kacamata dalamnya bang. Baru bangat helmnya.”

Kamis itu 3 November 2011, pukul 07.30 saya terpaksa mele-takkan helm KYT saya di spion motor lantaran telat kuliah, se-hingga tidak sempat menitipkan helm ke tempat penitipan. KYT Hitam itu baru saya beli enam hari lalu seharga Rp. 320.000 di sebuah toko helm. Sesudah membeli helm itu, sahabat saya bernama Faisal Husaini dari FITK sempat berpe-san agar hati-hati dalam menjaga helmnya. Jangan ditinggal sem-barangan. Dia memiliki pengala-man dari kawannya yang baru tiga hari beli helm KYT ternyata dicuri di tempat parkiran. Faisal berpesan kepada saya, setidaknya helm itu dititipkan di tempat pen-itipan helm yang dapat dipercaya. Nasehat darinya saya laksanakan selama enam hari ,terhitung sejak saya memiliki helm itu. KYT hi-tam tersebut selalu saya titipkan di tempat penitipan helm UIN Park-ing atau KOPMA. Bahkan sering-kali saya ajak masuk ikut kuliah ke dalam kelas. Teman-teman satu

“Waduh, kalau KYT mah udah susah dah. Sama abang berarti udah lima helm hari ini yang hi-lang. Kemarin juga sempat ada yang laporan. Ya kita juga gimana kalau udah hilang mah kan susah nyarinya. Kita Cuma bisa nerima laporan. Emang helmnya abang taro di mana?”

“Di spion motor bang.”“Oh ya jelas kalau itumah pasti

dicuri. Tadi juga ada jok mo-tor matic sama CBR yang robek, helmnya di ambil. Sama punya abang berarti empat helm KYT dan satu NHK yang hari ini hi-lang. Kemarin juga sempat ada laporan helm hilang. Ya gimana lagi atuh?”

Saya tidak tahu antara men-yalahkan diri saya atau petugas parkir yang belum mampu mem-berikan pengamanan maksimal bagi mahasiswanya. Apalagi be-berapa waktu silam saya sempat dikejutkan dengan hilangnya dua buah sepeda motor salah seorang mahasiswa. Ya. Itu sepeda motor,

Masih Kecewa dengan UIN Parkingapalagi helm?

Saya sempat cek-cok berargu-mentasi dengan salah seorang petugas parkir. Dengan sedikit tegas saya katakan salah satu dari mereka pada saat sedang berada di depan Bank Mandiri; “Bang,” kata saya dengan sedikit ritme te-gas, “Kenapa sih pengamanan di kampus UIN ini masih belum ter-jaga. Untuk kasus helm hilang apa tidak bisa di setiap kavling parkir di sediakan pos pengamanan parkir khusus misalnya? Kita kan butuh kesejahteraan. Setiap hari saya dan juga mahasiswa lain yang bersepeda motor membayar uang lima ratus rupiah untuk masuk ke parkiran UIN. Itu kewajiban saya. Tapi bagaimana dengan hak saya? Apakah jutaan, bahkan puluhan juta rupiah yang masuk setiap hari tidak cukup untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keamanan parkir di sini?”

Ia hanya menjawab, “Wah bang, kalau masalah itumah mendingan abang lapor sama Pak Rahmat

Surat Pembaca...

Bang Peka..

Edisi XVI/November 2011

Di Perpustakaan Utama..

saja deh di rektorat. Kitamah cuma petugas. Kita gak bisa ber-buat apa-apa.”.

Celoteh TwitterKarena saya sering berbagi di

twitter, lewat akun twitter @fikri-habibullah yang saya miliki, saya mencurahkan apa yang saya alami lewat kultwit ke akun @komar_hi-dayat milik rektor UIN Syarif Hi-dayatullah Jakarta. Malangnya, curhatan saya tidak dibalas den-gan satu patah kata apapun via akun twitter beliau. Padahal ham-pir setiap hari beliau “ceramah” di twitter.

Curhatan tentang pencurian di UIN Jakarta ini saya tidak lupa CC ke sebuah akun bernama@deritauin yang tidak saya tahu siapa adminnya. Dia merespon dan me-retwit kepada followenya. Hasilnya? Banyak twips dari ma-hasiswa UIN yang mengaku ke-cewa dengan sistem parkir di UIN Jakarta.

Fikri Habibullah M, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Semester III

Page 10: Tabloid INSTITUT Edisi 16

SASTRA10

Kutemukan Engkau di Kampus UINHarsono*

Vin,ada bahasa yang tak pernah ku ungkapkan dalam hati

baik pada siapapun. Bahkan pada Tuhan

Itupun belum gagal ku jadikan bahasa di ujung lidah

Serupa kalimat, mengikuti jalan takdirnya sendiri

Jika kelembutan hatimuAdalah kenikmatan yang pernah

ku lihatPerlihatkanlah...

Baik dalam mimpi. Bahkan sam-pai kematianku

Kata-kata Jhon, dalam catatan buku hariannya. Ditulis untuk Evin perempuan Tasik. yang baru dia kenal 3 hari yang lalu dalam lomba kepenulisan opini yang diadakan LPM

Pagi meluruh riuh. Lelaki ber-mata hiu, bertubuh tegak, seperti kampus UIN yang kokoh, masih berdiri semampai di samping Evin. Matanya terus menatap ke wajah wanita Tasik itu yang baru saja dia kenal. Terasa tak ada sedikit keberanian dalam jiwan-ya. Untuk menyapa wanita yang lama duduk di kursi itu, hatinya bergetar penuh gemuruh. Mu-lutnya terasa kaku untuk mengu-raikan bahasa. Hening sejenak diselaputi bias pagi menyeluruh ke tembok-tembok kampus. An-gin dingin mendesir pelan. Evin hanya diam, dan fokus pada buku yang di bacanya di atas kursi lobi. Jhon, terus melepaskan pan-dangannya pada wanita yang di kagumi. Matanya tanpa sedikit berkedip. Terasa ada kedamaian yang terlihat dalam dirinya. Tapi dia merasa bingung untuk memu-lai bertanya. Karena dia hanya kenal tiga hari yang lalu. semen-jak ikut lomba kepenulisan opini yang diadakan LPM. Di situlah dia, pertama kali mengenalnya dan di situ pula dia menaruh hati dengan keyakinan yang dimiliki. Walau dia sama-sama jurusan filsafat. Tapi mereka jarang ber-temu. Akibat beda kelas, sedang-kan Evin kls A, dan Jhon kls B. Pulang pun tidak sama. Apalagi dengan kesibukan tugas masing-masing yang diberikan dosen disetiap mata kuliah.

***Hari semakin lengang, sedang-

kan kampus UIN semakin ramai de ngan datang perginya maha-siswa. tapi tak ada sedikit rasa le-lah dan bosan dalam dirinya, bag-inya, Evin semakin lama semakin indah di pandang. Seperti bunga Rusia. Seketika senyum tipis ter-lihat di bibir Evin yang manis. Di sertai ledak tawa kecil dari buku yang mulai tadi dia baca dengan nikmat. Detik ini dia harus punya keberanian untuk menyapa bunga Tasik itu.

“Bolehkah aku duduk di sebelahmu?” tanya Jhon sambil meme gang kursi yang kosong

“Duduk saja,” jawab dia singkat

Lalu dia duduk. Keha-lusan jawabannya mendatangkan seiris kebahagian menyelusup ke ruas tubuhnya. Baginya per-temuan itu bukan hal kebetulan. Tapi ditakdirkan oleh Tuhan. Dan tak dapat dibandingkan den-gan apapun. Dua kali dia duduk bersama. Pertama waktu sama-sama ikut lomba opini di LPM. Sekarang dia duduk berduaan tak ada siapapun di kursi itu. lainya mereka berdua.

“Serius bacanya. Masih ingat-kah sama Aku?’’ lanjut Jhon, di-iringi liris senyum tipis.

Lalu Evin mengangkat kepala dan menatap pelan ke wajah Jhon. Tiba-tiba perasaan terkejut meningkahi ketenangan hatinya. Lelaki yang berada di samping nya, yang tak biasanya di situ. Apalagi dia ingat dengan puisi Jhon yang dikirimkan melalui te-mannya minggu yang lalu sebagai luapan hatinya. Sampai sekarang dia masih belum menjawab. Hati nya sedikit resah.... dan gelisah.

“Jhon?” ucapnya gelisah“Iya, kenapa terkejut? Maaf,

jika sekiranya aku menggaggu kamu,” lirisnya sambil merendah

“Sedikitpun tidak. Oya, kamu tahu kapan informasi lomba?”

“Lomba apa?” Jhon pura-pura lupa

“Lomba opini yang diadakan LPM. Masa lupa?”

“Oww, katanya satu minggu lagi”

“Semoga kita juara”“ Amin!!!”Mendengar kehalusan tuturn-

ya. Rasa dalam dirinya semakin kuat. Tuhan, juarakan dia dalam lomba ini. Aku melihat kebahagi-an dalam dirinya. Tuhan pintaku. Gumam Jhon sembari meminta dalam hatinya. Lalu dia memba-likkan mukanya dan memandang lepas ke wajah wanita itu. Dia se-makin tidak kuat dengan getaran hatinya. Tapi bukan waktu yang tepat aku utarakan perasaan ini.

Kami dekat cuma tiga hari. Tapi yang aku tahu kata Gibran penyair Timur Tengah. Cinta bu-kan karena kedekatan dan berapa lama kenal. Tapi cinta adalah ke-cocokan jiwa. Dan akupun tidak terbiasa mengulur waktu. Apa lagi mengkhianati hati sendiri. Hati bagiku adalah kepercayaan. ... Kepercayaan Jhon dalam di-rinya menguak. Karena dalam hidupnya dia selalu bermeditasi mengenali dirinya. Apalagi dia seorang sastrawan dengan satu karyanya mampu menaklukkan hati wanita Tasik itu. tapi seka-rang dia merasa bingung. Sebab Evin bukan wanita yang gam-pang ditaklukkan. Sungguh....! seperti sebilah pedang yang terus mengiris hatinya. Dia semakin tidak mampu dengan permataan hatinya.

“Vin, ada satu hal yang ingin aku katakan sama kamu,” Jhon, mulai mengutarakan isi hatinya

“Sesuatu apa?” tanya dia yang sudah mengerti tentang yang akan diungkapkannya

“Tapi aku tidak salah kan un-gkap kan ini? Ketimbang aku mengkhianati hati sendiri. Dan itulah yang salah menurutku.”

“Ya, ungkapkan saja?”Sedikit Evin mengerti apa yang

ingin diungkapkan Jhon. Tapi dia dengan tenang menjawab. Agar kegelisahannya tak terli-hat. Sedikit wajahnya merunduk sambil melihat halaman buku. Se dangkan Jhon terus menatap. Dia ingin ucapannya meyakinkan. Dan mengungkapkan tanpa terli-hat keraguan dalam dirinya. Tapi lidahnya sedikit kelu. Tubuhnya semakin bergetar seperti daun dit-erpa angin.

“Aku......” Evin memotong ka-limatnya

“Ungkapkanlah... kita harus terbuka.”

Rasa kagumnya tiada henti atas keberanian Evin, dalam mengu-raikan ucapan yang begitu sing-kat. Sikap yang sulit dimilki wan-ita lainya.

“Aku menyayangimu” ungkap nya penuh serius

“Apa yang kamu suka dariku?” tanya ketus

“Aku mencintaimu, bukan ke-cantikan, bukan tubuhmu. Tapi aku mencintai kelembutan Tuhan hatimu yang kulihat”

Jhon, terus meyakinkan Evin dengan ucapannya yang enak didengar. Tapi dia tidak tahu tentang jawaban yang akan dit-erimanya. Dia hanya pasrah me-nanti jawaban yang akan diter-imanya. Walau akhirnya...

“Masih banyak wanita yang lebih dari diriku,” lanjut Evin sedikit kasihan

“Bidadari surga sekalipun tu-run ke negeri ini. Cintaku bukan ucapan. Tapi ini pemilihan hati,” Teguh Jhon.

“Aku tak ingin dengan jawa-banku membuatmu menderita,”

“Tak ada penderitan, jika itu jujur. Aku harap kau menjawab nya”

“Ya, aku akan menjawab seka-rang. Aku juga tidak terbiasa mengulur waktu dengan jawa-ban. Yang sekiranya jawaban itu tidak berubah,” kemudian Evin menarik nafas dalam-dalam lalu melanjutkan ucapannya

“Jhon, sebelumnya maaf. Bu-kan niat menyakiti hatimu. Tapi aku sudah punya suami. Waktu liburan kemarin nikah siri. Dan itupun tidak ada yang tahu. Cuma kamu saat ini. Sekali maaf.”

“Terima kasih atas kejujuran-mu. Aku bangga,” Jhon, dengan bangga menerimanya walau hat-inya dipenuhi rasa sedih

Rasa kasihan yang terlihat di wajah Evin terhadap Jhon, tak

dapat ditabiri dari kebohongan. Tapi apa boleh buat jika telah tejadi. Sedangkan dalam hatin-ya bagai digores sebilah pedang begitu sakit. Dan pedih, disaat keyakinan hatinya ada dalam tak-dir yang selalu sangsi atas peng-etahuannya keinginanya. Dia hanya terdiam dengan mata yang sedikit ke bawah. Tak ada pilihan lain baginya . melainkan sabar dan mengikhlaskan semuanya...

*Tuhan, aku bangga dan ba-

hagia dengan semua keterbaikan yang kau berikan padaku saat ini. tapi apakah aku selamanya dig-ariskan pada takdir yang hanya bisa melihat? Dan akhir tidak bisa memiliki? tanya Jhon, pada Tu-han diakhir cerita.

Jakarta, 2011 *Mahasiswa semester III Juru-

san Aqidah Filsafat. Aktif di Poros Senja kala, (Pemuda Sastra Kampus Uin) sekaligus aktivis PIUS.

Cerpen...

Afrian Rahardyan*

Presiden yang seksi dan baik hati.Aku hendak mengatakan sesuatu.Cukuplah kita berdua yang tahu.

Semoga engkau mendengar semua kata-kataku.Meski akhirnya harus kura-kura dalam perahu.

Jadi begini lho pakenam puluh enam tahun negeri ini merdeka

tapi kenapa kok wujudnya begini-begini saja?Serasa badan tak punya nyawa.

Semakin hari, semakin mati gaya.

Presiden yang seksi dan baik hati.Aku hendak menceritakan sesuatu.

Tapi kuyakin orang-orang juga akan tahukalau negeri ini dilanda kisah sedih di hari Minggu.

Aku yakin engkau pun mendadak jadi gagu.

Kenapa kok bisa begitu ?Entahlah. Semua orang pun langsung membatu.

Hingga sekarang masih tetap tidak menentu.Mungkin karena banyak orang yang belagu.

Serta hidupnya selalu diperbudak hawa nafsu.Jadi akhirnya malah tak maju-maju.

Presiden yang seksi dan baik hati.Sulit negeri ini melakukan revolusi.

Dalihnya bernaung dalam demokrasi.Tapi omongannya tak jauh dari rentetan basa-basi.Nyerempet-nyerempet malah jadi bahan kontroversi.

Ujung-ujungnya cuma sekedar mencari sensasi.Ah, ini sama saja kayak beruang di sangkar besi.

Hidup terkurung tanpa inovasi.

Presiden yang seksi dan baik hati.Suaraku sudah cukup serak.

Setiap hari diriku selalu berteriak.Tentang negeri yang hampir berkerak.

Katanya kaya, tapi kemiskinannya yang semarak.

Mungkin ini bukanlah alunan suara harpa.Atau petuah bijak dari para pertapa.

Namun pastinya, diriku janganlah dipenjara.Jangan didenda atau hukuman lainnya.

Sebab aku hanya rakyat jelatayang cuma punya pertolongan Allah semata

dan segalon linangan air mata.

*Penulis adalah Mahasiswa FIDKOM, semester III

Surat Untuk PresidenPuisi...

Edisi XVI/November 2011

Page 11: Tabloid INSTITUT Edisi 16

Karna dalam Monolog“…Ada yang tak dapat dising-

kirkan dari tangis setiap anak , juga dari seorang bayi yang tak diakui… dengan suara bergetar aku katakan kepadanya apa yang aku duga…” Kunthi, ibu kandung Karna, dalam monolognya, batinnya pilu meng-hikayatkan perjumpaannya dengan sang buah hati yang dahulu ia buang ke sungai. Kunthi melakukan itu demi menutupi buah perselingkuhan-nya dengan salah seorang pangeran sebelum dinikahi ayah para pangeran Pandawa.

Karna diasuh oleh Radha, istri seorang kusir yang menjadi ibu an-gkatnya, hingga tumbuh besar. Ia menjadi seorang kesatria tangguh setelah belajar dari Parasurama. Kemudian Karna menjadi Adipati orang-orang Kurawa. Dalam lakon yang ditulis oleh Goenawan Mo-hamad ini, Karna adalah tokoh yang disisihkan dari kasta-kasta yang ada. Meskipun dalam wa-yang kulit, ia berperang di pihak Kurawa, sebenarnya Karna adalah anak Kunthi, permaisuri dan ibu dari kelima pangeran Pandawa.

Penampilan teater ini menampil-kan monolog empat orang terdekat Karna yang dikiriminya surat sebelum ia tewas dalam pertem-puran. Mereka adalah Sitok Sren-genge (Karna), Niniek L. Karim (Kunthi), Sita Nursanti (Radha), Whani Darmawan (Parasurama), dan Putri Ayudya (Surtikanti, istri Karna). Teater Monolog Karna

yang berdurasi sekitar dua jam ini dibawakan melalui perspektif keempat tokoh itu atas ingatan mereka pada Karna.

Parasurama, guru Karna, tersentak atas kedatangan surat Karna tersebut. Ia larut bermo-nolog dalam nostalgia mengenang sosok muridnya itu yang dahulu ia usir. Karna menyerap semua ilmu Parasurama kecuali satu mantera ajaib. Parasurama adalah guru yang senantiasa mempertanyakan tingkatan status kelahiran dan kasta orang yang ingin belajar padanya. Ia mengusir Karna sebab dia menganggap Karna telah membohongi dirinya berkasta Brahma.

“Guru, terus terang hamba me-mang berdusta, tapi hanya dalam satu perkara dan bukan perkara lain. Dusta demi kebenaran. Tapi hamba tidak mengerti, kebenaran apa yang hamba tutupi jika tuan mengatakan hamba seorang kesatria. Hamba bukan kesatria, tahukah tuan dari mana hamba lahir? Tuan tidak tahu. Hamba juga. Kelahiran adalah pengala-man yang sendiri. Tapi tuan dan masyarakat tuan menetapkan bahwa tidak ada yang sendiri,” Parasurama dalam monolognya mengutip perkataan Karna bebera-pa saat sebelum ia mengusirnya.

Pada saat berusia delapan tahun, dalam monolog Radha ibu angkatnya, Karna telah pandai

membuat busur panah. Ia me-miliki keberanian melampaui anak seusianya. Ia tak pernah gentar menghadapi siapapun yang menentangnya bahkan terhadap orang yang lebih besar darinya. Meski demikian ia juga anak yang tekun dalam belajar ak-sara dari kakek tua yang tinggal di ujung desa. Darinya, Karna banyak mendengar cerita-cerita para kesatria . “Para ksatria itu, Bu,” ujarnya kepadaku, “adalah makhluk sempurna,” Radha berli-

nang dalam monolognya.Bagian yang menceritakan

keberanian Karna dalam monolog Kunthi yaitu pada saat meng-hadapi para pangeran Pandawa dalam sebuah pertandingan, “Tuan-tuan melindungi diri den-gan kasta dan kemahiran. Tuan-tuan punya dua perisai, sedangkan saya hanya satu. Hanya kemahiran saya. Sekarang tuan-tuan bisa menilai sendiri siapa diantara kita yang berani bertanding.”

Monolog ini adalah sebuah

lakon yang menafsirkan dan menciptakan kembali satu bagian tragis dari Bharatayudha, perang saudara antara para Kurawa dan Pandawa. Karna sendiri adalah se-orang yang selamanya “lain”, yang menemukan harkatnya dari perang dan kematian. Ibarat “nol”, Karna bukanlah apa-apa, sehingga ia bisa menjadi apa saja. Karna adalah kisah tentang identitas seseorang atau ketiadaan identitas itu sendiri.

SENI BUDAYA 11

Rahmat Kamaruddin

Berangkat dari rasa prihatin melihat kondisi tempat ibadah yang terbengkalai, Fiqi Fatullah dan tiga rekannya membentuk komunitas yang

kini akrab dipanggil Komus (Komuni-tas Mahasiswa untuk Musala). Jejak Komus merupakan sebuah gebrakan bagi mahasiswa UIN Jakarta agar

lebih mencintai tempat ibadah. Ketiga rekan lainnya adalah

Geralz Abadi Putra, Yudi Pari-yanto, dan Maharya Adhilaiksa. Mereka merupakan mahasiswa nonreguler Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang sama-sama mempunyai impian serupa, yaitu membangun musala yang mandiri.

Mimpi pun terwujud, sejak 2009 silam, musala yang terletak di basement gedung FEB sedikit demi sedikit mulai dibenahi. Berbagai fasilitas seperti karpet, sajadah, kipas angin, hijab, dan alat solat lainnya telah disediakan dan yang paling penting adalah musala itu kini bersih dan layak digunakan.

Semua itu terwujud dari kerja keras mahasiswa-mahasiswa tersebut dengan dibantu tujuh mahasiswa sukarelawan lainnya. Setiap Sabtu dan Minggu mereka

(Komus) melakukan kerja bakti, seperti menyapu, mengepel, men-cuci mukena, hingga menggalang dana untuk pembelian fasilitas musala.

Kegiatan- kegiatan itu dikerja-kan tanpa pamrih. Lebih dari itu, Komus secara berkesinambungan mengadakan bakti sosial untuk orang- orang yang kekurangan secara finansial. “Senang bisa melakukan sesuatu yang berman-faat bagi orang lain,”kata Fiqi, Ketua Komus sambil tersenyum (8/10).

Tak seperti kebanyakan organi-sasi lain, Komus kurang diminati mahasiswa. Kerjanya yang diang-gap ringan hanya diapresiasi sead-anya. Regenerasi pun tersendat.

“Mind set mahasiswa harusnya dirubah. Fasilitas kampus ini kan milik kita (mahasiswa, red) bersama. Jadi mahasiswa juga yang harus merawatnya. Apalagi

berhubungan dengan tempat iba-dah. Jangan mentang-mentang ada petugas kebersihan, lantas cuek,” tutur Fiqi lagi.

Muhammad SPS, mahasiswa Akuntansi semester V sekaligus angggota Komus bertutur, “Saya nggak mau Komus vakum. Tetap akan dijalankan, membangun memang susah, untuk menerus-kan juga lebih susah, mudah- mudahan masih ada yang mau bergabung dengan kita, untuk menciptakan tempat ibadah yang layak.”

Apresiasi pun dilontarkan oleh Herni Ali, pudek kemahasiswaan. “Kita (pihak fakultas, red) sebagai penasihat sangat mendukung kreatifitas mahasiswa yang tidak hanya mengejar keduniaan dan kita memberikan support secara spiritual,” katanya sambil me-nyunggingkan senyuman (17/8).

Jejak Para Pencinta MusalaAam Mariyamah

Komunitas...

FOTO:WITJAK/SALIHARA

Surtikanti (depan) bermonolog meratap sembari membaca surat terakhir dari suaminya, Adipati Kurawa Karna (belakang). Pada pementasan teater ‘Karna’ di gedung teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan (18/11).

Edisi XVI/November 2011

Komus, Komunitas mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap kebersihan musala

Page 12: Tabloid INSTITUT Edisi 16

lSOSOK12

Telusuri Sejarah Lambang NegaraRahmat Kamaruddin

Edisi XVI/November 2011

Tak banyak orang tahu siapa pembuat lambang Negara Republik Indonesia. Ber-beda dengan simbol Negara lainnya, seperti bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya, orang Indonesia telah banyak tahu sejarah dan pembuatnya.

Berangkat dari rasa penasaran siapa sang pembuat lambang Negara Indonesia, Firman Faturohman terinspirasi melaku-

kan penelitian tentang lambang Burung Garuda Pancasila tersebut. Banyaknya orang yang tak tahu tentang sejarah lambang Negara ini menurutnya adalah sebuah ironi.

Dengan mengusung karya tulis berjudul “Sultan Hamid II Al Kadrie, Pembuat Lambang Pemersatu Bangsa”, Mahasiswa kelahiran Majalengka, 9

Agustus 1992 tersebut pada September lalu berhasil mengibarkan bendera UIN di kancah nasional sebagai kategori karya terbaik 10 besar pada Lomba Karya Tulis Sejarah (LKTS) tingkat mahasiswa.

“Hal ini jarang diketahui oleh orang ba-nyak, bahkan kadang terlupakan oleh para akademisi dan pemerhati sejarah,” tutur mahasiswa Fakultas Adab dan Hu-maniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta ini.

Lomba tersebut diselenggarakan tiga instansi pemerintah yakni Direktorat Nilai Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, di Sulawesi Tengah, Palu, 9-15 September 2011. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS).

“Alhamdulillah, ada sekitar 137 peserta dari berbagai universitas di Indonesia, aku nggak nyangka masuk 10 besar, rasa syukur juga bisa ke Palu, Sulawesi Tengah, atas undangan Kemenbudpar mengikuti dialog interaktif kesejarahan beserta para mahasiwa pemenang lainnya ,” tutur salah satu anggota volly unit kegiatan ma-hasiswa Forsa (Federasi Olahraga Maha-siswa) tersebut .

Meski dalam proses membuat karya tersebut dirinya menghadapi berbagai kendala, berkat usaha keras dan dorongan orang-orang terdekat ia berhasil menye-

lesaikan karya ilmiahnya dalam satu bulan. “Pas ngebuatnya bertepatan UAS, mana di Forsa juga lagi sibuk, terus orang tua waktu itu lagi sakit, mau dioperasi,” tuturnya.

Ketika berkumpul dengan mahasiswa lainnya di Palu, ia mengaku sempat grogi. Setelah beberapa waktu akhirnya ia bisa akrab dan beradaptasi. “Maklum, saat itu aku masih semester dua, yang lainnya udah pada semester akhir,” ujarnya.

CINTA SEJARAHSejak kecil Firman mencintai pelaja-

ran sejarah. Meski saat SMA berada di jurusan IPA, tapi pada saat mendaftar kuliah ia meneruskan minatnya di bidang sejarah. Padahal ia pernah menjadi finalis terbaik ke enam saat mewakili Propinsi Banten pada perlombaan pelajaran IPA tingkat propinsi di Jakarta. “Guru SMA saya banyak yang nyayangin masuk juru-san sejarah, ” kenang mahasiswa semester tiga ini.

Baginya, ilmu sejarah sangatlah penting. Selain memperkaya wawasan, mempelajari sejarah dapat mempersatu-kan sebuah bangsa . “Sejarah itu sangat penting bagi kehidupan, salah satu faktor pentingnya sejarah adalah bisa memper-satukan bangsa,” ujar pengagum Presiden Soekarno ini. Dia mengatakan, sejarah juga bisa menjadi sumber motivasi. Kelak, ia ingin menjadi peneliti sejarah.

Firman Faturohman (kanan) bersama Max Yusuf Al Kadrie asisten pribadi Almarhum Sultan Hamid II Al Kadrie, saat melakukan wawancara di kediamannya di jalan Jeruk Purut, Jakarta Selatan (4/6)

FOTO

:DO

K. P

RIBA

DI

Page 13: Tabloid INSTITUT Edisi 16

WAWANCARA 13

Anggaran Dana Penelitian Perlu Ditingkatkan

Jajad Burhanuddin, Ketua Lembaga Penelitian

FOTO

: MU

JI/INSTITU

T

Cp: 087884907104

Edisi XVI/November 2011

Muji Hastuti

Baca!

UIN Syarif Hidayatullah setiap tahunnya selalu mendapatkan dana penelitian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Badan Layanan Umum (BLU). Namun, nyatanya berdasarkan data yang didapat dari Lembaga Penelitian (lemlit), anggaran DIPA APBN hanya cukup menda-nai 48 dosen untuk melakukan penelitian. Berapakah alokasi dana yang dikeluarkan untuk setiap penelitian? Apa upaya lemlit untuk menutupi kekurangan dana? Berikut petikan wawancara Muji Hastuti, reporter INSTITUT (9/11) dengan Jajad Burhanud-din, Ketua Lemlit UIN di ruangannya.

Dari mana sumber dana penelitian?Sumber dana penelitian itu ada dua.

Pertama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu sumber dana dari pemerintah. Kemudian, yang kedua dari Badan Layanan Umum (BLU) yang bersum-ber dari masyarakat atau mahasiswa.

Berapa anggaran dana penelitian?Bervariasi, kalau dari APBN ada yang dua

miliar atau dua setengah miliar. Kalau dari BLU tergantung jumlah mahasiswanya. Tapi untuk tahun ini masing-masing dari APBN dan BLU mendapatkan satu miliar, jadi jum-lah secara keseluruhan dua miliar.

Bagaimana proses pembagian dana pe-nelitian?

Sebenarnya untuk dana penelitian itu terb-agi empat. Yang pertama penelitian individu. Penelitian yang berdasarkan perorangan itu mendapat 10 juta per judul. Kedua, untuk penelitian kolektif, peneliti yang jumlahnya lebih dari satu orang itu mendapat 25 juta per judul. Ketiga, penelitian kompetitif, sifatnya lebih banyak untuk penguatan keilmuan, itu sebesar 75 juta per judul. Dan keempat, untuk penelitian institusional. Pe-nelitian itu dirancang untuk memperdayakan sejumlah institusi yang ada di UIN sebesar

55,5 juta per judul.

Apakah empat jenis penelitian itu sudah berjalan?

Ya, itu sudah berjalan lama. Dan saya yang merumuskan itu. Tinggal bagaimana semua itu bisa menghasilkan penelitian-penelitian yang lebih berkualitas.

Kemana alokasi dana penelitian?Alokasinya hanya untuk dosen-dosen yang

meneliti saja. Jadi, dosen yang mengajukan proposal kita seleksi, kemudian yang terpilih itulah yang akan kita danai.

Apakah dana penelitian kurang?Iya, idealnya dana penelitian itu lima

persen dari dana UIN secara keseluruhan, jadi jika dana UIN mendapat 500 juta, maka idealnya dana penelitian mendapatkan lima persen dari 500 juta itu. Beda dengan UI dan IPB, mereka memiliki dana yang lebih dari UIN. Itu karena mereka memiliki banyak

sumber dana, sedangkan kita kekurangan sumber.

Kalau dana penelitian kurang, apakah penelitian tetap berjalan?

Masih tetap berjalan, hanya saja belum bisa memberikan dana untuk semua dosen dalam penelitian. Padahal idealnya semua dosen harus melakukan penelitian. Itu kinerja mereka sebagai dosen, tapi selama ini karena dana kita terbatas, jadi kita tidak bisa memberikan dana yang sesuai.

Bagaimana cara menanggulangi kekurangan dana?

Mungkin dengan memperbanyak riset-riset yang lain atau sumber pendanaan yang lain. Selain itu, memaksimalkan saja apa yang ada, agar kualitas penelitiannya bisa lebih baik. Karena kalau baik pasti akan menghasilkan sesuatu untuk lembaga lemlit. Jadi, kita beranjak dari situ saja. Link juga diusahakan dan semoga saja berhasil.

“Beda dengan UI dan IPB, mereka

memiliki dana yang lebih dari UIN. Itu karena mereka memiliki banyak sumber

dana, sedangkan kita kekurangan

sumber”

Page 14: Tabloid INSTITUT Edisi 16

KESEHATAN14

Trend Kawat Gigi untuk ‘Fashion’

Rubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel

Kata Ahli...

Surat Pembaca Rubrik konsultasi

Dok, perawatan apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkan lemak dibagian perut, paha dan tangan saya. Padahal sebenarnya saya tidak gemuk, karena bagian perut, paha dan tangan saya penuh lemak sehingga bentuk badan saya tidak proporsional dan terlihat aneh. Bagaimana cara menghilngkan lemak di bagian-bagi-an tertentu dok, agar badan kita jadi bagus? Terimakasih (Rafika,

Tarbiyah)

Dear Rafika,Penumpukan lemak dapat ter-jadi karena kurang olah raga atau kurangnya gerakan di bagian tu-buh tertentu, biasanya pada dae-rah perut, pinggang, lengan atas dan paha. Untuk mengatasinya dapat di-

lakukan dengan cara alamiah atau dengan obat/tindakan penghan-curan lemak. Cara alamiah yaitu dengan ak-tivitas yang cukup untuk memba-kar lemak pada daerah tersebut, misalnya dengan olahraga aero-bik, jogging, bersepeda, berenang, maupun angkat beban.Terdapat pula berbagai obat-obatan yang diketahui berperan dalam membantu pembakaran lemak tubuh, serta tindakan peng-hancuran lemak di bagian tubuh yang diinginkan yaitu dengan mesotherapy, liposuction, dan lain-lain, yang tentunya mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dan dilakukan oleh dokter yang kompeten di bidang tersebut.

Dok, saya punya problem dengan jerawat. Terkadang kulit saya bisa sangat bersih, tetapi juga bisa berjera-

wat ,sampai ada jerawa batunya. Dan bekasnya itu sulit sekali dihilangkan, bahkan bagian kulit saya terlihat bo-peng, sehingga warna kulit muka saya tidak merata karena ada bekas noda jerawat. Ada apa dengan kulit saya-dok? Bagaimana cara mengatasinya?

Terimakasih (Rosiana, FISIP)

Dear Rosiana,Penyebab timbulnya jerawat ber-sifat multifaktorial. Sehingga kita mesti melakukan berbagai pen-dekatan untuk mengatasi dan mencari penyebabnya. Mulai dari faktor genetik, hormonal, lifestyle, obat-obatan, kosmetik, dan psikis. Biasanya penyebab tersering ada-lah lifestyle yang kurang sehat seperti kurang istirahat, kurang menjaga kebersihan kulit, ataupun mengkonsumsi makanan yang tidak sehat.Di samping menghindari kebi-

asaan yang dapat mencetuskan munculnya jerawat, perlu di-lakukan perawatan seperti facial khusus untuk jerawat, dan peng-gunaan obat-obatan yang dapat menekan timbulnya jerawat serta mengatasi peradangan.Setelah masalah jerawat teratasi barulah dilakukan perawatan un-tuk mengatasi bekas yang diting-galkan. Perawatan dapat seder-hana seperti menggunakan krim untuk menghilangkan pigmentasi pasca peradangan/acne. Dapat pula berupa perawatan lanjutan untuk mengoreksi luka parut be-kas jerawat yang dapat dilakukan dengan dermabrasi, dermaroller, mesotherapy, dan lain-lain. Untuk memilih jenis perawatan yang tepat sebaiknya dikonsultasi-kan terlebih dahulu dengan dokter Anda.

Edisi XVI/November 2011

Konsultasi Kecantikan Dokter AngelRubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel dr Angela W, Dipl. CIBTAC (Cosmetologist)

Kata Ahli...

Ada masa di waktu lampau di mana mengenakan kawat gigi dianggap sebagai ‘bencana’ atau ‘stigma’ yang membuat rasa minder para remaja. Mereka menjadi sasaran ejekan teman-temannya dengan sebutan ‘mulut besi’ (metal mouth) atau ’senyum kaleng’ (tin grin). Tapi itu dulu. Dewasa ini khususnya di kawasan negara-negara Asia (Thailand,

China dan juga Indonesia) behel atau kawat gigi dianggap sebagai bagian dari fashion yang trendy. Remaja-remaja dengan banggan-ya memamerkan senyumnya yang bertaburan kawat warna-warni (seperti pelangi) yang bahkan bisa diganti-ganti supaya matching den-gan warna busana yang dikena-kannya. Inilah yang dinamakan dengan fashion braces (kawat gigi

untuk gaya) yang merebak tanpa kontrol di antara kawula muda.Sejatinya kita mengenakan dental braces atau alat orthodonsi, kalau memang ada indikasi untuk tindakan itu, misalnya adanya susunan gigi yang tidak rata dan bertumpuk (crowded) dan penger-jaan kawat gigi ini juga hanya boleh dilakukan oleh dokter gigi yang berkompetensi. Namun yang terjadi karena lemahnya kontrol dari departemen kesehatan, kini bahkan salon-salon kecantikan tanpa rikuh dengan iklan besar menawarkan pemasangan kawat gigi ini. Tarif yang ditarik tentun-ya jauh lebih murah dibandingkan kalau dilakukan di ruang praktek dokter gigi. Bahkan di Thailand juga sudah dipasarkan kawat gigi yang bisa dipasang sendiri dan bisa dikirim lewat paket (mail delivery).Amankah fashion braces ini? Kalau kita menelaah mekanisme kerja kawat gigi di mana dilakukan tarikan pada gigi-geligi secara berkelanjutan, maka pertama-tama efek negatif dari pemakai yang susunan giginya tidak bermasalah adalah pergeseran gigi yang tidak terkontrol. Kedua,

tenaga tarikan ‘behel’ ini sebet-ulnya menyebabkan rasa sakit yang cukup menyiksa, sehingga saya cukup heran banyak remaja yang rela menahan sakit demi untuk tampil gaya atau nampak cool. Efek negatif lainnya karena pemasangan kawat gigi dilakukan oleh tenaga yang tidak berkom-peten, maka sejumlah gang-guan kesehatan dapat mendera si pemakainya. Di Thailand tahun yang lalu, dua orang remaja wanita meninggal dunia karena mengenakan fashion braces ini. Kawat yang dipasang secara ilegal ini menyebabkan infeksi thyroid dan berlanjut dengan serangan jantung. Pihak departemen kes-ehatan Thailand sebetulnya sudah memberikan peringatan akan bahaya pemakaian fashion braces ini seperti sariawan, luka pada bibir dalam, keracunan timbal (dari bahan kawat) dan gangguan syaraf dan tertelannya bagian kawat gigi yang tidak dipasang secara profesional. Namun per-ingatan yang sudah dilansir lima tahun berselang nampaknya tidak menyurutkan semangat remaja ABG untuk memasang kawat gigi untuk gaya ini.

We just think they’re cute. Nice and cute, kata seorang remaja wanita Thailand. Kegandrungan fashion braces ini selain dipengaruhi oleh para selebriti yang ramai-ramai memamerkan ‘senyum kawat gigi’, juga karena gencarnya pemasaran ‘behel’ tiruan yang bisa dipesan melalui pos dengan harga yang cukup murah. Untuk behel tiruan satu sisi rahang di-patok 24 dollar sedangkan untuk rahang atas dan bawah dibandrol 45 dollar. Ini tentunya jauh dari ‘tarif ’ perawatan ortodonsi dari dokter gigi yang berkisar sekitar 1.200 dollar di Thailand. Terlepas dari kecenderungan mode remaja memakai fashion braces pemer-intah kiranya perlu mengambil tindakan dan penertiban dari alat kesehatan ini, karena bagaimana pun kesehatan tidak boleh dicam-pur adukkan dengan fashion.

*Penulis adalah penggiat Blog kom-pasiana

Gustaaf Kusno*

FOTO

: KA

SKU

S.U

S

Page 15: Tabloid INSTITUT Edisi 16

TUSTEL 16

Kirim foto Anda ke [email protected] untuk dipamer-kan di rubrik Tustel,

foto dalam format JPEG beserta nar-

asinya. Tema tustel untuk tabloid se-lanjutnya adalah

‘Galau’.

Foto Oleh:M. Iqbal IchsanKalacitra

Karnaval dalam memper-ingati hari kemerdekaan tahun ini, di Kecamatan Poncokusumo Malang Jawa Timur

PahlawanEdisi XVI/November 2011