Tabloid Institut gitu loooh

12
12 HALAMAN EDISI IV/ Oktober /XXII/ 2007 Ciputat, INSTITUT- Di sela-sela kegiatan Kemah Jurnalistik (Kemjur) di Bumi Perkemahan dan Wisata (Buperta) Cibubur, seusai melaksanakan shalat Maghrib, para jurnalis INSTITUT menghampiri beberapa jamaah yang sedang duduk di serambi masjid. Basa-basi perkenalan nama dan alamat tinggal mengawali perbincangan. Mereka terkejut ketika salah seorang anggota LPM INSTITUT mengaku berasal dari UIN Jakarta. “Alhamdulillah, ternyata masih ada mahasiswa UIN yang mau salat,” ucap salah seorang jama’ah. Mereka kemudian menanyakan rumor yang menyatakan UIN Jakarta sebagai pusat penyebaran Islam liberal. Peristiwa ini setidaknya dapat menggambarkan bahwa hingga kini beberapa kalangan masyarakat masih memiliki paradigma demikian terhadap UIN. Kami pun menjelaskan realita yang sesungguhnya di UIN Jakarta. Benar ada mahasiswa yang memiliki pemikiran liberal, tapi itu pun hanya sebagian kecil. Dan mahasiswa yang pemikirannya liberal bukan berarti ia tidak melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Selain itu, di UIN Jakarta hampir semua corak pemikiran tumbuh dengan subur. Dan Islam Liberal hanyalah salah satu bagian dari warna-warni corak pemikiran ini. Sebagaimana diungkapkan Direktur International Center for Islam and Pluralism, Syafiq Hasyim, “Kita tidak bisa menjadikan Ciputat sebagai faktor determinal. Karena Ciputat/UIN Jakarta hanya bagian kecil dari Islam Liberal. Promotor Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla saja tak ada hubungannya sama-sekali dengan UIN Jakarta,” kata alumnus Aqidah Filsafat FUF UIN Jakarta 1990-1991 ini. Sementara itu, Guru Besar FUF, Prof Dr Kautsar Azhari Noor menyatakan, stigma liberal yang disandangkan pada UIN Jakarta besifat sangat subyektif. “Ada yang menganggap stigma itu pantas, ada pula yang tidak. Jika ada orang yang menilai kampus ini sesat, itu adalah penilaian yang murahan,” papar Kautsar. Image liberal ini sering pula dikaitkan dengan tradisi pemikiran pembaharu yang menjadi ciri khas sekaligus keunggulan UIN dibanding kampus lain. Tapi gelora intelektual ke-Islaman yang dirajai UIN Jakarta kini seolah tinggal dongeng belaka. Romantisme perdebatan keilmuan tinggal kenangan. Hanya sebagian kecil mereka yang tetap mempertahankan tradisi itu dalam forum-forum diskusi yang masih eksis saat ini. Tak dapat dipungkiri, mereka (forum studi/kajian) adalah denyut nadi intelektual. Setiap forum studi biasanya mempunyai ciri khas tersendiri. Baik itu kajiannya, maupun kumpulan aktivisnya. Dari mulai yang berasal dari satu atau gabungan beberapa organisasi, hingga mereka yang memang membentuk forum kajian sebagai alternatif untuk menghindar dari organisasi formal yang mengkotak-kotakan mahasiswa. Tak jarang pula, forum diskusi menjadi kawah penyucian diri untuk melebur satu warna setelah mereka saling tempur membela warna masing-masing dalam medan politik. Penurunan daya dobrak intelektual kampus tersebut diakui para penggiat forum-forum diskusi di Ciputat. Minimnya mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti diskusi adalah penyebab utama pudarnya tradisi intelektual. Hal itu dinyatakan oleh Lukman Hakim dari Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC). M. Ali Fernandes, Direktur Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) serta Maman, aktivis Lingkar Studi Piramida Circle mengatakan, munculnya sikap pragmatis dan orientasi yang berbeda dengan zaman IAIN sebagai salah-satu sumber kemunduran gairah intelektual kampus. Rahmat Sahid, Koordinator Forum Kajian Ushuluddin (FOKUS) memiliki pandangan yang kurang lebih sama. “Artikulasi pemahaman ke- Islaman di forum diskusi semakin berkurang karena banyak mahasiswa sekarang terjebak kedalam sikap pragmatis,” tutur pemuda asal Kebumen ini. “Sekarang banyak mahasiswa yang terjebak proyek politik, jadi ‘tim hore’ acara talkshow di stasiun TV, dan membuat seminar-seminar yang tidak membangun, hanya titipan-titipan instansi yang memiliki kepentingan,” lanjut Mahasiswa yang aktif di Forkot sejak tahun 2000 ini. Karena itu, Lukman Hakim menyatakan tidak heran jika kesinambungan pemikiran Islam beberapa tokoh UIN saat ini telah terputus. Dalam hal ini, forum diskusi mengemban tanggung jawab yang cukup besar. “Kita harus terus berupaya memahami khazanah intelektual Islam se-komperhensif dan se-otentik mungkin,” kata Lukman. Di samping kelompok-kelompok studi, beberpa organisasi ekstra kemahasiswaan juga turut menyalakan perang wacana yang ada. Mereka diantaranya HMI, PMII, dan IMM, organisasi ekstra yang telah lama eksis di lingkungan kampus ini. Tapi seiring bergantinya zaman, peran mereka di kancah intelektual semakin meredup. Justru organisasi yang terbilang lebih muda dari mereka seperti KAMMI dan HTI, yang saat ini terlihat sedang bersemangat dalam dakwah wacananya. Syafiq Hasyim mengatakan, hal itu bisa jadi karena organisasi lama (HMI, PMII, IMM) telah jenuh bergelut dengan pemikiran ke-Islaman mereka. “Biasanya sebuah organisasi mapan, bila tidak ada inovasi atau hal baru yang mereka kembangkan, kejadiannya akan seperti itu,” ujar Syafiq. Namun lanjutnya, bisa jadi sebenarnya sekarang intelektualisme dan peminat studi pemikiran tidak berkurang. Hanya saja sekarang fakultas-fakultas agama menjadi bagian kecil sebagai akibat perubahan IAIN menjadi UIN. “Dulu ketika masih IAIN, fakultas agama seperti FUF terlihat besar. Berbeda dengan sekarang setelah menjadi universitas dan banyak dibuka fakultas- fakultas umum. Sementara itu Saidiman, aktivis Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) yang baru saja mendapat gelar S1 Filsafat tahun lalu, menyebut sistem Student Govermnent (SG) sebagai faktor kemunduran intelektual organisasi-organisasi lama ini. Saidiman mengatakan, sejak dulu dirinya tidak setuju dengan bentuk pemerintahan mahasiswa itu. Selain SG, budaya pop yang menjangkiti mahasiswa zaman sekarang serta pemikiran konservatif menurutnya adalah akar kemerosotan intelektual mahasiswa UIN Jakarta. [MSW, Denhas, Irsyad, Rose, Badru, Haris, Ali] D alam buku “Islam Rasional” Harun Nasution tertulis, pada bulan Juni 1987, di sebuah LustrumVI, segenap sivitas akademika mendeklarasikan IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pusat studi pembaharu Islam di tanah air. Hal itu tak lepas dari peran besar Rektor kala itu, Prof Dr Harun Nasution. Bermula sejak melakukan studi di luar negeri, Harun mengetahui budaya intelektual di IAIN Jakarta sangat sempit, tradisional dan spesialisasinya Fiqih. Ini didengarnya dari orang- orang Indonesia yang datang ke Mesir untuk menuntut ilmu. Setelah mendapatkan gelar doktor, IAIN memboyongnya ke Ciputat. Dengan kondisi IAIN yang telah diketahuinya ini, Harun pun sering berceramah dalam acara-acara Universitas. Fiqih, materi yang biasa diceramahkan, diganti dengan diskusi dan dialog yang menumbuhkan sikap kritis dan terbuka atas beberapa pemikiran yang diformulasikan oleh intelektual-intelektual Islam. Kurang lebih empat tahun kemudian, Harun Nasution dilantik menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia ingin melihat umat Islam Indonesia dan dunia pada umumnya maju. Harun kemudian melakukan gebrakan untuk merubah kurikulum IAIN. Untuk itu, Harun mempertemukan Rektor IAIN seluruh Indonesia di Ciumbuleuit. Tapi usul Harun ini ditolak oleh para Rektor tua seperti H Ismail Ya’cub dan KH Bafadal. Yang mendukung niat Harun diantaranya Mulyanto Sunardi selaku Dirjen Perguruan Tinggi Islam Depag RI dan Zarkawi Suyuti, Sekretaris Dirjen Bimas Islam. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya para Rektor tua menyetujui perubahan itu dengan syarat mata kuliah Tafsir, Hadits, Fiqih tetap dipertahankan sebagai ciri keislaman IAIN. Mulai saat itu, Pengantar Ilmu Agama, Filsafat, Tasawuf, Ilmu kalam, Tauhid, dan Sosiologi pun diajarkan. Pemikiran Harun sering merujuk pada teologi Mu’tazilah dan Muhammad Abduh. Sementara mayoritas ulama Indonesia adalah pengikut Asy’ariyah. Karena itu banyak kritik tertuju pada Harun. Muncullah pro dan kontra. Tapi karena integritas pribadi, keluasan ilmu, dan refleksi jiwa seorang pendidik dari Harun Nasution, ia menyalurkan polemik itu lewat forum-forum diskusi, seminar dan tulisan. Langkah intelektual Harun Nasution ini pun dilanjutkan generasi berkutnya seperti Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Kautsar Azhari, Komaruddin Hidayat dan lain-lain. Bahkan begitu fenomenalnya gerakan pembaharu ini sehingga beberapa kalangan menyebut intelektual IAIN dan sekitarnya sebagai Madzhab Ciputat. Tapi kini, nadi intelektual itu terasa kurang getar dan gregetnya. Ada yang mengklaim budaya pop, hedonis, study oriented, konversi IAIN menjadi UIN dan lain-lain sebagai penyebab kemunduran ini. Bahkan ada pula yang menyebut Student Government, yang telah melenceng dari tujuan awal sebagai biang keladi hal ini. Yang jelas, amat disayangkan bila budaya keilmuan sebagai nilai dan ciri khas yang telah kita punya ini harus lenyap. Padahal ilmu pengetahuan- lah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Dengan ilmu, Tuhan mengangkat derajat seseorang dari yang lainnya disamping orang- orang yang bertakwa. [] Deklarasi Kampus Pembaharu Editorial Menepis Stigma Liberal Menghidupkan Tradisi Intelektual Laporan Utama Hal. 1-3 Laporan Khusus Hal. 4-5 Kampusiana Hal. 8-9 Opini Hal. 6 Laporan Khusus Cerpen Pustaka Mashasiswa bisa independen dan menjadi penegak dan pembela demokrasi yang harus selalu membuka diri terhadap perubahan dan melakukan otokritik. Jangan sampai menjadi barbaric intelektual ... ...Karena agama bukan-lah merupakan komoditas eksklusif, ... “Ya Tuhan, aku berdoa seperti doa yang kuucapkan kemarin. Kabulkanlah doaku, Tuhan...” ...Kalau dari pihak rektorat sendiri menginginkan saya menjalankan kepemimpinan selama 365 hari. Opini Hal. 6 Menggugat Puritanisasi Islam Hal. 7 Terpilih Sebagai Presiden Ajo Akan Merakyat. Hal.11 Hal. 5 Seperti Kemarin Dalam Ibid Sebuah Doa

description

Tabloid Institut edisi IV bulan oktober 2007

Transcript of Tabloid Institut gitu loooh

Page 1: Tabloid Institut gitu loooh

12 HALAMANEDISI IV/ Oktober /XXII/ 2007

Ciputat, INSTITUT- Di sela-sela kegiatan Kemah Jurnalistik (Kemjur) di Bumi Perkemahan dan Wisata (Buperta) Cibubur, seusai melaksanakan shalat Maghrib, para jurnalis INSTITUT menghampiri beberapa jamaah yang sedang duduk di serambi masjid. Basa-basi perkenalan nama dan alamat tinggal mengawali perbincangan. Mereka terkejut ketika salah seorang anggota LPM INSTITUT mengaku berasal dari UIN Jakarta. “Alhamdulillah, ternyata masih ada mahasiswa UIN yang mau salat,” ucap salah seorang jama’ah. Mereka kemudian menanyakan rumor yang menyatakan UIN Jakarta sebagai pusat penyebaran Islam liberal.

Peristiwa ini setidaknya dapat menggambarkan bahwa hingga kini beberapa kalangan masyarakat masih memiliki paradigma demikian terhadap UIN. Kami pun menjelaskan realita yang sesungguhnya di UIN Jakarta. Benar ada mahasiswa yang memiliki pemikiran liberal, tapi itu pun hanya sebagian kecil. Dan mahasiswa yang pemikirannya liberal bukan berarti ia tidak melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.

Selain itu, di UIN Jakarta hampir semua corak pemikiran tumbuh dengan subur. Dan Islam Liberal hanyalah salah satu bagian dari warna-warni corak pemikiran ini. Sebagaimana diungkapkan Direktur International Center for Islam and Pluralism, Syafiq Hasyim, “Kita tidak bisa menjadikan Ciputat sebagai faktor determinal. Karena Ciputat/UIN Jakarta hanya bagian kecil dari Islam Liberal. Promotor Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla saja tak ada hubungannya sama-sekali dengan UIN Jakarta,” kata alumnus Aqidah Filsafat FUF UIN Jakarta 1990-1991 ini.

Sementara itu, Guru Besar FUF, Prof Dr Kautsar Azhari Noor menyatakan, stigma liberal yang disandangkan pada UIN Jakarta besifat sangat subyektif. “Ada yang menganggap stigma itu pantas, ada pula yang tidak. Jika ada orang yang menilai kampus ini sesat, itu adalah penilaian yang murahan,” papar Kautsar.

Image liberal ini sering pula dikaitkan dengan tradisi pemikiran pembaharu yang menjadi ciri khas sekaligus keunggulan

UIN dibanding kampus lain. Tapi gelora intelektual ke-Islaman yang dirajai UIN Jakarta kini seolah tinggal dongeng belaka. Romantisme perdebatan keilmuan tinggal kenangan. Hanya sebagian kecil mereka yang tetap mempertahankan tradisi itu dalam forum-forum diskusi yang masih eksis saat ini.

Tak dapat dipungkiri, mereka (forum studi/kajian) adalah denyut nadi intelektual. Setiap forum studi biasanya mempunyai ciri khas tersendiri. Baik itu kajiannya, maupun kumpulan aktivisnya. Dari mulai yang berasal dari satu atau gabungan beberapa organisasi, hingga mereka yang memang membentuk forum kajian sebagai alternatif untuk menghindar dari organisasi formal yang mengkotak-kotakan mahasiswa. Tak jarang pula, forum diskusi menjadi kawah penyucian diri untuk melebur satu warna setelah mereka saling tempur membela warna masing-masing dalam medan politik.

Penurunan daya dobrak intelektual kampus tersebut diakui para penggiat forum-forum diskusi di Ciputat. Minimnya mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti diskusi adalah penyebab utama pudarnya tradisi intelektual. Hal itu dinyatakan oleh Lukman Hakim dari Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC).

M. Ali Fernandes, Direktur Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) serta Maman, aktivis Lingkar Studi Piramida Circle mengatakan, munculnya sikap pragmatis dan orientasi yang berbeda dengan zaman IAIN sebagai salah-satu sumber kemunduran gairah intelektual kampus. Rahmat Sahid, Koordinator Forum Kajian Ushuluddin (FOKUS) memiliki pandangan yang kurang lebih sama. “Artikulasi pemahaman ke-Islaman di forum diskusi semakin berkurang karena banyak mahasiswa sekarang terjebak kedalam sikap pragmatis,” tutur pemuda asal Kebumen ini. “Sekarang banyak mahasiswa yang terjebak proyek politik, jadi ‘tim hore’ acara talkshow di stasiun TV, dan membuat seminar-seminar yang tidak membangun, hanya titipan-titipan instansi yang memiliki kepentingan,” lanjut Mahasiswa yang aktif di Forkot sejak tahun 2000 ini.

Karena itu, Lukman Hakim menyatakan

tidak heran jika kesinambungan pemikiran Islam beberapa tokoh UIN saat ini telah terputus. Dalam hal ini, forum diskusi mengemban tanggung jawab yang cukup besar. “Kita harus terus berupaya memahami khazanah intelektual Islam se-komperhensif dan se-otentik mungkin,” kata Lukman.

Di samping kelompok-kelompok studi, beberpa organisasi ekstra kemahasiswaan juga turut menyalakan perang wacana yang ada. Mereka diantaranya HMI, PMII, dan IMM, organisasi ekstra yang telah lama eksis di lingkungan kampus ini. Tapi seiring bergantinya zaman, peran mereka di kancah intelektual semakin meredup. Justru organisasi yang terbilang lebih muda dari mereka seperti KAMMI dan HTI, yang saat ini terlihat sedang bersemangat dalam dakwah wacananya.

Syafiq Hasyim mengatakan, hal itu bisa jadi karena organisasi lama (HMI, PMII, IMM) telah jenuh bergelut dengan pemikiran ke-Islaman mereka. “Biasanya sebuah organisasi mapan, bila tidak ada inovasi atau hal baru yang mereka kembangkan, kejadiannya akan seperti itu,” ujar Syafiq. Namun lanjutnya, bisa jadi sebenarnya sekarang intelektualisme dan peminat studi pemikiran tidak berkurang. Hanya saja sekarang fakultas-fakultas agama menjadi bagian kecil sebagai akibat perubahan IAIN menjadi UIN. “Dulu ketika masih IAIN, fakultas agama seperti FUF terlihat besar. Berbeda dengan sekarang setelah menjadi universitas dan banyak dibuka fakultas-fakultas umum.

Sementara itu Saidiman, aktivis Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) yang baru saja mendapat gelar S1 Filsafat tahun lalu, menyebut sistem Student Govermnent (SG) sebagai faktor kemunduran intelektual organisasi-organisasi lama ini. Saidiman mengatakan, sejak dulu dirinya tidak setuju dengan bentuk pemerintahan mahasiswa itu. Selain SG, budaya pop yang menjangkiti mahasiswa zaman sekarang serta pemikiran konservatif menurutnya adalah akar kemerosotan intelektual mahasiswa UIN Jakarta. [MSW, Denhas, Irsyad, Rose, Badru, Haris, Ali]

Dalam buku “Islam Rasional” Harun Nasution tertulis, pada bulan Juni 1987, di sebuah LustrumVI, segenap sivitas

akademika mendeklarasikan IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pusat studi pembaharu Islam di tanah air.

Hal itu tak lepas dari peran besar Rektor kala itu, Prof Dr Harun Nasution.

Bermula sejak melakukan studi di luar negeri, Harun mengetahui budaya intelektual di IAIN Jakarta sangat sempit, tradisional dan spesialisasinya Fiqih. Ini didengarnya dari orang-orang Indonesia yang datang ke Mesir untuk menuntut ilmu.

Setelah mendapatkan gelar doktor, IAIN memboyongnya ke Ciputat. Dengan kondisi IAIN yang telah diketahuinya ini, Harun pun sering berceramah dalam acara-acara Universitas. Fiqih, materi yang biasa diceramahkan, diganti dengan diskusi dan dialog yang menumbuhkan sikap kritis dan terbuka atas beberapa pemikiran yang diformulasikan oleh intelektual-intelektual Islam.

Kurang lebih empat tahun kemudian, Harun Nasution dilantik menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia ingin melihat umat Islam Indonesia dan dunia pada umumnya maju. Harun kemudian melakukan gebrakan untuk merubah kurikulum IAIN. Untuk itu, Harun mempertemukan Rektor IAIN seluruh Indonesia di Ciumbuleuit. Tapi usul Harun ini ditolak oleh para Rektor tua seperti H Ismail Ya’cub dan KH Bafadal. Yang mendukung niat Harun diantaranya Mulyanto Sunardi selaku Dirjen Perguruan Tinggi Islam Depag RI dan Zarkawi Suyuti, Sekretaris Dirjen Bimas Islam.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya para Rektor tua menyetujui perubahan itu dengan syarat mata kuliah Tafsir, Hadits, Fiqih tetap dipertahankan sebagai ciri keislaman IAIN. Mulai saat itu, Pengantar Ilmu Agama, Filsafat, Tasawuf, Ilmu kalam, Tauhid, dan Sosiologi pun diajarkan.

Pemikiran Harun sering merujuk pada teologi Mu’tazilah dan Muhammad Abduh. Sementara mayoritas ulama Indonesia adalah pengikut Asy’ariyah. Karena itu banyak kritik tertuju pada Harun. Muncullah pro dan kontra. Tapi karena integritas pribadi, keluasan ilmu, dan refleksi jiwa seorang pendidik dari Harun Nasution, ia menyalurkan polemik itu lewat forum-forum diskusi, seminar dan tulisan.

Langkah intelektual Harun Nasution ini pun dilanjutkan generasi berkutnya seperti Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Kautsar Azhari, Komaruddin Hidayat dan lain-lain. Bahkan begitu fenomenalnya gerakan pembaharu ini sehingga beberapa kalangan menyebut intelektual IAIN dan sekitarnya sebagai Madzhab Ciputat.

Tapi kini, nadi intelektual itu terasa kurang getar dan gregetnya. Ada yang mengklaim budaya pop, hedonis, study oriented, konversi IAIN menjadi UIN dan lain-lain sebagai penyebab kemunduran ini. Bahkan ada pula yang menyebut Student Government, yang telah melenceng dari tujuan awal sebagai biang keladi hal ini. Yang jelas, amat disayangkan bila budaya keilmuan sebagai nilai dan ciri khas yang telah kita punya ini harus lenyap. Padahal ilmu pengetahuan-lah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Dengan ilmu, Tuhan mengangkat derajat seseorang dari yang lainnya disamping orang-orang yang bertakwa. []

Deklarasi Kampus Pembaharu

EditorialMenepis Stigma Liberal Menghidupkan Tradisi Intelektual

Laporan Utama Hal. 1-3 Laporan Khusus Hal. 4-5 Kampusiana Hal. 8-9 Opini Hal. 6

Laporan Khusus CerpenPustakaMashasiswa bisa independen dan menjadi

penegak dan pembela demokrasi yang harus selalu membuka diri terhadap perubahan dan melakukan otokritik. Jangan sampai menjadi barbaric intelektual ...

...Karena agama bukan-lah merupakan komoditas eksklusif, ...

“Ya Tuhan, aku berdoa seperti doa yang kuucapkan kemarin. Kabulkanlah doaku, Tuhan...”

...Kalau dari pihak rektorat sendiri menginginkan saya menjalankan kepemimpinan selama 365 hari.

Opini

Hal. 6

Menggugat Puritanisasi Islam

Hal. 7

Terpilih Sebagai Presiden Ajo Akan Merakyat.

Hal.11Hal. 5

Seperti Kemarin Dalam Ibid Sebuah Doa

Page 2: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 20072

Ciputat, INSTITUT- Tradisi intelektu-al mahasiswa UIN Jakarta yang digagas para pemikir terdahulu seperti Harun Nasution dan Nurcholis Madjid kini kurang dilestari-kan oleh generasi penerusnya, yakni maha-siswa yang sekarang sedang menimba ilmu di kampus ini. Penurunan tradisi intelektual ini diakui oleh para aktivis dari oranisasi eks-tra dan intra kampus.

Ketua umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ahmad Syah-ril Baidilah menyayangkan terkikisnya tra-disi intelektual mahasiswa yang diakibatkan

budaya hidup hedonis dan belajar an sich. Lebih lanjut, Syahril mengungkapkan penye-bab yang tak kalah penting seperti pimpinan universitas (rektorat) yang tidak memberi-kan ruang untuk organ ekstra, mahasiswa yang acuh tak acuh dengan dunia gerakan, serta lunturnya idealisme mahasiswa.

Indikasi menurunnya intelektualitas mahasiswa, menuurut Syahril dapat dili-hat dari keadaan dan jumlah forum kajian. “Forum kajian sudah tidak berkembang dan jumlahnya semakin berkurang. Budaya tulis menulis pun masih sedikit. Jarang ada maha-siswa yang menuliskan gagasan atau idenya baik di buletin, mading, dsb.,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua umum Ikatan Maha-siswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Cipu-tat, Mansur

menuturkan degradasi tradisi intelektual mahasiswa berkait erat dengan berubahnya IAIN menjadi UIN. Konversi tersebut mem-buka banyak fakultas dan program studi umum yang spesifikasi keilmuannya tidak terfokus untuk mendalami pemikiran Islam.

Akmal, Ketua Bidang I Pergerakan Ma-hasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat (2006-2007) juga mengutarakan hal yang sama. Proses merosotnya intelek-tual sudah terlihat mulai tahun 2002 atau sejak IAIN berubah menjadi UIN. “Buda-ya yang dibawa oleh fakultas umum telah mengubah pola dasar ke-Islaman serta pola hidup mahasiswa yang berbeda. Akibat yang paling fatal dari perubahan ini adalah forum-forum studi semakin ditinggalkan dan berganti menjadi komunitas hobi,” kata Akmal ketika ditemui di Sekretariatnya.

Penanggungjawab BDK Hizbut Tahrir Indoneia (HTI) Ciputat, Ahmad Fikri men-gatakan, pemikiran Islam sekarang rendah bila dibandingkan dengan kultur sebelum-nya, dimana kelompok-kelompok kajian tumbuh subur dan beragam. Pria berdarah Sunda ini menjelaskan, sekarang mahasiswa lebih suka masuk dalam budaya hedonis yang dapat melemahkan tradisi keilmuan. Itu bisa dilihat dari ungkapan yang keluar dari perbincangan keseharian dan minim-nya peminat terhadap kajian-kajian keil-muan dibandingkan generasi sebelumnya.

Sementara itu, Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Elban Faqih Esa menjelaskan, mindset ma-hasiswa sekarang memang sudah berubah. Mereka lebih berfikir bagaimana supaya cepat mendapat pekerjaan. Akibatnya, mahasiswa menafikan hal-hal yang fundamental. Dalam menilai intelektualitas seorang mahasiswa, Elban melihat dari sudut karya. “Sejauh mana karya itu dikembangkan dan semakin publish karya itu, maka intelektualitas makin tinggi,” papar mahasiswa berdarah Jawa-Sunda ini.

Kondisi intelektual kampus yang men-jadi kiblat seluruh Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat disesalkan oleh Guru Besar Tasawauf FUF UIN Jakarta, Prof.Dr Kautsar Azhari Noor. “Dulu, mahasiswa IAIN Jakarta, dijuluki sebagai para pembaharu karena tradisi baca, diskusi serta berfikir bebas, ilmiah, dan sikap kritis terus dikem-bangkan,” kata Kautsar sedikit bernostalgia.

Dosen yang pada April lalu menjadi pem-bicara dalam Seminar Spiritualitas di Oxford

University Inggris ini melihat kondisi in-telektual UIN Jakarta kurang progresif. Hal ini menurutnya di-perparah

Saidiman: “UIN sekarang semakin diisi dengan isu-isu politik. Lihat saja, sejak awal Propesa (Program Pengenalan Studi dan Almamater) mahasiswa baru langsung di-perkenalkan kepada politikus-politikus kampus. Ini secara tidak langsung telah mencetak bayangan pada mahasiswa baru, ‘bagaimana kelak aku bisa duduk di BEM’. Niatan awal dari rumah untuk menuntut ilmu dihadapkan pada arus deras yang mengarahkan mer-eka ke dunia politik.”

Ketika Intelektualisme Tak lagi Dilirik

oleh kapasitas intelektual dosen yang kurang memadai dan kurang menekankan maha-siswanya untuk berfikir progresif. “Apalagi mereka yang anti dengan pemikiran-pemiki-ran Islam dan Barat,” papar Kautsar. Tetapi, Kautsar menilai masih ada kesinambun-gan antara pemikiran zaman Harun dan sekarang, terutama dalam bidang teologi. Meski hanya sebagian kecil mahasiswa dan dosen saja yang mampu melaksanakannya.

Berbeda dengan Reza Miladi Fauzan, mantan Ketua DPP PIM 2003-2004 ini me-mandang tren pemikiran UIN Jakarta saat ini berkembang ke arah yang lebih progresif. “Sekarang bukan saatnya lagi berbicara pada tataran yang filosofis, tapi lebih ke bagaima-na Islam mampu menangani persoalan hid-up, kemiskinan, masalah-masalah sosial dan menyejahterakan masyarakat,” ungkap Reza. Mantan Capres BEM-UIN Jakarta dari PIM pada Pemira 2006 ini mengatakan, masalah-masalah diatas memiliki daya tarik lebih besar dari pada masalah yang bernuansa teologis filosofis. “Sepertinya tokoh-tokoh mahasiswa sudah mulai kelelahan berdebat dengan ar-gumen-argumen berat seperti itu,” tuturnya.

Saidiman, aktivis Formaci, menyatakan, budaya intelektual kampus bisa dikatakan maju apabila ada legitimasi dari pihak kam-pus. “UIN sekarang semakin diisi dengan isu-isu politik. Lihat saja, sejak awal Propesa (Program Pengenalan Studi dan Almamater) mahasiswa baru langsung diperkenalkan ke-pada politikus-politikus kampus. Ini secara tidak langsung telah mencetak bayangan pada mahasiswa baru, ‘bagaimana kelak aku bisa duduk di BEM’. Niatan awal dari rumah untuk menuntut ilmu dihadapkan pada arus deras yang mengarahkan mereka ke dunia politik,” papar Saidiman. Ironisnya, imbuh Saidiman, mereka yang menjadi Presiden Ma-hasiswa (Presma) juga bukan berasal dari fo-rum-forum diskusi. “Mana ada calon presiden BEM-UIN sekarang yang kenal dengan forum studi?” Tegas pria bermata sedikit sipit ini.

Tanggapan Forum-forum Diskusi Tak dapat dipungkiri, mereka (forum

studi/kajian) adalah denyut nadi intelektual. Setiap forum studi biasanya mempunyai ciri khas tersendiri. Baik itu kajiannya, m a u p u n k u m p u l a n

a k t i v i s n y a . Dari mulai y a n g

berasal dari satu atau gabungan beberapa organisasi, hingga mereka yang memang membentuk forum kajian sebagai alternatif untuk menghindar dari organisasi formal yang mengkotak-kotakan mahasiswa. Tak jarang pula, forum diskusi menjadi kawah penyucian diri untuk melebur satu warna setelah mereka saling tempur membela warna masing-masing dalam medan politik.

Penurunan daya dobrak intelektual kampus tersebut diakui para penggiat forum-forum diskusi di Ciputat. Minimnya mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti diskusi adalah penyebab utama pudarnya tradisi intelektual. Hal itu dinyatakan oleh Lukman Hakim dari Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC).

M. Ali Fernandes, Direktur Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) serta Maman, aktivis Lingkar Studi Piramida Circle mengatakan, munculnya sikap pragmatis dan orientasi yang berbeda dengan zaman IAIN sebagai salah-satu sumber kemunduran gairah intelektual kampus.

Rahmat Sahid, Koordinator Forum Kajian Ushuluddin (FOKUS) memiliki pandangan yang kurang lebih sama. “Artikulasi pemahaman ke-Islaman di forum diskusi semakin berkurang karena banyak mahasiswa sekarang terjebak kedalam sikap pragmatis,” tutur pemuda asal Kebumen ini. “Sekarang banyak mahasiswa yang terjebak proyek politik, jadi ‘tim hore’ acara talkshow di stasiun TV, dan membuat seminar-seminar yang tidak membangun, hanya titipan-titipan instansi yang memiliki kepentingan,” lanjut Mahasiswa yang aktif di Forkot sejak tahun 2000 ini.

Karena itu, Lukman Hakim menyatakan tidak heran jika kesinambungan pemikiran Islam beberapa tokoh UIN saat ini telah terputus. Dalam hal ini, forum diskusi mengemban tanggung jawab yang cukup besar. “Kita harus terus berupaya memahami khazanah intelektual Islam se-komperhensif dan se-otentik mungkin,” kata Lukman.

Rahmat Sahid menggarisbawahi bahwa tanggung jawab disini adalah dalam artian tanggung jawab moral. “Tanggung jawab forum diskusi cukup besar, tapi dalam di-mensi horizontal. Forum kajian tidak me-miliki atasan dimana ia harus melapor atau bertanggung jawab,” katanya. [Akhwani, Pandi, Sabir, Nezt, Susi, Istiana]

Mereka yang zaman dulu hobi diskusi

Dok. INSTITUT

Pelindung Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA Penasehat Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Pemimpin Umum Moh. Hani-fuddin Mahfudz Sekretaris Umum Saumi Rizkianto Bendahara Umum Rosita Indah Sari Dewan Redaksi Nanang Syaikhu, Idris Thaha, Budi Rahman Hakim, Alamsyah, M. Djafar, Karno Roso Pemimpin Redaksi MS. Wibowo Redaktur Pelaksana M. Irsyad Redaktur Akhwani Subkhi, Ardian Arda, Agnes, Dede Supriyatna, Rose, Haris, Sabir, Titin Syafitri, Zaki, Badru, Ira, Istiana Nurmaulida, Susi, Syahiru Direktur Litbang Ali Masykuri Direktur Artistik Dwi Setiyadi Ilustrator Pandi Merdeka Direktur Perusaahaan Rosdiana Fotografer Badru Alamat Redaksi UIN Syarif Hidayatullah Gd. Student Centre Lt III Ruang 307 Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419 Careline 0815 8669 1925 Homepage http://lpminstitut.wordpress.com e-mail [email protected]. Redaksi menerima tulisan berupa Opini dan Resensi, ditulis di kertas A4, spasi ganda, font Times New Ro-man ukuran 12. lebih baik disertai dengan soft copy.Setiap wartawan INSTITUT dibekali tanda pengenal, tidak dibenarkan memberi insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta

SK. Rektor No. 23 Th. 1984Terbit pertama kali 1 Desember 2006

UTAMA

Page 3: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 2007 11

harapan T u h a n

mendengarnya. Bukankah Tuhan tahu segala bahasa doa dengan

segala cara?Kebiasaan doa yang demikian

mengingatkanku pada saat aku masih berstatus mahasiswa beberapa waktu lalu. Aku ingat saat-saat membuat karya ilmiah. Seperti dalam membuat makalah misalnya, apabila penulis ingin mengutip kembali dari buku dan pengarang yang sama, dia tidak perlu menulis kembali nama pengarang, judul buku, tahun terbit dan nama penerbitnya. Cukup menulis tanda ibid dan nomor halaman, pembaca akan mengerti tanda itu.

Doanya pun kurasa nyaris sama dengan sistem ibid ini. Ketika dia lelah atau malas dengan doa yang panjang, dia mengambil cara lain yang mudah dan praktis. Dan dia yakin bahwa Tuhan mengetahui apa makna doanya itu meski dia tak menyebutkan doanya secara utuh. Aku tidak tahu apakah dia pernah menulis makalah dan mengetahui sistem ibid atau tidak. Tapi itu tidak penting.

Permasalahannya sekarang adalah aku tidak tahu apa doa yang diucapkannya kemarin. Juga entah kapan yang dimaksudnya kemarin itu karena dia selalu mengatakan kemarin dalam setiap doanya. Aku layaknya pembaca yang menemukan catatan kaki pada sebuah buku dengan tanda ibid, sementara catatan kaki sebelumnya hilang karena tersobek. Aku tidak tahu rujukan awalnya. Kenapa aku begitu berhasrat untuk mengetahuinya, itu permasalahan lain pula. Padahal orang itu tak kukenal sama sekali. Apa peduliku dan apa untungku. Tapi begitulah, aku begitu tertarik pada doanya.

Agak lega juga aku bisa memecahkan persoalan ini meski berdasarkan kemungkinan. Tapi setidaknya itu bisa menjawab sedikit rasa penasaranku.

Malam semakin larut saja. Sebenarnya aku merasa ngantuk dan lelah, tapi seperti kemarin, aku susah tidur. Aku hanya memandangi langit-langit kamar yang terbuat dari tripleks. Ruangan ini terasa gerah. Bayanganku melayang-layang. Beberapa waktu yang lalu aku adalah mahasiswa. Dan sekarang aku menjadi penjual dan pembeli barang-barang bekas semisal buku, koran, kardus atau apa saja. Ketika hari mulai senja biasanya aku berjualan rokok di terminal atau pasar. Hasilnya aku masih bisa bertahan di kota ini. Pekerjaan yang tak kubayangkan sebelumnya.

Suara lain terdengar dari sebelah kanan kamarku. Aku menggeser perhatianku. Seperti malam kemarin, yang kudengar hanyalah suara lenguhan panjang dari dua suara yang menyatu. Aku cuma menelan air liur. Pikiranku melayang-layang membayangkan apa yang terjadi di kamar sebelah. Hasrat purba dalam tubuhku memuai-muai. Tapi

s e p e r t i kemarin, aku tak dapat lain

selain menatap langit-langit. Begitulah aku menghabiskan malam-malamku di ruangan yang hanya disekat oleh tripleks. Dengan hanya pembatas seperti itu, suara-suara yang ditimbulkan dari kamar sebelah gampang terdengar. Apalagi waktu malam ketika sunyi menjulurkan sayapnya. Dari sebelah kiri kamarku terdengar doa, dari sebelah kananku terdegar lenguhan. Dan di ruanganku sendiri aku mendengar suara nyamuk-nyamuk berputar-putar mencari celah untuk mendarat di tubuhku. Hasrat tidurku menguap. Seperti kemarin. Ya seperti kemarin. Jangan-jangan hidup yang kulakoni adalah hidup yang kemarin. Hanya perhitungan waktu saja yang seolah-olah ada hari ini dan esok…

***Aku bangun kesiangan karena malam

tadi aku tidur larut. Pagi yang sepi. Seperti kemarin. Aku membuka pintu supaya udara segar masuk. Aku melihat perempuan muda sedang menjemur pakaian. Perempuan yang semalam menyatu dalam lenguhan panjang. Suaminya sudah pergi bekerja. Perempuan itu cuma mengenakan handuk. Hanya bagian dada dan paha yang tertutup. Seperti kemarin, Aku memperhatikan tubuh yang membelakangi itu. Membayangkan sesuatu yang dilakoni di kamarnya bersama suaminya. Ketika jemuran tinggal satu lagi, cepat-cepat aku masuk kamar lagi. Selintas aku melirik kamar di sebelah kiriku. Pintu itu terkunci. Penghuninya telah pergi. Aku tidak pernah tahu penghuni kamar sebelah kiriku. Dia selalu pergi ketika aku belum bangun. Dan dia datang ketika aku masih di luar. Aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan. Yang aku tahu, penghuni itu selalu berdoa seperti kemarin. Jangan-jangan ruangan sebelah kiriku itu sebenarnya tak berpenghuni. Dan suara itu adalah suara yang sebenarnya tidak ada. Aku cepat-cepat mengusir pikiran itu.

Dan seperti kemarin, pagi ini pun aku harus pergi mendorong gerobak mencari barang-barang bekas untuk kemudian kujual. Ketika hari mulai senja aku menjual rokok di tempat yang masih ramai. Lalu seperti kemarin pula aku harus pulang malam, dan ketika tiduran di kamarku, aku akan medengar orang yang berdoa itu. Aku menyimaknya. Ketika malam mendekati larut, suara lenguhan panjang terdengar pula dari kamar sebelah. Berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan mungkin bertahun-tahun dan entah sampai kapan aku harus melakukan sesutu seperti kemarin. Atau mungkin tak pernah selesai. Aku tidak tahu.

Gerobak kudorong dari satu gang ke gang lain. Dari satu pemukiman ke pemukiman lain dengan harap ada orang yang mau menjual barang bekas. Setelah gerobak terisi separuhnya, aku berhenti di bawah sebuah pohon untuk melepas lelah. Saat itulah aku sempat berpikir, “apa mungkin aku juga

bisa beribadah

– k a l a u m e m a n g

ibadah itu mesti– dengan menggunakan sistem doa

yang disuarakan orang itu?” Aku melakukan ibadah satu kali, dan cukup satu kali saja karena hari berikutnya aku tinggal berkata, “Tuhan aku beribadah seperti kemarin.” Aku mengangguk-angguk dan tersenyum. Tapi ada pertanyaan lain yang muncul tiba-tiba saja, apakah makan juga demikian. Aku cukup makan satu kali saja. Dan esoknya cukup berkata, “Tuhan, aku makan seperti kemarin.” Maka kenyanglah aku. Atau Aku pergi mendorong gerobak satu kali saja. Dan esoknya aku cukup mengatakan, “Tuhan, aku mendorong gerobak seperti kemarin.” Lalu dapatlah duit. Ah, pusing, pusing! Aku bukan pemikir atau agamawan. Aku hanya mantan mahasiswa. Aku melanjutkan kembali mendorong gerobak dari satu gang ke gang lain. Dari satu pemukiman ke pemukiman lain.

***Aku masih tetap penasaran. Aku seolah

disimpan di tengah-tengah gurun tak tahu mana tepi. Tak tahu mana pangkal mana ujung. Mungkin aku harus menunggu akhir doa itu meski aku tidak tahu apakah doa itu akan ada ujung dan berakhir. Aku berharap dari ujung itu aku bisa tahu awalnya. Seperti dalam sebuah film, aku dihadapkan pada alur flash back. Dan seperti pembaca sebuah buku yang kehilangan catatan kaki, aku mungkin masih bisa menemukan rujukannya pada daftar pustaka.

Karena itulah aku tidak absen menguping doa yang diucapkan oleh orang dari kamar sebelah kiriku. Meski aku dapat menduga bahwa bunyinya akan sama seperti kemarin. Tetapi pada suatu sore, aku mendadak ada sedikit urusan dengan bos rokok. Semula aku ingin menyelesaikannya sore itu juga, tapi ternyata tidak selesai. Aku mencari akal supaya aku tetap bisa mendengar doa orang itu. Maka sore itu aku pulang dulu ke kamarku. Aku memasang tape recorder dekat sekat pembatas. Aku merekamnya. Kemudian aku pergi dengan tenang. Kaset itu akan menggantikan tugas telingaku. Nanti malam aku akan memutarnya.

Setelah selesai urusan, aku langsung pulang. Aku tak sabar dengan tape recorder yang kupasang. Sesampai di kamar, yang pertama kulakukan adalah memutar tape recorder itu. Aku menyimaknya. Tidak seperti kemarin, suara itu sekarang seperti ini,

“Terima kasih, Tuhan, akhirnya engkau telah mengabulkan doaku. Tidak seperti kemarin, dia, orang di samping kamarku sekarang tidak ‘menguping’ lagi ketika aku berdoa…”

Semanggi II, 17 September 2007

*Penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadits FUF UIN Jakarta, bergiat di

PIRAMIDA CIRCLE

“Ya Tuhan, aku berdoa seperti doa

yang kuucapkan kemarin. Kabulkanlah doaku, Tuhan...”

Akhirnya aku bisa mendengar dengan jelas suara bisik dari kamar sebelah kiriku. Sebelumnya hanyalah gemeremang saja. Seperti desis. Gemeremang yang tak jelas itu menjadi perhatianku sejak aku menjadi penghuni ruangan 3x3 ini beberapa hari yang lalu setelah sewa kontrakanku di tempat lain habis. Entah kenapa aku jadi penasaran. Diam-diam aku selalu menyimak. Bisik-bisik itu biasanya kudengar ketika aku sedang tiduran di atas selembar tikar melepas lelah sehabis kerja. Saat itulah lamat-lamat telingaku mendengar gemeremang suara yang berasal dari kamar sebelah kiriku. Aku memasang telinga berusaha menyimak suara itu. Telingaku aku tempelkan ke tripleks pembatas ruangan. Tapi aku tidak berhasil mendengar dengan jelas. Kemudian sepi. Entah apa yang kemudian dilakukannya. Mungkin tidur. Dan malam inilah suara itu menjadi jelas. Ternyata doa. Suara itu sendiri menyebutnya doa.

Aku tak habis pikir atas doa yang diucapkannya. Belum pernah aku mendengar doa semacam itu. Biasanya doa memakai bahasa Arab yang tak kupahami sama sekali. Mungkin doa tak mesti kita pahami artinya. Ada juga doa yang menggunakan bahasa terjemahan, biasanya berbunyi seperti ini, “Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosaku, dosa-dosa kedua orang tuaku, limpahkan rezeki yang halal, panjangkanlah usia kami, selamatkanlah kami di dunia dan akhirat.” Sungguh aku baru mendengar doa yang terdengar dari ruangan sebelah.

Doa itu menjadi bahan pemikiranku. Suaranya masih terngiang di telingaku. Aku mereka-reka kemungkinan tentang doa itu. Orang itu mungkin orang yang senang mengucapkan doa yang panjang-panjang. Segala permohonan dia kemukakan. Doa yang panjang tentunya memerlukan waktu lama. Esoknya dia mengucapkan doa yang kurang lebih sama. Dan esoknya dia juga melakukan hal yang sama. Terus begitu. Tapi pada suatu waktu, dia mengalami kejenuhan juga dengan doa-doa panjang. Mungkin dia dalam keadaan lelah dan ngantuk berat. Tetapi keinginan untuk berdoa seperti kemarin tetap ada. Maka keluarlah ucapan seperti ini, “Ya Tuhan, aku berdo’a seperti do’a yang aku ucapkan kemarin. Kabulkanlah doaku, Tuhan...” Esok harinya dia melakukan hal yang sama. Dia berdoa dengan hanya menyebutkan ‘seperti kemarin’ saja. Kemudian berdoa semacam itu menjadi kebiasaan. Tetapi tetap dengan

Oleh : Abdullah (Abah) Allawi*

Seperti Kemarin Dalam Ibid Sebuah DoaCERPEN

Page 4: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 200710 budaya

Student Center, INSTITUT- Langit mulai memancarkan warna kekuningan. Tak lama berselang, lampu-lampu pun mulai menerangi sepanjang jalan arah Student Center. Satu-persatu orang mulai berdatangan dan dalam hitungan menit, ruangan telah dipadati. Dengan teratur mereka duduk lesehan beralaskan karpet. Obranlan kecil mulai meramaikan suasana.

Tak lama kemudian, MC membawakan susunan acara. Dan satu-persatu runtutan acara dimulai. Riuh tepuk tangan meramaikan suasana menyambut orang-orang yang terlibat dalam rangkaian pertunjukan teater yang dikemas dalam Pesta Karya II. Tepukan tangan semakin tak terbendung ketika tiga kontestan Pesta Karya terpilih menjadi kontestan terbaik. Tiga kontestan itu adalah Teater BSI, Teater Lingkar dari UMJ, dan Teater Akar dari AL-AZZAR.

Malam kian larut dan dingin, tapi itu sama sekali tak dihiraukan oleh para

penikmat malam itu. Mereka terbuai oleh hiburan-hiburan yang diperagakan masing-masing kelompok Teater. Terkadang bulu kuduk merinding, terasa terhipnotis ketika kita diajak merenung.

Ditampilkan pula pembacaan cerpen Kang Badri, serta pertunjukan Wayang Catur, yang saat ini mulai musnah. Tentunya dengan harapan kesenian ini kembali hadir dan dilestarikan. Pertunjukan diakhiri dengan latar dzikir diiringi alunan musik untuk menyebarkan virus cinta.

Keesokan hari dengan suasana yang fresh, meskipun sedikit tampak noda-noda lelah, terjalin obrolan santai antara INSTITUT dengan Mirzan, Ketua Teater Syahid sekaligus Ketua Panitia acara malam itu. “Kami telah merangkai dengan latar sedemikian rupa, hingga akhir nya tercetuslah Pesta Karya II ini,” jelas Mirzan. Menurutnya, teater kampus merupakan hal yang paling mungkin dijadikan estafet keberadaan teater Indonesia.

Melihat teater independen seperti Teater Koma, Kubu Rendra, dan lain-lain semakin berumur. Kita tidak bisa berharap terus pada mereka. Untuk itulah acara ini diadakan.

“Teater Syahid mempunyai inisiatif untuk menjadi pioneer. Bisa dikatakan, Teater Syahid adalah senior diantara teater yang ada. Maka dari itu, kita ingin menyebarkan proses, ilmu dan virus kita kepada teman-teman teater kampus di Jakarta,” papar laki-laki berambut gondrong ini.

Ia menambahkan, Teater Syahid merangkul teman-teman dan mengundang para orang tua serta para pekerja teater yang sudah pengalaman dan mempunyai semangat untuk menjadi pembimbing bagi tiap-tiap kampus. Bukan hanya bimbingan seputar pertunjukan, tapi juga budaya, naskah, keorganisasian, konflik psikologis dan sebagainya. [Dede]

Malam Budaya Pesta KaryaTelapak tangan anda berkeringat, hati anda deg-degan, suara anda nyangkut di dalam tenggorokan anda? Hal itu bukanlah cinta, tapi suka …

Apakah tangan anda tidak dapat berhenti memegang dan menyentuhnya?Hal itu bukanlah cinta, tapi birahi …

Apakah anda bangga dan selalu ingin memamerkannya kepada semua orang?Hal itu bukanlah cinta, tapi anda sedang mujur …

Apakah anda menginginkannya karena anda tahu dia akan selalu di samping anda?Hal itu bukanlah cinta, tapi kesepian …

Apakah anda masih bersama dia karena semua orang menginginkannya?Hal itu bukanlah cinta, tapi kesetiaan …

Apakah anda menerima pernyataan cintanya karena anda tidak mau menyakiti hatinya?Hal itu bukanlah cinta, tapi rasa kasihan …

Apakah anda bersedia untuk memberikan semua yang anda sukai untuk dia?Hal itu bukanlah cinta, tapi kemurahan hati …

Apakah anda cemburu bila dia bicara dengan lelaki/wanita lain?Hal itu bukanlah cinta, tapi takut kehilangan …

Apakah anda mengatakan padanya bahwa dia adalah satu-satunya hal yang anda pikirkan?GOMBAL …

Apakah anda masih bersamanya karena campuran dari rasa nyeri dan kegembiraan yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata?Itulah cinta …

Apakah anda masih menerima kesalahannya karena hal itu adalah bagian dari kepribadiannya?Itulah cinta …

Apakah anda tertarik pada orang lain, tapi masih bersamanya dengan setia?Itulah cinta …

Apakah anda rela memberikan hati anda, kehidupan anda, dan kematian anda?Itulah cinta …

Apakah hati anda tercabik bila dia sedang sedih?Itulah cinta …

Apakah anda menangis untuk kepedihannya biarpun dia cukup tegar?Itulah cinta …

Apakah anda ikut terluka bila dia sedang sakit?Itulah cinta …

Apakah anda selalu ingin menyentuhnya, memeluknya karena anda sayang kepadanya?Itulah cinta …

Apakah matanya melihat hati anda yang sesungguhnya dan menyentuh jiwa anda secara dalam sekali sampai terasa nyeri?Itulah cinta …

Cinta memang merupakan sesuatu yang Absurd and Unexplain, tapi yang terpenting mencintailah karena itu adalah sesuatu yang dianugerahi oleh TuhanTerimalah pasangan anda dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Cinta itu harus saling memberi dan menerima dengan keikhlasan hati...

C-i-n-t-aOleh : IpoenxMahasiswa FUF UIN Jakarta

dari kiri: Pemberian penghargaan pada peserta Pesta Karya II, Kang Badri mambaca cerpen, dan Tarian Rumi

Bicara seni, tentu tak lepas dari nilai. Salah satu nilai yang terkandung dalam seni adalah keindahan. Ada

dua macam keindahan. Pertama, keindahan yang diciptakan oleh Tuhan dan kedua, keindahan yang diciptakan oleh manusia. Keindahan yang diciptakan oleh Tuhan berupa keindahan alam sehingga kita dibuat terpesona saat menyaksikannya. Sedangkan keindahan yang diciptakan manusia adalah hasil kreasi atas daya imajiner seperti lukisan, patung, syair, puisi atau cerpen.

Memang sulit menilai suatu karya seni secara objektif. Ketika mengungkapkan, apakah suatu karya memiliki nilai dari indah itu sendiri? Atau sejauh mana suatu karya mampu memberikan keindahan terhadap subjek tersebut? Semuanya sangat subjektif, terserah kepada subjek yang menilai karya seni itu sendiri.

Kita akan menelusuri keindahan bahasa tatkala para seniman merangkai huruf-huruf dengan perjalanan panjang. Pada prosesnya, tak jarang seniman melakukan kontemplasi dalam tahap penciptaan karya sehingga bermetamorforsis menjadi bahasa berbentuk puisi, syair, atau cerpen yang telah mempunyai keunikan tersendiri. Sehingga menjadi hidangan yang siap untuk dinikmati kalangan pecandu seni.

Kala menyantap, hidangan tersebut memberikan akhir dan memunculkan rasa. Dalam rasa tersebut terkadang mereka memberikan pemaknaan terhadap bahasa. Hal ini masih tak lepas dari perdebatan seputar interpretasi yang biasa disebut hermeneutik, atau rasa takjub yang luar biasa

sehingga pencandu dibuat terbang. Seni yang menghasilkan karya indah,

terlahir dari dunia imajiner, yang telah memberikan pengaruh indah tersebut. Masihkah indah benar-benar indah?

Untuk hal ini, sering kali para pengkritik sastra melontarkan kritik pedas ketika menilai suatu karya seni. Dengan mempertanyakan dimana letak keindahan dari karya seni tersebut. Timbul perdebatan panjang seputar nilai seni dan penilaian terhadap nilai dari seni itu sendiri. Apalagi dengan makin maraknya acara pengembangan bakat kreatifitas cara instan dengan bentuk kontes seperti Indonesian Idol, AFI atau acara lainya yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun TV. Lahirlah seniman-seniman baru darinya (kontes-kontes tersebut). Sebagian masyarakat, terutama kaum terpelajar berkata bahwa itu adalah budaya instant. Secara jujur saya sendiri kurang memahami akan budaya instant ini. Dan masih mepertanyakan, mengapa hal semacam itu disebut budaya instant. Saya masih mencari tahu arti kata di atas, serta dimana letak kesalahan budaya instant.

Dibandingkan dengan para seniman yang melalui proses yang panjang, keberadaan artis-artis instant ini seakan siap saji. Seberapa besar dan lama mereka mampu berkreasi atau bertanggung jawab. Lantas bagaimana tanggapan para penilai terhadap orang yang terlahir dengan budaya instant tersebut.

Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca salah-satu surat kabar, yang mungkin bisa menjadi jawaban atas

pertanyaan tersebut. “Bahwa penilaian terhadap apa pun, semuanya memiliki suatu nilai akan keindahan. Jika yang menilai bukan mereka yang berkecimpung dalam dunia seni, semua penilaian akan lari terhadap siapa yang telah terlibat mendukung dengan cara memberikan SMS. Jadi pemenang bukan ditentukan oleh apakah seni itu memiliki keindahan, melainkan dari banyaknya sms yang datang.”

Tapi muncul pertanyaan, apakah yang berhak menilai karya hanya sebagian orang yang telah ahli dalam bidangnya? Bukankah kita semua berhak menilai. Beda halnya dengan tulisan yang telah bermetamorfosis menjadi puisi. Sebagai kemenangan akan juga ditentukan oleh banyaknya jumlah massa. Jika ini benar, alangkah demokratisnya dunia ini. Dalam arti, yang menjadi kemenangan bukan indah atau tidaknya karya. Melainkan banyaknya gerombalan massa yang menilai.

Memang sedikit terasa menyesalkan saat menentukan siapa yang terbaik hanya berdasarkan paras ataupun hal-hal yang lain. Itupun jika dugaan saya benar. Akan tetapi, timbul pertanyaan baru, bagaimanakah penilaian terhadap seni itu? Jika benar bukan lagi dalam tahap keindahan atau tidaknya suara. Apapun kriterianya, kembali kepada sejauh mana kita mencoba menilai. Sehingga nampak bahwa penilaian bukan murni dari apa yang menjadikan karya itu memang indah, dan bermunculanlah karya-karya abangan.[]

Nilai dari SeniOleh: Dede Supriyatna*

*Mahasiswa AF FUF UIN Jakarta, Jabrik Bu-daya Tabloid INSTITUT

Page 5: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 2007UTAMA 3

(Tidak) Ada Pemurtadan Di IAINCiputat, INSTITUT-Setelah Hartono Ah-mad Jaiz meluncurkan bukunya yang ber-judul “Ada Pemurtadan di IAIN,” Stigma UIN sebagai sarang liberal pun mulai me-nyeruak. Tak hanya di UIN Jakarta, tapi juga di PTAIN dan PTAIS di seluruh nusantara.

Para punggawa forum kajian secara tegas menyatakan ketidaksetujuan mereka jika stigma yang diusung buku Hartono itu dial-amatkan ke UIN Jakarta.

“Anggapan itu sama sekali tidak benar,” kata Rahmat Sahid, aktivis Kajian FOKUS. “Dia (Hartono) sudah merasa lebih tuhan daripada Tuhan,” lanjutnya. Lukman Hakim bahkan mengatakan, “buku tersebut tidak bermutu. Hanya judulnya saja yang sangat provokatif,” kata aktifis HMI yang sehari-hari mendalami teori dan berdiskusi di ISAC ini.

Oleh sebab itu, Maman menganggap uni-versitas perlu melakukan tindakan. Lebih te-gas, aktivis Piramida Circle ini mengatakan, Kalau bisa, ditarik ke meja hijau lebih bagus.

Tumbuh suburnya berbagai warna pe-mikiran di universitas yang sempat dijuluki kampus pembaharu ini ditanggapi positif oleh Syahril. Begitu pula dengan Yamani yang mengatakan bahwa ini bisa dijadikan le-tak kebangkitan umat. “Perbedaan itu adalah suatu keniscayaan. Nabi Muhammad saw. juga telah mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat. Yang penting perbedaan itu bermuara pada satu titik, yakni wihdatul ummah atau wadah bersatunya umat,” kata Yamani. Hal senada juga dikatakan Ahmad Fikri. Hal ini tidak menjadi masalah selama masing-masing mengkaji dengan serius dan objektif. Dengan jalan diskusi mencari ke-benaran secara maksimal dan diaplikasikan dalam realita kehidupan.

Ketika ditanya perihal kaitan antara tra-disi pembaharuan pemikiran Islam yang digagas oleh Harun Nasution kemudian dilanjutkan Neo- modernisme Nurcholis Madjid dengan ketiga organisasi ini (LDK, KAMMI, HTI), masing-masing memberi jawaban yang berbeda. Syahril menyatakan, antara KAMMI dan tradisi pembaharuan Harun dan Nurcholis tidak ada keterkaitan karena keduanya berpijak pada ideologi yang berbeda. Sementara Fikri justru menerang-kan bahwa tradisi itu sebenarnya adalah wacana yang telah diperbaharui oleh beber-apa cendekiawan muslim lainnya yang tidak banyak diketahui oleh mayoritas mahasiswa UIN sendiri. Adapun tren liberal saat ini, lanjut Fikri belum ada informasi yang jelas. Sehingga mereka tetap stagnan dengan apa yang mereka pahami.

Pernyataan yang agak berbeda diutarakan Yamani. “Kita lihat sisi baiknya. Bila pemiki-ran para tokoh-tokoh itu sama dengan pema-haman kita, yakni Islam yang bermuara pada al-Quran dan al-Sunnah serta ulama-ulama salaf. Kita pasti akan mendukungkungnya, dari siapa pun itu,” tegas Yamani.

Kata Mereka Yang Telah LamaStigma Islam Liberal UIN tidaklah merep-

resentasikan kampus ini sepenuhnya. Hal itu hanya merupakan pernyataan atau ideologi yang dianut segelintir orang yang kebetulan adalah bagian dari UIN Jakarta. Elban Faqih Esa, Ketua umum Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI) Cabang Ciputat, salah-satu organisasi yang telah lama eksis di Ciputat, menegaskan, banyak diantara para pemikir liberal yang menduduki posisi sentral di masing-masing organisasi sehingga mereka sering tampil dimuka umum. Tak heran jika pendapat dan asumsi mereka, terutama ten-tang ke-Islaman, dianggap mewakili institusi yang dipimpinnya.

Berbicara tentang alumni-alumni UIN Jakarta yang mengembangkan pemikiran liberal, Elban mengatakan tidak semua pengembang pemikiran liberal sama dengan liberal yang ada di Barat. Contohnya Nurcho-lis Madjid (Cak Nur). Liberalisme dalam pa-ham Cak Nur tercermin dengan mengatakan yang haram itu haram dan yang halal adalah halal. Ia ingin memisahkan yang bersifat du-niawi dengan ukhrawi, bukan memisahkan agama dengan dunia.

Senada dengan Elban, Ketua umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat, Mansur mengungkapkan dunia pemikiran di Ciputat ini sangat kom-pleks. Ada yang serta-merta menyatakan diri sebagai kelompok liberal, namun ada juga yang moderat. Bahkan ada juga yang dalam tata cara ke-Islamannya agak sedikit keras dan fundamentalis. “Dinamika perbe-daan pemikiran ini merupakan indikasi tidak bisanya UIN disebut kampus Islam Liberal,” tutur Mansur ketika menerima kedatangan INSTITUT di Aula Fastabiqul Choirat (Fas-cho) IMM.

Mantan Ketua Bidang I Pergerakan Ma-hasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat, Ak-mal yang didampingi Sekretaris umumnya menilai asumsi negatif masyarakat tentang UIN itu sah-sah saja. Karena menurut Ak-mal dan Sauqi, masyarakat tidak mengeta-hui seperti apa dan bagaimana wacana serta konteks UIN sesungguhnya. Tapi, Akmal se-laku mahasiswa UIN sekaligus kader PMII tidak setuju dengan pandangan itu. Ia meli-hat mereka yang beragama Islam a la liberal hanya satu dua mahasiswa saja dan bersifat individu. “Tidak ada penonjolan secara ma-jemuk,” ungkap kedua aktivis yang juga aktif di lingkar studi Komunitas Bambu ini. [Isti, Nezt, Susi, Sabir, Akhwani, MSW, Sya-hiru]

isu yang menyatakan UIN sebagai kampus Islam Liberal. Menurut Syahril, disamping liberal, banyak kultur yang dibangun maha-siswa berdasarkan ideologi masing-masing. “Untuk saat ini belum ada satu pemikiran yang mendominasi. Diantara mereka masih saling bersaing dan mencari ideologi mana yang tepat. Sehingga sangat tidak layak bila UIN disebut sebagai sarang Islam Liberal,” ucapnya. Dia menjelaskan asumsi ini tidak merepresentasikan UIN secara keseluruhan. Sedangkan mengomentari alumni-alumni UIN, ia melihat tidak semuanya mengem-bangkan pemikiran liberal. Banyak juga yang membumikan pemikiran Islam secara kaf-fah.

Organisasi ketiga yang sepakat dengan tidak adanya satu pemikiran yang mengua-sai UIN (tak terkecuali Islam Liberal) adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Melalui pen-anggung jawab Bidang Dakwah kampusnya, Ahmad fikri, HTI mengakui opini tersebut bekembang dan tersebar di masyarakat. Na-mun dia sendiri tidak setuju dengan pendapat itu. “Saya lebih sepakat, adanya liberalisasi kampus, yakni UIN didominasi pemikiran liberal dan budaya kapitalis, bukan Islam Liberal itu sendiri,” ungkapnya. Fikri melihat hanya sedikit mehasiswa yang mengaplikasi-kan pandangan Islam Liberal secara murni sesuai pemahamannya. Mayoritas mereka saat ini didominasi oleh mahasiswa yang berparadigma study oriented.

Mengenai kurikulum yang diterapkan UIN Jakarta. Fikri tak sependapat dengan Yamani. Ia mengatakan berkembangnya pemikiran liberal, baik dari kalangan ma-hasiswa maupun alumni, justru di prakarsai oleh kurikulum UIN itu sendiri. “Mau tidak mau mahasiswa harus menelan pemikiran tersebut tanpa diimbangi dengan pemikiran kontra sebagai wacana baru,” ungkap ma-hasiswa yang sedang mendalami pemikiran ideologis Syeih Taqiyuddin an-Nabhani ini. Ahmad Fikri menambahkan, sebagian aktivi-tas akademik seperti ini menyebabkan opini UIN sebagai kampus Islam Liberal berkem-bang di luar. Selain kurikulum, dua faktor lain yang menjadi pemicu hal itu adalah tena-ga pengajar di UIN Jakarta dan kajian-kajian atau diskusi yang dilakukan mahasiswa.

Ciputat, INSTITUT- Tiga organisasi Is-lam di lingkungan UIN Jakarta tak sepakat bila kampus ini disebut sebagai sarang Islam Liberal. Lembaga Dakwah Kampus Syarif Hi-dayatullah (LDK Syahid), melalui Ketua um-umnya Yamani menerangkan alasan ketida-ksepakatannya itu. Menurutnya, stigma itu muncul dan berkembang hanya dari sebagian oknum tertentu di UIN, bukan dari UIN-nya sendiri. Kurikulum dan sistem pendidikan yang berlaku di UIN sudah cukup bagus dan Islami. “Apabila sebagian masyarakat ada yang memandang kampus ini pusat Islam liberal. Itu karena mereka melihat dari luar saja,” kata mahasiswa semester VIII Psikolo-gi ini.

Mengenai mahasiswa Fakultas Ushulud-din dan Filsafat (FUF) yang sering menjadi sasaran kritik para penentang sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis), Yamani menanggapi dengan bijaksana. “Mereka (mahasiswa FUF) mungkin berfikir demiki-an karena mereka adalah mahasiswa yang berkecimpung di bidang teologi. Dan mer-eka masih mencari nilai-nilai ke-Islaman itu sendiri,” tutur pria berpenampilan rapi ini. Ia menambahkan, saat kembali ke masyara-kat, mereka pasti akan menyesuaikan ke-Is-lamannya. Dimana Islam yang mereka kem-bangkan harus sesuai dan dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.

Sementara bila ada beberapa alumni UIN Jakarta yang mengembangkan pemikiran lib-eral. Menurut Yamani (2006-2007), kembali pada para alumni itu sendiri. “Tergantung bagaimana cara berfikir dan pemahaman para sarjana-sarjana UIN tentang Islam,” tu-tur Yamani.

Terkait dominasi fakultas-fakultas agama terhadap dunia pemikiran seperti FUF yang kebanyakan bercorak liberal, Yamani mengiyakan hal itu. Tapi dengan munculnya fakultas-fakultas umum, dominasi ini sudah mulai berkurang. “Sekarang ini perbandin-gan bentuk pemikiran ke-Islaman, baik lib-eral maupun fundamental di fakultas agama dan umum boleh dikatakan seimbang, be-rada pada fase sebelum dominan,” ujar pria berdarah Sunda ini.

Di tempat terpisah, Ketua umum KAMMI, Ahmad Syahril Baidillah pun mengklarifikasi

Kampus Kami Kampus Pluralis

Ali Fernandes juga sepakat harus diambil tindakan-tindakan tertentu.

Akan tetapi Rahmat Syahid dan Lukman Hakim yang menyatakan buku itu tak perlu ditanggapi. “Itu hanya akan membesarkan wacana, sama seperti pemikiran liberal. Itu hanya pemikiran minoritas saja. Tangga-pan justru hanya akan menyatakan seolah-olah buku itu merupakan kekuatan yang besar,” kata Rahmat. Sementara Lukman menyatakan tak perlu direspon karena tidak produktif. “Lebih baik kita konsen pada du-nia pendidikan saja,” ujar Lukman.

Di pihak lain, Syafiq, Deputi Direktur ICIP (International Center for Islam and Plural-ism) menyatakan tidak mau mengomentari buku Hartono itu. “Ah tak perlu ditanggapi,” ucap Syafiq ringan saat ditemui INSTITUT di kantornya beberapa waktu lalu. Hal serupa diungkapkan oleh Guru Besar Tasawuf FUF, Prof Dr Kautsar Azhari Noor. “Tak perlu di-tanggapi, karena melayani orang yang tak beres itu berarti kita sama tidak beresnya.

Kecuali dengan cara diskusi, dan mereka mana ada yang berani berdiskusi berdialog dengan baik,” jelas Kautsar.

Sedangkan Reza Miladi Fauzan, Kabid Kaderisasi KAMMI Pusat, menganggap buku itu sebagai masukan bagi kampus ini. Karena itu kita harus menerimanya (buku Hartono) sebagai bentuk apresiasi terhadap kampus. Di lain sisi, Hartono belum membuktikan, di kampus ini ada pemurtadan. Dan yang terpenting, lanjut Reza, penegasan kata pemurtadan itu sendiri, yakni berpindahnya dari agama Islam kepada agama lainnya atau hanya dalam makna kiasannya saja.

Sementara itu, Akmal, Kabid I PMII Ca-bang Ciputat 2006-2007 menilai buku itu adalah bagian dari perbedaan pendapat yang harus disikapi dengan kepala dingin, bukan caci maki. “Tapi yang sangat saya sayang-kan, banyak kata-kata dalam buku itu yang kurang enak didengar, misalnya menghina ibu Sinta Nuriyah dengan sebutan jompo tua, mengkafirkan orang lain dan sebagainya. Se-

dangkan dia (Hartono) belum tentu benar. Artinya kebenaran Islam itu bukan menurut dia saja. Kebenaran itu adalah sesuatu hal yang abstrak. Karena kebenaran itu mutlak hanya milik Tuhan,” ucapnya.

Pernyataan lain juga diungkapkan oleh Elban Faqih Esa, Ketua umum HMI Cabang Ciputat 2006-2007. Elban sepakat dengan Hartono, bahwa yang disebut murtad adalah dia yang keluar atau berpindah agama dari Islam. Namun yang Elban ketahui selama studinya di UIN Jakarta, perubahan itu hanya perubahan metodologi. “Misalnya saya mendalami hermeuneutik, hal ini tidak membuat saya kafir, justru dengan saya be-lajar hermeuneutik dan dikontekstualisa-sikan dengan Islam seperti yang dipahami dengan Natsir Abu Zaid misalnya, toh dia masih memiliki nilai ke-Islaman yang cukup kuat,” jelas mahasiswa semester X FUF UIN Jakarta ini. [Rose, MSW, H-Riz, B-Du, Denhas,]

Page 6: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 20074 Khusus

Parkir SC, INSTITUT- Tema “Obat Cinta” menghiasi acara UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Expo yang dilaksanakan pada 7-8 September. Kegiatan ini diadakan oleh seluruh UKM yang semuanya b e r j u m l a h 15, yakni A R K A D I A , HIQMA, LPM I N S T I T U T , RIAK, LDK, K O P M A , P R A M U K A , F O R S A , RANITA, PSM, K A L A C I T R A , M E N W A , FLAT, KSR, dan TEATER SYAHID.

Edi Ardian, Ketua Panitia Pelaksana dari KMM Riak menyatakan, agenda ini dilaksanakan sebagai wujud persatuan UKM-UKM yang ada di UIN dan menjawab kegelisahan mahasiswa baru tentang keberadaan dan ketidakikut sertaan UKM di ajang Propesa 2007. “Propesa tidak memberikan ruang untuk mengenalkan UKM kepada mahasiswa baru. Jadi selain mengenalkan UKM kepada

mahasiswa, menghilangkan rasa bete mahasiswa baru pada Propesa ‘Cinta’, acara ini juga sekaligus menyatakan rasa cinta kami kepada mahasiswa baru,” tegas Edi.

Edi melanjutkan, secara jujur Keluarga Besar UKM UIN merasa sakit hati tidak dapat

menunjukkan dan

meperkenalkan UKM kepada

mahasiswa baru. Namun menurutnya,

ketidakikut sertaan tersebut harus diterima dengan lapang

dada. “Jujur ya, kita sakit hati dengan Propesa yang dilaksanakan oleh BEMU (Panitia pusat), tapi setidaknya kita harus besar hati menerimanya,“ ungkap Edi.

Mengenai out put UKM Expo, Edi mengharapkan mahasiswa baru mampu merespon dan lebih mengetahui segala kegiatan kampus diluar akademik dan perkuliahan.

Sehingga nanti

ketika menemukan masalah atau kejenuhan dalam perkuliahan, kegiatan UKM dapat menjadi obat.

Senada dengan Edi, Sakay, salah-satu personel HIQMA mengatakan, setiap mahasiswa punya kreatifitas, dan itu semua harus disalurkan, khususnya lewat UKM. “Kegiatan ini sangat baik karena bagaimanapun juga setiap mahasiswa memiliki kreatifitas.Kegiatan ini adalah kerja keras teman-teman UKM untuk memajukan mahasiswa UIN dalam kreatifitas,“ tukas Sakay.

Sementara itu, Rendy Marko aktivis Teater Syahid saat disambangi INSTITUT di stand-nya menuturkan, kegiatan ini cukup melelahkan. “Sedikit melelahkan, tapi Insya Allah berkah. Semua adalah niat UKM-UKM agar UKM tetap jaya,“ tutur Rendy.

Dari pengamatan INSTITUT selama dua hari pelaksanaan kegiatan yang dirangkaikan dengan panggung musik “Surya Pro Goes To Campus“ ini, mahasiswa terlihat sangat antusias. Hal itu terlihat dari

UKM EXPO 2007; Wujud Persatuan UKM

jumlah

pengunjung yang mencapai 3000 ribu orang lebih.

Robi Ardianto, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) semester III menyatakan, kegiatan yang dilaksanakan oleh UKM ini sangat penting dan merupakan ajang pengetahuan mahasiswa baru

tentang suasana dan kegiatan UKM. “Gue

kira kegiatan ini sangat bagus biar mahasiswa baru tahu tentang kegiatan dan apa itu UKM. Khususnya acara malam ini, menghibur sekali dan menghilangkan

rasa bosan kita,“ ungkap Robi di sela-

sela demo UKM dan panggung musik ’Surya

Pro Goes To Campus’ yang diisi oleh band-band

UIN serta bintang tamu, Utopia dan Purgatory. Acara pamungkas anak-anak

UKM ini berlangsung aman. Meski sempat terjadi insiden-insiden kecil, tapi berkat kesigapan dan kedisiplinan barisan panitia, semua dapat berjalan sesuai kendali. [XSABER]

Kampus UIN, INSTITUT- Merayakan dan memperingati hari ulang tahun bagi siapa pun adalah hal yang membahagiakan. Begitu pun yang dilakukan sivitas aka-demika UIN (dahulu ADIA-IAIN Jakarta). Bulan Juni bagi sivitas akademika UIN Syarif Hidayatul-lah Jakarta adalah bulan yang membahagiakan dan bersejarah karena bulan Juni merupakan hari jadi kampus ini.

Dalam rangka merayakan dan memperingati milad UIN, setiap Juni selalu diadakan peringatan hari ulang tahun (HUT) UIN Ja-karta. Acara perayaan dan per-ingatan HUT diikuti oleh sivitas akademika UIN mulai dari tingkat rektorat, dekanat, karyawan, dan mahasiswa.

Perayaan dan peringatan HUT kali ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, hal itu karena pada tahun ini UIN memperingati HUT yang ke-50. Perbedaan terse-but dapat dilihat dari banyaknya rangkaian kegiatan yang disiapkan panitia dan berskala besar.

Semboyan yang digunakan un-tuk memperingati HUT UIN ke setengah abad ini adalah “Golden Anniversary”, hari ulang tahun emas. Menurut Ketua panitia HUT,

Sudarnoto Abdul Hakim, “dalam perkawi-nan, usia yang ke-50 tahun disebut seb-agai usia e m a s . Kare-n a U I N sudah b e r u -sia 50 t a h u n m a k a kita se-but seb-agai ulang tahun emas. Hal ini di-harapkan dapat menarik perhatian s e m u a orang, membangkitkan spirit dan kinerja sivitas akademika agar lebih tinggi,” ujar Sudarnoto ketika dite-mui INSTITUT di ruang kerjanya beberapa waktu yang lalu. Sudar-noto menambahkan, HUT tahun ini berbeda dengan tahun sebelum-nya. HUT tahun lalu tidak begitu massif dan skala kegiatannya pun tidak besar seperti sekarang.

Untuk melaksanakan perayaan HUT sekarang, panitia harus me-

Semarak Golden Anniversaryn y - iapkan dana hingga

ratusan juta rupi-ah. “Dana yang digunakan un-

tuk acara ini berjum-lah seki-tar lima ratus juta r u p i a h . D a n a t e r s e -but di-p e r o l e h dari kas UIN dan sponsor,”

tutur Purek IV ini. Lanjut

dia, kegiatan yang diadakan sangat be-

ragam dan berskala besar mulai dari yang berkaitan dengan aka-demik, kemanusiaan, seni dan bu-daya, serta sosial.

Untuk mempersiapkan semua kegiatan tersebut, panitia hanya mempunyai waktu sekitar satu bu-lan setengah. Peringatan HUT ini dilaksanakan selama sebulan mulai tanggal 2-30 Juni.

Rincian kegiatan yang dilak-sanakan dalam HUT ini adalah; lomba karya tulis ilmiah (LKTI)

mahasiswa PTAI se-Indonesia, seminar nasional dan internasi-onal, pameran pendidikan fakultas dan lembaga yang ada di UIN, sarasehan pesantren, sarasehan pengembangan dan pembentukan badan wakaf UIN, diskusi serial buku karya dosen UIN, pengobatan gratis, donor darah, penyemprotan vaksin DBD, bazaar murah, orkes-tra, festival seni musik Islami, orasi kebudayaan, bakti sosial, perte-muan alumni, dan forum silatur-ahmi.

Untuk forum silaturahmi , menurut Sudarnoto, akan dilak-sanakan bersama para stakeholder UIN, pemerintah, mitra kerjasama, organisasi masyarakat, LSM, tokoh lintas agama, dan duta besar.

Acara puncak sekaligus penutu-pan HUT dilaksanakan pada malam hari di Auditorium Utama. Malam seni budaya ini dihadiri Rektor dan pembantu rektor, anggota senat, pimpinan fakultas, dosen, dan mahasiswa serta ketua Museum Rekor Indonesia (MURI), Jaya Su-prana. Sebelum malam penutupan (malam seni budaya) dimulai, ter-lebih dahulu diadakan penampilan musik keroncong yang dibarengi dengan makan seribu mie ayam gratis Bogasari.

Malam seni budaya diisi den-gan berbagai acara seperti laporan kegiatan panitia HUT, pentas seni musik mahasiswa dan pengumu-man pemenang sekaligus pembe-rian hadiah LKTI se-Indonesia. Namun acara yang paling men-arik adalah penganugerahan rekor MURI, pembacaan 50 skripsi non stop selama tiga hari dua malam dan penulisan skripsi terkecil den-gan ukuran 5 x 10 cm oleh Wisu-dawan ke-58. Penganugerahan kedua rekor MURI ini diberikan langsung Jaya Suprana.

Sudarnoto merasa acara ini sangat berarti bagi seluruh sivitas akademika. “Saya berharap HUT ini menjadi pengalaman berarti tentang perjalanan UIN yang sudah berusia setengah abad dan kinerja kita mulai dari ADIA-IAIN hingga UIN serta untuk meningkatkan etos kerja dan profesionalitas,” tandas laki-laki berkacamata ini. Dia ber-harap pada tahun 2015 mendatang UIN Jakarta bisa menjadi World Class University atau Research Uni-versity. Selain itu, Ia juga berpesan bahwa kampus ini jangan hanya dijadikan sebagai tempat belajar, tapi juga sebagai pusat peradaban dunia. [Akhwani]

Page 7: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 2007KAMPUSIANA 9

Napak Tilas Sembilan Tahun Reformasi

Parkir SC, INSTITUT- Indonesia tidak lahir begitu saja. Melainkan dengan penuh perjuangan. Banyak peristiwa yang tercatat dengan tinta hitam perjalanan sejarah bangsa ini. Peristiwa-peristiwa itu mengingatkan kita bahwa bangsa ini dibangun dengan penuh tumpah darah.

Tetapi selepas dari penjajahan dengan pengikraran kemerdekan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, rakyat masih merasakan penderitaan. Sebab bangsa ini bukan lagi dijajah oleh bangsa lain, melainkan oleh bangsa sendiri. Dan pergolakan politik yang terjadi tiada henti, membuat rakyat semakin menderita.

Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana gerakan mahasiswa memperjuangkan Tritura yang didokumentasikan melalui film Catatan Seorang Demostran. Mereka yang dikenal dengan sebutan angkatan 66, dengan kegigihannya mampu merobohkan Orde Lama. Ahirnya Orde Baru pun lahir dengan harapan akan membawa negeri ini

kearah yang lebih baik.Tapi ternyata kehadiran Orde

Baru tak juga mampu membawa angin segar. Bahkan kekejaman yang telah dilakukan para pemimpin di masa Orde Baru ini membuat Indonesia tercinta kembali dalam kubangan hitam. Rezim otoriter yang dipimpin Presidan Soeharto menjadikan bangsa ini kian kelam. Akhirnya bak mengulang sejarah, peristiwa yang pernah terjadi kembali hadir. Para mahasiswa juga melakukan unjuk rasa menuntut pengudurun diri Presiden kedua Indonesia itu.

Aksi mahasiswa disambut dengan hujan peluru. Tetapi dengan semangat cinta tanah air, para demonstran, yang biasa disapa dengan aktifis 98 berhasil melahirkan zaman baru yaitu Orde Reformasi.

Peristiwa yang telah menghiasi bangsa Indonesia itu dihadirkan kembali dalam bentuk “Napak

Tilas Sembilan Tahun Reformasi”. Acara yang dirangkai dalam bentuk pameran foto, lukisan, pemutaran film dokumenter, dan diskusi ini diadakan selama dua hari dari 28-29 Mei 2007. Tak ayal, aura perjuangan para mahasiswa saat itu pun menyelimuti kampus UIN Jakarta. Kegiatan yang digelar di halaman parkir Student Center (SC) tersebut diadakan oleh mahasiswa yang tegabung dalam Forum Kota (Forkot).

Kerumunan mahasiswa memadati halaman parkir yang telah diformat sedemikian rupa. Dengan perasaan haru mereka mengamati dokumentasi kegigihan para aktivis yang atas kecintaannya pada tanah air Indonesia, walau dihadang peluru-peluru tajam, tak gentar untuk menyuarakan aspirasinya. Di samping itu, banyak pula gambar yang memperlihatkan perlakuan semena-mena aparat kepada para mahasiswa.

Maya, salah seorang mahasiswi yang sedang asyik mengamati meskipun cahaya matahari menyengat, terlihat menggelengkan kepala tanda ketakpahaman atas apa yang terjadi. “Tak disangka aparat begitu kejam memperlakukan mahasiswa,” ungkap mahasiswa semester II FST ini. Ia menambahkan dangan bertanya, “adakah harapan untuk Indonesia? Selama ini mereka (para pemimpin) hanya berkoar-koar tetapi realisasi ternyata masih nol, pendidikan masih mahal dan rakyat masih susah.?

Saat dijumpai INTITUT, Pipo, salah seorang panitia kegiatan ini mengatakan, selain untuk memperingati peristiwa yang terjadi di negeri ini, acara ini juga bertujuan untuk mengingatkan bahwa perjuangan bangsa ini belum berakhir. “Inilah salah satu yang ingin disampaikan kepada para mahasiswa khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Perjuangan belum selesai, perjuangan belum selesai, perjuangan belum selesai,” tegas Pipo dengan semangat menggebu dan suara yang terdengar sedikit serak sambil sekali-kali menganyunkan tangan kirinya. Pipo menambahkan, mahasiswa sebagai agen perubahan hendaknya menjadi pintu pertama untuk membuka daya kritis. Yang sangat disayangkan banyak mahasiswa sekarang tak terlalu peduli dengan keadaan bangsa ini. “Kenapa reformasi belum selesai? Karena terbukti dengan masih berkuasanya Orde Baru, dan pemimpin bangsa ini tak lain masih tangan kanan Soeharto. Ini sangat jelas dengan masih bebasnya Soeharto dan para penjahat HAM. Salah satu tuntutan kami diantaranya tadi, selain itu buburkan Golkar dan adili jendral penjahat HAM,” ujar Pipo di sela-sela kesibukannya sebagai panitia. Ia berharap semoga dengan acara ini mahasiswa dapat membuka mata. “Kami menginginkan pemimpin yang berpihak terhadap rakyat,” tegasnya. [Dede]

Parkir SC, INSTITUT-UKM Pramuka bekerja sama dengan Yayasan Cinta Anak Bangsa menggelar acara bertajuk “Apresiasi Cinta Anak Bangsa 2007” (1-2/9)berpusat di Pelataran Parkir Student Center. Kegiatan ini didukung oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Majalah Bobo, dan Gugus Depan Jakarta Selatan 07-081/07-082.

Menurut Ira, panitia sekaligus aktivis UKM Pramuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, acara tersebut diadakan dalam rangka memperingati HUT Pramuka dan masih dalam nuansa Hari Kemerdekaan RI. Kegiatan yang dilangsungkan dua hari itu bermacam lomba antara lain, basket, senam Pramuka, baca puisi, baris-berbaris, pionering, dan lain-lain.

Peserta lomba berasal dari TK, SD, SMP, dan SMA se-Jakarta dan Tangerang. Tercatat sebanyak 600 peserta masuk dalam daftar panitia. Mereka sangat antusias dan bersemangat mengikuti lomba dan saat sesi rehat yang diisi dengan berbagai games menarik.

Wulan, siswi kelas III SMP 68 Ciputat mengaku senang dengan kegiatan ini. Ia mewakili sekolahnya bersama tiga orang temannya. “Ya lumayan, buat tambah pengalaman. Soalnya kan jarang ada lomba-lomba semacam ini sekarang,” kata Wulan malu-malu.

Di pihak panitia,Ira mengatakan telah mempersiapkan acara ini semaksimal mungkin. “Sampai-sampai tadi malam (sebelum hari H) kami tidak tidur,” curhat Ira. Namun ia merasa, kurang jelasnya pembagian kerja tim, menjadi masalah tersendiri.[MSW]

Apresiasi Cinta Anak Bangsa

Dok. Gembel Kalacitra Student Center, INSTITUT-Bagi umat Islam, bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmat. Sebab di bulan ini, berbagai aktivitas peribadatan mulai dari puasa, salat tarawih dan ibadah-ibadah lainnya akan dilipat gandakan pahalanya.

Umat muslim pun berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal ini terlihat dari sedekah untuk buka puasa bersama di masjid-masjid, yang mana dana dan logistiknya didapat dari mereka yang berkecukupan. Selain bisa berbagi dengan sesama, hal ini juga dapat mempererat tali silaturahmi umat.

Tak mau kalah, para aktivis Unit-unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), selain buka bersama, mereka juga melaksanakan salat taraweh berjamaah di masjid Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal ini mereka lakukan dengan imam bergiliran dari masing-masing UKM.

Menurut Mo-Ex, salah-seorang aktivis UKM, kegiatan ini sudah berlangsung tiap tahun. Akan tetapi banyak mahasiswa UIN yang tidak mengetahuinya karena mereka tidak taraweh di masjid Al-Jamiah ini.[MSW]

Inu Kencana: “Justru karena saya tinggal di STPDN, karena saya makan hidup di STPDN, justru karena saya Pegawai Negeri, maka saya bongkar kasus ini.”

Gedung Teater FDK, INSTITUT-BEM Fakultas dan seluruh Jurusan di FDK berusaha menguak kasus dan permasalahan yang terjadi di kampus IPDN lewat Talkshow bertema “Telaah Kritis Perjalanan dan Menguak Tuntas Kasus IPDN.” Acara ini terlaksana pada Rabu (9/5) di Ruang Teater FDK. Hadir sebagai pembicara, Drs Inu Kencana S MSi (Dosen IPDN), Kapolda Jawa Barat Irjen Polisi Sunarko DA., dan Syarif Hidayatullah (Orang Tua Wahyu Hidayat).

Dalam pemaparannya tentang kasus kematian Wahyu Hidayat, Inu Kencana menerangkan bahwa sebelumnya dokter Nubulan dari RS. Al-Islam menginginkan otopsi dilakukan minggu depan setelah kasus itu dengan maksud ingin menutupi penyebab kematiannya. Namun akhirnya kasus itu terbongkar dan Kapolsek yang menangani mengakui bahwa hal tersebut merupakan kasus pembunuhan yang disengaja karena penganiayaan.

Dalam mengungkapkan kasus tersebut, Inu mengalami berbagai macam halangan terutama pihak rektorat, yang tak setuju jika hal tersebut dibongkar kepada publik.

Semua dilakukan oleh Inu atas dasar cinta kepada IPDN dengan harapan kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi. “Justru karena saya tinggal di STPDN, justru karena saya makan hidup di STPDN, justru karena saya pegawai negeri, maka saya bongkar kasus ini,” tegas Inu.

Ia menambahkan, me-nyampaikan kebenaran kepada atasan, dalam hal ini Rektorat dan Departemen Dalam Negeri, merupakan jihad walaupun kebenaran itu pahit akhirnya dan mendatangkan marabahaya. “Keatas itu kita perlu kekuasaan, kebawah itu kita melayani bukan keatas melayani, beda dengan TNI/POLRI,” tandasnya.

Mengenai rasa kasihan terhadap pembunuh Wahyu Hidayat, lanjut Inu, yang kadang diutarakan oleh beberapa masyarakat, bukan hal yang semestinya dilakukan. Tapi justru seharusnya kepada orang tua almarhum Wahyu Hidayat. “Ada Baik, ada buruk, benar dan salah, keduanya tidak boleh diseimbangkan, baik kepada orang salah itu dzalim, kasihan itu pada ibu kandung almarhum Wahyu Hidayat, dia menangis ketika anaknya terbunuh,” ucap Inu dengan nada kencang.

Sementara itu Syarif Hidayatullah orang tua alm.

Wahyu Hidayat menyatakan, penganiayaan terhadap Wahyu pada tahun 2002 oleh sepuluh orang Madya Praja (Tinggkat III) dilakukan dengan dalih pembinaan dan melatih ketahanan fisik. Namun penganiayaan terlalu berlebihan sehingga mengakibatkan kematian. “Padahal harusnya saling asah dan saling asuh. Hal ini bertentangan dengan visi dan misi IPDN. Apalagi jika kita lihat dari konteks Hadits Rasulullah ‘Tidak dikatakan beriman seorang Mukmin sampai dia mencintai saudarnya seperti dia mencintai dirinya sendiri.’ Kalau memang penganiyaan itu sakit jangan menyakiti,” ujar Syarif.

Syarif melanjutkan, perubahan nama STPDN menjadi IPDN belum optimal. Sehingga ia menyetujui pembekuan IPDN selama satu sampai tiga tahun, guna memutus mata-rantai kekerasan yang terjadi. Ia juga mengungkapkan kebanggaannya terhadap kinerja Polres Sumedang. “Kita percaya

tim pencari fakta bisa mendapatkan hasil yang maksimal guna membawa kepada kemaslahatan. Saya bangga terhadap apa yang dilakukan Polres Sumedang, tapi saya kecewa dengan apa yang terjadi di IPDN karena gerakan tutup-mulut mereka kuat sekali, sampai-sampai ketika saya mau ambil jenazah semua mulut bungkam,” ungkapnya.

Sedangkan Sunarko, Kapolda Jawa Barat menyatakan, apapun yang dihadapi dan menghalangi polisi akan saya angkat. Apapun yang terjadi sebelum kematian Cliff Muntu akan saya usut.

Menurut Sunarko, IPDN amat tertutup dan sulit ditembus oleh polisi apalagi masyarakat biasa, terutama dalam mengusut kasus. Namun Sunarko dan pihak kepolisian memiliki cara tepat untuk membongkar kasus-kasus IPDN, yaitu dengan menggunakan acuan pasal dua hukum pidana, “Apapun yang ditentukan oleh kepolisian berlaku bagi setiap orang di Indonesia.” [XSaber]

Menguak Tuntas Kasus IPDN

Suasana talkshow di Ruang Teater FDK

Foto Xaber

Mahasiswa Mengunjungi Pameran Foto Tragedi ‘98

KILAS

Taraweh Bersama UKM

Page 8: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 20078 KAMPUSIANA

Aula Madya Lt.1 – INSTITUT, Fakultas Ushuludin & Filsafat (FUF) bekerjasama dengan Istanbul Foundation for Science and Culture (IFSC) menggelar Seminar Internasional bertajuk “Said Nursi: Vision for Renewal of Faith, Man, and Civilization in The Contemporary World” (24/05).

Seminar yang menggunakan pengantar Bahasa Inggris itu dibagi kedalam dua sesi. Pada sesi pertama, bertindak sebagai pembicara, Prof Dr Farid Al-Attas dari National University Singapura, Dr Haidar Bagir dari penerbit Mizan, dan Prof Dr Faris Kaya dari Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM).

Dalam pemaparannya, Al-Attas mengemukakan relevansi pemikiran Said Nursi bagi dunia muslim kontemporer. Sementara Faris Kaya menjelaskan pandangan integratif Nursi tentang keimanan dan pentingnya dialog antar agama untuk saling memahami satu sama lain. Sedangkan Bagir lebih banyak

membahas pemikiran Nursi dalam kaitannya dengan globalisasi.

Dialog menurut al-Attas, membutuhkan sikap terbuka, kejujuran dan rasa penghormatan. Dalam sesi pertanyaan, salah seorang peserta berpendapat bahwa dialog harus dilakukan oleh pemuka agama atau orang yang ahli saja untuk menghindari kesalahpahaman. al-Attas menjawab, “Dialog tidak harus dilakukan oleh orang ahli saja. Umpamanya, anda menawarkan kopi suatu pagi kepada orang diluar agama anda dan mengobrol barang sejenak saja, itu pun sudah termasuk dialog,” jawabnya.

Sesi kedua menampilkan Sukron Vahide dari IFSC dan Dr Nur Rofiah dari UIN Jakarta sebagai pembicara. Sesi kedua ini banyak membahas pandangan Said Nursi tentang perempuan.

Nur Rofiah memaparkan beberapa pandangan pokok Nursi tentang Poligami, Talaq, nikah beda agama, dan hak asuh

anak. “Satu hal yang unik dari Nursi contohnya, Ia mengecam pemerintah yang melarang perempuan untuk berjilbab. Tapi di saat yang sama dia tidak melarang perempuan yang menanggalkan jilbab karena tuntutan pekerjaan,” kata Nur Rofiah. Dia melanjutkan penjelasnnya bahwa Nursi yang tidak menikah hingga akhir hayatnya itu juga menentang tuduhan muslim sekuler tentang sikap Islam terhadap poligami. Menurut Nursi, poligami adalah sebuah pilihan dan bukan tuntutan.

Nursi menurut Vahide, melihat banyak realita di Turki yang perlu diperbaiki. “Ia menurunkan esensi pesan al-Qur’an dalam kegiatan sehari-hari agar al-Qur’an dapat diakses, dimengerti dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Vahide. Ia juga melanjutkan, “Nursi mengkomparasikan esensi al-Qur’an dan esensi modernitas barat. Nursi misalnya tidak menegasikan

sekularisme, westernisasi, dan globalisasi sebagai hal negatif. Tapi banyak hal negatif dari unsur-unsur tersebut yang menurutnya harus ditinggalkan seperti konsumerisme, hedonisme dan penyalahgunaan teknologi,” imbuhnya.

Hal itu bisa dipahami karena menurut Vahide, Said Nursi hidup ditengah masyarakat Turki yang saat itu sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap Islam dalam memecahkan masalah-masalah modernitas. Ia berusaha mengkompromikan Islam tradisional dan perubahan yang dibawa barat di negerinya.

Pemaparan-pemaparan para pembicara seakan melegitimasi penilaian banyak pihak saat ini terhadap Nursi sebagai sosok modernis-ekstremis. Penilaian itu didasarkan atas sikap dan pemikiran Said Nursi yang cenderung lebih moderat terhadap kemajuan yang telah dicapai barat. [Irsyad]

Mengkaji Visi Said Nursi

Teater FUF, INSTITUT – Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM-J) Pemikiran Politik Islam bekerja sama dengan salah satu partai politik KBM UIN Jakarta, menggelar acara Diskusi & Bedah Buku “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat.” Karya Fadjroel Rahman (23/05).

Sesuai dengan temanya, “Menguak Penyelewengan Reformasi,” acara tersebut ditujukan untuk memperingati momen reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto tanggal 21 Mei sembilan tahun lalu. Hadir dalam acara tersebut, Fadjroel Rahman (Penulis), Rifki Arsilan (Forkot), dan Piet Hizbullah Khaidir SAg (Mantan Ketua PP. Pemuda Muhammadiyah).

Dalam pemaparannya, Rahman mengatakan titik awal kegagalan reformasi adalah saat prosesi turunnya Soeharto. “Reformasi tidak berhasil menurunkan Soeharto. Soeharto hanya menyingkir dan memberikan tempat kepada antek-anteknya. Kita lihat saat ini orang-orang orde baru masih menguasai banyak aspek pemerintahan,”

jelasnya. Demokrasi di Indonesia menurutnya telah dibajak oleh orde baru.

Mengambil contoh dari Filipina, Rahman menyebutkan empat transisi yang wajib dilewati untuk menuju demokrasi yang paripurna. Pertama, kita harus menyusun konstitusi demokratis yang melibatkan seluruh rakyat, bukan konstitusi elit seperti selama ini. Kedua, penangkapan koruptor beserta kroni-kroninya lengkap dengan penyitaan seluruh kekayaannya. Ketiga, adili semua penjahat HAM. Dan terakhir, Pemilu yang diikuti oleh demokrat-demokrat baru yang tidak memiliki hubungan dengan kekuatan ekonomi dan politik lama. Transisi itulah, menurut Rahman, yang dihilangkan oleh orde baru sehingga mereka masih bercokol sampai saat ini.

Dalam ulasannya terhadap buku Rahman, Piet mengatakan demokrasi memiliki dua titik nilai, yaitu emansipasi sosial dan individual. ”Kita bingung mengapa infrastruktur demokrasi saat ini sudah hampir sempurna, tapi emansipasi individual dan sosial

belum juga tercapai,” tanya Piet dalam ulasannya. Demokrasi tanpa kaum demokrat menurut Piet adalah demokrasi prosedural, sehingga tidak berujung pada emansipasi sosial dan individual, sesuatu yang menurutnya merupakan substansi demokrasi.

Piet berpendapat, dari awal, kalimat demokrasi tanpa kaum demokrat sudah unik. Ini merupakan sebuah tautologi, ironi, dan kontradiksi. “Mana ada sebuah demokrasi yang tidak dihuni oleh kaum demokrat? Tapi itulah kenyataan yang ada di Negara kita,” katanya. Piet mengambil contoh RUU dan UU yang telah disahkan saat ini kebanyakan hanya pesanan negara asing, tidak ada yang berhubungan langsung dengan kepentingan rakyat. Seharusnya, lanjut Piet, demokrasi berjalan secara emansipatoris tanpa kekerasan dan berujung pada keadilan.

Sementara Rifki memahami demokrasi tanpa kaum demokrat sebagai sebuah demokrasi yang membungkam kaum demokrat. “Mahasiswa sebagai kelompok yang diharapkan bisa menjadi

kelompok demokrat pun sekarang telah dirasuki dan ditunggangi oleh penguasa,” katanya.

Ketika ditanya oleh salah seorang peserta mengenai siapa yang ia maksud dengan demokrat.Rahman menjawab, “Demokrat disini tentu saja bukan anggota Partai Demokrat. Demokrat adalah siapapun yang mengenali dan menghargai hak-hak sipil, politik, ekonomi, hukum, dan negara seseorang,” jawabnya.

“Saat ini tidak ada reformasi, yang ada hanyalah demokratisasi demokrasi. Atau dalam bahasa Forkot adalah revolusi!” kata Rahman menyimpulkan hasil diskusi tersebut yang serentak disambut tepuk tangan para peserta seminar, yang kebanyakan adalah aktivis Forkot.

Fahmi Pasya selaku panitia, ketika ditemui INSTITUT seusai acara mengatakan, diskusi dan bedah buku ini bertujuan untuk mengetahui situasi objektif reformasi yang ada sekarang. [Irsyad]

Ironi Demokrasi Indonesia

UIN Jakarta, INSTITUT- Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menggelar acara “Munir In Memoriam Lecturer” di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 5-6 September lalu. Acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati tiga tahun meninggalnya pejuang HAM Cak Munir (2004-2007).

Rangkaian acara ini dimulai dengan pemutaran film Screening on Human Right Issue yang dilaksanakan di ruang Teater Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) dan lapangan parkir Student Center. Selain pemutaran film, panitia juga menggelar diskusi bertema “Teologi Kemanusiaan Menuju Keadilan Universal” yang dilaksanakan di Auditorium Utama.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Usman Hamid (Koordinator Kontras), Budi Munawar Rahman (Dosen Universitas Paramadina), dan Asep Saepudin Jahar (Dosen UIN Jakarta). Sedangkan yang bertindak sebagai special lecturer, Rektor UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Soetandyo Wignyosoebroto.

Selain KASUM, bertindak sebagai pelaksana kegiatan adalah KOMPAK dan LKBHMI. Menurut salah seorang panitia, Fernandes, peringatan ini akan menjadi agenda tahunan. “Acara ini adalah hasil kerja sama KASUM dan tiga universitas, yakni UIN Jakarta, UGM, dan UI. Untuk kali ini UIN Jakarta mendapat giliran menjadi penyelenggara,” jelas laki-laki yang akrab di sapa Nandes.

Sementara itu, mengenai KASUM sendiri, Nandes menerangkan bahwa lembaga ini adalah gabungan lebih dari tiga puluh LSM yang ada di Indonesia. Bersama mereka (KASUM) kita mempunyai inisiatif untuk mengadakan peringatan kematian pejuang HAM Munir, yang hingga kini belum terungkap siapa dalang pembunuhannya. [MSW]

TIga Tahun Wafatnya Munir

Fifo Café Resto, INSTITUT- D’Jong Community, sebuah lem-baga yang bergerak di bidang sosial kepemudaan UIN Jakarta beker-jasama dengan Lingkar Kreasi Insan Seni (eLKIS) mengadakan Dialog dan Panggung Musik Ke-merdekaan (28/08) di Fifo Café Resto, Situ Gintung. Acara yang dimulai pada pukul. 19.00 WIB

ini dapat menarik antusiasme dari mahasiswa/i UIN Jakarta dan mahasiswa sekitarnya. Dilihat dari banyaknya yang hadir di Fifo Café Resto pada malam tersebut.

Acara yang bertema “Narkoba bikin…Ga’ Merdeka” ini lebih di-peruntukkan kepada kaum muda. Band-band muda seperti Oval, Try dan Gothic Slut megisi awal acara

ini. Selain itu, hadir pula LETTO sebagai bintang tamu sekaligus pembicara inti (sesi acara sharing).

Sekitar pukul 22.00 WIB, acara sharing dimulai dengan pembicara utama Noe LETTO. Dimulai den-gan membicarakan masalah remaja yang terjerumus kedalam dunia nar-kotika, penyebab mereka terjeru-mus dan solusi untuk terhindar dari

dunia narkotika. Noe LETTO men-gatakan, daripada pakai narkoba, lebih baik anak muda meyalurkan bakat dan minatnya kepada bidang yang lebih positif dan bermanfaat contohnya seperti dunia musik.

Dengan acara ini, diharapkan dapat mengajak anak muda untuk menyalurkan minat dan bakat-nya kepada hal yang lebih positif.

Diakhir sesi, LETTO menyanyikan tiga lagu andalan mereka (lagu Ruang Rindu, Sandaran Hati, dan Sampai Nanti Sampai Mati). “Semoga dengan dinyanyikan-nya lagu-lagu tersebut kalian bisa terus bersemangat untuk selalu berkarya dan tidak henti-hentinya untuk berkarya. Say No To Drugs, “ujar Noe bersemangat.[Nezt]

Narkoba Bikin... Ga’ Merdeka...!

Page 9: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 20075Khusus

UIN Jakarta, INSTITUT- 10-11 September lalu mahasiswa UIN mengadakan hajatan besar sekaligus pesta demokrasi mahasiswa, Pemilu Raya (Pemira). Proses pelaksanaan Pemira tahun ini tidak berbeda dengan Pemira tahun lalu. Keributan dan ketegangan antar partai kontestan Pemira, menjadi bumbu yang harus ada. Baik skala kecil maupun besar. Fenomena ini kerap terjadi di setiap pelaksanaan pesta demokrasi mahasiswa ketika penghitungan suara eksekutif jurusan, fakultas, dan universitas.

Di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), ketika akan dilaksanakan penghitungan kertas suara eksekutif Jurusan Manajemen Pendidikan. Salah satu partai kontestan Pemira, PPM menolak kertas suara Jurusan MP dihitung dengan alasan ada penggelembungan kertas suara sebanyak 19 suara. Selain itu, PPM juga meminta agar dilaksanakan pemilihan ulang Jurusan Manajemen Pendidikan.

Sementara itu, PARMA menolak dan tidak menyetujui usulan yang

dilontarkan PPM. PARMA meminta agar penghitungan suara tetap dilaksanakan seperti yang sudah dilaksanakan jurusan lain dan sesuai kesepakatan awal. Namun, PPM tetap menolak kesepakatan awal dan bersikukuh agar penghitungan suara diberhentikan.

Seketika suasana pun memanas. Adu mulut tarik ulur apakah penghitungan suara dilanjutkan atau tidak tak bisa dielakkan. Untuk mengatasi konflik ini Panitia Pelaksana Pemilihan Umum (P3U) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertindak sebagai penengah mengadakan musyawarah dengan pihak-pihak terkait. Namun, musyawarah itu berjalan dengan alot hingga menyita waktu berjam-jam dengan hasil konflik tidak dapat diselesaikan pada pagi itu juga.

Hasil musyawarah itu adalah penghitungan suara di FITK dilanjutkan pada besok malam (malam pertama Ramadhan). Penghitungan suara yang seharusnya selesai pada malam Rabu, tapi baru selesai pada

malam Kamis. Akibat pengunduran ini, penghitungan kertas suara Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) pun tidak dapat dilaksanakann pada waktu yang telah ditentukan yakni pada (12/09) malam. Namun, baru bisa dihitung pada keesokan harinya.

Selain di FITK, konflik juga terjadi di Fakultas Ushuludin dan Filsafat (FUF) antara PPM dengan PIM. Konflik ini dikarenakan PIM menolak memberikan suaranya kepada PPM. Pasalnya, PPM, Progressive, dan PIM berkoalisi untuk merebut kursi BEM FUF tahun ini. Alasan PIM tidak mau memberikan suaranya adalah karena koalisi dilaksanakan di bawah tangan. Sedangkan PPM tetap mengatakan bahwa PIM berkoalisi dengan PPM, jadi suaranya untuk PPM. Debat dan aksi saling dorong terjadi karena mereka tetap pada pendirian masing-masing. meskipun kontak fisik tak sampai pada tahap keos. Tapi situasi itu bertahan hingga menjelang waktu fajar.

Akhirnya, konflik ini diselesaikan di kantor KPU dengan hasil PIM harus membayar ganti rugi dan meminta maaf kepada PPM.

PPM Pertahankan BEMUDi tingkat Universitas, PPM yang

mengusung Adi M Jhonatan sebagai Capres, berhasil menundukan lawan-lawan politiknya untuk memeganag kembali kursi BEMU. Adi memperoleh 2406 suara disusul Yudi Djenggot dari Parma 2191 suara. Sementara di tempat ketiga ada Burhan dari PIM

dengan 2011 suara, diikuti Yasin dari Partai Boenga 187 suara dan Partai Progresif yang mencalonkan Nu’man Yasir di posisi terahir dengan perolehan suara 89.

Tak seperti di FITK dan FUF, perhitungan suara BEMU berjalan dengan lancar. Meskipun terjadi penggelembungan suara dari beberapa Fakultas. Namun dapat diselesaikan damai dengan membuang acak lebihnya suara tersebut.

Debat Capres 2007Masih dalam rangkaian

Pemira, KPU menggelar debat Calon Presiden (Capres) pada 9 September 2007 di Aula Student Center. Debat Capres di hadiri Syukron Jamal (Presiden BEMU), Adi Rohadi (Ketua DPMU), Trio Hadi Saputro (Ketua KMU), para kandidat dan para kader serta simpatisan partai. Ketua KPU M. Lutfi Tian mengungkapkan “acara ini merupakan refleksi dan pembelajaran bagi mahasiswa mengenai Student Government yang lebih baik serta agar mengetahui siapa Capres yang pantas memimpin Student Government kedepan,” ungkapnya.

Capres PIM, Burhanuddin mengungkapkan akan menjadikan BEM UIN yang berbasis pengabdian dan pelayanan yang bersahabat. “Seorang pemimpin dipilih bukan untuk dilayani tapi harus melayani,” ucapnya. Capres Progressive, Nu’man Yasir mengatakan pihaknya akan mewujudkan Student Government yang bermartabat dan professional, memfasilitasi riset mahasiswa, menekan dana BOP, serta membangun peran strategis BEMU di wilayah Jakarta dan Indonesia agar menjadi pioneer BEM se-

Romantika Pemira 2007

Para kandidat Capres BEMU pada acara debat kandidat Pemira 2007.

Dok. INSTITUT

Pelaksanaan konsep Student Government (SG) yang selama ini berlangsung di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta seolah berada di titik nadir. Hal ini juga diakui oleh Adi M. Jonathan, Presiden BEMU terpilih pada Pemira 2007. INSTITUT berhasil menemuinya pada 24-25 September, setelah beberapa kali melakukan komunikasi melalui sms. Berikut wawancara INSTITUT bersama Ajo di Gedung Pertemuan PMII.Bagaimana perasaan Anda setelah terpilih sebagai Presiden BEMU?Alhamdulillah senang juga haru, ya…semua rasa bercampur aduk jadi satu. Kami (PPM) senang karena berhasil mempertahankan BEM UIN.Apa langkah awal yang akan

Anda lakukan?Sekarang kita akan mempersiapkan pembenahan struktural. Kemudian ada kegiatan-kegiatan, baik dalam bulan Ramadhan ini atau setelah lebaran nanti.B a g a i m a n a b e n t u k kepengurusan BEMU dibawah kepemimpinan Anda?Selain komposisi t e m a n - t e m a n PPM sendiri, ada juga dari partai lain, walaupun jumlahnya lebih sedikit. Dan akan didasari dengan trias politica dimana akan dibentuk lembaga Yudikatif untuk mengawasi kinerja eksekutif dan legislatif. Sehingga SG UIN akan lebih maju kedepan.

Sejauh ini saya lihat SG tidak berjalan sebagaimana mestinya.Tanggapan Anda tentang mahasiswa yang apatis

dengan SG?Itu hak mereka. Tapi marilah sama-sama menjadikannya sebagai pembelajaran politik. Karena di situ ada nilai-nilai moral tertentu yang cuma diketahui oleh diri kita sendiri.Langkah apa yangakan Anda

lakukan untuk memperbaiki SG? Yang sangat penting adalah komunikasi dan konsilidasi antar semua elemen Kampus. Perlu ada pembenahan dari tingkat DPMU, UKM, BEMU, BEMF, dan BEMJ

sehingga tidak terjadi kekecewaan di salah-satu pihak.Apakah Anda siap mengakhiri masa jabatan pada Juni 2008?Secara pribadi saya mengakui siap untuk diturunkan pada bulan Juni. Namun harus diakui bahwa jangka waktu seperti itu sangat kurang untuk memperbaiki dan membenahi SG. Kalau dari pihak rektorat sendiri menginginkan saya menjalankan kepemimpinan selama 365 hari. Tapi itu saya lakukan bagi kemaslahatan bersama dan mengembalikan Pemira seperti sedia kala.Bagaimana pola Mahkamah Mahasiswa yang Anda inginkan?Bagaimana pun redaksi-nya, itu akan kita bentuk. Dan fungsinya untuk mengawasi kinerja DPMU

dan KMU, tapi tak menutup kemungkinan secara tidak langsung akan mengawasi BEMU. Namun hal ini akan dibawa ke dalam kongres terlebih dahulu.Apa ciri khas kepemimpinan Anda nanti?Be my self. Orang mungkin bilang Ajo sudah berubah. Tapi saya tetap Ajo yang dulu. Ajo akan merakyat dan siap berkomunikasi dengan mahasiswa.Apa proyeksi 100 hari pemerintahan Anda?Kami akan mengikuti program BEM se-Nusantara yang akan diadakan di Bengkulu dan Manado. Itu dilakukan untuk menunjukan bahwa BEM UIN Jakarta bisa go nasional bahkan internasional.[SABIR]

nusantara. “Yang pasti saya akan mewujudkan Student Government yang bermartabat dan memfasilitasi riset bagi mahasiswa,” tuturnya.

Sementara Capres PARMA,Yudi “Djenggot” akan memajukan UIN ke kancah nasional dan internasional, memperbaiki hubungan antara UKM, BEMU, BEMF, dan BEMJ, merevisi undang-undang KBM UIN Jakarta, dan menyalurkan aspirasi mahasiswa berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Mahasiswa dan pemimpin hendaknya mampu memberikan kemampuan terbaik kepada UIN dengan sepenuh hati. Jangan tanyakan apa yang UIN berikan kepada kita, tapi tanyakan apa yang kita berikan kepada UIN,” tandasnya.

Sedangkan Capres PPM, Adi M Jonathan mengatakan Student Government yang ada selama ini belum dirasakan maknanya dan belum memberikan kontribusi riil. “Sebagai seorang pemimpin, saya akan berusaha membangun jiwa pergerakan mahasiswa dalam tubuh Student Government yang berbasis agama, nasional, dan internasional yang bermanfaat bagi bangsa, agama, mahasiswa, masyarakat, dan negara nantinya,” ucapnya.

Berbeda dengan kandidat lainnya, Capres Boenga, Nur Yassin menegaskan seorang pemimpin hendaknya merealisasikan visi-misi bukan hanya menjadikannya dalam tataran teoritis belaka. “Visi-misi bullshit kalau hanya dalam tataran teoritis. Visi-misi saya sih tidak muluk-muluk, mengembalikan UIN seperti dulu yaitu UIN yang bermartabat, intelektual, bergerak, dan mengusung demokrasi,” tegasnya. [Sabir, Akhwani]

Terpilih Sebagai Presiden, Ajo Akan MerakyatAdi M. Jonathan: Secara pribadi saya mengaku siap untuk diturunkan pada bulan Juni. Namun harus diakui bahwa jangka waktu seperti itu sangat kurang untuk memperbaiki dan membenahi SG. Kalau dari pihak rektorat sendiri menginginkan saya menjalankan kepemimpinan selama 365 hari. Tapi itu saya lakukan bagi kemaslahatan bersama dan mengembalikan Pemira seperti sedia kala.

Presiden BEM UIN Jakarta terpilh Adi M Jhonatan

Wawancara

Page 10: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 2007OPINI6

Pertama kali menginjakkan kaki di UIN Syarif Hidayatullah tercium aroma kebahagiaan. Bagaimana ti-

dak, suatu prestise tersendiri bisa masuk dalam lingkungan Keluarga Besar Ma-hasiswa (KBM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta . Sebuah Universitas yang mem-punyai wacana intelektual yang tinggi.

Tapi di satu sisi sebagai mahasiswa baru, pada saat itu bisa dikatakan masih buta terhadap peta kampus. Masih meraba dalam kegelapan tentang kegiatan yang bersifat intra maupun ekstra. Misalnya tentang bagaimana menyalurkan bakat yang dimiliki, hal ini terkadang merupakan kesulitan tersendir dan harus bertanya-tanya pada senior/ma-hasiswa yang lebih dulu bertualang di rimba UIN Jakarta. Oleh karena itu diperlukannya pengenalan organisasi intra ini adalah pe-

nyaluran bagi mahasiswa baru yang mem-punyai bakat dan minat yang terpendam.

Mahasiswa baru bisa dikatakan hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh para senior-senior di fakutasnya. Se-bab mereka belum benar-benar mema-hami seluk-beluk dunia kemahasiswaan.

Hal itulah yang harus menjadi acuan penting, bahwa tidak bisa mengor-bankan hak untuk mengetahui segala yang ada dalam babak baru yang mereka jalani. Mahasiswa baru bisa dianalogikan seb-agai seorang yang dihadapkan sebuah jalan yang bercabang-cabang. Para pendahulunya (mahasiswa lama) harus memberi petunjuk dengan objektif ke mana saja cabang-ca-bang jalan itu akan bermuara. Mereka harus dijadikan media kritis, jangan dibuat men-jadi kambing conge yang hanya mengikuiti

apa yang dikatakan para senior-seniornya. Bukan menafikan mereka tidak

mempunyai kapabilitas, tapi siapa dan bagaimana para pendahulu mengasah ke-mampuan yang sudah ada di dalam diri

Episode Baru KehidupanOleh : Tio Zulfan Amri, mahasiswa semester VII Aqidah Filsafat FUF UIN

Gelombang demokratisasi yang terjadi di dunia sekarang ini, telah merasuk ke dalam kehidupan kita, baik

pada level politik internasional maupun di tingkat instistusi terkecil yaitu keluarga dan individu. Demokrasi bukan lagi dibicarakan di gedung-gedung parlemen dunia oleh para politikus an sich, tapi juga di warung-warung kopi oleh tukang becak. Ahli politik senior Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, telah membeberkan panjang lebar tentang proses ini dalam bukunya yang terkenal, yaitu The Third Wave : Democratization in The Late Twentieth Century (1991). Bahkan menurut Fareed Zakaria, ada sekitar 119 negara dari 192 negara atau 62 % dari seluruh Negara di dunia yang menggunakan demokrasi sebagai sebagai bentuk pemerintahannya.

Arus Demokrasi dan Student Government

Sejak tahun 1999, virus demokrasi tak ketinggalan merasuki dunia aktivisme di kampus kita. Ada semacam kesadaran dari sivitas akademika UIN (dulu IAIN) untuk menggunakan demokrasi sebagai sistem pemilihan. Kesadaran tersebut muncul karena tiga alasan. Pertama, kesadaran akan pentingnya demokrasi sebagai the best political sistem, setidaknya untuk saat ini. Kedua, perubahan konstelasi politik dalam Negara yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kebebasan berekspresi di Universitas. Pengalaman 32 tahun di bawah rezim Soeharto adalah pelajaran berharga, di mana kebebasan telah diperkosa dan public sphere telah menjadi alat dominasi indoktrinasi terhadap masyarakat dan mahasiswa. Ketiga, arus globalisasi yang dicirikan dengan pelimpahan informasi tak terbatas menyebabkan dunia menjadi tak terkendali. Dunia digambarkan seperti sebuah truk tronton besar yang oleng dan uncontroled. Anthony Giddens menyebutnya dengan istilah run away world. Berkat arus globalisasilah sebenarnya Uni Soviet runtuh.

Di sisi lain, Amerika Serikat yang mengusung ide demokrasi liberal kapitalistik semakin dilirik dunia internasional. Hal ini dimungkinkan karena demokrasi dapat bertahan dan berdialektika dengan perkembangan teknologi. Di samping itu, sifatnya yang terbuka terhadap perkembangan informasi membuat demokrasi semakin kokoh mengalahkan sistem komunis yang

menekankan dominasi terhadap masyarakat dengan pembatasan terhadap informasi. Dalam situasi inilah sebenarnya tesis Fukuyama tentang kemenangan Demokrasi Liberal sebagai The final form of human government mendapat tempat yang tepat.

Tapi sayangnya, berbagai negara di dunia tersebut demokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat kebebasan. Kesimpulan tersebut diperoleh Fareed Zakaria dalam bukunya the Future of Freedom sebagai bantahan terhadap tesis Fukuyama dan Huntington yang terlalu optimis dengan masa depan demokrasi. Demokrasi justru mengarah pada liberal democracy. Demikian ungkap Zakaria. Kemudian, bagaimana dengan kampus kita ?

Barbaric DemocracyFenomena tersebut juga merambah dalam

proses demokrasi di kampus ini. Dalam perkebangannya, setelah bereksperimen selama delapan tahun, demokrasi kampus atau student government masih sebatas acara Pemilu Raya tahunan. Tapi belum membentuk kesadaran pentingnya nilai-nilai demokrasi dalam mahasiswa. Sehingga demokrasi yang terjadi adalah demokrasi tanpa kaum demokrat. Lebih konyolnya lagi, bukan hanya sekedar tanpa kaum demokrat tapi juga mengarah pada barbarism democracy atau demokrasi barbarisme.

Ada beberepa indikasi bahwa demokrasi kampus UIN ini menjadi barbaric democracy. Pertama, show force yang lebih menonjolkan kekuatan masa dari pada intelektual. Setiap tahun pengerahan masa dalam Pemira semakin meningkat. Hal tersebut tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kesadaran akan etika-etika demokrasi. Massa, menurut Gustave Lebon,

Menuju Demokrasi BarbarOleh : Ginanjar NugrahaAktivis Formaci dan LDK FUF UIN Syahid

adalah irasional. Sehingga pengerahan massa yang besar berpotensi untuk mengarah pada tindakan kekerasan dan juga bentrokan dengan kelompok lain.

Kedua, pengerahan massa yang masif tanpa manajemen yang baik cenderung mengarah pada tindakan anarkis. Dari pengalaman beberapa Pemira yang penulis alami, kecenderungan tersebut hampir tiap tahun terjadi. Misalnya kampanye dengan menggunakan motor secara ugal-ugalan. Kampanye tidak pantas lagi dilakukukan oleh golongan intelektual seperti mahasiswa. Selalu terjadi setiap tahun dalam pemira. Tindakan anarkis tersebut baik berupa fisik atau teror terhadap lawan politik. Bahkan tidak jarang ada aksi pemukulan terhadap mahasisawa yang dilakuakan oleh oknum mahasiswa yang lain.

Ketiga, kampanye dilakukan di berbagai tempat yang bukan semestinya. Sehingga mengganggu kepentingan publik yang lain, seperti proses belajar mengajar dan ketertiban dii kampus. Kenyataannya, kampanye banyak dilakukan di jantung setiap fakultas. Misalnya dengan teriakan yel-yel dan juga orasi dengan menggunakan sound sistem suara keras. Seharusnya kampanye dilakukan ditempat yang terbuka atau ruang publik yang tidak mengganggu aktivitas publik yang lain. Misalnya dilakukan hanya di lapangan SC atau atau lapangan bola Kampung Utan.

Keempat, waktu kampanye yang kebablasan. Perlu ada pembatasan terhadap waktu kampanye. Supaya tidak bentrok dengan waktu kuliah maupun mengganggu kepentingan proses perkuliahan. Misalnya, kampanye boleh dimulai sesudah dzuhur. Karena waktu pagi adalah waktu produktif untuk belajar mengajar.

Kelima, kampanye menjadi ajang untuk saling mengejek dan menjelekan. Sehingga terkesan seperti kampanye anak TK dari pada mahasiswa yang dewasa. Keenam, kampanye cenderung menjadi menjadi ajang penghamburan uang. Coba saja anda tanya kepada beberapa calon yang anda kenal berapa biaya untuk mencalonkan diri. Mungkin anda akan takjub betapa besar biaya yang dikeluarkan hanya untuk mencalonkan diri. Hitung berapa calon presiden dari berbagai jurusan, berbagai fakultas dan juga calon untuk presiden BEMU. Kemudian ditambah dengan pengeluaran partai dan sumbangan dari berbagai jaringan masing-masing partai. Saya yakin, akan terkumpul ratusan juta rupiah. Coba kalau disumbangkan untuk kegiatan sunatan masal atau nikah gratis dikampus. Uang senilai tersebut akan lebih bemanfaat.

Ketujuh, demokrasi masih hanya sekedar euporia dan pawai-pawai yang tidak beraturan. Sebagai generasi intelektual, seharusnya kampanye lebih diarahkan pada acara yang dialogis, diskursif dan rasional. Mahasiswa harusnya jadi cermin masyarakat dalam berdemokrasi, bukannya kita yang mengkuti masyarakat awam. Apalagi hasil survey terakhir LSI, khususnya dalam Pilkada Jakarta, kebanyakan masyarakat Jakarta kurang setuju terhadap kampanye secara masal dan lebih menginginkan cara kampanye debat, diskusi dan pemaparan visi dan misi dalam media elektronik maupun cetak.

Arus gobalisasi ternyata membawa pengaruh terhadap perubahan paradigma berpikir masyarakat. Termasuk didalamnya adalah proses rasionalisasi masyarakat. Proses tersebut harus dipahami sebagai sebuah proses yang panjang. Dan masyarakat Indonesia, berada dalam proses dialektis itu. Karena rational society merupakan salah satu pilar demokrasi. Mahasiswa merupakan ujung tombak penegak demokrasi, dengan kekuatan intelektual dan strata ekonominya. Mahasiswa bisa independen dan menjadi penegak dan pembela demokrasi yang harus selalu membuka diri terhadap perubahan dan melakukan otokritik. Jangan sampai menjadi barbaric intelektual yang mengarahkan demokrasi kampus ini menuju barbaric democracy atau mungkin juga menjadi democrazy. Wallahu’alam[]

mahasiswa baru. Memberikan kebebasan tanpa pretensi-pretensi terselubung.[]

Dok. INSTITUTDok. INSTITUT

Suasana Kampanye Partai Politik Kampus

Page 11: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 2007PUSTAKA 7

Ada fenomena menarik yang terjadi di Jurusan KI-Manajemen Pendidikan

(MP). Pasalnya, mahasiswa mengalami kegelisahan studi di Jurusan ini. Kegelisahan mahasiswa tersebut muncul karena beberapa faktor seperti, kurikulum yang belum baku, kompetensi dan status Jurusan dilematis, tidak marketable serta faktor lainnya. Kegelisahan itu ternyata tidak hanya dirasakan atau dialami mahasiswa tingkat akhir an sich, tapi juga mahasiswa tingkat bawah seperti tingkat dua dan tiga. Implikasi dari hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi psikologis mahasiswa dalam menjalankan studinya. Mahasiswa takut masa depannya ngawur dan tak punya arah yang jelas mau kemana nanti setelah lulus.

Melihat realita dan fenomena yang terjadi pada mahasiswa MP bisa dikatakan bahwa masa depan mahasiswa MP selalu dibayang-bayangi ketidakpastian di tengah persaingan yang sangat ketat saat ini. Kegelisahan dan kecemasan yang sedang dialami mahasiswa MP ini merupakan hal yang wajar dan perlu segera dicari solusinya oleh para pengambil kebijakan. Dengan harapan fenomena ini tidak terjadi berlarut-larut. Sebab apabila ini berkelanjutan maka akan berdampak negatif bagi masa depan jurusan dan mahasiswa serta pihak lain yang terlibat di dalamnya.

Saya menghimbau kepada kawan-kawan mahasiswa agar mendesak para pengambil kebijakan untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan di jurusan ini. Sebab kita bukanlah boneka atau kelinci percobaan yang dapat dipermainkan seenaknya saja oleh para pemegangnya. Meskipun dalam keadaan dilematis, namun kita harus tetap semangat dan punya sikap percaya diri. Sebab apa yang sedang terjadi di MP, dialami pula mahasiswa di jurusan lain.

Bagaimana pun keadaan sekarang, kita harus tetap mempunyai jiwa optimis yang kuat untuk dapat berkompetisi dengan mahasiswa lain. Sebab ada beberapa mahasiswa kita yang telah berhasil berkompetisi baik di dalam maupun luar kampus. Sebut saja Faisal Anwar (Presiden BEM UIN 2004), Sykuron Jamal (Presiden BEM UIN 2007), dan Lulu El-Maknuni (Novelis) serta senior lain yang telah sukses di dunia kerja.

Ada satu hal yang perlu di ingat oleh kawan-kawan mahasiswa MP dan mahasiswa lainnnya, jangan pernah menggantungkan dan mensakralkan masa depan kita kepada Jurusan. Sebab Jurusan bukanlah satu-satunya jalan atau penentu untuk mencapai puncak atau cita-cita yang akan kita gapai, melainkan hanya salah satu alat untuk mencapai puncak tersebut.

Kesuksesan seseorang bukan hanya ditentukan oleh faktor Jurusannya selama kuliah, tapi tidak dapat dinafikan Jurusan juga menentukan masa depan. Rupanya kita harus mengingat kembali pepatah “Banyak jalan menuju Roma”. Pepatah tersebut berarti banyak jalan atau cara untuk meraih kesuksesan dan masa depan yang tidak dilematis asalkan mau bekerja keras dan belajar dengan keras pula.

Alangkah baiknya apabila ingin menjadi orang yang sukses di masa mendatang maka mencari ilmu, pengalaman, dan belajar tidak hanya di Jurusan belaka, tapi juga di luar bangku kuliah seperti di organisasi dan tempat lainnya. Ingat kawan, masa depan kita tidak sepenuhnya berada di tangan Jurusan melainkan berada di tangan kita masing-masing. Bravo MP!!!

gelora�sivitas

Mahasiswa MP Harus Optimisoleh : Akhwani Subkhi Pemred Jurnal INSTITUT, Mahasiswa Manajemen Pendidikan FITK

Ketegangan sekterian di dunia Islam, menguatkan ke-beradaan Islam yang masih belum bisa dinikmati bersama. Melampaui sekadar kepentingan politis, perseteruan an-

tara Syi’ah-Sunni-Kurdi atau Hamas-Fatah di Palestina tampak-nya meninggalkan suatu kesan tersendiri atas “kebisuan” agama. Menyaksikan semua itu kritikus agama seperi Wilferd C. Smith (1963), kembali harus mengingatkan kita tentang sebuah peng-hayatan makna, bahwa agama akan menemukan tempat di hati ma-nusia ketika ia dipahami sebagai iman yang terus hidup dan vital.

Setidaknya gejala itu terlihat jelas, ketika menelusuri proses kooptasi manusia atas pesan-pesan suci agama. Bagaimana Islam

Menggugat Puritanisasi IslamOleh : Muhammad Ismail*

mendapat sentuhan penafsiran dari beberapa aliran yang oleh Khaled Abou M. El-Fadl digambakan dengan pergulatan pemikiran antara muslim moderat dan muslim puritan. Keduanya sama-sama memiliki konstribusi besar terhadap pergolakan Islam kontemporer.

Kemunculan kaum puritan bererat-kait dengan gerakan Wahhabisme pada abad ke-18. Disadari atau tidak gerakan ini telah banyak menciderai ajaran fundamental Islam. Pesan-pesan suci dimaknai dengan penuh ambisius dan tanpa kompromi. Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, pendiri Islam Wahhabi mengklaim umat muslim pada umumnya telah banyak melakukan pengerusakan terhadap ajaran fundamental Islam. Sebagai akibatnya, kita harus mengembalikan ajaran-ajaran Qur’ani secara absolut, tanpa pandang bulu.

Puritanisme yang didominasi oleh kecendrungan emosi spritual menawarkan pendekatan-pendektan sosial yang jauh lebih konservatif. Sehingga yang lahir bukannya sebuah pembelaan kebenaran iman, bahkan tanbah mengkaburkan pemaknaan agama atas nama otoritarian dan emosi individu.

Dalam rangka memuluskan perjuangan Islam puritan, Wahhabisme tak segan-segan “menggauli” Islam salafi yang sebenarnaya memiliki banyak perbedaan. Salafi bersifat lentur, fleksibel, dan memiliki kecenderungan natural, sedangkan wahhabi sangat puritanis. Akan tetapi dengan “penguasaan”nya terhadap teks, semuanya berjalan seakan tanpa beban agama.Selamatkan Islam

Melampaui kegamangan menyikapi persolan di atas, Khaled M. Abou El-Fadl masih meyakini adanya secercah optimisme untuk menghidupkan kembali humanisme Islam yang diyakini dapat menampung beragam perbedaan. Adalah Islam moderat yang dipandang oleh Khaled dapat mendamaikan antara paham puritanis, modernis, liberalis serta paham lainnya dalam Islam. Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan merupakan bentuk konsistensi Khaled Abou El-Fadl pada pemikiran moderatnya. Moderat merupakan paham mayoritas muslim dunia yang selama ini sedang mengalami kebisuan (silent majority). Padahal sejatinya moderat memiliki kekuatan besar dalam mendamaikan “perebutan tempat” di antara aliran-aliran Islam.

Jika menelaah secara kritis atas narasi yang dibangun, Khaled sebenarnya merupakan bagian dari pengagum hermeneutika Barat. Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan menghantarkan pembaca bagaimana sebuah teks harus mengalami “pendewasaan” makna dengan membawanya pada sejarah masa lampau kemudian mengembalikan pada konteks kekinian. Dengan pendekatan sedemikian, keberadaan iman dalam Islam dapat pula dirasakan dalam perkembangan politik kontemporer.

Buku ini menempatkan kepentingan politik tanpa arah sebagai salah satu faktor yang membiaskan pesan suci agama. Pada prinsipnya kemunculan Wahhabisme—puritanisme, salafisme didorong oleh kekhawatiran yang berlebihan terhadap ajaran Islam. Akan tetapi selanjutnya, aliran ini juga memiliki pandangan tersendiri terhadap kepentingan politik kekuasaan. Kaum puritanis yang menafsirkan teks tanpa kompromi, kerap kali mencampur adukkan antara agamisme yang mereka elu-elukan dengan kepentingan politik primordial. Ironisnya, “tafsir tanpa ampun” tersebut kerap kali membawa kekerasan sebagai bentuk penyelamatan ajaran Islam. Sehingga tak jarang meninggalkan

pencitraan negatif terhadap Islam. Reformasi Iman

Sebenarnya ruang pembeda antara moderat-puritan adalah berpusat pada konsepsi keyakinan. Bangunan keyakinan tersebut diklaim sebagai kebenaran sejati. Bagi Islam moderat, keyakinan dibiarkan bereformasi bersama makna-makna sosial. Menganggap perbedaan sebagai kekuatan bukan ancaman, anti absolutisme, Bersikap kompromi. Dan mendukung keharmonisan hubungan antar agama-agama dunia sebagai bagian humanisme Islam. Berbeda dengan keyakinan puritanis. Ia beranggapan hanya kembali pada ayat-ayat Qur’ani, manusia akan terselamatkan

dari kehancuran. Eksklusfisme keyakinan jelas melekat dalam tubuh kelompok ini.

Akan tetapi pergulatan seperti ini justeru menyadarkan muslim moderat untuk mewujudkan agenda reformasi keyakinan Islam yang tertunda. Walaupun terdapat banyak perbedaan, antara muslim puritan dan muslim moderat sebenarnya sama-sama memiliki kebenaran keyakinan. Pada titik tekan demikian Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan meyakini adanya ruang untuk mendamaikan konfrontasi pemikiran. Kebangkitan kekuatan “silent majority” pada gilirannya akan memperluas horison transformasi.

Dibutuhkan kecerdasan memahami makna agama pada konteks keimanan. Agama tidak saja mencerminkan sejauh mana keyakinan keberagamaan tertuang di kedalaman sosial, melainkan akan menjadi referensi masyarakat dunia untuk menemukan kebenaran keyakinan. Karena agama bukanlah merupakan komoditas eksklusif, reformasi kebenaran iman akan mencairkan semua bentuk penyederhanaan

makna agama itu sendiri. Khaled menyadari bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh umat muslim saat ini terletak pada konsepsi iman. Puritanis cenderung bertindak keras, karena tidak membiarkan iman terus bereformasi dengan keterbukaan pikiran.

Sebaliknya muslim moderat, dengan ketekunannya meletakkan iman sebagai konsepsi transformasi sosial dan memiliki keluasan ide, maka mereka lebih memilih kedamaian, fleksibelitas serta menerima gejala perubahan sosial. Namun demikian, buku ini kembali mengungkapkan persoalan baru di tengah potensi muslim moderat. Dalam penyelamatan itu, kekuatannya berada juah di bawah muslim puritan. Sehingga Khaled menyebut golongan ini dengan muslim silent majority.

Untuk itu, dalam mewujudkan moderatisme, muslim moderat harus bisa memanfaatkan ekstrimisme, sekularisme progresifisme serta bentuk-bentuk pemikiran yang lain dengan penuh bijaksana. Kalau muslim puritan lebih mengagumi kekerasan, maka muslim moderat harus lebih keras menyuarakan reformasi kedamaian.

Sebagaiman Islam bersifat fleksibel, modernitas harus bisa masuk ke seluruh segmentasi sosial. Tidak menutup kemungkinan, demokratisasi dan hak asasi manusia mengikutkan gerak perjuangan muslim moderat. Berdasarkan hak dasar individu dalam mendapatkan perlindungan secara konstitusional, demokrasi adalah salah satu mediasi menumbuh kembangkan fleksibelitas tersebut, dan arus reformasi. Segala kekerasan atas nama aliran atau kelompok primordial, bukanlah bagian ajaran Islam sebenarnya. Sementara menghormati suara kebanyakan berarti bergerak menguatkan perdamaian.

Memahami makna agama bukanlah ilusi dalam ide-ide. Menikmati keindahan beragama menuntut lahirnya kesadaran iman dari setiap individu yang tak perlu dipaksakan. Dan dibutuhkan sebuah kedewasaan dari dalam manusianya. Setidaknya kita akan menemukan keteduhan dalam beriman dengan membangun sebuah kesepakatan untuk berdamai secara berjamaah. Dengan mengikutkan kontrol kesadaran.

*Penikmat literatur-literatur kiri, saat ini aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).

[email protected].

LPM INSTITUT

Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1428 H Minal Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Moh. Hanifudin Mahfuds(Pemimpin Umum)

Page 12: Tabloid Institut gitu loooh

EDISI IV Oktober / XXII/ 200712 IKLAN