TABLOID INSTITUT EDISI 17

16
Edisi XVII/Maret 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Muhammad Umar Pada 27 Januari lalu, Direktorat Jenderal Pen- didikan Tinggi (Dikti) mengeluarkan surat edar- an bernomor 152/E/T/2012 mengenai publika- si jurnal ilmiah untuk mahasiswa. Awalanya, publikasi karya ilmiah akan dijadikan syarat kelulusan yang berlaku Agustus 2012. Namun, seiring banyaknya kritik dari berbagai pihak, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan bahwa kebijakan ini menjadi anjuran kepada perguruan tinggi (PT) dan bukan kewajiban. Terkait dengan anjuran itu, Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik Moh. Matsna mengatakan, karena kebijakan ini cuma berupa anjuran, maka UIN jakarta juga ikut menganjurkan mahasiswa untuk menulis.”Jurnal itu akan menjadi nilai tam- bah untuk sarjana S1, S2, dan S3,” katanya. Perkataan serupa juga disampaikan oleh Rusydi Zakaria, Kepala Jurusan (Kajur) Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tar- biyah dan Keguruan (FITK). Ia menilai, substansi kebijakan ini bagus, tetapi kebi- jakan ini belum pas apabila dilaksanakan di UIN jakarta untuk saat ini karena terdapat banyak kendala yang harus dibenahi. Adapun kendalanya ialah UIN jakarta belum mempunyai wadah yang cukup un- tuk menampung karya ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa. “Katakan kita punya ma- hasiswa 20.000 dan yang lulus sekitar 4000, berapa jurnal yang dibutuhkan kalau satu jurnal memuat delapan sampai sepuluh tulisan. Bayangkan kalau 4000. Jadi, 4000 jurnal kan,” papar Rusydi saat ditemui IN- STITUT di ruangannya, (9/3). Rusydi menuturkan, beberapa kendala lain yang dihadapi UIN Jakarta ialah masih kurangnya budaya menulis dan diskusi, infrastruktur yang kurang memadai, dana yang minim, dan kurangnya sumber daya manusia yang bisa mengelola jurnal ilmiah dengan baik. Tidak hanya mengelola hal teknis, namun punya kamampuan untuk merancang isu-isu yang menarik. “Saya kira butuh waktu 3 tahun untuk menyiapkan itu,” katanya. Ada tahapan un- tuk menerapkan itu, menurut Rusydi, Bersambung ke hal. 15 kol.2 Halaman 4 Halaman 2 Halaman 7 •Laporan Utama UIN Belum Persiapkan Infrastruktur Jurnal Mahasiswa •Laporan Khusus Dana Kesehatan Kurang, Dana Kemahasiswaan pun Dipakai Minim Persiapan Kebijakan kontroversial dari Kemendik- bud mengenai jurnal ilmiah masih terom- bang-ambing sampai saat ini. Entah mau tetap menjadi kewajiban, atau sekadar an- juran. Terlepas dari itu semua, selayaknya UIN menyambut baik sekaligus positif ter- hadap kebijakan itu. Menyoroti pihak UIN mengenai respon maupun persiapan infras- truktur, kita harus menggelengkan kepala. Mulai tanggapan rektorat yang menge- sankan dingin terhadap kebijakan itu, seakan-akan ada ketidakpedulian dalam menyejukan tradisi intelektual kita yang semakin kemari, semakin kering. Pada- hal kita semua sudah sadar akan haus- nya intelektualitas, tapi dalam penge- jawantahannya, dibiarkan begitu saja. Persoalannya tak sebatas ‘kuanti- tas dahulu baru kemudian kualitas’, tapi soal pembiasaan dalam menulis, meneliti, dan menerbitkan jurnal il- miah. Ketika mahasiswa mulai terbiasa melakukan itu, pelaksanaan jurnal il- miah menjadi hal biasa. Dan budaya intelektual kita niscaya semakin sejuk. Bahkan minimnya alokasi dana kem- bali mengesankan kegamangan akan apa yang dituju universitas sekaliber UIN. Bangunan besar tidak diimbangi dengan respon baik untuk menguatkan intelektualitas mahasiswa. Apa cuma mau menunjukan kepongahan saja? Sedangkan isi kepala mahasiswa diko- songkan? Kita berharap semoga tidak. Menyoroti kebijakan ini memang tak bisa dilihat hanya dari satu sisi, lihat positif maupun negatifnya. Tetapi me-nge- nai respon yang dingin beserta persiapan yang minim dapat mengesankan belum adanya i’tikad baik dalam me-ningkat- kan kualitas otak-otak mahasiswa UIN. Kita harus cepat-cepat mengubahnya. •Pustaka Melihat Sisi Lain dari Ganja Halaman 13 Wawancara Rusydi Zakariya Persiapan Jurnal Ilmiah Butuh Tiga Tahun ILUSTRASI: HILMAN/INSTITUT Persiapan Jurnal Mahasiswa UIN Dipertanyakan

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 17

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 17

Edisi XVII/Maret 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Editorial

Muhammad Umar

Pada 27 Januari lalu, Direktorat Jenderal Pen-didikan Tinggi (Dikti) mengeluarkan surat edar-an bernomor 152/E/T/2012 mengenai publika-si jurnal ilmiah untuk mahasiswa. Awalanya, publikasi karya ilmiah akan dijadikan syarat kelulusan yang berlaku Agustus 2012. Namun, seiring banyaknya kritik dari berbagai pihak, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan bahwa kebijakan ini menjadi anjuran kepada perguruan tinggi (PT) dan bukan kewajiban.

Terkait dengan anjuran itu, Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik Moh. Matsna mengatakan, karena kebijakan ini cuma berupa anjuran, maka UIN jakarta juga ikut menganjurkan mahasiswa untuk menulis.”Jurnal itu akan menjadi nilai tam-

bah untuk sarjana S1, S2, dan S3,” katanya.Perkataan serupa juga disampaikan oleh

Rusydi Zakaria, Kepala Jurusan (Kajur) Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tar-biyah dan Keguruan (FITK). Ia menilai, substansi kebijakan ini bagus, tetapi kebi-jakan ini belum pas apabila dilaksanakan di UIN jakarta untuk saat ini karena terdapat banyak kendala yang harus dibenahi.

Adapun kendalanya ialah UIN jakarta belum mempunyai wadah yang cukup un-tuk menampung karya ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa. “Katakan kita punya ma-hasiswa 20.000 dan yang lulus sekitar 4000, berapa jurnal yang dibutuhkan kalau satu jurnal memuat delapan sampai sepuluh tulisan. Bayangkan kalau 4000. Jadi, 4000

jurnal kan,” papar Rusydi saat ditemui IN-STITUT di ruangannya, (9/3).

Rusydi menuturkan, beberapa kendala lain yang dihadapi UIN Jakarta ialah masih kurangnya budaya menulis dan diskusi, infrastruktur yang kurang memadai, dana yang minim, dan kurangnya sumber daya manusia yang bisa mengelola jurnal ilmiah dengan baik. Tidak hanya mengelola hal teknis, namun punya kamampuan untuk merancang isu-isu yang menarik.

“Saya kira butuh waktu 3 tahun untuk menyiapkan itu,” katanya. Ada tahapan un-tuk menerapkan itu, menurut Rusydi,

Bersambung ke hal. 15 kol.2

Halaman 4

Halaman 2

Halaman 7

•Laporan Utama UIN Belum Persiapkan Infrastruktur

Jurnal Mahasiswa

•Laporan Khusus Dana Kesehatan Kurang, Dana Kemahasiswaan pun Dipakai

Minim PersiapanKebijakan kontroversial dari Kemendik-bud mengenai jurnal ilmiah masih terom-bang-ambing sampai saat ini. Entah mau tetap menjadi kewajiban, atau sekadar an-juran. Terlepas dari itu semua, selayaknya UIN menyambut baik sekaligus positif ter-hadap kebijakan itu. Menyoroti pihak UIN mengenai respon maupun persiapan infras-truktur, kita harus menggelengkan kepala.

Mulai tanggapan rektorat yang menge-sankan dingin terhadap kebijakan itu, seakan-akan ada ketidakpedulian dalam menyejukan tradisi intelektual kita yang semakin kemari, semakin kering. Pada-hal kita semua sudah sadar akan haus-nya intelektualitas, tapi dalam penge-jawantahannya, dibiarkan begitu saja.

Persoalannya tak sebatas ‘kuanti-tas dahulu baru kemudian kualitas’, tapi soal pembiasaan dalam menulis, meneliti, dan menerbitkan jurnal il-miah. Ketika mahasiswa mulai terbiasa melakukan itu, pelaksanaan jurnal il-miah menjadi hal biasa. Dan budaya intelektual kita niscaya semakin sejuk.

Bahkan minimnya alokasi dana kem-bali mengesankan kegamangan akan apa yang dituju universitas sekaliber UIN. Bangunan besar tidak diimbangi dengan respon baik untuk menguatkan intelektualitas mahasiswa. Apa cuma mau menunjukan kepongahan saja? Sedangkan isi kepala mahasiswa diko-songkan? Kita berharap semoga tidak.

Menyoroti kebijakan ini memang tak bisa dilihat hanya dari satu sisi, lihat positif maupun negatifnya. Tetapi me-nge-nai respon yang dingin beserta persiapan yang minim dapat mengesankan belum adanya i’tikad baik dalam me-ningkat-kan kualitas otak-otak mahasiswa UIN. Kita harus cepat-cepat mengubahnya.

•Pustaka Melihat Sisi Lain dari Ganja

Halaman 13

•Wawancara

Rusydi ZakariyaPersiapan Jurnal Ilmiah

Butuh Tiga Tahun

ILU

STRA

SI: H

ILM

AN

/IN

STIT

UT

Meski Terkendala Jurnal Tetap Dianjurkan

Persiapan Jurnal Mahasiswa UIN Dipertanyakan

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 17

Rasanya sudah dua bulan lebih kita larut dalam liburan yang tentu saja meny-enangkan. Di saat liburan pun kami yang juga sebagai manusia biasa terperanjat dalam jurang kebahagiaan. Adakalanya manusia serius, ada pula saat-saat harus santai. Yah, mungkin dengan kopi plus rokok lebih mantap.

Barangkali kita menyadari, segudang masalah kehidupan baik dari diri kita ataupun negara ini selalu melumatkan alam pikiran positif. Makanya, tak ada salahnya jika berhenti sejenak beraktivi-tas, merentangkan pikiran ke dalam re-alitas, lalu melakukan perenungan. Tapi, tanpa embel-embel merenungi realita, mungkin ada benarnya lagunya Bondan Fade 2 Black, Ya Sudahlah. “Apapun yang terjadi, ku ‘kan selalu ada untukmu”.

Masyarakat Indonesia sebagai kesatuan pelbagai etnis akan selalu ada di negera ini. Entah karena alasan sayang atau su-sah keluar. Mau hancur atau tidak, kita akan tetap di sini, untuk membangun, bu-kan untuk menyerah pada nasib.

Memang nasib negara yang kian ter-puruk ini sering terlihat di televisi atau mungkin masalah serupa malah ada di kampus ini sendiri. Meski demikian, op-timisme yang tertata dengan baik, tentu akan membangun konstruksi masyarakat yang ideal dan kita idam-idamkan. Se-perti halnya kampus ini yang katanya akan hendak “berkemas-kemas” menuju universitas yang berkualitas, dengan pe-sawat Jurnal Ilmiah. Namun, pesawat ini tak mampu mengudara tinggi, sebab me-sinnya bisa dikatakan jadul. Kalau sudah begini, muncul satu pertanyaan, “mam-pukah kampus UIN Jakarta memperbaiki pesawat itu?” Tinggal baca saja.

Salam Redaksi

Edisi XVII/Maret 2012LAPORAN UTAMA2

UIN Belum Persiapkan Infrastruktur Jurnal Mahasiswa

tan jurnal bisa berjalan,” pekiknya.Jajat berkata, sejatinya jurnal haruslah dibuat

oleh perkumpulan atau organisasi yang ahli di bidang tersebut, bukan untuk mahasiswa yang belum mampu. Karena untuk membuat jurnal dibutuhkan waktu sekitar satu tahun.

Di lain pihak, Ahmad Gunaryo, Purek Bi-dang Akademik IAIN Walisongo Semarang menjelaskan, pihaknya sudah mempersiapkan infrastruktur. “Hanya tinggal menunggu maha-siswanya saja, sudah siap menulis atau tidak.”

Hal yang sama diungkapkan Yonny Koes-maryono selaku Purek 1 Bidang Akademik Institut Pertanian Bogor (IPB). Bahkan, pihak mereka sudah mempersiapkannya sejak lama sebelum surat edaran kewajiban membuat jur-nal turun.

Untuk saat ini, IPB sedang menyiapkan infrastruktur untuk jurnal online. Kemudian, untuk jurnal cetak, mereka sedang berusaha menghidupkan kembali karena sebelumnya IPB sudah memiliki jurnal cetak. “Hanya saja mati suri,” jelasnya saat dihubungi via telepon. “Dan hanya satu yang sedang ditunggu, yaitu siapa yang mau mengerjakan,” lanjutnya.

Surat edaran yang dikeluarkan Direktorat Jen-dral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) (27/1) ten-tang kewajiban memasukkan karya tulis ilmiah ke jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan S1, mengun-dang banyak polemik. Salah satunya terkait kesia-pan fasilitas.

“Belum ada persiapan apa-apa untuk pe-nerapan surat edaran tersebut. Selain itu, be-lum ada peraturan pokok untuk penerapan-nya,” ujar Moh. Matsna, Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik, sembari duduk santai di sofa berwarna coklat dalam rungan-nya.

Matsna mengatakan, bukan hanya UIN Jakarta, perguruan tinggi lainnya seperti Uni-versitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) pun belum siap. “Lagi pula, su-rat edaran itu hanya berupa anjuran. Dan bagi yang membuat, maka akan menjadi nilai plus bagi mahasiswa yang memasukkan karya ilmi-ahnya ke dalam jurnal. Jadi, infrastruktur bisa diusahakan kalau jurnal ilmiahnya sudah ban-yak,” paparnya.

Matsna menjelaskan bahwa fasilitas di sini sudah cukup banyak dibandingkan dengan yang lain. Salah satunya perpustakaan yang

cukup memadai. Ia malah mempertanyakan kembali para mahasiswa, “Mereka mau atau tidak membuat jurnal ilmiah.”

Terkait ketidaksiapan infrastruktur, Rusydi Zakaria, Ketua Jurusan (Kajur) Manajemen Pendidikan (MP) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) berkomentar, masalah in-frastruktur itu lebih disebabkan karena belum adanya visi yang kuat dari pihak universitas sendiri.

Sementara itu, Dekan Fakultas Dirasat Is-lamiyah (FDI) Abudin Nata menyatakan, ia belum mengetahui secara persis rincian su-rat edaran tersebut. Namun, jika diterapkan, UIN sudah memiliki jurnal, seperti jurnal Al-Ahkam dan Studia Islamika. Dengan fasilitas penerbitan UIN, namun mesti diperkuat lagi ketentuannya agar kualitas jurnal yang nanti akan diterbitkan tidak menurun.

Jajat Burhanuddin selaku Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Jakarta memaparkan, pihaknya pun belum mempersiapkan apa-apa. Sejauh ini, Lemlit pun belum mempunyai agenda khusus terkait surat edaran tersebut. “Masalahnya bukan ada atau tidaknya pem-buatan jurnal, tapi bagaimana proses pembua-

Muji Hastuti

Beberapa mahasiswa terlihat sedang mencari jurnal di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi,(12/3).

Koordinatur Liputan: Aam Maryamah Reporter: Aam Mariyamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Pu-tri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Pra-koso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muham-mad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Trisna Wulandari Fotografer: INSTI-TUTERS Desain Visual & Tata Letak: Rizqi, Edi-tor: Oby, Umar, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilus-trator: Omen, Ulan Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-133-1241 Web: www.lpminstitut.com Email: [email protected] reporter INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Diterbitkan olehLembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta

SK. Rektor No.23 Th. 1984Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006

Pemimpin Umum: Dika Irawan | Sekretaris: Ibnu

Affan | Bendahara Umum: Muji Hastuti | Pem-

impin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur

Pelaksana: Umar Mukhtar | Redaktur Online:

Rahmat Kamaruddin | Web Master: Makhruzi Rah-

man | Redaktur Foto : Jaffry Prabu | Redaktur

Bahasa : Ema Fitriyani | Artistik : Hilman Fauzi

| Ilustrator : Trisna Wulandari | Desain Grafis:

Ahmad Rizqi | Pemimpin Perusahaan: Noor Rah-

ma Yulia | Iklan & Sirkulasi: M. Umar & Rahayu

O | Marketing & Promosi: Aprilia Hariani, Rina

Dwi Fitriyani & Fajar I | Pemimpin Litbang: Abdul

Charis | Riset: Egie FA & Aditya Putri | Pendidikan:

Iswahyudi | Kajian: Aditia Purnomo | Dokumen-

tasi: Aam Mariyamah.

FOTO:JAFFRY/INSTITUT

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 17

LAPORAN UTAMA 3

Aditya Putri

Anjuran Mendikbud M. Nuh tentang penerapan pembuatan jurnal pada ma-hasiswa lulusan Agustus 2012 membuat masalah lain yang harus dipecahkan bersama. Dari mana dana pembuatan jurnal yang memakan banyak nominal rupiah didapatkan?

Menurut Jajat Burhanuddin se-laku Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Jakarta, kebija-kan yang dibuat tidak mengukur bagaimana realisasinya, karena sebuah jurnal yang benar-benar ilmiah membutuhkan proses pem-buatan selama setahun, dan harus direview.

“Jika digambarkan secara kasar, satu jurnal minimal terdapat tujuh tulisan yang terdiri dari 21 artikel, belum perbaikan dan proses re-viewnya. Semisal, lulusan mencapai 1000 mahasiswa, sudah berapa juta rupiah yang dibutuhkan? Sedang-kan lulusan minimal UIN sekitar 3000 mahasiswa,” ungkapnya me-nambahkan, (1/3).

Lemlit pun tidak dapat mengam-bil kebijakan mengenai dari mana dan bagaimana dana pembuat-an jurnal mahasiswa ini didapat, “Coba ditanyakan kepada Purek I

terkait bagaimana nanti kebijakan-nya, ini bukan zona kami, jadi Lem-lit ya biasa saja.”

Di sisi yang sama, Moh. Matsna Purek bidang Akademik menutur-kan, walaupun belum ada rapat serius dengan rektor mengenai hal ini pihak UIN Jakarta tetap akan menganggarkan dana jika memang penganjuran ini menjadi keharus-an, (1/3).

Selama ini alokasi dana peneli-tian sendiri sudah ada walaupun be-lum banyak dan belum maksimal. Untuk Lemlit saja alokasi dana bisa mencapai satu milyar lebih. Namun dari dana yang ada memang belum diberlakukan alokasi dana khusus

untuk mahasiswa.Nantinya, akan dibuat aturan-

aturan terlebih dahulu untuk meli-hat jurnal mana yang akan diku-curkan dana bantuan, “Batasan sekitar Jabotabek-lah yang akan ditanggung lembaga. Kalau buat jurnalnya di luar itu ya swadaya ma-hasiswa sendiri.”

Sedangkan Subarja, Kabag umum keuangan lebih menginginkan agar mahasiswanya tidak berpikiran sempit dengan hanya memikirkan dari mana dana berasal. Karena menurutnya, terdapat fasilitas dan banyak lembaga yang dapat menda-nai pembuatan jurnal, (7/3).

“Inisiatif nulis berarti nggak ada

batas wilayah. Buat jurnal, masukin ke Lemlit, Republika, Didaktika dan yang lain kan masih banyak. Nah, kalau bisa terbit di tingkat internasional malah bisa membawa nama UIN kan!” serunya.

Ia menambahkan, selama ini mahasiswa belum ada yang da-pat membuat jurnal internasional, “Kalau ada yang seperti itu baru kami beri insentif khusus sebagai penghargaan. Lagi pula anjuran pembuatan jurnal ini tidak sakral. Masih harus ada dasar pemikiran yang kuat.”

Barja, panggilan akrab Subarja, juga menekankan untuk memper-baharui semangat menulis ma-hasiswa, karena anggaran bisa mengikuti. “Masih ada peluang menganggarkan dana penelitian jurnal mahasiswa ke dalam RBA (Rencana Anggaran dan Bisnis) di tahun 2013, karena RBA dibuat se-tahun sebelum tahun anggaran.”

Jadi, jika memang ada pengang-garan dana penelitian jurnal maha-siswa, itupun baru bisa diterapkan tahun 2013 mendatang. Padahal anjuran menerbitkan jurnal untuk mahasiswa adalah untuk kelulusan

pada Agustus 2012 tahun ini.Berbeda pihak, Arief Hakim

Lubis, mahasiswa Akuntansi Fakul-tas Ekonomi dan Bisnis menguta-rakan kesepahamannya dengan an-juran pembuatan jurnal mahasiswa untuk kelulusan. Alasannya, seba-gai mahasiswa mutlak berkonseku- ensi meningkatkan taraf keilmuan, salah satunya adalah dengan pem-buatan jurnal ilmiah, (9/3).

Namun, ia menyanggah jika dana pembuatan jurnal harus berasal dari swadaya mahasiswa, “Negara seharusnya menjamin pendidi-kan anak bangsa. Kalau membuat anjuran tapi ngelepas begitu saja, ujung-ujungnya malah ngeberatin mahasiswa.”

Mahasiswa yang juga aktivis Cor-ruption Preventing Alliance (CPA) ini mengaku lebih setuju jika pembua-tan jurnal hanya diberlakukan ke-pada mahasiswa yang ingin lulus cumlaude, “Tapi kalau gitu caranya, sasaran pemerintah untuk mening-katkan mutu pendidikan tidak ter-capai. Mahasiswa lain tetap akan berpikir yang penting lulus saja.”

Salah satu modal utama dalam pe-nerapan kebijakan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dirjen Dikti) tang-gal 27 Januari 2012 lalu adalah tradisi menulis di kalangan sivitas akademika. Di Kampus UIN Jakarta, tradisi intele-ktual tersebut masih dianggap rendah, baik di kalangan mahasiswa maupun dosen.

“Tradisi menulis kita (UIN Ja-karta, red) masih rendah. Jangan-kan mahasiswa, dosen saja masih kurang produktif. Baru memenuhi kewajibannya saja,” ungkap Moh. Matsna, Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik, (1/3).

Ia juga mengatakan bahwa jurnal

di UIN Jakarta, baik dari segi kuali-tas maupun kuantitasnya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Vietnam. “Dengan adanya surat edaran itu, diharapkan agar mahasiswa dan dosen lebih rajin menulis”, tambahnya.

Rendahnya tradisi intelektual itu, membuat Rusydi Zakaria, Ketua Ju-rusan (Kajur) Manajemen Pendidi-kan (MP) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), khawatir. Jika kebijakan Dikti itu segera dite- rapkan akan ‘macet di tengah jalan’ karena untuk menulis karya ilmiah yang bagus, harus memiliki budaya membaca yang kuat.

“Jika tradisi intelektual masih lemah, dapat dipastikan kualitas tulisan yang dihasilkan pun akan rendah,” tegasnya (9/3).

Dijelaskan juga faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya bu-daya menulis. Pertama, kebiasaan menulis dan membaca tidak dikem-bangkan sejak kecil. Pada tingkat SD/MI hingga SMA/MA siswa se-lalu ‘disuapi’ gurunya dengan me-tode ceramah, sehingga saat men-duduki bangku kuliah, belum siap menghadapi sistem pembelajaran yang mandiri.

Kedua, tidak bisa dipungkiri bahwa hingga kini masih banyak dosen yang ber-mindset ‘kuno’ (ha nya menggunakan metode ceramah dan text book). Menurutnya, dosen seharusnya menjadi inisiator dan fasilitator yang bersifat dinamis, yang mampu menumbuhkan bu-daya baca dan tulis mahasiswa.

Terakhir adalah kurangnya mengikuti forum-forum diskusi. Forum-forum ini membuat maha-siswa tidak minder, karena di sana mahasiswa dituntut untuk berani menyampaikan gagasan-gagasan-nya di hadapan orang lain.

Dengan menggunakan pendeka-tan yang berbeda, yakni dengan membandingkan potensi menu-lis mahasiswa dengan output yang dihasilkan, Yusar Sugara, dosen

Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), mengatakan karya tulis yang dihasilkan mahasiswa UIN Jakarta memang masih sangat rendah.

Ia memaparkan, pada tahun 2011, UIN Jakarta telah melulus-kan sebanyak 3533 mahasiswa. Jika diukur menggunakan indeks bulan, maka dalam setiap bulan ada 295 (angka pembulatan) karya tulis yang dihasilkan atau per hari ada 10 yang dihasilkan.

Hal ini jelas masih sedikit jika dibandingkan dengan potensi kar-ya tulis yang dihasilkan dibanding potensi menulis 11 fakultas dan 1 sekolah pascasarjana. Jika dalam 1 bulan terdapat 12 karya tulis, maka dalam satu bulan akan ada 360 kar-ya tulis dan dalam satu tahun, se-harusnya ada 4320 buah karya tulis.

Selain faktor-faktor yang dije-laskan Rusydi, Yusar mengatakan bahwa kurangnya buku-buku refe- rensi dan keterbatasan jurnal beser-ta aksesnya adalah faktor lain yang menyebabkan budaya menulis di UIN Jakarta masih rendah.

Bahkan, menurut Johan Wahyu-dhi, alumni UIN Jakarta, budaya menulis di kampus UIN sudah pa-rah. Dari pengamatannya, Ia meli-hat kebanyakan mahasiswa hanya menjadikan makalah-makalah se-bagai rutinitas dan ajang mencari

nilai semata. Bukan sebagai alat untuk meningkatkan hobi menulis.

“Harus ada penghayatan dalam pembuatan makalah, di antaranya bagaimana sistematika penulisan-nya, bagaimana isinya, atau hakikat dari makalah yang ditulis tersebut. Dan yang terpenting, karya itu harus orisinal,” ujar laki-laki yang kini bekerja sebagai editor buku di Yayasan Tun Sri Lanang itu (2/3).

Namun, bagi Ali Rif ’an, maha-siswa FITK Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) semester 12, seorang penulis buku dan aktif me nulis di media nasional, untuk pe-nulisan karya ilmiah, UIN Jakarta masih berkualitas bagus. Walaupun tidak sebagus kualitas tahun-tahun lalu.

“Pada tahun 2006, ketika ada lomba karya tulis ilmiah PTAIN se-Indonesia, UIN unggul dibanding perguruan tinggi Islam lainnya, se-dangkan sekarang, UIN Yogjakarta lebih unggul dibandingkan UIN Jakarta,” katanya memberikan ke-terangan.

Ia pun menambahkan, yang membanggakan adalah ketika ma-hasiswa memiliki kreativitas lain-nya. Karena skripsi merupakan tuntutan kampus sebagai salah satu syarat kelulusan semata.

Lunturnya Tradisi Menulis

Suasana di ruang referensi Perpustakaan Utama UIN Jakarta (10/3). Beberapa dari mereka terlihat tengah menyusun skripsi yang merupakan syarat kelulusan.

FOTO

: AA

M/I

NST

ITU

T

Aam Mariyamah

Dana Jurnal Mahasiswa Urusan Masing-Masing

Ilustrasi: ULAN/INSTITUT

Edisi XVII/Maret 2012

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 17

LAPORAN KHUSUS4

Dana Kesehatan Kurang, Dana Kemahasiswaan pun DigunakanAchmad Rizqi

Laporan Kasus Pengeroyokan Mahasiswa Dicabut

Proses hukum kasus pengeroyo-kan mahasiswa yang dilakukan oleh karyawan UIN Jakarta pada perte- ngahan Januari lalu dihentikan oleh pihak kepolisan Ciputat.Hal tersebut dikemukakan Kepala Sub Unit 2 Eka Wijaya,Saat ditemui di ruangannya (5/3).

Pemberhentian kasus tersebut lantaran datangnya surat pernya- taan dari salah satu korban pen-geroyokan yang mengalami luka dalam, Ta’miruddin.

Surat pernyataan yang dibuat pada 17 Febuari, berisi permoho-nan agar pihak polisi Ciputat dan Lembaga Penyuluhan dan Ban-tuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH-NU) kota Tanggerang Selatan menghentikan proses hu-kum yang sudah berjalan, lanta-ran pihak UIN Jakarta bersama Ta’miruddin telah menyelesaikan secara kekeluargaan dan saling memaafkan.

“Saat ini kita sudah melaku-kan proses penyelidikan dengan memanggil beberapa saksi, baik dari satpam, office boy, korban, saksi, begitu pun rektorat. Lalu, saat berjalanannya proses itu kita mendapat surat dan atas perintah Kapolsek. Proses penyelidikan di-hentikan,’’ jelasnya.

Surat pernyataan tersebut dibe-

narkan oleh Ta’miruddin. Maha-siswa Fakultas Dakwah dan Ko-munikasi (FIDKOM) yang dalam peristiwa pengeroyokan mengala-mi luka dalam, khususnya lebam pada bagian dada dan punggung, menuturkan, surat yang dilayang-kan itu merupakan bentuk jalur damai antara korban dan instansi.

Selain itu, ia mengakui, pencabutan gugatan mela-lui surat pernyataan, lantaran ia mendapat tekanan dari pihak rektorat.“Mereka minta maaf, dari pihak rektorat, kepala sat-pam, kepala OB, karyawan, se-muanya datang ke rumah”, ujar Ta’mir saat ditemui di komisariat Dakwah dan Komunikasi Perge- rakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Menanggapi penekanan dari pihak rektorat, Purek III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto me-ngakui kasus yang terjadi sudah diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak ada tekanan dari pihak rektorat. “Yang bersangkutan su-dah sembuh, sudah tidak ada lagi gugatan lain,”jelasnya.

Namun, ketika dikonfirmasi kembali (8/3), Ta’mir mengakui tidak ada tekanan dari pihak rek-torat. “Pencabutan yang gue laku-kan demi kemaslahatan dan ukhu-

wah,” ujarnya.Di sisi lain, Ahmad Syukron,

salah satu korban pengeroyokan yang mengalami luka fisik , secara terpisah mengatakan kecewa ter-hadap pencabutan yang dilakukan pihak Ta’miruddin.

“Jadi, dalam kasus ini ada pe-mukulan, pengeroyokan, dan pelemparan. Namun, ia jadi-kan satu berita acara pemerik-saan (BAP) yaitu atas nama Ta’miruddin. Sehingga, ketika di-cabut maka gugatan selesai, ya pa-ketan itu selesai,” tuturnya (7/3).

Diakui pula, kurangnya komu-nikasi antar korban menyebab-kan pengambilan keputusan se-cara sepihak.” Gue tau kasus ini dicabut seminggu setelah surat pernyataan dari Ta’mir dilayang-kan ke pihak kepolisian dan sem-pat kaget,’’ ujar Syukron, korban yang mengalami luka di bagian hidung karena dilempar pot ke-tika tragedi pengeroyokan.

Mahasiswa Fakultas Ekono-mi dan Bisnis yang juga aktif di PMII ini menambahkan, dia me-miliki keinginan untuk menerus-kan kasusnya melalui proses hu-kum. “Kalau gue berjuang secara personal, sama aja bunuh diri. Ya, karena gue melawan institusi pemerintahan,”tambahnya.

Akan tetapi, menurut Ketua LPBH-NU Kota Tanggerang Sela-tan Mustolih Siradj, kasus pen-geroyokan seharusnya tidak dapat dihentikan oleh pihak kepolisian dan harus tetap diteruskan. Hal itu dikarenakan polisi menge-luarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidi-kan (SP2HP) perkara pengeroyo-kan di UIN Jakarta No. B/03/II/2012 dan mengeluarkan pasal 170 mengenai Pengeroyokan.

“Pasal yang dikeluarkan itu adalah delik pidana umum, bu-kan delik aduan. Nah, kasus ini kan pengeroyokan,walaupun ada

pencabutan, ya tidak bisa dihen-tikan. Ini sesuai dengan pasal 1 ayat 24 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP),” tuturnya.

Selanjutnya ia menambahkan, sikap LPBH NU adalah jika ala-san pemberhentian ini dihenti-kan lantaran adanya pencabutan laporan, maka peristiwa ini akan dilaporkan ke divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Ja-karta Selatan atau Polda Metro Jaya atas dugaan tidak menjalan-kan UU KUHP dan kode etik, ter-utama ditujukan untuk Kapolsek dan Kanit.

Aprilia Hariani

Semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Kemahasiswaan UIN Jakarta selama ini ditunjang oleh dana kemahasiswaan. Pembagian dana terse-but ditentukan berdasarkan hasil kon-gres Keluarga Besar Mahasiswa UIN.

Namun, terdapat sisa dalam ang-garan dana kemahasiswaan tahun 2011. Subarja selaku Kepala Bagian Umum Keuangan, saat ditanya soal tersebut, dirinya tidak menge-tahui soal lebihnya dana tersebut. Namun, ia mengatakan sisa dana kemahasiswaan tersebut dialihkan untuk dana kesehatan.

“Sisa dana kemahasiswaan tahun 2011 itu terpaksa dialihkan ke dana kesehatan mahasiswa. Pasalnya, tahun kemarin dana kesehatan ma-hasiswa mengalami kekurangan,” tuturnya, Rabu (7/3).

Lebihnya dana kemahasiswaan yang dialokasikan untuk menutupi kekurangan dana kesehatan dis-esali oleh beberapa lembaga kema-hasiswaan. Didik Setiawan, Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)Komunitas Mahasiswa Fotografi Kalacitra, menyayangkan dana kemahasiswaan itu dialokasikan ke dana kesehatan.

“Dana kemahasiswaan dan dana

kesehatan itu diambil dari bayaran semester, otomatis dana tersebut su-dah dibagi-bagi, tinggal bagaimana pembagian itu dimaksimalkan,” tutur Didik saat diwawancarai via telepon, Sabtu (10/3).

Senada dengan apa yang dipa-parkan Didik yang menyesalkan dana tersebut, mantan Ketua UKM

rin diwisuda, merasa pihak rektorat kurang transparan terkait dana kemahasiswaan. “Meskipun dana kemahasiswaan itu lebih, yang penting transparansinya, supaya mahasiswa nggak berprasangka yang tidak-tidak kepada rektorat,” imbuhnya.

Meski banyak pihak yang tidak setuju dengan pengalihan terse-but, pihak rektorat tetap meng-alihkan sisa dana kemahasiswaan tahun 2011 ke anggaran kesehatan untuk menutupi kekurangannya. “Berhubung dana kemahasiswaan masih tersisa pada saat akhir tahun kemarin dan dana kesehatan men-galami kekurangan, mau tidak mau menutupinya dari sisa dana kema-hasiswaan,” lanjut Subarja.

Menanggapi beberapa keluhan mahasiswa mengenai dana kema-hasiswaan yang tersisa, Subarja menambahkan, jika dana kema-hasiswan tidak ingin tersisa, ma-hasiswa harus membuat proposal yang sesuai dengan acara yang ingin dilaksanakan. Karena menu-rutnya, terkadang proposal yang dibuat mahasiswa tidak logis den-gan acara yang akan dilaksanakan.

Koperasi Mahasiswa (Kopma), Asep Ali Hasan, merasa kaget ke-tika sisa dana kemahasiswaan di-alokasikan untuk kesehatan.

“Kalau memang dana keseha-tan itu mengalami kekurangan, seharusnya ada penambahan dana kesehataan saat kita membayar uang semester, biarkan dana ke-

mahasiswaan dialokasikan ke ma-hasiswa, begitu juga dengan dana kesehatan yang harus dialokasikan dengan benar untuk kesehatan,” tegasnya, Sabtu (10/3).

Tidak hanya UKM, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakul-tas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Rek-sa Ardiansyah, yang Januari kema-

Seorang mahasiswa mengabadikan peristiwa pengeroyokan salah satu demonstran setelah demo tolah senat (13 jan). Ta’miruddin (dilingkari) tampak sedang meng-hindari pemukulan.

Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa.

FOTO

: IST

IMEW

A

Edisi XVII/Maret 2012

FOTO: RAKA/INSTITUT

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 17

LAPORAN KHUSUS 5

Amsal Bachtiar: “IIQ Harus Tetap Ada”Rahmat Kamaruddin

Aditia Purnomo

latan, saat tengah bertugas di luar kampus, Jumat (9/3).

Amsal mengatakan, lahan yang kini digunakan IIQ tersebut nanti-nya akan dimanfaatkan untuk pem-bangunan gedung teaching hospital. UIN Jakarta sendiri telah memberi dua opsi sebagai solusi atas per-masalahan lahan tersebut. “UIN tidak bermaksud menghilangkan IIQ,” katanya.

Dua opsi tersebut, kata Amsal, yakni Kemenag membangunkan gedung baru untuk IIQ di daerah Cinangka atau IIQ dijadikan ins-tansi negeri. “IIQ harus tetap ada,” tambahnya.

Menanggapi dua opsi tersebut, Purek Bidang Adminstrasi IIQ, Ma-ria Ulfah saat ditemui INSTITUT di kediamannya di Jl. Suli blok D KH 26, perumahan Ciputat Baru, Tangerang Selatan, Sabtu (10/3), mengatakan, kedua opsi tidak sepe-nuhnya didukung oleh segenap pengurus dan dosen IIQ karena masing-masing memiliki sisi yang merugikan mereka. Meski begitu, menurutnya, IIQ dan pengurus yayasan IIQ lebih condong ke opsi pertama yaitu pembangungan ge-dung baru di daerah Cinangka.

dakan lanjut dari Surat bernomor B.V/3/HK.04/03/2/2012 tertang-gal 2 Februari 2012 yang ditan-datangani Kepala Biro Hukum Kementrian Agama (Kemenag) H Mubarok, SH, MSc, yang memberi-kan somasi kepada ketua yayasan IIQ dan rektor IIQ agar mengosong-kan lahan seluas 1.915 m2 yang kini berdiri kampus IIQ.

Berdasarkan surat itu, tanah yang digunakan IIQ itu milik Kemenag

bukan milik yayasan IIQ. Sementa-ra pihak IIQ memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan bernomor 02476 tahun 1999 atas nama Yayasan In-stitut Ilmu Al-Qur’an.

Taufiqurrahman, ketua Komisi V DPRD Propinsi Banten, dan be-berapa anggota Komisi V DPRD Tangerang yang sempat mengun-jungi lahan itu pada Kamis (2/2), pun mendesak agar Kemenag men-cabut surat penyegelan tersebut. Menurutnya, pihak pengadilan lebih berwenang terkait penyegelan tersebut, bukan BP2T, Kemenag dan Walikota, seperti yang dilansir dari Pelita Online.

Menanggapi hal tersebut, Purek Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah, Amsal Bachtiar, men-gatakan bahwa lahan tersebut milik negara, dalam hal ini UIN Syarif Hidayatullah yang berada di bawah instansi negara sebagai pengelola lahan, bukan milik pribadi maupun yayasan.

“Ini negara hukum, silakan per-masalahan ini dibawa kepengadi-lan, UIN punya bukti resmi kepemi-likan, saksi hidup juga masih ada,” ujarnya saat ditemui INSTITUT di Pondok Indah Mall, Jakarta Se-

Pasca penyegelan gedung Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta 5 Januari 2012 lalu, hingga kini (9/3) beberapa bangunan gedung tersebut masih dalam kondisi belum tuntas direnovasi. Meski demikian, masih tampak beberapa mahasiswa melaksanakan aktivitas perkuliahan.

Penyegelan dilakukan oleh BP2T (Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu) Tangerang Selatan. Pe-nyegelan tersebut merupakan tin-

“(Pihak, red) IIQ sendiri ada yang setuju ada yang tidak, kalau yayasan sih setuju dibangunkan di Cinangka, tapi selama dibangundi Cinangka, pembangunan (gedung IIQ sekarang, red) tetap dilanjutkan, agar kelihatan rapi,” tuturnya.

Untuk opsi kedua, lanjutnya, banyak pihak IIQ yang tidak setuju, sebab tidak semua dosen IIQ ber-status PNS. “Mereka yang menyu-tujui opsi kedua adalah dosen yang berstatus PNS. Sedangkan pihak yayasan tidak setuju karena jika (IIQ) jadi milik negeri, semua aset lepas, kalau orang-orang PNS mah setuju saja,” katanya.

Maria melanjutkan, IIQ terus mengadakan diskusi internal terkait permasalahan yang tengah me-nimpa institusi yang didirikan oleh Alm. Prof. K.H. Ibrahim Hussein tersebut, “Ya tentunya keputusan itu tidak dapat diterima oleh stake-holder IIQ. Tidak mudah menyatu-kan hati semua orang yang berbeda, dalam waktu dekat ini kami sedang mempertimbangkan dan membuat keputusan,” ujarnya.

Pasca bentrok berdarah pada 13 Ja-nuari lalu, Rektorat mengeluarkan SK Rektor No. Un.01/R/10/2012 menge-nai pemilihan lembaga kemahasiswaan yang berlandaskan Student Govern-ment (SG). Untuk menindaklanjuti SK tersebut, panitia di masing-masing fakultas segera melakukan persiapan untuk menyelenggarakan pemilihan raya (Pemira). Meski begitu, SK terse-but dirasa belum mengakomodasi tun-tutan mahasiswa karena masih memi-liki banyak kekurangan.

Seperti yang diungkapkan Novrizal Fahmi, anggota tim peru-mus Undang-Undang Dasar (UUD) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) UIN Jakarta ketika diwawancarai INSTITUT di gedung Student Center (SC). “SK itu masih rancu, karena belum ditetapkan SG seperti apa yang akan dipakai,” tegasnya (7/3). Ia menambahkan, SG yang diingin-kan pihak mahasiswa adalah SG yang dihasilkan dalam workshop lembaga kemahasiswaan beberapa waktu lalu.

Baginya, yang dibutuhkan seka-rang adalah sebuah mediasi antara rektorat dengan mahasiswa agar kevakuman tidak berlangsung lebih lama. “Hanya mediasi untuk men-sahkan UU SG,” tambahnya.

Senada dengan Fahmi, Surya Vandiantara, Anggota Kongres Ma-hasiswa Universitas (KMU) Fraksi Partai Boenga mengatakan tuntutan mahasiswa jelas, yaitu disahkannya UUD KBM UIN melalui meka-nisme workshop yang sebenarnya

dibuat bersama-sama antara maha-siswa dan rektorat.

Meski begitu, ia menyatakan bahwa rektorat mulai mendengar-kan tuntutan mahasiswa dengan diberlakukannya sistem one man one vote dalam Pemira. “Salah satu tun-tutan kita sudah ditanggapi, meski belum 100%,” lanjutnya.

Selain itu, menurut Iman Lesmana, ketua Dewan Pimpi-nan Pusat (DPP) Partai Reformasi Mahasiswa (Parma), kekacauan kelembagaan yang terjadi adalah akibat dari sikap rektorat yang tidak mengerti apa keinginan mahasiswa. “Kita sudah melalui beberapa pro-ses, bukan pencerahan yang kita da-pat, tapi kegelapan,” jelasnya (8/3).

Ia menambahkan, karena pelak-sana lembaga kemahasiswaan ada-lah mahasiswa, maka libatkanlah mahasiswa dalam pembentukan-nya. “Namun, hingga kini tidak ada i’tikad baik dari rektorat untuk melibatkan mahasiswa. Itu sama saja mereka yang membuat dan kita yang menjalankan,”

Menanggapi hal tersebut, Pem-bantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan bahwa SK tersebut berusaha untuk menga-komodasi keinginan mahasiswa. “Namun, kalau setiap golongan di haruskan untuk mediasi akan menghabiskan waktu,” tegasnya (7/3).

Ia melanjutkan, karena meli-hat dinamika dan kebutuhan yang

mendesak, maka pelaksanaan Pemira akan dilaksanakan pada 20-21 Maret. “Pemilihan di fakultas itu tahap pertama, serentak untuk pemilihan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa),” jelasnya.

Fakultas belum siapSementara itu, persiapan Pemira

di beberapa fakultas sudah mulai berjalan. Hal tersebut dapat ter-lihat dengan mulai dilakukannya sosialisasi Pemira melalui banner besar yang terpampang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK).

Menurut M. Iqbal Nurmansyah, Ketua Komisi Pemilihan Raya (KPR) FKIK, untuk Pemira di FKIK persiapannya masih kurang. “Untuk kesiapan mungkin sekitar 25%,” jelasnya (8/3). Ia menam-bahkan, untuk tanggal yang ter-pampang di banner tersebut masih bisa diperpanjang. Sementara itu, ia sendiri tidak optimis untuk menye-lenggarakan Pemira pada tanggal tersebut.

Ketika ditanya mengenai jenis pemilihan yang akan dilaksanakan, ia menyatakan pihaknya hanya mengetahui bahwa pemilihan terse-but adalah pemilihan Senat Maha-siswa Fakultas, bukan pemilihan BEM seperti yang dinyatakan oleh Purek III.

Selain di FKIK, persiapan di be-berapa fakultas juga belum matang. Seperti yang dinyatakan oleh ang-gota BEM Fakultas Psikologi Arif

Hilman, “Persiapan masih 10% soalnya kita baru mau membentuk panitia,” jelasnya.

Senada dengan Arif, Harisman, Ketua KPR Fakultas Uhuludin dan Filsafat (FUF) mengatakan bahwa persiapan untuk pemira baru 30%. Hal tersebut dikarenakan belum ada sosialisasi kepada mahasiswa. Menurutnya, pemilihan yang akan dilakukan di FUF adalah pemilihan SMF. “Kita ngikutin pihak rektorat aja, kalau mau BEM ya BEM, kalau Senat ya Senat,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Wasis Handoko, Sekretaris Jendral (Sekjen) DPP Parma menyatakan kebingungannya. Menurutnya, di dalam SK jelas disebutkan pember-lakuan SG, tapi di beberapa fakultas

masih terdapat istilah Senat Maha-siswa. “Nggak tahu ini siapa yang nggak ngerti SK?” tegasnya.

Sedangkan menurut Herman Saputra, mantan Sekjen DPP Par-tai Persatuan Mahasiswa (PPM), pemira kali ini tidak demokratis. Ia juga tidak optimis dalam perhela-tan pemira kali ini. “Panitia terke-san amburadul dan belum paham dengan sistem yang baru ini,” je-lasnya.

Sementara itu, mengenai pe-tunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pemilihan, Purek III me-nyerahkan hal tersebut kepada masing-masing fakultas sesuai de-ngan yang tertera di SK Rektor No. Un.01/R/10/2012.

Persiapan Belum Matang, Pemira Segera Digelar

IIQ Jakarta tampak depan (10/3). Lahan IIQ rencananya akan dimanfaatkan UIN Jakarta untuk bangunan teaching hospital.

FOTO

: RA

KA

/IN

STIT

UT

Banner sosialisasi pemira terpampang di FKIK, (8/3).

FO

TO

:RIZ

QI/

INST

ITU

T

Edisi XVII/Maret 2012

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 17

LAPORAN KHUSUS6

Menurut bagian keuangan aka- demik Umum, pihak keuangan hanya mengikuti aturan yang su-dah ada dan memang SK ini yang berlaku. “Pada tahun 2010 pun SK-nya masih tetap yang ini, dan pejabat di sini memegang semua SK tersebut,” ungkapnya, (7/3).

Perbedaan SK dengan yang ter-tulis pada buku Pedoman Akade-mik poin C, ditanggapi Pembantu Rektorat (Purek) I Bidang Aka-demik Moh. Matsna dengan san-tai. “Bisa saja itu (SK yang ada di keuangan akademik pusat) belum dijabarkan di buku Pedoman Aka-demik. Peraturan itu mulai dari yang besar lalu dijabarkan ke juru pelaksana (keuangan akademik),” ucapnya (6/3).

Salah redaksiDi lain pihak, Yudi merasa diri-

nya telah dirugikan oleh peraturan buku Pedoman Akademik. Menu-rutnya, kesalahan birokrasi jangan ditanggung mahasiswa. “Kesala-han keredaksian pada buku terse-but harus segera diperbaiki,” ka-tanya.

Ia pun mencoba mengkritisi tentang adanya perbedaan SK dengan yang tertera pada buku Pedoman Akademik tersebut. Ia juga menyampaikan 3 poin tun-

tutannya yakni, “Pertama, cabut SK Keuangan yang membuat mis-kin mahasiswa yang ingin masuk kuliah kembali. Kedua, kemba-likan uang mahasiswa seperti di-rinya yang sudah bayar. Ketiga, jika membuat kebijakan undang-undang bagi mahasiswa, haruslah mengajak elemen-elemen kema-hasiswaan termasuk revisi buku Pedoman Akademik.”

Terkait tuntutan Yudi, Matsna hanya menjawab bahwa buku pedoman yang sekarang sudah tidak berlaku lagi. “Akan ada revisi untuk tahun depan dan kebijakan-kebijakan tersebut akan dirunding-kan dulu dengan pejabat-pejabat fakultas,” tuturnya.

Sementara itu, Akbar Fauzi, ma-hasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) semester 6 mengaku mengalami hal yang sama seperti Yudi, tetapi ia lan-tas langsung membayar denda kuliah berdasarkan peraturan di bagian keuangan akademik pusat alias bayar penuh. “Gue nggak tahu kalau ada peraturan yang beda di Pedoman Akademik dan nggak mau ribet dengan itu semua,” ung- kapnya, (6/3).

“Mahasiswa yang tidak melakukan pendaftaran satu semester diwajibkan membayar SPP semester yang bersang-kutan ditambah pembayaran denda 50%.”

Kalimat di atas tertulis jelas pada halaman 55 buku Pedoman Aka-demik Program Strata 1 2011/2012 poin C dari BAB II, Sistem Pendi-dikan UIN Jakarta. Pada poin C terdapat Sanksi Akademik dan Non-Akademik bagi mahasiswa yang tidak melakukan pemba-yaran alias tidak mengurusi surat cuti kuliah yaitu dengan memba-yar SPP beserta denda sebesar 50% pada semester yang datang.

Berdasarkan pemahaman di atas, Yudi Adiyatna, mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Studi Pem-bangunan (IESP) UIN Jakarta semester 6, kemudian melakukan pembayaran ke bank untuk me-lunasi pembayaran satu semester cutinya pada semester 4 lalu seka-ligus membayar biaya semester 6.

Akan tetapi, ketika ia hen-dak melakukan pembayaran, pihak bank mengatakan bahwa akun Academy Information System (AIS) miliknya nonaktif. Alhasil, ia menemui Pusat Komunikasi (Puskom) UIN untuk mengak-tifkan kembali akunnya. “Pihak Puskom bilang saya harus menda-

tangi bagian keuangan di akade-mik pusat,” kata Yudi (18/2).

Sesampainya di bagian keuangan akademik pusat, Yudi malah disuruh membayar penuh biaya perkuliahan saat ia cuti, sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Rek-tor No. Un. 01/R/HK.00.5/1/2011 tentang Biaya Pendidikan Program Strata 1 tahun 2011/2012.

Pada SK yang dipegang

keuangan akademik tersebut, ter-tulis di pasal 6 tentang Cuti Aka-demik poin E, yakni: “Mahasiswa yang karena sesuatu dan lain hal tidak mendaftar pada semester se-belumnya tanpa alasan, dikenakan biaya pendidikan untuk semester sebelumnya beserta denda 50% dari biaya SPP dan membayar bi-aya pendidikan yang sedang berja-lan berikut biaya keterlambatan.”

Salah Redaksi Bingungkan MahasiswaEma Fitriyani

Aturan yang ada di buku Pedoman Akademi (kiri) dan aturan yang terdapat di bagian keuangan akademik pusat (kanan)

Semalam Bersama Gus DurRahmat Kamaruddin

UIN Jakarta, INSTITUT- Acara Orasi Budaya dan Pagelaran Wayang ”Semalam Bersama Gus Dur” ber-langsung pada Jum’at malam (13/1) di Lapangan Student Center UIN Jakar-ta, pukul 19.00 WIB. Acara tersebut dihelat dalam rangka mengenang dua tahun wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada akhir Desem-ber 2009 silam. Acara yang diadakan secara outdoor tersebut berlangsung hikmat hingga usai meski sempat be-berapa kali diguyur hujan.

Beberapa tamu undangan yang hadir sebagai pembicara di antara-nya Alissa Wahid, Bondan Gunawan, Adhie Massardi, dan AS Laksana. Turut hadir pula tamu kehormatan keluarga Almarhum Gus Dur, Ibu Sinta Nuryah Wahid. Masing-masing pembicara tampak bersemangat ke-tika menyampaikan orasinya. Acara diisi dengan sambutan ketua panitia Nurdiansyah, tahlil, pembacaan do’a bagi almarhum beserta para pejuang bangsa Indonesia,

Tampil sebagai pembicara perta-ma dengan tema orasi ‘Gus Dur dan Gerakan Kultural’, Alissa Wahid men-gatakan, tantangan bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi

adalah bagaimana berakar pada nilai dasar bangsa. Bangsa yang tidak ber-pegang pada nilai dasarnya sendiri akan mudah gamang. Senantiasa ter-pengaruh oleh karena tidak memiliki ikatan ketika menghadapi budaya as- ing. “Lihat bangsa Korea, mereka bisa maju karena memelihara identitas bangsa mereka,” katanya.

Adhie Massardie, dalam orasinya, mengatakan kebanyakan orang yang dulu mengkritik Gus Dur itu bukan karena kebijakannya, melainkan ka-rena hal yang bersifat pribadi. “Semua kebijakan Gus Dur itu baik, kecuali kebijakannya mengangkat SBY men-jadi jendral bintang empat kala itu,” candanya disambut tepuk tangan hadirin. Pemimpin jaman sekarang banyak tidak mampu melihat reali-tas masyakarat, karena mata hatinya tak mampu melihat. Menurutnya pula, buah pemikiran Gus Dur sangat perlu diperjuangkan. “Tidak penting mengkaji pemikiran Gus Dur, tapi bagaimana memperjuangkannya”.

Sebagai pembicara ketiga, Bondan Gunawan menghimbau tidak melihat Gus Dur dari apa yang ia capai, tapi hendaklah mempelajari dan meng-hayati flash back perjuangannya. Gus

Dur, baginya, bagai sumur di tengah kemarau, pembela hak manusia, pem-impin yang berani mengambil resiko. “Dia tidak mau menciptakan banyak pengikut, tapi mencetak kader,” ujar- nya. Bondan mengatakan bahwa Gus Dur merupakan sosok yang melam-paui zaman, sehingga orang sering-kali salah memahaminya. “Kalau ada yang pernah dengar tentang kenyele-neh-an Gus Dur, datangi saya untuk konfirmasi,” kata Bondan.

Pembicara terakhir, AS Laksana mengungkapkan beberapa kekagu-mannya dari sosok Gus Dur, yaitu pemikiran, pola tidur, humor, gaya komunikasi, dan kepemimpinannya. Menurutnya, Gus Dur memiliki gaya komunikasi yang cerdas dan unik. Pada saat tidur Gus Dur masih dapat mendengar suara sekitar. “Saat tidur, alam bawah sadarnya tetap aktif, hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar khusuk,” tuturnya. Yang menarik lainnya dari Gus Dur adalah sikapnya yang selalu rileks. “Dengan skill dan pola per-mainan yang sama, orang yang tampil rileks sangat berpeluang memenang-kan pertandingan karena tidak ter-tekan oleh faktor psikologis di lapa-

ngan”, tuturnya beranalogi.Usai acara orasi kebudayaan, aca-

ra ditutup dengan pagelaran way-ang oleh Wayang Kampung Sebelah. Group wayang kontemporer terse-but tampil heboh dengan kombi-nasi kultur, budaya, dan genre musik yang beragam. Pementasannya yang berjudul ”Tragedi Jual Beli Mimpi” menghibur penonton. Wayang terse-but menggambarkan potret realitas orang miskin yang kewalahan meng-hadapi ‘ketidakadilan’ kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh para aparatur negara sendiri. Meski hujan, beberapa penonton tampak antusias berdiri di bawah curah hujan men-yaksikan wayang tersebut dari dekat hingga usai.

Acara orasi budaya dan pagelaran wayang tersebut terselenggara atas kerjasama berbagai 18 organisasi dan komunitas intra kampus UIN Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu BEM Fakultas Dirasah Islami-yah, PMII Cabang Ciputat, GMNI Cabang Tangerang Selatan, Buletin Muara, Piramida Circle, Forum Studi Makar, Ikatan Remaja Masjid Fathul-lah, Kelompok Kajian Rasionalika, Tongkrongan Sastra Senja Kala, Koin

Sastra, Komunitas Saung, LPM IN-STITUT, UKM RIAK, Teater Syahid, KMF Kalacitra, El Kaffi, dan PSM UIN Jakarta.

Selain berbagai komunitas dan or-ganisasi dalam kampus, acara tersebut juga turut terselenggara atas kerjasa-ma dari luarkampus yaitu Pojok Gus Dur, Wahid Institute, LAKPESDAM NU, Dewan Kesenian Jakarta, Fed-erasi Teater Indonesia, Rahima, Mas-ter, Transkrip, Angkringanwarta, RM Online dan Phillocoffeproject.com.

Alisa Wahid, saat menyampaikan orasi kebudayaan di acara “semalam bersama Gus Dur,” (13/1).

Edisi XVII/Maret 2012

Kampusiana...

FOTO

:RAH

MA

N/IN

STITUT

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 17

RESENSI 7

“Man Jadda Wajada”, Mantra Setiap Insan

Setelah sebelumnya film seperti Laskar Pelangi dan Sang Penari berhasil

menggebrak industri perfilman Tanah Air dan meraih kesuksesan, kini Negeri 5 Menara siap menjadi penerus tradisi tersebut. Film ini menjadi tontonan beragam nuansa dan makna yang direkomendasi-kan untuk ditonton dan sangat tepat menjadi pilihan alternatif ke-bosanan melihat tontonan-tonto-nan tidak mendidik dan tidak ber-makna. Film yang diangkat dari novel karya Ahmad Fuadi dengan judul yang sama kini siap menyapa para pencinta film, dan menjawab rasa penasaran pembaca novel.

Mengangkat kisah perjalanan enam orang santri dari enam dae-rah berbeda di Pesantren Madani, Ponorogo, Jawa Timur, dengan fokus cerita pada kehidupan santri bernama Alif. Cerita dibuka den-gan berlariannya dua orang anak SMP yang riang gembira mera- yakan kelulusannya, menuju tepi danau, dengan suguhan latar bela-kang keindahan alam yang seder- hana namun memikat.

Salah satu anak itu, Alif, ke-mudian menemui dilema antara keinginannya bersekolah di Ban- dung dan pilihan ibunya yang menginginkan dia bersekolah di pesantren. Saat itu, Alif ngambek, mengurung diri di kamar dan tidak menjawab panggilan ayahnya dari balik pintu yang dia kunci. Pada akhirnya, Alif pun menuruti ke-

inginan orang tuanya untuk masuk ke pesantren.

Di hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima saat adegan di kelas tatkala Ustadz Salman sebagai wali kelas da-tang untuk pertama kalinya. Be-liau memotong kayu dengan usaha yang gigih di depan para siswa. “Man Jadda Wajadda”. “Ingat, bu-kanlah yang tajam. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia lah yang berhasil”. Sebuah adegan yang sangat menarik dan bermakna se-hingga kemudian menjadi moral keseluruhan cerita.

Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan teman sekamarnya, Raja dari Medan, Said dari Sura-baya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu magrib sambil menatap awan lembayung yang be-rarak pulang ke ufuk.

Kebiasaan berkumpul di bawah menara masjid, mereka berenam pun menamakan diri ‘Sahibul Me-nara’, alias Pemilik menara. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ke-mana impian jiwa muda ini mem-bawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

Kelucuan khas remaja, khas pesantren, khas multi ras dan tidak dibuat-buat. Atang, seba-gai seorang dengan dialek Sunda yang kental. Juga seorang Baso yang paling agamis di antara enam sekawan itu, sering membuat terse-nyum saat dia berusaha meng-hindari menatap gadis-gadis di se-kolah. Di beberapa segmen bahkan kelucuan-kelucuan itu justru mem-berikan sebuah makna yang cukup dalam.

Dengan diselingi kisah Alif se-bagai reporter majalah pesantren termasuk romantisme mendapat-kan perhatian dari keponakan Kiai Rais, intensitas cerita menanjak dalam menghadapi pertunjukan seni tahunan dengan membawa-kan tema Ibnu Batuta.

Achmad Rizqi

Judul : Sang PenariSutradara : Affandi A RachmanSkenario : Salman Aristo, Produksi : KG Production - Million ProductionDurasi : 111 MenitPemain : Billy Sandy, Ernest Samudra, Rizki Ramdani, Andhika Pratama, Ikang Fawzi, dll.

Sebagian besar masyarakat di dunia berpendapat jika ganja adalah tana-

man berbahaya. Ganja memiliki zat psikoaktif yang dapat merusak sistem saraf penting pada tubuh manusia. Tidak hanya itu, ganja juga diartikan tanaman yang tidak bermanfaat, karena pemakainya hanya akan merasakan kesenangan sesaat dan memabukan. Karena itu, banyak negara yang melarang kepemilikan dan pemakaian barang tersebut.

Namun, di sisi lain, ada seba-gian orang yang percaya bahwa ganja dapat menghadirkan rasa san-tai, senang, melahirkan inspirasi, bahkan pengobat ampuh stres dan depresi. Hal ini menunjukan ber-bagai pendapat mengenai ganja di mata masyarakat.

Sang penulis buku, Dhira Nara-yana, Irwan Muhammad Syarif, dan Ronald Carl Marentek yang ak-tif dalam Komunitas Lingkar Ganja Nusantara (LGN) mencoba men-guak sisi positif dari tanaman yang bernama lain cannabis. Tak berbeda dengan makhluk hidup lain yang diciptakanNya, ganja juga memiliki manfaat tersendiri bagi peradaban manusia di dunia.

Di awal buku ini, penulis men-

jelaskan lebih rinci megenai ganja. Dimulai dari segi sejarah, silsilah tanaman ganja hingga sisi an-tropologinya. Ganja merupakan tanaman dengan nama ilmiah ‘Cannabis sativa’ baru dicatat dalam kerajaan tanaman oleh Carolus Lin-naeus pada tahun 1753. Namun, se-belumnya manusia telah mengenal ganja dengan berbagai nama dalam sepanjang sejarah.

Tidak hanya memperkenalkan pembaca akan sejarah dan silsilah sebuah nama, buku ini juga me-ngulas perjalanan sinambung ma-nusia dan kebutuhannya bersimbio-sis dengan alam. Dalam buku ini penulis berpendapat, bahwa ganja bak tumbuhan yang dapat mema-hami kebutuhan manusia di berba-gai belahan dunia.

Penulis juga memaparkan awal mula tentang pemanfaatan ganja berdasarkan letak geografisnya.

Seperti Cina, yang dikabarkan telah menggunakan tanaman ganja se-bagai obat penahan rasa sakit dan bahan pakaian sejak 10.000 tahun sebelum masehi.

Tidak hanya di Cina, ganja-pun menjadi kebutuhan hidup pen-dukung peradaban manusia di be-lahan dunia lainnya, seperti Persia, Tibet, Semenanjung Arabia, Mesir, Jamaika bahkan sampai Benua Eropa.

Ganja pun mempunyai andil besar dalam sejarah perkembangan di bidang kesehatan sebagai salah satu obat herbal. Buku ini juga sedikit mengomentari artikel yang berjudul “The Brain’s Own Marijua-na” tahun 2004, mengungkapkan bahwa otak manusia memproduksi zat yang sama percis dengan zat Delta-9-Tetrahyd-Rocanabinol atau THC (salah satu bentuk getah yang ada pada batang tumbuhan ganja)

yaitu zat psikoaktif utama yang dikandung oleh ganja.

Molekul THC yang bersifat memabukan, dikenal sebagai antibio-tik dan anti bakteri yang lebih kuat dibandingkan dengan penisilin. THC juga dibuktikan lewat

penelitian medis sebagai zat yang dapat menghambat, bahkan meng-hentikan laju berbagai penyakit saraf dari mulai alzheimer, parkinson, hingga multiple sclerosis.

Selanjutnya, dalam buku ini di-jelaskan secara gamblang beberapa fakta dan mitos yang terkait dengan tanaman ganja. Seperti peranan tumbuhan ganja untuk mengobati HIV/AIDS sampai kanker. Serta tak dilupakan oleh penulis penjela-san lebih lanjut mengenai pemaka-ian secara berlebihan sehingga ke-mungkinan overdosis. Ditambah dengan perbadingan pengguna zat-zat serupa selain ganja seperti nikotin dan alkohol yang juga dapat menyebabkan hal serupa.

Hal yang tidak kalah menarikn-ya dalam buku ini, saat ganja mulai tersisihkan oleh revolusi industri. Ini terjadi saat serat ganja dan de-corticator (mesin yang digunakan

untuk menguliti serat tanaman ganja) dikhawatirkan akan meng-hancurkan investasi ekonomi ber-basis industri. Namun, buku ini mengemasnya dengan sedikit tam-bahan kutipan-kutipan dari buku lainnya, yang menunjukan bahwa ganja merupakan bahan terbaik dalam segala manfaatnya. Dimulai dari perbandingan antara ganja dan minyak bumi, serat sintetis sampai penyelamatan hutan dunia.

Melalui buku ini juga, penu-lis menceritakan perjalan ‘status’ ganja di mata dunia. Mulai dari sejarah dimasukannya ganja dalam kategori yang sama dengan heroin, morfin, dan kokain yang dibahas dalam Konvensi Opium Interna-sional tahun 1911 di Hugue, Swiss. Hingga pada tahun 1925 Konvensi Opium Internasional mengesahkan pelarangan tanaman ganja yang berlaku secara Internasional.

Hikayat pohon ganja, mencoba mengungkap ke permukaan akan manfaat-manfaat ganja yang seo-lah tidak pernah dibeberkan secara umum oleh pihak lain. Serta buku ini sangat tepat untuk pembaca yang beranggapan bahwa ganja se-bagai tanaman tak bermanfaat dan merusak. Buku ini dapat menjadi bahan informasi lain.

JUDUL : Hikayat Pohon Ganja, 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban ManusiaPenulis : Dhira Narayana, Irwan Muhammad Syarif, dan Ronald Carl MarentekPenerbit : P. T. Gramedia Pustaka UtamaSoftcover : +352 halamanBahasa : IndonesiaISBN : 978-979-22-7727-2

Melihat Sisi Lain dari GanjaRahayu Oktaviani

Edisi XVII/Maret 2012

Alur cerita film pun mengarah pada keberhasilan kelas dua yang dipimpin oleh kelompok sahibul menara tanpa Baso. Itulah yang menjadi puncak inti cerita bahwa siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Man Jadda Wa Jada. Adegan itu pulalah yang mengan-tarkan penonton kepada segmen terakhir cerita ketika keenam anak itu bisa bertemu dan membuktikan keberhasilan mereka masing-ma-sing serta merealisasikan pencapa- ian lima menara.

Man jadda wajada, “siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil” adalah roh dari novel N5M yang disampaikan dengan baik di layar lebar. Para sahibul menara berhasil mengunjungi me-nara impian yang mereka ikrarkan di Pondok Madani dan menjadi orang besar di bidangnya masing-masing.

Beberapa bagian dalam film se- perti tempat dan kejadian entah sengaja atau tidak dibuat berbeda dengan yang ada di dalam buku,

tapi hal ini tidak mengurangi pesan penting dan semangat man jadda wajada yang ingin disampaikan.

Meski hadir dengan banyak pemeran pendatang baru, film ini bisa dikatakan enak ditonton. Para pemeran berhasil memberi-kan olah peran yang maksimal dan mengalir. Dua orang yang terlihat berperan cukup menonjol dalam film ini adalah pemeran Atang dan Baso Salahudin.

Mereka berdua berhasil menye- marakkan dan menghidupkan cerita secara maksimal dengan kewajaran peran. Para aktris dan aktor senior pendukung film ini, seperti Ikang Fauzi, David Chalik, Lulu Tobing, Andhika Pratama sepertinya sudah memberikan usaha yang maksimal. Setting ce-rita dan background gambarnya pun bisa dengan santai dinikmati, dan malah memberi kebanggaan tersendiri terhadapa kecantikan ibu pertiwi. Konflik cerita pun mengalir enak dan mudah dicerna.

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 17

OPINI8

Mahasiswa adalah mereka yang disebut kalangan terdidik dan

kaum intelektual. Kelebihan maha-siswa itu memiliki gagasan dan aksi nyata. Dalam sejarahnya, gagasan mahasiswa Indonesia terangkum dalam organisasi Budi Utomo ta-hun 1908 yang kemudian melahir-kan Sumpah Pemuda tahun 1928. Sementara aksi nyata mahasiswa terlihat pada keberhasilannya men-umbangkan rezim Orde Lama 1966 dan menggulingkan rezim Orde Baru 1998.

Mahasiswa disebut juga pemuda. Kelebihan dari pemuda adalah soal keberaniannya. Sebab, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, jika pemuda tidak punya keberani-an, sama saja dengan ‘ternak’ kare-na fungsi hidupnya hanya beternak diri. Karena itu, ciri dari seorang mahasiswa (baca: pemuda) sejati adalah memiliki jiwa pergerakan.

Secara ideal, pergerakan ma-hasiswa itu dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni gerakan moral, intelektual, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam gerakan moral, mahasiswa dilandasi dengan nilai-nilai luhur dan idealisme tingkat tinggi. Nilai-nilai luhur dan idealis tersebut biasa dipraktikkan dalam posisinya sebagai problem solver dari setiap permasalahan kebangsaan yang muncul. Sebagai contoh, se-tiap ada kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat, mahasiswa-lah yang pertama kali berteriak.

Dalam gerakan intelektual, ma-hasiswa memiliki perbedaan men-

dasar dengan golongan masyarakat lainnya. Sebagai insan cerdik cendekia, mahasiswa diajarkan un-tuk berpikir secara logis, rasional, dan sistematis. Logis berarti ber-dasarkan pertimbangan sebab-akibat. Rasional berarti melalui pertimbangan berbagai aspek, teru-tama aspek untung rugi (cost-benefut analysis). Sementara sistematis be-rarti mampu menyusun dengan rapi dan terencana dari setiap ga-gasan atau aksi nyata yang hendak dilakukan.

Selanjutnya, tugas pergerakan yang tak kalah berat adalah mem-berdayakan masyarakat. Perlu dii-ngat, kata pemberdayaan (empower-ment) itu memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada membantu (help). Membantu identik dengan filosofi “memberi ikan” yang be-rarti membantu tanpa mendidik masyarakat agar mandiri, sedang-kan memberdayakan menggunakan filosofi “memberikan kail” yaitu membantu masyarakat sekaligus mendidik mereka agar dapat hidup mandiri ke depannya nanti. Secara praktis-akademis, gerakan mem-berdayakan masyarakat sebenarnya sudah ada dalam kurikulum pergu-ruan tinggi yang biasa dipraktikkan oleh mahasiswa pada akhir kuliah, seperti kuliah kerja nyata (KKN), dan lain sebagainya.

Itulah ciri mahasiswa sejati, yakni mahasiswa yang oleh Anto-nio Gramsci disebut ‘intelektual organik’. Sebab, kelebihan dari ma-hasiswa adalah soal intelektualnya, tentang idealismenya, dan tentang

gerakannya yang terorganisir. Lan-tas pertanyaannya, bagaimanakah kondisi mahasiswa sekarang?

Mahasiswa kertasDalam konteks kekinian dan ke-

disinian, pergerakan ideal maha-siswa--seperti yang termaktup di atas--tampaknya sudah semakin menipis. Dari sisi gaya hidup, vi-rus konsumerisme saat ini telah menjangkit kehidupan mahasiswa. Hidup glamor dengan tingkat kon-sumsi tinggi lebih digandrungi mahasiswa daripada sekadar baca buku di kosan atau perpustakaan.

Mengutip pendapat sosiolog George Simmel dalam The Metropo-lis and Mental Life (1903), industri-alisasi di kota dan meningkatnya penduduk pendatang mendorong tumbuhnya sentra perdagangan dan hiburan, seperti toko-toko, bioskop, music hall, dan sarana olahraga, se-cara perlahan namun pasti, hal ini akan membuat wajah kota berubah, berikut tradisi dan budayanya. Kini justru lebih banyak kita temui ma-hasiswa ‘membebek’, suka bertin-dak instan, berpikir pragmatis, lebih melihat hasil daripada proses, dan semakin menjauh dari tradisi liter-al. Ketika mahasiswa kuliah, yang dikejar seolah hanyalah nilai.

Tentang kondisi ini, Rektor Insti-tut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Djoko Santoso pernah menye-but mahasiswa seperti itu sebagai ‘sarjana kertas’ kelak jika nanti lu-lus. Bukan dalam pengertian sarja-na yang ahli membuat kertas, tetapi sarjana yang lulus hanya karena mengejar ijazah.

Lebih ironis lagi, sastra sebagai sumber imajinasi bagi manusia kini lamat-lamat mulai ditinggal-kan oleh mahasiswa. Mahasiswa sekarang menganggap bahwa sastra itu tidak penting. Padahal, maha-siswa yang telah kehilangan sensi-bilitasnya terhadap sastra adalah mahasiswa yang tengah menegasi-kan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas. Tentu sudah banyak berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tidak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan, sebuah ne-gara mampu beranjak maju tatkala elemen ekonomi dan industri nega-ra tersebut mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra.

Sastra untuk perubahanFilosof Immanuel Kant, mis-

alnya, pernah menyebutkan bahwa pemanusiaan manusia itu sesung-guhnya melalui karya-karya sastra. Sastralah yang pada akhirnya men-gutuhkan kembali perasaan manu-sia yang telanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan itu. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya seusai menyimak karya-karya sastra. Sebab, melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu (Anwari WMK, 2011).

Karena itu, tidak mengherankan jika biografi tokoh-tokoh politik,

bisnis, ekonomi, dan korporasi du-nia dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Para pejuang Indone-sia semisal Soekarno, Muhammad Hatta, Natsir, Tan Malaka, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dah-lan, dan Ki Hajar Dewantara, juga orang-orang yang getol dengan sas-tra. Dengan mengambil jalan esteti-ka, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.

Kita harus jujur mengakui bahwa bangsa hebat adalah mereka yang memiliki peradaban. Dan perada-ban lahir salah satunya melalui kar-ya sastra. Sebagai contoh, lihatlah negara-negara maju seperti Cina, India, Jepang dan bangsa Eropa lainnya adalah bangsa-bangsa yang menghargai sastra. Untuk itu, me-lapuknya semangat mahasiswa un-tuk belajar sastra akan menjadi pre-seden buruk begi kemajuan bangsa dan mahasiswa itu sendiri. Sebab, sastra erat kaitannya dengan imaji-nasi.

Sastra adalah sumber imajinasi terbesar. Melalui imajinasilah ga-gasan itu akan tercipta. Lewat ga-gasan lah pergerakan (aksi nyata) itu akan lahir. Dan melalui pergera-kanlah sebuah perubahan itu akan muncul. Sastra merupakan elan vital bagi sebuah perubahan. Inilah tantangan bagi mahasiswa masa kini, dan masa yang akan datang!

*Pemenang Lomba Opini Dies Nata-lis LPM INSTITUT, Mahasiswa Juru-san PAI, FITK UIN Jakarta.

Mahasiswa, Kertas, dan SastraAli Rif ’an*

Pada awal perkembangan transformasi media dari lisan ke tulisan sebagian

orang tidak menyambutnya dengan senang hati, bahkan terjadi kontro-versi. Salah satu bentuk kontroversi ini diekspresikan ilmuwan Yunani dalam sebuah karya yang berjudul Phaedrus. Plato (penulis buku Phae-drus) menceritakan perihal penen-tangan seorang raja Mesir terhadap berkembangnya dunia tulis menu-lis, dengan alasan bahwa tulisan akan membuat masyarakat berhenti melatih ingatan mereka dan bergan-tung pada media eksternal.

Socrates seorang orator ulung pada jaman itu juga mengungkap-kan tentang ketidaklayakan media tulisan. Menurutnya, simbol (huruf-huruf abjad) akan menggantikan ingatan dan dapat mendangkalkan

pikiran sehingga kita tidak akan mencapai kedalaman intelektual.

Tentunya, penentangan pedas mereka terhadap media tulis mem-punyai alasan. Menurut penulis, alasan tersebut berkaitan dengaan keunggulan media lisan itu sendiri, yang mana media lisan dapat meng-hasilkan kinerja verbal yang hebat, memiliki nilai kemanusiaan, serta memiliki nilai estetika yang tinggi. Dan hal itu tidak dapat ditemukan seutuhnya pada media tulisan.

Budaya baca-tulis sebagai pondasi sejarah

Aktivitas baca-tulis telah hadir sejak ribuan tahun lalu sekitar 800 SM. Sebelum mengenal tulisan dan bisa membaca manusia pur-ba berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan bahasa lisan. Atas dasar

keterbatasan mereka dalam meng-ingat sesuatu, maka mereka pun ter-dorong untuk mencari media yang dapat mendokumentasikan semua kejadian yang dialaminya. Sehing-ga, mereka menemukan media tulis sebagai jalan keluarnya, dan pada saat inilah dimulai jaman sejarah yaitu jaman ketika manusia menge-nal tulisan.

Sejarah mencatat bahwa Islam pernah berjaya melalui budaya baca-tulis. Bahkan, Nabi Muham-mad mendapatkan wahyu per-tama yang berbias perintah untuk membaca dan menulis “iqra-‘allama bilqalam (Bacalah-mengajarkan ma-nusia dengan perantaraan qalam)”. Jelas dalam ayat tersebut Allah SWT hendak menghantarkan ma-nusia dari dunia gelap menuju du-nia yang cerah yaitu melalui budaya

baca-tulis.Selain itu, budaya baca-tulis me-

rupakan budaya yang tidak dapat dipisahkan dari dunia intelektual, juga memiliki potensi peradaban yang luar biasa karena tulisan dapat melestarikan dan mengembangkan warisan intelektual dan kebudayaan suatu bangsa sehingga generasi se-lanjutnya dapat meraba, me-nerawang, dan membaca peristi-wa-peristiwa sejarah. Begitu juga dengan budaya membaca, mem-baca dapat membuka jendela dunia.

Keunggulan tulisan manfaatnya dapat kita rasakan secara langsung, seperti sebuah kisah dari Sa’ad ibnu Jabir, bahwa setiap belajar pada ibnu Abbas beliau selalu menulis di lembaran-lembaran terlebih da-hulu dan ketika sudah penuh beliau menulis materi pelajarannya di atas

kulit sepatu dan tangan. Sang ayah menasehatinya, “Belajarlah dengan hati dan tulislah semuanya sepu-lang kuliah. Jadi, seandainya lupa kamu sudah punya catatan.”

Dari kisah tersebut, kita dapat menarik benang merah bahwa sesungguhnya media tulisan dapat membebaskan tapal batas dari ke-terbatasan ingatan manusia. Hal ini sesuai dengan ungkapan, ”Apa yang kita ucapkan akan menguap, sedangkan yang kita tulis akan ab-adi”.

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Tarbiyah, jurusan pendidikan B.Arab.

Pendangkalan Pikiran dengan Budaya Baca-Tulis?Liah Siti Syarifah*

Edisi XVII/Maret 2012

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 17

Junaidi Abdul Munif*

OPINI 9

Gerakan dan aktivisme maha-siswa yang selama ini menjadi “mitos” embrio perubahan sosial, hari ini layak direkonstruksi, bah-kan didekonstruksi. Dekonstruksi paradigma gerakan mahasiswa ini penting agar jargon mahasiswa se-bagai agen perubahan sosial (agent of social change) masih diharapkan mampu mengejawantah dalam se-tiap nafas pergerakan mahasiswa.

Romantisme gerakan maha-siswa mencuat jika mengingat masa-masa manis nan heroik saat mahasiswa dari pelbagai elemen bersatu menghadapi musuh bersa-ma (common enemy) bernama rezim korup-otoriter. Mereka tak gentar menghadapi peluru aparat, libasan tank, apalagi hanya semprotan gas air mata. Atas nama perubahan dan perjuangan, nyawa pun rela dikorbankan.

Sejak reformasi bergulir, gera-kan mahasiswa memang memberi secercah harapan akan perbaikan kondisi politik yang lebih baik. Mereka berdiri di garda depan dalam upaya penggulingan Soe-harto. Amien Rais (2005) menya-takan bahwa pasca Reformasi, mahasiswa seperti kehilangan taji. Demonstrasi dan advokasi kepada rakyat nyaris sepi, karena maha-siswa hanyut dalam labirin kapi-talisme (kemewahan hidup) yang membuai hidup mereka.

Sayangnya, reformasi yang di-impikan akan membalik kondisi

Indonesia menjadi lebih baik kini masih jauh panggang dari api. Perilaku koruptif para elite politik-birokrat justru kian subur dari pu-sat hingga daerah. Ini seolah mem-benarkan sinyalemen Bung Hatta (1970) bahwa korupsi telah men-jadi budaya masyarakat Indonesia.

Kendati tragis, itu adalah feno-mena yang melanda masyarakat kita yang dilanda tsunami korupsi. Korupsi seperti tak pandang bulu, termasuk menerjang barisan ma-hasiswa yang diharapkan memeg-ang teguh idealisme melawan dan anti korupsi. Apakah mahasiswa sekarang tak lagi memiliki ideal-isme karena mereka yang idealis adalah “anak haram” zaman dan akan tergilas mati sendiri?

Pragmatis

Tanpa menafikan bahwa gera-kan mahasiswa masih memegang idealisme, kita harus menyadari bahwa arah pragmatisme kini mu-lai merambah kepada gerakan ma-hasiswa mahasiswa. Pragmatisme, mengacu pada defisini Charles Sanders Pierce, adalah bagaima-na sesuatu selalu diukur dengan sejauh mana dapat memberikan manfaat secara langsung. Ken-dati manfaat itu terkadang hanya semu belaka (Tolkhatul Khoir dkk, 2009).

Dalam konteks gerakan-organ-isasi mahasiswa, pragmatisme itu mewujud dalam manfaat politik

dan ekonomi. Dua manfaat inilah yang membuat para aktivis maha-siswa berlomba-lomba untuk men-jadi orang nomor satu di organisasi mahasiswa. Gejala ini tampak bahwa pasca reformasi, banjir par-tai politik melanda Indonesia. Par-tai menjadi rumah bagi mahasiswa berikutnya untuk menjalankan ak-tivismenya (Al Fayyadl, 2010).

Boleh dikatakan mahasiswa harus menghadapi musuh-musuh yang tak jelas wujudnya. Dari sisi internal mahasiswa, mereka harus menghadapi bahwa “persoalan diri” mereka belum selesai. Mere-ka belum menjadi generasi yang mandiri karena masih harus ber-gantung kepada entitas eksternal di luar mereka, baik ketergantun-gan ekonomi dan mentalitas junior yang gagap melangkah karena para seniornya seperti induk semang.

Sementara musuh-musuh dari luar, terutama partai politik me-nawarkan “solusi” untuk menyele-saikan problem internal itu. Parpol menjadi godaan tersendiri bagi ak-tivis mahasiswa untuk berkiprah, kendati itu adalah yang mereka la-wan semasa masih mahasiswa.

Seorang rekan, dengan skep-tis mengatakan bahwa persoalan demo-mendemo hanyalah per-soalan kesempatan. Yang seka-rang didemo adalah mereka yang dulu juga berteriak lantang. Yang kini menjadi tukang demo, besok akan menjadi pihak yang didemo.

Sebuah skeptisisme untuk meng-gambarkan betapa kuatnya godaan korupsi sehingga tak bisa dilawan.

Pangkal persoalannya adalah apakah mahasiswa sudah mampu menyelesaikan problematika inter-nal diri sendiri, baik itu menyang-kut persoalan ekonomi maupun mentalitas independen yang tak bisa diintervensi dan dikendalikan dari luar? Ketika dua problem terse-but belum selesai, pragmatisme masih akan menjadi hantu yang akan membuat mahasiswa ‘kesu-rupan’.

Terlebih kita kini sulit melaku-kan diagnosa apa yang diberikan oleh para aktivis mahasiswa dan mereka yang bersembunyi di ba-lik selimut organisasi mahasiswa. Sejauh mana mereka mampu men-jadi agen perubahan sosial itu. Ini penting mengingat aktivisme mahasiswa ini menjadi pertaru-han bagi sebuah eksistensi di mata pihak luar. Agar mereka tak dicap sebagai event organizer (EO) yang menyelenggarakan pelbagai acara untuk menunjukkan diri kepada publik.

Mahasiswa ideologDari rentang paradoks gerakan

mahasiswa tersebut, yang paling ‘bertanggung jawab’ adalah ma-hasiswa ideolog. Yakni mahasiswa yang berdiri sebagai ‘dewa’ yang akan memberikan semacam fatwa untuk mahasiswa lainnya. Ideologi

pergerakan atau organisasi maha-siswa menjadi sangat penting, bu-kan dalam konteks menampilkan ciri khas yang sudah dimiliki oleh organisasi mahasiswa sejak dulu, melainkan untuk memantapkan dan mengokohkan ideologi yang telah lama dibangun.

Krisis mahasiswa ideolog ini kentara ketika tidak ada figur ma-hasiswa yang begitu moncer den-gan pemikiran-pemikiran yang progresif den genuine. Mahasiswa ideolog tidak kita bisa jumpai pada ketua organisasi mahasiswa. Mereka baru hadir sebatas pem-impin, manajer untuk menjalan-kan organisasi. Mahasiswa ide-olog lebih meruapkan seperti guru bangsa yang berdiri di atas semua organisasi mahasiswa.

Melahirkan sosok mahasiswa ideolog menjadi penting agar khit-tah mahasiswa tetap terjaga sepan-jang hayat. Peran mahasiswa se-bagai agent of social change adalah harta karun peradaban yang mesti dipelihara sebagai elan memban-gun bangsa dan masyarakat yang kini mulai limbung. Pragmatisme gerakan mahasiswa adalah ben-tuk pengkhianatan paling tragik dari dari robohnya ruh mahasiswa yang dihantam badai krisis.

*Pemenang Lomba Opini LPM INSTITUT, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Pragmatisme Gerakan Mahasiswa

tika yang untuk mengumpulkan nilai yang diperlukan untuk diinput ke Nicky di Pusdatin FST paling lambat 13 Januari 2012.

Sebenarnya pengumuman ini ada-lah hal yang cukup menggembirakan, karena disana tertulis bahwa nilai mahasiswa yang belum tercantum di AIS akan segera dimasukkan. Itu tandanya seluruh mahasiwa akan mengetahui nilai-nilai dan IP mereka di AIS. Namun, yang jadi permasala-han, mengapa mahasiswa itu sendiri yang harus menyerahkan nilainya? Bukankah nilai tersebut ada di tangan dosen pengajar yang langsung diser-ahkan ke bagian akademik fakultas? Bukankah mahasiswa tidak memiliki

Tahun 2011 telah berlalu bersama kenangannya, baik yang menyenang-kan maupun yang tidak menyenang-kan. Semua orang dengan bahagia menyambut tahun baru 2012 dengan penuh sukacita. Berharap keinginan yang belum tercapai di tahun lalu bisa direalisasikan di tahun ini.

Namun hal yang berbeda justru da-tang dari Bagian Akademik Fakultas Sains dan Teknologi. Di awal tahun 2012 yang bertepatan dengan jadwal UAS, mereka mengeluarkan sebuah pengumuman yang mengecewakan mahasiswa. Pengumuman yang dise-barkan melalui Yahoo Group tersebut berisi pemberitahuan kepada maha-siswa Program Studi Teknik Informa-

kewenangan atau akses untuk mem-inta nilai-nilai mentah tersebut untuk bukti.

Namun, hal itu mungkin tidak dipikirkan oleh Bagian Akademik. Mahasiswa yang seharusnya fokus terhadap UAS menjadi bingung ke-sana kemari meminta nilai mereka. Karena nilai mentah tersebut tidak boleh dipinjam untuk sekedar difo-tokopi, akhirnya beberapa mahasiswa yang kreatif mengabadikannya den-gan kamera untuk kemudian diprint sebagai bukti.

Belum selesai sampai disana, saya yang kebetulan masuk ke ruangan Ba-gian Akademik untuk melihat nilai, sangat terkejut melihat keadaan data-

Akademik masih mengecewakandata nilai seluruh mahasiswa yang sangat berantakan. Seolah-olah data nilai tersebut sudah tidak diperlukan lagi. Walaupun mereka telah meng-kopinya dalam bentuk lain, saya kira sangat tidak etis sebuah data penting diperlakukan seperti itu. Dari hal itu saya menyimpulkan, tidak heran jika sistem AIS masih sangat berantakan, toh sistem/data manualnya saja masih seperti itu.

Semoga ini adalah terakhir kalinya pihak AIS atau Bagian Akademik ‘ngerjain’ mahasiswa mengenai nilai-nilainya. Semoga di tahun baru ini mereka bisa lebih baik dalam mela-yani mahasiswa.

Surat Pembaca...

Bang Peka..

Edisi XVII/Maret 2012

Pasca keluarnya surat edaran Dikti terkait kelulusan....

Menerima:

Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, cerpen dan su-rat pembaca. Opini, cerpen, tekno dan esai: 3000 karakter. Puisi dan surat pembaca 2000 karakter

Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudn-ya.

Tulisan dikirim melalui email: [email protected]

RedaksiLPM INSTITUT

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 17

SASTRA10

Kere Munggah BaleAdang Saputra*

Pagi itu tak seperti biasa. Langit tampak cerah. Maklum sudah beberapa

minggu terakhir mendung kerap nongkrong di atas perkampun-gan kumuh itu. Kicauan burung membaur dengan gelak tawa bocah kampung. Mereka berlari, menari, penuh suka cita. Orang tua mereka pun ndak mau kalah, mereka menjemurkan diri di pelataran rumah macam bule di pesisir pantai Bali.

Sayup-sayup terdengar tangisan bocah. Suara itu berasal dari se-buah rumah tak jauh dari tempat keramaian tadi.

Rumah itu terletak seratus me-ter agak menjorok ke dalam gang sempit. Catnya kusam, beberapa dindingnya tampak cuwil-cuwil. Baunya, alih-alih parfum ruangan yang wangi, lebih mirip gombal basah yang beberapa hari ndak kering.

Joko menangis, meraung-raung minta dibelikan PS. Maklum anak sekarang beda dengan anak dulu. Mungkin ini imbas globalisasi dan modernisasi. Siti, sang ibu, hanya diam. Ia bingung. Matanya tetap menhtelengi tivi bututnya yang kerap kabur dirubung semut. Dalam hati, Siti meratap pedih, Andai hidupku berubah, ndadakan kaya bergelimang harta. Hidup serba ada seperti cerita-cerita sinetron itu,..tapi,..ah.. Ia menye-sali menikah dengan lelaki miskin, Parto.

Tiba-tiba, suara cempreng mem-buyarkan lamunannya. ‘’Buke, mimpimu bakal terwujud. Aku dapat kerja! Sak miliar seminggu!’’ seru Parto. Siti tak memedulikan pekerjaan apa yang bakal dilakoni suaminya. “Aku mau dibelikan PS sama CBR terbaru, Papi!” seru Joko dari kamar lembabnya girang. Karena mungkin kaget campur bahagia, Siti semaput.

Status sosial dan pergaulan Parto pun berubah drastis. Orang Kaya Baru (OKB) alias kere mungah bale. Semua yang dulu

hanya bisa diimpikan sambil ngiler, diborong semuanya. Rumah me-wah, tanah berhektar-hektar, Rolls Royce terbaru, semua punya.

Dengan mobil yang masih kinyis-kinyis, plus kacamata rayban, Parto pongah menerobos jalanan

Malioboro. Ayah Parto, Minto, yang berpapasan hanya bisa berkata lirih. ‘’Min, itu pengu-saha. Parto lagi tidur,’’ katanya mencoba menentramkan batin yang pedih. Paimin yang tak mudeng maksud romonya itu hanya melongo.

Dan pagi itu, dengan kekayaan-nya, Parto bisa menyihir aktivitas pagi Malioboro. Semua diam, melihat pintu Rolls Royce yang terbuka pelan. Siti keluar dari mo-bil dengan jalan dianggun-anggun-kan. Semua pedagang menawar-kan dagangannya. Dan semua pun diborong Parto hingga ludes. Satu jam berlalu, dengan bagasi tetap terbuka karena penuh belanjaan, Rolls Royce kembali melaju.

Orang-orang heran, dibikin kaget oleh keadaan Parto seka-rang. “Saiki Parto dadi wong sugih” clethuk Komar. “Iyo e, padahal dulu dia narik becak sama seperti kita” timpal Sugimin. Memang dulu sebelum jadi OKB, Parto adalah penarik becak Malioboro.

Wajar saja apabila teman-temann-ya terheran-heran dibuatnya.

Menjelang petang, Siti mengajak dinner ke Rumah Makan Sendang Ayu, Kalasan. Dengan dandanan serba putih, Siti menggamit lengan Parto. Mereka berjalan pelan melintasi food court memilih menu.

Mereka pun tak lagi memperha-tikan langkah. Ditujunya gubuk pojok di area itu.

Malam dihiasi barisan bintang-bintang. Di sudut

ruangan yang dipadu musik romantis. Dihiasi lilin, Parto dan Siti entah ngobrolin apa, mereka

asyik bercengkrama. Tiba-tiba keasikan

mereka di-kagetkan serombon-gan aparat negara tanpa serag-am. Mereka

menggelan-dang Parto dengan alasan menjadi agen spionase internasional. Meja hijau mengantarkan Parto ke hotel prodeo selama dua puluh tahun.

Siti kaget. Ia semaput. Joko meraung-raung nangis. Semua harta kekayaan Parto termasuk Rolls Royce kesayangannya disita. Minto dan Paimin hanya bisa melongo. Mereka hanya menatap Parto dengan tatapan layu. “Kasi-han sekali nasibmu, nak..” ucap Minto lirih.

Sore hari dua puluh tahun kemudian, Minto, Paimin, Siti dan Joko berkumpul. Di hala-man, mereka asik berbagi tempe gembus. Tiba-tiba, ‘’Hidup di bui pikiran bingung, makan susah, pulang tinggal tulang..,” Penga-men dengan gitar bututnya yang ternyata Parto baru keluaran pen-jara, memecah keasikan mereka. Mereka kaget, melongo.

* Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Cerpen...

Edisi XVII/Maret 2012

Puisi...

Elia : Tentang sajak yang tumbuh dari cengkung matamuadalah surga yang manis yang pernah kita racik dari potongan tulang rusuk kehidupan sejak azaliakemudian aku menguburnya bersama air mata di persimpangan jalan keberangkatankumenuju—Negeri mentariku kubur;ke dalam debuke dalam awanke dalam pohonke dalam sungaike dalam lautke dalam badaihingga cintaku sekuat badai mengamuk

Elia: kepergianku tak ada yang ditinggalkankecuali setumpuk puisi dan catatan teka teki kematianyang aku pun dengan engkau tidak bisa menjawabnya kapan itu terjadi?karena‘Tuhan’ tidak akan mengingkari janjinyajika kita akan dipertemukan kembali

Elia: di negeri mentari iniaku mengingat, bahwa kita pernahdisatukan sunyi, dibakar hangatnya mimpihingga terkapar dari rasa lelahdi malam yang berdebu

Elia: tiupkanlah ketajaman doamu penuh kudus agar kita secepatnya dipertemukan kembaliaku akan bawakan engkau oleh-oleh puisiberalur rindu tanpa paragraf dan kita bacakan bersama den-gan nikmat

Jakarta, 2011*Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat semester II. Aktif di Poros Senja kala, Pemuda Sastra UIN Jakarta

Surat Untuk Elia*Harsono

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 17

Hujan deras di Jakarta tak menyurutkan penonton untuk datang melihat

pertunjukan acapella dari Jamaica Café di @america, gedung Mall Pa-cific Place. Antusiasme terlihat dari banyaknya penonton yang meme-nuhi ruangan.

Musik yang mereka suguhkan malam itu tak sekedar pertunjukan acapella biasa, celetukan humor per-sonilnya kadang membuat penon-ton terbahak-bahak. Seperti pada lagu Oh Ya yang dipopulerkan oleh grup Warna, dibawakan dengan selingan humor.

Mereka juga membuat lagu pop melayu terkesan menarik dan tidak mendayu-dayu. Seperti pada lagu C.I.N.T.A dari D’Bagindas, mereka bawakan dengan dinamis dan ener-jik. Di akhir lagu, selingan humor kembali disuguhkan. “Tadi Bayu nyanyinya, oh mama, oh papa, oh mama, oh papa, kenapa Bayu masih single?” ujar Enriko Siman-gunsong penyanyi bersuara tenor 2 sambil tertawa . “Mati banget gue disini,” sambung Bayu penyanyi bass yang segera disambut riuh tawa penonton.

Kejahilan mereka tak berakhir hanya sampai di situ saja. Lagi-lagi Bayu menjadi korban kejahilan. En-riko menyayikan lagu Janji Tinggal Janji yang dipopulerkan oleh Kru diiringi oleh suara beat box dan bass

oleh Bayu. “Janji janji, tinggal janji, bulan madu hanya mimpi,” Enriko menyanyikan lagu untuk Bayu. Penonton kembali terbahak.

Selain digawangi oleh Enriko dan Bayu, grup yang sudah belasan ta-hun ini diisi oleh 4 personil lainnya. Mereka adalah Prihartono Anton Mirzaputra (bariton 1, perkusi), Hekko Wicaksono (tenor 1, beat box, trompet, perkusi), Michael da Lopez (bariton 2), dan Tito (bariton 3, seruling).

Tak hanya pertunjukan acapella yang memukau, lagu I Got a Fee-

lings’ yang dipopulerkan oleh Black Eyed Peads kali ini diiringi oleh BBoy dance yang menambah decak kagum dan tepuk tangan penonton.

Tak beberapa lama mereka me-manggil personil yang sudah lama ikut manggung bersama mereka, Jimmy Bronx (beat box). Bayu yang tadinya sempat dicela terus menerus oleh temannya, kali ini ber-hasil mencela Jimmy yang sedang memperkenalkan diri, “Sekalian kirim-kirim salam sama mama di Sorong,” ujarnya diikuti tawa penonton.

Kali ini posisi suara bass yang tadinya dipegang oleh Bayu seka-rang digantikan oleh Jimmy Bronx. Sebelum memulai lagu If Ain’t Got You dengan formasi baru, kelucuan kembali terjadi. Saat itu Anton sang penentu irama memerintahkan kepada temannya untuk ambil suara terlebih dahulu. Yang terjadi adalah Enriko meminta suara dari dalam saku celana Michael. Penonton kembali terbahak.

Lagu Where’d You Go yang dipopulerkan oleh Fort Minor kem-bali membuat penonton bertepuk

tangan. Kombinasi beat box, bass, keyboard dari mulut mereka mirip dengan musik di lagu aslinya. Rap dari Bayu menyempurnakan lagu tersebut. Ditambah pula dengan aksi konyol Jimmy yang memukul-mukuli personil Jamaica Cafe lainnya.

Mereka tak hanya membawakan lagu pop dan melayu saja. Lagu Keong Racun juga tak lupa dibawa-kan oleh Jamaica Café. Suara mer-du Enriko dan Beat Box dari Bayu membuat lagu Keong Racun’terasa baru. Tak hanya mereka berdua, personil lain membuat lagu ini tambah asyik. Di sela-sela lagu, “Di Amerika ada nggak ya koboi kucai?” tanya Enriko.

Menurut Anton, musik acapella adalah lagu yang paling ramah lingkungan. Dia mengaku bahwa mereka tidak menghabiskan listrik yang banyak saat manggung. Mereka cukup menggunakan mulut. “Tapi pas lu nyanyi, banyak yang muncrat ke mana-mana,” timpal Enriko.

Tibalah di penghujung acara, lagu terakhir sudah dibawakan oleh Ja-maica Cafe. Namun, penonton tak puas. “We want more, we want more,” teriak penonton berulang-ulang. Akhirnya, lagu Terajana yang di-populerkan oleh Rhoma Irama pun dibawakan mereka sambil mengajak penonton bergoyang.

SENI BUDAYA 11

Makhruzi Rahman

Di penghujung 2011, layar televisi diramaikan oleh sejumlah orang yang

satu persatu maju kedepan mic sambil mengocok perut penonton-nya dengan berceloteh jenaka. Ya, stand up comedy kini menjamur di Indonesia.

Melihat animo masyarakat tersebut, seorang mahasiswa UIN Jakarta tergerak membuat komuni-tas mesin pembuat tawa di kam-pus. Konon, perkumpulan para Comedian on the Mic (comic) UIN Jakarta ini menjadi komunitas

stand up comedy kampus pertama di Indonesia.

Tersebutlah Ilham Fauzan, ma-hasiswa semester 4 Jurusan Komisi Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FID-KOM) yang berinisiatif mendiri-kan komunitas Stand Up Comedy UIN Jakarta setelah mengikuti workshop bersama teman-teman dari Stand Up Indonesia di FX Plaza Sudirman.

Mulanya, ia mengadakan work-shop stand up comedy pada 20 Okto-ber 2011 lalu di FIDKOM. Kemu-

dian bersama teman-temannya, ia mengadakan open mic pertama di Kafé Cangkir UIN Jakarta. Ajang uji kemampuan para comic pemula ini mendapat sambutan hangat dari para civitas akademika. Keberadaan-nya di kafé ini berlangsung selama beberapa minggu, hingga akhirnya dipindahkan venuenya ke Cafeloso-phy, salah satu kafé di bilangan Ciputat, sampai sekarang.

Penggiat Komunitas Stand Up UIN ini awalnya para teman sepermainan Ilham, lalu meluas ke seantero kampus. Fachrul Nur Fa-jar, mahasiswa semester 2 Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) merupakan satu dianta-ranya. Arul, begitu ia disapa, mulai bergelut di komunitas ini sejak mengenalnya dari akun twitter @StandUpUIN. Merupakan risiko yang wajar terjadi bila para penon-ton tidak tertawa, “Comic juga ma-nusia, tidak selamanya lucu. Tapi kalau mereka nggak ketawa (ketika saya tampil, red), saya kelitikin aja, atau saya tusuk sama garpu,” tukasnya kocak.

Seiring waktu, seleksi alam dan perkembangan jaringan membuat Stand Up UIN turut diramaikan

oleh mahasiswa non-UIN, bahkan pelajar. Salah satunya adalah I Nyoman Widya Dharma Nugraha yang akrab dipanggil Komang. Siswa kelas 2 SMA N 3 Tangsel ini, mulanya tertarik menjajal open mic Stand Up UIN karena dekat dari rumahnya. Namun, sensasi berceloteh di hadapan para penonton membuat Komang keta- gihan. “Pengen ikutan acara stand up beneran, tapi kalau nggak dapet, gue akan tetap terus ikut open mic,” ujarnya riang.

Semakin meriahnya sambutan yang diterima perkumpulan ini membuat Ilham berniat menghelat Stand Up Night UIN yang rencana- nya akan digelar pada 13 April 2012, yang diisi oleh guest comic (comic tamu dari luar kampus) dan comic lokal (comic dalam kampus).

Lahan bagi para comic memang sedang subur. Ilham pun sem-pat mengecap pendapatan yang lumayan untuk seorang comic mahasiswa. Menurut mahasiswa sekaligus pengurus aktif Stand Up Comedy Indonesia ini, keseriusan dalam menggarap materi stand up adalah yang nomor satu. Dengan ‘serius untuk bercanda’, baginya dunia stand up dapat menghasil-

kan uang, bahkan dapat dijadikan profesi.

Namun keberadaannya di ladang tawa ini bukan tanpa duka. Pernah ketika Ilham diundang untuk menghibur di acara salah satu perusahaan kendaraan terkemuka Indonesia, ia dikibuli dengan di-beritahu budget acara yang palsu, sehingga diberi honor yang jauh dari kata sesuai. “Waktu itu juga nggak dikasih ongkos transportasi, padahal acaranya jauh, di Serang. Tapi ya sudahlah, yang penting pengalaman,” kenangnya.

Untuk pengembangan stand up, ia menyarankan para comic untuk tidak mengunduhnya ke jejaring sosial semacam twitter atau youtube, karena ditakutkan akan dibajak ide atau materi stand upnya. Padahal, bagi seorang comic, materi adalah harta yang sulit dicari karena diperlukannya originalitas dalam melakukan stand up comedy. “Lebih baik disimpan dalam dvd lalu di-jual, seperti yang dilakukan pionir comic Indonesia, Pandji Pragiwak-sono dalam show Bhinneka Tung-gal Tawanya,” jelas Ilham.

Stand Up Comedy UIN: Lahannya Penggiat TawaKomunitas...

Enam personil jamaica cafe saat membawakan lagu terajana di panggung @america, Jumat (9/3).

Edisi XVII/Maret 2012

Aksi Komang, salah satu comic saat menjajal open mic, Minggu (4/3), di Cafeloso-phy, Ciputat.

Jamaica Cafe, Guncang Panggung @america

Trisna Wulandari

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 17

l

SOSOK12

Mendidik Anak PemulungRahmat Kamaruddin

Edisi XVII/Maret 2012

Suatu kali, seusai mengajar, Basyir sembari mengernyitkan dahi mencari sandalnya yang hilang. Setelah beberapa saat, dia mendapati sandal tersebut ternyata berada di atas batu nisan kuburan. Apa sebab? “Disembuyiin anak-anak,” kenang pria kelahiran Pemalang, 26 Mei 1990 ini.

Menjadi guru relawan di lingkungan tempat pembuangan sampah itu membu-

tuhkan semangat lebih. Tumbuh di lingku-gan kumuh yang tidak kondusif berdampak pada sisi psikologis anak-anak pemulung. “Mereka cenderung lebih agresif dibanding anak seusia mereka,” kata Basyir.

Meski begitu, pria bernama panjang Abdul Basyir ini menyayangi mereka. “Ada rasa kepuasaan tersendiri saat kita bisa berbagi, terutama dengan anak-anak bangsa

yang belum beruntung seperti mereka,” katanya. Menurutnya, mentransformasikan pengetahuan kepada anak-anak pemulung yang tidak dapat mengeyam pendidikan la-iknya anak lain pada umumnya merupakan kegiatan sosial yang penting.

Kegiatan menjadi guru relawan tersebut merupakan kerjasama antar organisasi yang kini dinahkodainya dengan Sanggar Islam Al-Hakim, Ciputat. Basyir mengkoordina-tori lima tempat belajar anak pemulung di sekitar daerah Ciputat, yakni Gang Kubur, Gang Mawar, Gang Jambu dan dua sanggar lagi di daerah Kampung Sawah.

Masing-masing sanggar belajar tersebut dipimpin oleh satu orang kepala sekolah dari mahasiswa. “Yang paling ‘angker’ itu di Gang Kubur,” katanya. “Pernah ada guru relawan dari mahasiswi menangis karena tak kuat dengan ulah murid didik mereka,” ujar Ketua Umum Ikatan Remaja Fathullah (Irmafa) periode 2011/2012 tersebut.

Tantangan kondisi psikologis murid didiknya tak kalah dengan suasana belajar-mengajar. Bau busuk sampah di sekitar tem-pat belajar terkadang mengganggu, namun baginya itu sudah hal biasa. “Apalagi kalau musim hujan, aroma sampahnya masya-allah. Pernah juga ada rekan mahasiswi mengadu kepada saya merasa ketakutan melihat banyak belatung keluar dari bong-kahan sampah,” tuturnya.

Tempat belajar sanggar sangat seder-hana, menggunakan tempat seadanya.

Di Gang Kubur sendiri mereka meman-faatkan musala kuburan sebagai tempat belajar. “Pernah di pertengahan belajar, kami berhenti sejenak karena ada mayat ingin disholatkan oleh warga setempat,” mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris angkatan 2008/2009 tersebut sambil tersenyum.

Misi sosialDitopang oleh beberapa donatur dari

masyarakat, Basyir tidak hanya mengajar anak para pemulung di masing-masing tem-pat tersebut. Pria yang tengah dalam proses menyelesaikan skripsinya ini juga memiliki misi sosial, yakni pengentasan kondisi ke-hidupan penghuni setempat. “Kami pernah membelikan beberapa bebek kepada orang tua mereka (pemulung, red) agar mereka beternak, namun beberapa waktu kemudian bebek-bebek itu mereka jual,” ujarnya.

Lingkungan tempat mereka mengajar relatif primitif, di tengah warga setempat tak jarang timbul perselisihan oleh adanya gap yang disebabkan perbedaan status sosial. Anak didik mereka berkelahi dan menangis. Jika tidak disikapi dengan baik, hal tersebut bisa saja berlanjut kepada perti-kaian orang tua mereka. “Tak jarang ketika pulang dari mengajar, saya dicegat orang tua mereka yang anaknya menangis karena berkelahi saat belajar,” tuturnya.

Abdul Basyir bersama salah satu anak didiknya usai mengajar

FOTO

:DO

K. P

RIBA

DI

Cp: 087884907104

Baca!

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 17

WAWANCARA 13FOTO: JAFFRY/INSTITUT

Persiapan Jurnal Ilmiah Butuh Tiga Tahun

Edisi XVII/Maret 2012

Jaffry Prabu Prakoso

Surat ederan Direktorat Jendral (Dirjen) Pendidi-kan Tinggi (Dikti), tertanggal 27 Januari, agar ma-hasiswa yang ingin menyelesaikan kuliahnya baik untuk jenjang S1, S2, dan S3, untuk menerbitkan jurnal ilmiah. Surat edaran tersebut harus dilak-sanakan Agustus menda-tang. Lalu bagaimanakah dampaknya bagi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta? Berikut petikan wawancara reporter INSTITUT, Jaffry Prabu Prakoso dengan Ketua Jurusan Managemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Rusydi Zakaria.

Apa dampak positif untuk menerbitkan jur-nal ilmiah di UIN Jakarta?Dampaknya bagus untuk memperkuat inte- gritas di lingkungan (UIN Jakarta) kita, namun untuk sekarang belum pas diadakan secara mendadak. Betul-betul butuh masa transisi sekurang-kurangnya tiga tahun.

Apa saja yang dibutuhkan untuk waktu tiga tahun itu?Memersiapkan infrastruktur dulu dengan me-muat jurnal-jurnal di setiap jurusan. Kemudian melatihkan orang-orang yang akan mengelola jurnal itu nanti. Pimpinan juga menyiapkan finansial untuk menerbitkan jurnal. Tanpa itu

tidak bisa jalan. Bayangkan jika setiap tahun ada 4000 mahasiswa tamat jadi sarjana, jika satu jurnal hanya bisa menampung 10 hingga 20 tulisan, kita butuh 200 jurnal. Lalu, jika satu jurnal membutuhkan empat sampai lima pengelola, berarti kita membuthkan 800 pengelola Sumber Daya Manusia (SDM). Dan satu jurnal membutuhkan Rp30 juta, berarti kita memerlukan uang Rp 6 miliyar. Itu kan tidak mungkin. Jadi kebijakan itu tidak bisa mendadak.

Bagaimana dengan mahasiswa UIN Jakarta sendiri?Faktanya mahasiswa kita belum berbudaya itu (menulis). Karena selama ini, di sekolah lanjutan mereka disuapin, guru ceramah. Jadi belum terbiasa mencari bahan sendiri, kemudi-an membaca. Jadi budaya itu belum terbentuk. Dan kuliah juga sama, belum banyak dosen yang memberikan ruang untuk mahasiswa mengembangkan intelektual secara bagus, masih disuapin. Seharusnya, kalau pola penga-jarannya sudah dibentuk di sekolah lanjutan, maka di kuliah tidak ada masalah. Jika tiga tahun bertahap, kemudian Direktorat Jendral (Dirjen) pendidikan menengahnya juga meng-

haruskan siswa Sekolah Menegah Atas (SMA) harus punya karya ilmiah, dengan begitu siswa memiliki pengalaman dan keahlian dari awal. Karena menulis itu tidak bisa dilakukan secara instan.

Kemudian dari sisi negatif itu seperti apa?Keterlambatan menyelesaikan studi. Akan banyak yang selesai kuliah lewat dari semester 14. Pasti. Alasannya karena harus antre untuk tulisannya masuk, karena ada 4000 mahasiswa lulus.

Apa langkah-langkah untuk mahasiswa agar terbiasa menulis jurnal ilmiah?Seharusnya mahasiswa sudah dilatih membuat laporan-laporan penelitian dari semester tiga. Fakta sekarang mahasiswa baru diajar-kan laporan penelitian dari semester enam dan tujuh. Lalu mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian.

Bagaimana menyiasati langkah penjiplakan atau plagiat?Harus ada dewan redaksi. Mereka para pakar sebagai katup untuk memfilter tulisan dia (maha-siswa). Ke depan, Pendidi-kan Nasional (Diknas) harus menciptakan sistem untuk me-matrol lalu lintas tulisan itu. Karena kita (Indone-sia)

belum punya. Kalau di luar negeri sudah punya. Jadi ketahuan. Karena mereka (jurnal ilmiah) sudah masuk ke dalam tulisan-tulisan yang sudah bagus. Dan pembina juga harus memiliki integritas untuk mendeteksi ter-jadinya plagiat itu. Dan di UIN belum punya pembina seperti itu.

Menurut Anda, bagaimana kebijakan menu-lis jurnal ilmiah secara umum?Secara ideal kebijakan itu bagus, namun secara praktis itu rentan untuk diterapkan pada jenjang S1. Kalau jenjang S2 dan S3, memang harus dan wajib. Karena untuk menulis tesis dan disertasi, tulisannya harus bermutu. Tapi mahasiswa disuruh untuk menulis bermutu, mencari buku yang bagus saja susah. Dan

mereka membeli buku, dapat uang darimana? Kalau S2 dan S3 sudah

bekerja, jadi mereka bisa menyi- sihkan pendapatannya untuk beli buku. Dan juga maha-

siswa masih kebiasaan copy, paste. Budaya menulis itu masih sulit.

Tanggapan Mahasiswa UIN Terhadap Jurnal Ilmiah

Tepat tanggal 27 Januari 2012 lalu, dunia kampus dikejutkan dengan surat edaran yang dikeluarkan Dikti No. 152/E/T/2012, tentang kewajiban menulis di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1, S2, dan S3. Kebijakan yang bertujuan menumbuhkan budaya akademik ini akan diberlakukan Agustus 2012 mendatang.

Menanggapi keputusan tersebut, Asosiasi Per-guruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) men-ganggap kebijakan tersebut sangat tergesa-gesa mengingat berbagai sarana belum tersedia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran munculnya jurnal abal-abal sebab jurnal yang aktif di Indonesia hanya berjumlah 2.029 jurnal sedangkan lulusan mahasiswa setiap tahunnya mencapai 800 ribu mahasiswa.

Karena mendapat kecaman dari berbagai pihak akhirnaya kebijakan tersebut hanya menjadi dorongan saja bagi setiap perguruan tinggi. Litbang LPM INSTITUT mencoba mencari tahu bagaimana tanggapan mahasiswa UIN Jakarta terhadap kebijakan tersebut. Siapkah mahasiswa UIN Jakarta apabila kebijakan tersebut diterap-kan?

Untuk memulai penulisan jurnal ilmiah tidaklah dapat dikerjakan secara instan, perlu ada budaya menulis di kalangan mahasiswa. Dari kuesioner yang disebarkan kepada mahasiswa UIN, 57% responden terbiasa dengan budaya menulis, namun dari segi intensitasnya, maha-siswa yang menulis di luar tugas kuliah sebesar 21% setiap hari, 31% setiap minggu, dan 48%

menulis lebih dari sebulan.Menanggapi kebijakan penulisan karya ilmiah

sebagai syarat kelulusan, terdapat dua suara yang sama besarnya, 46% setuju dan 46% tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Responden yang setu-ju beranggapan dengan kebijakan tersebut akan mendorong mahasiswa untuk terbiasa menulis, responden berharap jika kebijakan tersebut benar akan dijalankan, pihak kampus harus menyedia-kan pelatihan serta sarana yang menunjang. Bagi responden yang tidak setuju, kebijakan tersebut sangat memberatkan mahasiswa karena selain membuat jurnal ilmiah, mahasiswa juga dibebani

dengan tugas akhir (skripsi).Melihat beberapa tahun lalu, Lembaga Peneli-

tian UIN hanya menyediakan dana 2,4 milyar yang hanya cukup untuk mendanai 88 judul penelitian dari jumlah 229 judul yang diajukan dosen, (baca: Tabloid edisi XII). Tentunya, ini menjadi tantangan tersendiri untuk menerapkan kebijakan tersebut.

Kebijakan Dikti memang bagus karena ingin mengejar ketertinggalan Indonesia dari ne-gara Malaysia. Namun ada catatan yang harus dilakukankan pemerintah Indonesia. Di Malay-sia, lonjakan besar yang terjadi sejak tahun 2007

diawali kebijakan pemerintah Malaysia men-dorong universitasnya menjadi universitas riset yang dibarengi penggelontoran dana dan fasilitas riset. Untuk mendapat dana riset 500 juta - 600 juta, bagi senior lecture tidaklah sulit sehingga di tahun ini Malaysia masuk ke peringkat tiga de-ngan 16.027 jurnal. Walaupun Indonesia berada di peringkat empat dengan 2.029 publikasi jurnal tentunya sangat tertinggal jauh dengan Malaysia, diharapkan dengan kebijakan Dikti yang kemu-dian didukung pemerintah dengan penyediaan dana dan fasilitas riset dapat mengejar keterting-galan kita.

Data diambil dengan metode convenience sampling dengan jumlah responden 144 mahasiswa dari setiap fakultas yang disesuaikan dengan jumlah mahasiswanya.

*Survei ini tidak bermaksud mewakili seluruh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 17

TEKNO14

Mengetahui lewatmana.com Lebih Dalam

Kata Ahli...

Surat Pembaca Rubrik konsultasi

Dok, saya Aulia umur saya 22 ta-hun. saya ingin bertanya, bagaimana caranya agar kulit tetap sehat berseri tanpa memakai obat-obat kecantikan kimiawi. Makanan apa saja yang membuat kulit kita selalu tampil se-gar? Terima kasih.

(Auliya, FISIP)

Dear Auliya,Untuk mendapatkan kulit yang

sehat dan cantik berseri memang tidak harus selalu menggunakan obat/kosmetik kimiawi, tetapi da-pat melalui berbagai cara di anta-ranya dengan menjalankan pola hidup sehat yang ternyata memeg-ang peranan utama dalam proses lahirnya kulit yang sehat.

Pola hidup sehat yaitu dengan menjalankan hidup yang seimbang, istirahat cukup, makanan sehat, banyak minum air putih, banyak mengkonsumsi buah dan sayuran alami, dan olahraga yang teratur.

Makanan yang dapat membuat kulit kita menjadi segar adalah ma-kanan yang seimbang, cukup karbo-hidrat, protein dan sedikit lemak, buah dan sayuran alami serta per-banyak minum air putih. Selamat mencoba.

Dok, saya mengalami sedikit masalah dengan jerawat. Begini dok, muka saya berjerawat, tetapi kalau memakai sabun pembersih, muka saya malah jadi kering. Selain itu, di sekitar dahi saya bermuncu-

lan jerawat-jerawat kecil, terus cara menghilangkannya bagaimana? Dan bagaimana cara membersihkan bekasnya? Terima kasih.

(Mawaddah, Adab dan Hu-maniora)

Dear Mawaddah,Untuk kulit wajah yang berjera-

wat biasanya digunakan sabun/pembersih khusus untuk jerawat, yang mengandung obat-obatan yang berguna untuk mengurangi inflamasi/peradangan walaupun dalam konsentrasi yang ringan.

Apabila menggunakan sabun tersebut memang akan terasa agak kering, tetapi hal itu dapat dikuran-gi dengan pemberian tonic wajah khusus jerawat. Penggunaan sabun tersebut tidak boleh terlalu sering

atau terlalu banyak karena akan menyebabkan kulit akan semakin kering. Cukup 2 kali sehari.

Untuk mengurangi jerawat kecil di dahi harus menggunakan obat-obat khusus untuk jerawat (dapat di-cari di apotek) dan untuk mencegah timbulnya kembali harus dilakukan perawatan wajah dengan baik, se-perti membersihkan wajah secara teratur dan melakukan pola hidup sehat, kadang perlu diperhatikan rambut yang menutupi dahi (poni) karena dapat memicu timbulnya jerawat di dahi. Bila sulit ditanggu-langi, sebaiknya mengunjungi dok-ter untuk mendapat penanganan yang optimal. Selamat mencoba.

Edisi XVII/Maret 2012

Konsultasi Kecantikan Dokter Wiwit Andhika

Rubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel

Kata Ahli...

Mungkin beberapa dari kita pernah membuka situs ini, le-watmana.com (LM). Dan kali ini penulis akan menguaknya lebih dalam. Situs ini didirikan oleh Hendry Soelistyo atas pengalaman-nya menghadapi rutinitas ma-cet di Jakarta. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membangun sebuah layanan komunitas bagi pengguna jalan. Tujuannya untuk bertukar informasi seputar kema- cetan di ibukota Jakarta. Situs LM dikembangkan dan dioperasikan oleh Traffic live Asia bekerja sama dengan PT Onehub Solution. Pendirian LM dibiayai oleh Traffic live Asia dan didukung oleh PT Onehub Solution.

LM mampu menyajikan infor-masi akurat seputar kemacetan di Jakarta. Hal ini dipastikan den-gan tersedianya layanan web cam untuk memantau situasi terkini di beberapa wilayah yang sudah didukung lewat layanan ini. Selain itu, informasi seputar jalan raya ini dapat di-search berdasarkan nama wilayah atau nama jalan yang kita inginkan.

Fitur andalan dari LM adalah penggunaan google map API untuk menunjukan kondisi lalu lintas

secara realtime di jalan-jalan utama Jakarta. Anda juga dapat melihat rute-rute favorit pilihan pengguna. Pengguna LM pun dimanjakan dengan fitur pencarian rute yang Anda mau. Dimulai dengan memasukkan lokasi awal dan lokasi tujuan, sistem LM akan memproses data yang Anda mas-ukkan. Setelah itu akan ditampilkan rute perjala-nan yang Anda maksud.

LM mampu menyediakan informasi secara realtime sehingga mampu mempermudah pengguna untuk mengetahui kondisi terkini seputar kemacetan di Jakarta. Keunggulan LM ada pada fitur-fitur seperti web cam service, update kondisi lalu lintas, pencarian rute perjalanan, dan bisa diakses den-gan berbagai device.

Namun, ada beberapa

kekurangan dari LM. Kondisi jalan yang ditampilkan oleh web cam hanya berdurasi sekitar ± 10 detik saja. Padahal, hanya dengan durasi sependek itu, kenaikan traffic peng-guna jalan yang ada di ibukota bisa saja terjadi dengan cepat. Tidak menutup kemungkinan informasi yang diberikan menjadi tidak aku-rat sama sekali. Teknologi web cam service yang digunakan sepertinya bisa menjadi kendala tersendiri bagi pengguna.

Selain karena durasi nya yang pen-dek, pengguna juga harus dipusingkan dengan waktu loading yang cukup lama. Bagi pengguna yang memiliki koneksi internet “dewa” mungkin hal ini men-jadi tidak masalah, namun bagi peng-guna yang memiliki koneksi rendah hal ini bisa menjadi suatu halangan khu-sus. Kita berharap teknologi ini akan dikembangkan sedemikian rupa,

sehingga data yang ditampilkan semakin akurat, dan tidak menjadi Bandwith Killer.

Teknologi yang digunakan lewatmana.com

LM menggunakan google map API sebagai core inti dari startup milik mereka. Cara menggunakan google map API dapat ditanyakan kepada mbah google.com. Jika ingin menggunakan google map API sep-erti yang digunakan oleh LM, yang

perlu dipelajari adalah menampil-kan marker dalam map (statis), menampilkan marker location yang diambil dari database (dinamis), dan menampilkan informasi dalam marker (statis & dinamis).

Jika ingin menambahkan fitur pencarian jalan raya atau nama wilayah di aplikasi Anda, silahkan pelajari KML dari google map API. Kemudian, Anda harus mempela-jari cara untuk mengintegrasikan sistem yang Anda buat dengan situs jejaring sosial seperti twitter atau facebook.

Tim developer LM sedang mem-pelajari beberapa bisnis model yang dapat mendatangkan keuntungan bagi mereka, dan diharapkan mereka mampu mengkaji ulang dengan baik seluruh bisnis model yang ada, dengan harapan bisnis model yang diambil dapat menda-tangkan keuntungan bagi LM.

Pamulang, 29 Desember 2010.

*Mahasiswa Jurusan Sistem Infor-masi, FST, UIN Jakarta. Freelance Webdevelopment aplication

Guta Saputra*

Sumber: www.lewatmana.com

Silakan Kirim Tulisan Anda ke Rubrik Konsultasi

ini Melalui email [email protected]

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 17

WISATA KAMPUS 15

Gudeg Jogja, Sensasi Lidah JakartaNoor Rahma Yulia

yang abal-abal (asal-asalan) dan tentunya juga tanpa mengabaikan lidah orang Jakar-ta,” Jadi, yang namanya gudeg ini seperti apa yang ditemuin dan dirasain di Jogja, tipis bedanya bahkan hampir sama.”

“Cuma satu yang tidak masuk di masyarakat sini, Seperti untuk gudeg Jog-ja, telornya itu masih kecil, dan keras. Itu ciri khas khusus, tapi di sini tidak masuk. Di sini pada protes, karena lidahnya beda. Itu aja sebetulnya,” katanya bersemangat

Dari sekian menu ini, Ismet mematok harga Rp 14 ribu untuk ayam bakar nya dan Rp 9 ribu untuk gudeg Jogja. Harga yang cukup terjangkau bukan?

Lebih menariknya, Ismet memberi-kan harga spesial bagi pelanggannya yang masih berstatus mahasiswa, “Ayam misalnya, harganya Rp14 ribu, tapi kalau untuk mahasiswa saya kasih harga Rp 12 ribu saja,” ucapnya di sela-sela obrolan.

Bayangkan saja, makan murah dengan citarasa kedaerahan yang nikmat hanya bisa Anda jangkau di tempat makan milik Ismet. Di tempat ini, lidah pengunjung akan dimanja dengan gudegnya yang penuh suwiran ayam serta diguyur kuah bersantan .

Hummm nyammi…nyammiBagi Anda para pecinta kuliner, tempat

Ismet ini bisa dijadikan rujukan destinasi wisata lidah. Silakan sekadar mampir ke daerah Kertamukti, depan rumah sakit Ibu dan Anak Hermina, Anda bisa menemu-kan sebuah warung bernama CAHAYA.

Lain dulu lain sekarang, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kawasan Ker-tamukti, sebuah kawasan padat penduduk di selatan Jakarta yang berdekatan dengan kam-pus UIN Pascasarjana. Sebelumnya, kawasan ini tidak seramai sekarang. Barulah, semenjak dibangunnya beberapa sarana sosial, kawasan ini pun mulai diminati oleh para pengusaha kudapan.

Baik pejalan kaki atau pengendara, mahasiswa atau keluarga, bisa sesekali berkunjung ke tempat ini. Anda cukup memilih beberapa tema makanan yang disajikan, mulai dari siomay, mie ayam sampai Gudeg Jogja.

Salah satu pengusaha kudapan yang memulai bisnis nya di Kertamukti adalah Ismet. Ia bersama istri, Rosianti, kurang lebih sudah tiga bulan berjualan di tempat ini, walaupun sebenarnya usaha ini sudah ia rintis sejak dua tahun lalu. Menu yang ditawarkan tempatnya cukup beragam, ada gudeg, ayam bakar, ayam kremes, dan ayam penyet.

Di antara kelompok menu ayam-ayaman itu, penganan gudegnya memang pantas diunggulkan karena rasanya yang aduhai menggoyang lidah. “Sebenarnya konsep dari kulinernya ini ada di gudeg, memang kebetulan istri saya dari Jogja. Dan kebetulan juga gudeg buatannya enak,” ujar Ismet, pemilik rumah makan yang diberi nama Cahaya ini

Di samping itu, menu gudeg dibuat sebagaimana aslinya tanpa racikan bumbu

Sambungan.... Meski Terkendala Jurnal Tetap Dianjurkan

dimulai dari sosialisasi, persiapan infrastruk-tur, lalu dibuat jurnal ilmiahnya. Rusydi me-nambahkan, untuk membentuk jurnal tidak mudah, butuh sumber daya manusia yang ahli dan juga butuh dana untuk cetak serta penggandaan. “Kan tidak bisa tulisan maha-siswa diuji oleh mahasiswa, apa jadinya nan-ti. Itu kan harus diuji oleh yang expert (ahli, red) minimal ke dosennya,” tutur Rusydi.

Hal lain yang tak kalah penting, menurut Rusydi, ialah komitmen yang konsisten dan konsekuen dari pimpinan universitas. Pem-pinan harus mau mengalokasikan dananya dan mendorong dosen untuk membina ma-hasiswanya agar jurnal ilmiah bisa berjalan.

Sementara itu, di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) sudah pasti tidak melakukan publikasi karya ilmiah untuk

mahasiswanya. Dekan FKIK, M. K. Tajudin berpendapat, menurutnya, apabila anjuran itu tidak benar maka tidak usah diikuti. Ia me-nambahkan, FKIK tidak menerbitkan jurnal ilmiah untuk mahasiswanya dan bila maha-siswa ingin menerbitkan jurnal, maka terbit-kan di luar fakultas.

Tajudin yang juga mantan rektor Universi-tas Indonesia (UI) berpendapat, menurutnya jurnal ilmiah tidak diterbitkan oleh perguruan tinggi, tetapi oleh asosiasi profesi. “Di luar negeri juga begitu, jurnal ilmiah yang terkenal bukan dari mahasiswa. Kecuali dari Harvard, mungkin,” tuturnya. FKIK sendiri mempu- nyai jurnal ilmiah dan dikelola oleh dosen bukan oleh mahasiswa.

Tak jauh beda dengan jurnal di FKIK, ju-rnal yang terdapat di Fakultas Ekonomi dan

Edisi XVII/Maret 2012

Bisnis (FEB) juga dikelola oleh dosen. Hepi Prayudiawan, dosen FEB mengatakan, FEB hanya punya tiga jurnal. Satu jurnal Akun-tansi, satu jurnal Manajeman, dan satu jurnal Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP) dan belum terakreditasi. “Kalau tidak salah, hanya Jurnal Ahkam milik Fakultas Syariah yang terkreditasi di UIN, dan itu juga baru,” katanya (28/2).

Terlalu beratHepi mengatakan, bila penerbitan jurnal

ilmiah menjadi syarat kelulusan, itu terlalu berat untuk mahasiswa. Ia mengatakan, per-masalahannya dipublikasi. “Harus diper-siapkan lebih matang soalnya kalau nggak ya menghambat kelulusan,” katanya.

Sama halnya dengan Hepi, Ahmad Torik,

mahasiswa Semeter 10 Prodi Bahasa dan Sas-tra Inggris, tidak setuju apabila publikasi jur-nal dijadikan syarat kelulusan. karena menu-rutnya mahasiswa yang tidak biasa menulis akan kaget.

Di sisi lain ada pula mahasiswa yang setu-ju apabila publikasi jurnal ilmiah dijadikan syarat kelulusan. Andika Rangga Wijaya, mahasiswa semester 8, Fakultas Psikologi mengatakan bahwa tak masalah bila dijadi-kan syarat kelulusan. Menurutnya, setiap ma-hasiswa punya kelebihan masing-masing di pikirannya. “Kalau nggak dituangkan dalam sebuah tulisan ya orang mana tahu. Nah, itu juga sebagai kontribusi kita sebagai maha-siswa,” ucap Andika (7/3).

Pemilik warung gudeg.

FOTO

:ULI

/IN

STIT

UT

Gudeg Jogja.

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 17

TUSTEL16

Galau merupakan hal yang manusiawi, semua orang

pasti merasakannya. Hewan pun merasakan hal sama. Kejadian

unik di samping ditemukan saat jalan-jalan di taman Marga

Satwa Ragunan.

GALAUEdisi XVII/Maret 2012

Foto Oleh:Satria Loka WJurnalistik Semester 6

Kirim foto Anda ke [email protected] untuk dipamer-kan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya. Tema tustel untuk tabloid se-

lanjutnya adalah ‘Wanita dan Perjuangan’.