tabloid jurusan

20
Teror UAN MENCARI METODE TEPAT PENGAJARAN BAHASA INDONESIA Pengaruh Penggunaan Bahasa Gaul dalam Perkembangan Bahasa Indonesia Sastra untuk Direnungkan Membangun Karakter Lewat Sastra Cerpen Pria Tua di Kursi Goyang EDISI I AGUSTUS 2011

description

hanya sebuah percobaan untuk tugas

Transcript of tabloid jurusan

Page 1: tabloid jurusan

Teror UAN

MENCARI METODE TEPAT PENGAJARAN BAHASA INDONESIA

Pengaruh Penggunaan Bahasa Gaul dalam Perkembangan Bahasa Indonesia

Sastra untuk Direnungkan

Membangun Karakter Lewat Sastra

CerpenPria Tua di Kursi Goyang

EDISI I AGUSTUS 2011

Page 2: tabloid jurusan

Teror UAN................................................................3Sastra untuk Direnungkan.......................................5Mencari Metode Tepat Pengajaran Bahasa Indone-sia...............................................................................6 Pengaruh Penggunaan Bahasa Gaul dalam Perkemambangan Bahasa Indonesia.......................8“Bahasa Indonesia’ atau “Bahasa dan Sastra Indone-sia”...........................................................................10Membangun Karakter Lewat Sastra.......................11Harga Buku di Mata Mahasiswa............................13Resensi; Bekisar Merah, Sebuah Miniatur Kehidupan.......14Redupnya Tradisi Surat Menyurat........................15Puisi........................................................................16Cerpen; Pria Tua di Kursi Goyang........................18Antaraketidaktahuan dan Ketidakmautahuan.....19

Sekapur Sirih Redaksi

Pelindung : Dekan FBS (Prof. Dr. I Made Sutama)Penasehat : Pembantu Dekan III FBS (Drs. Gede Gunatama) Ketua Jurusan PBSI (Prof. I Bagus Putrayasa) Ketua HMJ PBSI (I Nengah Sueca)Pembina : I Wayan Artika, S.Pd. M.Hum, I Made Astika,S.Pd, I Dw Gede Budi Utama, S.Pd.Ketua Redaksi : Mastina Surya Ade MartaSekretaris : Cintya HerliyantiBendahara : Desy Damayanti

Tim Redaksi Penanggung jawab Rubrik Isa Suantari & Eka Wijayanti Rahatri dan Sumahardika Ketut Desnaria I Wayan Esa Baskara Komang Dewi Sariani Sintya WinataPenanggung jawab Tata Artistik : JuliasihPenanggung Jawab Foto dan Ilustrasi : SuarjayaPelaksana(percetakan dan distribusi) : Sidi Artajaya Anggota : Desi Purnama Yanti I Gusti Ayu Putri Puspita Sari Komang Rika Adi Putra Ketut Turyantana. Nalarastu Kadek Noviari Nina Arsini

Waktu menjadi sesuatu yang sangat mahal ke-tika kami diberikan waktu untuk menyelesaikan tab-loid ini. Bekerja dan menulis saat liburan menjadikan liburan kali ini lebih berarti. Menyusun huruf menjadi sebuah rangkaian kata dan dari kata kami susun men-jadi sebuah kalimat hingga membentuk sebuah para-graf dan kisah. Tabloid “Perspektif” ini adalah tabloid per-tama yang hadir di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tabloid yang memberikan informai seputar pendidikan, jurusan dan segala yang berbau bahasa dan sastra. Begitu banyak hal yang kami lalui saat pembuatan tabloid ini. Kebersamaan, tawa, kerja sama dan nasihat yang sangat berarti. Akhirnya, kami segenap tim redaksi “Perspe-ktif” mengucapkan terima kasih kepada seluruh pi-hak yang telah membantu terselesaikannya tabloid ini hingga bisa diterbitkan tepat waktunya.(red)dodok

Kiriman KamuKamu suka menulis? Ayo kirimkan tulisanmu kepada redaksi Perspektif. Tunjuk-kanlah bakatmu dan buktikan dirimu adalah anak Basindo sejati. Kamu boleh mengirimkan puisi,cerpen, opini maupun artikel. Kirimkan tu-lisan ke [email protected] atau men-ghubungi pemimpin redaksi (087863206532) dengan subjek KIRIMAN KAMU. Redaksi berhak menegedit tulisan sesuai ketentuan redaksi

kritik dan sasran bisa dilayangkan ke:[email protected] atau SMS ke 087 863 206 532

Page 3: tabloid jurusan

Menjadi salah saat Ujian Nasional (UN) digunakan seb-agai vonis kelulusan siswa. Ujian tertulis yang dilangsungkan hanya beberapa hari sangat tidak relevan untuk memutuskan kelulusan siswa yang sudah mengenyam pendidikan berta-hun-tahun. Hanya menggunaka kognitif untuk menentukan kelulusan adalah hal yang absurd. Lalu dikemanakan aspek lain, afektif dan psikomotornya? Mencontek dikaitkan dengan kejujuran. Memang benar mencontek adalah perbuatan salah. Tapi ketika dikaitkan den-gan ujian nasional, mencontek adalah perbuatan yang halal. Jangan salahkan pandangan ini, karena sistem pendidikan-lah yang mengkehendakinya. Sistem pendidikan yang hanya menjadi terror bagi pelaku pendidikan ini belumlah seperti yang diharapkan banyak pihak. Mengapa teror? Karena setiap mendekati ujian nasional semua pihak, baik guru, siswa, orang tua siswa bahkan para pejabat, yang sebaiknya tidak ikut cam-pur menjadi gundah gulana. Mereka berpikir keras agar bisa melewati teror ini. Benar tidaknya, bisa diperdebatkan. Ujian nasional (UN) sudah menjadi target terpenting dari pendidikan. Kecemasan kolektif pun terjadi tiap tahun. Guru, kepala sekolah, siswa, orang tua siswa, dinas pendidikan takut akan hasil jeblok ujian nasional. Semua menjadi tegang. Mereka memikirkan segala cara agar ujian nasional menjadi sukses. Sayangnya cara yang ditempuh jamak yang haram., tapi akan menjadi halal saat ujian nasional berlangsung. Bagi sekolah, kelulusan adalah pencitraan sekolah. Hal ini akan berdampak pada peminat yang melamar sekolah itu di tahun berikutnya. Sekolah sangat berkepentingan dengan jumlah siswa. Makin tinggi jumlah siswa, makin sejahtera sekolah itu dan tentu saja guru-gurunya. Tidak jarang dalam perekrutan siswa ini dicampuri oleh nepotisme gila-gilaan yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Akhirnya, suap-menyuap pun mewarnai. Kembali kepada kelulusan. Kelulusan adalah presta-si yang dilahirkan sekolah itu, setidaknya itulah yang ada di benak orang tua siswa. Makanya, sekolah akan mati-matian membuat prestasi kelulusan 100%. Bagi siswa dan tentunya orang tua siswa adalah sebuah keberhasilan bisa lulus. Tidak lulus akan menimbulkan dua hal yang sangat merugikan. Tidak lulus sama dengan mengulang, jika hal ini terjadi tentu akan menambah biaya pendidikan. Tidak lulus juga berarti siap menanggung malu. Inilah yang sangat di-hindari, sehingga lulusan adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi para pejabat di lingkungan dinas pendidikan se-tempat, kelulusan berarti naik jabatan. Kelulusan juga berarti bahwa mereka sudah bekerja dengan benar. Dalam situasi seperti itu, mereka akan sekuat tenaga menggenjot prestasi siswa. Sayangnya, cara yang digunakan salah. Tidak salah sih, tapi sistem pendidikan yang terlanjur salah. Ketidakjujuran menjadi pembenaran dalam hal ini dan dalam kasus Siami, ia adalah penggugat sistem pendidikan kita.

Teror UAN

REALITA BAHASA INDONESIA

Rendahnya angka kelulusan mata pelajaran bahasa Indo-nesia pada ujian nasional 2011 jenjang SMA/MA dinilai akibat soal terlalu sulit. Naskah soal tergolong sulit karena lebih men-gutamakan soal yang bersifat penalaran. Terlalu banyak soal yang diawali dengan bacaan yang sebenarnya menghambat siswa dalam mengefektifkan waktu. Banyak soal yang tanpa ba-caan pun bisa dijawab, tetapi malah berisi bacaan. Tentu saja hal ini akan berpengaruh dalam pengerjaan soal. Selain karena kemampuan siswa secara pribadi terhadap mata pelajaran ba-hasa Indonesia yang mungkin memang rendah. Ada banyak faktor yang bisa kita telusuri terkait masalah di atas. Karena jebloknya nilai ujian nasional terjadi secara umum (banyak), berarti bukan karena pribadi, tetapi mungkin memang soalnya benar-benar sulit. Proses pembelajaran di kelas kurang efektif, kurikulum yang disajikan, atau faktor buku, dan bisa saja kemampuan gurunya yang kurang. Jujur saja, ini masalah yang cukup pelik. Semua pihak hendaknya mencari solusinya. Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tinggal di beberapa pulau. Negara Indonesia memiliki bahasa persat-uan yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani sem-pat berujar, rendahnya sikap positif masyarakat terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia membuat mata pelajaran tersebut menjadi kalah bergengsi dengan mata pelajaran bahasa Inggris. Apa implikasinya? Terbukti masyarakat lebih prestisius meng-gunakan bahasa asing. Bahasa Indonesia masih diremehkan.Seharusnya terus berkembang pesat, terutama yang terkait den-gan proses pembelajaran. Atas dasar itu, para siswa dan tenaga pengajar mata pelajaran bahasa Indonesia harus terus diberikan buku-buku yang mendukung proses pembelajaran dan pema-haman pada mata pelajaran tersebut dan guru pun harus tetap aktif menuntun. Peran para guru cukup berat jika benar-benar mengerjakan “tugas” mereka. Tetapi nyatanya di lapangan ma-sih banyak guru yang “malas”.

Utama

Perspektif | 3

Page 4: tabloid jurusan

Jamak guru yang tidak fokus terhadap tugas mereka dalam mengajarkan bahasa Indonesia itu. Jamak guru yang lebih mementingkan pendidikan “lanjut” nya sehingga siswa-siswanya ikut menggarap tugas-tugas ataupun penelitian-penelitian sang guru. Masuk akal memang, karena tuntutan dari dunia pendidikan membuat aturan demikian. Tidak salah memang jika diterapkan pada dosis yang sesuai, tapi penulis pikir hal ini sangat salah. Ini merupakan masalah yang cukup berkembang akhir-akhir ini. Jika terjadi hal-hal seperti ini terus proses pembelajaran

pasti akan sangat terganggu. Jika sang guru “meminta bantu-an” pada siswanya dengan dalih untuk nilai tugas akhir atau tu-gas tengah semester, mengapa para siswa membatin, mencak-mencak. Tugas ini tidak benar. Harusnya siswa bisa menikmati tugas yang diberikan berapa pun kadar kesulitannya jika me-mang tugas itu mencerminkan apa yang sedang siswa pelajari. Bagi para guru maupun calon guru kelak agar memperhatikan jeritan-jeritan hati siswa. Ketidaknyamanan siswa dalam belajar akan sangat menghambat pelajaran menerobos dinding-dind-ing otak siswa. Jawabannya, bagaimana cara guru membuat suasana belajar siswa menjadi nyaman. Tidak zaman seorang guru pura-pura galak. Jangan menjadi guru yang ditakuti siswa, tetapi jadilah guru yang disegani siswa. Kembali kepada rendahnya minat kepada bahasa In-

donesia yang sebenarnya sudah diajarkan kepada siswa dari jenjang kelas 1. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengutamakan jati diri dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di Indonesia kita melihat kurang ada kebanggaan meng-

gunakan bahasa Indonesia, terutama di kalangan cendekiawan. Dalam pidato para pejabat, termasuk Presiden SBY, sering kali digunakan bahasa Inggris. Kita juga gemar mengambil alih kata bahasa Inggris dan menjadikannya kata dalam bahasa Indone- sia. Mungkin karena malas atau karena gemar (sok berbahasa Inggris). Padahal, ada kata padanan untuk kata-kata yang diserap itu. Contohnya kata arogan, disparitas, kondusif, klir. Pa-dahal, arrogant tak lain tak bukan ’sombong’; disparity itu ’per-bedaan’; conducive for ’mendukung untuk’; clear ’jernih’ atau ’jelas’. Masih banyak lagi kata-kata Inggris yang sering digunak-an oleh para cendekiawan kita dalam kegiatan sehari-hari. Kita berharap pers ikut di dalam kegiatan mengurangi penggunaan kata-kata Inggris dalam percakapan sehari-hari. Untuk hal-hal seperti di atas berterimakasihlah pada

pers. Pers atau media massa berperan besar memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak siswa meremehkan pelajaran bahasa Indonesia. Buat mereka, mata pelajaran bahasa Indonesia tak terlalu penting. Asal kita mampu bicara bahasa Indonesia, sudah cukup. Lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa jurusan kita di Undiksha ini men-jadi jurusan “buangan”. Bisa dibuktikan, berapa siswa jurusan kita yang memang menempatkan bahasa Indonesia pada pili-han pertama mereka saat test masuk, baik SMNPTN maupun PMJL. Mereka “lari” ke Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra tercinta ini agar bisa saja kuliah di sini. Tapi jika memang bersungguh-sungguh hal itu tidak ma-

salah. Terpenting ada kesungguhan dari guru atau dosen dan siswa atau mahasiswa dalam menyikapi ini. Anggap saja sudah terlanjur basah. Tidak ada yang bisa menebak nasib orang kan? Hidup memang sebuah pilihan. Bagaimana dengan kenyataan masyarakat atau kalangan

pendidik dan terdidik itu? Dalam kenyataan, kemampuan mer-eka berbahasa Indonesia kurang baik, padahal kemampuan itu amat dibutuhkan untuk bisa maju, baik sebagai pribadi mau-pun sebagai bangsa. Butir ketiga Sumpah Pemuda yang pernah kita anggap sebagai salah satu kebanggaan bangsa mulai mer-edup. Kita perlu tumbuhkan kembali kebanggaan itu.

SAAT KUALITAS PENDIDIKAN MENJADI TARUHAN

Sejumlah bupati/wali kota kini semakin banyak yang ikut campur dalam pengangkatan, pemindahan,

pemerhentian kepala sekolah dan tentu saja kepala dinas sampai penerimaan siswa baru. Mengerikan. Dunia pen-didikan kini dipolitisasi. Otonomi daerah disalahgunakan. Cepat atau lambat hal itu akan mengancam kualitas pendi-dikan nasional. Dunia pendidikan nasional ibarat pencetak teroris. Ekstrim memang. Tapi itulah kenyataannya. Politi-sasi dalam pendidikan menyebabkan orang-orang yang tidak berkopeten mendapat kedudukan. Dalam kasus pen-gangkatan kepala sekolah, misalnya. Kita butuh pemimpin-pemimpin dalam pendidikan yang memiliki wawasan dan menguasai betul soal pendidikan, sehingga dalam per-jalanannya bisa mengambil solusi-solusi terbaik dari per-masalahan yang dihadapi. Jika pemimpin yang diangkat karena mempunyai kedekatan dengan pejabat dan yang bersangkutan tidak memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemahaman tentang pendidikan terpilih maka bisa dilihat seperti apa kerja mereka. Jika hal serupa terjadi pada guru, seperti yang jamak terjadi, alamat berbahaya bagi masa depan anak didiknya. Bagaimana jadinya jika seorang guru yang “beruntung” karena menjadi tim sukses sang bu-pati terpilih, ia hanya mempunyai modal pengalaman men-jadi tukang judi kelas kakap, tidak ada pengalaman mendi-dik akhirnya menjadi guru? Intervensi pemerintah kabupaten/kota terhadap sekolah juga terjadi pada kelulusan siswa. Sejumlah kepala biasanya diberi target tertentu dalam kelulusan siswa. Jika tidak memenuhi target, kelapa sekolah biasanya dimutasi atau diberhentikan dari jabatannya. Kepentingan politik kini mengintervensi dunia pendidikan. Jika kepala sekolah sudah diintervensi, selanjutnya apa yang terjadi? Kepala sekolah akan menekan guru untuk mencapai target kelulu-san itu tanpa memperdulikan cara yang ditempuh. Akibat-nya guru tidak tenang dalam mengajar, karena beban yang begitu berat. Apa yang terjadi pada Ibu Siami adalah contoh pal-ing nyata yang terjadi baru-baru ini. Hati nurani sang Ibu melawan massa teroris yang sama-sama mempunyai pem-benaran masing-masing. Ibu Siami tidak bisa menerima anaknya Alif menjadi pelaku tindakan kecurangan dalam ujian nasional disekolahnya. Alif yang sedari kecil diajarkan kejujuran oleh sang ibu tidak menyangka akan diajarkan trik-trik curang oleh sekolahnya yang oleh sang ibu di-harapkan menjadi tempat untuk memupuk kejujuran itu.Ia ingin membongkar kecurangan itu dengan melaporkan-nya kepada penguasa di daerahnya. Ia sangat tidak terima anaknya diajak berbuat curang. Malang nasibnya, perjuan-gan menegakkan kejujuran yang dilakukannya membentur batu besar yang akhirnya menindih dia dan keluarganya. Siami diserbu masyarakat. Siami bak pahlawan kesiangan bagi mereka. Kisah selanjutnya, siami dan keluarga diusir warga. Sangat ironis. Alif anak Siami baru duduk di bangku sekolah dasar. Inilah cerminan pendidikan nasional, sedari SD anak sudah diajarkan menjadi teroris. Ini tidak bisa dilepaskan pada sistem pendidikan kita yang mengukur prestasi anak sema-ta dari hasil ujian dan ulangan semata. Pun hanya mengan-dalkan proses, karena bisa saja proses itu hanya dijadikan kedok. Padahal ada udang di balik batu. Terbaik adalah me-lihat secara keseluruhan, proses dan evaluasinya. (esa)

Perspektif | 4

Page 5: tabloid jurusan

Perspektif | 5

Utama

Sastra untuk Direnungkan

Sastra sangat dekat dengan kehidupan karena sastra adalah cermin/ refleksi ke-hidupan dari yang dilakukan dan dipikirkan. Sebenarnya sastra dapat membuat ses-eorang peka dan kritis. Teta-pi sastra tidak bisa dipak-sakan. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk bersastra, tetapi biarkan sastra men-ginsipirasi seseorang untuk berbuat apa dia nantinya. Sastra tidak ditingkatkan, tetapi diingatkan dengan adanya aksi-aksi sastra. Sebagai mahasiswa jurusan Pendi-dikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), harus disadari bahwa yang diterima di perkuliahan tidak hanya mengenai tata bahasa, tetapi juga sastra. Harus diman-tapkan pula bahwa ketika memilih juru-san PBSI, siap menerima bahasa dan sas-tra, tidak hanya sekadar memilih jurusan ini karena terpaksa. Ketika mendengar kata sastra, banyak mahasiswa yang menganggap bahwa sastra sulit dimengerti karena ba-hasanya yang dipenuhi makna konotasi, tetapi justu menarik. Hal itu juga yang membuat sebagian besar mahasiswa enggan mendekati sastra, sebab merasa tidak akan paham. Padahal, sebenarnya sastra sangat dekat dengan kehidupan, dan merupakan cerminan dari kehidupan yang hanya diolah sebelum disajikan. Sastra memang tidak bisa dipak-sakan untuk disukai, tetapi sebagai maha-siswa PBSI, paling tidak harus dibiasakan ‘menggauli’ sastra. Mungkin sekarang

masih belum bisa menjadi seseorang yang menghasil-kan karya sastra, tetapi dengan mengapresiasi saja sudah cukup. Misal-nya, yang paling sederhana, menonton pementasan berbau sastra (atau mung-kin terlibat dalam pementasan tersebut), membaca berbagai jenis karya sastra, dan kemudian mendiskusikannya dengan be-berapa teman. Acara-acara sastra yang diadakan di jurusan PBSI bisa dikatakan sangat ke-cil intensitasnya. Padahal ajang sastra itu nantinya bisa dimanfaatkan keluarga be-sar jurusan PBSI untuk menampilkan dan mengekspresikan sastra yang ada dalam diri kita. Dosen dan mahasiswa tidak han-ya akan berteori dalam perkuliahan, tetapi langsung mengaplikasikan teori tersebut. Banyak pengakuan mahasiswa yang ingin melakukan praktik daripada hanya dijejali teori tentang sastra dalam perkuliahan. Bagaimana jika diadakan lomba membaca puisi dan menulis cerpen den-gan tema tertentu ketika ada momen yang tepat di kalangan jurusan PBSI? Selain itu, komunitas sastra Cema-ra Angin sebagai wadah mahasiswa PBSI dalam bersastra pun kurang dimanfaatkan dengan baik. Buktinya, anggota komuni-tas ini sangat sedikit, hanya 30-an orang dari kurang lebih 400 mahasiswa PBSI. En-tah itu karena mahasiswa memang tidak peduli untuk terlibat atau karena men-ganggap terlibat komunitas tersebut ti-dak begitu penting dalam mengembang-kan sastranya. Tanpa disadari, sebenarnya setiap orang memiliki kadar sastra dalam dirinya. Sastra adalah perenungan, yang dipenga-ruhi pikiran dan rasa. Pengembangan dan kepekaan hal tersebut bergantung pada inividu yang bersangkutan. Banyak yang berpikir bahwa sastra tidak penting, tidak berpengaruh apa-apa. Sebenarnya banyak manfaat yang bisa di-dapatkan dari sastra. Sastra adalah renun-gan bagi kita untuk melangkah ke depan. Sastra adalah kritik, terlihat biasa di per-mukaan tetapi jika digali lebih dalam, itu adalah sebuah persoalan. Sastra adalah

a l a t komu-n i k a s i

untuk menyampaikan maksud tertentu. Sastra juga adalah sebuah penghiburan, ada seni dalam sastra. Itulah sebabnya penting adanya kegiatan-kegiatan sastra, baik perlombaan maupun pementasan sastra, untuk mengasah, mengundang, dan merangsang jiwa-jiwa yang gelisah bersastra. Pentas-pentas sastra terse-but dapat menjadi ‘gesekan kreatif’ bagi para ‘sastrawan’. Seorang penonton yang peka, ketika menonton pementasan sas-tra tidak hanya duduk, diam, pergi. Tetapi ada sesuatu yang dipikirkan. Hal inilah yang dapat melahirkan karya-karya sastra lainnya. Pernahkah ketika masuk ke per-pustakaan, kita melangkah ke rak sastra? tidak hanya menuju jurnalistik, dan tata linguistik. Apakah kita pernah menyisih-kan sedikit uang untuk membeli novel, buku puisi, atau buku tentang teori sastra berdasarkan niat dari dalam diri, bukan karena ‘perintah’ dosen? Sastra memang tidak bisa dipak-sakan untuk dicintai ataupun digemari, karena sastra merupakan sebuah penik-matan. Sastra sebenarnya adalah refleksi dari kehidupan. Sastra adalah untuk dinik-mati. Sastra adalah sebuah perenungan. Tidak ada kata terlalu dini untuk sastra. Jika tidak dimulai dari sekarang, lalu ka-pan? (Rahatri)

Page 6: tabloid jurusan

MENCARI METODE TEPAT Opini Pendidikan

Imbasnya secara tidak langsung siswa menjadi lemah dalam penangkapan materi tersebut. Cara penyampaian serta siapa yang menyampaikan adalah beberapa faktor berhasil ti-daknya sesuatu disampaikan. Lebih-lebih halam hal pelajaran. Selama belajar bahasa Indonesia, penulis memang belum mera-sakan ketertarikan akan pelajaran ini karena cara guru ataupun gurunya itu sendiri. Penulis senang dengan pelajaran ini karena diri sendiri. Perlu kiranya dicoba menggunakan metode role play dan metode STAD (student teams achievement division) dalam standart kompetensi berbicara dan membaca yang merupakan bagian dari empat keterampilan berbahasa. Ini hanya contoh. Dalam pembelajaran membaca dapat memakai metode STAD sebagai kegiatan memacu anak-anak memahami bacaan dengan cara diskusi kelompok. Ilustrasinya seperti ini. Dalam metode ini, siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pela-jaran, siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan selu-ruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Saat belajar berkelompok, siswa saling membantu untuk menuntaskan ma-teri yang dipelajari. Guru memantau dan mengelilingi tiap kelom-pok untuk melihat adanya kemungkinan siswa yang memerlukan bantuan guru. Metode ini pun dibantu oleh metode pelatihan, penugasan, dan tanya jawab sesuai satuan pelajaran sehingga ketuntasan materi dapat terwujud. Sehingga guru ataupun murid tidak ada kesempatan bersantai. Pada saat siswa bekerja dalam tim, guru berkeliling dalam kelas, sambil memberikan pujian kepada tim yang bekerja baik dan secara bergantian guru duduk bersama tim untuk memper-hatikan bagaimana anggota-anggota tim itu bekerja. Memberi-kan penekanan kepada siswa bahwa mereka tidak boleh men-gakhiri kegiatan belajar sampai dapat menjawab dengan benar soal-soal kuis yang ditanyakan. Menurut beberapa bercobaan, hasil kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode STAD didapati kategori bekerhasilan 70 - 95 persen. Pengajar meminimalkan memberikan instruksi atau penjelasan kepada siswa, biarkan tiap kelompok mencari dan menemukan sendiri pemecahan masalah yang ada di Lembar Kerja Siswa (LKS). Setelah itu, di akhir pelajaran tiap kelompok melakukan diskusi tentang hasil kerja kelompoknya dengan ke-lompok lainnya dengan bimbingan pengajar. Jika metode ini di-lakukan dengan “benar”, tidak ada keraguan dalam pencapaian tujuan belajar. Semoga tulisan ini menjadi sebuah wacana baru bagi pengajaran Bahasa Indonesia yang bagi sebagaian siswa merupakan pelajaran yang sangat membosankan. Semoga tu-lisan ini menjadi awal pencarian metode pembelajaran yang terbaik guna meningkatkan kualitas siswa dalam belajar bahasa Indonesia. Manusia tanpa cinta bagai pohon yang tidak berbuah, guru tanpa belajar bagai rumah tanpa tiang. Sebagai calon guru, kita hendaknya tidak terlalu santai. Bahasa Indonesia bukan pela-jaran yang bisa diremehkan. Terbukti pada hasil UAN dua tahun belakangan ini.

Munculnya mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai mesin pembunuh peserta UN tahun ini, memang menjadi se-buah fenomena tersendiri di balik kesuksesan raihan-raihan fantastis pada nilai-nilai pelajaran lain. Di mananya salah? Apakah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ba-hasa Indonesia selama ini salah? Apakah para guru yang salah? Ataukah para siswanya yang salah? Ini adalah masalah serius bagi kita, yang berada pada ranah pelajaran bahasa Indonesia. Hendaknya kita jangan mencari kambing hitam. Bijaksa-na kiranya jika memvonis lalu mencari pemecahan masalahn-ya. Bila kita melihat kenyataan yang ada, miris. Bahasa Indone-sia yang merupakan bahasa nasional bahkan menjadi momok menakutkan setiap gelaran ujian nasional, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tinggal terpisah-pisah di beberapa pulau. Negara Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia se-bagai bahasa persatuan sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Jika melihat lebih ke dalam, masyarakat Bali menempatkan bahasa Indonesia sebagai ragam tinggi, se-dangkan bahasa daerah sebagai ragam rendahnya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia diajarkan sejak kelas satu. Bahasa Indo-nesia sebagai alat komunikasi yang dijadikan status sebagai bahasa persatuan sangat penting untuk diajarkan sejak anak-anak. Yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia ini? Rendahnya nilai bahasa Indonesia yang diraih oleh para siswa di negeri ini ja-mak “memvonis” pengajaran bahasa Indonesia. Belum tentu. Metode pengajaran bahasa Indonesia tidak dapat menggunak-an satu metode karena bahasa Indonesia sendiri yang bersifat dinamis. Bahasa bukanlah ilmu tetapi sebagai keterampilan sehingga perlu penggunaan metode yang tepat. Setelah dite-lusuri, memang agak sulit menemukan metoe yang benar-benar tepat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pengajar bahasa berkewajiban mempertahankan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sekaligus mem-perjuangkan bahasa Indonesia dapat diterima dan membuat tertarik bangsa lain untuk mempelajarinya. Untuk masalah ter-akhir masih nol besar. Dekade ini, perkembangan ilmu pengetahuan be-gitu pesar. Kemajuan teknologi sebagai penunjangnya juga berkembang searah. Pesan-pesan media yang dikemas dalam bentuk hiburan, iklan, atau berita menarik para siswa dan ini bertolak belakang dengan pesan-pesan yang dikemas para guru dalam pembelajaran di kelas. Hal seperti inilah hendaknya mulai diperhatikan oleh guru bahasa Indonesia di kelas. Pembelajaran yang menarik akan memikat anak-anak untuk terus dan betah mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa ke-2 (B2) setelah bahasa ibu. Sebagian siswa, pembelajaran bahasa Indonesia sangat membosankan karena mereka sudah merasa bisa serta pe-nyampaian materi yang kurang menarik.

oleh: Esa Bhaskara

PENGAJARAN BAHASA INDONESIA

Perspektif | 6

Page 7: tabloid jurusan

PERLUNYA INOVASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Prestasi emas yang ditorehkan Bali dalam ujian nasional (UN) SMA/SMK/MA tahun ini memang membanggakan. Dari 24.290 orang peserta UN SMA/MA dan 18.282 orang peserta UN SMK, hanya 20 orang yang gagal meraih standar nilai minimal kelulusan yang dipersyaratkan. Itu merupakan presentase ter-tinggi di Indonesia. Di balik kepuasan itu, muncul permasalahan yang se-benarnya sudah ada sejak tahun lalu tapi kini muncul lagi karena memang belum ada penyelesaiannya. Multiple choise soal ba-hasa Indonesia memberi kontribusi yang besar bagi ketidaklulu-san peserta ujian. Tingkat kesulitan yang terkandung pada soal mata pelajaran bahasa Indonesia termasuk tinggi. Siapa yang harus disalahkan? Guru ataukah siswa? Tapi jika ditelusuri lagi, soal-soal mata pelajaran bahasa Indonesia pada UN ini kebanyakan menguji kemampuan mem-baca saja. Padahal dalam bahasa Indonesia harus diukur kemam-puan empat aspek, yaitu membaca, menulis, berbicara, dan me-nyimak. Jika seperti ini, kesalahan tidak sepenuhnya dilakukan oleh guru ataupun siswa. Itu karena soal yang disajikan belum konprehensif. Jika seandainya kita mau mengkritisi lagi lebih jauh men-genai fenomena pelajaran bahasa Indonesia, agaknya akan membuat kita miris. Asumsi selama ini menunjukkan pelajaran bahasa Indonesia gampang sepertinya akan berubah dengan adanya fenomena ini. Tampilnya bahasa Indonesia sebagai me-sin pembunuh saat UN tampaknya akan membuat siswa lebih respect terhadap pelajaran itu. Ada dua masalah dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pertama siswa berangga-pan pembelajaran bahasa Indonesia sangat membosankan karena mereka sudah merasa bisa. Padahal sebenarnya mereka hanya men-getahui bahasa Indonesia “pasaran” sehingga saat dihadapkan pada soal-soal bahasa Indo-nesia berbahasa formal, matilah mereka. Ked-ua, penyampaian materi yang kurang menarik sehingga secara tidak langsung siswa menjadi lemah dalam penangkapan materi pelajaran itu. Di pihak guru bahasa Indonesia, mengampu mata pelajaran ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Guru diharapkan bisa mem-buat siswa berpikir bahasa Indonesia ialah pela-jaran yang menarik dan mempunyai masa depan cerah. Selama ini jarang ada pelajar bahkan orang tua siswa mempunyai paradigma seperti di atas. Para orang tua terkesan enggan memasukkan anaknya pada jurusan bahasa Indonesia. Pengaja-ran bahasa Indonesia terlalu diremehkan dan divonis memiliki masa depan suram. Semoga dengan hasil UN SMA/SMK/MA tahun ini menyadarkan mereka be-tapa sama pentingnya mata pelajaran bahasa Indone- sia dengan mata pelajaran lain. Pelajaran bahasa Indonesia hendaknya diberikan perha-tian khusus. Sangat perlu kiranya les privat bahasa Indonesia ditakar sama dengan pelajaran lain. Selama ini, les privat atau pelajaran tambahan (pengayaan) bahasa Indonesia di sekolah-sekolah berjalan seadanya bahkan dilakukan dengan cara sama seperti pada jam-jam regular. Hasilnya nol. Tidak kreatif dan inovatif. Untuk mengadakan privat mata pelajaran bahasa Indo-nesia, di Indonesia sendiri masih tabu. Jarang ada. Agak aneh sebenarnya, bahasa Indonesia seakan menjadi anak tiri di negeri sendiri. Jika disaingkan dengan bahasa Inggris, Jerman, Manda-rin, dan Prancis, bahasa Indonesia jelas masih kalah peminatnya. Jika ingin meningkatkan mutu, hendaknya dimulai dari dasar. Pun dalam pengajaran bahasa Indonesia. Pengajarannya jangan hanya untuk menyiapkan siswa mengikuti UN saja, tapi juga untuk menumbuhkan bahwa bahasa Indonesia bisa digu-nakan sebagai bekal hidup.

Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dir-inya dapat berkembang dengan maksimal. Hal itu cukup relevan kiranya jika diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa Indone-sia. Bahasa Indonesia merupakan potensi siswa, sehingga hanya perlu sedikit “polesan yang benar” dalam proses belajarnya. Ma-nusia tanpa cinta bagai pohon yang tidak berbuah, guru tanpa belajar bagai rumah tanpa tiang. Mari tumbuhkan cinta terha-dap bahasa Indonesia dan guru memegang peran penting. Perlu kiranya sebuah inovasi. Sepertinya kita juga ha-rus melakukan “pemasaran” dor to dor dalam menarik peminat dalam belajar bahasa Indonesia. Mari mulai memikirkan pembelajaran dor to dor untuk pelajaran bahasa Indonesia. Guru memiliki peran yang vital un-tuk meningkatkan gairah belajar siswa. Semoga inovasi ini mela-hirkan hasil yang positif, sehingga pada akhirnya pelajaran ba-hasa Indonesia bukan lagi momok bagi peserta UN. Pun dengan masa depan bahasa Indonesia yang lebih cerah.

Perspektif | 7

Page 8: tabloid jurusan

Opini Bahasa

Pengaruh Penggunaan Bahasa Gaul Dalam Perkembangan Bahasa Indonesia

Seiring dengan perkembangan zaman ke zaman khususnya di Negara Indonesia semakin terlihat penga-ruh yang diberikan oleh bahasa gaul terhadap bahasa Indonesia dalam penggunaan tata bahasanya. Penggu-naan bahasa gaul oleh masyarakat luas menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indo-nesia sebagai identitas bangsa pada saat sekarang dan masa yang akan dating. Dewasa ini, masyarakat sudah banyak yang memakai bahasa gaul dan parahnya lagi generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari pe-makaian bahasa gaul ini. Bahkan generasi muda inilah yang banyak memakai bahasa gaul daripada pemakaian bahasa Indonesia. Untuk menghindari pemakaian bahasa gaul yang

sangat luas di masyrakat, seharusnya kita perlu mena-namkan kecintaan dalam diri generasi bangsa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dalam per-gaulan internasional, bahasa Indonesia mewujudkan identitas bangsa Indonesia. Seiring dengan munculnya bahasa gaul dalam masyarakat, banyak sekali dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa gaul ter-hadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identi-tas bangsa diantaranya sebagai berikut:

1. Eksistensi Bahasa Indonesia Terancam Terpinggirkan Oleh Bahasa Gaul Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya

sebuah generasi. Kalau generasi negeri ini kian teng-gelam dalam pembususkan bahasa Indonesia yang lebih dalam, mungkin bahasa Indonesia akan semakin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan dan pemupukan sejak dini kepada generasi muda agar mereka tidak mengikuti pembusukan itu. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa

tercermin pada perilaku masyarakat yang mulai menin-ggalkan bahasa Indonesia dan terbiasa menggunakan bahasa gaul. Saat ini jelas di masyarakat sudah banyak adanya penggunaan bahasa gaul dan hal ini diperparah lagi dengan generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari pemakaian bahasa gaul. Bahkan, generasi muda ini-lah yang paling banyak menggunakan dan menciptakan bahasa gaul di masyarakat.

2. Menurunnya Derajat Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia masih sangat muda usianya dibandingkan dengan bahasa lainya, tidak mengherankan apabila dalam sejarah pertumbuhannya, perkembangan bahasa asing yang lebih maju. Seperti kita ketahui bah-wa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikua-sai oleh bangsa-bangsa barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia. Indonesia sebagai Negara yang baru berkembang tidak mustahil

menerima pengaruh dari Negara asing. Kemudian ma-suklah ke dalam bahasa Indonesia istilah-istilah kata asing karena memang makna yang dimaksud oleh kata-kata as-ing tersebut belum ada dalam bahasa Indonesia. Sesuai sifatnya sebagai bahasa represif, sangat membuka kesempatan untuk itu. Melihat kondisi seperti ini, timbullah beberapa anggapan yang tidak baik. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang miskin, tidak mampu mendukung ilmu pengetahuan yang modern. Pada pihak lain muncul sikap mengagung-agungkan ba-hasa inggris dan bahasa asing lainnya. Dengan demikian timbul anggapan mampu berbahasa inggris atau bahasa asing merupakan ukuran derajat seseorang. Akhirnya mo-tivasi untuk belajar menguasai bahasa asing lebih tinggi daripada belajar dan menguasai bahasa sendiri. Kenyataan adanya efek social yang lebih baik bagi orang yang mampu berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia, hal ini lebih menururnkan lagi derajat bahasa Indonesia di mata orang awam. Saat ini banyak sekali remaja yang menciptakan bahasa gaul, yaitu bahasa baku yang dipelesetkan, sehingga terkadang orang dewasa tidak memahami bahasa apa yang dikatakan oleh para remaja tersebut. Contoh bahasa gaul yang sering dipakai adalah beud, yang berasal dari kata banget. Selain itu Uang, yang berasal dari kata yang. Lalu ada pula kata kakak yang dalam bahasa Inggris adalah sister, menjadi sista, dan brother menjadi 6ro tha. Selain itu, maraknya pemakaian jalur komunikasi yang murah, efisien, dan murah, juga dapat melahirkan dampak yang negatif dalam penggunaan tata bahasa. Pemakaian singkatan di dalam menggunakan sms kerap kali membuat masyarakat menjadi terbawa arus di dalam menuliskan kata-kata baku, sepeti menulis surat, catatan dan sebagainya. Terkadang pemakaian kata yang tak baku di dalam memanfaatkan layanan sms sering kali menimbulkan keraguan atau makna ganda bagi si penerima, tak heran pesan yang kita kirim lewat sms bisa menghasilkan arti yang berbeda dari yang kita maksudkan, mungkin bagi mereka yang mengerti mungkin dengan mudah ia dapat mengartikannya, tapi bagi mereka yang baru pertamakali melihat singkatan seperti ini mungkin ia akan akan ber-tanya-tanya apa maksud yanghendak di sampaikan oleh si pengirim. Masih banyak sekali bahasa gaul yang digunakan para remaja dalam percakapan sehari-hari. Penyebabnya adalah kurangnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia baku. Namun, tidak semua remaja menggunakan bahasa gaul ini. Yang menggunakannya pada umumnya adalah remaja yang ingin dianggap beken atau tenar di kalangan teman-temannya. Mereka menganggap berbahasa gaul adalah keren, padahal di mata remaja lain gaya bahasa mereka adalah alay.

Perspektif | 8

Page 9: tabloid jurusan

Alay adalah singkatan dari Anak Layangan, yaitu anak-anak yang dalam berbicara atau menuliskan kata-kata cender-ung agak kampungan. Ciri-ciri alay antara lainMenulis kata disingkat, seperti “lagi apa?” menjadi “gi pha??”atau “bosan banget jadi “bsen bgd nh “atau “bosen beud nh”. Memakai simbol tambahan “p@ k@bar L0e/?”atau “hha.. y nh.. lg bosen-” pada kalimat yang ditulisnya. Menggunakan huruf z di belakang kata “mk bgtz.” atau “gu-runya malezin yh “. Di atas adalah sebagian kecil dari ciri-ciri alay. Gaya bahasa ini tidak hanya mereka praktikkan dalam penulisan, namun juga dalam cara berbicara. Ketika mereka berbicara dengan bahasa gaul yang agak sedikit norak itu, terkadang bibir mereka monyong mengikuti kata-kata yang mereka ucapkan. Aksen huruf z pada akhir kata terdengar sangat jelas, sehingga membuat lawan bicara yang tidak memaha-minya menjadi pusing. Bahasa gaul yang digunakan anak remaja alay ini su-dah menjalar ke mana-mana. Anak kecil pun mengetahui gaya bahasa ini. Sangat disayangkan sekali, anak kecil yang sebenarnya mampu menyerap banyak kata terpaksa me-nyerap kata-kata yang tidak baku dalam bahasa Indonesia. Dari sekian banyak bahasa di Indonesia, mengapa bahasa gaul ini yang lebih populer? Apakah karena bahasa Indone-sia yang baik dan benar hanya digunakan di kelas saja? Gurunya pasti tidak paham dan itu tidaklah sesuai dengan yang diajarkan di sekolah. Manusia bisa karena terbiasa. Jika anak-anak remaja itu sudah terbiasa menulis dengan kata-kata yang salah maka selanjutnya akan salah. Hal ini dapat membuat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak dipakai dan mati. Seharusnya remaja membudidayakan berbahasa yang baik, karena kalau bu-kan remaja, siapa lagi? Namun, mungkin karena jam pelajaran bahasa Indo-nesia di sekolah kurang, bisa saja mereka menjadi malas berbahasa yang baik atau mereka menganggap guru mer-eka membosankan, jadi mereka merasa pelajaran bahasa Indonesia pun membosankan, dan mereka tidak peduli dengan tata cara bahasa yang baik dan benar. Banyak cara untuk membuat remaja menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, antara lain. Membiasakan remaja un-tuk membaca buku-buku penulis Indonesia. Berbicara dengan bahasa yang baik kepada anak remaja. Memperkenalkannya dengan karya sastra sas-trawan Indonesia. Mengajaknya sering-sering berlatih menulis dengan bahasa Indonesia yang baik. “Rdak men-gucapkan bahasa yang kasar kepada anak remaja ketika usianya masih kecil. Oleh sebab itu, kita sebagai keluarga dan gurunya, semestinya mengawasi penggunaan bahasa pada anak. Jangan sampai mereka terbawa pengaruh yang buruk, yang membuat mereka menggunakan bahasa Indo-nesia yang buruk pula. Cintailah bahasa Indonesia, karena inilah salah satu kekayaan bangsa kita.

Tugas Orang Tua dan Guru

Sebenarnya ini adalah tugas bagi orang tua dan guru untuk memperhatikan perkembangan bahasa anak-anaknya. Karena berbahaya sekali jika anak-anak kecil menggunakan gaya bahasa gaul nan alay ini. Mereka bisa menuliskan dan mengucapkannya hingga remaja nanti, sehingga mereka tidak mengetahui yang manakah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bisa saja karena mereka terlalu sering menggunakan

bahasa yang norak ini hanya karena ingin gaul dan tenar, lalu mereka mengucapkannya di depan guru, menuliskan-nya pada lembar jawaban ulangan esai dan menggunakan-nya ketika berpidato. Mengapa demikian? Karena mereka sudah terbiasa dengan bahasa gaul alay ini, bisa saja mereka lupa dengan bahasa asli bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan bahasa gaul nan norak ini banyak sekali digunakan dalam penulisan status Facebook. Di jejaring sosial ini, kita dapat menuliskan status yang menggambar-kan keadaan kita. Nah, di sinilah yang menjadi ajang anak layanga=n menunjukkan keberadaannya. Contoh status Facebook anak layanganMenulis dengan huruf besar dan kecil dalam satu kalimat, contoh SaYaSedAnG TiDAk AdA di RuMah SaaT iNi.Menulis dengan diselingi angka di dalam kalimat, contoh 54Y4 S4Y4N9 S4m4K4M03. Menggunakan tanda baca yang tidak perlu di dalam kali-matnya, contohAq…engga…tauuuu…mauuu..n ulizzz…ap-paaaaaa…….!?!?! Menggunakan singkatan-singkatan yang berlebihan, contoh Aq gga da wqtu skrg wt ktmu qm, qm jja yg dtnk k t4 q.Nah, itulah ciri-ciri anak layangan dalam statusnya di Face-book. Dari situlah bahasa gaul itu merambat ke penulisan dan pengucapan sehari-hari. Kenapa mereka seperti itu? Alasannya adalah karena ingin mengambil perha-tian orang lain, mereka mencari simpati agar diperhati-kan de ngan cara yang demikian. Mereka tidak menyadari bahwa membaca tulisan seperti itu sangatlah memusing-kan, membuat mata sakit, dan susah memahaminya. Lalu bagaimana jika mereka menggunakan penulisan seperti itu dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah? Gurunya pasti tidak paham dan itu tidaklah sesuai dengan yang dia-jarkan di sekolah. Manusia bisa karena terbiasa. Jika anak-anak remaja itu sudah terbiasa menulis dengan kata-kata yang salah maka selanjutnya akan salah. Hal ini dapat membuat peng-gunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak dipak-ai dan mati. Seharusnya remaja membudidayakan ber-bahasa yang baik, karena kalau bukan remaja, siapa lagi? Namun, mungkin karena jam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah kurang, bisa saja mereka menjadi malas berbahasa yang baik. Atau mereka menganggap guru mereka mem-bosankan, jadi mereka merasa pelajaran bahasa Indonesia pun membosankan, dan mereka tidak peduli dengan tata cara bahasa yang baik dan benar. Banyak cara untuk membuat remaja menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, antara lain:Membiasakan remaja untuk membaca buku-buku penulis Indonesia.(desna)

Perspektif | 9

Page 10: tabloid jurusan

Perspektif | 10

“Bahasa Indonesia atau Bahasa dan Sastra Indonesia?” ketika pertanyaan seperti ini dimunculkan, kita pasti akan berpikir yang manakah yang “benar” atau yang “lazim” digu-nakan dan tentu saja kita akan menjawab, “Bahasa dan Sastra Indonesia”. Namun sayangnya, ini bukanlah pertanyaan yang bertujuan menanyakan tentang kelaziman suatu kalimat. Ini merupakan sebuah pertanyaan yang bertujuan mempertan-yakan hakikat “sastra” yang ada dalam Bahasa dan Sastra Indo-nesia yang sebenarnya. Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan pelajaran yang diajarkan mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMA. Se-lama sebelas tahun kita diajarkan berbahasa yang baik dan benar, membuat kalimat, berpidato, membaca wacana, men-ulis surat, dan masih banyak lagi cara-cara berbahasa yaang diajarkan oleh guru kita. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari bidang kebahasaaan pelajaran Bahasa dan Sastra Indo-nesia. Lalu, di mana “sastranya”? selama sebelas tahun juga kita selalu diajarkan bagaimana membuat dan membaca pui-si, mengenali unsur intrisik dan ekstrinsik karya sastra, serta nama-nama sastrawan dari angkatan balai pustaka sampai angkatan 66. Yang jadi pertanyaan di sini adalah, “apakah sastra Indonesia hanya sebatas hal-hal yang telah disebutkan di atas saja?” tentu saja tidak. Sastra Indonesia bukan hanya bergerak di bidang puisi saja. Cerpen dan novel sudah mem-budaya dalam perkembangan sastra Indonesia. Bahkan, cara penulisan puisi, cerpen, dan novel sudah tidak lagi seperti dulu. Unsur intrisik dan ekstrinsik tidak lagi menjadi satu-sa-tunya bahan pembelajaran untuk menganalisis sebuah karya sastra. Kita sudah mengenal berbagai macam teori dalam menganalisis sebuah karya sastra. Sastrawan Indonesia saat ini juga tidak hanya Chiril Anwar ataupun W.S Rendra saja. In-donesia sudah melahirkan banyak sastrawan-sastrawan yang karyanya mampu menandingi Chairil Anwar dan W.S Rendra. Perkembangan Sastra Indonesia inilah yang seharusnya dapat dibagikan oleh para guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada anak didiknya sehingga, para siswa tidak lagi bercermin pada teori-teori lama maupun sejarah saja, mereka juga akan dapat melihat perkembangan Sastra Indonesia yang terjadi saat ini. Hal ini dapat menambah wawasan mereka tentang sastra. Sebenarnya, Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia mempunyai hubungan yang sangat erat. Bahasa Indonesia merupakan sebuah wadah yang dapat menunjang perkem-bangan Sastra Indonesia. Ketika menulis sebuah karya sastra, penulis yang tidak pernah belajar Bahasa Indonesia yang baik dan benar biasanya akan terjebak dengan “bahasa sastra yang indah”. Ia akan menulis tanpa menghiraukan “logika berba-hasa”. Di sinilah Bahasa Indonesia mempunyai peran sebagai wadah untuk meluruskan “logika berbahasa” yang baik dan benar sehingga dapat menunjang kualitas sebuah karya sas-tra. Sastra Indonesia juga mempunyai peran sebagai wadah bagi perkembangan Bahasa Indonesia. Di era globalisasi ini, sangat banyak kita temui kosakata-kosakata asing dalam ke-hidupan kita. Secara tidak sadar kitapun sering memakainya sehingga sedikit demi sedikit kosakata Bahasa Indonesia akan dilupakan. TV dan radio yang merupakan salah satu wadah mensosialisasikan Bahasa Indonesia juga seringkali menggu-nakan kosakata-kosakata asing. Bahkan tidak jarang kosakata

asing ini dimunculkan oleh TV dan radio. Di sinilah peran Satra Indonesia dalam pengembangan Bahasa Indonesia. Banyak kosakata Bahasa Indonesia dapat diselipkan dalam sebuah karya sastra sehingga kosakata Bahasa Indonesia tetap digu-nakan meskipun banyak kosakata asing bermunculan. Hubungan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia tam-paknya belum disadari dengan benar oleh para pendidik saat ini. Entah ini merupakan kesalahan kurikulum atau kemam-puan guru dalam mengajarkan sastra di kelas memang terba-tas. Terbukti, dengan adanya “diskriminasi” terhadap pelajaran sastra. Pelajaran Bahasa Indonesia lebih dominan diajarkan di kelas daripada pelajaran Sastra Indonesia. Selama sebelas tahun mengikuti pendidikan dari SD sampai SMA, kita hanya tahu bagaimana membuat dan membaca puisi, mengenali unsur intrisik dan ekstrinsik karya sastra, serta nama-nama sastrawan dari angkatan balai pustaka sampai angkatan 66. Itupun hanya sebatas pengenalan saja. Ekstrakulikuler tingkat SD sampai SMA yang bergerak pada bidang sastra juga san-gat terbatas. Pandangan orang-orang yang menganggap sas-tra tidak begitu penting dalam kehidupan, minimnya orang-orang yang dapat “merangkul” minat mereka dalam satra serta tidak adanya bantuan dana yang dapat mengembang-kan minat mereka merupakan faktor penting yang menyebab-kan tidak berkembangnya ekstrakulikuler sastra di kalangan SD sampai SMA. Di Bali, dari sembilan kabupaten yang ada, hanya kabupaten Buleleng, Negara, dan Denpasar yang “at-mosfer” sastranya dapat dirasakan. Yang sangat disayangkan lagi, Denpasar yang dulunya mempunyai peminat sastra yang cukup besar di kalangan SMP dan SMA sekarang mengalami penurunan. Ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang meniadakan Lomba Drama Modern dalam rangka PSR (Pe-kan Seni Remaja) beberapa tahun lalu. Hal ini menyebabkan kurang berkembangnya sastra dalam bidang Drama Modern. Padahal Lomba Drama Modern yang dilaksanakan pemerin-tah ini merupakan wadah paling besar untuk memotivasi para siswa dalam mendalami sastra. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya diperhatikan agar dapat terciptanya keseimbangan antara Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia sehingga kata “sastra” dalam pelajaran “Ba-hasa dan Sastra Indonesia” mempunyai peran yang dapat di-rasakan kehadirannya. Bukan hanya sebagai pelengkap dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, namun mempunyai kedudukan yang setara dengan Bahasa Indonesia.(sumahardika)

“Bahasa Indonesia” atau “Bahasa dan Sastra Indonesia”?

Page 11: tabloid jurusan

Zen Hae seorang kritikus sastra dalam sebuah esainya sempat menulis begini “Di tengah masyarakat yang gampang lupa kita membutuhkan novel pengingat. Di tengah masyarakat yang putus asa kita membutuhkan novel yang memberi harapan. Di tengah bangsa yang yang kehilangan martabat kita merindu-kan novel yang mengobarkan nasionalisme.” Singkatnya itulah harapan-harapan yang kita bebankan kepada novel, karya seni pada umumnya, ketika bidang-bidang lain menghianati kita ter-us-menerus. Ketika kisruh PSSI mengemuka, harapan diemban oleh novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul 11 Patriot. Ketika kita lupa dengan seni, kebudayaan, dan kearifan lokal Bali pada umumnya, saya pikir novel Ayu Manda karya I Made Iwan Dar-mawan adalah jawabannya. Pendeskripsian detail seni budaya Bali menantang imajinasi pembaca untuk terlibat secara terus menerus dalam realita kehidupan para tokoh serta konflik-konflik yang menyertainya. Ketika kerusakan moral begitu parah terjadi akhir-akhir ini di negara ini, pendidikan karakter adalah harga mati. Pendidikan karakter bisa ditemukan pada karya-karya sastra seperti novel-novel itu. Novel atau puisi atau karya sastra yang lain menyimpan amanat yang sangat bisa membangun karakter pembacanya. Apa-lagi kerusakan moral bangsa sudah dalam tahap sangat mence-maskan terjadi di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintah, aparat pen-egak hukum, dunia pendidi-kan, maupun m a s y a r a k a t umum. Semua yang tersebut di atas tidak ada yang ber-sih dari kasus korupsi. Hing-ga tersebutlah korupsi adalah karakter bang-sa ini.Di kalangan birokrasi su-dah termasyur kebobrokan-nya. Di insti-tusi penegak hukum sedang ngetren terke-na sangsi. Mereka yang semula d i h a r a p k a n bisa memper-baiki keadaan ternyata memi-liki kondisi yang lebih parah. Di dunia pendidikan sudah merupakan rahasia umum yang disebabkan oknum-ok-num tak bertanggung jawab

Ini adalah rahasia umum. Tidak perlu diperdebatkan lagi! Kasus Gandel baru-baru ini merupakan contoh nyata potret buram masyarakat kita. Alif, seorang siswa SD Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur mengadukan kepada orang tu-anya mengenai perintah gurunya menyebar contekan pada teman-temannya saat ujian nasional. Orang tua Alif, Ibu Siami lalu melaporkan kejadian itu kepada wali kota Surabaya. Ja-batan kepala sekolah kemudian dicopot. Dua guru diberikan sangsi turun pangkat. Ironisnya adalah warga desa sekitar sekolah justru mengusir Siami dan keluarga. Akhirnya keluarga terpaksa mengungsi ke Gresik, walaupun hari ini mereka su-dah kembali ke rumahnya di Gandel. Mentalitas Indonesia tidak kondusif untuk mencapai kemajuan. Seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, mentali-tas itu meliputi, meremehkan mutu, suka meerabas, tidak per-caya diri sendiri, tidak berdisiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hilir (negara) adalah refleksi hulu (masyarakat). Buruk negara adalah cermin masyarakat. Negara korup adalah buah masyarakat yang menghalalkan korupsi. Korupsi ini pun telah berkembang dari segi praktik dan makna kata. Budaya korup terjadi karena lemahnya karakter ma-syarakat. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berha-

sil membangun manusia Indone-sia yang berkara-kter. Bahkan, banyak yang menyebut, pen-didikan telah ga-gal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya le-mah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Salah satunya korupsi itu. Tidak mungkin orang yang tidak ber-pendidikan ko-rup.Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh dalam sebuah

kesempatan mengatakan pem-bentukan karakter perlu dilaku-kan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang

Perspektif | 11

Opini Sastra

MEMBANGUN KARAKTER LEWAT SASTRA

Page 12: tabloid jurusan

Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun ke-pribadian bangsa. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama

ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil mem-bangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bah-

kan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan seko-

lah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.

Bahkan, bisa dikatakan, dunia pendidikan di Indo-nesia kini sedang memasuki masa-masa yang san-

gat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertin-ya belum mampu memecahkan persoalan mendasar

dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, ber-

taqwa, profesional, dan berkarakter. Yang ada malah, melahirkan alumni-alumni “teroris”. Yang perlu diketahui sekarang apa itu pendidikan kara-

kter? Dengan apa aplikasinya dalam pembelajaran? Pendidikan karakter senantiasa ada pada zamannya. Na-

manya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama. Hingga men-

jadi PMP serta PPKn pada masa Orde Baru. Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasinya adalah sama yaitu Pedo-man Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pen-didikan pada akhir abad ke-18. Pencetusnya FW Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendi-dikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelom-bang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pen-getahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karak-ter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai “siapa Anda dalam kegelapan?”. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Lalu masihkah relevan ujian nasional yang hanya menilai dari aspek kognitif siswanya saja? Silahkan berde-bat. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, ber-jalan terpisah satu dengan yang lainnya. Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai menge-luh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilaku-kan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berba-sis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan ban-tuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terba-tinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas. Dalam penerapannya, sastra harus ditempatkan sebagai “kitab suci”. Novel dan puisi bisa digunakan sebagai modul dalam pembelajarannya. Sehingga karakter bangsa kita bukanlah berkarakter teroris tetapi berkarakter Pancasilais. (esa)

Perspektif | 12

Page 13: tabloid jurusan

Kaum in-telektual,

terma-s u k

ma-h a -

s i s w a d i

d a l a m n y a adalah individu yang memiliki ke-

mampuan berfikir yang lebih bagus dibandingkan individu lainnya. Kemampuan berfikir yang bagus tersebut ti-daklah serta merta diperoleh oleh seseorang, melainkan den-gan serangkaian tahap dan cara. Salah satunya adalah dengan menggauli buku. Dengan mengakrabkan diri dengan buku yang

mengandung banyak deretan huruf sarat makna ilmu pengeta-huan, tentunya wawasan seseorang akan bertambah. Namun, memperoleh suatu sumber ilmu pengetahuan berupa buku ti-daklah semudah membalikkan telapak tangan terlebih bagi kita selaku mahasiswa yang notabene belum berpenghasilan. Mengapa? Ya karena harga buku yang semakin hari kian melambung tinggi. Mahasiswa seakan tak mampu menjangkau harga sebuah buku dengan bekal pas-pas an. Hal ini terbukti dengan beberapa mahasiswa yang tak membeli buku ajar, han-ya meminjamnya dengan kakak tingkat. Padahal buku tersebut adalah investasi masa depan yang sangat bernilai tinggi. Buku merupakan suatu sarana urgen yang harus dan patut dimiliki oleh mahasiswa. Berkaitan dengan harga buku yang relatife mahal, bagaimana pendapat mahasiswa-mahasiswa di kawasan FBS??? Berikut pandangan beberapa mahasiswa yang berhasil diwawa-ncara.

HARGA BUKU Di MATA MAHASISWA

Ketut Desnaria, mahasiswa Basindo

Putu Ayu Sutaningrat Pus-pa Dewi, mahasiswi EED

• Wayan Desiari, mahasiswi NigokaseiSaya sangat tidak setu-ju dengan harga buku yang mahal. Kalau un-tuk orang berada sich bukan suatu masalah, tapi bagi orang yang kurang mampu, hal itu sangat membebankan. Bagaimana cara maha-siswa mengembangkan ilmu kalau beli buku saja tidak bisa? Seti-daknya harga buku itu bisa dijangkau oleh siapa saja, termasuk mahasiswa. Kalau har-ganya tak bisa ditu-runkan, ya hendaknya dibantu dan disubsidi oleh pemerintah.

Made Arya Budiyasa, mahasiswa Efourism

Luh Padmini, mahasiswi Himasaba

Kalau saya menyikapi hal ini sich sah-sah. Buku mahal dan cenderung naik ya tak apa. Tapi buku yang mahal harus men-gandung isi dan manfaat bagi pembacanya. Bukan hanya sekedar buku semata yang tak berkualitas.

Kalau harga buku mahal dan cenderung naik, itu sich wajar. Tapi menurut saya hal itu memberikan dampak positif dan negatife bagi mahasiswa. Nai-knya harga buku akan membuat mahasiswa semakin berkembang wawasannya karena buku yang dibelinya adalah buku yang berkualitas. Sedangkan negatifnya untuk mahasiswa yang kurang mampu akan sangat kesulitan untuk membeli buku tersebut. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya minat baca mahasiswa. Saran saya terkait permasalahan ini, belilah buku itu jika memang benar-benar diperlukan, jika tak ingin membelinya, Anda bisa mendatangi perpustakaan.

Putu Sintya Winata, mahasiswi Basindo

Terkait dengan buku yang relatif mahal, sebai-knya toko buku atau pro-dusen buku menyediakan diskon-diskon. Minimal-lah di awal tahun ajaran atau di akhir tahun ajar. Hal ini bisa mempermu-dah mahasiswa untuk me-miliki buku bacaan.

Wayan Widiarsa, mahasiswa HimasabaMengenai buku yang mahal, kalau bisa sebaiknya harga buku mudah dijangkau oleh semua kalangan, terutama masyara-kat menengah ke bawah yang didalam-nya termasuk mahasiswa.

Ya, kalau buku mahal karena kuali-tasnya bagus dan informasinya leng-kap sich bukan masalah. Itu sebuah konsekuensi yang harus diterima ma-hasiswa dalam hal menjalani pendi-dikan untuk mendapatkan pengeta-huan. Tapi, mestinya pemerintah peka melihat realita ini, melihat mahasiswa Indonesia yang kebanyakan belum mampu. Mungkin ada subsidi untuk buku mahal, yang sangat mendesak diperlukan oleh pelajar.

Hari Setia Hati, mahasiswi EED

Demikian berbagai opini tentang harga buku yang relatif mahal. Menelisik harga buku yang mahal, nampaknya sah sah saja asalkan ditunjang dengan kualitas buku tersebut. Buku yang memang benar-benar berkualitas bagi pembacanya termasuk ma-hasiswa sehingga mahasiswa akan berupaya untuk mendapatkan buku tersebut walaupun harganya tak mudah untuk dijangkau. Dalam hal ini pemerintah juga seharusnya peka dan tak menutup mata. (nina)

Buku

Perspektif | 13

Page 14: tabloid jurusan

Siapa yang tidak mengenal Ahmad Tohari. Tentu kita semua mengenal beliau lewat karya-karya legendaris beliau. Ti-dak hanya itu, beliau juga melahirkan beberapa karya sastra ter-kenal. Salah satunya adalah novel Bekisar Merah. Bekisar Merah

merpakan salah satu novel Ahmad Tohari yang dikenal pada tahun 1993. Berkat keahlian be-liau dalam menu-lis novel ini, Beki-sar Merah mampu menghadirkan ber-bagai macam nilai yang ada dalam masyarakat. Jika sempat membaca novel ini, tidak han-ya amanat beliau yang kita dapat, tetapi kita juga bisa

merasakan b e t a p a m a -

hir beliau menceritakan

keindahan alam pedesaan yang melatari novel tersebut. latar tempat, terutama kondisi alam novel bekisar merah diceri-takan amat detail sehingga pembaca terasa berada dalam latar tersebut. Dari segi judul, Bekisar Merah, tentu akan bertanya-tanya, apakah ceritanya tentang binatang? Bekisar Merah bercerita tentang kehidupan seorang wanita balsteran, Jepang-Indonesia, Lasi yang diduga sebagai anak hasil pemerkosaan. Lasi diceritakan sebagai gadis paling cantik di desanya yang diperistri oleh Darsa, seorang penyadap nira kelapa miskin. Menjadi suatu anugerah bagi Darsa karena memperistri Lasi. Akan tetapi, setelah tiga tahun pernikahan-nya, mereka belum juga memperoleh keturunan. Sayang sung-guh sayang, Darsa mengalami nasib tak mujur. Darsa jatuh dari pohon kelapa saat menyadap nira. Beruntung nyawanya masih tertolong. Memang masih beruntung, tetapi Lasi, isterinya tidak bisa mengusahakan uang untuk biaya rawat jalan Darsa. Terlalu bere-siko jika harus mengorbankan pohon kelapa mereka, sebab itu-lah penghidupan mereka kelak. Selain itu, peluang hidup peny-adap yang jatuh saat menyadap sangat kecil. Lasi tetap merawat suaminya dengan sabar meski setiap hari harus berhadapan dengan bau kencing yang terus menetas dari kelamin suaminya. Lasi juga harus mendengar ocehan Mbok Wiryaji, ibunya yang terus meminta Lasi bercerai dari Darsa dan menikah dengan mantan guru SD Lasi dulu. Dengan kepasrahan dan tetap sujud bakti kepada Tuhan, Darsa berhasil disembuhkan oleh Bunek, seorang dukun pijat bayi. Akan tetapi, memang nasib Lasi selalu dirundung malang sejak masih bocah. Tudingan sebagai anak haram di kampungnya selalu menyakiti hatinya. Setelah baha-gia karena suaminya, Darsa sudah sembuh, kini Lasi harus me-nerima kenyataan pahit pula. Darsa dituntut untuk mengawini Sipah, anak Bunek yang pincang. Merasa dikhianati, Lasi kabur ke Jakarta dengan menum-pang truk barang. Di Jakarta, Lasi bertemu dengan Bu Koneng. Perlakuan Bu Koneng sangat spesial terhadap Lasi. Apalagi ke-tika mengetahui bahwa Lasi wanita blasteran Jepang-Indonesia. Dari sanalah hidp Lasi terombang-ambing dan dilempar ke sana

ke mari atau lebih tepatnya dijual oleh orang yang terlihat baik hati kepadanya. Tentunya ada hal positif yang dapat dipetik pada bagian ini. Ahmad Tohari memperingatkan kita agar tidak pamrih ketika menolong orang lain dan menyadari pertolongan orang tidak boleh kita lupakan. Bekisar Merah secara eksplisit menyelipkan ajaran agama yang patut dicerna baik-baik. Ketika Darsa dirundung masalah, ditinggal Lasi minggat dan harus menikahi Si pincang, Sipah yang sudah dihamilinya. Berkat nasihat Eyang Mus, Darsa tidak lagi harus bimbang dengan pertanggungjawabannya terhadap Sipah. Darsa juga bisa merelakan kepergian Lasi karena me-mang akibat khilafnya sendiri. Eyang Mus sebagai tokoh spiritual dalam Bekisar Merah ini, merupakan contoh real yang jarang ditemukan dalam kehidupan seperti sekarang ini. Hidup bersa-haja dan teguh pendirian sehingga dalam novel ini, Eyang Mus sebagai tokoh yang bisa memecahkan masalah dengan kepala dingin. Lasi, tokoh utama yang sebenarnya merupakan “bekisar merah” yang dimaksudkan dalam novel in. Lasi selama berada di tempat Bu Koneng memang hanya bekerja sebagai pembantu, tetapi diam-diam Bu Koneng telah menjualnya kepada Bu Lant-ing. Dengan taktik yang sangat mulus, bahkan tidak disadari oleh tokoh Lasi, Bu Koneng dan Bu Lanting mendapat keuntungan atas keberadaan Lasi. Terlepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Ungkapan itu tepat menggambarkan kondisi Lasi saat di-perjualbelikan oleh orang yang sangat berbaik hati kepada Lasi. Dari Bu Lanting, Lasi kemudian dijual kepada Handarbe-ni, seorang pengusaha kaya. Handarbeni memang tidak kurang satu apapun dari segi materi, tetapi lasi tidak merasakan keba-hagiaan lahir batin. Handarbeni sudah beristri dua dan impoten. Lasi menerima Handarbeni sebagai suaminya dengan keikhla-san dan menganggap sebagai bagian dari takdir yang harus dijalaninya. Akan tetapi, Lasi tidak bisa menjalani dengan ke-tenangan. Lasi diganggu oleh bayangan Kanjat, anak saudagar gula terkaya di kampungnya. Kanjat dan Lasi sempat bertukar-tukaran foto sebelum Lasi menikah dengan Handarbeni. Kanjat dalam novel ini merupakan tokoh intelektual yang peduli dengan kondisi lingkungan. Pembaca diajak melihat dan membandingkan tokoh Kanjat dengan kaum intelektual zaman sekarang. Dengan kata lain, Ahmad Tohari mengajak pembaca menyadari bahwa zaman sekarang kaum intelektual yang mau mengabdikan diri demi kesejahteraan masyarakat masih dapat dihitung dengan jari. Tokoh Kanjat kemungkinan merupakan to-koh impian sang penulis, Ahmad Tohari untuk kaum intelektual pada kenyataannya. Sayang, novel ini sudah jarang ditemukan karena ke-mungkinan tidak dicetak ulang kembali. Padahal Bekisar Merah menginspirasi nilai-nilai kehidupan yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Jika diibaratkan, Bekisar Merah adalah miniatur kehidupan yang sarat akan nilai-nilai yang patuut diteladani. Sekarang ini justru novel-novel teenlit yang lebih digemari un-tuk dibaca. Sangat jarang ditemukan novel yang mengandung nilai-nilai moril dalam novel-novel sekarang ini. Terkadang ang-gapan bahwa membaca novel jadul (novel lama) sanagt mem-bosankan dengan bahasa yang sulit dipahami dan sangat tebal. Generasi pecinta sastra atau sekadar gemar membaca karya sas-tra, setidaknya pernah membaca Bekisar Merah. Banyak hal yang belum kita ketahui dapat ditemukan dalam novel ini. Tidak han-ya Bekisar Merah, masih banyak novel-novel legendaris ternama pada zamannya dan ditulis oleh sastrawan-sastrawan ternama pula.

UlasanBekisar Merah, Sebuah Miniatur Kehidupan

Muatan Nilai Kehidupan Lewat Goretan Tangan Sang Penyair

Perspektif | 14

Page 15: tabloid jurusan

Teknologi informasi dan komunikasi berperan penting dalam kehidupan manusia. Setiap manusia di muka bumi ini tidak dapat ‘lari’ dari kemajuan teknologi yang ada. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dibarengi dengan munculnya berbagai macam fasilitas dan peralatan yang cang-gih dan cepat dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari bahkan bisa me-manjakan manusia. Kemajuan teknologi ini dapat menghantarkan seseorang ke belahan dunia, neg-ara, benua, pulau dan kota-kota di seluruh dunia hanya dengan menatap layar dan sentuhan lewat tombol-tombol yang ada di dalam komputer atau laptop. Bisa juga melalui handphone (HP). Hal ini sama seperti ketika kita menulis surat dengan tangan kita sendiri. Namun di dalam kemajuan teknologi, menulis surat lebih mudah, cepat dan praktis. Kehadiran perangkat canggih tentu bisa menggantikan tradisi surat-menyurat yang su-dah mendarah daging sejak masyarakat Indonesia mengenal tulisan. Tradisi surat-menyurat semakin terpuruk keadaannya. Sekarang saja kalau ditanya berapa banyak orang yang menggunakan fasilitas surat – menyurat, tentu sedikit sekali jumlahnya. Jika dilihat dari perkembangan surat menyurat saat ini tentunya menurun drastis karena kalah bersaing dengan internet dan alat alat teknologi informasi dan komunikasi yang lain. Orang-orang lebih suka menggunakan e-mail, facebook, twitter, dan masih banyak lagi fasilitas sosial lainnya. Dis-

amping lebih cepat, biaya yang dikeluarkan pun cenderung lebih murah jika menggunakan fasili-tas sosial tersebut. Tradisi surat - menyurat sema-kin terancam posisinya oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat dan sudah tidak dapat dibendung lagi perkembangan-nya. Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, justru pamor kantor pos semakin me-lempem. Semakin sedikit orang-orang datang ke kantor pos untuk menggunakan jasa pengiriman surat. Ironisnya, kantor pos yang dikenal sebagai jasa pengiriman surat kini beralih fungsi sebagai tempat pengambilan uang pensiun, tempat pem-bayaran listrik, tempat pembayaran cicilan motor, tempat pembayaran telepon bahkan info lowon-gan kerja juga ada di kantor pos. Solusi melestarikan tradisi surat-menyurat agar tetap eksis bisa dimulai dari meng-upgrade kantor pos itu sendiri. Istilah “kemajuan” juga ha-rus berlaku untuk kantor pos di jaman globalisasi ini. Dengan mempercepat waktu pengiriman dan mempermurah harga perangko akan membuat masyarakat kembali menggunakan jasa kantor pos yang tidak bisa terlepas dari tradisi surat-me-nyurat.(Desy Purnamayani)

Redupnya Tradisi Surat – menyurat

pada Zaman Globalisasi

Perspektif | 15

Surat

Page 16: tabloid jurusan

Di Antara Rasa Madu dan Anggur

Butiran-butiran embunmenyusup dibalik wajah sayumumenahan seklebat dinginnya pagi

Engkau berdiri di pinggiran jalan beraspal termangu memandang tetesan air jatuh dibalik dahan-dahan pohon jeruk

Tanpa engkau duga asap rokok melobangi otakmumenyusup dalam pintalan saraf-sarafmumenuju alam bawah sadarmu

Engkau menyusuri masa lalu yang membawa dirimu di antara dua pilihan yang engkau tak mengerti apa maksudnya

Engkau bimbangapakah engkau memilihrasa anggur yang menyengat dalam jiwa ataurasa madu yang manis pekat tapi mengenyangkan Ternyata engkau memilih rasa anggur yang menyengat dalam jiwa Aku pun mengalihkan pandanganku dari wajahmu yang semakin sayu

Aku terperangah pada wajah rianggadis mungilyang telah terampas dari masa bermainnyamenjajakan sebuah cindera matapada seorang pengunjung

Apakah gadis itu mempunyai sebuah pilihan? memilih rasa anggur yang menyengat jiwa

Ternyata gadis itu lebih bijak dari wajahmu yang mulai suram

Dan gadis itu memilih di antara kedua rasa itu

Seperti arak yang tercampum cocacolaRasanya tetap menyengat

jiwa Tapi terasa manis

Aku padamkan percikan api di kota empedukudan “Engkau” tersenyum

Aku padamkan pantulan bayangan matakudan “Engkau masih tersenyum

Aku kosongkan pikiranku dari belaian-Mudan “Engkau” tetap tersenyum

Aku biarkan ginjalku yang memompa darah dan jantungku yang mengisap asap kota empeduku

dan “Engkau telah lenyap

Aku lepaskan jiwaku dari ragakudan ‘Dewi Durga’ menampakan diri

Aku biarkan Sang Kala masuk dalam ragakudan ‘Dewi Durga’ tertawa

Jiwaku masuk dalam ragaku

dan ‘Dewi Durga’ lenyap dihadapanku

Jiwaku menyatu dengan Sang Kala dalam ragakudan aku merajut dosa tuk bertemu ‘Dewi Durga’

Aku menenun dosa menjadi selendang sutradan ‘Dewi Durga’ menyatukan aku dengan “Engkau”

Singaraja, 16 Maret 2010

Wayan Purne

Engkau

Puisi

Perspektif | 16

Page 17: tabloid jurusan

Perspektif | 17

KelamDua tubuh di atas ranjang...polos dan telanjang,Satu tubuh penat dan diam...menanti sentuhan dan tarian jemaridari sang ahliKetika raga telah membaradi atas tungku gairah, penat hilang, datanglah keinginan...Dua tubuh di atas ranjang,menjadi satu dalam dekapanRitual dua tubuh menjadi transaksiantara penjual dan pembeliDi balik bilik bertutupkan kelambuAdakah cinta bersemi?ataukah sekedar mimpi semu? dodok

Ketika semua orang menyukaimu,Ketika semua orang mencintaimu,Ketika semua orang memelukmu,Ketika semua orang memujamu,Ketika semua orang merasa memilikimu...

Kamu adalah goresan Oriflame yang halus,Kamu adalah Eye Shadows gelap yang memikat,Kamu adalah maskara yang lentik,Kamu adalah parfume Casablanka yang menyejukkan,Kamu adalah rajutan kain lembut dari atas hingga paha,Kamu adalah permainan cerdas salah satu salon tersohor di kota ini,Kamu adalah sepatu hak tinggi yang cermat juga anggun,Kamu adalah kolaborasi warna yang aku suka...

Tapi kamu harus ingat....Ada aku dalam tubuhmu,Ada aku dalam dadamu,Ada aku yang berdegup konstan dalam nadimu,Ada aku yang kadang menangis, tertawa, bosan, dan jenuh...Ada aku yang selalu merasa untuk jadi rasamu...

Aku ada untuk kamu rias sepanjang waktu,Aku ada untuk kamu jaga setiap saat,Aku ada untuk kamu ajak berjalan menatap dunia juga semua pengagum-pengagummu,Aku ada untuk kamu terangi dengan cahaya kehidupan ini setiap detik...

Aku adalah kamu,Tapi semua pengagummu tak mengenalku...Mereka tak pernah memahami kita dalam satu ruang, satu jejak, satu tubuh...Mereka tak mengenal kita dalam diri kamu...

Dan di sini, di kamar ini...Aku menelanjangi kamu,Aku membasuh setiap gores rias yang mengaliri rautmu,Aku membuka bajumu, rokmu, dan setiap kain yang menutupi kamu,Aku membasahi setiap tetes minyak yang membentuk rambutmu,Juga menghapus setiap bau yang kamu semprotkan setiap sore atau pagi...

Dan di sini, di depan cermin lemari kayu... Aku menemukan AKU...

FuseKampus, 7 Maret 2010

KAMU DAN AKU

Page 18: tabloid jurusan

A.A. Trisna Ardanari Adipurwa

Pria Tua

di Kursi Goyang

Cakra duduk di kursi goyang. Ia menyukai kursi itu. Alasannya, kursi itu pilihan cucu termudanya, Abi-roma. Sambil duduk di kursi favoritnya, pria beru-sia 75 itu melihat-lihat album foto. Itu album tera-

khir yang ada sejak sepuluh tahun terakhir. Sebenarnya banyak dokumen keluarga yang ada. Cucu tertua Cakra, Yuda, senang fotografi. Setiap ada acara keluarga, Yuda selalu mendokumentasikannya. Tapi tak satu pun foto di-cetaknya. Semuanya disimpam dalam komputer. Ia cukup kesal dengan ini. Cakra tak paham bagaimana memakai komputer. Cakra melihat foto-foto sepuluh tahun lalu saat istrinya masih ada. Itu adalah hari upacara enam bulanan cucu keenamnya, anak pertama Harum. Harum adalah anak keempat Cakra. Cakra ingat saat itu. Ia merasa ham-pir semua kewajiban sebagai ayah telah terpenuhi. Empat anaknya sudah memperoleh pekerjaan dan menikah den-gan orang yang sudah Cakra ketahui latar belakangnya. Namun, buyungnya, Anta, Cakra tak tahu harus bagaima-na. Anta sering disebut sebagai produk gagal. Diband-ing kakak-kakanya, Anta memang tidak berhasil dalam sekolah. Kuliah harus ditempuhnya lebih dari enam tahun. Pekerjaan tak ia dapatkan setelah lulus. Adik Cakra beri-nisiatif membantu. Diberikannya Anta pekerjaan untuk mengurus administrasi di kantor travel milik pamannya itu. Namun, seminggu Anta bekerja sudah banyak kelu-han datang dari pegawai kantor lainnya. Anta tidak becus

bekerja. Semua yang ia ketik di komputer tidak satu pun ada yang benar. Anta menyerah. Ia merasa dirinya tidak cocok untuk bekerja sebagai pegawai. Entah mengapa? “Kamu mau jadi apa?” Cakra bertanya saat Anta se-lesai memeriksa ijazah untuk difotokopi. “Tidak tahu, Pak,” jawab Anta sambil memperhati-kan kendaraan yang melintas di depan. Hari itu jalan be-gitu padat. Sepeda motor mencoba menyalip kendaraan roda empat, mencari setiap celah. Anta merasa kehidupan sekarang seperti para pengendara motor dan mobil itu. Mereka berusaha mencari semua cara untuk mencapai tu-juan. Tapi Anta merasa dirinya telah kehabisan daya saat ini. “Kamu tidak coba tes menjadi pegawai negeri lagi?” Cakra membuyarkan lamunan Anta. “Sudah berapa kali, Pak. Saya bosan. Mana pernah saya lolos?” Cakra diam. Tak tahu bagaimana nasib Anta nanti. Usianya pun sudah memasuki kepala tiga. Wanita pun sama seperti pekerjaan, tak ada yang mendekati.

*** Kini semua berubah. Tak ada yang menyangka Anta akan menjadi seperti sekarang. Penghasilannya lebih be-sar kakaknya yang lulus dengan predikat cum laude dan menjadi pengajar di fakultas pertanian. Atau Harum yang bekerja di bank. Cakra sebagai ayah tak pernah tahu anak bungsunya memiliki bakat dalam bidang politik. Bakat ini tak pernah ada dalam keluarga Cakra. Sekarang Anta telah mampu menghidupi seorang istri dan anak. Bahkan, tanpa Cakra minta Anda memperbaiki rumah tua Cakra yang penuh ke-nangan. Sekarang di depan rumah ada gapura besar dari batu paras hitam. Dulu hanya pagar biasa yang sering di-jadikan Anta sebagai pijakan memanjat ke atas pohon mangga. Kakak-kakaknya juga menyukai perubahan ini. Akh-irnya, Cakra bisa menikmati hari tua tanpa beban. Ketika semua kakak-kakaknya tak bisa dengan penuh merawat Cakra yang kini mengidap sirosis hati, Anta bersedia. “Dewi, kan tidak bekerja. Jadi bisa merawat Bapak dengan baik,” kata Cakra kepada anak-anaknya dua tahun lalu. Dewi adalah istri Cakra. Mendengar ucapan Cakra ini, sementara waktu anak-anak dan menantu Cakra bisa ten-ang. Namun, sekarang konflik mulai bermunculan. Anak-anak perempuan dan menantu perempuan mulai menge-luh. Terutama Harum. Pagi ini Harum datang. Ia membawa buah jeruk Bali yang cukup besar. Itu kesukaan Cakra. Ditambah dengan beberapa bahan makanan lainnya. Harum telah menduga, di lemari es pasti tak ada bahan makanan. Ia tak bermak-sud untuk membawakan makanan untuk Anta atau Dewi. Harum hanya khawatir dengan Cakra dan Abiroma, anak Anta.

Cerpen

Perspektif | 18

Page 19: tabloid jurusan

“Dewi itu apa sih kerjaannya. Yoga saja. Sekarang mau buka butik dan salon. Itu pengalihan saja. Rumah saja tidak beres diurus,” Harum menggerutu dari dapur saat menggoreng telor. Ia membuatkan makanan untuk Abiroma. Anak itu suka telur mata sapi dengan di-beri kecap di bagian atas.Cakra berdeham. Sudah keempat kalinya Harum terus membicarakan Dewi. Ia tak ingin mendengar. Siapa yang salah, Anta atau Dewi? Tidak ada yang tahu ada apa dengan rumah tangga Anta. Tidak penting menurut Cakra siapa yang salah. Anta sudah punya rumah tangga sendiri. Cakra tidak berhak ikut campur. Mereka sudah dewasa. Tapi jika sampai mengorbankan Abiroma, tunggu dulu! “Bapak sudah minum obat?” tanya Harum mem-perhatikan ayahnya yang duduk di kursi goyang sambil melihat-lihat album.“Sudah. Langsung saja kasih makan Abi. Bangunkan dia,” kata Anta sambil berdiri menuju kamar dengan me-megang ulu hati. “Anak berusia 4 tahun jarang sarapan pagi. Bagaimana pertumbuhannya mau bagus,” Harum kembali mengeluh. Cakra berbalik. Ia mencoba mengalihkan pembi-caraan dan gerutuan Harum. Toh, Harum hanya berani bicara di belakang. Di depan Dewi ia tak pernah memba-has apa pun. “Suruh Yuda mencetak foto. Kapan Bapak bisa melihat foto lagi kalau tidak sekarang?” Cakra mencoba membungkam mulut Harum dengan mengganti topik.

***

Cakra mendongeng di malam hari. Cerita tentang naga Besakih. Abiroma akhirnya tidur ketika menyen-tuh akhir cerita. Anta pulang malam lagi. Cakra mendengar suara mobilnya memasuki bagasi. Ia berharap tidak akan ter-jadi lagi pertengkaran antara Anta dan Dewi. Jika mer-eka bertengkar bisa saja sampai saling menjambak ram-but. Harapan Cakra tidak terpenuhi. Baru memasuki rumah, Anta dan Dewi memulai keributan lagi. Dewi merasa tak diperhatikan. Anta merasa dirinya melaku-kan terlalu banyak hal. Bagi Cakra mereka berdua tetap salah. Abiroma terlupakan. Cakra memeluk cucunya. Untung ia sudah tidur ketika pertengkaran memanas. Namun, saat hendak

mencium kening cucunya, Cakra melihat pipi Abiroma basah. Ia menangis. Baru juga disadarinya, Abi memang sudah sering menangis. Matanya bengkak. Cakra naik pitam. Ia turun ke lantai bawah. Cakra melempar majalah ke arah Anta. Persis sep-erti apa yang sering ia lakukan jika kenakalan Anta kam-buh saat remaja. Pasangan suami istri itu diam. “Bapak tidak masalah kalau kalian mau cerai. Si-lahkan saja! Tapi kalau menyangkut nasib cucu, Bapak tidak tinggal diam!” Dua orang di hadapan Cakra diam. Tidak berani berkutik. Cakra yang selama ini mereka kagumi untuk pertam kalinya memuntahkan amarah. “Tidak malu dengan anak kalian!” Cakra menunjuk tajam secara bergiliran Anta dan Dewi dengan majalah yang dibawanya. “Anak kalian matanya bengkak. Menangis melihat kalian!”*** Dua bulan kemudian, Yuda datang membawa fo-to-foto yang sudah dicetak. Semua foto terbaru sudah ia tata di dalam sebuah album. Cakra duduk di atas kursi goyang sambil melihat-lihat. Ada juga foto Abi saat masuk taman kanak-kanak di hari pertama. Itu diambil dua hari lalu. Anta dan Dewi yang mengantarnya. Cakra menitipkannya pada Yuda untuk dicetak. Abi tersenyum bahagia. Tidak menangis seperti anak-anak lain di hari pertama sekolah. Itulah inti nama Abiroma. Cakra yang memberi nama itu. Ia ingin cucu yang paling terakhir terlahir yang masih bisa disaksi-kannya tumbuh menjadi orang yang menyenangkan. Lelah melihat semuanya, ia menaruhnya di dalam sebuah kotak. Di sana ia menaruh album foto dari masa awal pernikahan sampai sekarang. Cakra pun memutuskan untuk menyudahi akti-vitas sambil menahan sakit di ulu hati. Kemudian tidur lelap yang lama di atas kursi goyang itu. Ia tersenyum. Semua telah menjadi bahagia.

BIODATA

Nama : A. A. Trisna Ardanari AdipurwaTempat, Tanggal Lahir : Denpasar, 8 Oktober 1990No. Handphone : 087863177687

Perspektif | 19

Page 20: tabloid jurusan

Baru-baru ini disoroti berbagai penyimpan-gan kosakata, istilah, cara berbicara, dan arti kata dalam berbahasa Indonesia. Seperti yang diketa-hui, banyak sekali bagian bahasa dan istilah sehari-hari yang digunakan melenceng dari arti baku dan sejarahnya. Marilah kita lihat dari beberapa contoh kasus berikut, dan mulai belajar menggunakan bahasa yang benar.

1. "secara" dan "karena" Apabila kita mengingat-ingat ketika dulu mendapat ujian Bahasa Indonesia tentang kata penghubung, apakah yang akan kita jawab ketika mendapat soal seperti ini:"Sekarang saya susah tidur, ... saya tadi tidur siang cukup lama". Pilih kata penghubung yang tepat untuk kalimat diatas:a. makab. secarac. karenad. dimana Tentunya kita semua tahu jawabannya adalah "karena" , bahkan anak SD juga tahu “karena” itu pelajaran yang mereka dapatkan di sana. Namun pada kenyataannya, sekarang ini banyak orang yang menggunakan kata "secara" untuk mengisi jawaban diatas dan kalimat-kalimat sejenis, baik secara lisan atau tulisan. Kata "secara" dan "karena" adalah dua kata yang memiliki arti berbeda, silakan buka Kamus Be-sar Bahasa Indonesia dan carilah artinya. Saya tahu bahwa hal ini merupakan efek dari bahasa gaul, tetapi tidak semua bahasa gaul dapat dibenarkan penggunaannya.Istilah-istilah gaul seperti "gue", "lu", "saia" dan sejenisnya masih dapat dibenarkan karena merupakan suatu kosakata baru yang ti-dak mengubah arti kata, tetapi tidak dengan kasus seperti penyalahgunaan kata "secara" diatas.

Penggunaan kata "secara" dalam konteks diatas tidak dapat dibenarkan karena mengubah arti dan fungsi aslinya. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, "secara" berarti sebagai, selaku, menurut (berhubungan dengan adat, kebiasaan, dll), dengan cara, dengan jalan, dengan (sebagai kata tambah). Bukan merupakan kata penghubung sebab-akibat yang diwakili oleh "karena".

2. Indonesia atau Endonesa? Seperti yang kita sudah banyak ketahui, ban-yak sekali masyarakat bahkan para pemimpin neg-ara yang sudah terbiasa salah melafalkan nama negaranya sendiri.Indonesia dilafalkan menjadi "Endonesa", hal ini paling jelas terlihat (dan paling memalukan!) pada saat lagu kebangsaan kita dinyanyikan, yaitu Indo-nesia Raya. Kata pertama yang paling jelas dan lantang din-yanyikan namun justru paling memalukan karena salah pelafalan,justru adalah nama negara kita, “Endonesa” yang seharusnya “Indonesia”. (desna)

Antara ketidaktahuan dan ketidakmautahuan