Referat keratitis

25
Patofisiologi Gejala Herpes Simplek HSV adalah virus DNA yang umumnya menyerang manusia. Infeksi terjadi oleh kontak langsung kulit atau membran mukosa dengan lesi virus-laden atau sekresinya. HSV yang menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu HSV tipe 1 dan tipe 2. HSV tipe 1 (HSV-1) infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular, sementara HSV tipe 2 (HSV-2) umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan penyakit genitalia. HSV-2 jarang namun dapat menginfeksi mata melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan secara tidak sengaja ditularkan kepada neonatus ketika neonatus lahir secara normal pada ibu yang teinfeksi HSV-2. Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal. Perbedaan ini perlu dipahami karena mekanisme kerusakannya yang berbeda. Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh

Transcript of Referat keratitis

Page 1: Referat keratitis

Patofisiologi Gejala

Herpes Simplek

HSV adalah virus DNA yang umumnya menyerang manusia. Infeksi terjadi oleh kontak

langsung kulit atau membran mukosa dengan lesi virus-laden atau sekresinya. HSV yang

menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu HSV tipe 1 dan tipe 2. HSV tipe 1 (HSV-1)

infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular, sementara HSV tipe 2 (HSV-2)

umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan penyakit genitalia. HSV-2

jarang namun dapat menginfeksi mata melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan

secara tidak sengaja ditularkan kepada neonatus ketika neonatus lahir secara normal pada

ibu yang teinfeksi HSV-2.

Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu

epitelial dan stromal. Perbedaan ini perlu dipahami karena mekanisme kerusakannya yang

berbeda.

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,

seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,

wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai

makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan

tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel

mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya

infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan

permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.

Page 2: Referat keratitis

Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut

(sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Nebula bila ulkus tidak terlalu

dalam dan tampak sebagai bercak seperti awan, yang hanya dapat dilihat di kamar gelap

dengan cahaya buatan. Makula, terjadi bila ulkus lebih dalam dan tampak sebagai bercak

putih yang tampak di kamar biasa. Leukoma, didapat bila ulkus lebih dalam lagi dan tampak

sebagai bercak putih seperti porselen, yang sudah tampak dari jarak jauh.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial

maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat

dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap

sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan

fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek

yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada

kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada

penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan

fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada kotoran mata kecuali

pada ulkus bakteri purulen.

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya,

lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat .

A. Manifestasi Klinis

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan

kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati

preaurikuler, konjungtivitis folikularis, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis

epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih

dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat

terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25

tahun. Keratitis herpes simpleks didomininasi oleh kelompok laki-laki pada umur 40

tahun ke atas.

Page 3: Referat keratitis

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi siliar, dan

penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan

luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal

ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea,

misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata

kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik

pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia. Infeksi herpes

simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.Dengan mekanisnie

yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom.

Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus, dan ganglion siliaris

berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan

kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.

Herpes simpleks primer pada mata jarang ditemukan, bermanifestasi sebagai

blefarokonjugtivitis vesikular, kadang-kadang mengenai kornea dan umumnya terdapat

pada anak-anak muda. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan

kerusakan yang berarti.

Serangan keratitis herpes jenis rekurens umumnya dipicu oleh demam, pajanan sinar

yang berlebihan terhadap cahaya sinar UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau

keadaan imunosupresi lokal atau sistemik lainnya. Umumnya unilateral, namun lesi

bilateral dapat terjadi pada 4-6% kasus dan paling sering pada kasus atopik.

1. Gejala

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian sentral

terkena akan terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anastesi kornea umumnya timbul

pada awal infeksi, gejalanya minimal dan pasien tidak datang berobat. Sering ada riwayat

lepuh-lepuh demam atau infeksi herpes lain, tetapi ulkus kornea terkadang merupakan satu-

satunya gejala pada infeksi herpes rekurens.

Page 4: Referat keratitis

2. Lesi

Lesi kornea dapat digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu:

a. Ulserasi dendritik

Paling khas, yang ditandai oleh percabangan linear khas dengan tepian kabur,

dan memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya, yang akan terwarnai oleh

fluoresin dan berkurangnya sensasi kornea.

a.

b.

Gambar 1. a) Keratitis Dendritik tanpa flourescin; b) Keratitis Dendritik yang

diwarnai dengan fluoresin

Page 5: Referat keratitis

b. Ulserasi geografik (ameboid)

Bentuk ulkus dendritik kronik dengan lesi dendritik halus yang bentuknya lebih

lebar. Tepian ulkus tidak terlalu kabur. Sensasi kornea menurun seperti pada

penyakit kornea lainnya. Keadaan ini terutama terjadi pada mata yang diobati

dengan steroid topikal secara kurang hati-hati.

Gambar 2. Ulkus geografik

c. Keratitis trofik

Terjadi jika ulkus geografik tidak mengalami penyembuhan epitel.

d. Keratitis disiformis

Terjadi karena hipersensitivitas terhadap virus herpes yang ditandai dengan

penebalan stroma pada zona sentral dan edema epitel yang disertai iritis dan

presipitat keratik.

Page 6: Referat keratitis

Gambar 3. Keratitis Disiformis

e. Keratitis nekrotik (infiltratif)

Bentuk ini jarang terjadi, tetapi sangat serius karena dapat menimbulkan

perforasi dan pembentukan parut kornea. Stroma kornea menjadi seperti keju

dan keruh akibat infiltrasi aktif dan destruksi.

Keratitis varisela Zoster

Keratitis varisela zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini, maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes zoster akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa).

Berbeda dari keratitis virus herpes simplek rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis varisela zoster mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis herpes simplek virus. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disiformis dan mirip keratitis disiformis herpes simplek virus. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit virus varisela zoster mata.

2.3.6 Diagnosa

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya

riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada

Page 7: Referat keratitis

kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes

simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik

tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan

pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat

merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes

simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti

diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus (Vaughan, 2009).

Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah

dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel

superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop

(slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai

kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat

menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel

terlihat dengan cara ini (Vaughan, 2009).

Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi empiris dan

dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu dalam kasus dengan

riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis bakteri

biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan

yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.

Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara untuk

menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai panduan

modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi

toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara

empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun

keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.

Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan

instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada

kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah

dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan

atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat

mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di

pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.

Page 8: Referat keratitis

Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau

mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil

sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan

sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi.

Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.

B. Diagnosis

Pemeriksaan pada Kornea

1. Uji Fluoresein

Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein

dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus

konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal.

Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat.

Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.

2. Uji Fistel

Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva

inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat

pengaliran cairan mata berwarna hijau.

3. Uji Placido

Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido

yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap

pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui

lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal

bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.

4. Uji Sensibilitas Kornea

Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta

penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari

bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair

berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.

Pemeriksaan Penunjang

Page 9: Referat keratitis

Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan

kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan

untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma

kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan

tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang

dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah :

1. Mikroskop cahaya : sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada

permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi

(Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang

membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi.

2. Kultur virus dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling

baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV

dapat berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya

jika cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik,

degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk

berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena

waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.

3. Mikroskop elektron : mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali

pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per

millimeter.

4. Pemeriksaan antigen langsung : sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton

yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay

elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur

virus.

5. Serologi : dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II

serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi

antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai

antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari

spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada

infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi

langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif

Page 10: Referat keratitis

palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan

imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal

dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi,

sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan

untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat

spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini

memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi

terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif

yang terbaik di samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti

hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli.

6. Deteksi DNA HSV dengan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung

sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil

dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.

7. Kultur Virus : pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright,

dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes

Tzank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi

herpes virus.

A. Diagnosis

Gambaran spesifik dendrit tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan yang lain. Apabila

gambaran lesi tidak spesifik maka diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis infeksi kornea

yang relatif sedang, dengan tanda – tanda peradangan yang tidak berat serta riwayat penggunaan

obat – obatan yang menurunkan resistensi kornea seperti : anestesi lokal, kortikosteroid dan obat –

obatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus dan jaringan epitel dan

lesi stroma.

B. Diagnosis banding

- Keratitis zooster

- Vaksinia

- Keratitis stafilococcus

2.7 PEMERIKSAAN

Page 11: Referat keratitis

Pemeriksaan pada Kornea :

5. Uji Fluoresein

Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein dibasahi

terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva

inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup

matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna

hijau sebagai uji fluoresein positif.

6. Uji Fistel

Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva inferior

ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata

berwarna hijau.

7. Uji Placido

Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido yaitu

papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber

cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang di tengah

dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido pada kornea

berupa lingkaran konsentris.

8. Uji Sensibilitas Kornea

Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta penderita

melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari bagian lateral

kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf

trigeminus dan fasial baik.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan kelainan

kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk

membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma kimia. Virus

herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan tidak terdapat lesi

dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pusat-pusat

penelitian adalah :

8. Mikroskop cahaya

Page 12: Referat keratitis

Sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada permukaan mukosa, atau dari

biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi (Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang

terinfeksi dapat menunjukkan sel yang membesar menyerupai balon (balloning) dan

ditemukan fusi.

9. Kultur virus

Sampel berasal dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling baik

karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV dapat

berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya jika cairan

virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon

dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk berkembang, hasil tesnya sering (-).

Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya

yang mahal.

10. Mikroskop elektron

Mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali pada kasus dengan cairan

pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per millimeter.

11. Pemeriksaan antigen langsung

Sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif

adalah dengan menggunakan cahay elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak

dapat dicocokkan dengan kultur virus.

12. Serologi

Menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II serologic

assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi antibodi yang melawan

virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal.

Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat

merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak

langsung dan imunofluoresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan

kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal

pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi

monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi,

sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk

menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi

dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam.

Page 13: Referat keratitis

Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum

penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik di samping kultur karena

mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan

tenaga ahli.

13. Deteksi DNA HSV

Menggunakan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung sel manusia dan

partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil dari DNA dan dapat

menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.

14. Kultur Virus

Pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright, dapat ditemukan sel

datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes Tzank dari lesi kulit dapat

menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi herpes virus.

a. Gejala Klinis

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang

terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada

awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada

riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang –

kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens (Vaughan, 2009).

Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,

berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai

terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster

oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati

Page 14: Referat keratitis

bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak

adanya foto-fobia (Ilyas, 2000).

b. Lesi

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan

bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata,

dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis

pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ

kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik

merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan

tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan

melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi

kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009).

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik

menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus

bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus

menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak

kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain

yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan

keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi

dendritik khas dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster,

pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus

plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas, 2006).

Lesi dendritik Lesi geografik

Page 15: Referat keratitis

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV.

Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya

tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan

dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu,

namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti

kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh

sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting,

dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai

vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya

infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat

polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan

perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika

terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau

fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda

khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh

reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif.

Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder

(Vaughan, 2009).

c. Patogenesa

Lesi dengan Wessely Ring Keratitis Diskiformis

Page 16: Referat keratitis

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan

terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan

membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh

terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang

kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi

juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen

pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal

ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat

berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi

limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten

biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten,

perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Tabel 1. Perbedaan antara Keratitis Herpes Simpleks dan Herpes Varisella Zoster

Herpes Simpleks Virus Herpes Zoster Virus

Distribusi dermatom Lengkap Lengkap

Sakit Sedang Parah

Morfologi dendrit Ulserasi sentral dengan

lampu terminal; geografis

dihadapan kortikosteroid

Kecil tanpa ulserasi pusat

atau lampu terminal; plak

lendir dendritiform terjadi

kemudian

Kulit bekas luka Tidak ada Umum

Post herpetic neuralgia Tidak ada Umum

Atrofi iris Setengah-setengah sektoral

Page 17: Referat keratitis

Keterlibatan bilateral Luar biasa Tidak ada

Keratitis epitel berulang Umum Jarang

Hipostesia kornea Sektoral atau menyebar Bisa berat