Referat Keratitis

35
KERATITIS I. ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus. 1,2 Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari 1

Transcript of Referat Keratitis

Page 1: Referat Keratitis

KERATITIS

I. ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran

11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.

Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total

58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme

pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari

aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai

tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah

satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan

sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea

dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf

nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam

stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya.

Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin

oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.1,2

Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan

selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis

dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel

Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel

tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal

lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan

film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal

sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel

sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat

dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui

desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan

glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat

kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

1

Page 2: Referat Keratitis

Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya

regenerasi.1

2. Membran bowman

Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari

epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan

berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya

generasi.1

3. Stroma

Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan

tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar

sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea,

pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat

kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama,

dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang

merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau

sesudah trauma.1

4. Membran Descemet

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea

yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf

pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup

dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran

Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya

dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.1

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,

tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel

dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan

lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel

mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel

dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga

keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma

bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya

2

Page 3: Referat Keratitis

transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh

epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini

mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan

ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.1

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea

II. FISIOLOGI KORNEA

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui

berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya

3

Page 4: Referat Keratitis

yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi

relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel

dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel

jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel

berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel

endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,

kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang

akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air

mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang

mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial

dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.2

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat

melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.

Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air

sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme

kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan

membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti

bakteri, virus, amuba, dan jamur.2

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,

dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel

dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi

di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,

segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya

kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang

hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.2

III. KERATITIS

A. Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut

lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan

epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga

keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.3

B. Etiologi dan faktor pencetus

4

Page 5: Referat Keratitis

Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain itu

penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata,

pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi

alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan

iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik .4

C. Tanda dan Gejala Umum

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat

dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan

keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan

jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun

gejala umum adalah1,4:

Keluar air mata yang berlebihan

Nyeri

Penurunan tajam penglihatan

Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)

Mata merah

Sensitif terhadap cahaya

D. Klasifikasi

Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :

yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis

profunda apabila mengenai lapisan stroma.

Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah1:

1. Keratitis punctata superfisialis

Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh

sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar

ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.

2. Keratitis flikten

Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan

untuk menyerang kornea.

3. Keratitis sika

Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale

atau sel goblet yang berada di konjungtiva.

4. Keratitis lepra

5

Page 6: Referat Keratitis

Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga

keratitis neuroparalitik.

5. Keratitis nummularis

Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan

banyak didapatkan pada petani.

Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :

1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital

2. Keratitis sklerotikans.

E. Patofisiologi Gejala

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak

segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.

Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma

kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi

pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.

Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit

polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak

sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan

tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.5

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea

baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa

sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)

pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris,

yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada

ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan

timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit

kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga

merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai

penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.5

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas

cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau

letaknya di pusat.5

F. Diagnosa

6

Page 7: Referat Keratitis

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan

adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi

yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat.

Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh

sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari

gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena

mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi

penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga

mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes,

AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus5,6.

Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih

mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas

lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas.

Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan

benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang.

Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas

kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini.5

Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi

empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu

dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di

mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak

perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis. 6

Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-

satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat

membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang

tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang

tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon

klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam

pemulihan patogen dapat terjadi.6

Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan

menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari

daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk

mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.6

7

Page 8: Referat Keratitis

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap

pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis

yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika

infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak

terlibat.6

Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit

Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk

mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan

pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk

histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat

waktu.6

IV. KERATITIS BAKTERIALIS

A. Definisi

Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri

khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap

bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus

kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior

adalah karakteristik dari penyakit ini.5

B. Etiologi

Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah

Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,

Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis

jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.4

Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi

dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri

oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus,

Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang

menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan

superficial.4,5

C. Patofisiologi

Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang

intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan

8

Page 9: Referat Keratitis

terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan

invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi.

Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur

non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi,

epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel

inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan

nekrosis lamella stroma.6

Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,

menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon.

Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat

diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi

substansi kornea.6

D. Manifestasi Klinis

Gejala klinik dari keratitis bacterial yaitu4:

Nyeri sedang - berat

Fotofobia

Blefarospasme

Ulkus kornea , infiltrat

Penglihatan terganggu

Lakrimasi

Sekret purulen

Gambar 2. Keratitis bacterial

9

Page 10: Referat Keratitis

a. Keratitis Pneumokokus

Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi

pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas

tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat

infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi

sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan

istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama

terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening.

Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus

mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.5

b. Keratitis Pseudomonas

Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di

tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini

cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang

dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat

mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung

membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna

hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik

untuk infeksi P aeruginosa.5

Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus

kornea Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa

kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan

organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan.

Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus

dilaporkan setelah penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang

terkontaminasi.5

c. Keratitis Streptokokus

Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea

(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi

10

Page 11: Referat Keratitis

ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi

kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.

E. Terapi

Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya

pengobatan dengan dasar berikut:

1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin

2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin

3. Antibiotic spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin4

F. Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan

kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis

dan hilangnya penglihatan.4,7

G. Prognosis

Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah

ini, dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.

- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis

- Luas dan lokasi ulkus kornea

- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen7

V. KERATITIS VIRUS

1. Keratitis Herpes Simplek

A. Definisi

Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling

sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai

dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada

mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita

keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan

jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.3

B. Manifestasi klinis

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan

kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan

ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis

folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus

11

Page 12: Referat Keratitis

bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya

pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa

menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat

dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk

penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya

antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir

oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.4

Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.

Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik

atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion

n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-

akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat

berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi

kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,

pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi

imunosupresi.5

Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun

pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan

melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh

dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta

mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan

pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut

dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.5

Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun

beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi

kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan.4

a. Gejala Klinis

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian

pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea

umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin

tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes

lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala

infeksi herpes rekurens.5

12

Page 13: Referat Keratitis

Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi

epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus

diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya

pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering,

pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada

keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.3

b. Lesi

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,

profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial

dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan

proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus

dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan

gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada

kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus

terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,

namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea

yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.5

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit

dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat

bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan

demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang

mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya

penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV

adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis

filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi

dendritik khas dalam satu dua hari.5

13

Page 14: Referat Keratitis

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis

herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel

yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.3

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada

infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi

berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk

membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan

keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel

karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes

pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah

berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan

penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal.5

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering

disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang

dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga

sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes

simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika

dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel,

akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada

penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur

bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut,

yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin

terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.5

14

Gambar 3. Lesi dendritik Gambar 4. Lesi geografik

Page 15: Referat Keratitis

C. Patogenesa

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal

Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel

epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi

imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang

menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik

untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini

penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan

terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan

reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma

kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke

tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh

sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya

mungkin menahun dan dapat merusak.5

D. Terapi

Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil

efek merusak akibat respon radang.

1. Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena

virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus

pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi

mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.

Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis

kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam

sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap

hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72

jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel.

Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi

keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi

berbagai keracunan obat.4,6,7

15

Gambar 5. Lesi dengan Wessely

Ring

Gambar 6. Keratitis Diskiformis

Page 16: Referat Keratitis

2. Terapi obat

Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,

trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif

untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali

menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan

penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap

penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter

terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan

pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease

study).4,6,7

Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada

epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal

ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat

merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang

meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid

topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti

virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.4,7

3. Bedah

Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan

pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa

bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat

timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk

mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan

transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.4,7

Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau

fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan

sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft

“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki

keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi

penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin

diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes

simplek.4,7

4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV

16

Page 17: Referat Keratitis

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus

dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.

Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat

dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan

terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang

dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum

sebelum menstruasi.4,7

E. Prognosis

Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada

kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan

gejala sisa.6

2. Keratitis Virus Varisela Zoster

Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan

rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering

pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian

kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan

lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah

dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi.5

Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic

relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya

sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic

dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi

cabang-cabang Nervus Nasosiliaris.5

17

Page 18: Referat Keratitis

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,

keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya

keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit

mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan

sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti

penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul

keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea

selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi

kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa

minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah

berat pada penyakit VZV mata.5

Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk

mengobati herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya

terganggu. Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi

hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal

kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati

keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik

masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi

dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri.5

VI. KERATITIS FUNGI

A. Etiologi

Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea

dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53%

kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan

keratitis jamur. Beberapa spesies yang dapat menyebabkan keratitis jamur yaitu

Aspergilus fusarium, Cefalosporium, dan Candida albicans.4,7

B. Manifestasi Klinik

18

Gambar 7. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

Page 19: Referat Keratitis

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur

dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.

Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut,

respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.4

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan

infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang

tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi

utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat

paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan

reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion

dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera

okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi

berwarna putih kekuningan.6

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut4,7 :

1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.

2. Lesi satelit.

3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti

hifa di bawah endotel utuh.

4. Plak endotel.

5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.

6. Formasi cincin sekeliling ulkus.

7. Lesi kornea yang indolen.

C. Diagnosa Laboratorik

19

Gambar 8. Keratitis Aspergilus Gambar 9. Keratitis Candida

Page 20: Referat Keratitis

Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan

diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan

kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan

biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta

India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan

80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan

Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.

Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast

microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski)

yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar

Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.10

D. Terapi

Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat

komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi

pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis

keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.

2. Jamur berfilamen.

3. Ragi (yeast).

4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),

Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.

Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin

5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).

Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,

Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % .

Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.

Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk

mengurangi uveitis anterior.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria

penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up)

dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya

20

Page 21: Referat Keratitis

infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik

biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit

menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-

kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis

diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi

ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. h. 1-13

2. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury

Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 1-27

3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S.

Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. H 147-

78

21

Page 22: Referat Keratitis

4. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd

edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60

5. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology Umum.

Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 125-48

6. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D.

Manual of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott

Williams & Wilkins; 2002. p. 67-129

7. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P. 96-101

22