Pengaruh Keluarga Dalam Manajemen Dan Perkembangan Gangguan Cemas
-
Upload
cindikya-saftiari-dewi -
Category
Documents
-
view
78 -
download
1
description
Transcript of Pengaruh Keluarga Dalam Manajemen Dan Perkembangan Gangguan Cemas
PENGARUH KELUARGA DALAM MANAJEMEN DAN PERKEMBANGAN GANGGUAN CEMAS
Ronald M. Rapee
Centre for Emotional Health, Macquarie University, Sydney, NSW 2109, Australia
Abstrak
Berdasarkan dari berbagai teori, keluarga diperkirakan memainkan peran kunci dalam
berbagai psikopatologi . Namun, model spesifik dari perkembangan gangguan cemas hanya
menempatkan sedikit penekanan pada faktor keluarga meskipun sudah terdapat bukti yang
jelas bahwa kecemasan berjalan dalam keluarga. Tinjauan ini meneliti bukti keterlibatan
sejumlah f dalam perkembanktor yang terkait keluarga pada perkembangan gangguan cemas
serta pentingnya keluarga dalam manajemen cemas. Bukti yang didapat di kebanyakan
wilayah terbukti lemah dan tidak konsisten, dengan satu pengecualian banyak literatur yang
menyebutkan mengenai tentang peran orangtua dalam pengembangan kecemasan. Saat ini
terdapat sedikit bukti bahwa faktor keluarga memiliki peran yang kuat dalam pengobatan
kecemasan, selain itu penelitian lain menunjukkan nilai orang tua dan pasangan sebagai
pendukung non-kritis dalam terapi gangguan cemas. Janji-janji dan petunjuk dalam literatur,
dikombinasikan dengan metode yang tidak konsisten saat ini, menunjukkan bahwa
diperlukan penelitian lebih jauh lebih untuk menentukan apakah faktor-faktor keluarga
tertentu memainkan peran kunci dalam pengembangan dan pengelolaan gangguan
kecemasan.
Kata kunci: Gangguan cemas. Keluarga. Pengasuhan. Pelecehan. Pengobatan.
Faktor Keluarga dalam Risiko dan Perkembangan Kecemasan
Transmisi Keluarga
Terdapat sedikit keraguan bahwa kecemasan berjalan dalam keluarga. Banyak
penelitian yang telah menunjukkan bukti bahwa terdapat tingkat kecemasan dan gangguan
kecemasan yang lebih tinggi pada kerabat tingkat pertama orang-orang dengan gangguan
cemas (Hettema et al. 2001). Kesesuaian dalam keluarga telah terbukti pada orang dewasa
dengan gangguan kecemasan (Fyer et al 1995;. Stein et al, 1998.), anak-anak dengan
gangguan kecemasan (Last et al 1991;. Lieb et al, 2000.), dan orang-orang dengan sifat cemas
yang tinggi (Jardine et al. 1984).
Hettema dan rekannya (2001) melakukan studi meta-analisis mengenai kesesuaian
keluarga dalam gangguan kecemasan, terutama difokuskan pada populasi klinis. Berdasarkan
dari penelitian dengan kriteria yang selektif, terdapat kesimpulan bahwa ada faktor
kesesuaian keluarga dalam gangguan panik, gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif
kompulsif, dan fobia (termasuk fobia sosial, agorafobia, dan fobia spesifik). Pada gangguan
kecemasan, mereka memperkirakan bahwa untuk probandus dengan gangguan kecemasan,
kemungkinan memiliki kerabat tingkat pertama dengan gangguan kecemasan adalah sekitar
4-6x lebih besar daripada orang tanpa gangguan.
Sejak ulasan ini dibuat, beberapa studi tingkat populasi mendukung kesimpulan ini.
Sebagai contoh, sebuah studi di Denmark menunjukkan lebih dari 20.000 populasi manusia
dengan catatan kejiwaan menunjukkan bahwa seorang individu dengan gangguan kecemasan
memiliki kemungkinan 6,8 kali untuk memiliki saudara dengan gangguan lain (Steinhausen
et al. 2009). Probabilitas serupa menunjukkan apakah relatif yang dimaksud adalah orang tua,
saudara, atau anak dari proband tersebut. Sebuah penelitian di Swedia melihat kesesuaian
tersebut ada pada hubungan orangtua-anak (Li et al. 2008). Risiko seorang anak yang
memiliki gangguan kecemasan jika orang tua mereka memiliki gangguan kecemasan adalah
sekitar 2x lebih besar, terlepas dari apakah orang tua tersebut ibu atau ayah. Jika kedua orang
tua memiliki gangguan kecemasan, risiko meningkat menjadi 5,1 kali. Meskipun studi ini
menggunakan diagnosis klinis yang berpotensi tidak bisa diandalkan dan membatasi diri pada
proporsi yang relatif kecil dari penderita kecemasan yang mencari bantuan profesional,
ukuran sampel mereka yang mengesankan memberikan dukungan yang jelas untuk lebih hati-
hati melakukan studi keluarga sebelumnya (Hettema et al. 2001).
Salah satu yang menjadi pertanyaan pokok yang berhubungan sekitar transmisi dalam
keluarga adalah spesifitas dari efeknya. Dengan kata lain, apakah dengan adanya kerabat
dengan gangguan cemas dalam keluarga meningkatkan risiko terjadinya gangguan yang
sama, gangguan kecemasan lain, atau beberapa psikopatologi lain? Beberapa penelitian telah
menguji pertanyaan tersebut, dan mendapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan risiko pada
pasien dengan keluarga yang mempunyai gangguan kecemasan, meskipun hasil dari
penelitian tidak selalu konsisten. Salah satu dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan insidensi terjadinya gangguan cemas pada probandus dengan
kerabat tingkat pertama dari pasien dengan fobia sosial, agorafobia, fobia simpel dan kontrol
berdasarkan kriteria DSM-III (Fyer et al. 1995). Transmisi dalam keluarga telah ditunjukkan
pada penelitian bahwa probandus dengan keluarga yang mempunyai gangguan cemas
mempunyai risiko lebih besar untuk mempunyai gangguan yang sama, tetapi tidak untuk
gangguan cemas yang lain. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian dengan fobia
sosial (Coelho et al. 2007; Low et al. 2008; Stein et al. 1998), gangguan panik (Low et al.
2008; Mendlewicz et al. 1993; Noyes et al. 1986), dan OCD (Carter et al. 2004; Fyer et al.
2005). Penelitian pada hubungan keluarga dengan GAD (General Anxiety Disorder)
menunjukkan spesifitas yang kurang jelas (Beesdo et al. 2010; Coelho et al. 2007;
Mendlewicz et al. 1993), dimungkinkan karena reabilitass diagnostik yang lebih rendah pada
gangguan ini.
Secara jelas bahwa terdapatnya keluarga dengan gangguan kecemasan mencerminkan
penetrasi genetik yang kuat. Penelitian pada data yang sama menyebutkan adanya faktor
turunan meningkatkan risiko gangguan kecemasan sebanyak 30-40% (Hettema et al. 2001).
Bagaimanapun, hanya sedikit penelitian mengestimasi perbedaan mencolok karena gangguan
gen spesifik, justru penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan pengaruh gen
adalah pada kecemasan dan gangguan lain yang berkaitan (Gregory and Eley 2007).
Ketidaksesuaian hasil penelitian dari keluarga dan saudara kembar ini sangat menarik dan
mungkin menunjukkan bahwa faktor turunan pada kecemasan ini mengarah pada gangguan
spesifik oleh faktor-faktor yang terkait dengan keluarga. Sebaliknya, data dari penelitian pada
saudara kembar menunjukkan apakah variasi kecemasan ini disebabkan oleh pengaruh
lingkungan (seperti faktor keluarga), setidaknya gangguan cemas pada keluarga (Hettema et
al. 2001). Pada gangguan cemas anak, datanya kurang jelas dan beberapa penelitian
menyebutkan variasi yang signifikan untuk mempengaruhi lingkungan pada umunya (Eley et
al. 2003; Feigon et al. 2001; Topolski et al. 1997). Selanjutnya, efek utama baik faktor
genetik atau lingkungan sangat mustahil untuk gangguan apapun, dan lebih memungkinkan
bahwa gangguan kecemasan adalah produk dari korelasi dan interaksi kompleks gen-
lingkungan, yang sangat sulit untuk model dari data kembar (Eley dan Lau 2005). Apa yang
tampaknya benar adalah bahwa ada dasar genetik yang kuat untuk gangguan kecemasan yang
bagaimanapun pada beberapa gangguan seperti skizofrenia atau gangguan bipolar. Mungkin
juga ada beberapa pengaruh dari faktor lingkungan dan keluarga bersama, tapi ini mungkin
jauh lebih lemah pada gangguan tertentu seperti gangguan eksternalisasi atau penyalahgunaan
zat dan hampir pasti berinteraksi dengan genetik anak. Ada juga penelitian yang menyatakan
kontribusi lingkungan untuk gangguan kecemasan lebih bermakna daripada banyak gangguan
lainnya. Sisa dari makalah ini akan meringkas beberapa bukti terbatas pada hubungan antara
variabel terkait dengan keluarga dan gangguan kecemasan. Mengingat bahwa gangguan
kecemasan adalah masalah kronis yang biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau
remaja, faktor keluarga selama masa kanak-kanak cenderung memiliki pengaruh yang
terbesar. Orang tua dan anggota keluarga lainnya juga cenderung lebih berpengaruh dalam
perkembangan perilaku psikopatologi dan hal-hal yang terkait selama masa kanak-kanak.
Oleh karena itu, sebagian besar penelitian yang relevan dan sebagian besar ulasan ini akan
fokus pada pengaruh keluarga pada kecemasan masa kanak-kanak. Namun, dukungan
keluarga dan faktor terkait selama masa dewasa mungkin memainkan peran dalam
pemeliharaan gangguan dan juga perlu dievaluasi.
Karakteristik fisik keluarga
Mungkin mengejutkan, ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa faktor
karakteristik fisik keluarga termasuk ukuran keluarga, komposisi, urutan lahir, atau
lingkungan tempat tinggal berperan penting dalam kecemasan. Beberapa studi besar
epidemiologi gagal dalam menjelaskan hubungan yang konsisten antara diagnosis gangguan
kecemasan pada masa kanak-kanak dengan faktor karakteristik fisik keluarga (Canino et al.
2004; Ford et al. 2004; Lewinsohn et al. 1993). Namun, ada pengecualian untuk sumber yang
mengatakan mungkin ada hubungan antara status sosial ekonomi yang rendah dengan
keberadaan rasa cemas pada masa kanak-kanak, meskipun hasilnya belum sepenuhnya
konsisten (Cronk et al.2004; Ford et al. 2004; Medina-Mora et al.2005; Xue et al. 2005).
Dukungan terhadap hubungan ini sudah terlihat pada suatu studi longitudinal yang
menunjukkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah selama masa kanak-kanak
dipengaruhi oleh tingkat pekerjaan ibu dan ayah dimana ini merupakan sebuah alat prediksi
yang signifikan dalam diagnosis gangguan cemas menyeluruh pada masa kanak-kanak
(Moffitt et al.2007).
Seperti yang tertera di atas, ada sedikit bukti bahwa faktor karakteristik fisik lain
meningkatkan risiko kecemasan. Bukti yang konsisten menunjukkan jika dewasa dengan
kecemasan, terutama fobia sosial, kurang dari mereka yang suka menikah atau memiliki
hubungan pada umumnya dibandingkan dengan mereka yang tanpa gangguan (Hunt et al.
2002; Lampe et al. 2003; Magee et al. 1996), tetapi ini lebih kepada konsekuensi dari
penyebab gangguan tersebut. Tentu saja, hubungan yang mungkin kurang romantis, yang
terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari kecemasan sosial dapat mendukung atau memicu
munculnya gangguan, tetapi kemungkinan ini belum dapat dievaluasi.
Konflik interparental, kekerasan, dan kepuasan hubungan
Banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa hubungan orangtua seperti masalah
perkawinan dan perceraian, kekerasan antarindividu, dan konflik dapat mempengaruhi
psikopatologi anak (Hudson 2005). Sebagian besar penelitian ini berfokus pada permasalahan
eksternalisasi anak, dengan mempertimbangkan sedikitnya ketertarikan pada permasalahan
internalisasi. Secara umum, permasalahan hubungan orangtua, terutama konflik interparental
dan kekerasan, telah menunjukkan hubungan yang sedikit lebih kuat dibandingkan dengan
eksternalisasi gejala internalisasi pada keturunannya (Buehler et al. 1997; Hudson 2005).
Dimana internalisasi telah dinilai, itu telah banyak diukur sebagai skor tunggal yang
menggabungkan kecemasan dan depresi, dan ada beberapa studi yang telah disertakan
langkah-langkah yang jelas dan berbeda dari kecemasan. Namun, beberapa studi yang
menilai kecemasan menunjukkan hubungan sederhana antara permasalahan hubungan
orangtua dan kecemasan dalam keturunan.
Dalam sebuah studi kecil dari 35 remaja (usia 11-15 tahun) yang orangtuanya
bercerai, mereka yang orangtuanya melanjutkan untuk bertunangan setelah perceraian
dilaporkan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan penarikan dibandingkan mereka yang
bercerai tanpa konflik yang besar (Long et al. 1988). Hasil campuran ditunjukkan dalam
sebuah studi cross-sectional pada anak usia 5-6 tahun yang ibunya menyelesaikan kualitas
perkawinan dan kecemasan anak mereka (Peleg-Popko and Dar 2001). Kualitas perkawinan
memiliki hubungan negatif dengan dua ketakutan spesifik tetapi bukan alat prediksi yang
signifikan dalam kecemasan sosial. Satu dari banyak studi lengkap lainnya menjadi bagian
dari Christchurch kohort longitudinal (Fergusson and Horwood 1998). Lebih dari 1.200
orang muda pada usia 18 tahun sudah melaporkan kejadian masa lalu tentang kekerasan
interparental selama masa kanak-kanak dan juga teliti dinilai akibat dari psikososial dan
sejumlah variabel karakteristik fisik keluarga yang digunakan. Remaja yang melihat
kekerasan yang ditunjukkan kedua orangtuanya memiliki hubungan signifikan terhadap
gangguan kecemasan pada diri mereka. Namun, setelah mengontrol kovariat yang signifikan,
hanya kekerasan ayah menjadi alat prediksi gangguan kecemasan.
Jika kesedihan dan kesengsaraan interparental ditunjukkan untuk memprediksi cemas,
salah satu kunci pertanyaannya itu apa yang bisa menengahi hubungan mereka. Ada sebuah
penelitian kecil untuk mengatasi masalah ini. Dalam sebuah studi cross-sectional dari 267
keluarga, hubungan antara depresi orangtua dan gejala internalisasi anak berbagi
penyelesaian pada umumnya sejauh mana orangtua menceritakan ketakutan, kesedihan, atau
kurangnya pemecahan masalah selama konflik interparental (Du Rocher Schudlich and
Cummings 2003). Pengarang berpendapat jika bentuk konflik perkawinan menengahi
hubungan antara disforia orangtua dan internalisasi anak. Namun, selalu mungkin saat emosi
orangtua bisa menurunkan kecenderungan genetic cemas kepada anak yang secara mandiri
berhubungan dengan bentuk konflik. Sepanjang masalah yang sama, kecenderungan
temperamental pada kecemasan mungkin tercermin dalam penelitian yang telah menunjukkan
bahwa penilaian yang dibuat oleh anak-anak selama konflik interparental dapat
mempengaruhi gejala (Hudson 2005). Sebagai contoh, Dadds dan rekannya (Dadds et al.
1999) menunjukkan bahwa anak-anak melaporkan penyalahkan diri sendiri dan ancaman
tinggi selama konflik orangtua yang lebih mungkin untuk mengekspresikan gejala
internalisasi daripada eksternalisasi. Hasil yang sama, sebagian menghubungkan ancaman
selama konflik dengan gejala cemas, sudah dilaporkan oleh yang lain (Grych et al. 2000;
Jouriles et al. 2000).
Hubungan ini menunjukkan pada data cross-sectional sudah didukung oleh beberapa
studi longitudinal. Contohnya, perpisahan orangtua atau perceraian pada awal kehidupan
anak (terutama hingga kelas 6) telah ditunjukkan untuk memprediksi gejala internalisasi pada
usian 15 tahun. Demikian pula, pada studi kecil dari 37 keluarga, kepuasan dan kesejahteraan
perkawinan dilaporkan oleh orangtua dan diamati harmoni orangtua dan perbedaan ketika
anak berusia satu tahun yang diperkirakan laporan guru tentang kecemasan anak pada usia 4
tahun (Mc Hale and Rasmussen 1998). Akhirnya, pada tindak lanjut jangka panjang,
keturunan (antara usia 6-23 tahun) dari orangtua salah satunya menderita gangguan depresi
mayor atau tanpa gangguan dinilai untuk psikopatologi pada usia 10 dan 20 tahun setelah
penilaian awal (Nomura et al. 2002; Pilowsky et al. 2006). Miskin penyesuaian perkawinan
dilaporkan orangtua pada awal diprediksi gangguan kecemasan pada anak-anak mereka 10
tahun kemudian, tetapi hanya untuk orangtua yang tidak memiliki gangguan kejiwaan. Hasil
ini tidak bisa diulangi 20 tahun kemudian, dan tidak memiliki efek pada kecemasan yang
ditemukan sebenarnya pada perceraian orangtua.
Hasil di bagian sebelumnya menunjukkan pengaruh yang kecil dan inkonsisten dari
perceraian orangtua dan ketidakpuasan pada kecemasan. Mungkin jika hasil ini sebenarnya
menggambarkan konflik interparental dan kekerasan yang sering dihubungkan dengan
ketidakpuasan perkawinan dan perceraian. Sepanjang garis ini, sebuah studi dari 682
keluarga menggambarkan bahwa korban kekerasan keluarga pada anak usia 6 tahun
dihubungkan dengan gejala internalisasi; namun, ketika internalisasi anak 2 tahun
sebelumnya dikontrol secara statistik, efek ini sebagian besar menghilang (Litrownik et al.
2003). Sebuah studi yang dilakukan dengan teliti oleh Jekielek (1998) diantara 1.640 anak
usia 6-14 tahun yang orangtuanya memberikan keterangan selama 4 tahun sebelumnya
menunjukkan bahwa perceraian orangtua dan konflik interparental memperkirakan
kecemasan anak selanjutnya. Namun, konflik orangtua yang paling kuat dan paling konsisten
dalam memprediksi kecemasan di kemudian hari. Anak-anak dari keluarga berkonflik yang
orangtuanya bercerai lebih dari 2 tahun menunjukkan relative rendah tingkat kecemasannya.
Sebaliknya, anak-anak yang orangtuanya tidak bercerai dan tinggi konflik menunjukkan
tingkat kecemasan tertinggi. Yang penting, data ini menunjukkan bahwa (dimengerti) hidup
dalam situasi konflik yang tinggi dapat mengakibatkan konkuren (negara) kecemasan di
kalangan anak-anak, tetapi itu akan menghasilkan abadi (sifat) kecemasan.
Kualitas Keluarga
Mengukur kualitas keluarga dan keadaan yang sukar sebagai prediktor psikopatologi
cenderung menjadi variabel nonspesifik, hal ini merupakan cerminan dari berbagai faktor
termasuk kecemasan di kalangan orang tua, stres lingkungan dan aktivitas kehidupan,
persepsi dan temperamen individu.
Namun, kualitas lingkungan keluarga berpotensi memiliki pengaruh dalam
pengembangan beberapa bentuk psikopatologi (Hudson dan Rapee 2005), walaupun biasanya
tidak menjadi banyak perhatian dalam mayoritas model spesifik untuk berkembangnya
gangguan kecemasan (Chorpita dan Barlow 1998; Hudson dan Rapee 2004).
Mungkin karena alasan ini, beberapa studi telah mengevaluasi lingkungan keluarga
secara umum dan pengaruh spesifiknya terhadap kecemasan. Sejumlah studi telah meneliti
keseluruhan hubungan antara kecemasan, dan hasil kuisioner tentang lingkungan keluarga
telah menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
lingkungan keluarga yang lebih miskin lebih banyak pada orang dewasa atau anak-anak
dengan gangguan kecemasan daripada kelompok kontrol (Warner dkk. 1995), sedangkan
penelitian lain telah gagal untuk mendukung asosiasi ini (Beidel et al, 1996; KNAPPE et al
2009).
Satu penelitian kecil menunjukkan perbedaan yang signifikan antara anak-anak
dengan gangguan kecemasan dan kontrol dalam subskala dari Skala Lingkungan Keluarga
(ekspresif) tapi tidak dengan yang lainnya (kontrol) (Suveg et al. 2005). Dalam penampang
Studi yang berasal dari laporan ibu tentang anak laki-lakinya yang mengalami kecemasan (5-
6 tahun), lebih besarnya kedisiplinan dalam keluarga hanya berhubungan dengan ketakutan
pada orang asing dan bukan ketakutan pada yang lainnya (Peleg - Popko dan Dar 2001).
Menariknya, dalam penelitian ini, ikatan keluarga yang lebih erat berhubungan positif
dengan tingkat ketakutan sosial dan kecemasan yang lebih tinggi. Para penulis ini
menemukan penelitian yang menunjukkan overprotection lebih besar dalam keluarga
ditemukan pada anak-anak dengan kecemasan (lihat di bawah). Dalam populasi yang lebih
besar dipelajari lebih dari 3.000 remaja yang diikuti selama 10 tahun, lingkungan keluarga
yang miskin berhubungan signifikan dengan terjadinya GAD tapi tidak dengan gangguan
kecemasan lain (Beesdo et al. 2010).
Pemeriksaan faktor yang lebih spesifik dalam lingkungan keluarga sekarang tidak
begitu umum. Dalam sebuah studi longitudinal sekitar 1.000 remaja di kelas 7 sampai 11,
persepsi remaja terhadap argumen dan konflik dalam keluarga diprediksi memiliki pengaruh
pada variasi kecil dalam gejala kecemasan pada remaja yang terjadi satu tahun kemudian
(Mechanical Hansell dan 1989). Sayangnya, penilaian konflik hanya didasarkan pada satu
item yang tidk teroprasionalisasi dengan baik dan tidak dievaluasi secara independen pada
remaja, dan penilaian terhadap kecemasan didasarkan pada empat-item ukuran yang
dikembangkan oleh penulis. Dalam sampel 149 anak-anak Amerika Afrika yang berumur
enam tahun, anak melaporkan(tapi bukan orang tua yang melaporkan) memiliki gejala
kecemasan yang signifikan pada 6 tahun kemudian, dimana diprediksi oleh pengukuran pada
lingkungan keluarga yang berisi konflik perkawinan, peristiwa hidup yang negatif, dan
psikopatologi orangtua (Grover et al. 2005). Sebaliknya hasil tersebut, dua studi yang jangka
panjang pada depresi orang tua (yang dilaporkan di atas) tidak menunjukkan prediksi
signifikan pada gejala kecemasan dalam keturunannya pada 10 dan 20 tahun untuk ukuran
kohesi keluarga (Nomura et al. 2002; Pilowsky et al. 2006).
Tampaknya ada sedikit bukti bahwa lingkungan keluarga negatif atau konfliktual
merupakan prediktor penting pada khusus kecemasan. Namun memang benar, pertanyaan ini
memiliki telah tidak diteliti dengan baik sejauh ini. Pengukuran yang tidak konsisten, dan
studi longitudinal yang terkendali dengan baik sangat langka. Pengaruh lingkungan umum
keluarga pada perkembangan kecemasan pada orang dewasa belum diteliti.
Pelecehan fisik dan seksual
Penyalahgunaan seorang anak lebih mungkin dilakukan oleh anggota keluarga, dan
karena itu, termasuk di sini diperiksa pengaruh keluarga terhadap kecemasan (meskipun
diakui bahwa tidak semua kekerasan terhadap anak mencerminkan pengaruh keluarga).
Namun, beberapa studi tentang efek penyalahgunaan dibedakan menjadi pelanggaran
kecemasan intra dan ekstra-keluarga, dan karena itu, bukti tentang pelanggaran yang spesifik
dengan faktor keluarga tidak sepenuhnya jelas. Beberapa penelitian yang terkendali dengan
baik telah menilai Pelecehan seksual anak dan gangguan yang kemudian terjadi dan variabel
latar belakang keluarga pasien telah dikendalikan (Fergusson et al. 2008, Kendler et al. 2000,
Nelson et al. 2002).
Gangguan kecemasan umum telah dinilai dengan menggunakan diagnostik
wawancara terstruktur, sementara pelecehan seksual pada anak dinilai dengan laporan diri
retrospektif. Secara statistik dengan mengendalikan kesulitan keluarga dan faktor lingkungan,
kebanyakan studi telah menunjukkan hubungan signifikan antara pelecehan seksual masa
kanak-kanak dan berbagai gangguan kecemasan. Keterkaitan secara konsisten signifikan
ketika penyalahgunaan melibatkan kontak kelamin dan terutama hubungan seksual. Tetapi
yang penting, pelecehan seksual terbukti menjadi faktor risiko untuk berbagai bentuk
psikopatologi, dan secara umum tampaknya kemungkinan mengalami gangguan kecemasan
anak pelecehan seksual sedikit lebih rendah dari kemungkinan mengalami sejumlah
gangguan lainnya (Fergusson et al 2008.; Kendler et al. 2000).
Dalam satu studi, pelecehan seksusal pada masa kanak-kanak (dan kekerasan fisik) itu
tidak signifikan berhubungan secara murni dengan kecemasan dan hanya terkait dengan
kecemasan ketika komorbiditas dengan depresi (Levitan et al. 2003). Demikian Meskipun
masa kanak-kanak pelecehan seksual tampaknya menjadi faktor risiko untuk kegelisahan,
mungkin memainkan peran yang kurang penting dalam hal ini di beberapa gangguan lainnya.
Penelitian lebih sedikit telah membahas pentingnya kekerasan fisik dalam
perkembangan gangguan kecemasan, dan secara keseluruhan hasilnya kurang konsisten. Satu
Studi dari 682 keluarga menunjukkan bahwa gejala internal anak pada usia 6 dipengaruhi
oleh agresi verbal orangtua, bahkan setelah tingkat internalisasi anak dikontrol sejak 2 tahun
sebelumnya (Litrownik et al. 2003). Dalam sebuah studi longitudinal 375 peserta, kekerasan
fisik dinilai pada umur 15 dan dievaluasi pada umur 18 dan dinilai pada umur 21 tahun
(Silverman et al. 1996).
Untuk kedua pria dan wanita, pengalaman kekerasan fisik sebelum usia 18
meningkatkan risiko PTSD pada usia 21, tetapi tidak meningkatkan risiko untuk gangguan
kecemasan lain dinilai (sederhana dan fobia sosial). Dalam penelitian yang lebih besar, lebih
dari 1.200 anak muda Selandia Baru diuji dalam laporan retrospektif kekerasan fisik dan
seksual pada usia 18 dan 21 dan dievaluasi dalam berbagai bentuk psikopatologi pada usia
25 (Ferguson et al. 2008). Sejumlah besar kovariat yang relevan termasuk permasalahan
keluarga, IQ, pendidikan orang tua, dan SES juga dievaluasi. Hasil penelitian menunjukkan
hubungan yang moderat dan sangat signifikan antara kekerasan fisik pada masa kanak-kanak
dan gangguan kecemasan di kemudian hari. Namun, efek ini menghilang ketika kovariat,
termasuk pelecehan seksual dikontrol. Sebaliknya, hubungan antara pelecehan seksual anak
dan gangguan kecemasan tetap signifikan bahkan setelah mengendalikan kovariat, termasuk
kekerasan fisik.
Secara umum, penelitian saat ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual selama masa
kanak-kanak meningkatkan risiko gangguan kecemasan, tetapi efek ini tidak spesifik untuk
kecemasan, dan pelecehan seksual tampaknya kurang terkait erat dengan gangguan
kecemasan dengan bentuk-bentuk psikopatologi. Kekerasan fisik muncul untuk menunjukkan
keterkaitan akan walaupun kurang spesifik dengan gangguan kecemasan dan kecemasan
tampaknya meningkat hanya sebagai bagian dari peningkatan umum dalam psikopatologi dan
tekanan. Apakah pelecehan meninggalkan pengaruh menetap pada gangguan kecemasan
setahun setelah itu masih belum banyak diperhatikan, dan hanya ada sedikit data tentang
apakah gangguan kecemasan pada dewasa (selain PTSD) dapat terus terjadi karena kekerasan
yang terus berlangsung.
Gaya pengasuhan
Dari berbagai faktor hubungan keluarga , gaya pengasuhan orangtua paling banyak
dipelajari terkait dengan gangguan kecemasan. Menurut definisi, gaya pengasuhan hanya
mungkin berpengaruh masa kanak-kanak dan tidak dalam perkembangan selanjutnya .
Sejumlah besar studi empiris, menggunakan kuesioner retrospektif dan metode pengamatan
langsung, telah menunjukkan bahwa interaksi orang tua - anak dengan gangguan kecemasan
berbeda dengan kelompok kontrol tanpa kecemasan ( McLeod et al .2007; Rapee 1997;
Colonna et al . 2011).
Mayoritas penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis, diantaranya
adalah sampel yang kecil, laporan berupa retrospektif, dan operasionalisasi yang tidak
konsisten pada orang tua. Namun, sebagian kecil temuan tetap memberikan tingkat
kepercayaan yang memadai pada hasil penelitian. Beberapa penelitian telah membandingkan
populasi cemas dengan bentuk-bentuk psikopatologi. Dalam penelitian tersebut, sering
mengalami kegagalan dalam membedakan kelompok dengan gangguan yang berhubungan
dengan pengasuhan, memberikan petunjuk bahwa pola asuh orang tua tertentu dapat
dikaitkan dengan berbagai bentuk psikopatologi ( Rapee 1997). Namun, seperti yang
dinyatakan sebelumnya, kurangnya mengevaluasi konsistensi konstruksi orangtua, terutama
penelitian sebelumnya , dapat berkontribusi pada hasil yang kurang spesifik. Dalam literatur
sebelumnya, dipaparkan alasan bahwa sebagian besar bukti menunjukkan bahwa overproteksi
orang tua dan kontrol orang tua berhubungan dengaan gangguan kecemasan, sedangkan
penolakan orang tua dan kurangnya kehangatan orang tua lebih kuat dihubungkan dengan
depresi ( Rapee 1997) .
Oleh karena itu, teori model overproteksi orangtua bisa menjadi faktor kunci dalam
perkembangan kecemasan (Chorpita dan Barlow 1998; Hudson dan Rapee 2004; Manassis
danBradley tahun 1994, Rubin et al . 2009). Sejalan dengan saran, sebuah studi longitudinal
baru-baru ini dilakukan pada lebih dari 3.000 remaja/ dewasa muda ( 14-24 tahun pada awal )
menunjukkan bahwa gangguan kecemasan secara signifikan diprediksi oleh laporan awal
ayah yang overprotektif , tapi tanpa ada penolakan atau kurangnya kehangatan orang tua,
sementara gangguan mood yang diprediksi oleh penolakan dan kurangnya kehangatan ,
bukan dengan overprotection ( Beesdo et al . 2010) .
Sementara mayoritas penelitian menggunakan metodologi cross sectional , beberapa
studi longitudinal mulai banyak dilakukan( Edwards et al 2010; . Rapee 2009, Rubin et al .
2002). Kebanyakan penelitian ini telah dilakukan pada anak yang sangat muda (usia
prasekolah). Hasilnya memiliki beragam faktor mendukung hubungan dua arah yang
berbeda- overproteksi pada waktu pertama memprediksi kecemasan kemudian hari dan
kecemasan pada waktu pertama memprediksi overproteksi selanjutnya. Hasil ini konsisten
dengan sebagian besar model teori yang memprediksi hubungan timbal balik antara ayah
overprotektif dan anak dengan kecemasan ( Hudson dan Rapee 2004 Rubin et al . 2009). Satu
dari beberapa penelitian telah mendukung hipotesis. Data tersebut dinilai dari 600 anak yang
berumur empat tahun dan dilakukan penilaian kembali 1 tahun kemudian ( Edwards et al .
2010). Menurut laporan para ibu dalam penelitian tersebut, anak dengan lingkungan
overproteksi diprediksi akan memiliki kecemasan yang terjadi satu tahun kemudian,
sementara kecemasan pada anak tersebut akan diikuti overproteksi ibu yang terjadi satu
tahun kemudian. Sebaliknya , data yang kompatibel menyebutkan bahwa hubungan ayah
hanya terjadi satu arah yaitu dari overproteksi akan berpengaruh pada terjadinya kecemasan
di kemudian hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku orangtua yang
overprotektif pada akhirnya dapat menyebabkan perilaku pasien lebih cemas. Dalam studi
pertama, 26 anak nonclinical ( usia 7-13 tahun ) diminta untuk menyajikan dua pidato singkat
( de Wilde dan Rapee 2008).
Pada pidato pertama, para ibu hadir dalam persiapan pidato anaknya dan secara
sengaja diberikan instruksi untuk melakukan tindakan protektif dan mengontrol pakaian atau
setidaknya berperan dalam menentukan pakaian. Ketika pidato kedua, anak anak
mempersiapkan semuanya sendirian, anak-anak yang ibunya sebelumnya bertindak lebih
protektif menampilkan secara jelas tanda-tanda kecemasan. Penelitian ini sudah diulangi lagi
dengan metode yang sangat mirip (Thirlwall dan Creswell 2010). Dalam penelitian lanjutan,
ibu dalam kelompok kontrol berinteraksi dengan anak dengan kecemasan. Dalam hal itu
anak dengan ciri kepribadian cemas yang memiliki ibu yang banyak mengendalikan
menunjukkan tingkat tertinggi kecemasan dalam menanggapi pidato. Oleh karena itu , data
ini tampaknya relatif konsisten menunjukkan pengaruh orangtua yang overproteksi pada
terjadinya kecemasan. Namun, hal yang menyebabkan hubungan kausal masih belum teruji
dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Ditambah lagi, data dari penelitian serupa menunjukkan tidak terdapat dukungan yang
konsisten untuk peranan lingkungan sekitar pada kecemasan. Pada penelitian tersebut
didapatkan bahwa hasil pengaruh lingkungan orang tua itu bergantung juga dengan gen anak.
Bukti tentang interaksi gen dengan lingkungan seperti ini masih sedikit.
Meskipun cara asuh orang tua seperti mengkritik atau kurangnya kehangatan mungkin
berperan dalam terjadinya kecemasan, pengaruhnya secara spesifik masih kurang dibuktikan
secara konsisten.
Modelling
Mengikuti perkembangan teori dari kecemasan, telah lama diasumsikan bahwa rasa
takut berasal dari situasi yang dilihat dan dialami dari lingkungan. (Field 2006; Merckelbach
et al. 1996; Mineka and Zinbarg 2006). Keluarga berpengaruh terhadap perkembangan rasa
cemas pada anak. Merupakan sebuah kenyataan bahwa kecemasan anak dipengaruhi oleh
ketakutan orang tua yang dilihat dan dituru anak. Namun penjelasan mengenai hal ini sangat
sulit untuk didemonstrasikan karena bukti yang terbatas. Hal ini juga dikarenakan tidak
terdapat bukti bahwa modelling tidak tergantung dari gen turunan.
Penelitian terhadap binatang menunjukkan pengaruh dari situasi yang terjadi pada
lingkungan. Penelitian pada monyet menunjukkan mereka mampu mengalami rasa takut yang
sebelumnya merupakan stimulus netral setelah melihat pasangannya bereaksi ketakutan
terhadap sebuah objek. (Cook and Mineka 1989).
Penelitian pada manusia menunjukkan bayi akan merefleksikan reaksi ketakutan ibu
terhadap objek yang tidak diketahui. (Hornik Parritz et al. 1992; Mumme and Fernald 1996).
Perkembangan lebih jauh dari paradigma ini menunjukkan bahwa anak dengan usia masih
sangat muda (usia dibawah 2 tahun) mampu mempelajari rasa takut dan menghindari objek
yang tidak dikenal sebagai hasil dari pengamatan terhadap reaksi ketakutan ibu mereka.
(Dubi et al. 2008; Gerull and Rapee 2002). Relevansi yang lebih mengena terhada tipe
kelainan kecemasan, jenis rasa takut dapatan ini telah diaplikasikan sebagai ketakutan
terhadap orang asing (de Rosnay et al. 2006). Hal yang menarik dari penelitian ini adalah
interasksi modeling dengan perangai anak seperti ketakutan terhadap orang asing dikarenakan
anak melihat ibu mereka bereaksi ketakutan dan mempunyai karakter yang suka melarang.
Bukti yang telah diungkapan tidak mampu menunjukkan bahwa pembelajaran rasa
takut terjadi pada keluarga dengan penuh rasa cemas. Perkiraan yang lebih tepat terhadap
hubungan hal ini adalah orangtua dari anak yang cemas juga memiliki kelainan pada rasa
cemas.
Orangtua dengan kelainan rasa cemas akan menunjukkan reaksi ketakutan lebih jelas
dibanding orangtua lainnya. Hal ini didukung dengan self-report dari ibu dengan anak yang
cemas menunjukkan tendensi ekspresi kecemasan dan ketakutan didepan anak mereka yang
lebih besar. (Muris et al. 1996).
Pada dua penelitian yang berhubungan, Murray dkk mengobservasi ibu dengan rasa
cemas dan ibu tanpa rasa cemas beserta anaknya secara sosial (10 minggu dan 10 bulan) pada
kondisi interaksi alami dengan orang asing. (Murray et al. 2007, 2008). Pada kedua
penelitian, anak dengan ibu cemas secara sosial menunjukkan peningkatan ketakutan
terhadap orang asing dan hal ini berhubungan dari riwayat ketika bayi sang ibu
mengekspresikan kecemasan dan penolakan sosial.
Dari perspektif yang berbeda, penelitian lain menunjukkan bahwa anak dengan usia
yang lebih tua mampu untuk mempelajari ketakutan dari stimulus yang terlihat, ekspresi
verbal mengenai kualitas sebuah bahaya. (Muris and Field 2010). Penelitian mengenai
modelling mengasumsikan bahwa orangtua dengan kecemasan akan mengekspresikan
ancaman dan bahaya lebih kuat ketika mendeskripsikan obyek dan pengalaman. Hal ini akan
menyebakan ketakutan dapatan pada anak. Beberapa penelitian menunjukkan interpretasi
ancaman yang bias pada anak juga terdapat pada ibu mereka. (Creswell et al. 2005; Gifford et
al. 2008).
Namun hubungan ini secara jelas merefleksikan tingginya kecemasan yang dibagi
bersama antara anak dan ibu dengan kecemasan. Setidaknya satu studi menunjukkan bahwa
anak dengan kecemasan mengaharpkan ibu mereka akan menginterpretasikan material
ambigu sebagai sebuah ancaman. (Lester et al. 2010). Terdapat bukti yang berkembang
bahwa ekspresi verbal atau tingkah laku kecemasan pada orang tua akan meningkatkan rasa
cemas diantara anak mereka, namun mekanisme ini tidak dapat dijelaskan sebagai penyebab
kelainan kecemasan. Sangat menarik untuk dispekulasikan bahwa ekspresi serupa seperti
pasangan romantis mampu menghilangkan kecemasan yang berlebihan, namun teori ini
belum pernah dilakukan pengujian.
Pengaruh keluarga terhadap terapi kecemasan
Variabel keluarga sebagai prediktor terapi
Evaluasi dari variabel yang memprediksi hasil terapi akhir-akhir ini menunjukkan
hasil yang tidak konsisten dan tidak signifikan dikarenakan berbagai alasan termasuk fakta
bahwa harus dilakukan penelitian dengan cakupan yang lebih luas dan rata-rata bukan
penelitian dengan design test untuk faktor prediksi. Konsisten dengan hal yang sudah sangat
jelas, penelitian mengenai terapi kecemasan sangat jarang mengidentifikasi prediktor
keluarga pada hasil terapi.
Diantara penelitian mengenai manajemen kecemasan anak, beberapa studi
mengindikasikan bahwa gangguan emosi orangtua (ibu atau ayah dengan cemas atau depresi)
menunjukkan outcome lebih buruk (Berman et al. 2000; Bodden et al. 2008; Cooper et al.
2008; Kendall et al. 2008; Rapee 2000). Sementara emosi orangtua dapat mempengaruhi
lingkungan keluarga dalam berbagai cara, sepertinya pengaruh ini mencerminkan kepribadian
yang lebih besar atau adanya pengaruh genetik. (Rapee et al. 2009).
Secara mengejutkan, jarang dilakukan penelitian terhadap hubungan orangtua pada
gangguan kecemasan anak, dan apabila dimasukkan dalam penelitian hasilnya tidak
signifikan sebagai prediktor outcome. Pada sebuah studi, 100 anak dengan kecemasan
diterapi dengan berbagai startegi kognitif behaviour namun gagal menunjukkan kualitas
hubungan orangtua sebagai prediktor terhadap respon terapi.
(Berman et al. 2000).
Lingkungan keluarga sangat jarang dinilai pada studi mengenai keberhasilan terapi
kecemasan pada anak. Terdapat dua studi mengenai terapi pada OCD yang menilai pengaruh
lingkungan keluarga menujukkan hasil yang kontradiktif. Pada sebuah studi penilian berdasar
the McMaster Family Assessment Device dilaporkan oleh kedua orang tua menunjukkan
perbaikan secara signifikan setelah 12 bulan terapi (Barrett et al. 2005); namun peneltian lain
dengan penialian yang dikembangkan oleh penulis tidak menunjukkan respon terapi yang
signifikan (Wever and Rey 1997).
Berbeda dengan penelitian pada anak, orang dewasa menunjukkan respon terapi lebih
buruk pada hubungan keluarga yang tidak akur atau bermusuhan. (Chambless and Steketee
1999; Renshaw et al. 2003; Steketee et al. 2007). Sebagai contoh, pada sebuah penelitian,
pasien dewasa diberikan terapi terhadap OCD atau agrophobia menunjukkan perkembangan
terapi yang buruk dan merasa kecewa dengan kritik yang diberikan dari keluarga (terutama
tunangan atau orangtua) (Steketee et al. 2007). Tingkat kecemasan dan stress yang
berkepanjangan secara langsung berhubungan dengan rasa kecewa pasien dengan kritik
pasangan dan variabel ini menjadi prediktor sebagai kritik yang berkepanjangan. Tidak dapat
dijelaskan dari penelitian ini apakah kritik yang berkepanjangan daroi pasangan merupakan
refleksi dari kritik yang sebenarnya. Namun pada penelitian terdahulu Chambless and
Steketee (1999) menunjukkan permusuhan keluarga (as measured by the Camberwell Family
Interview) merupakan prediktor negatif keberhasilan terapi agoraphobia dan OCD. Kritik
yang diterima juga merupakan outcome prediktor meskipun harus dilakukan kontrol apakah
merupkan kritik yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan kebencian yang diekspresikan
keluarga dan kritik yang diterima mempengaruhi respon dari terapi.
Manfaat penelitian diatas terhadap mengasuh anak
Secara mengejutkan hanya terdapat sedikit penelitian mengenai hubungan orang tua
dan anak sebagai prediktor keberhasilan terapi pada kecemasan anak. Namun satu studi
terhadap pasien dewasa menunjukkan adaptasi keluarga yang membolehkan perilaku
obsessive compulsive behaviours merupakan wujud dari sebuah overproteksi orangtua
terhadap anak menunjukkan outcome yang lebih buruk. (Amir et al. 2000). Penelitian serupa
mengungkapkan akomodasi keluarga terhadap obsesif dan kompulsif merupakan prediktor
negatif pada manajemen terapi anak dengan OCD (Merlo et al.2009; Storch et al. 2010).
melalui perspektif lain, Chambless and Steketee (1999) menyimpulkan bahwa kritik spesifik
dari keluarga mengenai tingkah laku yang harus dihindari pasien dan tanpa ada rasa benci
mampu menjadi motivasi dan meningkatkan respon terapi. Oleh karena itu terdapat beberapa
faktor yang mampu mempengaruhi keberhasilan terapi kecemasan pada pasien dewasa dan
anak yakni keluarga, orangtua, pasangan, dan tingkah laku.
Pentingnya Menyertakan Keluarga dalam Terapi Anak yang Mengalami Kecemasan
Pertanyaan yang menjengkelkan dalam terapi kecemasan masa kanak-kanak adalah
apakah ada manfaat untuk menyertakan peran orang tua dalam terapi (Creswell dan
Cartwright-Hatton 2007; Rapee et al. 2009). Dari semua tinjauan dan meta-analisis
menunjukkan bahwa program dimana anak yang mengalami kecemasan yang orang taunya
ikut tergabung dalam terapi efeknya tidak lebih besar dari program yang hanya menyertakan
anaknya saja (In-Albon dan Schneider 2006; James et al. 2006). Namun, tinjauan tersebut
tidak mempertimbangkan perbedaan umur pada anak dan pada kenyataannya ada beberapa
studi yang mengikutsertakan rentang usia yang cukup atau kekuatan yang cukup untuk
menemukan perbedaan yang relevan (Creswell dan Cartwright-Hatton 2007; Rapee et al.
2009).
Di tinjauan literatur Creswell dan Cartwright-Hatton (2007) disimpulkan bahwa ada
petunjuk konsisten di literatur bahwa menyertakan orang tua dalam terapi untuk anak yang
mengalami kecemasan menunjukkan keuntungan yang lebih besar namun efek tersebut kecil.
Hal yang penting dari meninjau faktor keluarga dalam kecemasan adalah apakah mungkin
untuk memperbaiki efek terapi dengan menargetkan secara khusus variabel keluarga yang
penting secara teoritis. Studi yang telah mengevaluasi keuntungan memasukkan orang tua
dalam terapi telah menggunakan berbagai metode dalam keterlibatan dan beberapa telah
mencoba target kunci variabel keluarga secara spesifik.
Satu pengecualian yaitu percobaan dimana pengobatan yang sangat singkat untuk
kegelisahan pada orang tua telah ditambahkan pada pengobatan standar untuk kecemasan
pada anak (Cobham et al, 1998). Hasil agak tercampur, dengan hanya satu ukuran (diagnosa
kecemasan pada anak pasca perawatan) menunjukkan efek yang lebih kuat untuk anak-anak
yang orang tuanya mengalami kecemasan yang menerima perawatan orang tua dan sebagian
besar pengukuran gagal untuk menunjukkan perbedaan antara perawatan. Hasilnya lebih
konsisten dalam penelitian terbaru yang lebih besar yang termasuk komponen manajemen
kecemasan orang tua sedikit lebih panjang dan lebih intensif (Hudson et al. 2009). Meskipun
dalam studi terakhir semakin besar fokus pada kecemasan orang tua, hasilnya kembali gagal
untuk menunjukkan efek yang lebih besar pada anak yang mengalami kecemasan saat
kecemasan orang tua juga diberikan perawatan.
Perawatan yang beralamat pada fungsi keluarga lain seperti depresi pada orang tua,
fungsi perkawinan, kualitas keluarga dan seterusnya belum dilakukan pada area kecemasan
anak. Satu pengecualian adalah fokus pada orang tua yang proteksinya terlalu berlebihan,
dimana
hal tersebut termasuk dalam beberapa program (Rapee et al., 2006).
Namun, sampai saat ini belum ada penelitian yang dikendalikan yang
membandingkan efek pengobatan untuk anak yang mengalami kecemasan yang mencakup
ataupun tidak mencakup fokus pada proteksi berlebihan orang tua.
Secara klinis, tampaknya ada beberapa keuntungan untuk memasukkan dan
menyatukan orang tua ke dalam pengobatan untuk anak yang mengalami kecemasan. Dokter
ahli di lapangan sebagian besar akan berpendapat bahwa dengan menyertakan orang tua akan
memberikan manfaat terbesar bagi alasan praktis seperti membantu untuk memastikan
kepatuhan pekerjaan dan membantu generalisasi dunia nyata dan faktor-faktor tersebut
cenderung lebih penting untuk anak-anak muda. Bukti empiris sampai saat ini masih
bertentangan, dan sebagian ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa penelitian
umumnya tidak spesifik mengidentifikasi peran orang tua dalam terapi (seperti kepatuhan
mengerjakan tugas) dan belum cukup meneliti mengenai pengaruh usia.
Pentingnya Menyertakan Pasangan Dalam Pengobatan Kecemasan Pada Dewasa
Sejumlah studi telah meneliti nilai dari menyertakan pasangan dalam pengobatan untuk
kecemasan pada dewasa. Sebagian besar pekerjaan ini telah difokuskan pada agoraphobia
mengikuti saran awal bahwa perselisihan perkawinan merupakan faktor penting dalam
pengembangan agoraphobia (lihat Emmelkamp dan Gerlsma 1994).
Beberapa pekerjaan paralel juga berfokus pada OCD. Secara umum, penelitian yang
telah meneliti penyertaan pasangan ke dalam pengobatan untuk kecemasan pada dewasa telah
menunjukkan hasil yang beragam (lihat Emmelkamp dan Gerlsma 1994; Renshaw et al.
2005; Steketee dan Shapiro 1995 untuk tinjauan).
Namun, seperti literatur di atas yang menyertakan keluarga dalam pengobatan untuk
kecemasan pada anak, menyertakan atau tidak menyertakan pasangan dalam pengobatan
mungkin bukan menjadi isu utama. Mungkin lebih penting untuk melihat bagaimana
pasangan tersebut disertakan dan apakah fokus pada keterampilan tertentu dan aspek
hubungan antar pasangan mungkin meningkatkan hasil (Renshaw et al 2005;. Steketee dan
Shapiro 1995).
Sebagai contoh, beberapa studi terbaru telah menunjukkan bahwa sejauh mana pasien
menganggap kritik dari pasangan mereka di samping tingkat aktual permusuhan dan atribusi
negatif yang dibuat oleh pasangan dapat mengurangi kemanjuran paparan pengobatan untuk
kecemasan (Renshaw et al 2003, 2006;. Steketee et al 2007.).
Dengan demikian, mungkin program yang secara khusus bersasaran pada kritik
pasangan dan permusuhan serta mengajarkan pasien untuk mengatasi dengan baik
permusuhan juga dapat menghasilkan hasil yang lebih baik.
Ringkasan dan Kesimpulan
Penelitian peran faktor keluarga di kedua etiologi dan pengobatan gangguan
kecemasan secara mengejutkan terbatas. Mengejutkan karena faktor keluarga terletak pada
dasar dari banyak teori psikopatologi dan telah ditunjukkan untuk memainkan peran kunci
dalam beberapa bentuk gangguan. Tapi tampaknya faktor keluarga tidak bermain sebesar
peran dalam pengembangan atau pengobatan gangguan kecemasan seperti yang mereka
lakukan dalam bentuk lain dari psikopatologi.
Beberapa faktor demografis tampaknya berkaitan dengan perkembangan gangguan
kecemasan. Dari faktor-faktor yang telah dinilai, beberapa bukti menunjukkan bahwa status
sosial ekonomi yang rendah dapat menimbulkan kecemasan kemudian, meskipun variabel
tidak memperhitungkan varians ditandai kecemasan kemudian. Hubungan umum keluarga
dan kualitas keseluruhan dari hidup keluarga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan perkembangan atau pengobatan gangguan kecemasan. Tentu saja, kurangnya efek
sebagian mungkin karena untuk miskin operasionalisasi kualitas keluarga dan berbagai
macam dan sifat psikometrik lemah dari banyak pengukuran. Penelitian masa depan yang
berfokus lebih spesifik pada aspek rinci dan jelas yang dioperasionalisasikan kualitas
keluarga belum dapat menunjukkan beberapa hubungan. Salah satu variabel yang telah hati-
hati diteliti dan telah menunjukkan beberapa kontribusi untuk varians gangguan kecemasan
adalah pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Sangat menarik untuk dicatat, bagaimana
pun, itu bahkan seperti variabel teoritis logis (diberikan elisitasi atas ancaman tak terduga)
tampaknya menjelaskan varians lebih sedikit dalam pengembangan gangguan kecemasan
dibandingkan dalam beberapa bentuk lain dari psikopatologi.
Penelitian yang paling ekstensif telah mengaitkan gangguan kecemasan dengan
interaksi orang tua-anak dan terutama dengan proteksi berlebihan orang tua. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan hubungan antara proteksi berlebihan orang tua dan kecemasan
pada keturunannya, meskipun menyimpulkan hubungan sebab akibat masih jauh dari jelas.
Namun demikian, beberapa studi longitudinal dan eksperimental mulai mengindikasikan
kemungkinan peran proteksi berelebihan orang tua dalam kecemasan di kemudian hari
dengan tambahan selain elisitasi timbal balik proteksi berlebihan oleh kecemasan anak. Studi
longitudinal masa depan yang lebih hati-hati menilai proteksi berlebihan orang tua pada awal
kehidupan mungkin mulai menunjukkan beberapa efek yang menarik.
Mengingat pentingnya keluarga dalam perkembangan anak-anak, cukup mengejutkan
bahwa penelitian telah gagal untuk menunjukkan pengaruh yang kuat dari keterlibatan atau
hubungan keluarga pada hasil pengobatan untuk anak-anak yang mengalami kecemasan.
Beberapa bukti jelas menunjukkan bahwa menyertakan orang tua dalam pengobatan anak-
anak cemas mungkin bermanfaat, tetapi ini lebih mungkin untuk anak-anak yang sangat
muda dan tidak terkait dengan efek yang sangat kuat atau jelas. Ada isu penting yang masih
harus ditangani, seperti pentingnya menargetkan secara khusus proteksi berlebihan orang tua
dalam pengobatan, tetapi kemungkinan peran kunci orang tua yang bermain dalam
pengobatan kecemasan pada anak adalah untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan dan
generalisasi dunia nyata. Demikian pula, bukti telah bercampur mengenai hasil menyertakan
pasangan dalam pengobatan untuk kegelisahan dewasa, tetapi pengukuran yang lebih spesifik
menunjukkan bahwa mengatasi permusuhan dan kritik dapat menghasilkan keuntungan.
Kemungkinan bahwa mediator kunci adalah penambahan kepatuhan terhadap pengobatan
diciptakan oleh pasangan yang mendukung dan konstruktif. Jelas jika hubungan pasangan
yang buruk mungkin mengganggu peningkatan kepatuhan pengobatan dan bekerja pada
hubungan pasangan yang mungkin bermanfaat. Dengan demikian, manfaat klinis dapat
diperoleh melalui spesifik, perhatian ditargetkan untuk interaksi pasangan dan cara dimana
pasangan dapat dengan tidak mengecap dan dengan tidak mengkritik sehingga mendorong
klien untuk berpartisipasi dalam terapi.
Khususnya yang berkaitan dengan intervensi, adalah kurangnya model konseptual
yang komprehensif yang menguraikan cara dimana variabel orang tua, pasangan, dan
keluarga mungkin mempengaruhi pengembangan, pemeliharaan, dan modifikasi gangguan
kecemasan pada berbagai tahap perkembangan. Model seperti itu akan membantu untuk
mengatur dan fokus upaya penelitian empiris. Penghindaran dan penilaian ancaman terletak
di jantung kecemasan, dan sehingga kemungkinan faktor keluarga memiliki peran untuk
bermain, itu akan melalui pengaruh mereka pada proses-proses inti. Sebagai contoh, mungkin
bukan kritik pasangan yang penting untuk hasil pengobatan tapi kritik lebih khusus ditujukan
pada upaya untuk terlibat dalam perilaku pendekatan baru. Demikian pula, pelecehan seksual
mungkin kurang berpengaruh dalam perkembangan kecemasan dibandingkan dengan
pelecehan seksual oleh pelaku tertentu pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu, dimana
mengembangkan perkiraan ancaman dan kerentanan. Jelas ada sejumlah besar pertanyaan
yang masih harus ditangani sebelum peran keluarga pada onset dan pengelolaan gangguan
kecemasan dapat dipahami.