Makalah pelaksanaan dan kunci keberhasilan mbs

33
BAB I PENDAHULUAN A. Abstrack Mana j emen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita. Di beberapa negara maju pembangunan manusia menjadi salah satu skala prioritas sebab dengan adanya pembangunan manusia akan muncul orang-orang yang memiliki kemampuan dalam membangun daerah serta negara. Salah satu isu reformasi pendidikan yang 1

Transcript of Makalah pelaksanaan dan kunci keberhasilan mbs

BAB I

PENDAHULUAN

A. Abstrack

Mana j emen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk

agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi

sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah

dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan

penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial

Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika

sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak mereduksi

peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal

tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan.

Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada

pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu

merupakan sarana yang memungkinkan para profesional

pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan

yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.

Di beberapa negara maju pembangunan manusia

menjadi salah satu skala prioritas sebab dengan adanya

pembangunan manusia akan muncul orang-orang yang

memiliki kemampuan dalam membangun daerah serta

negara. Salah satu isu reformasi pendidikan yang penting

dewasa ini adalah desentralisasi pengelolaan pendidikan,

kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan

bentuk alternatif yang dipilih dalam pelaksanaan kebijakan

desentralisasi pendidikan. Dipilihnya kebijakan MBS karena

model ini diyakini akan mempermudah pencapaian tujuan

pendidikan. Program MBS bertujuan untuk memandirikan

1

atau memberdayakan sekolah melalui pemberian

kewenangan, keluwesan dan sumberdaya untuk

meningkatkan mutu kinerja sekolah dan pendidikan terutama

meningkatkan hasil belajar siswa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-

faktor yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan

Manajemen Berbasis Sekolah.

          Salah satu permasalahan pendidikan yang saat ini

dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu

pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,

khususnya pendidikan dasar dan menengah. Dari berbagai

pengamatan dan analisis, diantara faktor yang menyebabkan

mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan adalah

Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional yang selama

ini dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga

menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan

sangat tergantung kepada keputusan birokrasi yang

mempunyai jalur sangat panjang, dimana pusat sangat

dominan dalam pengambilan kebijakan, sedangkan sekolah

hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan. Kedua,

minimnya peran serta masyarakat (PSM), terutama orang tua

siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, kebijakan

penyelenggaraan pendidikan yang menggunakan pendekatan

"input-output analysis" yang tidak dilaksanakan secara

konsekuen.

Berdasarkan kenyataan di atas, tentu saja perlu

diadakan upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan, salah

satunya adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu

2

dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju

manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan strategi

untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan mengalihkan

kewenangan pengambilan keputusan dari pusat ke masing-

masing sekolah. Keberhasilan sekolah dalam melaksanakan

program pendidikan dan pengembangannya perlu didukung

dengan efektifitas kepemimpinan pendidikan yang dilakukan

oleh eksekutif pendidikan, khususnya kepala sekolah.

Kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting

dalam menentukan keberhasilan MBS di sekolah. Sebagai

seorang edukator, manajer, administrator, supervisor, leader,

innovator, dan motivator (EMASLIM). kepala sekolah

bertanggungjawab dalam membina dan membantu guru

yang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan program

MBS.kemampuan dalam menggerakkan guru dalam

mencapai tujuan MBS merupakan faktor penentu dalam

keberhasilan pelaksanaan MBS. Sehingga penelitian ini

difokuskan pada peran kepala sekolah dalam implementasi

penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan MBS.

Penelitian ini menggunakan kualitatif, yang berlokasi di

SMA 1 PGRI Taman . Teknik pengumpulan data yang

digunakan meliputi: (1) teknik wawncara, (2) teknik

observasi, dan (3) teknik dokumentasi. Pengambilan data

dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa catatan

lapangan (field notes), alat perekam, dan alat dokumentasi.

Sampel dalam penelitian ini dilakukan secara snowball

sampling, dengan informan terdiri dari kepala sekolah, wakil

kepala sekolah (wakasek) humas, wakasek kurikulum,

wakasek keagamaan, wakasek kesiswaan, wakasek sarana

3

prasarana, kepala TU, ketua dewan sekolah, 3 orang guru,

dan penjaga sekolah. Data yang diperoleh kemudian

dianalisis dengan melakukan pengorganisasian data,

pengelompokkan data, pemaparan data, dan perumusan

temuan. Untuk memperoleh keabsahan data, dilakukan uji

triangulasi yaitu triangulasi sumber data dan metode

pengumpulan data.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-

masing fokus penelitian diinformasikan sebagai berikut: (1)

peran kepala sekolah dalam penyusunan rencana program

MBS yaitu kepala sekolah berperan sebagai leader, dimana ia

bertindak sebagai pengambil keputusan sekaligus

penanggungjawab keputusan yang telah dibahas dalam rapat

sekolah tersebut; (2) peran kepala sekolah dalam

implementasi MBS, kepala sekolah berperan seabagi

motivator dan fasilitator dalam kemajuan sekolah; dan (3)

peran kepala sekolah dalam evaluasi, dalam kepala berperan

sebagai evaluator dan supervisor, dimana kepla sekolah

melakukan pengawasan dan pembinaan kepada guru secara

kontuinitas berdasarkan acuan MBS dan melakukan

pembinaan (supervisi) seabagi tindak lanjut.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah

bahwa peran kepala sekolah dalam implementasi MBS sangat

tinggi, karena dalam setiap penyusunan, pelaksanaan dan

evaluasi MBS, kepala sekolah selalu terlibat secara langsung

sehingga apabila ada kesalahan kepala sekolah dapat segera

mencari pemecahannya.

B. Latar Belakang

4

Pada era globalisasi, Indonesia akan menghadapi

berbagai tantangan, seperti persaingan ketat dalam

perdagangan nasional sebagai konsekuensi dari berlakunya

pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Afrika. Oleh karena

itu, pendidikan harus diorientasikan sesuai dengan kondisi

dan tuntutan tersebut, agar output (hasil) pendidikan dapat

mengikuti perkembangan yang terjadi dalam kondisi ini,

manajemen sentralisasi (pusat) yang telah menghasilkan pola

penyelenggaraan pendidikan yang seragam dalam berbagai

lapisan masyarakat yang berbeda, tidak bisa dipertahankan

lagi. Disamping itu juga unggulan daerah tidak dimanfaatkan

bagi kepentingan pendidikan di sekolah. Menyadari hal

tersebut pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan

sistem pendidikan, baik melalui penataan perangkat lunak

(software), maupun perangkat keras (hardware). Upaya

peningkatan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan

baik secara konvensioal maupun inovatif. Diantara upaya

tersebut antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang

No 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, yang

secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan

pelaksanaanya dan evaluasi pendidikan. Bila sebelumnya

pendidikan merupakan wewenang pusat (sentralisasi

pendidikan) maka dengan berlakunya Undang-undang

tersebut kewenangan berada pada Pemerintah

Kota/Kabupaten (Desentralisasi Pendidikan).

Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mendorong

peningkatan pelayanan dibidang pendidikan kepada

masyarakat, yang berakhir pada upaya peningkatan kualitas

pengelolaan pendidikan tataran yang paling bawah (at the

5

bottom), yaitu sekolah melalui penerapan Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan suatu modal

kebijakan desentralisasi pendidikan dengan kata lain suatu

konsep inovatif, yang bukan hanya dikaji sebagai wacana

baru dalam pengelolaan pendidikan tetapi sebaliknya juga

dipertimbangkan sebagai langkah inovatif dan strategi ke

arah peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan

manajemen yang bercirikan akar rumput (grassroots).

C. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah?

2. Bagaimana pelaksanaan MBS?

3. Apa kunci keberhasilan MBS?

D. Tujuan Penulisan

1. Memberikan pemahamaan tentang pengertian MBS

2. Memberikan pemahaman tentang pelaksanaan MBS

3. Memberikan pemahaman tentang kunci keberhasilan MBS

4. Memenuhi tugas kelompok matakuliah Manajemen

Pendidikan

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Manajemen berasal dari bahasa Inggris to manage yang

berarti mengelola atau mengatur. Dapat diartikan sebuah

proses kepemimpinan dan pengaturan seluruh atau sebagian

dari suatu organisasi atau bisnis melalui pemanfaatan atau

pengatur sumberdaya (sumberdaya manusia, material,

kepandaian, dan lain-lain).

Menurut Bedjo sudjanto (2009), Manajemen Berbasis

Sekolah dapat dikatakan sebagai model manajemen sekolah

yang memberikan otonomi kepada sekolah dan mendorong

pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua

warga sekolah dan masyarakat (stakeholder) yang dilayani.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi

untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. Istilah

ini pertama muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat

mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan

tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS

merupakan paradigm baru manajemen pendidikan yang

memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan

masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber

daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya

sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap

kebutuhan setempat.

7

MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan

pendidikan yan diletakkan pada posisi yang paling dekat

dengan pembelajaran, yakni sekolah. Pemberdayaan sekolah

dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping

menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan

masyarakat juga merupakan sarana peningkatan efisiensi,

mutu, dan pemerataan pendidikan.

Dengan MBS maka kepala sekolah dapat mengatur dan

mengurus sekolah sesuai dengan kepentingan masyarakat

yang dilayaninya (stake holder) menurut prakarsa sendiri.

B. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah

Esensi konsep Manajemen Berbasis Sekolah adalah

peningkatan otonomi sekolah dan masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas

pengelolaan sumber daya sekolah. Konsep ini membawa

membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah

sepantasnya menerapkan pendekatan idiografik

(memperbolehkan adanya berbagai cara melaksanakan MBS)

dan bukan lagi menggunakan pendekatan nomotetik (cara

melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas

untuk semua sekolah). Oleh karena itu dalam arti yang

sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksaan MBS yang sama

untuk diberlakukan ke semua sekolah.

Berikut pelaksanaan MBS menurut Rohiat (2010) adalah

sebagai berikut :

1. Melaksanakan sosialisasi MBS

Sekolah merupakan sistem yang terdiri atas unsur-

unsur yang saling terkait. Oleh karena itu, hasil kegiatan

pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari

semua unsur sekolah. Dengan cara berpikir semacam ini,

8

semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS (apa,

mengapa, dan bagaimana). Langkah pertama yang harus

dilakukan oleh sekolah adalah menyosialisasikan konsep

MBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil

kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siwa,

pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,

pejabat Dinas Pendidikan Provinsi, dsb.) melalui berbagai

mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat

kerja, simposium, forum ilmiah, dan media massa.

Dalam melakukan sosialisasi MBS, yang penting

dilakukan oleh kepala sekolah adalah membaca dan

membentuk budaya MBS di sekolah masing-masing.

Secara umum, garis besar kegiatan

sosialisasi/pembudayaan MBS dapat dilaksanakan dengan

cara antara lain:

a. Baca dan pahami sistem, budaya dan sumberdaya

yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan

kecocokannya dengan sistem, budaya dan

sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung

penyelenggaraan MBS

b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang

perlu diperkuat atau diubah, dan kenalkan sistem,

budaya dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk

menyelenggarakan MBS

c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh

semua unsur yang bertanggungjawab apabila terjadi

perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang

cukup mendasar

9

d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk

mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana

dan program-program penyelenggaraan MBS

e. Hadapilah status quo (resistensi) terhadap perubahan,

jangan menghindar dan jangan menarik diri serta

jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari

manajemen berbasis pusat menjadi MBS

f. Garis bawahi prioritas sistem, budaya dan sumberdaya

yang belum ada yang sangat diperlukan untuk

mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan

program-program penyelenggaraan MBS. Doronglah

sistem, budaya dan sumberdaya manusia yang

mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka

(unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam

penerapan MBS

g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai

dengan visi, misi, tujuan, sasaran, dan program-

program MBS.

2. Memperbanyak mitra sekolah

Sekolah harus memperbanyak mitra baik dalam

maupun luar sekolah guna terciptanya kesuksesan MBS.

Kemitraan dalam sekolah antara lain meliputi kepala

sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan

siswa, siswa dengan siswa dst. Kemitraan sekolah dengan

luar sekolah (masyarakat) antara lain meliputi kepala

sekolah dengan komite sekolah, guru dengan orangtua

siswa, kepala sekolah dengan kepala dinas pendidikan

kota/kabupaten, dst.

kemitraan penting untuk dilakukan karena hasil

pendidikan sekolah merupakan hasil kolektif dari unsur-

10

unsur terkait atau para pelaksana kepentingan

(stakeholders). Kemitraan yang dapat menghasilkan

team-work yang kompak, cerdas dan dinamis merupakan

kartu utama bagi keberhasilan MBS. Oleh karena itu,

upaya-upaya untuk meningkatkan kemitraan perlu

ditempuh melalui :

1)Membuat pedoman mengenai tatacara kemitraan,

menyediakan sarana kemitraan dan saluran komunikasi

2)Melakukan advokasi, publikasi, dan transparansi

terhadap pelaksana kepentingan

3)Melibatkan pelaksana kepentingan sesuai dengan

prinsip relevansi, yurisdiksi, dan kompetensi serta

kompatibilitas tujuan yang akan dicapai.

3. Merumuskan kembali aturan sekolah, peran unsur-unsur

sekolah, serta kebiasaan dan hubungan antar unsur-unsur

sekolah

Pergeseran dari manajemen berbasis pusat

(sentralistik) menuju manajemen berbasis sekolah

memerlukan peninjauan kembali terhadap aturan sekolah,

peran unsur-unsur sekolah, kebiasaan bertindak dan

hubungan antar unsur-unsur sekolah. Aturan sekolah

perlu dirumuskan kembali agar sesuai dengan tuntutan

MBS, yaitu otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi. Peran

masing-masing unsur sekolah perlu ditinjau kembali agar

sesuai dengan tuntutan MBS, yaitu demokrasi sekolah. Ini

berarti bahwa peran-peran yang semula lebih bersifat

otoriter perlu diubah agar menjadi egaliter. Istilah-istilah

peran yang bersifat egaliter, misalnya kepala sekolah dan

guru sebagai fasilitator, mediator, pendukung, pemberi

pertimbangan, pemberdaya, pembimbing, tutor,mentor,

11

dan istilah-istilah lain yang sederajat dengan bahasa

demokrasi. Demikian juga, kebiasaan-kebiasaan perilaku

tergantung atasan dan menunggu perlu diubah menjadi

berani mengambil prakarsa dan inisiatif. Kebiasaan

mengunggulkan kewenangan diubah menjadi kebiasaan

melayani, kebiasaan melayani sistem sekolah diubah

menjadi kebiasaan melayani siswa, dst. Hubungan antar

unsur juga perlu disesuaikan dengan tuntutan MBS. MBS

menuntut hubungan simbiosis, hubungan interaktif,

gubungan fungsional, dan bukannya hubungan yang

semata-mata bersifat struktural (atasan dan bawahan).

Pelayanan, pemberdayaan, dan pemfasilitasan terhadap

bawahan merupakan keharusan untuk diunggulkan,

bukan mengunggulkan kewenangan atasan terhadap

bawahan.

4. Menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik

MBS akan berhasil dengan baik jika sekolah

menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik pula. Prinsip-

prinsip MBS yang baik pada dasarnya mengikuti prinsip-

prinsip tatapengelolaan atau tatapemerintahan yang baik

yang meliputi partisipasi, transparansi, tanggungjawab,

akuntabilitas, wawasan kedepan, penegak hukum,

keadilan, demokrasi, prediktif, kepekaan, profesionalisme,

efektivitas dan efisiensi serta kepastian jaminan hukum.

Penerapan tatapengelolaan yang baik harus diupayakan

oleh sekolah melalui berbagai cara seperti pembuatan

aturan main sekolah/pedoman tentang tatacara pelaksaan

prinsip-prinsip MBS yang baik, penyediaan sarana untuk

memfasilitasi pelaksanaan prinsip-prinsip MBS yang baik,

melakukan advokasi, publikasi, relasi dengan para

12

pelaksana kepentingan, dsb yang disesuaikan dengan

konteks kebutuhan, karakteristik dan kemampuan sekolah

masing-masing.

5. Mengklarifikasi fungsi dan aspek manajemen pendidikan

(sekolah)

Manajemen pendidikan pada umumnya dan

manajemen sekolah pada khusunya merupakan

pengelolaan institusi (sekolah) yang dilakukan dengan

dan melalui pendidikan dan tenaga kependidikan untuk

mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Dua

hal yang merupakan inti manajemen pendidikan, yaitu

fungsi dan aspek. Fungsi-fungsi manajemen secara umum

meliputi perencanaan, pegorganisasian, pelaksanaa,

pengoordinasian, dan pengawasan/pengontrolan. Aspek-

aspek pendidikan antara lain meliputi kurikulum, proses,

pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana

kesiswaan, keuangan, penilaian, hubungan sekolah dan

masyarakat, pendidikan lingkungan hidup (program

adiwiyata), penanggulangan narkoba, dan sebagainya.

Fungsi-fungsi manajemen dan aspek-aspek pendidikan

(manajemen pendidikan) tersebut perlu diklarifikasi

secara bersama-sama antara sekolah dan dinas

pendidikan kabupaten/kota melalui pertemuan/forum

untuk menemukan pembagian urusan-urusan tentang

fungsi-fungsi manajemen dan aspek-aspek pendidikan

yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah

dan dinas pendidikan kabupaten/kota, termasuk komite

sekolah dan dewan pendidikan. Dengan cara seperti ini

akan terbentuk manajemen yang koheren, saling

komplemen, dan terhindar dari duplikasi, konflik dan

13

benturan antara sekolah dan dinas pendidikan serta

komite sekolah dan dewan pendidikan.

6. Meningkatkan kapasitas sekolah

MBS merupakan model baru bagi sekolah maupun

dinas pendidikan kabuaten/kota, komite sekolah, dan

dewan pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan

kapasitas (kemampuan dan kesanggupan) bagi para

pelaksana kepentingan pendidikan sekolah perlu diadakan

melalui berbagai upaya, misalnya pemberian panduan

tentang konsep, pelaksanaan dan evaluasi MBS,

pelatihan, lokakarya, diskudi kelompok terfokus, seminar

tentang praktik-praktik MBS yang baik dan pelajaran yang

dapat dipetik oleh sekolah-sekolah yang melaksanakan

MBS serta studi banding ke sekolah yang sukses

melaksanakan MBS.

7. Meredistribusi kewenangan dan tanggungjawab

Dalam era sentralistik, kewenangan dan

tanggungjawab dalam mengurus sekolah terbatas pada

kepala sekolah (one man show). Semuanya tergantung

pada kepala sekolah, seolah-olah kepala sekolah seperti

raja. Dalam MBS, demokrasi merupakan jiwanya. Oleh

karena itu kewenangan dan tanggung jawab tidak

semata-mata terpusat pada kepala sekolah, tetapi

disebar/didistribusikan kepada para pelaksana

kepentingan pendidikan sekolah. Dengan cara ini,

kekuatan di sekolah tidak lagi semata-mata di pundak

kepala sekolah, tetapi disebar keseluruh pemegang

kepentingan sekolah. Jadi, kekuatan bergeser dari satu

orang (kepala sekolah) menuju ke kekuatan kolektif. Oleh

14

karena itu sangat penting bagi sekolah memiliki teamwork

yang kompak, cerdas, danm dinamis

8. Menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS),

melaksanakan, memonitor dan mengevaluasinyaSekolah

pelaksana MBS diharapkan dapat menyusun desain dan

melakukan evaluasi RPS secara berkelanjutan setiap lima

tahun (rensta).

C. Kunci Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah

Kegiatan dikatakan berhasil jika dilakukan sesuai dengan

rencana, tept waktu dan tidak melampauijadwal yang

ditetapkan, biaya digunakan sesuai dengan mata anggaran,

produk atau jasa yang dihasilkan memenuhi standar minimal

yang diharapkan.

Keberhasilan suatu sekolah dapat dilihat dari kegiatan

belajar mengajar serta kegiatan pendukung lainnya, sehingga

menghasilkan lulusan yang baik. Kepuasaan masyarakat juga

menjadi ukuran dari keberhasilan suatu sekolah. Masyarakat

akan kembali mendukung kegiatan sekolah, apabila mereka

terlayani dengan baik, ketika mengirim anak-anaknya belajar

di suatu sekolah.

Berikut ini secara umum, dijelaskan kunci

keberhasilan MBS antara lain:

1. Efektif proses pembelajaran

Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektifitas

proses pembelajaran yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat

pembelajaran yang menekankan pada pemberdayaan

peserta didik. Pembelajaran bukan sekedar transformasi

dan mengingat, bukan sekedar penekanan pada

pengasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan

15

sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani

dan hayati serta dipraktekkan dalam kehidupan oleh

peserta didik. Bahkan pembelajaran juga lebih

menekankan pada peserta didik agar mau belajar

bagaimana cara belajar yang produktif.

2. Kepemimpinan sekolah

Bagi sekolah yang menerapkan MBS, Kepala Sekolah

memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan,

menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya

pendidikan yang tersedia. Kepentingan kepala sekolah

merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong

sekolah untuk dapat mewujudkan visi, miji, tujuan,

sasaran sekolahnya melalui program-program yang

dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena

itu kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan

mnajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mampu

mengambil inisiatif atau prakarsa untuk meningkatkan

mutu sekolah.

3. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif

Tenaga kependidikan terutama guru, merupakan salah

satu faktor strategis dari suatu sekolah. Oleh karena itu,

pengelola tenaga kependidikan, mulai dari analisis

kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,

hubungan kerja, sampai pada balas jasa, merupakan

garapan penting bagi kepala sekolah. Pengembangan

tenaga kependidikan harus dilakukan secara terus

menerus, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan

dan tekhnologi yang sedemikian pesat. Dengan kata lain,

tenaga kependidikan yang diperlukan untuk manajemen

16

berbasis sekolah adalah tenaga kependidikan yang selalu

mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.

4. Sekolah memiliki budaya mutu

Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga

sekolah sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh

profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen

sebagai berikut :

1) Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan,

bukan untuk mengadili atau mengontrol orang

2) Kewenangan harus sebatas tanggungjawab

3) Hasil harus diikuti rewards atau punishment

4) Kolaborasi dan sinergi harus merupakan dasar

kerjasama

5) Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya

6) Atmosfer keadilan (fairness) harus ditanamkan

7) Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaanya

8) Warga sekolah merasa memiliki sekolah

5. Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas,

dan dinamis

Kebersamaan merupakan karakteristik yang dituntun oleh

manajemen berbasis sekolah, karena output pendidikan

merupakan hasil kolektif warga sekolah buan hasil

individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi

dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-

hari warga sekolah.

6. Sekolah memiliki kemandirian

Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang

terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki

kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu

menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri,

17

sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk

menjalankan tugasnya.

7. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat

Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis

sekolah memiliki karakteristik partisipasi sekolah dan

masyarakat yang tinggi. Hal ini dilandasi keyakinan

bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar pula

rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung

jawab makin besar pula tingkat dedikasinya.

8. Sekolah memiliki transparansi

Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah

merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan

manajemen berbasis sekolah. Keterbukaan/transparansi

ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan,

penggunaan uang dan sebagainya. Yang selalu

melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.

9. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan

fisik)

Perubahan harus merupakan “kenikmatan” bagi

semua warga sekolah. Sebaliknya, kondisi statis

merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud

dengan perubahan adalah adanya peningkatan yang

bermakna positif. Artinya setiap perubahan yang

dilakukan, hasilnya diharapkan bisa lebih baik

dibandingkan kondisi sebelumnya (ada peningkatan)

terutama dalam mutu peserta didik.

10. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara

berkelanjutan

18

Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya

ditunjukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan

kemampua peserta didik, tetapi yang terpenting adalah

bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut

untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses

pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi

menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan

mutu peserta didik dan mutu sekolah secara terus

menerus. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem

mutu yang dimaksud harus mencakup struktur oganisasi,

tanggung jawab, prosedur, dan sumber daya untuk

menerapkan manajemen mutu.

11. Sekolah resposhif dan antisiatif terhadap kebutuhan

Sekolah selalu tanggap (responsive) terhadap

berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu.

Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan

menanggapi secara cepat dan tepat. Bahkan sekolah

tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap

perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu

mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi.

Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi

istilah antisipatif.

12. Sekolah memiliki akuntabilitas

Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban

yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan

program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini

berbentuk laporan prestasi yang dicapai baik kepada

pemerintah maupun kepada orangtua peserta didik dan

masyarakat. Berdasarkan hasil laporan program ini,

pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah

19

mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika

berhasil maka, pemerintah perlu memberikan perlu

memberikan penghargaan kepada kepala sekolah yang

bersangkutan sehingga menjadi faktor pendorong untuk

meningkatkan kinerja dimasa yang akan datang

sebaliknya jika program tersebut belum berhasil,

pemerintah perlu memberikan koreksi atas kinerjanya

yang dianggap belum memenuhi kondisi yang diharapkan

dan selanjutnya memberikan umpan balik bagi

kepentingan peningkatan kinerja.

Faktor lain penghambat keberhasilan Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS) antara lain:

1. Tidak berminat untuk terlibat.

Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan

selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka

tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang

menurut mereka hanya menambah beban. Anggota

dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan

waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan

dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak

memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk

memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka.

Tidak semua guru akan berminat dalam proses

penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan

waktunya untuk urusan itu.

2. Tidak Efisien

Pengambilan keputusan yang dilakukan secara

partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan

seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara

yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat

20

bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas,

bukan pada hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok

Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan

sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu

sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling

mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu

menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena

tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota

lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit

“pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang

diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan

Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar

sama sekali tidak atau belum berpengalaman

menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka

kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan

keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan

bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan,

komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru.

Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah

sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini

mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan

tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.

Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan

menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka

ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan

keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi

21

Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup

kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi

yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang

beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-

masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh

dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah

dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa

setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS.

Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang

MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil

yang diharapkan kepada semua pihak yang

berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus

memahami apa saja tanggung jawab pengambilan

keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level

mana dalam organisasi. 

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa keberhasilan MBS akan terhambat jika seluruh

komponen sekolah tidak bias bekerja sama untuk

mewujudkan tujuan sekolah, selain itu tingkat

pengetahuan terhadap implementasi MBS ini juga sangat

berpengaruh, serta peran kepala sekolah sebagai sentral

di sekolah tidak maksimal dan kepala sekolah tidak bias

mengelola anggota organisasinya.

22

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

1. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi

untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. MBS

merupakan paradigm baru manajemen pendidikan yang

memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan

masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan

nasional.

2. Pelaksanaan MBS :

a. Melaksanakan sosialisasi MBS

23

b. Memperbanyak mitra sekolah

c. Merumuskan kembali aturan sekolah, peran unsur-unsur

sekolah, serta kebiasaan dan hubungan antar unsur-

unsur sekolah

d. Menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baiK

e. Mengklarifikasi fungsi dan aspek manajemen pendidikan

3. penghambat keberhasilan MBS

a) Tidak berminat untuk terlibat.

b) Tidak efisien.

c) Pikian kelompok.

d) Memerlukan pelatihan.

e) kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru.

f) Kesulitan koordinasi.

4. Tonggak-tonggak keberhasilan MBS:

a. Pemerataan pendidikan (kesamaan kesempatan

antara siswa-siswa baik desa maupun kota, miskin

maupun kaya, laki-laki maupun perempuan, dsb).

b. Kualitas pendidikan (input, proses, output).

c. Efektifitas dan efisiensi pendidikan (angka kenaikan

kelas, angka kelulusan, angka putus sekolah, dsb).

d. Tata pengelolaan sekolah yang baik (good

goverment)

B.  Saran

Kunci keberhasilan MBS merupakan tanggung jawab

semua pihak sekolah beserta seluruh stakeholders. Untuk itu,

semua pihak sekolah dan pihak stakeholdes diharapkan

dapat mengemban tanggung jawabnya masing-masing sesuai

dengan perannya, sehingga dapat mewujudkan tercapainya

kebehasilan suatu program MBS yang telah dicanangkan.

24

DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip

Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta.

25

Buchari, Alma. 2008. Manajemen Corporate & Strategi

Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima.

Bandung: Alpabeta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis

Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (teori, model, dan

aplikasi). Jakarta: PT Gramedia Widiasara Indonesia.

Isjoni. 2006. Membangun Visi Bersama, As[ek-aspek Penting

dalam Reformasi Pendidikan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.\

Sudjanto, Bedjo. 2009. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah

Model Pengelolaan Sekolah di Era Otonomi Daerah. Jakarta:

Sagung seto

Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar

Pendidikan. No 1 Tahun X April 1991. Bandung: IKIP.

Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan

Keadilan. Yogyakarta:Insist Press. Cindelaras. Pustaka Pelajar.

26