Makalah Pbl Blok 16 n
description
Transcript of Makalah Pbl Blok 16 n
Tinjauan Pustaka
Keluhan Nyeri Ulu Hati yang Hilang Timbul Terkait dengan
Dispepsia
Tania Angela*
10-2011-234
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
*Alamat Korespendensi:
Tania Angela
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected]
Pendahuluan
Sistem pencernaan merupakan sistem terpenting dalam tubuh manusia. Sistem ini berfungsi
untuk melakukan pemecahan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia dari yang
kompleks menjadi bagian-bagian kecil, yang dapat diserap tubuh dan berguna untuk
kelangsungan hidup manusia sendiri.
Sistem pencernaan terdiri dari beberapa organ penting seperti, esofagus, lambung, usus, dan
lain sebagainya yang. Akan tetapi sistem pencernaan tersebut sangat rentan terkena gangguan-
gangguan yang ada, salah satunya adalah dispepsia. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka ini dibuat
untuk memberikan informasi tentang arti dispepsia, jenis dispepsia, penanganan, dan masih
banyak lagi.
1
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis) dan dengan keluarga
pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan
wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan
pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu
penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan anamnesis
yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.1
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai kemampuan
untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk
mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya mencakup
semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan akurat
berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh. Pada kasus
dispepsia anamnesis dangat dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis. Data yang
dikumpulkan dalam mengenai anamnesis berupa identitas seperti nama, umur, pekerjaan,
alamat, agama, suku, pendidikan terakhir, status pernikahan, jenis kelamin, dan lain
sebagainya. Selanjutnya, dikumpulkan data-data lain sebagai berikut.1,2
2
1. Keluhan utama dan sejak kapan keluhan tersebut
Berisi hal tentang apa yang membuat pasien datang kepada dokter.
2. Riwayat penyakit sekarang
a. Menanyakan karakter keluhan utama
- Menanyakan lokasi nyeri, sifat dari nyeri (kualitas).
- Menanyakan apakah nyeri yang dirasakan meluas apa hanya di daerah itu saja?
- Menanyakan apakah ada rasa mual, ada muntah, kembung, ada sendawa, rasa
terbakar, rasa penuh dan rasa cepat kenyang?
b. Menanyakan perkembangan atau perburukan keluhan utama
- Apakah selama mulai sakit sampai pergi ke dokter makin membaik atau memburuk?
c. Menanyakan kemungkinan adanya faktor pencetus keluhan utama
- Menanyakan apakah rasa nyeri timbul akibat makan makanan tertentu, seperti makan
pedas, cokelat, keju?
d. Menanyakan keluhan-keluhan penyerta
- Menanyakan apakah ada rasa lelah dan penurunan berat badan?
- Menanyakan bagaimana keadaan pada waktu buang air besar, apakah ada lendir atau
darah, atau encer?
3. Riwayat penyakit dahulu
- Dahulu apakah pernah mengalami sakit yang serupa seperti ini?
- Menanyakan apakah ada riwayat operasi lambung?
- Apakah ada alergi terhadap obat, makanan dan lain-lain?
- Menanyakan apakah ada konsumsi obat untuk menghilangkan nyeri, berapa lama
mengkonsumsi obat tersebut?
3
4. Riwayat pribadi
- Menanyakan riwayat kebersihan pada diri sendiri.
- Menanyakan kebiasaan merokok atau minum alkohol.
- Menanyakan apakah pernah ada konsumsi obat-obatan terlarang secara halus.
5. Riwayat sosial
- Menanyakan lingkungan tempat tinggal, bersih atau tidak, padat atau tidak.
6. Riwayat Keluarga
- Apakah dalam anggota keluarga juga ada yang mengalami kejadian yang serupa?
Pemeriksaaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan hal yang harus dilakukan ketika pasien dateng menemui dokter.
Pemeriksaan fisik ini meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital (suhu, denyut nadi, tekanan
darah, frekuensi pernapasan), inspeksi (melihat), palpasi (meraba), perkusi (mengetuk), serta
auskultasi (mendengarkan).3
Pada kasus yang berhubungan dengan gastroenterologi, pemeriksaan fisik dilakukan secara
lengkap. Pemeriksaan fisik dilakukan secara umum mengenai nyeri abdomen (nyeri pada
bagian rongga perut dan sekitarnya). Pertama dari pemeriksaan tanda-tanda vital tubuh. Lalu,
dilanjutkan dengan inpeksi pada saat pasien pertama kali masuk pada ruang periksa dilihat
keadaannya apakah tampak lemas, menahan rasa sakit, dan dilihat apakah ada tanda anemia.
Pada bagian abdomen dilihat apakah ada distensi, benjolan, lesi kulit, asites dan vena
kolateral.2,3
Setelah inpeksi, dilakukan palpasi pada bagian perut dirasakan apakah ada massa, nyeri tekan
pada bagian abdomen dan sekitarnya, dan pembesaran organ. Lalu, dilakukan perkusi untuk
mendengar perubahan bunyi yang terjadi pada bagian abdomen. Perkusi juga dapat
menentukan adanya asites atau pembesaran organ hati. Pada bagian akhir dilakukan auskultasi
untuk mendengarkan bunyi bising usus (normal atau abnormal).2,4
4
Pada kasus dispepsia terutama bagian gastritis, pemeriksaan fisik tidak terlalu memberikan
gambaran yang khas untuk menegakkan diagnosis.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan penyakit traktus gastrointestinal adalah sebagai
berikut.4
- Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, analisa feses, dan lain lain.
- Endoskopi.
- Radiologi : foto OMD.
- USG abdomen.
- Histopatologi.
- Tes fungsi usus: manometri, elektrogastrografi.
Pada kasus dispepsia, pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah tes darah berupa
penghitungan darah lengkap dan LED normal untuk membantu menyingkirkan kelainan
serius. Selain itu, tes darah juga dapat menentukan adanya anemia dan jenis anemia.
Selanjutnya adalah endoskopi SCBA dan biopsi histopatologi. Terkadang digunakan juga
pemeriksaan radiologi dan menggunakan kontras barium, namun pemeriksaan ini tidak terlalu
menunjukan hasil spesifik.3,4
Diagnosis
Diagnosis dibagi menjadi dua, yaitu diagnosis kerja dan diagnosis banding. Diagnosis kerja
adalah diagnosis penyakit yang memiliki tanda-tanda klinis sesuai dengan suatu penyakit.
Diagnosis banding adalah kemungkinan diagnosis penyakit lain yang memiliki gejala klinis
yang mirip dengan diagnosis kerja. Dalam menentukan diagnosis, teori sangat diperlukan
untuk memahami pembuatan diagnosis. Bisa saja, diagnosis kerja yang ditentukan ternyata
salah melainkan salah satu diagnosis banding merupakan penyakit yang tepat. Pada akhirnya
diagnosis banding itulah yang akan menjadi diagnosis kerja.5
5
Pada kasus pasien 55 tahun dengan keluhan nyeri ulu hati yang hilang timbul selama satu
tahun, dengan riwayat penggunaan obat penahan rasa sakit selama dua tahun, serta didapatkan
tanda anemia dan riwayat tinja hitam disangkal memiliki diagnosis yaitu dispepsia. Dispepsia
merupakan kumpulan gejala atau perasaan tidak nyaman yang terdiri dari rasa nyeri di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan
rasa panas yang menjalar di dada.4,6
Jika hanya membahas dispepsia, tentu hal ini sangat luas. Dispepsia yang belum diinvestigasi
dinamakan uninvestigated dyspepsia (UD). Keluhan keluhan yang ada disertai dengan
pemeriksaan penunjang akan membawa UD menjadi jenis dispepsia lain seperti dispepsia
organik dan dispepsia fungsional. Bila didapatkan tanda-tanda alarm, yaitu mual muntah yang
tidak sembuh dengan terapi lazim, terapi empiris gagal, anemia, melena, hematemesis,
penurunan berat badan yang signifikan, maka investigasi berupa pemeriksaan laboratorium,
radiologi, dan endoskopi harus dijalankan. Namun, bila tidak ditemukan tanda alarm, maka
tidak perlu melakukan pemeriksaan penunjang. Pasien dapat diterapi secara empiris terlebih
dahulu. Akan tetapi, jika terapi empiris gagal dan pasien tidak merasakan perbaikan itu sudah
merupakan tanda alarm dan investigasi lanjut harus dilakukan.4
Setelah investigasi dilakukan dan ternyata ditemukan kelainan organik dalam tubuh seperti
gastritis, ulkus peptikum, karsinoma gaster, penyakit hepato-pankreato-bilier, infark jantung,
diabetes, gagal ginjal, dan efek samping obat seperti Obat Anti Inflamasi non Steroid
(OAINS), teofilin, antibiotik, aspirin, maka UD dapat berubah menjadi dispepsia organik.
Akan tetapi, jika tidak ditemukan kelainan maka dispepsia fungsional dapat ditegakkan.4
Beberapa diagnosis banding yang sesuai dengan keluhan yang sudah disebutkan di atas adalah
sebagai berikut.4
a. Dispepsia Organik et causa Gastritis (Gastropati OAINS).
Gastritis merupakan inflamasi pada mukosa lambung. Klasifikasi gastritis dibuat
berdasarkan manifestasi klinis (akut atau kronik) dan gambaran histopatologi. Gastritis
akut sering disebabkan oleh infeksi. Baik infeksi bakteri Haemophilus pylori akut,
bakteri-bakteri lain selain Haemophilus pylori, virus, fungi, alkohol,dan penyakit
seperti HIV-AIDS. Gambaran histopatologi ditemukan adanya infiltrasi neutrofil
dengan edema dan hiperemia.
6
Gastritis kronis menunjukkan adanya dominasi limfosit dan sel plasma pada gambaran
histopatologinya. Progres dari gastritis kronis adalah atrofi dan metaplasia. Penyebab
tersering adalah bakteri Haemophilus pylori kronik dan OAINS. Obat seperti aspirin
(analgetik antipiretik) dan OAINS memiliki efek toksik langsung terhadap mukosa
gaster dan memiliki efek samping menurunkan prostaglandin endogen mukosa yang
bersifat proteksi mukosa lambung. Gejala klinik biasanya asimptomatik akan tetapi
bermanifestasi sebagai sindrom dispepsia, terutama rasa nyeri pada ulu hati. Gastritis
kronik akibat OAINS disebut sebagai gastropati OAINS.
b. Dispepsia Organik et causa Ulkus Peptik.
Ulkus peptik merupakan defek berukuran diatas 5mm, kedalaman mencapai lapisan
submukosa. Ulkus peptik berbatas tegas, dapat menembus muskularis mukosa sampai
lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Ulkus peptik terdiri dari ulkus lambung
dan ulkus duodenum. Ulkus peptik dipengaruhi oleh faktor agresif dan faktor defensif.
Faktor agresif yang utama adalah Haemophilus pylori dan OAINS. Selain itu,
pengaruh rokok, stres, malnutrisi, diet tinggi garam, defisiensi vitamin, genetik juga
berperan. Sedangkan faktor defensif terdiri dari preepitel, epitel, dan subepitel. Gejala
klinis yang didapatkan juga sesuai dengan sindrom dispepsia akan tetapi pada ulkus
peptik keluhan nyeri ulu hati dan muntah lebih menonjol. Nyeri epigastrik pada tukak
duodeni biasanya menghilang setelah makan atau pemberian antasida. Pada tukak
gaster, nyeri biasanya tidak hilang setelah makan. Tukak akibat OAINS biasanya
asimptomatik.
c. Dispepsia Fungsional.
Kriteria diagnostik yang mendefinisikan sebagai dispepsia fungsional adalah
setidaknya selama tiga bulan, mulainya paling tidak sudah enam bulan, dengan salah
satu atau lebih gejala nyeri epigastrik, cepat kenyang, rasa perih, dan rasa terbakar di
epigastrium, serta tidak ditemukan kelainan struktural-biokimiawi, termasuk setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang. Keluhan klinis utama adalah nyeri epigastrik, cepat
kenyang, rasa penuh, dan rasa terbakar di epigastrium. Penyebab dispepsia fungsional
hingga kini belum jelas. Beberapa negara menyebutkan bahwa faktor diet berpengaruh
akan tetapi beberapa negara lainnya tidak menemukan relavansinya.
7
Berdasarkan beberapa diagnosis banding yang sebelumnya sudah disebutkan, menurut kasus
yang ada. Diagnosis kerjanya adalah dispepsia organik et causa gastropati OAINS. Karena,
pasien memiliki tanda alarm yaitu anemia. Lalu, terdapat riwayat penggunaan obat penghilang
rasa sakit dua tahun yang lalu yang diminum hampir tiap hari. Obat tersebut menyebabkan
inflamasi pada mukosa karena menurunkan prostaglandin endogen yang berfungsi sebagai
proteksi mukosa lambung. OAINS memiliki efek samping mengiritasi saluran cerna. Selain
gastropati OAINS pasien juga menderita anemia. Jenis anemia yang di derita adalah anemia
defisiensi besi (anemia mikrositik hipokromik). Anemia ini merupakan anemia dengan ciri
ukuran sel darah merah lebih kecil dari ukuran normal dan bewarna coklat, yang disebabkan
kekurangan ion Fe (besi) sebagai komponen hemoglobin dan merupakan anemia yang paling
sering ditemukan karena tidak disebabkan kehilangan darah yang nyata dan akut. Manifestasi
anemia defisiensi besi terjadi secara perlahan-lahan, dan penderita memperlihatkan gejala-
gejala gangguan primer dan bukan gejala dari anemia itu sendiri. Pada pemeriksaan yang teliti
yang berhubungan dengan gejala dispepsia, dapat ditemukan anemia defisiensi besi.7
Pemilihan diagnosis banding dispepsia fungsional didasarkan pada pemeriksaan bahwa
riwayat buang air besar hitam disangkal (kemungkinan tidak ditemukan kelainan organik pada
tubuh pasien). Selain itu, belum ada hasil pemeriksaan penunjang yang membuktikan adanya
kelainan organik pada organ pasien tersebut. Selanjutnya, mengenai diagnosis ulkus peptik
juga dapat dipakai karena OAINS juga dapat menyebabkan ulkus peptik. Akan tetapi, belum
juga ada hasil pemeriksaan penunjang yang menunjukan adanya ulkus pada gaster atau
duodenum dari pasien.
Etiologi
Penyebab gastropati OAINS adalah obat-obatan penahan rasa sakit seperti aspirin yang
merupakan analgesik antipiretik dan juga OAINS itu sendiri. Karena, kedua obat ini memiliki
efek toksik langsung terhadap mukosa gaster, dan memiliki efek menurunkan prostaglandin
endogen mukosa yang bersifat protektif.4
Beberapa penyebab dispepsia secara umum (bukan gastropati OAINS) adalah sebagai berikut.
1.Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
8
3.Iritasi lambung (gastritis)
4.Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis
5.Kanker lambung
6.Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
7.Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
8.Kelainan gerakan usus
9.Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
10.Infeksi Helicobacter pylori
Epidemiologi
Dispepsia dialami sekitar 20-30 persen populasi didunia setiap tahunnya. Data depkes tahun
2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat
inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3 persen, Dispepsia yang oleh orang awam
sering disebut dengan sakit maag merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari-
hari. Sebagai contoh dalam masyarakat di negara barat, dispesia dialami sedikitnya oleh 25
persen populasi. Di negara Asia belum banyak data mengenai dispepsia, tetapi diperkirakan
dialami sedikitnya 20 persen dalam populasi umum.
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit
dispepsia. Penyakit dispepsia ini tidak mengenal batasan usia, muda maupun tua sama saja. Di
Indonesia sendiri survei mengatakan bahwa pada tahun 2001, dispepsia terdapat kurang lebih
50 persen dari 93 persen pasien yang diteliti. Cenderung banyak orang tidak peduli dengan
dispepsia. Banyak orang yang sudah merasakan perasaan yang tidak nyaman pada daerah
lambung tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera pergi berkonsultasi
ke dokter.
Untuk gastropati OAINS faktor resiko adalah orang-orang yang usianya diatas 60 tahun,
memiliki riwayat pernah menderita tukak, digunakan OAINS bersama dengan steroid,
memiliki riwayat penggunaan OAINS dosis tinggi, menderita penyakit sistemik berat,
merokok, dan meminum alkohol.9
Patofisiologi
Efek samping obat anti inflamasi non steroid (OAINS) pada saluran cerna tidak terbatas pada
lambung. Efek samping pada lambung memang paling sering terjadi. OAINS merusak
mukosa lambung melalui dua mekanisme, yaitu topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa
secara topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah
trapping ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. (buku ipd. Papdi)
Efek sistemik OAINS tampaknya lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat
produksi prostaglandin menurun, OAINS secara bermakna menekan pembentukan
prostaglandin. Prostaglandin diproduksi melalui dua jalur yaitu jalur Cox1 dan jalur Cox2.
Seperti yang diketahui, prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif (yang berasal dari
Cox1) yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoprotektif itu dilakukan dengan cara
menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat, dan
meningkatkan ephitelial defense. Prostaglandin yang dibentuk dari jalur Cox2 menimbulkan
inflamasi, nyeri, dan demam, sehingga OAINS yang selektif menghambat Cox2 relatif lebih
aman digunakan. Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrolit pada
endotel pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis. Radikal bebas
dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut akan merusak mukosa
lambung.
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi akibat dari gastropati OAINS adalah perdarahan akibat dari
deskuamasi mukosa gaster yang berujung pada pembentukan ulkus (luka) pada gaster.
Komplikasi akibat ulkus tersebut juga dapat mengakibatkan perforasi dengan peritonitis.
Komplikasi paling berat adalah terjadi degenerasi sel-sel mukosa gaster menjadi suatu tumor
ganas yang berujung menjadi karsinoma.
10
Penatalaksaan
Penatalaksanaan Non Medika Mentosa
Pada penatalakasanaan non medika mentosa, Pasien dapat diberikan edukasi dan pengarahan
agar sebisa mungkin menghindari makanan-makanan yang dapat meningkatkan asam
lambung. Kemudian, selain menghindari makanan merangsang asam lambung yang terutama
dan terpenting adalah pasien harus menghindari faktor resiko terjadinya dispepsia seperti
alkohol, makanan-makanan yang pedas, obat-obatan yang berlebihan terutama golongan
OAINS (jika memang harus mengkonsumsi OAINS pilih jenis Cox2), nikotin pada rokok,
dan stres fisik dan mental. Selain itu dapat juga di edukasi pada pasien seputar pola makan
yang teratur dan pasien harus mengatur porsi dan pola makan dari makanan yang dimakannya
sehari-hari.
Penatalaksanaan Medika Mentosa
Pengobatan gastropati OAINS dapat diberikan obat golongan sebagai berikut.
Antasida
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasi akan menetralisir sekresi asam lambung.
Antasid biasanya mengandung Na-bikarbonat, Al(OH)3, Mg (OH)2, dan magnesium triksilat.
Pemberian antasid jangan terus menerus, sifatnya hanya simptomatis untuk mengurangi rasa
nyeri
Anatgonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti
tukak peptik, obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin,
famotidin, roksatidin, ranitidin, dan sebagainya.
Pengahambat pompa asam (PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi
asam lambung. Obat-obat yang termasuk dalam golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, misoprostol, dan sebagainya.
11
Prognosis
Penyakit gastropati OAINS memiliki prognosis yang baik jika ditangani secara cepat dan
tepat, sebelum terjadinya komplikasi yang berbahaya.
Kesimpulan
Sistem pencernaan merupakan sistem penting yang rentan mengalami gangguan, salah
satunya adalah dispepsia. Sesuai dengan kasus yang ada yaitu pasien 55 tahun yang
mengalami keluhan nyeri ulu hati, hilang timbul selama satu tahun dengan riwayat penyakit
dahulu konsumsi obat penahan rasa sakit selama dua tahun, ditemukan ada tanda anemia dan
riwayat buang air besar hitam disangkal, pasien ini mengalami dispepsia et causa gastropati
Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS).
12
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.10-1,66-7.
2. Swartz MH. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2003.h.263-277.
3. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2003.h.42-5.
4. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas
Kedokteran UKRIDA; 2013.h.25-33.
5. Hardjodisastro D. Menuju seni ilmu kedokteran. Edisi ke-6. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama; 2006.h.55.
6. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2006.h.24-5.
7. Delp, Manning. Major diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2006.h.282.
8.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibirata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.h.509-
12. (diagnosis )
Hirmawan S. Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011.h.200. (komplikasi)
13