Laporan Tutorial Kelompok 3, Skenario 1

download Laporan Tutorial Kelompok 3, Skenario 1

of 33

Transcript of Laporan Tutorial Kelompok 3, Skenario 1

KELAINAN CONGENITAL SKELETAL DAN MALOKLUSILAPORAN TUTORIAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Tutorial Blok Penyakit Dentomaksilofasial II Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

Disusun oleh: Kelompok Tutorial III

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2009

DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK Tutor Ketua : drg. Rina Sutjiati, M. Kes : Muhammad Iqbal (081610101103) (081610101101)

Scriber Meja : Ayu Novita Raga Anggota 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. :

Scriber Papan: Dian Rosita Rahman (081610101104) Eko Mukti Wahyu Shintya V Megen Mekhanzie Ira Lahfatul M Islachul Lailiyah Lusi Nirmalawati Ulil Rachima P Ethica Aurora S Nur Baiti Dwi M (081610101003) (081610101011) (081610101028) (081610101035) (081610101037) (081610101048) (081610101054) (081610101056) (081610101062) (081610101065) (081610101089) (081610101090)

10. Sukma Surya Putri 11. Sayyidatu A 12. Erwin Indra Kusuma

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan ini, tentang Kelainan Congenital Skeletal dan Maloklusi. Laporan ini disusun untuk memenuhi hasil diskusi tutorial kelompok III pada skenario pertama. Penulisan makalah ini semuanya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada : 1. drg. Rina Sutjiati, M. Kes. selaku tutor yang telah membimbing jalannya diskusi tutorial kelompok III Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember dan yang telah memberi masukan yang membantu, bagi pengembangan ilmu yang telah didapatkan. 2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini. Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikanperbaikan di masa mendatang demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat berguna bagi kita semua.

Jember, Oktober 2009

Tim Penyusun

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL......................................................................................... DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK..................... KATA PENGANTAR....................................................................................... i ii iii

DAFTAR ISI....... iv BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan....................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 1 1.3 Mapping Permasalahan................................................................................. 1.4 Tujuan Permasalahan.................................................... BAB II. PEMBAHASAN 2.1 Etiologi Celah Bibir, Celah Palatum dan Maloklusi......3 2.1.1 Celah Bibir (Labiochisis) dan Celah Palatum (Palatochisis)..3 2.1.2 Maloklusi....7 2.2 Patogenesis Celah Bibir, Celah Palatum dan Maloklusi..13 2.2.1 Patogenesis Celah Bibir13 2.2.2 Patogenesis Celah Palatum...14 2.3 Klasifikasi serta Gambaran Klinis dari Celah Bibir, Celah Palatum, dan Maloklusi.16 2.3.1 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Celah Bibir...16 2.3.2 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Celah Palatum..17 2.3.3 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Maloklusi.17 2.4 Pemeriksaan Kelainan Congenital Skeletal dan Maloklusi.....19 2.4.1 Pemeriksaan Kelainan Congenital Skeletal......19 2.4.2 Pemeriksaan pada Maloklusi22 2.5 Hubungan antara Celah Bibir-Celah Palatum, dengan Maloklusi...22 2 2

2.6 Macam-Macam Kelainan Congenital Skeletal pada Regio Kraniofasial.24 BAB III. KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan.27 3.2 Saran...27 DAFTAR PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Kehamilan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh pasangan yang baru menikah. Namun, ada kalanya kehamilan tersebut tidak normal, misalnya saja mengalami kelainan bawaan (congenital). Kelainan congenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Pada regio kraniofasial, kelainan yang umum terjadi yaitu terdapatnya celah baik pada bibir, paltum, bahkan hidung. Hal tersebut diaplikasikan dalam skenario berikut : Anak usia 7 tahun terdapat kelainan bawaan berupa celah pada bibir atas seperti terlihat pada gambar. Cacat ini ditemukan sejak lahir. Oleh karena kelainan tersebut, anak mengalami kesulitan untuk makan dan minum karena sering tersedak. Pada pemeriksaan juga ditemukan celah palatum. Terdapat maloklusi yang termasuk klasifikasi Angle klas II, gigi berdesakan, dan diastema. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana etiologi dari celah palatum, celah bibir dan maloklusi? 2. Bagaimana patogenesis dan gambaran klinis dari celah palate, celah bibir dan maloklusi ? 3. Bagaimana klasifikasi dari celah palate, celah bibir dan maloklusi ? 4. Bagaimana pemeriksaan kelainan congenital skeletal dan maloklusi? 5. Bagaimana hubungan antara celah bibir dan maloklusi ? 6. Apa saja kelainan kongenital skeletal pada regio kraniofasial ?

1.3 Mapping Permasalahan Kelainan Kongenital Skeletal dan Maloklusi

Etiologi Celah Bibir

Patogenesis

Genetika

Celah Palatum

Maloklusi

Lingkungan Klasifikasi Pemeriksaan Laboratoris Radiologi Gejala Klinis

1.4 Tujuan Permasalahan 1. Mengetahui etiologi dari celah palatum, celah bibir dan maloklusi. 2. Mengetahui patogenesis dari celah palate, celah bibir dan maloklusi. 3. Mengetahui klasifikasi dari celah palate, celah bibir dan maloklusi. 4. Mengetahui pemeriksaan kelainan congenital skeletal dan maloklusi. 5. Mengetahui hubungan antara celah bibir dan maloklusi. 6. Mengetahui macam-macam kelainan kongenital skeletal pada regio kraniofasial.

BAB II. PEMBAHASAN 2.1 Etiologi Celah Bibir, Celah Palatum dan Maloklusi 2.1.1 Celah Bibir ( Labiochisis ) dan Celah Palatum ( Palatochisis ) Merupakan kelainan kongenital yang sering kali menyebabkan menurunnya fungsi bicara, pengunyahan, dan penelanan yang sangat berat. Seringkali terjadi peningkatan prevalensi ganguan yang berhubungan dengan malformasi kongenital seperti ketidakmampuan bicara sekunder serta menurunnya fungsi pendengaran. (Sudiono, Janti. 2008: 5) Menurut Smith dan Johnson, celah bibir terjadi pada 1 : 1000 kelahiran pada orang kulit putih sedangkan pada orang kulit hitam 1 : 788 kelahiran. Di Jerman bagian selatan dan Denmark terjadi pada 1 : 600-700 kelahiran. Fogh anderson menemukan bahwa di Denmark terdapat 20% celah bibir dan langitlangit serta 25% hanya celah langit-langit. Selain itu celah wajah lebih banyak pada laki-laki (63%) daipada wanita (37%). Juga dikatakan bahwa terjadinya celah pada wajah sebelah kiri lebih sering daripada celah pada wajah sebelah kanan. Penyebab celah bibir tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus celah bibir dapat dijelaskan dengan hipotesis multifaktor. Teori multifaktor yang diturunkan menyatakan bahwa gen-gen yang beresiko berinteraksi satu dengan lainnya dan dengan lingkungan, menyebabkan cacat pada perkembangan janin. (Sudiono, Janti. 2008: 6). Secara garis besar, faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya celah bibir dibagi dalam 2 kelompok, yaitu : 1. Herediter Brophy (1971) beberapa kasus anggota keluarga yang mempunyai kelainan wajah dan palatal yang terdapat pada beberapa generasi. Kelainan ini tidak selalu serupa, tetapi bervariasi antara celah bibir unilateral dan bilateral. Pada beberapa contoh, tampaknya mengikuti Hukum Mendel dan pada kasus lainnya distribusi kelainan itu tidak beraturan.

Schroder mengatakan bahwa 75% dari factor keturunan yang menimbulkan celah bibir adalah resesif dan hanya 25% bersifat dominan. Patten mengatakan bahwa pola penurunan herediter adalah sebagai berikut : a. Mutasi gen Kelainan genetic atau kromosom pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan congenital pada anaknya. Diantara kelainan kelainan ini ada yang mengikuti hokum mendel biasa, tetapi ada juga diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsure dominan (dominant traits) atau kadang kadang sebagai unsure resessif. Pada penderita kelainan celah bibir terjadi trisomi 13/sindroma pataw dimana ada 3 untai kromosom pada 13 sel setiap penderita. Pola pola pewarisan geetik antara lain : i. Autosom dominan Jika suatu kelainan atau penyakit timbul hanya terdapat 1 gen yang cacat dari salah satu orang tuanya. ii. Autosom resesif Jika untuk terjadinya suatu kelainan bawaan diperlukan 2 gen yang masing masing berasal dari kedua orang tuanya. iii. X-linked Jika seorang anak laki laki mendapatkan kelainan dari gen yang berasal dari ibunya, maka keadaan ini disebut x-linked, karena gen tersebut dibawa oleh kromosom X. b. Kelainan kromosom Celah bibir terjadi sebagai suatu expresi bermacam-macam sindroma akibat penyimpangan dari kromosom, misalnya Trisomi 13 (patau), Trisomi 15, Trisomi 18 (edwars) dan Trisomi 21. 2. Faktor lingkungan a. Faktor usia ibu Dengan bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula resiko dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan menyebabkan bayi dengan kehamilan trisomi

Wanita dilahirkan dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak memproduksi gamet-gamet baru selama hidupnya. Jika seorang wanita umur 35tahun maka sel-sel telurnya juga berusia 35 tahun Resiko mengandung anak dengan cacat bawaan tidak bertambah besar sesuai dengan bertambahnya usia ibu b. Hormonal Etiologi hormonal diduga mempunyai hubungan pula denhan kejadian kelainan congenital. Pada bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan bayi yang normal. c. Obat-obatan Obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit ibu, tetapi hampir selalu janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat. Penggunaan asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan trimeseter pertama dapat menyebabkan terjadinya celah bibir. Beberapa obat yang tidak boleh dikonsumsi rifampisin, fenasetin, sulfonamide, aminoglikosid, indometasin, asam flufetamat, ibu profen dan penisilamin, diazepam, kortikosteroid. Beberapa obat antihistamin yang digunakan sebagai antiemetik selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya d. Nutrisi Insidensi kasus celah bibir dan celah langit-langit lebih tinggi pada masyarakat golongan ekonomi kebawah penyebabnya diduga adalah kekurangan nutrisi. e. Gizi Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen, tapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik. Salah satu zat celah langit-langit. Obat-obat antineoplastik terbukti menyebabkan cacat ini pada binatang

yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat. Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf, maka dari itu sebaiknya wanita hamil mengkonsumsi asam folat sebanyak 400 mikrogram/hari. Pada manusia, pada penelitian menunjukkan bahwa frekuensi kelainan congenital pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi lebih tinggi daripada bayi yang dilahirkan dengan indeks mengkonsumsi makanan yang mengandung gizi yang baik. f. Daya pembentukan embrio menurun Celah bibir sering ditemukan pada anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang mempunyai anak banyak g. Penyakit infeksi Penyakit sifilis dan virus rubella dapat menyebabkan terjadinya cleft lips dan cleft palate h. Radiasi Efek teratogenik sinar pengion telah diakui dan diketahui dapat mengakibatkan timbulnya celah bibir dan celah langit-langit. Efek genetic yaitu yang mengenai alat reproduksi yang akibatnya diturunkan pada generasi selanjutnya, dapat terjadi bila dosis penyinaran tidak menyebabkan kemandulan. Efek genetic tidak mengenal ambang dosis. Teratogenik merupakan bahan yang bisa menyebabkan atau meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan. Contohnya radiasi, obat obat tertentu yanbg biasanya digunakan oleh ibu hamil, racun, merokok, infeksi juga termasuk dalam teratogenik karena selama ini infeksi pada wanita hamil biasanya karena virus yang mengeluarkan toksik atau racun dll. i. Stress Emosional Korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebih Pada binatang percobaan telah terbukti bahwa pemberian hidrokortison yang meningkat pada keadaan hamil menyebabkan cleft lips dan cleft palate

j. Trauma Celah bibir bukan hanya menyebabkan gangguan estetika wajah, tetapi juga dapat menyebabkan kesukaran dalam berbicara, menelan, pendengaran dan gangguan psikologis penderita beserta orang tuanya. Permasalahan terutama terletak pada pemberian minum, pengawasan gizi dan infeksi. Salah satu penyebab trauma adalah kecelakaan atau benturan pada saat hamil minggu kelima. k. Mekanik Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterine dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ. Contoh : deformitas organ pada kaki. l. Faktor fisik rahim Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang fungsinya sebagai pelindung terhadap cedera. Apabila jumlah cairan ketuban kurang maka akan mempengaruhi pertumbuhan paru paru, anggota gerak dan system ekskresi. Dan apabila kelebihan cairan ketuban maka akan menyebabkan gangguan penelanan. 2.1.2 Maloklusi Maloklusi merupakan masalah pertumbuban dan perkembangan yang disebabkan oleh penyimpangan pertumbuban dentofasial. Keadaan ini terjadi pada awal pertumbuhan atau saat proses pematangan selanjutnya. Dipengaruhi oleh faktor umum serta faktor lokal. A. Faktor Umum Herediter Lundstorm, meneliti pada anak kembar dan menemukan ciri-ciri yang sama berhubungan dengan keturunan, yaitu: a. ukuran gigi b. panjang dan lebar lengkung c. gigi berdesakan dan diastema d. overjet

Faktor keturunan juga berperan pada keadaan-keadaan sebagai berikut ini: a. kelainan kongenital b. asimetri muka c. macrognatia dan micrognatia d. oligodonti dan anodonti e. variasi ukuran gigi f. cleft palate dan harelip g. frenulum h. deep overbite i. gigi berdesakan dan rotasi j. retrusi mandibula k. prognansi mandibula Pada ras yang berbeda memiliki bentuk kepala yang berbeda. Pada individu dengan bentuk muka yang lebar memiliki bentuk lengkung rahang yang lebar pula, demikian juga pada bentuk muka sempit terdapat lengkung rahang yang sempit pula. Kelaianan kongenital Kelainan kongenital sangat berhubungan dengan keturunan. Contoh kelainan kongenital: celah palatum dan celah bibir. Pada unilateral celah gigi-gigi ada daerah/sisi celah ters tetapi biasanya terdapat cross bite, gigi rahang atas malposisi, gigi insisiv lateral mungkin missing tau bentuknya tidak normal. Contoh lain: cerebral palsy, torticollis, cleidocranial dysostosis, dan syphilis congenital. Lingkungan a. Lingkungan prenatal Posisi abnormal pada fetus dapat menyebabkan cacat cranial atau simetri muka. Diet dan metabolism ibu dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan. Obat-obatan, trauma dan German Measles, menyebabkan kelainan kongenital dan maloklusi.

b. Lingkungan postnatal Proses kelahiran dengan forceps, kecelakaan, jatuh yang mengakibatkan fraktur pada kondil dapat menyebabkan asimetri muka. Luka bakar juga dapat menyebabkan maloklusi. Gangguan metabolisme Exanthematous fevers, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan gigi, yaitu dapat mempengaruhi waktu erupsi, resorbsi dan tanggal premature. Penyakit-penyakit dengan gangguan fungsi otot seperti dystrophy otot dan serebral palsy, dapat menyebabkan efek pada lengkung gigi. Penyakit dengan efek paralysis seperti poliomyelitis juga dapat menyebabkan maloklusi, yaitu dapat menyebabkan anteroposterior discrepancy. Problema diet Gangguan seperti penyakit rickets, scurvy dan beri-beri dapat menyebabkan maloklusi ringan. Problema utamanya adalah terjadi gangguan waktu pertumbuhan gigi, yaitu akan terjadi tanggal premature, erupsi gigi permanen yang lama, kesehatan jaringan yang buruk dan pola erupsi yang abnormal yang dapat menimbulkan maloklusi. Cronic alcoholism dan gangguan metabolisme yang menyebabkan penggunaan zat-zat esensial oleh tubuh terganggu, yang menyebabkan terjadi malnutrisi. Kebiasaan jelek (abnormal pressure habits) Tulang merupakan jaringan yang responsive terhadap tekanan. Peranan otot sangat menentukan. Bila terjadi malrelasi RA dan RB fungsi normal otot terganggu, akan terjadi aktivitas adaptasi dari otot-otot. Gangguan kseimbangan tekanan intra dan ekstra oral akan menyebabkan maloklusi. Penelanan abnormal dapat menyebabkan gigi anterior terbuka dan gigi anterior terdorong ke labial. Posisi tubuh Posisi tubuh yang kurang baik dapat menimbulkan maloklusi. Posisi dimana kepala menggantung dengan dagu menempel di dada,

menyebabkan mandibula retrusi. Kepala diletakkan pada tangan, tidur pada lengan dan guling dapat menyebabkan maoloklusi. Trauma dan kecelakaan Gigi sulung non vital akibat trauma memiliki pola resorbsi abnormal dan dapat mempengaruhi gigi penggantinya. Gigi non vital harus diperiksa secara radiografi pada interval waktu tertentu untuk mengetahui resorbsi akar dan kemungkinan terjadinya infeksi apical. B. Faktor local Anomali jumlah gigi Kelainan jumlah gigi merupakan salah satu penyebab terjadinya maloklusi gigi, dibandingkan dengan faktor etiologi yang faktor ini relatif lebih jarang ditemukan karena etiologi dari adanya kelainan jumlah gigi sangat terpaut dengan adanya faktor herediter atau keturunan. Kelainan jumlah gigi secara garis besar terdiri dari: a. Kelebihan jumlah gigi Kelebihan jumlah gigi pada lengkung rahang biasanya dapat menyebabkan suatu keadaan yang crowded atau berdesakan. Frekuensi terbesar dari kelainan ini adalah adanya kelebihan jumlah gigi yang terdapat diantara kedua insisvus sentral yang biasanya disebut dengan mesiodens, gigi ini bila erupsi tepat pada sutura palatine maka akan menyebabkan terjadinya diastema sentral yang cukup besar, namun bila mesiodens erupsinya dibagian palatinal maka akan menyebabkan crowded. Terkadang ditemukan pula mesiodens yang tidak erupsi, jika terjadi hal yang demikian maka biasanya disebut dengan dentigerous cyst, apabila keberadaannya tidak mengganggu dan tidak terjadi keluhan oleh penderita maka keadaan ini dibiarkan saja. Mesiodens yang mampu erupsi terkadang memiliki bentuk dan ukuran yang tidak normal (konus). Selain mesiodens gigi syang sering mengalami kelainan kelebihan jumlah gigi dalah latordens (terdapat diantara insisivus sentral dan

insisivus lateral), para premolar (terdapat diantara gigi premolar) dan para molar (terdapat diantara gigi-gigi molar). b. Kekurangan jumlah gigi Kekurangan jumlah gigi atau hipodonsia adalah tidak tumbuhnya satu atau lebih elemen gigi yang secara normal dijumpai pada gigi geligi akibat agenesis yaitu tidak terbentuknya benih gigi. Agenesis dapat terjadi pada satu atau lebih elemen dimana bila terjadi pada beberapa gigi disebut dengan agenesis soliter (satu atau dua gigi) dan dikatakan oligodonsia bila agenesis terjadi pada multi elemen. Namun kekurangan jumlah gigi yang disebabkan oleh karena retensi (tidak dapat erupsi), ekstraksi atau trauma tidak dikategorikan dalam hipodonsia. Umumnya kelainan ini disebut dengan aginisi. Aginisi yang paling sering terjadi secara berurutan adalah molar ketiga pada rahang atas dan rahang bawah, insisivus lateral rahang atas, premolar kedua rahang bawah, insisivus lateral rahang bawah, dan terakhir premolar kedua rahang atas, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya aginisi pada gigi-gigi yang lain mengingat etiologi dari kelainan ini adalah faktor keturunan. Kekurangan jumlah gigi selain aginisi dapat juga disebabkan oleh faktor trauma sehingga gigi permanen tanggal pada usia muda, biasanya sering terjadi pada insisivus sentral rahang atas. Anomali ukuran gigi Sama dengan kelainan jumlah gigi, kelainan ukuran gigi juga disebabkan oleh faktor keturunan. Kelainan ini dapat mempengaruhi perkembangan oklusi gigi geligi karena terdapat ketidakharmonisan antara ukuran gigi dengan ukuran rahang. Secara garis besar kelainan dapat dikelompokkan menjadi: a. Makrodonsi Istilah makrodonsi dapat diartikan gigi yang ukurannya melebihi ukuran gigi normal. Kelainan ini menyebabkan kekurangan tempat

pada lengkung rahang sehingga elemen-elemen pengganti terakhir tidak dapat tumbuh pada tempat yang salah. Maloklusi yang ditimbulkan oleh kelainan ini adalah gigi geligi akan tumbuh saling berdesakan. b. Mikrodonsi Merupakan kebalikan dari makrodonsi, gigi-gigi yang mengalami mikrodonsi adalah gigi-gigi yang ukurannya lebih kecil dari normal, biasanya kelainan mikrodonsi ini diikuti oleh kelainan bentuk gigi. Maloklusi yang diakibatkan adalah diastema patologis pada daerah gigi yang mengalami mikrodonsi, bahkan apabila terjadi lebih satu gigi maka akan menyebabkan diastema multiple. Anomali bentuk gigi Kelainan ini sangat erat hubungannya dengan kelainan ukuran gigi. Frekuensi paling sering terjadi adalah insisivus sentral rahang atas dan premolar kedua rahang bawah biasanya terdapatnya extra lingual cusp. Etiologi dari kelainan ini adalah faktor keturunan dan faktor-faktor kelainan pertumbuhan misalnya delelopmental defect, amelogenesis imperfect, hipoplasia, germination dan Hutchinsons. Frenulum labial yang tinggi Frenulum labial yang tinggi pada rahang atas terkadang dapat menyebabkan malposisi dari gigi, terutama pada kedua gigi insisivus sentral. Frenulum labial pada masa bayi, normalnya mempunyai daerah perlekatan yang rendah di dekat puncak prosesus alveolaris diatas garis tengah. Pada fase geligi sulung frenulum labial sering terlihat melekat pada prosesus alveolaris diantara gigi-gigi insisisvus sentral rahang atas. Tanggal premature gigi sulung Salah satu fungsi dari gigi sulung adalah menyediakan tempat bagi gigi permanen penggantinya dan secara tidak langsung juga mempertahankan panjang lengkung geligi. Penyebab kelainan ini adalah karies dan trauma.

Letak salah benih Pada umumnya letak salah benih menyababkan erupsi gigi yang bersangkutan tidak pada lengkung yang benar. Secara klinis letak salah benih biasanya ditandai dengan adanya rotasi atau versi, dimana rotasi merupakan sumbu gigi pada arah vertical sedangkan versi adalah perputaran sumbu gigi dalam arah horizontal. Persistensi Persistensi dapat didefinisikan sebagai gigi sulung yang tidak tanggal dimana gigi permanen penggantinya sudah mulai erupsi, jadi jelas kelainan ini haya terjadi pada gigi sulung saja. Karies proksimal Karies pada daerah proksimal merupakan etiologi local dari terjadinya maloklusi karena apabila daerah proksimal mengalami karies dan tidak dirawat maka akan terjadi pergeseran gigi-gigi sebelahnya menuju daerah yang kosong dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya pemendekan lengkung rahang sehingga apabila gigi permanen pengganti telah erupsi semua akan terjadi kekurangan tempat. 2.2 Patogenesis Celah Bibir, Celah Palatum dan Maloklusi 2.2.1 Patogenesis Celah Bibir Pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Bila terdapat gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan wajah serta mulut embrio, akan timbul kelainan bawaan (congenital). Kelainan bawaan adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Salah satunya adalah celah bibir dan langit-langit. Celah bibir merupakan kegagalan bersatunya jaringan selama perkembangan. Gangguan pola normal pertumbuhan muka dalam bentuk defisiensi prosesus muka merupakan penyebab kesalahan perkembangan bibir. Karena tidak menyatunya sebagian atau seluruh proc. maksila dengan proc nasalis medialis pada satu atau kedua sisi. Sebagian besar ahli embriologi percaya bahwa

defisiensi jaringan terjadi pada semua deformitas celah sehingga stuktur anatomi normal tidak terbentuk. (Sudiono, Janti. 2008: 6) Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga celah bibir dapat terjadi terpisah dari celah palatum, meskipun keduanya dapat terjadi bersama-sama dan bervariasi dallam derajat keparahannya bergantung pada luas celah yang dapat bervariasi mulai dari lingir alveolar (alveolar ridge) sampaii ke bagian akhir dari palatum lunak. (Sudiono, Janti. 2008: 6) Celah bibir umumnya terjadi pada minggu ke 6 hingga 7 iu, sesuai dengan waktu perkembangan bibir normal dengan terjadiinya kegaggalan penetrasi dari sel mesodermal pada groove epitel di antara proc. nasalis medialis dan lateralis. (Sudiono, Janti. 2008: 7) 2.2.2 Patogenesis Celah Palatum Biasanya celah bibir dan palatum disertai kelainan bawaan lahir, misal hidrosefalus (peninggian tekanan intra-kranial), sindaktilia (jari-jari saling melekat) atau polidaktilia (jari-jari berlebih). Celah bibir dapat terjadi bilateral pada region insisif lateral dan kaninus. Lebih sering terjadi unilateral, sisi kiri lebih sering dari sisi kanan. Bila terjadi bilateral, mirip dengan bibir kelinci. Celah dapat sempurna meluas ke dasar hidung atau tidak sempurna sebagai lekukan pada bibir atas. Penyebab celah bibir dan palatum tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasusu celah bibir atau celah palatum atau keduanya dapat dijelaskan dengan hipotesis multi faktor. Teori multifaktor yang diturunkan menyatakan bahwa gen-gen yang beresiko berinteraksi satu dengan yang lainnya dan dengan lingkungan, menyebabkan cacat pada perkembangan janin. Celah bibir dan palatum merupakan kegagalan bersatunya jaringan selama perkembangan. Gangguan pola normal pertumbuhan muka dalam bentuk defisiensi prosessus muka merupakan penyebab kesalahan perkembangan bibir dan palatum. Sebagian besar ahli embriologi percaya bahwa defisiensi jaringan terjadi pada semua deformitas celah sehingga struktur anatomi normal tidak terbentuk.

Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga celah bibir dapat terjadi terpisah dari celah palatum, meskipun keduanya dapat terjadi bersama-sama dan bervariasi dalam derajat keparahannya bergantung pada luas celah yang dapat bervariasi mulai dari lingir alveolar (alveolar ridge) sampai ke bagian akhir dari palatum lunak. Variasi dapat pula dimulai dari takik ringan pada sudut mulut atau bifid uvula sampai deformitas berat berupa celah bibir yang meluas ke tulang alveolar dan seluruh palatum secara bilateral. Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari deviasi rangkaian perkembangan palatum yang dimulai pada minggu ke-8 pada regio premaksila dan berakhir pada minggu ke-12 pada uvula di palatum lunak. Jadi, jika faktor penyebab bekerja pada minggu ke-8, celah akan terjadi lebih ke posterior dan juga anteriop termasuk alveolus, palatum keras dan palatum lunak, serta uvula, membentuk cacat yang serius. Sebaliknya, jika penyebab bekerja dekat akhir periode perkembangan (minggu ke-11), celah yang terlihat hanya pada palatum lunak bagian posterior, menyebabkan terjadinya celah sebagian atau hanya pada uvula sebagai cacat ringan tidak membutuhkan terapi. Celah yang hanya mengenai bibir dinamakan cheiloschisis. Celah bibir umumnya terjadi pada minggu ke 6-7 intra uterin, sesuai dengan waktu perkembangan bibir normal dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari sel mesodermal pada groove epitel diantara prosesus nasalis medialis dan lateralis. Lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dan lebih sering pada bagian kiri dari pada kanan (2:1). Celah pada bibir bawah selalu di bagian tengah akibat gagalnya perpaduan kedua prosesus mandibularis. Pada sindrom Pierre Robin yang menyerang wanita, ditemukan celah palatum lunak tanpa celah bibir disertai mikrognasia (rahang yang kecil) dan mikroglosia (lidah yang kecil). Celah sempurna yang meliputi kelainan yang dimulai dari perbatasan bibir dan kulit melalui tulang alveolar rahang atas sampai bagian bawah (dasar) rongga hidung dan rongga mulut disebut cheilognathoschisis.

Celah palatum terjadi pada minggu ke-8 akibat kegagalan fusi prosesus palatines dan prosesus premaksila. Celah yang sudah melibatkan palatum dinamakan cheilognathopalatoschisis. Celah sempurna dan unilateral, dari luar (muka) tampak suatu rongga hidung yang pada satu sisi medial dibatasi oleh sekat/septum hidung dan sisi lain (lateral) oleh concha. Pada celah sempurna, bagian palatum lunak juga ikut terbelah. Pada celah sempurna dan bilateral, rongga hidung langsung menjadi satu dengan rongga mulut, tidak terbentuk sekat hidung, rongga dibatasi kanan dan kiri oleh concha. 2.3 Klasifikasi serta Gambaran Klinis dari Celah Bibir, Celah Palatum, dan Maloklusi 2.3.1 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Celah Bibir Klasifikasi Veau untuk celah bibir dan palatum digunakan secara luas oleh klinikus untuk menggambarkan variasi celah bibir dan palatum. Klasifikasi ini terbagi dalam 4 kategori utama berdasarkan derajat celah. Celah bibir dapat bervariasi, dari pit atau takik kecil pada tepi merah bibir sampai celah yang meluas ke dasar hidung. Kelas I : takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai bibir. mengenai dasar hidung. Kelas III : celah unilateral pada merah bibir yyang meluas melalui bibir ke dasar hidung. Kelas IV : setiap celah bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak sempurna atau merupakan celah yang sempurna. (Sudiono, Janti. 2008: 7-8) Kelas II : bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak

2.3.2 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Celah Palatum Menurut sistem VEAU, celah palatum dapat dibagi dalam empat tipe klinis, antara lain Kelas I : celah yang terbatas pada ppalatum lunak. insisivum dan terbatas hanya pada palatum sekunder. Kelas III : celah pada palatum sekunder dapat komplet atau tidak komplet. Celah palatum komplet meliputi palatum lunak dan keras sampai foramen insisivum. Celah tidak komplet meliputi palatum lunak dan bagian palatum keras, tetapi tidak meluas k foramen insisisvum. Celah unilateral yang komplet dan meluas dari uvula sampai foramen insisivum di garis tengah dan prosesus alveolaris unilateral juga termasuk kelas III. Kelas IV : celah bilateral komplet meliputi palatum lunak dan keras serta prosesus alveolaris pada kedua sisi premaksila, meninggalkan daerah itu bebas dan sering sekali bergerak. 2.3.3 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Maloklusi Klasifikasi menurut abge, maloklusi di bagi menjadi 3 kelas yaitu : ( oleh dr. martin dewey ) 1. Maloklusi Angle kelas I Keadaan diman lengkung gigi geligi atas mempunyai hubungan mesiodistal yang normal terhadap lengkung gigi bawah. Tonjolan mesiobukal dari molar pertama tetap atas pada oklusi terletak di leuk bukal dari gigi molar pertama tetap dibawah. Tipe 1 : gigi-gigi anterior berjejal, gigi molar normal. Tipe 2 : hubungan gigi moral normal, gigi anterior utama terutama gigi atas terlihat labioversi. Tipe 3 : terdapat gigitan bersilang anterior (crossbite anterior) karena inbklinasi gigi atas ke palatinal. Kelas II : cacat pada palatum keras dan lunak, meluas tidak melampaui foramen

Tipe 4 : hubungan molar normal dalam arah mesio-lingual ada pada posisi gigitan bersilang (cross bite) Tipe 5 : hubungan molar pertama tetap normal, tetapi pada gigi posterior terjadi migrasi kearah mesial. 2. Maloklusi Angle kelas II Keadaan dimana gigi geligi di lengkung gigi bawah mempunyai hubungan distal terhadap gigi geligi di lengkung atas. Tonjolan mesiobukal dari gigi molar pertama tetap atas pada oklusi terletak dalam ruabgan antara tonjjolan mesiobukal gigi molar pertama tetap bawah dan sudut distal dari tonjolan bukal premolar kedua tetap bawah, dibandingkan denagn gigi-gigi lainnya. Divisi 1 : hubungan molar pertama bawah dan atas distoklusi dan gigi anterior adlah protrusive. Kadang-kadang disebabkan olkeh kecilnya rahang sehingga profil pasien terlihat seperti paruh burung. Divisi 2 : hubungan molar pertama tetap atas dan bawah distoklusi dan gigi anterior seolah-olah normal, tetapi gigi insisiv sentral tetap yaitu overlap diatas gigi insisiv sentral tetap. Profil pasien normal. 3. Maloklusi Angle kelas II Keadaan dimana gigi geligi dilengkung gigi bawah mempunyai hubungan mesial terhadap gigi geligi dilengkung gigi atas. Tonjolan mesiobukal gigi molar pertama tetap atas pada oklusi terletak dalam ruangan antara sudut distal dari tonjolan distal gigi molar pertama tetap bawah dan sudut mesial dari tonjolan mesial gigi molar kedua tetap bawah. Tipe 1 : hubungan molar pertama teap atas dan bawah mensioklusi, sedangkan hubungan gigi anterior adala insisal (edge to edge) Tipe 2 : hubungan molar pertama tetap atas dan bawah mesioklusi, sedangkan gig I anterior hubungannya normal. Tipe 3 : hubungan gigi anterior seluruhny adalah besilang (cross bite) sehingga dagu penderita menonjol kedepan .

2.4 Pemeriksaan Kelainan Congenital Skeletal dan Maloklusi 2.4.1 Pemeriksaan Kelainan Congenital Skeletal Untuk mengetahui ada tidaknya kelainan congenital skeletal pada anak, dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan prenatal maupun postnatal. Pada masa prenatal, terdapat beberapa macam pemeriksaan, antara lain : a. Tes scrining Tes ini dilakukan meskipun saorang wanita hamil tidak memiliki gejala apapun. Scrining prenatal bisa membantu menentukan adanya infeksi atau keadaan lain ibu yang berbahaya pada janin dan membantu menentukan kelainan bawaan tertentu pada janin. Tes ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan darah Jenis pemeriksaan ini dianjurkan dokter setelah seseorang dinyatakan positif hamil. Contoh darah akan diambil untuk diperiksa apakah terinfeksi virus tertentu atau rhesus antibody. Contoh darah calon ibu juga digunakan untuk pemeriksaan hCG. Duni akedokteran menemukan, kadar hCG yang tinggi pada darah ibu hamil berat ia memiliki resiko yang tinggi memiliki bayi dengan sindrom down. 2) USG Pemeriksaan USG bisa mendeteksi secara dini berbagai kelainan yang mungkin terjadi pada janin. Pada trimester pertama, sekitar 85% dari semua kelainan bawaan janin sudah dapat terlihat/terdeteksi. Dengan semakin canggihnya peranti ultrasonografi, upaya skrining dan diagnostik dapat dilakukan dengan baik pada usia kehamilan 11-14 minggu. Kelainan kongenital pada umumnya akan terdeteksi secara USG apabila ditemukan hal-hal sebagai berikut : Hilangnya struktur anatomi yang normal, contoh : tidak ditemukannya gambaran cairan dalam lambung harus dicurigai adanya kelainan atresia esofagus. Tidak ada klavaria ditemukan pada kasus anencephali atau acrania. Terjadinya perubahan bentuk, tepi, lokasi atau ukuran dari struktur anatomi yang normal, contoh : adanya massa dalam tengkorak

menunjukkan kemungkinan suatu encephalocele. Lambung terlihat dalam rongga dada menunjukkan adanya hernia diafragmatika. Adanya struktur abnormal, contoh : double buble signs merupakan tanda atresia duodeni. Kelainan biometri janin, contoh : tulang-tulang anggota gerak yang lebih pendek dari ukuran yang normal menandakan adanya skeletal dysplasia. Adanya gerakan janin yang abnormal, contoh : pada kasus arthrogryposis multiplex congenital maka janin sama sekali tidak bergerak. b. Tes diagnostik Tes ini dilakukan jika tes scrining menunjukkan hasil yang positif atau jika wanita hamil memiliki factor resiko. Tes ini terdiri dari : 1) Aminosintesis Pemeriksaan ini biasanya dianjurkan bila calon ibu berusia di atas 35 tahun. Karena hamil di usia ini memiliki resiko cukup tinggi. Terutam auntuk menentukan apakah janin menderita sindrom down atau tidak. Aminosintesis dilakukan dengan cara mengambil cairan amnion melalui dinding perut ibu. Cairan amnion yang mengandung selsel janin, bahan bahan kimia dan mikroorganisme mampu memberikan informasi tentang susunan genetic, kondisi janin, serta tingkat kematangannya. Tes ini dilakukan pada minggu 16 dan 18 usia kehamilan. 2) Sample darah janin atau kordosentesis Sample darah janin diambil dari tali pusar. Langkah ini diambil jika cacat yang disebabkan kromosom telah terdeteksi oleh pemeriksaan USG. Biasanya dilakukan setelah kehamilan memasuki usia 20 minggu. Tes ini bisa mendeteksi kelainan kromosom, kelainan metebolisme, kelainan gen tunggal, infeksi seperti toksoplasmosis atau rubella, juga kelainan pada darah (rhesus). 3) Villi khorialis Pengambilan sampel villi khorialis dilakukan pada usia kehamilan 10-12 minggu. Ini dilakukan dengan cara pengambilan jaringan plasenta (ari-ari) dalam jumlah yang sangat kecil. Villi khorialis yang merupakan bagian dari

plasenta inilah yang dijadikan materi pemeriksaan DNA. Pengambilan jaringan janin dari plasenta ini dilakukan dengan menusukkan jarum melalui jalan lahir atau dinding perut ke dalam kandungan menembus plasenta. Efek samping yang mungkin timbul dari pengambilan sampel plasenta ini adalah kram, perdarahan, dan infeksi. Tentu saja dokter kebidanan dan kandungan akan mempertimbangkan segalanya secara matang sebelum melakukan tindakan ini. 4) Amniosentesis Merupakan pemeriksaan dengan cara pengambilan cairan ketuban. Pemeriksaan ini dilakukan pada trimester 1 (pemeriksaan genetic) dan trimester 3 (menilai kematangan paru paru). Pemeriksaan kromosom ini bertujuan untuk melihat apakah kelainan cacat bawaan pada janin, seperti : Talasemia, sindrom down, trisomi 21, trisomi 13, trisomi 18 dan kelainan kromosom lainnya. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk kondisi ibu hamil antara lain : Memiliki riwayat kelainan cacat bawaan Hasil USG abnormal Ibu hamil dengan usia 35 tahun 5) Pemeriksaan HbsAg Pemeriksaan ini dilakukan pada awal kehamilan (trimester 1) untuk mengetahui ada tidaknya infeksi hepatitis B. Sedangkan pada masa postnatal, pemeriksaan kelainan kongenital dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pemeriksaan klinis dan radiografi. a. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis ini dilakukan dengan cara penelitian inklinasi gigi incisivus dan derajat overjet incisal. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara visual, palpasi, serta overjet residual. b. Radiografi Pemeriksaan radiograf yang dilakukan adalah pemeriksaan radiograf sefalometri baku. Pemeriksaan tersebut untuk menghasilkan radiograf kepala

yang baku. Hasil pemeriksaan ini menghasilkan analisis ukuran skeletal dan bentuknya. 2.4.2 Pemeriksaan pada Maloklusi Untuk mengetahui adanya maloklusi bisa dilakukan record ortodonti, yang meliputi: 1. Study model Menunjukkan detail seluruh gigi yang telah tumbuh dan prosessus alveolaris sebanyak mungkin. Memperoleh kedalaman sulcus bukal maximal. 2. Radiograf Pada diagnosa ortodonti untuk memastikan adanya gigi yang tidak erupsi dan memonitor keadaan seluruh gigi. Film intraoral tidak memadai untuk tujuan ini. Film yang paling bermanfaat diambil dengan oblique lateral jaw untuk sel gigi belakang caninus (posterior) dan anterior oklusal untuk daerah Insisivus atas. Pada insisiv bawah tidak terdeteksi bila dengan cara ini namun kelainan jarang ditemukan pada daerah ini. Tetapi bila ada keadaan yang meragukan film intra oral digunakan. Interpretasi: a. Identifikasi gigi: gigi tidak ada, kelainan bentuk,maloklusi. b. Identifikasi mahkota c. Pemeriksaan akar gigi d. Pemeriksaan jaringan pendukung 2.5 Hubungan antara Celah Bibir-Celah Palatum, dengan Maloklusi Adanya celah bibir dan palatum ini mempunyai pengaruh pada: 1. Penyimpangan erupsi gigi

Gigi yang berdampingan dengan celah alveolar jarang erupsi dengan baik. Alasannya dihubungkan dengan bentuk dari celah ini yang mengganggu gigi bererupsi normal dan menyebabkan akar bengkok. Adanya pergerakan akar menuju celah dapat mengganggu erupsi tersebut. Oleh karena itu, kelainan embriologi ini mempunyai efek terhadap erupsi gigi setelah perkembangannya beberapa tahun. 2. Hubungan skeletal Tidak hanya terdapat jumlah jaringan yang terlalu kecil tetapi pertumbuhan maksila juga terpengaruh dan malserasi skeletal seringkali menjadi lebih berat sejalan dengan pertumbuhan anak yang mempunyai kelainan ini. Antero-Posterior Defisiensi maksila antero-posterior menimbulkan pola skeletal kelas III dan seringkali disertai hubungan gigi kelas III. Vertikal Penyimpangan bidang vertikal sering kali tidak terlihat pada usia muda, tetapi makin jelas terlihat dengan terjadinya pertumbuhan, geraham kecil, serta taring tetap mungkin gagal bererupsi ke oklusi normal. Pada kasus unilateral segmen yang terserang lebih kecil tetapi kedua sisi dapat terserang pada kasus bilateral. Kelainan vertikal berhubungan sebagian dengan kurangnya pertumbuhan ke bawah dank e depan dari maksila dan sebagian lagi dengan kegagalan local dari perkembangan alveolar. Tranversal Pada celah unilateral gigi di segemen yang lebih kecil hamper selalu menunjukkan oklusi lingual. Juga terlihat gigitan terbalik (cross bite) pada sisi lain. Pada kasus bilateral kedua, segmen bukal seringkali memiliki gigitan terbalik (cross bite). 3. Tanda-tanda Oklusi Rahang atas seringkali berjejal (crowding) dan pada kasus unilateral terdapat pergeseran garis tengah ke sisi yang terserang. Pada kasus bilateral premaksila

seringkali malposisi. Kelainan gigi lokal pada daerah celah mirip dengan celah palatum. Overjet Gigi seri pertama atas seringkali retroklinasi dengan oklusi lingual. Hubungan ini seringkali memburuk sejalan pertumbuhan. Overbite Pada anak muda usia overbite kadang-kadang dalam tetapi akan mengecil dengan bertumbuhnya wajah. Walaupun pada kasus dimana terdapat pergeseran ke depan mandibula dan gigitan dalam, overbite tentu saja dalam. Segmen Bukal Rahang atas seringkali berjejal (crowding) dan tanggalnya geraham besar susu yang terlalu cepat menyebabkan hilangnya ruang. Impaksi geraham besar pertama atas tetap kadang-kadang merupakan factor yang berpengaruh pada tanggalnya geraham besar kedua. Seringkali terdapat hubungan segmen bukal kelas III. Jika gigitan terbuka lateral (lateral open bite) (pada kasus unilateral pada sisi segmen yang lebih kecil ; pada kasus bilateral pada kedua sisi). Gigitan terbalik unilateral dan bilateral juga sering ditemukan. Gigi taring atas tetap pada sisi celah sering kali terletak di palatal dan infra oklusi. 4. Posisi mandibula dan arah gerak menutup Kurangnya pertumbuhan vertical maksila pada beberapa keadaan menimbulkan peningkatan freeway space sehingga terdapat derajat gigitan dalam (over clossure) yang cukup besar. Bila terdapat kontak premature di daerah gigi seri, pergeseran ke depan mandibula juga ditemukan. Beberapa kasus celah palatum memiliki pergeseran retrolateral mandibula yang berhubungan dengan gigitan terbalik (crossbite). 2.6 Macam-Macam Kelainan Congenital Skeletal pada Regio Kraniofasial

Selain celah bibir, celah palatum, dan maloklusi, masi terdapat berbagai macam kelainan congenital skeletal terutama pada regio kraniofasial, antara lain :

a. Torus Torus merupakan pembengkakan pada rahang yang menonjol dari mukosa mulut yang tidak berbahaya dan disebabkan oleh pembentukan tulang normal yang berlebihan, tampak radiopak, dan dapat terjadi di beberapa tempat dari tulang rahang. Pada garis tengah palatum keras, tampak sebagai massa tonjolan tunggal atau multipel di daerah sutura palatal bagian tengah, berbentuk konveks, nodular atau lobular dan dinamakan torus palatinus. Mandibula umumnya merupakan massa putih bilateral di bagian akar lingual gigi premolar dan dinamakan torus mandibularis. Bentuk bervariasi, dapat satu lobus atau multipel, unilateral dan bilateral. Tumbuh langsung diatas garis milohioid, meluas dari caninus sampai molar pertama. b. Agnasia Agenesis absolut manibula masih diragukan apakah bisa terjadi. Pada keadaan ini, lidah juga tidak tebentuk atau mengalamai reduksi ukuran. Meskipun astomia (tidak terbentuknya mulut) dapat terjadi, mikrostomia (mulut yang kecil ) lebih sering terjadi. Kadang-kadang tidak ada hubungan dengan faring, yang tersisa hanya membran bukofringeal. Agnasia juga sering disebabkan oleh gangguan vaskularisasi. c. Mikrognasia Istilah mikrognasia umumnya dipakai khusus untuk mandibula meskipun dapat pula dipakai untuk menunjukkan pengecilan ukuran mandibula dan maksila. Dagu dapat sangat retrusif atau absen sama sekali. Hidung dan bibir atas menjadi menonjol sehingga muka seperti burung. Keadaan ini dapat bersifat konginetal seperti yang ditemukan pada berbagai sindrom (misal pada sindrom Pierre-Robin), dapat pula tejadi setelah lahir, misalnya akibat trauma, atau infeksi seperti artritis rematoid juvenilis.

Mikrognasia disebabkan oleh kegagalan pusat pertumbuhan di kepala sendi. Penyebabnya adalah kelaianan perkembangan atau didapat. Cedera kepala sendi oleh trauma saat lahir atau infeksi pada telinga dapat menyerang pusat pertumbuhan kepala sendi. Kemungkinan lain adalah trauma atau infeksi daerah kepala sendi yang umumnya unilateral dan menyebabkanpengecilan ukuran rahang yang unilateral. d. Makrognasia Makrognasia adalah rahang yang besar. Jika terjadi pada rahang bawah, hal ini dpat menyebabkan protusi (kelas III Angle) dengan dagu menonjol. Keadaan ini dapat bersifat konginetal dan dapat pula bersifat dapatan melalui penyakit serta dapat dikoreksi dengan tindakan bedah.

BAB III. KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan

1. Gangguan congenital skeletal pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu herediter (mutasi gen dan kromosom) dan factor lingkungan (usia ibu, hormonal, obat-obatan, dan lain-lain). 2. Celah bibir dan celah palatum terbentuk karena kegagalan bersatunya jaringan selama perkembangan akibat defisiensi prosesus muka 3. Celah palatum dan celah bibir dapat diklasifikasikan berdasarkan organ yang terlihat, lengkap tidaknya celah, VEAU, letak foramen incicivum. Sedangkan maloklusi dapat diklasifikasikan menurut Angle. Gejala klinis dari celah palatum, celah bibir dan aloklusi dapat dilihat dari pemeriksaan klinis (fisual dan palpasi) dan pemeriksaan penunjang (HPA, laboratorium dan radiologis ) 4. Untuk mengetahui kelainan congenital pada janin dapat dilakukan melalui pemeriksaan prenatal (USG, tes screening, vilikhorialis, tes diagnostic, aminosintesis, amniosintesis, HbsAG) dan postnatal (klinis dan radiografi) 5. Celah pada bibir menyebabkan ketidakseimbangan tekanan antara bibir dan lidah terhadap gigi sehingga resiko maloklusi dapat terjadi 6. Kelainan congenital pada region kraniofasial antara lain : torus, agnasia, mikrognasia, makrognasia, dental dysplasia, skeleton dental dysplasia, dan skeletal dysplasia. 3.2 Saran

Saran yang dapat diberikan untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan karena masalah kelainan konginetal, yaitu ibu perlu menghindari faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya cacat fisik di waktu hamil. Antar lain dengan cara menghindari konsumsi rokok, alcohol, serta narkotika, memenuhi kebutuhan nutrisi yang berperan terhadap perkembangan janin, dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Choybuccuq. 2009. Celah Bibir dan Palatum. [on-line]. http://choybuccuq.blogspot.com/2009/02/celah-bibir-dan-palatum.html. Diakses tanggal 20 Oktober 2009. Dewanto, Harkati. 1993. Aspek-Aspek Epidemologi Maloklusi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Foster, T.D. 1997. Buku Ajar Ortodonsi (Alih Bahasa : Lilian Yuwono). Jakarta : EGC. Herniyati, dkk. 2005. Buku Ajar Ortodonsia 1. Universitas Jember Fakultas Kedokteran Gigi. Kerr, Donald A,, dkk. 1960. Oral Pathology. Philadelphia : Lea & Febiger. Nasution, Erna. 1998. Nutrisi Bumil. Bagian gizi FKM Universitas Sulawesi Utara, Charlie J.J. Majalah Kedokteran Edisi 30. Rudolph, C. D, dkk. 2003. Rudolph's PEDIATRICS Edisi ke-21. Amerika Serikat : The McGraw-Hill Companies. Sudiono Janti, dkk. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta : EGC. Sperber, Geoffrey H. 1991. Embriologi Kraniofasial (Alih Bahasa : Lilian Yuwono). Jakarta : Hipokrates. Tim Farmacia. 2007. Pengaruh Gizi terhadap Buah Kehamilan. [on-line]. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=255. Diakses tanggal 21 Oktober 2009.