Laporan Tutorial Blok 15 Skenario 2

54
LAPORAN TUTORIAL BLOK GASTROINTESTINAL SKENARIO 2 “KENAPA PERUTKU TERASA SEBAH?” KELOMPOK 13 AFIF BURHANUDIN G0013002 AMELIA IMAS VOLETA G0013024 CHRISTOPHER BRILLIANTO G0013064 DITA PURNAMA A G0013076 EDINA A!U D G00130"2 FEBRI DI N G00130#4 HEP! HARDI!ANTI K G0013112 HUMAMUDDIN G0013114 LAILA NINDA S G0013132 MAISAN NAFI$ G001314" MILA ULFIA G00131%4 RICK! IRVAN G0013200 TUTOR& M'()*+,-+). / . M N ' S , FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 1

description

Laporan Tutorial Blok Gastrointestinal Skenario 2

Transcript of Laporan Tutorial Blok 15 Skenario 2

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GASTROINTESTINALSKENARIO 2KENAPA PERUTKU TERASA SEBAH?

KELOMPOK 13

AFIF BURHANUDIN

G0013002AMELIA IMAS VOLETA

G0013024CHRISTOPHER BRILLIANTO

G0013064

DITA PURNAMA A

G0013076

EDWINA AYU D

G0013082

FEBRI DWI N

G0013094

HEPY HARDIYANTI K

G0013112

HUMAMUDDIN

G0013114

LAILA NINDA S

G0013132

MAISAN NAFI

G0013148

MILAULFIA

G0013154

RICKY IRVAN

G0013200

TUTOR: Muthmainah, dr., M.NeuroSciFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO 2

Kenapa Perutku Terasa Sebah?

Seorang wanita, usia 48 tahun, datang berobat ke Rumah Sakit dengan keluhan perutnya terasa sebah. Keluhan dirasakan sejak 6 bulan yan lalu hilang timbul dan memberat dalam 3 hari ini. Keluhan disertai dengan nyeri di bagian ulu hati dan keluhan berkurang bila makan. Pasien memiliki jadwal makan yang tidak teratur dan sering terlambat makan. Akhir-akhir ini, pasien juga mengeluhkan perut terasa penuh dan semakin membesar. Buang air kecil kecoklatan seperti air teh. Pasien pernah sakit seperti ini 15 tahun yang lalu. Dokter langsung melakukan pemeriksaan tanpa cuci tangan terlebih dahulu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik (-), atropi M. Temporalis (+), nyeri tekan epigastrium (+), shiffting dullnes (+), undulasi (+), caput medusae (-), liver span 5 cm, splenomegali schuffner 1. Hasil laboratorium : Hb 11 g/dL, leukosit 6500, trombosit 158.000 ribu/ul. SGOT 38 U/L, SGPT 42 U/L, bilirubin total 2,5 mg/dl, bilirubin direk 2,1 mg/dl, bilirubin indirek 0,4 mg/dl, albumin 3,2 g/dl, HbsAg (+).

Dokter menyarankan pasien untuk pemeriksaan dan penatalaksanaan lebih lanjut.

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump

1. Langkah 1: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario

Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut

1. Sebah

Perasaan nyeri perut yang penuh karena udara atau cairan dalam organ maupun rongga abdomen yang seharusnya dikeluarkan

2. Ulu hati

Daerah di epigastrium (colon transversum, duodenum dan sebagian hepar). 3. Sklera ikterik

Warna kekuning-kuningan di daerah fisura, palpebra akibat hiperbilirubin (kadar bilirubin meningkat, 2 2.5 mg/dl)

4. Shiffting dullness

Suara pekak yang berpindah karena cairan di cavum abdomen (pekak alih)

5. Undulasi

Pemeriksaan asites : diketuk di lateral abdomen dan apabila terasa gelombang berjalan kontralateral menandakan hasil positif

6. Caput medusa

Pelebaran vena-vena cutaneus (vena paraumbilical) di sekeliling umbilicus

7. Splenomegali

Pembesaran spleen atau lien

8. Schuffner

Garis yang terbentang di Spina Ischiadica Anterior Superior (SIAS) dextra melewati umbilicus sampai ke arcus costae sinistra untuk mengetahui pembesaran ukuran lien. Schuffner I menandakan lien teraba pada arcus costae sinistra

9. Bilirubin direk

Bilirubin yang larut dalam air dan dapat langsung ke pembuluh darah

10. Bilirubin indirek

Bilirubin yang tidak larut dalam air, harus berikatan dengan albumin terlebih dahulu

2. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan.

Permasalahan dalam skenario ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa pasien merasakan perutnya sebah ?

2. Mengapa keluhan sebah pada pasien hilang timbul ?

3. Mengapa keluhan nyeri di ulu hati busa berkurang setelah makan ?

4. Apa hubungan keluhan pasien dengan pola makan ?

5. Apa yang menyebabkan buang air kecil seperti teh ? bagaimana mekanismenya ?

6. Mengapa perut terasa penuh dan semakin membesar ? organ apa saja yang mengalami gangguan ?

7. Bagaimana hubungan keluhan dengan riwayat penyakit dahulu ?

8. Apa akibatnya jika dokter tidak cuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan ?

9. Apa interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratoirum ?

10. Apa pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pada kasus ?

11. Apa saja DD pada kasus ?

12. Mengapa bilirubin meningkat tapi tidak ditemukan adanya sklera ikterik ?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II).

Analisis sementara oleh kelompok kami mengenai permasalahan yang disebutkan dalam langkah II adalah:

Penyebab Terjadinya Perut Sebah

1. Makan makanan yang memproduksi gasPerut sebah dapat itu di sebabkan karena terlalu banyak memproduksi gas dalam proses pencernaannya. Makanan yang berpotensi memproduksi gas adalah kol, kentang, brokoli, bunga kol, singkong, jagung, dan sejenisnya. Karena makanan-makanan itu akan membuat perut semakin tersiksa dengan perut sebah.

2. Alergi susuAda beberapa balita, anak-anak, atau bahkan orang dewasa yang merasa sebah setelah minum susu. Itu mungkin termasuk dalam golongan anti susu, karena daya tahan tubuhnya akan lemah setelah minum susu. Atau disebut alergi susu. Biasanya pada susu hasil olahan. Tetapi ada beberapa penderita yang tetap bisa tetap minum susu, dengan cara meminum susu jenis lain. Misal susu kambing, susu sapi, susu murni.3. Asites

Perut sebah yang dirasakan pasien salah satunya dikarekan terjadinya asites. Perut membesar karena terisi cairan meningkatakan tekanan intraabdominal sehingga terasa sebah.Salah satu penyebab dari perut membesar adalah menumpuknya cairan serosa pada cavum peritoneum yang disebut dengan asites. Asites dapat disebabkan oleh keadaan hipertensi portal yang merupakan komplikasi dari sirosis hepatis. Ketika terjadi hipertensi portal, maka terjadi resistensi vena portae hepatis yang menuju ke hepar, sehingga aliran vena dialihkan ke vena mesenterica yang ada di daerah abdomen dan dapat menyebabkan ruptur dinding vena. Apabila terjadi ruptur, maka akan terjadi perdarahan, sehingga kadar plasma protein menurun yang menyebabkan tekanan osmotik menurun karena kadar albumin darah menurun dan terjadi asites. Pada pasien sirosis hepatis yang mengalami gangguan fungsi hepar, jumlah albumin yang diproduksi oleh hepar juga menurun, sehingga tekanan osmotik menurun dan terjadi asites.Mekanisme terjadinya asites: Pertukaran cairan antara darah dan cairan interstitiel dikontrol oleh keseimbangan antara tekanan darah kapiler yang mendorong cairan masuk ke dalam jaringan interstitel dan tekanan osmotik dari plasma protein yang menarik cairan tetap tinggal dalam kapiler.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites

1) Tekanan koloid plasma

Biasanya bergantung pada kadar albumin. Pada keadaan normal albumin di bentuk oleh hati. Apabila hati terganggu fungsinya makna pembentukan albumin juga terganggu sehingga kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid plasma juga menurun. Ada tidaknya asites pada penderita sirosis terutama tergantung pada tekanan koloid osmottik plasma. Terdapat kadar albumin kurang dari 3 gr% sudah dapat merupakan tanda kritis untuk timbulnya asites

2) Tekanan vena porta

Pada hipertensi portal yang disebabkan oleh sirosis dapat dengan atau tanpa adanya asites.

Pada penderita dengan hipertensi portal ekstrahepatik tidak selalu terjadi asites pada permulaannya. Tetapi bila terjadi perdarahan gastrointestibal, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotik menurun puladan baru terjadi asites. Apabila kadar plasma protein kembali normal asitesnyapun menghilang, walaupun hipertensi portal tetap ada.

3) Perubahan elektrolit

Lebih banyak cairan yang masuk ke dalam kavum peritonei dari pada yang meninggalkan kavum peritonei menyebabkan terjadinya asites. Hal ini mengakibatkan pengurangan cairan badan, yang akan menyebabkan terjadina retensi Na &air pada ginjal. Pada beberapa keadaan aliran darah dan kecepatan filtasi glomerulus mungkin berkurang dan akan menambah terjadinya retensi natrium4. EdemaEdema adalah akumulasi cairan pada kompartemen interstisial, bisa terjadi baik secara lokal yaitu pada area spesifik tubuh, atau secara general pada seluruh tubuh. Edema muncul sebagai akibat adanya gangguan cairan tubuh. Dalam banyak kasus hal itu terjadi karena ketidakseimbangan elektrolit tubuh. Penyebab edema sendiri ada empat hal, yaitu 1) Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler darah, 2) Peningkatan/ Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler, 3) Peningkatan permeabilitas kapiler darah, dan 4) Obstuksi saluran limfe.

1) Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler darah

Albumin adalah protein yang diproduksi oleh hepar dan disekresi ke dalam plasma. Seperti halnya protein lain, albumin juga menggunakan efek osmosis pada plasma yang disebut dengan tekanan osmotik koloid plasma. Melalui efek osmotik ini, albumin dan protein plasma lainnya menjaga volume darah dengan menarik air ke dalam plasma.

Pada keadaan dimana terdapat penyakit pada hepar, sintesis protein plasma, termasuk albumin menurun sehingga tekanan osmotik koloid plasma akan menurun karena sedikitnya protein plasma. Hal ini akan menyebabkan air dalam plasma berpindah dan berakumulais ke dalam cairan interstisial sehingga terjadi edema. Selain itu, peningkatan volume cairan pada kompartemen interstisial akan menganggu pertukaran nutrisi dan sampah metabolik pada kapiler darah.2) Peningkatan/ Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler

Edema juga bisa terjadi akibat kenaikan tekanan hidrostatik kapiler, pada gagal jantung kongestif, jantung tidak bisa memompa seluruh darah kembali ke jantung lagi, sehigga darah terkumpul banyak di pembuluh darah, menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan hidrostatik kapiler yang akan memaksa cairan atau air pada plasma keluar ke kompartemen interstisial sehingga terjadi edema.3) Peningkatan permeabilitas kapiler darah

Edema lokal juga bisa terjadi akibat adanya trauma atau inflamasi, seperti bengkak yang terjadi pada pergelangan kaki yang terkilir. Kapiler darah menjadi lebih permeable pada area terjadinya trauma dan protein akan bergerak lebih bebas ke kompartemen interstisial.

Berpindahnya protein menyebabkan efek osmotik sehingga menarik lebih banyak cairan ke dalam kompartemen interstitial. Ketika inflamasi lokal tersebut telah sembuh atau berakhir, cairan dan protein akan berpindah lagi ke dalam kapiler darah melalui saluran limfe sehingga akan normal kembali.4) Obstuksi saluran limfe

Obstruksi saluran limfe yang bisa terjadi seperti pada keadaan post operasi kelenjar limfe akan menghalangi kembalinya cairan interstisial ke pembuluh vena sehingga cairan interstisial menjadi terjebak dalam kompartemen interstitial sehingga terjadi edema. Selain itu, peningkatan volume cairan interstisial akan mengenai/menimpa kapiler darah dan menghalangi aliran darah. (Sanner, MD., et al, 2008)

Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

Pemeriksaan fisik

Sklera ikterik (-): artinya pada urin pasien tidak mengandung bilirubin dan urobilinogen

Atropi M. Temporalis (+): adanya atrofi m. Temporalis menunjukkan salah satu gejala dari sirosis hepatis

Nyeri tekan epigastrium: adanya kelainan pada organ yang terdapat di regio tersebut (Lobus hepatis sinister, sebagian ventriculus, pars descendens duodeni)

Shiffting dullness (+) dan Undulasi (+): tanda adanya asites yang nanti akan dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan leukosit. Jika pemeriksaan leukosit meningkat disebabkan karena infeksi bakteri, sedangkan jika leukosit turun disebabkan karena infeksi virus

Caput medusa (-): tidak ditemukan adanya pelebaran vena kutaneus pada dinding perut

Liver span 5 cm: hepar mengecil atau mengalami sirosis

Splenomegali schuffner 1: Lien mengalami pembesaran dan berada di arcus costae

Hasil laboratorium

Hb 11 g/dl: normal

Leukosit 6500:leukosit turun, artinya penyebab keluhan pasien karena infeksi virus

Trombosit 158.000 ribu/L: normal

SGOT 38 U/L: normal

SGPT 42 U/L: naik, SGPT lebih spesifik menunjukkan kondisi pada hepar jika dibandingkan dengan SGOT. Jika mengalami kenaikan kemungkinan disebabkan oleh hepatitis

Bilirubin total 2,5 mg/dL: naik

Bilirubin direk 2,1 mg/dL: naik

Bilirubin indirek 0,4 mg/dL: normal

Kenaikan bilirubin total dan bilirubin direk menandakan adanya kelainan juga pada post hepar

Albumin 3,2 g/dL: albumin turun (hipoalbumin) artinya ada kelainan pada hepar

HbsAg (+): ditemukan adanya antigen yang ada pada permukaan virus Hepatitis B, artinya pasien terinfeksi oleh virus hepatitis B. Muncul pada akhir masa inkubasi, kemudian pada saat gejala klinis muncul akan mengalami kenaikan dan jika menetap lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis

4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III.

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran

1. Mengapa keluhan nyeri ulu hati bisa berkurang setelah makan?

2. Apa hubungan keluhan dengan pola makan?

3. Apa yang menyebabkan buang air kecil (BAK) seperti air teh? Bagaimana mekanismenya ?

4. Mengapa bilirubin meningkat tetapi tidak ditemukan sklera ikterik?5. Bagaimana hubungan dengan riwayat penyakit dahulu?6. Apa diagnosis banding untuk kasus tersebut?7. Apa pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaannya?6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru, Dari tujuan pembelajaran pada langkah ke-5, kemudian dicari jawabannya dari sumber pustaka. Sumber pustaka yang digunakan berasal dari jurnal ilmiah (internet), buku text, bahan kuliah, dan pakar. Sumber pustaka yang dicari merupakan sumber-sumber pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir, sehingga diharapkan sumber pustaka tersebut masih valid dan up-to-date.

7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang diperoleh.

Nyeri Ulu Hati dan Hubungan dengan Pola MakanNyeri ulu hati merupakan nyeri pada regio epigastrium yang biasanya gejala dari dispepsia. Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang terdiri dari rasa nyeri atau tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma ini dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, termasuk akibat penyakit pada lambung, yang oleh orang awam sering disebut sebagai penyakit maag, dan berbagai penyakit lain. Secara lebih lengkap penyebab dyspepsia dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 1. Penyebab Dispepsia

Esofago-gastro-duodenalTukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Obat-obatanAINS, teofilin, digitalis, antibiotic

Hepato-bilierHepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan, disfungsi Sfingter Oddi

PankreasPankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik lainDiabetes Melitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung coroner/iskemik

Gangguan fungsionalDyspepsia fungsional, Irritable Bowel syndrome

Dispepsia fungsional didefinisikan sebagai;

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastric, rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.

Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok untuk memudahkan usaha praktis dalam pengobatan.

1. Dispepsia tipe seperti ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeri epigastric

2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, capat kenyang.3. Dispepsia tipe non-spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan (Sudoyo, 2009).

Ulkus Peptikum

Patogenesisa. Faktor Defensif (memelihara keutuhan mukosa)1. Lapisan mukosa

Sistem pertahanan mukosa gastroduodenal terdiri dari 3 faktor pertahanan: Pre-epitel

Epitel

Post epitel/sub epitel

2. Sel epitel permukaan

Epitel gastroduodenal mengalami iritasi oleh 2 faktor agresif :

Perusak Endogen (HCl, pepsinogen/pepsin dan garam empedu).

Perusak Eksogen (Bakteri H. Pylori, Obat-obat, kebiasaan merokok dan alkohol).

3. Aliran darah mukosa adekuat Mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan dan sumber energi.

Sebagai buffer difusi kembali dari asam.

4. Regenerasi sel epitel Penggantian sel epitel mukosa kurang dari 48 jam.

Sedikit kerusakan epitel mukosa diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel yang rusak.

5. ProstaglandinProstaglandin berfungsi sebagai : Penghambat produksi asam lambung.

Prostaglandin merangsang peningkatan faktor-faktor defensif mukosa melalui mekanisme sitiprotektif.

6. Pembentukan dan sekresi mukus

Mukus adalah pelicin yang menghambat kerusakan mekanis.

Barier terhadap asam.

Barier terhadap enzim proteolitik (pepsin).

Pertahanan terhadap organisme patogen.

7. Sekresi bikarbonat Kelenjer lambung mensekresi bikarbonat 24mMol untuk menetralisir keasaman di sekitar lapisan epitel.

b. Faktor Agresif (merusak mukosa)1. Asam lambung dan pepsin Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung dan sel peptikum/zimogen mengeluarkan pepsinogen yang nanti oleh HCl diubah menjadi pepsin.

Pepsin dengan pH < 4 sangat agresif terhadap mukosa lambung.

Histamin terangsang dan mengeluarkan asam lambung sehingga timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, kerusakan mukosa gaster, gastritis dan ulkus lambung.

2. Bakteri H. Pylori

3. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral/batang, mikroaerofilik berflagela, hidup pada permukaan epitel, mengandung urease, hidup di antrum, migrasi ke proksimal lambung dan dapat berubah menjadi kokoid.

4. OAINSObat ini menghambat kerja enzim siklooksigenasi (COX) pada asam arakidonat, sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan prostaglandin melalui 4 tahap : Menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat.

Terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa.

Berkurangnya aliran darah mukosa.

Kerusakan mikrovaskuler.

5. Refluks cairan empedu

6. Rokok

Ulkus peptikum disebabkan akibat ketidakseimbangan kedua faktor tersebut, di mana faktor agresif lebih dominan dibandingkan faktor defensif.Ulkus peptikum ada 2 macam, yaitu ulkus gaster dan ulkus duodenum. Patofisiologi kedua jenis ulkus peptikum ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Ulkus gaster

Terjadinya inflamasi pada jaringan hepar akan memicu pelepasan mediator pro inflamasi yaitu salah satunya histamin. Histamin dalam darah jika sampai ke gaster akan memicu sensor sel parietal gaster untuk mengeluarkan H+. Dengan pompa ion H+/K+ , H+ ke luar ke lumen gaster dan berikatan dengan Cl- membentuk asam HCl. Jika perut kosong maka asam tersebut bukannya mencerna makanan tetapi malah mencerna sel mukosa gaster itu sendiri yang mengakibatkan peradangan dinding gaster. Dinding gaster yang terus dicerna oleh asam lambung akan mengakibatkan perdarahan dan perforasi dinding gaster dan merangsang sensor nyeri oleh nervus vagus karena rusaknya organ. Nyeri yang dirasakan inilah yang disebut nyeri ulu hati.

Selain itu, proses inflamasi akan merangsang pengeluaran zat-zat vasoaktif seperti histamin, bradikinin, serotonin yang merangsang nervus vagus untuk menekan syaraf simpatis. Akibatnya gerakan peristaltik lambung diturunkan padahal isi lambung tetap sama sehingga terjadi peningkatan tekanan lambung. Perut seolah-olah terasa penuh sehingga akan menghantarkan sensor pusat kenyang di hipotalamus (nukleus ventromedial).2. Ulkus duodenum

Penurunan Produksi Mukus sebagai Penyebab Ulkus Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan produksi mukus yang adekuat sebagai perlindungan terhadap asam lambung. Penyebab penurunan produksi mukus dapat termasuk segala hal yang menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel penghasil mukus. Ulkus jenis ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi pada semua jenis syok. Jenis khusus ulkus iskemik yang timbul setelah luka bakar yang parah disebut ulkus Curling (Curling Ulcer). Penurunan produksi mukus di duodenum juga dapat terjadi akibat penghambatan kelenjar penghasil mukus di duodenum, yang disebut kelenjar Brunner. Aktivitas kelenjar Brunner dihambat oleh stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis meningkat pada keadaan stres kronis sehingga terdapat hubungan antara stres kronis dan pembentukan ulkus. Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi bakterium H.pylori membuat koloni pada sel-sel penghasil mukus di lambung dan duodenum, sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi mukus. Sekitar 90% pasien ulkus duodenum dan 70% ulkus gaster memperlihatkan infeksi H.pylori. Infeksi H.pylori endemik di beberapa negara berkembang. Infeksi terjadi dengan cara ingesti mikroorganisme. Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID), juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya ulkus. Aspirin menyebabkan iritasi dinding mukosa, demikian juga dengan NSAID lain dan glukokortikosteroid. Obat-obat ini menyebabkan ulkus dengan menghambat perlindungan prostaglandin secara sistemik atau di dinding usus. Sekitar 10% pasien pengguna NSAID mengalami ulkus aktif dengan persentase yang tinggi untuk mengalami erosi yang kurang serius. Perdarahan lambung atau usus dapat terjadi akibat NSAID. Lansia terutama rentan terhadap cedera GI akibat NSAID. Obat lain atau makanan dihubungkan dengan perkembangan ulkus termasuk kafein, alkohol, dan nikotin. Obat-obat ini tampaknya juga mencederai perlindungan lapisan mukosa.PERBEDAAN ULKUS DUODENUM DENGAN ULKUS GASTER

Ulkus Duodenum

InsidenUsia 30 60 tahun

Pria : Wanita = 3 :1

Terjadi lebih sering daripada ulkus lambung

LokasiPada bulbus duodenalis

Tanda dan gejalaNyeri terjadi 2 -3 jam setelah makan, sering terbangun dari tidur antara jam1 dan 2 pagi

Makan makanan menghilangkan nyeri

Muntah tidak umum

Hemoragi jarang terjadi dibandingkan ulkus lambung tetapi bila ada melena lebih umum dari pada hematemesis

Lebih mungkin terjadi perforasi dari pada ulkus lambung

Dapat mengalami penambahan berat badan

Rasa sakitRasa sakit sebelum makan atau berpuasa

Sekresi asam lambungHipersekresi atau sekresi berlebihan asam lambung

Faktor RisikoGolongan darah O, PPOM, gagalginjal kronis, alkohol, merokok, sirosis, stress

Kemungkinan MalignasiJarang

Ulkus Lambung

InsidenBiasanya pada usia 50 tahun lebih

Pria : Wanita = 2 : 1

Kejadiannya kurang sering dibanding ulkus duodenum

LokasiKurvatura minor lambung

Tanda dan gejalaNyeri terjadi sampai 1 jam setelah makan; jarang terbangun pada malam hari dapat hilang dengan muntah

Makan makanan tidak membantu dan kadang meningkatkan nyeri

Muntah umum terjadi

Hemoragi lebih umum terjadi daripada ulkus duodenal hematemesis lebih umum terjadi daripada melena

Tidak mungkin atau jarang terjadi perforasi

Penurunan berat badan dapat terjadi

Rasa sakitRasa sakit setelah makan

Sekresi asam lambungNormal sampai hiposekresi atau sekresi asam lambung berkurang

Faktor RisikoGastritis, alkohol, merokok, NSAID,stress

Kemungkinan MalignasiKadang-kadang

Pada kasus ini, pasien mengalami nyeri ulu hati dan berkurang setelah makan. Berdasarkan tabel perbedaan kedua jenis ulkus di atas, berarti pasien kemungkinan menderita ulkus duodenum, dengan patofisiologi yang sudah dijelaskan di atas. Pola makan yang tidak teratur pada kebiasaan pasien di mana jarangnya intake makanan ke dalam usus dapat menyebabkan ketidakseimbangan faktor agresif dengan faktor defensif . Buang Air Kecoklatan Seperti Air Teh dan Sklera Ikterik (-) Salah satu fungsi hati yang penting adalah biosintesis bilirubin. Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir metabolisme pemecahan eritrosit yang sudah tua; bilirubin mengalami konjugasi dalam hati dan diekskresi dalam empedu.

Metabolisme bilirubin normalMetabolisme bilirubin dalam tubuh berlangsung 3 langkah:

1. Fase Prahepatik: Pembentukan bilirubin dan Transpor Plasma

Pembentukan Bilirubin.

Sekitar 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua (rata-rata berumur 120 hari) dalam sistem monosit makrofag. Tiap hari 50 ml darah dihancurkan, menghasilkan 250-350 mg bilirubin atau 4 mg/kgBB/hari. Sedangkan 15% bilirubin berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. Pada katabolisme bilirubin (terutama terjadi dalam limpa, sebagai sistem retikuloendotelial), hemoglobin dipecah menjadi heme dan globulin, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Dengan enzim biliverdin reduktase, biliverdin diubah menjadi biirubin tak terkonjugasi (B).

Transpor PlasmaDalam pembuluh darah, B berikatan dengan albumin (karena sifat B yang tak larut air) untuk dibawa ke hati. B juga tidak dapat melewati membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan B- albumin melemah pada keadaan asidosis, dan seperti antibiotic, salisilat, berlomba pada temapat ikatan dengan albumin.2. Fase Intrahepatik: Liver Uptake dan Konjugasi

Liver UptakePengambilan B oleh hepatosit memerlukan protein sitoplasma (protein penerima) protein Y dan protein Z.KonjugasiKonjugasi bilirubin berlangsung dalam reticulum endoplasma sel hati dengan asam glukuronat (dengan bantuan enzim glukuronil transferase) sehingga menjadi bilirubin terkonjugasi (B). Reaksi katalisis ini, mengubah sifat B yang larut lemak, tak dapat diekskresi dalam kemih menjadi B yang larut air, dan dapat diekskresi dalam kemih.3. Fase pasca hepatik: Ekskresi BilirubinEkskresi BilirubinTransport B melalui membran sel dan sekresi ke dalam kanalikuli empedu oleh proses aktif yamg merupakan langkah akhir metabolisme bilirubin dalam hati. Agar dapat diekskresi dalam empedu, bilirubin harus dikonjugasi. B kemudian diekskresi melalui saluran empedu ke usus halus. B tidak diekskresikan dalam empedu kecuali setelah proses fotooksidasi.

Bakteri usus mereduksi B menjadi urobilinogen dan sterkobilinogen. Sterkobilinogen mengalami proses oksidasi menjadi sterkobilin yang menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10%-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam kemih.

Ikterus

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.

Atau bisa juga Ikterus adalah akumulasi abnormal pigmen bilirubin dalarn darah yang menyebabkan air seni berwarna gelap, warna tinja menjadi pucat dan perubahan warna kulit menjadi kekuningan. Icterus merupakan kondisi berubahnya jaringan menjadi berwarna kuning akibat deposisibilirubin. Ikterus paling mudah dilihat pada, sklera mata karena elastin pada sklera mengikat bilirubin.

Ikterus harus dibedakan dengankarotenemiayaitu warna kulit kekuningan yang disebabkan asupan berlebihan buah-buahan berwarna kuning yang mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya dan jeruk. Pada karotemia warna kuning terutama tampak pada telapak tangan dan kaki disamping kulit lainnya. Sklere pada karotemia tidak kuning. Istilah ikterus dapat dikacaukan dengan kolestasis yang umumnya disertai ikterus. Definisi kolestasis adalah hambatan aliran empedu normal normal untuk mencapai duodenum. Kolestatasis ini dulu sering dinamakanjaundice obstruktif.Normalnya, bilirubin total sebesar 0,3 1,3 mg/dl. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43 uniol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenamya sudah mencapai angka 7 mg%.Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik.

Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.Etiologi ikterusIkterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning, terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995). Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada proses (hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya, ikterus dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Ikterus pre-hepatikIkterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang berlebih. Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit darah, contoh:Babesia sp.,danAnaplasma sp.Menurut Price dan Wilson (2002), bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna kuning pucat. Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis oleh infeksiLeptospira grippotyphosa.

2. Ikterus hepatikIkterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002). Ikterus

3. Ikterus Post-HepatikMekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal, tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional maupun obstruksi duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.

Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan domestik. Larva nematoda yang melewati hati dapat menyebabkan inflamasi danhepatocellular necrosis(nekrosa sel hati). Bekas infeksi ini kemudian diganti dengan jaringan ikat fibrosa (jaringan parut) yang sering terjadi pada kapsula hati. Cacing yang telah dewasa berpindah pada duktus empedu dan menyebabkan cholangitis atau cholangiohepatitis yang akan berdampak pada penyumbatan/obstruksi duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati anjing adalahCapillaria hepatica.Cacing cestoda yang berhabitat pada sistem hepatobiliary anjing antara lainTaenia hydatigenadanEchinococcus granulosus.Cacing trematoda yang berhabitat di duktus empedu anjing meliputiDicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis tenuicollis, Pseudamphistomum truncatum, Methorcis conjunctus, M. albidus, Parametorchis complexus,dan lain-lain (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).Ikterus FisiologisSecara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam

3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)

4. Ikterus yang disertai oleh:

Berat lahir 8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB)

Pigmen empedu di urin Pada urin normal tak ada bilirubin yang dapat dideteksi. B tak dapat diekskresikan pada ginjal yang sehat karena kelarutannya yang rendah dan karena terikat kuat pada protein (albumin), sehingga pada ikterus hemolitik, kadar B meningkat, tak ada yang dapat dideteksi lewat urin. B yang larut air dan sejumlah kecil yang terikat lemah dengan protein, bisa diekskresikan lewat urin: dan bilirubin yang ditemukan dalam urin selalu dalam bentuk dikonjugasi. Bila B plasma tinggi, kemudian dapat dideteksi dalam urin sewaktu kadar bilirubin plasma >30 mol/L dan busa urin dikocok (Karena kelebihan garam empedu) berwarna kuning bila kadar bilirubin plasma >50 mol/L (walaupun ambangnya bervariasi).Urobilinogen Sejumlah kecil urobilinogen dapat dideteksi dalam urin normal yang segar. Ekskresi ke urin normal 24 jam adalah 0.5-5.0 mol.Pada ikterus hemolitik, banyak bilirubin berlebih dalam plasma masuk ke dalam urin yang mana meningkatkan jumlah urobilinogen yang terbentuk.Banyak urobilinogen yang diabsorbsi dan urobilinogen yang berlebih diekskresikan dalam urin. Pada ikterus obstruktif atau hepatoseluler yang berat, bilirubin hanya mencapai usus dalam jumlah kecil, sedikit urobilinogen yang terbentuk dan urobilinogen tak ditemukan dalam urin. Timbulnya kembali urobilinogen dalam urin, merupakan tanda pemulihan kolestasis.

Pasien pada skenario ini mengalami warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) bisa karena adanya peningkatan bilirubin atau urobilinogen. Adanya bilirubin menunjukkan kerusakan (sumbatan) pada saluran kanalikuli biliaris sehingga bilirubin tak bisa keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam urin menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang meningkat sehingga terjadi oksidasi berlebih yang akhirnya urin menjadi merah kecoklatan. Namun, pasien tidak mengalami sklera ikterik karena kadar bilirubin totalnya masih di bawah 3,5 mg/dl. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik.Interpretasi Pemeriksaan Fisik dan LaboratoriumInterpretasi pemeriksaan fisik

1. Sklera ikterik (-)

Jaundice merupakan tanda utama adanya penyakit pada liver. Biasanya pasien akan mengalami urin yang kecoklatan terlebih dahulu sebelum terjadi sklera ikterik. Jaundice jarang terjadi apabila kadar bilirubin serum masih dibawah 3,5 mg/dL. Sklera yang tidak ikterik menunjukkan bahwa kadar bilirubin serum masih dibawah 3,5 mg/dL.

2. Nyeri tekan epigastrium (+)

Salah satu manifestasi penyakit liver adalah nyeri tekan regio liver, yaitu hipokondriaca dextra dan epigastrium. Hal ini terjadi sebagai akibat dari penekanan atau iritasi pada kapsul Glisson yang melingkupi seluruh bagian liver, dimana pada kapsul tersebut terdapat banyak akhiran saraf.

3. Shiffting dullness (+)

Shiffting dullness yang positif pada saat perkusi regio abdomen menunjukkan adanya cairan dalam rongga abdomen (asites).

4. Undulasi (+)

Tes undulasi positif pada penderita asites.

5. Caput medusae (-)

Caput medusa merupakan suatu keadaaan dimana vena-vena disekitar umbilikus mengalami dilatasi dan akan tampak pada permukaan kulit. Hal ini terjadi karena naiknya aliran darah pada vena-vena umbilikal dan periumbilikal. Caput medusa yang tidak tampak pada kulit sekitar umbilikus mennjukkan tidak adanya kenaikan aliran darah pada vena-vena sekitar umbilikus.

6. Liver span 5 cm

Lebar hati dapat diukur dengan perkusi pada dua garis, midclavicularis dan midsternalis. Ukuran normalnya bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan tinggi badan. Rerata ukuran normal pada wanita di garis midclavicularis adalah 6 9 cm, pada pria 8 11 cm, sedangkan di garis midsternalis adalah 4 6 cm, pada pria 6 8 cm. Penambahan ukuran atau penurunan ukuran dapat terjadi pada berbagai penyakit.

7. Splenomegali Schuffner 1

Splenomegali merupakan suatu tanda penting yang mengarah pada penyakit liver. Splenomegali dapat terjadi pada berbagai kondisi medis, diantaranya:

a. Respon immun yang berlebih, seperti pada subakut endocarditis bakterial

b. Destruksi eritrosit yang berlebih, seperti pada thalassemia majorc. Kongestif, seperti pada trombosis vena lienalis, hipertensi porta, dan penyakit Banti.

d. Neoplasma

Pada skenario, penyakit yang dialami pasien menunjukkan tanda-tanda adanya penyakit pada liver, sehingga kondisi medis yang kemungkinan dialami pasien adalah hipertensi porta. (Wolf, 1990; Murphy, 2014; Ghany dan Hoofnagle, 2015)

Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium

Pada skenario, didapatkan hasil pemeriksaan fungsi hati sebagai berikut.

1. Tes Bilirubin serum

Bilirubin total: 2,5 mg/dL, mengalami kenaikan (N: 0.2-1.2 mg/dL)

Bilirubun direk: 2,1 mg/dL, mengalami kenaikan (N:0.1-0.4 mg/dL)

Bilirubin indirek: 0,4 mg/dL

2. Tes aminotransferase

SGOT (AST): 38 U/L, mengalami kenaikan (N: wanita1036 U/L, Pria 14-20 U/L)

SGPT (ALT): 42 U/L, mengalami kenaikan (N: wanita 735 U/L, pria 1040 U/L)

AST:ALT < 1

3. Tes Albumin serum: 32 g/dL, mengalami penurunan (N:3.5 to 5.5 g/dL)

Berdasarkan pada hasil yang didapatkan, maka dapat diambil simpulan bahwa penyakit yang diderita pasien pada skenario mengarah pada penyakit hepatoseluler kronik.

Hubungan Keluhan dengan Riwayat Penyakit DahuluPada pemeriksaan laboratorium didapatkan HbsAg (+). HBsAg (Hepatitis Bsurface antigen) merupakan penanda awal hepatitis B yang muncul 4 12 minggu setelah terinfeksi. Bila HBsAg menetap dalam darah lebih dari 6 bulan, maka itu berarti terjadi infeksi kronis.

Pada skenario, keluhan pasien sudah dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, menunjukkan kemungkinan adanya infeksi kronis dari hepatitis B kronis. Namun, selain HbsAg, perlu adanya pemeriksaan HBV DNA serum, kadar ALT/AST, dan biposi hati karena kriteria diagnostik hepatitis B kronis adalah sebagai berikut.KeadaanDefinisi KriteriaDiagnostik

Hepatitis B KronisProses Nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh infeksi persisten virus Hepatitis B

Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis dengan HBeAg+ dan HBeAg-1. HBsAg+ > 6 bulan

2. HBV DNA serum > 105copies/ml

3. Peningkatan kadar ALT/AST secara berkala/persisten

4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis (skor nekroinflamasi >4)

Definisi hepatitis B kronis adalah adanya persistensi virus HBV lebih dari 6 bulan, sehingga istilah carrier sehat tidak dianjurkan lagi. Di Asia, 5 % individu dewasa akan mengalami persistensi infeksi HBV.

Persistensi HBV akan menimbulkan kelainan yang berbeda pada tiap individu, tergantung dari konsentrasi partikel HBV dan respon imun tubuh. Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati.

Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis, yaitu

1) Fase Imunotoleransi. Pada masa anak-anak atau dewasa muda, system imun tubuh toleran terhadap HBV sehingga konsentrasinya dapat sangat tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. HBV sangat replikatif dengan titer HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT relatif normal. Pada fase ini juga sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan.2) Fase Imunoaktif/ Immune clearance. Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi HBV sehingga dapat terjadi nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Serokonversi HBeAg terjadi baik secara spontan maupun karena terapi, sekitar 70 % dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel HBV tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HBsAg rendah, HBeAg negatif, nti-HBe positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif.3) Fase nonreplikatif/ residual. Sekitar 20-30 % individu pasien hepatitis B kronis dapat mengalami reaktivasi dan kekambuhan pada fase ini, sehingga pada waktu terjadi serokonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada reaktivasi yang berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, biasanya replikasi HBV sudah mencapai titik minimal, dan berdasarkan penelitian menunjukkan bahwaangka harapan hidup pada pasien anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Akan tetapi, justru risiko untuk menjadi karsinoma hepatoseluler meningkat setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang. Diduga integrasi genom VHB ke dalam sel hati merupakan penyebab karsinogenesis sehingga terapi antivirus harus diberikan selama mungkin untuk mencagah sirosis, disamping untuk mencegah integrasi genom VHB ke dalam sel hati(Sudoyo, AW, et al, 2009).Penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis. Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B akut akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan HBs Ag positif dan menetapnya e-Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka mempunyai prognosis kurang baik (Sujono Hadi).

Virus hepatitis B yang masuk ke tubuh akan menuju organ yang memiliki reseptor terhadap antigen virus, salah satu yang paling sering yaitu organ hepar. Virus akan masuk ke sel hepatosit dan mengadakan replikasi kemudian setelah terbentuk beberapa komponen pembentuk virus baru maka virus akan melisiskan sel hepar untuk membentuk virus secara utuh. Akibatnya terjadi destruksi sel hepatosit yang juga memicu proses inflamasi. Hepatosit yang rusak tersebut akan digantikan oleh sel jaringan parut septa fibrosa difus dan nodul hepatosit. Jaringan parut tersebut menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lain (porta dengan sentral) yang disebut dengan Bridging necrosis. Pembuluh darah akan tertekan oleh jaringan parut yang bersifat rigit sehingga terjadi gangguan aliran darah porta dan peningkatan tekanan darah portal. Karena gangguan aliran darah di hepar maka terjadi hipoksia sel. Jika hipoksia terus terjadi akan terjadi kematian sel hepar karena tidak mendapat nutrisi dari darah. Kematian sel secara besar-besaran dinamakan nekrosis.Perubahan histopatologi yang terjadi menyebabkan peninggian tekanan pembuluh darah pada sistem vena porta dan berlanjut menjadi hipertensi portal. Hipertensi portal mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan. Retensi cairan pada rongga abdomen menyebabkan asites.Diagnosis Banding, Pemeriksaan Penunjang, Dan Penatalaksanaan1. Hepatitis

1.1. Hepatitis Akut

Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis E (HEV). Semua jenis virus hepatitis yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molekuler dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam perjalanan penyakitnya.

Di Indonesia, hepatitis A merupakan kasus terbanyak hepatitis akut yang dirawat di rumah sakit. Sebagian besar infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimptomatik atau anikterik. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi, mulai dari infeksi asimptomatik tanpa kuning sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi ke dalam 4 tahap yaitu:

Fase Inkubasi. Waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau icterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis, tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasinya.Fase Prodromal (praikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitan singkat atau insidious ditandai dengan malaise umum, myalgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas, dan anoreksia. Mual, muntah, dan anoreksia berhubungan dengan perubahan indera pengecap dan pembau. Diare atau konstipasi sering terjadi. Serum sickness dapat muncul pada hepatitis B akut awal infeksi. Demam derajat rendah umumnya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.

Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul icterus, jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.

Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu dan 16 minggu untuk hepatitis B. pada 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya < 1 % yang menjadi fulminan (Sudoyo, AW, et al, 2009).

Untuk transmisi atau penyebaran virus hepatitis, dibagi menjadi dua grup yaitu 1) virus hepatitis yang transmisinya secara enterik (HAV dan HEV), dan 2) virus hepatitis yang transmisinya melalui darah/ parenteral (HBV, HDV, dan HCV).

Patofisiologinya melibatkan respons CD8 dan CD4 sel T, terdapat produksi sitokin di hati dan sistemik dimana system imun bertanggung jawab untuk terjadinya kerusakan sel hati.

Gambaran Klinis Hepatitis Virus Akut

Pada infeksi yang sembuh spontan:

1) Mulai dari asimptomatik, infeksi yang tidak nyata, sampai bisa terjadi gagal hati akut.

2) Sindrom klinis yang mirip pada semua virus penyebab: malaise, mual muntah, gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, dan myalgia.

3) Awitan gejala cenderung mendadak pada HAV dan HEV, pada virus lain secara insidious.

4) Demam jarang ditemukan kecuali pada infeksi HAV.

5) Immune complex mediated, serum sickness like syndrome dapat ditemukan pada infeksi HBV.

6) Gejala prodromal menghilang pada pada saat timbul ikterus, tapi gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.

7) Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus biasanya ringan dan sementara.

8) Pemeriksaan fisik menunjukkan pembesaran dan nyeri tekan pada hati

9) Splenomegaly ringan dan limfadenopati.

Selain itu, dapat terjadi pula gejala lain yang spesifik pada hepatitis dengan gagal hati akut, hepatitis dengan kolestasis, dan pada hepatitis yang relaps.

Pemeriksaan Laboratorium

1) Peningkatan konsentrasi serum alanin dan aspartat aminotransferase yang bervariasi antara 500-5000 U/L

2) Konsentrasi serum bilirubin jarang melebihi 10 mg/dl kecuali pada hepatitis dengan kolestasis.

3) Konsentrasi fosfatase alkali normal atau hanya meningkat sedikit.

Penatalaksanaan pada Hepatitis Virus Akut:

1. Infeksi yang Sembuh Spontan

a. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual muntah atau anoreksia berat yang menyebabkan dehidrasi.

b. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat, hindari konsumsi alkohol selama fase akut

c. Menghindari aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan. Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung derajat kelelahan dan malaise.

d. Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A, E, D. Pemberian interferon-alfa pada hepatitis C akut dapat menurunkan risiko kejadian infeksi kronis. Peran Lamivudin dan Adenovir pada hepatitis B akut masih belum jelas. Kortikosteroid tidak bermanfaat (Sudoyo, AW, et al, 2009).

2. Gagal hati akut

a. Perawatan di Rumah Sakit segera setelah diagnosis ditegakkan, penanganan terbaik dengan transplantasi hati.

b. Belum ada terapi yang terbukti efektif.

c. Tujuannya adalah 1) sementara menunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan fungsi hati, dilakukan monitoring kontinyu dan terapi suportif, 2) pengenalan dini dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam nyawa, 3) Mempertahankan fungsi vital, 4) Persiapan transplantasi bila tidak terdapat perbaikan.

d. Angka survival mencapai 65-75 % bila dilakukan transplantasi dini (Sudoyo, AW, et al, 2009).

3. Hepatitis kolestasis

a. Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan pemberian jangka pendek prednisone atau asam urodioksikolat.b. Pruritus dapat dikontrol dengan antihistamin4. HepatitisRelaps: penanganan serupa dengan hepatitis yang sembuh spontan.

Pencegahan Terjadinya Hepatitis

Pencegahan dilakukan immunoprofilaksis atau vaksinasi, sampai saat ini sudah terdapat vaksin HAV dan HBV. Sedangkan untuk virus hepatitis yang lainnya masih dalam pengembangan (Sudoyo, AW, et al, 2009).

1.2. Hepatitis B Kronis

Definisi hepatitis B kronis adalah adanya persistensi virus HBV lebih dari 6 bulan, sehingga istilah carriersehat tidak dianjurkan lagi. Di Asia sebagian besar pasien hepatitis B kronis mendapat infeksi pada masa perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak mengalami keluhan ataupun gejala sampai akhirnya terjadi penyakit hati kronis. 90 % individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronis. Sedangkan hanya 5 % individu dewasa yang akan mengalami persistensi infeksi.

Persistensi HBV akan menimbulkan kelainan yang berbeda pada tiap individu, tergantung dari konsentrasi partikel HBV dan respon imun tubuh. Makin besar respon mun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati.

Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis, yaitu

4) Fase Imunotoleransi. Pada masa anak-anak atau dewasa muda, system imun tubuh toleran terhadap HBV sehingga konsentrasinya dapat sangat tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. HBV sangat replikatif dengan titer HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT relatif normal. Pada fase ini juga sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan.5) Fase Imunoaktif/ Immune clearance. Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi HBV sehingga dapat terjadi nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Serokonversi HBeAg terjadi baik secara spontan maupun karena terapi, sekitar 70 % dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel HBV tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HBsAg rendah, HBeAg negatif, nti-HBe positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif.6) Fase nonreplikatif/ residual. Sekitar 20-30 % individu pasien hepatitis B kronis dapat mengalami reaktivasi dan kekambuhan pada fase ini, sehingga pada waktu terjadi serokonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada reaktivasi yang berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, biasanya replikasi HBV sudah mencapai titik minimal, dan berdasarkan penelitian menunjukkan bahwaangka harapan hidup pada pasien anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Akan tetapi, justru risiko untuk menjadi karsinoma hepatoseluler meningkat setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang. Diduga integrasi genom VHB ke dalam sel hati merupakan penyebab karsinogenesis sehingga terapi antivirus harus diberikan selama mungkin untuk mencagah sirosis, disamping untuk mencegah integrasi genom VHB ke dalam sel hati(Sudoyo, AW, et al, 2009).Diagnosis Dan Evaluasi Pasien Hepatitis B KronisHepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati (Tabel 1). Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN)Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA. Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi.

Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi (precoreataucore mutant).Penelitian menunjukkan bahwa pada seseorang HBeAg negatif ternyata memiliki HBV DNA > 105copies/ml. Pasien hepatitis kronis B dengan HBeAg negatif yang banyak terjadi di Asia dan Mediteranea umumnya mempunyai kadar HBV DNA lebih rendah (berkisar 104-108copies/ml) dibandingkan dengan tipe HBeAg positif. Pada jenis ini meskipun HBeAg negatif, remisi dan prognosis relatif jelek, sehingga perlu diterapi.

Tabel.1 Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitisKeadaanDefinisi KriteriaDiagnostik

Hepatitis B KronisProses Nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh infeksi persisten virus Hepatitis B

Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis dengan HBeAg+ dan HBeAg-1. HBsAg+ > 6 bulan

2. HBVDNA serum > 105copies/ml

3. Peningkatan kadar ALT/AST secara berkala/persisten

4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis (skor nekroinflamasi >4)

Carrier HBsAg inaktifInfeksi virus hepatitis B persisten tanpa disertai proses nekroinflamasi yang signifikan1. HBsA+ > 6 bulan

2. HBeAg- , anti HBeAg+

3. HBVDNA serum < 105copies/ml

4. Kadar ALT/AST normal

5. Biopsi hati menunjukkan tidak adanya hepatitis yang signifikan (skor nekroinflamasi < 4)

Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B kronis dan keadaan carrier HBsAg inaktif (Tabel 1). Yang membedakan keduanya adalah titer HBV DNA, derajat nekroinflamasi dan adanya serokonversi HBeAg. Sedangkan hepatitis kronis B sendiri dibedakan berdasarkan HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif.

Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus. Ada beberapa persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA.Pertama, metode yang digunakan untuk mengukur kadar HBV DNA. Saat ini ada beberapa jenis pemeriksaan HBV DNA, yaitu : branched DNA, hybrid capture, liquid hybridization dan PCR. Dalam penelitian, umumnya titer HBV DNA diukur menggunakan amplifikasi, seperti misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai 100-1000 copies/ml.Ke dua, beberapa pasien dengan hepatitis B kronis memiliki kadar HBV DNA fluktuatif.Ke tiga, penentuan ambang batas kadar HBV DNA yang mencerminkan tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier hepatitis inaktif dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif : kadar105 copies/ml merupakan batas penentuan untuk hepatitis B kronis.

Tabel 2 Evaluasi pasien hepatitis B kronis

ParameterKeterangan

Evaluasi awal1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati : darah rutin dan fungsi hati

3. Pemeriksaan replikasi virus : HBeAg, Anti HBe dan HBV DNA

4. Pemeriksaan untuk menyisihkan penyakit hati lainnya : anti HCV, anti HDV (khususnya pengguna narkoba injeksi atau daerah endemik)

5. Skrining karsinoma hepatoselular : kadar alfa feto protein dan ultrasonografi

6. Biopsi hati pada pasien yang memenuhi kriteria hepatitis kronis

Follow uppasien yang belum diterapiPasien HBeAg posiif dan HBV DNA > 105copies/ml dan kadar ALT normal :1. Pemeriksaan ALT setiap 3-6 bulan

2. Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa ulang setiap 1-2 bulan

3. Bila ALT > 2 x BANN selama 3-6 bulan, pertimbangkan biopsi dan terapi

4. Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular.

PasiencarrierHBsAg inaktif :1. Pemeriksaan ALT setiap 6-12 bulan

2. Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa HBV DNA dan singkirkan penyebab penyakit hati lainnya

3. pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular

*Keterangan : BANN ( Batas Atas Nilai Normal)Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatankadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktifTujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah denganHistologic Activity Index scorePada setiap pasien dengan infeksi HBV perlu dilakukan evaluasi awal. Pada pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA > 105copies/ml dan kadar ALT normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu dilakukan pemeriksaan ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS, jika perlu dilakukan biopsi hati. Sedangkan bagi pasien dengan keadaancarrierHBsAg inaktif perlu dilakukan pemantauan kadar ALT dan HBV DNA.

Pengobatan Hepatitis B KronisTujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati, dan mencegah karsinoma hepatoselular. Sasaran pengobatan adalah menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT. Sasaran sebenarnya adalah menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga sasaran tersebut tidak digunakanTabel 3 Penilaian respon terapi hepatitis B kronis

Respon TerapiKeterangan

1. KimiawiPenurunan kadar ALT menjadi normal

2. VirologiKadar HBV DNA menurun / tidak terdeteksi (< 105copies/ml)

HBeAg+ menjadi HbeAg

3. HistologiPada pemeriksaan biopsi hati, indeks aktifitas histologi menurun paling tidak 2 angka dibandingkan sebelum terapi

4. Respon komplitTerpenuhinya kriteria : biokimiawi, virologi dan menghilangnya HBsAg

InterferonInterferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus.

Lamivudin

Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo. Namun lamivudin memicu resistensi.AdefovirAdefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling tidak selama satu tahun.Peginterferon

Analog nucleotide lainnyaDi samping entecavir, saat ini beberapa obat antivirus sedang dalam tahap penelitian, seperti : telbivudine, emtricitabine, clevudine dan LB 80380 (ANA 380). 1.3. Hepatitis C Kronis

Infeksi HCV pada sebagian besar kasus dapat menjadi hepatitis C kronis yang dapat membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati. Infeksi HCV merupakan salah satu indikasi utama transplantasi hati di Negara maju.

Gejala klinisnya pada umumnya asimptomatik pada infeksi akut HCV, dan hanya 20-30 % kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut seperti pada hepatitis yang disebabkan virus hepatitis lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara infeksi oleh virus hepatitis A, B, dan C berdasarkan gejala klinis dan laboratorik saja.

Infeksi akan menjadi kronis pada 70-90 % kasus dan seringkali asimptomatik walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20 % pasien hepatitis C kronis.

Kerusakan hati akibat infeksi kronik dapat tergambar pada pemeriksaan fisik dan laboratorik jika sudah terjadi sirosis. Progresifitas menjadi sirosis hati tergantung pada beberapa faktor risiko yaitu: 1) asupan alkohol, 2) ko-infeksi dengan HBV atai HIV (Human Immunodeficiency Virus), 3) jenis kelamin laki-laki, dan 4) usia tua saat terjadinya infeksi.

Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstrahepatik, seperti krioglobulinemia dengan komplikasinya (glomerulopati, kelemahan, vasculitis, purpura, atralgia), porphyria cutanea tarda, dan lain sebagainya. Patofisiologi gangguan ekstrahepatik dihubungkan dengan kemampuan HCV untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu respons system imun tubuh. Sel-sel lymphoid yang terinfeksi dapat berubah menjadi ganas sehingga sering terjadi kejadian Limfoma non-Hodgkin pada pasien dengan infeksi HCV.

Diagnosis infeksi HCV dilakukan dengan memeriksa antibody yang dibentuk tubuh terhadap HCV. Antibody ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak bersifat protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi HCV pada infeksi akut, namun antibody terhadap HCV masih terus bertahan bertahun-tahun (18-20 tahun) (Sudoyo, AW, et al, 2009).

Penatalaksanaan dan terapi Hepatitis C Kronis

Pengobatan pada hepatitis C kronis adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotip HCV adalah genotip 1 dan 4, terapi diberikan selama 48 minggu dan bila genotip 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu. Keberhasilan terapi dengan interferon alfa dan ribavirin untuk eradikasi HCV lebih kurang 60 % dan tergantung pada beberapa hal.

Kontraindikasi terapi interferon alfa dan ribavirin adalah pasien beumur > 60 tahun, Hb < 10 gr/dl, leikosit darah < 2500/uL, trombosit < 100.000/uL, adanya gangguan jiwa, dan adanya hipertiroid. Pasien dengan gangguan ginjal juga tidak diindikasikan mengguanakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi(Sudoyo, AW, et al, 2009).

2. Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).

Menurut sherlock, secara anatomis Sirosis Hepatis ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja.EtiologiPenyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas. Terdapat beberapa teori etiologi :a. Faktor keturunan dan malnutrisi

Waterloo (1997) berpendapat bahwa faktor kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein hewani menjadi penyebab timbulnya Sirosis Hepatis. Menurut Campara (1973) untuk terjadinya Sirosis Hepatis ternyata ada bahan dalam makanan, yaitu kekurangan alfa 1-antitripsin.

b. Hepatitis virus

Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A. penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B akut akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan HBs Ag positif dan menetapnya e-Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka mempunyai prognosis kurang baik (Sujono Hadi).

c. Zat hepatotoksik

Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan berupa Sirosis Hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat terjadi Sirosis Hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alcohol. Efek yang nyata dari etil-alkohol adalah penimbunan lemak dalam hati (Sujono Hadi).

d. Penyakit Wilson

Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda dengan ditandai Sirosis Hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebutKayser Fleiscer Ring.Penyakit ini diduga disebabkan defisiensi bawaan dan sitoplasmin.

e. Hemokromatosis

Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu :

sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.

kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya Sirosis Hepatis.

f. Sebab-sebab lain

kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi dan nekrosis sentrilibuler.

sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.

penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut Reer 40%, Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam makanannya cukup mengandung protein.PatogenesisMekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus menjadi Sirosis Hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu :

1. Mekanis

2. Immunologis

3. Kombinasi keduanya

Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblast dan pembentukan jaringan ikat.

MekanismePada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka reticulum lobul yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.

Teori ImunologisSirosis Hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2 bentuk hepatitis kronis :

Hepatitis kronik tipe B

Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB

Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati.

Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsy hati berulang pada penderita hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa berlangsung sangat lama. Bisa lebih dari 10 tahun.

Sirosis hepatis dapat menyebabkan terjadinya asites. Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis Hepatis, yaitu :

1. Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum. Pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu fungsinya, maka pembentukan albumin juga terganggu, dan kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga berkurang. Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan tanda kritis untuk timbulnya asites.

2. Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises esophagus, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan menghilang walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium . dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.

KlasifikasiSherlock secara morfologi membagi Sirosis Hepatis berdasarkan besar kecilnya nodul, yaitu:

Makronoduler (Irreguler, multinoduler)

Mikronoduler (regular, monolobuler)

Kombinasi keduanya

Gambaran klinikMenurut Sherlock, secara klinis, Sirosis Hepatis dibagi atas 2 tipe, yaitu :

sirosis kompensata atau latent chirrosis hepatic

sirosis dekompensata atau active chirrosis hepatic

Atau

Sirosis Hepatis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Sirosis Hepatis ini mungkin tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara kebetulan pada hasil biopsy atau pemeriksaan laparoskopi

Sirosis Hepatis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada penderita ini sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati misalnya ada ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan laboratirim pada tes faal hati. Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites, splenomegali, venektasi di perut.

LaboratoriumUrineDalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang, dan pada penderita yang berat ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1).

TinjaMungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus ekskresi pigmen empedu rendah.

DarahBiasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-kadang dalam bentuk makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi hipokromik anemia. Juga dijumpai leukopeni bersama trombositopeni. Waktu protombin memanjang dan tidak dapat kembali normal walaupun telah diberi pengobatan dengan vitamin K. gambaran sumsum tulang terdapat makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada kenaikan kadar globulin dalam darah.

Tes faal hatiPenderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi bagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini tampak jelas menurunnya kadar serum albumin 40 U/l sebanyak 60,1%. Menurunnya kadar tersebut di atas adalah sejalan dengan hasil pengamatan jasmani, yaitu ditemukan asites sebanyak 85,79%.

KomplikasiKomplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah:

1. Perdarahan Gastrointestinal

Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.

2. Koma hepatikum

Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.

Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.

3. Ulkus peptikum

Menurut Tumen timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.

4. Karsinoma hepatoselular

Sherlock (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.

5. Infeksi

Setiappenurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.

3. Ascites

Ascites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar, yakni transudasi dan eksudasi. Ascites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme trasnsudasi. Ascites jenis ini merupakan yang paling sering terjadi di Indonesia. Ascites dapat disebabkan oleh banyak penyakit.

Pemeriksaan gradien nilai albumin serum dan asites penting dilakukan pada kasus ascites untuk membedakan asites yang ada hubungannya dengan hipertensi porta (asites trasnsudasi) atau asites eksudat. Disepakati bahwa gradien dikatakan tinggi bila nilainya > 1,1 gram/dL. Kurang dari nilai tersebut dikatakan gradien rendah. Gradien tinggi terdapat pada asites transudasi dan berhubungan dengan hipertensi porta, sedangkan nilai gradient rendah lebih sering terdapat pada asites eksudatseperti pada tabel berikut(Sudoyo, AW, et al, 2009).

Klasifikasi asites dihubungkan dengan gradien Albumin Serum-Asites

Gradien TinggiGradien Rendah

Sirosis hatiKarsinomatosis peritoneum

Gagal hati akutPeritonitis tuberkulosa

Metastasis hati massifAsites surgical

Gagal jantung kongestifAsites biliaris

Sindrom Budd-ChiariPenyakit jaringan ikat

Penyakit veno oklusifSindroma nefrotik

MiksedemaAsites pankreatik

Penatalaksanaan Asites

Pengobatan asites transudat dilakukan secara komprehensif, meliputi:

1) Tirah Baring, tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika pada pasien asites transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Tirah baring dilakukan dengan tidur telentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat antidiuretika.2) Diet, diet rendah garam ringan samapai sedang dapat membantu diuresis, konsumsi garam dibatasi hingga 40-60 meq/hariDiuretika, yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorbsi Na.3) Terapi Parasentesis, untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan diikuti dengan subtitusi albumin parenteral 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya tetap diberikan terapi konvensional. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan Child-Pugh C, kecuali asites tersebut refrakter.4) Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari, asites sebagai penyakit komplikasi dapat diobati dengan menyembuhkan penyakit yang mendasari, sedangkan asites yang merupakan komplikasi dari pengobatan yang tidak dapat disembuhkan memerlukan pengobatan sendiri, misalnya pada karsinomatosis peritoneum, asites sering hanya dilakukan pengobatan paliatif dengan parasentesis berulang (Sudoyo, AW, et al, 2009).Pemeriskaan PenunjangTes fungsi hati ada berbagai macam, namun yang sering dipakai adalah tes bilirubin, aminotransferase, alkalin fosfat, albumin, dan tes waktu protombin. Tes fungsi hati dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besar sebagai berikut.

1. Tes fungsi detoksifikasi dan ekskretoris

a. Bilirubin serum

Bilirubin merupakan hasil dari pemecahan rantai phorpyrin pada heme dari hemoglobin yang ditemukan dalam darah dalam dua bentuk, terkonjungasi (direk) dan belum terkonjugasi (indirek). Bilirubin indirek bersifat tidak larut dalam air, sehinnga diikat oleh albumin dalam darah, sedangkan bilirubin direk bersifat sebaliknya, larut air dan akan dieksresikan oleh ginjal. Pada tes modifikasi van den bergh, kadar normal bilirubin serum total adalah 1 1,5 mg/dL dan kadar normal bilirubin direk adalah 0,3 mg/dL.

Kenaikan pada kadar bilirubin indirek jarang menunjukkan adanya penyakit pada hati. Hiperbilirubinemia indirek biasanya terjadi pada penyakit-penyakit hemolitik, seperti Gilbert's syndromes dan Crigler-Najjar. Sementara kenaikan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya kelainan hati atau penyakit saluran empedu. Pada kebanyakan penyakit hati, baik bilirubin direk maupun indirek, kadarnya mengalami kenaikan. Kenaikan kadar bilirubin total menunjukkan adanya kerusakan seluler hati, seperti pada hepatitis virus, hepatitis alkoholik, dan sirosis hepatis.b. Bilirubin urin

Keberadaannya pada urin menunjukkan adanya penyakit pada hati. Pemeriksaan ini didahulukan dari bilirubin serum pada pasien yang tidak mengalami jaundice (penyakit kuning).

c. Ammonia darah

d. Enzim serum

Dikelompokkan dalam 3 kelompok, enzim-enzim yang kenaikannya menunjukkan adanya kerusakan pada hepatosit, enzim-enzim yang kenaikannya menunjukkan adanya cholestasis (penurunan aliran empedu akibat berkurangnya sekresi hepatosit atau akibat obstruksi pada saluran keluarnya, bisa intrahepatik atau ekstrahepatik), dan enzim-enzim yang tidak menunjukkan pada kedua hal tadi.

1) Enzim-enzim yang kenaikannya menunjukkan adanya kerusakan pada hepatosit, yaitu enzim-enzim aminotransferase (transaminase). Termasuk dalam transaminase adalah aspartate aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT). ALT merupakan indikator kerusakan hati yang lebih spesifik dibanding AST. Enzim aminotransferase secara normal berada dalam serum dengan kadar yang rendah, yaitu 10-40 IU /L. Pada gannguan hepatoseluler akut, kebanyakannya menunjukkan kadar ALT yang lebih besar atau sama dengan AST. Rasio AST:ALT < 1 biasanya terjadi pada hepatitis kronik, sedangakan apabila rasio AST:ALT > 2, biasanya menunjukkan penyakit hepar alkoholik.

2) enzim-enzim yang kenaikannya menunjukkan adanya cholestasis, yaitu alkaline phosphatase, 5' nucleotidase, dan y-glutamyl transpeptidase (GGT). alkaline phosphatase dan 5' nucleotidase merupakan indikator cholestasis yang lebih spesifik dibanding GGT.

2. Tes fungsi biosintetik

a. Albumin serum

Albumin serum secara ekskluf disintesis oleh hepatosit. Albumin serum memiliki waktu paruh yang panjang, yaitu 18 20 hari, dimana kurang lebih 4% mengalami degradasi setiap harinya. Pada hepatitis, kadarnya < 3 g/dL (Hipoalbuminemia) menunjukkan kemungkinan adanya penyakit hati kronis, seperti sirosis hepatis. Pengecualian pada pasien dengan asites, dimana sintesis albumin masih normal atau bahkan lebih, tetapi didapatkan levelnya tetap rendah, hal itu terjadi karena naiknya volume distribusi. Bagaimanapun, hipoalbunemia tidak spesifik untuk penyakit pada hati, melainkan juga dapat terjadi pada keaadaan malnutrisi protein. Tes ini hanya diindikasikan bagi pasien yang diduga menderita penyakit hati.

b. Globulin Serum

3. Tes faktor koagulasi

Tes fungsi hati ini akan menunjukkan suatu pola yang dapat dipergunakan dalam menegakkan diagnosis. Berikut beberapa polanya:

1. Penyakit hepatoseluler akut (hepatitis viral dan obat, hepatotoksin, dan gagal jantung akut)

Tes bilirubin : bilirubinuria dan kenaikan kadar bilirubin direk dan indirek

Tes aminotransferase: kadarnya naik, biasanya > 500 IU, ALT > AST

Tes alkalin phospatse: kadarnya normal atau naik < 3 kali kadar normal

Tes Albumin: kadarnya normal

Waktu protombin: normal

2. Pada penyakit hepatoseluler kronik

Tes bilirubin : bilirubinuria dan kenaikan kadar bilirubin direk dan indirek

Tes aminotransferase: kadarnya naik, namun < 300 IU, AST:ALT < 1

Tes alkalin phospatse: kadarnya normal atau naik < 3 kali kadar normal

Tes Albumin: sering kali kadarnya turun

Waktu protombin: mengalami pemanjangan

3. Hepatitis alkoholik dan sirosis hepatis

Tes bilirubin : bilirubinuria dan kenaikan kadar bilirubin direk dan indirek

Tes aminotransferase: AST:ALT > 2

Tes alkalin phospatase: kadarnya normal atau naik < 3 kali kadar normal

Tes Albumin: sering kali kadarnya turun

Waktu protombin: mengalami pemanjangan(Pratt, 2015).Ada 3 pemeriksaan standar yang bisa di lakukan pada diagnosis hepatitis B, diantaranya :

1. HBsAg ( Hepatitis Bsurface antigen)Merupakan penanda awal hepatitis B yang muncul 4 12 minggu setelah terinfeksi. Bila HBsAg menetap dalam darah lebih dari 6 bulan, maka itu berarti terjadi infeksi kronis.

2. Anti HBc ( Antibodi terhadap antigen inti hepatitis B )

Antibodi ini terdiri dari 2 tipe yaitu IgM anti HBc dan IgG anti HBc

Anti HBc IgM-Muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi, dapat bertahan hingga 6 bulan.- Berperan padacore window( fase jendela ) yaitu masa dimana HBsAg sudah hilang tetapi anti HBs belum muncul.

-10% hepatitis akut akan terdeteksi hanya dengan memeriksa HbsAg.

Anti HBc IgG- Muncul sebelum anti HBc IgM hilang.

- Terdeteksi pada hepatitis akut dan kronis

- Dapat bertahan pada fase penyembuhan ( kadar rendah )

- Tidak mempunyai efek protektif

Interpretasi hasil positif anti HBc biasanya tergantung hasil pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs.

3. Anti HBs ( Antibodi terhadap hepatitis Bsurface antigen)

Jika hasilnya positif atau reaktif menunjukkan adanya imunitas / kekebalan terhadap infeksi HBV, baik dari vaksinasi maupun dari proses penyembuhan infeksi masa lampau. Seseorang yang terinfeksi pada masa lampau tidak menularkan penyakitnya terhadap orang lain.

BAB III

KESIMPULAN

1. Perut sebah merupakan gejala asites akibat retensi cairan di rongga abdomen. 2. Retensi cairan diakibatkan oleh hipertensi vena portal yang merupakan akibat dari penekanan vena porta oleh sirosis hepatis yang mengalami infeksi hepatitis B kronis.3. Hipertensi portal dapat menyebabkan ulkus dudenum yang dirasakan sebagai nyeri ulu hati melalui berkurangnya oksigenasi mukosa usus sehingga kelenjar mukosa tidak dapat mensekresi cairan mukosa sebagai pertahanan terhadap faktor-faktor agresif.4. Kerusakan hepar akibat infeksi virus hepatitis yaitu tersumbatnya saluran kanalikuli biliaris menyebabkan bilirubin tak bisa keluar, akhirnya mengalir masuk ke pembuluh darah menuju ginjal dan menyebabkan urin berwarna kecoklatan seperti air teh.5. Untuk mendiagnosis terjadinya hepatitis kronis perlu dilakukan pemeriksaan HbsAg, HBc, anti HBs, HBV serum, dan ALT/AST serta biopsi hepar bila perlu6. Pengobatan hepatitis B kronis dapat menggunakan interferon, lamivudin, atau adefoir.BAB IV

SARAN

Saran kepada kami peserta tutorial antara lain adalah kami harus lebih jeli dan memperluas bacaan untuk kami jadikan referensi dalam menyelesaikan masalah pada skenario ini. Untuk itu kami harus lebih banyak membaca literatur, serta lebih aktif lagi dalam menyampaikan pendapat sehingga kedapannya diskusi menjadi lebih menarik, serta dapat menjawab Learning Objective tutorial yang telah ditetapkan.

Daftar Pustaka

Baron D. N., 1995.Kapita Selekta Patologi Klinik Edisi 4. Jakarta : EGC

Cahyono, J.B. Suharjo B. 2006. Cermin Dunia Kedokteran No. 150, Palembang

Guyton A. C, Hall J. E. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.Ghany, M.G. dan Hoofnagle, J.H. (2015). Liver and biliary disease. Harrisons: Principles of internal medicine. Edisi sembilan belas. USA: McGraw-Hill companies, Inc., pp: 1990-1993.

Murphy, G.M. (2014). Splenomegaly. USA: Medscape Reference. http://emedi ci ne.medscape.com/ar ti cl e/206208 over vi ew#aw2aab6b2b2. Diakses Mei 2015.

Sudoyo, Aru W, et al,. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta Pusat: Interna Publishing. pp 627-676Pratt, D.S. (2015). Evaluation of liver function. Harrisons: Principles of internal medicine. Edisi sembilan belas. USA: McGraw-Hill companies, Inc., pp: 1995-1998.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC

Price S. A., Wilson L. M., 1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta : EGC

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta Pusat: Interna Publishing. pp 627-676

Wolf, D.C. (1990). Clinical methods: The history, physical, and laboratory ex