laporan tutorial skenario 2 blok mata
-
Upload
sayekti-asih -
Category
Documents
-
view
862 -
download
19
description
Transcript of laporan tutorial skenario 2 blok mata
LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL
BLOK MATA SKENARIO 2
Konjungtivitis
OLEH :
Kelompok 18
Aryo Seno G0010Annisa Pertiwi G0010Chumaidah N G0010Endang Susilowati N G0010072Firza F G0010M. Maulana S G0010Maulidina K G0010122Nurul Dwi U G0010Rukmana W G0010Wahyu Aprillia G0010
Nama Tutor : dr. Muthmainah
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Gangguan pada mata dengan gejala mata merah sering ditemukan pada
keadaan sehari-hari. Penyakit dengan gejala mata merah dapat dibagi menjadi
penyakit yang tidak disertai dengan gangguan penglihatan dan penyakit yang
disertai dengan gangguan penglihatan. Meskipun penyakit mata merah tidak
disertai gangguan penglihatan, penderita tetap akan berkonsultasi kepada
tenaga kesehatan. Penyebabnya di antara lain karena gejala lain yang timbul
selain mata merah juga dapat mengganggu penderita. Selain itu penderita
yang memiliki penyakit dengan gejala mata merah pun cenderung akan
dihindari oleh lingkungan sekitarnya karena kekhawatiran akan menularkan
penyakitnya. Ditinjau dari ilmu penyakit mata pun penyakit dengan gejala
mata merah tanpa disertai gangguan penglihatan pun bila berlangsung kronis
pada akhirnya akan mengganggu penglihatan penderita hingga dapat
menurunkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa
kedokteran untuk memahami penyakit pada mata dengan gejala mata merah
tanpa disertai gangguan penglihatan.
Untuk membantu proses pemahaman, dibahas suatu kasus mengenai
seorang pasien perempuan usia 40 tahun dengan keluhan mata kanan merah
sejak 3 hari yang lalu. Selain itu juga merasa gatal, berair, serta kelopak mata
bengkak dan lengket ketika bangun tidur di pagi hari. Akan tetapi pasien tidak
mengeluh pandangan mata kanannya kabur ataupun silau. Setelah dilakukan
pemeriksaan, didapat VOD 6/6, pada konjungtiva bulbi didapatkan injeksi
konjungtiva, konjungtiva palpebra hiperemi, terdapat sekret, dan kornea
jernih.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari konjungtiva,
apparatus lacrimalis, dan palpebra?
2. Bagaimanakah patofisiologi dan interpretasi dari keluhan-keluhan yang
dirasakan pasien?
3. Bagaimanakah patofisiologi dan interpretasi dari gejala-gejala yang
didapat dari hasil pemeriksaan?
4. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan?
5. Apa sajakah diagnosis banding dari kasus yang dibahas?
6. Apakah tata laksana dari kasus yang dibahas?
III. TUJUAN
1. Memahami anatomi, fisiologi, dan histologi dari konjungtiva, apparatus
lacrimalis, dan palpebra.
2. Memahami patofisiologi dan interpretasi dari keluhan-keluhan yang
dirasakan pasien pada kasus.
3. Memahami patofisiologi dan interpretasi dari gejala-gejala yang didapat
dari hasil pemeriksaan.
4. Memahami pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan.
5. Memahami diagnosis banding dari kasus yang dibahas.
6. Memahami tata laksana dari kasus yang dibahas.
IV. MANFAAT
1. Memahami kelainan-kelainan pada mata bagian luar yang tidak disertai
dengan penurunan visus.
2. Dapat memahami dasar-dasar ilmu ophtalmologi dan bentuk kelainan-
kelainannya.
3. Dapat menentukan differential diagnosis penyakit ophtalmologi
(terutama pada mata bagian luar) berdasarkan gejala klinis dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang ada.
4. Dapat menentukan diagnosis kerja dari differential diagnosis penyakit
mata bagian luar yang telah ditentukan.
5. Dapat menentukan tatalaksana yang menyeluruh dan tepat bagi penderita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi, Fisiologi Dan Histologi Palpebra, Konjungtiva Dan Apparatus
Lakrimalis
A. PALPEBRA
Palpebra atau kelopak mata mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan komea.
Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata
terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata.Dapat membuka diri
untuk memberi jalan masuk sinar kedalam bola mata yang dibutuhkan untuk
penglihatan.
Pembasahan dan pelicinan seluruh permukaan bola mata terjadi karena
pemerataan air mata dan sekresi berbagai kelenjar sebagai akibat gerakan buka
tutup kelopak mata. Kedipan kelopak mata sekaligus menyingkirkan debu yang
masuk.
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian
belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.
Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata
sehingga terjadi keratitis et lagoftalmos.
Pada kelopak terdapat bagian-bagian :
Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat,
kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.
Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam
kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat
tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai
M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi
N. facial M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus foramen orbita
dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis
okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M.
levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini
dipersarafi oleh N. III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata
atau membuka mata.
Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan
kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo
palpebra.
Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita
merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.
Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada
seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan
ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar
Meibom (40 bush di kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah).
Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.
Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N.V,
sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan
melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus
okuli. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang mempunyai sel Goblet
yang menghasilkan musin.
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea
B. KONJUNGTIVA
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus
2. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera
3. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva selain konjungtiva tarsal, berhubungan longgar dengan jaringan
dibawahnya, oleh karenanya bola mata mudah digerakkan.
Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat,superfisial dan basal. Sel epitel superfisial mengandung sel goblet bulat
atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang mendorong inti sel goblet ke tepi
dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu
lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa stratum
germativum.
Hipertropi papilar adalah reaksi konjungtiva non-spesifik berupa eksudat radang
yang berkumpul di antara serabut-serabut konjungtiva yang membentuk tonjolan
pada konjungtiva. Kemosis yang hebat sangat mengarah pada konjungtivitis
alergika. Folikel tampak pada sebagian besar kasus konjungtivitis viral. Folikel
sendiri merupakan hiperplasi limfoid lokal di dalam lapisan limfoid konjungtiva
dan biasanya mempunyai pusat germinal. Pseudomembran dan membran
merupakan hasil dari proses eksudatif hanya berbeda derajat. Pada psedomembran
epitel tetap utuh sedangkan pada membran melibatkan koagulasi epitel juga.
C. APPARATUS LAKRIMALIS
Aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi
dansistem ekskresi air mata. Berikut adalah gambar anatomi dari sistem lakrimalis
Sistem Sekresi Air Mata
Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air
mata perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung menurun
seiring dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh
kelenjar air mata utama yang terletak di fossa lakrimalis pada kuadran temporal di
atas orbita. Kelenjar yang berbentuk seperti buah kenari ini terletak didalam
palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator
menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil. Setiap
lobus memiliki saluran pembuangannya tersendiri yang terdiri dari tiga sampai
dua belas duktus yang bermuara di forniks konjungtiva superior. Sekresi dari
kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata
mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora). Persarafan pada kelenjar
utama berasal nukleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius dan menempuh
jalur kompleks dari cabang maksilaris nervus trigeminus.
Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa utama,
mempunya peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan
kelenjar utama yang menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki sistem
saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks
superior. Sel goblet uniseluler yang tersebar di konjungtiva menghasilkan
glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea Meibom dan Zeis
di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah
modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film prekorneal
Sistem Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting – mulai
di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan
menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Setiap kali
mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga
memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan
sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah sebabnya hanya sedikit yang
sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan
masuk ke punkta sebagian karena hisapan kapiler.
Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang mengelilingi
ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara bersamaan, palpebra
ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi sakus
lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif
pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus, yang
kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis – karena pengaruh gaya berat dan
elastisitas jaringan – ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan mirip-katup
dari epitel pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik air mata dan udara.
Yang paling berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di ujung
distal duktus nasolakrimalis.
HISTOLOGI PALPEBRA
Lapisan terluar palpebra adalah kulit tipis. Epidermis terdiri atas epitel
berlapis gepeng dengan papilla. Di dalam dermis di bawahnya terdapat folikel-
folikel rambut dengan kelenjar sebasea terkait. Di dalam dermis juga terdapat
kelenjar keringat.
Lapisan terdalam palpebra adalah membrane mukosa, disebut konjungtiva
palpebra; lapisan ini terletak bersebelahan dengan bola mata. Epitel pelapis
konjungtiva palpebra adalah epitel berlapis silindris rendah dengan sedikit sel
goblet. Epitel berlapis gepeng kulit berlanjut ke atas tepi palpebra, kemudian
ditransformasi menjadi jenis berlapis silindris konjungtiva palpebra, lamina
propria tipis konjungtiva palpebra mengandung serat-serat kolagen dan elastin. Di
bawah lamina propria terdapat lempeng jaringan ikat kolagen, yaitu tarsus. Daerah
ini mengandung kelenjar sebacea khusus (besar), yaitu kelenjar tarsalis meibom.
Asini sekretoris kelenjar ini ke dalam sebuah duktus sentral panjang yang berjalan
paralel dengan konjungtiva palpebra dan bermuara di tepi palpebra.
Ujung bebas palpebra mengandung bulu mata yang muncul dari folikel
rambut besar dan panjang. Terdapat kelenjar sebasea kecil yang berkaitan dengan
bulu mata. Di antara folikel rambut bulu mata terdapat kelenjar keringat moll.
Palpebra mengandung tiga set otot: bagian terbesar palpebra adalah otot
rangka, orbikularis okuli; muskulus siliaris (Roilan) di daerah folikel rambut bulu
mata dan kelenjar tarsal; dan di bagian atas palpebra terdapat berkas-berkas otot
polos, yaitu muskulus tarsalis superior (Muller).
Jaringan ikat palpebra juga mengandung jaringan lemak, pembuluh darah,
dan jaringan limfatik (Eroschenko, 2003).
SISTEM LAKRIMASI
Sistem lakrimasi di bagi menjadi dua:
Struktur yang mensekresikan air mata
Air mata disekresikan oleh glandula lakrimal yang berada di superior temporal
tulang orbital pada fossa lacrimal os frontale. Glandula ini tidak terlihat dan tidak
dapat dipalpasi. Glandula lacrimal yang terpalpasi menandakan keadaan patologis
seperti dacryoadenitis. Glandula lacrimal accesoria berada pada fornix superior
yang berfungsi untuk menghasilkan sekret air mata tambahan yang sifatnya
serous. Glandula lacrimal menerima persarafan dari nervus lacrimalis. Nervus
lacrimalis merupakan saraf secretomotorik parasimpatik yang berasal dari
n.intermedius. Serat saraf simpatik pada glandula lacrimal berasal dari ganglion
cervicalis superior
Struktur yang mendrainase air mata
Musculus orbicularis occuli yang diinervasi oleh nervus facialis menyebabkan
mata tertutup. Proses menutup mata ini berfungsi sebagai sistem penyapu air mata
yang menggerakan air mata ke arah medial menuju canthus medialis. Puncta
lacrimal superior et inferior mengumpulkan air mata, yang kemudian di
drainasekan melalui canaliculi lacrimalis superior et inferior ke arah saccus
lacrimalis. Kemudian air mata akan mengalir ke ductus nasolacrimalis yang
bermuara ke concha nasalis inferior
Lapisan Air Mata ( Tear Film )
Tear film yang berfungsi untuk membasasi conjunctiva dan cornea terdiri dari tiga
lapisan:
1. Lapisan terluar, minyak (ketebalan mendekati 0.1 μm) merupakan produk
glandula meiboiman dan glandula sebaceous dan sweat glands pada tepi kelopak
mata. Fungsi utama lapisan ini adalah menstabilkan tear film. Melalui komponen
hidropobiknya membantu mencegah evaporasi.
2. Lapisan tengah, air (ketebalan mendekati 8 μm) disekresikan oleh glandula
lacrimal dan glandula lacrimalis accesoria (glandula krause dan wolfring).
Fungsinya untuk membersihkan cornea dan mendukung pergerakan palpebra
conjungtiva terhadap permukaan cornea, menjaga permukaan cornea agar tetap
rata.
3. Lapisan dalam, musin (ketebalan mendekati 0.8 μm) disekresikan sel goblet pada
conjungtiva dan glandula lacrimalis. Berfungsi membantu stabilisasi tear film.
Lapisan ini menjaga kelembapan pada seluruh lapisan kornea dan konjungtiva
PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI GEJALA
Injeksi Konjungtival
Merupakan melebarnya pembuluh darah a.konjungtiva posterior dan dapat
terjadi akibat penaruh mekanis, alergi atau infeksi pada jaringan konjungtiva.
Injeksi konjungtival mempunyai sifat :
Mudah digerakkan dari dasarnya.
Terutama didapatkan pada daerah forniks.
Ukuran pembuluh darah makin besar ke arah perifer karena asalnya dari
a.silliar anterior.
Berwarna merah segar.
Dengan tetes adrienalin 1:1000 akan lenyap sementara.
Gatal
Fotofobia tidak ada.
Pupil ukuran normal dengan reaksi normal.
Injeksi Siliar
Merupakan melebarnya pembuluh darah perikornea (a.siliar anterior) yang
terjadi akibat radang kornea, tukak kornea, benda asing pada kornea, radang
jaringan uvea, glaukoma, endoftalmitis ataupun panoftalmitis. Injeksi siliar
mempunyai sifat :
Berwarna lebih ungu
Pembuluh darah tidak tampak
Tidak ikut serta apabila konjungtiva digerakkan, karena menempel erat
dengan jaringan perikonea.
Ukuran sangat halus, paling oadat disekitar kornea berkurang kearah
forniks.
Tifak menciut apabila diberi epinefrin atau adrenalin 1:1000
Fotofobia
Sakit tekan disekitar kornea
Pupil ireguler kecil dan lebar.
DIAGNOSIS BANDING
1. KONJUNGTIVITIS
Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini
adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya,
konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor
lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi
mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
dengan banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009).
Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada
mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan obat-obatan
topical dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien
dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan
menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).
Pembagian Konjungtivitis
a. Konjungtivitis Bakteri
1) Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang
disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang
dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James,
2005).
2) Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut
biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N
meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering
pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan
Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada
konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis (Jatla, 2009).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke
orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering
kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin,
2009).
3) Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal
seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan
pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora
normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora
normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran
dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah
satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotik (Visscher, 2009).
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan
epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan
sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan
konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air
mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya
gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat
menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).
4) Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya
dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain
itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada
konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai
edema pada kelopak mata (AOA, 2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret
dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal.
Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada
pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).
5) Diagnosis
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena
mungkin saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh
pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu
dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada
pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat
penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan,
penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-
obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).
6) Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri,
kecuali pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis.
Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar
lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal
ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea
secara drastis dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel
goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan
menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat
menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada
kornea (Vaughan, 2010).
7) Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal
spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai
disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi
topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen,
sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk
menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).
b. Konjungtivitis Virus
1) Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan
oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,
2010).
2) Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini,
dan dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus
(enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency
virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan
penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan
benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam
renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).
3) Patologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada
setiap jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya
(Hurwitz, 2009). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini
dijelaskan pada etiologi.
4) Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh
adenovirus biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata
berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai
infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan
bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010).
Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala
pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti
sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi
unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering
disertai keratitis herpes. Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya
disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala klinis
nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan,
edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat
terjadi kimosis (Scott, 2010)
5) Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung
etiologinya, karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang
membedakan tipe-tipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi
mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan
dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar
untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada
anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya
sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis
bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan
pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan
karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).
6) Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
7) Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau
pada orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak
diperlukan terapi, namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan
untuk mencegah terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis
juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi
(James, 2005).
c. Konjungtivitis Alergi
1) Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing
sering dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang
diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi
hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva
adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu
konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan
yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis
vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa
(Vaughan, 2010).
2) Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda
sesuai dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman
dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari,
rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada
waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan
riwayat asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik
terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan
konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata buatan
dari plastik (Asokan, 2007).
3) Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-
kategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-
tumbuhan keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi
ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan
keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan
kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak
papila halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia
merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.
Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva
tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan
menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda
dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).
4) Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga
pasien serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis
konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis
penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata
berair, kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).
5) Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada
kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
6) Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-
antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan
steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan,
2010).
d. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans
dan merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan
adanya bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien
dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit
ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium
serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
e. Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis,
Schistosoma haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun
jarang (Vaughan, 2010).
f. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan
konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan
gejala-gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan
blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat
topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat
lain dengan bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.
Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan
pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).
g. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit,
konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit
autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada
konjungtivitis yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan
pada pengendalian penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan
dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah.
(AOA, 2008)
2. Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva dapat terjadi pada keadaan dimana pembuluh
darah rapuh (umur, hipertensi, arterosklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia,
pemakaian antikoagulan dan batuk rejan). ( Ilyas, 2010)
Perdarahan subkonjungtiva dapat juga terjadi akibat trauma langsung atau
tidak langsung, yang kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang
terjadi. Pada fraktura basis kranii akan terlihat hematoma kaca mata karena
berbentuk kaca mata yang berwarna biru pada kedua mata. ( Ilyas, 2010)
Besarnya perdarahan subkonjungtiva ini dapat kecil atau luas di seluruh
subkonjungtiva. Warna merah pada konjungtiva pasien memberikan rasa was –
was sehingga pasien akan segera minta pertolongan pada dokter. Warna merah
akan berubah menjadi hitam setelah beberapa lama, seperti pada hematoma
umumnya. ( Ilyas, 2010)
Biasanya tidak perlu pengobatan karena akan diserap dengan spontan
dalam waktu 1 – 3 minggu. ( Ilyas, 2010)
3. BLEPHARITIS
Bleharitis adalah peradangan pada folikel bulu mata sepanjang margin kelopak
mata.
Penyebab dan Faktor Risiko
Blepharitis disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari bakteri biasanya
ditemukan di kulit. Biasanya karena dermatitis seboroik atau infeksi bakteri, yang
dapat terjadi pada waktu yang sama.Penyebabnya adalah pertumbuhan berlebih
dari bakteri biasanya ditemukan di kulit.Alergi dan kutu bulu mata yang
mempengaruhi juga dapat menyebabkan blepharitis, meskipun penyebab kurang
umum.
Orang dengan blepharitis memiliki terlalu banyak minyak yang diproduksi
oleh kelenjar di dekat kelopak mata. Hal ini memungkinkan bakteri biasanya
ditemukan di kulit untuk berkembang biak terlalu banyak.Blepharitis dapat
dikaitkan dengan styes berulang dan chalazion. Anda lebih rentan terhadap
kondisi ini jika Anda memiliki dermatitis seboroik pada wajah atau kulit kepala,
rosacea, kutu, dan alergi.
Gejala
Kelopak mata tampak merah dan teriritasi, dengan skala yang menempel pada
dasar bulu mata. Kelopak mata mungkin:
CrustyKemerahan
Meradang
Gatal
Dengan membakar
Pasien mungkin merasa seolah-olah pasir atau debu di mata saat berkedip.
Kadang-kadang, bulu mata bisa jatuh.
Pengobatan
Pembersihan harian cermat margin kelopak mata membantu menghilangkan
minyak kulit yang menyebabkan pertumbuhan berlebih dari bakteri. Dokter dapat
merekomendasikan menggunakan sampo bayi atau pembersih khusus. Salep
antibiotik juga dapat membantu.
4. XEROFTALMIA (DEFISIENSI VIT A)
Definisi :
Xeroftalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan vitamin A, terutama pada
anak Balita dan sering ditemukan pada penderita gizi buruk dan gizi kurang.
Penyebab:
Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia adalah:
Konsumsi makanan yang kurang / tidak mengandung cukup Vitamin A atau
pro vitamin A untuk jangka waktu lama
Bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif
Gangguan penyerapan vitamin A
Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis / diare)
Gambaran Klinis
1. Gejala Reversible :
buta senja (Hemeralopia)
xerosis konjungtiva : yaitu konjungtiva yang kering, menebal, berkeriput, dan
keruh karena banyak bercak pigmen
xerosis kornea : konjungtiva kornea yang kering, menebal, berkeriput dan
keruh karena banyak bercak pigmen
bercak Bitot : benjolan berupa endapan kering dan berbusa yang berwarna abu-
keperakan berisi sisa-sisa epitel konjungtiva yang rusak.
2. Gejala irreversible : ulserasi kornea dan sikatriks (scar)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.
Penatalaksanaan
- Berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral atau 100.000 IU Vitamin A injeksi
- Hari berikutnya, berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral
- 1 – 2 minggu berikutnya, berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral
- Obati penyakit infeksi yang menyertai
- Obati kelainan mata, bila terjadi
- Perbaiki status gizi
Pemeriksaan Mata
I. ANAMNESIS
1. Menanyakan IDENTITAS PASIEN : nama, umur, pekerjaan, alamat
2. Menanyakan KELUHAN UTAMA :
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG, termasuk :
4. Menanyakan riwayat sakit mata sebelumnya :
5. Riwayat penyakit sistemik seperti DM, hipertensi, tiroid, TB, luka pada mukosa
6. Riwayat penggunaan obat sistemik misalnya steroid, kina, etambutol
7. Riwayat minum-minuman keras
8. Riwayat alergi : onset, pencetus
9. Riwayat penyakit mata dalam keluarga
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan dasar pada mata, berupa :
a. Pemeriksaan Penglihatan sentral
Pemeriksaan penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan sasaran dengan
berbagai ukuran yang terpisah pada jarak standar dari mata, misalnya “Snellen
chart.” Ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak 6 meter atau 20 kaki. Hasil
yang didapatkan misalnya 4/6 artinya penderita bisa melihat huruf snellen pada
jarak 4 meter sedangkan orang normal masih bisa melihat pada jarak 6 meter.
b. Uji pinhole
Dengan mata yang sudah dikoreksi, penderita diperintahkan untuk melihat lagi
huruf snellen melalui sebuah lempengan dengan lubang kecil untuk mencegah
sebagian besar berkas yang tidak terfokus memasuki mata. Bila ketajaman
penglihatan bertambah berarti pada penderita terdapat kelainan refraksi yang
belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berubah berarti pada
penderita tersebut terdapat kelainan pada occulusnya.
c. Tes penglihatan perifer
1. Tes konfrontasi
Tes konfrontasi digunakan untuk menilai lapang pandang penderita. Penderita
disuruh untuk melihat gerak dan jumlah tangan pemeriksa di arah:
a. Lateral : 900
b. Caudal : 700
c. Cranial :550
d. Medial 600
2. Uji konfrontasi simultan
d. Mengukur kekuatan lensa sferis
Memasang kacamata pecobaan pada posisi yang tepat (=PD jauh)
Pasang penutup (occluder) di depan salah satu mata yang tidak diperiksa
Penderita diperintahkan melihat snellen chart
Meletakkan lensa S+ atau S- tergantung bertambah terang atau tidak pada
mata yang diperiksa. Tambah kekuatan lensa sampai penderita puas dengan
penglihatannya (Trial and Error)
Bila miopi : dipilih untuk kacamata lensa S- terkecil yang memberi
penglihatan terbaik
Bila hipermetropi: dipilih lensa S+ terbesar
e. Pemeriksaan astigmatisma Cara pengaburan (fogging technique)
Setelah penderita dikoreksi untuk hipermetropia atau myopia yang ada,
maka tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam
penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan
menambah lensa sferis positif 3. penderita diminta melihat kisi-kisi juring
astigmatisme
Penderita ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring
pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditaruh sumbu lensa silinder
atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°.
Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder ini dinaikkan sampai garis juring
kisi-kisi astigmatisme vertical sama tegasnya atau kaburnya dengan juring
horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder
yang ditambahkan.
Kemudian penderita diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan
ditaruh lensa negatif sampai penderita melihat jelas pada kartu Snellen.
(Vaughan, 1995)
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
penyakit pada Ilmu Penyakit Mata antara lain:
1. Pemeriksaan Tonometri
Pemeriksaan tonometri adalah pemeriksaan tekanan intraokular drngan alat
yang disebut tonometer. Tindakan ini dapat dilakukan oleh dokter umum atau
dokter spesialis lainnya. Pengukuran tekanan bola mata sebaiknya dilakukan pada
setiap orang berusia di atas 20 tahun pada saat pemeriksaan fisik medik secara
rutin maupun umum.
2. Oftalmoskopi
Oftalmoskop merupakan alat untuk melihat bagian dalam mata atau fundus
okuli. Pemeriksaan dengan oftalmoskop dinamakan oftalmoskopi. Pemeriksaan
ini dilakukan di kamar gelap. Oftalmoskopi dibedakan menjadi oflamoskopi
langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan dengan kedua jenis oftalmoskop ini
adalah bertujuan menyinari bagian fundus okuli kemudian bagian yang terang di
dalam fundus okuli dilihat dengan satu mata melalui celah alat pada oftalmoskopi
langsung dan dengan kedua mata pada oftalmoskopi tidak langsung. Pada
oftalmoskopi langsung, daerah yang dilihat adalah dari daerah paling perifer
sampai daerah ekuator, tidak stereoskopis, berdiri tegak atau tidak terbalik, dan
pembesaran 15 kali. Dengan oftalmoskopi tidak langsung, akan terlihat daerah
fundus okuli 8 kali diameter papil, dapat dilihat sampai daerah ora serata, karena
dilihat dengan 2 mata maka terdapat efek streoskopik, dan dengan pembesaran 2-4
kali.
3. Tes Fluoresein
Fluoresein adalah bahan yang berwarna jingga merah yang bila disinari
gelombang biru akan memberikan gelombang hijau. Bahan larutan ini dipakai
untuk melihat adanya defek epitel kornea, fistel kornea, atau untuk foto pembuluh
darah retina bila disuntikkan intravena.
4. Pemeriksaan Kampimeter dan Perimeter
Kampimeter dan perimeter merupakan alat pengukur atau pemetaan lapang
pandangan terutama daerah sentral atau parasentral. Lapang pandangan adalah
bagian ruangan yang terlihat oleh satu mata dalm sikap diam memandang lurus ke
depan. Pemeriksaan lapang pandangan diperlukan untuk mengetahui adanya
penyakit tertentu ataupun untuk menilai progresivitas penyakit. Lapang
pandangan normal adalah 90 derajat temporal, 50 derajat atas, 50 derajat nasal,
dan 65 derajat ke bawah.
5. Uji Placido
Papan placido merupakan papan yang mempunyai gambaran garis hitam
melingkar konsentris dengan lobang kecil pada bagian sentralnya. Bila pada
kornea pasien yang membelakangi sumber sinar atau jendela, diproyeksikan sinar
gambaran lingkaran placido yang berasal dari papan lempeng placido, maka akan
terlihat keadaan permukaan kornea.
6. Uji Anel
Pemeriksaan ini dilakukan untuk megetahui fungsi ekskresi lakrimal.
7. Gonioskopi
Dengan lensa gonioskopi dapat dilihat keadaan sudut bilik mata yang dapat
menimbulkan glaukoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada
setiap kasus yang dicurigai adanya glaukoma.
BAB III
PEMBAHASAN
Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum di
dunia. Pada pasien dalam skenario mengeluhkan tanda-tanda
konjungtivitis seperti mata merah, mata gatal, berair, kelopak
mata bengkak, dan lengket ketika bangun tidur di pagi hari.
Tanda konjungtivitis pada pasien seperti mata merah atau
hiperemi disebabkan oleh pelebaran pembuluh – pembuluh
konjungtiva posterior. Pelebaran ini disebabkan oleh proses
inflamasi sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Keadaan
ini paling terlihat pada konjungtivitis akut.
Mata berair atau disebut juga epiphora diakibatkan oleh
adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar, atau gatal. Pada
keadaan normal terjadi sekresi air mata untuk melembabkan
mata dan memproteksi mata dari agen infeksi dan debu karena
air mata memiliki kandungan lysozim, NaCl dan air. Jika terjadi
konjungtivitis, akan terjadi hipersekresi air mata yang
sebenarnya berfungsi untuk melarutkan agen infeksi tersebut
keadaan ini ditambah dengan transudasi ringan yang timbul dari
pembuluh darah yang hiperemik sehingga menambah jumlah air
mata.
Pada konjungtivitis terjadi edema pada stroma konjungtiva
(kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma (pembentukan
folikel). Sel-sel radang, termasuk neutrofil, eosinofil, basofil,
limfosit, dan sel plasma, dan sering menunjukkan sifat agen
perusak. Sel-sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva ke
permukaan melalui epitel. Sel-sel ini kemudian bergabung
dengan fibrin dan mukus dari sel goblet, membentuk eksudat
konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra
(terutama pada pagi hari).
Pada pasien dalam skenario tidak mengeluhkan adanya
pandangan kabur ataupun silau. Tidak adanya pandangan kabur
menunjukkan tidak adanya kelainan pada media refraksi maupun
pada saraf opticus dan juga tekanan intra okuler yang
meningkat. Sedangkan silau (photophobia) merupakan tanda
bahwa pasien terlalu sensitif terhadap cahaya ataupun cahaya
terlalu banyak masuk ditambah dengan keadaan kontraksi iris
yang meradang. Tidak adanya keluhan silau pada pasien
menandakan tidak adanya lesi superficial ataupun dalam pada
kornea dan juga tidak didapatkan adanya inflamasi pada iris.
Pada pemeriksaan visus penderita, didapatkan visus occuli dexter adalah
normal 6/6 yang berarti penderita dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang
oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. Maka tidak
terjadi penurunan visus pada penderita sehingga kita dapat menyingkirkan
kemungkinan diagnosis pada penyakit mata merah dengan visus menurun seperti
keratitis, keratokonjungtivitis, ulkus, glaukoma, uveitis, endoftalmitis, oftalmika
simpatika, dan panofalmitis.
Pada pemeriksaan konjungtiva bulbi didapatkan injeksi konjungtiva yang
berarti melebarnya pembuluh darah arteri konjungtiva posterior serta ukuran
pembuluh darah makin besar ke bagian posterior. Injeksi Konjungtiva bisa
disebabkan karena mekanis alergi, ataupun infeksi pada konjungtiva. Sehingga
kita dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis mata merah dengan injeksi
bulbi seperti keratitis, iritis akut, glaukoma akut, diagnosis kita lebih mengarah
pada mata merah dengan injeksi konjungtiva.
Konjungtiva palpebra hiperemi dapat disebabkan oleh peningkatan
aliran darah oleh karena terjadinya suatu infeksi, alergi ataupun peradangan.
Selain itu, pengurangan darah seperti pada pembendungan darah dapat
menyebbabkan konjungtiva palpebra hiperemi.
Sekret pada penderita merupakan produk kelenjar, yang pada konjungtiva
bulbi dikeluarkan oleh sel goblet. Sekret pada konjungtiva dapat bersifat :
Air, kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus atau alergi
Purulen, oleh bakteri atau klamidia
Hiperpurulen, oleh gonokok atau meningokok
Lengket, oleh alergi atau vernal
Seros, oleh adenovirus
Sedangkan pada skenario tidak dijelaskan bagaimana sifat sekret tersebut
sehingga masih diperlukan informasi lebih lanjut.
Kornea penderita jernih maka tidak ditemukan adanya gangguan ataupun
infeksi pada kornea sehingga pengelihatan pasien masih baik dan tidak kabur.
Sehingga kita dapat menyingkirkan diagnosis yang mengarah pada mata merah
namun disertai kekeruhan kornea.
Dalam skenario sudah dilakukan pemeriksaan umum untuk mata, akan
tetapi masih diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk bisa memastikan
diagnosis penyakit. Beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain adalah :
- Pemeriksaan tajam penglihatan
- Pemeriksaan dengan uji konfrontasi, kampimeter dan perimeter (sebagai alat
pemeriksaan pandangan).
- Pemeriksaan dengan melakukan uji fluoresein (untuk melihat adanya efek
epitel kornea).
- Pemeriksaan dengan melakukan uji festel (untuk mengetahui letak adanya
kebocoran kornea).
- Pemeriksaan oftalmoskop
- Pemeriksaan dengan slitlamp dan loupe dengan sentolop (untuk melihat
benda menjadi lebih besar dibanding ukuran normalnya).
Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotic topical atau obat tetes steroid
untuk alergi (kontra indikasi pada herpes simplek virus). Sementara untuk
mengetahui kausa diperlukan adanya pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan
secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah bahan tersebut dibuat
sediaan yang dicat dengan pegecatan gram atau giemsa dapat dijumpai sel-sel
radang polimorfonuklear. Pada konjungtivitis yang disebabkan alergi pada
pengecatan dengan giemsa akan didapatkan sel-sel eosinofil.
Selanjutnya untuk terapinya, secara umum pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan sulfonamide (sulfacetamide 15%) atau antibiotic (gentamycin
0,3%), chloramphenicol 0,5%. Konjungtivitis akibat alergi dapat diobati dengan
antihistamin (antazoline 0,5%, naphazoline 0,05%) atau dengan kortikosteroid
(dexamentosone 0,1%). Umumnya konjungtivitis dapat sembuh tanpa pengobatan
dalam waktu 10-14 hari, dan dengan pengobatan, sembuh dalam waktu 1-3 hari.
Hal itulah mengapa dalam skenario juga pasien diperbolehkan untuk rawat jalan
dan tidak perlu rawat inap. Pengobatan untuk konjungtivitis itu sendiri
disesuaikan dengan klasifikasinya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada skenario, kami
menarik kesimpulan pasien dalam skenario ke 2 ini mengalami tanda-tanda
konjungtivitis seperti mata merah, mata gatal, berair, kelopak mata bengkak,
dan lengket ketika bangun tidur di pagi hari.
2. Pasien dalam skenario juga tidak mengeluhkan adanya pandangan kabur hal
ini menunjukkan tidak adanya kelainan pada media refraksi maupun pada
saraf opticus dan juga tekanan intra okuler yang meningkat.
3. Untuk menunjang diagnosis masih diperlukan pemeriksaan penunjang lain
seperti pemerkisaan laboratiorum.
4. Penatalaksanaan secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan
sulfonamide (sulfacetamide 15%) atau antibiotic (gentamycin 0,3%),
chloramphenicol 0,5%. Konjungtivitis akibat alergi dapat diobati dengan
antihistamin (antazoline 0,5%, naphazoline 0,05%) atau dengan
kortikosteroid (dexamentosone 0,1%).
B. Saran
1. Semua anggota kelompok sudah berpartisipasi aktif dalam diskusi tutorial
kali ini, diharapkan keaktifan ini tetap dipertahankan dan ditingkatkan pada
diskusi-diskusi tutorial selanjutnya.
2. Dalam skenario sudah dilakukan pemeriksaan umum untuk mata, akan
tetapi masih diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk bisa memastikan
diagnosis penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional.
Edisi 9. Jakarta: EGC.
Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius
Fakultas Universitas Indonesia.
Riordan-Eva, Paul dan John P. Whitcher. 2012. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC.
Vaughan, daniel G et al. 1995. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika.