Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3

download Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3

of 30

Transcript of Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3

Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3

GAGAL GINJAL BESERTA MANIFESTASINYA

KELOMPOK 14 : Aryo Seno Asih Anggraini Damar Dyah Mentari Erma Malindha Fariz Edi Wibowo Fitroh Annisah Himmatul Fuad Rizqi Ahmad Nur D. Wahyu Aprillia G0010030 G0010032 G0010048 G0010074 G0010078 G0010084 G0010094 G0010168 G0010194

Pembimbing : dr. Udi Heru Nefihancoro, Sp.B, Sp.OT NIP. 196502111991031003

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN 2012

1

BAB I PENDAHULUAN

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Siklus Jantung Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi otot jantung (Santoso, 2001). Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Tahap ini sesuai dengan interval TP pada EKG, interval setelah repolarisasi ventrikel dan sebelum depolarisasi atrium berikutnya. Karena aliran masuk darah yang kontinyu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup atrioventrikularis (AV) terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akibatnya volume ventrikel perlahan-lahan meningkat, bahkan sebelum atrium berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (nodus SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium, yang terekam di EKG sebagai gelombang P. Depolarisasi atrium menimbulkan kontraksi atrium, yang memeras lebih banyak darah ke dalam ventrikel sehingga terjadi peningkatan kurva tekanan atrium. Proses penggabungan eksitasi-kontraksi terjadi selama jeda singkat antara gelombang P dan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan tekanan ventrikel yang berlangsung bersamaan dengan peningkatan tekanan atrium disebabkan oleh penambahan volume darah ke ventrikel oleh kontraksi atrium. Selama kontraksi atrium, tekanan atrium tetap sedikit lebih tinggi daripada tekanan ventrikel, sehingga katup AV tetap terbuka (Santoso, 2001). Diastol ventrikel berakhir pada awal kontraksi ventrikel. Pada saat ini, kontraksi atrium dan pengisian ventrikel telah selesai. Volume darah di ventrikel

3

pada akhir diastol dikenal sebagai volume diastolik akhir (end diastolic volume, EDV), yang besarnya sekitar 135 ml. Selama siklus ini tidak ada lagi darah yang ditambahkan ke ventrikel. Jadi, volume diastolik akhir adalah jumlah darah maksimum yang akan dikandung ventrikel selama siklus ini (Santoso, 2001). Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Secara simultan, terjadi kontraksi atrium. Pada saat pengaktifan ventrikel terjadi, kontraksi atrium telah selesai. Kompleks QRS yang mewakili eksitasi ventrikel ini, menginduksi kontraksi ventrikel. Kurva tekanan ventrikel meningkat secara cepat segera setelah kompleks QRS muncul, mengisyaratkan permulaan sistol ventrikel. Jeda singkat antara kompleks QRS dan awitan sebenarnya sistol ventrikel adalah waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses penggabungan eksitasi-kontraksi. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik ini mendorong katup AV menutup (Santoso, 2001). Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV telah tertutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat sebelum tekanan tersebut dapat melebihi tekanan aorta untuk membuka katup aorta. Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta pada saat ventrikel menjadi suatu bilik tertutup. Karena semua katup tertutup tidak ada darah yang masuk atau keluar ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isovolumetrik (isovolumetrik berarti volume dan panjang konstan). Karena tidak ada darah yang yang masuk atau keluar ventrikel, volume bilik ventrikel tetap dan panjang, serat-serat otot juga tetap. Keadaan isovolumetrik ini serupa dengan kontraksi isometrik pada otot rangka. Selama periode kontraksi ventrikel isovolumetrik, tekanan ventrikel terus meningkat karena volume tetap (Santoso, 2001). Pada saat tekanan ventrikel melebihi tekanan aorta, katup aorta dipaksa membuka dan darah mulai menyemprot. Kurva tekanan aorta meningkat ketika darah dipaksa berpindah dari ventrikel ke dalam aorta lebih cepat daripada darah mengalir ke pembuluh-pembuluh yang lebih kecil di ujung yang lain. Volume

4

ventrikel berkurang secara drastis sewaktu darah dengan cepat dipompa ke luar. Sistol ventrikel mencakup periode kontraksi isovolumetrik dan fase ejeksi (penyemprotan) ventrikel. Ventrikel tidak mengosongkan diri secara sempurna selama penyemprotan. Dalam keadaan normal, hanya sekitar separuh dari jumlah darah yang terkandung di dalam ventrikel pada akhir diastol dipompa keluar selama sistol. Jumlah darah yang tersisa di ventrikel pada akhir sistol ketika fase ejeksi usai disebut sebagai volume sistolik akhir (end-systolic volume, ESV), yang besarnya sekitar 65 ml. Ini adalah jumlah darah yang paling sedikit yang terdapat di dalam ventrikel selama siklus ini (Santoso, 2001). Jumlah darah yang dipompa ke luar dari setiap ventrikel pada setiap kontraksi dikenal sebagai volume/isi sekuncup (stroke volume, SV); SV setara dengan volume diastolik akhir dikurangi volume sistolik akhir; dengan kata lain, perbedaan antara volume darah di ventrikel sebelum kontraksi dan volume setelah kontraksi adalah jumlah darah yang disemprotkan selama kontraksi. Jadi volume sekuncup besarnya sekitar 70 ml (Santoso, 2001). Gelombang T menandakan repolarisasi di akhir sistol ventrikel. Ketika ventrikel mulai berelaksasi karena repolarisasi, tekanan ventrikel mulai turun dibawah tekanan aorta dan katup aorta menutup. Penutupan katup aorta menimbulkan gangguan atau takik pada kurva tekanan aorta yang dikenal sebagai takik dikrotik (dicrotic notch). Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini karena katup aorta telah tertutup. Namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi daripada tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik. Panjang serat otot dan volume bilik tidak berubah. Tidak ada darah yang masuk atau keluar seiring dengan relaksasi ventrikel dan tekanan terus turun. Sewaktu tekanan ventrikel terus turun di bawah tekanan atrium, katup AV membuka dan pengisian ventrikel terjadi kembali. Diastol ventrikel mencakup periode relaksasi ventrikel isovolumetrik dan fase pengisian ventrikel (Santoso, 2001). Repolarisasi atrium dan depolarisasi ventrikel terjadi secara bersamaan, sehingga atrium berada dalam diastol sepanjang sistol ventrikel. Darah terus

5

mengalir dari vena pulmonalis ke dalam atrium kiri. Karena darah yang masuk ini terkumpul di atrium, tekanan atrium terus meningkat. Sewaktu katup AV terbuka pada akhir sistol ventrikel, darah yang terkumpul diatrium selama sistol ventrikel secara cepat mengalir ke ventrikel. Dengan demikian, mula-mula pengisian ventrikel berlangsung cepat karena peningkatan tekanan atrium akibat penimbunan darah didalam atrium. Kemudian pengisian ventrikel melambat karena darah yang yang tertimbun tersebut telah disalurkan ke ventrikel, dan tekanan atrium mulai turun. Selama periode penurunan pengisian ini, darah terus mengalir dari vena-vena pulmonalis ke dalam atrium kiri dan melalui katup AV yang terbuka ke dalam ventrikel kiri. Selama diastol ventrikel tahap akhir, sewaktu pengisian ventrikel berlangsung lambat, nodus SA kembali

mengeluarkan potensial aksi dan siklus jantung dimulai kembali (Santoso, 2001). Sebagian besar pengisian ventrikel harus terjadi pada awal diastol saat fase pengisian cepat. Ketika kecepatan denyut jantung meningkat, durasi diastol berkurang jauh lebih besar daripada penurunan lama sistol. Sebagai contoh, apabila kecepatan denyut jantung meningkat dari 75 menjadi 180 kali per menit, durasi diastol berkurang sekitar 75 %, dari 500 mdet menjadi 125 mdet. Hal ini sangat mengurangi waktu yang tersedia untuk relaksasi dan pengisian ventrikel. Namun, karena sebagian besar pengisian ventrikel terjadi pada awal diastol, pengisian tidak terlalu terganggu ketika kecepatan denyut jantung meningkat, misalnya ketika berolah raga. Namun, terdapat batas sampai seberapa cepat jantung dapat berdenyut tanpa mengalami penurunan periode diastol sampai ke titik tertentu pengisian ventrikel sangat terganggu. Dalam keadaan normal, kecepatan ventrikel tidak melebihi 200 kali per menit karena periode refrakter nodus AV yang relatif lama tidak akan memungkinkan penghantaran impuls ke ventrikel lebih cepat daripada tingkat tersebut. Pada kecepatan denyut jantung lebih dari 200 kali per menit, waktu diastolik terlalu singkat untuk pengisian ventrikel yang adekuat. Apabila pengisian tidak adekuat, curah jantung berkurang (Santoso, 2001).

6

B. Mekanisme Regulasi Tekanan Darah Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor, yaitu : curah jantung (cardiac output, CO) dan tahan vaskuler perifer (peripheral vascular resistance), masingmasing pada gilirannya ditentukan oleh sejumlah faktor lain. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap-tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Curah jantung ditentukan oleh dua faktor, yaitu kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata-rata 70 kali per menit, yang ditentukan oleh irama nodus SA, sedangkan volume sekuncup ratarata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata-rata adalah 4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit. Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA. Normalnya, nodus SA merupakan pemacu jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan menginduksi jantung berkontraksi atau berdenyut. Sementara itu, tahanan vaskuler perifer ditentukan oleh keseimbangan antara aktifitas vasokonstriktor dan vasodilator (Santoso, 2001; Suryohudoyo, 2007). Bila tekanan darah menurun maka saraf simpatis akan terangsang, neuron pascaganglion saraf simpatis akan mensekresi neurotransmitter norepinefrin (NE) yang selanjutnya akan mengakibatkan vasokonstriksi dan kontraksi otot jantung. Norepinefrin menyebabkan penurunan permeabilitas K+ dengan mempercepat inaktivasi saluran K+. Dengan berkurangnya ion kalium yang keluar, bagian dalam sel menjadi kurang negatif dan timbul efek depolarisasi. Pergeseran ke ambang yang berlangsung lebih cepat dibawah pengaruh simpatis ini menyebabkan peningkatan frekuensi pembentukan potensial aksi dan dengan demikian, kecepatan denyut jantung meningkat. Pada nodus AV, stimulasi saraf simpatis mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran, mungkin melalui peningkatan arus masuk Ca++ yang berjalan lambat. Stimulasi saraf simpatis juga mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus. Di sel-sel kontraktil atrium dan ventrikel,

7

stimulasi simpatis meningkatkan kekuatan kontraktil sehingga jantung berdenyut lebih kuat dan memeras lebih banyak darah keluar. Efek ini terjadi akibat peningkatan permeabilitas Ca++, yang meningkatkan influks Ca++ dan memperkuat partisipasi Ca++ dalam proses penggabungan eksitasi-kontraksi. Dengan demikian, efek keseluruhan stimulasi simpatis pada jantung adalah meningkatkan efektifitas jantung sebagai pompa dengan meningkatkan kecepatan kecepatan denyut jantung, menurunkan jeda antara kontraksi atrium dan ventrikel, menurunkan waktu hantaran ke seluruh jantung, dan meningkatkan kekuatan kontraksi (Santoso, 2001; Suryohudoyo, 2007). Sebaliknya apabila tekanan darah meningkat sistem saraf parasimpatis akan terangsang, neuron pascaganglion saraf simpatis akan mensekresi nerurotransmitter asetilkolin (Ach). Astilkolin akan ditangkap oleh reseptor asetilkolin (Ach-R) yang terdapat pada sel endotel. Sebagai akibat, sel endotel akan mensintesis dan mensekresi nitrogen oksida (NO), disebut juga endothelium derived relaxing factor (EDRF), suatu vasodilator kuat yang juga menyebabkan relaksasi otot jantung. Asetilkolin menyebabkan peningkatan permeabilitas nodus SA terhadap K+ dengan memperlambat penutupan saluran K+. Akibatnya, kecepatan pembentukan potensial aksi spontan melambat melalui efek berikut ini: 1. Peningkatan permeabilitas K+ menyebabkan hiperpolarisasi membran nodus SA karena lebih banyak ion kalium yang keluar daripada normal, sehingga bagian dalam semakin lebih negatif. Karena potensial istirahat dimulai lebih jauh daripada ambang, waktu untuk mencapai ambang menjadi lebih lama. 2. Peningkatan permeabilitas K+ yang diinduksi oleh stimulasi vagus juga melawan penurunan otomatis permeabilitas K+ yang berperan menyebabkan depolarisasi gradual membrane ke ambang. Efek melawan ini menurunkan kecepatan depolarisasi spontan, sehingga waktu yang diperlukan untuk bergeser ke ambang menjadi lebih lama. Dengan demikian, nodus SA lebih jarang mencapai ambang dan lebih sedikit menghasilkan potensial aksi. Hal ini menurunkan kecepatan denyut jantung (Santoso, 2001; Suryohudoyo, 2007).

8

Selain itu, sistem saraf parasimpatis juga mempengaruhi nodus AV dan sel-sel kontraktil di atrium. Sistem saraf parasimpatis ini menurunkan eksitabilitas nodus AV, memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel (bahkan lebih lama daripada perlambatan nodus AV biasa). Efek ini timbul karena peningkatan permeabilitas K+, yang menyebabkan hiperpolarisasi membran sehingga memperlambat inisiasi eksitasi nodus AV. Stimulasi parasimpatis pada sel kontrakstil di atrium mempersingkat potensial aksi, suatu efek yang dianggap disebabkan oleh penurunan kecepatan arus masuk yang dibawa oleh Ca++, yaitu fase datar berkurang. Akibatnya, kontraksi atrium bekurang. Sistem parasimpatis tidak mempengaruhi kontraksi ventrikel karena tidak adanya persarafan parasimpatis ke ventrikel. Dengan demikian, dibawah pengaruh rangsang parasimpatis, jantung berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah (Santoso, 2001). Mekanisme humoral berlangsung lebih rumit. Titik berat pengendalian tekanan darah melalui mekanisme ini terjadi melalui arus balik vena. Arus balik vena dikendalikan oleh tiga aktifitas yang saling berkaitan yaitu : 1. Aktivitas sistem renin-angiotensin Renin adalah suatu enzim yang dihasilkan oleh perangkat juxtaglomerular ginjal apabila perfusi ginjal menurun (iskemia ginjal). Dalam aliran darah, renin akan menghidrolisis angiotensinogen (suatu peptida yang dihasilkan oleh hati) yang akan menghasilkan angiotensin I. Selanjutnya, angiotensin I akan diubah menjadi angotensin II oleh ACE (angiotensin converting enzyme). Angiotensin II akan diatngkap oleh reseptornya (ATR-1 : angiotensin II reseptor tipe 1). Bila hal ini terjadi pada reseptor yang terdapat pada pembuluh darah (vascular ATR-1), hasilnya berupa vasokonstriksi, sedangkan bila ditangkap oleh reseptor sel korteks kelenjar adrenal (adrenal ATR-1), hasilnya berupa skresi mineralokortikoid, aldosteron. 2. Aktivitas hormon mineralokortikoid Aldosteron adalah mineralokortikoid utama yang dihasilkan oleh korteks adrenalis. Aldosteron dihasilkan dari progesteron melalui aktivitas sederetan enzim. Angiotensin II merangsang sintesis enzim aldosteron sintetase, yaitu

9

yang mengubah kortikosteron menjadi aldosteron (langkah terakhir sisntesis aldosteron). Aldosteron kemudian ditangkap oleh reseptor aldosteron yang terdapat di ginjal. Peningkatan aldosteron kemidian akan membuka EnaC (epithelial Na channel), yang selanjutnya meningkatkan reabsorbsi ion natrium. 3. Reabsorbsi natrium di ginjal Reabsorbsi natrium terjadi melalui beberapa saluran ion. Salah satu diantaranya adalah EnaC yang aktivitasnya dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorbsi natrium akan disertai oleh reabsorbsi air yang selanjutnya akan meningkatkan volume plasma. Peningkatan volume plasma pada gilirannya akan

meningkatkan arus balik vena (Suryohudoyo, 2007). Dalam keadaan fisiologis, pengendalian tekanan darah melalui mekanisme humoral terjadi karena adanya lengkung umpan balik yang mengendalikan sistem renin-angiotensin agar tekanan darah dapat dipertahankan dalam batas-batas normal.bila tekanan darah meningkat, maka perfusi ginjal akan meningkat yang selanjutnya menyebabkan sekresi renin menurun. Hasil akhirnya adalah penurunan kembali tekanan darah. sebaliknya, apabila tekanan darah menurun, perfusi ginjal akan menurun yang selanjutnya menyebabkan sekresi renin meningkat dan akhirnya berakibat meningkatnya kembali tekanan darah. Pada penderita hipertensi, mekanisme pengendalian ini mengalami kegagalan sehingga tekanan darah tetap tinggi (Suryohudoyo, 2007).

C. Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Berikut ini klasifikasi tekanan darah menurut The Joint National Comittee on Detection, Evelation, and Treatment of High Blood Pressure. KLASIFIKASI TEKANAN DARAH UNTUK DEWASA USIA 18 TAHUN ATAU LEBIH KATEGORI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)

10

Normal Normal Tinggi Hipertensi Tingkat 1 (ringan) Tingkat 2 (sedang) Tingkat 3 (berat)

160 mmHg dan diastolik > 95 mmHg, sedangkan hipotensi bila tekanan sistolik < 100 mmHg dan diastolik < 70 mmHg. Tekanan darah pasien (180/100 mmHg) menunjukkan bahwa pasien mengalami hipertensi. Pemeriksaan nadi dapat memberikan gambaran tentang aktivitas pompa jantung maupun keadaan pembuluh itu sendiri. Frekuensi denyut nadi pasien diatas normal yakni 120 x/menit (normalnya adalah 60-100 x/menit). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mempunyai kelainan aritmia jantung yakni takikardi. Kemudian pemeriksaan RR (Respiratory Rate) digunakan untuk mengetahui

frekuensi napas pasien selama satu menit. Respiratory rate pasien dalam skenario

22

diatas normal yakni 32 x/menit (RR normal = 16-20 x/menit). Peningkatan frekuensi napas (takipneu) dapat merupakan pertanda gagal jantung karena berbagai sebab dan asidosis karena penyakit jantung sianotik. Pada pasien tidak didapatkan sianotik sehingga kemungkinan besar penyebab peningkatan RR pasien karena gagal jantung. Selanjutnya, pemeriksaan suhu tubuh dilakukan untuk mengetahui suhu tubuh pasien. Kalori dalam suhu badan merupakan hasil metabolisme sel-sel jaringan tubuh. Kalori suhu badan diatur melalui pusat termoregulator di susunan saraf pusat otonom. Aliran darah melalui sistem kardiovaskuler berperan untuk mendistribusikan panas ke seluruh tubuh. Suhu tubuh pasien dalam skenario masih dalam batas normal yakni 36.5C (normalnya 36.5-37.2C). Dalam skenario tadi sudah disebutkan bahwa pasien mengalami hipertensi dimana tekanan darahnya yaitu 180/100 mmHg. Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri atau disebut juga LVH (Left Ventricle Hyperthropy) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut diatas akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (reninangiotensin-aldosteron). Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan

23

permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Di sisi lain, berkurangnya curah jantung juga akan berakibat pada berkurangnya vaskularisasi ginjal. Ginjal akan mengira bahwa tubuh kekurangan cairan sehingga ginjal akan mensekresi renin yang akan mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin I, angiotensin I akan diubah oleh ACE ( angiotensin converting enzym ) menjadi angiotensin II dimana angiotansin II merupakan suatu vasokontriksi yang kuat dan akan menstimulus disekresikannya aldosteron. Aldosteron akan meningkatkan reabsorbsi Na dan air sehingga jumlah urin yang dikeluarkan akan berkurang. Retensi air dan Na ini akan membuat aliran darah balik ke jantung bertambah dan meningkatkan volume akhir diastolik. Pertambahan volume akhir diastolik ini akan merangsang ventrikel kiri untuk mengosongkan isinya dengan lebih kuat sehingga meningkatkan curah sekuncup jantung akan tetapi peningkatan volume akhir diastolik ini sudah tidak mampu dimbangi oleh kemampuan ventrikel untuk mengosongkan isinnya dan hanya akan menambah beban ventrikiel kiri. Dengan efek jumlah urin yang sedikit tadi, maka produk ureum dan kreatinin juga akan bertambah karena tidak diekskresikan sepenuhnya. Itulah sebabnya, dalam pemeriksaan laboratorium ureum dan kreatinin didapatkan hasil mengalami peningkatan. Disebutkan bahwa kadar serum ureum pasien 65 mg/dl dimana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dL. Namun, walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dL masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dL). Kemudian selanjutnya, bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Proses tersebut membuka ENaC (Epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan . Hasil akhir semua

proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya

24

peningkatan volume intravaskuler. Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Hal tersebut dapat terjadi karena pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (Left Atrium Hyperthropy/LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (dimana dalam skenario terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah di SIC (Spatium Intercostarum) VI 2 cm lateral linea medioklavikularis dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Pada scenario juga, diketahui bahwa dokter melakukan pemeriksaan abdomen kepada pasien. Pemeriksaan abdomen merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan abdomen pada pasien. Prinsip pemeriksaan ini adalah inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.

25

Dari hasil pemeriksaan abdomen tersebut, didapatkan hasil bahwa pasien tidak mengalami hepatomegali maupun ascites. Pembesaran hati (hepatomegali) adalah pembesaran organ hati yang disebabkan oleh berbagai jenis penyebab seperti infeksi virus hepatitis, demam tifoid, amoeba, penimbunan lemak (fatty liver), penyakit keganasan seperti leukemia, kanker hati (hepatoma), dan penyebaran dari keganasan (metastasis). Hepatomegali dapat mengakibatkan infasi pembuluh darah yang mengakibatkan obstruksi vena hepatica sehingga menutup vena porta yang mengakibatkan menurunnya produksi albumin dalam darah (hipoalbumin) dan mengakibatkan tekanan hidrostatis lebih tinggi dibandingkan tekanan osmotik yang mengakibatkan cairan intrasel keluar ke ekstrasel. Cairan yang tertimbun ini mengakibatkan ascites dan lama-kelamaan akan mengakibatkan edema. Menutupnya vena porta juga dapat mengakibatkan ansietas. Hepatomegali juga dapat mengakibatkan vaskularisasi memburuk, sehingga mengakibatkan nekrosis jaringan. Hepatomegali dapat mengakibatkan proses desak ruang, yang mendesak paru, sehingga mengakibatkan sesak napas. Pemeriksaan analisis gas darah juga dilakukan dan hasilnya menunjukkan adanya asidoses metabolik terkompensasi. Hal ini dapat terjadi karena jaringan sistemik semakin kekurangan dan proses metabolisme pun berubah menjadi

metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran dan di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.

26

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Jantung adalah organ yang berongga dan berotot yang terletak di rongga toraks (dada), di sekitar garis tengah antara sternum atau tulang dada di sebelah anterior dan vertebra (tulang punggung) di sebelah posterior. 2. Secara fisiologis, sistem konduksi jantung berawal dari impuls jantung di SA node, kemudian melanjutkan diri ke AV node, berkas His, dan berakhir pada serabut-serabut purkinje. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah secara langsung adalah cardiac output (curah jantung; efek stimulasi saraf parasimpatis dan simpatis) dan resistensi perifer total. 4. Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 5. Gagal jantung ke depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya perfusi ke organ. Gagal jantung ke belakang pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik. 6. Etiologi gagal jantung meliputi gangguan mekanis, abnormalitas otot jantung, gangguan irama jantung atau gangguan konduksi. 7. Gagal jantung memiliki kriteria mayor dan minor, diagnosis ditegakkan minimal 1 mayor dan 2 minor. 8. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah EKG (elektrokardiogram), echokardiogram, foto rontgen dada, dan tes darah BNP (B-type natriuretic peptide). 9. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. SARAN 1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat diskusi.

27

2. Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan pada saat menyampaikan pendapat dalam diskusi. 3. Tutor diberikan waktu yang lebih banyak untuk memberikan feedback yang lebih membangun setelah didiskusi selesai. 4. Mahasiswa seharusnya menghubungkan data yang diperoleh dengan hasil pemeriksaan pada skenario yang dihadapi dengan detail sesuai pathogenesis dan patofisiologinya.

28

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga. Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta. Interpretasi Analisa Gas Darah. Cermin Dunia Kedokteran No. 43 Darmaniah, N., Hartanto, H., Wulandari, N. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC. pp: 406-408. Hartanto, H., Koesoemawati, H., Salim, I.N., Setiawan, L., Valleria, Suparman, W. (eds). 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC. pp: 801. Gray, Huon H, et all. 2005. Lecture Note: Kardiologi. Edisi 4. Alih bahasa: H Azwar agoes dkk. Jakarta: Erlangga Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Joesoef, A.H. dan Setianto, B. 2003. Hipertensi Sekunder dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 206-208. Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC. pp: 517 Makmun, Lukman H. dan Abdurachman, Nurhay. 2007. Pemeriksaan Fisis Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 48-50. Mansjoer, Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Panggabean, Marulam M. 2007. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 1503-1504 PAPDI. 2007. Buku Ajar IPD jilid III ed 4. Jakarta. BP FKUI. pp: 1505-14

29

Price, A.Sylvia, Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta: EGC. Rachman, Otte J. 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Jantung dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 21-35. Rilantono, lily I., Baraas, F., Karo, S., Roebiono, P.S. 2003. Buku Ajar kardiologi. Jakarta: BP FKUI. pp:115-25 Roebiono, Poppy S. 2003. Pemeriksaan Laboratorium pada Penyakit

Kardiovaskuler dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 66. Safitri, A. (ed). 2005. Lecture Notes : Kardiologi Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga. pp: 8-56 Santoso, B. I. (ed). 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Jakarta : EGC. pp: 256-343 Suryohudoyo, Purnomo. 2007. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta : Sagung Seto. Sutedjo, A. Y. 2008. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Penerbit Amara Books. Yogiantoro, Mohammad. 2007. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 599-603

SS

30