Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah
-
Upload
ary-dharmawan-gusti-putu -
Category
Documents
-
view
133 -
download
8
Transcript of Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah
KELAINAN KONGENITAL SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH
“ ATRESIA ANI DAN HIRSCHSPRUNG”
A. ATRESIA ANI
DEFINISI
Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital .
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966)
membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus menetap
3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari
peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan
fisula rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir
dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal.1
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000
kelahiran. Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi
lakilaki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi
anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular dan
fistula perineal. Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa
malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan malformasi anorektal
letak tinggi.2
1 | P a g e
ETIOLOGI
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan
3) Berkaitan dengan sindrom down 1
Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang
memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal yakni 1 dalam 100 kelahiran,
dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga
menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen
yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal atau dengan kata lain etiologi
malformasi anorektal bersifat multigenik.2
MANIFESTASI KLINIS1
Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala
itu dapat berupa:
1) Perut kembung
2) Muntah
3) Tidak bisa buang air besar
4) Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai
dimana terdapat penyumbatan.
2 | P a g e
Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus imperforata letak rendah dimana rectum
berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya,
malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi
anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.
Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih abnormalitas yang
mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas
berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan
secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler.
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah:
1. Kelainan kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi
of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-
2%)
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti
hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal
yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi anorektal.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan malformasi anorektal
3 | P a g e
letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal letak rendah 15% sampai
20%.
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).2
PENATALAKSANAAN2
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus
dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani
menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan
mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi
anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk
menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan
dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi
yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak
kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai
klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada
tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada :
a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
4 | P a g e
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan
minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan
kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu.
Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal,
limited atau full postero sagital anorektoplasti.
Teknik Operasi:
a) Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi pasien
tengkurap dan pelvis ditinggikan.
b) Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple.
c) Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm
didepannya.
d) Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.
e) Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah
tampak dinding belakang rektum.
f) Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.
g) Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
h) Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.
5 | P a g e
Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal pada 95% kasus
malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip penatalaksanaan malformasi anorektal pada
bayi perempuan hampir sama dengan bayi laki-laki.
ANOPLASTY
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika bayi tumbuh
dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP
adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau
laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga
pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.
PENATALAKSANAAN POST-OPERATIF
Perawatan Pasca Operasi PSARP1
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan
tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai
ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah
masuk.
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri
bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara
bertahap frekuensi diturunkan.
6 | P a g e
Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus
kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan
pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan
selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka.
Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah,
kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap
minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan
dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali
sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu
dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang
diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum bayi
tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D,
aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.
PROGNOSIS2
Hasil operasi kelainan anorektal meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode
PSARP.
7 | P a g e
B.PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
DEFINISI
Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit
yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada
usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit
Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus
tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg,
lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. 4
ETIOLOGI
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan
inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus
yang bervariasi. Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang
paling sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki
lebih banyak dibanding perempuan (4:1) dan ada kenaikan insidens keluarga pada penyakit
segmen panjang. Penyakit Hirschsprung mungkin disertai dengan cacat bawaan lain termasuk
Syndrome Down, Syndrom Neurocristopathy, Waardenburg-Shah syndrome, Yemenite deaf-
blind syndrome, Piebaldisme, Goldberg-Shprintzen syndrome, Multiple endocrine neoplasia type
II, Syndrome central hypoventilation congenital, sindrom Laurence-Moon-Bardet-Biedl, serta
kelainan kardiovaskuler.4
8 | P a g e
PATOFISIOLOGI
Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian penyakit
Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah
proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal
(Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya.
Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui.4
Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan
normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai
ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiology Hirschsprung adalah
adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi
neuorblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblas dalam bertahan,
berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang
tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang
aganglionik, komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan
faktor neurotrophic.4
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik menunjukkan
bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini
menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan
pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga
telah dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi.7
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal
(Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan
berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus
telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik
9 | P a g e
dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan
inhibisi.4
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga
kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi
dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem
adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos
usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan
mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi,
dan pada akhirnya, obstruksi fugsional. Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel
ganglion pada dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang
yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast
dari usus proksimal ke distal. Segman yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%
penderita; pada 10%, seluruh kolon tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung
saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi,
tidak didapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang
hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi diantara lapisan-lapisan ototdan
pada submukosa. Gangguan ini dapat direproduksi pada binatang percobaan dengan merusak
reseptor endothelin B.4
MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala klinis penyakit Hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan
terlambatnya pengeluaran mekonium. Sembilan puluh sembilan persen bayi lahir cukup bulan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung harus
dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi pada bayi kurang
bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara
normal, tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan
hipoproteinemia karena enteropati pembuang protein sekarang adalah tanda yang kurang sering
karena penyakit Hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit. Bayi yang
minum ASI tidak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula.8
10 | P a g e
Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan
perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat,
mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis memungkinkan
proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficile,
Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda-tanda obstruksi
usus besar. Pengenalan dini penyakit Hirschsprung sebelum serangan enterokolitis sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.8
Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab
perut kembung lain dan konstipasi kronis. Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran
mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu-minggu pertama. Massa
tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rektum biasanya tidak ada
tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan keluar berupa butir-butir kecil, seperti pita, atau
berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada
penderita dengan konstipasi fungsional. Pada penyakit Hirschsprung masa bayi harus dibedakan
dari sindrom sumbat mekonium, ileus mekonium, dan atresia intestinal.8
Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan
semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat
tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.
Membedakan tanda- tanda penyakit Hirschsprung dan konstipasi fungsional8
Variabel Fungsional(didapat) Penyakit Hirschsprung
Riwayat
Mulai konstipasi Setelah umur 2 tahun Saat lahir
Enkopresis Lazim Sangat jarang
Gagal tumbuh Tidak lazim Mungkin
Enterokolitis Tidak Mungkin
Nyeri perut Lazim Lazim
Pemeriksaan
Perut kembung Jarang Lazim
Penambahan BB jelek Jarang Lazim
11 | P a g e
Tonus anus Normal Normal
Pemeriksaan rektum Tinja di ampula Ampula kosong
Laboratorium
Manometri anorektal Rektum mengembang
karena relaksasi sfingter
interna
Tidak ada sfingter atau
relaksasi paradoks atau
tekanan naik
Biopsi rektum Normal Tak ada sel ganglion
Pewarnaan
asetilkolinesterase
meningkat
Enema barium Jumlah tinja banyak, tidak
ada daerah peralihan
Daerah peralihan,
pengeluaran tertunda (lebih
dari 24 jam)
DIAGNOSIS6
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan
diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme anus.
Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan memiliki
gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang saksama dapat
membedakan keduanya.
Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya
ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan
Differensial Diagnosis:
- Konstipasi
- Ileus
- Iritable Bowel Syndrome
- Gangguan Motilitas Usus
2. Pemeriksaan Laboratorium
12 | P a g e
a. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya
dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan
elektrolit.
b. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatif.c. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan
pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.5
3. Pemeriksaan Radiologi 12
a. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi dengan
adanya udara dalam rectum
b. Barium enema
Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan
kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.
Kateter diletakksan didalam anus, tanpa mengembungkan balon, untuk menghindari
kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.
Foto segera diambil setelah injeksi kontras dan diambil lagi 24 jam kemudian.
Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami
dilatasi merupakan gambara klasi penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan
radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali gagal
memperlihatkan zona transisi.
Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah
adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan
4. Pemeriksaan lainnya
Manometri dan biopsi-isapan rektum merupakan indikator penyakit Hirschsprung
yang paling mudah dan paling dapat dipercaya. Manometri anorektal mengukur tekanan
sfingter ani interna saat balon dikembangkan di rektum. Pada individu normal,
penggembungan rektum mengawali refleks penurunan tekanan sfingter interna. Pada
penderita penyakit Hirschsprung, tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan
paradoks karena rektum dikembungkan. Ketepatan uji diagnostik ini lebih dari 90%,
tetapi secara teknis sulit pada bayi muda. Respons normal pada evaluasi manometri ini
13 | P a g e
menyingkirkan diagnosis penyakit Hirschsprung; hasil meragukan atau respons
sebaliknya membutuhkan biopsi rektum.
Biopsi-isap rektum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata
untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir usus. Biopsi harus
mengandung cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya sel ganglion. Biopsi
dapat diwarnai untuk asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita
dengan aganglionosis menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang terwarnai
positif untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion.6
Diagnosis dengan foto rontgen pada penyakit Hirschsprung didasarkan pada
adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang melebar normal dan kolon distal
tersumbat dengan diamater yang lebih kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak
berelaksasi. Daerah peralihan ini biasanya tidak ada sebelum umur bayi 1 sampai 2
minggu dan pada gambaran rontgen ada daerah usus berbentuk corong antara kolon
proksimal yang melebar dan usus distal yang konstriksi. Pemeriksaan radiologis harus
dilakukan tanpa persiapan untuk menghindari pelebaran sementara segmen yang tanpa
ganglion. Foto-foto tunda 24 jam banyak membantu. Jika sejumlah barium masih
tertinggal di dalam kolon, barium ini meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit
Hirschsprung walaupun daerah peralihan tidak didapatkan. Pemeriksaan enema barium
berguna dalam menentukan luasnya aganglionosis sebelum pembedahan dan dalam
mengevaluasi penyakit lain yang ada bersama dengan obstruksi usus besar pada neonatus.
Biopsi seluruh lapisan rektum dapat dilakukan pada saat operasi untuk memastikan
diagnosis dan derajat keterlibatan.11
PENGOBATAN6
1. Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
a) untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi
b) sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan
c) untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
14 | P a g e
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit,
menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka
dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian
antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar
dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit.
Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur untuk
mengurangi resiko terjadinya enterocolitis.
Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang
normal pada pasien post-operatif.
2. Penanganan operatif
Gambar 1. Penanganan Operatif Pada Penyakit Hirschsprung 6
Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan definitif adalah operasi. Pilihan-
pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin setelah diagnosis
ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan menunggu sampai bayi berumur 6-12
bulan untuk melakukan operasi definitif.
Ada tiga pilihan dasar operasi. Prosedur bedah pertama yang berhasil, yang
diuraikan oleh Swenson, adalah memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan
anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rektum 1-2 cm di atas garis batas.
Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada pengembangan dua prosedur lain.
15 | P a g e
Duhamel menguraikan prosedur untuk menciptakan rektum baru, dengan menarik turun
usus besar yang berinervasi normal ke belakang rektum yang tidak berganglion. Rektum
baru yang dibuat pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengan
sensasi normal dan setengah ganglionik posterior dengan propulsi normal. Prosedur
”endorectal pullthrough” yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa rektum
yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi normal ke lapisan otot yang
terkelupas tersebut., dengan demikian memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam.
Pada penyakit Hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang tanpa
ganglion hanya sebatas pada sfingter interna. Gejala-gejala klinisnya sama dengan gejala-
gejala pada anak konstipasi fungsional. Sel ganglion mungkin terdapat pada biopsi isap
rektum, tetapi motilitas rektum akan tidak normal. Eksisi pengupasan mukosa otot rektum,
termasuk sfingter anus interna, merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang yang melibatkan seluruh kolon dan
sebagian usus halus merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan motilitas rektum dan
biopsi isap rektum akan menunjukkan adanya tanda-tanda penyakit Hirschsprung, tetapi
pemeriksaan radiologis akan sulit diinterpretasi karena tidak ditemukan daerah peralihan.
Luasnya daerah aganglionosis dapat ditentukan secara akurat dengan biopsi pada saat
laparotomi.
Bila seluruh kolon aganglionik, sering bersama dengan panjang ileum terminal,
anastomosis ileum anus merupakan terapi pilihan, dengan masih mempertahankan bagian
kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah penyerapan air, sehingga membantu
tinja menjadi keras. Operasi Duhamel adalah yang terbaik untuk aganglionis kolon total.
Kolon kiri tetap ditinggalkan sebagai reservoir, dan tidak perlu menganastomosis kolon
kiri ini pada usus halus.
PROGNOSIS6
Prognosis penyakit Hirschsprung yang diterapi dengan bedah umumnya
memuaskan; sebagian besar penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia). Masalah
pascabedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses perianal, dan
pengotoran tinja.
16 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. N. KILIÇ and M. SARIERLER.Congenital intestinal atresia in calves.Turkey : Depatment of
Surgery, Faculty of Veterinary Medicine, University of Adnan Menderes.2009
2.Kella N, Memon S, Qureshi G. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal Malformation
in Children. World Journal of Medical Sciences 1 (2) 2006; 151-154
http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 1 April 2009]
3.Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood. 2006. 62, 576-579. http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1778456&blobtype=pdf
4. Jeanne Amiel, Stanislas Lyonnet.Hirschsprung disease, associated syndromes, and
genetics: a review.Paris : Dépar tement de Génétique, Unité Hôpital Necker-Enf ants
Malades, 149 r ue de Sèvres, 75743 Par is Cedex 15, France. 2012.
5. Mehrdad Memarzadeh et al. Hirschsprung’s disease diagnosis: Comparison of
immunohistochemical, hematoxilin and eosin staining. USA : J Indian Assoc Pediatr
Surg.2009.
6. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. What I need to know about
Hirschsprung Disease. USA : U.S. Department of Health and Human Services.
2010.
7. Hirschsprung’s disease: In Holschneider AM, Puri P(eds). Hirschsprung’s Disease and
allied disorders, Third Edition, Berlin: Springer, 2008.
8. Meier-Ruge W Über ein Erkrankungsbild des Colon mit Hirschsprung-Symptomatik.
Verh Dtsch Ges Pathol 2005;55,506-10.
9. Meier-Ruge W Epidemiology of congenital innervation defects of the distal colon.
Virchows Arch A Pathol Anat Histopathol. 2006;420(2):171-7.
10. Teitelbaum DH,Coran AG: Hirschsprung’s Disease and Related neuromuscular Disorders
of the Intestine. In: Grosfeld JL,O’Neill JA Jr, Fonkalsrud EW, Coran AG: Pediatric
Surgery. Philadelphia ,Mosby Elsevier. 2006 p. 1514-59.
11. De Lorijn F, Kremer LC, Reitsma JB, Benninga MA: Diagnotic tests in Hirschsprung’s
17 | P a g e
disease: a systematic review. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006 May;42(5):496- 505.
12. Stranzinger E, DiPietro MA, Teitelbaum DH, Strouse PJ: Imaging of total colonic
Hirschsprung disease. Pediatr Radiol 2008;38,1163-70.
18 | P a g e