Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

26
KELAINAN KONGENITAL SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH “ ATRESIA ANI DAN HIRSCHSPRUNG” A. ATRESIA ANI DEFINISI Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital . Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966) membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu: 1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus 2. Membran anus menetap 3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum 4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal. 1 EPIDEMIOLOGI Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran. Secara umum, malformasi 1 | Page

Transcript of Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Page 1: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

KELAINAN KONGENITAL SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH

“ ATRESIA ANI DAN HIRSCHSPRUNG”

A. ATRESIA ANI

DEFINISI

Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital .

Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966)

membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:

1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus

2. Membran anus menetap

3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari

peritoneum

4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu

Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan

fisula rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah

rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir

dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal.1

EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000

kelahiran. Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada

perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi

lakilaki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi

anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular dan

fistula perineal. Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa

malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan malformasi anorektal

letak tinggi.2

1 | P a g e

Page 2: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

ETIOLOGI

Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:

1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa

lubang dubur

2) Gangguan organogenesis dalam kandungan

3) Berkaitan dengan sindrom down 1

Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen

genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang

memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal yakni 1 dalam 100 kelahiran,

dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga

menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan pasien dengan trisomi 21

(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen

yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal atau dengan kata lain etiologi

malformasi anorektal bersifat multigenik.2

MANIFESTASI KLINIS1

Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala

itu dapat berupa:

1) Perut kembung

2) Muntah

3) Tidak bisa buang air besar

4) Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai

dimana terdapat penyumbatan.

2 | P a g e

Page 3: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus imperforata letak rendah dimana rectum

berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya,

malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi

anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.

Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih abnormalitas yang

mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas

berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan

secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan

kardiovaskuler.

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah:

1. Kelainan kardiovaskuler

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang paling

banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi

of fallot dan vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-

2%)

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti

hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal

yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi anorektal.

Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan malformasi anorektal

3 | P a g e

Page 4: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal letak rendah 15% sampai

20%.

Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER

(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL

(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).2

PENATALAKSANAAN2

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus

dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani

menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan

inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982

memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan

cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan

mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi

anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk

menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan

dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi

yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak

kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta

ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai

klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada

tidaknya fistula.

Leape (1987) menganjurkan pada :

a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,

setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)

b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes

provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus

4 | P a g e

Page 5: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan

minimal PSARP tanpa kolostomi.

Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan

kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu.

Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal,

limited atau full postero sagital anorektoplasti.

Teknik Operasi:

a) Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi pasien

tengkurap dan pelvis ditinggikan.

b) Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple.

c) Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm

didepannya.

d) Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.

e) Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah

tampak dinding belakang rektum.

f) Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.

g) Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.

h) Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.

5 | P a g e

Page 6: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal pada 95% kasus

malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip penatalaksanaan malformasi anorektal pada

bayi perempuan hampir sama dengan bayi laki-laki.

ANOPLASTY

PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika bayi tumbuh

dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP

adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau

laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga

pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.

PENATALAKSANAAN POST-OPERATIF

Perawatan Pasca Operasi PSARP1

a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.

b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan

tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai

ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah

masuk.

Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri

bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara

bertahap frekuensi diturunkan.

6 | P a g e

Page 7: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus

kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan

pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan

selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka.

Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah,

kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap

minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan

dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali

sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu

dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang

diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.

Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum bayi

tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D,

aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

PROGNOSIS2

Hasil operasi kelainan anorektal meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode

PSARP.

7 | P a g e

Page 8: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

B.PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

DEFINISI

Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit

yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada

usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.

Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion

dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan

keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit

Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus

tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg,

lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. 4

ETIOLOGI

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan

inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus

yang bervariasi. Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang

paling sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki

lebih banyak dibanding perempuan (4:1) dan ada kenaikan insidens keluarga pada penyakit

segmen panjang. Penyakit Hirschsprung mungkin disertai dengan cacat bawaan lain termasuk

Syndrome Down, Syndrom Neurocristopathy, Waardenburg-Shah syndrome, Yemenite deaf-

blind syndrome, Piebaldisme, Goldberg-Shprintzen syndrome, Multiple endocrine neoplasia type

II, Syndrome central hypoventilation congenital, sindrom Laurence-Moon-Bardet-Biedl, serta

kelainan kardiovaskuler.4

8 | P a g e

Page 9: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

PATOFISIOLOGI

Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian penyakit

Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah

proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal

(Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya.

Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui.4

Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan

normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai

ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiology Hirschsprung adalah

adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi

neuorblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblas dalam bertahan,

berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang

tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang

aganglionik, komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan

faktor neurotrophic.4

Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik menunjukkan

bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini

menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan

pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga

telah dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi.7

Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal

(Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan

berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.

Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini

mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus

telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik

9 | P a g e

Page 10: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan

inhibisi.4

Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga

kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi

dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem

adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos

usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan

mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi,

dan pada akhirnya, obstruksi fugsional. Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel

ganglion pada dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang

yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast

dari usus proksimal ke distal. Segman yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%

penderita; pada 10%, seluruh kolon tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung

saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi,

tidak didapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang

hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi diantara lapisan-lapisan ototdan

pada submukosa. Gangguan ini dapat direproduksi pada binatang percobaan dengan merusak

reseptor endothelin B.4

MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala klinis penyakit Hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan

terlambatnya pengeluaran mekonium. Sembilan puluh sembilan persen bayi lahir cukup bulan

mengeluarkan mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung harus

dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi pada bayi kurang

bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara

normal, tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan

hipoproteinemia karena enteropati pembuang protein sekarang adalah tanda yang kurang sering

karena penyakit Hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit. Bayi yang

minum ASI tidak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula.8

10 | P a g e

Page 11: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan

perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat,

mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis memungkinkan

proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficile,

Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda-tanda obstruksi

usus besar. Pengenalan dini penyakit Hirschsprung sebelum serangan enterokolitis sangat

penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.8

Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab

perut kembung lain dan konstipasi kronis. Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran

mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu-minggu pertama. Massa

tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rektum biasanya tidak ada

tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan keluar berupa butir-butir kecil, seperti pita, atau

berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada

penderita dengan konstipasi fungsional. Pada penyakit Hirschsprung masa bayi harus dibedakan

dari sindrom sumbat mekonium, ileus mekonium, dan atresia intestinal.8

Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan

semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat

tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.

Membedakan tanda- tanda penyakit Hirschsprung dan konstipasi fungsional8

Variabel Fungsional(didapat) Penyakit Hirschsprung

Riwayat

Mulai konstipasi Setelah umur 2 tahun Saat lahir

Enkopresis Lazim Sangat jarang

Gagal tumbuh Tidak lazim Mungkin

Enterokolitis Tidak Mungkin

Nyeri perut Lazim Lazim

Pemeriksaan

Perut kembung Jarang Lazim

Penambahan BB jelek Jarang Lazim

11 | P a g e

Page 12: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Tonus anus Normal Normal

Pemeriksaan rektum Tinja di ampula Ampula kosong

Laboratorium

Manometri anorektal Rektum mengembang

karena relaksasi sfingter

interna

Tidak ada sfingter atau

relaksasi paradoks atau

tekanan naik

Biopsi rektum Normal Tak ada sel ganglion

Pewarnaan

asetilkolinesterase

meningkat

Enema barium Jumlah tinja banyak, tidak

ada daerah peralihan

Daerah peralihan,

pengeluaran tertunda (lebih

dari 24 jam)

DIAGNOSIS6

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan

diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme anus.

Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan memiliki

gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang saksama dapat

membedakan keduanya.

Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya

ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan

Differensial Diagnosis:

- Konstipasi

- Ileus

- Iritable Bowel Syndrome

- Gangguan Motilitas Usus

2. Pemeriksaan Laboratorium

12 | P a g e

Page 13: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

a. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya

dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.

Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan

elektrolit.

b. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet

preoperatif.c. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan

pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.5

3. Pemeriksaan Radiologi 12

a. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi dengan

adanya udara dalam rectum

b. Barium enema

Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan

kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.

Kateter diletakksan didalam anus, tanpa mengembungkan balon, untuk menghindari

kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.

Foto segera diambil setelah injeksi kontras dan diambil lagi 24 jam kemudian.

Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami

dilatasi merupakan gambara klasi penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan

radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali gagal

memperlihatkan zona transisi.

Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah

adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan

4. Pemeriksaan lainnya

Manometri dan biopsi-isapan rektum merupakan indikator penyakit Hirschsprung

yang paling mudah dan paling dapat dipercaya. Manometri anorektal mengukur tekanan

sfingter ani interna saat balon dikembangkan di rektum. Pada individu normal,

penggembungan rektum mengawali refleks penurunan tekanan sfingter interna. Pada

penderita penyakit Hirschsprung, tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan

paradoks karena rektum dikembungkan. Ketepatan uji diagnostik ini lebih dari 90%,

tetapi secara teknis sulit pada bayi muda. Respons normal pada evaluasi manometri ini

13 | P a g e

Page 14: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

menyingkirkan diagnosis penyakit Hirschsprung; hasil meragukan atau respons

sebaliknya membutuhkan biopsi rektum.

Biopsi-isap rektum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata

untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir usus. Biopsi harus

mengandung cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya sel ganglion. Biopsi

dapat diwarnai untuk asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita

dengan aganglionosis menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang terwarnai

positif untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion.6

Diagnosis dengan foto rontgen pada penyakit Hirschsprung didasarkan pada

adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang melebar normal dan kolon distal

tersumbat dengan diamater yang lebih kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak

berelaksasi. Daerah peralihan ini biasanya tidak ada sebelum umur bayi 1 sampai 2

minggu dan pada gambaran rontgen ada daerah usus berbentuk corong antara kolon

proksimal yang melebar dan usus distal yang konstriksi. Pemeriksaan radiologis harus

dilakukan tanpa persiapan untuk menghindari pelebaran sementara segmen yang tanpa

ganglion. Foto-foto tunda 24 jam banyak membantu. Jika sejumlah barium masih

tertinggal di dalam kolon, barium ini meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit

Hirschsprung walaupun daerah peralihan tidak didapatkan. Pemeriksaan enema barium

berguna dalam menentukan luasnya aganglionosis sebelum pembedahan dan dalam

mengevaluasi penyakit lain yang ada bersama dengan obstruksi usus besar pada neonatus.

Biopsi seluruh lapisan rektum dapat dilakukan pada saat operasi untuk memastikan

diagnosis dan derajat keterlibatan.11

PENGOBATAN6

1. Pengobatan medis

Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:

a) untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi

b) sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan

c) untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.

14 | P a g e

Page 15: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit,

menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka

dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian

antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.

Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar

dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit.

Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur untuk

mengurangi resiko terjadinya enterocolitis.

Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang

normal pada pasien post-operatif.

2. Penanganan operatif

Gambar 1. Penanganan Operatif Pada Penyakit Hirschsprung 6

Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan definitif adalah operasi. Pilihan-

pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin setelah diagnosis

ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan menunggu sampai bayi berumur 6-12

bulan untuk melakukan operasi definitif.

Ada tiga pilihan dasar operasi. Prosedur bedah pertama yang berhasil, yang

diuraikan oleh Swenson, adalah memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan

anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rektum 1-2 cm di atas garis batas.

Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada pengembangan dua prosedur lain.

15 | P a g e

Page 16: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

Duhamel menguraikan prosedur untuk menciptakan rektum baru, dengan menarik turun

usus besar yang berinervasi normal ke belakang rektum yang tidak berganglion. Rektum

baru yang dibuat pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengan

sensasi normal dan setengah ganglionik posterior dengan propulsi normal. Prosedur

”endorectal pullthrough” yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa rektum

yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi normal ke lapisan otot yang

terkelupas tersebut., dengan demikian memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam.

Pada penyakit Hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang tanpa

ganglion hanya sebatas pada sfingter interna. Gejala-gejala klinisnya sama dengan gejala-

gejala pada anak konstipasi fungsional. Sel ganglion mungkin terdapat pada biopsi isap

rektum, tetapi motilitas rektum akan tidak normal. Eksisi pengupasan mukosa otot rektum,

termasuk sfingter anus interna, merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.

Penyakit Hirschsprung segmen panjang yang melibatkan seluruh kolon dan

sebagian usus halus merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan motilitas rektum dan

biopsi isap rektum akan menunjukkan adanya tanda-tanda penyakit Hirschsprung, tetapi

pemeriksaan radiologis akan sulit diinterpretasi karena tidak ditemukan daerah peralihan.

Luasnya daerah aganglionosis dapat ditentukan secara akurat dengan biopsi pada saat

laparotomi.

Bila seluruh kolon aganglionik, sering bersama dengan panjang ileum terminal,

anastomosis ileum anus merupakan terapi pilihan, dengan masih mempertahankan bagian

kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah penyerapan air, sehingga membantu

tinja menjadi keras. Operasi Duhamel adalah yang terbaik untuk aganglionis kolon total.

Kolon kiri tetap ditinggalkan sebagai reservoir, dan tidak perlu menganastomosis kolon

kiri ini pada usus halus.

PROGNOSIS6

Prognosis penyakit Hirschsprung yang diterapi dengan bedah umumnya

memuaskan; sebagian besar penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia). Masalah

pascabedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses perianal, dan

pengotoran tinja.

16 | P a g e

Page 17: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

DAFTAR PUSTAKA

1. N. KILIÇ and M. SARIERLER.Congenital intestinal atresia in calves.Turkey : Depatment of

Surgery, Faculty of Veterinary Medicine, University of Adnan Menderes.2009

2.Kella N, Memon S, Qureshi G. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal Malformation

in Children. World Journal of Medical Sciences 1 (2) 2006; 151-154

http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 1 April 2009]

3.Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood. 2006. 62, 576-579. http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1778456&blobtype=pdf

4. Jeanne Amiel, Stanislas Lyonnet.Hirschsprung disease, associated syndromes, and

genetics: a review.Paris : Dépar tement de Génétique, Unité Hôpital Necker-Enf ants

Malades, 149 r ue de Sèvres, 75743 Par is Cedex 15, France. 2012.

5. Mehrdad Memarzadeh et al. Hirschsprung’s disease diagnosis: Comparison of

immunohistochemical, hematoxilin and eosin staining. USA : J Indian Assoc Pediatr

Surg.2009.

6. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. What I need to know about

Hirschsprung Disease. USA : U.S. Department of Health and Human Services.

2010.

7. Hirschsprung’s disease: In Holschneider AM, Puri P(eds). Hirschsprung’s Disease and

allied disorders, Third Edition, Berlin: Springer, 2008.

8. Meier-Ruge W Über ein Erkrankungsbild des Colon mit Hirschsprung-Symptomatik.

Verh Dtsch Ges Pathol 2005;55,506-10.

9. Meier-Ruge W Epidemiology of congenital innervation defects of the distal colon.

Virchows Arch A Pathol Anat Histopathol. 2006;420(2):171-7.

10. Teitelbaum DH,Coran AG: Hirschsprung’s Disease and Related neuromuscular Disorders

of the Intestine. In: Grosfeld JL,O’Neill JA Jr, Fonkalsrud EW, Coran AG: Pediatric

Surgery. Philadelphia ,Mosby Elsevier. 2006 p. 1514-59.

11. De Lorijn F, Kremer LC, Reitsma JB, Benninga MA: Diagnotic tests in Hirschsprung’s

17 | P a g e

Page 18: Kelainan Kongenital Saluran Cerna Bagian Bawah

disease: a systematic review. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006 May;42(5):496- 505.

12. Stranzinger E, DiPietro MA, Teitelbaum DH, Strouse PJ: Imaging of total colonic

Hirschsprung disease. Pediatr Radiol 2008;38,1163-70.

18 | P a g e