Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

24
1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, blender, toples, panci, kompor, kain saring, pengaduk, dan timbangan analitik. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini antara lain, tulang dan kepala ikan bawal, enzim papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih. 1.2. Metode 1 Tulang dan kepala ikan bawal dihancurkan dan disiapkan 50 gram. Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% Dimasukkan ke dalam

description

Pada praktikum ini dilakukan pembuatan kecap ikan secara enzimatis dari tulang-tulang dan kulit ikan bawal.Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata

Transcript of Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

Page 1: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, blender, toples,

panci, kompor, kain saring, pengaduk, dan timbangan analitik.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini antara lain, tulang dan kepala ikan

bawal, enzim papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih.

1.2. Metode

1

Tulang dan kepala ikan bawal

dihancurkan dan disiapkan 50

gram.

Dimasukkan ke dalam toples.

Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi

0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%.

Toples ditutup rapat dan dilakban.

Page 2: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

Filtrat direbus 30 menit, setelah mendidih ditambah

bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan (50 gram

bawang putih, 50 gram garam, 1 butir gula kelapa).

Setelah direbus 30 menit dan agak

dingin, dilakukan penyaringan kedua.

2

Diinkubasi (fermentasi) pada

suhu ruang selama 4 hari.

Hasil fermentasi disaring ditambah air

sebanyak 300 ml lalu disaring

Page 3: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

Dilakukan pengamatan sensoris meliputi warna,

rasa, penampakan dan aroma, serta pengamatan

salinitas menggunakan refraktometer.

3

Page 4: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dengan penambahan enzim papain dapat dilihat di Tabel

1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)E1 Enzim papain 0,2% +++ ++++ ++++ ++ 5,0E2 Enzim papain 0,4% ++++ +++++ +++ +++ 9,0E3 Enzim papain 0,6% +++ +++++ ++++ ++ 5,5E4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ +++ ++ 5,5E5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ ++ 6,0

Keterangan:Warna : Aroma : + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa : Penampakan :+ : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada pembuatan kecap ikan ini, semua

kelompok menggunakan enzim papain, akan tetapi kadarnya berbeda pada masing-

masing kelompok dimana kelompok E1 menggunakan enzim papain 0,2%; kelompok

E2 menggunakan enzim papain 0,4%; kelompok E3 menggunakan enzim papain 0,6%;

kelompok E4 menggunakan enzim papain 0,8%; dan pada kelompok E5 menggunakan

enzim papain 1%. Dalam kecap ikan ini, dilakukan pengujian terhadap warna, rasa,

aroma, dan penampakan yang dilakukan secara sensoris, juga uji salinitas yang

dilakukan dengan menggunakan. Pada uji warna, kelompok E1, E3, dan E5

menghasilkan kecap ikan yang berwarna agak coklat gelap, pada kelompok E2 dan E4

menghasilkan kecap ikan yang berwarna coklat gelap. Pada uji rasa, kelompok E1, E2,

dan E4 menghasilkan rasa kecap ikan yang asin, pada kelompok E3 dan E5

menghasilkan rasa kecap ikan yang sangat asin. Untuk aroma, kelompok E1 dan E3

menghasilkan aroma yang tajam, pada kelompok E2, E4, dan E5 menghasilkan aroma

yang agak tajam. Pada pengujian mengenai penampakan, kelompok E1, E3, E4, dan E5

menghasilkan penampakan yang cair, pada kelompok E2 menghasilkan penampakan

4

Page 5: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

5

agak kental. Untuk salinitas, kelompok E2 yang menggunakan enzim papain 0,4%

mendapatkan nilai salinitas tertinggi yaitu sebesar 9,0%, sedangkan pada kelompok E1

dengan menggunakan enzim papain 0,2% mendapatkan nilai salinitas terendah yaitu

sebesar 5,0%. Kelompok E3 yang menggunakan enzim papain 0,6% mendapatkan nilai

salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E4 yang menggunakan enzim papain 0,8%

mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E5 yang menggunakan enzim

papain 1% mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 6,0%.

Page 6: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Makanan berbasis fermentasi ikan yang paling familiar adalah kecap ikan. Cara

pembuatan kecap ikan ini pun berbeda-beda di tiap negara tergantung pada lokasi serta

budayanya. Kecap ikan dikenal dengan nama yang berbeda di setiap negara dan juga

memiliki aroma, flavor, serta rasa yang bervariasi (Beddows et al., 1979 dalam Nadiah

et al., 2014). Kecap ikan (dikenal dengan shottsuru dan ishiru di Jepang) telah

dikonsumsi secara luas sebagai salah satu bumbu di negara-negara Asia Tenggara

karena flavornya yang kuat serta bisa mengurangi rasa asin dan asam dari suatu bahan

pangan (Murakami et al., 2009).

Kecap ikan adalah suatu produk cair hasil dari fermentasi ikan dalam larutan garam

dimana kecap ikan ini pada umunya digunakan sebagai salah satu bahan pelengkap

masakan (Ibrahim, 2010). Dalam pembuatan kecap ikan, hampir semua jenis ikan dapat

digunakan sebagai bahan dasar dimana dalam pembuatannya dapat menggunakan

bagian daging maupun tulang ikan (Astawan & Astawan, 1988). Akan tetapi, organ

intestinal ikan tidak disarankan untuk membuat kecap ikan karena mengandung racun

tetrodotoksin (Harada et al., 2007). Kecap ikan memiliki beberapa kelebihan seperti

dapat menggunakan semua jenis ikan, bahkan sisa-sisa dari ikan seperti tulang ikan bisa

digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap ikan. Namun, kecap asin ini juga

memiliki kekurangan, yaitu memerlukan waktu pembuatan yang cukup lama

(Moeljanto, 1992). Dalam pembuatan kecap ikan sebaiknya menggunakan ikan yang

masih segar, untuk menghasilkan mutu kecap yang baik. Ciri-ciri ikan yang segar

adalah daging melekat kuat pada tulang, daging yang kenyal, daging perut utuh dan

kenyal, bau segar pada daging dan bagian tubuh lain, dan apabila daging ditekan dengan

jari tidak tampak bekas lekukan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Dalam upaya

memanfaatkan limbah ikan menjadi pangan fungsional, dilaporkan bahwa ikan yang

difermentasi menggunakan fungi A. Oryzae berpotensi menghasilkan produk akhir yang

memiliki aktivitas antioksidan (Giri et al., 2012).

Tahapan awal pembuatan kecap ikan dalam praktikum ini adalah memisahkan tubuh

ikan dari daging dan tulangnya hingga bersih. Pembuatan kecap ikan ini hanya

menggunakan tulang dan durinya, sedangkan dagingnya digunakan untuk pembuatan

surimi. Setelah dipisahkan, tulang dan durinya dihancurkan dengan menggunakan

6

Page 7: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

7

mixer. Penggunaan mixer ini bertujuan untuk membantu penghancuran bahan sehingga

didapatkan bahan yang terlumat halus. Proses penghancuran ini bertujuan untuk

meningkatkan luas permukaan bahan. Langkah yang dilakukan sesuai dengan teori dari

Saleh et al. (1996) yang mengutarakan jika proses penghancuran akan memperluas luas

permukaan bahan, sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan akan menjadi

semakin tinggi yang akan menyebabkan kemampuan untuk melepas komponen flavor

juga semakin besar. Pada umunya, senyawa-senyawa pembentuk flavor terdistribusi

pada bahan dimana sebagian terikat dalam bentuk ikatan dengan protein, lemak,

ataupun air, sehingga perlakuan awal (penghancuran bahan) dibutuhkan.

Setelah dihancurkan, bahan yang telah halus tersebut ditimbang sebanyak 50 gram

untuk masing-masing kelompok dan dimasukkan ke dalam wadah fermentasi (toples)

yang ditutup rapat. Setelah dimasukkan ke dalam wadah fermentasi yang ditutup rapat,

ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,2%, 0,6%, 0,8%, dan 1% dari

berat bahan berturut- turut dari kelompok E1 sampai E6. Penggunaan wadah fermentasi

yang tertutup rapat selama inkubasi ini bertujuan untuk menciptakan kondisi anaerob

(tidak memerlukan O2) sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan efektif tanpa

ada kontaminasi yang masuk. Karim dan Hassan (1987) memaparkan bahwa kecap ikan

dapat dibuat secara tradisional dengan fermentasi namun fermentasi ini membutuhkan

waktu yang lama. Oleh karena itu, sekarang ini telah dikembangkan pembuatan kecap

ikan secara enzimatis biasanya menggunakan enzim proteolisis (papain dan bromelin)

yang membutuhkan waktu relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan proses

fermentasi. Enzim papain merupakan enzim yang umumnya diperoleh dari buah pepaya

muda (Muhidin, 1999). Himonides et al. (2011) menambahkan penggunaan enzim

proteolisis untuk fungsi hidrolisis telah digunakan secara luas di dunia, contoh

penggunaan enzim ini adalah untuk mengempukan daging ikan serta digunakan untuk

mempercepat fermentasi kecap ikan. Sjaifullah (1996) mengatakan bahwa bila enzim

papain yang berasal dari getah pepaya mempunyai aktivitas proteolitik sekitar 200

MCU/g, sedangkan pada buah pepaya mempunyai aktivitas proteolitik sekitar 400

MCU/g. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim dalam proses

fermentasi yaitu suhu, pH, kemurnian, dan konsentrasi. Sehingga dapat diketahui pada

praktikum ini pembuatan kecap ikan dilakukan secara enzimatis karena ada

penambahan enzim papain.

Page 8: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

8

Proses selanjutnya adalah inkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Proses inkubasi yang

dilakukan sejalan dengan pendapat Astawan & Astawan (1988) yang memaparkan

proses fermentasi pada pembuatan kecap adalah selama 1-5 hari. Suhu yang digunakan

pada saat proses inkubasi adalah suhu ruang, apabila suhu terlalu tinggi akan

mengakibatkan enzim terdenaturasi karena enzim merupakan salah satu protein. Hal

tersebut sesuai dengan teoriGaman & Sherrington (1994) yang menyatakan enzim

mempunyai suhu optimum sekitar 18o-23oC atau maksimal 40oC, pada suhu 45oC enzim

akan mengalami denaturasi.

Pada proses inkubasi terjadi fermentasi atau penguraian senyawa kompleks tubuh ikan

menjadi senyawa sederhana oleh enzim yang berasal dari tubuh ikan atau dari

mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol (Afrianto &

Liviawaty, 1989). Mikroorganisme dan enzim yang dihasilkan dari proses fermentasi ini

dapat menstimulir cita rasa khas, meningkatkan nilai cerna, menurunkan kandungan

senyawa anti gizi, dan dapat menghasilkan produk turunan yang bermanfaat (Misgiyarta

& Widowati, 2003). Hasil hidrolisis dalam pembuatan kecap ikan adalah polipeptida

yang pada awalnya tidak larut menjadi larut air dan berinteraksi menciptakan rasa yang

khas (Buckle et al., 2007). Komposisi kecap ikan yang dibuat dengan cara fermentasi

adalah NaCl 275 – 280 g/l, total N 11,2- 22 g/l, N organik 7,5-15 g/l, N formol titrasi 8-

16 g/l, N Amonia 3,5-7 g/l dan N dalam bentuk asam amino 4,5-9 g/l (Rahayu et al.,

1992).

Setelah inkubasi selama 4 hari, hasil fermentasi ditambahkan air sebanyak 300 ml

kemudian disaring dengan kain saring dan dididihkan selama 30 menit. Selama direbus,

filtrat ditambahkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Dalam praktikum ini,

dilakukan proses penyaringan, menurut Mahida (1992) penyaringan bertujuan untuk

menghilangkan padatan-padatan yang berukuran besar (0,7 mm atau lebih besar).

Kemudian dilakukan perebusan selama 30 menit yang bertujuan untuk meningkatkan

cita rasa, menghilangkan mikroorganisme kontaminan dari proses fermentasi dan

penyaringan, dan melarutkan bumbu-bumbu. Selain itu, perebusan juga dilakukan untuk

mengaktifkan enzim protease sehingga dapat bekerja secara optimal dimana enzim

protease akan aktif pada suhu 50-70oC selama proses pemasakan (Parker, 2003).

Page 9: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

9

Bumbu-bumbu yang ditambahkan selama perebusan dalah 50 gram bawang putih, 50

gram garam, dan 50 gram gula jawa. Penambahan tiap-tiap bumbu ini memiliki fungsi

masing-masing dalam proses perebusan. Desroiser (1977) menjelaskan penambahan

garam akan memberi rasa asin, sebagai pengawet, dan menguatkan rasa. Penambahan

garam dapat berfungsi sebagai bahan pengawet karena garam dapat menurunkan Aw

dimana Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme kontaminan.

Selain itu, garam juga akan berpengaruh pada kualitas sensori dari kecap ikan terutama

rasa karena garam akan membuat kecap ikan lebih terasa asin (Astawan & Astawan,

1991). Selanjutnya, penambahan gula jawa berfungsi untuk memberi flavor pada kecap

ikan dan memberi warna coklat karamel serta dapat meningkatkan viskositas

(Kasmidjo, 1990). Sedangkan penambahan bawang putih bertujuan untuk mencegah

terjadinya pembusukan dan memperpanjang umur simpan karena bawang putih

mengandung zat alicin yang mampu membunuh bakteri dan meningkatkan cita-rasa

makanan. Setelah semua bumbu dimasukkan dan dilakukan perebusan selama 30 menit,

kecap asin didiamkan sebentar hingga tidak terlalu panas, lalu dilakukan penyaringan

tahap kedua. Langkah yang terakhir adalah dilakukan salinitas juga uji sensoris dimana

dilihat warna, rasa, aroma, serta penampakan dari kecap asin.

Berdasarkan tabel hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada pembuatan kecap ikan

ini, semua kelompok menggunakan enzim papain, akan tetapi kadarnya berbeda pada

masing-masing kelompok dimana kelompok E1 menggunakan enzim papain 0,2%;

kelompok E2 menggunakan enzim papain 0,4%; kelompok E3 menggunakan enzim

papain 0,6%; kelompok E4 menggunakan enzim papain 0,8%; dan pada kelompok E5

menggunakan enzim papain 1%. Dalam praktikum kecap ikan ini, dilakukan pengujian

terhadap warna, rasa, aroma, dan penampakan yang dilakukan secara sensoris, juga uji

salinitas yang dilakukan dengan menggunakan hand refractometer.

Pada uji warna, kelompok E1, E3, dan E5 menghasilkan kecap ikan yang berwarna agak

coklat gelap, pada kelompok E2 dan E4 menghasilkan kecap ikan yang berwarna coklat

gelap. Warna coklat pada kecap ikan yang dihasilkan sesuai dengan pendapat Afrianto

& Liviawaty (1989) yang memaparkan bahwa kecap ikan memiliki penampakan cair

dan berwarna coklat. Rahayu et al. (1992) dalam Witono et al. (2015) menambahkan

kecap ikan memiliki kenampakan berupa cairan coklat yang mempunyai flavor dan

aroma yang khas. Faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi kecap ikan adalah

Page 10: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

10

bahan dasar, pre-treatment, stages, dan advanced treatment processes. Menurut

Astawan & Astawan (1988), warna coklat pada kecap ikan ini terbentuk karena reaksi

yang terjadi antara asam amino pada daging ikan dan gula pereduki di gula jawa (reaksi

maillard). Hal ini didukung oleh Buckle et al. (2007) yang mengatakan bahwa

perubahan warna pada kecap ikan disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan non

enzimatis, semakin lama waktu fermentasi maka warna kecap ikan akan semakin

kecoklatan, karena kesempatan antara gula reduksi dan gugus amino dari protein

bereaksi dan terlibat dalam reaksi pencoklatan akan semakin lama. Astawan & Astawan

(1991) menambahkan semakin banyak enzim yang ditambahkan maka semakin tinggi

pula aktivitas protease sehingga warna cairan hasil hidrolisa semakin gelap.

Berdasarkan teori tersebut hasil yang didapatkan E1 telah sesuai dengan teori karena

dengan penambahan enzim papain 0,2% didapatkan warna kecap ikan yaitu agak coklat

gelap, sedangkan hasil yang didapatkan E5 tidak sesuai dengan teori karena dengan

penambahan enzim papain 1% didapatkan warna kecap ikan agak coklat juga.

Penyimpangan hasil dengan teori ini dapat disebabkan karena evaluasi sensori oleh

panelis yang bersifat subjektif sehingga kurang akurat, penimbangan gula jawa dan

enzim yang tidak tepat, selain itu besar api yang digunakan untuk mendidihkan filtrat

juga berpengaruh pada warna produk akhir.

Untuk pengujian aroma, kelompok E1 dan E3 menghasilkan aroma yang tajam. Pada

kelompok E2, E4, dan E5 menghasilkan aroma yang agak tajam. Astawan & Astawan

(1991) menyatakan penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang semakin besar

akan menyebabkan aroma yang dihasilkan juga semakin tajam. Hasil yang didapatkan

dalam praktikum ini tidak sesuai dengan teori, hal ini dapat disebabkan karena evaluasi

sensori oleh panelis yang bersifat subjektif sehingga kurang akurat, penimbangan

bumbu-bumbu dan enzim yang tidak tepat. Selain itu, dapat dikarenakan kadar protein

bahan masing-masing kelompok yang tidak berkadar sama sehingga berpengaruh pada

aroma yang dihasilkan. Hal tersebut didukung oleh Hidayat et al. (2006) yang

menyatakan aroma dibentuk oleh asam amino (dari protein) bebas yang terdapat pada

akhir fermentasi dan juga sangat dipengaruhi oleh waktu fermentasi.

Pada pengujian mengenai penampakan, kelompok E1, E3, E4, dan E5 menghasilkan

penampakan yang cair, pada kelompok E2 menghasilkan penampakan agak kental.

Menurut Sayed (2010) kecap ikan pada umumnya memiliki penampakan yang encer

Page 11: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

11

ataut sangat cair. Hasil yang didapatkan kelompok E1, E3, E4, dan E5 sudah sesuai

dengan teori namun hasil kelompok E2 tidak sesuai. Hal ini dapat disebabkan karena

cara mendidihkan filtrat yang berbeda (besar api yang digunakan berbeda, semakin

besar api yang digunakan maka kandungan air yang teruapkan akan semakin banyak

sehingga filtrat yang didapatkan semakin kental.

Untuk pengujian salinitas digunakan alat yaitu hand refractometer. Kultsum (2009)

memaparkan bahwa untuk mengukur padatan terlarut dapat dilakukan menggunakan

hand refractometer, dimana satuan alat ini adalah obrix. Brix adalah zat padat yang

terlarut dengan satuan gram dalam 100 ml larutan. Brix pada praktikum kali ini

digunakan untuk mengukur salinitas atau kadar garam di kecap ikan. Pengujian salinitas

ini dilakukan dengan mengencerkan 1 ml kecap ikan dengan 9 ml akuades kemudian

hasil campuran tersebut diteteskan pada hand refractometer dan diamati skala yang ada.

Salinitas dari kecap ikan dinyatakan dalam persen (%) dengan perhitungan sebagai

berikut :

Salinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

Hasil yang didapatkan pada praktikum ini yaitu kelompok E2 yang menggunakan enzim

papain 0,4% mendapatkan nilai salinitas tertinggi yaitu sebesar 9,0%, sedangkan pada

kelompok E1 dengan menggunakan enzim papain 0,2% mendapatkan nilai salinitas

terendah yaitu sebesar 5,0%. Kelompok E3 yang menggunakan enzim papain 0,6%

mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E4 yang menggunakan enzim

papain 0,8% mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 5,5%, kelompok E5 yang

menggunakan enzim papain 1% mendapatkan nilai salinitas yaitu sebesar 6,0%.

Menurut teori Astawan &Astawan (1988) dipaparkan bahwa semakin asin kecap ikan

disebabkan karena enzim yang ditambahkan semakin banyak. Hasil pengujian salinitas

ini berhubungan dengan hasil evaluasi sensori yaitu rasa. Pada uji rasa, kelompok E1,

E2, dan E4 menghasilkan rasa kecap ikan yang asin, pada kelompok E3 dan E5

menghasilkan rasa kecap ikan yang sangat asin. Hasil pengujian sensori (rasa) dengan

salinitas yang didapatkan dalam praktikum ini tidak sebanding dimana seharusnya

semakin besar % salinitas maka semakin asin pula rasa dari kecap ikan. Hasil yang tidak

sesuai dengan teori Astawan &Astawan (1988) tersebut dapat dikarenakan

penimbangan enzim papain dan garam yang kurang tepat, cara mendidihkan filtrat yang

Page 12: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

12

berbeda (besar api yang digunakan berbeda, semakin besar api yang digunakan maka

kandungan air yang teruapkan akan semakin banyak sehingga filtrat semakin kental dan

akan berpengaruh pada rasa yang lebih asin), serta evaluasi sensori oleh panelis yang

kurang akurat.

Menurut Afiza et al. (2011) faktor yang mempengaruhi pembuatan kecap ikan adalah

rasio garam dengan ikan, suhu fermentasi, jenis ikan, dan komposisi yang ditambahkan.

Singapurwa (2012) menambahkan lamanya proses fermentasi pada pembuatan kecap

ikan harus diperhatikan, fermentasi yang terlalu lama menyebabkan jumlah asam amino

yang terbentuk semakin banyak dan kandungan nitrogen yang berubah menjadi

ammonia semakin banyak pula. Hal ini akan berpengaruh pada kualitas sensori kecap

ikan terutama dari aspek rasa dan aroma. Tahap inkubasi yang optimal dipengaruhi oleh

banyaknya enzim, suhu lingkungan inkubasi, kadar garam serta jenis ikan yang

digunakan (Yongsawatdigul et al., 2007).

Page 13: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka warna kecap ikan semakin gelap.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka rasa kecap ikan semakin asin.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka aroma kecap ikan semakin tajam.

Proses pembuatan kecap ikan pada praktikum ini dilakukan secara enzimatis.

Fermentasi tradional pada pembuatan kecap ikan membutuhkan waktu lebih lama

dibandingkan secara enzimatis.

Enzim papain adalah enzim protease yang digunakan untuk menghidrolisis protein.

Penghancuran ikan bertujuan meningkatkan luas permukaan dan untuk

memudahkan proses hidrolisa ikan oleh enzim protease.

Pemberian bumbu bertujuan meningkatkan aroma dan citarasa dari kecap ikan.

Keberhasilan dari pembuatan kecap ikan secara enzimatis dipengaruhi oleh enzim,

penggunaan bumbu dan lama fermentasi.

Warna coklat pada kecap disebabkan karena reaksi maillard.

Gula jawa berfungsi memberikan rasa manis, warna coklat karamel, dan

meningkatkan viskositas.

Garam berfungsi untuk menguatkan rasa dan mengawetkan.

Bawang putih berfungsi memberikan cita rasa dan memperpanjang umur simpan.

Faktor yang mempengaruhi pembuatan kecap ikan adalah rasio garam dengan ikan,

suhu fermentasi, jenis ikan, dan komposisi yang ditambahkan.

Semarang, 04 November 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Monica Budi Rahayu - Michelle Darmawan

13.70.0130

13

Page 14: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Afiza Ng, Y.F., T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah. (2011). Proteolytic Action In Valamugil Seheli And Ilisha Melastoma For Fish Sauce Production.

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.

Astawan,M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M. (1987). Ilmu Pangan.(Purnomo, H., dan Adiono, Pentj). Jakarta: UI-Press.

Desrosier, N.W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobilogi. UGM Press. Yogyakarta.

Giri, M., Nasu, M., Ohshima, T. (2012). Bioactive properties of Japanese fermented fish paste, fish miso, using koji inoculated with Aspergillusoryzae. International Journal of Nutrition and Food Sciences 1(1):13-22.

Harada, Kazuki; Toshimichi Maeda; Masato Honda; Tsuyoshi Kawahara; Miki Tamaru; & Tsuneo Shiba. (2007). Antioksidative Activity of Puffer Fish Sauce (Review). http://www.fish-u.ac.jp/kenkyu/sangakukou/kenkyuhoukoku/56/01_11.pdf.

Hidayat, N., Padaga, M.C. dan Suhartini, S. (2006). Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Himonides, A.T., Anthony, K.D., Taylor, Morris, A.J. (2011). A Study of the Enzymatic Hydrolysis of Fish Frames Using Model Systems. Food and Nutrition Sciences, 2.

Ibrahim, Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. http://www.trjfas.org/pdf/issue_10_02/0202.pdf.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Misgiyarta, S. dan Widowati. (2003). Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Indigenus. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian.

14

Page 15: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

15

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Murakami, M., Satomi, M., ando, M., Tukamasa, Y., Kawasaki, K. (2009). Evaluation of new fish sauces prepared by fermenting hot-water extraction waste of stock from dried fish using various kojis. Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.7 (2).

Nadiah, I, Huda, N., Abdullah, W.N.W., Al-Karkhi, A.F.M. (2014). Protein Quality of Fish Fermented Product: Budu and Rusip. Asia Pacific Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy (APJSAFE) Vol 2 (2).

Parker, R. (2003). Introduction to Food Science. A Division of Thomson Learning, Inc. New York.

Rahayu, W.P., Ma٫oen, S., Suliantari dan Fardiaz, S. (1992). Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sayed M.I. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.

Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5.

Sjaifullah. (1996). Petunjuk Memilih Buah Segar. PT Penebar Swadaya.Jakarta.

Witono, Y., Windrati, W.S., Afrilia, A., Prasvita, I.N. (2015). Production of Inferior Fish Hydrolyzate Sauce Under Different Concentration of Coconut Sugar and Caramel. International Journal of ChemTech Research Vol.8, No.1.

Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.

Page 16: Kecap Ikan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus : Salinitas = hasil1000

x 100%

Kelompok E1

Salinitas = 50

1000 x 100% = 5%

Kelompok E2

Salinitas = 90

1000 x 100% = 9%

Kelompok E3

Salinitas = 55

1000 x 100% = 5,5%

Kelompok E4

Salinitas = 55

1000 x 100% = 5,5%

Kelompok E5

Salinitas = 60

1000 x 100% = 6%

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

16